Anda di halaman 1dari 14

Deskripsi Pengertian dan Penerapan al-Qawa’id al-Fiqhiyyah Al

Iqtishadiyyah dalam Bidang Ekonomi


disusun Oleh:
Mohamad Ghozali

ABSTRAK
Penerapan qawaid fiqhiyah dalam bidang ekonomi, masih relevan di lakukan kajian
secara mendalam dan komprehensif, di antaranya terkait dengan beberapa simpulan kaidah
sebagai berikut. 1. Prinsip kemaslahatan harus ada dalam setiap kebijakan yang dirumuskan
oleh pemerintah, karena kemaslahatan manusia merupakan hak azasi yang harus diwujudkan
dalam kehidupan setiap masyarakat. Prinsip kemaslahatan ini dapat ditemukan di dalam
Alquran. Hal ini dimaksudkan untuk menyelaraskan ketetapan-ketetapan hukum yang
ditetapkan oleh pemerintah, dan di pastikan harus sejalan dengam kepentingan dan
kemaslahatan manusia yang harus dilindungi. 2. Dalam Menerapkan suatu kebijakan harus
berorientasi pada prinsip dasar mengambil risiko keburukan terkecil di bandingkan harus
mencapai sebuah tujuan kemashlahatan. 3. Dalam konsep ekonomi islam, uang hanya
berfungsi sebagai alat tukar dan bukan merupakan komoditas, sehingga uang tidak dapat di
perjualbelikan dan tidak dapat di jadikan barang untuk di timbun atau di simpan, harus selalu
di sirkulasikan di masyarakat. 4. Kemudian dalam mencari harta kekayaan Islam melarang
segala bentuk perjudian, karena di dalam praktik judi terdapat mudharat yang lebih besar dari
manfaat yang sedikit.
Kata Kunci; al-Qawa’id al-Fiqhiyyah Al Iqtishadiyyah, Kebijakan Publik Islam

ABSTRACT
The application of award fiqhiyah in the field of economics is still relevant in
conducting in-depth and comprehensive studies, including those related to several
conclusions of the following rules. 1. The principle of benefit must be present in every policy
formulated by the government because human benefit is a human right that must be realized
in the life of every society. This principle of benefit can be found in the Koran. This is
intended to harmonize the government’s legal provisions and ensure that it must be in line
with the interests and benefits of human beings that must be protected. 2. Implementing a
policy must be oriented towards the basic principle of taking the smallest risk of ugliness
compared to achieving a goal of benefit. 3. In the Islamic economic concept, money only
functions as a medium of exchange and is not a commodity, so money cannot be traded and
cannot be used as goods to be stockpiled or stored, it must always be circulated in society. 4.
In search of wealth, Islam forbids all forms of gambling, because in the practice of gambling
there is a mudharat greater than the meager benefit.
Keyword: al-Qawa'id al-Fiqhiyyah Al Iqtishadiyyah, Islamic Public Policy

1
PENDAHULUAN
Kaidah fikih merupakan salah satu metode penetepan hukum dalam sisitem
penemuan hukum baru dalam khazanah hukum Islam. Kaidah fikih tidak hanya
berbicara tentang kaidah-kaidah pokok yang disepakati oleh para ulama tetapi kaidah fikih
juga membahasa tentang persoalan-persoalan khususiyah dan persoalan-persoalan
umuiyyah yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat islam.
Islam sangat memperhatikan perekonomian umatnya, hal ini dapat dilihat dari
banyaknya ayat-ayat Alquran, sunah, mau pun ijtihad para ulama yang berbicara tentang
perekonomian (muamalah). Bahkan menurut Muhammad Ali al-Sayid dalam Tafsir ayat al-
Ahkam sebagaimana yang dikutip oleh syamsul hilal bahwaayat yang terpanjang
dalamAlquran justru Berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah mahdhah
atau akidah.
Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah al-Baqarah, menurut Ibn
Arabiayat ini mengandung 52 hukum ekonomi. Akan tetapi al-quran dan hadits hanya
menentukan garis-garis besarnya saja berbeda dengan bidang ibadah mahdhah dan hokum
keluarga islam yang memberikan aturannya dengan rinci.
Sangat logis apabila dalam bidang fiqh muamalah yang ruang lingkup ijtihad menjadi
sangat luas dan materi-materi fiqh sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak. Tampaknya,
hal ini terkait erat dengan fungsi manusia yang selain hamba Allah juga sebagai khalifah Di
mukabumi. Usaha-usaha manusia yang berhubungan dengan barang dan jasa banyak sekali.
Dalam transaksi saja para ulama menyebut tidak kurang dari dua puluh lima macam
transaksi. Dengan demikian, sudah barang tentu sekarang ini dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan masyarakat yang semakin meningkat, akan
melahirkan model-model transaksi baru yang membutuhkan penyelesaiannya dari sisi hokum
Islam. Penyelesaian yang di satu sisi tetap islami dan di sisi lain mampu menyelesaikan
masalah kehidupan yang nyata. Di antara caranya adalah dengan menggunakan kaidah-
kaidah fiqh. Kaidah-kaidah fiqh di bidang Mu’amalah mulai dari kaidah pokok dan
cabangnya, kaidah umum dan kaidah khusus.
PEMBAHASAN
Kaidah 1
‫تصرف اإلمام على الرعٌية منوط بالمصلحة‬
Terjemahnya:
Kebijakan Seorang Pemimpin terhadap yang di pimpinnya harus mengacu pada
terwujudnya Manfaat
a. Deskripsi Kaidah
Kaidah ini dapat diartikan dengan segala tindakan atau kebijakan seorang Imam
(pemimpin) terhadap subjek maupun objek hukum yang berada di bawah
kepemimpinannya, di mana kepemimpinannya tersebut harus mengacu pada terwujudnya
manfaat dalam kebijakannya, baik berupa manfaat duniawi maupun manfaat ukhrawi.
2
Abdul Mujib berkata, Tindakan dan kebijakan yang ditempuh oleh pemimpin atau
penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri
sendiri1.
Para ulama lebih banyak berbicara tentang imamah Ketika membahas masalah
kepemimpinan dan masalah yang terkait dengannya, bahwa kepemimpinan itu
merupakan tugas atau amanah bagi seorang pemimpin. Hal itu tentu saja sangat bisa
dimaklumi, mengingat seorang imam hanyalah aktor utama dari tugas imamah yang
tersebut. Di antara definisi imamah adalah apa yang disebutkan oleh Ibn Khaldun yang
mengatakan bahwa imamah adalah pengganti peran dari pemilik syari’at dalam menjaga
agama dan dunia.2 Imam al-Mawardi juga mengatakan bahwa imamah atau
kepemimpinan adalah penggantian peran kenabian dalam menjaga agama dan dunia.3
Dalam pandangan ulama lainnya, kebanyakan dari mereka mengatakan hal yang sama
tentang pengertian imamah tersebut bahwa pada intinya tugas seorang pemimpin itu
adalah untuk mewujudkan dan menegakkan kemaslahatan rakyat. Definisi lain,
sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hilli, al-Ashbahani, dan al Qausyaji antara lain
adalah:4
1. Seorang pemimpin adalah figur umum yang akan diikuti dan menjadi panutan bagi
orang yang berada di bawah kepemimpinannya.
2. Ketika seorang pemimpin adalah panutan, maka ia harus bisa memberikan contoh
terbaik, baik dalam menjalankan perintah maupun meninggalkan larangan, dan
3. Seorang pemimpin adalah orang yang menguasai agama sekaligus mengetahui
tentang pengaturan dan tata kelola masalah kehidupan dunia
Kaidah ini bisa diartikan bahwa keputusan seorang pemimpin suatu pemerintahan
haruslah selalu berorientasikan kepada kebaikan masyarakat karena seorang pemimpin
merupakan orang yang memiliki kekuasaan terhadap yang dipimpinnya. Salah satu bentuk
kekuasaan yang diperoleh oleh seorang pemimpin adalah memutuskan suatu perkara atau
menentukan sebuah kebijakan. Jika kita berpegang kepada kaidah di atas, maka apa yang
akan diputuskan oleh seorang pemimpin atau kebijakan apa yang akan diambil haruslah
memiliki orientasi yang baik, yang membawa kemashlahatan kepada yang dipimpinnya.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa kaidah ini merupakan kaidah fikih yang
mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan antara
seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin. Lebih jauh dari sekedar
pengetian retorik tersebut, maka ada pengertian yang lebih luas adalah segala aspek
kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu kelompok atau golongan tertentu
harus ditetapkan dengan mekanisme musyawarah. Hal ini sebagai terjemahan dari pernyataan
kaidah tersebut yang menekankan pada aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah

1
H. Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fikih (Jakarta: Kalam Mulia 2005), h. 61.
2
Abd al-Rahman bin Muhammad bin Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Riyādh: Dār ‘Alam al-Kutub,
1996), h. 337
3
Ali bin Muhammad bin Muhammad al-Māwardi, al-Ahkām al-Sulthāniyyah (Kairo: Dâr al-Hadīs, tt),
h. 3.
4
Lihat Al-Hilli, al-Ashbahani, dan al-Qausyaji dalam Kitab Rusydi ‘Ulyan, al-Islam wa al-Khilafah
(Baghdād: Dār al-Salām, 1976), h. 19.
3
adalah salah satu bentu yang riil untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk
bersama.
b. Implementasi Kaidah
Prinsip kemaslahatan harus ada dalam setiap kebijakan yang dirumuskan oleh
pemerintah, karena kemaslahatan manusia merupakan hak azasi yang yang harus diwujudkan
dalam kehidupan setiap masyarakat. Prinsip kemaslahatan ini dapat ditemukan di dalam
Alquran maupun dalam sejarah Islam. Hal ini dimaksudkan untuk menyelaraskan ketetapan-
ketetapan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah harus sejalan dengam kepentingan dan
kemaslahatan manusia yang harus tetap dilindungi.
Sebagai sebuah teori hukum Islam, maka kaidah ini senantiasa memperhatikan
berbagai kemaslahatan masyarakat. Jika kemaslahatan itu bertentangan dengan satu sama
lain, maka didahulukan kemaslahatan umum dari pada kemaslahatan pribadi dan diharuskan
menolak kemudaratan yang lebih besar dengan jalan meninggalkan dan melaksanakan yang
lebih sedikit mudaratnya.5 Setidaknya ada dua hal yang menjadi inti dari kemaslahatan yang
terkandung dalam kaidah ini, yaitu pencapaian dalam menarik kemanfaatan dan mencegah
kemudaratan.6 Perbuatan masyarakat akan memiliki nilai jika mengarah kepada upaya
dengan sadar untuk menemukan kebaikan dibalik proses menarik manfaat dan menghindari
keburukan dalam proses menghindari kerusakan.7
Kemasalahatan pokok mencakup lima hal (al-kulliyat al-khams) yang dipandang oleh
para ulama sebagai landasan dasar tujuan syariat yang harus dijaga. Kelima landasan dasar
itu adalah perlindungan terhadap agama, perlindungan terhadap jiwa, perlindungan terhadap
akal, perlindungan terhadap keturunan dan perlindungan terhadap harta.8
Sebagai seorang pemimpin negara, nabi telah mengatur dengan baik kemaslahatan
antar agama dengan membiarkan non muslim melaksanakan ibadah mereka di masjid rasul
tatkala rasul akan menerima mereka dan waktu ashar telah masuk. Mereka kemudian berdiri
melaksanakan sembahyang ala mereka dengan menghadap ke timur. Rasulullah kemudian
membiarkan non muslim tersebut dan melarang sahabat untuk mencegahnya.9
Untuk perlindungan terhadap jiwa, seorang pemimpin negara harus menjamin dan
memberikan perlindungan terhadap jiwa masyarakat, mulai dari pengaturan hukum seputar
menggugurkan janin atau aborsi, aturan hukum membunuh orang orang kafir ẓimmi sampai
pada pengaharaman pembunuhan secara umum. Atas dasar perlindungan terhadap jiwa, maka
perbuatan masyarakat dalam hal pembunuhan dikategorisasi menjadi 3 bagian besar, yaitu
pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja dan pembunuhan karena khaṭa atau
kesalahan. Seluruh bentuk perbuatan membunuh ini akan mendapatkan ganjaran, mulai dari
yang terkecil hingga terbesar yaitu Qishash. Ganjaran yang terdapat dalam hudūd

5
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an, Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Alquran (Cet; ke-
3; Jakarta: Piramida, 2005), h. 216-217
6
Al-Syātibī, Abu Ishaq. al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah (Juz II; Beirut: Dār al-Ma’rifah, t.th), h. 13
7
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 186-187
8
Muhammad Amin bin Muhammad Mukhtar al-Juknīy al-Syanqiṭīy, al-Maṣālih al-Mursalah (Saudi
Arabiyah; Al-Jāmi’ah al-Madinah al-Munawwarah, 1410 H.), h. 4
9
Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqāṣid al-Syarī’at Fī al-Islām, terj. oleh Khikmawati dengan judul
Maqashid Syariah (Jakarta: AMZAH, Cet. I, 2009), h. 4
4
memberikan jaminan bahwa proses perlindungan jiwa dalam posisi sangat penting sehingga
memungkinkan orang yang membunuh pun hukumannya bisa juga dibunuh.
Demikian pula dengan menjaga dan melindungi akal, seorang pemimpin negara harus
menjamin keselamatan akal masyarakat oleh karena dalam Islam akal itu menempati posisi
yang sangat eksklusif sehingga untuk kondisi tertentu, agama tidak memiliki yurisdiksi
menerapkan hukum atas akal. Menjadi seorang subjek hukum yang mampu bertindak secara
hukum, maka seorang pimimpin negara harus mampu mewujudkan perlindungan terhadap
akal dengan memberi jaminan kepada masyarakat untuk memelihara akal yang diciptakan
Allah Swt., karenanya setiap orang harus menjaga akalnya dengan mengasah dan
meningkatkan kualitasnya akalnya dengan cara menuntut ilmu oleh karena menuntut ilmu itu
merupakan perbuatan baik yang diperintahkan Allah.10
Kemaslahatan terakhir yang harus dilindungi oleh seorang pemimpin negara adalah
menjaga perbuatan masyarakat untuk tidak mengadakan transaksi dalam bentuk jual-beli
yang dapat menimbulkan mudarat bagi orang lain, oleh karena menjaga dan melindungi
aktivitas masyarakat merupakan sebuah wujud kepedulian seorang pemimpin negara dalam
melindungi harta rakyatnya dengan melarang manusia mencuri, menghukum orang yang
mencuri dan memperbolehkan manusia untuk bertransaksi secara syar’i. 11
Dalam konteks bernegara, maka kaidah ini sangat relevan jika dikaitkan dengan
kebijakan seorang kepala negara dalam mengusulkan perundangundangangan. Dalam
konteks negara Indonesia, ada banyak kebijakan-kebijakan pemerintah dewasa ini yang
mendapatkan penolakan oleh masyarakat disebabkan peraturan perundang-undangan tersebut
tidak memihak kepada masyarakat atau dengan kata lain, prodak perundangan-undangan
tersebut tidak mewujudkan kemamaslahatan bagi masyarakat secara umum, bahkan
sebaliknya, prodak perundang-undangan tersebut lebih memihak kepada kepentingan
golongan tertentu. Padahal prinsip dasar yang dikandung kaidah ini dalah agar setiap
kebijakan pemerintah harus berlandaskan dan bernafakan pada kemaslahatan masyarakat
umum.12
Kaidah 2
‫ح‬ َ ‫ب ا ْل َم‬
ِ ‫صا ِل‬ ِ ‫علَى َج ْل‬ ِ ‫د َْر ُء ا ْل َمفَا‬
َ ‫س ِد ُمقَ َّد ٌم‬
Terjemahnya:
Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan
a. Deskripsi Kaidah
Syariat datang untuk menarik maslahah dan menolak mafsadah. Jika mafsadah
dan maslahah bertentangan, maka menolak mafsadah itu didahulukan, sebab
penjagaan dari Mafsadah itu jauh lebih penting. Hilangnya mafsadah sesungguhnya

10
Ahmad Musyahid Idrus, Kebijakan pemimpin negara dalam perspektif kaidah fiqih; Tasarruf al-imaam
bilmashlahah, Jurnal aldaulah, Vol. 10 / No.2 / Desember 2021 h. 123.
11
Ibid. h. 124.
12
Ibid. h. 135.
5
secara otomatis akan mendapatkan maslahah juga. Meskipun mungkin bukan
maslahah yang dituju awalnya.13
Dalil kaidah ini adalah, Firman AllahSWT:

‫سبُّواْ ٱللَّهَ ع َۡد َۢ َوا بِغَ ۡي ِر ِع ۡلم‬


ُ َ‫سبُّواْ ٱلَّذِي َن يَ ۡدعُو َن ِمن دُو ِن ٱللَّ ِه فَي‬
ُ َ ‫َو ََل ت‬
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am
[6]:108)
Allah mengharamkan memaki sembahan-sembahan orang-orang musyrik,
padahal memaki sembahan mereka termasuk marah karena Allah dan merendahkan
karena Allah serta sebagai bentuk penghinaan kepada sembahan-sembahan mereka.
Hal itu dilarang karena dapat menjadi alasan bagi mereka untuk memaki Allah ta’ala.
Maka manfaat menghilangkan cacian terhadap Allah lebih besar daripada manfaat
yang kita dapatkan dari mencaci sembahan-sembahan mereka.14
Dan juga Hadis, Disebutkan dalam hadits A’isyah, sesungguhnya Nabi SAW
bersabda:

َ ِ ‫عاِئشَةُ لَ ْو ََل أ َ َّن قَ ْو َمكَ َح ِد ْيث ُ ْوا عَ ْه ٍد بِ َجا ِه ِليَّ ٍة ََل َ َم ْرتُ بِا ْلبَ ْي‬
َ ‫ت فَ ُه ِد َم فَأ َ ْد َخ ْلتُ فِ ْي ِه َما أ ُ ْخ ِر‬ َ ‫يَا‬
‫ض‬ َ ْ ْ َ
ِ ‫ِم ْنهُ َوأل َزقتُهُ بِ ْاَل ْر‬
Terjemahnya:
“Wahai ‘Aisyah, seandainya bukan karena suku bangsamu baru saja
meninggalkan masa jahiliah, niscaya aku akan memerintahkan agar baitullah
dirobohkan, lalu aku akan memasukkan apa yang telah dikeluarkan darinya,
kemudian aku akan meratakannya dengan tanah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas, yang menunjukkan makna kaidah di
atas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kemaslahatan
membangun kembali Al-Baitul ‘Atiiq (Ka’bah) berdasarkan dasar bangunan (fondasi)
Ibrahhim ‘Alaihissalaam karena untuk menghindari mafsadat (keburukan) yang
dikhawatirkan terjadi apabila Ka’bah tetap dihancurkan lalu dibangun kembali.
Keburukan itu adalah manusia akan membeci Islam atau mereka akan murtad

13
Thalhah, T. (2014). Kaidah Fiqhiyah Furu’iyah: Penerapannya Pada Isu Kontemporer. Jurnal Tahkim, X (1),
67-88
14
Abdusalam bin salim as-suhaimi dalam Beberapa Kaidah dalam Manhaj Salaf #2 - Belajar Islam (belajar-
islam.net) di akses pada 09 Desember 2022.
6
disebabkan penghancuran Ka’bah. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendahulukan mencegah mafsadat ini daripada mengambil maslahat. 15
b. Implementasi Kaidah
Penerapan kaidah di lembaga keuangan syariah di antaranya adalah sebagai
berikut:
1. Bank syariah dapat mengalami kekurangan likuiditas disebabkan oleh perbedaan
jangka waktu antara penerimaan dan penanaman dana, atau kelebihan likuiditas
yang dapat terjadi karena dana yang terhimpun belum dapat disalurkan kepada
pihak yang memerlukan.
2. Dalam rangka peningkatan efisiensi pengelolaan dana, bank yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah memerlukan adanya pasar uang antar
bank yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah(PUAS).
3. Instrumen PUAS yang diatur oleh BI adalah Sertifikat Investasi Mudharabah
Antar bank Syariah (Sertifikat IMA), yaitu suatu instrumen yang digunakan oleh
bank-bank syariah yang kelebihan dana untuk mendapatkan keuntungan dan di
lain pihak sebagai sarana penyedia dana jangka pendek bagi bank-bank syariah
yang kekurangan dana. Sertifikat ini berjangka waktu 90 hari diterbirkan oleh
kantor pusat bank syariah dengan format dan ketentuan standar yang ditetapkan
oleh BI.16
Implementasi dalam bidang lain, dalam tradisi kehidupan sehari-hari, kita
biasa bersilaturrhmi mengunjungi tetangga atau kerabat, menghadiri pengajian, rapat
kampung dan sebagainya. Dalam kegiatan silaturrahim itu sudah barang tentu banyak
maslahatnya, sebagaimana ditunjukkan hadits, bahwa dengan sillaturrahim akan
dimudahkan rizki dan diperpanjang umur, dalam kegiatan pengajian kita akan
mendapat tambahan ilmu pengetahuan, dalam rapat kampung kita bisa urun rembug
dalam pengelolaan kampung.
Kaidah di atas memberikan pemahaman bahwa dalam kondisi covid -19
penyelamatan nyawa akibat manusia dari berkontak langsung lebih diutamakan dari
pada memperoleh manfaat yang diperoleh dari berbagai kegiatan tadi. Namun jika
bersilaturrahim atau menghadiri pengajian dan hadir di rapat kampung ada kondisi
tertentu yang mengharuskan dilaksanakan, maka pelaksanaan protokol kesehatan dan
pengurangan jumlah masa yang hadir atau penggunaan IT seperti zoom adalah salah
satu alternatif yang perlu diupayakan.
Penekanan pada kalimat awal melahirkan asumsi tentang langkah preventif
lebih dominan. Jika di satu sisi ijtima’ jama’ah dianggap bermanfaat maka pada sisi
lain terdapat mudharat yang sangat berbahaya karena terkait dengan persoalan hidup.

15
Ibid
16
Danang Damar, dalam
https://www.academia.edu/38737938/KAIDAH_KAIDAH_FIKIH_QAWAID_FIQHIYYAH_Tim_DSN_MUI_INSTIT
UT di akses pada 06 Desember 2022
7
Al syatibi dalam al maqashid al syari’ah (tujuan penetapan syari’ah) menyebutnya,
pemeliharaan atas jiwa (‫)المحافظة علي النفس‬.17
Sumber dari al qaidah al kulliyah ini adalah QS. al Baqarah: 195
ِ ‫سنُ ٓو ۟ا ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُ ِح ُّب ٱ ْل ُم ْح‬
َ‫سنِين‬ ۟ ُ‫سبِي ِل ٱللَّ ِه َو ََل ت ُ ْلق‬
ِ ‫وا ِبأ َ ْيدِي ُك ْم إِلَى ٱلت َّ ْهلُ َك ِة ۛ َوأ َ ْح‬ ۟ ُ‫َوأَن ِفق‬
َ ‫وا فِى‬
Terjemahnya:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”18
Ekonomi umat anjlok akibat turunnya daya beli yang berefek pada turunnya
produktifitas, kelangkaan barang berbarengan dengan turunnya daya beli sehingga akan
terjadi inflasi secara drastis, peta kemiskinan global kian menggurita hingga anjloknya
nilai mata uang rupiah tak terelakkan.
Fenomena ini pun turut mempengaruhi sosial budaya. Masyarakat yang begitu
ramah, perlahan menutup diri terhadap individu lainnya, kekhawatiran akan penularan
virus covid 19 memaksa untuk menjaga jarak, budaya jabat tangan (‫ )التصافح‬berubah
dengan saling membenturkan siku, tidak jauh beda dengan peragaan tekhnik seni bela
diri. Mata rantai dengan multi efek tersebut memaksa pemerintah untuk mengeluarkan
kebijakan political orientid tentang social distancing, sistem pembelajaran tatap muka
sebagai transfer knowlige dan skill berubah dengan bentuk online. Keyakinan akan
transfer barakah melalui tatap muka dalam sistem pembelajaran pun digiring pada
pemaknaan kontekstual.
Akhirnya segala bentuk ikhtiar telah dilakukan, bukan sekedar eksperimen semata
melainkan atas dasar manfaat dan mudharat. Jika dua mudharat diperhadapkan maka
pilihlah yang paling ringan, selanjutnya tekadkan tekad dan bertawakal kepada Allah
swt.19 Allah berfirman dalam QS. Ali Imran: 159
َ‫ب ٱ ْل ُمت َ َو ِك ِلين‬ َ ‫فَ ِإذَا ع ََز ْمتَ فَت َ َو َّك ْل‬
ُّ ‫علَى ٱللَّ ِه ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُ ِح‬
Terjemahnya:
Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.20

17
Syihabuddin Qalyubi, 2020 dalam https://uin-suka.ac.id/id/kolom/detail/74/melonjaknya-covid-19-dan-
fleksibilitas-kita-beragama di akses pada 06 Desember 2022
18
Al-Qur’an Terjemah; Kementerian Agama RI 2009
19 Agus Muchsin, Maret 2020 dari https://www.iainpare.ac.id/social-distancing-strategi-multi-efek/ di akses

pada 05 Desember 2022


20
AlQur’an terjemah Kemenag RI
8
Kaidah 3
‫النقود آلةُ التبادُل المالى‬
Terjemahnya:
Uang adalah sebagai alat Penukar
a. Deskripsi Kaidah
Secara etimologi kata al-naqdu-nuqud dalam ekonomi islam di artikan sebagai
uang. Pengertiannya ada beberapa makna, yiatu al-naqdu yang berarti yang baik dari
dirham, menggenggam dirham, dan al-naqdu juga berarti tunai. Kata nuqud tidak
terdapat dalam al-Qur‟an dan hadist karena bangsa arab umumnya tidak menggunakan
nuqud untuk menunjukkan harga.21
Defenisi nuqud menurut Abu Ubaid (wafat 224 H), dirham dan dinar adalah nilai
harga seseuatu sedangkan segala sesuatu tidak bisa menjadi harga bagi keduanya, ini
berarti dinar dan dirham adalah standar ukuran yang dibayarkan dalam transaksi barang
dan jasa. Al-Ghazali (wafat 505 H) menyatakan, Allah menciptakan dinar dan dirham
sebagai hakim penengah diantara seluruh harta sehingga seluruh harta bisa bisa diukur
dengan keduanya. Ibn al-Qayyim (wafat 751 H) berpendapat, dinar dan dirham adalah
nilai harga barang komoditas. Ini mengisyaratkan bahwa uang adalah standar unit ukuran
untuk nilai harga komoditas.22
Dalam pandangan ekonomi silam, uang adalah standar kegunaan yang terdapat
pada barang dan tenaga. Uang didefenisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk
mengukur tiap barang dan tenaga. Misalkan harga adalah standra untuk barang,
sedangkan upah adalah standar untuk manusia, yang masing-masing merupakan
perkiraan masyarakat terhadap nilai barang dan tenaga orang. Perkiraan nilai-nilai barang
dan jasa ini dinegeri manapun dinyatakan dengan satuan-satuan, maka satuan satuan
inilah yang menjadi standar yang dipergunakan untuk mengukur kegunaan barang dan
tenaga yang kemudian menjadi alat tukar (medium of exchange) dan disebut dengan
satuan uang (Taqiyuddin An-Nabhani,2000: 297).
b. Implementasi Kaidah
Implementasi dalam konsep Islam, uang adalah flow concept. Islam tidak
mengenal motif kebutuhan uang untuk spekulasi karena tidak di bolehkan. Uang adalah
barang public, milik masyarakat. Karenanya, penimbunan uang yang dibiarkan tidak
produktif berarti mengurangi jumlah uang beredar. Bila diibaratkan dengan darah dalam
tubuh, perekonomian akan kekurangn darah atau terjadi kelesuan ekonomi alias stagnasi.
Itulah hikmah dilarangnya meninbun uang (Adiwarman Aswar karim, 2001: 21)
Seorang ulama islam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin”
telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, uang berfungsi

21
Rozalinda, Ekonomi Islam; teori dan aplikasinya pada aktivitas ekonomi, Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2015, h. 279.
22
Ahmad Hasan, Mata Uang Islami; telaah komphrehensif sistem keuangan islami, Jakarta: 2005, h. 5- 8
9
sebagai media pertukaran, namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.
Maksudnya adalah uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai
yang wajar dari pertukaran tersebut. Dan uang bukan merupakan sebuah komoditi.
Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat
merefleksikan semua warna. Maknanya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi
merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah ekonomi Islam klasik disebutkan
bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility funvtion), yang artinya
adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan
memberikan kegunaan (Adiwarman Aswar Karim, 2001: 21).
Uang adalah alat tukar menukar yang digunakan setiap individu untuk transaksi
barang dan jasa. Misalseseorang yang memiliki beras untuk dapat memenuhi
kebutuhannya terhadap lauk pauk maka ia cukup menjual berasnya dengan menerima
uang sebagai gantinya, kemudian ia dapat membeli lauk pauk yang ia butuhkan.
Begitulah fungsi uang sebagai media dalam setiap transaksi dalam rangka pemenuhan
kebutuhan hidup manusia.23
Kondisi ini jelas berbeda dengan system barter tempo dulu, jika orang yang
memiliki beras menginginkan lauk pauk maka ia harus mencari orang yang memiliki lauk
pauk yang membutuhkan beras. Jelas ini system yang sangat rumit. Fungsi uang sebagai
media pertukaran dalam setiap kegiatan ekonomi dalam kehidupan modern ini menjadi
sangat penting. Karena seseorang tidak dapat memproduksi setiap barang kebutuhan
hariannya, karena keahlian manusia itu berbeda-beda, disinilah uang memegang peranan
yang sangat penting agar manusia itu dapat memenuhi kebutuhan dengan mudah. Uang
menjadi media transaksi yang sah yang harus di terima oleh siapa pun bila ia ditetapkan
oleh Negara.24
Kaidah 4
‫النقود لٌيست سلعة‬
Terjemahnya:
Uang bukanlah komoditas
a. Deskripsi Kaidah
Dalam Islam, uang dipandang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Peranan
uang ini dimaksudkan untuk melenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan pengisapan
dalam ekonomi tukar-menukar (barter). Karena dalam system barter ada unsure
ketidakadilan yang digolongkan sebagai riba al Fadhl, yang dilarang dalam islam. Uang
dapat memainkan peranan penting sebagai suatu unit akun dan sebagai suatu kumpulan
nilai dalam ekonomi islam. Uang dapat digunakan sebagai ukuran opportunity cost (yaitu
pendapatan yang hilang). Disamping itu, uang juga memainkan peranan social dan
religious yang khusus, karena ia merupakan ukuran terbaik untuk menyalurkan daya beli

23
Rahmat Ilyas, Konsep Uang dalam Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal bisnis dan Manajemen Islam Vol. 4 No.1
Juni 2016 h.43
24
Ibid. h.45
10
dalam bentuk pembayaran transfer kepada simiskin. Arti religious peranan uang terletak
pada kenyataan bahwa ia memungkinkan menghitung nisab dan menilai suku zakat
dengan tepat. Sebagai fungsi sosial uang menahan atau mencegah eksploitasi terbuka
yang terkandung dalam keadaan tawar-menawar.25
b. Implementasi Kaidah
Uang adalah satuan nilai atau standar ukuran harga dalam transaksi barang dan
jasa. Ini berarti uang berperan menghargai secara aktual barang dan jasa. Dengan adanya
uang sebagai satuan nilai memudahkan terlaksanakanya transaksi dalam kegiatan
ekonomi masyarakat. Al-Ghazali berpendapat uang adalah ibarat cermin. Dalam arti uang
berfungsi sebagai ukuran nilai yang dapat merefleksikan harga benda yang ada
dihadapannya.
Nilai suatu barang dapat dengan mudah dinyatakan yaitu dengan menunjukkan
jumlah uang diperlukan untuk memperoleh barang tersebut. Misalnya harga sepatu
adalah Rp. 50.000,- , sedangkan harga baju adalah Rp. 25.000,-. Disinilah pentingnya
nilai harga yang berlaku untuk mengukur nilai barang harus bersifat spesifik dan akurat,
tidak naik dan tidak turun dalam waktu seketika dan tidak berubah-ubah dalam waktu
seketika. Seperti yang ditegaskan Ahmad Hasan bahwa uang sebagai standar nilai harus
memiliki kekuatan dan daya beli yang bersifat tetap agar bisa berfungsi sebagaimana
mestinya.
Dalam Islam, seseorang memiliki uang karena motif spekulasi dilarang karena
uang menurut Islam hanya sebagai alat tukar menukar dan sebagai standar nilai. Sehingga
al-Ghazali berpendapat perdagangan uang dengan uang terlarang karena akan
memenjarakan fungsi uang sebagai alat pertukaran, jika suatu uang dapat membeli atau
dibeli dengan uang lain, maka uang berarti tidak lagi berfungsi sebagai alat tukar tapi
sebagai komoditi, padahal itu dilarang dalam Islam. Berpijak dari teorinya tentang fungsi
uang sebagai alat tukar, Ibn Tamiyah pun sangat menentang perdagangan uang, karena
tindakan ini menurutnya akan menghilangkan fungsi uang itu sendiri. Perdagangan mata
uang berarti membuka pintu kezaliman seluas-luasnya bagi penduduk. Namun ia
membolehkan akan pertukaran uang (valas), dengan syarat dalam transaksi ini ada
taqabul (pergerakan atau serah terima) uang yang dipertukarkan dan tidak ada hulul
(penundaan) pembayaran.

Kaidah 5
‫طلب النقود للمقامرة محظور‬
Terjemahnya:
Mencari Uang dengan cara berjudi itu di larang

25
Abdul Mannan, Ekonomi Islam; dari Teori Ke Praktek, Jakarta:Dana Bhakti Prima, 2005 h. 162-165.

11
a. Deskripsi Kaidah
Judi dimaknai dengan mendapatkan sesuatu atau keuntungan dengan sangat
mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Istilah lain yang
digunakan dalam al-Quran adalah kata `azlam` yang berarti praktek perjudian. Senada
dengan di atas maisir adalah suatu permainan yang menempatkan salah satu pihak harus
menanggung beban pihak lain. Maisir mengandung beberapa pengertian di antaranya:
lunak, tunduk, keharusan, mudah, gampang, kaya, membagi-bagi, dan lain lain. Dengan
pengertian bahwa maisir/judi merupakan upaya dan cara untuk mendapatkan rezeki
dengan mudah, tanpa susah payah. Judi berbeda dengan spekulasi dan investasi walaupun
di dalamnya sama-sama ada resiko dan keuntungan. Al-Quran menjelaskan pengharaman
maisir (judi) dalam tiga ayat yaitu QS. Al-Baqarah 219, QS. Al- Maidah 90, dan 91, yang
ketiganya menunjukan pentahapan pelarangan (pengharaman) judi. Al-Qur’an
menyebutkan bahwa judi memiliki manfaat dan madharat, tetapi madharatnya jauh lebih
besar dibanding manfaatnya. Hal ini sangat relevan dengan sudut pandang ekonomi;
bahwa perjudian tidak meningkatkan pertumbuhan ekonomi, karena sebenarnya judi
tidak menghasilkan output, yang terjadi hanya perpindahan uang dan barang antar
individu. Lebih jauh, judi hanya menghabiskan tenaga dan waktu para pelakunya. Judi
dalam keadaannya yang seperti ini (killing time), maka ia secara agregat sangat
mengurangi pendapatan nasional sebuah negara. 26
b. Implementasi Kaidah
Berdasar pada QS. Al-Baqarah: 219, disebutkan bahwa di dalam perjudian ada
manfaat dan madharat, akan tetapi madharatnya lebih besar dari manfaatnya, maka hal ini
juga selaras dengan analisis dalam perekonomian. Disebutkan bahwa maisir/judi
memiliki dampak positif dan negatif. Di antara dampak positif dari perjudian adalah:
1) Peningkatan ekonomi: tempat perjudian wajib membayar pajak kepada negara,
maka secara otomatis akan meningkatkan pendapatan negara. Selain itu
dibukanya tempat perjudian akan mendatangkan wisatawan mancanegara ke
Indonesia. Dibukanya tempat perjudian akan membuka lowongan pekerjaan,
berakibat pada penurunan angka pengangguran.
2) Pendapatan keluarga: apabila ada seorang anggota keluarga yang bisa bermain
judi secara professional dan mahir, serta dia sukses secara ekonomi. Pasti
pendapatan keluarga tersebut juga akan meningkat.
3) Hiburan: dengan dilegalkannya perjudian, maka ini akan menjadi tempat hiburan
yang sebenarnya, dan menghilangkan stress serta kecemasan.
Sedang dampak negatif dari maisir/judi adalah:
1) Masalah keuangan: permainan judi dilakukan dengan mempertaruhkan sejumlah
dana yang cukup besar, karena permainan ini sifatnya untung-untungan dan
sangat berisiko, mereka yang tidak beruntung akan kehilangan semua dananya.

26
Dewi Laela Hilyatin, Larangan Maisir dalam Al-Quran dan Relevansinya dengan
Perekonomian. MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, 6(1), 16-29
12
Herannya lagi mereka yang sudah kalah tidak menyerah untuk mencoba
keberuntungan itu, akibatnya jika tetap tidak beruntung maka kerugian yang
ditanggung sangat besar.
2) Ketergantungan/Kecanduan: permainan judi memberikan efek ketergantungan,
seperti meminum alkohol. Apalagi bagi mereka yang sudah pernah menang.
Bermain judi membuat si pemain ketagihan, dan parahnya lagi mereka sangat
yakin bahwa suatu saat mereka pasti akan menang walaupun sudah pernah kalah
dan kehilangan semua hartanya.
3) Tingkat Kejahatan: di daerah yang banyak permainan judinya, biasanya tingkat
kejahatannya juga meningkat. Pemain yang kalah karena frustasi mereka akan
memberikan efek domino kejahatan kejahatan lain di sekitarnya. Pemain yang
menang akan berusaha menyuap aparat atau pemerintah untuk melegalkan
permainan judi di daerahnya.
Kemudian dalam QS. Al-Maidah: 90-91, disebutkan bahwa maisir/perjudian
adalah termasuk perbuatan syaitan yang tujuannya adalah untuk menebar kebencian dan
memicu permusuhan. Hal ini juga selaras dengan fakta di lapangan. Selama ini, perjudian
identik dengan kejahatan. Para pelaku judi (khususnya mereka yang kalah) seringkali
melakukan perbuatan nekad, seperti merampok dan bahkan bunuh diri. Dalam sejarah
perjudian tidak ada orang kaya karena berjudi, yang terjadi justru sebaliknya, orang
menjadi miskin karena berjudi. Seharusnya mereka membelanjakan hartanya untuk
kebaikan, bukan untuk berbuat keburukan misal menggunakan hartanya untuk berjudi.27
KESIMPULAN
Prinsip kemaslahatan harus ada dalam setiap kebijakan yang dirumuskan oleh
pemerintah, karena kemaslahatan manusia merupakan hak azasi yang harus diwujudkan
dalam kehidupan setiap masyarakat. Prinsip kemaslahatan ini dapat ditemukan di dalam
Alquran. Hal ini dimaksudkan untuk menyelaraskan ketetapan-ketetapan hukum yang
ditetapkan oleh pemerintah harus sejalan dengam kepentingan dan kemaslahatan manusia
yang harus dilindungi. Dalam Menerapkan suatu kebijakan harus berorientasi pada
meminimalisir risiko keburukan di bandingkan menerapkan tujuan kemashlahatan.
Dalam konsep ekonomi islam, uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan bukan
merupakan komoditas, sehingga uang tidak dapat di perjualbelikan dan tidak dapat di
jadikan barang untuk di timbun atau di simpan, harus selalu di sirkulasikan di
masyarakat. Kemudian dalam mencari harta kekayaan Islam melarang segala bentuk
perjudian, karena di dalam praktik judi terdapat mudharat yang lebih besar dari
manfaatnya yang sedikit.

27
Ibid., h. 26.

13
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqāṣid al-Syarī’at Fī al-Islām, terj. Oleh Khikmawati
dengan judul Maqashid Syariah (Jakarta: AMZAH, Cet. I, 2009), h. 4
Al-Qur’an Terjemah, Kementerian Agama RI, 2009
Al-Syātibī, Abu Ishaq. al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah (Juz II; Beirut: Dār al-Ma’rifah,
t.th), h. 13
Budiono, A. (2017). Penerapan prinsip syariah pada lembaga keuangan syariah. Law and
Justice, 2(1), 54-65.
Elvira, R. (2014). Pandangan Ekonomi Islam Terhadap Nilai Waktu Uang. JURNAL
ILMIAH MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi, dan Keagamaan, 1(2).
Endriani, S. (2015). Konsep Uang: Ekonomi Islam vs Ekonomi Konvensional. Anterior
Jurnal, 15(1), 70-75.
Hilyatin, D. L. (2021). Larangan Maisir dalam Al-Quran dan Relevansinya dengan
Perekonomian. MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, 6(1), 16-29.
Idrus, A. M. (2021). KEBIJAKAN PEMIMPIN NEGARA DALAM PERSPEKTIF
KAIDAH FIKIH: TASARRUF AL-IMAM MANUTUN BIL MASLAHAH. Al
Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, 123-137.
Ilyas, R. (2016). Konsep Uang Dalam Perspektif Ekonomi Islam. BISNIS: Jurnal Bisnis
Dan Manajemen Islam, 4(1), 35-57.
Iqbal, M. (2019). Konsep uang dalam Islam. Al-Infaq: Jurnal Ekonomi Islam, 3(2), 294-
217.
Muhammad Amin bin Muhammad Mukhtar al-Juknīy al-Syanqiṭīy, al-Maṣālih al-
Mursalah (Saudi Arabiyah; Al-Jāmi’ah al-Madinah al-Munawwarah, 1410 H.), h.
4
Presetyo, A. (2017). Peran Uang dalam Sistem Moneter Islam. Majalah Ekonomi, 22(1),
104-110.
Putritama, A. (2018). Penerapan Etika Bisnis Islam dalam Industri Perbankan
Syariah. Nominal: Barometer Riset Akuntansi Dan Manajemen, 7(1), 1-20.
Rahmawati, L. (2016). Sistem Kebijakan Fiskal Modern dan Islam. OECONOMICUS
Journal of Economics, 1(1), 21-48
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.
186-187
Thalhah, T. (2014). Kaidah Fiqhiyah Furu’iyah: Penerapannya Pada Isu
Kontemporer. Jurnal Tahkim, X (1), 67-88.
Umam, K. (2017). Konsep Uang Islam: Antara Uang Komoditas atau Uang Fiat. Islamic
Economics Journal, 2(1).
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an, Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam
Alquran (Cet; ke- 3; Jakarta: Piramida, 2005), h. 216-217.

14

Anda mungkin juga menyukai