ilmu geologi batubara dikenal sebagai salah satu jenis batuan sedimen yang memiliki sifat dapat terbakar, terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang terendapkan dan termampatkan dalam periode waktu panjang dan mengalami proses pembatubaraan. Secara berurutan batubara terbentuk dari sisa material tumbuhan yang terkonversi menjadi gambut, kemudian menjadi lignite, lalu menjadi sub-bituminus, bituminus, dan terakhir menjadi antrasit.
Penjelasan tenting pembagian penggunaan batubara ( thermal dan coking)
Thermal Coal Thermal coal atau yang dikenal juga sebagai steaming coal adalah batubara yang biasa dibakar untuk menggerakkan turbin penghasil listrik baik itu untuk pemenuhan kebutuhan energi publik maupun industri(seperti industri keramik, manufaktur kertas, industri semen, dll). Selama proses dihasilkannya energi batubara dihancurkan hingga berukuran halus kemudian dibakar di dalam boiler untuk menghasilkan uap(steam) yang akan menjadi penggerak turbin. Indonesia adalah negara yang dikenal sebagai ekportir utama thermal coal disamping juga Australia, Afrika Selatan, Kolombia, Russia, dan Amerika Serikat. Batubara yang bisa dimanfaatkan untuk steming coal adalah batubara dengan rank subbituminus dan bituminus. Untuk batubara dengan rank subbituminus, sifat non- coking yang dimilikinya membatasi pemanfaatan batubara ini untuk bahan bakar pembangkit tenaga. Batubara yang dimanfaatkan sebagai thermal coal pada umumnya memiliki karakteristik kandungan fixed carbon antara 35% hingga 85%, ash content berkisar dari 5% hingga 12%, moisture hingga 17%, dan kisaran volatile matter yang bervariasi. Baik subbituminus dan bituminous saat dibakar untuk menggerak turbin pembangkit listrik, akan menghasilkan emisi gas yang berbahaya(particulated material, oksida sulfur, oksida nitrogen, dan merkuri). Emisi gas ini dapat memicu terjadinya hujan asam, yang menjadi perhatian khusus berbagai negara yang memanfaatkan thermal coal sebagai bahan bakar utama pemangkit tenaga listrik. Pada prakteknya, untuk mengurangi dampak berbahaya hujan asam terhadap linkungan, pencampuran subbituminus dengan bituminus dilakukan pada instalasi pembangkit tenaga listrik. Sifat alkali yang dimiliki by product subbituminus dapat mengikat senyawa sulfur yang dilepaskan oleh batubara bituminous, oleh karenanya dapat mengurangi potensi pembentukan kabut asam. Coking Coal Coking coal adalah batubara yang digunakan dalam proses pembuatan coke atau kokas yang dipakai dalam industri pembuatan baja dan besi. Istilah lain yang menjadi sinonim untuk coking coal adalah metallurgical coal. Untuk mempelajari coking coal maka pemahaman tentang coke harus dimiliki terlebih dahulu, karena secara sederhana coking coal adalah batubara yang memiliki atribut yang sesuai untuk diproses menjadi coke. Coke atau kokas sendiri adalah bahan keras yang memiliki porositas dan konsentrasi karbon tinggi yang dihasilkan dari proses pemanasan batubara bituminous tanpa udara pada temperatur yang sangat tinggi(pirolisis). Coke dihasilkan dengan memanaskan batubara di dalam coke oven pada keadaan reduksi. Seiring dengan bertambahnya temperatur, batubara akan menjadi bersifat plastik, mengalami fusi secara bersamaan sebelum mengalami resolidifikasi menjadi partikel coke. Ini dikenal sebagai proses caking. Kualitas coking coal secara garis besar dipengaruhi oleh coal rank, komposisi(kandungan mineral & makeral inert reaktif), dan kemampuan inheren saat dipanaskan, menjadi plastik, dan resolidifikasi menjadi masa koheren. Batubara bituminus dengan kelas high volatile A, medium volatile, dan low volatile memiliki properti ini, namun tidak semuanya dapat memproduksi kokas dengan kualitas yang diinginkan. Beberapa bahkan dapat bersifat destruktif terhadap oven kokas. Untuk mengkompensasi kekurangan batubara individual dengan keseluruhan properti yang diinginkan, proses pencampuran akan dilakukan terhadap 2 hingga 20 batubara berbeda. Campuran batubara ini dapat dimanajemen untuk mengoptimasi kualitas kokas dan mereduksi biaya material mentah. Batubara individual dan campuran harus memiliki proporsi komponen inert dan reaktif yang pantas, harus memiliki mineral alkalis dengan konsentrasi rendah, ash dan sulfur rendah dan cukup memiliki sifat termoplastik untuk mengikat keseluruhan komponen bersama. Pada waktu yang bersamaan , mereka juga harus menyediakan level kontraksi yang memungkinkan masa kokas untuk dapat dipindahkan dari oven kokas.
Penjelasan lebih mendalam tentang coking coal
Batubara kokas berasal dari spesifikasi peringkat batubara bituminous yang memiliki sifat meng-kokas atau disebut juga agglomerating, yaitu ketika batubara dipanaskan dalam keadaan tanpa udara (inert) dalam suhu tinggi, batubara akan melembut (soften), menjadi plastis, mengembang (swell), dan mengalami resolidifikasi sehingga menjadi material karbon berpori, yang dapat digunakan dalam industri pembuatan baja (Hower, 2002). Tidak semua batubara memiliki sifat untuk mengkokas, batubara yang memiliki sifat mengkokas disebut sebagai caking coal sedangkan batubara yang tidak memiliki sifat mengkokas disebut sebagai non-caking coal yaitu batubara yang ketika dipanaskan tidak melembut (soften), menjadi plastis, mengembang (swell), dan mengalami resolidifikasi. Dalam penentuan sifat kokas pada batubara, diperlukan pengujian khusus untuk mengetahui sifat batubara yang dapat diklasifikasikan menjadi batubara kokas. Metode yang umumnya digunakan dalam penentuan sifat kokas adalah Crucible Swelling Number (CSN), Gray-King Assay, Roga Assay, uji dilatometer, dan uji Gieseler Plastometer.
Cara mengklasifikasikan coking coal
Crucible Swelling Number (CSN) merupakan uji paling sederhana yang dilakukan untuk mengevaluasi apakah batubara berpotensi untuk pembentukan kokas. Uji ini dapat menjadi uji awal antara batubara kokas dan bukan kokas. Uji ini juga memiliki beberapa pengujian dari karakteristik reaktif kokas. Uji ini melibatkan pemanasan cepat dari sedikit sampel batubara yang dihancurkan pada cawan standar dengan suhu 800°C. setelah pemanasan, sedikit “button” atau tombol kokas tersisa dalam cawan. Tombol kokas (ukuran dan bentuk) yang tersisa dalam cawan ini dibandingkan dengan serangkaian standar dengan nomor 1-9 dengan 1⁄2 kenaikan yang dapat dilihat pada Gambar dibawah  Gambar Standar pembanding CSN
Rank batubara paling baik untuk coking coal
Batubara berdasarkan peringkatnya dapat diklasifikasikan mulai dari lignit, sub- bituminous, bituminous, semi antrasit hingga antrasit sesuai dengan proses pembentukannya. Penentuan peringkat batubara dapat diklasifikasikan berdasarkan ketentuan ASTM D-388 menggunakan parameter nilai Fixed Carbon (FC), Volatile Matter (VM), dan Calorie Value (CV). Dalam ASTM D-388 penentuan peringkat batubara diklasifikasikan menggunakan dua cara, yaitu klasifikasi berdasarkan nilai CV dalam basis moist mineral matter free (mmmf) untuk batubara dengan peringkat rendah mulai dari lignit hingga sub-bituminous, dan klasifikasi berdasarkan nilai FC dan VM dalam basis dry mineral matter free (dmmf) untuk batubara dengan peringkat tinggi mulai dari bituminous hingga antrasit. Dalam tabel klasifikasi peringkat batubara berdasarkan ASTM D-388 batubara dengan kemampuan agglomerating (menggumpal) terdapat pada peringkat batubara bituminous. Oleh sebab itu dalam tabel klasifikasi peringkat batubara, sifat kokas yang paling baik ada pada batubara bituminous. 
Pemanfaatan dari coking
 Gambar Skema pemanfaatan kokas dalam industri pembuatan baja. Coking coal pada umumnya dimanfaatkan untuk industri baja atau besi yang terintegrasi. Saat proses pembuatan baja dilakukan, terdapat dua bahan mentah yang dibutuhkan yaitu biji besi dan kokas. Kokas yang berasal dari coking coal digunakan untuk mengkonversikan biji besi menjadi besi cair. Dalam penggunaannya terdapat tiga kategori coking coal: (1) hard coking coal yang menghasilkan kokas dengan kualitas tinggi; (2) semi-soft coking coal yang menghasilkan kokas dengan kualitas lebih rendah; dan (3) PCI coal. PCI coal secara umum tidak dianggap sebagai metallurgical coal, dan lebih digunakan untuk menggantikan kokas yang mahal pada proses injeksi di tanur. Instalasi pembuatan baja akan mengoptimasi penggunaan semi-soft coking coal dan PCI coal dalam rangka mereduksi biaya operasional keseluruhan.