Anda di halaman 1dari 5

.

Peradilan di Masa Samudera Pasai

Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke 13/14 M yang di mulai di kerajaan Samudera Pasai. Penyiaran
Islam ini di bawa oleh para pedagang-pedagang dari Hadramaut dan Gujarat India dan sebagian kecil
dari orang-orang Persia. Perkembangan Islam pada masa ini lebih dominan di daerah-daerah pesisir
pantai yang lebih dekat dengan pelabuhan sedangkan di daerah-daerah pedalaman Islam lebih sedikit
karena terbatasnya transportasi pada saat itu.

Kerajaan ini adalah salah satu kerajaan Islam yang menerapkan hukum pidana Islam.

Menurut Hamka, dari Pasailah dikembangkan faham Syafi’i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di
Indonesia, bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka
datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka
jumpai dalam masyarakat.

Pelaksanaan hukum Islam menyatu dengan pengadilan dan diselenggarakan secara berjenjang. Tingkat
pertama dilaksanakan oleh pengadilan tingkat kampung yang dipimpin oleh keuchik. Pengadilan itu
hanya menangani perkara-perkara ringan sedangkan pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan
banding kepada ulee balang (pengadilan tingkat kedua). Selanjutnya dapat di lakukan banding kepada
Sultan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung yang keanggotaannya terdiri atas Malikul
Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara, dan Faqih (ulama).

Pelaksanaan hukum pidana Islam telah dilaksanakan dikerajaan ini, seperti pelaksanaan hukuman rajam
untuk Meurah Pupoek, seorang anak raja yang terbukti melakukan zina. Pelaksanaan hukum Islam pada
kerajaan ini tidak mengenal jabatan atau golongan, mulai dari keluarga kerajaan sampai rakyat biasa
apabila terbukti melanggar hukum Islam pasti akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya.[3]

Jika dilihat sepintas, peradilan di Samudera Pasai ini memiliki hierarki seperti peradilan di saat ini,
disana ada peradilan tingkat pertama (keuchik), tingkat kedua (ulee balang), dan tingkat akhir (MA).
Meski tidak sekompleks sekarang ini dimana peradilan mencakup ruang lingkup masing-masing seperti
pengadilan militer, pengadilan TU, pengadilan umum, dan pengadilan tinggi. Tetapi peradilan di masa
Kesultanan Samudera Pasai ini telah menjadi embrio peradilan Islam di Indonesia.

B. Peradilan Islam di Mataram

Saat diperintah oleh Sultan Agung, peradilan Negara disebut peradilan pradata, yang dipimpin oleh raja.
Pradata sendiri berarti pradatan, yaitu tempat yang terpisah dari serambi masjid. Pradata dilaksanakan
di pendhopo. Pradata ini mengatur perkara publik dan privat. Pradata juga berkembang menjadi
peradilan surambi yaitu memasukkan unsur-unsur dari hukum Islam. Surambi dipimpin oleh penghulu
dan dibantu oleh alim ulama sebagai anggota majelis (lihat di buku Oyo Sunaryo Mukhlas, dalam
“Perkembangan Peradilan Islam” hal 125).

Surambi memberikan ruang penyelesaian perkara Adat Jawa. Selain itu juga diberikan ruang untuk para
alim ulama dalam memberikan nasehat kepada Sultan. Di masa Kesultanan Mataram ini telah dikenal
istilah perdata dan pidana, jika dibandingkan dengan Kesultanan Samudera Pasai, Kesultanan Mataram
ini jauh lebih spesifik dan mampu mengakomodasi hukum adat setempat, yakni adat Jawa.

C. Peradilan di Priangan

Priangan, khususnya di Kesultanan Cirebon juga memiliki peradilan, yaitu peradilan agama, drigama, dan
cilaga yang berkewenangan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Peradilan agama adalah peradilan
yang mengusut tuntas perkara agama dengan berdasarkan hukum adat. Sementara peradilan cilaga,
adalah peradilan khusus niaga/ dagang. Jika dibandingkan dengan peradilan Di masa Samudera Pasai
dan Mataram, maka peradilan di Cirebon ini telah sempurna, dilihat dengan adanya peradilan ekonomi
yaitu cilaga, dan peradilan agama. Mungkin hal inilah yang menjadi rujukan bagi sarjana hukum dalam
merumuskan system peradilan di jaman kini.

Ketegasan hakim dinilai sebagai posisi sentral dalam menentukan nasib para pihak yang berselisih. Maka
sebagai calon hakim, perlu memenuhi persyaratan ketat yang ditentukan dalam panca Dharma hakim,
sebagai berikut:

· Kartika, dengan dilambangkan sebagai bintang. Artinya hakim harus bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Seorang hakim bertanggung jawab dalam memutuskan perkara dan kepada Tuhannya.

· Cakra, dilambangkan sebagai senjata dewa, cakra. Artinya, hakim harus membasmi kezaliman. Ia
harus berpihak pada kebenaran.

· Candra, dilambangkan sebagai bulan. Artinya, hakim harus arif, berwibawa, dan bijaksana dalam
memutuskan perkara.

· Sari, dilambangkan sebagai bunga. Artinya hakim harus dapat dicontoh, baik saat memutuskan
perkara ataupun di luar kantor.

· Tirta, dilambangkan sebagai air. Artinya, hakim harus bersih dari gratifikasi.

Sistem pengadilan di Cirebon dilaksanakan oleh tujuh orang Menteri yang mewakili tiga Sultan, yaitu
Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon. Segala acara yang menjadi sidang itu diputuskan
menurut Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adilullah.[4]

D. Peradilan di Banten

Pengadilan Islam di Banten dipimpin oleh seorang qadhi sebagai pemutus perkara tunggal. Dalam hal ini
tidak dijelaskan secara gambling bagaimana bentuk peradilan di masa itu, akan tetapi dapat dilihat
bahwa peran qadhi disini sangatlah vital dalam memutuskan perkara. Hal ini sama seperti di jaman
Khalifah Abu Bakar dimana hukum diserahkan pada qadhi tunggal.
Di banten inilah Islam memang sudah masuk sejak dulu. Meskipun hampir bersamaan memeluk agama
Islam dengan Cirebon, tetapi Cirebon masih terikat dengan norma-norma hukum dan adat kebiasaan
Jawa-kuno. Ini nampak dari perbedaan dalam tata peradilan di kedua kesultanan itu. Pengadilan di
Banten disusun menurut pengertian Islam. jika sebelum tahun 1600 pernah ada bentukan-bentukan
pengadilan yang berdasarkan pada hukum Hindu. Namun saat Sultan Hasanudin memegang kekuasaan,
sudah tidak ada lagi bekas dari hukum hindu. Di abad ke-17 di Banten hanya ada satu macam
pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh Kadhi sebagai hakim seorang diri. Namun ada satu hukum /
peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh hukum Hindu, bahwa hukuman mati yang
dijatuhkan oleh Kadhi, masih memerlukan pengesahan dari Raja. [5]

Maka dapat disimpulkan bahwa meskipun qadhi adalah pemutus perkara tunggal, tetapi masih ada
peran eksekutif dari sang raja yaitu berbentuk pengesahan.

E. Peradilan di Sulawesi (Gowwa-Tallo)

Tidak banyak sumber yang menyebutkan sejarah peradilan Islam di Kerajaan Sulawesi. Mungkin
kerajaan Gowwa Tallo dapat menjadi sampel dalam hal menjelaskannya.

Melalui jalur sruktural, atau melalui sentuhan politis, Islam masuk dan membangun pranata sosial di
wilayah kesultanan. Pada masa Sultan Malikus Said, dibentuklah parewa Syara’ (pejabat agama)
sederajat dengan parewa adek (pejabat adat). Parewa Syara’ ini dipimpin oleh seorang qadhi. Secara
jalur kultural, Islam memberikan sumbangan pemikiran bahwa pembentukan kampung harus terdapat
langgar dan imam.[6]

Maka peran qadhi disini sangatlah kuat dalam pemutusan perkara dan menduduki posisi penting dalam
administrasi kerajaan waktu itu.

F. Peradilan di Banjar (Kalimantan Selatan)

Kehidupan keagamaan diwujudkan dengan adanya mufti-mufti dan qadhi-qadhi, ialah hakim serta
penasehat kerajaan dalam bidang agama. Dalam tugas mereka, terutama adalah menangani masalah-
masalah berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum perkawinan. Demikian pula Qadhi, di samping
menangani masalah-masalah hukum privat, teristimewa juga menyelesaikan perkara-perkara pidana
atau dikenal dengan Had. Tercatat dalam sejarah Banjar, diberlakukannya hukum bunuh terhadap orang
Islam yang murtad, hukum potong tangan untuk mencuri, dan mendera siapa saja yang kedapatan
melakukan zina. Bahkan dalam tatanan hukum kerajaan Banjar telah dikodifikasikan dalam bentuk
sederhana, aturan-aturan hukum yang sepenuhnya berorientasi kepada hukum Islam, kodifikasi itu
dikenal kemudian dengan Undang-Undang Sultan Adam.

Pada akhirnya kedudukan Sultan di Banjar bukan hanya sebagai pemegang kekuasaan dalam kerajaan,
tetapi lebih jauh diakui sebagai ‘Ulul Amri kaum muslimin di seluruh kerajaan.[7]
Artinya, di kesultanan Banjar sudah diatur bagaimana mengatasi masalah perdata dan pidana. Sehingga
dengan adanya agama Islam, maka pengaruh hukum Islam sangatlah besar dalam merumuskan hokum
di kesultanan Banjar. Selain kesultanan yang bersifat toleran terhadap peran Islam, mereka juga sangat
terbuka dan mampu beradaptasi dengan baik.

IV. Kesimpulan dan Penutup

1. Struktur Peradilan di kerajaan Samudera Pasai adalah Tingkat pertama dilaksanakan oleh
pengadilan tingkat kampung yang dipimpin oleh keuchik. Pengadilan itu hanya menangani perkara-
perkara ringan sedangkan pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan banding kepada ulee balang
(pengadilan tingkat kedua). Selanjutnya dapat di lakukan banding kepada Sultan yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sementara di kerajaan Mataram, strukturnya ialah Pradata ini
mengatur perkara publik dan privat. Pradata juga berkembang menjadi peradilan surambi yaitu
memasukkan unsur-unsur dari hukum Islam. Surambi dipimpin oleh penghulu dan dibantu oleh alim
ulama sebagai anggota majelis.

2. Kerajaan Cirebon memiliki Peradilan agama, yaitu peradilan yang mengusut tuntas perkara agama
dengan berdasarkan hukum adat dan peradilan cilaga, yaitu peradilan khusus niaga/ dagang .
Kesultanan Banten, memiliki satu macam pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh Kadhi sebagai hakim
seorang diri. Namun ada satu hukum / peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh hukum
Hindu, bahwa hukuman mati yang dijatuhkan oleh Kadhi, masih memerlukan pengesahan dari Raja.

3. Kerajaan Banjar, memiliki sistem peradilan yang menangani masalah-masalah berkenaan dengan
hukum keluarga dan hukum perkawinan. Demikian pula Qadhi, di samping menangani masalah-masalah
hukum privat, teristimewa juga menyelesaikan perkara-perkara pidana, sementara Kerajaan Gowwa-
Tallo, dibentuk parewa Syara’ (pejabat agama) sederajat dengan parewa adek (pejabat adat). Parewa
Syara’ ini dipimpin oleh seorang qadhi. Prosedur peradilannya sama persis dengan peradilan Islam pada
umumnya.

4. Pengaruh agama dalam sistem peradilan Islam di masa Kesultanan adalah sangat kuat, dengan
berbaur bersama hukum adat setempat.

Alhamdulillah, demikian paper ini saya buat. Tentunya masih banyak kekurangan, maka dengan lapang
hati, penyusun mengharapkan saran dan kritik dari Bapak Dosen Pengampu dan teman-teman pembaca.
Atas perhatiannya, saya ucapkan banyak terimakasih.
V. Daftar Pustaka

· Mukhlas, Oyo Sunaryo. 2011. “Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah Arab ke
Peradilan Agama di Indonesia.” Bogor: Ghalia Indonesia.

· http://www.

[1] Abdul Halim, “Politik Hukum Islam Indonesia.” (Ciputat Press: 2005) hlm. 48

[2] Oyo Sunaryo Mukhlas, “Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan Agama
di Indonesia”, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) hlm.119

[3] http://www.

[4] http://

[5] http://

[6] Oyo Sunaryo Mukhlas, “Perkembangan Peradilan Islam dari kahin di jazirah Arab ke Peradilan Agama
di Indonesia” (Bogor:Ghalia Indonesia:2011) halaman 130.

Anda mungkin juga menyukai