Anda di halaman 1dari 18

is, 03 Januari 2013is,  

                                                                              

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan defek lahir yang sering ditemukan dan merupakan
penyebab kematian terbanyak dari semua jenis kelainan bawaan (Nur Ain, dkk, Jurnal
Kesehatan Andalas, 2015). Penyakit jantung bawaan (PJB) disebabkan oleh
ketidaksempurnaan pada proses pembentukan jantung semasa dalam kandungan. Penyakit
jantung bawaan akan menyerang anak-anak dan bayi yang baru lahir. Biasanya gejala dari
penyakit ini akan terlihat saat bayi masih berada dalam kandungan, tetapi beberapa kasus
gejala baru akan terlihat ketika mereka berusia di bawah lima tahun (Jurnal Pediatri, 2018)
Penyakit jantung bawaan sendiri diketahui membunuh anak di bawah umur satu tahun lebih
banyak dibandingkan penyakit lainnya. Penyakit jantung bawaan sebenarnya adalah penyakit
yang terjadi karena adanya kelainan semasa awal pembentukan jantung saat masih janin, hal
ini mengakibatkan adanya kelainan pada struktur jantung yang membuat kerja jantung
akhirnya terganggu (Jurnal Pediatri, 2018).
Penyebab dari kelainan jantung ada berbagai macam, terutama faktor prenatal yaitu ibu
dengan infeksi rubela,    ibu alkoholisme,  ibu yang mengkonsumsi obat-obatan penenang
atau jamu, ibu dengan usia lebih dari 45 tahun dan pada faktor  faktor genetik yaitu anak yang
lahir sebelumnya menderita PJB, ayah atau ibu menderita PJB, kelainan kromosom seperti
Down Syndrome dan lahir dengan kelainan bawaan lain. Menurut Jurnal Pediatri tahun 2018
disebutkan 5 hingga 8 % kasus yang terjadi disebabkan oleh kelainan kromosom.
Ada dua jenis penyakit jantung bawaan yaitu penyakit jantung bawaan biru (sianotik) dan
penyakit jantung bawaan tidak biru (asianotik). Kelainan jantung bawaan sianotik menyerang
25% anak-anak yang terserang penyakit jantung bawaan. Ciri-ciri khusus dari penyakit
jantung bawaan jenis ini adalah munculnya warna biru pada daerah sekitar bibir, ujung kuku
dan jari. Penyakit jantung bawaan sianotik sangat mudah dikenali oleh orang tua. Penyakit
jantung bawaan sianotik ini contohnya pada Tetralogi of Fallot yaitu terjadi suatu kondisi
dimana terjadi empat peristiwa meliputi defek septum ventrikel, hipertrofi ventrikel kanan,
stenosis katup pulmonal, dan kelainan posisi aorta dan arteri pulmonalis (Jurnal Pediatri,
2018).
Penyakit jantung bawaan tidak biru (asianotik) tidak ditemukan gejala atau tanda sianosis,
tetapi ditemukan pirau dari kiri ke kanan atau obstruksi jalan keluar ventrikel. Jumlah

1
penderita penyakit jantung bawaan asianotik jauh lebih besar daripada yang sianotik yaitu 3-4
kali, tetapi penyakit jantung bawaan sianotik menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang
lebih tinggi daripada asianotik (Jurnal Pediatri, 2018). Kelainan jantung bawaan asianotik
merupakan kelainan pada struktur dan fungsi jantung bersifat tunggal dan tidak disertai
sianosis. Berdasarkan ada tidaknya pirau kelaian jantung bawaan asianotik dibagi menjadi
kelainan jantung bawaan asianotik dengan pirau misalnya Atrial Septum Defek, Ventrikel
Septum Defek dan kelainan jantung bawaan asianotik tanpa pirau (Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2014).
Menurut Journal of the American Academy of Physician Assistants, 2013 Atrial Septum
Defek (ASD) adalah kelainan jantung bawaan yang menyebabkan terjadinya aliran darah dari
atrium kiri ke atrium kanan melalui lubang pada sekat interatrium. Salah satu kelainan
jantung tersebut ialah Atrium Septum Defek (ASD) yang merupakan lubang pada sekat
atrium yang menyebabkan hubungan antara atrium kanan dan kiri (Samik Wahab, 2009).
Berbagai permasalahan keperawatan yang timbul baik masalah aktual maupun potensial
akibat adanya penyakit jantung ASD adalah penurunan curah jantung yang berhubungan
dengan penurunan volume ventrikel kiri, atrium septum defek, intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan, aktual atau resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi
kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake tidak adekuat akibat sekunder dari adanya
sesak nafas, mual, anoreksia, daya hisap bayi kurang, aktual/resiko tinggi pola nafas tidak
efektif yang berhubungan dengan kelainan vaskuler paru obstruktif akibat sekunder atau
stenosis pulmoner, dan resiko kekambuhan yang berhubungan dengan ketidakpatuhan
terhadap aturan terapiutik, tidak mau menerima perubahan pola hidup yang sesuai.
Penyakit Jantung Bawaan terjadi pada 0,5 – 0,8 % kelahiran hidup, ditemukan 1,5 juta kasus
baru setiap tahun di dunia (Ulfah, D.A., 2017). Berdasarkan pernyataan yang dirilis Ikatan
Dokter Anak Indonesia tahun 2014, tujuh hingga delapan bayi dari 1000 kelahiran menderita
penyakit jantung bawaan. Jumlah kejadian bayi lahir dengan kelainan pada jantung lebih
tinggi daripada dengan kejadian bayi lahir dengan kelainan lain seperti kelainan ginjal, darah,
paru-paru, anggota gerak, dan sebagainya. Kelainan jantung bawaan asianotik memiliki
prosentase terbesar dari seluruh kejadian. Berdasarkan data yang diperoleh dari Instalasi
Rekam Medis Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita jumlah pasien yang
dirawat dengan Penyakit Jantung Bawaan Atrial Septum Defek cenderung meningkat setiap
tahun. Pada tahun 2014 dirawat 331 pasien, tahun 2015 dirawat 422 pasien, tahun 2016
dirawat 516 pasien, dan pada tahun 2017 dirawat 665 pasien.

2
Berdasarkan uraian diatas kelompok tertarik mengangkat kasus Atrial Septum Defek sebagai
tugas presentasi kelompok sebagai salah satu tugas Pelatihan Keperawatan Kardiovaskular
Tingkat Dasar Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang berjudul “
Asuhan Keperawatan Atrial Septum Defek di Gedung Perawatan II Lantai VII Rumah Sakit
Jantung dan Pembuluh darah Harapan Kita”.

1.2    Tujuan penulisan
1.2.1 Tujuan umum

Mampu memahami dan melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan Atrial
Septum Defek.

1.2.2 Tujuan khusus

1.2.2.1 Dapat memahami konsep teori Atrial Septum Defek.

1.2.2.2 Dapat memahami konsep dasar penatalaksanaan Atrial Septum Defek

1.2.2.3 Dapat melakukan pengkajian pada pasien dengan Atrial Septum Defek

1.2.2.4 Dapat merumuskan diagnose keperawatan pada pasien dengan Atrial Septum Defek

1.2.2.5 Dapat melakukan perencanaan keperawatan pada pasien dengan Atrial Septum Defek

1.2.2.6 Dapat melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan Atrial Septum Defek

1.2.2.7 Dapat melakukan evaluasi pada pasien dengan Atrial Septuml Defek

1.2.2.8 Dapat melakukan pendokumentasian hasil asuhan keperawatan pada pasien dengan Atrial
Septum Defek.

1.2.2.9 Dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien Atrial Septum Defek pasca kateterisasi
jantung.

1.3 Metode Penulisan

Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan dari berbagai
sumber, antara lain studi kepustakaan buku-buku keperawatan dan internet yang sesuai
dengan yang disusun oleh kelompok.

3
1.4 Sistematika Penulisan

Makalah ini terdiri dari lima BAB yang membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien
dengan Atrial Septum Defek. Pada BAB I tentang pendahuluan, BAB II tentang landasan
teori dan asuhan keperawatan, BAB III tentang kasus, BAB IV pembahasan dari kasus yang
kelompok temukan di lapangan dengan landasan teoritis dan BAB V adalah kesimpulan dan
saran.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Perkembangan Embriologi Jantung


2.1.1 Fase Tubing : terjadi pada minggu ketiga, kedua tabung endokard bersatu menjadi
selongsong jantung.
2.1.2 Fase Looping : terjadi pada awal minggu keempat, selongsong jantung memutar ke
kanan, sel mesenkim membesar menyebabkan endokardium terdesak masuk ke dalam
rongga jantung dan membentuk rongga jantung (endokardial chusion).
2.1.3 Fase Septasi : terjadi pada minggu kelima tubing mid kardiak tumbuh dengan sangat
cepat dan membentuk struktur-struktur rongga jantung dan pembuluh darah antara lain
atrium, ventrikel, bulbus kardiak, bulbus kordis, sinus venosus (bakal vena kava) dan
sinus coronaries, trunkus arteriosus (bakal arteri pulmonal dan aorta).
2.1.4 Fase migrasi : terbentuknya septum atrial , overlapping dari septum primum dan septum
sekundum sebelum menyatu dengan sempurna membentuk foramen ovale.
Terbentuknya septum ventrikel hasil dari penyatuan antara septum membrane dan
septum muscular.

2.2. Sirkulasi Janin


Pada janin terdapat fungsi foramen ovale, duktus arteriosus, arteria umbilikalis lateralis dan
duktus venosus Arantii. Janin mendapatkan darah melalui vena umbilikalis langsung ke
dalam tubuh janin. Sebagian besar darah kaya oksigen dari ibu melalui duktus venosus masuk
ke vena kava inferior dan masuk ke atrium kanan. Dari atrium kanan melewati foramen ovale
masuk atrium kiri, lalu ke ventrikel kiri, masuk ke aorta. Sebagian kecil dari vena umbilikalis
masuk ke vena porta hepatica masuk ke atrium kanan lalu ke ventrikel kanan, masuk ke arteri
pulmonal, dialirkan ke aorta melewati duktus arteriosus, dan diedarkan ke seluruh tubuh
janin. Darah masuk ke aorta desenden, melewati dua arteri umbilikalis kembali ke plasenta
janin (Lubis,2008)

5
2.3 Definisi Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit Jantung Bawaan merupakan kelainan struktur dan fungsi dari sirkulasi jantung yang
dapat tampak saat lahir atau saat kehidupan selanjutnya. PJB merupakan kelaianan kongenital
yang paling banyak, penyebab utama kecacatan, menjadi penyebab penting morbiditas dan
mortalitas anak-anak di dunia secara keseluruhan (Ulfah, D.A., 2017).

2.3.1 Etiologi Penyakit Jantung Bawaan


Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga
mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD. Faktor-faktor
tersebut diantaranya :

2.3.1.1 Faktor prenatal : ibu menderita penyakit infeksi rubella, ibu alkoholisme, umur ibu
lebih dari 40 tahun, ibu menderita IDDM, ibu meminum obat-obatan penenang atau
jamu
2.3.1.2 Faktor genetik : anak yang baru lahir sebelumnya menderita PJB, ayah atau ibu
menderita PJB , kelainan kromosom misalnya sindroma down, lahir dengan kalainan
bawaan lain

6
2.3.1.3 Gangguan hemodinamik

Tekanan di atrium kiri lebih tinggi dari pada tekanan di natrium kanan sehingga
memungkinkan aliran darah dari atrium kiri ke atrium kanan

2.3.4 Klasifikasi Penyakit Jantung Bawaan


Penyakit jantung bawaan dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar berdasarkan ada
atau tidaknya sianosis. Penyakit jantung bawaan sianotik dan penyakit jantung bawaan
asianotik. Penyakit jantung bawaan Sianotik ditandai oleh adanya sianosis sentral akibat
akibat adanya pirau dari kanan ke kiri, sebagai contoh Tetralogi of Fallot, Transposisi arteri
besar, atresia trikuspid.
Termasuk dalam kelompok penyakit jantung bawaan non sianotik adalah penyakit jantung
bawaan dengan kebocoran sekat jantung yang disertai pirau kiri ke kanan di antaranya adalah
defek septum ventrikel, defek septum atrium, atau tetap terbukanya pembuluh darah seperti
pada duktus arteriosus persisten. Selain itu penyakit jantung bawaan non sianotik juga
ditemukan pada obstruksi jalan keluar ventrikel seperti stenosis aorta, stenosis pulmonal, dan
koartaksio aorta (Mulyadi,2000)

2.3.5 Manifestasi Klinis


Gangguan hemodinamik akibat kelainan jantung dapat memberikan gejala yang
menggambarkan derajat kelainan. Adapun manifestasi klinis yang muncul pada penderita
penyakit jantung bawaa antara lain (Mulyadi. 2000).
2.3.5.1 Gangguan pertumbuhan
Pada penyakit jantung bawaan asianotik gangguan pertumbuhan timbul akibat
berkurangnya curah jantung. Pada penyakit jantung bawaan sianotik gangguan
pertumbuhan timbul akibat hipoksemia kronis.
2.3.5.2 Sianosis
Sianosis timbul akibat saturasi darah yang menuju sistemik rendah. Sianosis mudah
dilihat pada mukosa mulut. Sianosis pada penyakit jantung bawaan berupa sianosis
sentral perlu dibedakan pada sianosis perifer yang sering terlihat pada ujung-ujung
jari.
2.3.5.3 Toleransi latihan
Merupakan petunjuk untuk menggambarkan status kompensasi jantung atau derajat
kelainan jantung.

7
2.3.5.4 Infeksi saluran napas berulang
Gejala ini timbul akibat meningkatnya aliran darah ke paru sehingga mengganggu
system pertahanan paru.
2.3.5.5 Bising Jantung
Terdengarnya bising jantung merupakan tanda penting dalam menentukan penyakit
jantung bawaan.

2.4 Atrial Septum Defek


2.4.1 Definisi Atrial Septum Defek
Atrial Septum Defek (ASD) adalah kelainan anatomi jantung akibat terjadinya kesalahan
pada jumlah absorbs dan proliferasi jaringan pada tahap perkembangan pemisahan rongga
atrium menjadi atrium kanan dan kiri (Muttaqin, 2014). Menurut Samik Wahab, 2017 Atrial
Septum Defek adalah setiap lubang pada sekat atrium yang menyebabkan hubungan antara
atrium kanan dan kiri.

www. Secondscount.com. Diambil 27/3/2018

2.4.2       Etiologi
Penyebab ASD belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga
berpengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD yaitu antara lain:
2.4.2.1  Faktor Prenatal misalnya ibu dengan infeksi rubella, ibu alkoholisme, ibu yang
mengkonsumsi obat-obatan penenang atau jamu, ibu dengan usia lebih dari 45 tahun

8
2.4.2.2 Faktor Genetik yaitu anak yang lahir sebelumnya menderita PJB, orang tua
mengalami kelainan jantung bawaan, kelaian kromosom, dan factor genetik.

2.4.3 Klasifikasi
Berdasarkan variasi kelainan anatominya, defek sekat atrium dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
2.4.3.1 Defek sekat atrium tipe primum (tipe I)
Kondisi ini disebabkan oleh defek yang terjadi pada septum premium yang gagal berkembang
mencapai endocardium cushion (bantalan endokardium). Kejadian defek sekat atrium tipe ini
adalah sekitar 30 % dari seluruh defek sekat atrium. Beberapa variasi anatomis defek tipe ini
adalah sebagai berikut :
2.4.3.1.1. Atrium tunggal (atrium komunis)
2.4.3.1.1.1  Adanya defek sekat septum primum yang disertai dengan defek pada daun katup
mitral anterior dan trikuspidal (defek kanal atrivontrikuler inkomplet)
2.4.3.1.1.2  Adanya defek sekat primum sekat atrium, defek katup mitral dan trikuspidal, dan
ditambah dengan defek pada sekat ventrikel bagian atas (defek kanal
atriventrikuler komplet).
2.4.3.2  Defek sekat atrium tipe sekundum (tipe II)
Tipe yang paling sering terjadi sekitar 70% dari kasus defek sekat atrium. Berdasarkan lokasi
defek tipe ini terbagi menjadi:
2.4.3.2.1 Defek pada fossa ovalis
Defek ini paling sering terjadi, dapat tunngal maupun multipel. Dapat pula terjadi
sebagai foramen ovale paten.
2.4.3.2.2 Defek tipe sinus venosus vena cava soperior
Defek terjadi di superior sampai fossa ovalis. Tipe defek sinus venosus ini berkisar
10% dari seluruh kelainan defek sekat atrium
2.4.3.2.3 Defek tipe sinus venosus vena cava inferior
Defek terjadi di posterior dan inferior sampai fossa ovalis.

2.4.4 Patofisiologi Atrial Septum Defek


Setelah lahir foramen ovale akan menutup menjadi fosa ovalis. Apabila foramen ovale gagal
menutup setelah lahir atau terdapat lubang lain antara atrium kanan dan atrium kiri akibat
kurang sempurnanya penutupan dinding antara atrium kanan dan atrium kiri selama masa
gestasi. Pada orang normal tekanan atrium kiri lebih tinggi daripada atrium kanan karena

9
adanya defek sekat atrium maka terjadi aliran dari kiri ke kanan. Sehingga volume ventrikel
kanan meningkat, kemudian sirkulasi pulmonal akan meningkat melebihi sirkulasi sistemik
dan membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengosongkan ventrikel kanan yang
menghasilkan bunyi S2 terlambat. Karena peningkatan sirkulasi pulmonal melewati katup
menghasilkan murmur yang akan didengar ICS ketiga kiri. Sekian lama arteri pulmonal dan
otot polos mengalami hiperplasi yang mengakibatkan hipertensi pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.              
                                             
2.4.5 Tanda dan gejala Atrial Septum Defek
Tanda dan gejala yang ditemukan pada penderita Atrial Septum Defek antara lain detak
jantung berdebar-debar (palpitasi), sering mengalami infeksi saluran pernapasan, cepat lelah
dan berkurangnya tingkat aktifitas, berat badan yang sulit bertambah, kardiomegali, atrium
dan ventrikel kanan membesar

2.4.6   Pemeriksaan Diagnostik
2.4.6.1 Elektrokardiografi
Gambaran EKG penting dalam membantu diagnosis ASD sekundum. EKG menunjukkan
pola RBBB pada 95%, yang menunjukkan terdapatnya beban volume ventrikel kanan.
Deviasi sumbu QRS ke kanan (Rigth axis deviation) pada DSA sekundum membedakannya
dari defek primum yang memperlihatkan defiasi sumbu ke kiri (left axis deviation). Blok AV
derajat I (pemanjangan interval PR) terdapat pada 10% kasus defect sekundum.
2.4.6.2 Ekokardiografi
Dengan alat diagnosis ini dapat dibuat diagnosis pasti. Defect ini paling baik difisualisasikan
dengan menggunakan pandangan subxifoid, karena tegak lurus pada sekat atrium. Dengan
menggunakan pemetaan aliran dopler bewarna dapat dilihat aliran shunt yang melewati
defect septum. Dengan ekokardiografi M-mode, pada defect sekat atrium tipe sekundum
sering tampak pembesaran ventrikel kanan dan juga terlihat gerakan septum yang paradoks
atau mendatar. Sementara itu pada defect sekat atrium tipe primum kadang kita perlu melihat
gambaran katub mitral. Gambaran ini dapat dilihat paling baik pada pandangan sumbu
pendek subsifoid dan parasternal.
2.4.6.3 Foto rontgen
Ukuran jantung membesar sebanding dengan besar shunt. Mungkin terdapat pembesaran
jantung kanan yang tampak sebagai penonjolan pada bagian kanan atas jantung. Batang arteri
pulmonalis juga dapat membesar dan tampak sebagai tonjolan pulmonal yang prominen.

10
Vaskularisasi paru bertambah (plethora). Gambaran ini (disertai dengan gejala klinik yang
ada) sering didiagnosis sebagai Kompleks Primer Tuberkulosis (KPTB).
2.4.6.4 Kateterisasi jantung
Kadang-kadang dilakukan untuk melihat tekanan pada masing-masing ruangan jantung
misalnya hipertensi pulmonal.
2.4.6.5 MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Alat ini dapat mendeteksi anomali muara vena. Dapat digunakan pula untukmengukur besar
defek dan memperkirakan besar aliran shunt.

2.4.7   Penatalaksanaan
Tata laksana Atrial Septum Defek menurut Perki, 2015 yaitu penutupan Atrial Septum Defek
dapat dilakukan melalui tindakan bedah dan non bedah. Dengan pemasangan device pada
Atrial Septum Defek sekundum tanpa hipertensi pulmonal, yang lokasinya memungkinkan.
2.4.7.1 ASD dengan pirau yang kecil
Pemantauan klinis dan echocardiografi, bila hasil echocardiogram meragukan antara
kecil dan sedang dilakukan pemeriksaan sadap jantung. Usia 5-8 tahun untuk
menentukan flow ratio (FR). Penutupan ASD dilakukan bila FR > 1,5 .
2.4.7.2 ASD dengan pirau besar
2.4.7.2.1 Bayi dengan ASD besar (+/- MR berat) dengan GJK berikan obat gagal jantung
(digitalis, diuretic, vasodilator). Bila GJK teratasi operasi penutupan ASD ditunda
sampai usia lebih dari satu tahun tanpa didahului pemerikasaan sadap jantung.
Bila GJK tidak teratasi operasi penutupan ASD harus dilakukan lebih dini.
2.4.7.2.2 Bayi dengan ASD besar tanpa GJK tanpa pulmonal hipertensi operasi penutupan
ASD usia prasekolah (3-4 tahun).
2.4.7.2.3 Anak atau orang dewasa dengan hipertensi pulmonal biasanya gejala yang timbul
adalah akibat hipertensi pulmonal. Pada kasus seperti ini penutupan ASD harus
segera dilakukan.
2.4.7.2.4 Bila secara klinis dan echocardiografi terlihat aliran pirau deras maka penutupan
ASD dapat dilakukan tanpa mengukur PARi.
2.4.7.2.5 Bila secara klinis dan echocardiografi terlihat aliran pirau kurang deras atau
bidirectional (diduga sudah terjadi penyakit vascular paru) maka perlu dilakukan
penyadapan jantung untuk menilai reaktifitas vascular paru. Bila didapat PARi < 8
U/m2 maka resiko operasi penutupan ASD kecil. PARi >8 U/m2, dengan O2
100% turun kurang dari 8 U/m2, maka operasi masih dapat dilakukan tapi dengan

11
resiko tinggi. Bila dengan O2 100% ternyata PARi > 8 U/m2, maka operasi
penutupan ASD tidak dapat dianjurkan lagi.
2.4.7.2.6 Anak atau orang dewasa tanpa pulmonal hipertensi bila tidak ada tanda-tanda
operasi penutupan ASD dilakukan secara elektif pada usia 3-4 tahun. Penutupan
ASD sekundum dilakukan dengan operasi atau intervensi non bedah dengan
device tanpa didahului pemeriksaan sadap jantung.
Berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah Rumah Sakit Umum daerah Dokter Soetomo, tahun 2010 pembedahan dilakukan
setelah usia 4 tahun. Mengingat kemungkinan penutupan secara spontan terjadi pada saat
umur di bawah 4 tahun, kecuali jika ada komplikasi payah jantung yang tidak respon dengan
terapi medika mentosa. Pembedahan dilakukan melalui insisi midsternal dengan prosedur
cardiopulmonary baypass dengan teknik penutupan secara simple suture atau menambal
dengan pericardium atau Teflon Patch.

2.4.8 Komplikasi
Komplikasi dari kelainan Atrial Septum Defek antara lain hipertensi pulmonal, gagal jantung,
endokarditis, dan   aritmia.

2.4.9   Prognosis
Atrial Septum Defek dapat ditoleransi dengan baik pada bayi maupun pada anak. Kadang
pada Atrial Septum Defek dengan shunt yang besar menimbulkan gejala-gejala gagal jantung
dan pada keadaan ini perlu dibantu dengan digitalis. Bila dengan digitalis tidak berhasil maka
perlu dioperasi. Atrial Septum Defek dengan shunt yang besar operasi segera
dipertimbangkan guna mencegah terjadinya hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada
tergantung pada besarnya shunt. Bila shunt kecil dan tekanan darah pada ventrikel kanan
normal maka operasi tidak perlu dilakukan.
Pada ASD yang tidak dilakukan penatalaksanaan dapat menyebabkan sindrom Eisen Menger.
Sindrom ini disebabkan karena hipertensi pulmonal dan pembalikan aliran yang sebelumnya
ada pirau dari kiri ke kanan menjadi shunt kanan ke kiri, sehingga darah yang belum
teroksigenasi masuk ke sistemik. Manifestasinya pasien akan menjadi sianosis.

12
2.5 Asuhan Keperawatan Pasien dengan ASD
2.5.1  Pengkajian
Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :
2.5.1.1  Identitas pasien
Nama, usia, jenis kelamin, bangsa, pekerjaan, pendidikan, agama, alamat.
2.5.1.2  Keluhan utama
Keluhan utama yang biasanya dirasakan pada kasus ASD adalah sesak, gelisah, pada anak
atau bayi tidak mau menetek, sulit tidur, pasien merasa letih
2.5.1.3  Riwayat penyakit sekarang
Pada anak biasanya mengalami sesak napas, berkeringat banyak dan terdapat penbengkakan
pada tungkai tetepi biasanya tergantung pada derajat dan defek yang terjadi.
2.5.1.4 Riwayat penyakit dahulu
2.5.1.4.1 Prenatal History
Diperkirakan adanya keabnormalan pada kehemilan ibu (infeksi firus rubela), mungkin ada
riwayat penggunaan alkohol dan obat-obatan serta penyakit DM pada ibu
2.5.1.4.2 Intra natal
Riwayat kehamilan biasanya normal dan diinduksi
2.5.1.4.2.1 Riwayat neonatus
Gangguan respirasi biasanya sesak, takipnue,  anak rewel dan kesakitan, tumbuh kembang
anak terhambat, terdapat edema pada tungkai dan hepatomegali,  sosial ekonomi keluarga
yang rendah.
2.5.1.5 Riwayat penyakit keluarga
  Adanya keluarga apakah itu satu atau dua orang yang mengalami kelainan defek jantung ,
penyakit keturunan, penyakit konginetal atau bawaan
2.5.1.6 Psikososial
Penurunan pern dalam aktivitas sosial dan keluarga ,  ansietas, kwatir, takut,stress yang
berhubungan dengan penyakit.
2.5.1.7 Pemeriksaan Fisik
2.5.1.7.1 Breathing
nafas pendek, retraksi pada vena jugularis, sela interkosta dan region epigastrium. Diameter
dada bertambah
2.5.1.7.2 Blood
Impuls jantung hiperdinamik kuat terutama yang timbul di ventrikel kiri. Teraba getaran
bising atau mur-mur pada dinding dada, pada ASD getaran bising teraba di sela iga ke 2 atau
13
3 kiri. Pada defek yang sangat besar sering tidak teraba getaran bising karena tekanan di
ventrikel kiri sama dengan ventrikel kanan.
2.5.1.7.3  Brain
Ujung-ujung jari hiperemik
2.5.1.7.4 Bleeder
Terjadi penurunan produksi urine
2.5.1.7.5  Bowel
Hepatomegali atau splenomegali mungkin terlihat
2.5.1.7.6 Bone
Tidak terdapat gangguan pada tulang
2.5.1.8  Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium, foto thorak,ecg dan echo
2.5.2   Diagnosa Keperawatan
2.5.2.1 Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan malformasi jantung, atrial septum
defek.
2.5.2.2 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan aliran ke paru-
paru
2.5.2.3 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
2.5.2.4 Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan tidak adekuatnya
suplay oksigen dan nutrisi ke jaringan
2.5.2.5 Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh

2.5.3  Rencana Asuhan Keperawatan


2.5.3.1 Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan malformasi jantung, atrial septum
defek.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam, penurunan curah jantung dapat teratasi dan menunjukkan
tanda vital dalam batas normal
Kriteria hasil : klien melaporkan penurunan episod dypsnea, tekanan darah dalam batas
normal, nadi 80 x/mnt, tidak terjadi aritmia, denyut dan irama jantung teratur, CRT < 3 detik.
Intervensi :
2.5.3.1.1 Kaji nilai CO dengan monitor jantung dalam 1 menit
R/ : CO adalah jumlah darah yang dipompa oleh jantung setiap 1 menit

14
2.5.3.1.2  Palpasi  nadi perifer
R/ : tanda penurunan curah jantung dapat diperlihatkan dengan ciri, menurunnya
nadi, radial, popliteal, dorsalis pedis, dan postibial, nadi mungkin cepat hilang atau
tidak teratur untuk dipalpasi dan gangguan pulsasi (denyut kuat disertai dengan
denyut lemah) mungkin ada.
2.5.3.1.3  Kaji perubahan pada sensorik,  ex: letargi, cemas dan depresi
R/ : penurunan curah jantung dapat mengakibatkan tidak efektifnya perfusi cerebra
2.5.3.1.4   Berikan istirahat semi recumben pada tempat tidur atau kursi, kaji denga
pemeriksaan fisik sesuai dengan indikasi
R/: istirahat fisik harus dipertahankan selama gagal jantung kongestif akut atau
refraktori untuk memperbaiki efisiensi kontraksi jantung dan menurunkan kebutuhan
atau konsumsi  oksigaen miokardium dan kerja berlebihan.
2.5.3.1.5 Berikan istirahat psikologis dengan lingkungan tenang, menjelaskan manajemen
medis atau keperawatan, membantu klien menghindari stres, mendengar atau
merespon terhadap ekspresi perasaan takut.
R/: Stres emosi menghasilkan respons vasokonstriksi, yang terkait langsung dengan
peningkatan tekanan darah, frekwensi dan kerja jantung.
2.5.3.1.6  Batasi aktivitas seperti BAB dan BAK di samping tempat tidur, hindari manuver
valsava : mengejan, defekasi, menahan nafas selama perubahan posisi.

2.5.3.2  Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan aliran darah ke
paru-paru, peningkatan sekresi
Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan jalan napas
bersih
kriteria hasil : tidak ada sesak napas, tidak ada bunyi napas tambahan, RR sesuai umur.
Intervensi :
2.5.3.2.1 Kaji frekuensi pernapasan warna kulit serta saturasi oksigen, serta adanya bunyi
napas tambahan
R/ mengetahui secara dini kebutuhan oksigen klien dan adanya penumpukan secret
2.5.3.2.2  Berikan posisi 30 – 45 derajat
R/untuk memudahkan respirasi baru
2.5.3.2.3  Berikan oksigen yang sudah dilembabkan sesuai program
R/ meningkatkan kesediaan oksigen untuk kebutuhan miokardium agar tidak
terjadi hipoksia
15
2.5.3.2.3 Lakukan penghisapan lendir sesuai kebutuhan
R/ untuk mengeluarkan secret dan menjaga kepatenan jalan napas

2.5.3.3 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.


Tujuan : klien menunjukkan perbaikan curah jantung yang terlihat dari aktivitas klien.
Kriteria hasil : klien menentukan dan melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuan dan
klien mendapatkan waktu istirahat atau tidur yang tepat
Intervensi :
2.5.3.3.1 Taksiran tingkat kelelahan, kemampuan untuk melakukan ADL
R/ untuk memberikan informasi tentang energi cadangan dan respon untuk
beraktivitas
2.5.3.3.2 Berikan periode istirahat dan tidur yang cukup
R/ untuk meningkatkan istirahat dan menghemat energi 
2.5.3.3.3 Hindari suhu lingkungan yang ekstrim
R/ hipertermia atau hipotermia dapat meningkatkan kebutuhan oksigen

2.5.3.4 Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan penurunan suplay nutrisi


dan oksigen ke jaringan.
Tujuan : klien dapat mempertahankan berat badan dan tinggi badan yang sesuai
Kriteria Hasil :
- Bayi dapat menetek atau mengisap dot
                        - TTV dalam batas normal
                         - Intake dan output seimbang
-Berat badan dan tinggi badan dalam batas normal sesuai dengan usia
Intervensi :
2.5.3.4.1  Berikan penjelasan kepada orang tua / keluarga klien dalam melakukan tindakan
R/ Untuk memudahkan dalam melakukan proses keperawatan.
2.5.3.4.2   Pasang infus jika bayi sangat dispnea
R/ Infus untuk memenuhi kebutuhan nutrisi klien dan untuk memasukkan obat.
Jika bayi sangat dispnea susah mengisap dot atau menetek.
2.5.3.4.3 Perhatikan tetasan infus
R/ Tetesan infus yang terlalucepat akan menambah beban kerja jantung.

16
 2.5.3.4.4 Hitung intake dan output cairan klien
R/ Untuk memantau keseimbangan cairan, bila kelebihan atau kekurangan dapat
cepat diatasi.
2.5.3.4.5  Berikan minum pada klien atau biarkan menetek jika sesak berkurang dengan sela
istirahat
R/ Membantu reflek menetek.
2.5.3.4.6  Anjurkan ibu klien untuk memangku klien pada saat menetek
R/ Untuk menghindari tersedat dan memberikan kontak psikologis.
2.5.3.4.7 Catat intake dan output klien
R/ Untuk mengetahui intake dan output.

2.5.3.5 Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh


Tujuan : setelah diberikan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tidak terjadi
infeksi.
Kriteria hasil : Tidak terdapat tanda-tanda infeksi, menunjukan kebersihan diri yang adekuat
tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
2.5.3.5.1 Pantau tanda dan gejala infeksi misal suhu tubuh, denyut jantung, produksi urine
R/ : untuk mengetahui tanda-tanda infeksi secara dini
2.5.3.5.2 Kaji faktor-faktor yang meningkatkan serangan infeksi misalnya usia lanjut,
malnutrisi
R/ : untuk mengetahui factor resiko yang meningkatkan infeksi
2.5.3.5.3 Observasi hasil laboratorium darah lengkap, urine lengkap
R/ : sebagai parameter terjadinya infeksi
2.5.3.5.3 Ajarkan pasien tentang personal hygene dan kebersihan tangan
R/ : menjaga kebersihan diri dan kebersihan tangan untuk mencegah penularan
infeksi

17
18

Anda mungkin juga menyukai