Pulau-pulau di Indonesia secara geografis terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik dunia,
yaitu lempeng Australia, lempeng Pasifik, lempeng Eurasia serta Filipina. Hal ini
menyebabkan Indonesia rentan secara geologis. Di samping itu, kurang lebih 5.590 daerah
aliran sungai (DAS) yang terdapat di Indonesia, yang terletak antara Sabang dan Merauke,
mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu negara yang berisiko tinggi terhadap ancaman
bencana gempa bumi, tsunami, deretan erupsi gunung api, dan gerakan tanah
Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah
“erupsi ”. Hampir semua aktivitas gunung api berkaitan dengan zona kegempaan aktif, sebab
berhubungan dengan batas lempeng. Pada batas lempeng inilah terjadi perubahan tekanan dan
suhu yang sangat tinggi sehingga mampu melelehkan material di sekitarnya, yang merupakan
cairan pijar (magma). Magma akan mengintrusi batuan atau tanah di sekitarnya melalui
rekahan-rekahan mendekati permukaan bumi. Letusan gunung api sangat berbahaya sebab
menghasilkan aliran lava panas, awan panas, gas beracun (mematikan), dan lahar letusan
(BNPB, 2017).
Berdasarkan BNPB (2014) Indonesia memiliki lebih dari 500 gunung api dengan 127 di
antaranya berstatus aktif. Gunung-gunung api aktif yang tersebar di Pulau Sumatera, Jawa,
Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara dan Kepulauan Maluku merupakan sekitar 17% dari
sebaran gunung api aktif dunia. Sebaran gunung api meliputi wilayah Sumatera (30
gunungapi), Jawa (35), Bali dan Nusa Tenggara (30), Maluku (16), dan Sulawesi (18).
Sedangkan jenis gunung api ada 3 macam, yaitu Tipe A (Meletus 400 Tahun Terakhir) ada
78, Tipe B (Solfatar dan Fumarol) ada 29, dan Tipe C (Lapangan Solfatar dan Fumarol) ada
21.
1 Sumatera 13 11 6 30
2 Jawa 19 10 5 34
3 Lombok 1 - - 31
4 Bali 2 - - 2
5 Sumbawa 2 - - 2
6 Flores 17 3 5 25
7 Laut Banda 7 2 - 9
8 Sulawesi 6 2 5 13
9 Kepulauan Sangir 5 - - 5
10 Halmahera 5 1 - 6
Jumlah 77 29 21 127
I. PRA BENCANA
A. PENCEGAHAN
Menurut UU RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi
atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana
maupun kerentanan pihak yang terancam bencana. Menurut BNPB (2012), Walaupun
penelitian mengenai gunung api sudah banyak dilaksanakan, bencana meletusnya
gunung api hingga saat ini menjadi salah satu jenis bencana alam yang belum
diketahui cara pencegahannya, peneliti sampai saat ini baru mampu mengelompokan
berbagai macam jenis gunung api, jenis letusan, kondisi geokimia serta pemanfaatan
sumber daya alam yang terkandung dalam gunung api seperti panas bumi. Sehingga
penelitian dan manajemen resiko dalam keterjadiaan meletusnya gunung api tetap
berorientasi kepada pengurangan resiko melalui mitigasi bencana.
Para ahli vulkanologi mampu mengklasifikasikan gunung api berdasarkan
berbagai macam hal, jika dilihat dari sumber erupsinya maka sebuah gunung api dapat
diklasifikasikan menjadi antara lain (a). erupsi pusat, dicirikan dengan erupsi yang
keluar melalui kawah utama; (b) erupsi samping, tempat erupsi terletak di lereng
tubuh gunung api; (c) erupsi celah, erupsi terjadi pada retakan dan dapat memanjang
beberapa kilometer; (d) erupsi eksentrik, erupsi samping dengan magma yang eluar
bukan dari kepundan pusat yang menyimpang ke samping melainkan langsung dari
dapur magma melalui kepundan tersendiri (ESDM).
Proses pencegahan dan pengurangan risiko kerugian dalam keterjadian letusan
gunung merapi yang isinya melibatkan berbagai pihak dan lembaga pemerintah
seperti yang tercantum dalam Tabel koordinasi mitigasi bencana yang diterbitkan
PERMENDAGRI No 33 Tahun 2006 Tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana
sebagai berikut:
B. MITIGASI
Berdasarkan yang tercantum dalam UU RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana. Kegiatan mitigasi dilakukan melalui: a.
pelaksanaan penataan ruang; b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur,
tata bangunan; dan c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik
secara konvensional maupun modern.
Ada dua jenis mitigasi, yaitu struktural dan non struktural. Mitigasi struktural
didefinisikan sebagai usaha pengurangan resiko yang dilakukan melalui pembangunan
atau perubahan fisik melalui penerapan solusi yang dirancang. Mitigasi non struktural
meliputi pengurangan kemungkinan atau konsekuensi resiko melalui modifikasi
proses-proses perilaku manusia atau alam, tanpa membutuhkan penggunaan struktur
yang dirancang (Kusumasari, 2014). Menurut BNPB (2012) Dalam upaya mengurangi
resiko bahaya yang muncul dari keterjadian meletusnya gunung api maka disusun
sebuah Strategi Mitigasi :
1. Pemantauan, aktivitas gunungapi dipantau selama 24 jam menggunakan alat
pencatat gempa (seismograf). Data harian hasil pemantauan dilaporkan ke
kantor Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di
Bandung dengan menggunakan radio komunikasi SSB. Petugas Pos
Pengamatan Gunungapi menyampaikan laporan bulanan ke pemda setempat.
2. Tanggap Darurat, tindakan yang dilakukan ketika terjadi peningkatan aktivitas
gunungapi antara lain mengevaluasi laporan dan data (PVMBG), membentuk
tim Tanggap Darurat, mengirimkan tim ke lokasi, dan melakukan pemeriksaan
secara terpadu.
3. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi menjelaskan jenis dan sifat bahaya
gunungapi, daerah rawan bencana, arah penyelamatan diri, lokasi
pengungsian, dan pos penanggulangan bencana.
4. Penyelidikan gunung api menggunakan metoda berbagai ilmu kebumian.
5. Sosialisasi kepada Pemerintah Daerah serta masyarakat, terutama yang tinggal
di sekitar gunungapi. Bentuk sosialisasi dapat berupa pengiriman informasi
kepada Pemda dan penyuluhan langsung kepada masyarakat.
Sebagai contoh Isnainiati dkk (2013), dalam penelitiannya menjelaskan bahwa BPBD
Sleman melakukan pembangunan rumah sesuai standar kawasan rawan bencana yang
bekerjasama dengan Tim REKOMPAK dibawah koordinasi Ditjen Cipta Karya
Kementerian Pekerjaan Umum. Dalam mitigasi ini masyarakat dilibatkan dengan
membagi masyarakat menjadi kelompok-kelompok pemukim. Dalam mitigasi ini
banyak pihak swasta/NGO yang membantu, seperti Kedaulatan Rakyat, Pikiran
Rakyat, ASB, SGM. Terdapat peranan komunitas setempat dan Tim REKOMPAK
untuk mensosialisasikan kegiatan mitigasi ini.
Hal ini juga terjadi pada saat erupsi Gunung Kelud, dimana Bupati Kediri
turun langsung untuk mengecek kondisi seluruh pengungsi dan tempat pengungsian
serta kelengkapan sarana dan prasarana baik makanan, minuman, pakaian dan
kesehatan pengungsi, selain itu hal yang dilakukan ialah pembenahan rumah
pengungsi agar siap huni (Pemkab Kediri, 2014).
B. Konsolidasi
C. Rekonstruksi
B. KURATIF
Erupsi gunung api tidak hanya merusak bangunan dan mengakibatkan
jatuhnya korban jiwa, akan tetapi juga mencemari lingkungan berupa polusi udara,
pencemaran air dan tanaman pangan. Salah satu bentuk paparan yang paling
berbahaya adalah abu gunung api yang masuk melalui sistem pernapasan. Setelah
seseorang menghirup abu gunung api dalam jumlah yang signifikan maka dampak
yang akan timbul adalah reaksi akut maupun kronis. Dampak akut yaitu asma yang
dipicu oleh silika, terutama pada anak yang sebelumnya sudah memiliki riwayat
asma. Reaksi kronis timbul sebagai akibat paparan dalam jangka waktu yang lama
dan berisiko menimbulkan Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD) dan
kanker paru yang dikaitkan dengan kandungan kristal silika dalam abu (Forbes, 2008
dalam Imran, 2012).
Para penderita asma atau masalah paru-paru lainnya seperti bronkitis dan
emfisema, dan gangguan jantung parah adalah mereka yang paling berisiko. Iritasi
mata juga merupakan dampak kesehatan umum yang sering dijumpai pada kejadian
bencana gunung api. Meskipun jarang ditemukan, abu gunung api dapat menyebabkan
iritasi kulit untuk sebagian orang, terutama ketika abu gunung api tersebut bersifat
asam.
Permasalahan-permasalahan kesehatan akibat erupsi gunung api tersebut
diatas secara singkat dapat dibagi dalam dua kategori yaitu permasalahan kesehatan
individu dan permasalahan kesehatan masyarakat. Jumlah kasus yang tinggi seperti
ISPA dalam satu kelompok masyarakat yang terancam oleh bahaya gunung api dapat
menjadi suatu kejadian luar biasa bila tidak ditangani segera. Perlu dilakukan berbagai
upaya untuk menangani dan mencegah timbulnya permasalahan kesehatan yang
berpotensi menjadi masalah serius di tengah masyarakat yang terancam.
Pemenuhan pelayanan kesehatan pada saat tanggap darurat bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan. Untuk mencapai tujuan tersebut
pemberian pelayanan bagi korban mulai diberikan pada sebelum rumah sakit sampai
rumah sakit rujukan. Semakin cepat korban memperoleh pelayanan kesehatan
semakin besar kemungkinan akan selamat (Schultz, 1996 dalam Imran 2012).
Manajemen penanganan korban massal baik pra-rumah sakit maupun rumah
sakit mencakup operasi penyelamatan, pengerahan tim gawat darurat ke lokasi,
evakuasi korban, pengerahan staf medis di rumah sakit, pelayanan kegawatdaruratan,
prosedur pemeriksaan penunjang, rawat inap, rujukan sekunder serta rujukan antar
rumah sakit (Avitzour, 2004 dalam Imran 2012). Saat terjadi peristiwa yang
mengakibatkan jatuhnya korban dalam jumlah besar, beberapa ambulans yang berada
di suatu wilayah dapat dikerahkan ke lokasi dan diharapkan dapat mencapai tujuan
dalam waktu sesingkat mungkin.
Salah satu tindakan medis yang dilakukan pra-rumah sakit adalah triase yaitu
memilah dan memilih korban berdasarkan keparahan luka yang mengancam nyawa
dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi korban luka sebanyak
mungkin dalam waktu yang singkat. Korban dipilah berdasarkan tingkat keseriusan
luka dan masih memiliki kemungkinan hidup. Triase tidak hanya dilakukan di lokasi
kejadian, triase terus dilakukan secara berjenjang dari lokasi sampai ke ruang operasi.
Tanpa kegiatan triase di lokasi kejadian, setiap tingkat pelayanan kesehatan akan
gagal memberikan pelayanan yang optimal (Avitzour, 2004; Llewellyn, 1992 dalam
Imran 2012). Terlihat bahwa triase merupakan tindakan medis yang dilakukan baik
pra-rumah sakit maupun di rumah sakit. Tanpa adanya pemilahan dan seleksi korban
di lokasi kejadian, fasilitas kesehatan akan kebanjiran pasien yang tidak perlu
mendapat perawatan di rumah sakit. Selain itu, korban dengan kondisi luka yang
mengancam nyawa akan mendapat prioritas dan tindakan medis yang optimal. Pada
kejadian bencana, rumah sakit dihadapkan pada beban yang tidak ringan yaitu
memberikan pelayanan selama masa tanggap darurat bahkan hingga masa pemulihan.
C. REHABILITATIF
Pelayanan kesehatan ditujukan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak
bencana dalam rangka memulihkan kondisi kesehatan masyarakat melalui pemulihan
sistem pelayanan kesehatan masyarakat, membantu perawatan lanjut korban bencana
yang sakit dan mengalami luka, menyediakan obat-obatan, menyediakan peralatan
kesehatan, menyediakan tenaga medis dan paramedis dan memfungsikan kembali
sistem pelayanan kesehatan termasuk sistem rujukan.
Pelayanan di bidang kesehatan saat bencana dapat dilihat dalam kasus meletusnya
Gunung Agung. Menjelang akhir bulan September 2017, PVMBG mendeteksi adanya
peningkatan aktivitas vulkanik dari kegempaan yang terus meningkat dari Gunung
Agung Kabupaten Karangasem Provinsi Bali dan Tanggal 27 November 2017, Bupati
Karangasem menetapkan status Tanggap Darurat Bencana selama 14 hari sampai
tanggal s.d. 10 Desember 2017 dan diperpanjang hingga 22 Desember 2017.
(Kemenkes, 2017)
1. Jumlah pengungsi yang meninggal selama fase kedaruratan sebanyak 71
orang,dengan rincian 69 orang pada masa siaga darurat dan 2 orang pada saat
tanggap darurat. Jumlah korban meninggal terbanyak yaitu di Klungkung dan
Karangasem. Bila dilihat usianya, paling banyak di atas usia 60
tahun.Sedangkan penyebab meninggalnya paling tinggi akibat
penyakit-penyakit kronis yaitu DM/Stroke/Jantung/Hipertensi.
2. Jumlah total pasien yang dilayani di Pos Kesehatan dan Rumah Sakit yaitu
sebanyak 56.892 orang. Sebanyak 98% di antaranya adalah rawat jalan
3. Penyakit terbanyak adalah ISPA yang jauh lebih tinggi dibandingkan penyakit
lainnya. Untuk trend penyakit ISPA, penyakit kulit dan common cold
semuanya menunjukkan trend yang sama yaitu semakin meningkat mulai dari
siaga darurat hingga tanggap darurat.
4. Untuk kasus penyakit jiwa, terdapat 126 kasus dan sebagian besar dirawat
inap. Sama seperti penyakit lainnya, kasus penyakit jiwa cenderung meningkat
pada masa tanggap darurat meskipun julah pengungsi menurun. Jelasnya dapat
dilihat pada tabel dan grafik berikut ini. Beberapa titik di grafik yang kosong
dikarenakan tidak ada data.
Berikut adalah upaya pemulihan sosial psikologis yang dilakukan oleh bidang kesehatan
dalam memberikan pelayanan terhadap korban bencana gunung meletus tersebut:
1. Sub Klaster Kesehatan Jiwa
a. Penemuan kasus ODGJ di pos-pos pengungsian kerjasama antara pemegang
program keswa di Dinkes Kabupaten/ Kota, Puskesmas, RSJ dan PMI.
b. Pemberian pelayanan kesehatan jiwa terutama untuk pemulihan psikologis
para pengungsi bekerjasama dengan RSJ Provinsi Bali dan Fakultas Psikologi
UNUD.
c. Pendampingan psikologis kepada pengungsi.
2. Kemenkes
a. Melakukan pelayanan kesehatan jiwa di pos pengungsian
b. Memberikan bantuan obat-obatan jiwa. kepada Kadinkes Kab. Karangasem
dengan total nilai bantuan sebesar Rp. 1.209.000.
c. Melakukan skrining gangguan jiwa d.Melakukan konseling, terapi suportif,
terapi rileksasi progresif dan psikoedukasi.
3. Melakukan pendampingan dan art therapy. Rumah Zakat , LPBI NU dan PMI :
a. Pendampingan psikososial untuk anak – anak
b. Melakukan kegiatan dukungan psikologi
Upaya yang dilakukan pasca tanggap darurat oleh bidang kesehatan adalah :
1. Hasil verifikasi klaim RS untuk pasien pengungsi tanggal 18 September – 10
Desember 2017 yaitu sebesar Rp 3,092,770,802,-
2. Pusat Krisis Kesehatan memfasilitasi koordinasi antara Dinkes Provinsi Bali dengan
BNPB untuk pencairan klaim RS menggunakan Dana Siap Pakai (DSP). Namun
hingga awal tahun 2018, klaim ini belum dapat dipenuhi
3. Pada Januari 2018, Pusat Krisis Kesehatan melakukan pertemuan koordinasi dengan
stakeholder terkait untuk membahas masalah klaim RS. Lintas program yang terlibat
yaitu Dit. Yankes Rujukan, Biro Keuangan, P2JK. Lintas sektor yang terlibat yaitu
BNBP, Bappenas. Hasil rapat menyepakati perlunya tindak lanjut untuk memperjelas
SOP pengajuan klaim dari sektor kesehatan untuk pengajuan DSP. Mengingat
penghitungan klaim untuk sektor kesehatan memiliki kekhususan dan tidak bisa
disamakan dengan sektor-sektor lainnya
Kesimpulan