Anda di halaman 1dari 4

Perencanaan Tata Guna Lahan pada Kawasan Mitigasi Bencana

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Geologi Lingkungan dan Sumber daya

Johanes Samuel Rangingisan


220211050035

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
Pengantar

Perencanaan tata guna lahan pada kawasan mitigasi bencana bertujuan untuk
memprediksi dampak bencana dan mencapai perencanaan tata ruang wilayah yang lebih
baik dan aman. Zonasi untuk penataan ruang wilayah dapat berupa zona berdasarkan
tingkat kerawanan bencana yang potensial. Dalam rangka melaksanakan konsep dasar
penataan ruang berbasis pengelolaan bencana, perlu disediakan prosedur tindakan dan
data geologi dasar, terutama mengenai jenis dan kemungkinan bencana. Zonasi rencana
tata ruang dapat berupa zona berdasarkan tingkat kerawanan potensi bencana. Untuk
mewujudkan konsep dasar penataan tata guna lahan pada Kawasan mitigasi bencana,
perlu dilakukan langkah-langkah kegiatan dan penyediaan data dasar geologi, terutama
yang berkaitan dengan jenis dan potensi bencana geologi. Secara umum proses
perencanaan tata guna lahan dapat dikelompokkan menjadi dua:

1. Perencanaan tataguna lahan yang ditujukan untuk sector swasta/perorangan.


2. Perencanaan lahan untuk sektor publik.

Keduanya berbeda, dalam perencanaan penggunaan lahan sektor swasta/perorangan,


penggunaan lahan biasanya dicadangkan untuk satu peruntukan, seperti perencanaan
penggunaan lahan perumahan, real estate, taman industri atau ruang terbuka hijau.

Sedangkan perencanaan penggunaan lahan untuk sektor publik lebih menekankan pada
hubungan antar fungsi penggunaan lahan yang berbeda, seperti hubungan antara fungsi
lahan antar kawasan industri, pemukiman manusia, pertanian, resapan air, tempat
pembuangan sampah, dan lain-lain.
Perencanaan Tata Guna Lahan pada Kawasan Mitigasi Bencana

1. Menghindar (Avoidance).
Respons manusia terhadap potensi bencana alam terutama mencakup
penghindaran, yaitu tidak membangun dan menempatkan struktur di tempat-
tempat yang kemungkinan akan terkena bencana, seperti daerah banjir, daerah
rawan longsor, dll. medan atau daerah rawan gempa.

2. Stabilisasi (Stabilization).
Beberapa bencana dapat diimbangi dengan penerapan teknik rekayasa, seperti di
daerah dengan kemiringan curam dan berpotensi longsor, yaitu membuat lereng
yang landai dan stabil untuk mengurangi kemungkinan longsor, atau membangun
bangunan menggunakan pondasi tiang pancang untuk lapisan tanah yang stabil.

3. Penetapan Persyaratan Keselamatan Struktur Bangunan (Provision for safety in


structures).
Dalam banyak kasus, bangunan akan didirikan di tempat-tempat yang rawan
bencana alam seperti gempa bumi. Struktur bangunan harus dirancang dengan
mempertimbangkan keselamatan jiwa manusia, terutama dengan bangunan yang
tahan terhadap gempa. Untuk daerah yang rawan banjir, struktur harus dibangun
di atas panggung untuk menghindari kontak dengan air.

4. Pembatasan penggunaan lahan dan penempatan jumlah jiwa (Limitation of land-


use and occupancy)
Jenis penggunaan lahan, seperti lahan pertanian atau pemukiman, dapat dilakukan
dengan membuat peraturan tentang potensi bencana. Alokasi orang per hektar
dapat disesuaikan untuk mengurangi besarnya bencana.

5. Membangun Sistem Peringatan Dini (Establishment of early warning system).


bencana alam dapat diprediksi, sehingga memungkinkan tindakan darurat
dilakukan. Banjir, Angin Puyuh, Gelombang Laut, serta Erupsi Gunung api adalah
beberapa jenis bencana alam yang dapat diprediksikan. Sistem Peringatan Dini
telah terbukti efektif dalam mencegah dan meminimalkan bencana yang akan
terjadi di suatu daerah, seperti banjir dan gelombang laut di daerah-daerah pantai.
Sumber:
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=r
ja&uact=8&ved=2ahUKEwi-
jNCNttr6AhVMcGwGHakcDTUQFnoECDwQAQ&url=https%3A%2F%2Fanz
doc.com%2Fdownload%2Ftpl-106-geologi-pemukiman-berbasis-mitigasi-
bencana.html&usg=AOvVaw2McG1wDe_psTHQPzNJ1lBn

Anda mungkin juga menyukai