Pekerjaan profesi merupakan pekerjaan yang telah melalui proses pendidikan dan latihan
tertentu sehingga lulusannya bisa memiliki keahlian dan keterampilan khusus. Dokter, ahli hukum,
dan dosen merupakan contoh pekerjaan profesi. Pekerjaan profesi mempunyai ciri-ciri antara lain :
pendidikannya sesuai standar nasional, bekerja dengan mengutamakan panggilan kemanusiaan,
memiliki kode etik profesi yang mengikat seumur hidup, legal melalui perizinan, belajar sepanjang
hayat, dan tergabung sebagai anggota dalam suatu organisasi profesi. Etik merupakan seperangkat
asas atau nilai yang berkaitan dengan akhlak yang biasanya digunakan untuk menyatakan sikap atau
pandangan yang dapat diterima atau tidak dapat diterima secara etis. Etik profesi merupakan
seperangkat aturan mengenai perilaku anggota profesi dalam hubungannya dengan orang lain. Etik
profesi ini biasanya disusun dalam suatu Kode Etik Profesi. (1. ETIK KEDOKTERAN DAN
HUKUM KESEHATAN). Profesi dokter memiliki kode etik yang dinamakan Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI) yang disusun oleh MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) yang berisi
21 pasal mengenai kewajiban dokter secara umum, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban
dokter terhadap teman sejawat, dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri. (2. KODE ETIK
KEDOKTERAN INDONESIA).
Hubungan dokter dan pasien dalam menjalankan profesi dokter pada dasarnya adalah
transaksi terapeutik atau disebut juga dengan kontrak terapeutik. Pada zaman sekarang dengan
semakin meningkatnya kesadaran akan hak asasi manusia dan pengetahuan pasien menyebabkan
kontrak terapeutik antara dokter dan pasien ini rentan mengalami berbagai masalah yang berkaitan
dengan etik, profesionalisme, dan bahkan hukum. Misalnya masalah mengenai kecurigaan Tindakan
malpraktik yang dilakukan oleh dokter yang menyebabkan kecacatan bahkan kematian setelah
dilakukannya suatu prosedur pengobatan. Walaupun masyarakat awam hanya mengetahui segala
kesalahan yang dilakukan dokter adalah malpraktik namun sebenarnya jenis masalah medikolegal
dalam pelayanan kedokteran terbagi atas : Malpraktik (malpraktik medik dan malpraktik etik),
Kelalaian medik (medical error; yang terbagi atas kelalaian ringan dan berat), serta risiko medik.
Kelalaian medik termasuk juga ke dalam malpraktik medik, namun di dalam malpraktik medik tidak
hanya terdapat unsur kelalaian, dapat juga karena adanya kesengajaan dengan tersirat adanya motif.
Sementara kelalaian lebih bersifat tidak di sengaja, kurang teliti, acuh tak acuh, sehingga akibat
kelalaian ini menimbulkan kerugian bagi pasien. Secara sederhana dapatlah di simpulkan bahwa
malpraktik medik adalah kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja (lalai) dalam
menjalankan profesi kedokteran yang tidak sesuai dengan Standar Profesi Medik (SPM) dan Standar
Prosedur Operasional (SPO) yang berakibat buruk/fatal serta merugikan pasien yang mengharuskan
dokter bertanggung jawab secara administratif dan atau secara perdata dan atau secara pidana. (3.
HUKUM PIDANA MALPRAKTIK MEDIK)
2. TUJUAN
Makalah dibuat dengan tujuan sebagai berikut:
1. Tinjauan etik pada kasus infeksi luka operasi akibat tertinggalnya kain kasa saat operasi
caesar
2. Tinjauan hukum pada kasus infeksi luka operasi akibat tertinggalnya kain kasa saat operasi
caesar
3. Tinjauan profesional pada kasus infeksi luka operasi akibat tertinggalnya kain kasa saat
operasi caesar
ILUSTRASI KASUS
Sesuai dengan kronologi kasus yang terdapat pada Direktori Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia, bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Agustus 2007, sekitar pukul 20.00 WIB,
pasien atas nama Rita, yang sedang mengandung 9 (sembilan) bulan bersama dengan suaminya
datang ke Rumah Sakit Kesdam Iskandar Muda Tingkat III Banda Aceh sebagai pasien rujukan bidan
desa yang akan melakukan persalinan. Oleh karena kondisi pasien dalam keadaan gawat janin, maka
dr. Taufik Wahyudi, Sp.OG sebagai dokter spesialis kandungan yang bertugas, mengambil tindakan
untuk dilakukan Operasi Caesar terhadap proses persalinan terhadap pasien. Tim Operasi yang terlibat
dalam Operasi Caesar tersebut adalah dr. Taufik Wahyudi, Sp.OG sebegai Operator, dr. Fahrul Jamal
sebagai Dokter Anestesi, M. Daud Hamdani sebagai Penata Anestesi, Lettu CKM Deni Sumarsana
sebagai Asisten Anestesi, Martini sebagai Asisten Operator dan Yuni Ernawati sebagai Instrumen.
Sebelum dilakukan operasi, dr. Taufik selaku operator tidak menyuruh Instrumen untuk melakukan
penghitungan terhadap alat yang digunakan termasuk kain kasa yang digunakan sebelum dan sesudah
operasi. Kemudian sekitar pukul 21.00 WIB, pasien masuk kamar operasi dan dimulai dengan
dilakukan pembiusan oleh dr. Fahrul Jamal dengan anestesi spinal dan pasien ditidurkan. Lalu Hartini
selaku Asisten membersihkan medan operasi bagian luar dan memasang duk steril. Setelah itu dr.
Taufik langsung mulai melakukan tindakan operasi caesar. Saat tindakan, dr. Taufik meminta kain
kasa yang dijepit dengan oval (demper) kepada asisten untuk membersihkan rahim dan setelah
digunakan kain kasa tersebut langsung dibuang ke tempat sampah, sehingga tidak dapat dilakukan
penghitungan kembali terhadap kain kasa yang telah digunakan. Operasi Caesar selesai dilaksanakan
setelah menjahit lapisan dinding perut lapis demi lapis. Sebelum memulai menutup dinding perut,
dilaporkan bahwa dr. Taufik tidak menanyakan kepada Instrumen dan Asisten apakah alat yang
digunakan telah lengkap termasuk kain kasa yang digunakan apa telah sama jumlahnya saat sebelum
digunakan dan saat setelah digunakan. Dr. Taufik juga tidak melihat dengan teliti kembali ke dalam
rongga perut apakah ada yang tertinggal di dalam perut. 11
Setelah operasi muncul bengkak di bagian perut pasien, awalnya disebutkan karena
pembekuan darah di dalam perut, sehingga pasien hanya diberi resep obat salep. Akan tetapi setelah
diolesi salep, bengkak pada jahitan semakin bernanah dan pasien merasakan nyeri. Kemudian pada
bulan Agustus 2008, karena luka pada bekas jahitan operasi tidak sembuh-sembuh, pasien kembali ke
tempat praktek dr. Taufik dan menanyakan penyebab luka tersebut dan dr. Taufik mengatakan karena
alergi pada benang jahit, padahal dari hasil USG dr. Taufik dapat melihat adanya benda asing yang
terdapat dalam perut pasien akibat operasi Caesar, akan tetapi hal tersebut tidak sampaikan kepada
pasien. Pasien disarankan untuk dioperasi kembali jika masih merasakan sakit, namun dr. Taufik tidak
langsung mengambil tindakan.11
Setelah itu pada tanggal 6 Desember 2008, karena sakit pada bekas jahitan pasien tidak
sembuh-sembuh, pasien melakukan pemeriksaan ke Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin dan
berkonsultasi dengan dr. Radjudin, Sp.OG dan dari pemeriksaan ditemukan adanya benda asing di
dalam perut pasien akibat Operasi Caesar. Kemudian karena sakit pada bekas jahitan pasien semakin
parah, pasien langsung berkonsultasi dengan dr. Andalas, Sp.OG dan dari pemeriksaan dr. Andalas
Sp.OG sementara disimpulkan adanya infeksi (fistula) pada bekas operasi Caesar dan merencanakan
operasi ulang terhadap pasien dengan tujuan mencari penyebab infeksi. 11
Pada tanggal 21 Desember 2008, bertempat di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, dr.
Andalas, Sp.OG melakukan operasi ulang terhadap pasien, dengan cara membuang jaringan busuk
pada bekas operasi yang lama. Kemudian dr. Andalas, Sp.OG mencari asal infeksi, ternyata ada
hubungan dari kulit ke dalam dinding perut. Setelah melakukan eksplorasi dan saat dibuka pada
lapisan dalam dinding ke arah infeksi terdapat 1 benda putih ke abu-abuan berbau, setelah ditarik
dengan menggunakan pinset ternyata benda tersebut adalah kain kasa sepanjang lebih kurang 20 x 10
cm. Operasi dilanjutkan dengan melihat jaringan sekitarnya, telah terjadi perlengketan antara uterus,
omentum/usus dan adneksa kiri dan kanan. Setelah perlengketan berhasil dilepaskan, ditemukan
perlengketan berat antara kandung kemih (kencing) dengan segmen bawah rahim (tempat sayatan
operasi caesar) dengan otot perut, ditemukan perlengketan segmen bawah rahim luka operasi lama
dengan kandung kencing (dugaan infeksi lama) dan dicoba untuk dilepaskan untuk membuat pasien
tidak merasa nyeri setelah operasi, setelah tidak ada pendarahan lagi dan kain kasa yang tertinggal
telah diangkat (diambil), lalu dilakukan penutupan luka operasi. 11
Pada tanggal 10 Agustus 2009, Pengadilan Negeri Banda Aceh dalam putusannya No.
109/Pid. B/2006/ PN.BNA. menyatakan bahwa dr. Taufik Wahyudi Mahady, Sp. OG telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena keaalpaannya menyebabkan
orang lain luka sedemikian rupa sehingga berhalangan melakukan pekerjaan untuk sementara waktu
yang dilakukan dalam melakukan suatu jabatan atau pekerjaan. Dr. Taufik dijatuhi pidana penjara
selama 5 (lima) bulan. Putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh dengan putusannya
pada tanggal 7 Desember 2009 No. 181/PID/2009/ PT.BNA. yang menyatakan bahwa terdakwa dr.
Taufik Wahtudi Mahady, Sp. OG tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal
360 ayat (1) jo Pasal 361 ayat (2) KUHPidana. Bahwa pada tanggal 28 Desember 2009
Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Banda Aceh telah mengajukan permohonan kasasi
terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut. Lalu dalam putusannya Mahkamah Agung menyatakan
bahwa Terdakwa dr. Taufik Wahyudi Mahady, Sp.OG terbukti bersalah melakukan tindak pidana
karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga berhalangan melakukan
pekerjaan untuk sementara waktu, yang dilakukan dalam melakukan suatu jabatan atau pekerjaan,
kepada terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama 6 bulan. 11
To be continued…
PEMBAHASAN
Pelanggaran Etik Sekaligus Pelanggaran Hukum Pidana yang dapat terjadi berupa; (1)
Menerbitkan surat keterangan palsu (melanggar pasal 7 KODEKI sekaligus melanggar pasal 267
KUHP), (2) Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter (melanggar pasal 13 KODEKI sekaligus
pasal 322 KUHP) serta (3) Tidak mau melakukan pertolongan darurat kepada orang yang menderita
(melanggar pasal 14 KODEKI sekaligus pasal 304 KUHP);
Dengan demikian sebagian dari KODEKI tersebut telah tertuang dalam perundang- undangan
baik dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran maupun dalam KUHP, sehingga dengan demikian
telah berlaku sebagai hokum positif yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bersanksi hukum.
Sumber:
1. Abdulkadir Muhamad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006
2. Adami Chawazi, Malpraktik Kedokteran, Bayumedia, Malang, 2007.
3. Agus Budianto, Gwendolyn Ingrit Utma, Aspek Jasa pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif
PerlindunganPasien, KPD Bandung, 2010.
4. Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta,
Jakarta, 2005 ..
5. Bhekti Suryani, Panduan Yuridis Penyelenggaraan Praktik Kedokteran, Dunia cerdas, 2013.
6. Budiyanto, Hukum dan Etika Kedokteran, standar profesi medis.
7. Cecep Triwibowo, Etika & Hukum Kesehatan, Nuhu Media, 2014.
8. Darda Syahrizal & Senja Nilasari, Undang- undang Praktik Kedokteran dan Aplikasinya,
Dunia Cerdas, 2013.
9. Eka Julianta Wahjoepramono, Konsekuensi Hukum Dalam Profesi Medik, karya Putra
Darwati, 2012.
10. H syahrul Machmud. Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang diduga
melakukan Medikal Malpraktek, Karya Putra Darwati Bandung, 2012.
11. H. priyono, Teori keadilan John Rawl,Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.
12. H.R. Hariadi, Sorotan Masyarakat terhadap Profesi Kedokteran, Citra Aditya Bakti, Bandung.
13. Ikatan Dokter Indonesia, Pedoman Organisasi Dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, 2008.
14. Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan_, surat keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia. 2013.
15. Lumenta, Pasien, Citra, Peran dan Perilaku, Kanisius, Yogyakarta, 1989.
16. M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir,Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan (edisi4).ECG,
Jakarta, 2008.
17. Pudentiana, Agus Kiswanto, Muhammad Saleh, Isa Insanuddin, Buku Ajar Etika profesi
Perawat Gigi Untuk Tenaga Kesehatan Gigi, EGC, 2008.
18. Rinanto Suryadimirtha, Hukum Malapraktik Kedokteran, total media, 2011.
19. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran.
20. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pelanggaran kode etik tidak menyebabkan adanya sanksi formal terhadap pelakunya. Bagi
pelanggar kode etik hanya dilakukan tindakan koreksi berupa teguran dan bimbingan. Harapannya,
pelanggaran serupa tidak akan terjadi lagi di masa-masa yang akan datang. Dengan kata lain, tindakan
terhadap pelanggar kode etik hanya bersifat korektif dan preventif. Di sinilah letak perbedaan antara
etika dan hukum, sanksi etika dijatuhkan oleh kelompok profesi yang menetapkan kode etik tersebut,
sementara sanksi hukum diproses dan dijatuhkan oleh institusi-institusi hukum yang berwenang.
Sehingga, penegakan etika mengandalkan itikad baik dan kesadaran moral dari pelakunya, sedangkan
penegakan hukum bersifat lebih tegas karena dijalankan oleh aparat - aparat yang telah diberikan
wewenang oleh pemerintah.(1)
Referensi =
1. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).
Jakarta: IDI; 2012
2. Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum (Bandung: Citra Adya Bakti, 2006), hal. 13
ASPEK PROFESI
Semua profesional dalam melaksanakan pekerjaannya harus sesuai dengan apa yang
dinamakan standar (ukuran) profesi. Jadi, bukan hanya tenaga kesehatan yang harus bekerja sesuai
dengan standar profesi medik, pengemban profesi yang lain pun memiliki standar profesi yang
ditentukan masing-masing. Namun karena pengemban profesi di luar dokter jarang berhubungan
dengan hilangnya nyawa/cacat, mungkin tidak begitu dipermasalahkan. Tenaga kesehatan (dokter)
dalam melakukan pekerjaannya selalu berhubungan dengan orang yang menderita sakit, dan
apapun jenis penyakitnya, tentu mempengaruhi emosi pasien. Tenaga kesehatan selalu
berhubungan dengan orang yang secara psikis juga dalam keadaan sakit, yang membutuhkan
perhatian dan perlakuan ekstra dari seorang dokter. Menurut penjelasan Pasal 53 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Standar Profesi adalah pedoman yang harus
dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik.
Adapun tujuan ditetapkannya standar pelayanan medis atau standar profesi medis, antara lain
adalah:
● Untuk melindungi masyarakat (pasien) dari praktek yang tidak sesuai dengan standar
profesi medis.
● Untuk melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar.
● Sebagai pedoman dalam pengawasan, pembinaan dan peningkatan mutu pelayanan
kedokteran.
● Sebagai pedoman untuk menjalankan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.
Daftar Pustaka
1. Hanafiah J, Amir A. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2007.
2. Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran. Jakarta: Sekretariat Kabinet Republik Indonesia; 2004.
3. Smajdor A, Herring J, Wheeler R. Oxford Handbook of Medical Ethics and Law. New York:
Oxford University Press; 2022.
4. Yen LD, Farrand ET, Renate AR, Theresia F, Stefani M, Liem S, et al. Uji Kelalaian Medis:
Sebuah Kajian Literatur. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences. 2022;12(1):7-
19. https://doi.org/10.24843/IJLFS.2022.v12.i01.p02
ASPEK PROFESI
Menurut Daldiyono1, yang disebut profesi adalah suatu bidang atau jenis pekerjaan yang memerlukan
pendidikan khusus. Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter sifatnya adalah
inspanningsverbintennis. Artinya, dalam hubungan ini yang dititikberatkan adalah upaya maksimal
dari dokter berdasarkan standar keilmuan dan pengalaman dalam bidang medis. Dalam praktiknya
yang bersifat inspanningsverbintennis ini, dokter harus melaksanakan tindakan dan upaya medis
semaksimal mungkin sesuai dengan Standar Profesi Kedokteran. Selain itu, tindakan medis juga tidak
dapat dilepaskan dari berbagai faktor yang menentukan keberhasilannya, di antaranya adalah risiko
medis, kecelakaan medis, contributory of negligence dari penerima tindakan medis, serta berbagai
kejadian atau faktor tidak terduga lainnya.
Pada kasus dr Taufik, Sp.OG terjadi praktik kesehatan yang tidak sesuai tindakan medis, yaitu
kelalaian ( culpa, negligence ) dimana kelalaian ini terbagi dua arti :
a. Dalam arti luas Pekerjaan dokter sudah sesuai dengan standar profesi dan yang
diperbolehkan oleh undang–undang, tetapi kadang– kadang bekerja di bawah standar dengan
tidak hati–hati serta tidak melaksanakan kewajiban memenuhi hak pasien, seperti memberikan
informed consent, menjaga rahasia jabatan, tidak memberikan rujukan, dan lain–lain.
b. Dalam arti sempit Semua tindakan tersebut tidak ada motif serta tidak ada unsur
kesengajaan dan semata-mata karena kealpaan atau kelalaian seseorang dokter dengan tidak hati-
hati atau sembrono dalam mengerjakan tindakan medik yang sebenarnya akibat yang timbul
tidaklah diharapkan, seperti tertinggal kassa pada saat operasi 2 .
Kewajiban dokter terhadap pasien menurut Leenen meliputi beberapa hal, antara lain 3 :
1. Kewajiban yang timbul dari sifat pelayanan medis, di mana dokter harus bertindak sesuai dengan
standar profesi medis atau menjalankan praktik kedokteran secara lege artis.
2. Kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien yang bersumber dari hak asasi dalam bidang
kesehatan.
Kasus ini melanggar kewajiban dokter menurut Undang Undang pasal 51 nomor 1 yang berbunyi
dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban untuk
Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar operasional.
Referensi :
1. Daldiyono, 2007. Pasien Pintar & Dokter Bijak.PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
2. Guwandi, J, 2007, Medical Error dan Hukum Medis, Jakarta, BalaiPenerbit FKUI.
3. DalmyIskandar, 1988. Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan, dan Pasien. Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta.
ASPEK HUKUM
Menilik kasus tertinggalnya kasa dalam kasus dr. Taufik, Sp.OG berdasarkan UU no. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, maka yang bersangkutan melaksanakan kewajibannya. Dalam pasal 51
poin A, disebutkan bahwa dokter wajib memberikan pelayanan medis sesuai standar dan profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Berdasarkan standar profesi dan standar
prosedur operasional, yang bersangkutan abai dalam tindakan penutupan luka operasi. Beliau tidak
melakukan pengecekan apakah jumlah kasa yang disediakan sebelum operasi dan yang tertinggal
setelahnya sama atau tidak. Selain itu beliau juga abai dalam pengecekan rongga abdomen untuk
memastikan bahwa tidak ada instrumen, termasuk kasa, yang tertinggal di dalamnya.
Dalam rentetan peristiwa yang dialami korban, korban sempat melakukan kontrol kembali
kepada dr. Taufik, Sp.OG dan dilakukan USG. Saat USG beliau sudah mengetahui bahwa terdapat
benda asing dalam abdomen yang menyebabkan luka korban tidak kunjung sembuh bahkan setelah 1
tahun pasca tindakan. Pada masa itu diperlukan tindakan Kembali untuk mengangkan benda asing
dalam perut korban. Namun yang bersangkutan tidak mengatakan hasil pemeriksaan yang
sesungguhnya dan juga tidak mengambil Tindakan medis yang sesuai dengan kebutuhan korban.
Maka dr. Taufik SpOG tidak menjalankan kewajibannya sebagai dokter yang menangani kasus
korban yang mengakibatkan kerugian pada korban sebagaimana tertera dalam UU No.29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran.
dr. Taufik dapat dikenai Pasal 360 ayat 2 KUHPidana akibat kelalaiannya dalam memberikan
pelayanan kepada pasiennya. Pasal 360 ayat 2 KUHPidana berbunyi “barangsiapa karena
kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara
atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 4.500,- “.
ASPEK HUKUM
Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan. Secara rinci, Pasal 2 Tap MPR Nomor III / MPR / 2000 mengurutkan
hirarkis peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
Pengertian kesehatan yang diberikan oleh dunia intemasional sebagai: A state of complete
physical, mental, and social, well being and not merely the absence of desease or infirmty
(Koeswadji, 1992:17).
A. Hukum Kesehatan
Upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan, merupakan suatu usaha yang
sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut meliputi peningkatan kesehatan masyarakat baik
fisik maupun non-fisik. Di dalam Sistem Kesehatan Nasional disebutkan, bahwa kesehatan
menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas dan
kompleks (Anonim, 1992:3). Hal ini sejalan dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh
dunia intemasional sebagai: A state of complete physical, mental, and social, well being and not
merely the absence of desease or infirmty (Koeswadji, 1992:17)
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya masalah kesehatan menyangkut
semua segi kehidupan dan melingkupi sepanjang waktu kehidupan manusia, baik kehidupan
masa lalu, kehidupan sekarang maupun masa yang akan datang. Dilihat dari sejarah
perkembangannya, telah terjadi perubahan orientasi nilai dan pemikiran mengenai upaya
memecahkan masalah kesehatan. Proses perubahan orientasi nilai dan pemikiran dimaksud
selalu berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan sosial budaya. Kebijakan
pembangunan di bidang kesehatan yang semula berupa upaya penyembuhan penderita, secara
berangsur-angsur berkembang ke arah kesatuan upaya pembangunan kesehatan untuk seluruh
masyarakat dengan peran serta masyarakat yang bersifat menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan yang mencakup:
1) upaya peningkatan (promotif);
Dalam rangka pembangunan sektor kesehatan yang demikian kompleks dan luas,
sangat dirasakan, bahwa peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya
kesehatan perlu lebih disempumakan dan ditingkatkan. Jika dilihat dari aspek yuridisnya,
dengan dikembangkannya sistem kesehatan nasional, sudah tiba saatnya untuk mengkaji
kembali dan melengkapi peraturan perundang- undangan bidang kesehatan, dengan
mengeluarkan berbagai produk pokok hukum yang lebih sesuai yang dapat:
1. Mendukung adanya sarana pelayanan, program, dan kegiatan dalam seluruh
upaya kesehatan yang sudah atau yang akan dikembangkan, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat termasuk sektor swasta.
2. Memperhatikan kepentingan daerah dan diselaraskan dengan peraturan
perundang-undangan di sektor lain yang berkaitan dengan upaya kesehatan.
3. Berfungsi mendorong pengembangan upaya kesehatan yang diinginkan di masa
mendatang sesuai dengan tuntutan masyarakat yang dilayani.
Mengatur kewenangan tiap tingkatan upaya kesehatan.
masalah kesehatan sering ditemui kasus-kasus yang merugikan pasien. Oleh sebab itu
tidak mengherankan apabila profesi kesehatan ramai diperbincangkan baik di kalangan
intelektual maupun masyarakat awam dan kalangan pemerhati kesehatan.
Beberapa tahun terakhir ini sering timbul gugatan dari pasien yang merasa dirugikan,
untuk menuntut ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter atau
tenaga kesehatan dalam melaksanakan pekerjaannya. Berbagai kasus telah disidangkan di
pengadilan dan mendapat sorotan dari profesi kalangan kesehatan dan profesi hukum. Kasus-
kasus yang sudah diangkat dan disidangkan di pengadilan antara lain: kasus operasi amandel
yang dilakukan oleh ahli telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) diJakarta, kasus bedah dan
kasus penyuntikan pasien dengan silikon di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, kasus
penyuntikan pasien dengan penisilin di Pati(Soejami, 1993:9). Di samping itu masih banyak
kasus-kasus lain di beberapa rumah sakit di tanah air, yang menyebabkan mereka harus
berhadapan dengan pengadilan karena digugat oleh pasien atau keluarganya yang merasa
dirugikan dalam pelayanan kesehatan.
Keadaan seperti ini menunjukkan suatu gejal4bahwa dunia kedokteran mulai dilanda krisis
etik medik, bahkan juga krisis keterampilan medik yang tidak dapat diselesaikan dengan kode
etik kedokteran semata-mata, melainkan harus diselesaikan dengan cara yang lebih luas lagi
yaitu harus diselesaikan melalui j alur hukum (Koeswadji, 1986:17).
Munculnya kasus-kasus seperti itu merupakan indikasi bahwa kesadaran hukum
masyarakat semakin meningkat. Semakin sadar masyarakat akan aturan hukum, semakin
mengetahui mereka akan hak dan kewajibannya dan semakin luas pula suara-suara yang
msnuntut agar hukum memainkan peranannya di bidang kesehatan. Hal ini pula yang
menyebabkan masyarakat (pasien) tidak mau lagi menerima begitu saja cara pengobatan
seperti yang dilakukan sebelunrnya. Pasien ingin mengetahui bagaimana terapi medis
dilakukan dan bagaimana bekerjanya obat yang diberikan, serta bagaimana harus bertindak
sesuai dengan hak dan kepentingannya apabila mereka menderita kerugian sebagai akibat dari
kesalahan atau kelalaian dokter.
Pada dasarnya kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi medis,
merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan, hal ini disebabkan karena akibat
kesalahan atau kelalaian tersebut mempunyai dampak yang sangat merugikan. Selain
merusak atau mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran juga
menimbulkan kerugian pada pasien. Untuk itu dalam memahami ada atau tidak adanya
kesalahan atau kelalaian tersebut, terlebih dahulu kesalahan atau kelalaian pelaksanaan
profesi harus diletakkan berhadapan dengan kewajiban profesi. Di samping itu harus pula
diperhatikan aspek hukum yang mendasari terjadinya hubungan hukum antara dokter dengan
pasien yang bersumber pada transaksi terapeutik.
Langkah atau upaya meletakkan kesalahan atau kelalaian pelaksanaan profesi berhadapan
dengan kewajiban profesi, bertujuan untuk melihat apakah hak dan kewajiban dalam
pelaksanaan profesi dilaksahakan sesuai dengan standar profesi atau tidak? Apakah tindakan
medis yang dilakukan terhadap pasien, memenuhi pengetahuan yang biasanya dimiliki
seorang dokter yang mempunyai kemampuan rata-rata dalam bidang keahlian yang sama,
dalam situasi dan kondisi yang sama untuk mencapai tujuan pengobatan yang sama?
(Soetrisno,l99l:l4l). Dengan cara seperti ini akan terlihat bahwa adanya kewajiban berarti ada
pula tanggung jawab. Konsekuensi dari tanggung jawab ini adalah membuka kemungkinan
akan terjadi kesalahan atau kelalaian yang bisa ditinjau dari sudut hukum, baik dari sudut
hukum perdata, hukum pidana, maupun hukum administrasi.
Dilihat dari sudut hukum perdata, hubungan antara dokter dengan pasien merupakan
hubungan hukum yang didasarkan pada transaksi terapeutik. Penegasan mengenai hubungan
ini sebagai suatu perjanjian (transaksi) dapat dilihat pada alinea pertama Kode Etik
Kedokteran Indonesia (Kodeki). Kode etik kedokteran ini diberi label etik profesi dan
dikukuhkan melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 80/DPK/I/K/1969,
kemudian disempurnakan melalui Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Etik Kedokteran
II Tanggal l4 sampai l6 Desember 1981, untuk selanjutnya ditetapkan dengan Skep. Men.
Kes. No. 4341/kepmenkes/SKDV I983.
Dilihat dari kaca mata hukum, hubungan antara pasien dengan dokter termasuk dalam
ruang lingkup hukum perjanjian. Dikatakan sebagai perjanjian (transaksi) karena adanya
kesanggupan dari dokter untuk mengupayakan kesehatan atau kesembuhan pasien,
sebaliknya pasien menyetujui tindakan terapeutik yang dilakukan oleh dokter tersebut.
Posisi yang demikian ini menyebabkan terjadinya kesepakatan berupa perjanjian
terapeutik, hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Rutten bahwa perjanjian tidak lain
adalah kesepakatan (Van Dunne, 1987:67).
Secara yuridis kesepakatan ini melahirkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak
dan harus dilaksanakan sebagaimana yang diperjanjikan. Apabila salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya atau bertindak di luar apa yang diperjanjikan, pihak yang dirugikan
dapat mengajukan tuntutan ganti rugi. Dilihat dari sudut hukum pidana persoalan pokok yang
menjadi titik taut antara hukum kesehatan dengan hukum pidana ialah adanya kesalahan.
Sejauh mana kesalahan itu terjadi, apakah benar peristiwa yang terjadi pada pasien
merupakan akibat dari suatu kesalahan yang dilakukan oleh dokter? Untuk menentukan ada
tidaknya kesalahan tersebut terlebih dahulu harus dibuktikan melalui pendekatan medik.
Hal ini disebabkan karena pertanggungiawaban seorang dokter dalam hukum pidana
sangat erat kaitannya dengan usaha yang dilakukan oleh seorang dokter, yaitu berupa
langkah-langkah atau tindakan terapeutik dan diagnostik yang diikat oleh lafal sumpah
jabatan dan kode etik profesi (Koeswadji, 1984:3).
Seorang dokter dapat dikatakan melakukan suatu kesalahan atau kelalaian dalam
menjalankan profesinya, apabila dia tidak memenuhi kewajibannya dengan baik. Dalam
praktiknya, seorang dokter yang berhadapan dengan pasien dalam upayanya melakukan
diagnosa dan terapi untuk penyembuhan, didasarkan pada kemampuan tertinggi yang
dimilikinya. Atas dasar kemampuan tersebut dokter mengadakan suatu diagnosa dan
kemudian mencari terapinya. Apakah dia akan berhasil untuk menetapkan suatu diagnosa
dan terapi yang tepat, sangat tergantung dari pengetahuan, kemampuan, dan
pengalamannya. Selain itu perlu diperhitungkan berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi diagnosa dan terapi yang dilakukan, seperti keadaan fisik pasien dan
komplikasi yang timbul tanpa dapat diperhit"ngkan terlebih dahulu. Menurut Senoadji
(1983:6), hal ini menunjukkan bahwa suatu diagnosa atau terapi yang kurang tepat tidak
demikian saja dapat dipertanggungjawabkan dokter apabila ia dengan pengetahuan,
kemampuan, dan pengalamannya telah mengikuti hrgtuldigheid yang diperlukan. oleh
karenanya untuk dapat dipidana harus dibuktikan terlebih dahulu adanya unsur kesalahan
dan atau kelalaian berat atau zware schuld yang berakibat fatal atau serius terhadap
pasien. Hal ini sesuai dengan keputusan Hoge Raad Belanda tanggal 3 Februari l9l3 yang
menyatakan; bahwa untuk ketentuan Pasal 307 w.v.s. Belanda sama dengan Pasal 359
KUHP Indonesia dibutuhkan pembuktian culpa lata atau kesalahan berat untuk medikus
dan bukan culpa levis (Ameln, 1991:91).
Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh kekuasaan dalam mengatur
pergaulan hidup bermasyarakat. pergaulan hidup atau hidup di masyarakat yang sudah maju
seperti sekarang ini tidak cukup hanya dengan adat kebiasaan yang turun temurun seperti
sebelum lahirnya peradaban yang modern. Untuk itu, maka oleh kelompok masyarakat yang
hidup dalam suatu masyarakat atau negara diperlukan aturan-aturan yangsecara tertulis yang
disebut hukum. Meskipun demikian tidak semua perilaku masyarakat atau hubungan antara
satu dengan yang lainnya juga masih perlu diatur oleh hukum yang tidak tertulis yang disebut
etik adat-istiadat, tradisi, kepercayaan dan sebagainya. Hukum tertulis, dikelompokkan
menjadi dua, yakni:
1. Hukum perdata mengatur subjek dan antarsubjek, anggota masyarakat yang satu
dengan yang lain dalam hubungan interrelasi. Hubungan interrelasi ini antara kedua
belah pihak ;: saudara atau sederajat atau mempunyai kedudukan sederajat. Misalnya,
hubungan antara penjual dan pembeli, hubungan antara penyewa,dan yang
menyewakan. Di samping itu hubungan dalam keluarga, kesepakatan-kesepakatan
dalam keluarga, termasuk perkawinan dan warisan juga dapat digolongkan dalam
hukum perdata.
2. Hukum pidana adalah mengatur hubungan antara subjek dan subjek dalam konteks
hidup bermasyarakat dalam suatu negara. Dalam hukum pidana selalu terkait antara
seseorang yang melanggar hukum dengan penguasa (dalam hal ini pemerintah) yang
mempunyai kewenangan menjatuhkan hukuman. Dalam hukum pidana atau
peraturan mengenai hukuman, kedudukan penguasa/pemerintah lebih tinggi
dibandingkan dengan masyarakat sebagai subjek hukum.
Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini berarti hukum
kesehatan adalah aturan tertulis mengenai hubungan antara pihak pemberi pelayanan
kesehatan dengan masyarakat atau anggota masyarakat. Dengan sendirinya hukum
kesehatan ini mengatur hak dan kewajiban masing-masing penyelenggara pelayanan dan
penerima pelayanan atau masyarakat, baik sebagai perorangan (pasien) atau kelompok
masyarakat. Hukum kesehatan relatif masih muda bila dibandingkan dengan hukum-
hukum yang lain. Perkembangan hukum kesehatan baru dimulai pada tahun 1967, yakni
dengan diselenggarakannya "World Congress on Medical Law" di Belgia tahun 1967.
Di Indonesia, perkembangan hukum kesehatan dimulai dengan terbentuknya
kelompok studi untuk Hukum Kedokteran FK-UI dan Rumah Sakit Ciptomangunkusumo
di Jakarta tahun 1982. Hal ini berarti, hampir 15 tahun
Masing-masing mengatur kedua belah pihak antara hak dan kewajiban, baik pihak
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan maupun yang menerima pelayanan
kesehatan agar tidak saling merugikan.
3. Keduanya menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi, baik
penyeienggara maupun penerima pelayanan kesehatan.
4. Baik etika maupun hukum kesehatan merupakan hasil pemikiran dari para
pakar serta pengalaman para praktisi bidang kesehatan.
Sedangkan perbedaan antara etika kesehatan dan hukum kesehatan, antara lain:
a. Etika kesehatan hanya berlaku di lingkungan masing- rnasing profesi kesehatan,
sedangkan hukum kesehatan berlaku untuk umum.
b. Etika kesehatan disusun berdasarkan kesepakatan anggota masing-masing profesi,
sedangkan hukurn kesehatan disusun oleh badan pemerintahan, baik legislatif
(Undang-Undang-UU, Peraturan Daerah=Perda),
maupun oleh eksekutif (Peraturan Pemerintah/PP Kepres. Kepmen, dan sebagainya).
c. Etika kesehatan tidak semuanya tertulis, sedangkan hukum kesehatan tercantum
atau tertulis secara rinci
d. Sanksi terhadap pelanggaran etika kesehatan berupa tuntunan biasanya dari organisasi profesi,
sedangkan sanksi pelanggaran hukum kesehatan adalah "tuntutan", sedang berujung pada pidana atau
hukuman.
e. Pelanggaran etika kesehatan diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Profesi dari
masing-masing organisasi profesi, sedangkan pelanggaran hukum kesehatan diselesaikan
lewat pengadilan.
f. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik, sedangkan untuk pelanggaran
hukum pembuktiannya memerlukan bukti fisik.
Hukum kesehatan terkait dengan aturan legal yang dibuat untuk kepentingan atau
melindungi kesehatan masyarakat di Indonesia mencakup:
1. Undang-Undang Dasar 1945.
3. Keputusan Presiden.
5. Keputusan Dirjen/Sekjen.
7. Dan seterusnya.
Malapraktek
a. Definisi
Beberapa tahun terakhir ini sering kita dengar dan dibahas tentang praktik tenaga kesehatan baik
itu dokter atau bidan yang melakukan pengguguran kandungan. Sering juga kita dengar pasien
yang menjadi cacat dan bahkan meninggal dunia setelah ditangani oleh dokter atau petugas
kesehatan yang lain. Kemudian polemik yang muncul adalah bahwa petugas kesehatan
melakukan malapraktik, melakukan pengguguran, menyebabkan pasien cacat seumur hidup dan
bahkan sampai meninggal. Oleh sebab itu masyarakat, terutama yang terkena kasus atau yang
keluarganya terkena kasus tersebut mengajukan tuntutan hukum. Fenomena semacam ini adalah
bagus kalau dilakukan secara proporsional. Sebab fenomena ini menunjukkan meningkatnya
kesadaran masyarakat terhadap hukum kesehatan. Di samping itu, fenomena ini juga
menunjukkan adanya kesadaran masyarakat, terutama pasien tentang hak-haknya, atau hak-hak
pasien.
kesehatan (termasuk penyakit) oleh petugas kesehatan, sehingga menyebabkan dampak buruk
bagi penderita atau pasien. Lebih khusus lagi bagi tenaga medis (dokter atau dokter gigi),
malapraktik adalah tindakan dokter atau dokter gigi (kelalaian dokter atau dokter gigi)
terhadap penanganan pasien. Kelalaian di sini adalah sikap dan tindakan yang kurang hati-
hati dan menyimpang dari kelaziman yang berlaku di dalam profesinya. Dalam praktik
kedokteran atau kedokteran gigi, kelalaian juga diartikan dengan melakukan tindakan medis
di bawah standar layanan medis atau standar profesi kedoketeran.
Undang-Undang No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan meskipun telah dicabut
dengan keluarnya UU. No. 23 tahun 1992, dan diperbarui lagi dengan UU. No. 36 Tahun
2009, tetapi esensinya secara implisit masih dapat digunakan, yakni bahwa malapraktik
terjadi apabila petugas kesehatan:
a. Melalaikan kewajibannya.
b. Melakukan sutu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga
kesehatan, baik mengingat sumpah jabatan maupun profesinya.
Bertitik tolak dari dua butir kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila petugas
kesehatan melalaikan kewajiban yang berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan (butir a). dan petugas kesehatan melakukan tindakan yang seharusnya tidak
boleh dilakukan (butir b). Apabila petugas kesehatan apa pun jenisnya termasuk dokter
dan dokter gigi bertindak seperti itu dapat dikatakan malapraktik. Melakukan kelalaian
bagi petugas kesehatan dalam melakukan tugas atau profesinya adalah sebenarnya tidak
melanggar hukum atau kejahatan, kalau kelalaian tersebut tidak sampai membawa
kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Dalam hukum,
prinsip ini disebut "De minimis noncurat lex" yang artinya hukum tidal< mencampuri hal-
hal yang kecil atau "sepele". Petugas yang melakukan kelalaian yang seperti ini,
meskipun tidak melanggar hukum, tetapi melanggar etika. Namun demikian, apabila
kelalaian seorang tenaga kesehatan sehingga menyebabkan orang lain menderita kerugian
atau cedera, cacat, atau meninggal dunia berarti juga melanggar hukum, dan juga
melanggar etika. Kelalaian petugas kesehatan yang menyebabkan kerugian, cedera atau
cacat, dan sebagainya bagi orang lain diklasifikasikan sebagai kelalaian berat atau "culpa
lata", atau serius, dan disebut tindakan kriminal. Kriteria yang digunakan apakah kelalaian
petugas kesehatan sudah memenuhi kelalain berat adalah sebagai berikut (Yusuf Hanafiah
dan Amri Amir: 1998):
a. Bertentangan dengan hukum. b. Akibatnya dapat dibayangkan.
c. Akibatnya dapat dihindarkan.
Dalam pratik kesehatan, yang sering dijumpai adalah malapraktik kedokteran dan
kedokteran gigi. Sedangkan untuk petugas kesehatan yang lain (perawat, bidan, petugas
kesehatan masyarakat, gizi dan apoteker) hampir tidak pernah kita jumpai. Hal ini disebab
karena kerugian yang diakibatkan oleh adanya malapraktik tenaga kesehatan ini, masyarakat
mengukurnya hanya dari aspek cedera, cacat, dan kema tian saja. Kerugian-kerugian
semacam ini hanya ditimbulkan oleh adanya malapraktik dokter atau dokter gigi. Sedangkan
malapraktik petugas kesehatan lain pada umumnya hanya mengakibatkan kerugian materi
saja.
Malapraktik yang sering dilakukan oleh petugas kesehatan (dokter dan dokter gigi)
secara umum diketahui terjadi karena hal-hal sebagai berikut:
a. Dokter atau dokter gigi kurang menguasai praktik kedokteran yang sudah berlaku
umum di kalangan profesi kedokteran atau kedokteran gigi.
b. Memberikan pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi di bawah standar profesi.
c. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-
hati.
d. Melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan hukum.
Apabila petugas kesehatan (dokter atau dokter gigi) melakukan hal-hal seperti tersebut
di atas maka yang bersangkutan melanggar hukum kesehatan atau malapraktik, dan dapat
dikenakan sanksi hukum. Untuk itu maka pihak masyarakat atau pasien dapat menuntut
penggantian kerugian atas kelalaian tersebut. Untuk itu, pihak penuntut atau masyarakat
yang ingin menuntut ganti rugi harus dapat membuktikan adanya empat unsur di bawah
ini:
a. Adanya sebuah kewajiban bagi petugas kesehatan terhadap penderita atau pasien,
tetapi tidak dilakukan.
a. Petugas kesehatan telah melanggar standar pelayanan kesehatan (medis) yang lazim
digunakan.
b. Penggugat atau penderita dan atau keivarganya telah menderita kerugian yang dapat dimintakan
ganti rugi.
c. Secara jelas (faktual) kerugian itu disebabkan oleh tindakan di bawah standar atau ketentuan
profesi kesehatan/medis.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa malapraktik itu pasti melanggar hukum.
Apabila petugas kesehatan (dokter atau dokter gigi) tidak melakukan sesuatu yang
memenuhi unsur pidana, tetapi melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika
profesi, maka yang bersangkutan melakukan malapraktik etik. Untuk pelanggaran etik
atau malapraktik etik yang bersangkutan tidak dikenakan sanksi hukum atau pidana,
tetapi sanksi etik saja. Dalam praktik kedokteran sering pasien atau keluarga pasien
sebagai penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian bagi tergugat atau petugas
kesehatan. Tetapi dengan fakta yang ditemukan, sebenarnya sudah merupakan alat bukti.
Misalnya, timbulnya komplikasi pascaoperasi usus buntu terdapat kapas yang tertinggal
dalam perut pasien, sehingga menimbulkan komplikasi pascabedah. Dalam kasus ini tidak
perlu dibuktikan adanya malapraktik dalam operasi atau bedah.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kelalaian sebagai indikasi malapraktik
dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
a. Kelalaian dalam arti perdata, apabi la kelalaian petugas kesehatan atau medis tidak
menyebabkan pelanggaran undang-undang. Artinya, akibat dari kelalaian tersebut
tidak menyebabkan orang cedera, cacat, atau kematian. Pelanggaran perdata jelas
sanksinya adalah etik yang diatur oleh lode etik profesi. Perlu dijelaskan di sini setiap
profesi mempunyai Kode Etik Profesi. Profesi kesehatan sendiri juga terdiri dari
berbagai macam profesi, misalnya dokter, dokter gigi, bidan perawat, kesehatan
masyarakat, sanitarian, dan sebagainya. Masing-masing profesi kesehatan ini
mempunyai perkumpulan atau ikatan profesi seperti IDI, PDGI, IBI, IAKMI, dan
sebagainya. Para organisasi profesi semestinya mempunyai "Kode Etik" Profesi
masing- masing. Setiap ada pelanggaran Kode Etik Pofesi dari setiap anggota pofesi,
maka Masing-ma sing organisasi profesi inilah yang akan memberikan sanksinya.
b. Kelalaian dalam arti pidana, apabila kelalaian petugas kesehatan atau medis tersebut
mengakibatkan pelanggaran hukum atau undang-undang. A rtinya, akibat kelalaian
petugas kesehatan tersebut mengakibatkan orang lain atau pasien cedera, cacat, atau
meninggal dunia. Sanksi pelanggaran hukum jelas adalah pidana atau huku man, yang
ditentukan oleh pengadilan, setelah melalui proses pengadilan yang terbuka.
Hak-hak pasien yang telah diuraikan sebelumnya adalah hal-hal yang bisa dituntut dari
petugas kesehatan atau dokter yang melayani. Sedangkan kewajiban pasien adalah hal-hal
yang harus di- berikan pasien kepada petugas kesehatan atau dokter. Seorang petugas
kesehatan atau dokter tidak seharusnya mengutamakan kewajiban pasien terlebih dahulu
sebelum memenuhi hak- hak pasien. Secara tegas di sini petugas kesehatan termasuk dokter
tugas utamanya adalah melayani masyarakat atau pasien. Tugas seorang pelayan hendaknya
mendahulukan kepentingan atau hak yang dilayani yakni pasien. elah disebutkan sebelumnya
bahwa hak-hak masyarakat atau pasien harus diimbangi dengan kewajiban-kewajiban mereka
terhadap petugas pelayanan kesehatan atau dokter. Maka masyarakat atau pasien yang baik
pasti akan melakukan atau memenuhi kewajibannya setelah hak-haknya dipenuhi oleh
petugas kesehatan atau dokter yang telah melayaninya. Secara garis besar kewajiban-
kewajiban masyarakat atau pasien antara lain sebagai berikut:
a. Memeriksakan Diri Sedini Mungkin pada Petugas Kesehatan atau Dokter
Banyak kasus komplikasi penyakit dan kematian yang sebenarnya tidak perlu terjadi
apabila sedini mungkin penyakit tersebut terdeteksi sedini mungkin dan memperoleh
pengobatan segera. Oleh sebab itu, untuk mengurangi kasus-kasus seperti ini masyarakat
sebenarnya mempunyai kewajiban untuk memeriksakan secara dini ke petugas kesehatan.
Agar masyarakat mempunyai kebiasan memeriksakan diri (check up) kesehatan secara
rutin, maka kewajiban petugas kesehatan untuk memberikan informasi kesehatan.
Masyarakat mempunyai hak untuk menerima informasi tentang kesehatan, dan hal ini
merupakan salah satu hak asasi manusia yang dikeluarkan oleh PBB.
b. Memberikan Informasi yang Benar dan Lengkap tentang Penyakitnya
Sering terjadi, masyarakat atau pasien yang datang ke petugas kesehatan atau ke dokter
tidak memberikan informasi yang jelas dan lengkap tentang tanda-tanda atau gejala-
gejala penyakit yang dialami atau dirasakan. Bahkan kadang-kadang banyak pasien yang
menyembunyikan penyakitnya. Hal-hal semacam ini sebenarnya merugikan pasien
sendiri. Karena informasi yang tidak lengkap akhirnya mengakibatkan salah diagnosis
oleh dokter, dan yang paling fatal mengakibatkan pengobatan yang tidak tepat bahkan
pengobatan yang salah. Oleh sebab itu, dalam rangka memperoleh pengobatan yang tepat
dari petugas kesehatan, seorang pasien berkewajiban memberikan informasi yang benar
dan lengkap tentang penyakitnya kepada petugas kesehatan yang menanganinya.
1. Kewajiban Dokter
Profesi dokter merupakan profesi yang bersifat kemanusian, adalah melayani anggota
masyarakat yang mempunyai masalah dengan hidup atau mati, yang menderita dan
yang kesakitan. Itulah sebabnya maka dokter harus senantiasa mengutamakan
kewajibannya ketimbang hak- haknya atau kepentingan pribadinya. Profesi dokter,
dalam menjalankan kewajibannya berlaku "Aegroti Sahis Lex Suprema", yang artinya
keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi atau yang paling utama. Kewajiban
dokter mencakup:
a. Kewajiban umum
Sudah menjadi pengetahuan yang umum, bahwa petugas kesehatan yang paling depan
melayani masyarakat
adalah dokter, perawat, dan bidan. Di masyarakat pedesaan, kontak pertama antara anggota
masyarakat yang sakit dengan pelayanan kesehatan adalah Puskesmas. Masyarakat sudah
akrab bahwa yang mereka kenal sebagai petugas Puskesmas adalah mantri (baca: perawat),
bidan, dan dokter. Lebih dari itu adalah dokter gigi dan sanitarian.
Agak sedikit berbeda di daerah pekotaan, selain puskesmas, maka dokter praktik swasta
dan dokter di klinik tampaknya lebih akrab bagi masyarakat pekotaan. Meskipun di mata
masyarakat petugas kesehatan-petugas kesehatan tersebut telah menjadi andalan mereka di
waktu mereka atau keluarga mereka sakit, tetapi lebih banyak keluhan yang diterima oleh
petugas kesehatan, ketimbang pujiannya. Keluhan yang sering disampaikan oleh masyarakat
adalah: tidak ramah, judes, periksanya sebentar saja, tidak pernah bicara, tidak responsif
terhadap keluhan penyakit, memberikan obat itu-itu saja, dan masih banyak sekali.
Keluhan-keluhan masyarakat yang sering kita dengar tentang petugas kesehatan kita adalah
positif apabila kita lihat dari segi masyarakat sebagai "konsumen" pelayanan kesehatan.
Karena dengan makin banyaknya keluhan masyarakat terhadap pelayanan petugas kesehatan,
merupakan umpan balik bagi petugas kesehatan untuk meningkatkan pelayanannya. Di sisi
yang lain makin banyaknya keluhan masyarakat terhadap petugas kesehat- an, dapat dimaknai
makin meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap hak-hak pasien, yang selama ini
diabaikan oleh petugas kesehatan terutama dokter. Pemahaman masyarakat selama ini bahwa
mereka adalah sebagai objek pelayanan kesehatan, yang hams menerima pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah (baca: petugas kesehatan). Pemahaman semacam ini bukan hanya
pada masyarakat saja, tetapi juga pada petugas kesehatan. Masyarakat adalah di pihak yang
dilayani yang harus "tunduk" terhadap apa pun yang dikatakan oleh petugas kesehatan.
Masyarakat atau pasien hanya mempunyai kewajiban, tidak mempunyai hak apaapa terhadap
petugas kesehatan. Demikian pula petugas kesehatan, mereka hanya mempunyai hak dan
tidak mempunyai kewajiban apa pun terhadap masyarakat atau pasien.
Dalam perspektif etika dan hukum kesehatan kedua belah pihak, balk masyarakat atau
pasien dan petugas kesehatan (termasuk dokter) keduanya mempunyai hak
dan kewajiban, yang saling diakui dan dihormati. Hak-hak masyarakat atau pasien harus
dihargai oleh setiap petugas kesehatan, dan sebaliknya hak-hak petugas kesehatan juga
harus diakui dan dihargai oleh masyarakat sebagai pengguna pelayanan. Demikian juga,
petugas kesehatan mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan untuk pasien atau
masyarakat, tetapi juga masyarakat atau pasien harus menjalankan kewajibannya untuk
petugas kesehatan yang melayaninya. Di bawah ini akan diuraikan mengenai hak-hak dan
kewajiban pasien atau masyarakat dan juga hak-hak dan kewajiban petugas kesehatan,
utamanya tenaga medis (dokter dan dokter gigi).
1. Hak-hak Pasien
Hak-hak masyarakat sebagai sasaran pelayanan kesehatan atau lebih spesifiknya lagi
penderita atau pasien sebenarnya merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia yang
universal itu. Dalam deklarasi hak-hak asasi manusia (declaration of human rights) dad
Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB), tahun 1948 telah dirumuskan bahwa:
1. Setiap orang dilahirkan merdeka dan mempunyai hak-hak yang sama. Mereka
dikaruniai akal dan budi dan
4. Setiap orang diperlakukan sama di depan hukum dan tidak boleh dianggap bersalah
kecuali pengadilan telah menyalahkannya.
7. Setiap orang berhak mendapat pelayanan dan perawatan kesehatan bagi dirinya dan
keluarganya, juga jaminan ketika menganggur, sakit, cacat, menjadi janda, usia lanjut
atau kekurangan nafkah yang disebabkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya.
Hak-hak asasi tersebut pada praktiknya dapat dilanggar atau dibatasi sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan undangundang atau hukum yang berlaku. Misalnya,
persetujuan untuk menjadi donor dalam tindakan transplantasi guna kepentingan
kemanusiaan atau orang
lain. Demikian pula demi kepentingan undang-undang hak asasi juga bias dilanggar,
misalnya hak untuk menolak imunisasi bagi anaknya. Tetapi karena demi kepentingan
pencegahan penyakit menular, dan pemerintah mengeluarkan peraturan atau undang-
undang yang mewajibkan semua anak harus diimunisasi, maka hak tersebut dapat
dilanggar.
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), telah juga dirumuskan ketentuan
tentang hak-hak pasien ini sebagai berikut:
1. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati secara wajar.
2. Hak memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standar
profesi kedokteran.
3. Hak memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang
mengobatinya.
4. Hak menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat
menarik diri dari kontrak terapetik.
5. Hak memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan diikutinya.
2. Hak dirujuk kepada dokter spesialis, apabila diperlukan, dan dikembalikan kepada dokter yang
merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan atau tindak
lanjut.
5. Hak berhubungan dengan keluarga, penasihat atau rohaniwan dan lain-lainnya yang diperlukan
selama perawatan.
6. Hak memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat Map, obat, pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan Rontgen (XRay),Ultrasonografi (USG), CT-Scan, Magnetic Resonance Immaing (MRI),
dan sebagainya.
dengan pasien, maka dokter mempunyai posisi yang dominan atau kuat dibanding dengan
posisi pasien atau keluarga pasien. Hal ini dapat dimaklumi karena tenaga kesehatan,
utamanya dokterlah yang mempunyai ilmu pengetahuan dan teknologi penyembuhan
yang tinggi, sehingga secara psikologis menempatkan posisi yang lebih tinggi ketimbang
pasiennya. Namun demikian, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pula
masyarakat atau pasien terutama di kota-kota besar telah memperoleh akses yang tinggi
terhadap informasi-informasi tentang kesehatan, terutama kedokteran. Hal inilah yang
menyebabkan meningkatnya hak-hak pasien atas proses penyembuhan yang dilakukan.
Mengingat sangat heterogennya masyarakat, utamanya pasien, baik dilihat dari segi
pendidikan, sosial, ekonomi, budaya, agama, dan sebagainya maka petugas kesehatan
atau dokter dalam memenuhi hak-hak pasien atas hal yang paling sederhana saja tidak
mudah. Misalnya, hak untuk pasien untuk menerima informasi tentang kesehatan atau
hal-hal yang terkait dengan penyakit yang diderita. Dalam memberikan informasi tentang
kesehatan atau yang terkait dengan penyakit yang
diderita pasien dapat berpegang pada prinsip-prinsip antara lain sebagai berikut (Yusuf
Hanafiah dan Amri Amir, 1998):
a. Informasi yang diberikan haruslah dikemas dalam bahasa yang sederhana, dan mudah dipahami
semua pasien.
b. Pasien harus dapat memperoleh informasi tentang penyakitnya, tindakan-tindakan yang akan
diambil, kemungkinan komplikasi dan risikonya.
c. Untuk anak-anak dan pasien penyakit jiwa, maka informasi diberikan kepada orang tua atau
walinya.
Petugas kesehatan, utamanya dokter adalah juga manusia, yang kebetulan mempunyai
profesi sebagai dokter. Sebagaimana seorang manusia, dan juga sebagaimana seorang petugas
kesehatan, dokter juga mempunyai hak- hak, antara lain sebagai berikut:
Setelah memperoleh izin praktik dokter atau Surat Izin Dokter (SID) dokter mempunyai
hak untuk melakukan praktik pribadi (private practice). Persyaratan untuk dapat
melakukan praktik dokter ini telah diatur oleh ketentuan hukum yang ada, baik dalam
Peraturan Pemerintah maupun Surat Keputusan Menteri Kesehatan. (No.
561/Menkes/Per/X/181).
b. Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien/ keluarga tentang
penyakitnya:
Agar diperoleh diagnosis penyakit yang akurat, dan melakukan terapi yang tepat,
seorang dokter mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang lengkap dan jelas
dari pasien yang ditanganinya. Informasi ini dapat diperoleh dari pasien langsung,
tetapi bila tidak memungkinkan karena kondisi pasien atau pasien anak-anak informasi
diperoleh dari keluarga pasien.
Untuk memperoleh hasil penyembuhan secara efektif dan efisien bagi pasien, dokter
mempunyai hak untuk melakukan tahap- tahap penyembuhan pasien sesuai dengan
standar profesi dokter yang telah ditetapkan.
d. Menolak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan etika, hukum,
agama dan hati nuraninya: Apabila dari pihak lain,
termasuk pasien atau keluarganya menawarkan upaya lain di luar
etika, hukum, agama, dan hati nuraninya dalam kaitannya dengan penyembuhan
pasien, dokter berhak untuk menolaknya.
e. Menolak pasien yang bukan bidang spesialisasinya, kecuali dalam keadaan darurat atau tidak ada
dokter lain yang mampu menanganinya:
Apabila seorang pasien penyakit tertentu meminta pertolongan kepada seorang dokter, dan
penyakit pasien tersebut tidak sesuai dengan bidang spesialisasinya, maka dokter tersebut
berhak menolaknya. Kecuali pasien tersebut dalam keadaan darurat, dan dokter spesialis
yang sama dengan penyakit pasien tidak ada di lingkungan tersebut.
Apabila pasien mengetahui kehidupan pribadi seorang dokter, maka pasien yang
bersangkutan tidak boleh menyebarluaskan kehidupan pribadi tersebut. Dokter
mempunyai hak atas kehidupan pribadinya (privacy).
g. Ketenteraman bekerja:
Karena profesinya, dokter sering memperoleh ancaman atau bentuk intimidasi lain
yang mengganggu ketenangan dokter dalam menangani pasien. Apabila dokter dalam
menangani pasien dalam kondisi tidak aman dan tenteram akan berakibat fatal bagi
keamanan dan keselamatan pesien. Dokter berh untuk bekerja secara tenang dan
tenteram.
h. Mengeluarkan surat-surat keterangan dokter:
Dokter, di bawah sumpah dokter berhak mengeluarkan sura keterangan sakit, surat
keterangan kesehatan, surat keterangan kematian, dan sebagainya. Dengan sendirinya
dalam memberikan surat-surat keterangan tersebut harus di dasarkan pada kondisi
yang sebenarnya tentang pasien atau orang yang memerlukan surat keterangan
tersebut.
i. Menerima imbalan:
Dokter berhak menerima imbalan jasa dari pasien atau keluarga pasien dari kewajiban
yang telah dilakukannya. Tetapi imbalan jasa ini tidak berlaku pada kasus-kasus tertentu,
misatnya: pasien, yang tidak mampu, pertolongan pertama pada kecelakaan, teman sejawat
dan keluarganya.
j. Menjadi anggota perhimpunan profesi:
Dokter dan petugas kesehatan yang lain berhak untuk menjadi anggota perhimpunan atau
perkumpulan profesi. Hal ini penting karena semua petugas kesehatan termasuk dokter
mempunyai hak untuk mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi sesuai dengan
profesinya.
Untuk mengatur lebih jelas dan menjamin kepastian hukum bagi raktik tenaga
kesehatan, terutama dokter dan dokter gigi, Pemerintah Indonesia pada tahun 2004
mengeluarkan UndangUndang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam
andang-undang tersebut secara eksplisit diatur tentang hak dan kewajiban dokter dan
dokter gigi dan pasien (Pasal 53-55). Untuk •elasnya dapat dikutipkan secara ringkas
sebagai berikut:
Mengenai ketentuan pidana yang diatur oleh Undang- Undang Praktik Kedokteran
(UU No. 29 Tahun 2004) diatur dalam Pasal 75-80, secara singkat sebagai berikut:
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat tanda registrasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
1. Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3. Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki
surat izin praktik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
4. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
5. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah- olah
yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama. b. dengan sengaja tidak membuat
rekam medis.
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban tersebut di atas.
7. Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
7. Dalam hal tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang
dijatuhkan adalah pidana denda ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan
berupa pencabutan izin.
Daftar Pustaka:
Syamsuddin R, Amiruddin. Kode Etik dan hukum Kesehatan. 2012: Cara Baca; 2012
Perlu konfirmasi ulang. Beberapa pasal kodeki yang tercantum tidak sesuai dengan di website
kodeki.
KODEKI merupakan peraturan non hukum, peraturan ini menjadi petunjuk perilaku atau etika
seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Pada awalnya, KODEKI ini tidak mempunyai
kekuatan yang mengikat, karena bukan merupakan peraturan pemerinah. Tetapi dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
544/Men.Kes/Per/XII/1982 tentang Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran, maka
Etik Kedokteran ini mempunyai kekuatan hukum bagi profesi dokter maupun dokter gigi.
Di dalam Peratuan Menteri Kesehatan Nomor: 544/Men.Kes/ Per/XII/1982 antara lain
mengatur mengenai hal-hal berikut:
a) Yang dimaksud dengan Etik Kedokteran ialah norma yang berlaku bagi dokter dan
dokter gigi dalam menjalankan profesinya aebagai tercantum dalam kode etik masing-
masing yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Hal ini tertuang di dalam Pasal
1 ayat (1).
b) Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran dan Kedokteran Gigi diawasi oleh P3EK (Panitia
Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran) Propinsi, hal ini tertuang dalam
ketentuan Pasal 17 ayat (1) sub b.
c) Setiap ada pelanggaran Kode Etik oleh dokter maupun dokter gigi, Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi dapat mengambil tindakan berupa peringatan
atau tindakan adminiatratif terhadap dokter yang bersangkutan, atas usulan P3EK,
setelah P3EK mendapat masukan dari Ikatan Dokter Indonesia Propinsi atau Persatuan
Dokter Gigi propinsi dan cabang-cabangnya. Hal ini tertuang di dalam ketentuan Pasal
20, Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2).
Dalam kaitannya dalam tuduhan malpraktek, hal yang harus benar- benar diketahui oleh
seorang dokter ialah kewajibannya terhadap penderita (pasien) yang di dalam KODEKI
dicantumkan didalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 14 yang antara lain sebagai berikut: Pasal
berikut tidak sesuai dengan web kodeki, perlu konfirmasi ulang
a) Pasal 10 mengatur bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajibannya melindungi hidup makhluk insani. Artinya adalah bahwa segala
perbuatan dan tindakan dokter harus selalu ditujukan kepada perlindungan terhadap
kehidupan pasiennya. Oleh karena itu, bila seorang dokter melakukan pengguguran
kandungan tanpa adanya indikasi medis yang jelas mengenai keadaan tersebut, berarti
dokter tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap KODEKI. Ikatan Profesi yang
memayungi dokter tersebut jelas tidak bisa memberikan perlindungan, bila dokter
yang bersangkutan harus berhadapan dengan aparat penegak hukum.
b) Pasal 11 mengatur bahwa setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan
mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan penderita
(pasien). Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan,
maka ia wajib merujuk penderita (pasien) kepada dokter lain yang mempunyai
keahlian dalam bidang penyakit tersebut. Dalam menangani pasien, dokter harus
berusaha menggunakan seluruh ilmunya dan ketrampilannya, semata-mata untuk
kepentingan pasien. Apabila ia tidak mampu untuk menolong pasien tersebut, maka
demi kepentingan pasien, dokter yang bersangkutan harus dapat bersikap tulus dan
ikhlas untuk merujuk pasien tersebut kepada rekan sejawatnya yang mempunyai
keahlian dan pengalaman khusus dalam bidang pebyakit tersebut. Demikian juga
sebaliknya, bagi dokter konsultan, bila pasien telah berhasil ditanganinya sampai
swmbuh, harus dengan sikap tulus dan ikhlas pula dikembalikan kepada rekan
sejawatnya yang mengirim pasien tersebut.
c) Pasal 13 mengatur bahwa setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasiennya, bahkan juga setelah pasien tersebut telah
meninggal dunia. Ketika seorang dokter menceritakan rahasia pasiennya berarti ia
telah melanggar ketentuan Pasal 13 KODEKI ini, selain akan dikenakan sanksi
sebagaimana yang diatur didaam Peraturan Menteri Kesehatan, masih juga dapat
dikenakan sanksi pidana sesuai yang diatur didalam Pasal 322 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
d) Pasal 14 mengatur bahwa setiap dokter berkewajian untuk melakukan pertolongan
darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali ia yakin akan adanya orang lain
yang bersedia dan lebih mampu memberikan bantuannya. Seorang dokter yang
menolak untuk melakukan pertolongan darurat terhadap pasien yang
membutuhkannya, padahal dia mampu untuk memberikan tenaga dan kemampuannya
untuk memberikan bantuannya dapat dikenakan dengan tuntutan telak melakukan
malpraktek medik.
Bentuk tindak pelanggaran terhadap butir-butir didalam Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang
merupakan pelanggaran etik semata-mata dan ada juga yang merupakan pelanggaran etik dan
sekaligus pelanggaran hukum yang dikenal dengan istilah pelanggaran Etikolegal, contoh tindak
pelanggaran tersebut antara lain: (Safitri Hariyani, 2005:47-48).
a. Pelanggaran etik murni
1) Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga
sejawat dokter dan dokter gigi;
2) Mengambil alih pasien tanpa persetujuan rekan sejawatnya;
3) Memuji diri sendiri di hadapan pasien;
4) Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran yang
berkesinambungan;
5) Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
b. Pelanggaran etikolegal
1) Pelayanan dokter di bawah standar;
2) Menerbitkan surat keterangan palsu;
3) Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter;
4) Abortus provokatus;
5) Pelecehan seksual
Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi dua bentuk yaitu,
malpraktek etika (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari
segi etika profesi dan segi hukum. Setiap malpraktek yuridis sudah pasti malpraktek etik, tetapi tidak
semua malpraktek etika merupakan malpraktek yuridik. Berikut ini dijelaskan mengenai malpraktek
etik dan malpraktek yuridik:
1. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan
etika kedokteran. Sedangkan Etika Kedokteran yang dituangkan di dalam KODEKI merupakan
seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter. Ngesti Lestari
berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak negatif dari kemajuan teknologi
kedokteran. Kemajuan teknologi yang sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan
kenyamanan bagi pasien,
dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebih tepat dan
lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang
tidak diinginkan.
2. Malpraktek Yuridik
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi tiga bentuk, yaitu: malpraktek perdata
(civil malpractice), Pidana (criminal malpractice), dan administratif (administrative malpractice).
a. Malpraktek Perdata (civil Malpractice)
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi
perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau
terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian
terhadap pasien.
b. Malpraktek Pidana (criminal malpractice)
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau
tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan
terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
c. Malpraktek Administratif (administrative malpractice)
Malpraktek administratif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran
terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi
atau ijin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau ijinnya, menjalankan
praktek dengan ijin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
(Anny Isfandyarie, 2005:31-35)
Daftar Pustaka
J. Gunawandi, Medical Error dan Hukum Medis, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2007
Jusuf, Hanafi, M. Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Jakarta: Buku Kedoktteran
EGC , 2017.
Said, Muhamad, Etika & Hukum Kesehatan, Jakarta: Prenadamedia Grup, 2015.
Siswati, Sri, Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta; Rajawali Pres, 2013.
Notoatmodjo, Soekidjo, Etika & Hukum Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010.
Triwibowo, Cecep, Etika&Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Nuha Medika,2014. Ulfa, Maria
Wiradinata, Wahyu, Dokter Pasien dan Malpraktik , Mimbar Hukum. Vol. 26. No. 1, 2014.
Jurnal
Afzal, Muhammad, Perlindungan Pasien Atas Tindakan Malpraktek Dokter, Jurnal Ilmiah
Mandala Education. Vo. 3. No. 1. 2017.
Heryanto, Bambang, Malpraktek Dokter Dalam Persfektif Hukum, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10
No. 2 Mei 2010.
Aspek Profesi
Dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Peraktik Kedokteran sudah
dijelaskan bahwa batasan batasan kemampuan minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter
dalam menjalankan praktik profesinya secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi adalah
knowledge, skill, and professional attitude, yang berarti pengetahuan, keterampilan, dan sikap. 1
Batasan Dokter Mengambil Tindakan Medis yang Bukan Kewenangan Kompetensi Profesinya
Kewenangan profesi dokter merupakan hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan
sesuatu tindakan medis kepada pasiennya dalam upaya pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Seorang dokter yang melakukan profesi medis harus
mengikuti suatu masa pendidikan yang cukup panjang, dari hasil pendidikan itu sorang dokter
memiliki suatu kualifikasi keilmuan dan keterampilan yang jauh melebihi orang awam, dengan
kualifikasi keilmuan dan keterampilan khusus yang dimiliki tersebut, para pengemban profesi
kesehatan dapat melakukan profesi medis.2
2 Marcel Seran, Anna Mariah Wahyu Setyowati, Kesalahan Profesional Dokter Dan Urgensi
Peradilan Profesi, Jurna Hukum Pro Justicia. Vol. 24. No. 4/ 2006.