Anda di halaman 1dari 21

Pertanggungjawaban Pidana Tenaga Kesehatan Perawat yang

Melakukan Praktik Tanpa Ijin


Jusnizar Sinaga1, July Esther2
1,2
Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan, Indonesia.

ABSTRAK
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan, bahkan dalam pelayanan kesehatan tenaga
perawat merupakan tenaga yang terbesar yang dalam kesehariannya selalu berhubungan
langsung dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya. Pelayanan kesehatan dan keperawatan
yang dimaksud adalah bentuk implementasi praktik keperawatan yang ditunjukan kepada
pasien/klien baik kepada individu keluarga dan masyarakat. Melihat praktik kesehatan yang
sering dijumpai adalah malapraktik kedokteran dan kedokteran gigi. Namun dalam
perkembangannya telah terjadi tindak pidana di bidang kesehatan yang melibatkan petugas
kesehatan selain tenaga medis, yaitu yang dilakukan oleh perawat. Terjadi
kesalahan/kelalaian tindakan medis yang dilakukan oleh perawat terhadap pasiennya. Sebagai
contoh adalah kasus dalam Putusan Nomor 109/Pid.Sus/2019/PN.KBU, bahwa terdakwa
adalah perawat yang diberikan izin praktik untuk melakukan keperawatan sebagai perawat
berdasarkan Surat Izin Praktik Perawat. Perbuatan terdakwa adalah mengecek bisul yang
berada di telapak kaki bagian kanan bagian tubuh korban lalu terdakwa membuka lubang
yang telah dibeleknya agar lebih lebar. Akibat perbuatan terdakwa korban mengeluh
kesakitan pada bagian kakinya dan kondisinya menurun, kemudian beberapa hari kemudian
korban tidak sadarkan diri dan meninggal dunia. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti
berusaha untuk melihat bagaimanakah pertanggungjawaban pidana tenaga perawat yang
melakukan praktik tanpa izin dan apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pemidanaan terhadap tenaga perawat yang melakukan praktik tanpa izin dalam
Studi Putusan Nomor 109/Pid.Sus/2019/PN.KBU. Dimana amar putusan Hakim adalah
menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Tenaga Kesehatan Yang Menjalankan Praktik Tanpa Memiliki Izin Sebagaimana
Dimaksud Dalam Pasal 46 Ayat (1) UU RI Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan” sebagaimana dalam dakwaan Kedua Penuntut Umum; dan menjatuhkan pidana
kepada terdakwa oleh karena itu dengan denda sejumlah Rp 20.000.000,00 dengan ketentuan
apabila denda tidak dibayar maka harus diganti dengan kurungan selama 6 bulan.

Kata kunci : Pidana, Tenaga Kesehatan, Perawat, Praktik

1. PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus diwujudkan
oleh pemerintah sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Kesehatan merupakan hak asasi manusia, artinya setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses pelayanan kesehatan. Kualitas
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau juga merupakan hak seluruh
masyarakat Indonesia. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
rangka melakukan upaya kesehatan tersebut perlu didukung dengan sumberdaya kesehatan,
khususnya tenaga kesehatan yang memadai, baik dari segi kualitas, kuantitas maupun
penyebarannya.1
Untuk mewujudkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat maka dikeluarkan Undang-
Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, bahwa berdasarkan Pasal 1 butir 1
yang dimaksud dengan Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
Tindak pidana oleh tenaga kesehatan dapat terjadi apabila dalam praktik pelayanan
kesehatan setiap orang yang bukan tenaga kesehatan atau tenaga kesehatan itu sendiri
melakukan hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 83 sampai dengan Pasal 86
UndangUndang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan, bahkan dalam pelayanan kesehatan
tenaga perawat merupakan tenaga yang terbesar yang dalam kesehariannya selalu
berhubungan langsung dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya. Pelayanan kesehatan dan
keperawatan yang dimaksud adalah bentuk implementasi praktik keperawatan yang
ditunjukan kepada pasien/klien baik kepada individu keluarga dan masyarakat dengan tujuan
upaya peningkatan kesehatan dan kesejahteraan guna mempertahankan dan memelihara serta
menyembuhkan dari sakit, dengan kata lain upaya keperawatan tanpa promotif preventif,
kuratif dan rehabilitasi.
Melihat praktik kesehatan yang sering dijumpai adalah malpraktik kedokteran dan
kedokteran gigi, sedangkan untuk petugas kesehatan yang lain (perawat, bidan, petugas
kesehatan masyarakat, gizi dan apoteker) hampir tidak pernah dijumpai. Namun dalam
perkembangannya telah terjadi tindak pidana di bidang kesehatan yang melibatkan petugas
kesehatan selain tenaga medis, yaitu yang dilakukan oleh perawat. Terjadi
kesalahan/kelalaian tindakan medis yang dilakukan oleh perawat terhadap pasiennya.
Kelalaian adalah perilaku yang tidak sesuai dengan standar keperawatan. Kelalaian terjadi
ketika tindakan medis yang dilakukan perawat tidak sesuai dengan prakteknya pengobatan
yang aman. Sebagai contoh adalah kasus dalam Putusan Nomor 109/Pid.Sus/2019/PN.KBU,
bahwa terdakwa adalah perawat yang diberikan izin praktik untuk melakukan keperawatan
sebagai perawat berdasarkan Surat Izin Praktik (SIP) Perawat yang diterbitkan oleh Dinas
Kesehatan pada Pemerintah Kabupaten Lampung Utara pada tanggal 03 Oktober 2017.
Perbuatan terdakwa adalah mengecek bisul yang berada di telapak kaki bagian kanan
bagian tubuh korban lalu terdakwa membuka lubang yang telah dibeleknya agar lebih lebar,
selanjutnya bisul tersebut dipencet dan ditekan tekan hingga mengeluarkan banyak darah dan
nanah dari bisul yang ada pada telapak kaki kanan korban. Akibat perbuatan terdakwa
korban mengeluh kesakitan pada bagian kakinya dan kondisi nya menurun, muka pucat,
badannya panas menggigil, tidak mau makan lagi, kemudian beberapa hari kemudian korban
tidak sadarkan diri dan meninggal dunia.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melihat
bagaimanakah pertanggungjawaban pidana tenaga kesehatan yang melakukan praktik tanpa
izin dan apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pemidanaan
terhadap tenaga kesehatan yang melakukan praktik tanpa izin dalam Studi Putusan Nomor
109/Pid.Sus/2019/PN.KBU.

1
Farlen Kanter, (2016), Sanksi Bagi Tenaga Kesehatan Yang Melakukan Tindak Pidana
Dalam Praktik Pelayanan Kesehatan Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014, Jurnal Lex
Privatum, Vol. IV/No. 6.

13
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum Tentang Pertanggungjawaban Pidana
2.1.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah
melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam
perundang-undangan. Apabila dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang
(diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut
apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan
bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat
dipertanggungjawab-pidanakan.2
Dalam pertanggungjawaban pidana maka beban pertanggungjawaban dibebankan
kepada pelaku pelanggaran tindak pidana berkaitan dengan dasar untuk menjatuhkan sanksi
pidana. Seseorang akan memiliki sifat pertanggungjawaban pidana apabila suatu hal atau
perbuatan yang dilakukan olehnya bersifat melawan hukum, namun seseorang dapat hilang
sifat bertanggungjawabnya apabila didalam dirinya ditemukan suatu unsur yang
menyebabkan hilangnya kemampuan bertanggungjawab. Sehingga dari penjelasan tersebut
maka dapat dipahami bahwa pertanggungjawaban pidana merupakan identifikasi awal
terhadap perbuatan pidana atau dapat dikatakan ukuran atau patokan awal dalam hal melihat
suatu perbuatan pidana apakah perbuatan tersebut dapat dihukum atau tidak.
2.1.2 Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana
Untuk mengatakan bahwa seseorang memiliki aspek pertanggung jawaban pidana
maka dalam hal itu terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi yaitu:
a. Adanya suatu tindak pidana
Unsur perbuatan merupakan salah satu unsur yang pokok pertanggungjawaban pidana,
karena seseorang tidak dapat dipidana apabila tidak melakukan suatu perbuatan dimana
perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang hal itu
sesuai dengan asas legalitas yang kita anut3.
b. Kesalahan
Unsur kesalahan yang dalam bahasa asing disebut dengan schuld adalah keadaan
psikologi seseorang yang berhubungan dengan perbuatan yang ia lakukan yang sedemikian
rupa sehingga berdasarkan keadaan tersebut perbuatan tersebut pelaku dapat dicela atas
perbuatannya. Dalam KUHP pengertian kesalahan digunakan dalam arti sempit, yaitu dalam
arti kealpaan sebagaimana dapat dilihat dalam rumusan bahasa Belanda yang berada dalam
pasal 359 dan 3604.
Defenisi yang jelas diberikan oleh Remmelink sebagai pencelaan yang ditujukan oleh
masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu terhadap manusia
yang melakukan penyimpangan yang sebenarnya dapat dihindari. 5 Selain itu, istilah
kesalahan dapat digunakan dalam arti psikologi maupun dalam arti normatif. Dalam hukum
pidana di Indonesia sendiri yang digunakan adalah kesalahan dalam arti normatif. Kesalahan
normatif merupakan kesalahan yang dipandang dari sudut norma-norma hukum pidana, yaitu

2
E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Jakarta, Storia Grafika, 2012, Hal 249
3
Mahrus Ali dan Hanafi Amrani, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana,
Jakarta,Rajawali Pers, hlm-52
6 Ibid, hlm-114
5
Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka,
2016, hal 157

14
kesalahan kesengajaan dan kesalahan kealpaan. Dari suatu perbuatan yang telah terjadi maka
orang lain akan menilai menurut hukum yang berlaku apakah terhadap perbuatan tersebut
terdapat kesalahan baik disengaja maupun karena suatu kesalahan kealpaan.
c. Kemampuan Bertanggung jawab
Kemampuan bertanggungjawab merupakan hal tidak boleh dilupakan dalam hal
membahas tentang pertanggungjawaban pidana. Kemampuan bertanggungjawab akan melihat
apakah dia dapat baik dari segi kejiwaannya dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwanya dan
bukan kepada keadaan dan kemampuan berfikir seseorang.6
2.2. Tinjauan Umum Tentang Tenaga Kesehatan
2.2.1 Pengertian Tenaga Kesehatan
Merujuk pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan, “Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan”.7
2.2.2. Unsur –Unsur Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan memiliki unsur-unsur terdiri dari sebagai berikut:
a. Subjek dalam melakukan pekerjaan tersebut ialah manusia individu yang menjadi
subjek hukum yang sama sebagai tenaga kesehatan.
b. Objek pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan latar belakang dari tenaga
kesehatan tersebut yang mendukung pelayanan kesehatan. Pendidikan kualifikasi
tertentu yang merujuk kepada jenis pekerjaan yang ada dibidang Kesehatan.8
2.2.3. Aspek Hukum Tenaga Kesehatan
Di Indonesia, aspek hukum dalam bidang kesehatan telah diimplementasikan dengan
dikeluarkannya berbagai undang-undang yang bersifat sektoral.
a. Aspek Hukum Tata Negara
Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang
menyebutkan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan
dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Kemudian secara atribusi, ketentuan tersebut diatur
dalam bentuk undang-undang yang bersifat sektoral seperti Undang-Undang Nomor 36 tahun
2009 Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik,
Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Nomor 29
tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 Tentang
Kesehatan Jiwa, Undang-Undang Nomor 9 Tahun2014 Tentang Klinik, dan Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 2014 Tentang keperawatan.
b. Aspek Hukum Lingkungan
Aspek hukum lingkungan dalam pelayanan kesehatan, khususnya bagi
penyelenggaraan kesehatan di rumah sakit dapat dilihat dalam Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

6
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Op.Cit hal. 249-
250
7
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5eaa9a59e79a5/tenaga-medis-dan-
tenaga kesehatan-itu-berbeda/, diakses pada tanggal 24 Juni 2021, Pukul 16.35.
8
Budi Sampurno Dkk, Laporan Akhir Tim Penyusunan Kompendium Hukum Kesehatan,
Kementerian Hukum Dan Ham Republik Indonesia Tahun 2011

15
c. Aspek Hukum Administrasi
Aspek hukum administrasi terhadap pelayanan kesehatan terdapat dalam beberapa
undang-undang yang bersifat sektoral. Dalam Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Kemudian dalam pasal 34
ayat (2) undang-undang yang sama menyebutkan bahwa penyelenggara fasilitas pelayanan
kesehatan dilarang memperkerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan
izin melakukan pekerjaan profesi. Izin tersebut juga berlaku bagi pelayanan kesehatan
tradisional sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 ayat (1) Undang-Undang No.36 Tahun
2009.
Dalam Pasal 19 Undang-Undang No.38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
menyebutkan bahwa perawat yang menjalankan praktik keperawatan wajib memiliki izin.
Izin ini diberikan dalam bentuk surat izin praktik perawat (SIPP). Sanksi administratifnya
pun sama, tercantum dalam Pasal 58 Undang-Undang No.38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan yang berupa teguran lisan, peringatan tertulis, denda administratif dan/atau
pencabutan izin.
d. Aspek Hukum Perdata
Aspek hukum perdata dalam pelayanan kesehatan antara tenaga kesehatan dan pasien
dapat dilihat dalam suatu transaksi terapeutik yang dibuat oleh kedua belah pihak. Adapun
yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah transaksi (perjanjian) untuk menentukan
mencari terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter. Pada dasarnya hubungan dokter-
pasien dalam transaksi terapeutik itu bertumpu pada dua macam hak asasi, yaitu hak untuk
menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi.
Wanprestasi dalam pelayanan kesehatan baru terjadi bila telah terpenuhi unsur-unsur
berikut ini:
a) Hubungan antara dokter dengan pasien terjadi berdasarkan kontrak terapeutik
b) Dokter telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak patut yang menyalahi tujuan
kontrak terapeutik
c) Pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter yang bersangkutan.
e. Aspek Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut KUHP berlaku untuk
penduduk dan warga negara Indonesia dengan tiada kecualinya berdasarkan Pasal 7 Undang-
Undang No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. Asas-asas umum hukum pidana
yang terdapat dalam Pasal 1 sampai dengan pasal 9 KUHP. Profesi perawat yang merupakan
penduduk dan warganegara Republik Indonesia tidak luput dari ketentuan KUHP, apalagi
bila perawat tersebut merupakan bagian dari subsistem profesi pelayan kesehatan yang
merupakan salah satu subsistem dari masyarakat Indonesia sebagai supra sistemnya.
2.3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Tenaga Kesehatan
2.3.1. Pengertian Tindak Pidana Tenaga Kesehatan
Moeljatno mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang, oleh
suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 9 Tindak pidana tenaga kesehatan dapat
diartikan ialah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum tenaga kesehatan, undang-undang
kesehatan dimana larangan tersebut disertai ancaman sanksi atau hukuman berupa pidana
bagi tenaga kesehatan yang melanggarnya. Tindak pidana yang dimaksud disini ialah tindak

9
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana edisi revisi, Jakarta, Rineka Cipta, 2018, Hal. 59

16
pidana yang dilakukan dilapangan pelayanan atau praktik kesehatan dan oleh tenaga
kesehatan.
Tentunya dalam bidang kesehatan banyak jenis tindak pidana, dalam hal merujuk
kepada dakwaan kedua yang diberikan Penuntut Umum kepada Pelaku sebagaimana dalam
Pasal 86 ayat (1) UU RI Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, bahwa tindak
pidana yang dimaksud ialah perbuatan tenaga kesehatan yang menjalankan praktik tanpa
memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 Ayat (1) UU RI Nomor 36 Tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan, yang mana dalam pasal 46 ayat 1 tersebut mengatur tentang setiap
tenaga kesehatan yang melakukan praktik bidang kesehatan harus memiliki izin termasuk
dalam hal melakukan pembedahan.
2.3.2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Tenaga Kesehatan.
Pada hakikatnya unsur-unsur tindak pidana tenaga kesehatan sama dengan unsur tindak
pidana pada umumnya yang ada pada ilmu pengetahuan hukum pidana. Sehingga penulisan
ini terlebih dahulu menguraikan unsur-unsur tindak pidana pada umumnya yang dibagi
menjadi dua unsur yakni unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-
unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan
termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya10
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur objektif merupakan unsur-unsur yang
berhubungan dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan dari
si pelaku itu harus dilakukan11
Sebagaimana penjelasan diatas, maka unsur tindak pidana kesehatan sebagaimana
pasal yang digunakan dalam kasus yang diteliti di dalam penulisan ini ialah Pasal 86 ayat (1)
UU RI Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan:
“Tenaga Kesehatan Yang Menjalankan Praktik Tanpa Memiliki Izin Sebagaimana
Dimaksud Dalam Pasal 46 Ayat (1) UU RI Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan”
2.3.3. Sanksi Tindak Pidana Terhadap Tenaga Kesehatan
Sanksi memegang peranan penting dalam rangka penegakan hukum (law enforcement)
terhadap ditaatinya suatu peraturan perundang-undangan. Dalam ilmu hukum dikenal sanksi
perdata, pidana dan administrasi. Dibidang kesehatan sanksi pidana tidak terlepas dari Pasal
10 KUHPidana sebagai hukum pidana umum setiap tindakan termasuk pidana yang
dijatuhkan.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan tenaga kesehatan
diberikan sanksi pidana terhadap yang melakukan pelangggarannya dalam menjalan
profesinya sebagai tenaga kesehatan:
a. Pasal 83: Setiap orang yang bukan tenaga kesehatan melakukan praktik seolah-olah
sebagai tenaga kesehatan yang telah memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
64 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Pasal 84: (1)setiap
tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan penerima
pelayanan kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun; (2)jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian setiap tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun.
b. Pasal 85 ayat: (1) setiap tenaga kesehatan yang dengan sengaja menjalankan praktik
tanpa memiliki STR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan

10
P.A.F Lamintang, 2013 Op. Cit, Hal. 193
11
Ibid, Hal. 194

17
pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00. (2) setiap tenaga kesehatan warga
negara asing yang dengan sengaja memberikan pelayanan kesehatan tanpa memiliki
STR sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan
pidana denda Rp. 100.000.000,00.
c. Pasal 86 ayat: (1) setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00. (2) setiap tenaga kesehatan warga negara asing
yang dengan sengaja memberikan palayanan kesehatan tanpa memiliki SIP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp. 100.000.000,00.
Berdasarkan kutipan pasal tersebut maka sanksi pidana pada dasarnya sama sebagaimana
yang ada di dalam Pasal 10 KUHPidana. Selanjutnya apabila merujuk kepada pasal yang
didakwakan dalam kasus maka sanksi pidana terhadap tenaga kesehatan yakni didasarkan
pada Undang Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan terdiri dari pidana
penjara dan pidana denda sesuai dengan jenis tindak yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Pidana yang penjara berlaku 3 (tiga) tahun dan 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 100.000.000,0012
2.4 Tinjauan Umum Mengenai Dasar Pertimbangan Hakim
Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah terakhir
untuk mengambil keputusan,13 setelah musyawarah dan menemui pemahaman tentang pidana
yang akan dijatuhkan, maka dibuatkanlah pertimbangan sebagaimana hasil keputusan
musyawarah tersebut. Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan dan
mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak
yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi degan teliti, baik, dan
cermat.
Banyak aspek yang harus di pertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan, namun
dari segi teknis ada dua hal yang harus di perhatikan yaitu bagaimana hakim dengan rasionya
dan hati nuraninya mampu mengungkap fakta berdasarkan bukti-bukti yang di jatuhkan di
persidangan dan mencari, menemukan dan menerapkan suatu yang tepat sesuai dengan rasa
keadilan individu (pelaku), masyarakat (korban), dengan negara (Undang-Undang). 14
Pertimbangan hakim dapat di bagi menjadi 2 (dua) kategori yakni, pertimbangan yuridis dan
pertimbangan non-yuridis, penjelasan mengenai kategori dasar pertimbangan hakim tersebut
yaitu :
2.4.1 Bersifat Yuridis
Pertimbangan hakim yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang
berdasarkan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus di muat dalam
putusan. 15 Adapun pertimbangan hakim yang digolongkan sebagai pertimbangan yuridis
sebagaimana tersebut diatas, lebih jauh akan sebagai berikut:
a. Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
b. Keterangan Terdakwa

12
Ibid, hal. 135
13
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2016, hal 283.
14
Al Wisnubroto, Praktik Persidangan Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yokyakarta, 2014,
Hal.151
15
Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontenporer, Citra Aditya Bakti, Bandung,
Hal. 212

18
c. Keterangan Saksi
d. Barang-Barang Bukti
e. Pasal-Pasal Peraturan Hukum Pidana
2.4.2 Segi Non-Yuridis
Keadaan yang digolongkan sebagai pertimbangan yang bersifat nonyuridis adalah
latar belakang dilakukannya tindak pidana, akibat-akibat yang ditimbulkan, kondisi diri
terdakwa, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan keluarga terdakwa, serta faktor agama.16
Berikut ini keadaan tersebut akan diuraikan satu per satu :
a. Latar Belakang Terdakwa
b. Akibat Perbuatan Terdakwa
c. Kondisi Diri Terdakwa
d. Keadaan Sosial Ekonomi Terdakwa
e. Faktor Agama Terdakwa
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa dasar pertimbangan hakim adalah hal-
hal yang menjadi dasar atau bahan untuk dipertimbangkan hakim dalam memutus suatu
perkara tindak pidana, dasar pertimbangan hakim itu sendiri memiliki kedudukan yang
penting didalam suatu putusan di buat oleh hakim sebab semakin baik dan tepat
pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam sebuah putusan, maka akan mencerminkan
sejauh mana rasa keadilan yang ada di dalam diri hakim tersebut.
Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh
menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah, sehingga hakim memperoleh keyekinan bahwa suatu timdak pidana benar-benar terjadi
dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP).
Didalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa “keterangan seorang saksi
saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya” sedangkan dalam Pasal 185 ayat (3) dikatakan ketentuan tersebut
tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus
testis). Saksi korban juga berkualitas sebagi saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang
lain sebagaimana yang dimaksud didalam Pasal 185 ayat (3) KUHAP, maka hal itu cukup
untuk menuntut pelaku tindak pidana.

3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa
gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, dapat juga diadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian diadakan suatu
pemecahan atas permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan17.
Adapun batas-batas atau ruang lingkup penelitian untuk membatasi permasalahan dan
pembahasan agar tidak mengambang adalah mengenai pertanggungjawaban pidana tenaga
kesehatan yang melakukan praktek tanpa izin dan dasar pertimbangan hakim dalam Studi
Putusan Nomor 109/Pid.Sus/2019/PN.KBU.
3.2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan
studi kasus. Metode penelitian hukum normatif, yaitu metode penelitian hukum dengan

16
Ibid, Hal 216
17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta,1984, Hlm 42

19
melakukan analisis terhadap asas-asas hukum dengan mengacu pada norma-norma hukum
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai hubungan dengan
judul karya ilmiah ini melalui sistem penelitian kepustakaan.
3.3. Metode Pendekatan Masalah
Dalam melakukan penelitian ini dilaksanakan melalui metode pendekatan masalah
adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan perundang-undangan (Statute Aproach) dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut dengan isu hukum. 18 Selain
menjadikan bahan, pendekatan juga dilakukan terhadap Undang-undang
a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
c) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
d) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, dan
e) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan.
2. Pendekatan kasus (Case Aproach) merupakan pendekatan yang berdasarkan pada
alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya
atau penulis perlu melihat ratio decidendi suatu putusan. 19 Dalam penelitian ini
penulis mengambil satu putusan pengadilan yang menurut penulis menarik untuk
dilakukan analisis yakni Putusan Nomor 109/Pid.Sus/2019/PN.KBU.
3.4. Sumber Bahan Hukum
Jenis dan sumber bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sumber Bahan Primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
bersifat otoritas, diantaranya:
a) Putusan Nomor 109/Pid.Sus/2019/PN.KBU.
b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Undang-Undang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana
c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
d) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
e) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan.
f) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan.
g) Peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
2. Sumber Bahan Sekunder, merupakan semua publikasi tentang hukum meliputi buku-
buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum, 20 yaitu bahan-bahan
berupa buku-buku tentang korupsi, hukum pidana, internet serta tulisan lain yang
berkaitan dengan penelitian.
3.5. Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum dilakukan secara kualitatif dengan mengumpulkan data primer,
data sekunder, dan data tertier yang berkaitan dengan penelitian. Analisis bahan hukum
menggunakan metode deduktif dan induktif yang dilakukan secara sistematis, kualitatif,
komprehensif, dan lengkap, kemudian dilakukan bahasan dan analisis kesimpulan sebagai
jawaban atas pokok bahasan dalam penelitian ini.
18
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum ,Prenada media group, 2015 jakarta hal 135
19
Ibid, hal. 158
20
Ibid..hal 181

20
4. PEMBAHASAN
4.1. Pertanggungjawaban Pidana Tenaga Kesehatan yang Melakukan Praktik Tanpa
Izin Dalam Studi Putusan Nomor 109/Pid.Sus/2019/PN.KBU.
4.1.1 Identitas Pelaku
Pelaku adalah seorang tenaga kesehatan keperawatan berusia 34 tahun dan berjenis kelamin
Wanita dengan Pendidikan D3 Keperawatan dan berdomisili di Kabupaten Lampung Utara.
4.1.2 Kronologis Kasus
Perbuatan Terdakwa dijelaskan dalam kronologis sebagai berikut:
Bahwa terdakwa adalah perawat yang diberikan izin praktik untuk melakukan
keperawatan sebagai perawat lulusan politeknik kesehatan pada Rumah Sakit Daerah
Kecamatan Kotabumi Selatan, Kabupaten Lampung Utara, berdasarkan Surat Izin Praktik
(SIP) Perawat yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan pada Pemerintah Kabupaten Lampung
Utara;
Bahwa awalnya pada hari selasa tanggal 18 Desember 2018, sekira Pukul 17.00 Wib
korban datang menemui terdakwa dirumahnya untuk mengecek bisul yang berada ditelapak
kaki bagian kanannya, lalu sekira setengah jam kemudian korban pulang kerumah dan
berkata kepada saksi A “SAYA TIDAK JADI BEROBAT, SAYA TAKUT DIBELEK
BISUL SAYA SAMA BUK J”.
Kemudian pada hari rabu, tanggal 19 Desember 2018, sekira Pukul 12.00 Wib, korban
ijin pamit kepada saksi A untuk berobat ketempat terdakwa, namun saksi A menyuruhnya
untuk menunggu saksi B dulu, dan sekira Pukul 16.00 Wib saksi B pergi ke rumah terdakwa,
untuk mengecek apakah terdakwa sudah berada dirumah atau belum, dan pada saat itu saksi
B bertemu dengan terdakwa, lalu saksi B mengatakan kepada terdakwa bahwa korban mau
berobat, dan oleh terdakwa dijawab “bawa kesini saja” selanjutnya saksi B menyusul korban
dan membawanya ke rumah terdakwa dengan mengendarai sepeda motor.
Selanjutnya setelah saksi B dan korban sampai dirumah terdakwa, bisul yang terdapat
pada kaki korban langsung diperiksa oleh terdakwa, kemudian terdakwa masuk ke dalam,
lalu kurang lebih selama sepuluh menit terdakwa keluar dari rumah dan membawa satu 1
(Satu) Buah Baksom Warna Hijau yang berisi air Hangat dan 1 (Satu) Wadah Stenlis yang
alat –alat Seperti Gunting Kecil, Gunting besar dan Pisau Kecil, lalu terdakwa kembali lagi
ke dalam rumahnya dan keluar dengan membawa kain kasa, Botol Alkohol, suntik yang
masih dibungkus, sarung tangan, dan beberapa botol kecil yang berisi cairan untuk suntika,
kemudian terdakwa menyuntik kembali suntik yang didisi dengan cairan obat telapak kaki
kanan korban sebanyak satu kali, setelah itu terdakwa melakukan pembedahan dengan cara
dibelek menggunakan pisau stenlis kecil hingga korban menjerit kesakitan, kemudian
terdakwa menyutikkan kembali suntikan yang diisi cairan obat dari botol kecil ke telapak
kaki kanan korban, lalu dengan menggunakan gunting kecil terdakwa membuka lubang yang
telah dibeleknya agar lebih beras, selanjutnya bisul tersebut dipencet dan ditekan tekan
hingga mengeluarkan banyak darah dan nanah dari bisul yang ada pada telapak kaki kanan
korban, setelah itu terdakwa menyuruh saksi B untuk membersikan darah dan nanah yang
mengalir ditelapak kaki kanan korban A tersebut dengan menggunakan kain kasa yang diberi
air hangat dengan cara membasuh dan menyiramnya secara perlahan, kemudian terdakwa
menyuruh saksi B untuk membersikan kaki dan telapak kaki kanan korban tersebut dengan
menggunakan kain kasa dan alkohol, dan setelah dibersikan terdakwa menyuruh saksi B
untuk mengikat telapak kaki korban dengan menggunakan kain kasa , kemudian terdakwa
masuk kedalam rumahnya, dan sekira 10 menit terdakwa keluar dari rumah sembari
membawa botol alkohol warna putih, kain kasan dan 2 (dua) bungkus obat yang berisikan 4

21
macam obat yakni : 1 (satu) papan obat tablet bungkus warna merah merk NOVAGESIC 500
isi 10 Butir, 1 (satu) papan obat tablet bungkus warna Silver Merk MEFANEMIC ACID isi
10 Butir, 1 (satu) papan obat tablet bungkus warna Silver Merk ANTASIDA DOEN isi 10
Butir, 1 (satu) papan obat tablet bungkus warna Kuning Merk ALLERGEN isi 10 Butir,
kemudian terdakwa menjelaskan bahwa alkohol yang didalam botol putih digunakan untuk
membersikan luka dengan menggunakan kain kasa dan obat –obat yang diberikan terdakwa
tersebut dimakan 3 (tiga) kali sehari sesudah makan, kecuali promag, setelah itu korban
bertanya “ MBAK BERAPA BIAYANYA” dan dijawab “SERATUS SEPULUH” lalu
korban memberikan uang Rp 50.000 (Lima Puluh Ribu Rupiah) kepada terdakwa dan berkata
nanti sisanya saksi A yang nganter kesini, setelah itu korban bersama –sama dengan saksi B
pulang kerumah dan sesampainya dirumah, korban makan dan minum obat, lalu korban tidur
dan sekira pukul 22.00 Wib, korban terbangun dan mengeluh sakit kepala, badan panas dan
sakit pada bagian kakinya.
Bahwa pada hari kamis tanggal 20 Desember 2018 sekira Pukul 15.00 Wib korban
mengeluh kesakitan pada bagian kakinya dan kondisinya menurun, muka pucat, badannya
panas menggigil, tidak mau makan lagi, kemudian sekira pukul 23.00 Wib korban tidak
sadarkan diri. Bahwa pada hari jum’at tanggal 21 Desember 2018 sekira Pukul 11.00 Wib
korban tersadar dan minta diobatin, lalu saksi B dan ibu saksi B mendatangi Puskesmas dan
meminta bantuan perawat yang berada di Puskesmas untuk mengecek keadaan kakak saksi B
dirumah, sesampainya dirumah perawat yang saksi B ketahui bernama yaitu saksi C
bertanya “SIAPA YANG NGERAWAT INI” lalu saksi A menjawab bahwa yang merawat
adalah terdakwa J yang bekerja di RSU Kotabumi, kemudian perawat dari Puskesmas yaitu
saksi C tadi tidak mau memeriksa keadaan korban dengan alasan telah ditengani oleh
terdakwa, kemudian saksi B pergi kerumah terdakwa tetapi terdakwa belum pulang kerja di
RSU, selanjutnya sekira pukul 11.30 Wib saksi B membawa korban ke RSU Kotabumi sekira
Pukul 12.00 Wib tiba di RSU Kotabumi dan dilakukan penangan Medis dan sekira pukul
16.00 Wib korban meninggal dunia di RSU Kotabumi dan sekira pukul 17.00 Wib mayat
korban tiba dirumah, kemudian pada hari sabtu tanggal 22 Desember 2018 sekira pukul 11.00
Wib korban dikebumikan di TPU Bumi Agung.
4.1.3. Dakwaan
Perbuatan terdakwa didakwa dengan jenis dakwaan alternatif yakni:
Kesatu : Pasal 84 ayat (2) UU RI Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
Atau
Kedua : Pasal 86 ayat (1) UU RI Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan;
4.1.4. Tuntutan
Penuntut Umum memberikan tuntutan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak
pidana “Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan
Penerima Pelayanan Kesehatan meninggal dunia” melanggar pasal 84 ayat (2) UU RI
Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan (sebagaimana dalam dakwaan
pertama penuntut umum);
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun
dan 6 (enam) bulan. Dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan
pemerintah agar terdakwa tetap ditahan;
3. Menyatakan barang bukti yyy Dirampas untuk dimusnahkan, dan zzz Tetap terlampir
dalam berkas perkara.
4. Menetapkan supaya terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp 50.000,00.

22
Penasehat Hukumya yang pada pokoknya mohon kepada majelis hakim agar memutuskan
perkara ini dengan putusan sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum
melakukan tindak pidana kesehatan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum di dalam
surat dakwaan;
2. Menyatakan perbuatan terdakwa terbukti melakukan perawatan korban bukan
merupakan tindak pidana kesehatann melainkan perbuatan yang dilakukan terdakwa
adalah pelanggaran Administrasi;
3. Membebaskan terdakwa dari dakwaan primair dan dakwaan subsidair tersebut
(vrijpraak) sesuai dengan Pasal 191 Ayat (1) KUHAP atau setidaknya melepaskan
terdakwa dari semua tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvervolging) sesuai dengan
pasal 191 Ayat (2) KUHAP;
4. Mengembalikan kemampuan, nama baik, harkat dan martabat terdakwaan kedalam
kedudukan semula;
5. Membebankan biaya perkara kepada negara;
4.1.5 Dasar Pertimbangan Hakim
Pertimbangan Majelis Hakim yang diberikan dalam memutuskan hukuman tersebut
didasarkan pada dakwaan kedua Penuntut Umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 86 ayat
(1) UU RI Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Dakwaan tersebut disusun
secara alternatif, yang dalam hal ini dakwaan alternatif memberikan hakim kebebasan untuk
memilih untuk mempertimbangkan pasal berapa yang menjadi dasar pertimbangannya yang
nantinya juga menjadi dasar putusan Majelis Hakim terhadap Terdakwa.
Pertimbangan hakim tersebut pertama sekali mempertimbangkan tentang Terdakwa secara
pribadi yakni unsur setiap orang yang meliputi apakah terdakwa sudah memenuhi syarat
dewasa, yang tentunya berhubungan dengan kemampuan bertanggungjawab secara hukum
pidana. Pertimbangan hakim dalam putusan tersebut menyatakan bahwa unsur telah terbukti
berdasarkan keterangan saksi, terdakwa sendiri serta identitas terdakwa telah memenuhi
unsur setiap orang.
Selanjutnya pertimbangan hakim merujuk kepada unsur objektif yang mengarah
kepada pembuktian kesalahan terdakwa yang terdapat dalam unsur Pasal 86 ayat (1) UU RI
Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yakni Unsur Yang Menjalankan Praktik
Tanpa Memiliki Izin Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 46 Ayat (1). Dalam pertimbangan
tersebut Majelis Hakim menjelaskan tentang unsur ini haruslah dapat dibuktikan bahwa
Terdakwa memberikan pelayanan atau menjalankan praktik dengan menarik biaya jasa tanpa
memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 Ayat (1) UU RI Nomor 36 Tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan.
Pertimbangan hakim tersebut juga mempertimbangkan bahwa Setiap Tenaga
Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin. (2)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP. (3) SIP sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atas rekomendasi
pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/ kota tempat Tenaga Kesehatan menjalankan
praktiknya. Tentang izin tersebut juga diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17
Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat, yang
apabila dihubungkan dengan locus delicti, maka dimaksud izin praktik ialah Izin Praktik
Mandiri.
Semua unsur dan aturan yang telah diuraikan penjelasannya tersebut dipertimbangkan
kepada fakta hukum yang ada. Fakta hukum didalam pertimbangan tersebut dimana

23
perbuatan terdakwa dilakukan oleh Terdakwa pada hari Rabu tanggal 19 Desember 2018
sekira pukul 16.00 Wib, awalnya saksi B Bersama Kakak kandung saksi B yaitu korban
mendatangi rumah Terdakwa yang berada di Kab. Lampung Utara, karena ada bisul di kaki
korban.
Pada saat itu sebelum Terdakwa melakukan tindakan, Terdakwa terlebih dahulu
menyuntik sebanyak 2 (dua) kali yang pertama disuntik pada bagian telapak kaki korban, lalu
sekira 5 (lima) menit dikarenakan masih merasa sakit lalu Terdakwa menyuntikkan kembali
suntikkan pada bagian telapak kaki korban dan yang disuntikan itu adalah penghilang rasa
sakit. Pada saat itu Terdakwa membawa wadah steinless yang berisikan, Pinset, pisau kecil,
gunting sedang, kain kasa dan Terdakwa membawa 2 (dua) buah suntikan yang masih
tersegel dan juga 2 (dua) buah obat dalam wadah botol kecil yang berisikan cairan warna
putih dan juga 1 (satu) buah botol plastik alkohol, lalu Terdakwa masuk kembali ke dalam
rumah dan keluar kembali dengan membawa air panas dalam wadah baskom dan saksi B
disuruh Terdakwa untuk membersihkan atau menyiram air di tempat bisul tersebut. Korban
pada saat diobati oleh Terdakwa dengan cara dibelek dengan menggunakan pisau dan gunting
lalu dibersihkan dengan alkohol dan kain kasa, kemudian korban diberikan obat 1 (satu) botol
alkohol dalam wadah botol plastik warna putih yang berisikan alkohol kurang lebih setengah
botol, kain kasa warna putih, 1 (satu) papan obat tablet bungkus warna merah merk
Novagesic 500, 1 (satu) papan obat tablet bungkus warna Silver merk Mefanemic Acid; 1
(satu) papan obat tablet bungkus warna Silver merk Antasida Doen, 1 (satu) papan obat tablet
bungkus warna kuning merk Allergen.
Pada saat itu kondisi fisik korban sehat, tidak demam, hanya bengkak membiru pada
bisulnya dan berjalan pincang akibat bisul pada telapak kakinya. Ketika selesai mengobati
kaki korban, Terdakwa meminta uang Rp110.000,00 (seratus sepuluh ribu) untuk biaya
pengobatan, namun saksi B berikan Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) dan sisanya akan
saksi B berikan nanti kepada Terdakwa. Sebagaimana keterangan saksi B dan saksi A sejak
tahun 2014 Terdakwa membuka praktik di rumahnya dan setiap orang yang hendak berobat
pasti selalu dilayani. Berdasarkan keterangan saksi A terakhir kali saksi A berobat dengan
Terdakwa pada bulan Oktober 2018, saat itu saksi A sakit kepala dan batuk –batuk dan diberi
obat 3 (tiga) macam oleh Terdakwa dan saksi A dimintai uang Rp60.000 (enam puluh ribu
rupiah) untuk biaya perobatan;
Selanjutnya sebagaimana keterangan Terdakwa, saksi JBP S.Kep, Ns BS (Alm), saksi
JT, S.KM., M.Kes (Alm), Ahli IWM, S.Kp.,M. Kes, Ahli SA, S.Kp., M.Kep dan Ahli Dr. T,
S.Kp, Ns., MH.Kes dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan Jo.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan
Praktik Perawat (saat ini telah diperbaharui dengan Permenkes 26 tahun 2019 tentang
Peraturan Pelaksanaan UU 38 tahun 2018 tentang Keperawatan), pada pokoknya
menerangkan Terdakwa memiliki izin praktik di RSUD, tetapi tidak memiliki izin praktik
mandiri di tempat lain. Sehingga tidak diperkenankan secara hukum untuk melayani pasien
dengan membuka praktik dan menarik biaya jasa di rumah terdakwa sendiri.
Menurut Majelis Hakim berdasarkan Permenkes Nomor 48 tahun 2018 tentang
Pelayanan Kegawatdaruratan Pasal 1 yaitu Gawat Darurat adalah keadaan klinis yang
membutuhkan tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan,
selanjutnya pada Pasal 3 Ayat (1) Jo. Pasal 35 UU RI Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan dihubungkan dengan kondisi korban ketika datang kepada Terdakwa tidaklah
masuk dalam kategori darurat. Dari uraian pertimbangan terhadap unsur tersebut diatas yang
mana Majelis Hakim menghubungkan dengan fakta hukum yang terungkap maka telah secara

24
nyata Terdakwa sebagai tenaga kesehatan yang telah memiliki Surat Tanda Register Perawat
Nomor 100152217-1389402 tanggal 27 Agustus 2017, menjalankan praktik di rumah
terdakwa yang berada di Kab. Lampung Utara, dengan meminta biaya jasa pengobatan
kepada para pasien, khususnya kepada korban dan saksi B, tanpa memiliki izin sebagaimana
dimaksud dalam pasal 46 ayat (1) UU RI Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan;
Berdasarkan semua pertimbangan tersebut Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur
sebagaimana dimaksud diatas telah terbukti kebenarannya menurut hukum. Dengan
dipenuhinya unsur tersebut sehingga Majelis Hakim menyatakan bahwa Pasal 86 ayat (1) UU
RI Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan telah terpenuhi, maka Terdakwa
haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Kedua.
Selanjutnya, Majelis Hakim juga mempertimbangkan Pledoi yang telah dibacakan
Penasihat Hukum dipersidangan yang pada pokoknya menyatakan:
1. Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum
melakukan tindak pidana kesehatan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum di dalam
surat dakwaan;
2. Menyatakan perbuatan terdakwa terbukti melakukan perawatan korban bukan
merupakan tindak pidana kesehatann melainkan perbuatan yang dilakukan terdakwa
adalah pelanggaran Administrasi;
3. Membebaskan terdakwa dari dakwaan primair dan dakwaan subsidair tersebut
(vrijpraak) sesuai dengan Pasal 191 Ayat (1) KUHAP atau setidaknya melepaskan
terdakwa dari semua tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvervolging) sesuai dengan
pasal 191 Ayat (2) KUHAP;
4. Mengembalikan kemampuan, nama baik, harkat dan martabat terdakwaan kedalam
kedudukan semula;
5. Membebankan biaya perkara kepada negara;
Selanjutnya terdakwa juga memberikan pembelaan secara lisan yang pada pokoknya
memohon majelis hakim untuk membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan Penuntut
Umum, majelis tidak sependapat akan hal tersebut karena pada kenyataannya telah dapat
dibuktikan dalam pertimbangan hukum di atas perbuatan Terdakwa telah memenuhi seluruh
unsur pasal yang didakwakan Penuntut Umum yaitu Pasal 86 ayat (1) UU RI Nomor 36
Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Terhadap pembelaan tersebut Majelis Hakim hanya
mendasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan unsur sebagaimana disebut diatas untuk
menolak pembelaan Penasihat Hukum maupun terdakwa tersebut. Selanjutnya hakim juga
mempertimbangkan tentang asalan meringankan dan memberatkan terdakwa, serta
menyatakan tidak ada alasan pembenar terdakwa dalam melakukan perbuatan tersebut.
4.1.6. Amar Putusan
1. Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “Tenaga Kesehatan Yang Menjalankan Praktik Tanpa Memiliki Izin
Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 46 Ayat (1) UU RI Nomor 36 Tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan” sebagaimana dalam dakwaan Kedua Penuntut Umum:
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan denda sejumlah Rp
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar
maka harus diganti dengan kurungan selama 6 (enam) bulan;
3. Menetapkan barang bukti berupa yyy dimusnahkan dan zzz tetap terlampir dalam
berkas perkara;
4. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp
50.000,00 (lima puluh ribu);

25
4.1.7. Analisis Kasus
a. Analisis Dakwaan
Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang
dimuat dalam surat itu, hakim akan memeriksa perkara itu. pemeriksaan didasarkan kepada
surat dakwaan dan menurut Nederburg, pemeriksaan didasarkan tidak batal jika batas-batas
dilampaui, namun putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak
dalam batas itu. Rumusan Pasal 143 (2) KUHAP menentukan syarat surat dakwaan itu
sebagai berikut:
“surat dakwaan” yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka.
b. Uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan”
Oleh karena itu, dalam penyidikan dan penuntutan harus cermat dan teliti baik
penyidik dan penuntut umum terutama, karena penuntut umumlah yang nantinya
mempertahankan isi dari dakwaannya tersebut di dalam proses persidangan di pengadilan.
Mengenai isi surat dakwaan tentunya KUHAP tidak menyebutkan pedoman yang dipakai
penuntut umum bagaimana dan keterangan lebih jelas mengenai isi yang harus di muat dalam
surat dakwaan tersebut namun menurut Jonkers, yang harus dimuat ialah selain dari
perbuatan yang sungguh-sungguh dilakukan yang bertentangan dengan hukum pidana juga
harus memuat unsure-unsur yuridis kejahatan yang bersangkutan.
Ini berarti harus dibuat sedemikian rupa, sehingga perbuatan yang sungguh-sungguh
dilakukan dan bagaimana dilakukan bertautan dengan perumusan delik dalam undang-undang
pidana dimana tercantum larangan atas perbuatan itu. pekerjaan ini tidaklah mudah, sehingga
KUHAP telah memperingatkan supaya disusun dengan cermat dan jelas.21
Sesuai dengan syarat yang diatur pada Pasal 143 ayat 2 huruf a apabila dicermati pada
Putusan Nomor 109/Pid.Sus/2019/PN.KBU maka identitas terdakwa sebagaimana telah
diuraikan dalam surat dakwaan sudah benar, sebab didalam putusan tersebut tidak
menyebutkan keberatan dari terdakwa mengenai identitas dirinya. Selain nama identitas juga
mempunyai implikasi kepada pertanggungjawaban pidana. Selanjutnya didalam kasus diatas
sudah diuraikan bahwa yang menjadi pelaku ialah tenaga kesehatan. Jika diperhatikan
mengenai identitasnya, bahwa terdakwa benar memang sebagai seorang tenaga kesehatan
yang bekerja sebagai perawat. Identitas pekerjaan ini juga sama pentingnya dengan nama
sebagaimana diuraikan diatas.
Sebab apabila mengacu kepada subjek hukum yang ada didalam pasal dakwaan ialah
orang yang disebut sebagai tenaga kesehatan. Perbuatan tenaga kesehatan yang menjalankan
praktik tanpa memiliki izin, sebagaimana didalam kronologis kasus pelaku melakukan
praktek bedah dirumahnya sendiri yang mana pada dasarnya pelaku tidak memiliki ijin
praktek, karena pelaku hanya bekerja di rumah sakit.
Selanjutnya pada Pasal 143 ayat 2 Huruf b dijelaskan mengenai isi dari sebuah surat
dakwaan tentang Uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Membaca dakwaan
tersebut diatas tentang uraian cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku, dakwaan tersebut sudah memuat tentang tindak pidana yang dilakukan
pelaku. Di dalam dakwaan tersebut diuraikan waktu, dan tempat terjadinya perbuatan pelaku
sampai kepada pelaku meninggal dunia.

21
Adami Chazawi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. Cit. Hal. 169-170

26
Apabila dipahami dari kronologis yang telah diuraikan tersebut, maka kronologis
mengenai tindak pidana tersebut telah diuraikan secara cermat. Kronologis tersebut diuraikan
pertama sekali saat korban mencari pelaku, awalnya korban merasa takut sendiri dan
memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatan. Namun karena bujukan seseorang tersebut
maka korban menunggu pelaku. Setelah berjumpa dengan pelaku, pelaku membedah kaki
korban yang ada bisulnya dengan menggunakan alat seadanya, setelah membedah pelaku
memberikan obat kepada korban.
Setelah dibedah korban pulang dan korban tidak bisa istrahat dan panas tinggi hingga
dilarikan ke rumah sakit. Dari keterangan dokter yang menangani korban, korban mengalami
infeksi pada luka bedahnya yang disebabkan oleh dibedahnya korban tanpa alat yang steril,
demikian pula yang diberikan tidak ada yang mengandung anti biotik menyebabkan bakteri
dalam luka bedah tersebut tinggal dan menyebabkan infeksi. Infeksi tersebut yang membuat
korban demam tinggi hingga dilarikan ke rumah sakit dan tidak tertolong lagi.
Kronologis perbuatan pelaku tersebut, telah menguraikan tindakan pelaku serta akibat
yang ditimbulkan. Sehingga berdasarkan penjelasan tersebut dakwaan yang telah
disampaikan Penuntut Umum dimuka persidangan telah memenuhi syarat dasar tentang
bagaimana surat dakwaan seharusnya dimuat di persidangan. Selanjutnya mengenai bentuk
dakwaan yang dikenakan didalam kasus ini yang berbentuk alternatif. Terhadap bentuk
dakwaan ini penulis sependapat dengan yang disampaikan oleh penuntut umum sebab untuk
perbuatan yang sederhana surat dakwaan yang dibentuk cukup alternatif saja.
Dakwaan alternatif selain untuk perbuatan yang sederhana, juga karena ada kemiripan
unsur terhadap dua pasal atau lebih terhadap perbuatan pelaku. Maka untuk menghindari
pelaku lepas apabila diberikan dakwaan tunggal, maka penuntut umum memberikan dakwaan
alternatif. Hal ini memberikan kemudahan bagi hakim didalam pertimbangannya, dengan
bentuk dakwaan alternatif hakim bebas memilih dan mmebuktikan hanya satu dakwaan saja.
b. Analisis Tuntutan
Setelah berlangsungnya persidangan-persidangan dengan berbagai kegiatan dalam
proses pembuktian, yakni memeriksa semua alat bukti baik yang diajukan oleh JPU maupun
oleh pensehat hukum, maka ketua majelis menyatakan bahwa pemeriksaan selesai. Kemudian
hakim ketua memerintahkan penuntut umum mempersiapkan surat tuntutan yang akan
dibacakan pada sidang berikutnya.
Surat tuntutan adalah sebuah surat yang dibuat oleh JPU setelah berakhirnya
pemeriksaan perkara dalam persidangan yang memuat tentang tindak pidana yang
didakwakan, fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan dan penganalisisan hukum
terhadap fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan, dan pendapatnya tentang bukti
atau tidaknya tindak pidana yang didakwakan, serta permintaan yang dimohonkan kepada
majelis baik mengenai terbukti tidaknya tindak pidana yang didakwakan maupun mengenai
dipidana (apa) tidaknya terhadap terdakwa.22
Berdasarkan penjelasan tersebut, surat tuntutan memuat hal berikut:
a. Hal tindak pidana yang didakwakan.
b. Fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan.
c. Analisis hukum terhadap fakta-fakta untuk membentuk konstruksi hukum atas
peristiwa yang didakwakan.
d. Pendapat hal terbukti atau tidaknya dakwaan.

22
Adami Chazawi, Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Bayumedia, Malang,
2010, Hal 150

27
e. Permintaan JPU terhadap majelis hakim tentang pasal yang dijatuhkan dan
penjatuhan pidana yang akan dimintakan kepada hakim.23
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tuntutan yang diberikan kepada pelaku ialah pada
dasarnya sudah sesuai dengan dakwaan yang telah didakwakan penuntut umum. Surat
Tuntutan memang memiliki perbedaan dengan dakwaan, sebab didalam tuntutan penuntut
umum melakukan analisis sebagaimana disebutkan diatas. melihat kepada tuntutan yang
diberikan kepada pelaku, penulis tidak terlalu memberikan perhatian kepada lamanya pidana
yang dituntut. Namun kepada dasar tuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Dasar
tuntutan yang diberikan oleh penuntut umum ialah kelalaian berat yang mengakibatkan
Penerima Pelayanan Kesehatan meninggal dunia oleh tenaga kesehatan sebagaimana diatur
dalam pasal 84 ayat (2) UU RI Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan (dakwaan
pertama).
Berdasarkan dasar pasal yang dilakukan oleh penuntut umum mengenai perbuatan
pelaku, penulis berpendapat sebenarnya dapat dibenarkan. Oleh karena perbuatan pelaku
pada dasarnya dapat dikatakan sebagai kelalian. Kelalaiannya terwujud kepada pelaku yang
menerima korban untuk melakukan bedah pada bisulnya. Setelah selesai membedah bisulnya
juga pelaku tidak memberikan obat yang seharusnya bagi orang yang baru dibedah yakni anti
biotik sebagaimana disebut dokter pemeriksa korban dirumah sakit. Selanjutnya saat pelaku
memutuskan melakukan bedah di rumahnya tentu pelaku sadar bahwa pelaku tidak memiliki
ijin praktek di luar rumah sakit. Selain itu bahwa pelaku tentunya tidak memiliki alat-alat
yang steril dalam melakukan bedah. Sebenarnya perbuatan tersebut dapat dikatakan kelalian
sebab niat terdakwa pada dasarnya hanya ingin menolong korban. Bukan sengaja membuka
praktek tanpa ijin untuk melaksanakan praktek diluar rumah sakit.
Sehingga dari pendapat penulis tersebut, penulis lebih setuju bahwa perbuatan pelaku
dinamakan sebagai kelalaian sebab pelaku tentu bukan niatnya melakukan praktek terus.
Namun hanya menolong korban yang sudah kesakitan, saat menolong korban, pelaku tidak
melakukan tahapan dan yang lainnya termasuk memberikan obat yang tepat untuk
mengimbangi luka bedah yang ada pada korban. Perbuatan tersebut menjadi awal yang
membuat korban menjadi sakit dan infeksi sehingga tidak dapat ditolong lagi. Mengenai
lamanya pidana penjara yang dimohonkan dalam tuntutan penuntut umum tidak terlalu
penulis protes sebab menurut penulis lamanya penuntutan tersebut tidak menjadi ukuran
dalam jeranya pelaku. Sebab jeranya pelaku itu tergantung bagaimana perlaku kepada pelaku
dalam menjalani pidana penjaranya.
c. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim
Dalam pertimbanagn hukum hakim atau legal reasoning adalah segala sesuatu yang
didasari dari fakta konkret sejak awal penyelidikan dan penyidikan perkara, baik menyangkut
kebasahan maupun kesalahterapan hukum yang dilakukan oleh aparatur hukum. Realitas
putusan hakim adalah sebagai patokan dalam hal baik dan buruknya kualitas dari bentuk
putusan hukum itu sendiri, meskipun nantinya menimbulkan berbagai kontroversi pendapat
hukum.24
Berdasarkan penjelasan tersebut pertimbangan hakim benar-benar harus dilakukan juga
secara cermat, jelas serta hierarkis dan sistematis agar dapat menjawab persoalan hukum
yang terjadi. Tentu pertimbangan hakim terhadap dakwaan, tuntutan dan hasil pemeriksaan
saksi tentu sudah dilakukan dengan baik. Namun didalam pertimbangan tersebut majelis
hakim tidak menguraikan dasar perbedaanya dengan yang telah dituntut oleh Penuntut Umum
kepada pelaku.

23
Ibid, Hal. 151
24
Abraham Amos, Legal Opinion, Rajawali Pers, Jakarta, 2017. Hal. 21-22

28
Memang dakwaan yang terhadap pelaku dibentuk secara alternative yang memberikan
kebebasan kepada hakim untuk membuktikan salah satunya. Namun dalam hal adanya
perbedaan pendapat antara tuntutan dan pasal yang akan dipertimbangkan hakim, tentunya
hakim harus memberikan pertimbangan setidaknya mengapat hakim memilih pasal dalam
dakwaan kedua. Penjelasan tersebut tentunya memberikan perbandingan apa yang menjadi
pertimbangan hakim sehingga tidak memilih sependapat dengan tuntutan penuntut umum.
Tentu hakim tidak boleh terikat akan sesuatu apapun, hakim harus bersifat mandiri
dalam menentukan keputusannya. Namun setiap keputusan hakim tentunya dapat ditunjukan
melalui pertimbangan hukum atau melalui pendapat hukum yang sistematis, tidak semata-
mata menurut majelis hakim pasal dakwaan kedua yang menjadi terbukti maka majelis hakim
langsung mempertimbangkan mengapa tidak memilih perbuatan sebagaimana tuntutan
penuntut umum.
Memang jika dikaji secara implisit didalam pertimbangan pasal dalam dakwaan kedua
juga menjadi jawaban terhadap mengapa tidak sependapat dengan tuntutan. Namun secara
eksplisit bagi orang awam tentunya hal ini berbeda. Sebab jenis pasal didalam dakwaan
pertama ada frasa yang mengatakan tentang mengakibatkan meninggal dunia. Hal tersebut
sejalan dengan kronologis yang mana korban menjadi meninggal dunia. Tentu didalam
kronologis yang lain ada sesuai dengan pertimmbangan hakim. Sehingga majelis hakim harus
menjelaskan mengapa tidak memilih dakwaan pertama yang mana hal tersebut mengenai
kelalaian.
Terlepas dari hal tersebut putusan hakim harus dianggap benar, oleh karena itu
menurut penulis bahwa pertimbangan yang diberikan hakim mengenai pasal dalam dakwaan
kedua perkara tersebut sudah sesuai dengan bagaimana pertimbangan seharusnya walaupun
dasarnya mengabaikan tuntutan penuntut umum tidak diuraikan oleh majelis hakim. Selain
itu majelis hakim juga mempetimbangkan identitas pelaku yang pada dasarnya ada
hubungannya dengan kemampuan pelaku dalam bertanggungjawab secara pidana, baik dari
segi identitas, nama, pekerjaan serta umur pelaku.
Selanjutnya mejelis hakim juga mempertimbangkan kesalahan pelaku dalam hal ini
perbuatannya dikategorikan sebagai kesengajaan sebab melakukan praktek tanpa ijin.
Terkandung didalamnya kesengajaan. Selanjutnya didalam pertimbangnya hakim
menyatakan tidak ada hal yang menjadi pemaaf bagi pelaku sehingga pelaku bersalah atas
perbuatan tersebut. hal mana tersebut sesuai dengan teori pertangungjawaban pidana yang
harus menenuhi ketigas syarat tersebut secara umum sehingga dengan melawati hal tersebut
maka tidak ada lagi keraguan bagi hakim didalam menyatakan pelaku telah melakukan
perbuatannya atau telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
d. Analisis Amar Putusan
Suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir (vonnis). Dalam putusan itu
hakim menyatakan pendapatnya tentang apa yang telah dipertimbangkan dan putusannya.
Pasal 1 (11) menyatakan bahwa “putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau
lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.”25
Tentu vonis dalam suatu pengadilan harus dihormati seburuk apapun putusan tersebut.
Namun dalam ilmu pengetahuan dapat dilakukan analisis untuk membantu perkembangan
hukum dan sistem penjatuhan pidana terkhusus pada tindak pidana yang dilakukan oleh

25
Adami Chazawi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. Cit. Hal. 286

29
pelaku sehingga meninggalnya korban setelah dibedah oleh pelaku, serta mengembangkan
khasanah ilmu dan teori dalam hal pemahaman tentang pemidanaan.
Mengenai pidana atau hukuman yang diberikan oleh hakim dalam perkara ini pada
dasarnya tidak ada kaharusa setiap kesalahan harus dijatuhi pidana penjara. Namun apabila
perbuatan pelaku mengakibatkan meninggalnya korban hanya dihukum dengan pidana denda
senilai Rp. 20.000.000.- tentu hal ini sudah dianggap terlalu sepele oleh hakim. Dan hal inilah
sebabnya mengapa penulis lebih setuju
kepada tuntutan penuntut umum. Sebab telah disinggung menganai perbuatan yang
mengakibatkan seseorang meninggal dunia.
Dengan adanya denda tersebut, tentu tidaklah mengingatkan pelaku tentang
perbuatannya, sebab pelaku hanya didenda yang notabenenya mengakibatkan orang
meninggal dunia. Jika pidana penjara menurut penulis akan menginngatkan pelaku tentang
perbuatannya seumur hidupnya. Sehingga apabila pelaku ingin memberikan pertolongan
kepada orang lain, tentu harus melalui prosedur dan tindakan yang tepat. Terlepas pelaku
memiliki dasar kewenangan melakukan hal tersebut atau tidak. Sehingga apabila merujuk
kepada amar putusan hakim, tentu harapan akan sadarnya pelaku atas perbuatan tersebut
tidak ada, sebab hanya diwajibkan melaksanakan denda dengan jumlah yang bahkan tidak
seimbang saat seseorang kehilangan nyawa oleh karena perbuatan pelaku. Hal ini juga
menjadi hal sepele bagi tenaga kesehatan lainnya yang apabila melakukan kesalahan
sebagaimana perbuatan pelaku tidak akan memiliki rasa bersalah. Sebab hukum yang
mengatur juga serta penegak hukum yang melaksanakan tidak memperhatikan benar-benar
apa yang sudah pelaku perbuat, pun juga tidak memberikan peringatan berupa penjara,
ataupun dendanya tidak semurah hal sebagiaman telah dijatuhkan hakim tersebut dijangkau
oleh pelaku.

4.2. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pemidanaan Terhadap Tenaga


Kesehatan yang Melakukan Praktik Tanpa Izin Dalam Studi Putusan Nomor
109/Pid.Sus/2019/PN.KBU.
Berbicara mengenai dasar pertimbangan hakim, sebagaimana telah diuraikan di dalam
bagian 2, secara umum pertimbangan hakim terdiri dari dua bentuk, yakni pertimbangan
yuridis, dan pertimbangan non yuridis. Pertimbangan yuridis teridiri dari pasal yang
didakwakan tuntutan, keterangan saksi, Terdakwa, ahli, bukti surat maupun barang bukti.
Dan non yuridis ialah terkait sosial ekonomi.
Apabila merujuk kepada Putusan Nomor 109/Pid.Sus/2019/PN.KBU majelis hakim
telah menguraikan bagaimana pertimbangan hakim tersebut dibangun. Sebagaimana telah
diuraikan yakni terdiri dari identitas pelaku juga dipertimbangkan oleh majelis hakim diman
dalam pertimbangan disebutkan bahwa identitas yang dicantumkan merupakan benar
identitas pelaku, sehingga unsur mengenai setiap orang yang merujuk kepada subjek hukum
telah terpenuhi. Pertimbangan mengenai subjek hukum ini juga penting sebab ada
hubungannya dengan dapat tidaknya pelaku dimintakan pertanggungjawaban dalam
melakukan perbuatannya.
Sebab apabila nama saja tidak terbukti maka pelaku harus yang didakwa harus
dibebaskan, selain itu juga apabila merujuk kepada pilihan majelis hakim yakni dalam
dakwaan kedua yang merujuk kepada subjek hukum tenaga kesehatan tentu ruang lingkupnya
menjadi tambah dipersempit hanya untuk tenaga kesehatan, maka pelaku harus terbukti
sebagai tenaga kesehatan. Selanjutnya dalam pertimbangan unsur pasal yang kedua yakni
tentang tidak adanya ijin melakukan praktek yang didasari ingin menerima keuntungan telah
dipertimbangkan hakim dengan menguraikan apa yang dimaksud dalam pasal tersebut,
diuraikan dengan mengutip pendapat-pendapat saksi maupun ahli bahkan keterangan

30
terdakwa sendiri yang telah disusun dalam sebuah fakta hukum yang kemudian pertimbangan
oleh hakim.
Didalam pertimbangan tersebut perbuatan pelaku diuraikan berdasarkan kepada fakta
yang telah digali dari keterangan saksi, terdakwa maupun ahli serta barang bukti dan bukti
surat yang dapat. Sehingga menjelis menyatakan pelaku bersalah melakukan perbuatan
sebagaimana dakwaan kedua, dengan perbuatan tanpa ijin melakukan praktek medis dengan
tujuan mendapatkan keuntungan daripadanya.
Selajutnya adanya pertimbangan non yuridis yang telah dipertimbangkan hakim yakni
yang pertama sekali mengenai barang bukti yang teleh disita akibat dari perbautan pelaku
yakni berupa obat medis yang digunakan untuk melakukan perbuatan pelaku
dipertimbangkan hakim untuk dimusnahkan, hal itu ditujukan untuk mencegah pelaku tidak
mengulangi perbuatannya dengan menggunakan alat tersebut. selajutnya terhadap barang
bukti mengenai surat-surat media dan rekaman suara dilampirkan didalam berita acara hal ini
ditujukan untuk dokumentasi tentang proses terjadinya perbuatan pelaku tersebut.
Selanjutnya majelis mempertimbangkan mengenai pertimbangan keadaan
memberatkan dan meringankan pelaku. Keadaan ini merupakan keadaan diri pelaku maupun
pendukung atau eksternal pelaku melakukan perbuatannya. Didalam hal hal meringankan
pelaku majelis hanya mempertimbangkan sebagaimana sikap pelaku dan tidak pernah
dihukum, yang tentunya berbeda dengan hal memberatkan diman dalam hal memberatkan
hakim menyatakan bahwa pelaku tidak memiliki Izin Praktik Mandiri dan tidak mengakui
perbuatannya dan berbelit-belit di persidangan. Pertimbangan tersebut tentu banyak
mengarah kepada memberatkan namun majelis hakim hanya menjatuhkan hukuman denda
yang terlalu mudah untuk dijangkau oleh pelaku sendiri

5. KESIMPULAN
Berbagai uraian pembahasan telah disampaikan dan dijelaskan sebagaimana tertulis
diatas, maka berdasarkan pembahasan tersebut maka penulis mengambil kesimpulan sebagai
berikut:
1 Pertanggungjawaban pidana tenaga kesehatan yang melakukan praktik tanpa izin yang
mana pelaku sebagai tenaga kesehatan dalam melakukan perbuatannya hanya
mempunyai ijin praktek di rumah sakit bukan dirumahnya taupun diluar rumah sakit
serta dari perbuatan tersebut pelaku telah menerima keuntungan dari korban. Sehingga
pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana sebagaimana
dalam Putusan Nomor 109/Pid.Sus/2019/PN
2 Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap tenaga kesehatan
yang melakukan praktik tanpa izin dalam studi Putusan Nomor
109/Pid.Sus/2019/PN.KBU ialah merujuk kepada pertimbangan pertimbangan yuridis,
dan pertimbangan non yuridis. Pertimbangan yuridis teridiri dari pasal yang
didakwakan tuntutan, keterangan saksi, Terdakwa, ahli, bukti surat maupun barang
bukti. Dan non yuridis ialah terkait sosial ekonomi terdakwa sehingga melakukan
perbuatan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Malang, Bayumedia,
Malang.
Abraham Amos, Legal Opinion, Rajawali Pers, Jakarta, 2017.
Al Wisnubroto, Praktik Persidangan Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yokyakarta, 2014.
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta,2014.
___________, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, SInar Grafika, 2016.

31
Budi Sampurno Dkk, Laporan Akhir Tim Penyusunan Kompendium Hukum Kesehatan, Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum
Nasional Kementerian Hukum Dan Ham Ri Tahun 2011
E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Jakarta, Storia Grafika, 2012.
Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka,
2016.
Farlen Kanter, (2016), Sanksi Bagi Tenaga Kesehatan Yang Melakukan Tindak Pidana
Dalam Praktik Pelayanan Kesehatan Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2014, Jurnal Lex Privatum, Vol. IV/No. 6.
Farlen Kanter, SANKSI Bagi Tenaga Kesehatan Yang Melakukan Tindak Pidana Dalam
Praktik Pelayanan Kesehatanmenurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014, Jurnal
Lex Privatum, Vol. IV/No. 6/Juli/2016.
Frans Maramis, 2012, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo
Persada.
Hanafi, Mahrus, Sistem Pertanggung Jawaban Pidana Cetakan pertama, Jakarta, Rajawali
Pers, 2015.
J. Remmelink, Pengantar Hukum Pidana Material 1, Yogyakarta, Maharsa Publishing, 2014.
Mahrus Ali dan Hanafi Amrani, , 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana,
Jakarta,Rajawali Pers.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana edisi revisi, Jakarta, Rineka Cipta, 2018.
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti,
2013.
Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggung Jawaban Pidana, Cetakan Pertama,
Jakarta, Ghalia Indonesia.
Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontenporer, Citra Aditya Bakti, Bandung.
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Op.Cit hal. 249-
250 Budi Sampurno Dkk, Laporan Akhir Tim Penyusunan Kompendium Hukum
Kesehatan, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Ham RI Tahun 2011
Soekidjo Notoatmodjo, (2010), Etika & Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
Syarifa Mappiase, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim. Prenamedia Group, Jakarta
, 2015.
Trian Christiawan, Aspek Hukum Tenaga Kesehatan, Fakultas Hukum Univesitas Padjajaran
dari https://www.academia.edu/9789457/Makalah_Aspek_
Hukum_dalam_Pelayanan_Kesehatan, diakses pada tanggal 05 Juli 2021
ttps://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5eaa9a59e79a5/tenaga-medis-dan-tenaga-
kesehatan-itu-berbeda/, diakses pada tanggal 24 Juni 2021, Pukul 16.35.
https://repository.penerbitwidina.com/media/314615-etika-profesi-aspek-hukum-bidang
kesehat-2f831d1c.pdf, diakses pada tanggal 3 Juli 2021, pukul 19.30.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
https://repository.penerbitwidina.com/media/314615-etika-profesi-aspek-hukum-bidang-
kesehat-2f831d1c.pdf, diakses pada tanggal 3 Juli 2021, pukul 19.30.

32

Anda mungkin juga menyukai