Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Maret 2020

UNIVERSITAS HALU OLEO

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN


(PJB) SIANOTIK

Oleh :

Riswani Sendana, S.Ked

K1A1 14 107

Pembimbing :

dr. Yeni Haryani., M.Kes, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020

1
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN SIANOTIK
Riswani Sendana, Yeni Haryani

A. PENDAHULUAN
Jantung merupakan organ vital yang memegang peran penting pada
kehidupan setiap insan, termasuk bayi dan anak yang sedang mengalami tumbuh
kembang. Struktur dan fungsi jantung yang normal sangat dibutuhkan untuk
mempertahankan peredaran darah yang stabil guna mencukupi kebutuhan oksigen
dan nutrisi tubuh seorang anak. Namun 7 hingga 8 bayi per 1000 kelahiran hidup
dilahirkan dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB). Relatif tingginya angka
kejadian PJB menyebabkan kelainan ini merupakan kelainan bawaan tersering di
antara kelainan-kelainan bawaan jenis lain, seperti kelainan bawaan saluran cerna,
paru, ginjal, anggota gerak, dan sebagainya. Anak dengan PJB memiliki kelainan
struktur jantung yang dapat berupa lubang atau defek pada sekat ruang-ruang
jantung, penyempitan atau sumbatan katup atau pembuluh darah yang berasal atau
bermuara ke jantung, ataupun abnormalitas konfigurasi jantung serta pembuluh
darah. Kelainan struktur tersebut dapat bersifat tunggal ataupun berkombinasi
sehingga menimbulkan PJB kompleks. Kendati terdapat ratusan bahkan ribuan
tipe kelainan, secara garis besar PJB dapat dikelompokkan menjadi dua tipe. Tipe
pertama disebut dengan PJB biru (sianotik) dan tipe yang kedua disebut dengan
PJB non-sianotik, yaitu PJB yang tidak menimbulkan warna kebiruan pada anak.1
B. DEFINISI
Penyakit jantung bawaan (congenital heart disease, CHD) merupakan
kelainan baik pada struktur maupun fungsi jantung yang didapat sejak masih
berada dalam kandungan.2 PJB sianotik (biru), yaitu jenis PJB yang menyebabkan
warna kebiruan (sianosis) pada kulit dan selaput lendir terutama di daerah
lidah/bibir dan ujung-ujung anggota gerak akibat kurangnya kadar oksigen di
dalam darah.1
C. EPIDEMIOLOGI

2
PJB menduduki peringkat teratas daftar penyakit pada bayi. Jumlah kasus
PJB sianotik diketahui lebih tinggi dari pada PJB asianotik. Di Amerika,
dilaporkan sebanyak 1% bayi dari 40.000 kelahiran hidup menderita PJB. Angka
kejadian PJB di Eropa dilaporkan lebih tinggi daripada di Amerika Utara yaitu 8,2
: 6,9 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di Asia dilaporkan sebanyak 9,3 per
1000 kelahiran hidup. Penelitian Smitha dkk. (2016) menyebutkan terdapat
peningkatan PJB dari 2,5-5 per 1.000 kelahiran hidup menjadi 8,5-13,6 di India.
Penelitian yang dilakukan di RS dr. Soetomo pada tahun 2016 menyebutkan
terdapat 44 anak penderita PJB sianotik dari total 80 (usia 2-5 tahun) pasien PJB.
Dewasa ini angka kejadian PJB di seluruh dunia diperkirakan sebanyak 0,8% (8
bayi per 1000 kelahiran hidup) atau sekitar 40.000 bayi setiap tahun. PJB yang
tidak terdeteksi sejak dini dan tidak tertangani dengan tepat akan berakibat pada
kematian pada bulan pertama kehidupan (33-50%). Di negara maju, PJB dapat
terdeteksi pada usia kurang dari 1 bulan, sedangkan pada negara berkembang,
seperti Indonesia, mayoritas kasus PJB terdeteksi ketika kondisi pasien mulai
memburuk. Namun, sebanyak 30% bayi dengan PJB menunjukkan gejala pada
minggu-minggu awal kehidupan.3
PJB pada bayi baru lahir di beberapa rumah sakit di Indonesia telah meneliti
sebanyak 3069 orang bayi baru lahir, didapatkan sebanyak 55,7% adalah laki-laki
dan 44,3% adalah perempuan dan 28 dari jumlah tersebut (9,1/1000) mempunyai
PJB. Paten Duktus Arteriosus Persisten ditemukan pada 12 orang bayi (42,9%), 6
diantaranya bayi prematur. VSD ditemukan pada 8 bayi (28,6%), ASD pada 3
bayi (19,7%) dan AntrioVentricular Septal Defect (CAVSD) pada 3,6% bayi.
Bayi yang mempunyai PJB yang jenis sianotik adalah 10,7% yaitu 1 bayi dengan
Transposisi Arteri Besar (TAB), dan dua lagi dengan kelainan jantung kompleks
sindrom sianotik. Dari 28 bayi ini, 4 bayi meninggal dunia (14,3%) selama 5 hari
pengamatan. 4

3
D. ETIOLOGI
Etiologi pasti PJB hingga saat ini masih belum diketahui. Namun, terdapat
pelbagai faktor yang dapat meningkatkan risiko bayi untuk menderita defek
kongenital ini. Faktor risiko tersebut antara lain penggunaan obat-obatan
teratogenik oleh ibu saat hamil, adanya riwayat kejang/SLE pada ibu hamil
(terutama pada trimester 1), riwayat obstetri yang buruk, usia ibu lanjut (berkaitan
dengan sindrom Down), dan kondisi lingkungan. Defisiensi asam folat dan
multivitamin selama masa kehamilan pada trimester 1 juga dilaporkan dapat
meningkatkan risiko PJB. Adanya riwayat PJB pada keluarga juga berperan. Pola
genetik pada PJB dapat berupa autosomal dominan, autosomal resesif, dan X-
linked. Risiko terjadinya PJB akan meningkat bila orang tua atau saudara
penderita juga mengidap PJB dan dapat menjadi 3 kali lipat jika 2 orang saudara
terdekat menderita PJB. Kejadian PJB juga dikaitkan dengan adanya riwayat
kardiomiopati dan kematian mendadak (terutama pada anak sebelumnya atau
pada keturunan pertama) pada keluarga. Faktor genetik tidak berperan sendiri,
diketahui faktor lingkungan sangat berpengaruh, terutama selama proses
embriogenesis. Peningkatan hormon kortisol pada ibu hamil akibat stres akan
mengganggu vaskularisasi uteroplasenta yang menyebabkan defisit
pertumbuhan.3
E. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS 5
1. EMBRIOGENESIS JANTUNG
Embriogenesis jantung merupakan serangkaian proses yang kompleks.
Untuk keperluan pemahaman, proses yang rumit tersebut dapat disederhanakan
menjadi 4 tahapan, yaitu :
a) Tubing (Pembentukan Tabung)
Pada awal pembentukan jantung hanya merupakan sebuah tabung
lurus yang berasal dari fusi sepasang pridomia simetris. Pada beberapa
bagian terdapat dilatasi ventrikel yaitu atrium primitif, komponen ventrikel
yang terdiri dari segmen inlet dan outlet serta traktus arteriosus yang kelak

4
menjadi aorta dan arteri pulmonalis. Pembentukan jantung ini terjadi pada
embrio yang berusia 6 minggu kehamilan yang panjangnya sekitar 10mm.

Gambar 1. Tahapan Tubing (Kiri) dan Looping (Kanan)


b) Looping
Proses perkembangan selanjutnya dikenal sebagai suatu pembentukan
“loop” antara atrium dengan komponen inlet dengan outlet ventrikel.
c) Septasi
Proses selanjutnya adalah tahapan septasi atrium, ventrikel serta
trunkus arteriosus. Sistem vena yang simetris mengalami lateralisasi dengan
anastomosis dari kiri ke kanan di daerah kepala dan abdomen. Septasi
trunkus arteriosus terjadi dengan terbentuk dan berfungsinya tonjolan-
tonjolan endokardial yang dimulai dari segmen outlet ventrikel. Semula
proses ini berlangsung seperti spiral dan selanjutnya pada saat fusi menjadi
septum yang lurus. Septum tersebut kemudian menjadi pemisah aorta dan
arteri pulmonalis.

5
Gambar 2. Septasi Trunkus Arteriosus jadi Aorta dan Arteri Pulmonalis
d) Migrasi
Bersamaan dengan proses perkembangan septasi kanalis
atrioventrikularis dengan terbentuknya bantalan endokardium, juga terjadi
pergeseran (migrasi) segmen inlet ventrikel, sehingga officium
antrioventrikularis kanan dan kiri akan berhubungan dengan daerah
trabekuler ventrikel kanan. Pada saat yang sama, terbentuk septum inlet
antara officium antrioventrikularis kanan dan kiri, sehingga ventrikel kanan
sudah mempunyai daerah inlet dan outlet sedangkan ventrikel kiri hanya
mempunyai inlet.

Gambar 3. Skema Pembentukan Bagian-Bagian Ventrikel

6
Gambar 4. Migrasi bagian Inlet Ventrikel, Ventrikel Kiri hanya mempunyai
Inlet. Ventrikel Kanan mempunyai Inlet dan Outlet
2. SIRKULASI JANIN 5
Sebelum lahir, darah dari plasenta, yang sekitar 80% tersaturasi dengan
oksigen, kembali ke janin melalui vena umbilikalis. Sewaktu mendekat hati,
sebagain besar darah ini mengalir melalui ductus venosus langsung masuk ke
vena kava inferior, memintasi hati. Sejumlah kecil darah masuk ke sinusoid hati
dan bercampur dengan darah dari sirkulasi porta. Mekanisme sfingter di dalam
duktus venosus, dekat dengan pintu masuk ke vena umbilikalis, mengatur aliran
darah tali pusat melalui sinusoid hati. Sfingter ini menutup ketika kontraksi
uterus menyebabkan aliran balik vena terlalu tinggi, sehingga dapat mencegah
pembebanan berlebihan yang mendadak pada jantung.
Sesudah perjalanan singkat di vena kava inferior, tempat darah plasenta
bercampur dengan darah terdeoksigenasi yang kembali dari ekstremitas bawah,
darah plasenta masuk ke atrium kanan. Disini, darah plasenta diarahkan ke
foramen ovale oleh katup vena kava inferior, dan sebagian besar darah dialirkan
langsung ke dalam atrium kiri. Sejumlah kecil darah tidak dapat melewati jalur
tersebut karena terhambat tepi bawah septum sekundum, krista dividens, dan
tetap berada di dalam atrium kanan. Disini, darah bercampur dengan darah
terdesaturasi yang kembali dari kepala dan lengan melalui vena kava superior.

7
Dari atrium kiri, tempat darah bercampur dengan sejumlah kecil darah
terdesaturasi yang kembali dari paru, darah masuk ke ventrikel kiri dan aorta
ascendens. Sebab arteri koronaria dan arteri karotis adalah cabang-cabang
pertama dari aorta asendens, otot jantung dan otak disuplai oleh darah yang
teroksigenasi dengan baik. Darah terdesaturasi dari vena kava superior mengalir
melalui ventrikel kanan ke dalam trunkus pulmonalis. Selama kehidupan janin,
tahanan di dalam pembuluh darah paru tinggi sehingga sebagian besar dari
darah ini mengalir langsung melalui duktus arterious ke dalam aorta desendens,
darah mengalir ke arah plasenta melalui dua arteri umbilikalis. Saturasi
oksigen di dalam arteri umbilikalis sekitar 58%.
Selama perjalanannya dari plasenta ke organ-organ janin, darah di dalam
vena umbilikalis secara bertahap kehilangan kandungan oksigennya yang tinggi
sewaktu darah ini bercampur dengan darah terdesaturasi. Secara teoritis,
pencampuran dapat terjadi di tempat-tempat berikut:
a) Di hati, bercampur dengan sejumlah kecil darah yang kembali dari sistem
porta
b) Di vena kava inferior yang membawa darah terdeoksigenasi yang kembali
dari ekstremitas bawah, pelvis, dan ginjal
c) Di atrium kanan bercampur dengan darah yang kembali dari kepala dan
ekstremitas
d) Di atrium kiri bercampur dengan darah yang kembali dari paru
e) Di muara duktus arteriosus ke dalam aorta desendens.
3. PERUBAHAN SIRKULASI SAAT LAHIR 5
Perubahan pada sistem vaskular saat lahir disebabkan oleh penghentian
aliran darah plasenta dan permukaan pernapasan. Karena duktus arteriosus
menutup akibat kontraksi otot pada dindingnya, jumlah darah yang mengalir
melalui pembuluh darah paru meningkat dengan cepat. Hal ini kemudian
meningkatkan tekanan di dalam atrium kiri. Secara bersamaan, tekanan di
atrium kanan menurun sebagai akibat terhentinya aliran darah plasenta. Lalu

8
septum primum melekat ke septum sekundum sehingga foramen ovale menutup
secara fungsional.
Penutupan arteri umbilikalis, akibat kontraksi otot polos di dindingnya,
kemungkinan disebabkan oleh rangsangan suhu dan mekanis serta perubahan
dalam tegangan oksigen. Secara fungsional, arteri menutup beberapa menit
sesudah lahir, walaupun obliterasi lumen sesungguhnya oleh proliferasi fibrosa
mungkin memerlukan waktu 2 hingga 3 bulan. Bagian distal arteri umbilikalis
membentuk ligamentum umbilikale medianum, dan bagian proksimal tetap
terbuka sebagai arteri vesikalis superior.
Penutupan vena umbilikalis dan duktus venosus terjadi segera sesudah
penutupan arteri umbilikalis. Dengan demikian, darah dari plasenta dapat
masuk ke bayi baru lahir selama beberapa waktu sesudah lahir. Setelah
mengalami obliteasi, vena umbilikalis membentuk ligamentum teres hepatis di
tepi bawah ligamentum falsiforme. Duktus venosus, yang berjalan dari
ligamentum teres hepatis ke vena kava inferior, juga mengalami obliterasi dan
membentuk ligamentum venosum.
Penutupan duktus arteriousus oleh kontraksi dinding ototnya terjadi
hampir segera sesudah lahir, hal ini diperantarai oleh bradykinin, suatu zat yang
dilepaskan dari paru selama permulaan pengembangan paru. Obliterasi
anatomis sempurna akibat proliferasi tunika intima diperkirakan mebutuhkan
waktu 1 hingga 3 bulan. Pada orang dewasa, duktrus arteriousus yang
mengalami obliterais ini membentuk ligamentum arteriousum.
Penutupan foramen ovale di sebabkan oleh peningkatan tekanan di atrium
kiri, disertai dengan penurunan tekanan di sisi kanan. tarikan napas pertama
menekan septum primum ke septum sekundum. Namun, selama hari-hari
pertama kehidupan, penutupan ini bersifat reversibel. Tangisan bayi
mencipatakan pirau (shunt) dari kanan ke kiri, yang menjadi penyebab periode
sianotik pada bayi baru lahir. Penempalan yang terus menerus secara perlahan
menyebabkan penyatuan kedua septum dalam waktu 1 tahun. Namun, pada

9
20% individu, penutupan anatomis secara sempurna mungkin tidak pernah
terjadi (probe patent foramen ovale).
F. PENYAKIT JANTUNG BAWAAN SIANOTIK
Pada PJB sianotik didapatkan kelainan struktur dan fungsi jantung
sedemikian rupa sehingga sebagian atau seluruh darah balik vena sistemik yang
mengandung darah rendah oksigen kembali beredar ke sirkulasi
sistemik.Terdapat aliran pirau dari kanan ke kiri atau terdapat percampuran darah
balik vena sistemik dan vena pulmonalis. Pada golongan PJB ini sianosis pada
mukosa bibir dan mulut serta kuku jari tangan–kaki adalah penampilan utama
dan akan terlihat bila reduce haemoglobin yang beredar dalam darah lebih dari 5
gram %. Bila dilihat dari penampilan klinisnya, secara garis besar terdapat 2
golongan PJB sianotik yaitu (1) yang dengan gejala aliran darah ke paru yang
berkurang, misalnya Tetralogi of Fallot (TF) dan (2) yang dengan gejala aliran
darah ke paru yang bertambah misalnya Transposition of the Great Arteries
(TGA.) 6
1. Dengan Vaskularisasi Paru Berkurang
a. Tetralogi of Fallot (TOF)
TF adalah kelainan jantung bawaan dengan gejala sianosis yang
timbul sejak bayi lahir, dan bertambah nyata jika bayi menangis atau
menetek lama. Bila kelainan ringan maka sianosis baru timbul setelah
anak besar.Terdapat 4 kelainan khas, yaitu defek septum ventrikel
(ventricular septal defect, VSD), stenosis infundibulum ventrikel kanan
atau biasa disebut stenosis pulmonal, hipertrofi ventrikel kanan, dan
overriding aorta.7 Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan bising sistolik
keras pada area pulmonal yang menandakan stenosis pulmonal. Nilai
SpO2 yang tinggi menunjukkan adanya obstruksi ringan pada aliran
ventrikel kanan. Bayi yang tidak terdeteksi TOF sejak dini, akan
terdiagnosis setelah mendapat serangan spell. 3

10
Gambar 5. Gambaran jantung normal dan Tetralogy of Fallot
b. Manifestasi Klinis 8
Derajat stenosis pulmonal berpengaruh langsung pada berbagai
macam manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada pasien ToF.
Seorang pasien dengan stenosis pulmonal ringan mungkin tidak memiliki
gejala apa pun sampai akhir masa kanak-kanak, sementara pasien dengan
stenosis pulmonal berat memiliki kemungkinan lebih tinggi muncul gejala
klinis dalam bulan pertama kehidupan. Bayi tidak menunjukkan sianosis
pada saat lahir, gejala mulai berkembang antara umur 2-6 bulan.
Manifestasi klinis paling umum adalah murmur asimtomatik dan sianosis.
Saturasi oksigen arteri bayi ToF bisa tiba-tiba menurun dengan nyata.
Fenomena ini disebut“hypercyanotic spell”, biasanya merupakan hasil
penyempitan secara mendadak aliran darah ke paru. Serangan dapat
terjadi setiap waktu antara usia 1 bulan dan 12 tahun, terutama terjadi
antara bulan ke-2 dan ke-3. Paling sering terlihat setelah bangun tidur,
menangis, buang air besar, dan makan. Serangan ditandai dengan
meningkatnya kecepatan dan kedalaman pernapasan (hiperpnea) dengan
sianosis yang bertambah parah. Anak ToF menjadi iritatif dalam keadaan
kadar oksigen berkurang, atau memerlukan asupan oksigen yang lebih
banyak, anak dapat menjadi mudah lelah, mengantuk, atau bahkan tidak

11
merespons ketika dipanggil, menyusui yang terputus-putus. Anak dengan
hypercyanotic spell akan melakukan gerakan jongkok (squating), agar
aliran darah ke paru menjadi bertambah, dan serangan sianosis dan sesak
menjadi berkurang. Pada anak ToF, biasanya dijumpai keterlambatan
pertumbuhan, tinggidan berat badan dan ukuran tubuh kurus yang tidak
sesuai dengan usia anak gambaran anatomi jantung mulai terlihat jelas
pada fetal echocardiography, biasanya pada usia gestasi 12 minggu.
Segera setelah ToF didiagnosis, disarankan pengamatan antenatal serial
dengan interval 6 minggu untuk mengikuti pertumbuhan arteri
pulmonalis, untuk menilai kembali arah arteri paru utama dan aliran
duktal dan untuk mengevaluasi, jika ada kelainan di luar jantug.
c. Kriteria Diagnosis
1) Anamnesis 8
Pada pasien ToF biasanya terdapat keluhan utama sianosis,
pernafasan cepat. Selanjutnya perlu ditanyakan kepada orang tua atau
pengasuh pasien, kapan pertama kali munculnya sianosis, apakah
sianosis ditemukan sejak lahir, tempat sianosis muncul, misalnya pada
mukosa membrane bibir dan mulut, jari tangan atau kaki, apakah
munculnya tanda-tanda sianosis didahului oleh faktor pencetus, salah
satunya aktivitas berlebihan atau menangis. Riwayat serangan sianotik
(hypercyanotic spell) juga harus ditanyakan kepada orang tua pasien
atau pengasuh pasien. Jika anak sudah dapat berjalan apakah sering
jongkok (squating) setelah berjalan beberapa langkah sebelum
melanjutkan kembali berjalan. Penting juga ditanyakan faktor risiko
yang mungkin mendukung diagnosis ToF yaitu seperti faktor genetik,
riwayat keluarga yang mempunyai penyakit jantung bawaan. Riwayat
tumbuh kembang anak juga perlu ditanyakan, pemeriksaan tumbuh
kembang dapat digunakan juga untuk mengetahui apakah terjadi gagal
tumbuh kembang akibat perjalanan penyakit ToF.

12
2) Pemeriksaan Fisis 8
Sianosis sentral dapat diamati pada sebagian besar kasus ToF.
Clubbing fingers dapat diamati pada beberapa bulan pertama
kehidupan. Impuls ventrikel kanan yang lebih kuat mungkin
didapatkan pada palpasi. Systolic thrill bisa didapatkan di perbatasan
sternal kiri bawah. Murmur sistolik grade III dan IV disebabkan oleh
aliran darah dari ventrikel kanan ke saluran paru. Selama serangan
hypercyanotic spell muncul, murmur menghilang atau menjadi sangat
lembut. Murmur ejeksi sistolik tergantung dari derajat obstruksi aliran
darah di ventrikel kanan. Makin sianosis berarti memiliki obstruksi
lebih hebat dan murmur lebih halus. Pasien asianotik dengan ToF
(pink tet) memiliki murmur sistolik yang panjang dan keras dengan
thrill sepanjang aliran darah ventrikel kanan. Selain itu bisa ditemukan
klik ejeksi aorta, S2 tunggal (penutupan katup pulmonal tidak
terdengar). Sering pula pasien ToF mengalami skoliosis dan retinal
engorgement.
3) Pemeriksaan Penunjang 9
a) Rontgen thoraks, CTR biasanya normal atau sedikit membesar.
Apeks jantung kecil dan terangkat, konus pulmonalis cekung, serta
vaskularisasi paru menurun. Gambaran ini biasa disamakan dengan
bentuk sepatu.

Gambar 6. Gambar Rontgen Tetralogy Of Fallot

13
b) Electrocardiografi, menunjukkan deviasi sumbu ke kanan dan
hypertrofi ventrikel kanan.

Gambar 7. Gambar EKG Tetralogy Of Fallot


c) Echocardiografi, didapatkan over-riding aorta dan terdapat
penebalan dinding ventrikel kanan tanpa katup pulmonal.
Echocardiografi dapat menunjukkan kelainan anatomis yang ada.
d. Tatalaksana 2
Pada bayi atau anak dengan riwayat spel hipoksia harus diberikan
Propranolol peroral sampai dilakukan operasi.Dengan obat ini diharapkan
spasme otot infundibuler berkurang dan frekwensi spel menurun. Selain
itu keadaan umum pasien harus diperbaiki, misalnya koreksi anemia,
dehidrasi atau infeksi yang semuanya akan meningkatkan frekwensi spel.
Bila spel hipoksia tak teratasi dengan pemberian propranolol dan keadaan
umumnya memburuk, maka harus secepatnya dilakukan operasi paliatif
Blalock-Tausig Shunt (BTS), yaitu memasang saluran pirau antara arteri
sistemik (arteri subklavia atau arteri inominata) dengan arteri pulmonalis
kiri atau kanan. Tujuannya untuk menambah aliran darah ke paru
sehingga saturasi oksigen perifer meningkat, sementara menunggu bayi
lebih besar atau keadaan umumnya lebih baik untuk operasi definitif
(koreksi total)

14
Gambar 8. Algoritme tata laksana ToF
e. Komplikasi 8
1) Abses cerebri
2) Gagal jantung
3) Endokarditis
4) Polisitemia dan sindrom hiperviskositas
f. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsional : dubia ad bonam

2. Dengan Vaskularisasi Paru Bertambah


a. Transposisi Arteri Besar (TAB), atau Transposition of The Great
Arteries (TGA)
Dengan golongan ini yang terbanyak adalah transposisi arteri besar
(TAB), atau Transposition of The Great Arteries (TGA). Kelainan berupa
adanya pemindahan asal dari aorta dan arteri pulmonalis; aorta keluar dari
ventrikel kanan dan arteri pulmonalis dari ventrikel kiri.5 TGA merupakan

15
tipe PJB sianotik terbanyak setelah TOF dan paling sering menunjukkan
gejala klinis di minggu pertama kehidupan. TGA ditandai dengan
tertukarnya letak aorta dan arteri pulmonalis sehingga darah rendah
oksigen kembali ke ventrikel kanan dan terpompa ke sirkulasi sistemik
melalui aorta. Bayi dengan TGA akan mengalami sianosis dalam 12 jam
pertama setelah lahir yang tidak berespons pada pemberian oksigen
ataupun ventilasi mekanik. Bising jantung dapat tidak ditemukan atau
mungkin terdengar S2 tunggal.3
Ada dua macam TGA yaitu Complete TGA, dimana hanya
pembuluh darah arteri besar yang tertukar letaknya, aorta keluar dari
ventrikel kanan dan arteri pulmonalis dari ventrikel kiri (ventriculo-
arterial discordance). Pada kelainan ini sirkulasi darah sistemik dan
sirkulasi darah paru terpisah dan berjalan paralel. Kelangsungan hidup
pasien sangat tergantung pada adanya percampuran darah balik sistemik
dan paru, baik ditingkat atrium (Atrial Septal Defect / ASD), ventrikel
(Ventricular Septal Defect / VSD) atau arterial (Patent Ductus Arteriosus /
PDA) dan Corrected TGA dimana selain pembuluh darah arteri besar
yang tertukar letaknya (atrioventriuclar discordance); kedua ventrikel
juga tertukar letaknya, yaitu ventrikel kiri berhubungan dengan atrium
kanan dan ventrikel kanan dengan atrium kiri (ventriculo-arterial
discordance). 2

16
Gambar 9. Gambar Transposition of Great Arterie
b. Gambaran Klinis 7
Gejala khas pada pasien TAB ialah bayi lahir dalam keadaan
sianosis, pucat kebiru – biruan yang disebut Picass Blue. Sianosis merata
ke seluruh tubuh kecuali jika resistensi vaskuler paru sangat tinggi,
bagian tubuh sebelah atas akan lebih sianotik daripada bagian bawah;
venektasi jelas pada jari – jari. Pada foto inframerah terlihat jelas
gambaran pembuluh darah abnormal. Bayi dengan TAB pada umumnya
pada waktu lahir berat badan dan panjang badannya seperti anak normal.
Baru pada bulan ketiga terdapat kelambatan pertambahan berat badan dan
panjang badan serta perkembangan otot terganggu. TAB disertai
pulmonal stenosis sering timbul serangan anoksia dan adanya serangan
ini merupakan pertanda bahaya kematian. Bila terdapat gejala takipnea
merupakan tanda adanya gagal jantung. Pada aliran darah paru yang
bertambah menunjukkan penampang antero – posterior dada bertambah.
Pada anak besar dengan TAB tampak jelas voussurre cardiac ke kiri.
c. Kriteria Diagnosis
1) Anamnesis
a) Sianosis

17
b) Tanda -tanda gagal jantung kongestif (TGA dengan VSD)
menimbulkan gejala seperti sesak nafas, kesulitan mengisap susu,
dan gagal tumbuh kembang.
2) Pemeriksaan fisik
Sianosis merupakan tanda klinis yang utama. Sianosis menetap
meskipun bayi diberikan oksigen 100 persen. Biasanya tidak terdapat
bising jantung, tetapi bunyi jantung kedua terdengar keras karena aorta
yang mengalami transposisi terletak disebalah anterior, dekat dengan
dinding dada.
3) Pemeriksaan penunjang 9
a) Rontgen thoraks
Gambaran khas pada transposisi arteri besar adalah jantung
dengan pedicle atau mediastinum yang sempit oleh karena posisi aorta
dan arteri pulmonalis serta arteri-posterior dan kelenjar tymus yang
sering tidak ada. Jantungnya berbentuk telur yang terletak pada sisinya
(egg on side). Corakan vascular paru awalnya tampak normal,
kemudian menjadi pletorik. Bila transposisi disertai VSD dan stenosis
pulmonal, maka vaskularisasi paru menurun dan ukuran jantung
normal.

Gambar 10. Gambar Transposisi Arteri Besar.

18
b) Elektrokardiografi
Menunjukkan pola normal pada neonatus. Hypertrofi ventrikel
kanan dan pembesaran atrium kanan makin jelas setelah pasien
berumur 2 minggu. Terdapat hypertrofi biventricular yang berdampak
adanya VSD besar.

Gambar 11. Gambar EKG Transposisi Arteri Besar


c) Echocardiografi
Echocardiografi 2D dan Doppler sangat penting untuk
penilaian anatomis dan fungsional, serta untuk menyingkirkan
diagnosis lain. Pada sumbu panjang parasternal tampak satu pembuluh
darah besar yang keluar dari ventrikel kiri, melengkung ke bawah dan
bercabang dua.

d. Tatalaksana
Pemberian PGE1 sampai waktu operasi diperlukan agar PDA tetap
terbuka dan kadang diperlukan tindakan ballon atrial septostomy untuk
membuat atau memperlebar ASD sampai operasi koreksi dapat dilakukan.
Jika sianosis menetap meski PDA telah diusahakan tetap terbuka, berikan
bolus cairan atau inotropik. Pasien yang menjalani operasi repair juga
memerlukan follow-up seumur hidup.3 Sebuah pintas antara sirkulasi

19
sistemik dan sirkulasi pulmonal diperlukan segera. Pintas tersebut dibuat
dengan cara Balloon Atrial Septostomy (prosedur Rashkind). Sebuah
kateter khusus berlumen ganda dimasukkan lewat vena cava inferior,
atrium kanan dan foramen ovale menuju ke atrium kiri. Balon dekat
kateter dikembangkan dengan medium kontras, kemudian kateter dan
balon ditarik kembali dengan keras melalui septum atrium, sehingga
merobek septum dan membuat defek septum yang besar. Hal ini
memungkinkan pencampuran darah dan menyebabkan sianosis. Operasi
koreksi definitive merupakan suatu perbaikan anatomi, yaitu dengan
mengganti arteri pulmonalis dan aorta ke ventrikel yang seharusnya. Hal
ini biasanya dilakukan pada minggu pertama atau minggu ke dua
kehidupan.2
e. Komplikasi
1) Hipertensi pulmonal
2) Aritmia atrial
f. Prognosis 10
Jika lesi dibiarkan tidak ditangani, prognosis untuk TGA buruk;
30% pada minggu pertama, 50% pada bulan pertama dan 90% pada akhir
tahun pertama. Dengan pengobatan yang baik maka angka perlangsungan
hidup mencapai >90%.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Salamiah, N. 2014. Mengenal Kelainan Jantung Bawaan Pada Anak. Artikel IDAI.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2016. Panduan Praktik
Klinis dan Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta
3. Widjaja, S, L. 2019. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik, Hypercyanotic Spell, dan
Kondisi Lain yang Berkaitan. IDAI Sumatera Selatanbekerja sama dengan
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang
4. Ain, N., Hariyanto, D., Rusdan, S. 2015. Karakteristik Penderita Penyakit Jantung
Bawaan pada Anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari 2010-Mei
2012. Jurnal Kesehatan Andalas 4(3): 928-935
5. Sadler, T, W. 2017. Embriologi Kedokteran Lagman. EGC. Jakarta.
6. Roebiono PS. 2010. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan.
Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK-UI Pusat Jantung Nasional
Harapan Kita. Jakarta
7. Ngastiyah. 2012. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta
8. Ruslie, R.H., Darmadi. 2013. Diagnosis dan Tata Laksana Tetralogy of Fallot.
40(3): 176-181
9. Rampengan, S.H. 2014. Buku Praktis Kardiologi. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta
10. Hull, D., Johnston,D.I. 2008. Dasar – Dasar Pediatri. EGC. Jakarta
11. Pudjiadi,A.H., Hegar, B., Handrayastuti, Setyo., Idri, N.S. 2009. Pedoman Pelayanan
Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta

21

Anda mungkin juga menyukai