BAB 1
PENDAHULUAN
1
penderita penyakit jantung bawaan asianotik jauh lebih besar daripada yang sianotik yaitu 3-4
kali, tetapi penyakit jantung bawaan sianotik menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang
lebih tinggi daripada asianotik (Jurnal Pediatri, 2018). Kelainan jantung bawaan asianotik
merupakan kelainan pada struktur dan fungsi jantung bersifat tunggal dan tidak disertai
sianosis. Berdasarkan ada tidaknya pirau kelaian jantung bawaan asianotik dibagi menjadi
kelainan jantung bawaan asianotik dengan pirau misalnya Atrial Septum Defek, Ventrikel
Septum Defek dan kelainan jantung bawaan asianotik tanpa pirau (Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2014).
Menurut Journal of the American Academy of Physician Assistants, 2013 Atrial Septum
Defek (ASD) adalah kelainan jantung bawaan yang menyebabkan terjadinya aliran darah dari
atrium kiri ke atrium kanan melalui lubang pada sekat interatrium. Salah satu kelainan
jantung tersebut ialah Atrium Septum Defek (ASD) yang merupakan lubang pada sekat
atrium yang menyebabkan hubungan antara atrium kanan dan kiri (Samik Wahab, 2009).
Berbagai permasalahan keperawatan yang timbul baik masalah aktual maupun potensial
akibat adanya penyakit jantung ASD adalah penurunan curah jantung yang berhubungan
dengan penurunan volume ventrikel kiri, atrium septum defek, intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan, aktual atau resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi
kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake tidak adekuat akibat sekunder dari adanya
sesak nafas, mual, anoreksia, daya hisap bayi kurang, aktual/resiko tinggi pola nafas tidak
efektif yang berhubungan dengan kelainan vaskuler paru obstruktif akibat sekunder atau
stenosis pulmoner, dan resiko kekambuhan yang berhubungan dengan ketidakpatuhan
terhadap aturan terapiutik, tidak mau menerima perubahan pola hidup yang sesuai.
Penyakit Jantung Bawaan terjadi pada 0,5 – 0,8 % kelahiran hidup, ditemukan 1,5 juta kasus
baru setiap tahun di dunia (Ulfah, D.A., 2017). Berdasarkan pernyataan yang dirilis Ikatan
Dokter Anak Indonesia tahun 2014, tujuh hingga delapan bayi dari 1000 kelahiran menderita
penyakit jantung bawaan. Jumlah kejadian bayi lahir dengan kelainan pada jantung lebih
tinggi daripada dengan kejadian bayi lahir dengan kelainan lain seperti kelainan ginjal, darah,
paru-paru, anggota gerak, dan sebagainya. Kelainan jantung bawaan asianotik memiliki
prosentase terbesar dari seluruh kejadian. Berdasarkan data yang diperoleh dari Instalasi
Rekam Medis Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita jumlah pasien yang
dirawat dengan Penyakit Jantung Bawaan Atrial Septum Defek cenderung meningkat setiap
tahun. Pada tahun 2014 dirawat 331 pasien, tahun 2015 dirawat 422 pasien, tahun 2016
dirawat 516 pasien, dan pada tahun 2017 dirawat 665 pasien.
2
Berdasarkan uraian diatas kelompok tertarik mengangkat kasus Atrial Septum Defek sebagai
tugas presentasi kelompok sebagai salah satu tugas Pelatihan Keperawatan Kardiovaskular
Tingkat Dasar Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang berjudul “
Asuhan Keperawatan Atrial Septum Defek di Gedung Perawatan II Lantai VII Rumah Sakit
Jantung dan Pembuluh darah Harapan Kita”.
1.2 Tujuan penulisan
1.2.1 Tujuan umum
Mampu memahami dan melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan Atrial
Septum Defek.
1.2.2.3 Dapat melakukan pengkajian pada pasien dengan Atrial Septum Defek
1.2.2.4 Dapat merumuskan diagnose keperawatan pada pasien dengan Atrial Septum Defek
1.2.2.5 Dapat melakukan perencanaan keperawatan pada pasien dengan Atrial Septum Defek
1.2.2.6 Dapat melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan Atrial Septum Defek
1.2.2.7 Dapat melakukan evaluasi pada pasien dengan Atrial Septuml Defek
1.2.2.8 Dapat melakukan pendokumentasian hasil asuhan keperawatan pada pasien dengan Atrial
Septum Defek.
1.2.2.9 Dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien Atrial Septum Defek pasca kateterisasi
jantung.
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan dari berbagai
sumber, antara lain studi kepustakaan buku-buku keperawatan dan internet yang sesuai
dengan yang disusun oleh kelompok.
3
1.4 Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari lima BAB yang membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien
dengan Atrial Septum Defek. Pada BAB I tentang pendahuluan, BAB II tentang landasan
teori dan asuhan keperawatan, BAB III tentang kasus, BAB IV pembahasan dari kasus yang
kelompok temukan di lapangan dengan landasan teoritis dan BAB V adalah kesimpulan dan
saran.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.3 Definisi Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit Jantung Bawaan merupakan kelainan struktur dan fungsi dari sirkulasi jantung yang
dapat tampak saat lahir atau saat kehidupan selanjutnya. PJB merupakan kelaianan kongenital
yang paling banyak, penyebab utama kecacatan, menjadi penyebab penting morbiditas dan
mortalitas anak-anak di dunia secara keseluruhan (Ulfah, D.A., 2017).
2.3.1.1 Faktor prenatal : ibu menderita penyakit infeksi rubella, ibu alkoholisme, umur ibu
lebih dari 40 tahun, ibu menderita IDDM, ibu meminum obat-obatan penenang atau
jamu
2.3.1.2 Faktor genetik : anak yang baru lahir sebelumnya menderita PJB, ayah atau ibu
menderita PJB , kelainan kromosom misalnya sindroma down, lahir dengan kalainan
bawaan lain
6
2.3.1.3 Gangguan hemodinamik
Tekanan di atrium kiri lebih tinggi dari pada tekanan di natrium kanan sehingga
memungkinkan aliran darah dari atrium kiri ke atrium kanan
7
2.3.5.4 Infeksi saluran napas berulang
Gejala ini timbul akibat meningkatnya aliran darah ke paru sehingga mengganggu
system pertahanan paru.
2.3.5.5 Bising Jantung
Terdengarnya bising jantung merupakan tanda penting dalam menentukan penyakit
jantung bawaan.
2.4.2 Etiologi
Penyebab ASD belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga
berpengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD yaitu antara lain:
2.4.2.1 Faktor Prenatal misalnya ibu dengan infeksi rubella, ibu alkoholisme, ibu yang
mengkonsumsi obat-obatan penenang atau jamu, ibu dengan usia lebih dari 45 tahun
8
2.4.2.2 Faktor Genetik yaitu anak yang lahir sebelumnya menderita PJB, orang tua
mengalami kelainan jantung bawaan, kelaian kromosom, dan factor genetik.
2.4.3 Klasifikasi
Berdasarkan variasi kelainan anatominya, defek sekat atrium dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
2.4.3.1 Defek sekat atrium tipe primum (tipe I)
Kondisi ini disebabkan oleh defek yang terjadi pada septum premium yang gagal berkembang
mencapai endocardium cushion (bantalan endokardium). Kejadian defek sekat atrium tipe ini
adalah sekitar 30 % dari seluruh defek sekat atrium. Beberapa variasi anatomis defek tipe ini
adalah sebagai berikut :
2.4.3.1.1. Atrium tunggal (atrium komunis)
2.4.3.1.1.1 Adanya defek sekat septum primum yang disertai dengan defek pada daun katup
mitral anterior dan trikuspidal (defek kanal atrivontrikuler inkomplet)
2.4.3.1.1.2 Adanya defek sekat primum sekat atrium, defek katup mitral dan trikuspidal, dan
ditambah dengan defek pada sekat ventrikel bagian atas (defek kanal
atriventrikuler komplet).
2.4.3.2 Defek sekat atrium tipe sekundum (tipe II)
Tipe yang paling sering terjadi sekitar 70% dari kasus defek sekat atrium. Berdasarkan lokasi
defek tipe ini terbagi menjadi:
2.4.3.2.1 Defek pada fossa ovalis
Defek ini paling sering terjadi, dapat tunngal maupun multipel. Dapat pula terjadi
sebagai foramen ovale paten.
2.4.3.2.2 Defek tipe sinus venosus vena cava soperior
Defek terjadi di superior sampai fossa ovalis. Tipe defek sinus venosus ini berkisar
10% dari seluruh kelainan defek sekat atrium
2.4.3.2.3 Defek tipe sinus venosus vena cava inferior
Defek terjadi di posterior dan inferior sampai fossa ovalis.
9
adanya defek sekat atrium maka terjadi aliran dari kiri ke kanan. Sehingga volume ventrikel
kanan meningkat, kemudian sirkulasi pulmonal akan meningkat melebihi sirkulasi sistemik
dan membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengosongkan ventrikel kanan yang
menghasilkan bunyi S2 terlambat. Karena peningkatan sirkulasi pulmonal melewati katup
menghasilkan murmur yang akan didengar ICS ketiga kiri. Sekian lama arteri pulmonal dan
otot polos mengalami hiperplasi yang mengakibatkan hipertensi pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
2.4.5 Tanda dan gejala Atrial Septum Defek
Tanda dan gejala yang ditemukan pada penderita Atrial Septum Defek antara lain detak
jantung berdebar-debar (palpitasi), sering mengalami infeksi saluran pernapasan, cepat lelah
dan berkurangnya tingkat aktifitas, berat badan yang sulit bertambah, kardiomegali, atrium
dan ventrikel kanan membesar
2.4.6 Pemeriksaan Diagnostik
2.4.6.1 Elektrokardiografi
Gambaran EKG penting dalam membantu diagnosis ASD sekundum. EKG menunjukkan
pola RBBB pada 95%, yang menunjukkan terdapatnya beban volume ventrikel kanan.
Deviasi sumbu QRS ke kanan (Rigth axis deviation) pada DSA sekundum membedakannya
dari defek primum yang memperlihatkan defiasi sumbu ke kiri (left axis deviation). Blok AV
derajat I (pemanjangan interval PR) terdapat pada 10% kasus defect sekundum.
2.4.6.2 Ekokardiografi
Dengan alat diagnosis ini dapat dibuat diagnosis pasti. Defect ini paling baik difisualisasikan
dengan menggunakan pandangan subxifoid, karena tegak lurus pada sekat atrium. Dengan
menggunakan pemetaan aliran dopler bewarna dapat dilihat aliran shunt yang melewati
defect septum. Dengan ekokardiografi M-mode, pada defect sekat atrium tipe sekundum
sering tampak pembesaran ventrikel kanan dan juga terlihat gerakan septum yang paradoks
atau mendatar. Sementara itu pada defect sekat atrium tipe primum kadang kita perlu melihat
gambaran katub mitral. Gambaran ini dapat dilihat paling baik pada pandangan sumbu
pendek subsifoid dan parasternal.
2.4.6.3 Foto rontgen
Ukuran jantung membesar sebanding dengan besar shunt. Mungkin terdapat pembesaran
jantung kanan yang tampak sebagai penonjolan pada bagian kanan atas jantung. Batang arteri
pulmonalis juga dapat membesar dan tampak sebagai tonjolan pulmonal yang prominen.
10
Vaskularisasi paru bertambah (plethora). Gambaran ini (disertai dengan gejala klinik yang
ada) sering didiagnosis sebagai Kompleks Primer Tuberkulosis (KPTB).
2.4.6.4 Kateterisasi jantung
Kadang-kadang dilakukan untuk melihat tekanan pada masing-masing ruangan jantung
misalnya hipertensi pulmonal.
2.4.6.5 MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Alat ini dapat mendeteksi anomali muara vena. Dapat digunakan pula untukmengukur besar
defek dan memperkirakan besar aliran shunt.
2.4.7 Penatalaksanaan
Tata laksana Atrial Septum Defek menurut Perki, 2015 yaitu penutupan Atrial Septum Defek
dapat dilakukan melalui tindakan bedah dan non bedah. Dengan pemasangan device pada
Atrial Septum Defek sekundum tanpa hipertensi pulmonal, yang lokasinya memungkinkan.
2.4.7.1 ASD dengan pirau yang kecil
Pemantauan klinis dan echocardiografi, bila hasil echocardiogram meragukan antara
kecil dan sedang dilakukan pemeriksaan sadap jantung. Usia 5-8 tahun untuk
menentukan flow ratio (FR). Penutupan ASD dilakukan bila FR > 1,5 .
2.4.7.2 ASD dengan pirau besar
2.4.7.2.1 Bayi dengan ASD besar (+/- MR berat) dengan GJK berikan obat gagal jantung
(digitalis, diuretic, vasodilator). Bila GJK teratasi operasi penutupan ASD ditunda
sampai usia lebih dari satu tahun tanpa didahului pemerikasaan sadap jantung.
Bila GJK tidak teratasi operasi penutupan ASD harus dilakukan lebih dini.
2.4.7.2.2 Bayi dengan ASD besar tanpa GJK tanpa pulmonal hipertensi operasi penutupan
ASD usia prasekolah (3-4 tahun).
2.4.7.2.3 Anak atau orang dewasa dengan hipertensi pulmonal biasanya gejala yang timbul
adalah akibat hipertensi pulmonal. Pada kasus seperti ini penutupan ASD harus
segera dilakukan.
2.4.7.2.4 Bila secara klinis dan echocardiografi terlihat aliran pirau deras maka penutupan
ASD dapat dilakukan tanpa mengukur PARi.
2.4.7.2.5 Bila secara klinis dan echocardiografi terlihat aliran pirau kurang deras atau
bidirectional (diduga sudah terjadi penyakit vascular paru) maka perlu dilakukan
penyadapan jantung untuk menilai reaktifitas vascular paru. Bila didapat PARi < 8
U/m2 maka resiko operasi penutupan ASD kecil. PARi >8 U/m2, dengan O2
100% turun kurang dari 8 U/m2, maka operasi masih dapat dilakukan tapi dengan
11
resiko tinggi. Bila dengan O2 100% ternyata PARi > 8 U/m2, maka operasi
penutupan ASD tidak dapat dianjurkan lagi.
2.4.7.2.6 Anak atau orang dewasa tanpa pulmonal hipertensi bila tidak ada tanda-tanda
operasi penutupan ASD dilakukan secara elektif pada usia 3-4 tahun. Penutupan
ASD sekundum dilakukan dengan operasi atau intervensi non bedah dengan
device tanpa didahului pemeriksaan sadap jantung.
Berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah Rumah Sakit Umum daerah Dokter Soetomo, tahun 2010 pembedahan dilakukan
setelah usia 4 tahun. Mengingat kemungkinan penutupan secara spontan terjadi pada saat
umur di bawah 4 tahun, kecuali jika ada komplikasi payah jantung yang tidak respon dengan
terapi medika mentosa. Pembedahan dilakukan melalui insisi midsternal dengan prosedur
cardiopulmonary baypass dengan teknik penutupan secara simple suture atau menambal
dengan pericardium atau Teflon Patch.
2.4.8 Komplikasi
Komplikasi dari kelainan Atrial Septum Defek antara lain hipertensi pulmonal, gagal jantung,
endokarditis, dan aritmia.
2.4.9 Prognosis
Atrial Septum Defek dapat ditoleransi dengan baik pada bayi maupun pada anak. Kadang
pada Atrial Septum Defek dengan shunt yang besar menimbulkan gejala-gejala gagal jantung
dan pada keadaan ini perlu dibantu dengan digitalis. Bila dengan digitalis tidak berhasil maka
perlu dioperasi. Atrial Septum Defek dengan shunt yang besar operasi segera
dipertimbangkan guna mencegah terjadinya hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada
tergantung pada besarnya shunt. Bila shunt kecil dan tekanan darah pada ventrikel kanan
normal maka operasi tidak perlu dilakukan.
Pada ASD yang tidak dilakukan penatalaksanaan dapat menyebabkan sindrom Eisen Menger.
Sindrom ini disebabkan karena hipertensi pulmonal dan pembalikan aliran yang sebelumnya
ada pirau dari kiri ke kanan menjadi shunt kanan ke kiri, sehingga darah yang belum
teroksigenasi masuk ke sistemik. Manifestasinya pasien akan menjadi sianosis.
12
2.5 Asuhan Keperawatan Pasien dengan ASD
2.5.1 Pengkajian
Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :
2.5.1.1 Identitas pasien
Nama, usia, jenis kelamin, bangsa, pekerjaan, pendidikan, agama, alamat.
2.5.1.2 Keluhan utama
Keluhan utama yang biasanya dirasakan pada kasus ASD adalah sesak, gelisah, pada anak
atau bayi tidak mau menetek, sulit tidur, pasien merasa letih
2.5.1.3 Riwayat penyakit sekarang
Pada anak biasanya mengalami sesak napas, berkeringat banyak dan terdapat penbengkakan
pada tungkai tetepi biasanya tergantung pada derajat dan defek yang terjadi.
2.5.1.4 Riwayat penyakit dahulu
2.5.1.4.1 Prenatal History
Diperkirakan adanya keabnormalan pada kehemilan ibu (infeksi firus rubela), mungkin ada
riwayat penggunaan alkohol dan obat-obatan serta penyakit DM pada ibu
2.5.1.4.2 Intra natal
Riwayat kehamilan biasanya normal dan diinduksi
2.5.1.4.2.1 Riwayat neonatus
Gangguan respirasi biasanya sesak, takipnue, anak rewel dan kesakitan, tumbuh kembang
anak terhambat, terdapat edema pada tungkai dan hepatomegali, sosial ekonomi keluarga
yang rendah.
2.5.1.5 Riwayat penyakit keluarga
Adanya keluarga apakah itu satu atau dua orang yang mengalami kelainan defek jantung ,
penyakit keturunan, penyakit konginetal atau bawaan
2.5.1.6 Psikososial
Penurunan pern dalam aktivitas sosial dan keluarga , ansietas, kwatir, takut,stress yang
berhubungan dengan penyakit.
2.5.1.7 Pemeriksaan Fisik
2.5.1.7.1 Breathing
nafas pendek, retraksi pada vena jugularis, sela interkosta dan region epigastrium. Diameter
dada bertambah
2.5.1.7.2 Blood
Impuls jantung hiperdinamik kuat terutama yang timbul di ventrikel kiri. Teraba getaran
bising atau mur-mur pada dinding dada, pada ASD getaran bising teraba di sela iga ke 2 atau
13
3 kiri. Pada defek yang sangat besar sering tidak teraba getaran bising karena tekanan di
ventrikel kiri sama dengan ventrikel kanan.
2.5.1.7.3 Brain
Ujung-ujung jari hiperemik
2.5.1.7.4 Bleeder
Terjadi penurunan produksi urine
2.5.1.7.5 Bowel
Hepatomegali atau splenomegali mungkin terlihat
2.5.1.7.6 Bone
Tidak terdapat gangguan pada tulang
2.5.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium, foto thorak,ecg dan echo
2.5.2 Diagnosa Keperawatan
2.5.2.1 Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan malformasi jantung, atrial septum
defek.
2.5.2.2 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan aliran ke paru-
paru
2.5.2.3 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
2.5.2.4 Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan tidak adekuatnya
suplay oksigen dan nutrisi ke jaringan
2.5.2.5 Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh
14
2.5.3.1.2 Palpasi nadi perifer
R/ : tanda penurunan curah jantung dapat diperlihatkan dengan ciri, menurunnya
nadi, radial, popliteal, dorsalis pedis, dan postibial, nadi mungkin cepat hilang atau
tidak teratur untuk dipalpasi dan gangguan pulsasi (denyut kuat disertai dengan
denyut lemah) mungkin ada.
2.5.3.1.3 Kaji perubahan pada sensorik, ex: letargi, cemas dan depresi
R/ : penurunan curah jantung dapat mengakibatkan tidak efektifnya perfusi cerebra
2.5.3.1.4 Berikan istirahat semi recumben pada tempat tidur atau kursi, kaji denga
pemeriksaan fisik sesuai dengan indikasi
R/: istirahat fisik harus dipertahankan selama gagal jantung kongestif akut atau
refraktori untuk memperbaiki efisiensi kontraksi jantung dan menurunkan kebutuhan
atau konsumsi oksigaen miokardium dan kerja berlebihan.
2.5.3.1.5 Berikan istirahat psikologis dengan lingkungan tenang, menjelaskan manajemen
medis atau keperawatan, membantu klien menghindari stres, mendengar atau
merespon terhadap ekspresi perasaan takut.
R/: Stres emosi menghasilkan respons vasokonstriksi, yang terkait langsung dengan
peningkatan tekanan darah, frekwensi dan kerja jantung.
2.5.3.1.6 Batasi aktivitas seperti BAB dan BAK di samping tempat tidur, hindari manuver
valsava : mengejan, defekasi, menahan nafas selama perubahan posisi.
2.5.3.2 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan aliran darah ke
paru-paru, peningkatan sekresi
Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan jalan napas
bersih
kriteria hasil : tidak ada sesak napas, tidak ada bunyi napas tambahan, RR sesuai umur.
Intervensi :
2.5.3.2.1 Kaji frekuensi pernapasan warna kulit serta saturasi oksigen, serta adanya bunyi
napas tambahan
R/ mengetahui secara dini kebutuhan oksigen klien dan adanya penumpukan secret
2.5.3.2.2 Berikan posisi 30 – 45 derajat
R/untuk memudahkan respirasi baru
2.5.3.2.3 Berikan oksigen yang sudah dilembabkan sesuai program
R/ meningkatkan kesediaan oksigen untuk kebutuhan miokardium agar tidak
terjadi hipoksia
15
2.5.3.2.3 Lakukan penghisapan lendir sesuai kebutuhan
R/ untuk mengeluarkan secret dan menjaga kepatenan jalan napas
16
2.5.3.4.4 Hitung intake dan output cairan klien
R/ Untuk memantau keseimbangan cairan, bila kelebihan atau kekurangan dapat
cepat diatasi.
2.5.3.4.5 Berikan minum pada klien atau biarkan menetek jika sesak berkurang dengan sela
istirahat
R/ Membantu reflek menetek.
2.5.3.4.6 Anjurkan ibu klien untuk memangku klien pada saat menetek
R/ Untuk menghindari tersedat dan memberikan kontak psikologis.
2.5.3.4.7 Catat intake dan output klien
R/ Untuk mengetahui intake dan output.
17
18