Anda di halaman 1dari 50

PENUNTUN

PRAKTIKUM

BAHAN PAKAN DAN FORMULASI RANSUM


ANTINUTRISI PADA BAHAN PAKAN

Disusun Oleh:
Dr. Ir. YUNILAS, M.P

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SEPTEMBER, 2022


PRAKATA

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmad
dan hidayah-Nya penulis telah dapat menyelesaikan buku Penuntun Praktikum
Bahan Pakan dan Formulasi Ransum dengan pokok bahasan Antinutrisi Pada
Bahan Pakan sebagai penuntun dalam pelaksanaan praktikum pada Program Studi
Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Buku penuntun praktikum ini dibuat sedemikian rupa untuk memudahkan
mahasiswa memahami keberadaan zat antinutrisi pada bahan pakan serta
mahasiswa mampu menganalisis zat antinutrisi yang ada pada bahan pakan.
Selain membaca buku modul praktikum ini, mahasiswa diharapkan mencari buku-
buku penunjang lain yang berhubungan dengan materi yang di praktikumkan
sebagai sumber literatur.
Penulis menyadari buku modul praktikum ini, masih banyak kekurangan,
oleh karena itu kritik dan saran demi penyempurnaan buku modul praktikum ini
dimasa yang akan mendatang sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan
terima kasih, semoga Allah SWT selalu memberi taufik dan hidayah-Nya kepada
kita semua..Aamiin!

Medan, September 2022

Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
TATA TERTIB PRAKTIKUM
PROSEDUR PEMINJAMAN ALAT

Bab 1 Pendahuluan ……………………………………………………………..1


Bab 2 Tanin Pada Bahan Pakan………………...…………………….…………3
Bab 3 Alkaloid Pada Bahan Pakan…………………….………………..……..12
Bab 4 Saponin Pada Bahan Pakan………………………………………..…....16
Bab 5 Asam Sianida Pada Bahan Pakan…………………………………….....25
Bab 6 Asam Fitat Pada Bahan Pakan…………………………………….……30
Bab 7 Kalsium Oksalat Pada Bahan Pakan………………………..…………..35

DAFTAR PUSTAKA…………………..……………………….………….….41
LAMPIRAN…………………………………………………………...…….....43


TATA TERTIB PRAKTIKUM

1 Praktikan wajib mengenakan jas laboratorium.


2 Praktikan wajib hadir 10 menit sebelum praktikum dimulai.
3 Praktikan harus mengikuti semua rangkaian kegiatan praktikum.
4 Praktikan wajib membawa buku penuntun praktikum dan penunjang
praktikum seperti tisu, kain lap, sarung tangan, masker, dan sebagainya.
5 Praktikan dan asisten wajib menguasai materi praktikum yang akan
dilakukan.
6 Kegiatan praktikum diawali dengan kegiatan asistensi yang dipimpin oleh
asisten.
7 Praktikan harus mentaati jadwal praktikum yang telah disusun oleh dosen
pengampu praktikum.
8 Praktikan yang tidak mengikuti praktikum selama 3 (tiga) kali tanpa alasan
yang dibenarkan tidak boleh mengikuti praktikum selanjutnya dan
dianggap mengundurkan diri dari praktikum.
9 Bentuk, susunan dan kekhususan pada setiap aspek penilaian dan
penentuan nilai akhir menjadi wewenang dosen pengampu praktikum.
10 Praktikan wajib menyerahkan laporan resmi praktikum sebelumnya
apabila akan mengikuti praktikum berikutnya.
11 Praktikan yang karena sesuatu hal tidak dapat mengikuti praktikum sesuai
dengan jadwal yang telah ditetapkan dapat mengajukan praktikum inhall.
12 Penilaian akhir praktikum menggunakan skala angka 0-100 yang meliputi
aspek:
§ Pretest (15 %)
§ Pelaksanaan praktikum (35 %)
§ Responsi (15 %)
§ Laporan resmi (35 %)


PROSEDUR PEMINJAMAN ALAT

1 Penggunaan laboratorium untuk praktikum harus mendapat ijin dari


Kepala Laboratorium
2 Pengguna laboratorium untuk kegiatan praktikum/penelitian, harus
mengisi log book daftar praktikum/peneliti dan daftar pemakaian alat.
3 Penggunaan alat untuk kegiatan praktikum dicatat pada masing-masing
buku/log book yang telah disediakan.
4 Pengguna fasilitas harus memahami biosafety dan menyerahkan prosedur
kerja termasuk alat-alat yang akan digunakan.
5 Memahami prosedur kerja alat/instrumen yang akan digunakan dengan
mendapat bimbingan Kepala Laboratorium/Laboran.
6 Dilarang memindahkan alat dari posisi yang telah ditentukan. Pemindahan
alat dapat dilakukan dengan sepengetahuan Kepala Laboratonium.
7 Kerusakan alat, baik karena kesalahan tata kerja atau karena sebab-sebab
lain, pengguna fasilitas harus segera melaporkan kepada Kepala
Laboratorium atau yang bertanggungjawab. Biaya Penggantian/perbaikan
karena kesalahan pemakaian sepenuhnya dibebankan kepada pengguna.
8 Selesai menggunakan alat, dilakukan pengecekan kelengkapan alat dan
accessories alat terkait, serta membersihkan dan mengembalikannya ke
tempat semula.
9 Penggunaan fasilitas laboratorium dalam pengawasan pengelola/laboran.
10 Penggunaan di luar ketentuan tersebut harus mendapat ijin persetujuan
dari Kepala Laboratorium dan mematuhi ketentuan dan aturan yang telah
ditentukan.
11 Pengguna fasilitas harus bertanggung jawab atas kebersihan, kerapian dan
keselamatan tempat kerja yang digunakan di dalam laboratonium.
12 Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pengguna dilarang
menggunakan alat-alat selain yang dibutuhkan.
13 Pengguna fasilitas tidak diperkenankan menyertakan orang lain yang tidak
dimintakan ijin untuk ikut bekerja atau menunggu di ruang laboratonium.
14 Setelah menyelesaikan bekerja, semua peralatan yang dipakai


dikembalikan ke laboran, dalam keadaan baik dan bersih, membersihkan
tempat kerja, meletakkan barang-barang yang tidak diperlukan lagi pada
tempat-tempat penyimpanan, baik itu dari freezer, kulkas, ataupun lemari
bahan.
15 Bagi para pengguna fasilitas Laboratorium Mikrobiologi yang melanggar
peraturan/tata tertib yang telah ditetapkan akan dikenakan sanksi
pencabutan ijin kerjanya.


BAB 1
PENDAHULUAN

Antinutrisi atau antiniutrient adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam
bahan pakan (pangan) nabati atau hewani yang dapat menganggu penyerapan
nutrisi lain di dalam tubuh. Antinutrisi tidak memberikan pengaruh secara
langsung namun secara tidak langsung dapat mengakibatkan defisiensi zat
makanan tertentu yaitu dengan cara mengganggu fungsi dan pemanfaatan zat
makanan di dalam tubuh. Kandungan antinutrisi yang tinggi dalam pakan akan
memberi efek negatif terhadap proses metabolisme, pencernaan, penyerapan dan
pemanfaatn zat makanan sehingga menurunkan produktifitas ternak.
Antinutrisi dibedakan menjadi tiga tipe yaitu tipe A, tipe B dan tipe C.
1. Antinutrisi tipe A adalah antinutrisi jenis antiprotein.
Antinutrisi jenis Antiprotein ini mengganggu dalam pencernaan protein
maupun absorpsi dan penggunaan asam amino. Antinutrisi jenis antiprotein
adalah protease inhibitor dan lectin.
2. Antinutrisi tipe B adalah antinutrisi jenis antimineral.
Jenis antinutrisi jenis antimineral terdapat pada hijauan dan biji-bijian.
Konsumsi berlebihan antinutrisi tipe B ini dapat menyebabkan intoksikasi akut.
Antinutrisi jenis antimineral adalah Oksalat, asam phytat dan glukosinolat.
3. Antinutrisi tipe C adalah anti vitamin.
Antivitamin secara alamiah bisa mendekomposisi vitamin menjadi komplek
yang tidak bisa diabsorbsi, atau mengganggu kemampuan dari vitamin itu
dicerna atau dimetabolisme. Antivitamin ini adalah asam askorbat oksidase,
anti tiamin factor dan anti piridoksin factor, asam askorbat oksidase merupakan
enzim yang menggandung tembaga yang isa mengkatalisa, poksidasi asam
askorbat bebas menjadi asam diketoglukonat, asam oksalat dan produk oksidai
lainnya.
Adanya senyawa antinutrisi dalam bahan pakan dapat menjadi pembatas
penggunaan bahan pakan dalam ransum. Hal ini dikarenakan senyawa antinutrisi
dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan produksi ternak.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi efek negative dari senyawa


antinutrisi pada bahan pakan adalah dengan pengolahan bahan pakan, baik secara
teknis/mekanik, kimia maupun biologi. Berbagai metode pengolahan pakan
tersebut dapat menurunkan kadar antinutrisi dari bahan pakan sehingga efek
negatif dari mengkonsumsi pakan yang mengandung antinutrisi dapat dikurangi.
Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, perlu dilakukan praktikum untuk
mengidentifikasi dan menguji keberadaan senyawa antinutrisi yang terdapat pada
berbagai bahan pakan sehingga diperoleh gambaran secara umum kandungan
antinutrisi yang terdapat pada bahan pakan sebelum diberikan pada ternak.


BAB 2
TANIN PADA BAHAN PAKAN

Tujuan : Mahasiswa mampu melakukan uji kandungan tannin pada


bahan pakan
Waktu : 3 jam
Tempat : Laboratorium

1. Pokok Bahasan:
Tanin Pada Bahan Pakan

2. Indikator Capaian:
a. Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa mampu melakukan uji
kandungan tannin pada bahan pakan
b. Setelah mengikuti kegiatan praktikum ini mahasiswa mampu membedakan
pakan yang mengandung tanin dan tidak mengandung tanin.

3. Landasan Teori:
Tanin merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder berupa
polyphenol yang dihasilkan tumbuhan, berasa pahit dan kelat. Tanin dapat
menggumpalkan protein dan bereaksi dengan senyawa organic lainnya termasuk
asam amino dan alkaloid. Tanin terdapat banyak pada hijauan pakan ternak seperti
tanaman leguminosa atau kacang-kacangan dan lain-lain.
Tanin merupakan senyawa yang mempunyai berat molekul 500-3000 dan
mengandung sejumlah besar gugus hidroksi fenolik yang memungkinkan
membentuk ikatan silang yang efektif dengan protein dan molekul-molekul lain
seperti polisakarida, asam amino, asam lemak dan asam nukleat (Fahey and
Berger, 1988).
Tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin yang mudah terhidrolisis
dan tanin terkondensasi. Tanin yang mudah terhidrolisis merupakan polimer gallic
dan ellagic acid yang berikatan ester dengan sebuah molekul gula, sedangkan


tnnin terkondensasi merupakan polimer senyawa flavonoid dengan ikatan karbon-
karbon berupa cathecin dan gallocathecin (Patra dan Saxena, 2010).

Gambar 1. Struktur senyawa tannin

Tanin yang berasal dari hijauan(leguminosa) umumnya membentuk tannin


terkondensasi dan mempunyai ikatan kompleks dengan protein yang lebih kuat
dibandingkan dengan tanin terhidrolisis (Fahey dan Berger, 1988).
Tanin bersifat antinutrisi dan dapat menyebabkan keracunan pada ternak
apabila dikonsumsi secara berlebihan. Namun pada dosis tertentu tanin memberi
pengaruh yang menguntungkan pada ternak. Tanin dapat berfungsi dalam
memproteksi protein bahan pakan dengan kadar dan konsentrasi tertentu. Tanin
berperan sebagai enkapsulasi pada pakan yang mengandung protein tinggi
sehingga melindungi protein dari degradasi mikroba rumen.
Disamping itu, keberadaan tannin dalam ransum dapat mengurangi produk
gas metana. Hal ini berlangsung melalui penghambatan pertumbuhan bakteri
metanogen yang memproduksi gas metana. Menurut Jouany (1991), sebanyak
70% dari total bakteri metanogen bersimbiosis dengan protozoa. Penurunan
jumlah protozoa akan diikuti dengan penurunan bakteri metanogen, sehingga
perlu dilakukan proses defaunasi (proses penghilangan protozoa dari dalam
rumen) secara parsial karena keberadaan protozoa cenderung merugikan.
Defaunasi menyebabkan turunnya mekanisme simbiosis antara metanogen
dengan protozoa, sehingga hanya sedikit hidrogen yang dapat dikonversikan
menjadi metan (Takahashi, 2006). Menurut Hess et al., (2003) penghilangan


protozoa dapat mengurangi produksi metan yang sama halnya dengan penurunan
protozoa diikuti dengan penurunan bakteri metanogen.

4. Bahan dan Alat :


Bahan :
1. sampel bahan pakan (kaliandra, kulit pisang, biji sorgum dll),
2. aquadest,
3. FeCl3,
4. NaCl,
5. Gelatin,
6. ammonia (NH3),
7. H2SO4 pekat,
8. asam klaorida (HCl),
9. asam asetat,
10. Pb asetat,
11. NaOH,
12. KBr,
Alat :
1. Timbangan analitik,
2. beaker glass,
3. erlenmeyer,
4. pengaduk gelas,
5. labu ukur 250 ml,
6. corong gelas,
7. pipet tetes,
8. cawan petri,
9. tabung reaksi,
10. spatula,
11. waterbath,
12. rak tabung reaksi.


5. Prosedur Kerja
A. Persiapan Simplisia dari sampel bahan pakan:
1. Tentukan bahan pakan yang akan diuji identifikasi taninnya
2. Bersihkan bahan pakan pada air mengalir lalu ditiris hingga kering
3. Iris atau potong kecil-kecil (tipis-tipis)
4. Keringkan dibawah sinar matahari atau oven pada suhu 40 – 50 0C selama
+ 24 jam
5. Haluskan (blender) sampel yang sudah kering hingga dihasilkan dalam
bentuk tepung (serbuk simplisia).

B. Persiapan Filtrat sampel bahan pakan (ekstraksi):


1. Timbang 8 g serbuk sampel (simplisia) yang akan diuji, lalu masukkan
kedalam beaker glass.
2. Masukkan aquadem (aquadest) sebanyak 200 ml ke dalam beaker glass
berisi sampel.
3. Panaskan beaker glass berisi sampel tersebut dalam waterbath (tangas air)
selama 30 menit, kemudian angkat.
4. Sampel yang sudah dimasak, diendapkan dan disaring menggunakan kapas
atau kertas saring.
5. Filtrat yang dihasilkan diambil untuk diuji kadar taninnya.

C. Uji Identifikasi Tanin Secara Kualitatif:


1. Uji Tanin dengan FeCL3
a. Siapkan pereaksi FeCL3 1% yaitu timbang 1 g FeCL3 dan larutkan dalam
aquadest 100 ml, kemudian aduk sampai homogen.
b. Ambil 5 ml filtrat sampel bahan pakan lalu tambahkan beberapa tetes
reagen FeCL3 1%
c. Amati perubahan yang terjadi dan catat.
d. Positif jika warna biru kehitaman (Tannin Terhidrolisis) dan hijau
kehitaman (Tanin Terkondensasi)


2. Uji Tanin dengan Gelatin (Gelatin Test)
a. Siapkan pereaksi Gelatin 1% yaitu timbang 1 g gelatin dan larutkan dalam
aquadest 100 ml, aduk sampai homogen dan dipanaskan sampai larut.
b. Siapkan larutan NaCL 10% yaitu timbang 10 g NaCl dan larutkan dalam
aquadest 100 ml, kemudian aduk sampai homogen.
c. Ambil 5 ml filtrat sampel lalu tambahkan pereaksi gelatin 1% dan larutan
NaCL 10%.
d. Amati perubahan yang terjadi dan catat.
e. Positif jika ada endapan putih.

3. Uji Tanin dengan H2SO4 pekat


a. Siapkan pereaksi H2SO4 pekat
b. Ambil 5 ml filtrat sampel lalu tambahkan beberapa tetes pereaksi H2SO4
pekat.
c. Amati perubahan yang terjadi dan catat.
d. Positif ada tannin jika ada endapan coklat.

4. Uji Tanin dengan Chlorogenic acid


a. Siapkan pereaksi larutan Ammonia (NH3)
b. Ambil 5 ml filtrat sampel lalu tambahkan beberapa tetes pereaksi larutan
ammonia,
c. kemudian dipijar dengan udara
d. Amati perubahan yang terjadi dan catat
e. Positif ada tannin jika timbul warna hijau

5. Uji Tanin dengan HCL


a. Siapkan pereaksi asam clorida
b. Ambil 5 ml filtrat sampel lalu tambahkan beberapa tetes pereaksi asam
clorida
c. Filtrat dengan HCl dipanaskan
d. Amati perubahan yang terjadi dan catat
e. Positif ada tannin jika tidak terbentuk warna merah (Tanin Terhidrolisis) dan
terbentuk warna merah (Tanin Terkondensasi).


6. Uji Tanin dengan Asam Asetat dan Pb Asetat
a. Siapkan pereaksi asam asetat
b. Siapkan pereaksi Pb Asetat 10% yaitu ambil 10 ml Pb asetat lalu larutkan
dalam 100 ml aquadest.
c. Ambil 5 ml filtrat sampel lalu tambahkan 2 ml asam asetat dan 1 ml Pb
asetat 10%
d. Amati perubahan yang terjadi dan catat
e. Positif ada tannin jika terbentuk endapan (Tanin Terhidrolisis) dan tidak
terbentuk endapan (Tanin Terkondensasi).

7. Uji Tanin dengan NaOH 1 N


a. Siapkan pereaksi NaOH 1 N yaitu 40 g NaOH dilarutkan dengan 1L aquadest
b. Ambil 5 ml filtrat sampel lalu tambahkan beberapa + 5 tetes pereaksi
NaOH 1 N.
c. Amati perubahan yang terjadi dan catat
d. Positif ada tannin jika terbentuk warna kehitaman.

Uji identifikasi Adanya tannin:


a. Filtrat ditambah FeCL3 1%.
b. Jika hasil uji akan memberikan warna biru kehitaman atau hijau kehitaman
menunjukkan sampel positif mengandung tanin (Trease dan Evan, 1996).
c. Gelatin test
d. Filtrat ditambah gelatin 1% yang mengandung NaCl, jika timbul endapan berarti
mengandung tanin. (Trease dan Evan, 1996).
e. H2SO4 pekat
f. Filtrat ditambah H2SO4 pekat, akan bereaksi positif jika membentuk endapan
coklat.
g. Test for chlorogenic acid
h. Filtrat ditambahkan larutan ammonia kemudian dipijar dengan udara, jika timbul
warna hijau berarti mengandung tanin. (Trease dan Evan, 1996)


Uji identifikasi Jenis Tannin:
A. Tannin terhidrolisis (hydrolysable tannin = pyrogallotannin).
a. Filtrat ditambah FeCl3 menghasilkan warna biru-hitam (Trease dan Evan,
1996).
b. Filtrat dengan HCl dipanaskan, tidak terbentuk warna merah (Harborne,
1987)
c. Filtrat ditambah asam asetat 2 ml dan larutan Pb asetat 10% 1 ml,
terbentuk endapan (Robinson, 1995)
d. Filtrat ditambah pereaksi bromine (KBr), tidak memberi endapan (Tyler et
al., 1976)

B. Tannin terkondensasi (condensed tannin = nonhydrolysed=catechol tannin).


a. Filtrat ditambah FeCl3 menghasilkan warna hitam kehijauan (Trease
dan Evan, 1996).
b. Filtrat dengan HCl dipanaskan, terbentuk warna merah phlobaphenes yang
tidak larut (Harborne, 1987)
c. Filtrat ditambah asam asetat 2 ml dan larutan Pb asetat 10% 1 ml, tidak
terbentuk endapan atau tetap dalam bentuk larutan (Robinson, 1995)
d. Filtrat ditambah pereaksi bromine (KBr), akan memberi endapan (Tyler et
al., 1976)


Lembaran Pengamatan

TANIN PADA BAHAN PAKAN

Nama/NIM :
Fakultas/Program Studi :
Hari/Tanggal :
Group/Kelompok :

Tabel 1. Uji Identifikasi Adanya Tanin Pada Sampel Bahan Pakan


No. Pereaksi Gambar Gambar Hasil Pustaka Kesimpulan
Sebelum Sesudah (+/-)
1 FeCl3 Berwarna
biru
kehitaman
atau hijau
kehitaman
2 Gelatin Adanya
Test endapan
3 H2SO4 Endapan
pekat coklat
4 Test for Berwarna
chlorogenic hijau saat
acid dipijar
5 NaOH 1 N Berwarna
kehitaman

Tabel 2. Uji Identifikasi Jenis Tanin Terhidrolisis Pada Sampel Bahan Pakan

No. Pereaksi Gambar Gambar Hasil Pustaka Kesimpulan


Sebelum Sesudah (+/-)
1 FeCl3 Berwarna
biru
kehitaman
2 HCL Tidak
dipanaskan terbentuk
wrn merah
3 Asam Terbentuk
asetat 2ml endapan
+ Pb asetat
10% 1 ml


Tabel 3. Uji Identifikasi Jenis Tanin Terkondensasi Pada Sampel Bahan Pakan
No. Pereaksi Gambar Gambar Hasil Pustaka Kesimpulan
Sebelum Sesudah (+/-)
1 FeCl3 Berwarna
hijauan
kehitaman
2 HCL Terbentuk
dipanaskan wrn merah
3 Asam Tidak
asetat 2 ml terbentuk
+ Pb asetat endapan
10% 1 ml

DAFTAR PUSTAKA
Fahey, G. C., & L. L. Berger. 1988. Carbohydrate nutrition ofruminants. In: D.C
Chruch (Ed.). Digestive Phisiology and Nutritionof Ruminants. The
RuminantAnimal. Prentice Hall EglewoodCliifs, New Jersey.
Harborne J.B, 1987, Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern
Menganalis Tumbuhan, Terbitan kedua, Terjemahan oleh Padmawinata
Kosasih, ITB Press, Bandung, 102-104.
Hess, H. D., M. Kreuzer, T. E. Diaz, C. E. Lascano, J. E. Carulla & C. R. Soliva.
2003. Saponin rich tropical methanogenesis in faunated and fruits affect
fermentation and defaunated fluid. J. Anim Feed Sci Technol 109:79–94.
Jouany, J. P. 1991. Defaunation of The Rumen. In: J. P. Jouany (Ed). Rumen
Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. Institute Nationale De La
recherché Agronomique, INRA.
Patra, A. K.and J. Saxena. 2010. A new perspective on the use of plant secondary
metabolites to inhibit methanogenesis in the rumen. J. Phytochemistry. 71:
1198 – 1222.
Robinson T, 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Bandung: ITB 71 73.
Takahashi, J. 2006. Greenhouse gases emission and sustainable development of
animal agriculture. http://ir.obihiro.ac.jp/dspace/bitstre am.pdf [16 Oktober
2012].
Trease G.E dan Evan W.C, 1996, Pharmacognosy, 14th edition, Sauders, Company,
London, 224-228, 403, 454-455, 566-557.
Tyler, V.E. 1976. Pharmacognosy. Seventh Edition. London : Lea & Febiger 134-170


BAB 3
ALKALOID PADA BAHAN PAKAN

Tujuan : Mahasiswa mampu melakukan uji kandungan alkoloid pada


bahan pakan
Waktu : 3 jam
Tempat : Laboratorium

1. Pokok Bahasan:
Alkaloid Pada Bahan Pakan

2. Indikator Capaian:
a. Setelah mengikuti kegiatan praktikum ini mahasiswa mampu melakukan
uji kandungan alkoloid pada bahan pakan.
b. Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa mampu membedakan bahan
pakan yang mengandung alkaloid dan tidak mengandung alkaloid.

3. Landasan Teori:
Alkaloid adalah golongan senyawa organik yang banyak ditemukan di
alam. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan
tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan (Latifah, 2015). Alkaloid merupakan
senyawa metabolit sekunder yang ditemukan pada tumbuhan yang sangat
beragam yang mengandung gugus amina sekunder, tersier, atau siklik. Alkaloid
mengandung satu atau lebih atom nitrogen dan umumnya merupakan bagian dari
sistem siklik. Banyak alkaloid berada dalam bentuk terpenoid dan sebagiannya
lagi adalah steroid (seperti solanin, yakni alkaloid steroid yang terdapat pada
kentang). Jenis alkaloid lainnya berupa senyawa aromatik.
Semua alkaloida yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologis
tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna dalam
pengobatan, seperti kuinin, morfin, dan stiknin adalah alkaloida yang terkenal dan
mempunyai efek fisiologis dan psikologis. Alkaloid dapat ditemukan dalam
berbagai tumbuhan seperti biji, daun, ranting dan kulit batang. Alkaloid umumnya


ditemukan dalam kadar yang kecil dan harus dipisahkan dari campuran senyawa
yang rumit yang berasal dari jaringan tumbuhan (Lenny, 2006).

Gambar 2. Struktur senyawa alkaloid

Kandungan alkaloid dalam daun atau buah segar ditandai dengan adanya
rasa pahit. Rasa pahit tersebut disebabkan oleh zat alkaloid quinin. Zat ini adalah
salah satu zat paling pahit yang dikenal dengan konsentrasi pahitnya 1 × 10-5
molar. Secara umum, keluarga angiospermae merupakan tumbuhan yang kaya
akan zat ini, tetapi perlu diingat bahwa distribusi alkaloid sangat tidak merata,
bahkan ada tumbuhan dengan spesies yang sama namun sama sekali tidak
mengandung zat ini. Alkaloid jarang terdapat pada tumbuhan gymnospermae,
pakis, lumut, dan tanaman rendah.
Alkaloid bersifat toksik pada ternak (unggas, babi, domba, sapi, dan kuda).
Keracunan alkaloid pada hewan terjadi akibat konsumsi rumput dan biji-bijian
yang telah terkontaminasi. Gejala toksik antaranya terjadi kejang, aborsi pada
hewan hamil, dan kematian. Gejala lain seperti hipertermia pada ternak,
menurunnya produksi susu pada ternak sapi di Afrika Selatan akibat konsumsi
kacang yang terkontaminasi C. cyperi, dan berkurangnya produksi susu pada babi
dan sapi perah di Australia terkait dengan biji sorgum yang terkontaminasi dengan
C. Africana (Chekee PR. 1988).
Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan uji pereaksi warna
(Swapna, et al., 2012) yaitu:
a. Uji Mayer: Untuk 1 ml ekstrak ditambahkan ke 2 ml reagen Mayer,
terbentuknya endapan putih kusam menunjukkan adanya alkaloid


b. Reagen Dragendroff: Untuk 1 ml ekstrak ditambahkan 1ml Reagen
Dragendroff, terbentuknya endapan merah oranye menunjukkan adanya
alkaloid
c. Uji Hager: Untuk 1 ml ekstrak ditambahkan 3 ml reagen Hager, terbentuknya
endapan kuning menunjukkan adanya Alkaloid
d. Uji Wagner: Untuk 1 ml ekstrak ditambahkan ke 2 ml reagen Wagner,
terbentuknya endapan coklat kemerahan menunjukkan adanya alkaloid

4. Bahan dan Alat:


Bahan:
1. Sampel bahan pakan (simplisia),
2. Kloroform,
3. Kloroform beramoniak 0.05 N,
4. H2SO4 2N,
5. Reagen Mayer,
6. Reagen Dragendroff,
7. Reagen Hager,
8. Wagner.
Alat:
1. Timbangan analitik,
2. Mortal,
3. Kapas dan kertas saring,
4. Tabungan reaksi,
5. Rak tabung reaksi,
6. Corong gelas,
7. Penjepit tabung reaksi,
8. Cawan porselin,
9. Lampu spritus,
10. Batang pengaduk,
11. Spatula, dan pipet tetes.


5. Prosedur kerja:
Metode 1. Sampel dari simplisia
1. Sampel berupa simplisia (sampel bentuk tepung)
2. Ambil 5 gram sampel lalu ditambah kloroform beramoniak untuk
mengekstrak sampel, diaduk perlahan dan kemudian disaring langsung ke
tabung reaksi
3. Selanjutnya tambahkan asam sulfat sebanyak 2 ml (20 tetes)
4. Aduk perlahan dan amati, maka terbentuk 2 lapisan
5. Ambil lapisan atas (lapisan asam) dan masukkan ke dalam tabung reaksi

Metode 2. Sampel dari bahan segar


1. Sampel dipotong kecil-kecil lalu masukkan ke dalam lumpang. Tambahkan
pasir sedikit (untuk memecah sel tanaman) lalu digerus halus.
2. Tambah 10 ml kloroform untuk melarutkan senyawa2 dalam sampel dan
gerus kembali sampel uji.
3. Tambah klorofom ammonia dan gerus kembali
4. Selanjutnya taruh kapas di dalam lumpang dan sedot ekstrak melalui
perantara kapas agar pasir tidak terbawa hingga dihasilkan ekstrak sampel
5. Tambahkan asam sulfat sebanyak 2 ml (20 tetes)
6. Aduk perlahan dan amati, maka terbentuk 2 lapisan
7. Ambil lapisan atas (lapisan asam) dan masukkan ke dalam tabung reaksi

Uji kandungan alkaloid menggunakan Metode Kalorimetri:


a. Reagen Mayer:
Ambil 1 ml ekstrak ditambahkan ke 2 ml (20 tetes) reagen Mayer. Jika
terbentuk endapan putih kusam menunjukkan adanya alkaloid.
b. Reagen Dragendroff:
Ambil 1 ml ekstrak ditambahkan 1 ml (10 tetes) Reagen Dragendroff. Jika
terbentuk endapan merah oranye menunjukkan adanya alkaloid.
c. Reagen Hager:
Ambil 1 ml ekstrak ditambahkan 3 ml (30 tetes) reagen Hager. Jika terbentuk
endapan kuning menunjukkan adanya Alkaloid.
d. Reagen Wagner:
Ambil 1 ml ekstrak ditambahkan ke 2 ml (20 tetes) reagen Wagner,
terbentuknya endapan coklat kemerahan menunjukkan adanya alkaloid


Lembaran Pengamatan

Alkaloid Pada Bahan Pakan

Nama/NIM :
Fakultas/Program Studi :
Hari/Tanggal :
Group/Kelompok :

Tabel 1. Uji Alkaloid Pada Bahan Pakan


No. Pereaksi Gambar Gambar Hasil Pustaka Kesimpulan
Sebelum Sesudah (+/-)
1 Reagen Endapan
Mayer putih
2 Reagen Endapan
Dragendroff merah
oranye
3 Reagen Hager Endapan
kuning
4 Reagen Endapan
Wagner coklat
kemerahan

DAFTAR PUSTAKA
Chekee PR. 1988. Toxicity and metabolism of pyrrolizidine alkaloids. J Anim Sci
66: 2343–2350.
Latifah. 2015. Identifikasi Golongan Senyawa Flavonoid dan Uji Aktivitas
Antioksidan pada Ekstrak Rimpang Kencur Kaempferia galanga L. dengan
Metode DPPH (1,1-Difenil-2-Pikrilhidrazil). Skripsi. UIN Malang.
Lenny. 2006. Senyawa Flavonoid, Fenil Propanoid dan Alkaloid. Universitas
Setia Budi, Surakarta.
Swapna.. 2012. Antioxidant activity of Mokkathotapapada leaves of Piper betel L.
Cv. Kapoori. Free Radicals and Antioxidants


BAB 4
SAPONIN PADA BAHAN PAKAN

Tujuan : Mahasiswa mampu melakukan uji kandungan saponin pada


bahan pakan.
Waktu : 3 jam
Tempat : Laboratorium

1. Pokok Bahasan:
Kandungan Saponin Pada Bahan Pakan

2. Indikator Capaian:
a. Setelah mengikuti kegiatan praktikum ini mahasiswa mampu melakukan uji
kandungan saponin dalam bahan pakan.
b. Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa mampu membedakan pakan
yang mengandung saponin dan tidak mengandung saponin.

3. Landasan Teori:
Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder tanaman yang terdiri dari
komponen gula (seperti glukosa, galaktosa, asam glukoronat, xilosa, ramnosa,
atau metil pentosa) yang berikatan dengan komponen non gula atau aglikon yang
bersifat hidrofobik (Gambar 1).

Gambar 3. Struktur dasar saponin yang terdiri dari glikon (gula) dan aglikon
(bukan gula) (Sumber: Francis et al. 2002)


Saponin memiliki karakteristik berupa buih, sehingga ketika direaksikan
dengan air dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama.
Mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter.
Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang khas
menyerupai sabun bahasa latin sapo = sabun. Saponin adalah senyawa aktif
permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan dapat
menyebabkan hemolisis sel darah merah (Robinson.,1991).
Saponin steroid tersusun dari suatu aglikon steroid sapogenin yang terikat
pada suatu oligosakarida yang biasanya heksosa dan pentosa. Struktur kimia dari
aglikon saponin dibagi atas dua golongan yaitu sapogenin steroid dan sapogenin
triterpenoid pentasiklik (Farnsworth., 1966).
Komponen Aglikon dikenal juga dengan istilah sapogenin. Komponen
aglikon secara umum dapat berupa steroid atau triterpenoid (Gambar 4).

Gambar 4. Struktur dasar aglikon (sapogenin) yang dapat berupa (a) steroid atau
(b) triterpenoid (Sumber: Francis et al. 2002)

Gugus gula atau karbohidrat baik pada steroid dan triterpenoid saponin
berikatan pada karbon-3 dari sapogenin. Keberadaan gugus polar (komponen
gula) dan nonpolar (steroid atau triterpenoid) ini menyebabkan saponin memiliki
sifat surface-active. Secara umum komponen saponin terbagi menjadi dua yaitu
glikon dan aglikon. Sedangkan struktur kimia saponin bervariasi antar tanaman.
Hal ini menyebabkan bervariasinya efek biologis saponin terhadap ternak yang
mengkonsumsinya.
Saponin terdapat pada berbagai spesies tanaman, termasuk sejumlah


tanaman pakan ternak. Pada tanaman saponin terdapat pada bagian daun, buah,
biji, batang, kulit, dan akar. Pakan yang mengandung saponin dalam konsentrasi
tinggi berasa pahit atau sepat. Adanya saponin dalam bahan pakan ternak
memberi efek positif dan negative. Efek saponin terhadap produktivitas ternak
bervariasi tergantung pada jenis ternak serta konsentrasi saponin yang
dikonsumsi.
Efek Negatif kandungan saponin pada pakan terhadap ternak antara lain:
1. Saponin dapat menurunkan konsumsi pakan. Hal ini diduga berkaitan dengan
rasa sepat (astringent). Saponin juga menurunkan efisiensi penggunaan
ransum.
2. Kandungan saponin 0,1–0,3% di dalam ransum unggas dapat menghambat
pertumbuhan unggas.
3. Senyawa saponin dapat menghambat aktivitas dari sejumlah enzim, baik enzim
yang terdapat di saluran pencernaan (seperti tripsin dan kimotripsin) maupun
enzim pada level seluler, sehingga menurunkan pertumbuhan dan juga dapat
menurunkan produksi telur (pada ayam petelur),
4. Saponin dapat melisiskan sel darah merah (hemolisis) melalui interaksinya
dengan protein membran, fosfolipid, dan kolesterol pada membran eritrosit.
Hemolisis disebabkan oleh afinitas komponen aglikon pada saponin terhadap
komponen sterol (kolesterol) pada membran sehingga membentuk kompleks
yang tidak larut.
5. Saponin juga menyebabkan bloat atau kembung pada ternak ruminansia,
menghambat aktivitas sejumlah enzim, serta menghambat proses absorpsi
(penyerapan) nutrien di saluran pencernaan ternak.

Efek Positif kandungan saponin pada pakan terhadap ternak antara lain:
1. Ekstrak saponin dapat meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan, dan
kesehatan pada ternak ruminansia.
2. Saponin juga meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba di dalam rumen
dan menurunkan degradasi protein di rumen sehingga meningkatkan proporsi
protein bypass.
3. Saponin juga dapat mengikat amonia ketika konsentrasi amonia di rumen
tinggi serta melepaskannya kembali ketika konsentrasinya rendah sehingga


menjamin ketersediaan amonia untuk sintesis protein mikroba.
4. Saponin terbukti mengurangi populasi serta menghambat aktivitas metanogen,
mikroba yang bertanggung jawab terhadap pembentukan gas metana dengan
substrat utama berupa gas karbon dioksida dan hidrogen.

Uji Identifikasi Senyawa Saponin


Uji Buih
Saponin merupakan senyawa aktif bersifat seperti sabun sehingga
keberadaan saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan
larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil.

Uji Liebermann-Burchard
Senyawa saponin dapat diidentifikasi dari warna yang
dihasilkannya dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Jika warna yang
terbentuk biru-hijau menunjukkan saponin steroida, dan jika
warna yang terbentuk merah, merah muda atau ungu menunjukkan
saponin triterpenoid.

Uji Salkowski
Uji salkowski digunakan untuk mengidentifikasi adanya steroid tak jenuh
pada ekstrak. Uji ini dilakukan dengan penambahan asam sulfat pekat. Jika
terdapat gugus steroid tak jenuh pada larutan akan terbentuk cincin berwarna
merah terang yang lama kelamaan berwarna merah ungu.

4. Bahan dan Alat:


Bahan :
1. Sampel bahan pakan (daun ubi kayu, daun gamal, daun lamtoro, kedelai),
2. Aquadest,
3. Asam Asetat anhidrat,
4. H2SO4 pekat,
5. Etanol/alkohol,
6. Air suling,


7. Sarung tangan,
8. Kertas saring
Alat :
1. Timbangan analitik,
2. Beaker glass 250 ml,
3. Erlenmeyer,
4. Pengaduk gelas,
5. gelas ukur 250 ml,
6. corong gelas,
7. pipet tetes,
8. cawan petri,
9. tabung reaksi,
10. spatula,
11. waterbath, dan rak tabung reaksi.

5. Prosedur Kerja:
A. Persiapan Simplisia dari sampel bahan pakan:
1. Tentukan bahan pakan yang akan diuji identifikasi saponin
2. Bersihkan bahan pakan pada air mengalir lalu ditiris hingga kering
3. Iris atau potong kecil-kecil (tipis-tipis)
4. Keringkan dibawah sinar matahari atau oven pada suhu 40 – 50 0C selama
+ 24 jam
5. Haluskan (blender) sampel yang sudah kering (serbuk simplisia)

B. Pembuatan Ekstrak dengan metode Maserasi:


1. Timbang 10 g serbuk sampel (simplisia), lalu masukkan kedalam botol
kaca warna gelap.
2. Masukan etanol 1000 ml sebagai cairan penyari (pelarut) ke dalam botol
berisi simplisia. Metode maserasi yang digunakan maserasi FHI (Formula
Herbal Indonesia).
3. Pengekstrasian memakan waktu 2 hari. Enam jam pertama dilakukan
pengadukan dan 18 jam setelahnya kita diamkan.


4. Botol ditutup rapat dan disimpan.
5. Selanjutnya dilakukan penyaringan (penyaringan hari ke 1 = 24 jam).
6. Penyaringan mengunakan kain flanel atau kertas saring. Setelah disaring,
sisanya dimasukan lagi ke dalam botol.
7. Bilas dengan etanol 500 ml ke dalam botol berisi sari tadi, lalu enam jam
pertama diaduk dan 18 jam berikut didiamkan.
8. Selanjutnya dilakukan penyaringan (penyaringan hari ke 2 = 24 jam).
9. Ekstrak disaring dan diuapkan pelarutnya.

C. Pengujian saponin dari sampel bahan pakan:


a. Uji Buih
1. ambil ekstrak sebanyak 0,2 g dan masukkan ke dalam tabung reaksi
2. masukkan air suling sebanyak 10 ml ke dalam tabung reaksi
3. kocok tabung selama kira-kira 30 detik
4. test buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama
+ 30 menit dengan tinggi 3 cm diatas permukaan cairan

b. Reaksi warna
1. Preperasi Sampel
a. 0,5 g ekstrak dilarutkan dalam 15 ml etanol dan aduk sampai homogen
b. bagi larutan ke dalam 3 botol, masing-masing diisi 5 ml yaitu botol A,
B, & C

2. Uji Liebermann-Burchard
a. Larutan pada botol A sebagai blanko
b. Larutan pada botol B ditambah 3 tetes Asam Asetat anhidrat dan 1 tetes
H2SO4 pekat. Amati perubahan warna yang terjadi kemudian kocok
perlahan dan amati perubahan warna.
c. Jika warna yang dihasilkan hijau biru menunjukkan saponin steroid,
Jika warna yang dihasilkan merah ungu menunjukkan saponin
triterpenoid,
Jika warna yang dihasilkan kuning muda menunjukkan saponin
triterpenoid/steroid jenuh.


3. Uji Salkowski
a. Larutan pada botol A sebagai blanko
b. Larutan pada botol C ditambah 1 – 2 ml H2SO4 pekat melalui dinding
tabung reaksi.
c. Jika timbul cincin warna merah menunjukkan saponin steroid tak
jenuh.


Lembaran Pengamatan

SAPONIN PADA BAHAN PAKAN

Nama/NIM :
Fakultas/Program Studi :
Hari/Tanggal :
Group/Kelompok :

Tabel 1. Uji Buih Pada Sampel Bahan Pakan


No. Sampel Gambar Gambar Tinggi Kestabilan Kesimpulan
Sebelum Sesudah Buih > 30 menit (+/-)
1 d. ubi kayu
2 d. gamal
3 d. lamtoro

Tabel 2. Uji Identifikasi Saponin dengan pereaksi 3 tetes Asam asetat + 1 tetes
H2SO4 pekat
No. Sampel Gambar Gambar Hasil Pustaka Kesimpulan
Sebelum Sesudah 1) Steroid
2) Triterpenoid
3)Triterpenoid/s
teroid jenuh
1 d. ubi kayu 1) hijau biru
2) merah ungu
3) kng muda
2 d. gamal 1) hijau biru
2) merah ungu
3) kng muda
3 d. lamtoro 1) hijau biru
2) merah ungu
3) kng muda


Tabel 3. Uji Identifikasi Saponin dengan pereaksi 1 – 2 ml H2SO4 pekat
No. Sampel Gambar Gambar Hasil Pustaka Kesimpulan
Sebelum Sesudah (+ steroid tak
jenuh)
1 Daun ubi Cincin warna
kayu merah
2 Daun Cincin warna
gamal mer
3 Daun Cincin warna
lamtoro mer

DAFTAR PUSTAKA
Farnsworth, N. R., 1966, Biological and Phytochemical Screening of Plants,
J.Pharm. Sci., 55(3), 225-276.
Francis G, Kerem Z, Makkar HPS, Becker K. 2002. he biological action of
saponins in animal systems. A review. British Journal of Nutrition 88:
587–605.
Jayanegara A, Wina E, Takahashi J. 2014. Meta-analysis on methane mitigating
properties of saponin-rich sources in the rumen: inluence of addition levels
and plant sources. Asian-Australasian Journal of Animal Sciences, 27 (10):
1426–1435.
Robinson, T. 1991.Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi, diterjemahkan
oleh Prof. Dr. Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB: Bandung.


BAB 5
ASAM SIANIDA PADA BAHAN PAKAN

Tujuan : Mahasiswa mampu melakukan uji kandungan asam sianida


pada bahan pakan.
Waktu : 3 jam
Tempat : Laboratorium

1. Pokok Bahasan:
Asam Sianida Pada Bahan Pakan

2. Indikator Capaian:
a. Setelah mengikuti kegiatan praktikum ini mahasiswa mampu melakukan uji
kandungan asam sianida pada bahan pakan.
b. Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa mampu membedakan pakan
yang mengandung asam sianida dan tidak mengandung asam sianida.

3. Landasan Teori:
Sianida adalah senyawa kimia yang mengandung gugus siano C≡N,
dengan atom karbon terikat-tiga ke atom nitrogen (Brown et al., 2009). Pada
sianida anorganik, seperti natrium sianida dan kalium sianida, gugus CN ada
sebagai ion sianida poliatomik yang bermuatan negatif (CN−); senyawa ini, yang
merupakan garam dari asam sianida, adalah senyawa yang sangat beracun (Hill et
al., 2005). Ion sianida bersifat isoelektrik dengan karbon dan nitrogen molekuler
(Whitten et al., 2000) dan (Wilbraham et al., 2002). HCN bersifat mudah
menguap di udara terutama pada suhu lebih tinggi dari 25ºC.
HCN termasuk senyawa volatil tidak berwarna, berbau menyengat
sebagaimana asam lainnya, dan berasa pahit. Senyawa ini mempunyai titik didih
25,7ºC, sangat mudah larut dalam air dalam keadaan bebas dan akan terakumulasi
dalam jaringan (Pambayun, 2007).


Asam sianida merupakan zat antinutrisi yang sangat berbahaya bagi ternak
apabila dikonsumsi dalam jumlah besar. Asam sianida merupakan senyawa
glukosida sianogenik yang terdiri dari linamarin dan lotasutralin, di mana
linamarin merupakan senyawa dengan persentase terbesar. Secara biologis,
senyawa asam sianida mampu diturunkan kandungannya dengan bantuan
linamarase (Yunilas et al., 2019).

Gambar 5. Proses Degradasi Asam Sianida oleh Enzim Linamarase

Enzim linamarase mampu mendegradasi linamarin menjadi aseton


sianohidrin yang kemudian terakumulasi menjadi asam sianida (HCN) yang
mudah menguap dan dilepaskan ke udara (Askurrahman, 2010). Aktivitas enzim
linamarase menyebabkan linamarin mengalami hidrolisis menjadi glukosa
sianogenik dan sianohidrin yang lebih lanjut dapat dipecah menjadi HCN dan
aseton.
Sianida bisa dihilangkan dengan beberapa perlakuan antara lain:
fermentasi, perebusan air rebusan dibuang, perendaman pencucian air cucian
dibuang, pengeringan, pengukusan, pemarutan. Menurut FAO WHO (1991)
kandungan sianida yang diperbolehkan pada makanan maksimal 10 ppm.

4. Bahan dan Alat:


Bahan:
1. Sampel bahan pakan (daun ubi kayu, kulit ubi kayu, singkong atau
onggok),
2. Aquadest,
3. Larutan asam tartrat 5%,


4. Larutan asam pikrat jenuh,
5. Larutan Na2CO3 8%,
6. Buffer fosfat 1 M
Alat:
1. Timbangan analitik,
2. Beaker glass,
3. Erlenmeyer,
4. Pengaduk gelas,
5. Gelas ukur 250 ml,
6. Corong gelas,
7. Mortal
8. Waterbath, dan rak tabung reaksi.

5. Prosedur kerja
Metode 1. Preparasi dan deteksi senyawa sianogen :
1. Sampel ditumbuk halus lalu masukkan sebanyak 25 gram ke dalam erlenmeyer,
kemudian ditambahkan asam tartrat 5 % sebanyak 10 ml.
2. Celupkan kertas saring ke dalam larutan asam pikrat jenuh, dan keringkan di udara
(angin-anginkan).
3. Kertas saring yang telah kering dibasahi dengan larutan Na2CO3 8%, lalu gantungkan
kertas saring tersebut pada leher erlenmeyer yang berisi larutan sampel, dan erlenmeyer
ditutup sedemikian rupa sehingga kertas saring tidak bersinggungan dengan larutan.
4. Panaskan erlenmeyer yang berisi campuran di atas penangas air suhu
50oC selama 15 menit
5. Amati perubahan warna pada kertas saring
6. Jika warna kertas menjadi merah, berarti dalam bahan terdapat
asam sianida.
7. Preparasi dan deteksi senyawa sianogen

Metode 2. Preparasi dan deteksi senyawa sianogen (Yeoh 1998):


1. Sampel ubi kayu/daun/batang (100 mg) dimasukkan ke dalam tabung
reaksi bertutup


2. Masukkan 500 µL akuadest dan 500 µL buffer fosfat 1 M (pH 8,0)
kedalam tabung reaksi, kemudian dihomogenkan.
3. Selanjutnya Picrate paper test digantungkan di bibir tabung, ditutup rapat,
dan diinkubasi selama 18-20 jam pada suhu ruang (± 280C).
4. Estimasi kandungan sianida secara semi kualitatif dilakukan dengan
mengamati perubahan warna pada picrate paper test. Semakin pekat warna
yang timbul pada picrate paper test (coklat kemerahan) mengindikasikan
semakin tinggi konsentrasi sianida.
5. Penentuan sianida secara kuantitatif dilakukan dengan cara melarutkan
picrate paper test tersebut ke dalam 5 mL akuadest dan kemudian
kandungan sianida ditentukan menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 510 nm.


Lembaran Pengamatan

ASAM SIANIDA PADA BAHAN PAKAN

Nama/NIM :
Fakultas/Program Studi :
Hari/Tanggal :
Group/Kelompok :

Tabel 1. Uji Identifikasi Asam Sianida dalam Sampel Bahan Pakan


No. Sampel Gambar Gambar Hasil Pustaka Kesimpulan
Sebelum Sesudah (+/-)
1 Berwarna
merah
2 Berwarna
merah
3 Berwarna
merah

Daftar Pustaka
Askurrahman. 2010. Isolasi Karakterisasi Linamarase Hasil Isolasi dari Umbi
Singkong (Manihot Esculenta Craintz). Jurusan Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo, Kamal-Bangkalan.
Agrointek, Vol. 4, No 2, hlm: 138-145.
Brown, Theodore L.; LeMay, H. Eugene; Bursten, Bruce E.; Murphy, Catherine
J.; Woodward, Patrick (2009), Chemistry: The Central Science, AP
Edition(edisi ke-11th), Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, hlm. 5–
6, ISBN 0-13-236489-1
Hill, John W.; Petrucci, Ralph H.; McCreary, Terry W.; Perry, Scott S.
(2005), General Chemistry (edisi ke-4th), Upper Saddle River, NJ: Prentice
Hall, hlm. 6, ISBN 978-0-13-140283-6
Pambayun, R. 2007. Kiat Sukses Teknologi Pengolahan Umbi Gadung.
Yogyakarta : Ardana Media
Whitten, Kenneth W.; Davis, Raymond E.; Peck, M. Larry (2000), General
Chemistry (edisi ke-6th), Fort Worth, TX: Saunders College
Publishing/Harcourt College Publishers, hlm. 15, ISBN 978-0-03-072373-5
Wilbraham, Antony; Matta, Michael; Staley, Dennis; Waterman, Edward
(2002), Chemistry (edisi ke-1st), Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall,
hlm. 36, ISBN 0-13-251210-6
Yeoh, HH. 1998. Enzyme-based dipstick: An easyto-use alternative for estimation
of cyanogens level in cassava roots. Trop. Agric (Trinidad), 75 (2) : 305-
307.
Yunilas, Wahyuni, T.R., Ginting, N., dan Siburian, I.R. 2019. Aplikasi mikroba
pada pakan ternak. Anugrah Pangeran Jaya Press. Medan.


BAB 6
ASAM FITAT PADA BAHAN PAKAN

Tujuan : Mahasiswa mampu melakukan uji kandungan asam fitat pada


bahan pakan.
Waktu : 3 jam
Tempat : Laboratorium

1. Pokok Bahasan:
Asam Fitat Pada Bahan Pakan

2. Indikator Capaian:
a. Setelah mengikuti kegiatan praktikum ini mahasiswa mampu melakukan
uji kandungan asam fitat pada bahan pakan.
b. Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa mampu membedakan pakan
yang mengandung fitat dan tidak mengandung fitat.

3. Landasan Teori:
Asam fitat disebut juga fitat, merupakan senyawa pada tanaman yang
berperan sebagai cadangan asam fosfat dan menjadi sumber energi untuk proses
perkecambahan. Greiner and Konietzny (2011) menyatakan Asam fitat (asam
mio-inositol heksa fosfat) dan turunannya adalah senyawa fosfor organik yang
banyak terdapat didalam biji-bijian dan serealia. Senyawa fitat merupakan bentuk
penyimpanan utama fosfor (P) yang biasa terdapat pada pakan dan dapat
mencapai 80% dari total fosfor yang ada.
Asam fitat terdapat dalam bahan pakan sumber biji-bijan, kacang-
kacangan ataupun leguminosa. Asam fitat bagi tumbuhan berperan penting namun
bagi tenak terutama ternak non ruminansia berperan negatif karena bersifat anti-
nutrisi. Asam fitat dapat mengganggu penyerapan mineral (zat besi, kalsium dan
zinc).
Senyawa fitat bersifat anti nutrisi dan mudah berikatan dengan protein dan
mineral-mineral seperti: Zn, Ca, Mg, dan Fe sehingga tidak terjadi metabolisme


secara sempurna dalam saluran pencernaan hewan, khususnya hewan ternak
monogastrik (Greiner and Konietzny, 2011).
Asam fitat bekerja dengan menghambat penyerapan mineral dalam tubuh
ternak. Asam fitat dapat didegradasi dengan fitase, yaitu enzim yang bekerja
spesifik untuk mendegradasi fitat. Fitase adalah enzim yang mengkatalis reaksi
degradasi fitat menjadi ortophospate anorganik dan fosfor yang lebih sederhana
yang pada akhirnya menjadi myo-inositol bebas (Hidayat, 2016).

Gambar 6.
Struktur Asam Fitat dan Interaksinya dengan Kation, Protein, dan
Karbohidrat (Yao et al., 2011)

Pada tanaman, asam fitat berikatan dengan protein sehingga


mempengaruhi tingkat kecernaan. Hal ini mempengaruhi pemanfaatan protein
asal tanaman. Ikatan asam fitat dengan protein yang kuat akan menyulitkan
degradasi oleh enzim protease. Upaya peningkatan pemanfaatan protein yang
terikat dengan fitat salah satunya dilakukan melalui penambahan fitase.

4. Bahan dan Alat:


Bahan:
1. Sampel bahan pakan (kedelai, dan jagung),
2. TCA 3%,
3. Larutan FeCL3,
4. Sodium sulfat,
5. Potasium thiocyanate (KSCN),
6. NaOH,


7. Larutan standar Fe(NO3)3,
8. aquadest,
Alat:
1. Timbangan analitik,
2. Beaker glass,
3. Erlenmeyer,
4. Pipet ukur,
5. Pipet tetes,
6. Labu ukur,
7. Kertas saring,
8. Magnetic stirer,
9. Tabung sentrifuge,
10. Spectrophotometer,
11. Waterbath

5. Prosedur kerja
1. Timbang sampel sebanyak 500 – 700 gram lalu masukkan ke dalam Erlenmeyer
2. Ambil 50 ml TCA 3% lalu masukkan kedalam erlenmeyer yang telah
berisi sampel
3. Aduk sampel yang telah dicampur TCA menggunakan magnetic stirrer
selama 30 menit
4. Larutan yang sudah homogen dimasukkan ke dalam tabung reaksi
5. Larutan disentrifuge 3000 rpm selama 10 menit
6. Ambil dan pindahkan supernatant larutan hasil sentrifuge ke dalam tabung
lain
7. Tambahkan 4 ml FeCL3 ke dalam tabung, lalu dipanaskan dalam
waterbath mendidih selama 45 menit
8. Larutan disentrifuge kembali pada kecepatan 3000 rpm selama 10 menit,
biarkan dingin beberapa saat pada suhu ruang
9. Supernatant dan presipitat hasil sentrifuge dipisahkan mengunakan kertas
saring
10. Siapkan TCA 3% sebanyak 20-25ml utk melarutkan presipitat


11. Hasil sentrifuge disaring lalu dicuci kembali menggunakan TCA 3%
12. Panaskan kembali pada air mendidih 5 – 10 menit, lalu disentrifuge pada
kecepantan 3000 rpm selama 10 menit
13. Hasil sentrifuge disaring lalu dicuci kembali menggunakan TCA 3%
14. Ambil 3 ml NaOH 1,5 N ke dalam tabung sampel (yang sudah
dilarutkan/dicuci dengan TCA)
15. Lalu cukupkan volumenya sampai dengan 30 ml dengan penambahan
aquadest
16. Panaskan dalam waterbath selama 10 menit
17. Saring dengan kertas saring Whatman, residu dicuci dengan aquades panas
sebanyak 60 – 70 ml
18. Saring kembali pada labu ukur yang berisi 40 ml 3,2 N HNO3 panas
19. Residu dicuci dengan aquadest dan dimasukkan pada labu ukur yang
sama, dan dicukupi volumnya hingga 100 ml, lalu dinginkan pada suhu
ruang
20. Larutan sampel diambil sebanyak 0,5 ml lalu tambahkan 7,5 ml aquades
dan 0,2 ml KSCN 1,5 M
21. Segera tera absorbansi pada panjang gelombang 480 nm

Kadar asam Fitat dihitungdengan persamaan:


Y = 0,00085X - 0,026
Y = absorbansi
X = kadar (mg/l)


Lembaran Pengamatan

ASAM FITAT PADA BAHAN PAKAN

Nama/NIM :
Fakultas/Program Studi :
Hari/Tanggal :
Group/Kelompok :

No Sampel Nilai absorbansi Rataan X


. (Y) (Y) (ml/l)
U1 U2 U3
1 Kedelai
2 Jagung
3 dedak

DAFTAR PUSTAKA

Greiner, R., H. E., Konietzn dan K. D. Jany. 1997. Purification and


Characterization of Fitase from Klebsiella terrigena. J. Arch. Biochem.
Biophysic. 341:201-209.

Hidayat, C. 2016. Pemanfaatan Fitase Sebagai Upaya Penanggulangan Asam Fitat


dalam Ransum Ayam Pedaging. Wartazoa. 26(2):57-68.

Yanuarto, A. Nururrozi dan S. Indarjulianto. 2017. Fitat dan Fitase: Dampak Pada
Hewan Ternak. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 26(3): 59-78.


BAB 7
KALSIUM OKSALAT PADA BAHAN PAKAN

Tujuan : Mahasiswa mampu melakukan uji kandungan kalsium oksalat


pada bahan pakan.
Waktu : 3 jam
Tempat : Laboratorium

1. Pokok Bahasan:
Kalsium Oksalat Dalam Pada Pakan

2. Indikator Capaian:
a. Setelah mengikuti kegiatan praktikum ini mahasiswa mampu melakukan
uji kandungan kalsium oksalat pada bahan pakan.
b. Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa mampu membedakan pakan
yang mengandung kalsium oksalat dan tidak mengandung kalsium oksalat.

3. Landasan Teori:
Asam oksalat merupakan anion dari asam dikarboksilat. Sejumlah
tanaman dapat mengakumulasikan oksalat dalam konsentrasi tinggi. Senyawa ini
memiliki dua macam bentuk, yaitu oksalat yang larut air (soluble oxalate) dan
oksalat yang tidak larut air (insoluble oxalate). Akumulasi oksalat umumnya
dalam bentuk oksalat terlarut, kalsium oksalat yang tidak larut, atau kombinasi
dari kedua bentuk ini. Oksalat terlarut pada umumnya berikatan dengan sodium

(Na+), potasium (K+), dan amonium (NH +), kalsium (Ca2+), magnesium

(Mg2+), dan besi (Fe2+).

Gambar 7. Struktur kimia asam oksalat


Muatan negatif pada oksalat menyebabkan senyawa tersebut memiliki
ainitas yang tinggi terhadap mineral yang bermuatan positif seperti kalsium,
magnesium, dan zinc Sifat ini dalam sistem metabolisme dapat mengganggu
utilisasi dari mineral tersebut. Oksalat terlarut memiliki kapasitas yang tinggi
dalam mengikat kalsium pada serum darah sehingga mengakibatkan intoksikasi
akut pada ternak yang mengonsumsinya dalam dosis tinggi.
Asam oksalat merupakan zat antinutrisi yang dapat ditemukan pada
rumput tropika, Setaria sp, dan Indigofera spicata. Asam oksalat yang dikonsumsi
secara berlebihan dapat mengalami hypocalcemia yaitu defisiensi calcium (Ca)
dalam darah.

4. Bahan dan Alat:


Bahan:
1. Sampel bahan pakan (simplisia),
2. Aquades,
3. HCL 6 M,
4. H2SO4 4N,
5. KMnO4 0,1 N,
6. Asam oksalat dihidrat,
7. H2SO4 pekat
Alat:
1. Timbangan analitik,
2. Hot plat,
3. Penangas air,
4. Erlenmenyer 50 dan 100 ml,
5. Labu ukur 50, 100, 250 ml,
6. Beaker glass,
7. Tabung reaksi,
8. Rak tabung,
9. Pipet volume,
10. Kertas saring whatman,
11. Corong glass,


12. Batang pengaduk,
13. Spatula dan seperangkat alat titrasi.

5. Prosedur kerja:
Sampel bahan pakan dianalisis kadar oksalat menggunakan metode titrasi
permanganometri.

Pembakuan larutan kalium permanganate


1. Pembuatan larutan pemanganat 0,1 N: larutkan 3,16 g KMnO4 (BM 158
g/mol) dalam aquadest hingga 500 mL.
2. Larutan kalium pemanganat dibakukan menggunakan larutan asam
oksalat: asam oksalat dihidrat dengan BM 126 g/mol. Asam oksalat 0,1 N
dibuat dengan cara melarutkan 0,315 g asam oksalat dihidrat dalam 50 mL
aquades.
3. Larutan asam oksalat 10 mL ditambah dengan 7 mL asam sulfat (H2SO4)
pekat dan dipanaskan sampai suhu 70 0C dan segera dititrasi (jangan
sampai suhu <50 0C).
4. Titrasi filtrate dengan KMnO4 0,1 N. Titrasi dihentikan setelah larutan
menjadi merah muda mantap dalam > 30 detik.

Titrasi Larutan filtrat (sampel):


1. ambil 1 gram serbuk sampel bahan pakan (simplisia) dan masukkan ke
dalam beaker glass, lalu disuspensikan dalam 10 mL HCL 6M dan 190 mL
aquadest.
2. kemudian campuran dipanaskan selama 1 jam dalam penangas air.
Pemanasan 1 jam dihitung setelah larutan dalam gelas beaker mendidih.
3. Setelah pemanasan, larutan disaring.
4. Larutan diencerkan dengan cara memipet 125 ml larutan kemudian di ad
kan sampai 250 ml mengunakan labu ukur dan dihomogenkan (filtrat
untuk diuji).
5. Filtrat dipipet sebanyak 50 ml, kemudian dipindahkan kedalam erlemnyer.


6. Filtrat kemudian ditambah H2SO4 4N sebanyak 10 ml, kemudian
dipanaskan hingga suhu 70 0C dan segera dititrasi (jangan sampai suhu
<50 0C).
7. Siapkan larutan baku skunder yaitu KMnO4 0,1 N dan masukkan ke dalam
buret.
8. Titrasi filtrate dengan KMnO4 0,1 N. Titrasi dihentikan setelah larutan
menjadi merah muda mantap dalam > 30 detik.

Kalsium Oksalat (mg) = (Vs – Vb) x 0,45 x 100)


100B
Keterangan:
Vs = ml titrasi sampel (filtrate)
Vb = ml titrasi blanko
0,45 = mg oksalat setara dengan KMnO4 0,01 N
B = bobot sampel


Lembaran Pengamatan

KALSIUM OKSALAT PADA BAHAN PAKAN

Nama/NIM :
Fakultas/Program Studi :
Hari/Tanggal :
Group/Kelompok :

No. Sampel Vs Vb Vs-Vb * 100B Y (Kalsium


0,45*100 Oksalat)
1 Kedelai
2 Jagung
3 dedak

DAFTAR PUSTAKA

Jayanegara A, Muhammad R., Erika, B.L., Nahrowi. 2019. Komponen Antinutrisi


Pada Pakan. IPB Press, Bogor.


DAFTAR PUSTAKA
Askurrahman. 2010. Isolasi Karakterisasi Linamarase Hasil Isolasi dari Umbi
Singkong (Manihot Esculenta Craintz). Jurusan Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo, Kamal-Bangkalan.
Agrointek, Vol. 4, No 2, hlm: 138-145.
Brown, Theodore L.; LeMay, H. Eugene; Bursten, Bruce E.; Murphy, Catherine
J.; Woodward, Patrick (2009), Chemistry: The Central Science, AP Edition
(edisi ke 11), Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, hlm. 5–6, ISBN 0-13-
236489-1.
Chekee PR. 1988. Toxicity and metabolism of pyrrolizidine alkaloids. J Anim Sci
66: 2343–2350.
Fahey, G. C., & L. L. Berger. 1988. Carbohydrate nutrition ofruminants. In: D.C
Chruch (Ed.). Digestive Phisiology and Nutritionof Ruminants. The
RuminantAnimal. Prentice Hall EglewoodCliifs, New Jersey.
Farnsworth, N. R., 1966, Biological and Phytochemical Screening of Plants,
J.Pharm. Sci., 55(3), 225-276.
Francis G, Kerem Z, Makkar HPS, Becker K. 2002. he biological action of
saponins in animal systems. A review. British Journal of Nutrition 88:
587–605.
Greiner, R., H. E., Konietzn dan K. D. Jany. 1997. Purification and
Characterization of Fitase from Klebsiella terrigena. J. Arch. Biochem.
Biophysic. 341:201-209.
Harborne J.B, 1987, Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern
Menganalis Tumbuhan, Terbitan kedua, Terjemahan oleh Padmawinata
Kosasih, ITB Press, Bandung, 102-104.
Hess, H. D., M. Kreuzer, T. E. Diaz, C. E. Lascano, J. E. Carulla & C. R. Soliva.
2003. Saponin rich tropical methanogenesis in faunated and fruits affect
fermentation and defaunated fluid. J. Anim Feed Sci Technol 109:79–94.
Hidayat, C. 2016. Pemanfaatan Fitase Sebagai Upaya Penanggulangan Asam Fitat
dalam Ransum Ayam Pedaging. Wartazoa. 26(2):57-68.
Hill, John W.; Petrucci, Ralph H.; McCreary, Terry W.; Perry, Scott S. (2005),
General Chemistry (edisi ke 4th), Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall,
hlm. 6, ISBN 978-0-13-140283-6.
Jayanegara A, Wina E, Takahashi J. 2014. Meta-analysis on methane mitigating
properties of saponin-rich sources in the rumen: inluence of addition levels
and plant sources. Asian-Australasian Journal of Animal Sciences, 27 (10):
1426–1435.
Jouany, J. P. 1991. Defaunation of The Rumen. In: J. P. Jouany (Ed). Rumen
Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. Institute Nationale De La
recherché Agronomique, INRA.


Latifah. 2015. Identifikasi Golongan Senyawa Flavonoid dan Uji Aktivitas
Antioksidan pada Ekstrak Rimpang Kencur Kaempferia galanga L. dengan
Metode DPPH (1,1-Difenil-2-Pikrilhidrazil). Skripsi. UIN Malang.
Lenny. 2006. Senyawa Flavonoid, Fenil Propanoid dan Alkaloid. Universitas
Setia Budi, Surakarta.
Pambayun, R. 2007. Kiat Sukses Teknologi Pengolahan Umbi Gadung.
Yogyakarta : Ardana Media
Patra, A. K.and J. Saxena. 2010. A new perspective on the use of plant secondary
metabolites to inhibit methanogenesis in the rumen. J. Phytochemistry. 71:
1198 – 1222.
Robinson, T. 1991.Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi, diterjemahkan
oleh Prof. Dr. Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB: Bandung.
Robinson T, 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Bandung: ITB 71 73.
Swapna, dkk. (2012). Antioxidant activity of Mokkathotapapada leaves of Piper
betel L. Cv. Kapoori. Free Radicals and Antioxidants
Takahashi, J. 2006. Greenhouse gases emission and sustainable development of
animal agriculture. http://ir.obihiro.ac.jp/dspace/bitstre am.pdf [16 Oktober
2012].
Trease G.E dan Evan W.C, 1996, Pharmacognosy, 14th edition, Sauders, Company,
London, 224-228, 403, 454-455, 566-557.
Tyler, V.E. 1976. Pharmacognosy. Seventh Edition. London: Lea & Febiger 134-170
Whitten, Kenneth W.; Davis, Raymond E.; Peck, M. Larry (2000), General
Chemistry (edisi ke-6th), Fort Worth, TX: Saunders College
Publishing/Harcourt College Publishers, hlm. 15, ISBN 9780030723735.
Wilbraham, Antony; Matta, Michael; Staley, Dennis; Waterman, Edward
(2002), Chemistry (edisi ke-1st), Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall,
hlm. 36, ISB 0132512106.
Yanuarto, A. Nururrozi dan S. Indarjulianto. 2017. Fitat dan Fitase: Dampak Pada
Hewan Ternak. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 26(3): 59-78.
Yeoh, HH. 1998. Enzyme-based dipstick: An easyto-use alternative for estimation
of cyanogens level in cassava roots. Trop. Agric (Trinidad), 75 (2) : 305-
307.
Yunilas, Wahyuni, T.R., Ginting, N., dan Siburian, I.R. 2019. Aplikasi mikroba
pada pakan ternak. Anugrah Pangeran Jaya Press. Medan.


LAMPIRAN

Pereaksi Mayer:
1. Ambil 1,36 gram HgCL2 (raksa II klorida) dan larutkan dalam 60 ml air.
2. Ambil 5 gram KI (kalium iodida) dilarutkan dalam 10 ml air.
3. Campur kedua larutan tersebut dan di ad air sampai volume campuran
seluruhnya menjadi 100 ml (Depkes, 1989).
Pereaksi Dragendroff:
1. Ambil 0,85 g bismut III nitrat ditimbang, lalu larutkan dalam 10 ml asam
asetat glasial, kemudian ditambahkan 40 ml air suling.
2. Ambil 8 g kalium iodida lalu larutkan dalam 30 ml air suling.
3. Campur kedua larutan dengan rasio 1 : 1 (sama banyak), lalu ditambahkan
20 ml asam asetat glasial dan diencerkan dengan air suling hingga volume
100 ml (Materia Medika Indonesia, 1989 USU)
Pereaksi Bouchardat:
1. Timbang 4 g kalium iodide lalu larutkan dalam air suling
2. Timbang 2 g iodium lalu larutkan dalam larutan kalium iodide
3. Campur larutan diatas dan dicukupkan dengan air suling hingga 100 ml
(Depkes, 1989)
Pereaksi Liebermann-Burchard:
1. Dua puluh bagian asam asetat anhidrida dicampurkan dengan satu bagian
asam sulfat pekat dan 50 bagian kloroform
2. Campur semua larutan. Larutan ini harus dibuat baru (Harborne, 1987)
Pereaksi asam klorida 2 N (HCL 2N):
Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling secukupnya
hingga volume 100 ml (Depkes, 1979)
Pereaksi natrium hidroksida 2 N (NaOH 2N):
Sebanyak 8,002 g kristal natrium hidroksida ditimbang, dilarutkan dalam air
suling sehingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes, 1979)
Pereaksi asam sulfat 2 N (H2SO4 2N):
Sebanyak 9,8 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling secukupnya
hingga volume 100 ml (Depkes, 1979)


Pereaksi asam nitrat 0,5 N:
Sebanyak 31,5 ml asam nitrat pekat diencerkan dengan air suling
secukupnya hingga volume 100 ml (Depkes, 1979)
Pereaksi Molish:
Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga
diperoleh larutan 100 ml (Depkes, 1989).
Kloroform beramonia:
1. Ambil 1 ml ammonia pekat 28%,
2. Kemudian tambahkan ke dalam 250 ml kloroform,
3. Keringkan dengan penambahan 2,5 g natrium sulfat anhidrat (Na2SO4),
4. Lakukan penyaringan,
5. Simpan dalam wadah bertutup

Anda mungkin juga menyukai