Anda di halaman 1dari 14

PERADILAN ISLAM PADA MASA

KESULTANAN
Proses masuknya Islam ke Nusantara

• Islam masuk ke nusantara melalui dua jalur:


jalur kultural dan jalur struktural
• Jalur kultural: Islam disebarkan melalui
perdagangan, perkawinan, pendidikan,
kesenian,dsb
• Jalur struktural: Islam disebarkan melalui jalur
kekuasaan sebuah kerajaan
Latar Belakang Islam Berkembang Pesat
di Nusantara
• Corak keyakinan yang ada dalam Islam sebagai
agama baru tidak jauh berbeda dengan corak
keyakinan agama mereka sebelumnya
• Islam tidak mengenal kasta, dalam konsep Islam
semua manusia sama yang membedakan satu
dengan yang lainnya hanya taqwa
• Islam disebarkan secara damai dan persuasip
• Islam tidak menghilangkan kebudayaan yang
sudah ada tetapi Islam disisipkan kedalamnya
Tahapan Pembentukan Peradilan dalam
Islam
Apabila Islam sudah diterima, maka tidak ada hukum lain selain hukum Islam
sebagai satu-satunya sistem hukum yang berlaku. Dengan munculnya
komunitas-komunitas masyarakat muslim, maka kebutuhan akan lembaga
peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam semakin diperlukan.
Hal ini terlihat dari proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan
hukum Islam tersebut sebagaimana berikut ini:
• Tahap tahkim; tahap ini dimana masyarakat muslim baru sedikit. Dalam tahap
ini penyelesaian perkara yang muncul dalam masyarakat muslim diseslesaikan
dengan cara mempercayakan perkara tersebut kepada seseorang yang
ditokohkan untuk diselesaikan
• Tahap melalui ahl al-hall wal al-aqd; tahap ini dimana komunitas muslim
sudah relatip banyak dan sudah mampu mengatur tata kehidupannya sendiri
tetapi belum memiliki kekuasaan. Dalam tahap ini, hakim diangkat oleh ahl
al-hall wal al-aqdi yaitu oleh perwakilan dari komunitas muslim tersebut
• Tahap tauliyah; tahap ini peradilan dibentuk melalui pelimpahan wewenang
dari penguasa artinya peradilan dibentuk oleh penguasa dan hakim-hakimnya
diangkat oleh penguasa. Tahap ini berarti peradilan dibentuk ketika komunitas
muslim sudah mempunyai kekuatan politik (sudah memiliki kekuasaan)
Peradilan Pada Masa Kesultanan
• Kriteria peradilan pada masa kesultanan:
1. Pada masa ini pembentukan Peradilan Islam sudah masuk
periode tauliyah (delegation of authority) yaitu
pelimpahan wewenang dari raja/kepala negara
2. Peradilan Islam pada masa kesultanan/kerajaan Islam
merupakan bagian dari struktur kerajaan dan juga
merupakan bagian dari mekanisme penyelenggaraan
kerajaan
3. Majemuk/beragam, artinya tidak sama antara satu kerajaan
dengan kerajaan lainnya. Kemajemukan ini terlihat dari
segi nama/penyebutannya secara resmi, segi strukturnya,
kewenangannya, dan sumber hukumnya
4. Kedudukannya hanya sebagai penasehat bagi raja/sultan
Contoh Profil Peradilan dibeberapa
Kesultanan/Kerajaan Islam
A.Peradilan di Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram memiliki peranan besar dalam penyebaran
Islam di nusantara, pada abad ke-17 M penyebaran Islam hampir
meliputi sebagian wilayah Indonesia, dibawah Sultan Agung Islam
merupakan agama resmi negara.
Sultan Agung (raja pertama Mataram) tidak merombak
peradilan yang sudah ada (peradilan pradata) atau membuat
peradilan khusus menurut hukum Islam. Sultan Agung tidak
memakai cara konfrontatif tetapi justru integratif dan
komplementatif terhadap hukum dan peradilan yang telah ada.
Pada perkembangan berikutnya peradilan pradata namanya
dirubah menjadi peradilan surambi karena persidangan dilakukan
diserambi masjid agung kerajaan Mataram tidak lagi di Stinggil.
Peradilann surambi dipimpin oleh seorang penghulu dibantu oleh beberapa
orang ulama sebagai anggota majlis.
Kewenangan peradilan surambi sama seperti kewenangan pada peradilan
pradata dulu yaitu menangani perkara-perkara yang menjadi urusan raja(masalah
perpajakan (upeti), pemberontakan-pemberontakan yang membahayakan
mahkota kerajaan, perampokan, pelanggaran keamanan dan ketertiban umum
dsb) kejahatan-kejahatan seperti ini dalam peradilan surambi disebut qishash.
Sedangkan perkara yang asalnya menjadi kewenangan peradilan padu cukup
ditangani oleh penghulu yang bertugas memeriksa perkara di peradilan surambi
tanpa harus dibawa ke pengadilan raja walaupun penghulunya itu-itu juga.
Sumber hukum peradilan surambi sebagian besar berasal dari ajaran Islam
kecuali untuk hukum-hukum proses masih ada pengaruh dari peradilan
sebelumnya (peradilan pradata yang berasal dari ajaran Hindu).
Walaupun peradilan surambi ini dibentuk oleh kerajaan dan menjadi bagian
dari struktur kerajaan, tapi pada kenyataannya Kedudukan peradilan Surambi
dikerajaan Mataram hanya sebagai penasehat bagi raja dalam mengambil
keputusan.
B. Kerajaan Cirebon
Di Cirebon terdapat tiga macam peradilan yaitu Peradilan Agama,
Peradailan Darigama dan Peradilan Cilaga. Peradilan Agama mengadili perkara
atas dasar hukum Islam dan berpedoman kepada rukun-rukun yang ditetapkan
oleh para penghulu. Peradilan Drigama mengadili perkara-perakara yang tidak
termasuk wewenang Peradilan Agama, peradilan ini bekerja dengan
menggunakan hukum Jawa Kuno yang disesuaikan dengan hukum adat
setempat. Pengadilan Cilaga adalah semacam pengadilan wasit yang khusus
untuk orang-orang berniaga. Perkara yang masuk golongan ini diselesaikan
oleh suatu badan yang berasal dari beberapa utusan dari kaum berniaga.
Sistem peradilan di kerajaan Cirebon dilaksanakan oleh tujuh orang menteri
yang mewakili tiga sultan yaitu sultan sepuh, sultan anom dan panembahan
Cirebon. Segala acara yang menjadi sidang mentri itu diputuskan menurut
undang-undang Jawa. Kitab hukum yang digunakan adalah Papakem Cirebon
yang merupakan kumpulan hukum-hukum Jawa kuno (hukum raja niscaya,
undang-undang mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan adilulah).
Kedalam papakem Cirebon ini sudah masuk pengaruh ajaran Islam.
Oleh karena kerajaan Cirebon merupakan bagian dari kerajaan Mataram,
maka pada prinsipnya peradilan dikerajaan ini diatur menurut sistem
peradilan di Mataram, dan oleh karena kerajaan Cirebon merupakan taklukan
dari kerajaan Mataram, maka kerajaan Cirebon dibiarkan tetap menjalankan
pemerintahannya dan menjalankan peradilan yang menangani perkara yang
menjadi kewenangan padu yaitu hanya menyangkut masalah-maslah
perseorangn sedangkan untuk perkara-perkara kejahatan (qishash) harus
dikirim ke Mataram. Akan tetapi karena Mataram jauh dari Cirebon dan
Cirebon selalu tepat dalam pembayaran upeti sehingga Mataram merasa tidak
ada masalah dengan daerah taklukannya Karena terkadang mereka merasa
cukup hanya dengan pembayaran upeti saja yang tepat tiap waktunya,
ketepatan membayar upeti menunjukan sebuah kesetiaan terhadap
pemerintahan Mataram. Jadi mataram jarang sekali memantau dan
memperhatikan bahkan mengawasi daerah taklukannya. Oleh karena itu
daerah-daerah taklukannya dapat berbuat sekehehndaknya seperti belum
ditaklukkan. Akibatnya banyak perkara-perkara kejahatan yang diselesaikan
di Cirebon tanpa dikirim ke Mataram, sehingga yang menjadi kewenangan
peradilan agama di Cirebon mejadi sama dengan kewenangan peradilan di
Mataram.
C. Kerajaan banten
Peradilan Islam di Banten disusun menurut pengertian
Islam kecuali pada akhir abad ke-16 ada bentukkan
peradilan yang berdasar pada hukum Hindu karena masih
berada dibawah kekuasaan Pakuan Padjajaran.
Pada masa Sultan Hasanuddin yaitu pada abad ke-17
pengaruh Hindu sudah banyak ditinggalkan karena di
Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh
Qadhi sebagai hakim tunggal. Mengenai sistem dan
kewenangannya sama seperti di Cirebon karena kerajaan
banten ini merupakan kerajaan yang berada dibawah
kekuasaan Mataram.
D. Peradilan Islam di Kerajaan Aceh
Di Aceh pelaksanaan peradilan menyatu dengan hukum Islam
dan diselenggarakan secara berjenjang. Tingkat pertama
dilaksanakan oleh pengadilan tingkat kampung yang dipimpin
oleh keucik. Pengadilan ini hanya menangani perkara-perkara
ringan sedangkan untuk perkara berat diselenggarakan oleh balai
hukum mukim. Apabila ada pihak yang merasa tidak puas dengan
putusan tingkat pertama dapat mengajukan ke uleebalang
(pengadilan tingkat kedua) kemudian dapat diajukan banding ke
panglima sagi selanjutnya dapat diajukan banding kepada sultan
yang pelaksanaannya dilakukan oleh mahkamah agung yang
keanggotaanya terdiri dari malikul adil, orang kaya sri paduka
tuan, orang kaya raja baddara dan fakih (ulama).
Kewenangan peradilan Islam di Aceh disamping menangani
perkara perkawinan dan kewarisan juga menangani perkara pidana
E. Peradilan Islam di Palembang
Di Palembang peradilan Islam dipimpin oleh
Pangeran penghulu, ia merupakan bagian dari
struktur kerajaan disamping pengadilan
syahbandar dan pengadilan Patih. Di peradilan
Islam perkara diputus dengan menggunakan
hukum Islam yang bersumber dari al-Quran dan
Hadis, sedangkan di pengadilan patih perkara
diputus dengan berpedoman kepada hukum adat.
F. Peradilan di Sulawesi dan Kalimantan
Di Sulawesi dan Kalimantan, peradilan Islam diangkat oleh
penguasa setempat. Di Sulawesi kerajaan-kerajaan Bugis yang
kuat seperti Bone, Wajo, Sopeng dan Sidendreng masuk Islam atas
ajakan kerajaan Goa dan Tallo. Setelah resmi menerima Islam
maka mereka menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan
mereka. Didalam pemerintahan ditempatkanlah parewa syara
(pejabat syari’at) yang kedudukannya sama dengan parewa adek
(pejabat adat) yang sebelum datangnya Islam telah ada. Parewa
syara dipimpin oleh seorang qadhi yaitu pejabat tinggi dibidang
hukum Islam yang berkedudukan dipusat kerajaan. Disetiap paleli
(onderadeling) diangkat bawahan yang disebut imam dibantu oleh
seorang khatib dan bilal. Sebelumnya Raja Goa sendirilah yang
bertindak sebagai hakim agama Islam di kerajaan sekaligus sebagi
pelindung masyarakat di kerajaan. Adapun untuk di Kalimantan
nama peradilan ini adalah kerapatan qadhi
Peradilan pada masa kesultanan ini walaupun beragam antara satu
kesultanan dengan kesultanan yang lain tetapi secara prinsip
memiliki kesamaan yaitu sebagai bagian dari struktur kerajaan,
sebagai penasehat bagi raja/sultan dan menggunakan hukum Islam
sebagai sumber utamanya.
Adapun faktor penyebab keberagaman tersebut antara lain
dikarenakan:
1. Metode islamisasi yang bersipat persuasip dan disisipkan kedalam
kebudayaan yang sudah ada
2. Adanya integrasi norma-norma Islam dengan adat kebiasaan
setempat yang begitu beragam antara satu daerah dengan daerah
lain
3. Karena kebijakan penguasa/sultan (raja) sebagai pemegang
otoritas kekuasaan tidaklah sama antara satu kesultanan dengan
kesultanan yang lain

Anda mungkin juga menyukai