Kelompok 3
Munawar Khalil (210801003)
Riska Maulina (210801060)
A . Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayahnya serta menganugrahkan tetesan ilmu, Kesehatan, kekuatan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah filsafat politik yang berjudul “Sistem
Feodalisme Pada Abad Pertengahan” yang diampu oleh dosen Dr. Ernita
Dewi,S.Ag.,M.hum yang mana makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dari
dosen yang terhormat.
Makalah ini bertujuan untuk kita mengetahui bahwa Sistem Feodalisme
Pada Abad Pertengahan juga penting bagi kita. Tujuan utama mata kuliah ini
adalah untuk memberikan pengetahuan tentang Sistem Feodalisme Pada Abad
Pertengahan. Dan setelah belajar mata kuliah ini diharapkan kawan kawan dapat
pengetahuan lebih.
Pencantuman catatan kaki dan daftar rujukan untuk memberikan
keterangan pengambilan data atau sumber, juga untuk memberikan kesempatan
pada kawan-kawan untuk membaca dan mendalami sendiri pada sumber-sumber
yang dimaksud sehingga pembaca tidak cukup puas dengan makalah ini
Kami juga berharap agat nantinya makalah ini dapat memberikan manfaat,
dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan. Walaupun kami menyadari
masih terdapat kekurangan dan belum dikatakan sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran dapat menyempurnakan makalah ini supaya
berguna bagi kita sendiri dan bagi semua pihak.
2
1
Hans Fink,feodalisme dan filsafat sosial Aquinas, hal 17-18
3
I. Sejarah Feodalisme
Prof. Dr. Habib Mustopo, dkk. dalam buku Sejarah menjelaskan bahwa ciri
khas feodalisme adalah ketaatan mutlak dari lapisan bawahan kepada atasannya.
2
Ali Maksum, Pengantar Filsafat, hal 9- 11
3
Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Dunia , hal 50-54
4
Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Dunia hal 64-67
4
Berdasarkan buku Ibn Rusyd dan Averroisme, Masyarakat feodal ini telah
berjalan sejak tahun 900 M dan meliputi sebagian besar wilayah Eropa. Awalnya,
masyarakat feodal berkembang di Prancis hingga ke bagian barat Itali. Ciri utama
masyarakat feodal pada abad pertengahan adalah penguasaan tanah oleh
bangsawan. Dr. Antonius Purwanto dalam buku Sosiologi Industri dan Pekerjaan
menjelaskan, masyarakat feodal muncul setelah masyarakat mengenal teknologi
cara bercocok tanam dan pemeliharaan hewan ternak. Kegiatan pertanian
merupakan dasar dari masyarakat feodal5. Oleh sebab itu, masyarakat feodal
sering disebut masyarakat agraris-feodal.
5
Muhammad Iqbal,Ibn Rusyd & Averroisme (2004) hal 13-15
5
hasilnya digunakan untuk membeli kebutuhan. Para petani juga harus membayar
pajak kepada penguasa.
Feodal Kun Maryati dalam Sosiologi menjelaskan pola dasar masyarakat feodal
sebagai berikut.
● Raja dan kaum bangsawan merupakan pusat kekuasaan yang harus ditaati
dan dihormati oleh rakyatnya karena raja memiliki hak istimewa.
● Terdapat lapisan utama, yaitu raja dan kaum bangsawan (kaum feodal) dan
lapisan di bawahnya adalah rakyat.
● Adanya pola ketergantungan dan patrimonialistik. Artinya, kaum feodal
merupakan tokoh panutan yang harus disegani, sedangkan rakyat harus
hidup menghamba dan selalu dalam posisi dirugikan.
● Terdapat pola hubungan antar kelompok yang diskriminatif, yaitu kaum
feodal memperlakukan bawahannya secara tidak adil dan
sewenang-wenang.
● Golongan bawah cenderung memiliki sistem stratifikasi tertutup.
B. kebebasan feodalisme
sekarang ini. Namun, dalam masyarakat modern pun masih banyak dan bahkan
Sebagian besar masih tetap menerapkan feodalisme dalam berbangsa dan
bernegara serta dalam sistem sosialnya. Banyak pihak mengatakan bahwa
feodalisme sangat merugikan Sebagian besar masyarakat atau rakyat.
8
Rudiaji Mulya , Feodalisme dan Imperisme di era global , hal 45-48
8
C. Keadilan feodalisme
9
Rudiaji Mulya , Feodalisme dan Imperisme di era global, hal 60-65
9
1. Bidang politik
Kondisi lain dari masyarakat jawa yang dapat di soroti yaitu mengenai
sistem kekuasaan yang berjalan sampai sekarang ini. Tradisi feodal masyarakat
jawa dahulu yang di bawa sampai sekarang, tidak hanya berpengaruh pada kondisi
agama masyarakat jawa saat ini, akan tetapi juga berpengaruh pada sistem
kekuasaan dan pemerintahan. Tak dapat dipungkiri, jika sistem pemerintahan kita
masih mengadopsi sistem masyarakat feodal dahulu, yaitu monarki atau kerajaan.
Hal ini dapat kita lihat saat ini, mayoritas penguasa saat ini merupakan pihak
pihak yang memiliki kondisi strategis yang memungkinkan untuk berkuasa.
Yang menjadi pejabat atau penguasa tentunya juga bukan dari golongan
orang yang masih muda, akan tetapi, masyarakat Indonesia masih terbayang
bayang oleh pemerintahan yang dipimpin oleh seseorang yang memiliki karisma
atau wibawa, dan bukan dari kalangan akdemis yang memiliki kapasitas dan
pengalaman lebih daripada sekedar wibawa Akan tetapi, hampan masyarakat
Indonesia tersebut sesungguhnya menjadi boomerang sendin bagi masyarakat
kita. Para pemimpin yang dianggap dewasa dan mampu menjadi pemimpin kini
hanyalah menjadi seorang yang merugikan bawahannya sendiri, akibat dari
prinsip yang menganggap bahwa seorang pemimpin merupakan seseorang yang
harus dihormati dan kebijakannya merupakan hal yang tidak bisa diganggu gugat.
dalam hal ini berarti kepemimpinan yang dianut pada masyarakat kita merupakan.
multipartai. Partai politik (parpol) tampil sebagai aktor sentral dalam sistem
politik Indonesia. Sehingga birokrasi menjadi objek pertarungan kepentingan dan
arena perlombaan pengaruh parpol Meski demikian, birokrasi Orde Lama masih
mewarisi birokrasi jaman kolonial.
2. Agama
Salah satunya yaitu pola pikir masyarakat kita yang cenderung lamban
Masyarakat kita yang merupakan masyarakat agraris mayoritas tidak terlalu
mengedepankan orientasi waktu. Oleh sebab itu, masyarakat kita terkenal malas
untuk bekerja keras, dan menjunjung tinggi kedisiplinan, sebaliknya, masyarakat
kita lebih suk dengan hal hal yang semu, enjoy artinya dalam menyikapi hidup ini
mereka lebih suka bersantai dan tidak memilikirkannya secara serius.
3. Bidang Kebudayaan
Adanya asas setia dan tunduk dalam diri rakyat kepada penguasa. Hal ini
membuat daya saing antar rakyat menjadi terbatasi oleh rasa segan dan takut
kepada penguasa atau atasan. Rakyat menjadi pasrah dan tidak suka bekerja keras,
karena mereka menganggap dengan menunat kepada atasan, mereka akan
mendapatkan apa yang diinginkan. Maka kemudian, mental penjilat menjadi
10
Suhartano W. Pranoto, Serpihan Budaya Feodal, Hal 68-72
11
tumbuh subur dalam budaya feodalisme dimana mental dan tekad untuk maju
begitu sulit diwujudkan karena hanya berharap pada atasan. Masa kolonialisme
Belanda, feodalisme sengaja dibiarkan hidup demi membendung daya kritis, daya
kreatif, dan sikap fundamentalisme. Sebab jika daya kritis dibiarkan hidup maka
rakyat akan berontak Sekarang ini feodalisme tercermin dalam bentuk nilai-nilai
yang tumbuh di benak masyarakat yang mana terlalu berorientasi pada atasan,
senior, dan kepada orang- orang yang mempunyai pangkat atau kedudukan yang
tinggi. Masyarakat tanpa sadar selalu meminta pertimbangan dan restu setiap kali
akan melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Hal ini menunjukkan adanya
indikator ketergantungan masyarakat kepada penguasa secara berlebihan.
Dalam tahapan masyarakat feodal ini terjadi penguasaan alat produksi oleh
kaum pemilik tanah, raja dan para kerabatnya. Ada antagonisme antara rakyat tak
bertanah dengan para pemilik tanah dan kalangan kerajaan. Kerajaan, merupakan
alat kalangan feodal untuk mempertahankan kekuasaan atas rakyat, tanah,
kebenaran moral, etika agama, serta seluruh tata nilainya. Pada perkembangan
masyarakat feodal di Eropa, dimana tanah dikuasai oleh baron-baron (tuan2
tanah) dan tersentral. Para feodal atau Baron (pemilik tanah dan kalangan kerabat
kerajaan) yang memiliki tanah yang luas mempekerjakan orang yang tidak
bertanah dengan jalan diberi hak mengambil dari hasil pengolahan tanah yang
merupakan sisa upeti yang harus dibayar kepada para baron. Tanah dan hasilnya
dikelola dengan alat-alat pertanian yang kadang disewakan oleh para baron
(seperti bajak dan kincir angin). Pengelolaan tersebut diarahkan untuk
kepentingan menghasilkan produk pertanian yang akan dijual ke tempat-tempat
lain oleh pedagang-pedagang yang dipekerjakan oleh para baron. 11
11
Suhartano W. Pranoto, Serpihan Budaya Feodal , hal 72-78
12
tentara, dan hak-hak lainnya yang sekarang merupakan fungsi negara. Para baron
sebenarnya otonom terhadap raja, dan seringkali mereka berkonspirasi
menggulingkan raja. Kondisi pada masa feodalisme di Indonesia bisa diambil
contoh pada masa kerajaan-kerajaan kuno macam Mataram kuno, kediri,
singasari, majapahit. Dimana tanah adalah milik Dewa/Tuhan, dan Raja dimaknai
sebagai titisan dari dewa yang berhak atas penguasaan dan pemilikan tanah
tersebut dan mempunyai wewenang untuk membagi-bagikan berupa petak-petak
kepada sikep-sikep, dan digilir pada kerik-kerik (calon sikep-sikep),
bujang-bujang dan numpang-numpang (istilahnya beragam di beberapa tempat)
dan ada juga tanah perdikan yang diberikan sebagai hadiah kepada orang yang
berjasa bagi kerajaan dan dibebaskan dari segala bentuk pajak maupun upeti.
Sedangkan bagi rakyat biasa yang tidak mendapatkan hak seperti orng-orang
diatas mereka harus bekerja dan diwajibkan menyetorkan sebagian hasil yang
didapat sebagai upeti dan disetor kepada sikep-sikep dll untuk kemudian
disetorkan kepada raja, Selain upeti, rakyat juga dikenakan penghisapan tambahan
berupa kerja bagi negara-kerajaan dan bagi administratornya. Pada tahap
masyarakat feodal di Indonesia, Sebenarnya sudah muncul perlawanan dari
kalangan rakyat tak bertanah dan petani. Kita bisa melihat adanya pemberontakan
di masa pemerintahan Amangkurat I, pemberontakan Karaeng Galengsong,
pemberontakan Untung Suropati, dan lain-lain. Hanya saja, pemberontakan
mereka terkalahkan. Tapi kemunculan gerakan-gerakan perlawanan pada setiap
jaman harus dipandang sebagai lompatan kualitatif dari tenaga-tenaga produktif
yang terus berkembang maju (progresif) berhadapan dengan hubungan-hubungan
sosial yang dimapankan (konservatif).
Walaupun kepemimpinan masih banyak dipegang oleh bangsawan yang
merasa terancam karena perebutan aset yang dilakukan oleh rajanya. Embrio
kapitalisme mulai bersentuhan dengan masyarakat di Nusantara di awal abad
ke-15, melalui merkantilisme Eropa.
13
E. Pemerintahan feodalisme
Dalam rangka pelaksanaan pemerintahan, dibuatlah suatu sistem
pengawasan yang bersifat hirarkis dan masal dalam kalangan militer. Pada
puncaknya duduklah pemimpin asal Tokugawa yaitu shogun yang sedang
memerintah. Orang-orang yang langsung berada di bawahnya ialah Kashin (para
pembantu langsungnya). Pangkat mereka mulai dari jajaran yang penting sampai
yang kurang penting yaitu Daimyo, Hatamoto, Gokenin dan Koke. Mereka semua
berada di bawah pengawasan pejabat bakufu, baik dalam keadaan perang maupun
tidak. Karena itulah hubungan mereka terhadap atasannya dikenal sebagai Shihai
teki Shujusei atau sistem hubungan pengawasan atasan-bawahan (Ishii, 1988).
Kashin menyampaikan perintah-perintah bakufu kepada bawahan mereka dan
meneruskan permintaan dari para bawahannya itu kepada pemimpin bakufu
tersebut. Mekanisme pemerintahan semi otonomi di mana shogun melimpahkan
wewenang dan kekuasaan kepada daimyo di daerah, di kenal dengan sistem
Bakuhan atau Bakuhan Taisei.
Di dalam sistem ini bakufu juga bertugas mengawasi tanah yang luasnya
seperempat luas tanah seluruh Jepang atau kira-kira suatu jumlah luas tanah yang
menghasilkan 4,2 juta koku beras pertahun. Tanah-tanah ini dikontrol langsung
oleh Kanjo Bugyo (pengawas tanah dan keuangan) dengan bantuan
Gundai/Daikan (pembantu Kanjo Bugyo). Tanah-tanah ini disebut Tenryo atau
tanah milik penguasa bakufu yang terletak antara lain di Kyoto, Osaka, Nagasaki
dan Sado. Di sana bakufu melaksanakan perdagangan dan sistem keuangan secara
monopoli.
Pada akhir zaman Edo jumlah seluruh tanah yang telah dinilai pajaknya
berjumlah kurang lebih 30 juta koku. Walaupun demikian bakufu hanya
menguasai secara langsung sebanyak 7 juta koku beras, dan dari jumlah itu
sebanyak 2,6 atau 2,7 koku telah dihadiahkan sebagai bantuan kepada para
pembantu langsungnya yaitu Hatamoto atau Gokenin. Kebanyakan tanah yang
tersisa di Jepang yang menghasilkan 22 atau 23 juta koku diperuntukan bagi
14
daimyo yang memiliki pengikut lebih dari 70 ribu (Totman, 1967). Para daimyo
ini secara resmi dibebani tugas mengatur wilayah-wilayah kekuasaan mereka. 12
1. Keahlian untuk damai dan perang termasuk memanah dan berkuda harus
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, kalimat ini bersumber dari
pepatah kuno yang berbunyi keahlian untuk damai di tangan kiri, dan
keahlian untuk perang di tangan kanan. Keduanya harus dikuasai.
Memanah dan berkuda sangat dibutuhkan oleh kaum militer. Akan tetapi
meskipun senjata disebut sebagai alat kejahatan tetapi pada waktu
tertentu alat tersebut harus digunakan
2. Minum dan pesta pora harus dihindarkan, dalam peraturan yang
diberikan prostitusi dan berjudi termasuk dilarang keras karena dapat
meruntuhkan negara
3. Pelanggar peraturan tidak boleh dilindungi atau disembunyikan di daerah
(Han) manapun
4. Daimyo, bangsawan dan petugas negara harus segera mengusir siapapun
diantara pengikutnya yang didakwa mengkhianat atau membunuh dari
daerahnya. Penghianat atau pembunuh dapat menjadi senjata untuk
mengalahkan negara dan membunuh masyarakatnya. Orang semacam itu
tidak bisa dibiarkan bebas
5. Tidak ada orang asing yang diperbolehkan tinggal dalam han kecuali
penduduk daerah tersebut. Setiap daerah memiliki cara pemerintahan
masing-masing. Jika seorang membocorkan rahasia daerahnya kepada
daerah lain atau sebaliknya maka hal ini akan menimbulkan kebiasaan
berbohong dan mencari keuntungan sendiri. Jika bermaksud mengadakan
12
Hans Fink,feodalisme dan filsafat sosial Aquinas, hal 56-67
15
perbaikan atas puri dari salah satu daerah Han, harus memberitahu
kepada penguasa
6. Laporan harus segera dibuat jika ditemukan rencana pembaruan atau
pembentukan kelompok rahasia di daerah tetangga
7. Jangan menikah tanpa memberitahukan penguasa bakufu
8. Kunjungan daimyo ke ibukota harus mematuhi ketentuan. Di dalam hal
kunjungan ini ada aturan lain yang harus diikuti meliputi jumlah
pengawal yang menyertainya. Jumlahnya tergantung dari jumlah beras
yang dihasilkan oleh daerahnya masing-masing
9. Peraturan tentang jenis dan kualitas pakaian yang digunakan tidak boleh
dilanggar
10. Hanya orang tertentu yang boleh naik tandu. Yang diperbolehkan ikut
naik tandu hanyalah bangsawan dari beberapa daerah, relasi dan pejabat
pemerintahan, dokter dan ahli astronomi, mereka yang berusia diatas 60
tahun dan orang sakit
11. Samurai dari daerah-daerah harus hidup sederhana dan hemat
12. Daimyo harus memilih pejabat daerah yang mampu mengatur massa
13. Daimyo harus memilih pejabat daerah yang mampu mengatur
massa
Kemudian secara bergiliran dalam waktu satu tahun mereka harus bermukim
di Edo dan di han-nya bersama anak dan isterinya yang dikenal dengan peraturan
Sankin Kotai. Peraturan ini sebenarnya dimaksudkan agar bakufu lebih mudah
mengontrol para daimyo. Dengan adanya peraturan ini daimyo tidak mempunyai
kesempatan menghimpun kekuatan di daerah untuk menggulingkan pemerintahan
pusat. Diterapkannya sistem Sankin Kotai ini di satu sisi memiliki dampak yang
buruk terhadap perekonomian han sebab selama melaksanakan perjalanannya,
daimyo beserta rombongan banyak menghabiskan biaya sehingga keuangan han
menjadi terganggu. Akan tetapi di sisi lain peraturan itu berdampak positif karena
menggairahkan perdagangan khususnya di kota-kota yang dilalui oleh
rombongan.
16
Segi status daimyo ini begitu penting bagi bakufu sehingga pemerintahan
yang kurang baik serta penyalahgunaan kekuasaan oleh daimyo mengakibatkan
hukuman yang sama dengan pemberontakan dan pelanggaran sumpah setia.
Dalam kasus semacam itu, seorang daimyo dapat mengalami pengurangan luas
han yang diperolehnya, dipaksa pindah dari tanahnya ke tanah lain atau
pembubaran keluarganya sebagai unsur penguasa.
Para daimyo dibagi atas tiga golongan yaitu Shinpan Daimyo yang
merupakan keturunan langsung Tokugawa, Fudai Daimyo yaitu pengikut Ieyasu
sewaktu berkuasa di Mikawa dan Tozama Daimyo yang diangkat oleh Ieyasu
setelah perang Sekigahara (Ishii, 1988). Penempatan daimyo juga ditentukan atas
dasar kesetiannya pada bakufu. Daimyo yang paling setia di tempatkan di sekitar
Edo dan yang diragukan kesetiannya ditempatkan di wilayah yang jauh dari Edo.13
13
Rizem Aizid, Noktah Sejarah Peradaban Dunia hal 32-37
17
KESIMPULAN
Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya
sendiri tidak pernah dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan
memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan
sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul
istilah "masyarakat feodal". Karena penggunaan istilah feodalisme semakin lama
semakin berkonotasi negatif, oleh para pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap
tidak membantu memperjelas keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa
kualifikasi yang jelas.
18
Daftar Rujukan