Anda di halaman 1dari 20

PERADILAN AGAMA

DI INDONESIA
Sejarah Peradilan Agama
Masa Kesultanan Nusantara
 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan melukiskan bahwa
penyelenggaran peradilan syariah Islam di Nusantara dilakukan dalam
berbagai bentuk sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat
pada saat itu.
 Perkembangan pembentukan Peradilan Agama dimulai dari bentuk
"tahkim", yakni penyerahan penyelesaian sengketa antara para pihak
kepada seorang "muhakkam" untuk memberi keputusan antara mereka
berdasarkan kesepakatan dan mereka bersepakat pula untuk menaati
keputusan muhakkam tersebut.
 Kemudian berkembang menjadi model lain yang disebut "tauliyah ahlul
halli wal 'aqdi", yakni pengangkatan oleh majelis atau kumpulan orang
terkemuka dalam masyarakat atas seseorang yang dipercaya untuk
bertindak sebagai hakim.
 Dalam periode tahkim dan periode tauliyah ahlul halli wal 'aqdi, peradilan
Agama belum mendapatkan tempat kedudukan dalam suatu sistem
ketatanegaraan karena memang belum ada pemerintahan sehingga juga
belum ada sistem ketatanegaraan.
 Dalam hal sudah ada suatu pemerintahan negara, maka penyelenggaraan
peradilan Islam menjadi tanggung jawab negara. Hakim (qadli) diangkat
oleh kepala negara. Hal ini disebut ‫وكة‬$$‫ر ذيش‬$‫ألم‬$$‫ة أ‬$‫ولي‬$$$‫( ت‬tauliyah ulil amri dzi
syaukah), yakni pelimpahan kekuasaan mengadili dari
pemerintah/penguasa yang mempunyai kekuasaan yang dimulai dari
masa tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Dari sinilah akar
ideologi tumbuhnya Peradilan Agama di Indonesia. Zaini Ahmad Noeh
mengatakan bahwa peradilan syariah Islam ini telah ada sejak sebelum
orang Portugis dan Belanda datang ke Indonesia.
Sejarah Peradilan Agama
Masa Kesultanan Nusantara
 Setelah di Nusantara berdiri kerajaan-kerajaan Islam, maka mulailah
terwujud periode tauliyah ulil amri dzu syaukah. Peradilan syariah
Islam dibentuk dan diselenggarakan oleh Pemerintah Kerajaan sebagai
Pengadilan Negara di Kerajaan. Peradilan Agama mulai mendapatkan
tempat kedudukannya yang sempurna dalam sistem ketatanegaraan
kerajaan-kerajaan Islam seperti yang berada di daerah-daerah
kesultanan Perlak, Samudera Pasai, Aceh, Malaka, Demak, Mataram,
Banten, Priangan, Cirebon, Palembang, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Selatan dan Timur, Buton, Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan, Bima,
Banjar, Kutai dan daerah-daerah lainnya, sebagai pengadilan syariah
Islam telah mendapatkan bentuknya yang positif
 Masuknya agama Islam ke Indonesia, mengubah tata
hukum di Indonesia. Hukum Islam tidak hanya
menggantikan hukum Hindu, yang berwujud dalam hukum
Pradata, tetapi juga memasukkan pengaruhnya ke dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumnya.
 Meskipun hukum asli masih menunjukkan keberadaannya,
tetapi hukum Islam telah merembes di kalangan para
penganutnya terutama hukum keluarga. Hal itu
mempengaruhi terhadap proses pembentukan dan
pengembangan Peradilan Agama Di Indonesia.
 Ini berarti bahwa pada masa itu berlaku teori penaatan
kepada hukum syariah Islam dan teori penerimaan otoritas
hukum syariah Islam.
 Dengan dianutnya Islam sebagai agama resmi negara, maka
sultan bertanggung jawab atas terselenggarakan kehidupan
beragama menurut syariah Islam bagi rakyat yang beragama
Islam, termasuk di dalam mengenai penyelenggaraan
Peradilan Agama karena Peradilan Agama yang merupakan
alat perlengkapan dalam pelaksanaan hukum syariah
Islam.
 Raja atau Sultan di Jawa memiliki tiga fungsi utama
dalam sistem ketatanegaraan Pemerintahan Pribumi
(Kerajaan), yaitu:
1. Pemerintahan umum
2. Pertahanan dan keamanan
3. Penata bidang agama.
 Tiga fungsi ini tidak lain adalah arti dari gelar Raja-raja
Mataram (Islam), baik bagi Kasunanan Surakarta maupun
Kasultanan Yogyakarta, yang saat ini masih ada. Gelar
Raja-raja Mataram, antara lain:
"Sampean Dalem Hingkang Sinuhun Senopati Hing Ngalogo
Sayidin Panutun Panotogomo Kalipatullah"
Gelar di atas berarti:

1. Sampean Dalem Hingkang Sinuhun, yang artinya kurang lebih


demikian: "Baginda Raja yang dipertuan dan ditaati" dalam fungsi
sebagai Kepala Negara dan Pemegang Pemerintahan;
2. Senopati Hing Ngalogo, yakni "Panglima Tertinggi Angkatan
Perang";
3. Sayidin Panutun Panotogomo Kalipatullah, yakni "Yang dipertuan
sebagai pengatur bidang Agama sebagai wakil Allah di muka bumi“
 Fungsi Sayidin Panu tun Panotogomo
Kalipatullah dari Raja-raja di dua Kerajaan, Solo
dan Jogja, dilakukan masing-masing oleh sebuah
Departemen yang dipimpin oleh seorang
Penghulu Ageng atau Kanjeng Pengulu, yang
dalam sistem ketatanegaraan kerajaan urutan
keprotokolannya disebut sesudah Patih, sebelum
para Bupati Nayaka, Bupati Patih Kadipaten dan
lain-lain pejabat.
 Sultan selaku Sayidin Panutun Panotogomo
Kalipatullah merupakan penanggung jawab
kehidupan beragama di kerajaan baik di bidang
ibadah maupun hukum syariah, termasuk di
dalamnya penyelenggaraan peradilan syariah
Islam. Sultan adalah penanggung jawab
terselenggaranya peradilan syariah Islam.
Bahkan Sultan adalah kepala pemerintahan dan
juga qadli atau hakim syariah di Kerajaan.
 Dengan demikian Sultan Agung (1613 - 1645) adalah qadli syariah. Sultan
adalah kepala pemerintahan dan juga qadli atau hakim syariah di Kerajaan.
Sultan bertindak sendiri sebagai Qadli (Hakim). Namun karena tidak
mungkin semua tugas qadli dilakukannya sendiri, maka Sultan selaku
Kepala Negara mendelegasikan (mentauliyahkan) kewenangannya itu
kepada pejabat di bawahnya, yaitu Penghulu Ageng di pusat pemerintahan
dan para Penghulu di daerah-daerah. Adapun tugas-tugas Penghulu di
tingkat Kabupaten pada masa itu adalah meliputi tugas-tugas untuk:
(1) Memimpin administrasi Masjid;
(2) Mengurus pendidikan agama;
(3) Lain-lain tugas bidang agama; dan
(4) Ketua (Pengadilan Surambi).
 Dalam perkembangan selanjutnya, Sultan Agung kemudian memberikan
delegasi wewenang kepada Pengadilan Surambi untuk memeriksa dan
memutus perkara tanpa harus menyerahkan kepada Sultan untuk
mendapat keputusan. Sultan mulai memisahkan antara perkara-perkara
yang cukup diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Surambi dengan
perkara-perkara yang pemeriksaannya didelegasikan kepada Pengadilan
Surambi namun keputusannya berada di tangan sultan.
 Perkara-perkara mengenai perkawinan, perceraian, warisan dan lain
sebagainya sepenuhnya didelegasikan untuk diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Surambi, tidak perlu diajukan kepada sultan untuk
diputuskan.
 Sedang untuk perkara-perkara lainnya, setelah diperiksa oleh
penghulu di Pengadilan Surambi, tetap harus diajukan
kepada sultan untuk diputuskan oleh sultan. Perkara-perkara
lain tersebut adalah perkara-perkara mengenai keamanan
negara, keamanan dan ketertiban umum, penganiayaan,
perampokan, dan pencurian menjadi wewenang Sultan.
Untuk perkara-perkara tersebut, setelah diperiksa dan
disimpulkan keputusannya oleh Pengadilan Surambi,
diserahkan kepada Sultan dan Sultanlah yang akan
memberikan keputusan akhir. Dalam sejarahnya, Sultan
selalu memutus perkara sesuai dengan keputusan (pendapat)
Pengadilan Surambi tersebut.
 Dengan melihat praktik peradilan di Kerajaan Islam
Mataram tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
peradilan syariah Islam sudah dilakukan di Kerajaan
Mataram sebagai pengadilan negara sehari-hari yang
meliputi semua jenis perkara. Kedudukan Sultan sebagai
Kepala Negara juga sekaligus sebagai Qadli Peradilan
Syari'ah Islam.
 Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan, kelembagaan,
dan kompetensi Peradilan Agama sebagai Pengadilan
Negara dalam sistem ketatanegaraan Kesultanan telah
cukup memadai. Hal ini karena:
1. Dari aspek status, Peradilan syariah Islam baik dengan sebutannya
sebagai Pengadilan Sultan maupun Pengadilan Surambi merupakan lembaga
resmi negara yang dibentuk dan diselenggarakan oleh negara dalam sistem dan
organisasi ketatanegaraan yang berkedudukan langsung di tangan Sultan di mana
Sultan sendiri langsung bertindak sebagai Qadli atau
Hakim, atau didelegasikan kepada Penghulu yang bertindak atas nama Sultan;
2. Dari aspek peran yang diberikan dan dapat dimainkan olehnya sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman di Kerajaan, maka Pengadilan Surambi telah dapat
menjalankan peran dan fungsinya sebagai Pengadilan Negara dan sekaligus sebagai
Pengadilan Syari'ah Islam yang handal dan seutuhnya;
3. Dari aspek pengakuan terhadapnya sebagai lembaga kenegaraan baik secara
yuridis, praktis, maupun etis dalam kehidupan ketatanegaraan, maka peradilan
syariah Islam telah diakui dan dihormati sebagai salah satu unsur penyelenggara
negara di Kerajaan.
Kraton, Alon-Alon, dan Masjid Agung merupakan lambang sistem ketatanegaraan
Kerajaan yang membentuk "trilogi sistem ketatanegaraan " yang dilukiskan sebagai
berikut:
(1) Raja (Sultan) adalah Kepala Negara/Kepala Pemerintahan dan Panglima
Tertinggi Angkatan Perang, yang dilambangkan dengan Keraton/Istana.
(2) Patih adalah Kepala Staf dan Perdana Menteri. Bupati dan Patih di daerah adalah
Panglima Teritorial dan Kepala Stafnya. Di samping itu, masih dikenal jabatan
Penewu, yang berarti komandan dari seribu orang prajurit, dan di antara Lurah di
suatu wilayah tertentu ada yang disebut Lurah Penatus, yakni Lurah yang
menjadi komandan dari seratus prajurit, yang dilambangkan dengan Alon-alon.
(3) Penghulu Ageng sebagai Pejabat Agama yang bertugas mengelola pelaksanaan
kehidupan beragama di Kerajaan, termasuk di dalamnya soal peradilan, yang
dilambangkan dengan Masjid Agung atau Mesjid Gedhe.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram (1613-
1645), Pengadilan Pradata menjadi Pengadilan Surambi yang
dilaksanakan di serambi mesjid. Pemimpin pengadilan,
meskipun prinsipnya masih tetap di tangan sultan, telah
beralih ke tangan penghulu yang didampingi beberapa orang
ulama dan lingkungan pesantren sebagai anggota majelis.
Keputusan Pengadilan Surambi berfungsi sebagai nasihat bagi
Sultan dalam mengambil keputusan. Dan Sultan, tidak pernah
mengambil keputusan yang bertentangan dengan nasihat
Pengadilan Surambi.
Keadaan ini tidak terlepas dari kedudukan Sultan sebagai
Sayidin Panuntun Panotogomo Kalipatullah. Politik hukum ini
dijalankan di semua kerajaan Islam di Nusantara, baik di Jawa
dan Madura maupun di luar Jawa dan Madura. Sultan
Hamengku Buwono X mengatakan bahwa cikal bakal di
Yogyakarta, dapat ditelusuri dari keberadaan lembaga
peradilan Surambi yang saat itu sudah ada sejak zaman Sultan
Agung. Secara organisatoris, struktur organisasi peradilan
surambi diketuai oleh seorang penghulu hakim dengan dibantu
empat orang ulama, yang dinamakan pathok nagari yang
diangkat dengan serat kekancingan dalem.
Keadaan serupa juga terjadi di Kerajaan Banjar Islam yang
berdiri pada 24 September 1526 dengan dinobatkannya
Sultan Suriansyah sebagai Sultan Banjar Pertama
merupakan titik awal berkembangnya Agama Islam di
Kalimantan Selatan. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
(1710-1812) sepulang dari Tanah Suci Makkah
mengadakan lembaga "Mufti" dan "Qadhi" dalam struktur
Kerajaan Banjar. Keadaan ini berlangsung terus sampai
dibubarkannya Kerajaan Banjar oleh Pemerintah Penjajah
Belanda pada Tahun 1860.
PENTING YANG HARUS DILAKUKAN MAHASISWA:
Untuk selanjutnya, bagaimana keadaan Peradilan Islam di beberapa
kerajaan seperti Perlak, Samudera Pasai, Aceh, Malaka, Demak,
Mataram, Banten, Priangan, Cirebon, Palembang, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan dan Timur, Buton, Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan,
Bima, Banjar, Kutai, dan lain sebagainya, para mahasiswa harus
membaca buku-buku tentang sejarah PA di beberapa
kesultanan/kerajaan di Nusantara.

Anda mungkin juga menyukai