Anda di halaman 1dari 31

Pendahuluan

Pulau-pulau di Indonesia secara geografis terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik dunia,
yaitu lempeng Australia, lempeng Pasifik, lempeng Eurasia serta Filipina. Hal ini
menyebabkan Indonesia rentan secara geologis. Di samping itu, kurang lebih 5.590 daerah
aliran sungai (DAS) yang terdapat di Indonesia, yang terletak antara Sabang dan Merauke,
mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu negara yang berisiko tinggi terhadap ancaman
bencana gempa bumi, tsunami, deretan erupsi gunung api, dan gerakan tanah
Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah
“erupsi ”. Hampir semua aktivitas gunung api berkaitan dengan zona kegempaan aktif, sebab
berhubungan dengan batas lempeng. Pada batas lempeng inilah terjadi perubahan tekanan dan
suhu yang sangat tinggi sehingga mampu melelehkan material di sekitarnya, yang merupakan
cairan pijar (magma). Magma akan mengintrusi batuan atau tanah di sekitarnya melalui
rekahan-rekahan mendekati permukaan bumi. Letusan gunung api sangat berbahaya sebab
menghasilkan aliran lava panas, awan panas, gas beracun (mematikan), dan lahar letusan
(BNPB, 2017).
Berdasarkan BNPB (2014) Indonesia memiliki lebih dari 500 gunung api dengan 127 di
antaranya berstatus aktif. Gunung-gunung api aktif yang tersebar di Pulau Sumatera, Jawa,
Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara dan Kepulauan Maluku merupakan sekitar 17% dari
sebaran gunung api aktif dunia. Sebaran gunung api meliputi wilayah Sumatera (30
gunungapi), Jawa (35), Bali dan Nusa Tenggara (30), Maluku (16), dan Sulawesi (18).
Sedangkan jenis gunung api ada 3 macam, yaitu Tipe A (Meletus 400 Tahun Terakhir) ada
78, Tipe B (Solfatar dan Fumarol) ada 29, dan Tipe C (Lapangan Solfatar dan Fumarol) ada
21.

No Daerah Penyebaran Jumlah Gunung Aktif Jumlah

Tipe A Tipe B Tipe C

1 Sumatera 13 11 6 30

2 Jawa 19 10 5 34

3 Lombok 1 - - 31

4 Bali 2 - - 2
5 Sumbawa 2 - - 2

6 Flores 17 3 5 25

7 Laut Banda 7 2 - 9

8 Sulawesi 6 2 5 13

9 Kepulauan Sangir 5 - - 5

10 Halmahera 5 1 - 6

Jumlah 77 29 21 127

Berdasarkan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019 yang disusun oleh


BNPB, total jumlah jiwa terpapar risiko bencana letusan gunungapi di Indonesia adalah
sebanyak 2.396.761 jiwa di seluruh Provinsi di Indonesia dengan potensi kerugian mencapai
Rp. 13.6 Trilyun. Maka dalam pengelolaan bencana selalu dibutuhkan usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan
rekonstruksi secara adil dan setara.

I. PRA BENCANA
A. PENCEGAHAN
Menurut UU RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi
atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana
maupun kerentanan pihak yang terancam bencana. Menurut BNPB (2012), Walaupun
penelitian mengenai gunung api sudah banyak dilaksanakan, bencana meletusnya
gunung api hingga saat ini menjadi salah satu jenis bencana alam yang belum
diketahui cara pencegahannya, peneliti sampai saat ini baru mampu mengelompokan
berbagai macam jenis gunung api, jenis letusan, kondisi geokimia serta pemanfaatan
sumber daya alam yang terkandung dalam gunung api seperti panas bumi. Sehingga
penelitian dan manajemen resiko dalam keterjadiaan meletusnya gunung api tetap
berorientasi kepada pengurangan resiko melalui mitigasi bencana.
Para ahli vulkanologi mampu mengklasifikasikan gunung api berdasarkan
berbagai macam hal, jika dilihat dari sumber erupsinya maka sebuah gunung api dapat
diklasifikasikan menjadi antara lain (a). erupsi pusat, dicirikan dengan erupsi yang
keluar melalui kawah utama; (b) erupsi samping, tempat erupsi terletak di lereng
tubuh gunung api; (c) erupsi celah, erupsi terjadi pada retakan dan dapat memanjang
beberapa kilometer; (d) erupsi eksentrik, erupsi samping dengan magma yang eluar
bukan dari kepundan pusat yang menyimpang ke samping melainkan langsung dari
dapur magma melalui kepundan tersendiri (ESDM).
Proses pencegahan dan pengurangan risiko kerugian dalam keterjadian letusan
gunung merapi yang isinya melibatkan berbagai pihak dan lembaga pemerintah
seperti yang tercantum dalam Tabel koordinasi mitigasi bencana yang diterbitkan
PERMENDAGRI No 33 Tahun 2006 Tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana
sebagai berikut:

No Langkah penanganan Instansi yang Rujukan


bertanggung jawab

a. Perencanaan lokasi Departemen ESDM, Peta Rawan Tanah


pemanfaatan lahan untuk Departemen PU, BMG, Longsor 1998, Peta
aktivitas penting harus Pemda Prov, Kab/Kota Risiko Bencana
jauh atau di luar dari
kawasan rawan bencana.

b. Hindari tempat-tempat Dep. PU, Dep ESDM, Rencana Tata Ruang


yang memiliki Pemda Prov, Kab/Kota Wilayah, standar
kecenderungan untuk bangunan tahan
dialiri lava dan atau lahar gempa

c. Perkenalkan struktur Dep. PU, LIPI, Bangunan fasilitas


bangunan tahan api Kementerian Ristek, yang aman terhadap
Pemda Prov, Kab/Kota gempa bumi

d. Penerapan desain Dep. PU, Dep. ESDM. Prakiraan gempa,


bangunan yang tahan LIPI, Kementerian Ristek, data kejadian gempa.
terhadap tambahan beban Pemda Prov, Kab/Kota
akibat abu gunung api.

e. Membuat barak Dep. PU, DepSos, Pemda Teknologi terapan


pengungsian yang Prov, Kab/Kota yang tepat dan
permanen, terutama di berhasil guna untuk
sekitar gunung api yang mencegah,
sering meletus. mengurangi dampak
bencana gempa
bumi.

f. Membuat fasilitas jalan Dep. PU, Pemda Prov, Kesadaran


dan tempat pemukiman Kab/Kota masyarakat akan
ke tempat pengungsian kemungkinan
untuk memudahkan bencana gempa
evaluasi. bumi.

g. Menyediakan alat Dep. PU, DepSos, TNI, Rencana kedaruratan


transportasi bagi POLRI, Pemda Prov, dalam menghadapi
penduduk bila ada Kab/Kota gampa bumi.
perintah pengungsian

h. Meningkatkan DDN, Kementerian Terciptanya


kewaspadaan terhadap Ristek, BPPT, LAPAN, komunikasi yang
risiko letusan gunung api LIPI, BMG,Departemen baik diantara
di daerahnya. ESDM, Pemda Prov, stakeholders untuk
Kab/Kota menunjanh
keberhasilan
Koordinasi
Penanganan
Bencana.

B. MITIGASI
Berdasarkan yang tercantum dalam UU RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana. Kegiatan mitigasi dilakukan melalui: a.
pelaksanaan penataan ruang; b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur,
tata bangunan; dan c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik
secara konvensional maupun modern.
Ada dua jenis mitigasi, yaitu struktural dan non struktural. Mitigasi struktural
didefinisikan sebagai usaha pengurangan resiko yang dilakukan melalui pembangunan
atau perubahan fisik melalui penerapan solusi yang dirancang. Mitigasi non struktural
meliputi pengurangan kemungkinan atau konsekuensi resiko melalui modifikasi
proses-proses perilaku manusia atau alam, tanpa membutuhkan penggunaan struktur
yang dirancang (Kusumasari, 2014). Menurut BNPB (2012) Dalam upaya mengurangi
resiko bahaya yang muncul dari keterjadian meletusnya gunung api maka disusun
sebuah Strategi Mitigasi :
1. Pemantauan, aktivitas gunungapi dipantau selama 24 jam menggunakan alat
pencatat gempa (seismograf). Data harian hasil pemantauan dilaporkan ke
kantor Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di
Bandung dengan menggunakan radio komunikasi SSB. Petugas Pos
Pengamatan Gunungapi menyampaikan laporan bulanan ke pemda setempat.
2. Tanggap Darurat, tindakan yang dilakukan ketika terjadi peningkatan aktivitas
gunungapi antara lain mengevaluasi laporan dan data (PVMBG), membentuk
tim Tanggap Darurat, mengirimkan tim ke lokasi, dan melakukan pemeriksaan
secara terpadu.
3. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi menjelaskan jenis dan sifat bahaya
gunungapi, daerah rawan bencana, arah penyelamatan diri, lokasi
pengungsian, dan pos penanggulangan bencana.
4. Penyelidikan gunung api menggunakan metoda berbagai ilmu kebumian.
5. Sosialisasi kepada Pemerintah Daerah serta masyarakat, terutama yang tinggal
di sekitar gunungapi. Bentuk sosialisasi dapat berupa pengiriman informasi
kepada Pemda dan penyuluhan langsung kepada masyarakat.
Sebagai contoh Isnainiati dkk (2013), dalam penelitiannya menjelaskan bahwa BPBD
Sleman melakukan pembangunan rumah sesuai standar kawasan rawan bencana yang
bekerjasama dengan Tim REKOMPAK dibawah koordinasi Ditjen Cipta Karya
Kementerian Pekerjaan Umum. Dalam mitigasi ini masyarakat dilibatkan dengan
membagi masyarakat menjadi kelompok-kelompok pemukim. Dalam mitigasi ini
banyak pihak swasta/NGO yang membantu, seperti Kedaulatan Rakyat, Pikiran
Rakyat, ASB, SGM. Terdapat peranan komunitas setempat dan Tim REKOMPAK
untuk mensosialisasikan kegiatan mitigasi ini.

C. KESIAPSIAGAAN & KEWASPADAAN


Kesiapsiagaan adalah serangkaian yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya
guna. Kesiapsiagaan dapat dilakukan melalui kegiatan penyuluhan, pelatihan dan
pendidikan kepada masyarakat, petugas di lapangan maupun operator pemerintah,
disamping itu perlu dilatih keterampilan dan kemahiran serta kewaspadaan
masyarakat.
Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya
bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan
berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat
bencana mulai teridentifikasi akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain:
1. Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya.
2. Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap sektor Penanggulangan
bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum).
3. Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan
4. Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik.
5. Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna
mendukung tugas kebencanaan.
6. Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning)
7. Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan)
8. Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan)
Menurut BNPB (2017) Salah satu upaya mendasar untuk meningkatkan
kewaspadaan dan kesadaran menumbuhkan budaya siaga adalah melalui latihan
kesiapsiagaan. Jenis-jenis latihan kesiapsiagaan yang dapat dilakukan antara lain (i)
Aktivasi Sirine Peringatan Dini, (ii) Latihan Evakuasi Mandiri di Sekolah/Madrasah,
Rumah Sakit Siaga Bencana, gedung bertingkat, dan pemukiman. (iii) Uji Terap
Tempat Pengungsian Sementara/ Akhir se Indonesia. Latihan kesiapsiagaan yang
dilaksanakan secara khusus, juga melibatkan kelompok rentan, seperti anak-anak,
kaum lansia dan tuna-wisma (homeless), para penyandang disabilitas dan orang
berkebutuhan khusus
LIPI-UNESCO/ISDR (2006), menyatakan bahwa terdapat tiga stakeholder
utama yang berperan dalam kesiapsiagaan, yaitu :
a. Individu dan rumah tangga
Stakeholder individu dan rumah tangga dikatakan sebagai ujung tombak,
subjek dan objek dari kesiapsiagaan karena berpengaruh secara langsung
terhadap risiko bencana.
b. Pemerintah
Pemerintah memiliki peran yang tidak kalah penting terutama dalam kondisi
sosial ekonomi masyarakat, pendidikan masyarakat yang berkaitan dengan
bencana, penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana publik untuk keadaan
darurat.
c. Komunitas sekolah Komunitas sekolah memiliki potensi yang besar dalam
penyebarluasan pengetahuan tentang bencana, sumber pengetahuan dan
petunjuk praktis apa yang harus disiapkan sebelum terjadinya bencana dan apa
yang harus dilakukan saat serta setelah terjadinya bencana.
Citizen Corps (2016), menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi
kesiapsiagaan terhadap bencana, antara lain :
a. Eksternal motivasi meliputi kebijakan, pendidikan dan latihan, dana.
b. Pengetahuan
c. Sikap
d. Keahlian

II. SAAT BENCANA


A. PERINGATAN DINI
Peringatan dini, yaitu kegiatan yang memberikan tanda atau isyarat terjadinya
bencana pada kesempatan pertama dan paling awal. Peringatan dini ini diperlukan
bagi penduduk yang bertempat tinggal didaerah rawan bencana agar mereka
mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan diri. Peringatan dini dimaksudkan
untuk memberitahukan tingkat kegiatan hasil pengamatan secara kontinu di suatu
daerah rawan dengan tujuan agar persiapan secara dini dapat dilakukan guna
mengantisipasi jika sewaktu-- waktu terjadi bencana.
Peringatan dini tersebut disosialisasikan kepada masyarakat melalui
pemerintah daerah dengan tujuan memberikan kesadaran masyarakat dalam
menghindarkan diri dari bencana. Peringatan dini dan hasil pemantauan daerah rawan
bencana berupa saran teknis dapat berupa antara lain pengalihan jalur jalan
(sementara atau seterusnya), pengungsian dan atau relokasi, dan saran penanganan
lainnya.
Keberhasilan suatu sistem peringatan dini tergantung pada kemampuan moda
komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan informasi peringatan, sehingga
dapat sampai pada masyarakat sebelum terjadi ancaman bencana. Tujuan utama
sistem peringatan dini adalah menyelamatkan hidup orang banyak dan mengurangi
terjadinya korban jiwa maupun kerusakan. Jika serangkaian prosedur dilakukan
dengan benar, maka kerusakan akibat bencana dapat diminimalkan.
Sistem peringatan dini terpasang di area gunung api. Sistem peringatan dini ini
akan memberitahukan kepada masyarakat sekitar perihal kondisi dan status gunung
tersebut. Ada banyak peringatan yang bisa disampaikan, peta kawasan rawan bencana
juga termasuk bentuk sistem peringatan dini yang bersifat lunak. Peta ini memuat
zonasi level kerawanan sehingga masyarakat diingatkan akan bahaya dalam lingkup
ruang dan waktu yang dapat menimpa mereka di dalam kawasan Merapi. Sirine
merupakan salah satu moda komunikasi peringatan dini yang cukup efektif, karena
dapat diaktifkan dari jarak jauh, suaranya khas, jangkauan suara hingga sekitar 2 km
dari sumber suara, dan mampu bekerja tanpa listrik selama 30 menit. 4 tingkat
peringatan dini untuk mitigasi bencana letusan Merapi:
1. Aktif Normal
Kondisi ini menggambarkan aktivitas merapi yang tidak menunjukan adanya
gejala yang menuju pada letusan atau kondisi gunung sedang aman. Kondisi
ini diperoleh dari pengamatan instrumental dan juga visual.
2. Waspada
Kondisi ini menunjukkan bahwa ada peningkatan aktivitas gunung api dari
kondisi aktif normal. Pada kondisi ini, peningkatan aktivitas ini juga tidak
selalu mengarah pada letusan atau erupsi. Namun status waspada bisa kembali
ke status normal. Pada tingkat Waspada mulai dilakukan penyuluhan di
desa-desa yang berada di kawasan rawan bencana Merapi.
3. Siaga
Status ini menggambarkan peningkatan aktivitas merapi yang semakin jelas
dan mengalami peningkatan. Kondisi ini juga bisa disimpulkan bahwa
aktivitas bisa diikuti oleh letusan. Jika status sudah siaga, Warga yang berada
di sekitar akan mendapatkan penyuluhan yang intensif. masyarakat yang
tinggal di kawasan rawan bencana sudah siap jika diungsikan sewaktu-waktu.
4. Awas
Kondisi ini menggambarkan bahwa aktivitas merapi sedang memasuki fase
letusan utama, Pada kondisi Awas, masyarakat yang tinggal di kawasan rawan
bencana atau diperkirakan akan terkena awan panas yang akan terjadi sudah
diungsikan menjauh dari daerah ancaman bahaya primer awan panas.
B. PENYELAMATAN
Strategi khusus mewujudkan visi dan misi ketangguhan bangsa menghadapi bencana
salah satunya adalah Strategi menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa (save more
lives) dilakukan pada saat tanggap darurat dengan: (1) Meningkatkan kemampuan
masyarakat yang terlatih untuk melakukan penanganan secara mandiri; (2)
Memanfaatkan seluruh potensi lokal termasuk dunia usaha yang tersedia untuk
penanganan darurat; (3) Meningkatkan kecepatan tiba tim reaksi cepat untuk
melakukan kaji cepat di daerah bencana; (4) Kecepatan dalam menerbitkan
pernyataan status keadaan darurat dan pengorganisasian penanganan darurat; (5)
Upaya SAR dan dan penanganan kesehatan yang efektif; (6) Pemenuhan segera
kebutuhan dasar bagi pengungsi; (7) Memprioritaskan penanganan kelompok rentan;
(8) Segera memfungsikan (secara darurat) sarana prasarana vital yang rusak. (BNPB,
2014)

Masyarakat yang terkena bencana berhak mendapat pelayanan dan perlindungan


berdasarkan standar pelayanan minimum mulai dari pencarian, penyelamatan,
evakuasi, pertolongan darurat, pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana meliputi
pangan, sandang, air bersih dan sanitasi, pelayanan kesehatan, dan
penampungan/hunian sementara. Untuk itu perlu kegiatan pengkajian/penilaian cepat
terhadap korban meninggal dunia, luka-luka, pengungsi, kerusakan
perumahan/kantor/sarana ibadah/sarana pendidikan, sarana dan prasarana vital
lainnya. (BNPB, 2008)

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4


Tahun 2008, Tahap Tanggap Darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan
pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna menghindari
bertambahnya korban jiwa. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat
tanggap darurat meliputi:
1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan
sumber daya;
2. Penentuan status keadaan darurat bencana;
3. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
4. Pemenuhan kebutuhan dasar;
5. Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
6. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Menurut BNPB (2017) respon mandiri masyarakat saat evakuasi dari bencana alam
gunung meletus adalah sebagai berikut:
1. Lindungi diri dari abu letusan gunungapi, dan awan panas.
2. Persiapkan diri untuk bencana susulan.
3. Kenakan pakaian yang bisa melindungi tubuh seperti: baju lengan panjang, celana
panjang, topi dan lainnya.
4. Jangan memakai lensa kontak.
5. Gunakan kacamata pelindung.
6. Gunakan masker/kain untuk menutupi mulut dan hidung.
7. Jika awan panas turun, usahakan menutup wajah dengan kedua belah tangan
8. Tidak berada di lokasi yang direkomendasikan untuk dikosongkan.
9. Tidak berada di lembah atau daerah aliran sungai.
10. Hindari tempat terbuka.

Proses penyelamatan korban bencana juga diperlukan adanya kegiatan administrasi


salah satunya adalah BNP membentuk Tim Reaksi Cepat BNPB yang mempunyai
tugas pengkajian secara cepat dan tepat di lokasi bencana dalam waktu tertentu dalam
rangka mengidentifikasi cakupan lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan prasarana
dan sarana, gangguan terhadap fungsi pelayanan umum dan pemerintahan serta
kemampuan sumber daya alam maupun buatan serta saran yang tepat dalam upaya
penanganan bencana dengan tugas tambahan membantu SATKORLAK PB/BPBD
Provinsi/ SATLAK PB/BPBD Kabupaten/Kota untuk mengkoordinasikan sektor yang
terkait dalam penanganan darurat bencana. (BNPB, 2008)

Selain itu dijelaskan pula pada Rencana Nasional Penanggulangan Bencana


2015-2019 Pengelolaan dana. Dana penanggulangan bencana yang digunakan pada
saat tanggap darurat meliputi: (1) dana penanggulangan bencana yang telah
dialokasikan dalam APBN atau APBD untuk masing-masing instansi/lembaga terkait;
(2) dana siap pakai yang dialokasikan dalam anggaran BNPB; dan (3) dana siap pakai
yang telah dialokasikan pemerintah daerah dalam anggaran BPBD. (BNPB, 2014)

C. PENGUNGSIAN & PENCARIAN KORBAN


Menurut Peraturan Kepala BNPB Tentang Pengelolaan Bantuan Logistik pada
Status Keadaan Darurat Bencana Tahun 2012, Status Tanggap Darurat Bencana adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan
dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan
pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Perencanaan pengelolaan bantuan logistik dilaksanakan setelah dilakukan
pemetaan. Kegiatan perencanaan dilakukan melalui identifikasi dan analisis
kebutuhan serta pengerahan sumber daya. Identifikasi korban dan pengungsi
merupakan kegiatan awal yang harus dilaksanakan pada perencanaan dalam bidang
logistik.
1. Cakupan wilayah: jumlah desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi yang terkena
dampak bencana. Data ini untuk menentukan kebutuhan logistik di wilayah yang
terkena dampak bencana.
2. Jumlah korban:
a. Identifikasi korban meninggal, yakni melakukan pendataan terhadap jumlah
korban meninggal berdasarkan jenis kelamin dan usia;
b. Identifikasi korban hilang, yakni melakukan pendataan terhadap jumlah
korban hilang berdasarkan jenis kelamin dan usia;
c. Identifikasi korban luka berat berdasar jenis kelamin, usia dan jenis luka
berat;
d. Identifikasi korban luka ringan berdasarkan jenis kelamin, usia dan jenis luka
ringan.
3. Jumlah pengungsi.
Melakukan pendataan terhadap pengungsi berdasarkan jenis kelamin, usia, dan
kelompok rentan, yaitu balita, anak-anak (termasuk berkebutuhan khusus), ibu
hamil, lanjut usia, dan orang dengan kecacatan.
Pemenuhan kebutuhan lainnya untuk pengungsi yaitu berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan psikososial. Seperti fasilitas (ruangan) untuk memberikan pelayanan
konseling bagi korban atau pengungsi yang mengalami trauma. Selain itu, paket
peralatan terapi bermain bagi korban atau pengungsi anak-anak berupa alat-alat
permainan dan mainan anak-anak berdasarkan usia.

Berdasarkan Peraturan BNPB Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman


Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Halmahera Barat, Maluku Utara menyusun “Rencana Kontijensi
Ancaman Gunung Ibu di Maluku Utara” agar semua korban dapat segera tertolong
dan berbagai fasilitas infrastruktur dapat diperbaiki, sehingga nantinya semua aktifitas
masyarakat dapat berjalan normal kembali. Dalam rencana kontijensi ini dipaparkan
kebijakan dan strategi yang dilakukan saat bencana letusan gunung api terjadi salah
satunya keperluan pengungsian untuk korban.
1. Tiap sektor membentuk tim yang melakukan kaji dan cepat dan melaporkan
kepada koordinator sektor
2. Memerintahkan seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD)/instansi/lembaga/masyarakat untuk mengerahkan semua sumber daya
yang dimiliki untuk dapat dipergunakan dalam penanganan bencana berdasarkan
prosedur tetap yang telah dibuat sebelumnya
3. Memastikan semua korban dapat segera tertolong : bagi korban yang luka-luka
diberikan pengobatan cuma-Cuma dan korban kehilangan tempat tinggal
ditampung pada tempat-tempat pengungsian sedangkan yang meninggal dunia
segera dimakamkan
4. Memprioritaskan penanganan korban pada lanjut usia (lansia), anak-anak, ibu
hamil, penyandang cacat, pasien rumah sakit dan pasien traumatis.
5. Menginventarisasi semua kerugian/korban yang timbul
6. Menghimpun dan mendistribusikan bantuan secara merata dan tepat sasaran
7. Menyediakan mobilisasi pengungsi antara lain, ambulance, tenaga
medis/obat-obatan, tenda pengungsi/dapur umum, pangan, air berish, MCK dan
sanitasi.
8. Menempatkan dan menugaskan aparat keamanan untuk melindungi korban
bencana baik dalam distribusi maupun di pengungsian
9. Memberikan laporan pertanggung jawaban tugas yang diberikan
10. Mengevaluasi seluruh pelaksanaan kegiatan yang sudah dilaksanakan secara
tindak lanjut yang direncanakan.
Selain itu, untuk merespon situasi yang terjadi maka perlu persiapan berbagai macam
kebutuhan bagi korban erupsi Gunung Ibu, dengan sasaran seperti terpenuhinya
kebutuhan pangan untuk semua pengungsi, terpenuhinya kebutuhan non-pangan
(tenda pengungsi) untuk semua pengungsi, tersedianya dapur umum di semua lokasi
pengungsian dan tercukupinya bahan logistik untuk semua pengungsi
Pencarian korban akan dilakukan oleh sektor SAR karena akibat yang
ditimbulkan bencana erupsi memakan banyak korban yang segera perlu diberi
pertolongan serta evakuasi untuk pertolongan lanjutan di tenda tenda dan tempat
penampungan darurat. Untuk menekan jatuhnya korban lebih besar perlu segera
dilakukan suatu tindakan berupa persiapan personil dan peralatan serta pendukung
lainnya agar dapat dioptimalkan dalam penanganan bencana alam terutama di
Kawasan Gunung Ibu Kabupaten Halmahera Barat.
Operasi SAR dan Evakuasi yang merupakan aksi wajib dapat dilaksanakan
sehingga berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pada malam hari, situasi paska
erupsi kondisi wilayah akan sangat gelap ditambah dengan terputusnya jaringan listrik
/ PLN,maka akan sangat menyulitkan tim SAR dalam pencarian korban bencana
apabila tidak ada dukungan senter dan sarana lain sebagai penunjang dalam pencarian
korban. Pada siang hari situasi pasca erupsi kondisi abu masih sangatlah panas dan
berdebu maka penting sarana penunjang yang lain sebagai pendukung kerja tim SAR.
Sebagai pedoman dalam kegiatan Pencarian dan penyelamatan (SAR) dengan tujuan
untuk:
1. Meminimalisir jumlah korban jiwa
2. Penyelamatan tanggap darurat
3. Upaya pencarian korban jiwa yang hilang
4. Adanya pembagian area atau wilayah operasi dan penanggung jawab
5. Adanya struktur operasi SAR evakuasi yang terorganisir dan bersifat komando.
6. Adanya data jumlah korban yang jelas dan terdokumentasi
7. Adanya SDM yang terlatih
8. Adanya persepsi yang sama dan koordinasi yang solid antar instansi
Dengan sasaran memberikan pertolongan segera bagi yang masih hidup, mencegah
agar tidak berkembangnya jatuh korban, evakuasi mayat/korban menggunakan 25 truk
dan sepeda motor dan mendokumentasikan setiap temuan dari setiap operasi

III. PASCA BENCANA

A. Penyantunan dan pelayanan

Penyantunan dan pelayanan merupakan kegiatan memberi pertolongan kepada


para pengungsi korban gunung meletus seperti tempat tinggal sementara, makan,
pakaian dan kesehatan. Pemerintah dapat memberikan bantuan untuk pembiayaan
pascabencana kepada pemerintah daerah yang terkena bencana berupa dana bantuan
sosial berpola hibah. Untuk memperoleh bantuan, pemerintah daerah mengajukan
permohonan tertulis kepada Pemerintah melalui BNPB (BNPB,2014). Menurut
BNPB (2012), dalam pemenuhan kebutuhan dapat meliputi :

1) Sandang: menghitung kebutuhan sandang berdasarkan jumlah korban dan


pengungsi, ketersediaan stok. Bantuan sandang terdiri dari pakaian pribadi
berdasarkan karakteristik (jenis kelamin, usia, dll), kebersihan pribadi (sabun
mandi, sabun cuci, pasta gigi, sikat gigi, pampers, pembalut bagi anak gadis, dll).
Misalnya anak sekolah setidaknya memiliki 2 stel pakaian seragam sekolah dan
sepasang sepatu yang sesuai ukurannya, setiap orang memiliki pakaian untuk
ibadah, bayi memiliki selimut berukuran 100 x 70 cm;
2) Pangan diberikan dalam bentuk bahan makanan, atau makanan yang disediakan
oleh dapur umum, bantuan pangan 14 untuk kelompok rentan diberikan dalam
bentuk khusus. Misalnya Air minum diberikan sejumlah 2.5 liter per orang per
hari (disesuaikan dengan kebutuhan). Bahan makanan beras sebanyak 400 gram
per orang per hari, makanan siap saji diberikan dua kali sehari (dapur umum),
besarnya bantuan makanan tersebut setara dengan 2100 kilo kalori;
3) Pemenuhan kebutuhan lainnya, yaitu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
psikososial. Seperti fasilitas (ruangan) untuk memberikan pelayanan konseling
bagi korban atau pengungsi yang mengalami trauma. Selain itu, paket peralatan
terapi bermain bagi korban atau pengungsi anak-anak berupa alat-alat permainan
dan mainan anak-anak berdasarkan usia.

Saat meletusnya Gunung Sinabung, BNPB menyiapkan hunian sementara


dan sebagian mendapat bantuan sewa rumah dan lahan pertanian untuk pengungsi
(BNPB, 2018). Selain itu dalam penelitian Siregar (2016), anak-anak juga
membutuhkan trauma healing pasca meletusnya gunung Sinabung, kegiatan trauma
healing di pengungsian ini dilakukan oleh relawan Edu-F dan PMI yang diikuti oleh
60 orang anak-anak dari tiga lokasi (Desa Sigarang-garang, Sukanalu dan Kuta
Tengah) yang terkena erupsi gunung Sinabung, dengan cara membuat hiburan dan
permainan yang bersifat edukasi.

Hal ini juga terjadi pada saat erupsi Gunung Kelud, dimana Bupati Kediri
turun langsung untuk mengecek kondisi seluruh pengungsi dan tempat pengungsian
serta kelengkapan sarana dan prasarana baik makanan, minuman, pakaian dan
kesehatan pengungsi, selain itu hal yang dilakukan ialah pembenahan rumah
pengungsi agar siap huni (Pemkab Kediri, 2014).

B. Konsolidasi

Konsolidasi merupakan kegiatan untuk mengevaluasi apa yang dilaksanakan


oleh petugas dan masyarakat dalam tanggap darurat, antara lain dengan melakukan
pencarian dan penyelamatan ulang, penghitungan ulang korban yang meninggal,
hilang, luka berat, luka ringan dan yang mengungsi. Dalam kondisi ini, masyarakat
aktif membantu pencarian korban; membawa korban luka ke tempat pelayanan;
melakukan pendataan korban dan memberikan informasi tentang wilayah yang
memerlukan penanganan kesehatan di wilayah terdampak (Widayatun et al, 2013).
Menurut Khoisin (2016), tindakan pasca bencana ini dapat dilakukan dengan
menghitung anggota keluarga dan melaporkan kepada petugas/relawan jika ada
anggota keluarga belum lengkap dan terluka. Pencarian korban ulang dengan dibantu
masyarakat ini contohnya terjadi saat meletusnya Gunung Sinabung, menurut laporan
BPBD (2016), Tim SAR gabungan dari TNI, Polri, Basarnas, BPBD, PMI, relawan
dan masyarakat terus melakukan pencarian korban dengan menyisir rumah dan kebun
masyarakat. Tidak diketahui secara pasti berapa banyak masyarakat yang berada di
Desa Gamber saat kejadian luncuran awan panas. Harusnya tidak ada aktivitas
masyarakat. Namun sebagian masyarakat tetap nekat berkebun dan tinggal sementara
waktu sambil mengolah kebun dan ladangnya. Alasan ekonomi adalah faktor utama
yang menyebabkan masyarakat Desa Gamber tetap nekat melanggar larangan masuk
ke desanya. Pencarian dilakukan dengan tetap memperhatikan ancaman dari erupsi
Gunung Sinabung

Penghitungan ulang ini juga akan mempengaruhi analisis kebutuhan bantuan


yang akan diberikan. Identifikasi perhitungan ini menurut BNPB (2012) , dapat
dikelompokkan menjadi :

1) Cakupan wilayah: jumlah desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi yang terkena


dampak bencana. Data ini untuk menentukan kebutuhan logistik di wilayah yang
terkena dampak bencana.
2) Jumlah korban:
a) Identifikasi korban meninggal, yakni melakukan pendataan terhadap jumlah
korban meninggal berdasarkan jenis kelamin dan usia;
b) Identifikasi korban hilang, yakni melakukan pendataan terhadap jumlah
korban hilang berdasarkan jenis kelamin dan usia;
c) Identifikasi korban luka berat berdasar jenis kelamin, usia dan jenis luka berat
d) Identifikasi korban luka ringan berdasarkan jenis kelamin, usia dan jenis luka
ringan.
3) Jumlah pengungsi. Melakukan pendataan terhadap pengungsi berdasarkan jenis
kelamin, usia, dan kelompok rentan, yaitu balita, anak-anak 13 (termasuk
berkebutuhan khusus), ibu hamil, lanjut usia, dan orang dengan kecacatan.

C. Rekonstruksi

Rekonstruksi merupakan pembangunan kembali prasarana dan sarana, kelembagaan


pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan
sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial, budaya, tegaknya
hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pasca bencana (Alam et al, 2013). Dalam penelitian Alam et al
(2013) pada rekonstruksi wilayah pasca bencana Gunung Merapi di Kecamatan Kemalang,
ruang lingkup pelaksanaan kegiatan pemulihan awal meliputi:

1. Sektor perumahan, antara lain melalui:


a. Pembuatan panduan dan prinsip mekanisme subsidi rumah.
b. Fasilitasi pengorganisasian pembersihan rumah dan lingkungan berbasis masyarakat.
c. Fasilitasi pengelolaan hunian sementara.
2. Sektor infrastruktur, antara lain melalui:
a. Fasilitasi rembug desa untuk pembangunan kembali jalan dan jembatan desa.
b. Fasilitasi pengelolaan air bersih dan jamban.
3. Sektor sosial, antara lain melalui:
a. Penyediaan layanan trauma healing.
b. Penyediaan layanan kesehatan umum.
c. Penyediaan higiene kits.
d. Penyediaan makanan tambahan untuk balita.
e. Bantuan biaya dan peralatan sekolah untuk siswa SD, SMP dan SMA yang
terdampak.
f. Pemulihan kegiatan keagamaan dan revitalisasi organisasi keagamaan.
g. Revitalisasi sistem keamanan desa.
h. Revitalisasi seni budaya yang berguna untuk mendorong pemulihan.
4. Sektor ekonomi produktif, antara lain melalui:
a. Revitalisasi kelompok tani, kebun dan ternak.
b. Program diversifikasi/alternatif usaha pertanian.
c. Penyediaan bibit tanaman cepat panen.
d. Bantuan modal usaha untuk pedagang dan industri kecil menengah.
IV. UPAYA KESEHATAN
A. PROMOTIF DAN PREVENTIF
Di Indonesia paradigma penanggulangan bencana telah bergeser dari
paradigma penanggulangan bencana yang bersifat responsif (terpusat pada tanggap
darurat dan pemulihan) ke Preventif (pengurangan risiko dan kesiapsiagaan)
(Isnainiati dkk, 2013). Preventif dalam hal kesiapsiagaan yang dapat dilakukan
menurut Kemenkes RI (2016) :
1. Melakukan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana, bisa dengan
melakukan simulasi bencana dengan warga yang tinggal didaerah sekitar lereng
gunung api.
2. Melakukan organisasi, komunikasi, pemasangan dan menguji sistem peringatan dini
bencana.
3. Menyediakan dan menyiapkan segala pasokan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
4. Rutin melakukan penyuluhan dan pelatihan tentang mekanisme tanggap darurat
letusan gunung api (Promotif).
5. Menyiapkan jalur evakuasi bagi warga terdampak
6. penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan
prasarana dan sarana.
Berdasarkan penjelasan kesiapsiagaan yang diterbitkan oleh kemenkes RI,
disebutkan pada salah satu poinnya mengenai penyuluhan atau yang bersifat promotif.
Menurut penelitian Sugiharto dan Oktarina (2015), Instansi yang dapat memberikan
penyuluhan yaitu Dinas Kesehatan dan Puskesmas, PMI/BPBD, serta LSM. Topik
penyuluhan yang dapat disampaikan kepada masyarakat adalah tanda-tanda gejala
erupsi gunung berapi dan penyelamatan diri, kesehatan termasuk kesehatan
mental/jiwa pasca erupsi, Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) dan materi gabungan
(erupsi gunung berapi, cara penyelamatan diri dan PHBS).
Penyuluhan dapat membantu masyarakat mengenali/ mengidentifikasi sedini
mungkin bahaya erupsi dan sekaligus mempersiapkan diri untuk kesiapsiagaan saat
terjadi erupsi seperti melakukan latihan/simulasi ketika terjadi bencana, pembuatan
mapping peta rawan bencana untuk memudahkan jalur evakuasi.
Seperti pada penelitian Sugiharto dan Oktarina (2015), di masyarakat rawan
bencana di Gunung Bromo, materi penyuluhan lebih memperkuat pada pemahaman
tanda-tanda / gejala erupsi gunung berapi dan penyelamatan diri. Hal ini dirasakan
penting oleh pemerintah, karena posisi pemukiman penduduk yang tepat berada di
lereng Gunung Merapi dan tidak mempunyai filter (penghalang) larva berupa kaldera
(lautan pasir yang luas) seperti di Gunung Bromo. Akibatnya setiap erupsi, maka
aliran lava panas ataupun dingin bahkan angin panas akan mengarah langsung ke
pemukiman penduduk, sehingga dapat langsung merusak lingkungan pemukiman dan
mencelakakan makhluk hidup yang ada termasuk manusia. Pengetahuan
penyelamatan diri pada masyarakat rawan bencana seperti itu sesuai dengan
Permendagri No. 33/2006, penyuluhan yang fokus pada tata cara pengungsian dan
penyelamatan diri ketika terjadi bencana, seperti membuat alur informasi.
Kemudian Isi materi tentang bahaya debu gunung berapi bagi kesehatan tubuh
manusia, menjelaskan bahwa debu-debu gunung berapi berukuran sangat kecil
(kurang dari 10 mikron) dan mengandung mineral kuarsa, kristobalit atau tridimit
yang dapat menyebabkan silicosis yang dapat melumpuhkan dan berpotensi
menimbulkan akibat fatal terhadap paru-paru. Oleh karena itu penting sekali
memberikan pemahaman pengetahuan yang benar tentang penggunaan masker. Secara
prinsip penyuluhan dari PMI dan BPBD juga sama dengan yang dilakukan Dinas
Kesehatan tersebut yaitu terkait penggunaan masker dan pembagian masker serta
PHBS.
Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo
Nugroho dalam Sugiharto dan Oktarina (2015) , Gunung berapi bersifat slow in set
artinya tidak akan tiba-tiba meletus dan menurut Yayasan IDEP, 2007, ada empat
tahapan status gunung berapi yang harus dipahami masyarakat yaitu status normal
kemudian menjadi waspada, siaga, dan awas, agar masyarakat tepat dalam bertindak:
1. Status Normal artinya tidak ada gejala aktivitas tekanan magma dan level
aktivitas dasar;
2. Status waspada artinya ada aktivitas apapun bentuknya, terdapat kenaikan
aktivitas di atas level normal, peningkatan aktivitas seismik dan kejadian
vulkanis lainnya, sedikit perubahan aktivitas yang diakibatkan oleh aktivitas
magma, tektonik dan hidrotermal;
3. Status siaga artinya menandakan gunung berapi sedang bergerak ke arah
letusan atau menimbulkan bencana, terjadi peningkatan intensif kegiatan
seismik, jika aktivitas terus berlanjut selama 2 minggu dapat menimbulkan
bencana letusan dan
4. Status awas artinya menandakan gunung berapi yang segera atau sedang
meletus atau ada keadaan kritis yang menimbulkan bencana, letusan
pembukaan dimulai dengan abu dan asap, letusan berpeluang terjadi dalam
waktu 24 jam.
Berdasarkan dari hasil penelitiannya dampak penyuluhan yang diberikan yaitu
masyarakat memahami status gunung berapi, mau mengungsi dengan alasan untuk
keselamatan jiwa, lebih peduli dengan personal hygiene dan mengaplikasikan
langkah-langkah cuci tangan pakai sabun (CTPS).
Penelitian lain dari Winarni dkk tahun 2016, Berdasarkan pengetahuan
mengenai bahaya yang ditimbulkan letusan gunung api sebagai hasil dari sosialisasi
yang dilakukan dan pengalaman masyarakat menghadapi letusan gunung api, pada
tahun 2006 masyarakat di sekitar kaki Gunung Kelud Jawa Timur, telah mampu
mengenali bahaya dan melaksanakan aktivitas pemanfaatan lahan jauh dari kawasan
rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang sudah bekerja
atau beraktifitas di lahan yang berjarak lebih dari 10 km.
Sosialisasi kepada Pemerintah Daerah serta masyarakat, terutama yang tinggal
di sekitar gunung api. Bentuk sosialisasi dapat berupa pengiriman informasi kepada
Pemda dan penyuluhan langsung kepada masyarakat (BPBD,2012).
Menurut ESDM (Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral) Para ahli
vulkanologi dan kebencanaan telah mengklasifikasikan bahaya letusan gunung api
menjadi yang dapat muncul secara langsung saat letusan itu terjadi dan tidak
langsung. Pengetahuan mengenai kedua bahaya tersebut disosialisasikan baik secara
langsung kepada masyarakat melalui penyuluhan ataupun di ruang akademik melalui
institusi pendidikan, adapun bahaya oleh letusan gunung api yang muncul secara
langsung adalah:
a. Leleran Lava, yaitu cairan lava yang pekat dan panas berkisar antara 800 C
sampai 1200 C. Berdasarkan penelitian aliran lelehan lava yang dikorupsikan
gunung api di Indonesia memiliki kecepatan pergerakan yang relatif lambat
sehingga manusia dapat menghindarkan diri dari terjangannya.
b. Aliran Piroklastik (awan panas), Aliran piroklastik sangat dikontrol oleh
gravitasi dan cenderung mengalir melalui daerah rendah atau lembah.
Mobilitas tinggi aliran piroklastik dipengaruhi oleh pelepasan gas dari magma
atau lava atau dari udara yang dipanaskan pada saat mengalir. Kecepatan
aliran dapat mencapai 150 250 km/jam dan jangkauan aliran dapat mencapai
puluhan kilometer walaupun bergerak di atas air/laut.
c. Jatuhan Piroklastik, Jatuhan piroklastik terjadi dari letusan yang membentuk
tiang asap cukup tinggi, pada saat energinya habis, abu akan menyebar sesuai
arah angin kemudian jatuh lagi ke muka bumi. Hujan abu ini bukan
merupakan bahaya langsung bagi manusia, tetapi endapan abunya akan
merontokkan daun daun dan pepohonan kecil sehingga merusak agro dan pada
ketebalan tertentu dapat merobohkan atap rumah. Sebaran abu di udara dapat
menggelapkan bumi beberapa saat serta mengancam bahaya bagi jalur
penerbangan.
d. Lahar Letusan, Lahar letusan terjadi pada gunung api yang mempunyai danau
kawah. Apabila volume air alam kawah cukup besar akan menjadi ancaman
langsung saat terjadi letusan dengan menumpahkan lumpur panas.
e. Gas vulkanik beracun, Gas beracun umumnya muncul pada gunungapi aktif
berupa CO, CO2, HCN, H2S, SO2 dll, pada konsentrasi di atas ambang batas
dapat membunuh.
Jenis bahaya yang kedua dari letusan gunung api adalah bahaya sekunder atau yang
terjadi setelah letusan gunung api, bahaya yang dapat muncul antara lain:
a. Lahar Hujan, apabila endapan material lepas hasil erupsi gunung api yang
diendapkan pada puncak dan lereng, terangkut oleh hujan atau air
permukaan. Aliran lahar ini berupa aliran lumpur yang sangat pekat sehingga
dapat mengangkut material berbagai ukuran. Bongkahan batu besar
berdiameter lebih dari 5 m dapat mengapung pada aliran lumpur ini. Lahar
juga dapat merubah topografi sungai yang dilaluinya dan merusak
infrastruktur.
b. Banjir bandang, longsoran material vulkanik lama pada lereng gunungapi
karena jenuh air atau curah hujan cukup tinggi. Aliran Lumpur disini tidak
begitu pekat seperti lahar, tapi cukup membahayakan bagi penduduk yang
bekerja di sungai dengan tiba-tiba terjadi aliran lumpur.
c. Longsoran vulkanik, dapat terjadi akibat letusan gunungapi, eksplosi uap air,
alterasi batuan pada tubuh gunung api sehingga menjadi rapuh, atau terkena
gempa bumi berintensitas kuat. Longsoran vulkanik ini jarang terjadi di
gunung api secara umum sehingga dalam peta kawasan rawan bencana tidak
mencantumkan bahaya akibat Longsoran vulkanik.

B. KURATIF
Erupsi gunung api tidak hanya merusak bangunan dan mengakibatkan
jatuhnya korban jiwa, akan tetapi juga mencemari lingkungan berupa polusi udara,
pencemaran air dan tanaman pangan. Salah satu bentuk paparan yang paling
berbahaya adalah abu gunung api yang masuk melalui sistem pernapasan. Setelah
seseorang menghirup abu gunung api dalam jumlah yang signifikan maka dampak
yang akan timbul adalah reaksi akut maupun kronis. Dampak akut yaitu asma yang
dipicu oleh silika, terutama pada anak yang sebelumnya sudah memiliki riwayat
asma. Reaksi kronis timbul sebagai akibat paparan dalam jangka waktu yang lama
dan berisiko menimbulkan Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD) dan
kanker paru yang dikaitkan dengan kandungan kristal silika dalam abu (Forbes, 2008
dalam Imran, 2012).
Para penderita asma atau masalah paru-paru lainnya seperti bronkitis dan
emfisema, dan gangguan jantung parah adalah mereka yang paling berisiko. Iritasi
mata juga merupakan dampak kesehatan umum yang sering dijumpai pada kejadian
bencana gunung api. Meskipun jarang ditemukan, abu gunung api dapat menyebabkan
iritasi kulit untuk sebagian orang, terutama ketika abu gunung api tersebut bersifat
asam.
Permasalahan-permasalahan kesehatan akibat erupsi gunung api tersebut
diatas secara singkat dapat dibagi dalam dua kategori yaitu permasalahan kesehatan
individu dan permasalahan kesehatan masyarakat. Jumlah kasus yang tinggi seperti
ISPA dalam satu kelompok masyarakat yang terancam oleh bahaya gunung api dapat
menjadi suatu kejadian luar biasa bila tidak ditangani segera. Perlu dilakukan berbagai
upaya untuk menangani dan mencegah timbulnya permasalahan kesehatan yang
berpotensi menjadi masalah serius di tengah masyarakat yang terancam.
Pemenuhan pelayanan kesehatan pada saat tanggap darurat bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan. Untuk mencapai tujuan tersebut
pemberian pelayanan bagi korban mulai diberikan pada sebelum rumah sakit sampai
rumah sakit rujukan. Semakin cepat korban memperoleh pelayanan kesehatan
semakin besar kemungkinan akan selamat (Schultz, 1996 dalam Imran 2012).
Manajemen penanganan korban massal baik pra-rumah sakit maupun rumah
sakit mencakup operasi penyelamatan, pengerahan tim gawat darurat ke lokasi,
evakuasi korban, pengerahan staf medis di rumah sakit, pelayanan kegawatdaruratan,
prosedur pemeriksaan penunjang, rawat inap, rujukan sekunder serta rujukan antar
rumah sakit (Avitzour, 2004 dalam Imran 2012). Saat terjadi peristiwa yang
mengakibatkan jatuhnya korban dalam jumlah besar, beberapa ambulans yang berada
di suatu wilayah dapat dikerahkan ke lokasi dan diharapkan dapat mencapai tujuan
dalam waktu sesingkat mungkin.
Salah satu tindakan medis yang dilakukan pra-rumah sakit adalah triase yaitu
memilah dan memilih korban berdasarkan keparahan luka yang mengancam nyawa
dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi korban luka sebanyak
mungkin dalam waktu yang singkat. Korban dipilah berdasarkan tingkat keseriusan
luka dan masih memiliki kemungkinan hidup. Triase tidak hanya dilakukan di lokasi
kejadian, triase terus dilakukan secara berjenjang dari lokasi sampai ke ruang operasi.
Tanpa kegiatan triase di lokasi kejadian, setiap tingkat pelayanan kesehatan akan
gagal memberikan pelayanan yang optimal (Avitzour, 2004; Llewellyn, 1992 dalam
Imran 2012). Terlihat bahwa triase merupakan tindakan medis yang dilakukan baik
pra-rumah sakit maupun di rumah sakit. Tanpa adanya pemilahan dan seleksi korban
di lokasi kejadian, fasilitas kesehatan akan kebanjiran pasien yang tidak perlu
mendapat perawatan di rumah sakit. Selain itu, korban dengan kondisi luka yang
mengancam nyawa akan mendapat prioritas dan tindakan medis yang optimal. Pada
kejadian bencana, rumah sakit dihadapkan pada beban yang tidak ringan yaitu
memberikan pelayanan selama masa tanggap darurat bahkan hingga masa pemulihan.
C. REHABILITATIF
Pelayanan kesehatan ditujukan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak
bencana dalam rangka memulihkan kondisi kesehatan masyarakat melalui pemulihan
sistem pelayanan kesehatan masyarakat, membantu perawatan lanjut korban bencana
yang sakit dan mengalami luka, menyediakan obat-obatan, menyediakan peralatan
kesehatan, menyediakan tenaga medis dan paramedis dan memfungsikan kembali
sistem pelayanan kesehatan termasuk sistem rujukan.

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 11


Tahun 2008 tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana, berikut
adalah rehabilitasi yang dilakukan untuk memulihkan kondisi kesehatan masyarakat :
1. Pelayanan Kesehatan
Yang dimaksud dengan pemulihan pelayanan kesehatan adalah aktivitas
memulihkan kembali segala bentuk sistem pelayanan kesehatan sehingga minimal
tercapai kondisi dan fungsi seperti sebelum terjadi bencana meliputi: 1) SDM
Kesehatan; 2) sarana/prasarana kesehatan; 3) kepercayaan masyarakat. Setiap
kegiatan pemulihan pelayanan kesehatan harus dilakukan setelah dilakukan analisis
dampak bencana terhadap pelayanan kesehatan. Penyusunan rencana pemulihan
sistem pelayanan kesehatan dilakukan oleh BPBD dan atau BNPB dan dibantu oleh
lembaga/dinas/instansi yang relevan baik swasta maupun milik pemerintah.
Tabel Indikator Capaian Pelayanan Kesehatan
Komponen Indikator Capaian

SDM 1. Berfungsinya kembali instansi kesehatan pemerintah dalam hal


kesehatan ini dinas kesehatan setempat yang dilaksanakan oleh staf lokal
seperti saat sebelum bencana.
2. Berfungsinya kembali pelayanan kesehatan baik pemerintah
maupun swasta yang dilakukan oleh staf kesehatan lokal.
3. Penggantian tenaga medis meninggal dunia karena bencana
oleh staf setempat, baik lewat pengangkatan baru maupun
promosi atau mutasi di fasilitas kesehatan pemerintah maupun
swasta.

Sarana / 1. Pulihnya fungsi koordinatif yang dilakukan oleh dinas


prasarana kesehatan setempat yang melibatkan semua unsur kesehatan.
kesehatan 2. Tercapainya jumlah minimal alat pelayanan medis dan
obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan
di wilayah tersebut dan terjamin keberlanjutannya.
3. Terjaminnya keberlanjutan pelayanan kesehatan dengan adanya
kepastian pendanaan. 4. Membangun kembali RS, puskesmas,
dan sarana pelayanan kesehatan publik yang rusak atau hancur
di daerah bencana

Masyarakat 1. Terbentuknya kepercayaan masyarakat untuk kembali


menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan publik setempat.
2. Tertanganinya korban-korban bencana baik yang luka maupun
cacat hingga dapat melakukan aktivitas seperti sediakala.
3. Adanya pemulihan bagi korban-korban yang mengalami cacat
tubuh menetap sehingga tidak dapat melakukan aktivitasnya
seperti sedia kala.

2. Pemulihan Sosial Psikologis 1


Pemulihan sosial psikologis adalah pemberian bantuan oleh BPBD dan
lembaga/dinas/instansi terkait kepada masyarakat yang terkena dampak bencana
dengan cara kegiatan mengaktifkan elemen-elemen masyarakat agar dapat
berfungsi kembali secara normal. Kegiatan intervensi psikologis merupakan
pemberian pertolongan kepada masyarakat untuk meringankan beban psikologis
akibat bencana dan mencegah terjadinya dampak psikologis lebih lanjut yang
mengarah kepada gangguan mental.
Prosedur kegiatan pemulihan sosial psikologis dilakukan melalui konseling
individu maupun kelompok, kegiatan psikososial, pelatihan dan psikoedukasi
meliputi :
1) Bantuan konseling dan konsultasi keluarga : pemberian pertolongan kepada
individu atau keluarga untuk melepaskan ketegangan dan beban psikologis
secara terstruktur.
2) Pendampingan pemulihan trauma : pendampingan terstruktur dengan berbagai
metode terapi psikologis yang tepat kepada individu yang mengalami trauma
psikologis agar dapat berfungsi secara normal kembali.
3) Pelatihan pemulihan kondisi psikologis adalah pelatihan untuk pemuka
komunitas, relawan dan pihak-pihak yang ditokohkan/mampu dalam
masyarakat untuk memberikan dukungan psikologis kepada masyarakatnya.
4) Pemulihan sosial psikologis bertujuan agar masyarakat mampu melakukan
tugas sosial seperti sebelum terjadi bencana, serta tercegah dari mengalami
dampak psikologis lebih lanjut yang mengarah pada gangguan kesehatan
mental.
Tabel Indikator Capaian Pemulihan Sosial Psikologis
Indikator Fungsi Indikator Psikis Indikator Fisik

Dapat menjalankan Dapat menerima kejadian Terbebas dari


fungsinya dalam bencana gejala-gejala fisik yang
keluarga secara normal disebabkan oleh faktor
psikologis, seperti:
gangguan tidur, gangguan
lambung, dll

Dapat menjalankan Dapat mengelola emosi


fungsinya dalam dan luka psikologis
masyarakat seperti sebagai akibat bencana
semula

Dapat menjalankan Terbebas dari ketegangan


pekerjaan seperti dan kecemasan
sebelum terjadi bencana

Dapat mengelola beban


psikologis sehingga tidak
berlanjut kepada
gangguan kesehatan
mental

Pelayanan di bidang kesehatan saat bencana dapat dilihat dalam kasus meletusnya
Gunung Agung. Menjelang akhir bulan September 2017, PVMBG mendeteksi adanya
peningkatan aktivitas vulkanik dari kegempaan yang terus meningkat dari Gunung
Agung Kabupaten Karangasem Provinsi Bali dan Tanggal 27 November 2017, Bupati
Karangasem menetapkan status Tanggap Darurat Bencana selama 14 hari sampai
tanggal s.d. 10 Desember 2017 dan diperpanjang hingga 22 Desember 2017.
(Kemenkes, 2017)
1. Jumlah pengungsi yang meninggal selama fase kedaruratan sebanyak 71
orang,dengan rincian 69 orang pada masa siaga darurat dan 2 orang pada saat
tanggap darurat. Jumlah korban meninggal terbanyak yaitu di Klungkung dan
Karangasem. Bila dilihat usianya, paling banyak di atas usia 60
tahun.Sedangkan penyebab meninggalnya paling tinggi akibat
penyakit-penyakit kronis yaitu DM/Stroke/Jantung/Hipertensi.
2. Jumlah total pasien yang dilayani di Pos Kesehatan dan Rumah Sakit yaitu
sebanyak 56.892 orang. Sebanyak 98% di antaranya adalah rawat jalan
3. Penyakit terbanyak adalah ISPA yang jauh lebih tinggi dibandingkan penyakit
lainnya. Untuk trend penyakit ISPA, penyakit kulit dan common cold
semuanya menunjukkan trend yang sama yaitu semakin meningkat mulai dari
siaga darurat hingga tanggap darurat.
4. Untuk kasus penyakit jiwa, terdapat 126 kasus dan sebagian besar dirawat
inap. Sama seperti penyakit lainnya, kasus penyakit jiwa cenderung meningkat
pada masa tanggap darurat meskipun julah pengungsi menurun. Jelasnya dapat
dilihat pada tabel dan grafik berikut ini. Beberapa titik di grafik yang kosong
dikarenakan tidak ada data.
Berikut adalah upaya pemulihan sosial psikologis yang dilakukan oleh bidang kesehatan
dalam memberikan pelayanan terhadap korban bencana gunung meletus tersebut:
1. Sub Klaster Kesehatan Jiwa
a. Penemuan kasus ODGJ di pos-pos pengungsian kerjasama antara pemegang
program keswa di Dinkes Kabupaten/ Kota, Puskesmas, RSJ dan PMI.
b. Pemberian pelayanan kesehatan jiwa terutama untuk pemulihan psikologis
para pengungsi bekerjasama dengan RSJ Provinsi Bali dan Fakultas Psikologi
UNUD.
c. Pendampingan psikologis kepada pengungsi.
2. Kemenkes
a. Melakukan pelayanan kesehatan jiwa di pos pengungsian
b. Memberikan bantuan obat-obatan jiwa. kepada Kadinkes Kab. Karangasem
dengan total nilai bantuan sebesar Rp. 1.209.000.
c. Melakukan skrining gangguan jiwa d.Melakukan konseling, terapi suportif,
terapi rileksasi progresif dan psikoedukasi.
3. Melakukan pendampingan dan art therapy. Rumah Zakat , LPBI NU dan PMI :
a. Pendampingan psikososial untuk anak – anak
b. Melakukan kegiatan dukungan psikologi
Upaya yang dilakukan pasca tanggap darurat oleh bidang kesehatan adalah :
1. Hasil verifikasi klaim RS untuk pasien pengungsi tanggal 18 September – 10
Desember 2017 yaitu sebesar Rp 3,092,770,802,-
2. Pusat Krisis Kesehatan memfasilitasi koordinasi antara Dinkes Provinsi Bali dengan
BNPB untuk pencairan klaim RS menggunakan Dana Siap Pakai (DSP). Namun
hingga awal tahun 2018, klaim ini belum dapat dipenuhi
3. Pada Januari 2018, Pusat Krisis Kesehatan melakukan pertemuan koordinasi dengan
stakeholder terkait untuk membahas masalah klaim RS. Lintas program yang terlibat
yaitu Dit. Yankes Rujukan, Biro Keuangan, P2JK. Lintas sektor yang terlibat yaitu
BNBP, Bappenas. Hasil rapat menyepakati perlunya tindak lanjut untuk memperjelas
SOP pengajuan klaim dari sektor kesehatan untuk pengajuan DSP. Mengingat
penghitungan klaim untuk sektor kesehatan memiliki kekhususan dan tidak bisa
disamakan dengan sektor-sektor lainnya
Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:


1. Gunung meletus merupakan peristiwa yang terjadi akibat endapan magma didalam
perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Selain itu,
Indonesia terletak di atas pertemuan tiga lempeng bumi sehingga dapat menyebabkan
terjadinya aktivitas magma dalam bumi. Hal tersebut yang menyebabkan terdapat
banyak gunung berapi di Indonesia.
2. Manajemen bencana adalah tugas dan kewajiban bersama pemerintah dan masyarakat.
Manajemen bencana meliputi 3 tahap: sebelum bencana (pra-bencana), pada waktu
bencana, dan sesudah bencana (pasca-bencana).
3. Pada tahap sebelum bencana terjadi, meliputi langkah-langkah pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan dan kewaspadaan. Selain itu pada tahap ini dapat dilakukan juga upaya
kesehatan preventif dan promotif. Dimana dapat dilakukan penyuluhan langsung
kepada masyarakat tentang mekanisme tanggap darurat letusan gunung api, sehingga
dapat lebih meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan masyarakat sekitar.
4. Pada waktu bencana sedang atau masih terjadi, meliputi langkah-langkah peringatan
dini, penyelamatan, pengungsian dan pencarian korban. Pada tahap ini, upaya
kesehatan yang dapat dilakukan adalah kuratif. Dampak dari letusan gunung api
dalam kesehatan adalah masalah sistem pernafasan, seperti asma, kanker paru, dan
lainnya. Salah satu tindakan medis yang dilakukan pra-rumah sakit adalah triase yaitu
memilah dan memilih korban berdasarkan keparahan luka yang mengancam nyawa
dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi korban luka sebanyak
mungkin dalam waktu yang singkat.
5. Pada tahap sesudah terjadinya bencana, meliputi langkah penyantunan dan pelayanan,
konsolidasi, dan rekonstruksi. Pada tahap terakhir ini, upaya kesehatan yang dapat
dilakukan adalah rehabilitatif, salah satunya dengan adanya pemulihan sosial
psikologis yang dilakukan untuk meringankan beban psikologis akibat bencana dan
mencegah terjadinya dampak psikologis lebih lanjut yang mengarah kepada gangguan
mental. Kegiatan ini meliputi bantuan konseling dan konsultasi keluarga,
pendampingan pemulihan trauma, dan pelatihan pemulihan psikologis.
Referensi

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2017. Buku Pedoman Latihan Kesiapsiagaan


Bencana, Membangun Kesadaran, Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan dalam
menghadapi Bencana. Jakarta : Direktorat Kesiapsiagaan Deputi Bidang
Pencegahan dan Kesiapsiagaan RI.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2012. Buku Saku Tanggap Tangkas Tangguh
Menghadapi Bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2012. diakses 23 Maret
2020 melalui https://bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/478.pdf
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2017. Buku Saku Tanggap Tangkas Menghadapi
Bencana. Jakarta
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2014. Rencana Nasional Penanggulangan
Bencana 2015-2019.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Rencana Kontijensi Ancaman Gunung Ibu.
Halmahera Barat : Maluku Utara menyusun
Energi dan Sumber Daya Mineral. Pengenalan Gunung Api. Volcanological Survey of
Indonesia, Departemen ESDM. diakses 28 Maret 2020 melalui
https://www.esdm.go.id/assets/media/content/Pengenalan_Gunung_Api.pdf
Imran M. 2012. “Analisis Koordinasi Bidang Kesehatan Pada Penanganan Tanggap Darurat
Erupsi Gunung Merapi Tahun 2010 di Provinsi Daerah IStimewa Yogyakarta”.
Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Hukum dan Kebijakan Kesehatan
Masyarakat. Universitas Indonesia: Depok.
Isnainiati, N, dkk. 2013. Kajian Mitigasi Bencana Erupsi Gunung Merapi Di Kecamatan
Cangkringan Kabupaten Sleman. Jurnal. Semarang: Universitas Diponegoro.
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. diakses pada tanggal 28 Maret 2020 melalui
https://www.esdm.go.id/assets/media/content/Pengenalan_Gunung_Api.pdf.
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Kesiapsiagaan Terhadap Bencana Letusan Gunung Api.
diakses pada tanggal 28 Maret 2020 melalui
http://pusatkrisis.kemkes.go.id/kesiapsiagaan-terhadap-bencana-letusan-gunung-api.
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Buku Tinjauan Penanggulangan Krisis Kesehatan Tahun
2017. Pusat Krisis Kesehatan
Kusumasari. (2014). Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintah Lokal. Yogyakarta:
Gava Media
Nur Isnainiati, Muchammad Mustam, Ari Subowo. Kajian Mitigasi Bencana Erupsi Gunung
Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman. Universitas Diponegoro.
diakses 28 Maret melalui
https://media.neliti.com/media/publications/92706-ID-kajian-mitigasi-bencana-erups
i-gunung-me.pdf
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 9 Tahun 2008 tentang
Prosedur Tetap Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Bantuan Logistik pada Status Keadaan Darurat Bencana.
PERMENDAGRI No 33 Tahun 2006 Tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana
Sugiharto, M dan Oktarina. 2015. Evaluasi Pelaksanaan Pendidikan Kesiapsiagaan Pada
Masyarakat Rawan Bencana Gunung Bromo dan Gunung Merapi Tahun 2012.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 18 No. 3 Juli 2015: 301–310. Badan
Litbangkes Kemenkes RI. diakses 28 Maret 2020 melalui
https://media.neliti.com/media/publications/20956-ID-evaluation-of-the-implementa
tion-of-preparedness-education-at-mount-bromo-and-me.pdf.
Undang Undang RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Winarni, S dkk. 2016. Upaya Pengurangan Risiko Bencana (Mitigasi) Letusan Gunung
Kelud Oleh Masyarakat Di Wilayah Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Kabupaten
Blitar. Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 3 No 3.

Anda mungkin juga menyukai