Anda di halaman 1dari 10

STANDAR 9.

STANDAR MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR


UNTUK USAHA/KEGIATAN RISIKO MENENGAH
RENDAH

Fofo: Dody, BPSILHK Solo


99
STANDAR 9. STANDAR MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR UNTUK
USAHA/KEGIATAN RISIKO MENENGAH RENDAH

Pusat Standardisasi Instrumen Ketahanan


Bencana dan Perubahan Iklim (Pustandpi)
Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
TINGKAT INSTRUMEN: Standar [SBSI] NOMOR DOKUMEN:
SBSI.Pustandpi.2022-xx
KATEGORI INSTRUMEN:
Pengelolaan Ketahanan Bencana dan Perubahan
Iklim

KELAS RISIKO:
Menengah Rendah
REVISI: 0
KELAS PENGGUNA:
Usaha/Kegiatan Risiko Menengah Rendah
TANGGAL BERLAKU:
xx September 2022
KLUSTER KEGIATAN:
OPERASIONAL - TEKNIS JUMLAH HALAMAN: 8

NAMA: MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR

A. URAIAN KEGIATAN STANDARDISASI


Adapun tujuan dari penyusunan standar mitigasi bencana tanah longsor ini adalah
sebagai panduan untuk mengurangi risiko pada daerah rawan longsor. Kegiatan mitigasi
bencana tanah longsor ini dilakukan oleh Badan Otorita, akademisi, praktisi, pemerintah
daerah, dalam hal ini instansi terkait, serta masyarakat. Mitigasi bencana tanah longsor
dilakukan berdasarkan tingkat kerawanan longsor, melalui pengembangan sistem peringatan
dini longsor, dan penerapan prinsip konservasi tanah dan air dengan teknik soil
bioengineering. Adapun tahapan yang dilakukan dalam kegiatan meliputi: Pra Konstruksi,
Konstruksi dan Pasca Konstruksi.

B. URAIAN STANDAR
B.1. BESARAN DAMPAK
Sejumlah area memiliki tingkat kerawanan longsor menengah-rendah. Risiko kerusakan
lingkungan dan kerugian lain baik materiil dan immateriil maupun korban jiwa akan meningkat,
apabila mitigasi tanah longsor tidak diterapkan.

100
B.2. STANDAR PENGELOLAAN DAN PENGENDALIAN KETAHANAN BENCANA
DAN PERUBAHAN IKLIM
B.2.1. Bentuk Pengelolaan dan Pengendalian
Ruang lingkup bentuk pengelolaan dan pengendalian yang tercakup dalam standar inimeliputi:
▪ Identifikasi penyebab terjadinya bencana tanah longsor berdasarkan faktor mayor,
faktor minor dan faktor pemicu.
▪ Penggunaan sistem peringatan dini tanah longsor yang efektif, representatif, dan
aplikatif
▪ Penerapan aplikasi teknik soil bioengineering.

B.2.2. Lokasi
Areal yang memiliki kerawanan longsor dan pascalongsor di area IKN beserta daerah
penyangga.

B.2.3. Periode Pengelolaan


Selama operasional kegiatan dan/atau usaha

B.3. STANDAR PEMANTAUAN KETAHANAN BENCANA DAN PERUBAHAN IKLIM


B.3.1. Bentuk Pemantauan
Ruang lingkup bentuk pemantauan yang tercakup dalam standar ini meliputi:
▪ Pemantauan daerah rawan longsor
▪ Pemantauan curah hujan dan gerakan tanah secara periodik
▪ Pemantauan aplikasi teknik soil bioengineering
▪ Pemantauan lembaga penanggulangan bencana pada berbagai level pemerintahan.

B.3.2. Lokasi
Areal yang memiliki kerawanan longsor dan pascalongsor di sekitar area IKN

B.3.3. Periode Pemantauan


Dilakukan minimal 1 (satu) kali pada akhir musim kemarau/menjelang musim hujan dankemudian
minimal 1 (satu) kali setiap bulan selama musim hujan.

101
LAMPIRAN
STANDAR MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR

1. Dampak lingkungan yang dikelola


Bencana tanah longsor dikategorikan ke dalam bencana alam sebagaimana disebutkan
dalam Undang-Undang RI Nomor.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, di
mana bencana alam adalah bencana yang diakibatkanoleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Adapun istilah mitigasi adalah
serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan


Penanggulangan Bencana yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007, mengatur mengenai penanggulangan bencana (kesiapsiagaan, peringatan
dini, mitigasi), tanggap darurat (personil, logistik, pendanaan, penyelamatan, evakuasi,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan terhadap kelompok rentan), rehabilitasi dan
rekonstruksi, serta pemantauan dan evaluasi. PP Nomor 22 Tahun 2008 tentang
Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana fokus kepada sumber dana
penanggulangan bencana, penggunaan dana penanggulangan bencana, pengelolaan
bantuan bencana dan pengawasan serta laporan pertanggungjawaban.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan


Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor menyebutkan bahwa kawasan rawan bencana
longsor sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya yang meliputi zona-zona
berpotensi longsor. Sedangkan longsor didefinisikan proses perpindahan massa
tanah/batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa
yang mantap, karena pengaruh gravitasi, dengan jenis gerakan berbentuk rotasi dan
translasi. Selanjutnya, dalam pasal 3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor 13 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Bencana Akibat Daya Rusak Air,
disebutkan bahwa bencana akibat daya rusak air antara lain: banjir termasuk banjir
bandang; erosi dan sedimentasi; banjir lahar dingin; tanah longsor pada tebing sungai yang
berubah menjadi aliran debris; intrusi; dan/atau perembesan.

Secara geografis sebagian besar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berada
pada kawasan rawan bencana alam, dan salah satu bencana alam yang sering terjadi
adalah bencana longsor. Seiring dengan proses pembangunan berkelanjutan, khususnya
pembangunan IKN Nusantara maka perlu diupayakan pengaturan dan pengarahan
terhadap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dengan prioritas utama pada penciptaan
keseimbangan lingkungan. Salah satu upaya yang diambil adalah melalui pelaksanaan
penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana alam agar dapat ditingkatkan keselamatan
dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan masyarakat terutama di kawasan rawan
bencana longsor. Longsor terjadi karena proses alami dalam perubahan struktur muka
bumi, yakni adanya gangguan kestabilan pada tanah atau batuan penyusun lereng.
Gangguan kestabilan

102
lereng ini dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi terutama faktor kemiringan lereng, kondisi
batuan ataupun tanah penyusun lereng, dan kondisi hidrologi atau tata air pada lereng.
Meskipun longsor merupakan gejala fisik alami, namun beberapa hasil aktifitas manusia
yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam juga dapat menjadi faktor penyebab
ketidakstabilan lereng yang dapat mengakibatkan terjadinya longsor, yaitu ketika aktifitas
manusia ini beresonansi dengan kerentanan dari kondisialam yang telah disebutkan di
atas. Faktor-faktor aktifitas manusia ini antara lain pola tanam, pemotongan lereng,
pencetakan kolam, drainase, konstruksi bangunan, kepadatan penduduk dan usaha
mitigasi. Dengan demikian dalam upaya pembangunan berkelanjutan, khususnya
pembangunan IKN Nusantara melalui penciptaan keseimbangan lingkungan diperlukan
suatu panduan atau pedoman yangberupa standar mitigasi bencana tanah longsor

2. Sumber Dampak
Kawasan yang rentan terjadinya bencana tanah longsor pada umumnya menjadi pusat
kegiatan masyarakat, seperti pemukiman dan lahan budidaya sehingga mengancam
perikehidupan manusia. Bencana tanah longsor akan memunculkan dampak terhadap
sosial ekonomi dan mobilitas masyarakat, arus transportasi, kerusakan lingkungan dan
infrastruktur hingga timbul risiko kematian.

3. Indikator keberhasilan teknis


Adapun sebagai indikator keberhasilan teknis dengan penerapan standar mitigasi bencana
tanah longsor maka area kegiatan dan/atau usaha akan terhindar dariancaman bencana
tanah longsor.
.
4. Bentuk teknis pengelolaan
Adapun bentuk teknis pengelolaan meliputi 3 tahapan, yaitu :
a. Pra Konstruksi yang mencakup:
▪ penentuan lokasi (luas, deliniasi, letak geografis)
▪ identifikasi kondisi biofisik dan sosial ekonomi serta budaya masyarakatsetempat
untuk mengetahui potensi kerawanan
▪ sosialisasi kegiatan kepada masyarakat setempat.
b. Konstruksi yang mencakup:
▪ pembangunan atau pemasangan instalasi mitigasi longsor.
▪ pengamatan instalasi mitigasi longsor.
▪ pemeliharaan instalasi mitigasi longsor.
c. Pasca Konstruksi yang mencakup:
▪ monitoring, evaluasi dan pelaporan

Bentuk pengelolaan dan pengendalian guna melakukan mitigasi bencana tanah longsor
meliputi:
▪ Identifikasi penyebab terjadinya longsor ada 3 faktor, yaitu: (1) Faktor mayor(kemiringan
lereng, sesar, tekstur tanah, kedalaman regolith tanah, dan geologi),
(2) faktor minor (bentuk lereng, agregasi tanah, permeabilitas, drainase dan struktur
tanah) dan (3) faktor pemicu (alam berupa curah hujan, gempa bumi, dan vulkanik, dan
buatan berupa potong tebing tegak (PTT) untuk berbagai keperluan infrastruktur seperti
jalan, pemukiman dan sungai, dan beban lereng (empang, sawah, pohon)).

103
▪ Untuk mengetahui tingkat kerentanan atau kerawanan longsor suatu daerah dinilai
berdasarkan faktor mayor yang terdiri dari lereng (S), tekstur (T), sesar (F), regolith (R)
dan geologi (G), dengan formula sebagai berikut: :

Kerawanan Longsor = 0.415 S x 0.136 T x 0.172 F x 0.121 R x 0.157 G.

Parameter kerawanan tanah longsor ditampilkan dalam tabel berikut :


Tabel.1. Parameter Kerawanan Tanah Longsor
No Parameter Klasifikasi Kategori Skoring
1 Kelerengan 0-8% Datar 1
8-15% Landai 2
15-25% Agak Curam 3
25-45% Curam 4
>45% Sangat Curam 5
2 Tekstur Tanah Sangat halus (Sic, Sc, C) Rendah 1
Halus (Scl, Sicl, Cl) Agak Rendah 2
Sedang (Si) Sedang 3
Kasar (SL, L, SiL) Agak Tinggi 4
Sangat kasar (S, LS) Tinggi 5
3 Sesar Tidak Ada Sesar Rendah 1
Ada Sesar Tinggi 5
4 Regolith ˂1 Rendah 1
1–2 Agak Rendah 2
2–3 Sedang 3
4-5 Agak Tinggi 4
˃5 Tinggi 5
5 Geologi Dataran alluvial Rendah 1
Kapur Agak Rendah 2
Granit Sedang 3
Sedimen Agak Tinggi 4
Basal-Claysale Tinggi 5
(Sumber: Harjadi dkk, 2019)

Pembobotan dari klasifikasi bencana tanah longsor ditampilkan dalam tabelberikut :


Tabel.2. Pembobotan dari Klasifikasi Bencana Tanah Longsor
No. Total Skor Kategori
1. ˂2.46 Tidak rentan
2. 2.460 – 2.875 Sedikit rentan
3. 2.875 – 3.290 Menengah
4. 3.290 – 3.918 Rentan
5. > 3.918 Sangat rentan
(Sumber: P D Susanti et al, 2021)

▪ Formula di atas hanya untuk 4 tipe tanah longsor yaitu slide (blok), landslide (tanah),
creep (rayapan) dan slump (rotasi), adapun untuk 4 tipe tanah longsor lainnya {tipe
longsor flow (aliran masa cair), fall (jatuhan), topple (ambrukan bongkah), dan earthflow
(aliran material), serta likuifaksi seperti yang terjadi di Palu} belum ditemukan formula
untuk mengidentifikasi daerah yang berpotensi longsor.
▪ Penggunaan sistem peringatan dini tanah longsor yang efektif, representatif, dan
aplikatif sangat diperlukan. Kombinasi sistem peringatan dini tanah longsor berbasis
curah hujan dan gerakan tanah sangat disarankan. SiPendil (Sistem Peringatan Dini
Longsor) dapat digunakan sebagai informasi dan peringatan terhadap probabilitas
kejadian longsor yang dipicu oleh curah hujan di daerah pemasangannya (Tayani,
104
2020). SiPendil menggunakan pengaturan nilai ambang batas hujan melalui threshold
controller. Korelasi antara curah hujan dan kejadian longsor digunakan sebagai dasar
penentuan ambang batas kemampuan tanah untuk merespon curah hujan. Prinsip kerja
SiPendil terdiri dari pipa penampung air hujan dan box controller yang dihubungkan
dengan alarm. Indikator alarm menunjukkan empat tingkat status hujan yaitu Normal
(hijau), Siaga (kuning), Waspada (biru) dan Awas (merah). Frekuensi bunyi alarm akan
semakin cepat seiring dengan peningkatan status hujan. Penggunaan SiPendil
dilakukan dengan: 1) Pemasangan dan pengaturan unit luar ruang, 2) Pemasangan dan
pengaturan unit dalam ruang, 3) Pengoperasian unit dan pencatatan hasil.

Gambar. Alat Peringatan Dini Longsor (SiPendil)

▪ Pemantauan gerakan tanah menggunakan Bandul sederhana untuk pengamatan


gerakan tanah manual secara kontinyu. Bandul dipasang pada bagian atas pohon.
Apabila bandul bergerak turun, maka bagian atas yang mengalami pergerakan,
sedangkan apabila bandul naik maka pohon bagian bawah yang mengalami gerakan
tanah. Jarak antara pohon atas dan bawah adalah 25 m. Kalibrasi sementara pada
bandul dapat dilakukan setiap bulan dengan melakukan checking titik nol (awal),
sehingga dapat dipastikan pergerakan bandul hanya mengindikasikan gerakan tanah
saja.

Gambar. Pemantauan Gerakan Tanah Manual


(Sumber: Harjadi dkk, 2019)

105
▪ Peralatan lain yang dapat digunakan selain SiPendil dan Bandul untuk mitigasi bencana
tanah longsor adalah KUTARA. KUTARA (Kuat Tarik Akar) merupakan prototype alat
sederhana untuk mengetahui kuat tarik akar suatu jenis tanaman dalam meningkatkan
kuat geser tanah. Alat ini dapat digunakan secara insitu di lapangan, dengan cara yang
mudah dan perlengkapan yang sederhana seperti pada gambar berikut :

Gambar.1. Perlengkapan dan Cara Kerja KUTARA


(Sumber: Harjadi dkk, 2019)

▪ Catatan : untuk Bandul sudah diujicobakan di demplot rehabilitasi longsor di


Banjarnegara dengan tipe tanah inceptisol dengan tekstur sandy clay loam, sementara
untuk KUTARA sudah diujicobakan di beberapa jenis tanaman yang berada di demplot
tersebut. Sedangkan untuk SiPENDIL sudah dipergunakan oleh Unit Pelaksana Teknis
(UPT) BPDASRH lingkup Ditjen Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi
Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di beberapa lokasi.
▪ Penerapan aplikasi teknik soil bioengineering meliputi slope management, water
management, vegetation management, dan community management (P D Susanti et
al, 2021).

Bentuk pemantauan guna melakukan mitigasi bencana tanah longsor meliputi :


▪ Pemantauan daerah rawan longsor berdasarkan tingkat kerawanan longsor
▪ Pemantauan curah hujan dan gerakan tanah secara periodik. Pemantauan terhadap
curah hujan dapat dilakukan dengan pemasangan SiPendil pada daerah yang rawan
longsor, atau dengan pemasangan penakar air hujan. Pemasangan penakar air hujan
ini harus memperhatikan curah hujan kumulatif secara berurutan selama 2 hari. Apabila
melebihi 200 mm sedangkan hari ke-3 masih nampak terlihat akan terjadi hujan maka
masyarakat harus waspada (Paimin dkk, 2009). Sementara untuk pemantauan gerakan
tanah dengan menggunakan bandul yang relatif lebih murah dan mudah dalam
pemasangan serta pengamatan sehingga dapat diterima dan diadopsi oleh masyarakat
(Harjadi dkk, 2019).
▪ Pemantauan aplikasi teknik soil bioengineering dengan uraian sebagai berikut :
a. Slope management: menjaga kestabilan lereng melalui perlindungan lereng, dan
modifikasi lereng serta penutupan retakan tanah.
b. Water management: perbaikan sistem drainase baik drainase permukaan (water
way) maupun drainase bawah tanah melalui manual horizontal drainage
c. Vegetation management: pengaturan struktur dan komposisi vegetasi melalui
multistrata kanopi (penanaman tanaman bawah, jenis toleran dan intoleran) dan
pengaturan kerapatan berdasarkan tingkat kelerengan (kaki lereng paling
rapat/kerapatan standar, bagian yang tengah agak jarang/setengah standar, paling
atas jarang atau seperempat standar), dan pengamatan morfologi akar (tipe akar dan
kuat tarik akar);.
106
d. Community management: peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat
sebagai indikator Desa Tangguh Bencana berupa penyiapan legislasi, perencanaan
forum kelembagaan dan pendanaan untuk kesiapsiagaan dan tanggap bencana.
▪ Pemantauan lembaga penanggulangan bencana pada berbagai level pemerintahan,
termasuk di dalamnya pemantauan terhadap tanda atau papan informasi peringatan
kepada masyarakat sebagai salah satu upaya pengurangan risiko bencana .

5. Lokasi teknis
Kawasan rawan longsor dan pascalongsor di sekitar area IKN dan daerah penyangga.

6. Periode Pengelolaan
Selama operasional kegiatan dan/atau usaha

7. Institusi pengelolaan (pelaksana, pengawas, pelaporan)


▪ Pemerintah Pusat, dalam hal ini kementerian atau lembaga teknis terkait dengan
pembangunan IKN, yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PPN/BAPPENAS,
Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (LHK), dan Kementerian Agraria Tata Ruang (ATR)/Badan
Pertanahan Nasional (BPN).
▪ Badan Otorita IKN.
▪ Pemerintah Derah, yang mencakup pemerintah provinsi dan pemerintah
kota/kabupaten di mana IKN berada.
Perguruan Tinggi (akademisi) dan masyarakat dalam arti luas.

ISTILAH DAN DEFINISI

Bencana : peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis.
Mitigasi bencana : serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Longsor : pemindahan massa tanah secara tiba-tiba, dengan volume yang
sekaligus besar dan dapat terjadi karena beberapa hal,
diantaranya kondisi lereng yang cukup curam, adanya bidang
peluncur yang kedap air dibawah permukaan tanah, serta
terdapat cukup air dalam tanah di atas lapisan kedap yang
menyebabkan tanah menjadi jenuh air.
Skala peta : perbandingan jarak di peta dengan jarak sebenarnya yang
dinyatakan dengan angka atau garis atau gabungan keduanya.
Gerakan Tanah : pergerakan massa batuan, tanah, atau bahan rombakan
pembentuk lereng ke arah bawah lereng.
Soil bioengineering : pemanfaatan bahan yang berasal pemanfaatan bahan yang
berasal dari tanaman, baik hidup ataupun mati untuk mengatasi
berbagai masalah lingkungan seperti tanah longsor dan erosi.

107
Manual horizontal : pengatusan air atau pemotongan rembesan air pada lereng yang
drainage dilakukan secara horizontal
Threshold controller : Pengaturan nilai ambang batas hujan yang akan digunakan
sebagai klasifikasi tingkat status kewaspadaan

Daftar Pustaka

▪ Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana


▪ Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana
▪ Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan
Pengelolaan Bantuan Bencana
▪ Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22/PRT/M/2007 tentang PedomanPenataan
Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor.
▪ Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 13 Tahun 2015
tentang Penanggulangan Bencana Akibat Daya Rusak Air
▪ Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 1Tahun
2012 tentang Desa dan Kelurahan Tangguh Bencana
▪ Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangam Bencana (BNPB) Nomor 11 Tahun
2014 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
▪ SNI 8235 Tahun 2017 tentang Sistem Peringatan Dini Gerakan Tanah
▪ SNI 8291 Tahun 2016 tentang Penyusunan dan Penentuan Zona KerentananGerakan
Tanah
▪ SNI 9021 Tahun 2021 tentang Peralatan Peringatan Dini Gerakan Tanah
▪ SNI 031962 Tahun 1990 tentang Tata Cara Perencanaan Penangulangan Longsoran
▪ SNI 7645-1 Tahun 2014 tentang Klasifikasi Penutup Lahan-Bagian 1: Skala kecil dan
menengah
▪ Harjadi dkk, 2019, Sintesis Hasil Penelitian Teknik Mitigasi Bencana Tanah Longsor
Berbasis Model Konservasi Tanah dan Air. BPTPDAS. Badan Litbang dan Inovasi KLHK.
▪ Paimin dkk, 2009, Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor, Tropenbos International
Indonesia Programme
▪ P D Susanti, A Miardini , B Harjadi , 2021, Disaster mitigation on lands affected by
landslides in Banjarnegara Regency. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science
916 (2021) 012026
▪ Tayani. R. CV. 2020. Petunjuk Teknis Penggunaan Sipendil. CV Rigenmi Tayani.
Yogyakarta.

108

Anda mungkin juga menyukai