Pelatihan Dasar CPNS Kab.Pasaman Barat Golongan III Angkatan III Kel 1 Tahun 2023
Narasumber : Dr.Ir.Maihalfri.MT
Volatility (Volatilitas)
• Hal yang menarik tentang volatilitas adalah meskipun dapat mewakili bahaya, tetapi
juga dapat berupa peluang. Seperti pedang bermata dua yang Intinya adalah volatilitas
bagus jika kamu mencari peluang dan buruk jika kamu menyukai prediktabilitas.
• Istilah ambigu yang paling sering menyiratkan risiko atau ketidakpastian tentang
pergerakan perubahan. Seperti kita ketahui, ketika dunia usaha sedang
beradaptasi dengan era digital ditahun 2020 ini dikagetkan dengan munculnya
pandemi.
Uncertainty (Ketidakpastian)
• Perubahan mungkin terjadi, tetapi tidak mutlak, atau bahkan tidak ada sama sekali.
Walaupun begitu, biasanya penyebab dan dampaknya sudah diketahui.
• Masa depan yang tidak bisa diprekdiksi penuh ketidakpastian, jika kita mundur
kebeberapa tahun lalu tidak akan pernah terpikir perubahan digital yang begitu
seolah kita baru keluar dari mesin waktu. Ketidakpastian ini membuat pengalaman
masa lalu tidak lagi relevan memprediksi probabilitas dan sesuatu yang akan
terjadi.
Complexity (Kompleksitas)
• Keadaan disebut kompleks ketika terdapat banyak bagian dan variabel yang saling
berhubungan. Beberapa informasi tersedia dan bisa diprediksi, tetapi volumenya
besar dan sulit diproses sehingga dapat menyebabkan seseorang kewalahan.
Jenisnya bervariasi dan sifatnya berbelit-belit, tetapi tidak selalu menyebabkan
perubahan.
• Dunia modern lebih kompleks dari sebelumnya. Masalah dan akibat lebih berlapis, dan
saling memengaruhi. Situasi eksternal yang dihadapi para pemimpin bisnis semakin
rumit.
Ambiguity (Ambiguitas)
• Diambil dari bahasa latin “ambi-” mengacu pada banyak atau tidak tetap, seperti
penggunaannya dalam kata ambiance dan ambidextrous.
• Ambiguitas adalah situasi tanpa hubungan sebab-akibat yang jelas. Sifatnya baru dan
belum pernah terjadi sebelumnya sehingga tidak dapat diprediksi. Penyebab dan
dampaknya juga tidak diketahui.
• Lingkungan bisnis semakin membingungkan, tidak jelas, dan sulit dipahami. Setiap
situasi dapat menimbulkan banyak penafsiran dan persepsi.
Menurut saya kepemimpinan tradisional sudah ketinggalan zaman, terlalu lamban, dan
tidak efektif untuk lingkungan yang berkembang dan terus berubah. Karena itu, para pemimpin
organisasi memerlukan model kepemimpinan baru yang agile untuk menghadapi empat
VUCA tersebut.
VUCA merupakan situasi yang tidak bisa dihindari, Kita dapat mengurangi dampaknya,
atau bahkan menggunakannya untuk keuntungan organisasi. Kunci mengelola organisasi
dalam lingkungan ini adalah memecah VUCA menjadi empat bagian, dan mengidentifikasi
situasi yang mudah berubah, tidak pasti, kompleks, atau ambigu. Setiap jenis situasi memiliki
penyebab dan penyelesaiannya sendiri, jadi Anda harus berusaha menanganinya satu per
satu.
Menurut KBBI, adaptif adalah suatu sikap dan kemampuan dalam kemudahan
terhadap penyesuaian pada situasi terbaru yang ada. Adaptif mempunyai beberapa contoh
sikap dan perbuatan dari pelakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Adaptasi adalah suatu proses yang menempatkan manusia yang berupaya mencapai
tujuan-tujuan atau kebutuhan untuk menghadapi lingkungan dankondisi sosial yang berubah-
ubah agar tetap bertahan (Robbins, 2003)
Sejatinya, perilaku adaptif memerlukan beberapa kemampuan yang perlu dilatih terus
menerus. Salah satunya adalah kemampuan komunikasi yang tidak hanya menuntut mahir
dalam berbicara, akan tetapi juga pandai membaca ketertarikan orang lain serta mampu
menjadi pendengar yang baik. Selain itu, perilaku adaptif sangat erat kaitannya dengan
berpikir kreatif dalam memecahkan masalah. Perkembangan zaman menyebabkan
perbedaan cara pandang manusia terhadap berbagai hal. Dibantu dengan teknologi,
kreativitas yang tinggi tentunya dapat membantu menyelesaikan masalah yang kian
kompleks. Kemampuan tersebut di atas tentunya sangat bermanfaat agar dapat memberikan
kinerja terbaik.
4. Uraikanlah apa yang dimaksud dengan pemerintahan yang adaptif serta sebutkan contoh-
contohnya?
Kebutuhan masyarakat saat ini adalah pemerintahan yang cepat, responsif, dan
efisien. Jika ketiga kebutuhan tersebut dapat dipenuhi, maka pemerintah terkait dapat disebut
telah berhasil menerapkan good governance dengan baik. “Kalau tidak mampu mengubah,
maka hal tersebut bukanlah good governance.
Contoh dari pemerintah yang adaptif dapat kita lihat dari bidang teknologi informasi
yang mana telah di kembangkan aplikasi E- Government. Aplikasi merupakan sebuah
Langkah pemerintah dalam memanfaatkan teknologi informasi dalam upaya meningkatkan
efisiensi,efektifitas,transparansi,dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan serta
pelayanan publik. Ini sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang sistem
pemerintahan berbasis elektronik (SPBE). Adapun yang terdapat didalamnya diantaranya
adalah sebagai berikut :
• E-Musrenbang
Sistem Informasi untuk pengelolaan proses Musrenbang (Musyawarah Perencanaan
Pembangunan) secara online. E-Musrenbang terintegrasi dengan Sistem E-Planning
sehingga output dari Musrenbang akan masuk ke dalam RKPD secara otomatis. E-
Musrenbang dapat diakses oleh : Publik, Kecamatan, DPRD, OPD dan Bappeda
• E-Budgeting
E-Budgeting adalah sistem penyusunan anggaran yang di dalamnya termasuk
aplikasi program komputer berbasis web untuk memfasilitasi proses penyusunan
anggaran belanja daerah. Dengan penerapan teknologi informasi seperti sistem
informasi penyusunan anggaran ini, pemerintah daerah akan lebih mudah dalam
menentukan arah kebijakan berkaitan dengan penganggaran pemerintah daerah.
• E-Monev
Sistem monitoring dan evaluasi anggaran
Kolaborasi dipahami sebagai kerjasama antar aktor, antar organisasi atau antar
institusi dalam rangka pencapain tujuan yang tidak bisa dicapai atau dilakukan secara
independent. Menurut Ansell dan Gash (2007:546) mendefinisikan collaborative governance
yaitu adalah serangkain pengaturan dimana satu atau lebih lembaga publik yang melibatkan
secara langsung stakeholder non-state di dalam proses pembuatan kebijakan yang bersifat
formal, berorientasi consensus dan deliberative yang bertujuan untuk membuat atau
mengimplementasikan kebijakan publik atau mengatur program atau aset.
Sementara itu menurut Agranoff dan McGuire dalam Chang (2009:76-77) menyatakan
bahwa Collaborative Governance telah menempatkan banyak penekanan pada kolaborasi
horisontal sukarela dan hubungan horizontal anatara partisipan multi sektoral, karena tuntutan
dari klien sering melampaui kapasitas dan peran organisasi publik tunggal, dan membutuhkan
interaksi di antara berbagai organisasi yang terkait dan terlibat dalam kegiatan publik.
kolaborasi diperlukan untuk memungkinkan governance menjadi terstruktur sehingga efektif
memenuhi meningkatnya permintaan yang timbul dari pengelolaan lintas pemerintah,
organisasi, dan batas sektoral.
Kolaborasi menjadi poin khusus di birokrasi pemerintah. Internalisasi materi yang ada
dalam modul ini diharapkan dapat membentuk karakter ASN yang kolaboratif. Fragmentasi
dan silo mentality yang menjadi image negatif dari birokrasi pemerintah pada akhirnya dapat
dikikis. Birokrasi akan berdiri dengan tegak dalam menatap tantangan global.
Selain diskursus tentang definisi kolaborasi, terdapat istilah lainnya yang juga perlu
dijelaskan yaitu collaborative governance. Collaborative governance mencakup kemitraan
institusi pemerintah untuk pelayanan publik. Sebuah pendekatan pengambilan keputusan,
tata kelola kolaboratif, serangkaian aktivitas bersama di mana mitra saling menghasilkan
tujuan dan strategi dan berbagi tanggung jawab dan sumber daya.
Kolaborasi juga sering dikatakan meliputi segala aspek pengambilan keputusan,
implementasi sampai evaluasi. Berbeda dengan bentuk kolaborasi lainnya atau
interaksi stakeholders bahwa organisasi lain dan individu berperan sebagai bagian strategi
kebijakan, collaborative governance menekankan semua aspek yang memiliki kepentingan
dalam kebijakan membuat persetujuan bersama dengan “berbagi kekuatan”.
Enam kriteria penting untuk kolaborasi yaitu:
1. forum yang diprakarsai oleh lembaga publik atau lembaga;
2. peserta dalam forum termasuk aktor nonstate;
3. peserta terlibat langsung dalam pengambilan keputusan dan bukan hanya
“dikonsultasikan” oleh agensi publik;
4. forum secara resmi diatur dan bertemu secara kolektif;
5. forum ini bertujuan untuk membuat keputusan dengan konsensus (bahkan jika
konsensus tidak tercapai dalam praktik), dan
6. fokus kolaborasi adalah kebijakan publik atau manajemen.
Tata kelola kolaboratif ada di berbagai tingkat pemerintahan, di seluruh sektor publik dan
swasta, dan dalam pelayanan berbagai kebijakan. Disini tata kelola kolaboratif lebih
mendalam pelibatan aktor kebijakan potensial dengan meninggalkan mestruktur kebijakan
tradisional. Matarakat dan komunitas dianggap layak untuk inovasi kebijakan, komunitas yang
sering kali kehilangan hak atau terisolasi dari perdebatan kebijakan didorong untuk
berpartisipasi dan dihargai bahkan dipandang sebagai menambah wawasan diagnostik dan
pengobatan kritis (Davies dan White 2012). Kondisi ini akan mungkin bila didukung
kepemimpinan yang kuat (Weber 2009). Tapi, di sini juga, tidak sembarang gaya
kepemimpinan bisa digunakan. Mereka yang memimpin harus bakat dan keterampilan yang
lebih kompleks daripada mereka yang memimpin entitas top-down. “Kepemimpinan fasilitatif”
mengandung perbedaan tugas dan kewajiban.
Pemimpin fasilitatif terutama mementingkan pembangunan dan pemeliharaan hubungan.
Pemimpin dalam konteks kolaboratif fokus pada perekrutan perwakilan yang tepat, membantu
memulihkan ketegangan yang mungkin ada di antara mitra, mempromosikan dialog yang
efektif dan saling menghormati antara pemangku kepentingan dan menjaga reputasi
kolaboratif di antara para peserta dan pendukungnya. Ini adalah tugas pemimpin fasilitatif,
untuk menjaga legitimasi dan kredibilitas kolaboratif antara mitra.
Untuk itu, pemimpin fasilitatif harus membantu mitra tidak hanya untuk merancang strategi
untuk mencapai yang substantif konsensus tetapi juga untuk mengidentifikasi bagaimana
mengelola kolaboratif. Peran pentingnya harus mampu klarifikatif, membangun transparansi
dan menyusun strategi berkelanjutan untuk evaluasi dan menyelesaikan ketidaksesuaian di
antara pemangku kepentingan. Pada collaborative governance pemilihan kepemimpinan
harus tepat yang mampu membantu mengarahkan kolaboratif dengan cara yang akan
mempertahankan tata kelola stuktur horizontal sambil mendorong pembangunan hubungan
dan pembentukan ide.
Selain itu, Kolaboratif harus memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk
berkontribusi, terbuka dalam bekerja sama dalam menghasilkan nilai tambah, serta
menggerakan pemanfaatan berbagai sumber daya untuk tujuan bersama.
Ratner (2012) mengungkapkan terdapat mengungkapkan tiga tahapan yang dapat dilakukan
dalam melakukan assessment terhadap tata kelola kolaborasi yaitu:
1. mengidentifikasi permasalahan dan peluang;
2. merencanakan aksi kolaborasi; dan
3. mendiskusikan strategi untuk mempengaruhi. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar
berikut ini.
Ansen dan Gash 2012 p 550) menjelaskan terkait model collaborative governance.
Menurutnya starting condition mempengaruhi proses kolaborasi yang terjadi, dimana proses
tersebut terdiri dari membangun kepercayaan, face to face dialogue, commitment to process,
pemahaman bersama, serta pengambangan outcome antara. Desain kelembagaan yang
salah satunya proses transparansi serta faktor kepemimpinan juga mempengaruhi proses
kolaborasi yang diharapkan menghasilkan outcome yang diharapkan.
Konsep WoG sendiri sering dipandang sebagai perspektif baru dalam penerapan dan
pemahaman koordinasi antar sektor. WoG ini juga memilki beberapa karakteristik inti yaitu
kolaborasi, kebersamaan, kesatuan, tujuan bersama dan tujuan keseluruhan
Dari definisi ini diketahui bahwa WoG merupakan pendekatan yang menekankan aspek
kebersamaan dan menghilangkan sekat-sekat sektoral yang selama ini terbangun dalam
model NPM. Bentuk pendekatannya bisa dilakukan dalam pelembagaan formal atau
pendekatan informal.
Dalam pengertian USIP, WoG ditekankan pada pengintegrasian upaya-upaya
kementerian atau lembaga pemerintah dalam mencapai tujuan-tujuan bersama. WoG juga
dipandang sebagai bentuk kerjasama antar seluruh aktor, pemerintah dan sebaliknya.
Pengertian dari USIP ini menunjukkan bahwa WoG tidak hanya merupakan pendekatan yang
mencoba mengurangi sekat-sekat sektor, tetapi juga penekanan pada kerjasama guna
mencapai tujuan-tujuan bersama. Dari dua pengertian di atas, dapat diketahui bahwa
karakteristik pendekatan WoG dapat dirumuskan dalam prinsip-prinsip kolaborasi,
kebersamaan, kesatuan, tujuan bersama, dan mencakup keseluruhan aktor dari seluruh
sektor dalam pemerintahan.
Dalam banyak literatur lainnya, WoG juga sering disamakan atau minimal
disandingkan dengan konsep policy integration, policy coherence, cross-cutting policy-
making, joinedup government, concerned decision making, policy coordination atau cross
government. WoG memiliki kemiripan karakteristik dengan konsep-konsep tersebut, terutama
karakteristik integrasi institusi atau penyatuan pelembagaan baik secara formal maupun
informal dalam satu wadah. Ciri lainnya adalah kolaborasi yang terjadi antar sektor dalam
menangani isu tertentu.
Namun demikian terdapat pula perbedaannya, dan yang paling nampak adalah bahwa
WoG menekankan adanya penyatuan keseluruhan (whole) elemen pemerintahan, sementara
konsep-konsep tadi lebih banyak menekankan pada pencapaian tujuan, proses integrasi
institusi, proses kebijakan dan lainnya, sehingga penyatuan yang terjadi hanya berlaku pada
sektor-sektor tertentu saja yang dipandang relevan.
WoG adalah sebuah pendekatan penyelenggaraan pemerintahan yang menyatukan
upaya-upaya kolaboratif pemerintahan dari keseluruhan sektor dalam ruang lingkup
koordinasi yang lebih luas guna mencapai tujuan-tujuan pembangunan kebijakan, manajemen
program dan pelayanan publik. Oleh karenanya WoG juga dikenal sebagai pendekatan
interagency, yaitu pendekatan yang melibatkan sejumlah kelembagaan yang terkait dengan
urusan-urusan yang relevan.
Pada dasarnya pendekatan WoG mencoba menjawab pertanyaan klasik mengenai
koordinasi yang sulit terjadi di antara sektor atau kelembagaan sebagai akibat dari adanya
fragmentasi sektor maupun eskalasi regulasi di tingkat sektor. Sehingga WoG sering kali
dipandang sebagai perspektif baru dalam menerapkan dan memahami koordinasi antar
sector.
6. Buatlah rancangan pelaksanaan kolaborasi antar unit kerja Saudara dengan unit kerja
lainnya di Instansi Saudara?
Contohnya disini adalah dalam kegiatan Penyaluran bantuan rumah rusak sedang dan
ringan pasca gempa 15 Februari 2022 di Talu Pasaman Barat, dalam kegiatan ini
dilaksanakan oleh bidang Perumahan di Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan
Pertanahan. Untuk kegiatan ini bidang perumahan memerlukan kerja sama atau
kolaborasi dengan bidang lain seperti bidang Kawasan permukiman dan Bidang
Pertanahan. Tahapan yang dilakukan diantaranya :