Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

1. DEFENISI
        Menurut Depkes RI (2002) dalam Program Perbaikan Gizi Makro
menyatakan bahwa Kurang Energi Kronis merupakan keadaan dimana ibu
penderita kekurangan makanan yang berlangsung menahun (kronis) yang
mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan pada ibu. KEK dapat
terjadi pada wanita usia subur (WUS) dan pada ibu hamil (bumil).
      KEK adalah penyebabnya dari ketidak seimbangan antara asupan
untuk pemenuhan kebutuhan dan pengeluaran energi (Departemen Gizi
dan Kesmas FKMUI, 2007).
Istilah KEK atau kurang energi kronik merupakan istilah lain dari Kurang
Energi Protein (KEP) yang diperuntukkan untuk wanita yang kurus dari
lemak akibat kurang energi yang kronis. Definisi ini diperkenalkan oleh
World Health Organization (WHO).
        Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan dimana remaja
putri/wanita mengalami kekurangan gizi (kalori dan protein) yang
berlangsung lama atau menahun. Risiko Kekurangan Energi Kronis (KEK)
adalah keadaan dimana remaja putri/wanita mempunyai kecenderungan
menderita KEK. Seseorang dikatakan menderita risiko KEK bilamana
lingkar lengan atas (LILA) ≤ 23,5 cm.

II. ETIOLOGI
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi KEK
A. Faktor Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi ini terdiri dari:
a. Pendapatan Keluarga
     Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makanan. Orang dengan
tingkat ekonomi rendah biasanya akan membelanjakan sebagian besar
pendapatan untuk makan, sedangkan dengan tingkat ekonomi tinggi
akan berkurang belanja untuk makanan.
Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan
kuantitas hidangan. Semakin banyak mempunyai uang berarti semakin
baik makanan yang diperoleh, dengan kata lain semakin tinggi
penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut
untuk membeli buah, sayuran dan beberapa jenis makanan lainnya
b. Pendidikan Ibu
Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur
penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan
tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan / informasi
informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik.
c. Faktor Pola Konsumsi
Pola makanan masyarakat Indonesia pada umumnya mengandung
sumber besi heme (hewani) yang rendah dan tinggi sumber besi non
heme (nabati), menu makanan juga banyak mengandung serat dan
fitat yang merupakan faktor penghambat penyerapan besi
(Departemen Gizi dan Kesmas FKMUI, 2007).
d. Faktor Perilaku
      Kebiasaan dan pandangan wanita terhadap makanan, pada umum
nya umum lebih memberikan perhatian khusus pada kepala
keluarga dan anak-anaknya. Ibu hamil harus mengkonsumsi kalori
paling sedikit 3000 kalori / hari Jika ibu tidak punya kebiasaan
buruk seperti merokok, pecandu dsb, maka status gizi bayi yang
kelak dilahirkannya juga baik dan sebaliknya (Arisman, 2007).

B. Faktor Biologis
Faktor biologis ini diantaranya terdiri dari :
a. Usia Ibu Hamil
        Melahirkan anak pada usia ibu yang muda atau terlalu tua
mengakibatkan kualitas janin/anak yang rendah dan juga akan
merugikan kesehatan ibu (Baliwati, 2004: 3). Karena pada ibu yang
terlalu muda (kurang dari 20 tahun) dapat terjadi kompetisi makanan
antara janin dan ibunya sendiri yang masih dalam masa
pertumbuhan dan adanya perubahan hormonal yang terjadi selama
kehamilan (Soetjiningsih, 1995: 96). Sehingga usia yang paling baik
adalah lebih dari 20 tahun dan kurang dari 35 tahun, sehingga
diharapkan status gizi ibu hamil akan lebih baik.
b. Jarak Kehamilan
        Ibu dikatakan terlalu sering melahirkan bila jaraknya kurang dari
2 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa apabila keluarga dapat
mengatur jarak antara kelahiran anaknya lebih dari 2 tahun maka
anak akan memiliki probabilitas hidup lebih tinggi dan kondisi
anaknya lebih sehat dibanding anak dengan jarak kelahiran
dibawah 2 tahun. (Aguswilopo, 2004 : 5).
           Jarak melahirkan yang terlalu dekat akan menyebabkan kualitas
janin/anak yang rendah dan juga akan merugikan kesehatan ibu. ibu
tidak memperoleh kesempatan untuk memperbaiki tubuhnya sendiri
(ibu memerlukan energi yang cukup untuk memulihkan keadaan
setelah melahirkan anaknya). Dengan mengandung kembali maka
akan menimbulkan masalah gizi ibu dan janin/bayi berikut yang
dikandung. (Baliwati, 2004 : 3).
c. Paritas
Paritas adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang
dapat hidup (viable). (Mochtar, 1998). Paritas diklafikasikan
sebagai berikut:
 Primipara
adalah seorang wanita yang telah pernah melahirkan
satu kali dengan janin yang telah mencapai batas
viabilitas, tanpa mengingat janinnya hidup atau mati
pada waktu lahir
 Multipara
adalah seorang wanita yang telah mengalami dua atau
lebih kehamilan yang berakhir pada saat janin telah
mencapai batas viabilitas.
 Grande multipara
adalah seorang wanita yang telah mengalami lima atau
lebih kehamilan yang berakhir pada saat janin telah
mencapai batas viabilitas.
Kehamilan dengan jarak pendek dengan kehamilan
sebelumnya kurang dari 2 tahun / kehamilan yang
terlalu sering dapat menyebabkan gizi kurang karena
dapat menguras cadangan zat gizi tubuh serta organ
reproduksi belum kembali sempurna seperti sebelum
masa kehamilan (Departemen Gizi dan Kesmas
FKMUI, 2007).
d. Berat Badan Selama Hamil .
Berat badan yang lebih ataupun kurang dari pada berat badan
rata-rata untuk umur tertentu merupakan faktor untuk
menentukan jumlah zat makanan yang harus diberikan agar
kehamilannya berjalan dengan lancar. Di Negara maju
pertambahan berat badan selama hamil sekitar 12-14 kg.
Jika ibu kekurangan gizi pertambahannya hanya 7-8 kg dengan
akibat akan melahirkan bayi dengan berat lahir rendah ( Erna,
dkk, 2004 ).
Pertambahan berat badan selama  hamil sekitar 10 – 12 kg,
dimana pada trimester I pertambahan kurang dari 1 kg, trimester
II sekitar 3 kg, dan trimester III sekitar 6 kg. Pertambahan berat
badan ini juga sekaligus bertujuan memantau pertumbuhan janin.

III. TANDA DAN GEJALA


1. Lingkar lengan atas sebelah kiri kurang dari 23,5 cm.
2. Kurang cekatan dalam bekerja.
3. Sering terlihat lemah, letih, lesu, dan lunglai.
4. Jika hamil cenderung akan melahirkan anak secara prematur atau jika
lahir secara normal bayi yang dilahirkan biasanya berat badan lahirnya
rendah atau kurang dari 2.500 gram.

IV. DAMPAK YANG DITIMBULKAN


A. Terhadap Ibu
Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan komplikasi
pada ibu antara lain: Anemia, perdarahan, berat badan ibu tidak bertambah
secara normal dan terkena penyakit infeksi. Sehingga akan meningkatkan
kematian ibu (Zulhaida, 2003)
B. Saat Persalinan
Pengaruh gizi kurang terhadap proses persalinan dapat mengakibatkan
persalinan sulit dan lama, persalinan prematur / sebelum waktunya, perdarahan
post partum, serta persalinan dengan tindakan operasi cesar cenderung meningkat
(Zulhaida, 2003).
C. TerhadapJanin
Kurang gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan
janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, bayi lahir mati, kematian
neonatal, cacat bawaan, asfiksia intra partum, lahir dengan berat badan rendah
(BBLR) (Zulhaida, 2003).

V. PENGUKURAN STATUS GIZI


Dapat dilakukan melalui empat cara yaitu secara klinis, biokimia, biofisik, dan
antropometri.
A. Penilaian secara klinis
Penilaian status gizi secara klinis sangat penting sebagai langkah pertama
dalam mengetahui keadaan gizi penduduk. Karena hasil penilaian dapat
memberikan gambaran masalah gizi yang nampak nyata.
B. Penilaian secara biokimia
Penilaian status gizi secara biokimia di lapangan banyak menghadapi
masalah. Salah satu ukuran yang sangat sederhana dan sering digunakan adalah
pemeriksaan haemoglobin sebagai indeks dari anemia gizi.
C. Penilaian secara biofisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat tanda dan gejala kurang gizi.
Dilakukan oleh dokter atau petugas kesehatan atau yang berpengalaman dengan
memperhatikan rambut, mata, lidah, tegangan otot dan bagian tubuh lainnya.
D. Penilaian secara antropometri.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ukuran fisik seseorang sangat erat
berhubungan dengan status gizi. Atas dasar-dasar ini ukuran-ukuran
antropometri diakui sebagai indeks yang baik dan dapat diandalkan bagi
penentuan status gizi untuk negara-negara berkembang.
Untuk mengetahui status gizi ibu hamil digunakan pengukuran secara
langsung dengan menggunakan penilaian antropometri yaitu: Lingkar Lengan
Atas. Pengukuran lingkar lengan atas adalah suatu cara untuk mengetahui risiko
KEK wanita usia subur (Supariasa, 2002 : 48). Wanita usia subur adalah wanita
dengan usia 15 sampai dengan 45 tahun yang meliputi remaja, ibu hamil, ibu
menyusui dan pasangan usia subur (PUS).
Ambang batas lingkar Lengan Atas (LILA) pada WUS dengan risiko KEK
adalah 23,5 cm, yang diukur dengan menggunakan pita ukur. Apabila LILA
kurang dari 23,5 cm artinya wanita tersebut mempunyai risiko KEK dan
sebaliknya apabila LILA lebih dari 23,5 cm berarti wanita itu tidak berisiko dan
dianjurkan untuk tetap mempertahankan keadaan tersebut.
Hal-hal yang harus diperhatikan:
1. Pengukuran dilakukan di bagian tengah antara bahu dan siku lengan kiri.
2. Lengan harus dalam posisi bebas, lengan baju dan otot lengan dalam keadaan
tidak tegang atau kencang.
3. Alat pengukur dalam keadaan baik dalam arti tidak kusut atau sudah
dilipat-lipat, sehingga permukaannya sudah tidak rata.

VI. UPAYA PENATALAKSANAAN IBU HAMIL KEK


1. KIE mengenai KEK dan faktor yang mempengaruhinya serta
bagaimana menanggulanginya.
2. PMT Bumil diharapkan agar diberikan kepada semua ibu hamil yang
ada.Kondisi KEK pada ibu hamil harus segera di tindak lanjuti sebelum
usia kehamilan mencapai 16 minggu. Pemberian makanan tambahan
yang Tinggi Kalori dan Tinggi Protein dan dipadukan dengan
penerapan Porsi Kecil tapi Sering, pada faktanya memang berhasil
menekan angka kejadian BBLR di Indonesia. Penambahan 200 – 450
Kalori dan 12 – 20 gram protein dari kebutuhan ibu adalah angka yang
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan gizi janin.
3. Konsumsi tablet Fe selama hamil.
Kebutuhan bumil terhadap energi, vitamin maupun mineral meningkat
sesuai dengan perubahan fisiologis ibu terutama pada akhir trimester
kedua dimana terjadi proses hemodelusi yang menyebabkan terjadinya
peningkatan volume darah dan mempengaruhi konsentrasi hemoglobin
darah.Pada keadaan normal hal tersebut dapat diatasi dengan pemberian
tablet besi, akan tetapi pada keadaan gizi kurang bukan saja
membutuhkan suplemen energi juga membutuhkan suplemen vitamin
dan zat besi. Keperluan yang meningkat pada masa kehamilan,
rendahnya asupan protein hewani serta tingginya konsumsi serat /
kandungan fitat dari tumbuh-tumbuhan serta protein nabati merupakan
salah satu faktor penyebab terjadinya anemia besi.

VII. PENCEGAHAN IBU HAMIL KEK


1. Pemberdayaan ekonomi masyarakat sehingga mereka mampu memenuhi
kebutuhan dasar mereka, terutama dalam mencukupi kebutuhan akan
makanan bergizi.
2. Memberikan pengertian bagi mereka dengan profesi yang menuntut memiliki
tubuh kurus tentang bahaya tubuh yang terlalu kurus apalagi jika mereka
menguruskan badan dengan cara tidak lazim, seperti anoreksia atau bulimia

VIII.CARA MENGATASI RESIKO KEK


1. Cara Mengetahui Risiko Kekurangan Energi Kronis (Kek) Dengan
Menggunakan Pengukuran Lila :
2. Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA)
LILA adalah suatu cara untuk mengetahui risiko Kekurangan Energi Kronis
(KEK) wanita usia subur termasuk remaja putri. Pengukuran LILA tidak
dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka pendek.
3. Pengukuran dilakukan dengan pita LILA dan ditandai dengan sentimeter,
dengan batas ambang 23,5 cm (batas antara merah dan putih).
Apabila tidak tersedia pita LILA dapat digunakan pita sentimeter/metlin yang
biasa dipakai penjahit pakaian. Apabila ukuran LILA kurang dari 23,5 cm
atau di bagian merah pita LILA, artinya remaja putri mempunyai risiko KEK.
Bila remaja putri menderita risiko KEK segera dirujuk ke puskesmas/sarana
kesehatan lain untuk mengetahui apakah remaja putri tersebut menderita KEK
dengan mengukur IMT. Selain itu remaja putri tersebut harus meningkatkan
konsumsi makanan yang beraneka ragam.
IX. DETEKSI DINI KURANG ENERGI KRONIS (KEK)
1. Dilakukan setiap tahun dengan mengukur Lingkar Lengan Kiri Atas (LILA)
dengan memakai pita LILA
2. Pada Remaja Putri/Wanita yang LILA-nya <23,5 cm berarti menderita Risiko
Kurang Energi Kronis (KEK), yang harus dirujuk ke Puskesmas/ sarana
pelayanan kesehatan lain, untuk mendapatkan konseling dan pengobatan.
3. Pengukuran LILA dapat dilakukan oleh Remaja Putri atau wanita itu sendiri,
kader atau pendidik. Selanjutnya konseling dapat dilakukan oleh petugas gizi
di Puskesmas (Pojok Gizi), sarana kesehatan lain atau petugas kesehatan/gizi
yang datang ke sekolah, pesantren dan tempat kerja.

Anda mungkin juga menyukai