Anda di halaman 1dari 18

KOLOID

2.1 Pengertian Koloid


Untuk memudahkan pembahasan sistem dispersi koloid, digunakan fase terdispersi
berupa padatan dan fase pendispersi yang umum, berupa air. Ukuran partikel zat terdispersi
di dalam koloid lebih besar daripada ukuran partikel di dalam larutan, tetapi lebih kecil
daripada ukuran partikel di dalam suspensi. Partikel zat terdispersi berukuran antara 10 -7 cm
sampai dengan 10-5 cm (1 nm – 100 nm). Sistem koloid tampak homogen jika dilihat tanpa
mikroskop, tetapi dengan menggunakan mikroskop tampak adanya partikel-partikel fase
terdispersi. Partikel koloid dapat disaring dengan menggunakan suatu kertas saring yang
berpori-pori sangat halus (penyaring ultra). Berdasarkan sistem dispersinya, suatu koloid
tampak seperti suspensi. Akan tetapi, secara fisik tampak seperti larutan sehingga sering juga
disebut dengan istilah suspensi homogen. Campuran susu bubuk dan air dinamakan koloid.
Secara garis besar, perbandingan antara larutan, koloid, dan suspensi dapat dilihat pada Tabel
2.1. berikut ini.
Tabel 2.1 Perbandingan antara Larutan, Koloid, dan Suspensi
Aspek Larutan Koloid Suspensi
Bentuk Campuran Homogen Tampak homogen Heterogen
Kestabilan Stabil Stabil Tidak stabil
Pengamatan
Homogen Heterogen Heterogen
Mikroskop
Jumlah Fase Satu Dua Dua
Sistem Dispersi Molekuler Padatan halus Padatan kasar
Pemisahan dengan Tidak dapat Tidak dapat disaring dengan Dapat disaring
Cara Penyaringan disaring kertas saring biasa, kecuali
dengan kertas saring ultra.
Ukuran Partikel < 10-7 cm, 10-7 cm - 10-5 cm, atau 1 nm > 10-5 cm, atau
atau < 1 nm - 100 nm > 100 nm

2.2 Pengelompokan sistem koloid


Sistem koloid adalah campuran yang heterogen. Telah diketahui bahwa terdapat tiga
fase zat, yaitu padat, cair, dan gas. Dari ketiga fasa zat ini dapat dibuat sembilan kombinasi
campuran fase zat, tetapi yang dapat membentuk sistem koloid hanya delapan. Kombinasi
campuran fase gas dan fase gas selalu menghasilkan campuran yang homogen (satu fase)
sehingga tidak dapat membentuk sistem koloid.

2.2.1 Sistem Koloid Fase Padat-Cair (Sol)


Sistem koloid fase padat-cair disebut sol. Sol terbentuk dari fase terdispersi berupa zat
padat dan fase pendispersi berupa cairan. Sol yang memadat disebut gel. Berikut contoh-
contoh sistem koloid fase padat-cair.
a. Agar-agar
Padatan agar-agar yang terdispersi di dalam air panas akan menghasilkan sistem koloid yang
disebut sol. Jika konsentrasi agar-agar rendah, pada keadaan dingin sol ini akan tetap
berwujud cair. Sebaliknya jika konsentrasi agar-agar tinggi pada keadaan dingin sol akan
menjadi padat dan kaku. Keadaan seperti ini disebut gel.
b. Pektin
Pektin adalah tepung yang diperoleh dari buah pepaya muda, apel, dan kulit jeruk. Jika pektin
didispersikan di dalam air, terbentuk suatu sol yang kemudian memadat sehingga membentuk
gel. Pektin biasa digunakan untuk pembuatan selai.
c. Gelatin
Gelatin adalah tepung yang diperoleh dari hasil perebusan kulit atau kaki binatang, misalnya
sapi. Jika gelatin didispersikan di dalam air, terbentuk suatu sol yang kemudian memadat dan
membentuk gel. Gelatin banyak digunakan untuk pembuatan cangkang kapsul. Agar-agar,
pektin dan gelatin juga digunakan untuk pembuatan makanan, seperti jelly atau permen
kenyal (gummy candies).
d. Cairan Kanji
Tepung kanji yang dilarutkan di dalam air dingin akan membentuk suatu suspensi. Jika
suspensi dipanaskan akan terbentuk sol, dan jika konsentrasi tepung kanji cukup tinggi, sol
tersebut akan memadat sehingga membentuk gel. Suatu gel terbentuk karena fase terdispersi
mengembang, memadat dan menjadi kaku.
e. Air sungai (tanah terdispersi di dalam medium air).
f. Cat tembok dan tinta (zat warna terdispersi di dalam medium air).
g. Cat kayu dan cat besi (zat warna terdispersi di dalam pelarut organik).
h. Gel kalsium asetat di dalam alkohol.
i. Sol arpus (damar).
j. Sol emas, sol Fe(OH)3 , sol Al(OH)3 , dan sol belerang.
2.2.2 Sistem Koloid Fase Padat-Padat (Sol Padat)
Sistem koloid fase pada-padat terbentuk dari fase terdispersi dan fase pendispersi
yang sama-sama berwujud zat padat sehingga dikenal dengan nama sol padat. Lazimnya,
istilah sol digunakan untuk menyatakan sistem koloid yang terbentuk dari fase terdispersi
berupa zat padat di dalam medium pendispersi berupa zat cair sehingga tidak perlu digunakan
istilah sol cair. Contoh sistem koloid fase padat-padat adalah logam campuran (aloi),
misalnya stainless steel yang terbentuk dari campuran logam besi, kromium dan nikel.
Contoh lainnya adalah kaca berwarna yang dalam ini zat warna terdispersi di dalam medium
zat padat (kaca).

2.2.3 Sistem Koloid Fase Padat-Gas (Aerosol Padat)


Sistem koloid fase padat-gas terbentuk dari fase terdispersi berupa padat dan fase
pendispersi berupa gas. Anda sering menjumpai asap dari pembakaran sampah atau dari
kendaraan bermotor. Asap merupakan partikel padat yang terdispersi di dalam medium
pendispersi berupa gas (udara). Partikel padat di udara disebut partikulat padat. Sistem
dispersi zat padat dalam medium pendispersi gas disebut aerosol padat. Sebenarnya istilah,
aerosol lazim digunakan untuk menyatakan sistem dispersi zat cair di dalam medium gas
sehingga tidak perlu disebut aerosol cair.

2.2.4 Sistem Koloid Fase Cair-Gas (Aerosol)


Sistem koloid fase cair-gas terbentuk dari fase terdispersi berupa zat cair dan fase
pendispersi berupa gas. Contoh sistem koloid ini adalah kabut dan awan. Partikel-partikel zat
cair yang terdispersi di udara (gas) disebut partikulat cair. Contoh aerosol adalah hairspray,
obat nyamuk semprot, parfum (body spray), cat semprot dan lain-lain. Pada produk-produk
tersebut digunakan zat pendorong (propellant) berupa senyawa klorofluorokarbon (CFC).

2.2.5 Sistem Koloid Fase Cair-Cair (Emulsi)


Sistem koloid fase cair-cair terbentuk dari fase terdispersi berupa zat cair dan medium
pendispersi yang juga berupa cairan. Campuran yang terbentuk bukan berupa larutan,
melainkan bersifat heterogen. Misalnya campuran antara minyak dan air. Air yang bersifat
polar tidak dapat bercampur dengan minyak yang bersifat nonpolar. Untuk dapat
“mendamaikan” air dan minyak, harus ada zat “penghubung” antara keduanya. Zat
penghubung ini harus memiliki gugus polar (gugus yang dapat larut di dalam air) dan juga
harus memiliki gugus nonpolar (gugus yang dapat larut di dalam minyak) sehingga zat
penghubung tersebut dapat bercampur dengan air dan dapat pula bercampur dengan minyak.
Sistem koloid cair-cair disebut emulsi. Zat penghubung yang menyebabkan
pembentukan emulsi disebut emulgator (pembentuk emulsi). Jadi, tidak ada emulsi tanpa
emulgator. Contoh zat emulgator, yaitu sabun, detergen, dan lesitin. Minyak dan air dapat
bercampur jika ditambahkan emulgator berupa sabun atau deterjen. Oleh karena itu, untuk
menghilangkan minyak yang menempel pada tangan atau pakaian digunakan sabun atau
deterjen, yang kemudian dibilas dengan air.
Susu, air santan, krim, dan lotion merupakan beberapa emulsi yang Anda kenal dalam
kehidupan sehari-hari. Susu murni (dalam bentuk cair) merupakan contoh bentuk emulsi
alami karena di dalam susu murni telah terdapat emulgator alami, yaitu kasein. Di dalam
industri makanan, biasanya susu murni diolah menjadi susu bubuk. Susu bubuk yang
terbentuk menjadi sukar larut dalam air, kecuali dengan menggunakan air panas. Oleh karena
itu, digunakan zat emulgator yang berupa lesitin sehingga susu bubuk tersebut dapat mudah
larut dalam air, sekalipun hanya dengan menggunakan air dingin. Susu bubuk yang dicampur
dengan zat emulgator dikenal dengan istilah susu bubuk instant. Contoh lain emulsi adalah
krim (emulsi yang berbentuk pasta), dan lotion (emulsi yang berbentuk cairan kental atau
krim yang encer). Sistem emulsi banyak digunakan dalam berbagai industri seperti berikut :
a. Industri kosmetik: dalam bentuk berbagai krim untuk perawatan kulit, dan berbagai lotion
yang berasal dari minyak, serta haircream (minyak rambut).
b. Industri makanan: dalam bentuk es krim dan mayones. Mayones terbuat dari minyak tumbuh-
tumbuhan (minyak jagung atau minyak kedelai) dan air. Pada mayones ini digunakan kuning
telur sebagai zat emulgator.
c. Industri farmasi: dalam bentuk berbagai krim untuk penyakit kulit, sirup, minyak ikan, dan
lain-lain.

2.2.6 Sistem Koloid Fase Cair-Padat (Emulsi Padat)


Sistem koloid fase cair-padat terbentuk dari fase terdispersi berupa zat cair dan
medium pendispersi berupa zat padat sehingga dikenal dengan nama emulsi padat.
Sebenarnya, istilah emulsi hanya digunakan untuk sistem koloid fase cair-cair. Jadi, emulsi
berarti sistem koloid fase cair-cair (tidak ada istilah emulsi cair). Contoh emulsi padat, yaitu
keju, mentega, dan mutiara.

2.2.7 Sistem Koloid Fase Gas-Cair (Busa)


Sistem koloid fase gas-cair terbentuk dari fase terdispersi berupa gas dan medium
pendispersi berupa zat cair. Jika anda mengocok larutan sabun, akan timbul busa. Di dalam
busa sabun terdapat rongga yang terlihat kosong. Busa sabun merupakan fase gas dalam
medium cair. Contoh-contoh zat yang dapat menimbulkan busa atau buih, yaitu sabun,
deterjen, protein, dan tanin.
Pada proses pencucian, busa yang ditimbulkan oleh sabun atau deterjen dapat
mempercepat proses penghilangan kotoran. Busa atau buih pada zat pemadam api berfungsi
memperluas jangkauan (voluminous) dan mengurangi penguapan air. Pada proses pemekatan
bijih logam, sengaja ditimbulkan busa agar zat-zat pengotor dapat terapung di dalam busa
tersebut.
Di dalam suatu proses industri kimia, misalnya proses fermentasi, kadang-kadang
pembentukan busa tidak diinginkan sehingga dilakukan penambahan zat antibusa (antifoam),
seperti silikon, eter, isoamil alkohol, dan lain-lain.

2.2.8 Sistem Koloid Fase Gas-Padat (Busa Padat)


Sistem koloid fase gas-padat terbentuk dari fase terdispersi berupa gas dan medium
pendispersi berupa zat padat, yang dikenal dengan istilah busa padat, sedangkan dispersi gas
dalam medium cair disebut busa dan tidak perlu disebut busa cair. Di dalam kehidupan
sehari-hari, anda dapat menemui busa padat yang dikenal dengan istilah karet busa dan batu
apung. Pada kedua contoh busa padat ini terdapat rongga atau pori-pori yang dapat diisi oleh
udara.
Secara garis besar, kedelapan jenis sistem koloid tersebut dapat ditunjukkan pada
Tabel 2.2 berikut ini.
Tabel 2.2 Jenis Sistem Koloid dan Contoh-contohnya
Fase Medium
No. Nama Koloid Contoh
Terdispersi Pendispersi
Sol emas, agar-agar, jelly,
1. Padat Cair Sol
cat, tinta, air sungai
2. Padat Gas Aerosol padat Asap, debu padat
Paduan logam, kaca
3. Padat Padat Sol padat
berwarna
4. Cair Gas Aerosol Kabut, awan
5 Cair Cair Emulsi Santan, susu, es krim, krim,
lotion, mayonaise
6. Cair Padat Emulsi padat Keju, mentega, mutiara
7. Gas Cair Buih, busa Busa sabun
8. Gas Padat Busa padat Karet busa, batu apung

Macam koloid berdasarkan interaksinya dengan pelarut ( air )


1. Koloid Hidrofil ;
- dapat campur dengan air  dapat diencerkan
- lebih stabil .
Contoh : koloid dari senyawa-senyawa organik, misalnya
kanji (amilum), agar-agar, dsb

2. Koloid Hidrofob ;
- tidak campur dengan air,  tidak dapat diencerkan
- kurang stabil.
Contoh : Kebanyakan koloid dari senyawa anorganik, misalnya sol belerang (S), Fe(OH)3 .

2.3 Sifat dan penerapan sistem koloid


Secara fisik, sistem koloid terlihat homogen seperti larutan. Jika anda amati dengan
mikroskop, terlihat adanya perbedaan antara koloid dan larutan karena sistem koloid
sebetulnya bersifat heterogen. Untuk lebih memperjelas perbedaan antara larutan dan koloid,
Anda harus mempelajari sifat-sifat yang dimiliki oleh sistem koloid tersebut.
2.3.1. Gerak Brown
Gerak Brown adalah gerak tidak beraturan, gerak acak atau gerak zig-zag partikel
koloid. Gerak Brown terjadi karena benturan tidak teratur partikel koloid dan medium
pendispersi. Benturan tersebut mengakibatkan partikel koloid bergetar dengan arah yang
tidak beraturan dan jarak yang pendek.

Gerak Brown kali pertama diamati pada 1827 oleh Robert Brown (1773-1858),
seorang ahli Biologi berkebangsaan Inggris pada saat mengamati serbuk sari. Fenomena ini
dijelaskan oleh Albert Einstein (1879-1955) pada 1905. Menurut Einstein, suatu partikel
mikroskopis (hanya dapat diamati dengan mikroskop) yang melayang dalam suatu medium
pendispersi akan menunjukkan suatu gerak acak atau gerak zig-zag. Gerakan ini disebabkan
oleh medium pendispersi yang menabrak partikel terdispersi dari berbagai sisi dalam jumlah
yang tidak sama untuk setiap sisi.
Arah gerak partikel koloid bergantung pada jumlah partikel medium pendispersi yang
menabrak. Jika jumlah partikel pendispersi yang menabrak dari arah bawah banyak, partikel
koloid akan bergerak ke atas. Jika jumlah partikel pendispersi yang menabrak dari kiri bawah
banyak, partikel koloid bergerak ke kanan atas. Setiap gerak disertai getaran karena di sisi
lain ada tabrakan dari medium pendispersi, tetapi jumlah molekul medium pendispersi ini
sedikit. Gerak zig-zag akibat tabrakan dari partikel pendispersi menyebabkan sistem koloid
tetap stabil, tetap homogen, dan tidak mengendap.
Apakah gerak Brown juga terjadi pada sistem larutan atau suspensi? Pada larutan,
partikel terdispersi memiliki ukuran yang sangat kecil dan hampir sama dengan ukuran
molekul pendispersi. Gerakan partikel pendispersi bukan terjadi karena ditabrak oleh partikel
pendipersi, melainkan disebabkan oleh gerakan oleh molekul sendiri. Pada suspensi, ukuran
partikel terdispersi sangat besar. Adanya partikel pendispersi yang menabrak tidak
menyebabkan partikel terdispersi bergerak dan tidak menimbulkan getaran. Pada suspensi,
partikel terdispersi banyak dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi sehingga partikel terdispersi
lebih banyak bergerak ke bawah dan membentuk endapan.

2.3.2 Efek Tyndall


Jika cahaya dilewatkan ke dalam sistem koloid, cahaya yang melewati sistem koloid
tersebut terlihat lebih terang. Cahaya yang terlihat lebih terang ini disebabkan oleh terjadinya
efek Tyndall. Efek Tyndall adalah efek penghamburan cahaya oleh partikel koloid. Partikel
koloid akan memantulkan dan menghamburkan cahaya yang mengenainya sehingga cahaya
akan terlihat lebih terang. Jika kemudian cahaya ini ditangkap layar, cahaya pada layar
tersebut tampak buram.

Di dalam kehidupan sehari-hari, efek Tyndall dapat dilihat pada gejala-gejala berikut.
1) Jika sinar matahari masuk melalui celah ke dalam ruangan, pada sinar terlihat debu-debu
beterbangan (daerah ini terlihat lebih terang). Pada daerah yang tidak terlewati sinar matahari
tidak akan terlihat adanya debu. Begitu juga jika sinar matahari melewati daun pepohonan di
daerah yang berkabut, sinar matahari tersebut terlihat lebih jelas.
2) Jika Anda menonton film di gedung bioskop, kemudian ada asap rokok yang mengepul ke
atas cahaya proyektor terlihat lebih terang dan gambar pada layar menjadi buram.
3) Sorot lampu mobil pada malam yang berkabut terlihat lebih jelas. Begitu juga pada jalan
yang berdebu, sorot lampu terlihat lebih jelas, kecuali sehabis hujan yang cukup deras
(sehingga jalanan tidak berdebu dan tidak ada asap). Itulah sebabnya sorot lampu mobil
seakan tidak tampak (tidak terlihat), tetapi jalan terlihat jelas.

2.3.3 Adsorpsi
Partikel koloid mampu menyerap molekul netral atau ion-ion pada permukaannya.
Jika partikel koloid menyerap ion bermuatan, kemudian ion-ion tersebut menempel pada
permukaannya, partikel tersebut menjadi bermuatan.

Sol Fe(OH)3 mampu mengadsorpsi ion-ion H+ sehingga sol Fe(OH)3 menjadi


bermuatan positif. Sol As2 S3 mampu mengadsorpsi ion-ion S2- sehingga sol As2 S3 menjadi
bermuatan negatif. Penyerapan yang hanya terjadi di permukaan saja disebut adsorpsi,
sedangkan penyerapan yang terjadi di seluruh bagian disebut absorpsi.
Muatan dalam partikel koloid bukan disebabkan oleh ionisasi partikel seperti pada
larutan, melainkan disebabkan oleh adanya ion lain yang diadsorpsi. Sifat adsorpsi partikel
koloid digunakan pada proses-proses berikut.
a. Penjernihan Air
Pada air sungai (air sungai merupakan suatu sistem koloid), tanah yang terdispersi
dapat diendapkan dengan penambahan tawas (Kal(SO 4 )2 ) atau larutan PAC (Poly
Alumuinium Chloride). Kedua zat ini dapat membentuk koloid Al(OH) 3 mengadsorpsi
pengotor di dalam air, menggumpalkan, dan mengendapkannya sehingga air menjadi jernih.
b. Penghilangan Kotoran pada Proses Pembuatan Sirup
Kadang-kadang gula masih mengandung pengotor sehingga jika dilarutkan di dalam
air, pengotor tersebut akan tampak dan larutan tidak jernih. Pada industri pembuatan sirup,
untuk menghilangkan pengotor ini biasanya digunakan putih telur. Setelah gula larut, sambil
diaduk ditambahkan putih telur tersebut menggumpal dan mengadsorpsi pengotor. Selain
putih telur, dapat juga digunakan zat lain, seperti tanah diatomae atau arang aktif.
c. Proses Menghilangkan Bau Badan
Pada produk roll on deodorant, digunakan adsorben (zat yang akan mengadsorpsi)
berupa Al-stearat. Jika deodorant digosokkan pada anggota badan, Al-stearat mengadsorpsi
keringat yang menyebabkan bau badan.
d. Penggunaan Arang Aktif
Arang aktif merupakan contoh adsorben yang dibuat dengan memanaskan arang
dalam udara kering. Arang aktif memiliki kemampuan untuk menyerap berbagai zat. Obat
norit (obat sakit perut) mengandung zat arang aktif yang berfungsi menyerap berbagai zat dan
racun dalam usus. Arang aktif ini juga digunakan pada topeng gas, lemari es (untuk
menghilangkan bau), dan rokok filter (untuk mengikat asap nikotin dan tar).
Adanya muatan listrik pada koloid menyebabkan koloid dapat dipisahkan dengan cara
elektroforesis. Elektroforesis adalah metode pemisahan berdasarkan perbedaan laju
perpindahan molekul dalam medan listrik. Pada elektroforesis, partikel koloid yang
bermuatan akan mengalami pergerakan. Partikel koloid yang bermuatan negatif akan
bergerak ke elektrode (kutub) positif. Adapun koloid yang bermuatan positif bergerak ke
elektrode (kutub) yang bermuatan negatif.

Elektroforesis dapat digunakan untuk menentukan jenis muatan dari suatu partikel
koloid.

2.3.4 Koagulasi
Telur direbus hingga membeku, penggumpalan susu yang basi, dan pembentukan
delta pada muara sungai merupakan contoh-contoh proses koagulasi. Koagulasi adalah
penggumpalan partikel koloid yang terjadi karena kerusakan stabilitas sistem koloid atau
karena penggabungan partikel koloid yang berbeda muatan sehingga membentuk partikel
yang lebih besar. Koagulasi dapat terjadi karena pengaruh pemanasan, pendinginan,
penambahan elektrolit, pembusukan, pencampuran koloid yang berbeda muatan, atau karena
elektroforesis. Koloid Fe(OH)3 yang bermuatan positif jika dicampur dengan koloid As 2 S3
yang bermuatan negatif akan mengalami koagulasi. Koagulasi terjadi karena setiap partikel
koloid yang memiliki muatna yang berlawanan saling menetralkan dengan gaya elektrostatik
hingga membentuk partikel besar dan menggumpal.
Elektroforesis dapat menyebabkan koagulasi karena endapan pada salah satu
elektrode semakin lama semakin pekat, dan akhirnya membentuk gumpalan. Berikut
beberapa proses koagulasi yang sengaja dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
a. Perebusan Telur
Telur mentah merupakan suatu sistem koloid dengan fase terdispersi berupa protein.
Jika telur tersebut direbus akan terjadi koagulasi sehingga telur tersebut menggumpal.
b. Pembuatan Yoghurt
Susu dapat diubah menjadi yoghurt melalui fermentasi. Pada fermentasi susu akan
terbentuk asam laktat yang menggumpal dan berasa asam.
c. Pembuatan Tahu
Pada pembuatan tahu dari kedelai, mula-mula kedelai dihancurkan sehingga keedelai
berbentuk bubur kedelai (seperti susu). Kemudian, ditambahkan larutan elektrolit, yaitu
CaSO 4 .2H2 O yang disebut batu tahu sehingga protein kedelai menggumpal dan membentuk
tahu.
d. Pembuatan Lateks
Lateks terbuat dari getah karet, salah satu sistem koloid. Pada pembuatan lateks, getah
kerat digumpalkan dengan penambahan asam asetat atau asam format.
e. Penjernihan Air Sungai
Air sungai mengandung padatan lumpur yang terdispersi di dalam air (sol). Sol tanah
liat dalam air sungai memiliki muatan negatif sehingga dapat diendapkan dengan
penambahan tawas atau PAC. Di dalam air sungai tawas atau PAC membentuk koloid
Al(OH)3 yang bermuatan positif. Pengendapan terjadi karena koagulasi koloid yang
bermuatan negatif dengan koloid yang bemuatan positif.
f. Pembentukan Delta
Delta terbentuk dari hasil pencampuran air sungai yang mengandung koloid tanah liat
dan elektrolit yang berasal dari air laut. Pencampuran tersebut menyebabkan terjadinya
koagulasi sehingga terbentuk delta.
g. Pengolahan Asap Atau Debu
Asap dan debu yang dihasilkan dari suatu proses industri dapat mencemari udara di
sekitarnya. Asap dan debu merupakan sistem koloid zat padat dalam medium pendispersi gas
(udara). Padatan dalam asap atau debu dapat diendapkan menggunakan alat Cotrell.
Asap dan debu dilewatkan melalui cerobong yang di dalamnya terdapat ujung-ujung
elektrode bermuatan dengan bertegangan antara 20.000 V hingga 75.000 V. Elektrode
mengakibatkan asap dan debu tersebut menjadi bermuatan. Selanjutnya, partikel asap dan
debu akan tertarik pada elektrode yang lainnya dan mengendap. Endapan yang terbentuk
dipisahkan secara berkala sehingga gas-gas yang keluar dari cerobong sudah terbebas dari
partikel padatan yang berbahaya.

2.3.5 Koloid Liofil dan Koloid Liofob


Sistem koloid sol (zat padat dalam medium pendispersi cair) dapat bersifat liofil
(dalam bahasa Yunani lyo = cairan, philia = suka) dan ada juga bersifat liofob (Yunani:
phobia = tidak suka, takut). Pada sol yang bersifat liofil, zat terdispersi dapat menarik atau
mengikat medium pendispersi. Pada sol yang bersifat liofob, zat terdispersi tidak dapat
mengikat medium pendispersinya (air).
Pada koloid liofil, pengikatan medium pendispersi disebabkan oleh gaya tarik-
menarik (berupaya gaya elektrostatik) pada setiap gugus ujung molekul terdispersi. Sebagai
gambaran, jika satu sendok agar-agar padat dicampur dengan beberapa gelas air, setiap
penambahan air pada koloid agar-agar akan menyebabkan air terserap. Molekul-molekul air
akan diikat setiap gugus yang terdapat pada permukaan padatan agar-agar sehingga struktur
agar-agar mengembang.
Agar-agar sangat mudah menarik medium pendispersinya (air). Koloid liofil terlihat
homogen, stabil, tidak tampak adanya medium pendispersi, lebih kental, dan membentuk gel.
Contoh koloid liofil, yaitu agar-agar, koloid kanji, cat, lem, gelatin, protein (putih telur), dan
tinta warna. Jika medium pendispersi pada suatu koloid liofil adalah air, koloid tersebut
disebut koloid hidrofil.
Pada sol yang bersifat liofob, zat terdispersi tidak dapat bercampur dengan baik jika
ditambahkan lagi medium pendispersi. Pada koloid yang bersifat liofob, jumlah medium
pendispersi harus tertentu (terbatas). Jika pada suatu koloid liofob yang sudah stabil
ditambahkan lagi zat pendispersi, zat terdispersi akan menolak sehingga koloid tidak menjadi
tidak stabil. Contoh koloid liofob, yaitu sol emas, sol belerang, sol As 2 S3 , dan sol Fe(OH)3
suatu koloid liofob dengan medium pendispersi air tersebut dinamakan koloid hidrofob.
Koloid liofob berbentuk encer (hampir sama dengan medium pendispersi), tidak stabil, serta
memiliki gerak Brown dan efek Tyndall.
Sifat-Sifat Sol Liofil Sol Liofob

Pembuatan Dapat dibuat langsung Tidak dapat dibuat hanya


dengan mencampurkan fase dengan mencampur fase
terdispersi dengan medium terdispersi dan medium
terdispersinya pendisperinya

Muatan partikel Mempunyai muatan yang Memiliki muatan positif


kecil atau tidak bermuatan atau negative

Adsorpsi medium Partikel-partikel sol liofil Partikel-partikel sol liofob


pendispersi mengadsorpsi medium tidak mengadsorpsi
pendispersinya. Terdapat medium pendispersinya.
proses solvasi/ hidrasi, Muatan partikel diperoleh
yaitu terbentuknya lapisan dari adsorpsi partikel-
medium pendispersi yang partikel ion yang
teradsorpsi di sekeliling bermuatan listrik
partikel sehingga
menyebabkan partikel sol
liofil tidak saling
bergabung

Viskositas Viskositas sol liofil > Viskositas sol hidrofob


(kekentalan) viskositas medium hampir sama dengan
pendispersi viskositas medium
pendispersi

Penggumpalan Tidak mudah menggumpal Mudah menggumpal


dengan penambahan dengan penambahan
elektrolit elektrolit karena
mempunyai muatan.

Sifat reversibel Reversibel, artinya fase Irreversibel artinya sol


terdispersi sol liofil dapat liofob yang telah
dipisahkan dengan menggumpal tidak dapat
koagulasi, kemudian dapat diubah menjadi sol
diubah kembali menjadi sol
dengan penambahan
medium pendispersinya.

Efek Tyndall Memberikan efek Tyndall Memberikan efek Tyndall


yang lemah yang jelas

Migrasi dalam Dapat bermigrasi ke anode, Akan bergerak ke anode


medan listrik katode, atau tidak atau katode, tergantung
bermigrasi sama sekali jenis muatan partikel

2.3.6 Koloid Pelindung


Koloid pelindung adalah suatu sistem koloid yang ditambahkan pada sistem koloid
lainnya agar diperoleh koloid yang stabil. Contoh koloid pelindung adalah gelatin yang
merupakan koloid padatan dalam medium air. Gelatin biasa digunakan paa pembuatan es
krim untuk mencegah pembentukan kristal es yang kasar sehingga diperoleh es krim yang
lebih lembut.

2.3.7 Dialisis
Dialisis adalah proses penyaringan partikel koloid dari ion-ion yang teradsorpsi
sehingga ion-ion tersebut dapat dihilangkan dan zat terdispersi terbebas dari ion-ion yang
tidak diinginkan.
Pada proses dialisis, koloid yang mengandung ion-ion dimasukkan ke dalam kantung
penyaring, kemudian dicelupkan ke dalam medium pendispersi (air). Ion-ion dapat keluar
melewati penyaring sehingga partikel koloid terbebas dari ion-ion. Kantung penyaring
merupakan selaput semipermeabel yang hanya dapat dilewati ion dan air, tetapi tidak dapat
dilewati partikel koloid.

Proses dialisis juga terjadi dalam metabolisme tubuh. Ginjal berfungsi sebagai
penyaring semipermeabel. Cairan hasil metabolisme di dalam darah mengandung butir-butir
darah, air, dan urea. Urea merupakan racun bagi tubuh sehingga harus dikeluarkan melalui air
seni. Jika ginjal mengalami gangguan (gagal ginjal), ginjal tidak dapat menyaring darah dan
mengeluarkan urea yang bersifat racun. Oleh karena itu, penderita gagal memerlukan proses
“cuci darah”, yaitu proses dialisis yang berfungsi menghilangkan urea dari darah. Oleh
karena itu, sudah sepatutnyalah kita mensyukuri kesehatan ginjal kita.

2.3.8 Sistem Koloid dalam Pengolahan Air


Air sungai merupakan koloid yang terbentuk dari tanah liat yang terdispersi di dalam
air. Pengolahan air sungai menjadi bersih dapat dilakukan melalui tahap-tahap penggumpalan
pengotor (koagulasi), penyaringan pengotor, penyerapan bau dan zat kimia (adsorpsi), dan
pembasmian kuman (desinfeksi).
a. Penggumpalan
Proses penggumpalan (koagulasi) dilakukan dengan menggunakan tawas (Kal(SO 4 )2 ),
PAC (Poly Alumunium Chloride), dan Al2 (SO4)3 .
Senyawa-senyawa tersebut dapat menghasilkan koloid Al(OH)3 yang akan
mengadsorpsi pengotor tanah dan menggumpalkannya sehingga terbentuk endapan.
b. Proses Penyaringan
Setelah terjadi penggumpalan, kemudian dilakukan proses penyaringan menggunakan
penyaring. Penyaring terdiri atas lapisan pasir, kerikil, dan ijuk.
c. Proses Adsorpsi
Adsorpsi atau penyerapan kotoran menggunakan koloid Al(OH) 3 terjadi pada tahap
awal. Jika terdapat ion Fe2+, ion tersebut terlebih dahulu dioksidasi menjadi ion Fe 3+
menggunakan kaporit. Setelah itu baru proses adsorpsi dapat dilakukan menggunakan
Al(OH)3 . Proses adsorpsi juga dilakukan dengan menggunakan karbon aktif yang dapat
menyerap bau dan zat-zat kimia, seperti besi dan sisa kaporit yang berlebih.
d. Proses Desinfeksi
Penambahan kaporit bertujuan membunuh kuman-kuman. Kaporit juga berperan
sebagai oksidator, dapat ditambahkan sebelum penggumpalan. Kaporit ini menimbulkan bau
unsur klorin yang kurang sedap sehingga digunakan karbon aktif untuk menyerap klorin
tersebut.

2.4 Kestabilan koloid


Sistem koloid dapat tetap stabil (tidak mengendap) karena partikel-partikel koloid
tidak berkelompok ( bergabung sesamanya ) menjadi partikel yang lebih besar
Kestabilan koloid disebabkan oleh dua hal :
1. Partikel koloid menyerap ion-ion yang berada dalam mediumnya  partikel koloid
“dilindungi” untuk tidak bergabung sesamanya. Terjadi pada koloid dari senyawa anorganik
. Contoh : penambahan larutan FeCl3 ke dalam air,
akan terbentuk sol Fe2 O3 . x H2 O yang menyerap ion-ion Fe3+ di lapisan dalam (lapisan I)
dan ino-ion Cl- sebagai lapisan luar (lapisan II).

2. Adanya emulgator; yaitu


zat yang ketiga yang melindungi patikel koloid agar tidak bergabung sesamanya; misalnya
minyak yang “dilindungi “ oleh sabun . Contoh beberapa zat yang dapat berfungsi sebagai
emulgator ialah sabun dan deterjen.
3. Partikel koloid tidak bisa mengendap karena bersifat stabil.
4. Kestabilan koloid dapat diganggu dengan penambahan koagulan dan pengadukan cepat.
5. Partikel yang tidak stabil cenderung untuk saling berinteraksi dan bergabung
membentuk flok yang berukuran besar.

2.5 Pembuatan koloid


Pembuatan koloid dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, menggabungkan
molekul atau ion dari larutan (cara kondensasi). Kedua, menghaluskan partikel suspensi,
kemudian didispersikan ke dalam suatu medium pendispersi (cara dispersi).

2.5.1 Cara Kondensasi


Cara kondensasi dilakukan melalui reaksi-reaksi kimia, seperti reaksi redoks, reaksi
hidrolisis, reaksi penggaraman, dan reaksi penjenuhan.
a. Reaksi Redoks
Reaksi redoks merupakan reaksi pembentukan partikel koloid melalui mekanisme perubahan
bilangan oksidasi. Perhatikan contoh-contoh berikut:
1) Pembuatan sol belerang dengan mengalirkan gas hidrogen sulfida (H2 S) ke dalam larutan
belerang dioksida (SO 2 ).
2H2 S (g) + SO 2(aq) → 3S(s) + 2H2 O (l)
2) Pembuatan sol emas dengan cara meraksikan larutan AuCl3 dan zat pereduksi formaldehid
atau besi (II) sulfat.
2AuCl(aq) + 3HCOH(aq) + 3H2 O(l) → 2Au(s) + 6HCl (aq) +3HCOOH(aq)
atau
AuCl3(aq) + 3FeSO 4(aq) → Au(s) + Fe2 (SO 4 )3(aq) + FeCl3 (aq)

b. Reaksi Hidrolisis
Reaksi hidrolisis merupakan reaksi pembentukan koloid dengan menggunakan pereaksi air.
Misalnya, pembuatan sol Al(OH)3 dan sol Fe(OH)3 .
1) Pembuatan sol Al(OH)3 dari larutan AlCl3 , Al2 (SO 4 )3 , PAC atau tawas.
AlCl3(aq) + 3H2 O (l) → Al(OH)3(s) + 3HCl(aq)
2) Pembuatan sol Fe(OH)3 dari larutan FeCl3 dengan air panas.
FeCl3(aq) + 3H2 O (l) → Fe(OH)3(s) + 3HCl(aq)

c. Reaksi Penggaraman
Garam-garam yang sukar larut dapat dibuat menjadi koloid melalui reaksi pembentukan
garam. Untuk menghindari pengendapan biasanya digunakan suatu zat pemecah.
AgNO 3(aq) + NaCl(aq) → AgCl(s) +NaNO 3(aq)
Na2 SO4(aq) + Ba(NO 3 )2(aq) → BaSO 4(s) + 2NaNO 3(aq)
d. Penjenuhan Larutan
Pembuatan kalsium asetat merupakan contoh pembuatan koloid dengan cara
penjenuhan larutan ke dalam larutan jenuh kalsium asetat dalam air. Penjenuhan dilakukan
dengan cara menambahkan pelarut alkohol sehingga akan menghasilkan koloid berupa gel.
Kalsium asetat bersifat mudah larut dalam air, namun sukar larut dalam alkohol.
e. Reaksi dekomposisi rangkap
 Sol As2 S3 dibuat dengan mengalirkan gas H2 S perlahan melalui larutan As2 O 3 dingin sampai
terbentuk sol As2 S3 yang berwarna kuning terang
As2 O3 + 3 H2 S → As2 S3 (koloid) + 3H2 O
 Sol AgCl dibuat dengan mencampurkan larutan AgNO 3 dan larutan HCl encer.
AgNO 3 + HCl → AgCl (koloid) + HNO 3

2.5.2. Cara Dispersi


Pembuatan koloid dengan cara dispersi dilakukan dengan cara mengubah partikel
kasar (besar) menjadi partikel koloid. Cara dispersi dapat dilakukan melalui cara mekanik
(penggerusan), cara busur Bredig, dan cara peptisasi (pemecahan).
a. Cara Mekanik
Cara mekanik merupakan cara fisik mengubah partikel kasar menjadi partikel halus.
Partikel kasar digiling dengan alat coloid mill sehingga diperoleh ukuran partikel yang
diinginkan. Selanjutnya, partikel halus ini didispersikan ke dalam suatu medium pendispersi.
Proses penggilingan dapat juga dilakukan di dalam medium pendispersi.
b. Cara Busur Bredig
Proses pembuatan koloid dengan cara busur Bredig digunakan untuk membuat sol logam.
Pada proses ini, logam yang akan dibuat sol digunakan sebagai elektrode dihubungkan
dengan arus listrik. Uap logam yang terjadi akan terdispersi ke dalam medium pendispersi
sehingga membentuk koloid.
c. Cara Peptisasi
Pada cara peptisasi, partikel kasar berupa endapan diubah menjadi partikel koloid
dengan menggunakan elektrolit yang mengandung ion sejenis zat pemecah. Berikut ini
contoh-contoh peptisasi.
1) Endapan Al(OH)3 dipeptisasi dengan AlCl3
2) Endapan NiS dipeptisasi dengan air
3) Serat selulosa asetat dipeptisasi dengan aseton.
d. Cara Homogenisasi
Cara ini mirip dengan cara mekanik dan biasanya digunakan untuk membuat emulsi.
Dengan cara ini, partikel lemak dihaluskan, kemudian didispersikan ke dalam medium air
dengan penambahan emulgator. Selanjutnya, emulsi yang terbentuk dimasukkan ke dalam
alat homogenizer. Caranya dengan melewatkan emulsi pada pori-pori dengan ukuran tertentu
sehingga diperoleh emulsi yang homogen.
2.6 Pemurnian Koloid Sol
Partikel dari zat pelarut bisa mengganggu kestabilan koloid sehingga harus
dimurnikan. Ada 3 metode yang dapat digunakan, yaitu dialisis, elektrodialisis, dan
penyaring ultra.

2.6.1 Dialisis
Pergerakan ion-ion dan molekul kecil melalui selaput semipermeabel (yang tidak
dapat dilalui partikel koloid) disebut diasis. Percobaannya dengan menaruh sistem koloid
pada selaput semipermeabel, lalu menaruhnya di air. Zat yang terlarut di dalam air kemudian
akan keluar dari selaput itu, sedangkan system koloid tidak. Lalu air dialirkan sehingga
mengambil zat-zat yang terlarut.

2.6.2 Elektrodialisis
Elektrodialisis merupakan proses dialisis di bawah pengaruh medan listrik. Listrik
tegangan tinggi dialirkan melalui 2 layar logam yang menyokong selaput semipermeabel.
Kemudian, partikel-partikel zat terlarut dalam system koloid berupa ion-ion akan bergerak
menuju electrode dengan muatan berlawanan. Adanya pengaruh medan listrik pempercepat
proses pemurnian.

2.6.3 Penyaring Ultra


Apabila kertas saring tersebut diresapi dengan selulosa seperti selofan, maka ukuran
pori-pori akan berkurang. Kertas saring ini telah dimodifikasi menjadi penyaring ultra.

Anda mungkin juga menyukai