Anda di halaman 1dari 3

F.

Sistem Hukum Thailand

Karya H.R.H. Prince Rajburi Direkrit telah melahirkan modernisasi sistem hukum, organisasi
pengadilan dan administrasi Kementerian Kehakiman Thailand, yang semuanya sangat bermanfaat
bagi dunia kehakiman, pengacara dan masyarakat secara keseluruhan. Ia wafat 7 Agustus 1920.
Untuk mengenang jasanya yang besar terhadap sistem hukum Thailand, 7 Agustus disebut "hari
Rabi" sesuai dengan nama lamanya. Setiap tahun pada hari itu, para pakar hukum dan mahasiswa
hukum me-letakkan karangan bunga di patungnya di depan Kementerian Kehakiman dan mem-
berikan penghormatan kepadanya. Ia telah dinyatakan sebagai "Pendiri Hukum Modern Thai."
Sejarah sistem hukum dan sistem peradilan Thai dapat ditelusuri kembali ke masa Sukhothai di mana
raja merupakan "Sumber Keadilan" yang memutuskan sendiri berbagai sengketa atau perkara di
antara rakyatnya. Raja saat itu bukan hanya merupakan kepala negara, tetapi juga kepala keluarga
yang memandu, menasihati dan jika perlu, mengadili. Landasan hukum Thai kuno diyakini
bersumber dari Kitab Hukum Manu, yaitu ilmu hukum atau jurisprudensi Hindu kuno. Menurut
seorang ahli hukum, Raja Ramkhamhaeng pernah memerintahkan untuk mengukir sebuah batu
prasasti yang mencatat pemberlakukan hukum. Misalnya, prasasti itu mencatat bahwa kekayaan
orang yang mati diwariskan kepada anak-anaknya atau orang yang telah bekerja pada sebidang
tanah berhak atas tanah itu. Mengenai pelaksanaan hukum, dulu ada sebuah lonceng yang
tergantung di gerbang istana dan dapat dibunyikan oleh seseorang untuk menyampaikan petisi
kepada raja. Ketika lonceng itu berbunyi, raja akan datang untuk menyelidiki perkara dan
memecahkan perkara tersebut. Pada masa Phra Nakhon Si Ayutthaya, sistem hukum Thai
dikembangkan dan diwujudkan dalam satu bentuk yang bertahan hingga akhir abad ke-19. Seperti
Kitab Manu, Dhammasattham yang diperkirakan berasal dari sumber supernatur yang
mengungkapkan kebenaran dan persamaan, ditetapkan sebagai hukum. Dhammasattham ini juga
merupakan hukum dasar kebebasan dan hak individu dalam kaitannya dengan perkara perdata dan
pidana. Konsep keadilan raja, yang dijalankan selama masa Sukhothai, juga diterap-kan hingga masa
Phra Nakhon Si Ayutthaya. Konon pada masa kekuasaan Raja U-Thong, pelaksanaan hukum
diserahkan kepada Purohita, yaitu Hulu Balang Raja. Oleh karena itu, Purohita merupakan hakim dan
pelaksana hukum. Pad a masa Raja Barom Trailokanat (144-1488), tampak jelas bahwa sistem
pengadilan telah ada dan ditempat-kan di bawah Kementerian Rumah Tangga Kerajaan. Dengan
demikian, pelaksanaan hukum dilakukan atas nama raja dan kekuasaan hukum tertinggi ada di
tangannya. Hampir 40 tahun berlalu sebelum hukum itu akhirnya direvisi, karena fakta bahwa negeri
itu terus terlibat dalam peperangan. Pada tahun 1805, Raja Rama I (1782-1806), pendiri Bangkok,
mengangkat sebuah Komisi Kerajaan untuk mengkaji hukum darat. Berbagai upaya pun dilakukan
untuk meninjau kembali seluruh hukum menurut konsep dan ajaran yang baru. Kitab Hukum 1805
yang dikenal sebagai "Hukum Tiga Stempel" ini dirancang dengan keterampilan dan kemampuan
yang ada saat itu. Kitab hukum 1111 sebenarnya merupakan pengungkapan kembali hukum perdata
dan pidana yang berlaku. Hukum ini tidak hanya memuat Dhammasattham dari masa Phra Nakhom
Si Ayutthaya, tetapi juga dekrit dan maklumat kerajaan yang ada. Selain itu, hukum ini bersifat
praktis dan bagian utamanya tetap berlaku di seluruh kerajaan selama 103 tahun. Namun, Thailand
memerlukan waktu lama untuk mencapai satu sistem hukum modern.

Pada masa kekuasaan Raja Chulalongkorn (Rama V) Rattanakosin sebelum reformasi sistem hukum
Thai, Thailand mengalami krisis sistem hukum yang sulit karen alasan-alasan berikut ini:

a. Ketidaksesuaian sistem pengadilan lama Sistem pengadilan lama telah menyebabkan masalah
tumpang tindih jurisdiksi pengadilan sehingga banyak kasus yang ditunda dan ditangguhkan.
Pengadilan terpaksa menghadapi tunggakan kasus, yang memberikan kesempatan kepada orang
yang tidak jujur untuk memanfaatkan situasi itu. Selain itu, membiarkan pengadilan tetap berada di
bawah pemerintahan telah menyebabkan para hakim tidak independen dalam menghadapi
pemerintah dan mengambil keputusan.

b. Ketidaksesuaian prosedur hukum lama. Secara formal, hukum menduga bahwa tertuduh
dinyatakan bersalah jika ia tidak dapat membuktikan ketidaksalahannya dengan menyelam dan
berjalan di atas api. Selain itu, cara tradisional untuk menyelidiki orang yang bersalah tidak tepat.
Untuk memaksa tertuduh mengaku, banyak cara keras seperti penyiksaan telah digunakan.
Hukuman juga didasarkan pada lex talionis: mata untuk mata, gigi untuk gigi. Untuk beberapa
pelanggaran, jika pelaku tidak dapat ditahan, saudara-saudara dekatnya dihukum untuk
menggantikannya. Kadang-kadang, hukuman mati diberlaku-kan kepada seluruh keluarga pelaku
(tujuh generasi) yang dianggap tidak memiliki kebajikan, kemanusiaan, dan moralitas.

c. Tekanan oleh kekuatan asing dalam sistem pengadilan. Pengadilan Thai dulu tidak mempunyai
kekuasaan independen untuk menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan orang asing.
Pengadilan tidak memiliki jurisdiksi atas orang asing di Kerajaan Thailand karena mereka tidak
mempercayai hukum Thai atau tidak bersandar pada sistem hukum Thai. Orang asing juga berpikir
bahwa pengadilan Thai tidak dapat memberikan perlakuan yang adil menurut hukum.

Menurut alasan-alasan di atas, maka pemerintah Thailand telah sepenuhnya menyadari fakta itu dan
berusaha mengatasi situasi tersebut. Namun demikian, pemecahan masalah ini masih menggunakan
cara lama, dengan mengubah beberapa bagian dan bukan seluruh sistem. Selain itu, tatkala negara-
negara Barat menguasai lebih banyak koloni di Asia dan membawa beberapa negara Asia ke dalam
jurisdiksi mereka, mereka juga terbebas dari pengadilan Thai. Hak-hak ekstrateritorial telah menjadi
satu masalah penting. Terdapat pergerakan di antara para putra mahkota dan pejabat pemerintah
yang berusaha memperbaharuhi sistem pemerintahan yang kuno dengan memberikan alasan
kekuatan-kekuatan kolonial mungkin memunculkan masalah ini dalam upaya untuk menjajah
Thailand, terutama jika negeri ini kacau dan tidak memberikan kebenaran dan keadilan dalam sistem
hukum. Pendapat para putra mahkota dan pejabat pemerintah ini masuk akaI karena sistem hukum
di Thailand pada saat itu tidak memberikan keadilan kepada masyarakat. Oleh karena itu, gagasan
untuk memperbaharuhi sistem hukum Thai telah muncul sejak BE 2428 (1885) ketika Raja Rama V
menguasakan adiknya, Krom Laung Pichitpreechakorn, untuk menampung semua pendapat ten tang
sistem pe-ngadilan. Kemudian, pangeran Sawasdisophon, adik raja, menyampaikan gagasan untuk
membentuk Kementerian Kehakiman 3 Agustus 2433 BE (1890). Akhirnya, akhir 2434 BE (1891),
pemerintah Thai mengungkapkan pembentukan Kementerian Kehakiman. Pengumuman ini
tertanggal 25 Maret 2434 BE, tetapi baru diterbitkan dalam Lembaran Negara 10 April BE (1892).
Pangeran Sawasdisophon, yang kemudian diangkat sebagai Krom Phra Sawasdivatvisit, adalah
Menteri pertama; Pangeran Krom Laung Pichitpreechakorn adalah Menteri kedua dan Pangeran
Rapipatanasak (Krom Luang Rajburi Direkrit) yang telah merombak sistem hukum Thai, adalah
Menteri ketiga (2439-2453 BE). Sebagai Menteri Kehakiman, Pengeran Rajburi Direkrit telah
memainkan peranan penting dalam membentuk sistem hukum baru. Tujuan pendirian Kementerian
Kehakiman adalah untuk membawa semua pengadilan dari berbagai Kementerian ke dalam
tanggung jawab Kementerian baru untuk memisahkan kekuasaan kehakiman dari kekuasaan
administratif/pemerintahan. Kementerian Kehakiman ini bertanggungjawab untuk memperlancar
penyidangan berbagai kasus oleh pengadilan. Para hakim tetap memiliki kekuasaan untuk membuat
keputusan tanpa campur tangan menteri. Selain menekankan kombinasi pengadilan dengan gagasan
pemisahan ke-kuasaan kehakiman dari kekuasaan administratif, Kementerian Kehakiman juga ber-
peran dalam memberikan keadilan kepada masyarakat. Perbaikan atau peningkatan dalam sumber
daya manusia, pengetahuan, kemampuan, perilaku dan tanggung jawab telah dipertimbangkan.
Prosedur pengadilan juga telah diperbaiki untuk kemudahan dan kecepatan. Selain itu,
ketidakjujuran pejabat dan hakim telah dihapuskan dan praktek penyiksaan tertuduh untuk
mengaku telah dihentikan. Perbaikan-perbaikan ini telah membuat pengadilan dapat diterima oleh
masyarakat, bahkan hingga saat ini. Saat ini, hukum telah menetapkan Kementerian Kehakiman
bertanggungjawab atas tugas administratif pengadilan, tetapi praktik hukum pengadilan, prosedur
dan pembuatan keputusan hanya ada dalam kebijakan hakim.

Anda mungkin juga menyukai