Anda di halaman 1dari 535

PROSIDING

Seminar Nasional & Call for Papers 2020


POLITIK HUKUM UNTUK PEMBANGUNAN EKONOMI
MENUJU NEW NORMAL

SURAKARTA, 15 AGUSTUS 2020

MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
ii
KATA SAMBUTAN

Kebijakan new normal ditempuh pemerintah untuk menyelamatkan kondisi perekonomian


negara, serta menekan risiko PHK karyawan oleh pelaku industri. Opsi new normal yang
kemungkinan besar akan dipilih Pemerintah RI diprediksi dapat menyelamatkan kondisi
perekonomian nasional. Selama masa pandemi COVID-19, pertumbuhan ekonomi Indonesia
tercatat anjlok, meskipun pada kuartal I 2020 pertumbuhan ekonomi masih positif di level 2,97%.
Pemerintah menargetkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tetap positif pada kuartal II dan
kuartal III 2020 di ambang 2,3%-2,5%. Penerapan new normal diharapkan dapat menyokong
pertumbuhan ekonomi tersebut. Dengan beroperasinya sektor industri, perekonomian dapat
bergeliat kembali dan mengatrol pertumbuhan ekonomi. Melalui new normal, pemerintah dan
masyarakat bersinergi untuk mengembalikan kondisi perekonomian dan sosial masyarakat.
Namun, di sisi lain semua pihak diharapkan tetap berupaya menghentikan penyebaran virus
Corona. REVIEWERS:
Mengingat pentingnya politik hukum untuk pembangunan ekonomi di tengah pandemi ini, maka
Program Studi MagiserDr. Mohammad
Hukum Jamin,
Universitas Sebelas S.H.,
Maret M.Hum, Seminar Nasional
menyelenggarakan
dengan tema Politik Hukum untuk Pembangunan Ekonomi Menuju New Normal, dengan
menghadirkan para pakarDr. Hari Purwadi,
dan praktisi S.H., M.Hum,
yang sangat kompeten antara lain Prof. Dr. Arief Hidayat,
S.H., M.S. (Hakim Mahkamah Konstitusi), J. Nanang
Dr. Isharyanto, S.H., Murjianto,
M.Hum,M.PD., M.H. (Direktur PT
RNI BUMN), Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.H. (Guru besar Fakultas Hukum UNS), I Ktut Hadi
Dr. Biro
Priatna, S.H., LL.M. (Kepala Sapto
Hukum Hermawan. S.H.,
dan Organisasi M.H.
Kemenko Perekonomian).
Pemikiran dan pandangan para narasumber kunci dalam seminar tersebut telah diperkaya
melalui paper dari para peserta Call for Papers dengan pembahasan yang telah difokuskan
secara spesifik dan mendalam. Semua paper pembicara dan pemakalah dipublikasikan dalam
Prosiding Seminar Nasional yang diharapkan akan menjadi referensi pemikiran hokum yang
aktual di Indonesia.
Sebagai Kepala Program Studi Magiser Hukum Universitas Sebelas Maret, saya ingin
mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Universitas dan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan untuk menyelenggarakan Seminar Nasional
dan Call for Papers tersebut. Tidak lupa, saya menyampaikan terima kasih kepada para
mahasiswa Program Studi Magiser Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah bekerjasama
dalam penyelenggaraan Seminar Nasional dan Call for Papers serta penerbitan Prosiding
ini. Secara khusus, saya menyampaikan terima kasih kepada Dr. Andina Elok Puri Maharani,
S.H.,M.H. telah menjadi moderator dan para reviewer makalah peserta Call for Papers. Pada
akhirnya, tiada kesempurnaan hakiki kecuali kesempurnaan Allah SWT. Semoga prosiding ini
memberi manfaat bagi pengembangan kajian hukum di Indonesia.

Surakarta, 1 September 2020


Kaprodi Magister Hukum
Dr. Mohammad Jamin, SH.,MHum
NIP. 196109301986011001

iii
.

KATA PENGANTAR
Prosiding Seminar Nasional & Call for Papers 2020
POLITIK HUKUM UNTUK PEMBANGUNAN EKONOMI
MENUJU
Puji NEWNORMAL
syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayahnya
yang telah diberikan kepada kita semua, sehingga buku Prosiding Seminar Nasional dan Call For
Papers
MAGISTER tanggal HUKUM
15 Agustus 2020 yang diselenggarakan oleh Mahasiswa Pascasrjana Magister
Hukum
UNIVERSITASHukum
Fakultas SEBELAS Universitas
MARET Sebelas Maret angkatan 2019 dapat diterbitkan.
SURAKARTA
Buku Prosiding tersebut memuat sejumlah artikel hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para
peserta yang dikumpulkan dan ditata oleh tim dalam kepanitiaan Seminar Nasional dan Call
for
TataPapers.
Letak Dalam : kesempatan
Tim ASA ini, saya selaku
GRAFIKA SOLOketua panitia penyelenggara Seminar Nasional
dan Call For Papers bertemakan “Politik Hukum untuk Pembangunan Ekonomi Menuju New
Desain Sampul : Jaka Susila
Normal” ingin mengucapkan terima kasih kepada:
Preliminary : i - x
1. Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum. yang
Halaman Isi : 523 halaman
telah memfasilitasi seluruh kegiatan Seminar Nasional dan Call For Papaers ini. 

Ukuran
2. DekanBuku
Fakultas: Hukum
21 x 29,7 cm
Universitas Sebelas Maret
Prof. Dr. I Gu i Ayu Ketut Rachmi
Gambar Sampul : Freepik, Fecteezy
Handayani, S.H., M.M. yang telah memfasilitasi seluruh kegiatan Seminar Nasional dan
Call For Papers ini. 

3. Kaprodi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Dr. Mohammad
Dicetak September Tahun 2020
Jamin, S.H., M.Hum. yang telah memfasilitasi selurh kegiatan Seminar Nasional dan Call
ISBN : 978-623-7565-24-6
4. For
ParaPapers ini. 
Dr. Mohammad Jamin, Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum, Dr. Isharyanto,
Reviewers
S.H., M.Hum, Dr. Sapto Hermawan, S.H., M.H. yang telah melakukan Review Artikel
peserta pemakalah di Seminar Nasional dan Call For Papers ini. 

Hak Cipta © pada penerbit.
5.
HakSeluruh peserta Seminar
Cipta dilindungi Nasional dan
Undang-Undang Call For
Nomor Papers 2014.
28 Tahun yang telah ikut berpartisipasi
Dilarang memperbanyak/ dalam
acara ini 

memperluas dalam bentuk apapun tanpa izin dari penulis dan penerbit.
6. Seluruh panitia yang telah bekerja keras dalam mewujudkan terselenggaranya acara Seminar
Nasional dan Call For Papers ini. 

Selain dari itu saya selaku ketua panitia dan atas nama panitia juga ingin menghaturkan
Diterbitkan:
permohonan maaf apabila dalam pelaksanaan acara kegiatan Seminar Nasional dan Call For
Program
Papers iniMagister Hukum
terdapat kekurangan dan hal-hal yang kurang berkenan selama berlangsungnya acara
Fakultas
ini. Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada ahirnya dengan diterbitkannya buku prosiding ini semoga saja buku Prosiding ini dapat
memberi manfaat bagi kita semua, untuk kepentingan pengembangan ilmu pendidikan khususnya
Dicetak:
yang berkaitan dengan politik hukum untuk pembangunan ekonomi menuju new normal dan
CV. INDOTAMA
dengan SOLO
diterbitkannya buku ini, diharapkan juga dapat menjadi refrensi dan masukan bagi upaya
pembangunan bangsa Bookstore
Penerbit & Supplier dan negara.
Jl. Pelangi Selatan, Kepuhsari, Perum PDAM
Mojosongo, Jebres, Surakarta 57127
Telp. 085102820157, 08121547055, 081542834155
Surakarta, 1 September 2020
E-mail: hanifpustaka@gmail.com, pustakahanif@yahoo.com
Ketua Panitia
Anggota IKAPI No. 165/JTE/2018
Mochammad Marhendra Kamajaya, S.H.
S311908009

ii
iv
KATA SAMBUTAN

Kebijakan new normal ditempuh pemerintah untuk menyelamatkan kondisi perekonomian


negara, serta menekan risiko PHK karyawan oleh pelaku industri. Opsi new normal yang
kemungkinan besar akan dipilih Pemerintah RI diprediksi dapat menyelamatkan kondisi
perekonomian nasional. Selama masa pandemi COVID-19, pertumbuhan ekonomi Indonesia
tercatat anjlok, meskipun pada kuartal I 2020 pertumbuhan ekonomi masih positif di level 2,97%.
Pemerintah menargetkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tetap positif pada kuartal II dan
kuartal III 2020 di ambang 2,3%-2,5%. Penerapan new normal diharapkan dapat menyokong
pertumbuhan ekonomi tersebut. Dengan beroperasinya sektor industri, perekonomian dapat
bergeliat kembali dan mengatrol pertumbuhan ekonomi. Melalui new normal, pemerintah dan
masyarakat bersinergi untuk mengembalikan kondisi perekonomian dan sosial masyarakat.
Namun, di sisi lain semua pihak diharapkan tetap berupaya menghentikan penyebaran virus
Corona.
Mengingat pentingnya politik hukum untuk pembangunan ekonomi di tengah pandemi ini, maka
Program Studi Magiser Hukum Universitas Sebelas Maret menyelenggarakan Seminar Nasional
dengan tema Politik Hukum untuk Pembangunan Ekonomi Menuju New Normal, dengan
menghadirkan para pakar dan praktisi yang sangat kompeten antara lain Prof. Dr. Arief Hidayat,
S.H., M.S. (Hakim Mahkamah Konstitusi), J. Nanang Murjianto, M.PD., M.H. (Direktur PT
RNI BUMN), Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.H. (Guru besar Fakultas Hukum UNS), I Ktut Hadi
Priatna, S.H., LL.M. (Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kemenko Perekonomian).
Pemikiran dan pandangan para narasumber kunci dalam seminar tersebut telah diperkaya
melalui paper dari para peserta Call for Papers dengan pembahasan yang telah difokuskan
secara spesifik dan mendalam. Semua paper pembicara dan pemakalah dipublikasikan dalam
Prosiding Seminar Nasional yang diharapkan akan menjadi referensi pemikiran hokum yang
aktual di Indonesia.
Sebagai Kepala Program Studi Magiser Hukum Universitas Sebelas Maret, saya ingin
mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Universitas dan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan untuk menyelenggarakan Seminar Nasional
dan Call for Papers tersebut. Tidak lupa, saya menyampaikan terima kasih kepada para
mahasiswa Program Studi Magiser Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah bekerjasama
dalam penyelenggaraan Seminar Nasional dan Call for Papers serta penerbitan Prosiding
ini. Secara khusus, saya menyampaikan terima kasih kepada Dr. Andina Elok Puri Maharani,
S.H.,M.H. telah menjadi moderator dan para reviewer makalah peserta Call for Papers. Pada
akhirnya, tiada kesempurnaan hakiki kecuali kesempurnaan Allah SWT. Semoga prosiding ini
memberi manfaat bagi pengembangan kajian hukum di Indonesia.

Surakarta, 1 September 2020


Kaprodi Magister Hukum
Dr. Mohammad Jamin, SH.,MHum
NIP. 196109301986011001

v
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayahnya
yang telah diberikan kepada kita semua, sehingga buku Prosiding Seminar Nasional dan Call For
Papers tanggal 15 Agustus 2020 yang diselenggarakan oleh Mahasiswa Pascasrjana Magister
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret angkatan 2019 dapat diterbitkan.
Buku Prosiding tersebut memuat sejumlah artikel hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para
peserta yang dikumpulkan dan ditata oleh tim dalam kepanitiaan Seminar Nasional dan Call
for Papers. Dalam kesempatan ini, saya selaku ketua panitia penyelenggara Seminar Nasional
dan Call For Papers bertemakan “Politik Hukum untuk Pembangunan Ekonomi Menuju New
Normal” ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum. yang
telah memfasilitasi seluruh kegiatan Seminar Nasional dan Call For Papaers ini.
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Prof. Dr. I Gu i Ayu Ketut Rachmi
Handayani, S.H., M.M. yang telah memfasilitasi seluruh kegiatan Seminar Nasional dan
Call For Papers ini.
3. Kaprodi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Dr. Mohammad
Jamin, S.H., M.Hum. yang telah memfasilitasi selurh kegiatan Seminar Nasional dan Call
For Papers ini.
4. Para Reviewers Dr. Mohammad Jamin, Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum, Dr. Isharyanto,
S.H., M.Hum, Dr. Sapto Hermawan, S.H., M.H. yang telah melakukan Review Artikel
peserta pemakalah di Seminar Nasional dan Call For Papers ini.
5. Seluruh peserta Seminar Nasional dan Call For Papers yang telah ikut berpartisipasi dalam
acara ini
6. Seluruh panitia yang telah bekerja keras dalam mewujudkan terselenggaranya acara Seminar
Nasional dan Call For Papers ini.
Selain dari itu saya selaku ketua panitia dan atas nama panitia juga ingin menghaturkan
permohonan maaf apabila dalam pelaksanaan acara kegiatan Seminar Nasional dan Call For
Papers ini terdapat kekurangan dan hal-hal yang kurang berkenan selama berlangsungnya acara
ini.
Pada ahirnya dengan diterbitkannya buku prosiding ini semoga saja buku Prosiding ini dapat
memberi manfaat bagi kita semua, untuk kepentingan pengembangan ilmu pendidikan khususnya
yang berkaitan dengan politik hukum untuk pembangunan ekonomi menuju new normal dan
dengan diterbitkannya buku ini, diharapkan juga dapat menjadi refrensi dan masukan bagi upaya
pembangunan bangsa dan negara.

Surakarta, 1 September 2020


Ketua Panitia
Mochammad Marhendra Kamajaya, S.H.
S311908009

vi
DAFTAR ISI
Kata Sambutan ..................................................................................................................... v
Kata Pengantar ..................................................................................................................... vi
Daftar Isi .............................................................................................................................. vii

BAGIAN 1 ADMINISTRASI
Perlindungan hukum satwa liar di taman nasional gunung leuser terhadap peristiwa
Kepunahan
Farras Hakim, Agus Riewanto ......................................................................................... 3

Analisis Perundang-Undangan Indonesia Bidang Informasi dan Teknologi: Studi atas


Keberadaan Buzzer yang Berpengaruh Negatif pada Media Sosial
Rustam Renyaan, Erna Dyah Kusumawati .................................................................... 19

dampak penerapan presidential threshold dalam pemilihan umum serentak dan


pembangunan kualitas demokrasi di indonesia
dadang wibowo a, djoko wahju winarno..................................................................... 29

kemenkes nomor hk.01.07/menkes/382/2020 sebagai pembuka jalan perekonomian


indonesia dalam masa new normal
elisa marta nugraha, i gusti ayu ketut rachmi handayani........................................ 39

politik hukum kehutanan dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan


nur halimah widowati, i gusti ayu ketut rachmi handayani.................................... 50

eksistensi peraturan presiden dalam hierarki peraturan perundang-undangan ditinjau


dari teori jenjang norma
indra setiawan, sasmini..................................................................................................... 61

optimalisasi zakat sebagai instrumen pemerataan pembangunan ekonomi nasional


di tengah covid-19
Rizky Wibowo .................................................................................................................... 82

Penggunaan Digital Signature dalam Pembiayaan Syariah untuk Pembangunan


Ekonomi Berwawasan Protokol Kesehatan Covid-19
Fitriyah Siti Aisyah ........................................................................................................... 97

pelindungan hukum bagi pemilik tanah setelah lima tahun terbitnya sertifikat
hendrasta pijar ramadhan, i gusti ayu ketut rachmi handayani,
lego karjoko....................................................................................................................... 107

membangun pengelolaan kawasan ekosistem karst berkelanjutan


(studi kasus di kabupaten trenggalek)
bandung setyobudi, dewi gunawati................................................................................ 116

vii
politik hukum regulasi minyak dan gas bumi dalam rangka ketahanan energi
kirana intaniasari, i gusti ayu ketut rachmi handayani............................................ 138

Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan Berbangsa di Tengah


Pandemi Covid-19
Wilma Silalahi ................................................................................................................... 147

penegakan hukum terhadap pengelolaan retribusi parkir di tepi jalan umum di kota
surakarta
mochammad marhendra kamajaya................................................................................ 169

menguji konstitusionalitas materi muatan peraturan presiden nomor 72 tahun 2020:


perspektif non-delegasi absolut
moh rizaldi......................................................................................................................... 188

Implikasi Kondisi Darurat dalam Pembentukan Perppu Penanggulangan Dampak


Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19 di Indonesia serta Pengesahan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2020
Anajeng Esri Edhi Mahanani . ......................................................................................... 198

prosedur pengujian penyalahgunaan wewenang di peradilan tata usaha negara


menurut undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan
shubhan noor hidayat, lego karjoko, sapto hermawan............................................. 209

efektivitas penegakan hukum administrasi terhadap pencemaran air sungai akibat


limbah b3 industri kulit di magetan
febri dwi saputra, jadmiko anom h.............................................................................. 226

BAGIAN 2 KESEHATAN
ketercapaian asas keadilan sosial pada mekanisme single pool jaminan kesehatan
nasional, dalam perspektif teori keadilan john rawls
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto ............................................................................................ 239

pertanggungjawaban hukum pidana pelaku penolakan jenazah covid-19


Hilmia Fahma, Waluyo ..................................................................................................... 256

bagaimana peran politik hukum dalam pembangunan kesehatan sebagai upaya


menggerakkan ekonomi menuju era new normal
Eko Sumardiyono, Arief Suryono..................................................................................... 266

pengaturan telemedicine sebagai upaya perlindungan bagi dokter di masa pandemi


covid-19
Qori Aulia, Sunny Ummul Firdaus................................................................................... 281

viii
BAGIAN 3 PIDANA
urgensi problematika delik korupsi di dalam rancangan undang-undang kuhp
Khairul Imam, Prasetyo Hadi Purwandoko ................................................................... 299

penerapan prinsip yang adil (fair trial) dalam sistem peradilan pidana di indonesia
erlinda yulia purnomo....................................................................................................... 310

efek globalisasi terhadap kekerasan seksual anak di indonesia


Rahmawati........................................................................................................................... 323

kejahatan financial technology (fintech) ilegal terhadap umkm


septina fadia putri............................................................................................................. 337

dampak asimilasi dan hak integrasi narapidana suatu refleksi atas kebijakan
pemerintah untuk pencegahan covid-19
shofiyatul jannatinnaim.................................................................................................... 347

Korupsi Politik pada Kebijakan Penanggulangan Dampak Covid-19 di Bidang Ekonomi


Aditya Angga Rohendriyanto, Hari Purwadi ................................................................. 357

implementasi unclos 1982 dalam mengatur kebangsaan kapal untuk mencegah


kejahatan transnasional penyelundupan migran melalui laut di indonesia pada tingkat
daerah
ninne zahara silviani......................................................................................................... 367

analisis mengenai faktor penyebab putusan hakim tidak sesuai undang-undang


nomor 22 tahun 2009 pada kasus kecelakaan lalu lintas
didik ariyanto, supanto, rehnalemken ginting............................................................. 377

penegakan hukum terhadap kekerasan dunia maya (cyberviolence)


mohammad haris yusuf albar, novianto t. widodo...................................................... 383

penemuan hukum terkait dengan pertanggung-jawaban dan pemidanaan korporasi


dalam tindak pidana pasar modal
ridwan suryawan............................................................................................................... 392

kajian terhadap pendekatan konsep follow the money untuk memberantas tindak
pidana korupsi di indonesia
firstananda probojati hartito........................................................................................... 403

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penimbunan barang bernilai penting di


masa pandemi
dwiva amalia tarvianty, mohammad jamin.................................................................. 410

penanggulangan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking)


di era pandemi coronavirus disease (covid-19)
irma mawati, rehnalemken ginting................................................................................ 418

ix
BAGIAN 4 PERDATA
akibat hukum perjanjian waralaba yang tidak memiliki sertifikat kekayaan
intelektual terdaftar
doyo utomo, adi sulistiyono, pujiyono............................................................................ 433

rekonstruksi ketentuan penetapan harga jual kembali (resale price maintenance)


terhadap perlindungan konsumen
chintya amelia syaranamual, pujiyono, hari purwadi................................................. 444

penegakan hukum terhadap pertamini ilegal dikaitkan dengan undang-undang nomor


22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi dan pertashop
gusti muhammad faruq abdul hakim sutikno, adi sulistiyono, suraji.................... 453

strategi sinergitas investor dan penataan regulasi sebagai turbulensi inovasi bisnis
perekonomian indonesia imbas pandemi covid-19
yapiter marpi...................................................................................................................... 467

Perlindungan Hukum Folklor Tari Tor-Tor Berdasarkan UU Hak Cipta dan UU


Pemajuan Kebudayaan Perspektif Keadilan Bermartabat
Debora Pasaribu, Ellora Sukardi, Agrippina Ngadiman .............................................. 475

Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 di Indonesia pada Sistem Elektronik


Sebelum Adanya UU Perlindungan Data Pribadi Berdasarkan Perspektif Teori
Keadilan Bermartabat
Rizky P. P. Karo Karo, Sri Purnama, Olivia Celia......................................................... 487

pandemi virus corona sebagai bencana nonalam terkait keadaan force majeure
dalam kontrak bisnis
ghina mufidah, yudho taruno, hari purwadi................................................................ 501

kajian problematika indikasi geografis (ig) pada usaha mikro kecil menengah
(umkm) di kabupaten sragen
triyono adi saputro, yudho taruna muryanto, suraji.................................................. 513

x
BAGIAN 1

ADMINISTRASI

1
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2018
Paijo Sastrodikompo, Tukiman Sastromiharjo, Indah Sekali Banget
Implementasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pada PT Indah Skeli Banget Poll
Bergeyol.

SEMINAR NASIONAL
MAGISTER HUKUM UNS 2020

2
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional


Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan
Farras Hakim1, Agus Riewanto2

ABSTRAK
Indonesia memiliki kekayaan hayati yang sangat melimpah khususnya berupa satwa liar.
Beberapa satwa liar ini dilindungi oleh berbagai tempat konservasi di Indonesia khususnya
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) karena terancam peristiwa kepunahan. Kepunahan ini
disebabkan oleh perburuan dan perdagangan satwa liar yang banyak dilakukan oleh pihak-pihak
tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia menerbitkan berbagai peraturan
untuk memberikan perlindungan hukum terhadap satwa liar tersebut dari perdagangan satwa liar
secara ilegal agar terhindar dari perisitiwa kepunahan. Peraturan tersebut salah satunya adalah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dan beberapa peraturan lainnya yang akan disebutkan dalam penulisan hukum ini.
Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengkaji apakah peraturan perdagangan satwa liar yang
sudah diterbitkan sudah efektif atau belum memberikan perlindungan hukum terhadap satwa liar
agar terhindar dari peristiwa kepunahan. Metode penelitian ini adalah normatif atau menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari peraturan perundang-undangan. Sifat penelitian
ini adalah deskriptif. Peraturan terkait perlindungan satwa liar di Indonesia belum efektif yang
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu dari peraturan hukumnya sendiri, penegak hukum,
masyarakat serta sarana prasarana dalam melakukan upaya perlindungan hukum tersebut.
Kata Kunci: Ekosistem, Konservasi, Satwa Liar, Punah, dan Taman Nasional

ABSTRACT
Indonesia has a very abundant biological wealth, especially in the form of wildlife. Some of these
wild animals are protected by various conservation places in Indonesia, especially the Gunung
Leuser National Park (TNGL) because of the threat of extinction. This extinction was caused by
the hunting and trade of wild animals which were mostly carried out by irresponsible parties.
Therefore, the Government of Indonesia issued various regulations to provide legal protection
for these wild animals from illegal wildlife trade in order to avoid extinction events. One of these
regulations is Law Number 5 of 1990 concerning Conservation of Living Natural Resources
and their Ecosystems and several other regulations that will be mentioned in the writing of this
law. The purpose of writing this law is to assess whether the wildlife trade regulations that have
been issued are effective or not yet provide legal protection for wild animals to avoid extinction.
This research method is normative or finding the truth based on the scientific logic of statutory
regulations. The nature of this research is descriptive. Regulations related to wildlife protection in
Indonesia have not been effective due to several factors, namely the legal regulations themselves,
law enforcers, communities and infrastructure in carrying out these legal protection efforts.
Keywords: Ecosystems, Conservation, Wildlife, Extinct, and National Parks

1 Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah,
Indonesia, farashakim96@gmail.com , S.H. (Universitas Sebelas Maret).
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Jalan 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, agusriewanto@
yahoo.com , Dr. (Universitas Sebelas Maret), S.H. (UIN Sunan Kalijaga), M.H. (UIN Sunan Kalijaga).

3
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pemanfaatan keanekaragaman hayati dan non hayati tidak dapat digunakan secara
berlebihan, dalam artian harus memperhatikan kondisi populasi hayati dan non hayati
agar dapat memperoleh pemanfaatan secara berkelanjutan. Dalam menjaga pemanfaatan
sumber daya alam serta keanekaragaman hayati dan non hayati untuk kesejahteraan
bagi masyarakat dan Negara perlu diadakannya konservasi agar pemanfaatan sumber
daya alam dan kenakeragamannya selalu terjaga serta dapat membantu membangun
kehidupan masyarakat serta Negara.3 Oleh karenanya, upaya pelestarian lingkungan
hidup dan perbaikan lingkungan harus dilakukan dengan melibatkan semua pihak baik
pemerintah, lembaga masyarakat dan individu. Apabila manusia ingin mengambil
manfaat dari eksplorasi alam ini harus mempertimbangkan dampak dari apa yang
dilakukannya. Karena dampak tersebut erat terkait dengan manusia sendiri. Misalnya
dalam memanfaatkan hewan untuk kepentingan manusia, harus memerhatikan dampak
daripadanya. Pemanfaatan hewan tanpa mempertimbangkan proporsionalitas akan
berdampak buruk pada keseimbangan ekologisnya dan akan menimbulkan kerusakan
alam itu sendiri, yang pada gilirannya akan merugikan manusia itu sendiri.
Indonesia memiliki 40 spesies primata dunia, 12 persen spesies mamalia, 16 persen
spesies amfibi dan reptilia, 17 persen spesies burung, 33 persen spesies serangga,
24 persen spesies fungi dan 10 persen varitas tanaman dunia, berada di Indonesia.
Kerusakan hutan sebagai salah satu penyebab utama kepunahan satu-dua jenis binatang
atau tanaman itu, disamping perburuan dan perdagangan illegal berarti guncangan atas
keseimbangan ekosistem dunia. Eksistensi ekosistem yang seimbang sangat penting
untuk menyokong kehidupan manusia, dan bila gangguan itu berlanjut dalam waktu
yang lama kemampuan ekosistem bumi menurun untuk menopang kehidupan seluruh
makhluk di bumi. Kerusakan hutan yang semakin parah menyebabkan terganggunya
keseimbangan ekosistem hutan dan lingkungan disekitarnya yang berdampak negatif
pada sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Salah satu dampaknya
adalah semakin sering terjadi konflik ruang antara satwa liar dan manusia.4
Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2006 oleh Kementrian Lingkungan
Hidup, jumlah kaum miskin yang tinggal di sekitar lingkungan hutan mencapai 1/3 dari
keseluruhan kaum miskin di Indonesia. Data ini menunjukan bahwa masyarakat yang
tergantung dari hasil hutan (forest dependent people) tidak diuntungkan secara budaya
dan ekonomis oleh pembangunan sumber daya hutan. Sebaliknya kondisi kemiskinan
masyarakat disekitar hutan berpotensi mendorong mereka melakukan praktek-praktek
penggunaan sumber daya hutan secara tidak berkesinambungan (unsustainable).
Penelitian Pimm dkk yang dipublikasikannya di Science, mengungkap bahwa 5 hingga
50 persen spesies akan punah akibat kehancuran habitat mereka antar tahun 2000 hingga
2050. Sedangkan Thomas dkk dalam Nature memprediksikan pula bahwa antara 15%
hingga 37% spesies akan punah dalam periode yang sama akibat pemanasan global.
Skenario tersebut juga memukul rata kira-kira 25% spesies akan punah pada tahun
2050. Conservation International (2008) memperkirakan, jika di muka bumi ini terdapat

3 Wildanu S Guntur, Kajian Kriminologi Perdagangan Ilegal Satwa Liar, Jurnal Recidiv,e Volume 8 No. 2 Mei - Agustus 2019, hlm. 176.
4 Fachruddin M Mangunjaya Hayu S Prabowo, dkk. Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem, Majelis Ulama Indonesia,
(MUI) Pusat Edisi Pertama Juni 2017. Hlm 17

4
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

5 juta spesies, maka 25% dari 5 juta spesies adalah 1.3 juta spesies. Kasarnya, akibat
kerusakan dan perubahan iklim sekarang ini tengah terjadi kepunahan satu spesies per
20 menit.5
Ancaman terhadap satwa liar langka dan dilindungi terus terjadi, dari habitat tergerus,
perburuan, sampai perdagangan dan lain-lain. Kerusakan habitat satwa liar antara lain,
‘rumah’ satwa jadi perkebunan sawit, pertambangan sampai pemukiman, memicu
konflik satwa dan manusia di mana-mana, termasuk di Taman Nasional Gunung
Leuser. Definisi satwa liar menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya adalah semua binatang
yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-
sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Konflik
antara manusia dan satwa liar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung
maupun tidak langsung antara manusia dan satwa liar. Pada kondisi tertentu konflik
tersebut dapat merugikan semua pihak yang berkonflik. Konflik yang terjadi cenderung
menimbulkan sikap negatif manusia terhadap satwa liar, yaitu berkurangnya apresiasi
manusia terhadap satwa liar serta mengakibatkan efek-efek detrimental terhadap
upaya konservasi. Satwa liar dan ekosistemnya saling bergantung antara satu dengan
lainnya dan pemanfaatannya akan saling mempengaruhi sehingga kepunahan salah satu
satwa liar akan berakibat terganggunya ekosistem, untuk itulah diperlukan pengaturan
pemanfaatannya danperlindungan terhadap satwa liar.6
Ekosistem Leuser merupakan kawasan seluas 2,6 juta hektar yang terbentang antara
Aceh Tenggara dan Sumatera Utara. Kawasan ini terdiri dari 800.000 hektar Taman
Nasional Gunung Leuser, yang dinyatakan sebagai sebuah Lokasi Warisan Dunia
(World Heritage Site) pada bulan Juli 2004. Ekosistem Leuser merupakan salah satu
kawasan ekologis yang paling kaya di dunia, yang diperkirakan menyediakan manfaat
ekologi senilai US $ 200 juta pertahun. Leuser merupakan tempat perlindungan terakhir
bagi orang utan Sumatera, harimau Sumatera, dan tempat tumbuh Rafflesia, bunga
terbesar di dunia.7 Namun faktanya, perdagangan satwa liar masih saja terus terjadi.
Seperti dalam kasus yang terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Tim
gabungan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) bekerjasama dengan
Polres Langkat melakukan penangkapan terhadap 3 (tiga) orang pelaku perburuan
dan perdagangan satwa liar Harimau Sumatera. Penangkapan dilakukan di Kampung
Sogong, Desa Kutagajah, Kecamatan Kutambaru, Kabupaten Langkat dengan barang
bukti yang berhasil diamankan  berupa satu lembar kulit harimau beserta tulang dan
taring.8 Kemudian kasus pada bulan Januari hingga Maret 2018 ditemukan sebanyak
240 jerat satwa liar yang dilindungi undang-undang di kawasan Gunung Leuser oleh
Koordinator Wildlife Protection Team- Forum Konservasi Leuser (WPT-FKL) dan di
waktu yang sama juga ditemukan 135 kasus pemburuan. Sementara jerat satwa yang

5 Stuart L Pimm, Thomas Brooks, dkk, The Future of Biodiversity, Science, 21 Juli 1995, Vol. 269, hlm. 347.
6 Daud Silalahi, Hukum lingkungan dalam sistem penegakan hukum lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 96.
7 Fikri, Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara Terhadap Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh, Kanun Jurnal Ilmu
Hukum, No. 57, Th. XIV (Agustus, 2012), hlm. 293.
8 Mohamad Amin Madan, In Picture: Penangkapan Perdagangan Satwa Liar Harimau Sumatra, Lihat dalam https://www.republika.co.id/
berita/nasional/lingkungan-hidup-dan-hutan/16/05/25/o7qj54283-penangkapan-perdagangan-satwa-liar-harimau-sumatra diakses
pada tanggal 24 Juli 2020 pukul 22.09 WIB.

5
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

paling banyak adalah Rusa, Landak, Gajah dan Harimau serta burung jenis Rangkong.9
Serta kasus perburuan satwa Gajah yang diambil gadingnya untuk diperjualbelikan oleh
oknum tak dikenal ke berbagai daerah seperti ke Pulau Jawa bahkan hingga luar negeri.10
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat 3,
Indonesia adalah Negara hukum. Oleh sebab itu, perdagangan satwa liar pun perlu diberi
dasar hukum yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin perlindungan hukum
bagi kegiatan perdagangan satwa tersebut.11 Hukum itu sendiri merupakan salah satu
sarana untuk memberikan perlindungan kepada semua pihak, tidak terkecuali terhadap
satwa liar yang merupakan salah satu ekosistem lingkungan hidup. Perlindungan
terhadap satwa secara tidak langsung juga akan mempengaruhi perlindungan hukum
atas masyarakat atau kesejahteraan masyarakat karena keberadaan satwa liar penting
untuk kehidupan masyarakat.12 Permasalahannya adalah apakah peraturan mengenai
perdagangan satwa liar ini sudah cukup efektif dalam memberikan perlindungan
hukum untuk menghentikan perdagangan satwa liar. Hukum sebagai sarana untuk
memberikan pedoman terhadap perilaku masyarakat akan dikatakan efektif jika mampu
mempengaruhi perilaku manusia ke arah yang dikehendaki.13
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana perlindungan hukum terkait satwa liar di Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL)?
b. Mengapa upaya perlindungan hukum terkait satwa liar di Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL) belum efektif?

B. Pembahasan dan analisis


1. Perlindungan Hukum terhadap Satwa Liar di Taman Nasional Gunung Leuser
(TNGL)
Melihat dari segi geografi satwa, Pulau Sumatera digolongkan ke dalam Sub Regional
Malaysia. Sedangkan di Pulau Sumatera dapat ditetapkan dua garis batas fauna, yaitu
Pegunungan Bukit Barisan (bagian Barat dan Timur) dan Padang Sidempuan (bagian
Utara dan Selatan). Garis batas fauna lainnya terdapat di Sungai Wampu yang tembus
dari Pegunungan Tanah Karo memotong wilayah Langkat Selatan. Jenis Kedih yang
terdapat di sebelah timur Sungai Wampu ternyata berbeda dengan yang terdapat di
sebelah barat. Kekayaan fauna di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sebenarnya
banyak terdapat di kawasan yang terletak di ketinggian 0 – 1000 mdpl. Di daerah
yang lebih tinggi, komposisi fauna mengalami perubahan dan keberadaannya mulai
terbatas. TNGL merupakan habitat dari mamalia, burung, reptil, ampibi, ikan, dan
invertebrata. Kawasan ini juga merupakan habitat burung dengan daftar spesies 380
dan 350 di antaranya merupakan spesies yang hidup menetap. Diprediksi bahwa 36
dari 50 jenis burung endemik di Sundaland, dapat ditemukan di kawasan TNGL. Dari

9 Yudha Manggala P Putra, 240 Jerat Satwa Liar ditemukan di TN Gunung Leuser, Lihat dalam https://nasional.republika.co.id/berita/
nasional/daerah/p7mpat284/240-jerat-satwa-liar-ditemukan-di-tn-gunung-leuser diakses pada tanggal 24 Juli 2020 pukul 22.18 WIB.
10 Ayat S Karokaro, Perdagangan Satwa Liar Dilindungi di Sumatera Tinggi, Benarkah?, Lihat dalam https://www.mongabay.
co.id/2017/12/05/perdagangan-satwa-liar-dilindungi-di-sumatera-tinggi-benarkah/ diakses pada tanggal 25 Juli 2020 pukul 10.24 WIB.
11 Mochammad Indrawan, Richard B.Primack dan Jatna Supriatna, Biologi Konservasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 523.
12 Ani Mardiastuti dan Tommy Soehartono, Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia, Japan international Cooperation Agency (JICA),
2003, hlm. 6.
13 Tim pengajar PIH Fakultas hukum Unpar, Diktat Kuliah Pengajar Ilmu Hukum, 1995, hlm. 54.

6
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

129 spesies mamalia besar dan kecil di seluruh Sumatera, 65% di antaranya berada di
kawasan taman nasional ini. TNGL dan kawasan di sekitarnya yang disebut sebagai
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan habitat dari gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak Sumatera
(Dicerorhinus sumatrensis), Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Siamang (Hylobates
syndactylus syndactylus), Owa (Hylobates lar), Kedih (Presbytis thomasi).14
Sebagai salah satu komponen ekosistem, jenis-jenis satwa liar, sebagai individu atau
kelompok, mempunyai peran dalam menjaga keseimbangan proses di alam. Secara
umum, beberapa jenis satwa liar merupakan konsumen pertama dalam piramida
makanan, sedangkan beberapa jenis lainnya merupakan konsumen kedua, ketiga dan
seterusnya. Dengan demikian, kelangsungan kehidupan satwa akan tergantung satu
sama lain dan penurunan populasi salah satu diantaranya akan berdampak negatif
terhadap kesinambungan jaring-jaring makanan. Jelaslah terlihat bahwa ketiadaan salah
satu jenis diantara satwa akan memicu masalah secara ekologis.
Kawasan hutan Indonesia berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan dibagi berdasarkan fungsi pokok ke dalam 3 kategori yaitu
hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Pada hutan konservasi hanya
dapat dilakukan pemanfaatan kawasan hutan dengan batasan-batasan tertentu seperti
diatur dalam UU Konservasi. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya disebutkan bahwa konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Prinsip dasar pengelolaan kawasan hutan konservasi yang membedakan dengan
pengelolaan hutan lainnya terletak pada prinsip kehati-hatian untuk menghindari
perubahan-perubahan terhadap kondisi aslinya. Prinsip kehati-hatian ini bertujuan
mempertahankan daya dukung alam (carrying capacity) sebagai penyangga kehidupan
dan menjaga kelangsungan potensi keanekaragaman hayati (biodiversity) sumber daya
alam hayati (natural capital stock). Oleh karena itu, aturan dalam pengelolaan kawasan
hutan konservasi lebih banyak menyebutkan pembatasan-pembatasan untuk menjaga
habitat sedikit mungkin modifikasi.15 Salah satu pilar penting dalam konservasi yang
dilakukan oleh pemerintah adalah pengawetan keanekaragaman jenis satwa beserta
ekosistemnya. Hal ini dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam
agar tetap dalam keadaan asli dan tidak punah. Kegiatan pengawetan jenis ini dapat
dilakukan di dalam (in situ) dan di luar (ex-situ) kawasan suaka alam atau kawasan
konservasi.
Pengawetan di luar kawasan meliputi pengaturan mengenai pembatasan tindakantindakan
yang dapat dilakukan terhadap tumbuhan dan satwa. Kegiatan pengawetan jenis satwa
di dalam kawasan suaka alam dilakukan dengan membiarkan agar populasi semua jenis
satwa tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya. Sedangkan di luar kawasan
suaka alam dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan
dan satwa untuk menghindari bahaya kepunahan. Dalam rangka melakukan upaya

14 Lihat dalam Fauna https://gunungleuser.or.id/fauna/ diakses pada tanggal 25 Juli 2020 pukul 11.40 WIB.
15 WWF Indonesia. Panduan Kelestarian Ekosistem untuk Pemanfaatan Panas Bumi (Jakarta; WWF Indonesia. 2014) hal 34

7
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, pemerintah kemudian menggolongkan satwa


dalam 2 (dua) jenis, yakni satwa yang dilindungi dan satwa yang tidak dilindungi.
Satwa yang dilindungi kemudian digolongkan kembali menjadi satwa dalam bahaya
kepunahan dan satwa yang populasinya jarang.16
Penjelasan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam dan Ekosistemnya, disebutkan bahwa penggolongan jenis satwa yang
dilindungi dimaksudkan untuk melindungi satwa agar tidak mengalami kepunahan.
Penetapan ini dapat diubah sewaktu-waktu oleh otoritas manajemen, tergantung dari
tingkat keperluannya, yang ditentukan oleh tingkat bahaya kepunahan yang mengancam
jenis bersangkutan. Ketentuan tersebut kemudian lebih jauh dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Satwa yang dilindungi dapat juga dimantaatkan untuk kegiatan dan kondisi tertentu.
Pemanfaatan dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung,
dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar seperti yang diatur dalam pasal
36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam
dan Ekosistemnya untuk pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran,
perburuan, perdagangan, peragaan.
Pemanfaatan jenis satwa liar harus dilakukan dengan tetap menjaga keseimbangan
populasi dengan habitatnya. Ketentuan lebih lanjut tentang kegiatan pemanfaatan diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar. Dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar disebutkan bahwa hasil penangkaran
satwa liar yang dilindungi yang dapat digunakan untuk keperluan perdagangan adalah
satwa liar generasi kedua dan generasi berikutnya kemudian generasi kedua dan generasi
berikutnya dari hasil penangkaran jenis satwa liar yang dilindungi, dinyatakan sebagai
jenis satwa liar yang tidak dilindungi tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap
jenis satwa liar jenis Orangutan (Pongo pygmaeus), Badak Sumatera (Dicerorhinus
sumatrensis); Harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae) yang bertempat di Taman
Nasional Gunung Leuser.
Sementara, untuk kegiatan perdagangan atau pengiriman satwa liar ditentukan di
dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar bahwa pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan
satwa liar dari satu wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya di Indonesia, atau dari
dan ke luar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi dengan dokumen pengiriman atau
pengangkutan yang disebut Surat Angkut Tumbuhan/Satwa (SATS). SATS memuat
keterangan tentang jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa, pelabuhan pemberangkatan
dan pelabuhan tujuan, identitas Orang atau Badan yang mengirim dan menerima
tumbuhan dan satwa dan peruntukan pemanfaatan tumbuhan dan satwa.
Selain mengatur kegiatan yang diperbolehkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya juga mengatur hal-hal yang
yang dilarang dengan ancaman hukuman pidana seperti dalam Pasal 21 ayat (1) dan
ayat (2):

16 Fatih Hanif, Upaya Perlindungan Satwa Liar Indonesia Melalui Instrumen Hukum dan Perundang-undangan, Jurnal Hukum
Lingkungan, VOL. 2 ISSUE 2, DESEMBER 2015, hlm 35.

8
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

(1) Setiap orang dilarang untuk mengambil, menebang, memiliki, merusak,


memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang
dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati serta mengeluarkan
tumbuhan yang dilindungi atau bagianbagiannya dalam keadaan hidup atau mati
dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
(2) Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan,
memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi
dalam keadaan hidup kemudian menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut,
dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati, mengeluarkan
satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam
atau di luar Indonesia dan memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit,
tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang
dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia serta mengambil, merusak,
memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang
satwa yang dillindungi.
Kemudian beberapa peraturan lainnya yang memberikan perlindungan hukum terhadap
satwa liar di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) antara lain Undang-Undang No.
5 Tahun Tahun 1994 Tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman
Hayati. Satjipto Raharjo mengatakan bahwa perlindungan hukum adalah upaya untuk
mengorganisasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat supaya tidak terjadi
tubrukan antar-kepentingan dan dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum. Pengorganisasian dilakukan dengan cara membatasi suatu kepentingan tertentu
dan memberikan kekuasaan pada yang lain secara terukur. Teori perlindungan hukum
dari Satjipto Raharjo ini terinspirasi oleh pendapat Fitzgerald tentang tujuan hukum,
yaitu untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam
masyarakat dengan cara mengatur perlindungan dan pembatasan terhadap berbagai
kepentingan tersebut.17 Perlindungan hukum terbagi dua, yaitu perlindungan hukum
preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah
bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, sedangkan
pelindungan hukum represif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa.18
Beberapa peraturan diatas merupakan upaya perlindungan hukum terhadap satwa liar
di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia
untuk menghindari peristiwa kepunahan akibat banyaknya masyarakat yang berburu
secara illegal dan juga menjual dari hasil perburuannya tersebut. Memang, faktanya
kasus perdagangan/ pemanfaatan ilegal satwa liar yang dilindungi, pemilikan ilegal
satwa liar, perburuan ilegal satwa liar, pemalsuan dokumen untuk perdagangan satwa
liar, penyelundupan jenis-jenis satwa dilindungi, penyuapan terhadap aparat dalam
perdagangan satwa liar, penerbitan/ penyalahgunaan dokumen palsu (Surat Angkut
Tumbuhan/ Satwa) terkait kepemilikan/ perdagangan satwa liar, pemalsuan jenis
(dengan mencantumkan keterangan informasi yang berbeda pada kemasan), serta

17 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 53-54.
18 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987, hal. 2.

9
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

mencampur jenis spesies yang legal dengan yang ilegal terus terjadi di kawasan Taman
Nasional Gunung Leuser hingga saat ini.19 Paradigma ini memperlihatkan kepada kita
bahwa pengaturan mengenai satwa liar di Indonesia belum berjalan secara efektif.
Kalau masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau yang dikendaki oleh
hukum, maka dapat dikatakan bahwa hukum yang bersangkutan adalah efektif. Dengan
perkataan lain, efektivitas hukum memperlihatkan kaitan antara law in booksand law
in action yang artinya adalah efektivitas hukum dapat dilihat pelaksanaan peraturan
hukum itu sendiri.20
2. Efektivitas Hukum terkait Peraturan tentang Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser (TNGL)
Efektivitas hukum ditentukan dengan membandingkan atau mengaitkan antara
pengaturan suatu tindakan dalam peraturan hukum dan pelaksanaan hukum itu sendiri.
Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat, berarti membicarakan daya
kerja hukum itu dalam mengatur dan/ atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap
hukum. Hukum akan menjadi efektif apabila terjadi dampak hukum yang positif, artinya
hukum mencapai sasarannya di dalam membimbing atau mengubah perilaku manusia
sehingga menjadi perilaku hukum.21 Perilaku hukum menurut Friedman adalah setiap
perilaku yang dipengaruhi oleh kaidah, peraturan atau keputusan.22 Apabila hukum
tidak dilaksanakan seluruhnya atau hanya sebagian oleh masyarakat, maka tujuan dari
pembentukan hukum tersebut tidak akan tercapai dan hal ini akan berpengaruh pada
efektivitas hukum.23
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas hukum antara lain:
a) Peraturan hukum
Pada umumnya, setiap peraturan hukum adalah sebagai buah hasil karya manusia
yang tidak mungkin dapat mencapai kesempurnaan, lebih-lebih lagi kesempurnaan
yang hakiki. Hal ini disebabkan karena kemampuan manusia dalam penciptaan
produk hukum, dibatasi oleh kemampuan yang bersifat manusiawi.24 Dengan
adanya peraturan hukum yang baik, belum tentu menjamin bahwa ketentuan
ketentuan dalam peraturan hukum tersebut akan terlaksana dengan baik, tanpa
manusia mau dan mampu melaksanakannya dengan baik pula. Pengalaman dalam
praktik menunjukkan bahwa terbentuknya peraturan perundang-undangan yang
dianggap memenuhi kebutuhan masyarakat tidak menjamin efektivitas pelaksanaan
ketentuan hukum.Untuk melahirkan suatu undang-undang yang efektif menurut
William M. Evans ada syarat yang harus dipenuhi agar hukum atau undang-undang
yang dihasilkan bisa berlaku efektif.
Pertama, hukum harus dirumuskan dalam suatu bentuk peraturan perundangundangan
yang memiliki derajat yang lebih tinggi, misalnya dalam bentuk undang-undang.

19 Andri Gunawan Wibisana, Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistem, 2015, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Ham RI, hlm. 9.
20 Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut, Hukum, Politik Dan Perubahan Sosial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, 1988, hlm. 27.
21 Soerjono Soekanto. Beberapa Cara Dan Mekanisme Dalam Penyuluhan Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hlm. 39.
22 Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat, PT Raja Graϐindo, Jakarta, 1993, hlm. 50
23 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT Raja Graϐindo, Jakarta, 2002, hlm. 117.
24 Harun M. Husein, Lingkungan Hidup, Masalah, Pengelolaan, Dan Penegakan Hukumnya, PT Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hlm. 209.

10
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

Kedua, hukum yang dirumuskan betul-betul didasarkan sumber yang kuat, termasuk
argumentasi yang berkaitan dengan dukungan dan legitimasi secara sosial di
masyarakat. Ketiga, peraturan yang dirumuskan itu, jelas tujuan dan rumusannya.
Jadi masyarakat mengerti apa tujuan dari undang-undang tersebut dan aturan yang
dirumuskan dengan jelas. Persoalan yang mungkin timbul dalam peraturan hukum
adalah ketidakjelasan arti kata-kata di dalam peraturan hukum yang mengakibatkan
kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta Penerapannya. Kemungkinan itu
disebabkan oleh karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan
secara luas sekali atau karena soal terjemahan dari bahasa asing yang kurang tepat.
Ada kalangan tertentu yang berpendapat bahwa salah satu upaya penting untuk
mengusahakan agar peraturan hukum itu berjalan dengan efektif yaitu dengan
menetapkan sanksisanksi.25 Sanksi hukum adalah akibat hukum tertentu yang dapat
dikenakan kepada seseorang atau sekelompok orang berkenaan dengan perbuatan
yang mematuhi atau tidak mematuhi kaidah hukum.26
Sanksi tersebut sebetulnya merupakan suatu rangsangan untuk berbuat ataupun tidak
berbuat sesuatu. Faktor pertama yang perlu diperhatikan untuk menentukan apakah
sanksi tersebut berperan dalam mengefektifkan hukum adalah masalah karakteristik
dari sanksi itu sendiri. Bagaimanakah sifat hakekat sanksi itu, apakah sanksinya
berupa ancaman hukuman atau imbalan tertentu. Lagi pula perlu diperhitungkan
apakah sanksi itu cukup berat atau ringan-ringan saja (secara relatif tentunya).
Efektifnya sanksi juga tergantung pada karakteristik orang-orang yang terkena
oleh sanksi tersebut. Hal ini antara lain menyangkut jumlah orang yang terkena
sanksi, dimana semakin sedikit orang yang terkena sanksi maka semakin tinggi
pula efektifnya sanksi tersebut. Peraturan nasional Indonesia tentang perdagangan
satwa masih sangat ringan besaran jumlah denda yang harus di bayar oleh pelanggar
yaitu maksimal 250 juta Rupiah27. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa
peraturan hukum Indonesia mengenai perdagangan satwa, jika dilihat dari faktor
efektivitas yang pertama yaitu, kejelasan atau keefektifan peraturan hukum itu
sendiri masih belum dapat dikatakan efektif. Keefektivitasan peraturan hukum juga
dapat dilihat dari keberadaan sanksi dalam peraturan hukum yang bersangkutan. Di
tiap peraturan mengenai perdagangan satwa liar sebenarnya sudah memuat sanksi,
tetapi sanksi tersebut belum dapat menibulkan efek jera kepada para pemburu satwa
liar. Pasalnya berdasarkan fakta dilapangan misalkan saja harga 1 (satu) gading
gajah yaitu sekitar 60 juta dan gajah yang diburu biasanya lebih dari satu begitupun
juga harimau yang biasanya diambil kulitnya dan diperjualbelikan secara ilegal.28
b) Petugas/ penegak hukum
Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang
lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas, menengah
dan bawah.29 Artinya, di dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum,

25 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta, 1991, hlm. 43.
26 Tim pengajar PIH Fakultas hukum Unpar, Diktat Kuliah Pengajar Ilmu Hukum, 1995, hlm. 51.
27 Lihat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar bagian Ketentuan Pidana
28 Ali Mustofa, Polisi Ungkap Satu Gading Gajah Dijual Tersangka Rp 60 Juta, Lihat dalam https://radarkudus.jawapos.com/
read/2019/02/25/121434/polisi-ungkap-satu-gading-gajah-dijual-tersangka-rp-60-juta diakses pada tanggal 25 Juli 2020 pukul 18.45
WIB.
29 Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 58

11
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

petugas seyogianya harus memiliki pedoman, di antaranya peraturan tertulis


tertentu yangmencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Di dalam melaksanakan
tugas-tugas penerapan hukum, kemungkinan petugas/penegak hukum menghadapi
hal-hal sebagai berikut:30
(1) Sampai sejauh mana petugas terikat dari peraturan-peraturan yang ada?
(2) Sampai batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan?
(3) Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat?
Faktor petugas/penegak hukum memainkan peran pentingdalam memfungsikan
hukum.31 Kalau peraturan hukum sudah baik,tetapi kualitas penegak hukum kurang
baik, maka akan ada masalah. Demikian pula, apabila peraturan-peraturannya
buruk sedangkan kualitas petugas baik, maka mungkin pula timbul masalah.
Faktor petugas/penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan
hukum. Kalau peraturan hukum sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum
kurang baik,maka akan ada masalah. Keberadaan peraturan perdagangan satwa
liar itu belum dapat menjadi efektif kalau penegak hukumnya sendiri tidak dapat
menegakkan ketentuanketentuan perdagangan satwa liar yang telah diatur.
Penegak hukum adalah pihak yang dijadikan contoh masyarakat dalam menerapkan
peraturan perdagangan satwa liar. Aparat penegak hukum seringkali dihubungkan
dengan hukum pidana saja. Padahal pejabat adiminstrasi juga sebenarnya disebut
aparat penegak hukum. Pejabat administrasi menegakkan hukum dalam hal
perizinan, misalnya dalam peraturan perdagangan satwa liar ini yang berwenang
mengeluarkan izin adalah Dirjen PHKA yang berwenang mengeluarkan izin
mengedarkan satwa liar ke luar negeri dan Kepala Balai KSDA yang berwenang
mengeluarkan izin mengedarkan satwa liar di dalam negeri. Dalam hukum pidana,
aparat penegak hukum yang berwenang adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan
juga Unit Pelaksana Teknis. Pelaksanaan hukum mengenai perdagangan satwa
menjadi kurang efektif ketika penegak hukumnya sendiri tidak menegakkan hukum
secara tegas atau adanya faktor-faktor tertentu seperti misalnya banyak terjadinya
penggantian petugas penegak hukum yang membuat petugas penegak hukum tidak
dapat menjalankan fungsinya secara maksimal.
c) Sarana atau Fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum.
Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatuaturan tertentu. Ruang
lingkup sarana yang dimaksud terutama saranaϐisik yang berfungsi sebagai faktor
pendukung. Misalnya, bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik apabila tidak
dilengkapi dengankendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Fasilitas
atau sarana bisa saja dapat berbentuk dana (uang). Kalau peraturan dimaksud sudah
ada, faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang penting. Memang
sering terjadi bahwa suatu peraturan sudah difungsikan, padahal fasilitasnya belum
tersedia lengkap. Berfungsinya fasilitas senantiasa tergantung pada pemakainya,
apabila pemakai tidak memperlihatkan tujuan adanya fasilitas. Apabila sarana
atau fasilitas itu tidak memadai, aparat penegak hukum pun akan kesulitan dalam

30 Ibid, hlm 59
31 Ibid, hlm 59.

12
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

melaksanakan tugasnya karena keterbatasan fasilitas. Hukum akan menjadi efektif


apabila penegak hukum mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik dan
juga ditunjang oleh sarana yang memadai pula. Bagaimana aparat penegak hukum
maksimal melaksanakan tugasnya apabila dalam melaksanakan tugasnya tersebut,
aparat penegak hukum tidak ditunjang dengan fasilitas yang memadai. Sarana
juga harus memperhatikan jumlah, kualitas, fungsi dan pemanfaatannya. Untuk
itu Polisi hutan/ppns kehutanan harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana
tersendiri yang dipisahkan dari penggunaan kepentingan lain dengan kondisi yang
siap pakai dan ”tidak ketinggalan zaman” atau tidak kalah tangguh dengan sarana
prasarana penjahat.32
d) Kesadaran masyarakat
Pengertian masyarakat mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, oleh karena
menyangkut semua segi pergaulan hidup manusia. Salah satu faktor untuk
mengefektiϐkan suatu peraturan adalah warga masyarakat.33 Yang dimaksud disini
adalah kesadarannya untuk mematuhi hukum peraturan perundang-undangan yang
kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa derajat
kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya
hukum yang bersangkutan. Pada umumnya, orang berpendapat bahwa kesadaran
masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat
mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya,
apabila kesadaran masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhannya
juga rendah. Pernyataan yang demikian berkaitan dengan fungsi hukum. dalam
masyarakat atau efektivitas dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum dalam
masyarakat. Dengan demikian, masalah kesadaran hukum masyarakat sebenarnya
menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu diketahui,
dipahami, ditaati, dan dihargai.
Peningkatan kesadaran hukum dilakukan melalui penerangan dan penyuluhan hukum
yang teratur atas dasar perencanaan yang mantap. Penyuluhan hukum bertujuan
agar masyarakat mengetahui dan memahami hukum- hukum tertentu. Penerangan
dan penyuluhan hukum harus disesuaikan dengan masalah-masalah hukum yang
ada dalam masyarakat pada suatu waktu yang menjadi sasaran penyuluhan hukum.34
Penyuluhan hukum merupakan tahap selanjutnya dari penerangan hukum. Tujuan
utama dari penerangan dan penyuluhan hukum adalah agar masyarakat memahami
hukum-hukum tertentu sesuai masalah-masalah hukum yang sedang dihadapi
pada suatu saat. Penerangan dan penyuluhan hukum menjadi tugas dari kalangan
hukum pada umumnya, dan khususnya mereka yang mungkin secara langsung
berhubungan dengan mayarakat, yaitu petugas hukum. Kaitan antara peraturan
hukum, penegak hukum, fasilitas dan masyarakat dalam efektivitas hukum, juga
dapat berkaitan dengan hal lainnya. Pengaruh politik, sosial dan ekonomi pun dapat
mempengaruhi efektivitas hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung di
samping keempat faktor utama yang telah disebutkan di atas.

32 Elisa Vionita Rajagukguk, Efektivitas Peraturan Perdagangan Satwa Liar Di Indonesia, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2
September 2014. Hlm. 224.
33 Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Graϐika, Jakarta, 2006, hlm 54
34 Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah Sosial, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 188.

13
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

Masyarakat secara langsung maupun tidak langsung turut mengambil bagian dalam
perdagangan satwa liar. Tuntutan ekonomi dalam masyarakat dan pemenuhan
kebutuhan hidup sehari hari menjadi alasan utama masyarakat dalam melakukan
perdagangan satwa liar. Dengan keuntungan yang besar tanpa harus bekerja dengan
susah payah menjadi faktor penarik masyarakat dalam melakukan perdagangan
satwa liar. Pengawasan perdagangan satwa liar tidak selamanya bergantung kepada
instansi terkait saja sebagai instansi yang mempunyai kewenangan dalam menangani
masalah perdagangan satwa liar. Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan
dalam pengawasan perdagangan satwa liar yang terjadi di sekitar mereka. Kalau
masyarakatnya sendiri acuh tak acuh terhadap perdagangan satwa liar yang terjadi
di sekitar mereka, maka perdagangan satwa liar terus akan terjadi. Peran serta
masyarakat dalam konservasi sumber daya alam hayatu memegang peranan yang
sangat penting dalam keberhasilan upaya konservasi itu sendiri. Peran serta dan
kerjasama antara masyarakat dan pemerintah tentunya akan menjadi sinergi yang
besar didalam upaya konservasi.35
Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya satwa liar bagi ekosistem juga
menjadi faktor maraknya perdagangan satwa liar yang dilakukan oleh masyarakat.
Masyarakat sebatas menganggap satwa liar sebagai komoditas saja sehingga
mereka dapat dengan bebas memperdagangkan satwa liar tanpa memikirkan akibat
perdagangan satwa liar tersebut bagi ekosistem.Masyarakat yang membeli satwa
mempunyai alasan tersendiri mengapa ia tertarik membeli satwa liar. Memiliki
satwa liar sebagai binatang peliharaan merupakan hal yang akhir-akhir ini sedang
in di kalangan atas. Memiliki satwa liar apalagi bila satwa liar tersebut langka akan
memberikan prestige kepada pemiliknya. Melihat harimau sumatera berkeliaran di
dalam kandang di pekarangan atau burung merak yang mengembangkan sayapnya
di halaman rumah pesohor, pengusaha, bahkan pejabat bukanlah suatu hal yang
mengherankan lagi. Seiring dengan semakin meningkatnya demand para kolektor
satwa liar baik dalam keadan hidup ataupun untuk barang pajangan, semakin
gencar pula para pemburu mengeksploitasi satwa liar yang tersisa. Untuk itulah
dibutuhkan peraturan yang dapat mengatur tingkah laku masyarakat tersebut.
Namun peraturan tersebut tidak akan efektif bila masyarakat itu sendiri tidak
menaati peraturan tersebut dan hanya menganggap peraturan tersebut sebagai
sebuah peraturan saja tanpa mau melaksanakan peraturan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan diterbitkannya peraturan perdagangan mengenai satwa liar,
masyarakat diharapkan dapat mematuhi ketentuan ketentuan dalam perdagangan
satwa liar. Kepatuhan atau ketaatan masyarakat terhadap ketentuanketentuan dalam
peraturan perdagangan satwa liar menjadi indikator kesadaran hukum masyarakat.
Masyarakat yang memiliki kesadaran hukum akan mematuhi atau mentaati
peraturan perdagangan satwa liar. Dengan adanya ketaatan masyarakat terhadap
peraturan hukum, serta melaksanakan ketentuan dalam peraturan perdagangan
satwa liar, maka peraturan tersebut sudah efektif. Masyarakat mematuhi peraturan
tidak semata-mata karena takut pada sanksinya tapi juga masyarakat diharapkan
bisa memiliki kesadaran hukum bahwa satwa liar merupakan bagian dari ekosistem

35 Arief Budiman, Pelaksanaan Perlindungan Satwa Langka Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Studi Di Seksi Konservasi Wilayah I Surakarta Balai Konservasi Sumber Daya Alam
Jawa Tengah), GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014. Hlm. 1376.

14
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

dan harus dijaga kelestariannya agar tidak punah. Tetapi kesadaran hukum
itu sendiri kembali lagi pada faktor apakah suatu ketentuan hukum itu dapat
diketahui, dimengerti, ditaati dan dihargai oleh masyarakat. Jika masyarakat sudah
mengetahui, mengerti, menaati serta melaksanakan ketentuan hukum tersebut,
maka peraturan hukum sudah efektif dalam melindungi satwa liar. Jika masyarakat
hanya mengetahui saja tanpa melaksanakan serta menaati peraturan hukum, maka
peraturan hukum tersebut tidak efektif.
Peraturan perdagangan satwa liar akan efektif bila unsur-unsur efektivitas hukum
sudah terpenuhi. Peraturan perdagangan satwa liar sendiri menurut penulis belum
memenuhi unsur efektivitas hukum, baik dilihat dari unsur peraturan hukum, penegak
hukum, sarana, dan kesadaran masyarakat. Peraturan perdagangan satwa liar belum
mampu mempengaruhi perilaku manusia untuk tidak memperdagangkan satwa liar
yang dilindungi. Hal tersebut dapat dilihat dari masih adanya ketidakjelasan dari
peraturan perdagangan yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda pada
setiap orang sehingga orang akan berperilaku menurut cara pandangnya yang belum
tentu sesuai dengan maksud dan tujuan perundang-undangan tersebut.
Keempat faktor tersebut dapat mempengaruhi tidak efektifnya perlindungan hukum
terhadap satwa liar di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) untuk mencegah
terjadinya kepunahan. Perdagangan satwa liar secara ilegal menjadi ancaman serius
bagi kelestarian satwa liar di Indonesia. Satwa liar yang diperdagangkan secara ilegal
berdasarkan berbagai fakta yang ditemukan di lapangan kebanyakan adalah hasil
tangkapan dari alam, bukan dari penangkaran.Jenis-jenis satwa liar yang dilindungi
dan terancam punah juga masih diperdagangkan secara bebas di pasar-pasar hewan
seluruh Indonesia.36 Seperti pendapat yang telah penulis sebutkan diatas bahwa
beberapa sanksi yang diterapkan kepada para pemburu hewan liar ilegal dirasa
belum menimbulkan efek jera yaitu disebabkan karena besaran denda yang harus
dibayarkan masih sangat rendah. Bahkan semua peraturan terkait satwa liar tidak
menerapkan sanksi administrasi, padahal sanksi administrasi ini dapat mencegah
dari oknum suatu instansi yang mengeluarkan ijin pemburuan satwa liar secara
ilegal atau penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Pemerintah Indonesia
harus merevisi peraturan atau undang-undang terkait satwa liar di Indonesia
yang dirasa penulis belum efektif dalam memberikan perlindungan hukum untuk
mencegah terjadinya kepunahan terhadap satwa liar di berbagai tempat konservasi
di Indonesia, khususnya pada Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Sumatera
Utara.

C. Kesimpulan
Perlindungan hukum mengenai satwa liar di berbagai tempat konservasi di Indonesia
khususnya Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) telah diatur oleh beberapa aturan
antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati
dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun Tahun 1994 tentang Pengesahan
Konvensi PBB Mengena Keanekaragaman Hayati, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

36 Yoshua Aristides,Agus Purnomo, Fx. Adji Samekto, Perlindungan Satwa Langka Di Indonesia dari Perspektif Convention On
International Trade In Endangered Species Of Flora And Fauna (CITES). DIPONEGORO LAW JOURNAL, Volume 5, Nomor 4,
Tahun 2016. Hlm. 13.

15
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

tentang Kehutanan sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun


2004, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa serta Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis dan
Tumbuhan dan Satwa Liar.
Faktanya masih saja terjadi eksploitasi secara besar-besaran terhadap satwa liar yang
dilakukan oleh pemburu ilegal seperti contoh kasus yang telah penulis sebutkan diatas. Hal
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu dilihat dari peraturan hukum yang mengatur
dan sanksi yang diterapkan belum memberikan efek jera, kemudian penegak hukum yang
belum maksimal dalam menjalankan tugasnya, sarana dan prasarana yang kurang optimal
serta kesadaran masyarakat sendiri perihal apabila melakukan perburuan satwa liar secara
ilegal dapat menyebabkan kepunahan satwa liar di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Saran
Pemerintah Indonesia perlu merevisi dan memperbaharui beberapa peraturan terkait satwa
liar, karena peraturan yang ada saat ini belum efektif untuk mencegah peristiwa kepunahan
terhadap satwa liar di berbagai tempat koservasi di Indonesia, khususnya Taman Nasional
Gunung Leuser (TNGL).

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali, Zainudin. 2006. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Hadjon, Phillipus M. 1987. Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: PT. Bina
Ilmu.
Husein, Harun M.1993. Lingkungan Hidup, Masalah, Pengelolaan, dan Penegakan Hukumnya.
Jakarta: PT Bumi Aksara, Jakarta.
Indrawan, Mochammad, Richard B Primack dan Jatna Supriatna. 2007. Biologi Konservasi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Indonesia, WWF. 2014. Panduan Kelestarian Ekosistem untuk Pemanfaatan Panas Bumi.
Jakarta: WWF Indonesia.
Kusumah, Mulyana W dan Paul S. Baut. 1988. Hukum, Politik dan Perubahan Sosial. Jakarta:
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum.
Mardiastuti, Ani dan Tommy Soehartono. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia.
Japan international Cooperation Agency (JICA).
Raharjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Silalahi, Daud Silalahi. 2001. Hukum lingkungan dalam sistem penegakan hukum lingkungan
Indonesia. Bandung: Alumni.
Soekanto, Soerjono. 1981. Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah Sosial.
Bandung: Alumni.

16
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

Soekanto, Soerjono.1986. Beberapa Cara dan Mekanisme dalam Penyuluhan Hukum. Jakarta:
PT Pradnya Paramita.
Soekanto, Soerjono. 1991. Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti.
Soekanto, Soerjono. 2002. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Soemarwoto, Otto. 1991. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan.
Sunarto, Chairul Saleh, dkk. 2017. Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem.
Edisi Pertama. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Taneko, Soleman B. 1993. Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: PT Raja
Grafindo.
Tim pengajar PIH. 1995. Diktat Kuliah Pengajar Ilmu Hukum. Bandung: Fakultas Hukum
Universitas Parahyangan.
Wibisana, Andri Gunawan Wibisana. 2015. Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan Ham RI.

JURNAL
Budiman, Budiman. 2014 Pelaksanaan Perlindungan Satwa Langka Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Studi Di Seksi Konservasi Wilayah I Surakarta Balai Konservasi Sumber
Daya Alam Jawa Tengah), GEMA, Th. XXVI/ 48/ Februari-Juli.
Fikri. 2012.Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara Terhadap Pengelolaan Kawasan
Ekosistem Leuser di Aceh, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 57, Th. XIV. Agustus.
Guntur, Wildanu S, 2019. Kajian Kriminologi Perdagangan Ilegal Satwa Liar, Jurnal Recidiv,e
Volume 8 No. 2 Mei - Agustus 2019.
Hanif, Fatih. 2015. Upaya Perlindungan Satwa Liar Indonesia Melalui Instrumen Hukum dan
Perundang-undangan, Jurnal Hukum Lingkungan. VOL, 2. ISSUE 2, Desember.
Pimm, Stuart L, dkk. 1995. The Future of Biodiversity. Sciencez. 21 Juli. Vol, 269.
Rajaguguk, Elisa Vionita Rajagukguk. 2014. Efektivitas Peraturan Perdagangan Satwa Liar di
Indonesia, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 31 No. 2 September.
Yoshua Aristides,Agus Purnomo, Fx. Adji Samekto. 2016. Perlindungan Satwa Langka Di
Indonesia dari Perspektif Convention On International Trade In Endangered Species Of
Flora And Fauna (CITES). DIPONEGORO LAW JOURNAL, Volume 5, Nomor 4.

PERATURAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

17
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Farras Hakim, Agus Riewanto Perlindungan Hukum Satwa Liar di Taman Nasional
Gunung Leuser terhadap Peristiwa Kepunahan

Undang-Undang No. 5 Tahun Tahun 1994 Tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai
Keanekaragaman Hayati.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa
Liar

MEDIA ELEKTRONIK
Fauna https://gunungleuser.or.id/fauna/ diakses pada tanggal 25 Juli 2020 pukul 11.40 WIB.
Karokaro, Ayat S. Perdagangan Satwa Liar Dilindungi di Sumatera Tinggi, Benarkah?, Lihat
dalam https://www.mongabay.co.id/2017/12/05/perdagangan-satwa-liar-dilindungi-di-
sumatera-tinggi-benarkah/ diakses pada tanggal 25 Juli 2020 pukul 10.24 WIB.
Madan, Mohamad Amin Madan. In Picture: Penangkapan Perdagangan Satwa Liar Harimau
Sumatra, Lihat dalam https://www.republika.co.id/berita/nasional/lingkungan-hidup-
dan-hutan/16/05/25/o7qj54283-penangkapan-perdagangan-satwa-liar-harimau-sumatra
diakses pada tanggal 24 Juli 2020 pukul 22.09 WIB.
Mustofa, Ali Mustof. Polisi Ungkap Satu Gading Gajah dijual Tersangka Rp 60 Juta, Lihat
dalam https://radarkudus.jawapos.com/read/2019/02/25/121434/polisi-ungkap-satu-gading-
gajah-dijual-tersangka-rp-60-juta diakses pada tanggal 25 Juli 2020 pukul 18.45 WIB.
Putra, Yudha Manggala P. 240 Jerat Satwa Liar ditemukan di TN Gunung Leuser, Lihat dalam
https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/p7mpat284/240-jerat-satwa-liar-
ditemukan-di-tn-gunung-leuser diakses pada tanggal 24 Juli 2020 pukul 22.18 WIB.

18
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rustam Renyaan Analisia Perundang-Undangan Indonesia Bidang Informasi dan
Teknologi: Studi atas Keberadaan Buzzer yang Berpengaruh Negatif pada Media Sosial

ANALISIS PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA BIDANG INFOR-


MASI DAN TEKNOLOGI: STUDI ATAS KEBERADAAN BUZZER
YANG BERPENGARUH NEGATIF PADA MEDIA SOSIAL
Rustam Renyaan1; Erna Dyah Kusumawati2

Abstrak
Hadirnya media sosial, seperti Twitter, dan Instagram tentu tidak luput dari berbagai istilah yang
kemudian muncul di media sosial seperti netizen, followers, influencer, hingga buzzer. Buzzer
merupakan pekerjaan komunikasi dan informasi untuk membangkitkan kesadaran sosial, yang
memungkinkan pembagian konten secara cepat dan seketika, sehingga mampu menghasilkan
gerakan sosial melalui pesan-pesan yang disebarkan, adalah sebuah fenomena penting komunikasi.
Keterlibatan buzzer di Indonesia dalam peristiwa politik telah berkontribusi negatif terhadap citra
dan pemaknaan khalayak terhadap buzzer. Sejak saat itu buzzer mendapat cap negatif sebagai
pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial. Penulisan ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimana hukum Indonesia, terutama legislasi dalam bidang informasi dan
tehnologi merespon keberadaan buzzer negatif pada media sosial. Penulis menggunakan metode
penelitian hukum normatif atau doktrinal. Bahan hukum primer yang digunakan dalam artikel
ini adalah legislasi yang berkaitan dengan bidang informasi dan tehnologi. Selain itu, digunakan
juga bahan hukum sekunder berupa karya pemikiran peneliti atau penulis sebelumnya. Tidak
adanya sanksi hukum yang tegas bagi para buzzer yang menyebarkan konten negatif pada media
sosial menunjukkan bahwa permasalahan ini belum dapat diantisipasi dengan baik oleh hukum
Indonesia pada saat ini.
Kaca Kunci: Indonesia, Informasi dan Tehnologi, Buzzer, Media Sosial

Abstract
The presence of social media, such as Twitter and Instagram, has introduces various new terms
for example: netizens, followers, influencers, and buzzers. The term buzzer refers to the work of
communication and information to generate social awareness, which allows sharing of content
quickly and immediately. The work of buzzer can generate social movement through messages
that are disseminated. This work is considered as an important phenomenon of communication.
The involvement of buzzers in Indonesia in political events has negatively contributed to the
image and the public’s meaning of buzzers. Since then the buzzer has been labelled as negative
activities, for being paid for producing negative contents on social media. This article aims to
examine how Indonesian law, especially legislation in the field of information and technology,
responds to the negative buzzer on social media. The author uses normative or doctrinal legal
research methods. The primary legal material used in this article is legislation related to
information and technology. In addition, secondary legal materials are also used in the form
of works of thought by previous researchers or writers. The absence of strict legal sanctions

1 Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres,
Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, rustamrenyaan@gmail.com , S.H. (IAIN Ambon).
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah,
Indonesia, erna.d.kusumawati@staff.uns.ac.id, Dr. (University of Groningen).

19
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rustam Renyaan Analisia Perundang-Undangan Indonesia Bidang Informasi dan
Teknologi: Studi atas Keberadaan Buzzer yang Berpengaruh Negatif pada Media Sosial

for buzzers who spread negative content on social media shows that this problem has not been
properly anticipated by the current Indonesian legislation.
Keywords: Indonesia, Information and Technology, Buzzer, Social Media

A. Pendahuluan
Teknologi internet di era digital dewasa ini semakin berkembang tentunya mempermudah
setiap orang untuk saling bertukar informasi tanpa adanya batasan. Pengguna media sosial di
Indonesia pun terus berkembang dari tahun ke tahun.3 Saat ini, modernisasi sudah membawa
kita untuk melompat keluar perbatasan melintasi negara-negara di seluruh dunia, internet
adalah salah satu bukti modernisasi. Kebanyakan orang tentu sudah tahu bahwa internet
bermula dari ARPANET yang diusulkan oleh Leonard Kleinrock. Pada 1961, Kleinrock
menulis tentang ARPANET dalam makalahnya yang berjudul Information Flow in Large
Communication Nets.4 Internet telah menjadi salah satu elemen utama yang membangun
lingkungan sosial. Teknologi pengembangan Internet kemudian mengarah pada kelahiran
media sosial. Menurut Cambridge Dictionary, media sosial adalah bentuk media situs web
dan program komputer yang memungkinkan orang berkomunikasi dan berbagi informasi di
internet menggunakan komputer atau ponsel.5
Lebih dari separuh penduduk di Indonesia telah mampu mengunakan media sosial. Dalam
laporan “Digital Around The World 2019”6, terungkap bahwa dari total 268,2 juta penduduk
di Indonesia, 150 juta (sekitar 56 persen) di antaranya telah menggunakan media sosial.
Hasil riset yang diterbitkan 31 Januari 2019 lalu itu memiliki durasi penelitian dari Januari
2018 hingga Januari 2019. Terjadi peningkatan 20 juta pengguna media sosial di Indonesia
dibanding tahun lalu. Generasi milenial yang umum disebut generasi Y serta generasi Z
mendominasi penggunaan media sosial.7
Lon Safko mendefinisikan media sosial sebagai sebuah media yang dipergunakan untuk
bersosialiasi, Lewat media sosial, memungkinkan para pengguna untuk bersama-sama
saling bertukar, berdiskusi, berkomunikasi, dan berpartisipasi dalam bentuk interaksi sosial
serta menciptakan dan memindahkan konten.8 Media sosial memberikan begitu banyak
peluang bagi setiap orang untuk mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan seperti penulis konten,
influencer atau desainer web adalah beberapa pekerjaan yang lahir di era media sosial.
Selain pekerjaan ini, ada satu lagi pekerjaan era media sosial adalah menjadi “buzzer”.
Buzzer berasal dari Bahasa Inggris yang berarti lonceng, bel, atau alarm sedangkan dalam
Oxford Dictionaries, buzzer diartikan sebagai ‘An electrical device that makes a buzzing
noise and is used for signalling’ yakni perangkat elektronik yang digunakan untuk

3 Hootsuite (We Are Social), Indonesian Digital Report 2019 , Hlm. 31, https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-
report-2019/, diakses tanggal 8 Agustus 2020 Pukul 23:00 WIB
4 Reza Eka Ayu Sartika, “Penemuan Yang Mengubah Dunia: Internet”, https://sains.kompas.com/read/2018/02/08/203300823/
penemuan-yang-mengubah-dunia--internet?page=all. diakses 1 Juli 2020 pukul 23:24 WIB
5 https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/social-media?q=media+social diakses 1 Juli 2020 pukul 23: 31
6 Opcit. Hootsuite. Hlm. 31
7 https://tekno.kompas.com/read/2019/02/04/19140037/separuh-penduduk-indonesia-sudah-melek-media-sosial diakses pada 12
juni 2020
8 Safko, L. (2010). The Social Media Bible: Tactics, Tools, and Strategies for Business Success. USA: John Wiley & Sons, Inc. hlm. 2

20
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rustam Renyaan Analisia Perundang-Undangan Indonesia Bidang Informasi dan
Teknologi: Studi atas Keberadaan Buzzer yang Berpengaruh Negatif pada Media Sosial

membunyikan dengungan guna menyebarkan sinyal atau tanda tertentu.9 Dalam konteks
media sosial, buzzer didefinisikan sebagai orang yang menggemakan, mempromosikan, atau
mengkampanyekan masalah atau produk dengan memanfaatkan media sosial mereka. Oleh
karena itu, salah satu syarat utama untuk menjadi buzzer adalah memiliki akun media sosial
yang memiliki banyak pengikut. Pada awalnya, buzzer banyak digunakan untuk keperluan
promosi bisnis melalui media sosial, namun tidak ada pekerjaan yang berjalan tanpa ada
masalah, baik itu masalah internal pekerjaan tersebut maupun masalah eksternal, begitupun
Buzzer.
Zaenal A Budiyono, menyebut cara buzzer politik menggiring opini publik pun beragam,
dengan positive campaign, negative campaign hingga black propaganda. Penggiringan
opini biasanya sesuai permintaan dari para aktor politik tersebut, hanya saja yang tidak
diperbolehkan adalah menggiring opini publik dengan black propaganda. Black propaganda
yang dimaksud adalah mempengaruhi publik dengan menyebarkan fitnah, hoaks, dan hal-
hal yang bersifat privat. Pesan yang disampaikan juga tidak hanya disampaikan melalui
narasi pada tulisan, tapi bisa juga gambar dalam bentuk meme maupun video yang diunggah
ke dunia maya, misalnya melalui Youtube. Pemanfaatan buzzer di media sosial menjadi
strategi untuk memenangkan perang informasi.10
Buzzer politik media sosial di tanah air mulai populer dalam Pilkada Jakarta tahun 2012,
Saat itu pasangan Jokowi Ahok berhasil menang dengan mengerahkan “pasukan medsos”
bernama Jasmev, atau Jokowi Ahok Social Media Volunteer11, setelah itu di tahun 2019, para
pendengung ini kembali jadi perbincangan karena bergerak aktif ketika terjadi gerakan massa
menolak kebijakan pemerintah. Seperti diketahui, beberapa waktu lalu muncul gelombang
demonstrasi dan jenis aksi lainnya di sejumlah daerah yang diikuti masyarakat sipil,
mulai dari mahasiswa hingga para tokoh masyarakat. Beberapa hal yang menjadi tuntutan
masyarakat sipil adalah mencabut Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil
revisi dan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap Undang-
Undang Komisi Pemberantas Korupsi hasil revisi. Masyarakat juga menolak pelemahan
pemberantasan korupsi, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Revisi Undang-
Undang Pemasyarakatan, Revisi Undang-Undang Mineral dan Batu bara, Revisi Undang-
Undang Sumber Daya Air, dan Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Selain itu, mereka
juga mendesak disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hingga tuntaskan
berbagai kebakaran hutan dan lahan. Di sisi lain, para buzzer pun menyebarkan narasi-
narasi yang berseberangan dengan yang diperjuangkan masyarakat sipil. Media sosial
pun menjadi membingungkan dan menyebabkan konflik baik antara pemerintah dengan
masyarakat, maupun konflik horizontal antara masyarakat. Sampai-sampai, pihak Istana
Kepresidenan angkat bicara. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menjelaskan, para buzzer
di media sosial perlu ditertibkan.12

9 Rieka Mustika, PERGESERAN PERAN BUZZER KE DUNIA POLITIK DI MEDIA SOSIAL. Jurnal Diakom
| Vol. 2 No. 2, Desember 2019, hlm. 152
10 https://kumparan.com/kumparannews/suburnya-buzzer-dan-berkembangnya-bisnis-penggiringan-
opini1536203838240146622/full di akses pada 1 juli 2020 pukul 22:3 WIB
11 https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20181210015736-185-352342/asal-usul-kelahiran-buzzer di akses
pada Juli 2020 1:25 WIB
12 Dylan Aprialdo Rachman "Fenomena "Buzzer" Politik, Bisingnya Media Sosial hingga Pentingnya Pencerdasan
Publik", https://nasional.kompas.com/read/2019/10/09/06570621/fenomena-buzzer-politik-bisingnya-media-
sosial-hingga-pentingnya-pencerdasan?page=all. di akses pada Juli 2020 1:25 WIB

21
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rustam Renyaan Analisia Perundang-Undangan Indonesia Bidang Informasi dan
Teknologi: Studi atas Keberadaan Buzzer yang Berpengaruh Negatif pada Media Sosial

Pemerintah Indonesia sepertinya, belum mampu mengantisipasi secara optimal fenomena


konflik yang dihasilkan dari kegiatan buzzer yang menyebabkan banyak konflik yang
dimulai dari menyikut dan menyebarkan berita bohong di media sosial, sementara penyebar
sangat sulit dideteksi karena akun yang digunakan tidak menggunakan identitas pengguna
sebenarnya, ini menunjukkan pemerintah kurang serius dan lemahnya konstruksi ketahanan
hukum Indonesia terhadap kemungkinan konflik yang disebabkan oleh buzzer politik, Salah
satu hal yang tidak berhasil direspon oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik adalah munculnya fenomena buzzer. Keberadaan
buzzer belum diatur dalam hukum Indonesia. Selama konten yang disebut-sebut “benar”
dan bukan bohong dan tidak mengandung kebencian dan SARA, buzzer tidak dapat dijerat
menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Berdasarkan latar belakang di atas maka artikel ini bertujuan untuk melakukan
analisa hukum Indonesia dalam merespon buzzer yang melakukan propaganda negatif pada
media sosial.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research). Penelitian hukum merupakan
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-
doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.13 Morris L. Cohen menambahkan,
dalam penelitian hukum (legal research) terdapat beberapa pendekatan yang digunakan,
yaitu statuta approach, conceptual approach, analitycal approach, comparative
approach, historical approach, philosophical approach, dan case approach.14 Merujuk
pendekatan-pendekatan itu, penulisan artikel ini menggunakan pendekatan perundang-
undangan (statuta approach) untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang buzzer
negatif, pendekatan konseptual (conceptual approach) untuk mengetahui pengaturan
khusus tentang buzzer sebagaimana asas lex specialis sistematis, dan historycal approach
(pendekatan sejarah).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data sekunder (secondary data) dengan
sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan
hukum yang autoritatif, sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku, teks, jurnal-
jurnal hukum dan komentar atas penjelasan para Ahli.15 Adapun bahan hukum primer yang
digunakan adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan
Situs Bermuatan Negatif. Bahan hukum sekunder yang digunakan meliputi yaitu karya
publikasi yang berkaitan tentang buzzer.

C. Pembahasan
Buzzer merupakan pekerjaan komunikasi dan informasi untuk membangkitkan kesadaran
sosial, yang memungkinkan pembagian konten secara cepat dan seketika, sehingga mampu
menghasilkan gerakan sosial melalui pesan-pesan yang disebarkan. Penyampaian pesan yang

13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada, 2014, hlm 35.
14 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2006, hlm. 300
15 Peter Mahmud Marzuki, Loc.cit, hlm. 133

22
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rustam Renyaan Analisia Perundang-Undangan Indonesia Bidang Informasi dan
Teknologi: Studi atas Keberadaan Buzzer yang Berpengaruh Negatif pada Media Sosial

dilakukan oleh buzzer di Instagram dilakukan dengan mengkombinasikan caption beserta


foto yang menarik dan sesuai dengan yang di promosikan. Gaya bahasa yang digunakan
buzzer disesuaikan dengan karakternya masing-masing, tidak diberikan panduan ataupun
format tertentu. Hal ini bertujuan agar postingan konten tersebut terkesan natural tanpa
ada embel-embel yang terkesan memaksa. Pesan promosi yang disampaikan pun hanya
berupa pengalaman buzzer dalam menggunakan produk. Harapannya agar followers dapat
melihat bahwa postingan tersebut merupakan postingan benar adanya sesuai realita bukan
rekayasa. Dengan demikian, followers yang terpapar dengan postingan tersebut berupaya
mencari informasi tambahan dari sumber lain, mencoba produk yang digunakan dan jika
pengalaman mereka sama dengan yang dirasakan dengan buzzer yang diikuti, mereka
akan merekomendasikan produk tersebut ke orang lain. Dapat berupa postingan testimoni
pengalaman penggunaan produk atau bahkan ikut mempromosikan produk di Instagram
mereka.16 Namun tidak semua followers yang terpapar mencari infromasi tambahan dan
langsung merekomendasikan produk keorang lain.
Penelitian terdahulu mengenai ‘Aktivisme Kelas Menengah Berbasis Media Sosial:
Munculnya Relawan dalam Pemilu 2014’ menunjukkan beberapa ciri-ciri buzzer sebagai
berikut, membuat mini-story dan kultwit dengan bahasa teknokratis dan akademik,
menggunakan akun anonim (sockpuppet), posting-an bersifat hit and run sehingga wacana
dan isu bersifat temporer, dan wacana tersebut bersifat testing the water, untuk melihat
aksi dan reaksi kelas menengah netizen.17 Keterlibatan buzzer di Indonesia dalam peristiwa
politik telah berkontribusi negatif terhadap citra dan pemaknaan khalayak terhadap buzzer.
Sejak saat itu buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi
konten negatif di media sosial. Buzzer biasanya punya jaringan luas, mampu menciptakan
konten sesuai konteks, cukup persuasif, dan digerakkan oleh motif tertentu.
Peran ini menjadi tidak baik jika dimanfaatkan untuk membentuk persepsi dan pandangan
masyarakat akan kandidat politik tertentu, bahkan hingga membuat dan menyebarkan
berita-berita hoax dan hatespeech antar lawan politik yang kemudian akan menimbulkan
perpecahan di tengah masyarakat apalagi masyarakat kita yang cenderung komunal.
Masyarakat kita suka men-share tanpa memfilter mandiri dan apalagi di tengah kondisi
politik yang tidak menentu. Kata ‘buzzer’ pun lambat laun mulai dipandang masyarakat
sebagai sebuah konotasi negatif, hal ini dapat muncul sebagai akibat dari kegiatan yang
tidak bertanggung jawab dari buzzer politik melalui media sosial.18 Aktivitas yang dilakukan
buzzer termasuk membangun inventaris dari strategi, alat, dan teknik propaganda komputasi
yang berkembang, termasuk penggunaan ‘bot politik’ untuk memperkuat pidato kebencian
atau bentuk lain dari konten yang dimanipulasi, pengambilan data secara ilegal atau
penargetan mikro, atau penggelaran suatu pasukan ‘troll’ untuk menggertak atau melecehkan
pembangkang politik atau jurnalis online.19
Pasukan dunia maya ini menggunakan berbagai strategi perpesanan saat berkomunikasi
dengan pengguna online. Perpesanan menggambarkan seberapa menarik atau tidak

16 Yulianti, Dina & Zulfebriges. (2018). Aktivitas Buzzer di Instagram dalam Promosi MD Clinic. Prosiding Manajemen Komunikasi
Volume 4, No. 2, Tahun 2018 ISSN: 2460-6537
17 Jati, W. (2016). Aktivisme Kelas Menengah Berbasis Media Sosial: Munculnya Relawan dalam Pemilu 2014. Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. Hlm 20.
18 Opcit. Hlm. 155
19 Samantha Bradshaw, Philip N. Howard, The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media
Manipulation, Oxford Internet Institute, University Of Oxford. Hlm. 1

23
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rustam Renyaan Analisia Perundang-Undangan Indonesia Bidang Informasi dan
Teknologi: Studi atas Keberadaan Buzzer yang Berpengaruh Negatif pada Media Sosial

menariknya pesan, acara, atau hal-hal lain. Strategi pengiriman pesan yang digunakan
pasukan dunia maya ketika terlibat dalam percakapan dengan pengguna online:20
1) menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai;
2) menyerang oposisi atau memasang kampanye kotor;
3) mengalihkan atau mengalihkan pembicaraan atau kritik dari masalah-masalah penting;
4) divisi mengemudi dan polarisasi; dan
5) menekan partisipasi melalui serangan pribadi atau pelecehan.
Pasukan siber juga menggunakan berbagai strategi komunikasi dalam empat kategori:21
1) pembuatan disinformasi atau media yang dimanipulasi;
2) pelaporan konten atau akun secara massal;
3) strategi berbasis data;
4) trolling, doxing atau pelecehan;
5) memperkuat konten dan media online.

Menurut pengamat media sosial Enda Nasution mengungkapkan bahwa buzzer merupakan
akun-akun di media sosial yang tidak mempunyai reputasi untuk dipertaruhkan, Buzzer
lebih ke kelompok orang yang tidak jelas siapa identitasnya, lalu kemudian biasanya
memiliki motif ideologis atau motif ekonomi dibelakangnya, dan kemudian menyebarkan
informasi.22 Karena tidak adanya konsekuensi hukum, ketika ada orang yang mau mem-
bully atau menyerang atau dianggap melanggar hukum, buzzer tersebut tinggal menutup
saja akunnya atau menghapus akunnya atau dibiarkan saja hingga tidak aktif lagi. Selain
itu, bila ada akun yang memiliki nama yang jelas dan latar belakang yang jelas, disebut
dengan influencer. Misalnya akun tersebut memiliki nama dan real orangnya seperti
selebritis atau profesi lainnya yang punya follower besar dan punya sikap atau preferensi
untuk mendukung sesuatu atau tidak mendukung sesuatu, dengan begitu akun tersebut
tidak bisa seenaknya mengunggah sesuatu, karena bila salah atau terdapat orang yang tidak
suka, dapat menimbulkan risiko terhadap pemilik akun tersebut. Dalam kategori influencer,
mereka memiliki nama asli dan latar belakang yang jelas, misalnya orang-orang partai,
politisi, orang bisnis, atau pengamat-pengamat politik, mereka adalah influencer yang punya
preferensi dukung mendukung terhadap sesuatu isu ataupun orang.
Tumbuh dan berkembangnya internet dan teknologi yang diikuti dengan hadirnya ruang
publik media sosial seharusnya diimbangi dengan melakukan antisipasi dengan membuat
aturan-peraturan yang dapat melibatkan perdebatan yang terjadi ruang media sosial internet.
Untuk mengantisipasi perkembangan internet, Pemerintah Republik Indonesia membentuk
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang
kemudian diamandemen beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang amandemen Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.23 Walaupun upaya untuk
mengantisipasi perkembangan teknologi internet yang telah dilakukan, pada kenyataannya,
aturan-aturan ini masih memiliki kekurangan dan sepertinya tidak dapat mengimbangi

20 Ibid, Hlm 13
21 Ibid, Hlm. 15
22 https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/05/063100765/mengenal-buzzer-influencer-dampak-dan-fenomenanya-di-
indonesia?page=all diakses pada 13 juni 2020.
23 Muhammad Syirazi Neyasyah, Legal Resilience in the Phenomenon of Social Media Political Buzzer in Indonesia, Advances in
Economics, Business and Management Research, volume 130, 3rd International Conference on Law and Governance (ICLAVE 2019).
Hlm. 340

24
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rustam Renyaan Analisia Perundang-Undangan Indonesia Bidang Informasi dan
Teknologi: Studi atas Keberadaan Buzzer yang Berpengaruh Negatif pada Media Sosial

perkembangan pesat teknologi internet, termasuk hasil dari kelahiran media sosial dan
semua konflik yang menyertainya. Contoh dalam aturan- aturan ini masih mengandung
kekurangan dapat kita lihat pada kasus Saracen.
Pada tanggal 23 agustus 2017, Kepolisian Republik Indonesia mengungkapkan penangkapan
tiga pimpinan sindikat Saracen yang diduga berada di balik sejumlah berita bohong dan
provokatif bernuansa SARA di media sosial.24 Dari hasil penyelidikan forensik digital,
terungkap sindikat ini menggunakan grup Facebook di antaranya Saracen News, Saracen
Cyber Team, dan Saracennews.com untuk menggalang lebih dari 800.000 akun. Selanjutnya
pelaku mengunggah konten provokatif bernuansa SARA dengan mengikuti perkembangan
tren di media sosial. Konten yang dianggap provokatif berupa unggahan kata-kata, narasi,
maupun meme yang tampilannya mengarahkan opini pembaca untuk berpandangan negatif
terhadap kelompok masyarakat lain.
Pada pemeriksaan pengadilan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan
bahwa opini yang telah terbentuk di masyarakat yang menyebut kelompok Saracen sebagai
penyebar ujaran kebencian dan isu suku, agama, ras antargolongan (SARA) tidak terbukti.
Saracen mengunggah SARA dan ujaran kebencian, termasuk menerima aliran dana
ratusan juta rupiah, begitu juga terkait tuduhan bahwa Jasriadi membuat 800 ribu akun
Facebook anonim untuk menyebarkan SARA dan ujaran kebencian. Berdasarkan fakta-
fakta yang terungkap selama di persidangan, majelis hakim tidak menemukan fakta tersebut
sebagaimana opini yang beredar selama ini dimasyarakat, Namun, ketika kasus bergulir
ke kejaksaan, dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut umum (JPU) sama sekali tidak
menyebut Jasriadi mengunggah ujaran kebencian, SARA, dan menerima aliran dana. JPU
Kejaksaan Negeri Pekanbaru hanya mendakwa Jasriadi melakukan akses ilegal terhadap
akun Facebook Sri Rahayu Ningsih, yang telah divonis satu tahun penjara oleh Pengadilan
Negeri Cianjur, Jawa Barat, Selain itu, Jasriadi juga didakwa melakukan pemalsuan identitas
diri. Dalam perkara manipulasi data ini, JPU sebelumnya menuduh terdakwa Jasriadi
melakukan pemalsuan kartu tanda penduduk atas nama Suarni, lalu mengubah nama saksi
Suarni menggunakan aplikasi Photoshop menjadi Saracen. Namun, hakim menyatakan
dakwaan itu tidak terbukti.25
Salah satu hal yang tidak berhasil direspon oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah munculnya fenomena buzzer. Keberadaan
buzzer belum diatur dalam hukum Indonesia. Selama konten yang disebut-sebut “benar”
dan bukan bohong dan tidak mengandung kebencian dan SARA, buzzer tidak dapat dijerat
menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.26 Untuk mengetahui tindakan para buzzer tidak benar (bohong) dan menyebarkan
kebencian, maka tindakan tersebut perlu dibedah terlebih dahulu. Apakah tindakan buzzer
tersebut melanggar salah satu atau beberapa norma dalam UU ITE, Dalam UU ITE ada
beberapa norma yang bisa digunakan untuk menjerat buzzer, baik itu tindakan menyebarkan
berita palsu, menyebarkan fitnah atau keduanya. Karena buzzer biasanya mengunakan
Akun media sosial anonim yang identitas tidak di ketahui untuk menyebar berita palsu
dan menyebar fitnah maka tidak dapat dijerat karena tidak diketahui identitasnya. Hal ini

24 https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41022914 di akses pada tanggal 18 juli 2020 pukul 13:12 WIB


25 https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/04/06/p6rhlj409-hakim-saracen-tak-terbukti-sebarkan-ujaran-kebencian
di akses pada tanggal 18 juli 2020 pukul 14:03 Wib
26 https://www.beritasatu.com/nasional/578841/buzzerpolitik-belum-diatur-dalam-uu-ite, 2019 diakses pada 14 juni 2020

25
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rustam Renyaan Analisia Perundang-Undangan Indonesia Bidang Informasi dan
Teknologi: Studi atas Keberadaan Buzzer yang Berpengaruh Negatif pada Media Sosial

menunjukkan adanya ketidakpastian hokum yang timbul dalam merespon dan menangani
buzzer, terutama yang menyebabkan efek negatif pada masyarakat.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah
hasil kerja kolektif berbagai lembaga negara seperti Kementerian Informasi dan Komunikasi,
Kepolisian , dan Kejaksaan Republik Indonesia. Penyusunan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah hasil kerja sama Pemerintah
dengan tim dari Universitas Padjadjaran, Institut Teknologi Bandung dan Universitas
Indonesia. Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik ternyata berdampak pada demokrasi di Indonesia.27 Sejak diberlakukan,
ada kasus pembatasan kebebasan berbicara di internet dijerat dengan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Pasal 15 menyatakan bahwa “Barangsiapa
menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap,
sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan
atau sudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman
penjara setinggi, tingginya dua tahun” jo Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif, ini yang
dimaksud dengan “Pemblokiran Situs Internet Bermuatan Negatif yang selanjutnya disebut
Pemblokiran adalah upaya yang dilakukan agar situs internet bermuatan negatif tidak dapat
diakses” bahwa jelas apa yang di lakukan buzzer negatif merupakan hal yang tidak bisa
dibiarkan dan seharusnya aparat penegak hukum dan kementrian komunikasi dan informasi
sudah selayaknya menanggapi dengan serius tindakan buzzer yang cenderung negatif ini.
Hal tersebut menyebabkan polemik di sebagian besar masyarakat bahwa Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, undang-undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Peraturan Menteri Komunikasi
dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif
yang dibentuk untuk memaksakan pembatasan kebebasan berekspresi dari publik dalam
menggunakan media sosial telah membungkam kebebasan itu sendiri.28 Untuk memperbaiki
hal tersebut, Pemerintah mungkin sedang berupaya merevisi Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan mempertimbangkan
tindakan buzzer yang di lakukan pada media sosia. Namun demikian, hingga saat ini
undang-undang tersebut belum mampu menyerap fenomena kehadiran internet dan media
sosial secara optimal apalagi. Kehadiran buzzer belum diatur secara spesifik, sehingga perlu
ada regulasi yang mengatur tentang buzzer ini.

D. Penutup
1. Kesimpulan
Keterlibatan buzzer di Indonesia dalam peristiwa politik telah berkontribusi negatif
terhadap citra dan pemaknaan khalayak terhadap buzzer. Sejak saat itu buzzer mendapat
cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media
sosial. Buzzer biasanya punya jaringan luas, mampu menciptakan konten sesuai konteks,
cukup persuasif, dan digerakkan oleh motif tertentu. Peran ini dapat dimanfaatkan
untuk membentuk atau mempengaruhi bahkan menghasut persepsi dan pandangan

27 AP Edi Atmaja, Kedaulatan Negara DiRuang Maya: Kritik UU ITE Dalam Pemikiran Satcipto Rahardjo. Jurnal Opinia Juris. Vol. 16.
2014. Hlm. 71
28 Ibid. hlm 73

26
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rustam Renyaan Analisia Perundang-Undangan Indonesia Bidang Informasi dan
Teknologi: Studi atas Keberadaan Buzzer yang Berpengaruh Negatif pada Media Sosial

masyarakat. Hukum Indonesia sepertinya belum mampu menangani masalah buzzer


negatif, dapat dilihat bahwa masih ada pemberitaan bohong, penebar kebencian yang
menimbulkan keonaran di media sosial, karna akunnya anonim maka ketika mau dijerat
dengan hukum yang berlaku tidak bisa karena buzzer tinggal menonaktifkan akunnya.
2. Saran
Untuk menangani buzzer yang terlibat dalam hoax atau penyebaran kebencian,
diperlukan peran pemerintah untuk dapat melakukan berbagai kerjasama dan koordinasi
terkait dengan tindak lanjut dari aktivitas buzzer di media sosial untuk memanipulasi dan
mempropaganda informasi di media social, dimulai dari pihak-pihak berwenang yang
terkait seperti Kementerian informasi dan komunikasi, kepolisian serta berbagai pihak
lain. Dan juga perlu adanya regulasi agar media sosial terhindar dari berita bohong,
manipulasi, propaganda yang dilakukan buzzer.

Daftar Pustaka
Buku
Hardiman, F.B. (2009). Demokrasi deliberatif: Menimbang ‗negara hukum‘ dan ‗ruang publik‘
dalam teori diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, 2006
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada, 2014
Riant Nugroho, Kebijakan Publik dinegara-negara berkembang. Pustaka pelajar. Yogyakarta, 2015.
Safko, L. (2010). The Social Media Bible: Tactics, Tools, and Strategies for Business Success.
USA: John Wiley & Sons, Inc.

Jurnal
AP Edi Atmaja, Kedaulatan Negara Di Ruang Maya: Kritik UU ITE Dalam Pemikiran Satcipto
Rahardjo. Jurnal Opinia Juris. Vol. 16. 2014. Hlm. 71
Hootsuite, We Are Social, Digital 2019 Indonesia. 2019.
Jati, W. (2016). Aktivisme Kelas Menengah Berbasis Media Sosial: Munculnya Relawan dalam
Pemilu 2014. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Muhammad Syirazi Neyasyah, Legal Resilience in the Phenomenon of Social Media Political
Buzzer in Indonesia, Advances in Economics, Business and Management Research,
volume 130, 3rd International Conference on Law and Governance (ICLAVE 2019).
Rieka Mustika, PERGESERAN PERAN BUZZER KE DUNIA POLITIK DI MEDIA SOSIAL.
Jurnal Diakom | Vol. 2 No. 2, Desember 2019.
Samantha Bradshaw, Philip N. Howard, The Global Disinformation Order, 2019 Global
Inventory of Organised Social Media Manipulation, Oxford Internet Institute, University
Of Oxford.

27
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rustam Renyaan Analisia Perundang-Undangan Indonesia Bidang Informasi dan
Teknologi: Studi atas Keberadaan Buzzer yang Berpengaruh Negatif pada Media Sosial

Yulianti, Dina & Zulfebriges. (2018). Aktivitas Buzzer di Instagram dalam Promosi MD Clinic.
Prosiding Manajemen Komunikasi Volume 4, No. 2, Tahun 2018 ISSN: 2460-6537
Zainal Fatah, Megasari Noer Fatanti, Mempolitisasi Ruang Virtual: Posisi Warga-Net dalam
Praktik Demokrasi Digital di Indonesia, Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan
Sosial - Vol. 3 No. 1 Tahun 2019.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan
Situs Bermuatan Negatif

Internet
https://sains.kompas.com/read/2018/02/08/203300823/penemuan-yang-mengubah-dunia--
internet?page=all. diakses 1 Juli 2020 pukul 23:24 WIB
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/social-media?q=media+social diakses 1
Juli 2020 pukul 23: 31
https://tekno.kompas.com/read/2019/02/04/19140037/separuh-penduduk-indonesia-sudah-
melek-media-sosial diakses pada 12 juni 2020
https://www.komunikasipraktis.com/2019/03/pengertian-buzzer-profesi-baru-era-medsos.html
diakses pada 12 juni 2020
https://kumparan.com/kumparannews/suburnya-buzzer-dan-berkembangnya-bisnis-
penggiringan-opini1536203838240146622/full di akses pada 1 juli 2020 pukul 22:3 WIB
https://nasional.kompas.com/read/2019/10/09/06570621/fenomena-buzzer-politik-bisingnya-
media-sosial-hingga-pentingnya-pencerdasan?page=all. di akses pada Juli 2020 1:25 WIB
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49792767 diakses pada 12 juni 2020.
https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/05/063100765/mengenal-buzzer-influencer-
dampak-dan-fenomenanya-di-indonesia?page=all diakses pada 13 juni 2020.
https://www.beritasatu.com/nasional/578841/buzzerpolitik-belum-diatur-dalam-uu-ite, 2019
diakses pada 14 juni 2020
https://tirto.id/ketika-uu-ite-menjadi-momok-masyarakat-ct diakses pada tanggal 14 juni 2020
https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41022914 di akses pada tanggal 18 juli 2020 pukul
13:12 WIB
https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/04/06/p6rhlj409-hakim-saracen-tak-
terbukti-sebarkan-ujaran-kebencian di akses pada tanggal 18 juli 2020 pukul 14:03 WIB
https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2019/, diakses tanggal 8
Agustus 2020 Pukul 23:00 WIB

28
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dadang Wibowo A Dampak Penerapan Presidential Threshold dalam Pemilihan Umum
Serentak dan Pembangunan Kualitas Demokrasi di Indonesia

Dampak Penerapan Presidential Threshold dalam


Pemilihan Umum Serentak dan Pembangunan Kualitas
Demokrasi di Indonesia
Dadang Wibowo A1, Djoko Wahju Winarno2

Abstrak
Penelitian ini berbicara dampak penerapan presidential threshold dalam pemilihan umum
serentak. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan
undang-undang, pendekatan sejarah dan pendekatan konseptual. Untuk memecahkan isu hukum
dan sekaligus memberikan preskripsi, diperlukan sumber-sumber penelitian berupa bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Hasil Penelitian menyimpulkan bahwa penerapan pengaturan
presidential threshold dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum tidak relevan dilaksanakan dalam sistem pemilu serentak dan prinsip negara demokrasi.
Dengan tetap diterapkannya presidential threshold hanya akan menimbulkan bahaya di dalam
demokrasi seperti ketidakadilan, kelompok atau partai politik mengenai hak-hak konstitusinya,
serta menimbulkan oligarki dan kartel politik.
Kata Kunci: Demokrasi, Presidential Threshold, Pemilihan Umum

A. Pendahuluan
Pemilihan Umum merupakan instrumen demokrasi prosudural dalam sebuah negara.
Meskipun antara demokrasi dan pemilihan umum tidaklah sama, namun pemilihan umum
merupakan sebuah aspek penting dalam demokrasi yang harus diselenggarakan secara
demokratis. Pemilihan umum dapat dimaknai sebagai sebuah prosedur untuk mencapai
suatu demokrasi atau prosedur guna memindahkan kedaulatan rakyat kepada kandidat-
kandidat tertentu untuk menduduki jabatan politik.3 Melalui pemilihan umum menunjukkan
bahwa kekuasaan politik berasal dari rakyat dan dipercayakan kepada perwakilannya demi
kepentingan rakyat, dan kepada rakyatlah para perwakilan bertanggung jawab atas tindakan-
tindakannya.4
Di Indonesia dijelaskan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV mengenai tujuan nasional
yaitu (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
(2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut
melaksanakan ketertiiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal tersebut sejalan
dengan apa yang dikatakan oleh Moh. Mahfud yang pada intinya kedaulatan rakyat memiliki

1 Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa
Tengah, Indonesia, dadangwibowo75@gmail.com, S.H (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia,
djokowahjuwinarno@staff.uns.ac.id , Dr (Universitas Gajah Mada), M.Si (Universitas Airlangga), S.H (Universitas Gajah Mada)
3 Veri Junaidi, Menata Sistem Penegakan Hukum Pemilu Demokratis Tinjauan Kewenangan MK atas Penyelesaian Hasil Pemilu (PHPU),
Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 3, Tahun 2012, Hlm. 106
4 David Bentham dan Kevin Boyle, Demokrasi, Yogyakarta, Kanisius, 2009

29
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dadang Wibowo A Dampak Penerapan Presidential Threshold dalam Pemilihan Umum
Serentak dan Pembangunan Kualitas Demokrasi di Indonesia

hubungan dengan pemerintahan yang sah dan diakui (legitimate government).5 Sebagai
negara demokrasi, maka dapat dikatakan bahwa memilih dan dipilih dalam pemilihan umum
adalah devisiasi dari kedaulatan rakyat yang merupakan bagian dari hak asasi setiap warga
negara6 serta demi mewujudkan negara kesejahteraan, maka harus dimulai dari penegakan
supremasi hukum (supremacy of law) yang berarti memposisikan hukum sebagai panglima
tertinggi dalam penyelenggaraan negara. 7
Menurut ketentuan UUD Tahun 1945 yang termasuk di dalam rezim pemilihan umum adalah
pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD)8,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi/Kota9 serta pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden.10 Dalam pelaksanaanya pemilihan umum diatur di dalam Pasal 22E UUD
Tahun 1945 yang berbunyi “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Pelaksanaan pemilihan umum tiga periode
yang lalu tahun (2004, 2009, 2014) dilaksanakan 2 kali, yaitu untuk memilih anggota DPR,
DPD, DPRD Provinsi/Kota ditempatkan secara terpisah dengan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden dalam rezim pemilihan legislatif. Sedangkan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden di tempatkan sendiri dalam rezim pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.11 Partai
Politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden jika memperoleh 20% suara di Legislatif atau memperoleh 25% suara sah nasional
dan apabila partai politik tidak memenuhi syarat maka partai politik harus berkoalisi dengan
partai politik peserta pemilihan umum lainnya untuk mengusung calon Presiden dan Wakil
Presiden.
Berawal dari Koalisi Masyarakat menggugat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi yang pada
pokoknya mengemukakan bahwa perhelatan pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden secara terpisah dianggap kurang mendukung terhadap jalannya
demokrasi yang efektif dan efisien, terlebih lagi di dalam penguatan sistem presidensial,
dilihat dari aspek beban biaya dan tenaga yang harus dicurahkan oleh penyelenggara
pemilu dalam menyukseskan pesta demokrasi sangatlah besar dan memberatkan. Setelah
dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, lahirlah konsep pemilihan umum serentak. Diperlukannya pelaksanaan pemilihan
umum serentak merupakan hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
bahwa penyelenggaraan pemilihan umum Legislatif dan pemilihan umum Presiden dan
Wakil Presiden diselenggarakan secara bersama-sama yang berlaku pada pemilihan umum
2019 dan pemilihan umum seterusnya.12 Konsep pemilu serentak itu sendiri adalah suatu
kebijakan politik dalam melakukan penggabungan pelaksanaan pemilihan umum legislatif

5 Moh. Mahfud MD. Pergulatan Politik dan Hukum, Yogyakarta, Gama Media, 1999
6 Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Yogyakarta, Fajar Media Press, 2011, Hlm. 1
7 Yohanes Suhardin, Peranan Negara dan Hukum dalam Memberantas Kemiskinan dengan Mewujudkan Kesejahteraan Umum, Jurnal
Hukum dan Pembangunan, Volume 40, Nomor 3, 2010, hlm. 391
8 Pasal 2 ayat (1), Pasal 19 ayat (1) serta Pasal 22C ayat (1) UUD Tahun 1945.
9 Pasal 18 ayat (3) UUD Tahun 1945
10 Pasal 6A ayat (1) dan (2) UUD Tahun 1945
11 Janpatar Simamora, Menyongsong Rezim Pemilu Serentak, Jurnal Rechtsvinding, Volume 3, Nomor 1, Tahun 2014, Hlm. 3
12 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013 dalam perkara pengujian Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945

30
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dadang Wibowo A Dampak Penerapan Presidential Threshold dalam Pemilihan Umum
Serentak dan Pembangunan Kualitas Demokrasi di Indonesia

dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dalam satu hari pelaksanaan pemungutan
suara.13
Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi, yakni Pasal
3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112, namun Mahkamah
Konstitusi tidak mengabulkan uji materi Pasal 9. Pasal 9 Undang-Undang No. 42 Tahun
2008 yang diubah menjadi Pasal 222 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum yang menyatakan “Pasangan Calon yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan
Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit
20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima
persen) suara sah secara Nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya” dalam hal ini
kemudian disebut sebagai ambang batas perolehan suara bagi partai politik atau gabungan
partai politik dalam mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden,14 atau yang biasa disebut
dengan Presidential Threshold (PT). Pada awalnya pengaturan presidential threshold oleh
pembentuk Undang-Undang adalah dalam rangka penguatan sistem presidensial.15 Itu
sebabnya pemilihan uumum legislatif didahulukan dari pada pemilihan umum Presiden
dan Wakil Presiden, namun apabila presidential threshold ini dihubungkan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013 akan muncul persoalan hukum.
Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang hendak
dibahas yaitu: apakah pengaturan penerapan presidential threshold dalam Pasal 222
Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum masih relevan diberlakukan
dalam pemilu serentak selanjutnya ataukah diperlukan penghapusan mengenai penerapan
presidential threshold guna meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia?

B. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang mengkaji isu
hukum mengenai penerapan presidential threshold yang diatur di dalam Pasal 222 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Penelitian ini menggunakan
pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan historis (historical approach),
dan pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan pendekataan tersebut peneliti
dapat mengungkap landasan filosofis dan pola pikir yang melahirkan sesuatu yang sedang
dipelajari.16 Untuk memecahkan isu hukum dan memberikan preskripsi mengenai yang
seyogyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian berupa bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks, dan jurnal-jurnal
hukum yang relevan dengan penelitian.17 Bahan hukum primer dan sekunder kemudian
dianalisis secara preskriptif analitis.

13 Ria Casmi Arsa, “Pemilihan Serentak dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi”, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, 2014, Hlm 532
14 Sodikin, Pemilu Serentak (Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden) dan Penguatan Sistem Presidensiil, Jurnal
Rechtsvinding, Volume. 3, Nomor 1, 2014, Hlm. 21
15 Ibid
16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, Hlm. 133-136
17 Ibid, Hlm. 181

31
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dadang Wibowo A Dampak Penerapan Presidential Threshold dalam Pemilihan Umum
Serentak dan Pembangunan Kualitas Demokrasi di Indonesia

C. Pembahasan
1. Dampak Presidential Threshold bagi Partai Politik Baru
Dampak diterapkannya presidential threshold terhadap partai politik dapat dikatakan
imbasnya. Hal tersebut berangkat dari Pasal 222 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum yang pada intinya telah menyatakan bahwa presidential
threshold adalah 20% kursi Legislatif dan 25% suara sah nasional yang dimiliki oleh
partai politik atau gabungan dari partai politik, dalam penerapan presidential threshold
diambil dari pemilu legislatif yang diselenggarakan pada pemilu 2014.
Perolehan Kursi Partai Politik di DPR RI Hasil Pemilu 2014
No Partai Politik Total Kursi
1. PDI Perjuangan 109 (19,46%)
2. Golkar 91 (16,25%)
3. Gerindra 73 (13,4%)
4. Demokrat 61 (10,89%)
5. PAN 49 (8,75%)
6. PKB 47 (8,39%)
7. PKS 40 (7,14%)
8 PPP 39 (6,96%)
9. Nasdem 35 (6,25%)
10. Hanura 16 (2,86%)
Sumber: kemenpppa.go.id

Pada pemilu tersebut tidak ada satupun partai politik yang mendapatkan suara 20%
kursi di legislatif atau 25% suara Nasional yang berarti tidak ada satupun partai politik
yang bisa mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, sehingga merugikan partai politik.
Secara konstitusional partai politik dijamin untuk dapat mengajukan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan Pasal 6A ayat (2) yang sangat tegas dan jelas
mengatakan “bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai
politik atau gabungan partai politik sebelum pemilihan umum” sehingga logikanya
jika sebuah partai tidak lolos menjadi peserta pemilihan umum maka dia tidak bisa
mengajukan pasangan calon tapi jika dia lolos dia bisa mengajukan pasangan calon.
Penulis dapat mengambil contoh dari pemilu 2019 terdapat 4 partai yang dihilangkan
hak konstitusionalnya yaitu PSI, Perindo, Partai Berkarya dan Partai Garuda mereka
tidak bisa mengusung calon, mereka hanya bisa mendukung.
Hasil Pemilu Legislatif 2019
No Partai Politik Total Kursi
1. PDI Perjuangan 128 (19,33%)
2. Golkar 85 (12,31%)
3. Gerindra 78 (12,57%)
4. Nasdem 59 (9,05%)
5. PKB 58 (9,69%)

32
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dadang Wibowo A Dampak Penerapan Presidential Threshold dalam Pemilihan Umum
Serentak dan Pembangunan Kualitas Demokrasi di Indonesia

No Partai Politik Total Kursi


6. Demokrat 54 (7,77%)
7. PKS 50 (8,21%)
8 PAN 44 (6,84%)
9. PPP 19 (4,52%)
10. Berkarya 0 (2,09%)
11. PSI 0 (1,85%)
12. Hanura 0 (1,54%)
13. PBB 0 (0,79%)
14. Perindo 0 (2,07%)
15. PKPI 0 (0,22%)
16. Garuda 0 (0,5%)
sumber: Kompas.com

Mengusung dan mendukung adalah hal yang berbeda karena constitutional standing
adalah mengajukan atau mengusung bukan mendukung. Keempat Partai Politik tersebut
terhalang ketentuan presidential threshold. Hakikatnya dalam sistem Pemerintahan
Presidensial permasalahan ambang batas sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan
sebagai patokan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebab pada umumnya ambang
batas presidential threshold hanya digunakan untuk syarat minimum calon presiden dan
wakil presiden bisa terpilih. Sedangkan di Indonesia sendiri telah mengatur di dalam
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen menyebutkan bahwa “Pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen
dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara
disetiap provinsi yang tersebar lebih dari setengah provinsi di Indonesia, dilantik
menjadi Presiden dan Wakil Presiden”.
Jika ditinjau secara teoritis, legitimasi presiden dalam skema presidensial tidak
ditentukan oleh konfigurasi politik di dalam parlemen melalui hasil pemilihan legislatif,
sebab hal tersebut sangatlah berbeda dengan skema parlementer. Dalam presidensial
antara presiden selaku eksekutif dan parlemen selaku legislatif memiliki legitimasinya
yang berbeda, terpisah dan tidak bisa saling mengintervensi satu sama lain. Oleh sebab
itu persyaratan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden didasarkan dari
perolehan suara atau kursi partai politik di legislatif pada dasarnya merupakan praktik
anomali dalam sistem presidensial. Terlebih lagi konstitusi sudah menjamin legislatif di
satu pihak dan Presiden di lain pihak, tidak bisa saling menjatuhkan di antara keduanya.18
Penentuan presidential threshold pada sistem presidensial serta dalam pemilu serentak
terkesan hanya untuk kepentingan kekuasaan partai politik yang berkuasa serta
menciptakan kartel dan oligarki politik. Hal tersebut dapat ditinjau dari dua kali periode
pemilihan umum pada tahun 2014 dan 2019, presidential threshold seharusnya dapat
menghadirkan 3-4 pencalonan presiden dan wakil presiden. Namun pada kenyataannya
dalam dua kali perhelatan terakhir pemilihan umum 2014 dan 2019 terdapat oligarki dan

18 Isra Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial di Indonesia, Jakarta,
Rajawali Press, 2010, Hlm. 38-39

33
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dadang Wibowo A Dampak Penerapan Presidential Threshold dalam Pemilihan Umum
Serentak dan Pembangunan Kualitas Demokrasi di Indonesia

kartel politik yang memborong partai politik sehingga hanya menyisakan satu pasang
penantang pemilihan umum.
Kartel politik itu sendiri adalah kondisi adanya koalisi hampir semua partai politik yang
berbagi kekuasaan eksekutif tanpa memperhitungkan afiliasi politiknya dengan tujuan
demi tercapainya keseimbangan politik atau kemenangan dalam pemilu. Kartel partai
politik berbagi “kue kekuasaan”, di Indonesias hal ini terjadi dengan memanfaatkan
power sharing (bagi-bagi kekuasaan) presiden.19 Power Sharing Game inilah yang
membuat Partai Golkar, PPP, dan PAN yang semula ada dalam koalisi kubu lawan Jokowi,
kini berbalik menjadi bagian dari pemerintah.20 Hal ini berdampak pada kurangnya
alternatif-alternatif pilihan calon presiden dan wakil presiden yang seharusnya setiap
partai peserta pemilu tersebut dapat mengusung calon-calon yang berkompeten dan
berkualitas sebagai bentuk menjalankan demokrasi.
Sehingga dengan kata lain presidential threshold ini merupakan sarana atau alat yang
paling ampuh untuk membunuh pesaing, atau menghilangkan calon-calon potensial
lainnya dalam kompetisi pilpres.21 Jadi sehebat apapun calon-calon potensial tersebut,
kalau mereka tidak mendapatkan atau memiliki kendaraan politik, maka niscaya mereka
bisa bertarung di dalam pemilihan umum.

2. Dampak presidential threshold dalam Demokrasi Pemerintahan Presidensil Di


Indonesia
Jika kita merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-IX/2013, yang
menyatakan bahwa ketentuan presidential threshold tersebut merupakan open legal
policy atau kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang. Ketentuan tersebut
konstitusional serta di berlakukannya sistem pemilihan umum serentak sebagai wujud
dalam memperkuat sistem presidensil. Dalam ilmu hukum, konsep open legal policy
adalah hal yang baru dan relatif tidak dikenal sebelumnya. Selama ini istilah policy
(kebijakan) lebih dikenal luas dalam bidang studi kebijakan publik, antara lain dalam
istilah Communitarian (kebijakan masyarakat), Public Policy (kebijakan publik), dan
social policy (kebijakan sosial). Di bidang ilmu kebijakan publik, istilah kebijakan
(policy) sudah mengandung makna bebas atau terbuka (open), karena pada dasarnya
makna dari kebijakan selalu merujuk pada suatu keleluasaan pejabat/pihak yang
berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu yang dalam pelaksanaannya tidak atau
belum diatur secara jelas oleh peraturan perundang-undangan. Hal demikian berbeda
dengan pengertian terbuka (open) di bidang pembentukan hukum (dalam sistem hukum
nasional).22
Apabila inti dari penerapan presidential threshold dalam pemilihan umum serentak
merupakan proses penguatan sistem pemerintahan presidensil sebenarnya dengan
pemilu serentak saja sudah merupakan salah satu sarana efektif langkah menuju misi
tersebut. Pemilihan umum serentak setidaknya memberikan dua efek sekaligus, pertama,

19 S13, dalam Pinter Politik, https://www.google.co.id/amp/s/www.pinterpolitik.com/kartelisasi-parpol-ala-jokowi-2/amp/


20 Ibid.
21 Effendi Ghazali, dalam CNN Indonesia, https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190424180114-32-389317/presidential/threshold-
dinilai-merusak-sistem-pemilu-serentak diakses pada 6 Agustus 2020, Pukul. 10.10 WIB
22 Mardian Wibowo, Menakar Konstitusionalitas sebuah Kebijakan Hukum Terbuka dalam Pengujian Undang-Undang, Jurnal Konstitusi,
Volume 12, Nomor, 2, 2015, Hlm. 204

34
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dadang Wibowo A Dampak Penerapan Presidential Threshold dalam Pemilihan Umum
Serentak dan Pembangunan Kualitas Demokrasi di Indonesia

koalisi dini karena partai-partai politik dipaksa untuk berkoalisi lebih awal agar solid
untuk memenangkan kompetisi. Kedua, adanya coattail effect yang dimana tingkat
keterpilihan presiden akan mempengaruhi keterpilihan parlemen secara nasional.23 Oleh
sebab itu presidential threshold dengan sistem pemilihan umum serentak merupakan
sebuah kesalahan sebab semestinya presidential threshold dalam konteks konstitusi
Indonesia yang menerapkan sistem mayoritas calon presiden dan wakil presiden terpilih
melalui ambang batas 50%+1 yang tertuang dalam Pasal 6A UUD 1945, ditetapkan
sebagai presiden dan wakil presiden yang dilantik,24 bukan penerapan presidential
threshold untuk ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam melalui
suara di legislatif atau perolehan kursi yang ada di parlemen seperti saat ini.
Penghapusan presidential threshold sebagai ambang batas pencalonan presiden dan
wakil presiden merupakan langkah yang tepat. Hal tersebut sesuai dengan demokrasi
yang dicita-citakan yaitu melindungi segenap hak warga negara, oleh sebab itu sudah
menjadi keharusan juga melindungi pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian
hukum serta keadilan hukum dengan kedudukan yang sama bagi warga negara dihadapan
hukum. Demokrasi yang pada pengertian dasarnya memiliki potensi untuk memberikan
suatu hal yang baik bagi manusia terutama dalam menghadapi kekuasaan yang represif
dan rakyat dipandang memiliki kedudukan yang sama dalam politik (political equity).25
Kedudukan yang sama di dalam politik dapat diperoleh melalui persamaan hak dan
kesempatan setiap masyarakat, kelompok atau partai politik dalam proses pemilihan
umum. Hak dan kesempatan dari masyarakat, kelompok atau partai politik baru peserta
pemilihan umum serentak untuk maju mencalonkan pasangan presiden dan wakil
presiden tidak dapat dihilangkan oleh aturan undang-undang yang tidak adil.26
Pengahapusan presidential threshold diharapkan mampu meningkatkan indeks
demokrasi Indonesia yang cenderung dikategorikan cacat (flawed democracy) hal
tersebut berdasarkan The Economist Intelligence Unit (EIU) dimana Indonesia
menempati peringkat ke-64 dari 167 negara dalam daftar indeks demokrasi global tahun
ini,27 selain itu dihapuskannya presidential threshold dalam sistem pemilihan umum
serentak diharapkan mampu memanfaatkan teori coattail effect. Coattail effect adalah
istilah yang merujuk pada suatu tindakan yang menimbulkan pengaruh pada tindakan
lain (pengaruh ikutan). Dalam terjemahan bebas diartikan sebagai efek kebiasaan buntut
jas. Calon pemimpin yang diusung memiliki efek buntut jas terhadap elektabilitas suara
pada partai pengusung nantinya. Hal ni tentu berakibat pada sinergitas antara eksekutif
terpilih dengan anggota dewan di parlemen nantinya.28

23 Supriyanto, Didik dan August Mellaz, Ambang Batas Perwakilan: Pengaruh Parlementary Threshold Terhadap Penyerdahanaan
Sistem Kepartaian dan Proposionalitas Hasil Pemilu, Jakarta, Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), 2017
24 Ghofur, Jamaludin & Allan Fatchan Gani Warfhana, Presidential Threshold: Sejarah, Konsep dan Ambang Batas Persyaratan
Pencalonan dalam Tata Hukum di Indonesia, Malang, Setara Press, 2019, hlm. 248
25 Anwar Arifin, Komunikasi Politik (Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan Strategi dan Komunikasi Politik Di Indonesia), Yogyakarta, Graha
Ilmu, 2011, Hlm 43
26 M. Mukhtarrija, IG Ayu KRH, Agus R, Inefektifitas Pengaturan Presidential Threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum, Jurnal Ius Quia Iustum, Volume 24, Nomor 4, 2017, hlm 644-662
27 Rabiatul Adawiyah, Indeks demokrasi Indonesia merosot tiga tahun terakhir, https://www.google.co.id/amp/s/amp.lokadata.id/
amp/indeks-demokrasi-indonesia-merosot-tiga-tahun-terakhir, diakses pada 19 Juli 2020, pukul 11.58
28 Haris, Syamsudin, dkk, Pemilu Nasional Serentak 2019, Electoral Research Institute, Jakarta, Lembaga Ilmu Pengetahuan, 2015, hlm.
22

35
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dadang Wibowo A Dampak Penerapan Presidential Threshold dalam Pemilihan Umum
Serentak dan Pembangunan Kualitas Demokrasi di Indonesia

Teori coattail effect menegaskan setelah memilih calon presiden dan wakil presiden,
pemilih akan cenderung memilih dari mana presiden dan wakil presiden diusung
atau koalisi partai politik yang mencalonkan calon presiden dan wakil presiden yang
dipilihnya.29 Pernyataan Shuggart mengenai teori coattail effect, yang akan diperoleh
jika pemilihan umum dilaksanakan serentak. Contoh Pemilihan umum serentak mulai
diterapkan di Brasil sejak awal 1994 dan berhasil menstabilkan dan mengefektifkan
pemerintahan, sehingga dalam kurun waktu 15 tahun kemudian, Brasil menjadi kekuatan
ekonomi dunia.30. Memanfaatkan teori coattail effect dalam pemilihan umum serentak
presiden terpilih melalui sistem pemilu tersebut dengan dihapuskannya presidential
threshold, memiliki kekuatan politik yang kuat dan tidak tersandera oleh mahar politik
koalisi pendukung.

D. Penutup
1. Simpulan
Penerapan pengaturan presidential threshold dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah tidaklah relevan dilaksanakan pada sistem
pemilu serentak dalam sistem pemerintahan presidensil karena legitimasi presiden
dalam skema presidensial tidak ditentukan oleh konfigurasi politik di dalam parlemen
melalui hasil pemilihan legislatif, sebab hal tersebut sangatlah berbeda dengan skema
parlementer. Dengan dilaksanakan Pemilihan Umum Serentak sudah dirasa cukup
di dalam semangat memperkuat sistem presidensil seperti halnya semangat di dalam
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-IX/2013. Selain itu dengan dihapuskan
ketentuan presidential threshold mampu meningkatkan kualitas demokrasi yang dicita-
citakan yaitu melindungi segenap hak warga negara, oleh sebab itu sudah menjadi
keharusan juga melindungi pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum
serta keadilan hukum dengan kedudukan yang sama bagi warga negara dihadapan
hukum. Kedudukan yang sama di dalam politik dapat diperoleh melalui persamaan hak
dan kesempatan setiap masyarakat, kelompok atau partai politik dalam proses pemilihan
umum.
2. Saran
Pemerintah dan Legislatif mengkaji kembali Undang-Undang Pemilihan Umum
mengenai penetapan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau yang
disebut dengan presidential threshold yang less politic lebih berjangka kedepan, dan
berbasis kepada pembangunan demokrasi dalam sistem presidensil di Indonesia.

29 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-IX/2013 hlm. 8


30 Ibid, hlm. 9

36
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dadang Wibowo A Dampak Penerapan Presidential Threshold dalam Pemilihan Umum
Serentak dan Pembangunan Kualitas Demokrasi di Indonesia

Daftar Pustaka

Buku
Ansori, Lutfil. “Telaah Terhadap Presidential Threshold Dalam Pemilu Serentak 2019.” Jurnal
Yuridis, Volume 24, Nomor 1, 2017.
Anwar, Arifin. Komunikasi Politik (Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan Strategi dan Komunikasi
Politik Di Indonesia). Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.
Ghofur, Jamaludin & Allan Fatchan Gani Warfhana, Presidential Threshold: Sejarah, Konsep
dan Ambang Batas Persyaratan Pencalonan dalam Tata Hukum di Indonesia, Malang,
Setara Press, 2019,
Haris, Syamsudin, dkk,. Pemilu Nasional Serentak 2019. Jakarta: Electoral Research Institute,
Lembaga Ilmu Pengetahuan, 2015.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group, 2014.
MD, Moh. Mahfud. Pergulatan Politik dan Hukum. Yogyakarta: Gama Media, 1999.
Saldi, Isra. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam
Sistem Presidensial di Indonesia . Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Sardini, Nur Hidayat. Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Yogyakarta: Fajar Media
Press, 2011.

Jurnal
Ansori, Lutfil. “Telaah Terhadap Presidential Threshold Dalam Pemilu Serentak 2019.” Jurnal
Yuridis, Volume 24, Nomor 1, 2017.
Arsa, Ria Casmi. “Pemilihan Serentak dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi.” Jurnal
Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, 2014.
Junaidi, Veri. “Menata Sistem Penegakan Hukum Pemilu Demokrasi Tinjauan Kewenangan MK
atas Penyelesaian Hasil Pemilu (PHPU).” Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 3, 2012.
Mardian Wibowo. “Menakar Konstitusionalitas sebuah Kebijakan Hukum Terbuka dalam
Pengujian Undang-Undang, .” Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor, 2, , 2015,: 204.
Mukhtarrija, IG Ayu KRH, Agus R. “Inefektifitas Pengaturan Presidensial Threshold dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.” Jurnal Ius Quia Iustum,
Volume 24, Nomor 4, 2017.
Simamora, Janpatar. “Menyongsong Rezim Pemilu Serentak.” Jurnal Rechtsvinding Volume 3,
Nomor 1, 2014: 3.
Supriyanto, Didik dan August Mellaz, Ambang Batas Perwakilan: Pengaruh Parlementary
Threshold Terhadap Penyerdahanaan Sistem Kepartaian dan Proposionalitas Hasil Pemilu,
Jakarta, Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), 2017
Sodikin. “Pemilu Serentak (Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden) dan
Penguatan Sistem Presidendiil.” Jurnal Rechtsvinding, Volume 3, Nomor 1, 2014.

37
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dadang Wibowo A Dampak Penerapan Presidential Threshold dalam Pemilihan Umum
Serentak dan Pembangunan Kualitas Demokrasi di Indonesia

Yohanes Suhardin, Peranan Negara dan Hukum dalam Memberantas Kemiskinan dengan
Mewujudkan Kesejahteraan Umum, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Volume 40, Nomor
3, 2010,

Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan


Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-IX/2013 dalam Perkara Pengujian Undang-
Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
terhadap UUD Negara RI Tahun 1945

Internet
Effendi Ghazali, dalam CNN Indonesia, https://m.cnnindonesia.com/
nasional/20190424180114-32-389317/presidential/threshold-dinilai-merusak-sistem-
pemilu-serentak diakses pada 6 Agustus 2020, Pukul. 10.10 WIB
Hasil Pemilu 2014, www.kemenpppa.go.id, diakses pada 19 Juli 2020, pukul 11.52 WIB
Fitria Chusnul Farisa, Hasil Lengkap Perolehan Kursi DPR 2019-2024, http://nasional.
kompas.com/read/2019/08/31/11152361/hasil-lengkap-perolehan-kursi-dpr-2019-
2024?amp=1&page=2, diakses pada 19 Juli 2020, pukul 11.52 WIB
Rabiatul Adawiyah, Indeks Demokrasi Indonesia merosot tiga tahun terkahir, https://www.
google.co.id/amp/s/amp.lokadata.id/amp/indeks-demokrasi-indonesia-merosot-tiga-
tahun-terakhir, diakses pada 19 Juli 2020, pukul 11.58
S13, dalam Pinter Politik, https://www.google.co.id/amp/s/www.pinterpolitik.com/kartelisasi-
parpol-ala-jokowi-2/amp/, diakses pada 7 Agustus 2020, Puku;. 18.41 WIB

38
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Elisa Marta Nugraha Kemenkes Nomor HK.0107/Menkes/382/2020 sebagai Pembuka
Jalan Perekonomian Indonesia dalam Masa New Normal

Kemenkes Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020 sebagai


Pembuka Jalan Perekonomian Indonesia dalam Masa
New Normal
Elisa Marta Nugraha1, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani2

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa regulasi Kemenkes Nomor HK.01.07/
MENKES/382/2020 untuk memulihkan produktivitas masyarakat dan membuat kondisi
perekonomian kembali bergairah di tengah pandemic COVID – 19 dapat berhasil. Penelitian
ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa saat ini dan sudah ada terobosan baru yang istilah dunia
menyebutnya “ New Normal ” Indonesia telah mempersiapkan segala regulasi yang berkaitan
dengan politik hukum untuk dapat seusai dengan kebutuhna dunia dan untuk menyelamatkan
roda kehidupan perekonomian negara yang sebenarnya juga cukup berpengaruh terhadap
perekonomian wilayah. Regulasi tersebut adalah dengan dikeluarkannya Kemenkes Nomor
HK.01.07/MENKES/382/2020 dari pemerintah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat
yang merangkum tentang aturan protocol Kesehatan di tempat kerja sehingga roda perekonomian
Indonesia sudah mulai berjalan sesuai harapan terbukti dengan dibukanya Kembali 9 sektor
usaha yang sempat di batasi dan bahkan di tutup aktifitasnya untuk menjalankan PSBB yaitu
pertambangan, perminyakan, industri, konstruksi, perkebunan, pertanian dan peternakan,
perikanan, logistik, dan transportasi barang. Hal ini lebih naik jika dibandingkan dengan
Permenkes nomor 9 tahun 2020 tentang pembatasan social berskala besar yang dalam poin
utamanya terdapat ketentuan untuk meliburkan segala bentuk kegiatan belajar mengajar dan
kegiatan perusahaan. Karena dianggap kurang efektif dan meresahkan masyarakat yang terpaksa
harus di PHK karena perusahaan tidak sangup lagi membayar upah pekerja disituasi pandemi,
Kata Kunci : Covid-19, Ekonomi, New Normal, Politik, Pandemi

ABSTRACT
This study aims to see that the Ministry of Health’s regulation Number HK.01.07 / MENKES
/ 382/2020 for community productivity and to make economic conditions excited again in the
midst of the COVID-19 pandemic can be successful. This study uses a normative legal research
type with an invitation-visit approach. The results of this study indicate that currently and
there has been a new breakthrough called the “New Normal” world, Indonesia has prepared
all regulations related to legal politics to conform to the world’s needs and to save the life
of the country’s economy which actually also has quite an effect on the regional economy. .
This regulation is with the issuance of the Ministry of Health Number HK.01.07 / MENKES /
382/2020 from the government to improve the economy of the community which summarizes the
rules of the Health protocol at work so that the wheels of the Indonesian economy have started
to run as expected, as evidenced by the reopening of 9 business sectors that had been limit and

1 Mahasiswa Pascasarjana Program Hukum, Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah,
Indonesia.
2 Dosen di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia

39
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Elisa Marta Nugraha Kemenkes Nomor HK.0107/Menkes/382/2020 sebagai Pembuka
Jalan Perekonomian Indonesia dalam Masa New Normal

even close its activities to carry out the PSBB, namely mining, petroleum, industry, plantation
construction, agriculture and livestock, fisheries, logistics, transportation of goods. This is even
higher when compared to Permenkes number 9 of 2020 concerning large-scale social savings,
which in its main point is a provision to close all teaching and learning activities and company
activities. Because wages are ineffective and it is anxious for people who have to be laid off for
not paying workers anymore in pandemic situations,
Keywords: Covid-19, Economy, New Normal, Politics, Pandemic

A. Pendahuluan
Kepala Badan Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus akhirnya
mengumumkan nama resmi untuk virus corona jenis baru yakni COVID-19.
“CO” adalah singkatan dari “corona”, “VI” singkatan dari “virus”, “D” untuk penyakit
(disease), dan “19” untuk tahun 2019, karena virus corona jenis baru ini pertama kali
dikonfirmasi secara resmi pada Desember tahun lalu.
Ghebreyesus menambahkan WHO sengaja tidak menggunakan nama-nama yang dapat
dikaitkan dengan wilayah geografis, hewan, atau sekelompok orang.
WHO juga mengumumkan lebih dari 1.000 orang meninggal akibat terinfeksi COVID-2019.
Ghebreyesus meminta dunia untuk bertindak dan memperingatkan bahwa ‘’virus ini
menciptakan pergolakan politik, ekonomi, dan masalah sosial lebih kuat daripada serangan
teroris apa pun.’’
“Jika dunia tidak ingin bertindak dan menganggap virus ini sebagai musuh publik nomor
satu, saya tidak yakin kita akan belajar dari masalah ini,” ujar Ghebreyesus. “Virus ini musuh
nomor satu bagi seluruh dunia, dan bagi seluruh umat manusia.”
Hingga Rabu (12/02), jumlah kematian akibat COVID-2019 mencapai 1.113 orang, setelah
provinsi Hubei melaporkan 94 kematian baru dan tiga kematian di wilayah Cina lainnya.
Dalam laporan hariannya pada Selasa (11/02), komisi kesehatan provinsi Hubei
mengkonfirmasi 2.105 kasus baru terkait COVID-2019, terendah sejak 30 Januari.
Ghebreyesus yang merupakan mantan Menteri Luar Negeri Ethiopia ini juga meminta adanya
upaya tindakan pencegahan dan bantuan terhadap negara-negara dengan sistem kesehatan
yang lebih lemah. Ia memperingatkan bahwa jika virus ini mencapai negara dengan sistem
kesehatan yang lebih lemah, maka akan mendatangkan malapetaka.
‘’Untuk sekarang nampaknya tidak seperti itu, tetapi bukan berarti hal itu tidak akan terjadi.
Mungkin saja,” katanya.
Penyebaran COVID-2019 telah melumpuhkan ekonomi Cina. Banyak perusahaan besar
menghentikan sementara kegiatan mereka dan meminta karyawan untuk tinggal di rumah
sebagai upaya pencegahan penyebaran penyakit.
Sementara itu, memasuki minggu kedua masa karantina kapal pesiar Diamond Princess di
lepas pantai Jepang, dilaporkan ada 39 kasus tambahan. Sehingga telah ada sedikitnya 174
kasus terinfeksi COVID-2019, dari total 3.700 penumpang dan awak kapal. Seorang petugas
karantina juga ditemukan teinfeksi virus.
WHO telah mengadakan konferensi dengan 400 ahli medis untuk menyiapkan roadmap
dalam merespons wabah COVID-2019, termasuk pembahasan seputar vaksin.

40
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Elisa Marta Nugraha Kemenkes Nomor HK.0107/Menkes/382/2020 sebagai Pembuka
Jalan Perekonomian Indonesia dalam Masa New Normal

“Mereka butuh waktu untuk mengembangkannya (vaksin), tetapi sementara itu, kami tidak
akan diam saja,” kata Ghebreyesus, seraya menambahkan vaksin pertama bisa siap dalam
18 bulan.
Ghebreyesus juga merekomendasikan untuk rutin mencuci tangan dan menjaga jarak dari
orang-orang yang mengidap gejala penyakit. Ia menyarankan bila batuk, usahakan selalu
tutupi mulut dengan tisu atau siku.3
Saat pandemi Covid-19 yang menjadi isu bersama dalam politik hukum Indonesia pada UUD
1945. “Negara harus menjamin dan melindungi segenap bangsa Indonesia yang dijadikan
dasar bagaimana penentuan arah politik hukum ekonomi ke depan harus jadi acuan,” politik
hukum harus menjadi acuan aturan-aturan positif diberlakukan dan dipraktikkan. Politik
hukumnya berdasarkan Pancasila.
Ada beberapa pengertian politik hukum menurut para ahli. Kata politik hukum terdiri dari
politik dan hukum. Politik yaitu the art of possibilities, het kiezen van alternatieven. Menurut
C.F. Strong: Political science is the science if the state.
Negar merupakan organisasi kekuasaan, karena di dalam negara selalu kita jumpai pusat
pusat kekusaan, baik dalam suprastruktur (terjelma dalam Lembaga politik dan Lembaga
negara) dan infrastruktur yang meliputi partai politik, golongan kepentingan, golongan
penekanan, alat komunikasi politik, dan tokoh politik.4
Politik hukum pada saat ini diperlukan untuk pembangunan ekonomi, dengan mengutamakan
pertumbuhan yang tinggi dibarengi politik hukum pemerataan apalagi di masa pandemi
seperti sekarang. Kalau tidak dengan upaya, maka pertumbuhan ekonomi tidak bisa dilakukan
politik hukum dasar, dapat dilihat dalam :
Pasal 28A Ayat (1) UUD 1945 mengandung nilai dasar bahwa negara harus melindungi hak
hidup sekaligus hak untuk memperoleh kehidupan yang sehat bagi bangsa Indonesia.
Pasal 34 UUD 1945 menyebutkan dalam rangka melindungi hak hidup bangsa Indonesia,
semua harus dipenuhi kebutuhan ekonominya baik dari negara maupun semua stakeholder
bangsa secara gotong-royong agar tetap survive.
Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 menyebutkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dilakukan secara
bersama-sama.
secara proporsional antara politik dengan pembangunan ekonomi yang mengutamakan
tingkat pertumbuhan yang tinggi diikuti pemerataan, terganggu oleh kondisi yang tidak
normal sehingga harus menjaga hak hidup masyarakat, melindungi masyarakat agar tidak
terpapar apalagi sampai meninggal akibat Covid-19. Kalau masyarakat sudah terpapar, biaya
yang dibutuhkan akan menyerap anggaran, tidak saja anggaran negara dan pemerintah, tapi
juga anggaraan keluarga, masing-masing individu.5
Maka dari itu diperlukan adanya kebijakan hukum dibidang ekonomi, namun sebelumnya
kita pahami sebuah konsep tentang Welfare State adalah negara yang pemerintahannya
bertanggung jawab penuh untuk memnuhi berbagai kebutuhan dasar social dan ekonomi

3 Ita, “WHO Juluki Covid-19 ‘Musuh Publik Nomor 1’ https://news.detik.com/dw/d-4896526/who-juluki-covid-2019-musuh-publik-


nomor-1, diakses pada 23 Juli 2020 pukul 0.53 WIB.
4 Mirza Nasution, Politik Hukum dalam SIstem Ketatanegaraan Indonesia, Medan: Penerbit Puspantara, 2015, Hal 9
5 Nano Tresna Arfana, “Hakim Konstitusi Arief Hidayat Bahas Politik Hukum Ekonomi Saat Pandemi” https://mkri.id/index.
php?page=web.Berita&id=16459, diakses pada 24 Juli 2020 Pukul 21.30

41
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Elisa Marta Nugraha Kemenkes Nomor HK.0107/Menkes/382/2020 sebagai Pembuka
Jalan Perekonomian Indonesia dalam Masa New Normal

dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang minimal.6 Kebijakan
hukum di bidang ekonomi, kaitannya dengan pelembagaan konsepsi welfare state, tentunya
tidak lepas dari rangkaian kajian politik hukum yang melandasi hak asasi manusia di bidang
ekonomi tersebut dan politik hukum kaitannya dengan struktur ekonomi Indonesia. Politik
hukum, adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan
hukum. Dari pengertian tersebut, kajian politik hukum terdiri atas: (1) politik pembentukan
hukum (perundang-undangan), (2) politik penerapan hukum, dan (3) politik penegakan
hukum.7
Sudah hampir 4 bulan sejak diumumkan bahwa Indonesia telah terjangkit wabah covid
pada bulan maret hingga sekarang masuk bulan juli sudah tercatat sekitar 91.751 kasus
positif dengan 50.255 dinyatakan sembuh dan 4.459 dinyatakan meninggal dunia.8 Hal
ini merupakan kasus yang tidak bisa dianggap sepele. Banyak cara dilakukan untuk dapat
terbebas dari covid ini salah satunya adalah menerapkan protocol Kesehatan baru yang
disebut dengan protocol New Normal.
Pemerintah Indonesia melalui Juru Bicara Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto
mengatakan, masyarakat harus menjaga produktivitas di tengah pandemi virus corona
COVID-19 dengan tatanan baru yang disebut new normal. Menurutnya, tatanan baru ini
perlu ada sebab hingga kini belum ditemukan vaksin definitif dengan standar internasional
untuk pengobatan virus corona. Para ahli masih bekerja keras untuk mengembangkan dan
menemukan vaksin agar bisa segera digunakan untuk pengendalian pandemi COVID-19.
“Sekarang satu-satunya cara yang kita lakukan bukan dengan menyerah tidak melakukan
apapun, melainkan kita harus jaga produktivitas kita agar dalam situasi seperti ini kita
produktif namun aman dari COVID-19, sehingga diperlukan tatanan yang baru,” kata
Achmad Yurianto dalam keterangannya di Graha BNPB. Menurut Yuri, tatanan, kebiasaan
dan perilaku yang baru berbasis pada adaptasi untuk membudayakan perilaku hidup
bersih dan sehat inilah yang kemudian disebut sebagai new normal. Cara yang dilakukan
dengan rutin cuci tangan pakai sabun, pakai masker saat keluar rumah, jaga jarak aman dan
menghindari kerumunan. Pihaknya berharap kebiasaan baru ini harus menjadi kesadaran
kolektif agar dapat berjalan dengan baik. “Siapa pun yang mengelola tempat umum, tempat
kerja, sekolah dan tempat ibadah harus melakukan memperhatikan aspek ini, bahkan
kita berharap harus menjadi kontrol terhadap kedisiplinan masyarakat,” ujarnya. Untuk
merealisasikan skenario new normal, saat ini pemerintah telah menggandeng seluruh pihak
terkait termasuk tokoh masyarakat, para ahli dan para pakar untuk merumuskan protokol
atau SOP untuk memastikan masyarakat dapat beraktivitas kembali, tetapi tetap aman
dari COVID-19. Protokol ini bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga pendidikan dan
keagamaan, tentu bergantung pada aspek epidemologi dari masing-masing daerah, sehingga
penambahan kasus positif bisa ditekan.9
Di Indonesia Protokol new normal ini di dukung dengan regulasi yang dibuat agar seluruh
masyarakat bisa mematuhi protocol tersebut. Regulasi tersebut adalah Keputusan Menteri

6 Hendra Karianga, Politik Hukum Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta: Penerbit Kencana, 2013, Hal 179
7 Kukuh Fadli Prasetyo, politik hukum dibidang ekonomi dan pelembagaan konsepsi welfare state di dalam undang-undnag dasar 1945,
jurnal konstitusi vol 9 nomor 3 september 2012,Hlm 496
8 https://covid19.go.id, diakse pada 23 Juli 2020 Pukul 0.55 WIB
9 Dipna Videlia Putsanra, “Arti New Normal Indonesia: Tatanan Baru Beradaptasi dengan COVID-19”, https://tirto.id/arti-new-
normal-indonesia-tatanan-baru-beradaptasi-dengan-covid-19-fDB3, diakses pada 23 Juli 2020 Pukul 1.13 WIB

42
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Elisa Marta Nugraha Kemenkes Nomor HK.0107/Menkes/382/2020 sebagai Pembuka
Jalan Perekonomian Indonesia dalam Masa New Normal

Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020 tentang protocol


Kesehatan bagi masyarakat di tempat dan fasilitas umum dalam rangka pencegahan dan
pengendalian corona virus disease 2019 (Covid-19).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diambil penulis adalah Apakah Kemenkes Nomor HK.01.07/
MENKES/382/2020 sudah bisa dikatakan sebagai pembuka jalan perekonomian Indonesia
dalam masa New Normal?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk melihat apakah dengan diterbitkanya
Kemenkes Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020 bisa mempengaruhi roda perekonomian
Indonesia yang sempat menurut drastic karena adanya pemberlakuan PSBB di Indonesia

D. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif atau dikenal juga sebagai penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada dengan mendasarkan hukum
sebagai suatu norma. Sebenarnya istilah penelitian hukum normatif tidak perlu, karena
istilah penelitian hukum atau legal research (atau dalam bahasa Belanda rechtsonderzoek)
sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat normatif. 10
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan yang mengacu pada
Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Bersekala Besar Dalam Rangka
Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 dan Kemenkes Nomor HK.01.07.
MENKES/328/2020 Tentang Panduan Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus
Disease 2019 (Covid – 19) Di Tempat Kerja Perkantoran Dan Industri Dalam Mendukung
Keberlangsungan Usaha Pada Situasi Pandemi.

E. Pembahasan
Tatanan kehidupan baru atau new normal menjadi wacana yang digulirkan pemerintah
untuk memulihkan produktivitas masyarakat dan membuat kondisi perekonomian kembali
bergairah. New normal merupakan salah satu opsi untuk menjadi tonggak kebangkitan
ekonomi Indonesia.
Persiapan jelang new normal ditandai dengan keluarnya Surat Edaran (SE) Menteri Kesehatan
Nomor HK.02.01/Menkes/335/2020 tentang Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik)
dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha. Dalam SE tersebut, diatur protokol kesehatan
bagi pengelola tempat kerja, pelaku usaha, serta pekerja. Dokumen tersebut menjadi acuan bagi
sektor usaha saat kembali menjalankan bisnis dengan menerapkan adaptasi kebiasaan baru.
New normal ditempuh pemerintah untuk menyelamatkan kondisi perekonomian negara, serta
menekan risiko PHK karyawan oleh pelaku industri. Opsi new normal yang kemungkinan
besar akan dipilih Pemerintah RI diprediksi dapat menyelamatkan kondisi perekonomian

10 Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Media Group, 2014, hlm 55-56

43
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Elisa Marta Nugraha Kemenkes Nomor HK.0107/Menkes/382/2020 sebagai Pembuka
Jalan Perekonomian Indonesia dalam Masa New Normal

nasional. Selama masa pandemi COVID-19, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat


anjlok, meskipun pada kuartal I 2020 pertumbuhan ekonomi masih positif di level 2,97%.
Pemerintah menargetkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tetap positif pada kuartal
II dan kuartal III 2020 di ambang 2,3%-2,5%. Penerapan new normal diharapkan dapat
menyokong pertumbuhan ekonomi tersebut. Dengan beroperasinya sektor industri,
perekonomian dapat bergeliat kembali dan mengatrol pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah juga tetap mendorong agar proyek strategis nasional (PSN) dapat tetap berjalan.
Sejumlah PSN dengan nilai lebih dari 1.400 triliun diproyeksi dapat membuka 3,5 juta
hingga 4 juta lapangan pekerjaan sepanjang empat sampai lima tahun ke depan.11
Selain dikeluarkan Surat Edaran (SE) Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/Menkes/335/2020
tentang Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik) dalam Mendukung Keberlangsungan
Usaha. Pemerintah juga menerbitkan regulasi yang baru selain PSBB yang tertuang dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020
Tentang Panduan Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Di
Tempat Kerja Perkantoran Dan Industry Dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha Pada
Situasi Pandemi atau yang kemudian disebut aturan New Normal.
Peraturan Menteri tersebut membawa terobosan baru karena dengan adanya panduan tersebut
menjadi pembuka jalan bagi keluhan masyarakat ketika yang menjadi pilihan sebelumnya
adalah Lockdown atau karantina wilayah yang saat itu didukung dengan adanya regulasi
berupa Peraturan Menteri Kesehatan No 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Social
Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 atau
yang biasa di sebut dengan aturan PSBB.
Ada 6 kegiatan inti aturan PSBB yang tertuang dalam pasal 13 Permenkes 9 Tahun 2020
yaitu :
1. Peliburan sekolah dan tempat kerja
2. Pembatasan kegiatan keagamaan
3. Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum
4. Pembatasan kegiatan social dan budaya
5. Pembatasan moda transportasi
6. Pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.
Aturan tersebut tidak memuat sanksi untuk masyarakat yang melanggar PSBB, namun
penerapan aturan PSBB melalui peraturan gubernur, walikota dan bupati memuat sanksi
untuk masyarakat atau badan usaha yang tidak taat aturan pembatasan social.12
Tetapi pada prakteknya didaerah tidak secara rinci juga menerapkan skema dan sanksi
PSBB sehingga tidak ada perubahan antara PSBB atau tidak PSBB. Hal ini mengakibatkan
pertambahan jumlah kasus Covid semakin meningkat tajam. Karena dinilai kurang efektif
dan juga melihat perkembangan yang menuntut untuk roda perekonomian harus tetap
berputar maka pemerintah melakukan regulasi baru dalam rangka politik hukum untuk
pembangunan ekonomi dengan membuat protocol new normal.

11 Advertorial, “Menyelamatkan Ekonomi Indonesia Melalui Penerapan New Normal”, https://www.cnnindonesia.com/


ekonomi/20200616191535-297-514013/menyelamatkan-ekonomi-indonesia-melalui-penerapan-new-normal, Diakses pada 9
Agustus 2020 Pukul 23.07 WIB
12 Rosmha Widiyani, “Ini Enam Inti Aturan PSBB Serta Sanksi di Beberapa Wilayah”, https://news.detik.com/berita/d-4984195/ini-
enam-inti-aturan-psbb-serta-sanksi-di-beberapa-wilayah, diakses pada 24 Juli 2020 Pukul 20.12 WIB

44
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Elisa Marta Nugraha Kemenkes Nomor HK.0107/Menkes/382/2020 sebagai Pembuka
Jalan Perekonomian Indonesia dalam Masa New Normal

Beberapa protocol new normal sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 adalah sebagai berikut :
1. Pengecekan Suhu tubuh saat masuk lingkungan manapun yang berhubungan dengan
interksi orang banyak
2. Pengaturan jam kerja dan pengurangan shift
3. Wajib menggunakan masker
4. Memberikan nutrisi tambahan bagi para pekerja
5. Menjaga kebersihan tempat kerja
6. Menyediakan fasilitas cuci tangan
7. Membuat tim penanganan covid di tempat kerja
8. Menjalankan protocol Kesehatan.13
Dengan adanya protocol new normal ini semua roda perekonomian bisa kembali berjalan
meskipun tetap harus melakukan penyesuaian karena sesuatu yang baru memang harus
masuk ke tahapan penyesuaian terlebih dahulu.
new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun
ditambah dengan menerapkan protocol kesehatan untuk mencegah terjadinya penularan
virus Covid-19, prinsip new normal itu sendiri adalah dengan menyesuaikan pola hidup14
Tujuan diberlakukannya new normal tersebut dikarenakan kebijakan sebelumnya yakni
memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta imbauan pemerintah agar
tetap dirumah yang menimbulkan resiko krisis ekonomi bahkan krisis politik, sehingga
pemerintah berupaya mencari jalan untuk memulihkan dengan menerapkan new normal agar
masyarakat dapat beraktivitas seperti semula dan diharapkan dapat memperbaiki kondisi
perekonomian negara.
Jika metode PSBB terus dilanjutkan tanpa adanya inovasi baru, bukan tidak mungkin
ancaman krisis politik yang berimbas dari krisis ekonomi akan terjadi. sangat banyak para
pekerja yang terkena PHK akibat perekonomian yang semakin merosot, kesenjangan sosial
semakin terlihat jelas sehingga dapat membuka peluang terjadinya krisis keamanan, dan
apabila terjadinya krisis keamanan ini akan menimbulkan kriminalitas seperti maraknya
pencurian, perampokan dan kerusuhan massal yang dapat membuka peluang terjadinya
krisis politik.
krisis politik merupakan suatu keadaan di mana Negara mengalami ketidakstabilan di
dalamnya. Krisis politik dapat terjadi karena hilangnya kepercayaan masyarakat atau
anggota partai terhadap pemimpinnya. Selain itu hal mendasar yang dapat menyebabkan
krisis politik dalam suatu Negara adalah keamanan serta kestabilan ekonomi Negara tersebut.
Dari krisis ekonomi hingga krisis keamanan tadi akan berimbas kepada krisis politik. Isu-
isu mengenai ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam menangani
kasus Covid-19 ini dapat berpotensi menjadi boomerang bagi pemerintah, yang mana isu-
isu tersebut dapat dipolitisasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk
menjatuhkan pemerintah.

13 Anggie Irfansyah, “Protokol New Normal di Lingkungan Kerja Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Perhatikan 9 poin Ini”,
https://style.tribunnews.com/amp/2020/06/03/protokol-new-normal-di-lingkungan-kerja-menurut-keputusan-menteri-kesehatan-
perhatikan-9-poin-ini?page=2&_ga=2.170247072.182263459.1595586976-1361649114.1595586951, diakses pada 24 Juli 2020
Pukul 20.44 WIB
14 Admin, “Mengenal Istilah New Normal Sebuag Kondisi Karena Pandemi”, https://www.enervon.co.id/article/1047/mengenal-istilah-
the-new-normal-sebuah-kondisi-karena-pandemi/, diakses pada 24 Juli 2020 pukul 22.03 WIB

45
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Elisa Marta Nugraha Kemenkes Nomor HK.0107/Menkes/382/2020 sebagai Pembuka
Jalan Perekonomian Indonesia dalam Masa New Normal

Maka dari itu untuk mencegah hal-hal yang demikian, peran saling membantu antara
masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi krisis saat ini sangat diperlukan. Jangan
sampai krisis politik ini menjadi kenyataan. Apabila krisis politik ini benar-benar terjadi,
maka dapat dikatakan Negara akan berada dalam kekacauan dan akan terjadi konflik internal
dalam Negara. Sama halnya dengan aturan PSBB, penerapan new normal ini masih belum
ada sanksi yang mengikat yang dapat membuat masyarakat jera serta menaati peraturan
tersebut sehingga bisa mengurangi penyebaran covid hingga akhirnya bisa memutus mata
rantai penyebaran virus tersebut. Sanksi yang berlaku selama ini masih bersifat optional dan
tidak ditegakkan secara tegas oleh pemerintah pusat maupun daerah, berbeda dengan aturan
lalu lintas yang menerapkan Tindakan tegas kepada setiap masyarakat yang melanggar. 15
New normal saat ini terbukti mulai bisa membangkitkan roda perekonomian negara secara
perlaha namun pasti, didukung dengan akan dibukanya 9 sektor perekonomian yang sempat
di batasi dan bahkan di tutup aktifitasnya untuk menjalankan PSBB yaitu pertambangan,
perminyakan, industri, konstruksi, perkebunan, pertanian dan peternakan, perikanan,
logistik, dan transportasi barang.
Eric mengingatkan target peningkatan laju ekonomi tidak dapat tercapai apabila penyebaran
wabah Covid-19 masih tinggi.
Karena itu, pemerintah dan masyarakat harus memiliki komitmen untuk menjalankan
protokol normal baru (new normal), yaitu menjaga jarak (physical dan social distancing),
serta tetap memakai masker saat beraktivitas.16
Penerapan new normal yang diharapkan dapat meningkatkan perekonomian di Indonesia
saat ini sudah mulai dapat dirasakan. Banyak UMKM dan Pedagang kecil yang semula
tutup sekarang sudah mulai buka kembali serta pusat pusat perekonomian juga sudah mulai
beraktifitas lancar dengan menerapkan protocol social distancing atau protocol new normal
sesuai dengan aturan yang ada di Kemenkes Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020
berdasarkan pertumbuhan dari tahun ke tahun, sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia
pada triwulan 1 2020 terbesar pada sektor informasi dan komunikasi sebesar 0,53 persen.
Hal ini cukup bisa dimaklumi mengingat dengan adanya anjuran dari pemerintah untuk “di
rumah saja” maka banyak orang menjalankan pekerjaan, hiburan dan pendidikan melalui
teknologi informasi.
Seiring hal tersebut, volume penjualan listrik PLN ke rumah tangga pun otomatis meningkat.
Berdasarkan rilis dari Badan Pusat Statistik, jumlah wisatawan mancanegara yang datang
ke Indonesia pada Triwulan 1 2020 juga turun drastis hanya sejumlah 2,61 juta kunjungan,
berkurang 34,9 persen bila dibandingkan dengan tahun lalu.
Dari sisi makro ekonomi, dengan adanya stimulus fiskal yang disertai dengan realokasi anggaran
untuk kesehatan, perlindungan sosial dan pemulihan ekonomi nasional dari sektor keuangan,
diharapkan akan dapat meningkatkan perekonomian secara perlahan di kuartal ketiga.
Dengan menggunakan model Input-Output (IO), Tim Riset Ekonomi PT Sarana Multi
Infrastruktur memperkirakan bahwa stimulus fiskal oleh pemerintah sebesar Rp405,1

15 Muhammad Jurizal, “Dampak New Normal Terhadap Ekonomi dan Politik “ https://www.suara.com/yoursay/2020/06/05/155631/
dampak-new-normal-terhadap-ekonomi-dan-politik, diakses pada 24 Juli 2020 Pukul 22.08
16 Feni Freycinetia Fitriani, “New Normal Pembukaan 9 Sektor Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi di tengah pandemic, https://ekonomi.
bisnis.com/read/20200608/9/1249888/new-normal-pembukaan-9-sektor-dongkrak-pertumbuhan-ekonomi-di-tengah-pandemi,
diakses pada 24 Juli 2020 Pukul 23.47 WIB

46
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Elisa Marta Nugraha Kemenkes Nomor HK.0107/Menkes/382/2020 sebagai Pembuka
Jalan Perekonomian Indonesia dalam Masa New Normal

triliun akan tercipta output dalam perekonomian sebesar Rp649,3 triliun. Sementara itu,
nilai tambah dan pendapatan pekerja akan meningkat masing-masing sebesar Rp355 triliun
dan Rp146,9 triliun.17
Keynes menyatakan bahwa dalam kondisi resesi, perekonomian yang berbasis mekanisme
pasar tidak akan mampu untuk pulih tanpa intervensi dari Pemerintah.18 Dalam hal ii
pemerintah sudah berusaha untuk melakukan intervensi salah satunya dengan membuat
beberapa regulasi untuk mendukung berjalannya perekonomian Indoenesia meskipun masih
melewati masa pandemic dengan menerapkam protocol Kesehatan yang tinggi di setiap
tempat tempat yang melakukan aktifitas perekonomian.

F. Penutup
Penerapan new normal yang diharapkan dapat meningkatkan perekonomian di Indonesia
saat ini sudah mulai dapat dirasakan. Banyak UMKM dan Pedagang kecil yang semula
tutup sekarang sudah mulai buka kembali serta pusat pusat perekonomian juga sudah mulai
beraktifitas lancar dengan menerapkan protocol social distancing atau protocol new normal
sesuai dengan aturan yang ada di Kemenkes Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020.
Langkah yang diambil pemerintah Indonesia untuk memulihkan roda perekonomain dengan
cara mendesain protocol new normal merupakan Langkah yang baik karena dengan demikian
banyak sekali sector usaha yang bisa Kembali beroprasi dan bisa memutar roda perekonomian,
terbukti dengan dibukanya Kembali 9 sektor usaha yang sempat di batasi dan bahkan di
tutup aktifitasnya untuk menjalankan PSBB yaitu pertambangan, perminyakan, industri,
konstruksi, perkebunan, pertanian dan peternakan, perikanan, logistik, dan transportasi
barang.masyarakat juga bisa melakukan aktivitas dengan lancar seperti sedia kala meskipun
tetap harus menjaga dan mematuhi protokon new normal seperti menggunakan masker
kemanapun bepergian, rajin mencuci tangan dan bersedia untuk dilakukan pengecekan suhu
tubuh pada saat mengunjungi lokasi dimanapun tempat orang berkerumun.
Meskipun demikian pemerintah tetap harus menertibkan regulasi yang diambil dengan
memberi sanksi administrative kepada pelanggar protocol new normal, baik itu masyarakat
maupun pemilik tempat usaha meskipun setiap daerah sudah menentukan sanksinya sendiri
namun jika tidak ada aturan yang seragam dari pemerintah pusat maka masyarakat akan
tetap mecari celah untuk melanggar aturan new normal tersebut meskipun aturan tersebut
dibuat untuk keamanan dan Kesehatan Bersama agar wabah covid bisa segera berlalu

Daftar Pustaka
Buku
Hendra Karianga, Politik Hukum Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta: Penerbit
Kencana, 2013.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Media Group, 2014.

17 Akbar Alifiani, “Kondisi Perekonomian Indnesia di tengah Pandemi Covid -19”, https://www.suara.com/yoursay/2020/06/11/122201/
kondisi-perekonomian-indonesia-di-tengah-pandemi-covid-19?page=all, diakses pada 9 Agustus 2020 Pukul 0.42 WIB
18 Nurul Amin, Dampak Kebijakan Fiskan Terhadap Output dan Inflasi, Jurnal Iqtishaduna, 2012, Hlm 73

47
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Elisa Marta Nugraha Kemenkes Nomor HK.0107/Menkes/382/2020 sebagai Pembuka
Jalan Perekonomian Indonesia dalam Masa New Normal

Mirza Nasution, Politik Hukum dalam SIstem Ketatanegaraan Indonesia, Medan: Penerbit
Puspantara, 2015.

Jurnal
Kukuh Fadli Prasetyo, politik hukum dibidang ekonomi dan pelembagaan konsepsi welfare state
di dalam undang-undnag dasar 1945, jurnal konstitusi vol 9 nomor 3 september 2012,Hlm
496
Nurul Amin, Dampak Kebijakan Fiskan Terhadap Output dan Inflasi, Jurnal Iqtishaduna, 2012,
Hlm 73

Data Elektronik
Admin, “Mengenal Istilah New Normal Sebuag Kondisi Karena Pandemi”, https://www.enervon.
co.id/article/1047/mengenal-istilah-the-new-normal-sebuah-kondisi-karena-pandemi/,
diakses pada 24 Juli 2020 pukul 22.03 WIB
Advertorial, “Menyelamatkan Ekonomi Indonesia Melalui Penerapan New Normal”, https://
www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200616191535-297-514013/menyelamatkan-
ekonomi-indonesia-melalui-penerapan-new-normal, Diakses pada 9 Agustus 2020 Pukul
23.07 WIB
Akbar Alifiani, “Kondisi Perekonomian Indnesia di tengah Pandemi Covid -19”, https://www.
suara.com/yoursay/2020/06/11/122201/kondisi-perekonomian-indonesia-di-tengah-
pandemi-covid-19?page=all, diakses pada 9 Agustus 2020 Pukul 0.42 WIB
Anggie Irfansyah, “Protokol New Normal di Lingkungan Kerja Menurut Keputusan Menteri
Kesehatan Perhatikan 9 poin Ini”, https://style.tribunnews.com/amp/2020/06/03/protokol-
new-normal-di-lingkungan-kerja-menurut-keputusan-menteri-kesehatan-perhatikan-9-
poin-ini?page=2&_ga=2.170247072.182263459.1595586976-1361649114.1595586951,
diakses pada 24 Juli 2020 Pukul 20.44 WIB
Dipna Videlia Putsanra, “Arti New Normal Indonesia: Tatanan Baru Beradaptasi dengan
COVID-19”, https://tirto.id/arti-new-normal-indonesia-tatanan-baru-beradaptasi-dengan-
covid-19-fDB3, diakses pada 23 Juli 2020 Pukul 1.13 WIB
Feni Freycinetia Fitriani, “New Normal Pembukaan 9 Sektor Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi
di tengah pandemic, https://ekonomi.bisnis.com/read/20200608/9/1249888/new-normal-
pembukaan-9-sektor-dongkrak-pertumbuhan-ekonomi-di-tengah-pandemi, diakses pada
24 Juli 2020 Pukul 23.47 WIB
https://covid19.go.id, diakse pada 23 Juli 2020 Pukul 0.55 WIB
Ita, “WHO Juluki Covid-19 ‘Musuh Publik Nomor 1’ https://news.detik.com/dw/d-4896526/
who-juluki-covid-2019-musuh-publik-nomor-1, diakses pada 23 Juli 2020 pukul 0.53
WIB.
Muhammad Jurizal, “Dampak New Normal Terhadap Ekonomi dan Politik “ https://www.suara.
com/yoursay/2020/06/05/155631/dampak-new-normal-terhadap-ekonomi-dan-politik,
diakses pada 24 Juli 2020 Pukul 22.08

48
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Elisa Marta Nugraha Kemenkes Nomor HK.0107/Menkes/382/2020 sebagai Pembuka
Jalan Perekonomian Indonesia dalam Masa New Normal

Nano Tresna Arfana, “Hakim Konstitusi Arief Hidayat Bahas Politik Hukum Ekonomi Saat
Pandemi” https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16459, diakses pada 24 Juli
2020 Pukul 21.30
Rosmha Widiyani, “Ini Enam Inti Aturan PSBB Serta Sanksi di Beberapa Wilayah”, https://
news.detik.com/berita/d-4984195/ini-enam-inti-aturan-psbb-serta-sanksi-di-beberapa-
wilayah, diakses pada 24 Juli 2020 Pukul 20.12 WIB

Perundang-undangan
Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Bersekala Besar Dalam Rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease 2019
Kemenkes Nomor HK.01.07.MENKES/328/2020 Tentang Panduan Pencegahan Dan
Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid – 19) Di Tempat Kerja Perkantoran Dan
Industri Dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha Pada Situasi Pandemi

49
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Nur Halimah Widowati Politik Hukum Kehutanan dalam Mewujudkan Pembangunan
yang Berkelanjutan

Politik Hukum Kehutanan Dalam Mewujudkan


Pembangunan yang Berkelanjutan
Nur Halimah Widowati1, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani2

Abstrak
Artikel ini membahas pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam
sektor kehutanan. Perlindungan dan pengelolaan kehutanan selain ditujukan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyakarat Indonesia juga perlu memperhatikan pelestarian lingkungan hidup
untuk menjaga lingkungan. Politik hukum kehutanan lebih cenderung pada kepentingan ekonomi
dengan tujuan mensejahterakan masyarakat namun pelestarian dan perlindungan terhadap
hutan seolah dikesampingkan. Pemerintah selalu pemegang kekuasaan seakan mengabaikan
kerusakan yang ditimbulkan dari pemanfaatan hutan. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan seolah sudah tidak mampu mengatasi permasalah dalam lingkup kehutanan karena
berbagai kerusakan yang terjadi, sehingga diperlukan perubahan dalam regulasi pengelolaan
hutan dan perlunya program dan kegiatan pemerintah yang mampu memperbaiki hutan yang
sudah mengalami kerusakan sehingga pembangunan di indonesia dapat dilakukan dengan
pembangunan berkelanjutan.
Kata Kunci: Kehutanan, Pembangunan Berkelanjutan, Politik Hukum

Abstract
This article discusses the importance of environmental protection and management in the
forestry sector. The protection and management of forestry in addition to realizing the welfare of
Indonesian society also needs to consider the preservation of the environment to safeguard the
environment. Forestry law politics is more inclined to economic interests with the aim of welfare
of society but the preservation and protection of forests as if excluded. Governments always
power holders as if ignoring the damage caused by forest utilization. Law No. 41 year 1999
about forestry as it has not been able to overcome problems in the forestry sphere because of the
various damages that occurred, so that needed a change in the regulation of forest management
and the need for government programs and activities that are able to repair forests that have
suffered damage so that the development in Indonesia can be done with sustainable development.
Keywords: Forestry, sustainable development, legal politics

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Indonesia menjadi negara yang diberikan kekayaan alam dari Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam kehidupan manusia lingkungan menjadi salah satu unsur penting, terlihat
dari pengaturan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945), diatur di dalamnya. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menjelaskan jika
“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara

1 Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta


2 Dosen di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

50
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Nur Halimah Widowati Politik Hukum Kehutanan dalam Mewujudkan Pembangunan
yang Berkelanjutan

dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, selain pemanfaat untuk


kepentingan rakyat juga perlu memperhatikan lingkungan yang sehat untuk kehidupan
masyarakat seperti yang sudah dijelaskan dalam Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945.
Hutan memiliki fungsi sebagai paru-paru dunia sehingga negara perlu mengelola dan
melindungi hutan dengan peraturan yang berlaku untuk menjaga kelestariannya. Area
hutan yang ada di wilayah Indonesia mencapai 134 Juta hektar.3 Dengan luasnya hutan
yang dimiliki oleh Indonesia, maka seharusnya Indonesia dapat memaksimalkan fungsi
hutan untuk menjaga kehidupan dan kemakmuran masyarakat. Hutan memiliki peran
penting dalam kehidupan manusia yaitu:
a. Hutan mampu menyerap karbon dioksida memproduksi oksigen untuk makhluk
hidup, pengendalian perubahan iklim, hutan dapat berperan sebagai gudang
penyimpan karbon, menurunkan emisi gas rumah kaca dan mencegah memburuknya
global warming.
a. Hutan mampu menjaga kualitas dan kuantitas air di musim penghujan dan kemarau.
b. Kesuburan tanah humus dari terurainya dedauanan dan ranting pohon
c. Dalam sektor ekonomi, kekayaan dan hasil hutan bahan mentah atau setengah jadi
untuk kebutuhan industri.
d. Hutan menjadi sumber plasma nutfah menjaga keanekaragaman hayati.
e. Akar pepohonan yang kuat akan mencegah terjadinya erosi dan longsor.
Eksistensi hutan dan fungsi ekologis yang dimilikinya menjadi penyangga kehidupan
manusia di bumi. Namun dengan berjalannya waktu, tingkat deforestasi dan degradasi
hutan terus meningkat. Degradasi dan deforestasi ini akan terus terjadi selama
pembangunan ekonomi tidak dijalankan secara berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan angka kemisikinan
yang masih banyak.4 Perencanaan dalam kegiatan mengelola hutan untuk mencapai
tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang mewujudkan keadilan dan
pembangunan berkelanjutan.
Peraturan perundang-undangan diperlukan untuk melindungi dan mengelola hutan di
Indonesia. Undang-undang yang mengatur pengelolaan hutan sudah ada sejak zaman
Orde Baru dimulai dari Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Agraria, Undang-
Undang No.5 Tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan dan Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan. Perubahan peraturan tersebut juga mengubah politik hukum
pemerintah dalam memeliharan dan mengelola kehutanan. Saat ini di era reformasi, hutan
diatur dalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pengelolaan hutan
yang belum maksimal yang disebabkan oleh kebijakan yang menjadikan hutan sebagai
sumber pendapatan dan kurangnya pengawasan pada tingkat daerah serta kurangnya
perhatian pemerintah dalam melestarikan hutan sehingga masih banyak kerusakan yang
terjadi di hutan5, maka penulis akan membahas mengenai Politik Hukum Kehutanan
Dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan.

3 Departemen Kehutanan. 2009. Statistik Kehutanan Indonesia 2008. Departemen Kehutanan, Jakarta
4 M.Firmansyah dan Dian Setyorini Gunawan. Antara Pembangunan Ekonomi dan Degradasi Lingkungan. Eko-Regional, Vol.2 No.2
September 2007, hlm 109.
5 Dr. Arif Zulkifli Nasution, Permasalahan Hutan di Indonesia atau Problem Forest in Indonesia, https://bangazul.com/permasalahan-
hutan-di-indonesia/ diakses pada tanggal 7 agustus 2020.

51
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Nur Halimah Widowati Politik Hukum Kehutanan dalam Mewujudkan Pembangunan
yang Berkelanjutan

2. Rumusan Masalah
Apakah Undang-Undang No.41 Tahun 1999 sudah mampu mewujudkan pembangunan
berkelanjutan?

B. Pembahasan
1. Politik Hukum Kehutanan
Hukum mencangkup entitas yang kompleks, masyarakat yang majemuk, mencangkup
berbagai presepsi aspek, dimensi dan fase.6 Hal ini menumbuhkan suatu disiplin ilmu
baru yang menjelaskan hubungan ilmu hukum dan sosial seperti filsafat hukum, teori
hukum, sejarah hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, logika hukum serta
politik hukum. Hukum dapat dijabarkan sebagai himpunan peraturan yang mengatur
tatanan hidup kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara hukum akan menjadikan
hukum dasar dalam pelaksanaan kehidupan bernegara dan dasar untuk mengatur rakyat
dan negaranya. Politik hukum ada pada saat hukum sebagai suatu subsistem masyarakat
tidak dapat berjalan dengan murni dan netral, baik dalam proses pembentukan maupun
pelaksanaannya. Politik hukum muncul sebagai disiplin hukum alternatif saat terjadi
kebuntuan metodologis dalam memahami hubungan kompleks antara hukum dan badan
bukan hukum yang dalam hal ini adalah politik. Politik dimaknai sebagai suatu kebijakan
pemerintah dalam menjalankan tugasnya mengelola negara yang erat hubungannya
dengan kekuasaan yang dimiliki. Dalam pengelolaan negara kekuasaan, politik dan
hukum adalah hal yang akan saling berkaitan.7
Politik hukum menurut Padmo Wahjono, adalah dasar dalam menentukan arah, bentuk
dan isi dari hukum yang dibuat oleh penyelenggara negara atau pemerintah dalam
suatu bentuk kebijakan dan memuat kriteria hukuman yang berlaku. Pendapat berbeda
diberikan oleh Teuku Mohammad Radhie yang mengartikan politik hukum adalah
hukum yang berlaku disuatu wilayah dan penentuan arah perkembangan hukum di masa
depan yang ditetapkan oleh penguasa negara.8 Menurut Bellfroid politik hukum adalah
disiplin ilmu hukum menentukan arah untuk mengubah ius constitutum menjadi ius
constituendum, menemukan hukum yang baru untuk mencapai tujuan. Politik hukum
juga meliputi kegiatan mengganti hukum dan menciptakan hukum baru karena adanya
kepentingan yang mendasar untuk dilakukan perubahan sosial dengan membuat suatu
peraturan. Sehingga berdasarkan pengertian politik hukum diatas dapat disimpulkan
politik hukum adalah kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa sebagai dasar
penyelenggaraan negara yang mengatur hukum yang akan berlaku, sedang berlaku dan
pernah berlaku untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditetapkan.
Melalui perspektif politik, hukum menjadi produk yang dihasilkan dari proses politik
atau hasil pertimbangan dan perumusan kebijakan publik. Selain itu terdapat politik
hukum yang menjadi garis atau dasar kebijakan untuk menentukan hukum yang

6 Bernad Arief Sidharta. 1999. Refkleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum : Sebuah Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafasatan Dan Sifat
Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Bandung : Mandar Maju.
7 Fatma Ulfatun Najicha, Albertus Sentot Sudarwanto, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, “Politik Hukum Perundang-Undangan
Kehutanan Dalam Pemberian Izin Kegiatan Pertambangan di Kawasan Hutan Ditinjau Dari Strategi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Yang Berkeadilan”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. V No.1 Januari-Juni 2017, hlm 122.
8 Jurnal Prisma No.6 Tahun II Desember 1973 hlm.4 yang dikutip dalam “Peranan Politik Hukum Dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Negara” oleh Mia kusuma Fitriana.

52
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Nur Halimah Widowati Politik Hukum Kehutanan dalam Mewujudkan Pembangunan
yang Berkelanjutan

seharusnya berlaku dalam negara. Input yang digunakan untuk pertimbangan dalam
penentuan hukum didapat dari aspirasi masyarakat yang disalurkan melalui wakil
rakyat di DPR yang memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang dan setiap
rancangan undang-undang akan di bahas oleh DPR bersama presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.9
Politik hukum nasional dalam pengelolaan negara mementingkan kepentingan bangsa,
negara dan berusaha mensejahterkaan rakyat. Sejalan dengan kepentingan tersebut
perundang-undangan yang dibentuk pun menggambarkan keberpihakan kepada
lingkungan. Sehingga dengan demikian pengelolaan kehutanan semestinya berbasis
kepada lingkungan hidup.10
Politik hukum kehutanan dapat diartikan sebagai kebijakan pemerintah dalam
perlindungan dan pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan ditujukan untuk memanfaatkan
hutan dan meningkatkan kesejahteraan, namun juga ditujukan untuk menjaga
kelestarian hutan. Jika pengelolaan dan pemanfaatan hutan tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku maka akan terjadi kerusakan terhadap
ekosistem hutan. Penebangan hutan yang berlebihan akan menyebabkan deforestasi dan
degradasi hutan, alih fungsi hutan yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan dan
peruntukannya akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem hutan. Kerusakan hutan
akan menjadi awal dari kerusakan lingkungan lainnya seperti tanah longsor, banjir,
perubahan iklim, hingga pemanasan global.
Pengelolaan terhadap hutan diatur dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menjadi
dasar legitimasi pemerintah dalam memanfaatkan sumber daya alam dan pengelolaan
lingkungan yang ada di Indonesia. Konsep pembangunan yang menggunakan aspek
lingkungan secara legal formal dituangkan dalam kebijakan hukum undang-undang
pengelolaan lingkungan hidup dan instrumen hukum yang terdapat didalamnya menjadi
kurang efektif dalam mencapai tujuan hukum pengeolaan lingkungan hidup ketika
berhadapan dengan undang-undang atau pengaturan dan pengelolaan sumber daya alam
tertentu.11
Pengelolaan hutan diatur dalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang dalam pembentukannya didasarkan pada beberapa hal antara lain
menjaga kelestarian dan memanfaatkan hutan secara optimal untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat bagi generasi saat ini maupun masa depan, mengelola hutan yang
berkelanjutan dan berwawasan mendunia dengan cara menampung dinamika aspirasi
dan mengikutsertakan peran serta masyarakat, adat, dan budaya yang didasarkan pada
norma hukum nasional, mempertahankan keberadaan hutan secara optimal, menjaga
daya dukung secara lestar dan pengurusan secara adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional
dan bertanggung gugat untuk menjaga hutan yang menjadi penyangga kehidupan dan
sumber kemakmuran rakyat yang saat ini kondisinya sudah menurun.
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem yang berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya

9 Mia kusuma Fitriana. Peranan Politik Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Sebagai Sarana
Mewujudkan Tujuan Negara. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.12 No.2 Tahun 2015.
10 I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Edi As’Adi, Sartika Bani Kharisma, “Pengelolaan Sumber Daya Energi Berbasis Lingkungan
dalam Rangka Mewujudkan Negara Kesejahteraan”, Jurnal Ius Quia Iustum Vo. 24 Issue 1 Tahun 2017.
11 Deni Bram, Politik Hukum Pengelolaan lingkungan Hidup, Malang : Setara Press. 2014. Hlm 2.

53
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Nur Halimah Widowati Politik Hukum Kehutanan dalam Mewujudkan Pembangunan
yang Berkelanjutan

yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan kehutanan dapat diartikan
sebagai sistem pengelolaan yang berhubungan dengan kehutanan, kawasan hutan dan
hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Berdasarkan pengertian tersebut
politik hukum pemerintah dalam menentukan kebijakan kehutanan dibagi menjadi
dua kebijakan pokok yaitu mempertahankan luasan hutan sebagai penyangga ekologi
nasional dan dunia, dan memperlakukan hutan sebagai ladang ekonomi yang dapat
memberikan pemasukan pada devisa negara sekaligus mampu mendayagunakan sumber
daya hutan untuk mensejahterakan rakyat.12
Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menunjukan implementasi
holistik dan komprehensif khususnya dalam penyelenggaraan hutan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, berkeadilan dan berkelanjutan.13 Dalam Undang-
Undang No.41 Tahun 1999 diatur garis-garis pokok yang dapat dijadikan acuan dalam
tata kelola hutan untuk tujuan lindung, konservasi, dengan tujuan produksi. Dalam
pasal 10 Undang-Undang No.41 Tahun 1999 sudah mengatur pengurusan hutan yang
terdiri dari perencanan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian, pendidikan dan
pelatihan, penyuluhan hutan, pengembangan dan kegiatan pengawasan. Namun dalam
pelaksanaannya lebih mementingkan aspek ekonomi dan kurang memperhatikan aspek
pelestarian lingkungan sehingga belum menerapkan pembangunan yang berkelanjutan.

2. Pelaksanaan Pengelolaan dan Perlindungan Hutan Berdasarkan Undang-Undang


No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Ketidak sesuaian hukum yang ditulis dalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999 dengan
pelaksanaannya menjadikan tata kelola kehutanan tidak sesuai antara law in the book
dan law in action menyebabkan kerusakan sumber daya hutan di Indonesia yang
disebabkan oleh:
a. Terjadinya kebakaran hutan dan perambahan hutan
b. Illegal logging dan illegal trading yang memiliki permintaan tinggi terhadap hasil
hutan
c. Alih fungsi lahan hutan yang digunakan untuk pertanian, perkebunan, pemukiman
dan wilayah industri.
d. Kawasan hutan yang digunakan berdasarkan izin pinjam pakai
e. Pengambilan hasil hutan yang tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan
lestari.14
Hilangnya jutaan hektar lahan hutan setiap tahun yang mengancam kehidupan manusia
dan makhluk hidup lainnya yang menggantungkan hidupnya kepada hutan. Kerusakan
hutan di Indonesia selalu mengalami perubahan yang dinamis. Forest Watch Indonesia
(FWI) melaporkan angka deforestasi pada tahun 2000 sebesar 2 juta hektar per tahun,
periode 200-2009 sebesar 1,5 juta hektar per tahun dan 1,1 juta hektar dari tahun 2009-
2013. Namun pada tahun 2013-2017 angka deforestasi mengalami peningkatan menjadi
1,47 juta hektar per tahun. Angka deforestasi ini menjadi tanda bagi keadaan hutan
Indonesia yang sedang tidak baik baik saja. Pembuat kebijakan atau pemerintah seakan

12 Handoyo Cipto, “Implementasi Undang-Undang No.41 Tahun 1999 terhadap Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Dalam Pengelolaan
dan Menjaga Kelestarian Hutan”, Thesis Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
13 Bambang Prabowo Soedarso, “Perspektif Keadilan Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Tata Kelola Hutan dan Moratorium
Kehutanan”, SELISIK Vol.1 No.1 Juni 2015, hlm 59.
14 Ari Wibowo, A. Ngakolen Gintings, “Degradasi dan Upaya Pelestarian Hutan”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, hlm 67

54
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Nur Halimah Widowati Politik Hukum Kehutanan dalam Mewujudkan Pembangunan
yang Berkelanjutan

tidak memperhatikan hal ini. Deforestasi menjadi hal yang memang seharusnya terjadi
untuk melakukan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat.15 Adanya ketidakseimbangan
antara perkembangan populasi masyarakat dengan pertumbuhan ekonomi sehingga ada
kesenjangan ekonomi dan semakin meningkatnya kebutuhan atas sumber daya alam
yang paralel dengan pertumbuhan populasi masyarakat. Sehingga pemerintah lebih
cenderung pada eksploitasi hutan, yang hanya berdasarkan economic-oriented yang
menjadikan fungsi hutan jauh dari fungsi konservasi maupun fungsi lindung.
Illegal logging juga menjadi salah satu tindakan yang merugikan negara, menyebabkan
kerusakan ekosistem hutan dan menjadi salah satu penyebab degradasi hutan.16 Salah
satu kasus illegal logging yang terjadi di Kalimantan, jual beli kayu olahan hasil illegal
logging yang meliputi barang bukti sebanyak 1000 meter kubik kayu. Kasus ini dianggap
menjadi kasus illegal logging terbesar di tahun 2019 setalah penyelidikan yang sama
juga dilakukan di Papua dan Surabaya, serta melibatkan 6 perusahaan.17 Penegakkan
hukum bagi pelaku illegal logging masih mengalami kesulitan karena ada beberapa
faktor kelemahan salah satunya pelaku intelektual seperti cokong kayu, oknum pejabat,
aparat hukum dan pegawai negeri tidak diatur dalam Undang-Undang No.41 Tahun
1999. Subjek yang diatur dalam ketentuan pidana kehutanan hanya dapat diterapkan
pada pelaku yang secara langsung melakukan illegal logging. Ganti kerugian ekologi
terhadap lingkungan tidak diatur dalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999.18
Deforetasi yang terjadi dalam izin pemanfaatan dan penggunaan lahan yang diberikan
pada periode 2013-2017 mencapai 2,81 juta hektar atau sekitar 49 persen dari total
deforestasi di Indonesia yang berasal dari tumpang tindih izin pemanfaatan dan
penggunaan lahan yang mencapai 0,78 juta hektar, dari sektor perkebunan kelapa
sawit menyumbang 0,58 juta hektar.19 Meskipun tingkat deforestasi di Indonesia
sudah menurun menurut Menteri Siti Nurbaya20, namun luas deforestasi masih terlalu
tinggi dan dapat menjadi penyebab penyakit zoonosis, yaitu covid-19 yang menjadi
permasalahan di dunia saat ini.21
Kebakaran hutan masih terjadi setiap tahunnya di Indonesia, pada tahun 2019 lebih dari
satu juta ha hutan dan lahan gambut terbakar, 44% dari lahan gambut yang terbakar
merupakan kawasan yang dilindungi. Pembakaran area hutan ini sebagai cara untuk
pembukaan area baru yang akan dijadikan daerah industri kelapa sawit dan hutan
tanaman industri. Lahan itu sengaja dibakar dan masyarakat yang melakukannya karena

15 Forest Watch Indonesia, “Angka Deforestasi Sebagai “Alarm” Memburuknya Hutan Indonesia”, http://fwi.or.id/wp-content/
uploads/2019/10/FS_Deforestasi_FWI_small.pdf diunduh 21 Juli 2020
16 Dr. Ir. Basuki Wasis, M.Si., Kejahatan Kehutanan (Illegal Logging, Kebakaran Hutan dan Lahan, Kerusakan Hutan dan Perambahan
Hutan) dalam Workshop Dan Lokakarya Dorum Ahli Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan,
November 2019.
17 Saud Rosadi, KLHK Sita 1.300 meter Kubik Kayu Hasil Illegal Logging di Hutan Kaltim”, https://www.merdeka.com/peristiwa/klhk-
sita-1300-meter-kubik-kayu-hasil-illegal-logging-di-hutan-kaltim.html, diakses pada tanggal 18 Agustus 2020
18 Siti Kotijah, “Kelemahan UU Kehutanan”, https://www.kompasiana.com/kotijah/54fec9f4a33311624450f8c1/kelemahan-uu-
kehutanan diakses pada tanggal 18 Juli 2020.
19 Forest Watch Indonesia, Op Cit, hlm. 5.
20 Media Indonesia, “Penurunan Laju Deforestasi Indonesia Dibahas di Diskusi Internasional”, https://www.medcom.id/nasional/
peristiwa/8KyXZ0rk-penurunan-laju-deforestasi-indonesia-dibahas-di-diskusi-internasional diakses 18 Agustus 2020.
21 Ichwan susanto, ”Deforestasi Terus Terjadi, Indonesia Diingatkan Akan ancaman Zoonosis dan Krisis Iklim”, https://kompas.id/baca/
bebas-akses/2020/04/25/deforestasi-terus-terjadi-indonesia-diingatkan-akan-ancaman-zoonosis-dan-krisis-iklim/diakses pada
tanggal 19 Agustus 2020.

55
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Nur Halimah Widowati Politik Hukum Kehutanan dalam Mewujudkan Pembangunan
yang Berkelanjutan

mereka dibayar.22 Kebakaran yang terjadi setiap tahunnya mengganggu kegiatan manusia
karena jarak pandang yang terbatas, kegiatan sekolah yang terpaksa diliburkan, bandar
udara yang terpaksa ditutup dan dapat menyebabkan masyarakat mengalami penyakit
infeksi saluran pernafasan. Dengan terbakarnya hutan, artinya karbon yang disimpan
dalam vegetasi hutan terbakar dan terurai menjadi karbon dioksida yang memberikan
kontribusi terhadap pemanasan global. Kerusakan hutan juga mengakibatkan bencana
banjir dan longsor yang setiap tahunnya melanda indonesia. Longsor dan banjir akan
mengakibatkan kerusakan dan kerugian hingga hilangnya nyawa manusia.23 Banjir
bandang yang terjadi di Sentani Papua terjadi karena deforestasi dan illegal logging
di cagar alam Cyloop Jayapura, yang menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup
Papua, Aiesh Rumbekwan terjadi karena kurangnya pengawasan dan fungsi kontrol di
lapangan yang tidak berjalan.24
Pengelolaan hutan juga belum dapat dilaksanakan secara optimal karena penataan ruang
yang belum dilaksanakan dengan baik, penetapan kawasan hutan dan penetapan fungsi
hutan belum sepenuhnya dilakukan.25 Salah satu contohnya penulis pernah meneliti
penetapan kawasan hutan lindung bontang yang dalam pelaksanaannya memakan
waktu yang lama sehingga belum memberikan kepastian kepada masyarakat yang ada
di sekitar wilayah hutan lindung bontang. Konflik tenurial juga masih banyak terjadi
di Indonesia, dengan kebutuhan atas tanah dan sumber daya alam yang semakin tinggi
serta adanya perbedaan kepentingan antara masyarakat adat atau masyarakat lokal
dengan pemerintah dan pihak lainnya. Prof Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
menjelaskan dalam pidato pengukuhan profesornya, bahwa penyebab terjadinya
konflik tenurial dikarenakan Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menggunakan kerangka hutan politik dan teritorialisasi penguasaan negara atas hutan
serta penyusunan rencana tata ruang wilayah yang masih berorientasi pada kepentingan
ekonomi dan tidak koheren dengan Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang yang berorientasi pada konservasi dan kesejahteraan rakyat.26
Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dianggap sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan dan pelaksanaan pengelolaan hutan pada saat ini. Permasalahan dalam
pengimplementasiannya seperti deforestasi dan degradasi, kebakaran hutan, alih fungsi
lahan, penetapan kawasan hutan yang lamban dan lainnya. Permasalahan, perkembangan
zaman dan kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan pengelolaan kehutanan harus
direspon dan diakomodasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih
komprehensif dan mampu menjawab kebutuhan penyelenggaraan pengelolaan
hutan.27 Perlu adanya revisi Undang-Undang No.41 Tahun 1999 menggantinya dengan

22 Happy Fajrian, “1,6 Juta Ha Lahan Gambut Terbakar, 63% Terkait Izin Konsensi Sawit”, https://katadata.co.id/happyfajrian/
berita/5ebba6304080a/16-juta-ha-lahan-gambut-terbakar-63-terkait-izin-konsesi-sawit diakses pada tanggal 18 Juli 2020
23 Radesman Saragih, “Banjir dan Longsor Akibat Kerusakan Hutan”, https://www.beritasatu.com/nasional/594830-banjir-dan-longsor-
akibat-kerusakan-hutan diakses pada tanggal 19 Juli 2020.
24 Tonggie Siregar, “Deforestasi Penyebab Banjir Bandang Telan Korban di Papua”, https://www.dw.com/id/deforestasi-penyebab-
banjir-bandang-telan-korban-di-papua/a-47962593, diakses pada tanggal 19 Agustus 2020.
25 Ari Wibowo dan A. Ngakolen Gintings, Op Cit, hlm 75.
26 Muhammad Yasin, “Profesor I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani dan Jalan Mengatasi Konflik Tenurial”, https://www.hukumonline.
com/berita/baca/lt5e05dfb19499c/profesor-i-gusti-ayu-ketut-rachmi-handayani-dan-jalan-mengatasi-konflik-tenurial/ diakses pada
tanggal 20 Juli 2020.
27 Komisi IV, “UU Kehutanan Sudah Tidak Sesuai, DPR Siapkan Naskah Akademik”, http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/20262/t/UU
+Kehutanan+Sudah+Tidak+Sesuai%2C+DPR+Siapkan+Naskah+Akademik+ diakses pada tanggal 19 Juli 2020

56
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Nur Halimah Widowati Politik Hukum Kehutanan dalam Mewujudkan Pembangunan
yang Berkelanjutan

Undang-Undang yang baru yang mampu mewujudkan pengelolaan hutan berdasarkan


pembangunan berkelanjutan. DPR RI sudah mempersiapkan RUU Kehutanan yang
baru, namun hingga saat ini belum ada undang-undang baru pengganti Undang-Undang
No.41 Tahun 1999.
Perlu dimasukkannya kejahatan di bidang kehutanan dalam undang-undang tentang
pencucian uang sehingga diharapkan mampu mengungkapkan pelaku intelektual
dalam illegal logging. Hal ini akan mempersulit pelaku intelektual untuk melakukan
kejahatan tersebut karena illegal logging hampir selalu terkait dengan perusahaan dan
operasi dalam skala besar yang didedikasikan oleh banyaknya transaksi keuangan
yang mencurigakan. Bank dan lembaga keuangan sering terlibat dalam pembiayaan
fasilitas kehutanan dengan memberikan pinjaman untuk investasi pembelian fasilitas
penebangan dan pemrosesan kayu. Dengan dimasukkannya kejahatan illegal logging
ke dalam undang-undang pencucian uang akan membuat bank berhati-hati dalam
memberikan pinjaman.28
Perubahan arah pengelolaan lingkungan dalam bidang ekonomi juga diperlukan.
Pemanfaatan hasil hutan perlu mempertimbangkan aspek lingkungan sehingga dapat
mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Salah satu cara yang dapat dilakukan dengan
menerapkan konsep ekonomi hijau. Ekonomi hijau dapat diartikan sebagai kegiatan
perekonomian yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial
serta bertujuan untuk menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap
lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam.29 Kegiatan ekonomi yang dimaksud
adalah perekonomian yang rendah karbon, tidak menggunakan bahan bakar fosil,
hemat dalam memanfaatkan sumber daya alam, dan berkeadilan sosial.30 Dengan
penerapan ekonomi hijau, manfaat yang dapat dirasakan adalah dampak lingkungan
dari kegiatan ekonomi yang dilakukan akan berkurang dengan meningkatkan efisiensi
dan menggunakan sumber daya terbarukan.31 Langkah yang dapat dilakukan untuk
menumbuhkan ekonomi hijau di Indonesia dengan membangun konsensus untuk negara
Indonesia yang memuat strategi komprehensif pertumbuhan ekonomi hijau. Politik
hukum nasional dapat mendorong pelaksanaan ekonomi hijau agar dapat mewujudkan
ekonomi berkelanjutan yang berdasarkan lingkungan.32

C. Penutup
1. Simpulan
Pengelolaan hutan berdasarkan Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
belum bisa mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pemanfaatan hutan masih
mementingkan keuntungan dari segi ekonomi dan belum memperhatikan kelestarian

28 I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, “Penegakan Hukum Kehutanan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Climate Change di
Indonesia”, MIMBAR HUKUM Vol.21 No.2 Juni 2009, hlm 378
29 Menurut United Nation Environment Programme (UNEP) yang dikutip dalam “Konsep Ekonomi Hijau (Green Economic) Dalam
Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Di Indonesia Untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan” oleh Ida Nurlinda
Staff Pengajar Hukum Agraria dan Hukum Lingkungan pada Fakultas Unpad. Hlm 3.
30 Ida Nurlinda, “Konsep Ekonomi Hijau (Green Economic) Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Di Indonesia
Untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan”, Staff Pengajar Hukum Agraria dan Hukum Lingkungan pada Fakultas Unpad. Hlm 3
31 Global Green Growth Institue, “Sintesis: Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi Hijau untuk Indonesia yang Sejahtera Sebuah Peta
Jalan Kebijakan, Perencanaan dan Investasi”,Program Pertumbuhan Ekonomi Hijau Pemerintahan Indonesia, 2015, Hlm.9
32 Ida Nurlinda, Op Cit, hlm 14.

57
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Nur Halimah Widowati Politik Hukum Kehutanan dalam Mewujudkan Pembangunan
yang Berkelanjutan

hutan, dapat dilihat dari masih adanya kerusakan pada hutan seperti kebakaran hutan
yang masih terjadi setiap tahunnya, adanya illegal logging, dan deforestasi. Pemerintah
belum maksimal dalam usaha mengelola dan menjaga kawasan hutan karena kurangnya
pengawasan serta kesadaran masyarakat untuk melestarikan hutan yang masih rendah.
Hutan masih dijadikan salah satu sumber penghasilan oleh pemerintah untuk mewujudkan
tujuan negara yaitu mensejahterakan rakyat, namun pemerintah tidak memperhatikan
kelestarian hutan yang akan mempengaruhi kehidupan manusia di masa yang akan
datang. Sehingga perlu adanya perubahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan
agar dapat menjalankan prinsip pembangunan berkelanjutan.
2. Saran
Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan perlu diperbaharui dengan
undang-undang yang baru agar dapat mengakomodir permasalahan, perkembangan
zaman dan kebutuhan hukum dalam pengelolaan hutan yang berdasarkan pembangunan
berkelanjutan. Perubahan dalam prinsip pengelolaan lingkungan yang tidak hanya
mementingkan aspek ekonomi namun juga memperhatikan kelestarian lingkungan
sehingga dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan menerapkan ekonomi
hijau, dimana kegiatan ekonomi yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
dan keadilan sosial serta bertujuan untuk menghilangkan dampak negatif dari kegiatan
ekonomi dan kelangkaan sumber daya alam.

Daftar Pustaka

Buku
Bernad Arief Sidharta. 1999. Refkleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum : Sebuah Penelitian
Tentang Fondasi Kefilsafasatan Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan
Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Bandung : Mandar Maju.
Deni Bram, Politik Hukum Pengelolaan lingkungan Hidup, Malang : Setara Press. 2014.
Handoyo Cipto, Implementasi Undang-Undang No.41 Tahun 1999 terhadap Pembinaan
Masyarakat Desa Hutan Dalam Pengelolaan dan Menjaga Kelestarian Hutan, Tesis
Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalia Indonesia: Jakarta,

Jurnal
Bambang Prabowo Soedarso, “Perspektif Keadilan Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Tata
Kelola Hutan dan Moratorium Kehutanan”, SELISIK Vol.1 No.1 Juni 2015.
Fatma Ulfatun Najicha, Albertus Sentot Sudarwanto, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani,
“Politik Hukum Perundang-Undangan Kehutanan Dalam Pemberian Izin Kegiatan
Pertambangan di Kawasan Hutan Ditinjau Dari Strategi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Yang Berkeadilan”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol. V No.1 Januari-Juni 2017,

58
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Nur Halimah Widowati Politik Hukum Kehutanan dalam Mewujudkan Pembangunan
yang Berkelanjutan

I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Edi As’Adi, Sartika Bani Kharisma, Pengelolaan Sumber
Daya Energi Berbasis Lingkungan dalam Rangka Mewujudkan Negara Kesejahteraan,
Jurnal Ius Quia Iustum Vo. 24 Issue 1 Tahun 2017.
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, “Penegakan Hukum Kehutanan Dalam Rangka Antisipasi
Dampak Climate Change di Indonesia”, MIMBAR HUKUM Vol.21 No.2 Juni 2009.
Jurnal Prisma No.6 Tahun II Desember 1973
Mia kusuma Fitriana. “Peranan Politik Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Negara”, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol.12 No.2 Tahun 2015.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Data Elektronik
Ari Wibowo, A. Ngakolen Gintings, “Degradasi dan Upaya Pelestarian Hutan”, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan.
Departemen Kehutanan. 2009. Statistik Kehutanan Indonesia 2008. Departemen Kehutanan,
Jakarta
Dr. Arif Zulkifli Nasution, Permasalahan Hutan di Indonesia atau Problem Forest in Indonesia,
https://bangazul.com/permasalahan-hutan-di-indonesia/ diakses pada tanggal 7 agustus
2020.
Dr. Ir. Basuki Wasis, M.Si., Kejahatan Kehutanan (Illegal Logging, Kebakaran Hutan dan Lahan,
Kerusakan Hutan dan Perambahan Hutan) dalam Workshop Dan Lokakarya Dorum Ahli
Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan, November 2019.
Forest Watch Indonesia, “Angka Deforestasi Sebagai “Alarm” Memburuknya Hutan Indonesia”
Global Green Growth Institue, “Sintesis: Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi Hijau untuk
Indonesia yang Sejahtera Sebuah Peta Jalan Kebijakan, Perencanaan dan Investasi”,Program
Pertumbuhan Ekonomi Hijau Pemerintahan Indonesia, 2015, Hlm.
Happy Fajrian, “1,6 Juta Ha Lahan Gambut Terbakar, 63% Terkait Izin Konsensi Sawit”, https://
katadata.co.id/happyfajrian/berita/5ebba6304080a/16-juta-ha-lahan-gambut-terbakar-63-
terkait-izin-konsesi-sawit diakses pada tanggal 18 Juli 2020.
Ichwan susanto, ”Deforestasi Terus Terjadi, Indonesia Diingatkan Akan ancaman Zoonosis dan
Krisis Iklim”, https://kompas.id/baca/bebas-akses/2020/04/25/deforestasi-terus-terjadi-
indonesia-diingatkan-akan-ancaman-zoonosis-dan-krisis-iklim/ diakses pada tanggal 19
Agustus 2020.
Ida Nurlinda, “Konsep Ekonomi Hijau (Green Economic) Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan
Sumber Daya Alam Di Indonesia Untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan”, Staff
Pengajar Hukum Agraria dan Hukum Lingkungan pada Fakultas Unpad. Hlm 3

59
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Nur Halimah Widowati Politik Hukum Kehutanan dalam Mewujudkan Pembangunan
yang Berkelanjutan

Komisi IV, “UU Kehutanan Sudah Tidak Sesuai, DPR Siapkan Naskah Akademik”, http://www.
dpr.go.id/berita/detail/id/20262/t/UU+Kehutanan+Sudah+Tidak+Sesuai%2C+DPR+Siap
kan+Naskah+Akademik+ diakses pada tanggal 19 Juli 2020
Media Indonesia, “Penurunan Laju Deforestasi Indonesia Dibahas di Diskusi Internasional”,
https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/8KyXZ0rk-penurunan-laju-deforestasi-
indonesia-dibahas-di-diskusi-internasional diakses 18 Agustus 2020.
Radesman Saragih, “Banjir dan Longsor Akibat Kerusakan Hutan”, https://www.beritasatu.com/
nasional/594830-banjir-dan-longsor-akibat-kerusakan-hutan diakses pada tanggal 19 Juli
2020.
Saud Rosadi, KLHK Sita 1.300 meter Kubik Kayu Hasil Illegal Logging di Hutan Kaltim”,
https://www.merdeka.com/peristiwa/klhk-sita-1300-meter-kubik-kayu-hasil-illegal-
logging-di-hutan-kaltim.html, diakses pada tanggal 18 Agustus 2020
Siti Kotijah, “Kelemahan UU Kehutanan”, https://www.kompasiana.com/kotijah/54fec9f4a333
11624450f8c1/kelemahan-uu-kehutanan diakses pada tanggal 18 Juli 2020.
Tonggie Siregar, “Deforestasi Penyebab Banjir Bandang Telan Korban di Papua”, https://www.
dw.com/id/deforestasi-penyebab-banjir-bandang-telan-korban-di-papua/a-47962593,
diakses pada tanggal 19 Agustus 2020.

60
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

EKSISTENSI PERATURAN PRESIDEN DALAM HIERARKI


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DITINJAU DARI TEORI
JENJANG NORMA
Indra Setiawan1, Sasmini2

ABSTRAK
Hierarki peraturan perundang-undangan di dalam sistem hukum Republik Indonesia mengatur
mengenai tingkatan peraturan perundang-undangan mulai dari UUD NRI Tahun 1945 sampai
dengan peraturan daerah kabupaten/kota. Tingkatan tersebut ditetapkan berdasarkan kekuatan
hukumnya, dimana peraturan perundang-undangan yang di bawah harus bergantung atau
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang di atasnya, begitupun selanjutnya
sampai pada peraturan perundang-undangan yang paling atas dan menjadi dasar untuk
peraturan perundang-undangan di bawahnya. Tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang
sejarah dinamika perubahan hierarki peraturan perundang-undangan di Negara Indonesia,
serta menimbang urgensi Perpres dalam hierarki peraturan perundang-undangan dalam sistem
hukum di Republik Indonesia. Dalam mengkaji tujuan tersebut, peneliti menggunakan metode
penelitian secara doktrinal melalui beberapa pendekatan, yakni statute approach, historical
approach, dan conceptual approach. Dalam dinamika hukum yang terjadi di Indonesia, telah
terjadi sebanyak 5 (lima) kali perubahan hierarki peraturan perundang-undangan, hal tersebut
tentu sangat mempengaruhi sistem hukum di Republik Indonesia. Keberadaan Perpres dalam
hierarki peraturan perundang-undangan dinilai tidak tepat karena tidak memiliki legal standing
berdasarkan konstitusi tertulis di Republik Indonesia, seperti peraturan perundang-undangan lain
yang berada dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Seharusnya Perpres dikelompokkan
ke dalam jenis peraturan perundang-undangan selain yang tercantum dalam hierarki peraturan
perundang-undangan.
Kata Kunci: hierarki, hukum, peraturan perundang-undangan, peraturan presiden, sistem.

ABSTRACT
The hierarchy of statutory regulations in the legal system of the Republic of Indonesia regulates
the level of legislation starting from the Constitution of the Republic of Indonesia to the district/
city regulations. The level is determined based on the strength of the law, where the laws and
regulations below must depend on or based on the laws and regulations above, as well as the next
up to the statutory regulations at the top and become the basis for the laws and regulations below.
This paper aims to discuss the historical dynamics of changes in the hierarchy of legislation in
the State of Indonesia, as well as weighing on the urgency of the Presidential Regulation in
the hierarchy of legislation in the legal system in the Republic of Indonesia. In reviewing these
objectives, researchers use doctrinal research methods through several approaches, namely the
statute approach, historical approach, and conceptual approach. In the legal dynamics that have
occurred in Indonesia, there have been 5 (five) changes in the hierarchy of laws and regulations,

1 Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa
Tengah, Indonesia, setiawanindra49@gmail.com, S.H. (Universitas Muhammadiyah Metro).
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, sasmini_
fh@staff.uns.ac.id, Dr. (Universitas Gadjah Mada), S.H. (Universitas Sebelas Maret), LL.M. (Universitas Gadjah Mada).

61
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

which certainly greatly affects the legal system in the Republic of Indonesia. The existence of
Perpres in the hierarchy of laws and regulations is considered inappropriate because it does
not have a legal standing based on a written constitution in the Republic of Indonesia, like
other laws and regulations which are in the hierarchy of laws and regulations. The Presidential
Regulation should be grouped into types of statutory regulations other than those listed in the
hierarchy of statutory regulations.
Key words: hierarchy, law, presidential regulations, statutory regulations, system.

A. Pendahuluan
Berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Salah satu konsekuensi yang harus dipenuhi untuk menjadi sebuah negara hukum adalah
seluruh tindak tanduk yang diambil oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya harus
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tujuan dari pembentukan peraturan perundang-
undangan yakni menyusun aturan-aturan dalam bernegara yang diambil dari norma-norma dan
nilai-nilai kehidupan dalam keseharian masyarakat demi mewujudkan alinea IV Preambule
UUD NRI Tahun 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud
dengan peraturan perundang-undangan adalah “peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan”.
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus melibatkan segala aspek, produk
peraturan perudangan-undangan yang tercipta diharapkan bermuara pada: 1) to order society
by providing a framework or model for social and individual interaction; 2) to control members
of society by coercion and threats of coercion so as to maintain peace and order; 3) to adjust
actual conflicts once they have broken out; 4) to serve as an instrument of conscious change,
either of society or of particular individuals in that society; 5) to allocate governmental power
in society; 6) to dispense justice; and 7) to legitimize governmental institutions3. Pembentukan
peraturan perundang-undangan menjadi salah satu upaya dalam pembangunan hukum nasional.
Terealisasinya pembentukan peraturan perundang-undangan yang komprehensif dan memenuhi
asas-asas, serta tidak saling tumpang tindih, dapat mewujudkan tegaknya wibawa hukum dalam
pembangunan hukum4. Sehingga perumusan hierarki peraturan perundang-undangan merupakan
suatu hal yang urgen dalam tatanan sistem hukum di Republik Indonesia.
Di dalam ilmu perundang-undangan, ada salah satu teori yang sangat kental dan tidak dapat
dilepaskan yakni teori jenjang norma. Teori jenjang norma adalah teori yang mengatakan
bahwasanya sistem hukum itu disusun secara bertingkat-tingkat/berlapis-lapis dan berjenjang
seperti tingkatan pada anak tangga. Hubungan antara norma yang mengatur perbuatan dari
norma lain dan norma lain tersebut disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam

3 David A. Funk, “Major Function of Law in Modern Society Featured”, Case Western Reverse Law Review, Volume 23, Issue 2, 1972, hlm.
278.
4 Zaka Firma Aditya, M. Reza Winata, “Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, Jurnal Negara Hukum,
Volume 9, Nomor 1, 2018, hlm. 82.

62
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

konteks spasial5. Hierarki (tata urut) peraturan perundang-undangan ini sangat penting dalam
sistem hukum Indonesia karena berpengaruh terhadap tingkat kekuatan hukum di antara
masing-masing peraturan perundang-undangan yang ada, atau dapat juga dikatakan sebagai
bentuk kepastian hukum dalam sistem hukum nasional. Karena di dalam teori jenjang
norma, terdapat asas lex superior derogat legi inferiori, itulah mengapa teori tersebut sangat
diperhatikan dan berpengaruh bagi sistem hukum di Republik Indonesia. Makna tata urutan
atau hierarki atau tingkatan dalam tata hukum/peraturan perundang-undangan adalah:
1. Peraturan hukum atasan merupakan dasar hukum pembentukan peraturan hukum
bawahan.
2. Peraturan hukum bawahan merupakan pelaksanaan peraturan hukum atasan, oleh
karena itu kedudukannya lebih rendah dan materi muatannya tidak boleh bertentangan.
3. Manakala terdapat dua peraturan perundang-undangan dengan materi muatan mengatur
materi sama dan dengan kedudukan sama maka berlaku peraturan perundang-undangan
baru6.
Bicara mengenai teori jenjang norma tentunya tidak lepas dari tokoh pencetus utamanya,
yakni Hans Kelsen yang mencetuskan teori jenjang norma. Di dalam teori Jenjang Norma
(Stufen theorie), Hans Kelsen menyatakan bahwa “norma yang lebih rendah (Inferior)
berlaku dan berdasar pada norma yang lebih tinggi (Superior), demikian seterusnya hingga
sampai pada norma yang tidak bisa ditelusuri lebih lanjut yang dinamakan sebagai norma
dasar (Grundnorm). Norma dasar merupakan norma tertinggi dari suatu sistem norma
yang ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat dan menjadi gantungan dari semua norma
yang ada dibawahnya, sehingga norma dasar itu dikatakan pre-supposed yang berarti
ditetapkan oleh masyarakat secara bersama-sama dan dapat diterima sebagai kebenaran
tanpa pembuktian, sehingga apabila norma dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem
norma yang ada di bawahnya”7.
Teori Jenjang Norma (Stufen theorie) kemudian disempurnakan lagi oleh Hans Nawiasky,
murid dari Hans Kelsen. Namun, di sini lebih di kaitkan dengan suatu negara. Menurut Hans
Nawiasky dalam teori jenjang norma versinya yang dinamai die theorie vom stufenordung
der rechtsnormen, norma hukum dari suatu negara berjenjang-jenjang dan bertingkat-
tingkat, dimana norma yang lebih rendah berdasar dari norma yang ada di atasnya, dan
norma yang di atas berdasar pada norma paling tinggi yang disebut dengan norma dasar
atau dalam hal ini Hans Nawiasky menyebutnya dengan Staatsfundamentalnorm. Selain
bertingkat dan berjenjang, norma hukum menurut Hans Nawiasky juga berkelompok,
dimana pengelompokannya dibagi ke dalam 4 (empat) kelompok, yakni sebagai berikut:
Kelompok I : Norma Dasar/Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm).
Kelompok II : Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz).
Kelompok III : Undang-Undang Formal (Formell Gesetz).
Kelompok IV : Aturan Pelaksana/Aturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung)8.

5 Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa’at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, Cetakan 1. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, hlm. 110.
6 Retno Saraswati, “Perkembangan Pengaturan Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, Jurnal
Media Hukum, Volume 9, Nomor 2, 2009, hlm. 1.
7 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 25.
8 Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System der Rechtlichen Grundbegriffe, Cetakan Kedua, Einsiedeln/Zurich/Koln: Benziger,
1948, hlm.31.

63
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

Berdasarkan teori dari Hans Nawiasky sebagaimana diuraikan di atas, A. Hamid S.


Attamimi menerapkannya pada struktur dan tata hukum di Republik Indonesia. Untuk
menjelaskan hal tersebut, A. Hamid S. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum
di Republik Indonesia dengan menggunakan teori dari Hans Nawiasky, maka akan diperoleh
pengelompokkan hierarki sebagai berikut:
1. Norma Dasar (Grundnorm)/Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) Republik
Indonesia adalah Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
2. Aturan Pokok Negara (Statgrundgesetz) Republik Indonesia adalah batang tubuh UUD
NRI 1945, TAP MPR RI.
3. Undang-Undang Formal (Formell Gesetz) Republik Indonesia adalah undang-undang.
4. Aturan Pelaksana/Aturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung) Republik
Indonesia adalah secara hierarkis mulai Peraturan Pemerintah, hingga Peraturan Daerah
kabupaten/kota9.
Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, terdapat perbedaan dan persamaan di
antara stufen theorie dengan die theorie vom stufenordung der rechtsnormen. Perbedaanya
dalam hal ini jika die theorie vom stufenordung der rechtsnormen mengelompokkan
berbagai norma tersebut ke dalam 4 (empat) gugus secara lebih khusus, yakni dihubungkan
dengan suatu negara, maka stufen theorie tidak mengelompokkan norma-norma dimaksud,
serta lebih menguraikanya secara general. Serta, jika dicermati di dalam teorinya Hans
Nawiasky menyebutkan norma dasar negara itu tidak dengan sebutan grundnorm
melainkan dengan istilah staatsfundamentalnorm. Hans Nawiasky berpendapat bahwa
istilah staatsgrundnorm kurang tepat jika digunakan dalam menyebut norma dasar suatu
negara, dikarenakan pengertian grundnorm itu mempunyai kecenderungan untuk tidak
berubah, atau bersifat absolut. Sedangkan di dalam suatu negara, norma dasar negara itu
dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya suatu pemberontakan, kudeta dan sebagainya.
Sedangkan, persamaanya yaitu keduanya menyebutkan bahwa norma itu berjenjang-jenjang
dan berlapis-lapis, dalam arti suatu norma itu berdasar, berlaku, dan bersumber pada norma
yang paling tinggi. Norma yang di atasnya berdasar, berlaku, dan bersumber, pada norma
yang lebih tinggi lagi, begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang paling tinggi dan
tidak dapat ditelusuri lagi sumber dan asalnya, tetapi bersifat aksiomatis10. Secara prinsip,
kesamaan antara stufen theorie dengan die theorie vom stufenordung der rechtsnormen
terletak pada jenjang bertingkat dan lapisan-lapisan yang menjadi landasan dan sumbernya
yang ada pada setiap norma hukum. Sedangkan, perbedaan di antara kedua teori tersebut
adalah terletak pada pola pengelompokkan dan pemilahan norma hukum yang secara tegas
dilakukan Hans Nawiasky. Akan tetapi, Hans Kelsen sebaliknya lebih mengkaji dalam
karakter norma secara general yang berlaku pada seluruh jenjang11. Cara pandang Hans
Kelsen maupun Hans Nawiasky dalam mengistilahkan norma hukum sebagai tatanan suatu
negara merupakan ciri khas aliran positivisme hukum, yang menyatakan bahwasanya tidak
ada hukum diluar otoritas negara, karenanya menjadikan jenjang norma secara berlapis,
tersusun, dan berjenjang sesuai dengan kebutuhan suatu negara adalah politik hukum dalam

9 Hamid A. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi
Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Desertasi Ilmu Hukum,
Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm 291.
10 Jimly Asshiddiqie, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 2006, hlm. 173.
11 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Op.cit., hlm. 29.

64
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

penataan peraturan perundang-undangan yang merupakan pilihan negara. Namun demikian,


berbeda dengan positivisme dari H.L.A. Hart yang mengharuskan tatanan hukum tidak
dapat bersumber dari yang abstrak12. Hans Kelsen mengatakan, meski norma tidak terbentuk
secara alamiah, akan tetapi norma merupakan akal dan kemauan manusia yang melahirkan
suatu pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Oleh karena itu, norma merupakan
hipotesis yang berada pada kawasan dunia sollen13.
Sehubungan dengan hal tersebut, apabila menyoal tentang norma hukum dalam suatu negara
maka akan dijumpai teori norma hukum yang memiliki dua wajah dari Adolf Merkel. Teori
dari Adolf Merkel ini memiliki arti bahwa norma hukum ke atas ia berdasar dan bersumber
pada norma yang di atasnya, akan tetapi norma hukum ke bawah ia juga menjadi dasar dan
sumber bagi norma hukum di bawahnya. Hal tersebut berdampak pada kondisi bahwa suatu
norma hukum keberlakuannya tergantung pada norma hukum yang ada di atasnya. Jika
norma hukum yang berada di atasnya dihapus atau dicabut, pada prinsipnya norma-norma
hukum yang berada di bawahnya akan terhapus dan tercabut pula14. Teori tersebuti berkaitan
dengan teori jenjang norma yang dinyatakan oleh Hans Kelsen juncto Hans Nawiasky.
Dengan adanya berbagai pandangan, gagasan, dan pemikiran terhadap pembahasan dalam
ilmu perundang-undangan ini menunjukkan adanya keberagaman ide dan gagasan. Hal
tersebut membawa kita pada suatu fakta normatif bahwasanya ilmu perundang-undangan
akan selalu mengalami perkembangan yang tentu akan membawa penerangan di bidang
akademik yang bersifat membangun.
Berpijak pada teori dan pendapat dari para ahli sebagaimana tersebut, ternyata dijumpai adanya
perbedaan di dalam penerapan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal
7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Dengan menempatkan Peraturan Presiden (Perpres) masuk ke dalam hierarki, tentu
tidak sejalan dengan teori dan pendapat dari beberapa ahli hukum sebagaimana telah diuraikan di
atas. Perpres sendiri ada pertama kali sebagai amanat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai alat bagi
Sang Proklamator dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya serta untuk melaksanakan
Penetapan Presiden. Maka, perlu kiranya untuk melakukan kajian dan analisis terhadap dinamika
perubahan hierarki peraturan perundang-undangan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, serta
menimbang urgensi Perpres dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang dinilai tidak
sejalan dengan teori jenjang norma yang digagas oleh para ahli hukum sebagaimana diuraikan
di atas. Kajian dan analisis dalam tulisan ini menggunakan metode penelitian secara doktrinal
melalui berberapa pendekatan yakni statute approach, historical approach, dan conceptual
approach.

12 FX. Adji Samekto, “Kajian Teori Hukum: Menggugat Relasi Filsafat Positivisme Dengan Ajaran Hukum Doktrinal”, Makalah Bahan
Matrikulasi Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,
2011, hlm. 11.
13 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2010, hlm. 76-77.
14 Muhtadi, “Penerapan Teori Hans Kelsen Dalam Tertib Hukum Indonesia”, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 5, Nomor 2, 2012,
hlm. 294.

65
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

B. Pembahasan
1. Dinamika Perubahan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sejarah
Ketatanegaraan Indonesia.
Secara umum hierarki dapat diartikan sebagai penjenjangan atau tingkatan jenis peraturan
perundang-undangan, penjenjangan atau tingkatan tersebut berpijak pada asas lex
superior derogat legi inferiori, yang berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang
berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berada di atasnya, atau secara sederhana hierarki peraturan perundang-undangan adalah
urutan tingkatan jenis peraturan perundang-undangan yang ada di Republik Indonesia
berdasarkan kekuatan hukumnya. Dengan adanya hierarki peraturan perundang-
undangan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan sebuah upaya dalam
menjaga ketaatan asas dan konsistensi dalam hukum positif di Republik Indonesia15.
Jika dilihat dari sejarahnya, hierarki peraturan perundang-undangan di Republik
Indonesia sudah ada dan dikenal sejak zaman kemerdekaan, dan hingga kini telah
mengalami 5 (lima) kali perubahan. Dimulai pertama kali sejak 5 (lima) tahun pasca
kemerdekaan, yakni dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Djenis
Dan Bentuk Peraturan Jang Dikeluarkan Oleh Pemerintah Pusat sampai dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Dinamika perubahan terhadap hierarki peraturan
perundang-undangan tersebut mempengaruhi sistem hukum di Republik Indonesia,
kelima pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut memiliki persamaan
dan perbedaan yang cukup substansial dan tentunya mempengaruhi sistem hukum di
Republik Indonesia.
Pada awal kemerdekaan, yakni pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1949, sebenarnya
secara istilah yuridis tidak dikenal adanya hierarki peraturan perundang-undangan. Pada
era itu sistem pemerintahan masih bersifat sentralisasi (executive centris), hanya dikenal
adanya suatu bentuk peraturan dan keputusan yang tidak lazim dikenal pada masa
sekarang ini seperti adanya maklumat presiden dan dekrit presiden. Menurut Moch.
Tolchah Mansoer, dipilihnya nama maklumat karena pada masa itu belum terpikirkan
mengenai nama produk yang dibuat oleh presiden selain undang-undang dan peraturan
pemerintah16. Begitu pula dengan isi materi muatannya, ada yang berisi materi muatan
dalam undang-undang dasar, undang-undang, maupun peraturan dibawah undang-
undang, atau bahkan hanya berisi instruksi pemerintah atau pengumuman saja. Maka
nama maklumat dipilih sebagai alternatif bagi jenis peraturan perundang-undangan
yang tidak dikategorikan dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan pemerintah.
Baru selang waktu 5 (lima) tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 2 Februari 1950,
Pemerintah Republik Indonesia Yogyakarta menetapkan undang-undang yang pertama
kali mengatur tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan melalui
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Djenis Dan Bentuk Peraturan Jang
Dikeluarkan Oleh Pemerintah Pusat. Berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam

15 Dian Agung Wicaksana, “Implikasi Re-Eksistensi Tap MPR dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Terhadap Jaminan Atas
Kepastian Hukum yang Adil di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 1, 2013, hlm. 151-152.
16 A. Rosyid Al Atok, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Malang: Setara Press, 2015, hlm. 41.

66
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 menyatakan bahwa, “Djenis Peraturan-


Peraturan Pemerintah Pusat ialah:
a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
b. Peraturan Pemerintah;
c. Peraturan Menteri”.
Dari sini terlihat bahwa pada masa itu meski negara sudah memiliki konstitusi tertulis,
namun, Undang-Undang Dasar 1945 tidak dimasukkan dan ditempatkan di pucuk
hierarki peraturan perundang-undangan sebagai Staatsfundamentalnorm negara.
Disamping itu, pada masa itu pemerintah pusat belum mengakui adanya peraturan di
tingkat daerah, tentu tidak heran karena pada masa itu nuansa sentralisasi kekuasaan
masih cukup kental.
Seiring dalam perjalanannya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 mengalami
perubahan karena dinilai sudah tidak lagi dapat menampung kebutuhan hukum pada
masa itu. Diawali dengan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai dasar yuridis
berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 ternyata juga membawa pengaruh
terhadap hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini disebabkan karena jenis
peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 sebelum
perubahan yang terdiri dari undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-
undang (Perppu), dan peraturan pemerintah dipandang belum dapat memenuhi
kebutuhan. Oleh karena itu, Presiden Soekarno melalui Surat Presiden Nomor
2262/HK/1959 tertanggal 20 Agustus 1959 meminta ketua DPR-GR untuk segera
mengeluarkan jenis-jenis peraturan perundang-undangan lain selain yang telah disebut
sebagaimana di dalam UUD 1945, yakni sebagai berikut:
1. Penetapan Presiden, untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima tertinggi
Angkatan Perang 5 Juli 1959;
2. Peraturan Presiden, antara lain:
a. Peraturan Presiden yang dikeluarkan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945;
b. Peraturan Presiden yang untuk melaksanakan Penetapan Presiden;
3. Peraturan Pemerintah, untuk melaksanakan Peraturan Presiden;
4. Keputusan Presiden, untuk melaksanakan Peraturan Presiden dalam melakukan
atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan;
5. Peraturan Menteri, untuk mengatur sesuatu yang dibuat oleh departemen-
departemen; dan
6. Keputusan Menteri, untuk melaksanakan atau meresmikan pengangkatan-
pengangkatan17.
Penetapan presiden berdasarkan Surpres kepada ketua DPR-GR tersebut awalnya
ditujukan untuk melaksanakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sedangkan, Perpres
diterbitkan untuk melaksanakan UUD 1945, akan tetapi dalam praktiknya banyak sekali
dijumpai materi muatan yang seharusnya diatur dengan undang-undang justru diatur
dengan penetapan presiden, Perpres, atau Perppu. Selain itu, ada juga materi muatan
yang seharusnya diatur dengan peraturan pemerintah justru diatur melalui Perpres dan
juga banyak materi muatan dalam undang-undang yang justru diatur melalui Perpres
tersebut18.

17 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer, 2007, hlm. 213.
18 Soehino, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-undangan, Yogjakarta: Liberty, 1981, hlm. 6.

67
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

Baru 7 (tujuh) tahun kemudian, pada tahun 1966 Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Mengenai Sumber Tertib
Hukum dan Tata urutan Peraturan Perundang-Undangan, menjawab Surat Presiden
Nomor 2262/HK/1959. Lahirnya TAP MPRS tersebut dikarenakan terdapat kerancuan-
kerancuan dari sumber tertib hukum yang ada sebelumnya yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1950. Diajukannya rumusan pengaturan mengenai hierarki
peraturan perundang-undangan dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, didasarkan
pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi legal standing untuk Penetapan Presiden
yang sederajat dengan undang-undang. Selain itu, TAP MPRS No. XX/MPRS/1966
meski tidak secara eksplisit memuat susunan kekuasaan dalam Negara Indonesia yang
seluruhnya berdasarkan pada Presiden Republik Indonesia19. Berdasarkan Lampiran II
huruf A Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966, menyatakan bahwa “Bentuk-Bentuk
Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945
ialah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,
b. Ketetapan MPR,
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
d. Peraturan Pemerintah,
e. Keputusan Presiden,
f. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:
1) Peraturan Menteri,
2) Instruksi Menteri,
3) dan lain-lainnya”.
Sesuai pada sistem yang ada dalam undang-undang dasar seperti yang dijabarkan dalam
penjelasan autentik Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, bentuk peraturan
perundang-undangan yang paling tinggi yang menjadi sumber dan dasar bagi seluruh
peraturan perundang-perundangan di bawahnya adalah Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945. Sesuai dengan prinsip negara hukum, maka setiap peraturan perundang-
undangan harus berdasar dan bersumber secara tegas pada peraturan perundangan yang
lebih tinggi derajatnya. Jika peraturan perundang-undangan yang berada di bawah
bertentangan dengan yang lebih tinggi, maka peraturan tersebut dapat digugat untuk
dibatalkan atau bisa juga langsung batal demi hukum (van rechtswegenietig)20.
Dengan ditetapkannya TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 memperlihatkan bahwasanya
telah ada pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, masih
terdapat permasalahan yuridis yang menyertainya. Menurut Maria Farida, “keputusan
presiden tidak tepat dimasukkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan
dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, jika keputusan presiden yang dimaksud adalah
yang bersifat khusus (einmalig), karena dalam keputusan presiden yang bersifat
khusus (einmalig) normanya individual, konkret, dan sekali selesai sehingga bersifat
beschikking. Padahal, norma dari suatu peraturan perundang-undangan seharusnya

19 Riri Nazriyah, Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di Masa Depan, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
2007, hlm. 69.
20 Ni’matul Huda, “Kedudukan Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal Hukum, Volume 13, Nomor
1, Januari 2006, hlm. 29.

68
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

bersifat umum, abstrak, dan terus menerus (regelling)”21. Selain itu, dengan meletakkan
intruksi menteri dalam peraturan perundang-undangan juga dinilai kurang tepat walaupun
hanya sebagai peraturan pelaksana saja. Hal ini dikarenakan instruksi selalu bersifat
konkrit dan individual, disertai adanya hubungan antara pimpinan dengan bawahan
yang bersifat organisatoris. Sedangkan, sifat dari norma hukum dalam peraturan
perundang-undangan adalah bersifat abstrak, umum, dan berlaku terus-menerus.
Maria Farida juga mengkritisi bahwa dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tidak
memasukkan peraturan daerah (Perda) sebagai salah satu jenis peraturan perundang-
undangan, meski Perda tidak selalu merupakan peraturan pelaksana saja22. Namun, jika
dicermati, pengaturan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan dalam TAP
MPRS No. XX/MPRS/1966, ternyata belum juga memasukkan Perda dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan. Meski, jika diingat pada masa itu daerah masih belum
mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah pusat. Suburnya ego sentralistik serta
belum berkembang adanya pemikiran sistem desentralisasi yang memberikan otonomi
seluas-luasnya kepada daerah seperti pada masa sekarang ini.
Baru kemudian pada era reformasi yang ditandai dengan runtuhnya Orde Baru,
dengan adanya tuntutan yang besar dari berbagai daerah di Republik Indonesia untuk
diberikan otonomi yang lebih luas, salah satunya pengakuan terhadap Perda dalam
hierarki peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum di Indonesia23. Dengan
semangat api reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam TAP MPR
No. III/MPR/2000 ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah negara ini berdiri, Perda
dimasukkan ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Pengaturan hierarki
peraturan perundang-undangan yang di era reformasi termaktub dalam Pasal 2 TAP
MPR No. III/MPR/2000, yang menyatakan bahwa “tata urutan peraturan perundang-
undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata
urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
c. Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
e. Peraturan Pemerintah;
f. Keputusan Presiden;
g. Peraturan Daerah”.
Namun, seiring dengan perkembangan hukum terdapat permasalahan dalam hierarki
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam TAP MPR No. III/MPR/2000.
Pertama, penempatan Perppu yang berada di bawah undang-undang, ditambah lagi
adanya perbedaan materi muatan antara Perppu dan undang-undang. Sedangkan, pada
prinsipnya harusnya Perppu memiliki materi muatan yang sama dengan undang-undang.
Dengan meletakkan Perppu setingkat di bawah undang-undang itu berarti Perppu tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang, padahal dalam prakteknya acap kali Perppu

21 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Op.cit., hlm. 75-77.


22 Ibid., hlm. 80.
23 Dian Agung Wicaksana, “Implikasi Re-Eksistensi Tap MPR dalam .......”, Op.cit., hlm. 147.

69
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

digunakan pemerintah untuk mengatasi keadaan genting yang memaksa untuk mencabut
undang-undang. Kedua, pengaturan mengenai materi muatan Perda yang disebutkan
dalam Pasal 2 Tap MPR No. III/MPR/2000 dianggap terlalu luas24. Berdasarkan
permasalahan hukum dalam TAP MPR No. III/MPR/2000 tersebut melahirkan tuntutan
dari berbagai pakar hukum ketatanegaraan untuk segera melakukan revisi terhadap
TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan. Maka untuk pertama kalinya di era reformasi, pengaturan
mengenai hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam bentuk undang-undang.
Tepatnya pada tanggal 22 Juni Tahun 2004 telah diundangkan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berlaku
secara efektif mulai 1 November 2004. Berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa, “Jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah”.
Kemudian pada ayat (2) dinyatakan bahwa “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi
bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau
nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya”.
Perbedaan yang sangat tegas dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah pertama, dikeluarkanya
TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan di dalam sistem hukum
Republik Indonesia. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis terhadap amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mengubah
kewenangan MPR yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 3 sebelum amandemen
ketiga, menyatakan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menetapkan
Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar haluan negara”. Oleh sebab itu, MPR
dapat membentuk suatu TAP MPR. Dengan diubahnya ketentuan tersebut maka MPR
tidak lagi memiliki kekuasaan untuk menetapkan keputusan-keputusan yang bersifat
mengatur (regelling) dalam bentuk TAP MPR. Kedua, disejajarkannya kembali
undang-undang dengan Perppu berarti materi muatan Perppu sama dengan materi
muatan undang-undang, serta kekuatan hukum keduanya menjadi sama maka Perppu
dapat mencabut undang-undang. Ketiga, untuk pertama kalinya nomenklatur Perpres
muncul dalam hierarki peraturan perundang-undangan, setelah pada 3 (tiga) peraturan
perundang-undangan sebelumnya menggunakan nomenklatur keputusan presiden.
Hal ini merupakan suatu kemajuan dalam bidang ilmu perundang-undangan, karena

24 Maria Farida Indrati, dkk, Laporan Kompendium Bidang Hukum Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sistem Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2008, hlm. 4.

70
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

istilah keputusan digunakan untuk kebijakan yang bersifat final, konkrit, dan individual.
Sedangkan, istilah peraturan digunakan untuk menyebutkan suatu kebijakan yang masih
bersifat abstrak dan mempunyai norma mengatur untuk umum, serta memiliki daya
laku yang lama. Maka, tepatlah jika nomenklatur tersebut diubah dari yang sebelumnya
keputusan presiden menjadi Perpres. Keempat, memberikan ruang yang lebih luas
pada setiap daerah untuk membentuk peraturan daerahnya masing-masing dengan
membedakannya secara rinci ke dalam 3 (tiga) tingkatan dimulai dari Perda Provinsi,
Perda Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa. Serta, di dalam ketentuan penutupnya
undang-undang ini juga memberikan kepastian hukum terhadap peraturan-peraturan
sebelumnya mengenai hierarki peraturan perundang-undangan yang pernah diatur
sebagaimana tercantum dalam Pasal 57 yang menyatakan bahwa “Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat, Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950
tentang Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara
Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang
Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal dan
Peraturan Pemerintah sebagai Undang-Undang Federal, serta Peraturan Perundang-
undangan lain yang ketentuannya telah diatur dalam undang-undang ini, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku pada saat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mulai
berlaku dan dilaksanakan”.
“Tak ada gading yang tak retak”, mungkin itu kiasan yang tepat untuk menggambarkan
pengaturan hierarki peraturan perundang-undang yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Meski
undang-undang ini lahir untuk menyempurnakan dan memperbaiki permasalahan yuridis
dari ketiga peraturan sebelumnya, namun, dalam perkembangannya masih terdapat juga
permasalahan yang dapat ditemukan oleh para ahli di bidang hukum. Permasalahan
tersebut yang pertama adalah terdapat dalam rumusan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
menyebutkan bahwa “jenis peraturan perundang-undangan lainnya selain sebagaimana
diatur dalam ayat (1), diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
hal tersebut dinilai memiliki ketidakpastian hukum”. Permasalahan kedua, mengenai
rumusan Perda di dalam undang-undang ini yang masih sangat luas. Berdasarkan Pasal
7 ayat (2) undang-undang tersebut, ketentuan mengenai Perda dirinci menjadi 3 (tiga)
jenis, mulai dari Perda Provinsi sampai dengan Peraturan Desa. Sementara, daerah di
Republik Indonesia dibagi hanya menjadi 2 (dua) yakni Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota saja.
Setelah 7 (tujuh) tahun kemudian, kelemahan dan permasalahan yang terdapat di
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan lalu direvisi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang inilah yang menjadi hukum positif saat ini, di dalam penjelasan
umumnya menyebutkan bahwa “undang-undang ini merupakan penyempurnaan
terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu antara lain:

71
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

a. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan banyak yang menimbulkan kerancuan atau
multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;
b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau
kebutuhan hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; dan
d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan
sistematika.
Sebagai penyempurnaan terhadap undang-undang sebelumnya, terdapat materi muatan
baru yang ditambahkan dalam undang-undang ini, yaitu antara lain:
a. penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis
peraturan perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perluasan cakupan perencanaan peraturan perundang-undangan yang tidak
hanya untuk program legislasi nasional (Prolegnas) dan program legislasi daerah
(Prolegda) melainkan juga perencanaan peraturan pemerintah, peraturan presiden,
dan peraturan perundang-undangan lainnya;
c. pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. pengaturan naskah akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan
Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
e. pengaturan mengenai keikutsertaan perancang peraturan perundang-undangan,
peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-
undangan; dan
f. penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I undang-
undang ini”.
Secara yuridis, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, telah menyempurnakan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Terutama, dengan mengembalikan kedudukan dari TAP MPR dalam hierarki peraturan
perundang-undangan di dalam sistem hukum Republik Indonesia. Yang dimaksud
dengan TAP MPR dalam undang-undang yang baru ini adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai
dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. Serta, merinci Perda menjadi hanya terdiri
dari 2 (dua) saja yakni Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota, yang diletakkan
secara bertingkat. Maka, berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa “jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan terdiri atas:

72
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.
Sementara, dalam undang-undang ini juga memberikan ketentuan lain terhadap
peraturan perundang-undangan selain yang berada dalam hierarki peraturan perundang-
undangan. Pengaturan dimaksud termaktub dalam Pasal 8 dalam undang-undang
tersebut yang menyatakan bahwa “Jenis peraturan perundang-undangan selain yang
masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
yang setingkat. Jenis peraturan perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.

2. Menimbang Urgensi Peraturan Presiden Dalam Hierarki Peraturan Perundang-


Undangan Dalam Sistem Hukum di Republik Indonesia.
Berbicara mengenai tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan di Indonesia
tentunya akan terikat pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
yang menjadi hukum positif dalam sistem hukum Indonesia. Namun, jika dikaitkan
dengan teori milik Hans Kelsen (Stufen theorie) juncto Hans Nawiasky (die theorie vom
stufenordung der rechtsnormen) mengenai jenjang norma/hierarki, maka akan didapati
perbedaan dan perluasan norma dalam hierarki peraturan perundang-undangan dalam
sistem hukum di Republik Indonesia. Dalam pengelompokkan norma di Republik
Indonesia memasukkan Perpres dalam hierarki peraturan perundang-undangan, hal
tersebut dikhawatirkan akan berpotensi digunakan oleh Presiden untuk melakukan
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Seperti kata Lord Acton, seorang ahli
sejarah inggris menyatakan bahwa “manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung
untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan
absolut akan menyalahgunakan kekuasaannya secara absolut”25. Nampaknya, ungkapan
tersebut bukan hanya kiasan semata. Melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 82
Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan
Pemulihan Ekonomi Nasional, dapat dikatakan pernyataan Lord Acton sebagaimana
tersebut di dalam bukunya Miriam Budiarjo menjadi relevan di republik ini. Jika dibaca

25 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm.107.

73
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

secara gramatikal judul Perpres tersebut, seakan hanya sekedar menentapkan sekaligus
membentuk lembaga komite penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional
saja. Namun, jika mencermati kententuan dalam Pasal 19 ayat (1) Peraturan Presiden
dimaksud ternyata juga membubarkan 18 (delapan belas) badan/lembaga yang pernah
dibentuk. Salah satunya yakni Badan Koordinasi Nasional Penyuluh Petanian, Perikanan,
dan Kehutanan yang merupakan amanat dari Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Suatu
badan yang pembentukannya merupakan perintah dari undang-undang, namun, dapat
diruntuhkan dengan Perpres yang keberadaannya dalam hierarki peraturan perundang-
undangan berada 2 (dua) tingkat di bawah undang-undang.
Kekhawatiran penulis cukup beralasan, karena dengan menempatkan Perpres di
dalam hierarki peraturan perundang-undangan menimbulkan berbagai permasalahan
yuridis. Pertama, dasar pembentukan Perpres tidak tercantum secara eksplisit dalam
batang tubung Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
Staatgrundgesetz dalam sistem hukum di Republik Indonesia yang menjadi sumber dan
dasar dari norma yang berlaku di bawahnya. Berbeda dengan pembentukan undang-
undang yang diatur secara tegas dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 22D ayat
(1). Dasar hukum pembentukan Perppu juga diatur dengan gamblang dalam Pasal 22
ayat (1). Dasar hukum penetapan peraturan pemerintah termaktub dalam Pasal 5 ayat
(2), dan yang terakhir dasar hukum dari penetapan Perda diatur dalam Pasal 18 ayat
(6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejauh ini yang
dijadikan dasar hukum mengingat dalam penetapan Perpres adalah Pasal 4 ayat (1)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakah bahwa “Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar”. Staatsgrundgesetz ini kemudian mendasari dan sekaligus menjiwai peraturan
yang lebih rendah yakni undang-undang (formell gezetz) dan peraturan pemerintah,
hingga peraturan di tingkat paling rendah (verordnung en autonome satzung). Berpijak
dari hal tersebut, jika dibandingkan dengan dasar hukum pembentukan undang-undang
sampai dengan Perda, maka dapat dikatakan dasar hukum penetapan Perpres tidak
memiliki landasan hukum (legal standing) yang kuat di dalam konstitusi tertulis di
Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Presiden adalah “peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan
kekuasaan pemerintahan”. Perpres merupakan produk Presiden sebagai kepala
pemerintahan atau eksekutif, sehingga dikategori sebagai executive acts yang berbeda
dengan produk legislatif atau legislative acts. Jika melihat sejarahnya, eksistensi Perpres
sebagai peraturan perundang-undangan sudah ada sejak 1 (satu) tahun republik ini
merdeka, pada masa ini Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 1
Tahun 1946 tentang Pemberian Ampunan Kepada Hukuman. Jika dicermati dari sejarah
munculnya Perpres dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah dimulai
dari adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menginginkan adanya jenis peraturan
perundang-undangan lain selain yang telah disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945
(sebelum amandemen), sehingga pada masa itu keluarlah Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong

74
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

Mengenai Sumber Tertib Hukum dan Tata urutan Peraturan Perundang-Undangan, yang
salah satunya mengakomodir Keputusan Presiden sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan yang masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan dalam
sistem hukum di Indonesia. Mulai saat itu keputusan presiden (Keppres) dijadikan tools
Presiden dalam membuat kebijakan-kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-
undangan yang membutuhkan waktu cepat dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Jika dilihat dari sistem pemerintahan pada saat itu memang seluruh kekuasaan dalam
negara semuanya bersumber pada Presiden (executive heavy), sehingga jamak dijumpai
kala itu segala aturan pemerintah diatur dalam bentuk keputusan presiden baik yang
bersifat beschikking atau regelling sekalipun. Namun, setelah amandemen keempat
Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2002, Presiden sudah tidak lagi diberikan
kekuasaan penuh untuk membentuk undang-undang, kekuasaan membentuk undang-
undang beralih ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedua, jika dilihat dari proses penyusunan rancangan Perpres berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, proses
pembahasan/harmonisasi rancangan peraturan presiden lebih singkat dan tidak
memerlukan proses yang panjang seperti penyusunan rancangan peraturan pemerintah
yang mengharuskan adanya rapat panitia antar kementerian. Jadi, seolah Perpres hanya
dijadikan opsi ketika dibutuhkan aturan yang dapat cepat selesai dalam penyusunannya
(potong kompas), tidak perlu melibatkan banyak pihak terkait. Keberadaan peraturan
perundang-undangan sebagai pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan
merupakan salah satu prinsip negara hukum. Dalam sejarahnya, apabila tidak ada
kontrol dalam pembentukannya, peraturan perundang-undangan seringkali bersifat
menindas hak-hak warga negara. Hal ini terjadi mengingat produk hukum sangat
dipengaruhi oleh kepentingan politik, terutama saat pembentukannya. Aktifitas legislasi
cenderung membuat keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan menjalankan
pekerjaan hukum yang sesungguhnya26. Keberadaan aktivitas politik yang terbilang
mengambil porsi paling besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
dimungkinkan melahirkan produk-produk peraturan perundang-undangan yang
menguntungkan kalangan tertentu, termasuk kelompok penguasa. Untuk menghindari
kondisi sedemikian, maka pembentuk peraturan perundang-undangan harus benar-
benar memperhatikan dan selaras dengan prinsip-prinsip atau asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan27.
Ketiga, dari segi materi muatannya, muatan materi Perpres hampir sama dengan
peraturan pemerintah. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa “materi muatan peraturan presiden
berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang, materi untuk melaksanakan
peraturan pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan

26 Andi Yuliani, “Kegentingan Memaksa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”, Tesis Magister Hukum, Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2016, hlm. 23-24.
27 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 2006,
hlm. 13.

75
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

pemerintahan”. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dasar pembentukan Perpres


dibagi menjadi dalam 2 (dua) hal, yakni delegasi (diperintahkan oleh undang-undang
atau untuk melaksanakan peraturan pemerintah) dan atribusi (untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Namun, jika ditinjau dari beberapa Perpres
yang pernah dibuat, maka didapati lebih banyak Perpres yang dibuat bukan berdasarkan
perintah dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, melainkan sebagai
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan (Perpres Mandiri). Tentu hal tersebut sangat
bertentangan dengan teori norma hukum dari suatu negara yang berjenjang-jenjang dan
bertingkat-tingkat, dimana norma yang dibawah berlaku dan berdasar dari norma yang
lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berdasar pada norma tertinggi yang disebut
norma dasar. Luasnya cakupan materi muatan Perpres sehingga ke depannya perlu
adanya pembatasan materi muatan/ruang lingkup Perpres karena jika tidak dibatasi
maka dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan. Beberapa
hal yang dapat menjadi pembatasan Perpres, yaitu: 1) Adanya perintah oleh peraturan
yang lebih tinggi; 2) Perintah dimaksud tidak harus bersifat tegas dalam arti langsung
menyebutkan bentuk hukum penuangan norma hukum yang perlu diatur, asalkan
perintah pengaturan tersebut tetap ada; dan 3) Dalam hal perintah tersebut memang
sama sekali tidak ada, maka Perpres itu dapat dikeluarkan untuk maksud mengatur
hal-hal yang benar-benar bersifat teknis administrasi pemerintahan dan semata-mata
dimaksudkan untuk tujuan internal penyelenggaraan ketentuan undang-undang dan
peraturan pemerintah28. Oleh karena itu, sebaiknya Perpres tidak diberi kewenangan
yang normanya bersifat mengatur hal-hal yang berlaku umum untuk mengatur hajat
hidup orang banyak. Seperti misalnya, peneribitan Perpres Nomor 91 Tahun 2019
tentang Organ Pelaksana Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi. Seakan
dengan lahirnya Perpres tersebut banyak anggapan bahwa Presiden ingin masuk ke
dalam ranah yang sangat disucikan oleh masyarakat melalui intervensi pengaturan
dalam bentuk Perpres tersebut.
Keempat, Perpres lebih banyak bersifat khusus, yang normanya konkret, individual,
dan final, serta dipandang sebagai aturan kebijakan (beleidsregel) yang sifatnya hanya
mengikat ke dalam unsur pemerintahan. Padahal norma dari suatu peraturan perundang-
undangan seyogianya bersifat umum, yang normanya mengatur (regelling), terus-
menerus, dan digunakan dalam jangka waktu yang panjang. Sepertinya contohnya
dalam penerbitan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2020 tentang Hak Keuangan
dan Fasilitasi Bagi Direktur Eksekuti dan Direktur Pada Manajemen Pelaksana Kartu
Prakerja. Tentu, Perpres tersebut bersifat beschikking. Itulah mengapa seyogianya
Perpres tidak perlu berada pada hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Di samping itu, Republik Indonesia telah memilih untuk menjadi negara hukum. Salah
satu ciri negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan
kekuasaan Negara29. Lebih lanjut dalam hal ini disampaikan oleh Julius Stahl, sebuah
negara dapat disebut dengan negara hukum harus mencakup empat elemen penting,

28 Ni’matul Huda, Riri Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Bandung: Nusamedia, 2011, hlm. 109.
29 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016, hlm. 282.

76
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

yaitu: 1) Perlindungan Hak Asasi Manusia; 2) Pembagian Kekuasaan; 3) Pemerintahan


berdasarkan undang-undang; dan 4) Peradilan Tata Usaha Negara. Selanjutnya A. V.
Dicey menyebutkan tiga ciri penting The Rule of Law yaitu Supremacy of Law, Equality
before the Law, dan Due Process of Law30. Sementara, jika dikaitkan dengan sistem
pemerintahan, De Baron Montesquieu menawarkan suatu konsep mengenai kehidupan
bernegara dengan melakukan pemisahan kekuasaan yang diharapkan dapat saling
mengawasi dan mengontrol satu sama lain. Dengan melakukan pemisahan-pemisahan
kekuasaan antar satu lembaga dengan lembaga lain memungkinkan kontrol dan
pengawasan akan lembaga tersebut akan dapat dicapai dengan maksimal. Karena pada
dasarnya kekuasaan di suatu negara tidak bisa hanya dilimpahkan pada satu lembaga
saja, melainkan harus dikelola dengan beberapa lembaga negara lainnya. Montesquieu
membagi kekuasaan dalam tiga cabang atau yang terkenal dengan Trias Politika.
Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin kekuasaan pembuatan undang-
undang oleh parlemen (legislatif), kekuasaan pelaksanaan undang-undang oleh lembaga
eksekutif (Presiden), dan kekuasaan peradilan oleh lembaga yudikatif.
Hal tersebut sejalan dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Namun,
pada kenyataannya yang terjadi lembaga eksekutif yang memiliki porsi lebih banyak
dalam membentuk/menetapkan jenis peraturan perundang-undangan yang diatur dalam
hierarki peraturan perundang-undangan. Jika lembaga legislatif yang menurut De
Baron Montesquieu dan diperteguh lagi oleh Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai lembaga pembentuk undang-undangan,
ternyata hanya diberikan kewenangan membentuk 1 (satu) jenis peraturan perundang-
undangan, bagaimana mungkin Presiden yang notabene sebagai lembaga eksekutif justru
diberikan privilege untuk membentuk/menetapkan 4 (empat) jenis peraturan perundang-
undangan yang ada dalam hierarki peraturan perundang-undangan yakni, mengajukan
rancangan undang-undangan, menetapkan Perppu, menetapkan peraturan pemerintah
untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya, dan menetapkan Perpres
untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Tentu, hal tersebut
menjadi paradoks dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, dimana lembaga legilatif
justru kehilangan fungsinya sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan membentuk
undang-undang berdasarkan teori trias politika, dan fungsi tersebut diambil alih oleh
lembaga eksekutif yang seyogianya menjadi lembaga yang memegang kekuasaan untuk
menjalankan perintah undang-undang.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis menilai bahwa Perpres sebagai alat Presiden
menetapkan kebijakan dalam rangka menyelenggarakan kekuasaannya memang
dibutuhkan. Namun, letaknya sebaiknya bukan berada di dalam jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan, melainkan berada dalam Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karena hierarki peraturan perundang-
undangan merupakan sistem hukum nasional yang bersifat linier karena bersumber dan
berdasar pada norma dasar negara sebagai sumber dari segala sumber hukum negara

30 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2006, hlm. 122.

77
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

yang seyogianya tidak dicampuri atau bahkan terkontaminasi dengan aturan yang
bersifat kebijakan individual.

C. Penutup
1. Simpulan
Dari seluruh kajian dan pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa, secara legal historis
hierarki peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum di Indonesia telah
mengalami 5 (lima) kali perubahan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berbeda, yakni sebagai berikut:
a. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Djenis Dan Bentuk Peraturan Jang
Dikeluarkan Oleh Pemerintah Pusat.
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966
tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Mengenai
Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
c. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
d. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
e. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Masing-masing dari pengaturan tentang hierarki peraturan perundang-undangan
tersebut memiliki problematika dan juga politik hukum masing-masing dalam
pembentukannya, meski tentunya juga memiliki tujuan awal yang sama yaitu untuk
memperbaiki permasalahan yuridis dan menertibkan kerancuan hukum dari peraturan
perundang-undangan sebelumnya.
Sementara, berdasarkan permasalahan hukum terkait urgensi Perpres dalam hierarki
peraturan perundang-undangan dapat disimpulkan bahwa, keberadaan Perpres dalam
hierarki peraturan perundang-undangan tidak sejalan dengan teori jenjang norma
yang telah dikemukakan oleh para ahli hukum. Belum lagi ditambah dengan terlalu
luasnya materi muatan yang dapat diatur dalam Perpres, bukan hanya sebagai peraturan
turunan dari perintah undang-undangan (delegasi), melainkan juga dapat digunakan
sebagai alat bagi Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaannya, seperti misalnya
membentuk dan sekaligus membubarakan suatu lembaga/badan, sehingga berpotensi
terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Sehingga, jika Perpres yang bersifat atribusi
diletakkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan maka hal tersebut akan
membuat pengaturan dari hierarki peraturan perundang-undangan yang ada tidak lagi
linier sebagai benang merah dalam sistem hukum nasional. Pengaturan yang bercabang
tersebut didominasi oleh pengaturan di bidang keuangan dan kelembagaan, sementara
pengaturan tersebut hanya berlaku dan mengikat ke dalam sistem pemerintahan saja
dan tidak mengatur hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bayangkan,
pengaturan yang sangat umum seperti jaminan kesehatan nasional pengaturannya
hanya melalui Perpres saja. Seyogianya, jika melihat materi muatan yang diatur begitu
luas dan besar harusnya pengaturan tersebut lebih tepat diatur dalam bentuk Peraturan

78
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

Pemerintah. Karena, pelayanan kesehatan merupakan hak setiap warga negara yang
dijamin oleh konstitusi berdasarkan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan sebagaimana tersebut maka perlu kiranya melakukan elaborasi
terhadap hierarki peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum di Republik
Indonesia agar tidak menimbulkan kerancuan dan permasalahan hukum di kemudian hari
demi tegaknya kepastian hukum dalam sistem ketatanegaraan di Republik Indonesia.
Menempatkan Perpres tidak dalam hierarki peraturan perundang-undangan merupakan
langkah perbaikan sistem hukum yang perlu ditempuh, agar tidak ada lagi pembentukan
peraturan perundang-undangan yang bersifat sepihak tanpa melibatkan berbagai pihak.
Perpres tentu saja diperlukan sebagai tools Presiden dalam menentapkan kebijakan-
kebijakannya, namun, selayaknya Perpres ditempatkan dalam jenis-jenis peraturan
perundang-undang selain yang terkandung dalam hierarki peraturan perundang-
undangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Tentu, Perpres tersebut tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Supaya kedepannya, Presiden Republik
Indonesia dapat leluasa menetapkan kebijakan baik di bidang perekonomian maupun di
bidang kesehatan yang dituangkan ke dalam bentuk Perpres tanpa harus merujuk pada
undang-undang yang telah ada.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
A. Rosyid Al Atok, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Malang: Setara
Press, 2015, hlm. 41.
Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System der Rechtlichen Grundbegriffe, Cetakan
Kedua, Einsiedeln/Zurich/Koln: Benziger, 1948, hlm. 31.
Jimly Asshiddiqie, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, hlm. 173.
------------------------, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, hlm. 122.
------------------------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Jakarta: PT. Buana
Ilmu Populer, 2007, hlm. 213.
------------------------, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2016, hlm. 282.

79
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa’at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, Cetakan 1. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006,
hlm. 110.
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di
Indonesia 1945-1990, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm. 76-77.
Maria Farida Indrati, dkk, Laporan Kompendium Bidang Hukum Peraturan Perundang-
undangan, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2008, hlm. 4.
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 25.
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm.107.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial, 2006, hlm. 13.
Ni’matul Huda, Riri Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Bandung:
Nusamedia, 2011, hlm. 109.
Riri Nazriyah, Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di Masa Depan, Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2007, hlm. 69.
Soehino, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-undangan, Yogjakarta: Liberty, 1981, hlm. 6.

Jurnal
David A. Funk, “Major Function of Law in Modern Society Featured”, Case Western Reverse
Law Review, Volume 23, Issue 2, 1972, hlm. 278.
Dian Agung Wicaksana, “Implikasi Re-Eksistensi Tap MPR dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Terhadap Jaminan Atas Kepastian Hukum yang Adil di Indonesia”, Jurnal
Konstitusi, Volume 10, Nomor 1, 2013, hlm. 151-152.
Muhtadi, “Penerapan Teori Hans Kelsen Dalam Tertib Hukum Indonesia”, Fiat Justitia Jurnal
Ilmu Hukum, Volume 5, Nomor 2, 2012, hlm. 294.
Ni’matul Huda, “Kedudukan Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan”,
Jurnal Hukum, Volume 13, Nomor 1, 2006, hlm. 29.
Retno Saraswati, “Perkembangan Pengaturan Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia”, Jurnal Media Hukum, Volume 9, Nomor 2, 2009,
hlm. 1.
Zaka Firma Aditya, M. Reza Winata, “Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia”, Jurnal Negara Hukum, Volume 9, Nomor 1, 2018, hlm. 82.

Makalah Seminar/Lokakarya/Talkshow/Sarasehan
Andi Yuliani, “Kegentingan Memaksa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”, Tesis
Magister Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
2016, hlm. 23-24.

80
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Indra Setiawan Eksistensi Peraturan Presiden dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Ditinjau dari Teori Jenjang Norma

FX. Adji Samekto, “Kajian Teori Hukum: Menggugat Relasi Filsafat Positivisme Dengan Ajaran
Hukum Doktrinal”, Makalah Bahan Matrikulasi Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2011, hlm. 11.
Hamid A. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi
Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi Ilmu Hukum, Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 291.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Djenis Dan Bentuk Peraturan Jang Dikeluarkan
Oleh Pemerintah Pusat.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4389).
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 92, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6398).
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 199).
Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2019 tentang Organ Pelaksana Dewan Pengawas Komisi
Pemberantasan Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 264).
Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2020 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Bagi Direktur
Eksekutif dan Direktur Pada Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 177).
Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 178)

81
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky Wibowo Optimalisasi Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Nasional di Tengah Covid-19

OPTIMALISASI ZAKAT SEBAGAI INSTRUMEN PEMERATAAN


PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL DI TENGAH COVID-19
Rizky Wibowo, Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konseptual mengenai zakat sebagai instrumen
pemerataan pembangunan ekonomi nasional, melalui penelitian hukum (normatif) yang bersifat
deskriftif dengan menggunakan data sekunder yang di dapat dari kajian pustaka. Bahwa melalui
pengelolaan dana zakat yang bersifat konsumtif menjadi zakat produktif, penyaluran dana zakat
yang bersifat distribusi kekayaan dari muzakki kepada mustahik yang merata serta optimalisasi
penghimpunan dana zakat melalui perbaikan regulasi diharapkan menjadi konsep alternatif
sebagai instrumen pemerataaan pembangunan ekonomi nasional di tengah pandemi global
covid-19.
Kata Kunci: Optimalisasi Zakat, Pembangunan Ekonomi.

A. PENDAHULUAN
Sektor ekonomi merupakan hal yang sangat vital suatu negara, tidak sedikit negara yang
jatuh dan hancur berawal dari keterpurukan ekonomi masyarakatnya oleh karenanya perlu
adanya instrumen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pertumbuhan
ekonomi diduga merupakan salah satu faktor penting bagi suatu negara untuk lepas
dari jerat kemiskinan. Bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap
penurunan jumlah penduduk miskin. Sehingga pertumbuhan ekonomi ditenggarai sebagai
kekuatan pendorong untuk menekan angka kemiskinan. Suatu perekonomian dikatakan
mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat ekonomi lebih tinggi dari apa
yang dicapai sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu wilayah yang
terus menunjukkan peningkatan menggambarkan bahwa perekonomian negara atau wilayah
tersebut berkembang dengan baik. Sebaliknya apabila suatu perekonomian tersebut tidak
dapat berkembang dengan baik maka akan menimbulkan masalah sosial dan ekonomi.
Zakat sebagai instrumen ekonomi dan kesejahteraan ummat, maka upaya mengoptimalkan
pengelolaannya menjadi suatu keharusan karena merupakan salah satu pilar Islam yang
berdimensi ubudiyyah, ijtimaiyyah dan iqtishadiyyah, yang dapat berkontribusi dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan merupakan penjalin-tali kasih antara manusia
(hablunminannas) begitu pula penghubung-komunikasi seorang hamba dengan Tuhannya
(hablunminallah).1
Pada tanggal 2 Maret 2020 presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa ada dua Warga
Negara Indonesia Positif corona di Indonesia2, itu menjadi tanda awal masuknya pandemi

1 Andi Bahri. S, Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Kesejahteraan Ummat, Jurnal Studi
Ekonomi Dan Bisnis Islam, Volume I, Nomor 2, Desember 2016, hlm. 88
2 CNN Indonesia, “Jokowi Umumkan Dua WNI Positif Corona di Indonesia”, http://m.cnnindonesia.com/
nasional/20200302111534-20-4479660/jokowi-umumkan-dua-wni-positif-corona-di-indonesia, diakses
19 Juli 2020.

82
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky Wibowo Optimalisasi Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Nasional di Tengah Covid-19

virus corona atau covid-19 di indonesia yang sangat berdampak di beberapa sektor termasuk
ekonomi yang terdampak sangat hebat. Adanya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar)
dan anjuran untuk tidak keluar rumah serta segala aktifitas dibatasi oleh pemerintah
mengakibatkan lumpuhnya sektor ekonomi semakin terasa.
Diawal adanya PSBB mengakibatkan adanya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang
berdampak pada meningkatnya masyarakat miskin atau dalam istilah ekonomi disebut
sebagai miskin baru yang berimbas pada daya beli masyarakat menurun secara drastis,
sehingga masyarakat membutuhkan dana talangan atau semacamnya untuk menyambung
hidup ditengah wabah covid-19 ini. Belum selesai disitu Indonesia saat ini dihadapkan
dengan situasi yang mengharuskan dan memaksa masyarakat untuk terbiasa dan mulai
beradaptasi pada pandemi global covid-19 dikarenakan hingga saat ini pengobatan
maupun vaksin yang belum ditemukan di prediksi memperpanjang masa pandemi global
ini, sehingga suatu negara harus siap menghadapi tantangan tersebut dengan menerapkan
kenormalan baru (new normal) pada kehidupan masyarakatnya. Kesehatan, ekonomi dan
sosial merupakan ketiga aspek yang harus berjalan saling berdampingan agar mencapai
tujuan pembangunan nasional yang diharapkan, maka kebijakan percepatan penanganan
covid-19 ini harus dilakukan sesuai protokol kesehatan.
Dari uraian di atas, bahwa kunci dari penyehatan kembali kondisi ekonomi nasional adalah
survival di tingkat individu dan entitas usaha.3 Oleh karena itu negara harus mengerahkan
segenap upaya, termasuk dengan memberikan stimulus, agar rakyatnya tidak collaps semasa
krisis, tetap dapat produktif dan memiliki penghasilan memadai, serta bisnis dapat terus
berjalan dimasa transisi kenormalan baru ini. Yang diperlukan adalah kebijakan yang tepat,
mencari dan menggali potensi dan instrumen untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat
disaat wabah. Secara umum dana zakat yang diterima mustahik4 akan meningkatkan daya
belinya, peningkatan ini akan mendorong peningkatan produksi barang dan jasa, peningkatan
ini akan meningkatkan kapasitas produksi yang akhirnya secara agregat akan mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional. Potensi zakat di Indonesia mancapai 217 Triliun, namun
baru terhimpun 6 triliun5, itu artinya hanya 0,2 persen pertahun dan masih ada 98 persen
potensi zakat yang belum terkumpul, untuk itu perlu adanya optimalisasi dalam perhimpunan
dana zakat mengingat potensi yang begitu besar untuk pembangunan ekonomi nasional.
Perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat ini, secara kualitatif, kodifikasi hukum zakat
di Indonesia terjadi secara bertahap. Mulai meningkat pada tahun 1968, Kodifikasi hukum
zakat pada masa ini baru mengatur manajemen pengelolaan zakat. Pengelolaan zakat
dilakukan oleh badan amil zakat nasional (BAZNAS)6 dan Lembaga Amil Zakat (LAZ)7.
Adapun aspek perkembangan unsur zakat terdiri atas: Lembaga amil zakat, muzaki, objek
zakat, sanksi, dan zakat sebagai pengurang pajak. Sementara itu, kodifikasi hukum wakaf
di Indonesia mengalami perkembangan cukup signifikan dengan lahirnya UU No. 41 Tahun

3 Wibowo Hadiwardoyo, Kerugian Ekonomi Nasional Akibat Pandemi Covid-19 ,Baskara : Journal of
Business and Entrepreneurship, Volume 2 No. 2 April 2020, hlm. 90
4 Mustahik adalah orang yang berhak menerima dana zakat
5 Data yang diolah dari BAZNAS. Bahkan dalam RAKORNAS Zakat 2019 di Solo Ketua BAZNAS Bambang
Sudibyo potensi zakat nasional tahun 2018 mencapai 230 Triliun atau sebesar 1,57 PDP.
6 BAZNAS adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional yang merupakan lembaga
pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggungjawab kepada presiden melalui menteri agama.
7 LAZ adalah lembaga amil (pengelola) zakat yang sepenuhnya di bentuk atas prakarsa masyarakat yang bergerak
dibidang da’wah, sosial, pendidikan dan kemaslahatan umat Islam.

83
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky Wibowo Optimalisasi Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Nasional di Tengah Covid-19

2004 tentang Wakaf Tajdid pada hukum wakaf meliputi: konsep wakaf, wakif, benda wakaf,
unsur wakaf, nazir, lembaga wakaf (BWI)8, pengawasan, penyelesaian sengketa, dan sanksi
pidana atas pelanggaran terhadap objek wakaf.
Kemajuan hukum zakat dan wakaf diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat dijelaskan bahwa konsepsi pendayagunaan zakat, Zakat
dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan
peningkatan kualitas umat, tetapi pendayagunaan zakat untuk usaha produktif dilakukan
apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
Meski demikian, upaya untuk menggali potensi dan optimalisasi peran zakat di Indonesia
belum sepenuhnya tergarap dengan maksimal karena peran zakat belum terlaksana secara
efektif dan efisien. Banyak faktor yang menyebabkan manfaat dari zakat ini belum terasa
maksimal, diantaranya adalah lemahnya aturan tentang kewajiban zakat, lemahnya motivasi
keagamaan dan kesadaran keislaman pada mayoritas masyarakat sehingga rendahnya
kesadaran masyarakat dalam menunaikan kewajiban membayar zakat, kurangnya
pengawasan dari lembaga-lembaga pengelola zakat dalam pendistribusian zakat sehingga
mungkin pihak-pihak yang semestinya mendapatkan zakat tidak mendapatkan haknya, zakat
itu diberikan kepada delapan golongan jangan hanya diberikan kepada golongan fakir dan
miskin saja, saat ini zakat yang diberikan kepada para mustahik sebagian besar digunakan
untuk konsumsi sesaat sehingga tidak terjadi kegiatan ekonomi yang bisa mengembangkan
harta si mustahik, dan seharusnya zakat yang diberikan oleh muzakki kepada mustahik
jangan hanya dalam bentuk uang tetapi juga dalam bentuk modal usaha produktif.
Banyaknya orang yang terdampak covid-19 ini mengakibatkan semakin banyak orang
miskin baru yang kehilangan pekerjaan atau usahanya, maka membangun sebuah sistem
pengentasan kemiskinan berbasis zakat tentu tidaklah mudah, perlu adanya kerja sama
dengan berbagai pihak untuk memaksimumkan peran zakat dalam mengentaskan kemiskinan.
Tugas ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan lembaga-lembaga yang
mengelola zakat, tapi ini adalah tanggung jawab kita bersama sebagai seorang muslim untuk
mensejahterakan muslim lain yang kekurangan.
Pembangunan sistem pengelolaan zakat yang melibatkan struktur kemasyarakatan yang
paling dekat dengan masyarakat itu sendiri harus tetap dikerjakan dan dikembangkan
walaupun membutuhkan waktu yang tidak singkat. Menggali dan mengembangkan potensi
zakat yang seharusnya membutuhkan waktu yang panjang tetapi dengan pengoptimalan
zakat dan optimisme bahwa sistem zakat ini mampu memberikan solusi bagi masalah
kemiskinan akibat pandemi global ini.
Potensi zakat yang sudah ada harus tetap dipertahankan dan kesadaran untuk membayar zakat
harus semakin ditingkatkan sehingga peran zakat dalam proses mengentaskan kemiskinan
menjadi semakin diakui dan mendapat kepercayaan dari masyarakat luas.9 Potensi dan
peran zakat yang ada diharapkan menjadi sarana untuk mengentaskan kemiskinan dan
mendapatkan perhatian besar, penuntasan penanggulangan kemiskinan harus segera
dilakukan dan zakat di harapkan memiliki sumbangsi kepada kaum miskin khususnya

8 BWI (Badan Wakaf Indonesia) adalah lembaga independenyang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Badan ini di bentuk dalam rangka mengembangkan dan memajukan perwakafan
di Indonesia
9 Asnaini,S. Zakat Produktif dalam Perspektif Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 23.

84
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky Wibowo Optimalisasi Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Nasional di Tengah Covid-19

yang membutuhkan perhatian dari semua pihak. Seperti usaha yang di lakukan dalam
pengembangan potensi zakat melalui upaya Stimulus Pinjaman Modal Usaha, Pembibitan
Ikan, Pembibitan Pertanian, Peternakan, dan Pendayagunaan zakat fakir miskin untuk
Pemberdayaan Keluarga Muslim dan pelatihan serta keterampilan agar nantinya masyarakat
miskin memiliki bekal berupa pengalaman yang dapat digunakan untuk merubah hidupnya
menjadi lebih baik.
Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.10 Pengelolaan
zakat di Indonesia dapat dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Lembaga
Amil Zakat (LAZ), dan Unit Pengelola Zakat (UPZ). BAZNAS, LAS, dan UPZ mempunyai
tugas pokok untuk mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai
dengan ketentuan agama.11 Tetapi dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat tidak mengatur sanksi bagi masyarakat muslim yang tidak membayar
zakat, itu menjadi salah satu faktor masyarakat tidak mau membayar zakat, padahal potensi
dan peranan zakat di Indonesia sangat besar dan digambarkan mampu menjadi instrumen
pengentasan kemiskinan, untuk itu diperlukan penelitian yang tentang optimalisasi zakat
sebagai instrumen pemerataan pembangunan ekonomi nasional ditengah wabah covid-19.

B. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum (normatif) dengan sifat
deskriptif analitis. pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan,
konseptual, sejarah dan kasus. Dalam penelitian hukum tidak dikenal adanya data, sebab
dalam penelitian hukum khususnya yuridis normatif sumber penelitian hukum diperoleh
dari kepustakaan bukan dari lapangan, untuk itu istilah yang dikenal adalah bahan hukum.
Dalam penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan bahan dasar yang dalam ilmu
penelitian umumnya disebut data sekunder. Dalam data sekunder terbagi menjadi hukum
primer dan sekunder yaitu:12
1. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
penelitian,
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer berupa literatur mengenai penelitian ini, meliputi buku-buku ilmu
hukum, hasil karya dari kalangan hukum, dan lainnya berupa jurnal surat kabar, dan
makalah.13
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian library research (penelitian kepustakaan)
adalah teknik dokumenter, yaitu dikumpulkan dari telaah arsip atau studi pustaka seperti
mempelajari peraturan perundangundangan, buku-buku, karya ilmiah, artikel artikel,
serta sumber bacaan lainnya yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti
berdasarkan bahan hukum sekunder yang diperoleh. Adapun dalam menganalisa data ini,
penulis menggunakan sistem analisa data induktif, yaitu cara berfikir yang berangkat dari

10 Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
11 Berdasarkan Pasal 1 angka 7, angka 8, dan angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat.
12 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Tinjauan Singkat , Jakarta : Rajawali
Pers, 2006, hlm.23
13 Sri Mamudji, Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah, Jakarta: UI Press, 2006, hlm. 12

85
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky Wibowo Optimalisasi Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Nasional di Tengah Covid-19

fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus dan konkrit, kemudian ditarik kesimpulan
yang mempunyai sifat umum.

C. PEMBAHASAN
1. Optimalisasi Pengelolaan Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi
Dalam istilah ekonomi, zakat merupakan suatu tindakan pemindahan harta kekayaan
dari golongan yang kaya kepada golongan miskin. Transfer kekayaan berarti juga
transfer sumber-sumber ekonomi. Melalui pendekatan ekonomi, zakat bisa berkembang
menjadi konsep kemasyarakatan (muamalah), yaitu konsep tentang bagaimana cara
manusia melakukan kehidupan bermasyarakat termasuk di dalamnya bentuk ekonomi.14
Oleh karena itu ada dua konsep ada dua konsep yang selalu di kemukakan dalam
pembahasan mengenai sosial ekonomi Islam yang saling berkaitan yaitu pelarangan
riba dan perintah membayar zakat (Q.S al-Baqarah/2:276). 15
Zakat ditinjau dari pendekatan etnis dan pemikiran rasional ekonomis adalah sebagai
kebijaksanaan ekonomi yang dapat mengangkat derajat orang-orang miskin, sehingga
dampak sosial yang diharapkan dapat tercapai secara maksimal. Hal ini dapat terwujud
apabila dilakukan pendistribusian kekayaan yang adil.
Ditengah wabah covid-19 Zakat mungkin didistribusikan secara langsung kepada
orang-orang yang berhak, baik kepada satu atau lebih penerima zakat maupun kepada
organisasi sosial yang mengurusi fakir miskin. Namun hendaknya kita mencari orang-
orang yang benar membutuhkan. Untuk menghindari pemberian zakat kepada orang
yang salah, maka pembayar zakat hendaknya memastikan dulu.
Zakat dianggap mampu dalam pengentasan kemiskinan, karena zakat merupakan sarana
yang dilegalkan agama dalam pembentukan modal. Pembentukan modal sematamata
tidak hanya berasal dari pengolahan dan pemanfaatan sumber daya alam saja, tetapi
melalui upaya penyisihan sebagian harta bagi yang mampu, yang wajib di bayarkan
kepada pengelola zakat.16 Zakat di anggap akan mampu memaksimalkan kualitas SDM
melalui pengadaan sarana dan prasarana bagi masyarakat, meningkatkan produktifitas,
serta meningkatkan pendapatan masyarakat secara umum.
Jika dilihat Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah umat muslim terbesar di
dunia harus memiliki peran aktif dalam perwujudan kesejahteraan masyarakat dengan
pengoptimalan potensi zakat. Potensi ini tentu saja di anggap jelas mampu mewujudkan
pengentasan kemiskinan melalui pembangunan ekonomi, melalui pengelolaan dan
mekanisme yang tepat dan mempunyai hasil baik. Potensi Zakat yang bisa dikembangkan
untuk pembangunan ekonomi nasional adalah zakat yang memiliki sifat produktif. Zakat
produktif adalah pemberian zakat yang dapat membuat para penerimanya menghasilkan
sesuatu secara terus-menerus, dengan harta zakat yang telah diterimanya. Dengan kata
lain zakat dimana harta atau dana zakat yang diberikan kepada para mustahik tidak
dihabiskan akan tetapi dikembangkan dan digunakan untuk membantu usaha mereka,

14 Dawam Rahardjo, Persfektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, Bandung : Mizan, 1987, hlm. 13
15 Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya jilid 1. Jakarta: Lentera Abadi. Hlm 423.
16 Amalia, Kasyful Mahalli “Potensi Dan Peranan Zakat Dalam Mengentaskan Kemiskinan Di Kota Medan”,
Jurnal Ekonomi Dan Keuangan, Vol. 1, No.1, Desember 2012, hlm. 72.

86
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky Wibowo Optimalisasi Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Nasional di Tengah Covid-19

sehingga dengan usaha tersebut mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup secara terus
menerus.
Pendayagunaan zakat produktif melalui cara atau usaha dalam mendatangkan hasil dan
manfaat yang lebih besar serta lebih baik. Pemanfaatan zakat harta sangat targantung
pada pengelolaannya. Apabila pengelolaannya baik, pemanfaatannya akan dirasakan
oleh masyarakat. Pemanfaatan zakat ini, bergantung pada keahlian dari mustahik artinya
berbeda dari satu daerah ke daerah lain seperti penggunaan zakat harta diantaranya
untuk pemberdayaan ekonomi mayarakat seperti; dipergunakan untuk usaha pertanian,
peternakan dan usaha kecil lainnya.
Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, zakat kembali menjadi perhatian para
ekonom dan ahli fiqih bersama pemerintah dalam menyusun ekonomi Indonesia. Hal
ini terbukti dengan dicantumkannya pasal-pasal dalam UUD 1945 yang berhubungan
dengan kebebasan menjalankan syari’at agama (pasal 29) dan pasal 34 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa fakir miskin dan anaka-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Sejalan dengan berdirinya negara Republik Indonesia, banyak sekali dukungan yang
menginginkan zakat dimasukkan sebagai salah satu komponen sistem perekonomian
keuangan Indonesia, baik itu dari pemerintah maupun dari kalangan anggota parlemen.
Mereka menginginkan agar masalah zakat diatur dengan peraturan perundang-undangan
dan diurus langsung oleh pemerintah dan negara. Dalam penyusunan ekonomi Indonesia,
di samping komponen yang telah ada dalam sistem adat kita yaitu gotong royong dan
tolong menolong. Nampaknya pengertian zakat seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an
besar manfaatnya kalau dipahami dengan seksama mengenai pelaksanaannya, diperlukan
perubahan sehingga memenuhi keperluan masa kini dan keadaan di Indonesia.
Perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat ini, secara kualitatif, mulai meningkat pada
tahun 1968, Kemajuan hukum zakat dan wakaf diperbaharui melalui Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Adapun aspek perkembangan unsur
zakat terdiri atas: Lembaga amil zakat, muzaki, objek zakat, sanksi, dan zakat sebagai
pengurang pajak. Sementara itu, kodiikasi hukum wakaf di Indonesia mengalami
perkembangan cukup signiikan dengan lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Tajdid pada hukum wakaf meliputi: konsep wakaf, wakif, benda wakaf, unsur wakaf,
nazir, lembaga wakaf (BWI), pengawasan, penyelesaian sengketa, dan sanksi pidana
atas pelanggaran terhadap objek wakaf.
Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dijelaskan
mengenai konsepsi pendayagunaan zakat yaitu :
a. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir
miskin dan peningkatan kualitas umat,
b. Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
Lebih lanjut tentang pendayagunaan dana zakat, terdapat beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh pihak penyalur zakat atau lembaga pengelola zakat. Hal tersebut diatur
dalam keputusan Menteri Agama RI No.373 tahun 2003 tentang pengelolaan dana
zakat. Adapun jenis-jenis kegiatan pendayagunaan dana zakat adalah sebagai berikut:17

17 Keputusan Menteri Agama RI No.373 tahun 2003 tentang pengelolaan dana zakat

87
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky Wibowo Optimalisasi Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Nasional di Tengah Covid-19

a. Berbasis sosial
Penyaluran zakat jenis ini dilakukan dalam bentuk pemberian dana langsung berupa
santunan sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan pokok mustahik. Ini disebut juga
program karitas (santunan) atau hibah konsumtif. Program ini merupakan bentuk
yang paling sederhana dari penyaluran dana zakat. Tujuan utama bentuk penyaluran
ini adalan antara lain :
1) Untuk menjaga keperluan pokok mustahik,
2) Menjaga martabat dan kehormatan mustahik dari meminta-minta,
3) Menyediakan wahana bagi mustahik untuk meningkatkan pendapatan,
4) Mencegah terjadinya eksploitasi terhadap mustahik untuk kepentingan yang
menyimpang.
b. Berbasis pengembangan ekonomi
Penyaluran zakat jenis ini dilakukan dalam bentuk pemberian modal usaha kepada
mustahik secara langsung maupun tidak langsung, yang pengelolaannya bisa
melibatkan maupun tidak melibatkan mustahik. Penyaluran dana zakat ini diarahkan
pada usaha ekonomi yang produktif, yang diharapkan hasilnya dapat mengangkat
taraf kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan dana zakat yang dilakukan oleh BAZNAS atau LAZ dimasa pandemi
covid-19 ini harus mengoptimalkan dana zakat, setelah melakukan pengelolaan
untuk konsumsi para mustahik, penyaluran kepada mustahik hendaknya dalam
bentuk stimulus modal usaha untuk keberlangsungan pembangunan ekonomi.
Sehingga diharapkan para mustahik dikemudian hari dapat menjadi muzakki dan
berperan dalam pembangunan ekonomi nasional.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, bagi seorang muslim adalah suatu
kewajiban yang harus dilaksanakan semata-mata pengabdian seorang hamba
kepada Zat Maha Agung. Perintah zakat dalam untuk umat muslim banyak terdapat
di ayat-ayat Al-quran salah satunya adalah QS. Al-Baqarah ayat 267.

           
             
     

Artinya: Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena


mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun
yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu
menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka
hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.18
Zakat sebagai sebuah kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang
mampu (muzakki) untuk didistribusikan kepada muslim lainnya yang kurang mampu
(mustahik). Secara etimologis, zakat memiliki arti kata berkembang (annamaa),
mensucikan (at-thaharatu) dan berkah (al barakatu). Sedangkan secara terminologis,

18 Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya jilid 1. Jakarta: Lentera Abadi. Hlm 403.

88
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky Wibowo Optimalisasi Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Nasional di Tengah Covid-19

zakat mempunyai arti mengeluarkan sebagian harta dengan persyaratan tertentu


untuk diberikan kepada kelompok tertentu (Mustahik) dengan persyaratan tertentu
pula.19 Secara harfiah zakat juga bermakna “tumbuh dan berkembang”, sehingga
dapat difahami sebagai pertumbuhan kekayaan dalam arti ‘nyata’, pertumbuhan
masyarakat secara keseluruhan atau pertumbuhan jiwa yang dimurnikan.20
Islam mendorong setiap individu untuk berperan aktif dalam meningkatkan
kualitas hidup dan menumbuhkan proses kebersamaan sosial melalui zakat, infaq
dan shadaqah.21 Zakat merupakan rukun Islam yang merefleksikan tekad untuk
menyucikan masyarakat dari penyakit kemiskinan.22 Zakat juga menyucikan harta
orang kaya dan menyucikan masyarakat dari melakukan pelanggaran terhadap ajaran
Islam akibat tidak terpenuhinya kebutuhan pokok. Kemiskinan yang merupakan
problem kultural diharapkan dapat teratasi dengan semakin meningkatnya kesadaran
individu yang beragama Islam dalam membayar zakat.
Disisi lain, bahwa zakat akan membuat perekonomian berputar. Perputaran asset
dalam perekonomian, akan meningkatkan output (perkembangan dan pertumbuhan
ekonomi), penyerapan tenaga kerja, pendapatan dan kesejateraan masyarakat.
Sehingga kehadiran zakat dapat mengendalikan dan mendorong pertumbuhan
ekonomi dimasa kenormalan baru ini. Ditengah wabah covid-19 ini distribusi
kekayaan dari masyarakat yang mampu kepada masyarakat yang miskin sangat
dibutuhkan untuk pemerataan ekonomi nasional sehingga roda ekonomi berjalan
normal.
Dengan zakat, redistribusi sumber daya ekonomi dari mereka yang sejahtera (kaya)
kepada mereka yang kurang sejahtera (miskin) akan tercapai. Zakat menghasilkan
redistribusi komoditas pasar dari kelompok kaya ke kelompok miskin. Pada
prinsipnya, ada dua jalur distribusi pendapatan dan kekayaan, yaitu distribusi
pendapatan fungsional yang tercermin dari kepemilikan faktor produksi, dan
distribusi melalui transfer pendapatan. Zakat merupakan suatu jenis distribusi yang
kedua, terutama jika zakat diberikan dalam bentuk uang tunai kepada mustahik.
Namun, jika zakat didistribusikan dalam bentuk faktor produksi kepada mustahik,
maka proses distribusi akan tersalurkan melalui peningkatan sumber pendapatan
fungsional mustahik, seperti meningkatnya upah atau laba usaha yang akan diterima
mustahik akibat zakat.
Prinsip dasar pemberian zakat adalah untuk memperbaiki taraf hidup umat yang
masih berada di bawah garis kemiskinan. Transfer pendapatan ini bertujuan
untuk meningkatkan daya beli orang miskin. Adapun sasaran zakat, yaitu antara
lain memperbaiki taraf hidup, pendidikan dan beasiswa, mengatasi masalah
ketenagakerjaan atau pengangguran, dan program pelayanan kesehatan. Sasaran

19 Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani, 2002, hlm. 26
20 Ahmad Moid U, Athar Mahmood ,”Zakat fund-concept and perspective”. Int. J. Monetary Economics and
Finance, Vol. 2, Nos. 3/4, 2009, hlm.197
21 Fathurrahman, Ayief, “Kebijakan Fiskal Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi Islam: Studi Kasus Dalam
Mengentaskan Kemiskinan”. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, Volume 13, Nomor 1, April 2012,
hlm. 78.
22 Yulizar D Sanrego, Moch. Taufik Fiqih Tamkin: Fiqih Pemberdayaan: Membangun Modal Sosial dalam
Mewujudkan Khairu Ummah. Jakarta: Qisthi Press, 2016, hlm. 40

89
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky Wibowo Optimalisasi Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Nasional di Tengah Covid-19

zakat untuk meningkatkan perbaikan taraf hidup tercermin dari meningkatnya


konsumsi para penerima zakat.23
Dalam perekonomian Islam, dua hal ini mendapatkan perhatian besar, yaitu
bagaimana agar faktor produksi tidak mengumpul pada sekelompok orang serta
rendahnya kesenjangan pendapatan. Dalam hal kepemilikan faktor produksi,
misalnya, Islam mengatur mengenai ketentuan pemilikan tanah, larangan menimbun
harta, pelarangan riba dan judi, dan semua itu akan membuat kesenjangan dalam
distribusi faktor produksi menurun. Pelarangan riba misalnya, akan berpengaruh
pada redistribusi pendapatan yang lebih adil antara pemodal dan pengusaha. Pada
saat yang sama, Islam juga memiliki instrumen distribusi transfer pendapatan,
seperti zakat, infak, hibah, wasiat dan wakaf.
Zakat memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi redistribusi pendapatan dan
fungsi redistribusi fungsional. Jika zakat dialokasikan dalam bentuk pembayaran
tunai, maka hal ini merupakan upaya redistribusi pendapatan personal dan akan
meningkatkan daya beli mustahik yang akan tercermin pada potensi meningkanya
permintaan. Sebaliknya, jika zakat didistribusikan dalam bentuk faktor produksi,
misalnya modal kerja atau fasilitas umum, maka zakat akan meningkatkan kapasitas
produksi mustahik yang pada saatnya akan meningkatkan penawaran atau produksi
oleh mustahik.

2. Optimalisasi Penghimpunan Dana Zakat Melalui Reformasi Regulasi


Menurut ajaran Islam, zakat sebaiknya di pungut oleh Negara dan atas nama pemerintah
yang bertindak sebagai wakil fakir miskin seperti firman Allah dalam QS. At-Taubah
Ayat 103.

               
  

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui (QS. At-Taubah Ayat 103).24
Pada ayat-ayat yang lalu telah disebutkan sikap sebagian kaum Muslimin yang
mencampuradukan antara perbuatan yang baik dan jelek, akan tetapi kemudian mereka
menyadari kesalahan mereka serta ingin menebus kembali kesalahan-kesalahan itu baik
dengan cara bertaubat maupun dengan bersedekah atau mengeluarkan zakat. Pada ayat
ini, Allah memerintahkan kepada Rosulullah mengambil sebagian harta dari pemiliknya
baik dalam bentuk sedekah maupun zakat, untuk disampaikan kepada yang berhak
menerimanya . Ayat ini juga member kabar gembira bahwa Allah akan menerima taubat
dan sedekah hamba-Nya yang benar-benar beriman dan ikhlas dalam beramal. 25

23 Maltuf Fitri, “Pengelolaan Zakat Produktifsebagai Instrumen Peningkatan Kesejahteraan Umat Economica”
Jurnal Ekonomi Islam Volume 8, Nomor 1, 2017, hlm. 166.
24 Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya jilid 4. Jakarta: Lenetera Abadi. Hlm, 199.
25 Ibid, hlm. 199

90
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky Wibowo Optimalisasi Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Nasional di Tengah Covid-19

Menurut riwayat Ibnu Jarir bahwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya yang mengikatkan
diri ditiang-tiang masjid datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “Ya Rasulullah,
inilah harta benda kami yang merintangi kami untuk turut berperang. Ambillah harta
itu dan bagi-bagikanlah, serta mohonkanlah ampun untuk kami atas kesalahan kami.”
Rasulullah menjawab, “Aku belum diperintahkan untuk menerima hartamu itu, maka
turunlah ayat ini.”26
Perintah Allah pada permulaan ayat ini ditujukan kepada Rasul-Nya, agar Rosulullah
sebagai pemimpin mengambil sebagian dari harta benda mereka sebagai sedekah atau
zakat. Ini untuk menjadi bukti kebenaran taubat mereka, karena sedekah atau zakat
tersebut akan membersihkan diri mereka dari dosa yang timbul karena mangkirnya
mereka dari peperangan dan untuk mensucikan diri mereka dari sifat “cinta harta”
yang mendorong mereka untuk mangkir dari peperangan itu. selain itu sedekah atau
zakat tersebut akan membersihkan diri mereka pula dari semua sifat-sifat jelek yang
timbul karena harta benda, seperti kikir, tamak, dan sebagainya. Oleh karena itu, Rasul
mengutus para sahabat untuk menarik zakat dari kaum Muslimin.27
Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha
untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.28
Pengelolaan zakat di Indonesia dapat dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS), Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan Unit Pengelola Zakat (UPZ). BAZNAS,
LAS, dan UPZ mempunyai tugas pokok untuk mengumpulkan, mendistribusikan dan
mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.29
Zakat merupakan satu-satunya ibadah yang dalam syariat islam secara eksplisit
dinyatakan ada petugasnya. Ada dua model pengelolaan zakat. Pertama, zakat dikelola
oleh negara dalam sebuah lembaga atau departemen khusus yang dibentuk oleh
pemerintah. Kedua, zakat yang dikelola oleh lembaga non-pemerintah (masyarakat)
atau semi pemerintah dengan mengacuh pada aturan yang telah ditentukan oleh negara.
Zakat dikelola oleh negara maksudnya, bukan untuk memenuhi keperluan negara,
seperti membiayai pembangunan dan biaya-biaya rutinitas lainya. Zakat dikelola
oleh negara untuk dikumpulkan dan dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
Jadi negara hanya sebagai fasilitator, untuk memudahkan dalam pengelolaan zakat
tersebut. Karena zakat berhubungan dengan masyarakat, maka pengelolaan zakat, juga
membutuhkan konsep-konsep manajemen agar supaya pengelolaan zakat itu bisa efektif
dan tepat sasaran.
Tujuan dari pengelolaan zakat di Indonesia adalah: 30
1. Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat;
2. Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan.
Pasal tersebut menggantikan ketentuan di dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang menyebutkan bahwa tujuan pengelolaan

26 ibid, hlm. 200.


27 ibid, hlm. 200.
28 Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
29 Berdasarkan Pasal 1 angka 7, angka 8, dan angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat.
30 Pasal 3 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

91
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky Wibowo Optimalisasi Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Nasional di Tengah Covid-19

zakat adalah meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai
dengan tuntunan agama, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam
upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial serta meningkatnya
hasil guna dan daya guna zakat.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa Negara Indonesia merupakan salah
satu negara yang memiliki mayoritas penduduknya adalah sebagai pemeluk agama
islam, bahkan menjadi negara yang dihuni olah umat islam terbesar didunia. Hal ini
tidak membuat Negara Indonesia menjadi negara yang menganut sistem Islam secara
menyeluruh, sehingga bukan zakat yang menjadi acuan untuk berbagi tetapi pajaklah
yang dijadikan acuan guna melakukan penarikan iuran kepada warganya. Berbeda
dengan pemeluk agama lain, umat islam di Indonesia bahkan memiliki kewajiban ganda
yaitu untuk membayar pajak serta menunaikan zakat pada setiap tahunnya.
Definisi atau pengertian pajak juga tertulis dalam Pasal 1 UndangUndang No. 28 tahun
2007, Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”.31
Reformasi peraturan perpajakan mengenai zakat dilakukan oleh pemerintah untuk
mendorong wajib pajak dan muzakki agar dapat menunaikan kewajiban membayar pajak
penghasilan dan zakat penghasilan dengan baik. Untuk mengatasinya pemerintah telah
melakukan integralisasiantara kewajiban pajak dan zakat. Pada Pasal 9 ayat (1) huruf g
Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan telah mengkomodir
zakat bahwa:
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam dalam
negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikunrangkandari harta yang dihibahkan,
bantuan atau sumbangan dan warisan,kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 6 ayat (1) huruf Isampai m serta zakat yang di terima oleh Badan Amil Zakat atau
LembagaAmil Zakat yang di bentuk atau disahkan oleh pemerintah atausumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yangdiakui di Indonesia, yang di
terima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.32
Termaktub pula dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang
pengelolaan Zakat menyatakan bahwa:
Zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat atau LembagaAmil Zakat
dapat dikurangkan dari laba atau pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang
bersangkutan. 33
Dari kedua undang-undang ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan zakat yang berlaku
di Indonesia saat ini yaitu zakat sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak (PKP).
Selama ini di kalangan ummat islam beredar anggapan yang salah, bahwa membayar

31 Pasal 1 UndangUndang No.28 tahun 2007


32 Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan.
33 Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang pengelolaan Zakat

92
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky Wibowo Optimalisasi Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Nasional di Tengah Covid-19

zakat dapat langsung mengurangi pajak yang akan di bayar. Namun sesungguhnya
tidak, sebagaimana keputusan Dirjen pajak Nomor KEP-163/PJ/2003 bahwa :
Zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri pemeluk agama islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang
dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat
yang di bentuk atau disahkan oleh pemerintah sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor
38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
Wajib Pajak badan atau penghasilan neto Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan
dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.34
Pajak dan Zakat merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh seorang muslim dalam
bernegara dan beragama, dengan demikian setiap warga negara Indonesia yang beragama
islam memiliki dua kewajiban terkait dengan harta yang dimiliki, yaitu membayar
zakat (selaku umat islam) dan membayar pajak (selaku warga negara) yang harus
dibayarkan setiap tahunnya. Hal ini dinilai memberatkan satu pihak yaitu umat islam,
mereka dibebani oleh dua kewajiban tersebut berbeda dengan umat agama lainnya.
Untuk mengatasinya dilakukan upaya titik temu antara pajak dan zakat sehingga kedua
kewajiban tersebut dapat dilaksanakan oleh ummat Islam tanpa memberatkannya.
Pemerintah membuat aturan yang dapat menjadi solusi bagi kewajiban ganda yaitu
zakat dan pajak yang dialami oleh ummat Islam Indonesia.
Namun dengan adanya dua aturan penarikan tersebut ternyata belum mampu
membebaskan masyarakatnya dari ancaman kemiskinan ataupun pengangguran yang
semakin menghawatirkan. Melihat potensi besar dari pendapatan perpajakan serta
banyaknya umat islam di indonesia pemerintah telah mengambil kebijakan bahwasanya
zakat dapat mengurangi biaya pembiayaran pajak seseorang yang mana hal tersebut
telah ditetapkan sebagai undang-undang. Salah satunya disebutkan pada pasal 22
undang-undang no.23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat yang berbunyi :
“Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari
penghasilan kena pajak”
Dengan kata lain setiap muzaki yang membayar zakat akan mendapatkan bukti setoran
zakat yang dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak dengan cara
dilampirkannya fotocopy bukti pembayaran.Peraturan pemerintah mengeluarkan PMK
No. 254/PMK.03/2010 pasal 1 ayat 1 yaitu tentang sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi wajib pajak orang pribadi, pemeluk agama selain agama Islam oleh wjaib
pajak dalam Negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam yang diakui
di Indoensia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk dan disahkan
oleh pemerintah.”
Mekanisme zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak adalah: Zakat sebagai
pengurang penghasilan kena pajak hanya berlaku bagi muzakki yang mempunyai
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Zakat yang dibayarkan kepada badan amil zakat
atau lembaga zakat akan mendapatkan bukti setor zakat dan bukti setor zakat akan
diperoleh setelah muzakki mempunyai Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ).

34 Keputusan Dirjen pajak Nomor KEP-163/PJ/2003

93
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky Wibowo Optimalisasi Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Nasional di Tengah Covid-19

Apabila muzakki ingin zakat yang dibayarkan mengurangi penghasilan kena pajak,
maka: Pertama, pada SPT Tahunan kolom 6 dituliskan jumlah zakat yang dibayarkan ke
BAZ dan LAZ; kedua, bukti setoran zakat lembar 1 disertakan sebagai lampiran SPT
Tahunan; ketiga, apabila ada kelebihan bayar pada SPT Tahunan akibat pembayaran
zakat maka zakat yang telah dibayar akan dikembalikan kepada wajib pajak.
Sejak adanya UU No. 36 Tahun 2008 tentang perubahan ke empat atas UU No. 7 Tahun
1983 tentang Pajak penghasilan. Yakni diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1,
dengan perubahannya yang berbunyi,
“Yang dikecualikan dari objek pajak adalah bantuan atau sumbangan, termasuk zakat
yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur berdasarkan Peraturan
Pemerintah”.35
Hal ini dikuatkan Pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh yaitu bagi Wajib Pajak dalam negeri
dan Bentuk Usaha Tetap (BUT), zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat atau
Lembaga Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dapat dikurangkan
dari PKP (Pengusaha Kena Pajak). dengan cara nilai tersebut dikurangi atas Penghasilan
Kena Pajak.
Beberapa peraturan mengenai zakat dan pajak diatas nyatanya masih perlu mendapat
perhatian sebab potensi zakat di Indonesia baru terhimpun 6 triliun36 dari 217 Triliun,
itu artinya hanya 0,2 persen pertahun. pemerintah harus belajar dari sistem pemungutan
pajak di Indonesia yang dirasa lebih efektif karena ada paksaan.
Seperti yang telah diketahui bahwa Pajak merupakan iuran kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terhutang menurut peraturan perUndang-Undangan tanpa mendapat
prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran
umum sehubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya dasar-dasar hukum pajak dan pajak
pendapatan yang di kutip oleh Apriliana: Pajak adalah iuran rakyat kepada penguasa
negara berdasarkan UndangUndang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat
jasa imbal (kontrprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.37
Secara konstitusional pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang sah
dan dikukuhkan dalam UUD 1945 pasal 23A, yang menyebutkan bahwa, pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara.38 Sebab pengumpulan
dan pengelolaan zakat pada zaman rasulullah dan para sahabat sangat mirip dengan
pengumpulan dan pengelolaan pajak yaitu dipungut langsung oleh negara yang bersifat
wajib seperti pajak.

35 Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan.
36 Data yang diolah dari BAZNAS. Bahkan dalam RAKORNAS Zakat 2019 di Solo Ketua BAZNAS Bambang
Sudibyo potensi zakat nasional tahun 2018 mencapai 230 Triliun atau sebesar 1,57 PDP.
37 Apriliana, “Analisis Komparatif Antara Perlakuan Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena pajak
Dengan Perlakuan Zakat Sebagai Pengurang Langsung Pajak Penghasilan”, hlm 31.
38 Pasal 23 A UUD 1945

94
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky Wibowo Optimalisasi Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Nasional di Tengah Covid-19

Pada saat ini korelasi zakat dan pajak hanya sebatas zakat dapat mengurangi pajak,
dengan ketentuan yang sangat rumit. hal itu menjadi salah satu faktor umat muslim
di Indonesia enggan membayarkan zakatnya. Untuk meminimalkan resistensi umat
muslim di Indonesia tentang ketentuan zakat dan pajak tersebut maka pemerintah perlu
memberikan insentif pajak yang baik yaitu dengan zakat yang telah di bayarkan kepada
negara menggantikan kewajiban pajak penghasilan.
Jika itu diterapkan, ditengan wabah covid-19 diharapkan potensi zakat di Indonesia
akan meningkat drastis dari potensi yang diperkirakan saat ini. Regulasi terebut juga
mengakibatkan kewajiban umat muslim Indonesia terbayarkan semua, kewajiban
negara, dan kewajiban ilahiyah sebagai wujud dari ketakwaan kepada kepada tuhan
yang Maha Esa. Sebagai konsekuensi yuridisnya adalah mengamandemen Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.

D. SIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat ditarik simpulan bahwa, melalui pengelolaan dana
zakat menjadi zakat produktif, penyaluran dana zakat yang tepat sasaran serta optimalisasi
penghimpunan dana zakat dengan perbaikan regulasi diharapkan pemerataaan ekonomi
nasional di tengah pandemi global covid-19 dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Asnaini, S. Zakat Produktif dalam Perspektif Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya jilid 1. Jakarta: Lentera Abadi, 2010.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya jilid 4. Jakarta: Lenetera Abadi, 2010.
Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani, 2002
Mamudji, Sri, Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah, Jakarta: UI Press, 2006
Rahardjo, Dawam, Persfektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, Bandung : Mizan,
1987
Sanrego, Yulizar D, Moch. Taufik Fiqih Tamkin: Fiqih Pemberdayaan: Membangun Modal
Sosial dalam Mewujudkan Khairu Ummah. Jakarta: Qisthi Press, 2016
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Tinjauan Singkat , Jakarta :
Rajawali Pers, 2006.

Jurnal
Ahmad Moid U, Athar Mahmood ,”Zakat fund-concept and perspective”. Int. J. Monetary
Economics and Finance, Vol. 2, Nos. 3/4, 2009

95
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky Wibowo Optimalisasi Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Pembangunan
Ekonomi Nasional di Tengah Covid-19

Amalia, Kasyful Mahalli “Potensi Dan Peranan Zakat Dalam Mengentaskan Kemiskinan Di
Kota Medan”, Jurnal Ekonomi Dan Keuangan, Vol. 1, No.1, Desember 2012
Andi Bahri. S, Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Kesejahteraan Ummat, Jurnal
Studi Ekonomi Dan Bisnis Islam, Volume I, Nomor 2, Desember 2016
Apriliana, “Analisis Komparatif Antara Perlakuan Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena
pajak Dengan Perlakuan Zakat Sebagai Pengurang Langsung Pajak Penghasilan”
Fathurrahman, Ayief, “Kebijakan Fiskal Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi Islam: Studi
Kasus Dalam Mengentaskan Kemiskinan”. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan,
Volume 13, Nomor 1, April 2012
Maltuf Fitri, “Pengelolaan Zakat Produktifsebagai Instrumen Peningkatan Kesejahteraan Umat
Economica” Jurnal Ekonomi Islam Volume 8, Nomor 1, 2017
Wibowo Hadiwardoyo, Kerugian Ekonomi Nasional Akibat Pandemi Covid-19 ,Baskara :
Journal of Business and Entrepreneurship, Volume 2 No. 2 April 2020.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan.
UndangUndang No.28 tahun 2007
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang pengelolaan Zakat
UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan.
UUD 1945
Keputusan Dirjen pajak Nomor KEP-163/PJ/2003
Keputusan Menteri Agama RI No.373 tahun 2003 tentang pengelolaan dana zakat

Data Elektronik
baznas.co.id
http://m.cnnindonesia.com/nasional/20200302111534-20-4479660/jokowi-umumkan-dua-wni-
positif-corona-di-indonesia,

96
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Fitriyah Siti Aisyah Penggunaan Digital Signature dalam Pembiayaan Syariah untuk
Pembangunan Ekonomi Berwawasan Protokol Kesehatan Covid-19

PENGGUNAAN DIGITAL SIGNATURE DALAM PEMBIAYAAN


SYARIAH UNTUK PEMBANGUNAN EKONOMI BERWAWASAN
PROTOKOL KESEHATAN COVID-19
Fitriyah Siti Aisyah, Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan digital signature dalam pembiayaan
syariah untuk pembangunan ekonomi berwawasan protokol kesehatan, melalui penelitian
normatif deskriptif dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Bahwa sepanjang
informasi atas digital signature dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga dapat menerangkan suatu keadaan sebenarnya, maka digital
signature merupakan alat bukti hukum yang sah. Tatacara penggunaan digital signature dalam
pembiayaan syariah, penerapan akad-akad syariah yang digunakan, jaminan kepatuhan syariah
serta perlindungan dokumen elektronik menjadi kewenangan dan tanggungjawab lembaga
keuangan syariah. Penggunaan digital signature dalam pembiayaan syariah dimaksudkan
untuk memberikan stimulus pembiayaan ditengah wabah covid-19 kepada nasabah tetapi tetap
berwawasan protokol kesehatan covid-19 dengan mengurangi kontak langsung face to face.
Kata Kunci: Digital Signature, Pembiayaan Syariah, Pembangunan Ekonomi

A. PENDAHULUAN
Kegiatan ekonomi saat ini dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi, baik secara perorangan
maupun badan-badan usaha yang berkedudukan sebagai badan hukum maupun bukan badan
hukum. Karena di bidang ekonomi, hubungan hukum di masyarakat selalu mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Pada umumnya dalam bidang perekonomian,
berbagai hubungan hukum selalu didasarkan pada perjanjian. Semakin berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi serta munculnya era digitalisasi, maka hubungan hukum
perjanjian pun senantiasa berkembang yang sangat berpengaruh pada perekonomian,
khususnya dibidang bisnis. Perjanjian elektronik menjadi salah satu perjanjian yang sering
dilakukan masyarakat saat ini.
Kegiatan Penggunaan digital signature atau tandatangan elektronik dalam perjanjian pada
dasarnya telah marak dilakukan oleh masyarakat, tandatangan elektronik yang selanjutnya
disebut digital signature memang telah banyak diminati oleh para pihak yang melakukan
perjanjian. Terutama para pihak yang membutuhkan ke praktisan untuk melakukan transaksi,
apalagi ditengah pandemi global covid-19 yang mengharuskan adanya pembatasan interaksi
tatap muka langsung.
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi secara digital di tengah wabah covid-19, menuntut
masyarakat untuk terus mengembangkan berbagai inovasi dalam penyediaan layanan
(service) dalam berbagai bidang, salah satu diantaranya yaitu inovasi penggunaan digital
signature untuk mencegah penyebaran dan penularan virus covid-19. Penyediaan layanan
tersebut dinilai mampu turut berkontribusi terhadap pembangunan perekonomian nasional
ditengah wabah covid-19. Penggunaan digital signature dalam perjanjian ini membantu

97
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Fitriyah Siti Aisyah Penggunaan Digital Signature dalam Pembiayaan Syariah untuk
Pembangunan Ekonomi Berwawasan Protokol Kesehatan Covid-19

masyarakat untuk mencapai efektifitas terhadap berbagai produk transaksi perjanjian tanpa
harus bertatap muka secara langsung (face to face).
Sektor ekonomi merupakan hal yang sangat vital suatu negara, tidak sedikit negara yang jatuh
dan hancur berawal dari keterpurukan ekonomi masyarakatnya oleh karenanya perlu adanya
instrumen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pertumbuhan ekonomi
adalah hal terpenting suatu negara untuk lepas dari kemiskinan dan ketertinggalan. Secara
signifikan pertumbuhan ekonomi berpengaruh pada penurunan jumlah kemiskinan, sehingga
pertumbuhan ekonomi menjadi kekuatan besar suatu negara untuk menekan angka kemiskinan.
Sumber daya manusia (SDM) menjadi subjek penting dalam rangka terlaksananya rencana
pembangunan ekonomi jangka panjang suatu negara. Tanggal 2 Maret 2020 presiden Joko
Widodo mengumumkan bahwa ada dua Warga Negara Indonesia Positif corona di Indonesia1,
itu menjadi tanda awal masuknya pandemi virus corona atau covid-19 di indonesia yang
sangat berdampak di beberapa sektor termasuk ekonomi yang terdampak sangat hebat.
Bangsa indonesia saat ini dihadapkan dengan situasi yang mengharuskan atau memaksa
sumber daya manusia untuk terbiasa dan mulai beradaptasi pada pandemi global covid-19
(corona virus disease 2019). Saat ini pengobatan maupun vaksin yang belum ditemukan
di prediksi memperpanjang masa pandemi global ini, sehingga suatu negara harus siap
menghadapi tantangan tersebut dengan menerapkan kenormalan baru (new normal) pada
kehidupan masyarakatnya. Kesehatan, ekonomi dan sosial merupakan ketiga aspek yang
harus berjalan saling berdampingan agar mencapai tujuan pembangunan nasional yang
diharapkan, maka kebijakan percepatan penanganan covid-19 ini harus dilakukan sesuai
protokol kesehatan.
Inovasi penggunaan digital signature dapat mengurangi resiko pergerakan orang untuk
berkumpul di suatu tempat atau fasilitas umum sehingga penularan covid-19 dapat di
kendalikan atau diminimalisir. Agar roda perekonomian tetap berjalan, maka perlu langkah
langkah kongkrit penerapan kenormalan baru diantaranya pemanfaatan teknologi elektronik
untuk melakukan pengajuan stimulus pembiayaan di lembaga keuangan syariah.
Dari pembahasan diatas, bahwa survival ditingkat individu dan entitas usaha menjadi
kunci menyehatkan kembali ekonomi nasional ditengah wabah covid-19.2 Oleh karena itu
segenap upaya harus dikerahkan oleh suatu negara, termasuk memberikan stimulus dana
melalui pembiayaan syariah, agar sektor usaha kerakyatan tidak kollaps dimasa krisis, tetap
memiliki penghasilan yang memadai dan dapat produktif, serta dimasa transisi kenormalan
baru bisnis dapat terus berjalan. Maka dengan penerapan verifikasi data berupa dokumen
pendukung beserta informasinya tanpa harus bertatap muka (face to face), diharapkan
seluruh pelaksanaan digital signature dalam perjanjian syariah dapat berlangsung atau
dilaksanakan dengan menggunakan sistem elektronik. Digital signature dirancang guna
memberikan berbagai macam kemudahan dalam hal Pengajuan Pembiayaan Syariah.
Kemudahan yang ditawarkan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memfasilitasi para
pihak yang akan melakukan pembiayaan syariah tetapi tetap dengan menerapkan protokol
kesehatan covid-19.

1 CNN Indonesia, “Jokowi Umumkan Dua WNI Positif Corona di Indonesia”, http://m.cnnindonesia.com/
nasional/20200302111534-20-4479660/jokowi-umumkan-dua-wni-positif-corona-di-indonesia, diakses 8
Agustus 2020.
2 Wibowo Hadiwardoyo, “Kerugian Ekonomi Nasional Akibat Pandemi Covid-19”, Baskara: Journal Of
Business An Intrepreneurship, Volume 2 No. 2 April 2020, hlm. 90

98
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Fitriyah Siti Aisyah Penggunaan Digital Signature dalam Pembiayaan Syariah untuk
Pembangunan Ekonomi Berwawasan Protokol Kesehatan Covid-19

B. METODE PENELITIAN
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum (normatif) dengan
sifat deskriptif analitis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan, konseptual, sejarah dan kasus.
2. Data dan Sumber Data
Dalam penelitian hukum normatif tidak dikenal adanya data, sebab penelitian hukum
khususnya yuridis normatif sumber penelitian hukum diperoleh dari kepustakaan bukan
lapangan, untuk itu istilah yang dikenal adalah bahan hukum. Dalam penelitian hukum
normatif bahan pustaka merupakan bahan dasar yang dalam ilmu penelitian umumnya
disebut bahan hukum sekunder. Dalam bahan hukum sekunder terbagi menjadi bahan
hukum primer dan sekunder yaitu:3
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan-undangan yang berkaitan dengan penelitian
yang dilakukan oleh peneliti.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang digunakan untuk memberikan
penjelasan terkait bahan hukum primer, berupa literatur yang berkaitan dengan
penelitian yang dilakukan.4
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian library research (penelitian kepustakaa)
adalah teknik dokumenter, yaitu di kumpulkan dari telaah arsip atau studi pustaka
seperti mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya ilmiah, artikel-
artikel, serta sumber bacaan lainya yang ada hubungannya dengan permasalahan yang
diteliti berdasarkan bahan hukum skunder yang diperoleh.
4. Teknik Analisis Data
Adapun dalam menganalisa data ini, penulis menggunakan sistem analisa induktif,
yaitu cara berfikir yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus
dan kongkrit, kemudian ditarik kesimpulan yang mempunyai sifat umum.

C. PEMBAHASAN
Hukum Positif Indonesia belum pernah memberikan penjelasan yang sesungguhnya
terhadap definisi kata signature. Tanda tangan atau signature memiliki fungsi dasar, yaitu :
pertama, sebagai tanda indentitas penandatanganan. Kedua, sebagai tanda persetujuan dari
penandatangan atas hak dan kewajiban yang melekat pada akta yang ditandatangani. Dari
kedua fungsi tersebut, maka arti dari signature adalah tanda persetujuan terhadap hak-hak
dan kewajiban yang melekat pada sebuah akta.5
Digital signature merupakan suatu identitas elektronik yang berfungsi sebagai tanda
persetujuan terhadap kewajiban-kewajiban yang melekat pada sebuah akta elektronik. Jadi

3 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali
Pers, hlm.23
4 Sri Mamudji, Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah, Jakarta: UI Press, 2006, hlm. 12
5 Baehaki Syakbani, Sumarni, “Kekuatan Pembuktian Dokumen Elektronik Dengan Tanda Tangan Elektronik
Dalam Proses Persidangan Perdata”, Jurnal Valid , Vol. 10 No. 4, Oktober 2013, hlm. 64

99
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Fitriyah Siti Aisyah Penggunaan Digital Signature dalam Pembiayaan Syariah untuk
Pembangunan Ekonomi Berwawasan Protokol Kesehatan Covid-19

Digital signature adalah sebuah pengaman pada data digital yang dibuat dengan kunci tanda
tangan pribadi, yang penggunaanya terkantung pada kunci publik yang menjadi pasangannya.
Pengertian Digital signature berdasarkan pada Pasal 1 Ayat (12) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, yang artinya adalah tandatangan
yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan
informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.6
Digital signature adalah merupakan tanda tangan yang dibuat secara virtual, akan tetapi
mempunyai fungsi yang sama dengan tanda tangan biasa. Fungsi dari signature atau tanda
tangan adalah untuk menyatakan dengan sesungguhnya bahwa orang yang tertera pada
suatu dokumen setuju dengan apa yang tercantum pada dokumen yang di tanda tangani
tersebut. Maka tujuan tanda tangan pada dokumen elektronik untuk memastikan persetujuan
atau autentisitas dari dokumen yang telah di tanda tangani.7
Di Indonesia dokumen elektronik yang ditandatangani dengan digital signature, diakui
esensi dalam pembuktiannya setelah diatur di dalam UU ITE8 yang menyatakan bahwa
dokumen elektronik maupun hasil elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah, sebagai
perluasan dari alat bukti menurut hukum acara di Indonesia.9 Berdasarkan Pasal 184 KUHAP
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) alat bukti terdiri dari surat, keterangan saksi,
keterangan dan petunjuk terdakwa, serta keterangan ahli. Alat bukti yang sah menurut Pasal
164 HIR dan Pasal 284 RBg terdiri dari bukti dengan saksi, bukti tulisan, pengakuan dan
sumpah, serta persangkaan-persangkaan. Maka dari itu, alat bukti yang berupa dokumen
elektronik yang mengandung informasi elektronik menjadi alat bukti tambahan yang sah
menurut undang-undang ITE.
Dibandingkan dengan tanda tangan biasa, digital signature dapat menjamin keamanan
data yang lebih mumpuni. Sebab penerimaan pesan yang diverifikasi dengan tanda tangan
elektronik, secara otomatis dapat memberikan informasi tentang validitas suatu pesan
yang diterima adalah benar-benar berasal dari pengirim yang sah secara hukum. Selain
itu, pembubuhan tanda tangan elektronik juga mampu menunjukkan informasi tentang
data yang di ubah setelah di tanda tangani, baik hal itu dilakukan secara sengaja atau tidak
sengaja. Sesuai dengan fungsinya, digital signature dapat menjadi alat untuk menjaga
autentitas suatu dokumen yang dikirimkan melalui media internet.10 Suatu dokumen
elektronik yang kemudian disebut informasi elektronik dapat di akui sah secara hukum,
apabila sistem pengaman yang digunakan dapat dipertanggung jawabkan dan memenuhi
minimal persyaratan sebagai berikut:11
1. Mampu menampilkan kembali secara utuh informasi dan/atau dokumen elektronik
berdasarkan masa retensi yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
2. Mampu melindungi informasi elektronik meliputi keautentikan, kerahasiaan, keutuhan,
dan ketersediaan informasi dari penyelenggaraan sistem informasi tersebut.

6 Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
7 Rehulina Sitepu, “Keabsahan Digital Signature dalam Perjanjian E-Commerce Digital Signature Insurance
in E-Commerce Agreement”, Doktrina: Journal of Law, 1 (1) April 2018, hlm. 48
8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
9 Hal tersebut berdasarkan ketentuan pada Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.
10 Rehulina Sitepu, Keabsahan Digital Signature dalam, Op.cit.,hlm. 51.
11 Ibid,hlm. 52.

100
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Fitriyah Siti Aisyah Penggunaan Digital Signature dalam Pembiayaan Syariah untuk
Pembangunan Ekonomi Berwawasan Protokol Kesehatan Covid-19

3. Penyelenggaraan sistem informasi elektronik tersebut sesuai dengan prosedur dan


petunjuk.
4. Penyelenggaraan sistem informasi elektronik harus dilengkapi dengan petunjuk dan
prosedur yang diumumkan melalui simbol, bahasa, atau informasi yang dapat dipahami
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaharuan, kejelasan, dan
tanggung jawab prosedur atau petunjuk.
Digital signature pada dokumen elektronik mempunyai kekuatan pembuktian yang dapat
dikategorikan sebagai bukti tertulis, tetapi dokumen elektronik juga bisa menjadi alat bukti
yang tidak berlaku apabila: 12
1. Apabila berdasarkan Undang-Undang surat harus dibuat secara tertulis.
2. Berdasarkan Undang-Undang, surat beserta dokumennya harus dibuat oleh pejabat
umum pembuat akta notariil.
Kekuatan pembuktian dokumen elektronik tersebut sama kekuatannya dengan akta otentik
yang dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang.13 Tetapi bisa juga
dikatakan bahwa kekuatan pembuktian dari dokumen elektronik tersebut hanyalah akta
dibawah tangan14, mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya
atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak. Jika salah satu pihak tidak mengakuinya,
beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut.15
Kekuatan pembuktian dokumen elektronik dapat disamakan dengan akta otentik
dikarenakan suatu dokumen elektronik yang telah ditanda tangani secara elektronik berarti
telah di verifikasi dan di autentikasi. Berangkat dari pemahaman bahwa dokumen elektronik
mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti, maka digital signature dalam dokumen
elektronik wajib diakui mempunyai kekuatan hukum dan akibat hukum yang sama dengan
tanda tangan biasa. Digital signature menggunakan teknologi yang memungkinkan bahwa
terdapat suatu bukti bahwa dokumen elektronik tersebut merupakan kehendak sendiri dari
pemegang tanda tangan.
Dokumen elektronik dalam perjanjian yang di tanda tangani secara elektronik mempunyai
kekuatan hukum sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 dan 2 UU ITE, yang disebutkan bahwa
dokumen elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan alat
bukti sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku. Kedudukan hukum pembuktian
digital signature terdapat pada Pasal 11 UU ITE yang dijelaskan bahwa tanda tangan
elektronik (digital signature) mempunyai kekuatan dan akibat hukum yang sah.16
Dari penjelasan diatas dokumen elektronik yang di tanda tangani melalui digital signature,
pasca di keluarkan UU ITE merupakan perluasan dari pembuktian hukum acara. Sehingga

12 Arsyad Sanusi, E-Commerce, Hukum dan Solusinya, Bandung: Citra Aditia, 2002, hlm. 23.
13 Hal tersebut sesuai dengan Pasal 18 Jo. Pasal 7 Jo. Pasal 11 UU No. 11 Tahun 2008 yang mengatakan
bahwa transaksi elektronik yang dituangkan dalam dokumen elektronik menimbulkan hak dan kewajiban
yang mengikat para pihak, asalkan ditanda tangani sesuai dengan peraturan yang berlaku.
14 Akta dibawah tangan adalah akta yang di buat tanpa perantara, tidak melalui perantara dan tanpa di hadapan
pejabat umum yang berwenang sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
15 Rehulina Sitepu, Keabsahan Digital Signature dalam, Op.cit.,hlm. 52.
16 Bayu Ardwiansyah, “Keabsahan Penggunaan Tanda Tangan Elektronik Sebagai Alat Bukti Menurut
Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”, Lex Privatum,
Vol. V/No. 7/Sep/2017, hlm. 89.

101
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Fitriyah Siti Aisyah Penggunaan Digital Signature dalam Pembiayaan Syariah untuk
Pembangunan Ekonomi Berwawasan Protokol Kesehatan Covid-19

seluruh transaksi melalui elektronik yang menggunakan digital signature dianggap sebagai
akta, bahkan kekuatan pembuktiannya seperti akta otentik dibuat oleh dan/atau pejabat
umum yang berwenang.
Protokol kesehatan yang ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
nampaknya harus dijadikan wawasan dalam memformulasikan kebijakan dalam
pembangunan ekonomi dimasa adaptasi virus covid-19 menuju kehidupan baru yang sehat.
Untuk memutus mata rantai penularan covid-19 masyarakat dihimbau memainkan peran
penting agar tidak menimbulkan cluster baru ditempat-tempat yang sering terjadi interaksi
antar orang. Masyarakat harus beradaptasi pada kebiasaan baru atau new normal dengan
menerapkan protokol kesehatan untuk dapat beraktivitas kembali dalam situasi pandemi
covid-19.
Kebiasaan hidup sehat, lebih bersih, dan lebih taat terhadap anjuran pemerintah harus
dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Pada prinsipnya penularan covid-19 terjadi
melalui droplet yang mengandung virus covid-19 yang dapat menginfeksi tubuh manusia
melalui hidung, mulut, dan mata. Sehingga perlu perlindungan kesehatan individu melalui
beberapa tindakan:17
1. Memakai APD (Alat Pelindung Diri) berupa masker apabila keluar rumah dan
berinteraksi dengan orang yang memungkinkan dapat menularkan virus covid-19, serta
dianjurkan untuk menggunakan masker 3 lapis apabila masker tersebut berbahan dasar
kain.
2. Mencuci tangan menggunakan sabun dengan air mengalir atau menggunakan
handsanitizer secara teratur, dan selalu menghindari, menyentuh hidung mata dan mulut.
3. Untuk menghindari droplet maka masyarakat harus menjaga jarak minimal 1 meter,
serta menghindari kerumunan, keramaian, dan berdesakan.
4. Jika tidak memungkinkan untuk melakukan hal-hak diatas, maka harus dilakukan
berbagai rekayasa administrasi dan teknis lainnya.
Dari paradigma protokol kesehatan covid-19 diatas, maka nampaknya rekayasa dalam
pembangunan ekonomi dimasa pandemi covid-19 harus dilakukan untuk mencegah
penularan covid-19, salah satu upaya yang harus dilakukan adalah pemanfaatan teknologi
informatika. Sektor keuangan syariah memainkan peran penting untuk mendongkrak
pertumbuhan ekonomi ditengah wabah pandemi covid-19. Hal tersebut dikarenakan
lembaga keuangan syariah dapat memobilisasi dari pihak yang mengalami surplus modal
kepada berbagai sektor ekonomi yang membutuhkan pembiayaan syariah untuk kembali
menghidupkan sektor-sektor produktif di Indonesia. Semakin banyak pembiayaan sektor-
sektor riil produktif maka akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Penggunaan digital signature dalam pengajuan pembiayaan syariah memberikan pilihan-
pilihan kepada nasabah maupun lembaga keuangan syariah mengenai skema akad
pembiayaan yang digunakan. Penerapan skema penggunaan digital signature yang dilakukan
oleh lembaga keuangan syariah harus memperhatikan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, agar lembaga keuangan dapat memberikan pelayanan yang maksimal serta
perlindungan dan kepastian hukum bagi nasabah.

17 Surat Keputusan MENKES RI No. Hk. 01.07/Menkes/382/2020 Tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat
Di Tempat Dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019
(Covid-19)

102
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Fitriyah Siti Aisyah Penggunaan Digital Signature dalam Pembiayaan Syariah untuk
Pembangunan Ekonomi Berwawasan Protokol Kesehatan Covid-19

Penggunaan digital signature dalam pembiayaan syariah merupakan suatu rekayasa


pembangunan ekonomi yang harus dilakukan dalam upaya pencegahan penularan virus
covid-19. Apabila sektor keuangan syariah tumbuh secara baik maka akan semakin banyak
sumber-sumber pembiayaan yang dapat dialokasikan ke sektor-sektor produktif. Semakin
bertambahnya dan kembali hidupnya sektor-sektor produktif akan berkontribusi positif
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Lembaga keuangan syariah merupakan lembaga keuangan yang menekankan pada
peningkatan produktivitas melalui pembiayaan sektor riil, sehingga sektor keuangan dan
sektor riil bergerak seimbang. Bisnis syariah merupakan suatau bisnis yang tidak jauh beda
dengan bisnis konvensional, yang membedakan adalah bisnis syariah menekankan pada
aspek-aspek syariah yang merupakan perwujudan dari syariat Allah SWT. Pada dasarnya
bisnis syariah berupaya mengusahakan atau memproduksi barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan manusia, tetapi dalam pelaksanaannya harus memenuhi syariat dan ketentuan
bermuamalah seperti nilai-nilai keimanan (tauhid), keadilan (‘adl), kenabian (nubuwwah),
kepemimpinan (khilafah) dan hasil (ma’ad). 18
Skema pemilihan akad dalam pembiayaan syariah yang menggunakan digital signature
tergantung pada kebutuhan produk-produk pembiayaan syariah di lembaga keuangan
syariah. Hingga saat ini belum ada aturan yang detail mengenai digital signature untuk
pembiayaan di lembaga keuangan syariah. Saat ini pelaksanaan transaksi syariah di lembaga
keuangan syariah wajib tunduk pada peraturan penyelenggaraan layanan berbasis syariah,
yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI), dan lembaga lainnya yang diatur menurut perundang-undangan.
Hingga saat ini OJK maupun DSN-MUI belum menerbitkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan
maupu Fatwa DSN-MUI sebagai payung hukum penyelenggaraan layanan digital signature
untuk pengajuan pembiayaan syariah. Tetapi menurut POJK Nomor 77/POJK.01/2016
layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi (Fintecht) dengan skema menggunakan
akad-akad syariah diperbolehkan, hal itu menjadi dasar penyelenggaraan layanan pinjaman
berbasis teknologi informasi (Fintecht). Dilain pihak DSN-MUI mengeluarkan Fatwa DSN-
MUI Nomor 117/DSN-MUI/II/2018 Tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi
Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah yang menjadi dasar yang mengakomodir pembiayaan
berdasarkan teknologi informasi (Fintecht).
Dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 117/DSN-MUI/II/2018 Tentang Layanan Pembiayaan
Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah, lembaga keuangan syariah
hanya sebagai penghubung antar perusahaan pemberi pembiayaan syariah dan penerima
pembiayaan syariah dan kepatuhan terhadap prinsip syariah menjadi kewajiban lembaga
keuangan syariah dalam menjalankan pembiayaan berdasarkan akad-akad syariah. Pedoman
umum layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi (Fintecht) menurut fatwa ini adalah
sebagai berikut: 19
1. Layanan pembiayaan syariah berbasis teknologi informasi (Fintecht) harus berjalan
sesuai dengan prinsip syariah, sehingga terhindar dari maysir, riba, tadlis, gharar, dan
zuhlm, serta hal-hal di haramkan lainnya.

18 Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Wali Pers, 2007, hlm. 14.
19 Fatwa Dewan Syariah Nasional majelis Ulama Indonesia No 117/DSN-MUI/II/2018 Tentang Layanan
Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah

103
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Fitriyah Siti Aisyah Penggunaan Digital Signature dalam Pembiayaan Syariah untuk
Pembangunan Ekonomi Berwawasan Protokol Kesehatan Covid-19

2. Penggunaan kontrak baku (akad baku) harus memenuhi prinsip-prinsip keadilan,


keseimbangan, serta kewajaran sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Penggunaan akad-akad dalam layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi
(Fintecht) berupa akad-akad yang selaras dengan pembiayaan syariah diantaranya
adalah mudharabah, musyarakah, ijarah, al-ba’i, qard, maupun wakalah bil ujrah.
4. Penggunaan tanda tangan elektronik dalam dokumen elektronik wajib dilaksanakan
wajib terjamin faliditas dan autentikasinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
5. Dalam penyelenggaraan pembiayaan berbasis teknologi informasi (Fintecht) dapat
dikenakan biaya (ujrah) terhadap penyediaan layanan.
6. Apabila pembiayaan atau jasa yang ditawarkan melalui elektronik berbeda dengan
kenyataan aslinya, maka pihak-pihak yang dirugikan mempunyai hak untuk tidak
melanjutkan atau membatalkan kesepakatan.
Implementasi penggunaan digital signature dalam pembiayaan syariah dapat diilustrasikan
pada penggunaan akad Wakalah Bil Ujrah dan akad Murabahah yang diterapkan oleh
pihak penyelenggara layanan pembiayaan berbasis syariah. Dalam pengajuan pembiayaan
berbasis syariah yang menggunakan digital signature, nasabah sebelumnya harus sudah
menjadi nasabah pada lembaga keuangan syariah yang menyediakan layanan tersebut.
Untuk mempermudah pengajuan dapat menggunakan aplikasi atau sistem informasi yang
langsung dapat memverifikasi data dari nasabah melalui E-KTP dan digital signature tanpa
perlu tatap muka kembali. Dalam pengajuan pembiayaan syariah menggunakan digital
signature nasabah diuntungkan dengan proses yang cepat tanpa perlu datang kembali ke
lembaga keuangan, sedangkan lembaga keuangan mendapatkan ujrah dan bagi hasil atas
pembiayaan berbasis syariah tersebut.20
Dalam penyelenggaraan digital signature perlindungan bagi pengguna layanan harus sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah. Untuk itu perlu kepatuhan syariah (syariah compliance)
di lembaga keuangan syariah yang kewenangannya berada pada Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang kemudian direpresentasikan dengan adanya
Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus ada di setiap lembaga keuangan syariah
penyelenggara layanan digital signature. Dalam pembiayaan tersebut harus tercipta dan
terpenuhi prinsip-prinsip syariah serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku termasuk moral dan etika dalam penyelenggaraannya.21
Melalui pola pembiayaan syariah yang memanfaaatkan teknologi informasi diatas maka
diharapkan sektor riil produktif dan sektor keuangan syariah akan seimbang bergerak di masa
adaptasi kebiasaan baru covid-19. Wawasan protokol kesehatan covid-19 harus dijadikan
paradigma baru upaya mendongkrak kembali pertumbuhan ekonomi di Indonesia.22 Inovasi
digital signature atau tanda tangan elektronik pada pembiayaan syariah di masa adaptasi
kebiasaan baru seperti yang telah diuraikan diatas, maka diharapkan mampu menyehatkan
kembali kondisi ekonomi nasional. Melalui pembiayaan-pembiayaan produktif sektor riil

20 Trisadini UP dan Abdul Shomad, Hukum Perbankan, Surabaya: FH- UNAIR, 2015. Hlm. 60
21 Aulia Delvina, “Penggunaan Tanda Tangan Elektronik Dalam Pengajuan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip
Syariah”, Jurnal Akuntansi Bisnis Dan Ekonomi, Vol. 5 No. 1, Maret 2019, hlm. 1117
22 Wibowo Hadiwardoyo, Kerugian Ekonomi Nasional Akibat Pandemi Covid-19 ,Baskara : Journal of
Business and Entrepreneurship, Volume 2 No. 2 April 2020, hlm. 90

104
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Fitriyah Siti Aisyah Penggunaan Digital Signature dalam Pembiayaan Syariah untuk
Pembangunan Ekonomi Berwawasan Protokol Kesehatan Covid-19

dan segala upaya termasuk memberikan upaya stimulus dana pada sektor usaha kerakyatan,
maka masyarakat mampu produktif dan memiliki penghasilan yang memadai serta sektor
bisnis dapat terus berjalan di masa transisi kenormalan baru ini.

D. SIMPULAN
Sepanjang informasi yang tercantum di dalam Digital signature dapat diakses, ditampilkan,
keutuhannya dijamin, serta dapat dipertanggungjawabkan dan mampu menerangkan suatu
keadaan yang sebenarnya, maka dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah. Ditengah wabah
covid-19, penggunaan digital signature dalam pembiayaan syariah di lembaga keuangan
syariah merupakan bentuk pencegahan adanya contak langsung face to face dalam upaya
pembangunan ekonomi berwawasan protokol kesehatan covid-19. Pembiayaan syariah
menggunakan digital signature dalam pengajuannya didasarkan pada akad-akad yang sesuai
syariah, akad yang digunakan untuk mengakomodir hubungan hukum tersebut dipilih oleh
para pihak sesuai dengan akad-akad syariah, penyelenggara layanan pembiayaan syariah
menggunakan digital signature pembiayaan wajib memberikan jaminan kepatuhan syariah
serta perlindungan bagi pengguna layanan pembiayaan.

DAFTAR PUSTAKA
Ardwiansyah, Bayu, “Keabsahan Penggunaan Tanda Tangan Elektronik Sebagai Alat Bukti
Menurut Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik”, Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017.
Sanusi, Arsyad, E-Commerce, Hukum dan Solusinya, Citra Aditia, Bandung, 2002.
Devina, Aulia, “Penggunaan Tanda Tangan Elektronik Dalam Pengajuan Pembiayaan
Berdasarkan Prinsip Syariah”, Jurnal Akuntansi Bisnis Dan Ekonomi, Vol. 5 No. 1, Maret
2019.
Hadiwardoyo, Wibowo, “Kerugian Ekonomi Nasional Akibat Pandemi Covid-19”, Baskara:
Journal of Business and Entrepreneurship, Volume 2 No. 2 April 2020.
Mamudji, Sri, Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah, Jakarta: UI Press, 2006
Mujahidin, Akhmad, Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Wali Pers, 2007
Sitepu, Rehulina, “Keabsahan Digital Signature dalam Perjanjian E-Commerce Digital Signature
Insurance in E-Commerce Agreement”, Doktrina: Journal of Law, 1 (1) April 2018
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Tinjauan Singkat , Jakarta :
Rajawali Pers, 2006.
Syakbani, Baehaki, Sumarni, “Kekuatan Pembuktian Dokumen Elektronik Dengan Tanda
Tangan Elektronik Dalam Proses Persidangan Perdata”, Jurnal Valid , Vol. 10 No. 4,
Oktober, 2013.
Trisadini UP dan Abdul Shomad, Hukum Perbankan, Surabaya: FH- UNAIR, 2015.
Fatwa Dewan Syariah Nasional majelis Ulama Indonesia No 117/DSN-MUI/II/2018 Tentang
Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah

105
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Fitriyah Siti Aisyah Penggunaan Digital Signature dalam Pembiayaan Syariah untuk
Pembangunan Ekonomi Berwawasan Protokol Kesehatan Covid-19

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/382/2020 Tentang


Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat Di Tempat Dan Fasilitas Umum Dalam Rangka
Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
CNN Indonesia, “Jokowi Umumkan Dua WNI Positif Corona di Indonesia”, http://m.
cnnindonesia.com/nasional/20200302111534-20-4479660/jokowi-umumkan-dua-wni-
positif-corona-di-indonesia, diakses 8 Agustus 2020.

106
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hendrasta Pijar Ramadhan Perlindungan Hukum bagi Pemilik Tanah setelah Lima
Tahun Terbitnya Sertifikat

Pelindungan Hukum Bagi Pemilik Tanah Setelah Lima


Tahun Terbitnya Sertifikat
Hendrasta Pijar Ramadhan1, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani2, Lego Karjoko3

Abstrak
Pelaksanaan sistem pendaftaran tanah di Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pada Pasal 32 ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997, menyatakan
menghapus hak gugat seseorang yang telah lewat masa 5 (lima) tahun setelah sertipikat diterbitkan.
Hal ini menjadi permasalahan karena Indonesia menggunakan sistem publikasi negatif, yang
berarti sertipikat merupakan tanda bukti hak atas tanah yang kuat, artinya semua keterangan yang
terdapat di dalam sertipikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan
yang benar oleh hakim, selama tidak dibuktikan sebaliknya. Hal ini memerlukan peraturan yang
jelas dari pemerintah untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan pelindungan hukum bagi
pihak yang berkepentingan dalam pendaftaran tanah. Penulisan ini mengenai pengaruh sistem
publikasi pendaftaran tanah atas pemegang sertipikat hak atas tanah sesuai Pasal 32 ayat 2 PP
No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Penulis menggunakan metode penelitian hukum
normatif atau doktrinal.
Kata Kunci: Pendaftaran Tanah, Publikasi Negatif, Sertipikat Tanah.

Abstract
The implementation of the land registration system in Indonesia is based on Government
Regulation no. 24 of 1997 concerning Land Registration, Article 32 paragraph 2 of PP. 24
of 1997, states that the right to sue a person has passed 5 (five) years after the certificate is
issued. This is a problem because Indonesia uses a negative publication system, which means
that the certificate is a strong proof of land rights, meaning that all information contained in the
certificate has legal force and must be accepted as true information by the judge, as long as it
is not proven otherwise. This requires clear regulations from the government to guarantee legal
certainty and legal protection for interested parties in land registration. This writing is about
the influence of the land registration publication system on holders of land title certificates in
accordance with Article 32 paragraph 2 PP No. 24 of 1997 concerning Land Registration. The
author uses normative or doctrinal legal research methods.
Keywords: Land Registration, Negative Publications, Land Certificates

1 Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta,
Jawa Tengah, Indonesia, hendrastapij@gmail.com, S.H.
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, ayu_igk@
staff.uns.ac.id, Prof., Dr., S.H., M.Hum.
3 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia,
legokarjoko@staff.uns.ac.id , Dr., S.H., M.Hum.

107
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hendrasta Pijar Ramadhan Perlindungan Hukum bagi Pemilik Tanah setelah Lima
Tahun Terbitnya Sertifikat

A. Pendahuluan
Secara normatif, bumi wilayah Negara Republik Indonesia dengan segala potensinya
merupakan karunia Tuhan yang diberikan kepada bangsa Indonesia sebagai fasilitas
hidup yang disebut juga sebagai kekayaan nasional. Dari sisi implementasi politik agraria
pertanahan, perkembangan hukum pertanahan nasional telah memberikan kontribusi yang
signifikan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia, meskipun masih kurang optimal karena
sebagian besar sumber daya alam termasuk tanah masih dikuasai oleh pemilik modal
besar.4 Indonesia sebagai negara hukum mempunyai tugas pokok yang tidak saja terletak
pada pelaksanaan hukum, tetapi juga mencapai keadilan sosial (sociale gerechtigheid) bagi
seluruh rakyat Indonesia.5 Hak tanah mencakup hak atas sebagian tertentu yang berbatas
di permukaan bumi. Undang – Undang Dasar 1945 (yang selanjutnya disebut UUD
1945) menjelaskan mengenai hak milik dalam hal menguasai tanah sesuai dengan amanat
konstitusional Indonesia, yang dimuat dalam Pasal 33 ayat (3) yaitu bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya, yang penguasaannya di tugaskan kepada Negara
Republik Indonesia, dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.6
Pasal 19 UUPA dengan tegas mengamanatkan kepada pemerintah agar di seluruh wilayah
Indonesia dilaksanakan pendaftaran tanah, dengan tujuan untuk mencapai kepastian
hukum.7 Pelaksanaan ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah (yang selanjutnya disebut PP No. 24 Tahun 1997). Pada
PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menggunakan sistem publikasi negatif
mempertahankan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagai aturan pendaftaran
tanah sebelumnya. Pasal 32 ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997, yang menyatakan bahwa : “Dalam
hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan
hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya,
maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut
pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat
itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala
Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan
mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.” Mencermati isi ketentuan
Pasal 32 Ayat (2), bahwa sertipikat hak atas tanah dapat berubah menjadi surat tanda bukti
hak yang bersifat mutlak apabila memenuhi persyaratan - persyaratan atau unsur-unsur
secara komulatif, yaitu: a. Sertipikat diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan
hukum; b. Tanah diperoleh dengan itikat baik; c. Tanah dikuasai secara nyata; d. Dalam
waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak ada yang mengajukan keberatan
secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah
atau penerbitan sertipikat.8
Terjadi pro kontra terhadap pasal tersebut karena tidak memberikan keadilan dan pelindungan
hukum bagi seseorang yang merasa mempunyai tanah yang haknya dihilangkan dalam Pasal

4 Darwin Ginting, Legal Status of Land Deed Officers in Land Registration for Preventing Land Disputes in Indonesia, International
Journal of Innovation, Creativity and Change. www.ijicc.net Volume 5, Issue 2, Special Edition, 2019, hlm 982.
5 Muchsan, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Yogyakarta : Liberty 1982, hlm 71.
6 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia., Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaan. Jilid 1
Hukum Tanah Nasional Jakarta : Djambatan., 2002, hlm 3.
7 M. Yamin Lubis dan Abd, Hukum Pendaftaran tanah. Bandung : Mandar Maju, 2008, hlm 4.
8 Urip Santoso, Hukum Agraria, Kajian Komprehensif, Jakarta : Kharisma Putra Utama, 2012, hlm 316

108
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hendrasta Pijar Ramadhan Perlindungan Hukum bagi Pemilik Tanah setelah Lima
Tahun Terbitnya Sertifikat

32 ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Menurut Sudikno Mertokusumo,
dalam sistem publikasi negatif, sertipikat yang dikeluarkan merupakan tanda bukti hak atas
tanah yang kuat, artinya semua keterangan yang terdapat di dalam sertipikat mempunyai
kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar oleh hakim, selama
tidak dibuktikan sebaliknya dengan alat pembuktian lain.9 Dalam sistem publikasi negatif
negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Negara penganut sistem pendaftaran
tanah dengan publikasi positifpun tidak menghapus hak gugat atau hak keperdataan
orang atau badan hukum, sehingga apabila yang bersangkutan dalam gugatanya dapat
membuktikan dia dirugikan akibat pelaksanaan pendaftaran tanah, maka yang bersangkutan
akan mendapatkan kompensasi yang adil dari pemerintah.10 Penulis dalam penelitian ini
mengambil judul “Pelindungan Hukum Bagi Pemilik Tanah Setelah Lima Tahun Terbitnya
Sertifikat”, dengan rumusan masalah mengenai pengaruh sistem publikasi pendaftaran tanah
atas pemegang sertipikat hak atas tanah sesuai Pasal 32 ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research). Penelitian hukum merupakan
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-
doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.11 Morris L. Cohen menambahkan,
dalam penelitian hukum (legal research) terdapat beberapa pendekatan yang digunakan,
yaitu statuta approach, conceptual approach, analitycal approach, comparative approach,
historical approach, philosophical approach, dan case approach.12 Merujuk pendekatan-
pendekatan itu, penulisan artikel ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statuta
approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case
approach). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data sekunder (secondary
data) dengan sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum
primer adalah bahan hukum yang autoritatif, sedangkan bahan hukum sekunder berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi
buku-buku, teks, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putus pengadilan.13

C. Pembahasan
Hak tanah mencakup hak atas sebagian tertentu yang berbatas di permukaan bumi. UUD
1945 menjelaskan mengenai hak milik dalam hal menguasai tanah sesuai dengan amanat
konstitusional Indonesia, yang dimuat dalam Pasal 33 ayat (3) yaitu bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya, yang penguasaannya di tugaskan kepada Negara
Republik Indonesia, dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.14
Penyelenggaraan pendaftaran tanah bersifat politis dan peraturan tersebut merupakan amanat
dari Pembukaan UUD 1945 sebagaimana tertuang dalam Pasal 19 UUPA, diatur lebih lanjut

9 Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agrari, Jakarta : Karunika - Universitas Terbuka, 1988, hlm 9-6.
10 Tjahjo Arinanto, Problematika Hukum Terbitnya Sertipikat Ganda, Universitas 17 Agustus 1945, hlm 14.
11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta : Kencana Prenada, 2014, hlm 35.
12 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2006, hlm. 300
13 Peter Mahmud Marzuki, Loc.cit, hlm. 133
14 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia., Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaan, Jilid 1
Hukum Tanah Nasional, Jakarta : Djambatan, hlm 3.

109
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hendrasta Pijar Ramadhan Perlindungan Hukum bagi Pemilik Tanah setelah Lima
Tahun Terbitnya Sertifikat

dalam peraturan perundang-undangan turunannya PP No. 24 Tahun 1997 dan Peraturan


Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016. Dari
segi aspek yudisial, pengukuran, dan pemetaan, peraturan ini sangat rinci dan lengkap15,
guna mendukung terciptanya subjek judul dan kepastian objek. Pasal 19 UUPA dengan
tegas mengamanatkan kepada pemerintah agar di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan
pendaftaran tanah, dengan tujuan untuk mencapai kepastian hukum.16 Pendaftaran tanah
ialah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus dan
teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah yang ada
di wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat,
dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertahanan, termasuk
penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya.17
Sistem pendaftaran tanah terdapat dua macam yaitu sistem pendaftaran akta (registration
of deeds) dan sistem pendaftaran hak (registration of titles, title dalam arti hak).18 Sesuai
dengan penjelasan Pasal 32 ayat 1 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang
menerangkan bahwa : “Sertipikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa
selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di
dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik maupun
data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus sesuai dengan data yang tercantum
dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan, karena data itu diambil dari buku tanah
dan surat ukur tersebut.” BPN adalah wakil pemerintah yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan kebijakan yang bertanggung jawab atas penerbitan sertifikat tanah sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 (a) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah. Ketentuan ini secara implisit mengandung sistem negatif unsur positif. Sistem ini
memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak
atas tanah. Agar Pasal 3 di atas berfungsi dengan baik, maka harus dikaitkan dengan Pasal
32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa harus
dikeluarkan sertifikat tanah bagi seseorang atau badan hukum yang beritikad baik dan nyata.
Menguasai, pihak lain yang memiliki hak yang sama atas tanah yang sama tidak dapat lagi
menuntut jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkan sertifikat tidak mengajukan
keberatan tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala dari Kantor Pertanahan yang
bersangkutan atau untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan terkait penguasaan tanah atau
penerbitan sertifikat.19
Mencermati isi ketentuan Pasal 32 Ayat (2), bahwa sertipikat hak atas tanah dapat berubah
menjadi surat tanda bukti hak yang bersifat mutlak apabila memenuhi persyaratan -
persyaratan atau unsur-unsur secara komulatif, yaitu: a. Sertipikat diterbitkan secara sah
atas nama orang atau badan hukum; b. Tanah diperoleh dengan itikat baik; c. Tanah dikuasai
secara nyata; d. Dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak ada
yang mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor

15 Rizal Anshari, A Study of Positive Land Registration System Crysis between Opportunities and Challenges (Issued in Agrariaan
Journal), Center for Research and Development of Republic of Indonesia National Agrarian Agency, Jakarta,2014, hlm 51.
16 M. Yamin Lubis dan Abd, Hukum Pendaftaran tanah, Bandung : Mandar Maju, 2008, hlm 4.
17 Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia (sejarah pembentukan UUPA), Jakarta : Djambatan, hlm. 455.
18 Shinta Novi Wardhani, Rusdianto Sesung, Kekuatan Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah Dikaitkan Dengan Kepastian Hukum Dalam
Pendaftaran Tanah, Al-Qānūn, Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam Vol. 21, No. 1, Juni 2018, ISSN 2088-2688. Hlm
67.
19 Suharyono, Legal Assurance and Legal Protection in Land Registration in Indonesia, Sriwijaya Law Review, Vol. 3 Issue 1, January
(2019), hlm 51-52.

110
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hendrasta Pijar Ramadhan Perlindungan Hukum bagi Pemilik Tanah setelah Lima
Tahun Terbitnya Sertifikat

Pertanahan Kabupaten/Kota setempat ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan


mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat.20 Hal ini berati memberi pembatasan
kepada pihak lain yang merasa hak atas tanahnya diterbitkan atas nama orang lain apabila,
telah diterbitkan sertifikat bukan atas nama pemilik aslinya setelah lewat jangka waktu lima
tahun. Sistem publikasi dalam pendaftaran tanah di Indonesia menggunakan sistem publikasi
negatif. Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam sistem publikasi negatif, sertipikat yang
dikeluarkan merupakan tanda bukti hak atas tanah yang kuat, artinya semua keterangan
yang terdapat di dalam sertipikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai
keterangan yang benar oleh hakim, selama tidak dibuktikan sebaliknya dengan alat
pembuktian lain.21 Boedi Harsono, dalam pendaftaran tanah yang menggunakan sistem
publikasi negatif, sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa orang yang terdaftar sebagai
pemegang hak benar-benar orang yang berhak karena menurut sistem ini bukan pendaftaran
tapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada
pembeli. Pendaftaran tidak membikin orang memperoleh hak dari pihak yang tidak berhak,
menjadi pemegang hak yang baru.22 Sependapat dengan hal tersebut, Arie S. Hutagalung
menyatakan bahwa dalam sistem publikasi negatif ini, negara hanya secara pasif menerima
apa yang dinyatakan oleh pihak yang minta pendaftaran. Oleh karena itu, sewaktu-waktu
dapat digugat oleh orang yang merasa lebih berhak atas tanah itu.
Pihak yang memperoleh tanah dari orang yang sudah terdaftarpun tidak dijamin, walaupun
dia memperoleh tanah itu dengan iktikad baik.23 Dalam Sistem publikasi negatif, jaminan
perlindungan hukum yang diberikan pada pihak ketiga tidak bersifat mutlak seperti pada
sistem publikasi positif. Pihak ketiga masih perlu berhati-hati dan tidak boleh mutlak
percaya pada apa yang tercantum dalam buku pendaftaran tanah atau surat tanda bukti hak
yang dikeluarkannya.24 Dalam sistem publikasi negatif negara tidak menjamin kebenaran
data yang disajikan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 32 ayat 2 PP No.24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa : “Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya
diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan system publikasi positif, yang kebenaran
data yang disajikan dijamin oleh Negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negatif.
Di dalam sistem publikasi negatif Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan.”
Hal ini ditentang dengan pendapat yang diutarakan oleh Bambang Eko yang berpendapat
bahwa keberadaan sertipikat masih tetap terbuka untuk dibantah mengingat stelsel publikasi
dari pendaftaran tanah yang dianut Indonesia adalah stelsel negatif, yang kebenaran data
yang disajikan tidak dijamin oleh negara. Penjelasan Pasal 32 ayat (2) PP 24 Tahun 1997
menyatakan bahwa kelemahan sistem publikasi negatif adalah, bahwa pihak yang namanya
tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi
kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu.25

20 Urip Santoso, Hukum Agraria, Kajian Komprehensif, Jakarta : Kharisma Putra Utama, 2012, hlm 316
21 Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agrari, Jakarta : Karunika- Universitas Terbuka, 1988, hlm 9-6.
22 Boedi Harsono, Hukum Agragia Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta :
Djambatan, 2003, hlm 81-82.
23 Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta : Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005,
hlm 86-87.
24 Effendi Perangin, Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandangan Praktisi Hukum, Jakarta : Rajawali, 1989,
hlm 98.
25 Bambang Eko Muljono, Pendaftaran Tanah Pertama Kali Secara Sporadik Melalui Pengakuan Hak, Jurnal Independent, Volume 4,
Nomor 1, 2016, hlm 26.

111
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hendrasta Pijar Ramadhan Perlindungan Hukum bagi Pemilik Tanah setelah Lima
Tahun Terbitnya Sertifikat

Dalam hal gugatan mengenai keabsahan penerbitan sertifikat hak milik atas tanah adalah
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, sebab sertifikat tersebut merupakan Keputusan Tata
Usaha Negara. Dalam kasus gugatan mengenai keabsahan sertifikat hak milik hakim PTUN
dapat mengenyampingkan norma Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 tahun 1997 yang memberikan
tenggang waktu mengajukan gugatan. Keputusan pengenyampingan suatu norma didapat
dengan melakukan reinterpretasi, yaitu; dimana norma preferensi diinterpretasi dan
kemudian menerapkan norma tersebut dengan mengenyampingkan norma yang lain.26
Dapat juga melalui pembatalan praktikal, yaitu; tidak menerapkan norma tersebut dalam
kasus konkrit yang dikenal dalam praktek dikenal sebagai mengenyampingkan. 27 Walaupun
telah lewat jangka waktu lima tahun jika yang menjadi dasar gugatan adalah mengenai
masalah keabsahan penerbitan sertifikat, maka pembatasan waktu lima tahun tersebut
dikesampingkan. Karena harus dibuktikan kebenaran dalil penggugat mengenai tidak sahnya
penerbitan sertifikat tersebut.28 Terlihat dari Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Bandung No.64/G/2010/PTUN-BDG tertanggal 22 Maret 2011, yang menyatakan batal 62
sertifikat walaupun sertifikat tersebut telah diterbitkan lebih dari lima tahun, diantaranya:
1. Sertifikat Hak Milik Nomor : 911/Kelurahan Cinangka diterbitkan tangga l9-4-1980,
Gambar Situasi Nomor : 1446/1979 tanggal 26- 4- 1979
2. Sertifikat Hak Milik Nomor : 912/Kelurahan Cinangka, Diterbitkan tangga l 9- 4-1980,
Gambar Situasi Nomor : 1447/1979, tanggal 26-4-1979;
3. Sertifikat Hak Milik Nomor : 913/Kelurahan Cinangka, Diterbitkan tanggal 9-4-1980,
Gambar Situasi Nomor : 1448/1979, tanggal 26-4-1979.
Bukti lain menunjukan banyaknya alat bukti selain Sertifikat Hak Atas Tanah yang
dipermasalahkan sampai menjadi perkara di Lembaga Peradilan. Bahkan beberapa
diantaranya menghasilkan putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap (Incraht Van
Gewijsde) untuk membatalkan Sertifikat Hak Atas Tanah meskipun telah lebih dari 5 (lima
tahun).29 Tujuan dilaksanakannya Pendaftaran Tanah adalah untuk memberikan jaminan
Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum,30 walaupun dalam realitasnya pemegang
Sertifikat Hak Atas Tanah belum merasa aman akan kepastian haknya, bahkan sikap keragu-
raguan seringkali muncul dengan banyaknya gugatan yang menuntut pembatalan Sertifikat
melalui lembaga Peradilan. Seperti contoh dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 /
Pdt.G/2011/PN yakni antara Sertifikat melawan Girik dalam putusanya Mahkamah Agung
memenangkan Girik sebagai alat bukti Hak Atas Tanah yang sahserta putusan Mahkamah
Agung Nomor 41/PK/Pdt/2008 antara Sertifikat melawan Kwitansi jual-beli tanah dalam
putusannya Mahkamah Agung juga memenangkan Kwitansi jual-beli sebagai alat bukti
kepmelikan hak atas tanah yang sah.31

26 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press : 2009, Cetakan Keempat, hal 32.
27 Ibid.
28 Putu Ade Harriestha Martana, PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH DALAM
KETENTUAN PASAL 32 AYAT (2) PP No. 24 TAHUN 1997, Martana, Putu Ade Harriestha. "Perlindungan Hukum Bagi Pemegang
Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Dalam Ketentuan Pasal 32 Ayat (2) Pp No. 24 Tahun 1997." Jurnal Magister Hukum Udayana 3.1:
44102, hlm 12 https://media.neliti.com/media/publications/44102-ID-perlindungan-hukum-bagi-pemegang-sertifikat-hak-milik-
atas-tanah-dalam-ketentuan.pdf
29 Shinta Novi Wardhani, Rusdianto Sesung, Kekuatan Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah Dikaitkan Dengan Kepastian Hukum Dalam
Pendaftaran Tanah, Al-Qānūn, Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam Vol. 21, No. 1, Juni 2018, ISSN 2088-2688. Hlm
64.
30 Muwahid, Pokok-pokok Hukum Agraria di Indonesia, Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2016, hlm 141.
31 Shinta Novi Wardhani, Rusdianto Sesung, Kekuatan Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah Dikaitkan Dengan Kepastian Hukum Dalam
Pendaftaran Tanah, Al-Qānūn, Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam Vol. 21, No. 1, Juni 2018, ISSN 2088-2688. Hlm
62.

112
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hendrasta Pijar Ramadhan Perlindungan Hukum bagi Pemilik Tanah setelah Lima
Tahun Terbitnya Sertifikat

D. Penutup
1. Simpulan
Pendaftaran tanah merupakan hal yang penting guna menjamin kepastian dan
pelindungan hukum tanah di Indonesia. UUD 1945 menjelaskan mengenai hak milik
dalam hal menguasai tanah sesuai dengan amanat konstitusional Indonesia, untuk
digunakan demi kemakmuran rakyat. Pendaftaran tanah yang diatur dalam PP No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan turunan dari UUPA dalam
hal pendaftaran tanah yang menggunakan sistem publikasi negatif terdapat salah satu
hal yang janggal, yaitu Pasal 32 ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftran
Tanah, yang menyatakan bahwa : “Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan
sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut
dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa
mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut
apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan
yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai
penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut”. Hal ini menimbulkan kerancuan,
beberapa pakar turut mengkritik pasal tersebut diantaranya Sudikno Mertokusumo yang
berpendapat, dalam sistem publikasi negatif, sertipikat yang dikeluarkan merupakan
tanda bukti hak atas tanah yang kuat, artinya semua keterangan yang terdapat di dalam
sertipikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang
benar oleh hakim, selama tidak dibuktikan sebaliknya dengan alat pembuktian lain.32
Menurut pandangan pandangan dari ahli hukum diatas mengenai hak gugat seseorang
dalam pendaftaran tanah dengan siistem publikasi negatif terdapat benturan dan tidak
sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini juga diperkuat ditemukannya bukti dalam
putusan pengadilan yang mengesampingkan ketentuan yang termuat dalam Pasal 32
ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftran Tanah.
2. Saran
Berdasarkan hal itu, sudah saatnya pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata
Ruang melakukan evaluasi dan menghapuskan peraturan Pasal 32 ayat 2 PP No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pada kalimat “maka pihak lain yang merasa
mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut
apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan
tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.” sehingga memberikan jaminan kepastian
hukum dan pelindungan bagi seseorang yang merasa memiliki sertipikat hak atas tanah
yang hak atas tanahnya diterbitkan sertipikat atas tanah orang lain yang telah lewatnya
masa waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat tersebut.

32 Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria. Karunika- Universitas Terbuka : Jakarta, 1988. Hlm 9-6.

113
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hendrasta Pijar Ramadhan Perlindungan Hukum bagi Pemilik Tanah setelah Lima
Tahun Terbitnya Sertifikat

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta : Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005.
Bambang Eko Muljono, Pendaftaran Tanah Pertama Kali Secara Sporadik Melalui Pengakuan
Hak, Jurnal Independent, Volume 4, Nomor 1, 2016.
Boedi Harsono, Hukum Agragia Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan, 2003.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia., Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi Dan Pelaksanaan, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Jakarta : Djambatan.
Effendi Perangin, Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandangan
Praktisi Hukum, Jakarta : Rajawali, 1989.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, 2006.
M. Yamin Lubis dan Abd, Hukum Pendaftaran tanah, Bandung : Mandar Maju, 2008.
Muchsan, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Yogyakarta : Liberty 1982.
Muwahid, Pokok-pokok Hukum Agraria di Indonesia, Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2016.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta : Kencana Prenada, 2014.
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University
Press : 2009, Cetakan Keempat.
Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agrari, Jakarta : Karunika - Universitas Terbuka,
1988.
Tjahjo Arinanto, Problematika Hukum Terbitnya Sertipikat Ganda, Universitas 17 Agustus 1945.
Urip Santoso, Hukum Agraria, Kajian Komprehensif, Jakarta : Kharisma Putra Utama, 2012.

Jurnal
Darwin Ginting, Legal Status of Land Deed Officers in Land Registration for Preventing Land
Disputes in Indonesia, International Journal of Innovation, Creativity and Change. www.
ijicc.net Volume 5, Issue 2, Special Edition, 2019.
Putu Ade Harriestha Martana, Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sertifikat Hak Milik Atas
Tanah Dalam Ketentuan Pasal 32 Ayat (2) Pp No. 24 Tahun 1997, Martana, Putu Ade
Harriestha. “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Dalam
Ketentuan Pasal 32 Ayat (2) Pp No. 24 Tahun 1997.” Jurnal Magister Hukum Udayana 3.
1: 44102. https://media.neliti.com/media/publications/44102-ID-perlindungan-hukum-
bagi-pemegang-sertifikat-hak-milik-atas-tanah-dalam-ketentuan.pdf

114
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hendrasta Pijar Ramadhan Perlindungan Hukum bagi Pemilik Tanah setelah Lima
Tahun Terbitnya Sertifikat

Rizal Anshari, A Study of Positive Land Registration System Crysis between Opportunities
and Challenges (Issued in Agrariaan Journal), Center for Research and Development of
Republic of Indonesia National Agrarian Agency, Jakarta,2014.
Shinta Novi Wardhani, Rusdianto Sesung, Kekuatan Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah Dikaitkan
Dengan Kepastian Hukum Dalam Pendaftaran Tanah, Al-Qānūn, Jurnal Pemikiran dan
Pembaharuan Hukum Islam Vol. 21, No. 1, Juni 2018, ISSN 2088-2688.
Suharyono, Legal Assurance and Legal Protection in Land Registration in Indonesia, Sriwijaya
Law Review, Vol. 3 Issue 1, January 2019.

115
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst


Berkelanjutan (Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)
Bandung Setyobudi 1,Dewi Gunawati2

Abstrak
Identifikasi masalah penelitianadalah: 1).Merujukdata Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Kabupaten Trenggalek telah memiliki kawasan ekosistem karst dengan luas kurang
lebih 53.506,67 ha yang tersebar di 13 kecamatan dan 108 desa.Karakteristik eksokarst dan
endokarst serta deliniasi ekosistem dengan luas 35.312,77 ha atau 66% tersebut direkomendasikan
dengan fungsi lindung dan yang luasnya 18.193,90 ha atau 34% sebagai arahan yang berfungsi
budidaya. Data empiris luasan kawasan ekosistem karst menunjukkan fungsi lindung hanya
seluas 12.371,68 ha atau 35% yang telah ditetapkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Trenggalek 2012-2032, 2). Pembatasan kewenangan pemerintah Kabupaten Trenggalek
terutama Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Lingkungan Hidup untuk melakukan
pengelolaan dan pemanfaatan terhadap kawasan karst. Mencermati permasalahan diatas, tujuan
penelitian ini untuk mengetahui pembangunan pengelolaan ekosistem karst berkelanjutan di
kabupaten trenggalek. Metode penelitian doktrinal. Penelitian doktrinal merupakan penelitian
normatif yang didukung dengan data empiris, yang diambil dari data primer berupa perundang-
undangan yang terkait dan data sekunder yang dilakukan dari hasil wawancara, observasi dan
studi kepustakaan.Hasil Penelitian: Alasan perlunya pembangunan pengelolaan kawasan kasrst
di Kabupaten Trenggalek terpatri pada empat alasan: Alasan filosofis, Alasan Yuridis, Alasan
Politis, Alasan Sosiologis.
Kata kunci: Pembangunan Berkelanjutan, Kebijakan, Pemerintah Daerah, Rencana Tata Ruang
Wilayah, Sumber Daya Alam Karst.

A. Pendahuluan
Penguasaan sumber daya alam merupakan kewajiban negara yang diatur dalam konstitusi.
tujuan pengaturan tersebut demi mewujudkan kemkmuran raktar .Menurut Bagir Manan,
berkaitan dengan penguasaan oleh negara guna untuk memberikan kemakmuran rakyat
akan mewujudkan kewajiban pada negara dalam hal:3(1) Segala bentuk pemanfaatan
(bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat; (2)Melindungi dan menjamin segala hak-hak
rakyat yang terdapat didalam atau di atas bumi, air, dan berbagai kekayaan alam tertentu
yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat; (3) Mencegah
segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai
kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
Mencermati perihal diatas maka penguasaan oleh negara atas sumber daya alam harus
terpatri pada prinsip pembangunan berkelanjutan yang berdasar pada pemanfaatan sumber

1 Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
2 Pembimbing adalah Dosen Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
3 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung: Mandar Maju, 1995, hlm. 17.

116
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

daya alam yang sama untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang sebagai
perwujudan keadilan pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan.
Keberadaan ekosistem karst ini di berbagai negara telah diakui sebagai kawasan yang perlu
diperhatikan atas perlindungannya. Karst merupakan topografi yang unik yang terbentuk
akibat adanya aliran air pada bebatuan karbonat yang biasanya berupa kapur, dolomit atau
marmer. Menurut Ford dan Williams, karst merupakan daerah yang memiliki bentang
alam dan pola hidrologi khusus yang terbentuk dari kombinasi sifat batuan yang memiliki
tingkat kelarutan tinggi dan porositas sekunder yang berkembang dengan baik.4Secara
umum, kawasan karst tersebut mempunyai bagian yang terdiri dari eksokarst (bagian atas
permukaan karst) dan endokarst (bagian bawah permukaan karst).5
Fungsi dari ekosistem karst ini sangatlah penting terhadap lingkungan hidup. Diantara
fungsi penting dari ekosistem karst adalah untuk tempat menyimpan air dan sebagai
pemasok ketersediaan air bagi kehidupan manusia. Di bagian atas kawasan karst tersebut
dapat dimungkinkan sebagai waktu penunda yang panjang bagi air hujan untuk mengalir ke
sungai bawah tanah. Sehingga membuat ekosistem karst menjadi mampu untuk menyimpan
dan mengalirkan air sampai pada mata air dan sungai bawah tanah hingga musim kemarau.6
Selain itu, ekosistem karst juga dapat mempengaruhi kawasan sebagai kawasan yang
tangkapan karbonnya mampu menangkap karbon menjadi dua kali lipat dari hutan.7
Bukit karst memiliki peran yang sangat besar dalam siklus hidrologi dikawasan karst.
Input sumber daya air dari curah hujan dikawasan karst sebagian besar akan masuk
keretakan-retakan (epikarst) yang terdapat dipermukaan kemudian tersimpan dalam rongga-
rongga hasil pelarutan.8Dikarenakan pentingnya fungsi dari ekosistem karst, maka perlu
adanya pengaturan dalam pengelolaan maupun pemanfaatnya yang berorientasikan pada
perlindungan lingkungan hidup.
Merujuk data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahwa Kabupaten
Trenggalek telah memiliki kawasan ekosistem karst dengan luas kurang lebih 53.506,67
ha yang tersebar di 13 kecamatan dan 108 desa. Berdasarkan dari hasil yang di identifikasi
menurut karakteristik eksokarst dan endokarst serta deliniasi ekosistem dengan luas 35.312,77
ha atau 66% tersebut direkomendasikan dengan fungsi lindung dan yang luasnya 18.193,90
ha atau 34% sebagai arahan yang berfungsi budidaya. Namun secara ketetapannya yang
berfungsi sebagai fungsi lindung hanya seluas 12.371,68 ha atau 35% yang telah ditetapkan
pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Trenggalek 2012-2032.9
Meninjau pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

4 Andra Eko Nugroho dan Eko Teguh Paripurno, Karakter dan Potensi Risiko Kerusakan Ekosistem Karst Cekungan Air Tanah
Watuputih Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah, Jurnal: Junal Ilmiah Lingkungan Kebumian, Vol. 2 No. 1 2019. Hlm 35
5 Diah Nugraheni Setyowati, Rahmad Junaidi, Analisis Routing Reservoir dalam Pengembangan Sumber Daya Air Kawasan Karst, Jurnal:
Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 2 No. 1 2016. Hlm 17
6 Sudarmadji, Eko Haryono, Tjahyo Nugroho Adji dkk, Ekologi Lingkungan Kawasan Karst Indonesia: Menjaga Asa Kelestarian
Kawasan Karst Indonesia, Yogyakarta:Deepublish, 2012, hlm iii
7 Karst Kaltim Terancam Pembangunan Pabrik Semen. http://www.mongabay.co.id/2013/04/26/karst-kaltim-terancam-
pembangunan-pabrik-semen/. Diunduh pada Jumat, 24 April 2020 Pukul 22:47 wib.
8 Arif Ashari, Konservasi Bukit Karst sebagai Tindakan Mitigasi Kekeringan di Daerah Tangkap Hujan Subsistem Geohidrologi Bribin-
Baron-Seropan Karst Gunung Sewu, Jurnal: Geomedia, Vol. 10 No. 1 Mei 2012. Hlm 95
9 ByCavesID. Penataan Pengelolaan Ekosistem Karst Kabupaten Trenggalek. http://caves.or.id/arsip/3233. diunduh pada Sabtu, 25 April
2020 Pukul 21:00 wib.

117
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang tertuang pada Pasal 7 dengan bunyi “perlindungan
sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang
menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
mutu kehidupan manusia”. Secara sosial, dalam pemanfaatannya tetap harus menjamin
dan/atau mempertimbangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Selain itu, juga tetap harus
memperhitungkan terjaganya kelestarian dari ekologis tersebut. Hal ini ditambahkannya
dengan bunyi Pasal 37 ayat (1) bahwa “peran serta rakyat dalam konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui
berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna”. Selanjutnya bunyi dari ayat (2)
adalah “dalam mengembangkan peran serta rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan”.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya tersebut, mengatur hal keterpaduan sebagai bentuk pedoman dalam
perlindungan pengelolaan, pelaksanaan dan pemanfaatan untuk ekosistem karst. Selain
itu, Undang-Undang ini juga sebagai hukum payung (umbrella lex) atau suatu perundang-
undangan pengelolaan kawasan karst yang umum (general environmental law). Dalam
instrumen-instrumen tersebut, memuat hal-hal secara menyeluruh dan utuh terhadap
perlindungan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem karst. Dalam artian bahwa Undang-
Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dapat dijadikan
payung kebijakan dalam pengaturan yang bersifat sektoral.
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1456 K/20/MEM/2000
tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst yang disebutkan Pasal 2 ayat (1) yang
berbunyi “pengelolaan kawasan karst bertujuan mengoptimalkan pemanfaatan kawasan
karst, guna menunjang pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan”. Ayat
(2) menyebutkan “pengelolaan kawasan karst mempunyai sasaran: a) meningkatkan upaya
perlindungan kawasan karst, dengan cara melestarikan fungsi hidrogeologi, proses geologi,
flora, fauna, nilai sejarah serta budaya yang ada didalamnya; b) melestarikan keunikan
dan kelangkaan bentukan alam di kawasan kars; c) meningkatkan kehidupan masyarakat
didalam dan sekitarnya; d) meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan”.
Lebih lanjut dituangkan dalam bunyi Pasal 14 ayat (1) yaitu “didalam kawasan karst kelas
I tidak boleh ada kegiatan pertambangan; ayat (2) didalam kawasan karst kelas 1 dapat
dilakukan kegiatan lain, asal tidak berpotensi mengganggu proses karstifikasi, merusak
bentuk-bentuk kars dibawah dan diatas permukaan, serta merusak fungsi kawasan karst;
ayat (3) didalam kawasan karst kelas II dapat dilakukan kegiatan usaha pertambangan dan
kegiatan lain, yaitu setelah kegiatan tersebut dilengkapi dengan studi lingkungan (Amdal
atau UKL dan UPL) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
ayat (4) didalam kawasan karst kelas III dapat dilakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Kondisi sosiologis ,meskipun pengaturan tentang pengelolaan karst sudah dibentuk dengan
adanya Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
serta adanya Peraturan Kementerian ESDM, namun pada implementasinya masih belum
cukup mewadahi sebagai landasan untuk melakukan pengelolaan lebih lanjut bagi kawasan
karst itu sendiri. Dengan tidak adanya pengaturan yang lebh spesifik terkait dengan
kawasan karst ini, maka akan menjadi kendala dan tantangan bagi pemerintah daerah

118
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

yang mempunyai wilayah ekosistem karst untuk melestaikan dan memanfaatkan guna
kesejahteraan masyarakat.
Selama ini kawasan karst hanya di masukan dalam pengaturan yang ada di Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW). Apabila kawasan tersebut tidak termasuk kategori yang ada di
RTRW maka ijin amdal dari kabupaten akan terbit, untuk selanjutnya dalam pemanfaatan
dan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi. Dengan kata lain, bahwa
kewenangan pengelolaan kawasan kart tersebut ditangan pemerintah daerah provinsi.
Dari aspek kewenangan, pemerintah kabupaten hanya melakukan analisa apakah kawasan
yang akan di manfaatkan tersebut masuk dalam kategori wilayah lindung dan wilayah
budidaya sesuai dengan ketentuan yang ada di RTRW. Terkait dengan ijin pengelolaan dan
pemanfaatannya, pemerintah daerah provinsi mempunyai kewenangan untuk menerbitkan
ijin usaha dalam pemanfaatan dan pengelolaan kawasan karst tersebut.
Oleh karena itu, hukum yang merupakan sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat
haruslah di wujudkan dalam pembentukan hukum (regulasi) pada sektor-sektor strategis
berkaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam terutamanya
untuk kawasan ekosistem karst. Kebijakan pembentukan hukum oleh pemerintah, dalam
hal ini adalah Kabupaten Trenggalek sangatlah penting demi terjaminnya kelestarian dari
kawasan ekosistem karst dan terlindunginya makhluk hidup lainnya serta berlangsungnya
kehidupan yang semakin meningkat tinggi.
Penyusunan penelitian ini merujuk pada penelitian: Raras Endarto, Totok Gunawan dan Eko
Haryono, Kajian Kerusakan Lingkungan Karst sebagai Dasar Pelestarian Sumber Daya
Air (Kasus di Das Bribin Hulu Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta),
Majalah: (Majalah Geografi Indonesia UGM, Vol. 29 No. 1, Maret 2015), yang berkesimpulan
Pengelolaan pada daerah tangkapan air telaga dan sekitar aliran sungai bawah tanah bribin
menjadi urgensi guna tercapainya sumberdaya air yang lestari, dan tingkat kerusakan karst
sangat tinggi sehingga membutuhkan kebijakan pengelolaan karst yang berbasis karakteristik
karst dan berbasis kewilayahan.,
Andi Fatinaware, Akhmad Fauzi dan Setia Hadi, Kebijakan Pengelolaan Ruang dan
Keberlanjutan Kawasan Karst Maros Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal: (Jurnal
Ekonomi Pertanian, Sumber Daya dan Lingkungan, Vol. 2 No. 26-37 April 2019),
kesimpulannya adalah Kebijakan pengelolaan kawasan karst maros pangkep yang berbasis
business as usual (bau) dengan mengedepankan pendekatan ekonomi dan eksploitasi
kawasan untuk pertambangan cenderung mengabaiakan pelibatan masyarakat sehingga
memberikan dampak pada pengelolaan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi yang tidak
berkelanjutan untuk masa yang akan datang.,
Grita Anindarini Widyaningsih, Permasalahan Hukum dalam Perlindungan Ekosistem Karst
di Indonesia (Studi Kasus: Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat, Provinsi Kalimantan
Timur), Jurnal: (Jurnal Hukum Lingkungan Vol. 3 No. 2 Maret 2017). berkesimpulan bahwa
Peraturan tentang perlindungan hukum lingkungan selama ini dianggap masih lemah untuk
melindungi ekosistem karst dikarenakan belum adanya pengaturan terkait kriteria baku
mutu kerusakan.
Dewi Gunawati, Harmonisasi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Hutan dalam Upaya
Mitigasi PerubahanIklim Global (Studi Implementasi Program Reducing Emmision From
Deforestatioan and Forest Degradation Di Taman Nasional Meru Betiri Jember Jawa Timur),
kesimpulan: implementasi program REDD+ belum efektif dalam upaya perlindungan dan

119
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

pengelolaan hutan di Taman nasional Meru Betiri, Jember jawa Timur, karena terfokus pada
aspek procedural dari pada substansial sehingga berdampak kurang proporsionalnya upaya
mitigasi perubahan iklim di sector kehutanan, oleh karena itu perlu upaya harmonisasi
hukum yang terpatri pada harmonisasi kebijakan ,harmonisasi kelembagaan dan harmonisasi
pemberdayaan masyarakat agar upaya mitigasi perubahan iklim dapat terlaksana untuk
mencapai tujuan perlindungan dan pengelolaanhutan yang lestari dan berkelanjutan.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pembangunan pengelolaan ekosistem karst
berkelanjutan di kabupaten trenggalek. Melihat dari penjelasan yang diuraikan dalam latar
belakang diatas, penulis menarik garis permasalahan yang akan dilakukan penelitian dengan
rumusan masalah adalah mengapa perlu dilakukan pembangunan pengelolaan kawasan karst
berkelanjutan di Kabupaten Trenggalek? .

B. Metode Penelitian
Metode penelitian doktrinal. Penelitian doktrinal merupakan penelitian normatif yang
didukung dengan data empiris, yang diambil dari data primer berupa perundang-undangan
yang terkait dan data sekunder yang dilakukan dari hasil wawancara, observasi dan studi
kepustakaan.

C. Pembahasan
Access to and distribution of natural resources have been since immemorable time at the root
of violent conflict. Over the last few decades, international institutions, legal scholars and
civil society started to pay attention to the dangerous liaison between resource commodities
and wars.10
Pengelolaan kawasan karst kabupaten trenggalek selama ini diatur dalam perundangan dan
peraturan pemerintah baik yang pusat maupun pemerintah daerah tentang pengelolaan dan
perlindungan kawasan karst dan kawasan lindung lainnya. Adapun peraturan perundangan
yang telah mengatur tentang tata kelola kawasan karst yang diantaranya adalah:
1. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, dalam Pasal 37 ayat (1) bahwa “peran serta rakyat dalam konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah
melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna”. Selanjutnya bunyi
dari ayat (2) adalah “dalam mengembangkan peran serta rakyat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan
penyuluhan”.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana tata
ruang Wilayah Nasional, tertuang pada Pasal 53.
1) Kawasan cagar alam geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf
a terdiri atas:

10 Eliana Cusato, International law, the paradox of plenty and the making of resource-driven conflict,Published online by Cambridge
University Press: 04 June 202,Foundation of the Leiden Journal of International Law 2020DOI:https://doi.org/10.1017/
S0922156520000266

120
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

a. kawasan keunikan batuan dan fosil;


b. kawasan keunikan bentang alam; dan
c. kawasan keunikan proses geologi.
3. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 5 tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Tahun 2011-2031, yang disebutkan harus menetapkan
kawasan karst pada aspek lindung dan budidaya.
1) Pasal 13 ayat (3) menyebutkan bahwa “Strategi pengembangan kawasan
perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b melalui: a.
penetapan dan/atau penegasan batas lapangan kawasan perlindungan setempat;
b. pengamanan kawasan perlindungan setempat dengan prinsip konservasi;
c. pengendalian kegiatan yang tidak berkaitan dengan perlindungan; dan d.
peningkatan nilai ekonomis kawasan dengan tetap mempertahankan fungsi
lindungnya”.
2) Pasal 14 ayat (1), Kebijakan pengembangan kawasan budi daya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf b dilakukan melalui upaya pengembangan
kawasan budi daya sesuai dengan karakter dan daya dukung yang dimiliki,
terutama untuk mendukung pemantapan sistem metropolitan dan sistem
agropolitan dalam rangka peningkatan pertumbuhan dan pemerataan
kesejahteraan masyarakat, meliputi: a. kawasan peruntukan hutan produksi; b.
kawasan hutan rakyat; c. kawasan peruntukan pertanian; d. kawasan peruntukan
perkebunan; e. kawasan peruntukan peternakan; f. kawasan peruntukan
perikanan; g. kawasan peruntukan pertambangan; h. kawasan peruntukan
industri; i. kawasan peruntukan pariwisata; j. kawasan peruntukan permukiman;
k. kawasan andalan; dan l. peruntukan kawasan budi daya lainnya.
Beradasarkan pada uraian dalam peraturan diatas, maka dalam pemanfaatan
kawasan karst haruslah tetap mengacu pada aspek lindung dan budidaya untuk
memberikan kemanfaatan terhadap masyarakat. Dengan begitu, dalam pengelolaan
kawasan karst harus mengacu pada peraturan diatas. Dalam hal melaksanakan
pengelolaan kawasan karst yang mempunyai daya nilai manfaat kepada masyarakat,
maka pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk menjalankan. Di wilayah
kabupaten sendiri kewenangan tersebut dipangku oleh bupati. Kewenangan yang
diperoleh pemerintah daerah ini merupakan kewenangan yang berbentukatribusi,
yaitu kewenangan yang digariskan melalui pembagian kekuasaan Negara oleh
Undang-Undang Dasar.
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal
dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif
administratif. Kewenangan yang biasanya terdiri dari beberapa wewenang adalah
kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu
bidang pemerintahan.11
Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan
wewenang.12 Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag)
dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang

11 Prajudi Atmosudirdjo,Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1979. Hlm 78.
12 Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal: Jurnal Pro Justisia
Edisi IV, Bandung, Universitas Parahyangan, 2000, hlm. 22

121
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan
oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”
(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-
wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan
hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang
membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka
pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan
oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat
hukum.13Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah: “Bevoegheid wet
kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door
publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer”.
(wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan
dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum
publik dalam hukum publik).14
Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, maka
kesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda
dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang
berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari
kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh
undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam
kewenangan itu. Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan
dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan
keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara
atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan
yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan
suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat
tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang
diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat,
pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama
mandator (pemberi mandat).
Bagir Manan mengemukakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan (match). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat
atau tidak berbuat.Di dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban
(rechten en plichen). Di dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung
pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen), sedangkan kewajiban
secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan
sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan
dalam suatu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.15

13 Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994. Hlm. 65
14 Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah,
Bandung: Alumni, 2004, hlm.4
15 Bagir manan, wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah,Jurnal: Jurnal Konstitusi, Vol. III No. 1 Juni
2011. Hlm 1-2

122
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang diberikan


kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu badan
legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari
kewenangan yang ada sebelumnya.Badan legislatif menciptakan kewenangan
mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada
organ yang berkompeten.16
Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu
organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ
yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas
namanya, sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan
tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain
(mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas
namanya.
Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi,
kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi.
Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara
besar-besaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum
menentukan menganai kemungkinan delegasi tersebut.
Delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Delegasi harus definitif, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri
wewenang yang telah dilimpahkan itu;
2) Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi
hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam
peraturan perundang-undangan;
3) Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian tidak
diperkenankan adanya delegasi;
4) Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang
untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
5) Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.17
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga
kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat
(organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan
tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi
pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan
mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang
dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa
kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.18
Pada Pasal 18 UUD 1945, disebutkan bahwa ayat(2) “Pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Kemudian dalam ayat (5) disebutkan

16 J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Nijmegen: Ars Aeguilibri, 1998, hlm. 16-17
17 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Jurnal: Jurnal Yuridika, Vol. 7 No. 5-6, 1997. Hlm. 5
18 F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 219

123
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan


pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat”. Selanjutnya dalam ayat (6) menyebutkan “Pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan- peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan”.Pasal dalam UUD 1945 tersebut secara tegas
telah memberikan kewenangan pemerintah daerah termasuk pemerintah daerah
kabupaten. Ditambah lagi dengan pengaturan kewenangan yang terbentuk dalam
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga
kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat
(organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan
tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi
pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan
mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang
dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa
kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar. Bagir
Manan mengemukakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan (match). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak
berbuat.Di dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten
en plichen). Di dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian
kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen), sedangkan kewajiban secara
horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana
mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu
tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.19
Mengenai sifat kewenangan pemerintahan yaitu yang bersifat terikat, fakultatif,
dan bebas, terutama dalam kaitannya dalam kewenangan kewenangan pembuatan
dan penerbitan keputusan-keputusan (besluiten) dan ketetapan-ketetapan
(beschikkingan) oleh organ pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan yang
bersifat terikat dan bebas. Menurut Indroharto; pertama, pada wewenang yang
bersifat terikat, yakni terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan
dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan
dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dan keputusan yang harus diambil;
kedua, wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara
yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak
masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalm hal-hal
atau keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya; ketiga,
wewenang bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberikan kebebasan
kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai isi
dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberi ruang
lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.
Philipus Mandiri Hadjon mengutip pendapat N. M. Spelt dan Ten Berge,
membagi kewenangan bebas dalam dua kategori yaitu kebebasan kebijaksanaan
(beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsverijheid) yang selanjutnya
disimpulkan bahwa ada dua jenis kekuasaan bebas yaitu : pertama, kewenangan

19 Bagir manan, Op.,Cit. Hlm 1-2

124
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

untuk memutuskan mandiri; kedua, kewenangan interpretasi terhadap norma-


norma tersamar (verge norm).20
Kerangka berpikir:

KAWASAN KARST

- Undang-Undang Dasar Negara Pengelolaan kawasan karst yang


Republik Indonesia Tahun 1945 berpedoman pada Undang-Undang
- Undang-Undang Nomor Nomor 5 tahun 1990 tentang
32 tahun 2009 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Perlindungan dan Pengelolaan Hayati dan Ekosistemnya dan
Lingkungan Hidup Keputusan Menteri ESDM Nomor:
- Undang-Undang Nomor 5 1456 K/20/MEM/2000 tentang
tahun 1990 tentang Konservasi Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst
Sumber Daya Alam Hayati dan masih belum cukup mewadahi untuk
Ekosistemnya melakukan kajian dalam mengelola
- Keputusan Menteri Energi dan dan memanfaatkan kawasan karst
Sumber Daya Mineral Nomor: dikarenakan adanya pembatasan
1456 K/20/MEM/2000 tentang kewenangan terhadap pemerintah
Pedoman Pengelolaan Kawasan kabupaten dan tidak didorongnya
Karst dengan adanya Peraturan Daerah yang
lebih lanjut mengatur secara spesifik.

1. Rekonstruksi Kebijakan
Pembangunan Pengelolaan kawasan
Pemerintahdaerah
Ekosistemkarst Berkelanjutan di
2. Sinkronisasi kewenangan
Kabupaten Trenggalek
Pemerintah Daerah

Keterangan:
Penelitian hukum ini menempatkan aturan-aturan hukum sebagai premis
mayor yang menjadi landasan utama yaitu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor
5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
Keputusan Menteri ESDM Nomor: 1456K/20/MEM/2000 tentang Pedoman
Pengelolaan Kawasan Karst, sedangkan untuk premis minor berupa fakta hukum
bahwa untuk melakukan kajian terhadap kawasan karst tidak ditunjang dengan
adanya aturan yang lebih spesifik berupa Perda, selama ini dasar untuk melakukan
pengelolaan terhadap kawasan karst merujuk pada ketentuan RTRW ditambah lagi
dengan adanya pembatasan kewenangan terhadap pemerintah daerah kabupaten.
Meskipun begitu, menurut data dari kementerian KLHK kawasan karst yang ada

20 Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm. 112

125
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

di Kabupaten Trenggalek belum ideal dengan ketentuan yang ditetapkan sebagai


kawasan lindung dan kawasan budidaya berdasar ketentuan KLHK. Berpedoman
pada teori kewenangan untuk membantu dalam penyusunan argumentasi hukum
mengenai pembangunan pengelolaan ekosistem karst yang masih terkendala untuk
melakukan kajian baik pemanfaatan dan pengelolaan kawasan karst yang ada di
Kabupaten Trenggalek.
Dengan adanya dukungan dalam bentuk kewenangan yang atributif terhadap
pemerintahan daerah kabupaten, maka secara kewenangannya dapat mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri secara mandiri. Adapun kendala yang dialami
karena tidak didukungnya oleh peraturan yang secara spesifik yaitu peraturan
daerah maka perlu adanya pembentukan peraturan daerah. Alasan perlunya dibentuk
peraturan daerah dalam pengelolaan kawasan karst terpatri pada 4 (empat) yang
terdiri dari:
1. Alasan Filosofis.
2. Alasan Yuridis.
3. Alasan Politis.
4. Alasan Sosiologis.

1) Alasan Filosofis.
Pasal 33 ayat (3) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Dengan begitu, negara melalui pemerintah mempunyai
tugas untuk mengelola sumber daya alam demi untuk memakmurkan rakyatnya.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistem masih bersifat secara sektoral, belum dapat mewadahi
sampai pada sektor bawah. Penting nya karst bagi kelangsungan kehidupan
makhluk yang hidup.
Meninjau pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang tertuang pada Pasal 7
dengan bunyi “perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi
terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia”.
Secara sosial, dalam pemanfaatannya tetap harus menjamin dan/atau
mempertimbangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Selain itu, juga tetap harus
memperhitungkan terjaganya kelestarian dari ekologis tersebut.
Berhasilnya sebuah konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya berkaitan erat dengan paling tidak tercapainya
3 (tiga) sasaran konservasi yakni:
1. Menjamin terpelihauranya proses ekologis yang menunjang sistem
penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan
manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan).
2. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-
tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu
pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan

126
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan


(pengawetan sumber plasma nutfah)
3. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati
sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan
dan peruntukan tanah serta belumberhasilnya sasaran konservasi secara
optimal, baik di darat maupun di perairan dapat mengakibatkan timbulnya
gejala erosi genetik, polusi dan penurunan potensi sumber daya alam
hayati (pemanfaatan secara lestari).
Berdasarkan dengan bentuk dari konservasi sendiri secara umum dapat
dibedakan atas 2 (dua) golongan yaitu:
1) Konservasi in situ, adalah kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan
didalam habitat aslinya. Golongan konservasi ini mencakup dari kawasan
suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan kawasan pelestarian
alam (taman nasioanal, taman hutan raya dan taman wisata alam).
2) Konservasi ek situ, merupakan kegiatan konservansi flora/fauna yang
dilakukan diluar habitat aslinya. Konservasi ini dilakukan oleh lembaga
konservasi, seperti kebun raya, arbetrum, kebun binatang, taman safari dan
tempat penyimpanan benih dan sperma satwa.21
Merujuk pada pemanfaatannya secara lestari, dalam Undang-Undang Nomor 5
tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
yang tertuang pada Pasal 26 disebutkan bahwa pemanfaatan secara lestari
dilakukan melalui kegiatan yang pertama, pemanfaatan kondisi lingkungan
kawasan pelestarian alam; kedua, pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Kemudian yang disebut dengan kawasan pelestarian alam merujuk pada Pasal
29 ayat (1) yaitu kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 angka 13 terdiri dari; a) taman nasional; b) taman hutan raya; c) taman wisata
alam.
Ditambah dengan adanya Keputusan Menteri ESDM Nomor:1456.K/20/
MM/2000, dalam kepentingan untuk kegiatan di sektor pembangunan terhadap
kondisi fisik kawasan karst dapat memberikan arahan pada pengelolaan
kawasan karst itu sendiri. Kawasan lindung pada kawasan karst berdasarkan
aspek geologinya dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) aspek yaitu kawasan
karst kelas I dan kawasan perlindungan setempat.
1) Kawasan Karst Kelas I
Kawasan Karst Kelas I adalah kawasan yang memiliki salah satu atau lebih
kriteria sebagai berikut:
a. Berfungsi sebagai penyimpan air tanah secara tetap (permanen) dalam
bentuk akuifer, sungai bawah tanah, telaga atau danau bawah tanah
yang keberadaannya mencukupi fungsi hidrologi.
b. Mempunyai gua-gua dan sungai bawah tanah aktif yang kumpulannya
membentuk jaringan baik mendatar maupun tegak yang sistemnya
mencukupi fungsi hidrologi dan ilmu pengetahuan.

21 Bambang Pamulardi, 1999,Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hlm . 187.

127
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

c. Gua-guanya mempunyai speolotem aktif dan atau peninggalan sejarah


sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi obyek wisata dan
budaya.
d. Mempunyai kandungan flora dan fauna khas yang memenuhi arti dan
fungsi sosial, ekonomi, budaya serta pengembangan ilmu pengetahuan.
2) Kawasan Perlindungan Setempat
a) Sempadan Gua merupakan bentukan karst yang harus dilindungi.
Bentuk perlindungan setempat gua ini adalah tidak boleh ada kegiatan
bangunan disekitar sempadan, merusak hiasan dalam gua (stalagtit,
stalagmit, flowstone dan lain-lain), mencemari sungai bawah tanah.
b) Sempadan Mataair keberadaan mata air yang dapat dilestarikan dan tidak
terganggu, sehingga tidak akan mempengaruhi penurunan potensinya.22
Pengelolaan lingkungan hidup merupakan usaha pemanfaatan sumberdaya,
namun yang berciri khas yaitu merupakan upaya terpadu pelestarian
fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian
lingkungan hidup.23 Dalam ketentuan yang diatur pada Pasal 41 Peraturan
Daerah Rencana Tata Ruang Kabupaten Trenggalek meliputi 2 (dua) jenis pola
ruang wilayah yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung
yang diatur pada Pasal 42 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf
a terdiri dari:
a) kawasan hutan lindung;
b) kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
c) kawasan perlindungan setempat;
d) kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya;
e) kawasan rawan bencana alam;
f) kawasan lindung geologi;
g) kawasan lindung lainnya; dan
h) ruang terbuka hijau perkotaan.
Kemudian kawasan budidaya telah diatur dalam Pasal 53 sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. Kawasan peruntukan hutan produksi;
b. Kawasan hutan rakyat;
c. Kawasan peruntukan pertanian;
d. Kawasan peruntukan perkebunan;
e. Kawasan peruntukan perikanan;
f. Kawasan peruntukan pertambangan;
g. Kawasan peruntukan industri;
h. Kawasan peruntukan pariwisata;
i. Kawasan peruntukan permukiman;
j. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan;
k. Kawasan peruntukan lainnya.

22 Yoga Candra Maulana, Pengelolaan Berkelajutan Kawasan Karst Citatah-Rajamandalare, Jurnal: Region Vol. III No. 2 September 2011.
Hlm. 5-7
23 Hartuti Purnaweni, Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Kendeng Utara Provinsi Jawa Tengah, Jurnal: Jurnal Ilmu
Lingkungan, Vol. 12 No. 1 2014. Hlm 55

128
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

Adapun ketentuan umum mengenai peraturan zonasi untuk kawasan lindung


geologi yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf f meliputi:
a. ketentuan peraturan zonasi untuk kawasan lindung karst;
b. ketentuan peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana geologi; dan
c. ketentuan peraturan zonasi untuk kawasan yang memberikan perlindungan
air tanah.
Selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 yang
menjelaskan sebagai berikut:
Pasal 16:
a) diperbolehkan dengan syarat pemanfaatan kawasan budidaya secara
terbatas;
b) diperbolehkan dengan syarat untuk kegiatan penelitian dan pendidikan;
dan
c) tidak diperbolehkan melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan.
Pasal 17:
a. diperbolehkan mendirikan bangunan pendukung;
b. diperbolehkan dengan syarat pemanfaatan kawasan budidaya secara
terbatas;
c. diperbolehkan dengan syarat mendirikan bangunan yang disesuaikan
dengan tingkat kerentanan bencana alam geologi; dan
d. diperbolehkan dengan syarat pembangunan prasarana.
Pasal 18:
a) diperbolehkan dengan syarat pemanfaatan kawasan budidaya secara
terbatas; dan
b) tidak diperbolehkan melakukan eksploitasi air tanah berlebihan.
Pasal 19:
a. diperbolehkan kegiatan konservasi dan penelitian;
b. diperbolehkan kegiatan pariwisata; dan
c. tidak diperbolehkan kegiatan yang merusak ekosistem.

2) Alasan Yuridis
Dasar yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber hukum atau
dasar hukum untuk pembuatan atau perancangan suatu peraturan perundang-
undangan.24 W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Darsono mengatakan,
Landasan yuridis dari penyusunan peraturan perundang-undangan meliputi 3
(tiga) hal yaitu:25
1. Kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan.
2. Kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan
materi yang akan diatur.
3. Keharusan mengikuti tata cara tertentu.

24 Op.,cit hlm. 17
25 W. RiawanTjandra dan Kresno Budi Darsono, Legislative Drafting, Yogyakarta: Atma Jaya, 2009, hlm. 81

129
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

Indonesia sebagai negara hukum maka dalam penyelenggaraan pemerintahannya


harus dapat mencerminkan adanya penerapan hukum terhadap segala aturan
yang berkaitan dengan masyarakat, termasuk daerah yang telah diberi
kewenangan untuk membuat peraturan daerah. Di dalam negara hukum segala
aturan dibuat dengan jelas agar masyarakat dapat mengetahuinya terhadap
hal-hal yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan. Negara hukum
sangat menjunjung tinggi sistem hukum yang menjamin kepastian hukum
dan pertimbangan terhadap hak asasi manusia. Kepastian hukum secara nyata
direalisasikan dengan adanya wadah hukum yang ditegakkan dan dilaksanakan.
Sehingga dengan demikian sebagai daerah yang telah otonom Peraturan daerah
mutlak diperlukan.
Program pembangunan produk hukum di daerah perlu menjadiprioritas, karena
perubahanterhadap berbagai regulasi dan berbagai peraturan perundangan
lainnya, serta transformasi dinamika kemasyarakatan dan pembangunan
daerah menuntut pula adanya penataan sistem hukum dan kerangka hukum
yang mendasarinya melalui program legislasiproduk hukum daerah, dengan
harapan sekiranya program penataan regulasi dapat dilaksanakan dengan baik
diyakini akan memberi trend positifterhadap pembangunan berjalan dengan
cara yang teratur, antisipasi akibat pembangunan sudah dapat diprediksi lebih
awal (predictability), berorientasi pada kepastian hukum (rechtszekerheid),
memiliki manfaat bagi masyarakat dan terwujudnya rasa keadilan masyarakat
(gerechtigheid).
Pembentukan Undang-Undang yang ideal ialah yang memenuhi unsur baik
secara normatif dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan dan haruslah responsif sesuai
dengan kebutuhan aspirasi rakyat untuk menuju keadilan bagi rakyat yang
membahagiakan. Mengenai dengan pembentukan peraturan daerah selain
mendasar pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, juga harus mengacu
pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dan
Permendagri Nomor 120 tahun 2018 atas perubahan undang-undang nomor 80
tahun 2015 tentang pembentukan peraturan hukum di daerah.26
Pembentukan Perda yang baik berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan sesuai ketentuan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 yaitu:
a. kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk
peraturan perundangundangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau
batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.

26 Rodiyah, Aspek Demokrasi Pembentukan Peraturan Daerah dalam Perspektif Socio-Legal, Jurnal: MMH Jilid 41 No. 1 Januari 2012.
Hlm 146

130
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

d. dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-


undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun
sosiologis.
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang-
undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.
f. kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga
tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-
undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan
bersifat transparan dan terbuka.27
Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-
luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan. Asas-asas pembentukan peraturan daerah harus dapat
memperhatikan segala kepentingan masyarakat tanpa mengabaikan aturan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan daerah
yang baik hendaknya dapat memberikan rasa nyaman dan jauh dari sifat
penekanan yang memberatkan masyarakat.
Sesuai dengan teori responsif bahwa suatu konsep hukum harus dapat
memenuhi tuntutan-tuntutan, agar hukum dibuat lebih responsif terhadap
kebutuhan-kebutuhan sosial yang mendesak, dan terhadap masalah-masalah
keadilan sosial, sambil tetap mempertahankan hasil-hasil pelembagaan yang
telah dicapai oleh kekuasaan berdasarkan hukum. Hal tersebut semakin
menekankan bahwa konsep pembentukan peraturan daerah harus memuat nilai
filosofi yang jelas untuk kepentingan masyarakat dan kemajuan daerahnya,
bila hal ini terlaksana maka akan dapat mendukung terlaksananya otonomi
daerah yang baik.
Setiap peraturan perundang-undangan tak terkecuali peraturan daerah harus
dapat memberikan nilai manfaat bagi masyarakat. Nilai manfaat akan dapat
dicapai apabila dalam penuangan materi peraturan daerah berada dalam
kerangka asas-asas yang ditetapkan. Peraturan daerah yang meresahkan dan
memberatkan masyarakat sudah tentu tidak akan memberi nilai manfaat,
yang semestinya produk hukum harus dapat memberikan kebahagiaan bagi
mayoritas masyarakat.

3) Alasan Sosiologis
Menurut Satjipto Rahardjo, secara sosiologis pembuatan undang-undang tidak
dapat dilihat sebagai suatu kegiatan yang streril dan mutlak otonom. Dalam
perspektif ini pembuatan undang-undang memiliki asal usul sosial, tujuan

27 Muhammad Suharjono, Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dalam Mendukung Otonomi Daerah, Jurnal: Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 10 No. 19 Februari 2014. Hlm 26

131
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

sosial, mengalami intervensi sosial dan juga mempunyai dampak sosial.


Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Jeremy Bentham “the great happiness
for the great numbers” sebagai suatu tujuan yang harus diwujudkan dalam
pembuatan undang-undang dalam rangka untuk mewujudkan “the true good
of the community”.28 Kajian Bentham menurut Satjipto mengenai pembuatan
hukum sudah keluar dari teknis legislasi kepada pembahasan dalam kerangka
kehidupan sosial yang lebih luas, ukuran-ukuran serta format yang digunakan
bukan semata-mata rasionalitas, logika, prosedur melainkan entri-entri
sosiologis.29 Yang mana didalamnya adalah:
1) Asal usul sosial undang-undang;
2) Mengungkapkan motif dibelakang pembuatan undang-undang;
3) Melihat pembuatan undang-undang sebagai endapan konflik kekuatan dan
kepentingan masyarakatnya;
4) Susunan dari badan pembuatan undang-undang dan implikasi sosiologisnya;
5) Membahas hubungan antara kualitas dan jumlah undang-undang yang
dibuat dengan lingkungan sosial dalam suatu periode tertentu;
6) Sasaran perilaku yang ingin diatur dan diubah;
7) Akibat-akibat, baik yang dikehendaki maupun yang tidak.
Carbonnier yang merupakan sarjana Perancis mengatakan bahwa pembuatan
undang-undang secara sosiologis dapat dikategorikan kedalam 2 (dua) hal
yang pertama, berkaitan dengan mekanisme perundang-undangan, merupakan
aspek yang terlepas dari apa yang dihasilkan oleh pembuat undang-undang,
dalam hal ini dikategorikan dalam “sociologie legislative externe”; kedua,
penerapan yang berkaitan dengan isi dari undang-undang, yang dikategorikan
dalam proses yang dikenal sebagai “sociologie legislative interne”.
Dalam kaitannya pembentukan peraturan daerah untuk mengatur dan
menyelenggarakan otonomi daerah haruslah responsif. Dalam penyelenggaraan
otonomi daerah dibutuhkanlah peran serta dari masyarakat secara menyeluruh
agar upaya untuk pembangunan daerah bisa dijalankan dengan baik. Upaya
pembentukan peraturan daerah yang responsif dapat tercapai kalau dilaksanakan
dengan tahapan-tahapan perencanaan yang baik, proses pengharmonisasian
dilakukan dengan cara teliti dan cermat, kemudian melibatkan masyarakat untuk
mendapatkan aspirasi masyarakat sesuai kehendak hukum yang diinginkan.
Peraturan daerah sendiri merupakan hukum otonom yang mempunyai orientasi
untuk mengawasi kekuasaan yang represif. Fokus dari hukum otonom
memperhatikan kondisi sosial atas realitas-realitas yang ada di masyarakat.
Selain itu, juga mempunyai penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai
bentuk upaya dalam mengawasi dari kekuasaan resmi dan swasta.
Sifat dari responsif yang ada dalam peraturan daerah bisa diartikan untuk
melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan
oleh rakyat bukan oleh pejabat. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
teori hukum responsif yaitu hukum responsif mengakomodir nilai-nilai sosial

28 Jeremy Bentham. Theory of Legislation, London: F.B. Rothman, 1979, hlm. 94


29 Satjipto Rahardjo dalam “Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalahnya” (editor Khudzalifah Dimyati)
Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2002

132
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

kemasyarakatan yang berpihak pada kebutuhan dan keadilan yang terkandung


dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh
penguasa. Menurut A. Mukhtie Fadjar berdasarkan tipe dari hukum responsif
mempunyai 2 (dua) ciri yaitu:
1) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; dan
2) pentingnya watak kerakyatan (populis), baik sebagai tujuan hukum
maupun cara untuk mencapainya.30
Dengan begitu, pemerintahan daerah harus betul-betul terhindar dengan adanya
peraturan daerah yang represif. Suatu kekuasaan pemerintah dibilang represif
jika kekuasaan tersebut tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan orang-
orang yang diperintah, yaitu ketika suatu kekuasaan dilaksanakan tidak untuk
kepentingan mereka yang diperintah, atau mengingkari legitimasi mereka.31
Dalam hal Perda yang diinginkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, maka
pendapat di atas kiranya dapat dijadikan rujukan yang harus diperhatikan dalam
perancangan dan penyusunan Perda. Tentunya tidak mudah untuk dilakukan,
sebab bagaimanapun juga Perda merupakan produk kompromi politik yang
tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor yang mempengaruhi, bahkan
mayoritas kekuatan di parlemen akan sangat menentukan ke arah mana Perda
tersebut bermuara. Produk hukum daerah tersebut harus dapat menunjukkan
adanya keberpihakan terhadap masyarakat dengan tidak menimbulkan tekanan
yang memberatkan masyarakat.
Successful participatory management process could go a long way towards
improving sustainable livehoods for local people by building on the physic
al,human,social,financial,and natural capitals already present in the village.
Since sustainability of the national park is linked to the sustainability of the
livelihoods of the people living within its bordes,continuous involvement of
local people in concervation activities can lead to sustainable development.32
Alasan sosiologis pengelolaan kawasan konservasi adalah: 1). Membangun
keberdayaan masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan taman nasional
sehingga akan meningkatkan pemampuan masyarakat yang berkontribusi
terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat, 2). Membangun proses partisipatif
serta pendekatan sistematis dan terkonsolidasi yang mendukung pembangunan
berkelanjutan melalui partisipasi masyarakat sehingga pengelolaan kawasan
karst member manfaat kepada semua kelompok masyarakat dan stake holders
yang terkait dengan pengelolaan kawasan karst, 3). Membangun keterlibatan
kawasan karst secara keseluruhan dalam upaya pelestarian kawasan.

30 W. RiawanTjandra dan Kresno Budi Darsono, Legislative Drafting, Yogyakarta: Atma Jaya, 2009, hlm. 63
31 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Bandung: Nusamedia, 2010, hlm. 33
32 Jelena Tomicevic,MargarethShannon,MarinaMilovanovic,SocioEconomi impact on the attitudes towards
conservation of natural resources: Case Study from Serbia,Forest Policy Ecpnomic,12(2010) 157-162 science
direct,journalwww.elsevier.com Elsevier B.V all rights reserved.doi:10.1016/j.forpol.2009.09.006

133
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

D. Penutup
Kesimpulan
Melihat permasalahan kawasan ekosistem karst yang ada di Kabupaten Trenggalek dengan
adanya data dari kementerian lingkungan hidup dan kehutanan, bahwa kabupaten trenggalek
luasan kawasan ekosistem karst yang seluas kurang lebih 53.506,67 ha yang tersebar di
13 kecamatan dan 108 desa. Kemudian secara karakteristik eksokarst dan endokarst serta
deliniasi ekosistem yang luasnya 35.312,77 ha atau 66% direkomendasikan dengan fungsi
lindung dan yang luasnya 18.193,90 ha atau 34% untuk arahan yang berfungsi budidaya.
Namun berdasarkan data empiris luasan kawasan ekosistem karst menunjukkan fungsi
lindung hanya seluas 12.371,68 ha atau 35% yang telah ditetapkan pada Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Trenggalek 2012-2032.Selain itu, belum adanya
Peraturan Daerah sebagai landasan hukum pengelolaan ekosistem kawasan karst di
Trenggalek. Kemudian adanya pembatasan kewenangan pemerintah Kabupaten Trenggalek
terutama Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Lingkungan Hidup untuk melakukan
pengelolaan dan pemanfaatan terhadap kawasan karst. Secara konstitusioanal pemerintah
daerah termasuk pemerintah kabupaten diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri secara mandiri, termasuk dalam melakukan pembentukan peraturan
daerah untuk membangun pengelolaan ekosistem karst berkelanjutan yang meliputi alasan
filosofis, alasan yuridis, alasan politis, dan alasan sosiologis. Alasan filosofis merupakan
alasan yang telah diberikan langsung oleh konstitusi yaitu yang tertuang pada Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 ditambah lagi dengan dorongan yang ada pada Undang-Undang Nomor 5
tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Alasan Yuridis
timbul dikarenakan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah diberikan kewenangan
untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri secara otonom. Berkaitan dengan
pengelolaan kawasan ekosistem karst yang belum ada peraturan daerahnya maka pemerintah
daerah perlu membentuk adanya peraturan daerah tersebut. Alasan politis, merupakan
bentuk hukum yang akan diambil oleh pemerintah dalam melakukan pengelolaan kawasan
ekosistem karst. Demi tercapainya keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat
mengenai pengelolaan kawasan karst yang belum mempunyai peraturan daerah maka perlu
adanya dorongan secara politis untuk membuat peraturan daerah tersebut. Alasan sosiologis,
dalam pembentukan peraturan daerah yang responsif, yang memberikan kemaslahatan bagi
masyarakat, maka dalam kebijakan pembentukan peraturan daerah perlu adanya partisipasif
oleh penerima manfaat dari peraturan tersebut. Pembentukan hukum terhadap pengelolaan
kawasan ekosistem karst yang ada di Kabupaten Trenggalek yang partisipatif membutuhkan
dukungan dari semua komponen yang terlibat dalam pengelolaan kawasan ekosistem karst,
dengan begitu perlu adanya membangun mindset yang holistik yang tidak hanya pada ego
sektoral.

Daftar Pustaka
Buku
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung: Mandar
Maju, 1995.

134
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada, 1999.
Derek Ford and Paul Williams, Karst Hydrogeology and Geomorphology, England: Jhon
Wileyand Sons Ltd, 2007.
F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung,
Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1994.
Jeremy Bentham, Theory of Legislation, London: F.B. Rothman, 1979.
J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Nijmegen: Ars Aeguilibri,
1998.
Kusnue Goesniadhie, Harmonisasi Sistem Hukum: Mewujudkan Tata Pemerintah yang Baik,
Malang: Nasa Media,2010.
Larry Cata Becker, Harmonization law in an Era of Globalization, Convergence, Divergence,
and Resistance,Durham: North Carolina Academic Press,2007.
Ni’matulHuda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta: PT Rajawali Press, 2021.
Prajudi Atmosudirdjo. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1979.
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Bandung: Nusa Media, 2010.
Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan
Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung: Alumni, 2004.
Sudarmadji, Eko Haryono, Tjahyo Nugroho Adji dkk, Ekologi Lingkungan Kawasan
KarstIndonesia: Menjaga Asa Kelestarian Kawasan Karst Indonesia, Yogyakarta:
Deepublish, 2012.
Tomasic. R. “The Sociology Legislation” dalam Legislation and Society in Australia, The
LawFoundation of New South Wales and George Allen and Unwin. Sidney, Australia,
1979.
W. RiawanTjandra dan Kresno Budi Darsono, Legislative Drafting, Yogyakarta: Atma Jaya,
2009.

Jurnal
Arif Ashari, Konservasi Bukit Karst sebagai Tindakan Mitigasi Kekeringan di Daerah Tangkap
Hujan Subsistem Geohidrologi Bribin-Baron-Seropan Karst Gunung Sewu, Jurnal:
Geomedia, Vol. 10 No. 1 Mei 2012.
Andra Eko Nugroho dan Eko Teguh Paripurno, Karakter dan Potensi Risiko Kerusakan Ekosistem
Karst Cekungan Air Tanah Watuputih Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah, Jurnal:
Junal Ilmiah Lingkungan Kebumian, Vol. 2 No. 1 2019.

135
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung
Jawab, Jurnal: Jurnal Pro Justisia, Edisi IV, Bandung, Universitas Parahyangan, 2000.
Bagir manan, wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Jurnal:
Jurnal Konstitusi, Vol. III No. 1 Juni 2011.
Diah Nugraheni Setyowati, Rahmad Junaidi, Analisis Routing Reservoir dalam Pengembangan
Sumber Daya Air Kawasan Karst, Jurnal: Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 2 No. 1 2016.
Hartuti Purnaweni, Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Kendeng Utara Provinsi
Jawa Tengah, Jurnal: Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 12 No. 1 2014.
Muhammad Suharjono, Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dalam Mendukung
Otonomi Daerah, Jurnal: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10 No. 19 Februari 2014.
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Jurnal: Jurnal Yuridika, Vol. 7 No. 5-6 1997.
Rodiyah, Aspek Demokrasi Pembentukan Peraturan Daerah dalam Perspektif Socio-Legal,
Jurnal: MMH Jilid 41 No. 1 Januari 2012.
Yoga Candra Maulana, Pengelolaan Berkelajutan Kawasan Karst Citatah-Rajamandalare, Jurnal:
Region, Vol. III No. 2 September 2011.
Wacito Setiadi, Proses Pengharmonisasian sebagai Upaya untuk Memperbaiki Kualitas Peraturan
Perundang-undangan, Jurnal: JurnalLegislatif, Vol. 4 No.2,Juni 2007.

Jelena Tomicevic, Margareth Shannon, Marina Milovanovic, Socio Economi impact on the
attitudes towards conservation of natural resources: Case Study from Serbia,Forest Policy
Ecpnomic,12(2010) 157-162 science direct,journalwww.elsevier.com Elsevier B.V all
rights reserved.doi:10.1016/j.forpol.2009.09.006

Eliana Cusato, International law, the paradox of plenty and the making of resource-driven conflict,
Published online by Cambridge University Press: 04 June 202, Foundation of the Leiden
Journal of International Law 2020 DOI: https://doi.org/10.1017/S0922156520000266

Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Undang-Undang Nomor 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15
tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Keputusan Menteri ESDM Nomor: 1456K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan
Kawasan Karst

136
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Bandung Setyobudi Membangun Pengelolaan Kawasan Ekosistem Karst Berkelanjutan
(Studi Kasus di Kabupaten Trenggalek)

Makalah dan Orasi Ilmiah:


Dewi Gunawati, Harmonisasi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Hutan dalam Upaya
Mitigasi Perubahan Iklim Global (Studi Implementasi Program Reducing Emmision
From Deforestatioan and Forest Degradation Di Taman Nasional Meru Betiri Jember Jawa
Timur), Disertasi, PascaSarjana,Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, 2015.
Satjipto Rahardjo dalam “Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalahnya”
(editor Khudzalifah Dimyati) Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2002
Ten Berge dan De Waarddikutip L.M Gandi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Responsif,
Pidato Pengukuhan Guru BesarTetap pada Universitas Indonesia, Jakarta 14 oktober 1995.

Internet
Karst Kaltim Terancam Pembangunan Pabrik Semen.http://www.mongabay.co.id/2013/04/26/
karst-kaltim-terancam-pembangunan-pabrik-semen/. Diunduh pada Jumat, 24 April 2020
Pukul 22:47 wib.
ByCavesID. Penataan Pengelolaan Ekosistem Karst Kabupaten Trenggalek. http://caves.or.id/
arsip/3233. diunduh pada Sabtu, 25 April 2020 Pukul 21:00 wib.

137
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Kirana Intaniasari Politik Hukum Regulasi Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka
Ketahanan Energi

POLITIK HUKUM REGULASI MINYAK DAN GAS BUMI DALAM


RANGKA KETAHANAN ENERGI
Kirana Intaniasari, 2I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
1

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui politik hukum regulasi minyak dan gas bumi dalam
rangka mewujudkan ketahanan energi. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif
dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Teknik pengumpulan data
dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum.
Pengolahan bahan hukum dilakukan dengan cara melakukan klasifikasi menurut penggolongan
bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian tersebut secara sistematis dan secara logis,
artinya ada hubungan dan keterkaitan antara bahan hukum satu dengan bahan hukum lainnya
untuk mendapatkan gambaran umum dari hasil penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan dalam mewujudkan ketahanan energi, Indonesia masih banyak
menghadapi masalah dan tantangan. Posisi tambang migas sangat krusial dalam perekonomian
Indonesia ditambah dengan produksi minyak mentah yang cenderung terus menurun dalam
sepuluh tahun terakhir. Keadaan ini mengharuskan Pemerintah untuk mengatur dan mengelola
sumber daya alam migas agar dapat dimanfaatkan dan dijaga dengan baik demi keberlangsungan
hidup warga negaranya, melalui manajemen energi yang tepat, benar dan komprehensif. Ketahanan
energi sendiri dapat dikur dengan indikator 4A (availability, accessibility, acceptability dan
affordability). Fakta yang terjadi diukur dari keempat indikator tersebut menunjukkan bahwa
Indonesia masih membutuhkan kebijakan dan implementasi yang tepat untuk mewujudkan
ketahanan energi. Oleh karena itu, dibutuhkan politik hukum untuk menentukan regulasi atau
kebijakan yang tepat untuk mewujudkan ketahanan energi seperti yang dicita-citakan. Pemerintah
harus mengatur dan mengelola sumber daya alam migas agar dapat dimanfaatkan dan dijaga
dengan baik demi keberlangsungan hidup warga negaranya, melalui manajemen energi yang
tepat, benar dan komprehensif.
Kata kunci : ketahanan energi, migas, pemerintah, politik hukum, regulasi

ABSTRACK
This study aims to determine the legal politics of oil and gas regulation in order to achieve
energy security. This research is a normative legal research with a statutory approach and a
conceptual approach. Data collection techniques in normative legal research are carried out
by literature study of legal materials. Processing of legal materials is carried out by classifying
according to the classification of legal materials and compiling the research data systematically
and logically, meaning that there is a relationship and linkages between one legal material and
another to get an overview of the research results.
The results showed that in realizing energy security, Indonesia still faces many problems and
challenges. The position of oil and gas mining is very crucial in the Indonesian economy,

1 Mahasiswa Pascasarjana, Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36, Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa
Tengah, Indonesia, S.H. (Universitas Sebelas Maret)
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Jalan 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, Prof. (Universitas
Sebelas Maret), Doktor. (Universitas Gadjah Mada), S.H. (Universitas Sebelas Maret), M.M. (Universitas Gadjah Mada).

138
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Kirana Intaniasari Politik Hukum Regulasi Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka
Ketahanan Energi

coupled with crude oil production which has tended to decline in the last ten years. This situation
requires the Government to regulate and manage oil and gas natural resources so that they can
be properly utilized and maintained for the survival of their citizens, through proper, correct and
comprehensive energy management. Energy security itself can be measured using a 4A indicator
(availability, accessibility, acceptability and affordability). The facts that occur, measured from
the four indicators, show that Indonesia still needs the right policies and implementation to
achieve energy security. Therefore, legal politics is needed to determine the right regulations or
policies to achieve energy security as we aspire to. The government must regulate and manage
natural oil and gas resources so that they can be properly utilized and maintained for the survival
of their citizens, through proper, correct and comprehensive energy management.
Keyword: energy security, oil and gas, government, politics, law, regulation

A. Pembahasan
Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah.
Kekayaan tersebut merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai fungsi
sangat penting untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Undang-
Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) mengatur
dalam Pasal 33 ayat (2) bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Yang diperjelas di dalam Pasal
33 ayat (3) bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal tersebut mengamanatkan
bahwa penguasaan kekayaan alam oleh negara harus sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat.3
Salah satu kekayaan sumber daya yang dimiliki Indonesia adalah minyak dan gas bumi
(migas). Berdasarkan data dari Pertamina untuk tahun 2013 tercatat bahwa total kebutuhan
nasional untuk minyak bumi adalah sebesar 77,00 juta KL, sementara kemampuan produksi
kilang nasional hanya 38,10 juta KL sehingga pada tahun 2013 tercatat defisit kebutuhan
38,9 juta KL atau sekitar 51%.4 Tingginya ketergantungan Indonesia akan minyak bumi
tersebut menunjukkan bahwa energi yang berupa minyak bumi adalah vital dan pembenahan
tata kelola migas menjadi hal yang krusial untuk dilakukan dalam rangka menciptakan
kedaulatan energi di Indonesia. Kekayaan migas yang dimiliki Indonesia sejak tahun 1961
menjadikan Indonesia memiliki hak masuk dalam negara pengekspor minyak bumi atau
OPEC. Sejak tahun 1970 sampai tahun 2000 atau dalam kurun 30 tahun, produksi minyak
Indonesia mengalami peningkatan. Puncak produksinya terjadi pada tahun 1977 dan 1995.5
Setelah tahun 1995 sampai sekarang produksi minyak mengalami penurunan, posisi pada
tahun 2012 adalah sebesar 860 ribu barrel per hari. Sementara produksi gas lebih besar
daripada produksi minyak sejak tahun 2003. Produksi gas Indonesia pada tahun 2012 adalah
2,1 juta barrel ekivalen per hari.6
Ketergantungan masyarakat akan migas sangat kuat mengigat migas adalah energi yang
dibutuhkan untuk menunjang berbagai kegiatan seperti transportasi, industri, bahkan rumah

3 Nike K. Rumokoy, Pelanggaran Hukum Terhadap Penggunaan Minyak Dan Gas Bumi (Migas) Yang Terkandung Di Dalam Wilayah
Hukum Pertambangan Indonesia Oleh Pihak Yang Tidak Berwenang, Vol.22/No.5/Januari /2016 Jurnal Hukum Unsrat, hlm 40.
4 Rachmad Hardadi, Kondisi Pasokan dan Permintaan BBM di Indonesia dan Upaya Pertamina dalam Pemenhuna Kebutuhan BBM
Nasional, 2015.
5 http://ekonomibisnis.suarasurabaya.net/news/2014/144578
6 Laporan SKK MIGAS 2013

139
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Kirana Intaniasari Politik Hukum Regulasi Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka
Ketahanan Energi

tangga. Posisi tambang migas sangat krusial dalam perekonomian Indonesia, sedangkan
migas adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui yang dapat sewaktu-waktu
habis. Ditambah dengan produksi minyak mentah yang cenderung terus menurun dalam
sepuluh tahun terakhir. Disamping itu, beberapa kilang minyak yang ada sudah berumur tua
dan tidak mampu untuk memproduksi minyak yang kebutuhannya terus meningkat setiap
tahun. Keadaan ini mengharuskan Pemerintah untuk mengatur dan mengelola sumber daya
alam migas agar dapat dimanfaatkan dan dijaga dengan baik demi keberlangsungan hidup
warga negaranya, melalui manajemen energi yang tepat, benar dan komprehensif.
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang berlangsung beberapa dekade ini mengakibatkan
pertambahan penduduk dan perubahan gaya hidup yang semakin energy-intensive yang
otomatis mempengaruhi permintaan terhadap energi yang terus meningkat di Indonesia.
Dalam lima tahun (2015-2019), permintaan energi di Indonesia tumbuh dengan laju sebesar
5-6 persen untuk energi primer, dan 7-8 persen per tahun untuk energi final.7
Seiring dengan kenaikan konsumsi energi tersebut, Indonesia menghadapi berbagai tantangan
dan permasalahan terhadap ketahanan energi. Mengamati bagaimana kondisi pasokan migas
kita dan bagaimana pentingnya sumber daya migas ini, tentu sangat diperlukan regulasi
yang mengatur pengelolaan migas agar dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan baik dalam
rangka mewujudkan ketahanan energi. Ketahanan energi merupakan suatu isu yang penting
karena berkaitan dengan keberlangsungan hidup. Pemerintah harus mewujudkan ketahanan
energi khususnya migas demi kemakmuran rakyat. Pada artikel ini penulis akan membahas
lebih lanjut mengenai politik hukum regulasi migas dalam rangka mewujudkan ketahanan
energi di Indonesia.

B. Pembahasan
1. Politik Hukum
Secara etimologi, Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari menjelaskan bahwa istilah
politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda
rechtspolitiek yang merupakan bentukan dari dua suku kata yaitu recht dan politiek.
Kata politiek dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh Van der Tas mengandung
arti beleid. Kata beleid dalam bahasa Indonesia berarti kebijaksanaan. Jadi secara
etimologi politik hukum mempunyai arti sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy).8
Padmo Wahjono dalam bukunya yang berjudul Indonesia Negara Berdasarkan atas
Hukum9 mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan
arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini masih bersifat
abstrak dan kemudian dilengkapi dengan sebuah artikelnya yang berjudul Menyelisik
Proses Terbentuknya Perundang-Undangan, yang dikatakan bahwa politik hukum
adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan
pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakannya sendiri.10

7 Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019.


8 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 19-25
9 Padmo Wahyono, 1986, Indonesia Negara Berdasatkan atas hukum, Cet. II, Ghalia Indonesia, Jakarta., hlm: 160
10 Padmo Wahyono, 1991, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan, Forum Keadilan, No. 29 April 1991, hlm: 65

140
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Kirana Intaniasari Politik Hukum Regulasi Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka
Ketahanan Energi

Menurut Soedarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan
negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki,
yang diperkirakan akan digunakan untuk nengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.11
Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara
yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat.12 Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, politik hukum adalah
kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan oleh suatu
pemerintahan negara tertentu.13
Penulis menggunakan teori politik hukum menurut Padmo Wahyono yaitu bahwa politik
hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan,
sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat
untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Dapat dikatakan juga bahwa bahwa
politik hukum adalah proses pembentukan dan pelaksanaan sistem atau tatanan hukum
yang mengatur kehidupan masyarakat dalam suatu negara secara nasional.
Politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum
yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku
di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Kata kebijakan di
sini berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terinci dan mendasar. Dalam
merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, politik hukum
menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan tetap
memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dan kesemuanya itu diarahkan
dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.

2. Ketahanan Energi
Berdasarkan Pasal 1 ayat 10 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2017 tentang
Kebijakan Energi Nasional, Ketahanan Energi adalah suatu kondisi terjaminnya
ketersediaan Energi dan akses masyarakat terhadap Energi pada harga yang terjangkau
dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap Lingkungan
Hidup.14
International Energy Agency (IEA) mendefinisikan ketahanan energi sebagai
ketersediaan sumber energi yang tidak terputus dengan harga yang terjangkau. Lebih
lanjut, ukuran yang dipakai untuk menilai suatu negara dikatakan memiliki ketahanan
energi apabila memiliki pasokan energi untuk 90 hari kebutuhan impor setara minyak.15
Ketahanan energi (energy security) digambarkan dengan indikator 4A yaitu terdiri dari,
bagaimana ketersediaan fisiknya (availability), bagaimana kemudahan mendapatkannya
(accessibility), bagaimana keterjangkuan harganya (affordability), serta bagaimana/
seberapa kualitasnya yang dapat diterima (acceptability). Secara umum ketahanan

11 Soedarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hlm: 20.
12 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm:35
13 Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm: 15
14 Pasal 1 ayat 10 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2017 tentang Kebijakan Energi Nasional
15 Riza Azmi dan Hidayat. Ketahanan Energi: Konsep, Kebijakan dan Tantangan bagi Indonesia Buletin Info Risiko Fiskal Edisi 1 Tahun
2014

141
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Kirana Intaniasari Politik Hukum Regulasi Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka
Ketahanan Energi

energi juga digambarkan melalui elemen bauran energi (energy mix) serta keberlanjutan
(sustainability) dari sistem penyediaan-permintaan energi yang ada.16
Dari sisi manajemen risiko, kajian ketahanan energi biasanya berfokus pada risiko
operasional kehandalan infrastruktur atau sarana penyediaan energi sebagaimana
yang dijabarkan oleh Chester dan dikutip dalam Singh.17 Manajemen risiko terhadap
keseluruhan operasional menjadi begitu krusial agar terputusnya pasokan energi tidak
terjadi. Namun demikian, ketahanan energi juga mencakup upaya diversifikasi energi
dalam mengurangi ketergantungan pasokan energi pada salah satu jenis bahan bakar.
Diversifikasi juga dilakukan dalam memperbaiki bauran energi dengan memperhatikan
potensi cadangan sumber energi yang dimiliki.18
Dari data yang penulis dapat menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, produksi
rata-rata minyak bumi Indonesia di bawah 1 juta bph. Pada tahun 2010, produksi tersebut
945 ribu bph, menurun menjadi 825 ribu bph pada tahun 2013, dan menurun lagi menjadi
804 ribu bph di tahun 2014. Produksi minyak menurun dikarenakan beberapa factor,
diantaranya: lapangan produksi yang sebagian besar sudah tua (mature, depleted),
pemanfaatan teknologi EOR (enhanced oil recovery) yang terbatas, serta kurangnya
tambahan lapangan produksi baru. Kapasitas produksi minyak Indonesia berada dalam
keadaan darurat. Di samping minyak bumi, produksi gas bumi juga menurun. Pada
tahun 2010, produksi gas bumi 1.582 ribu setara barel minyak (SBM) per hari, namun
pada tahun 2013 hanya 1.441 ribu SBM per hari. Kecenderungan ini berlawanan dengan
permintaan terhadap gas bumi di dalam negeri yang meningkat. 19
Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa ketahanan energi dapat diukur dengan
indikator 4A (availability, accessibility, acceptability dan affordability). Yang pertama
dari segi availability yaitu ketersediaan energi, dari uraian penulis diatas menunjukkan
bahwa ketersediaan energi khususnya migas terancam karena sebagian besar kilang
minyak yang sudah tua dan tidak bisa memproduksi minyak dengan maksimal. Hal
tersebut menyebabkan impor minyak dan gas dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri juga meningkat. Dari segi accessibility, dapat dilihat dari kemudahan dalam
mendapatkan energi. Di Indonesia sendiri, masih banyak wilayah-wilayah terpencil
yang belum mendapat akses listrik, oleh karena itu rasio elektrifikasi Indonesia masih
rendah (dibandingkan Negara-negara ASEAN). Banyak juga masyarakat yang masih
menggunakan kayu bakar karena belum ada akses untuk mendapat energi modern
seperti BBM dan LPG (liquefied petroleum gas). Acceptability biasanya dikaitkan
dengan mutu dari energi yang dipakai, seperti mutu BBM yang dikonsumsi ataupun
mutu dari listrik yang dipergunakan masih merupakan permasalahan bagi masyarakat.
Harga energi, baik BBM atau listrik selalu diperdebatkan. Apakah harga BBM yang
ditetapkan Pemerintah itu wajar nilainya? Apakah masyarakat dapat menjangkau harga
BBM dan listrik yang ditetapkan itu? Sebaliknya, dengan menetapkan harga BBM yang
“murah” kepada masyarakat di dalam negeri apakah Pemerintah “dapat menjangkau”
biaya penyediaannya, dalam pengertian tidak mengorbankan APBN untuk membiayai

16 Perencanaan Pembangunan. Kementrian PPN/Bappenas. Edisi 02, Tahun XX, September 2014
17 Singh, S. (2012). Energy Security: Concepts and Concerns in India http://inpec.in/2012/09/24/energy-security-concepts-and-concerns-
in-india/
18 Chester, L. (2010). "Conceptualising energy security and making explicit its polysemic nature," Energy Policy, Elsevier, vol. 38(2),
pages 887-895
19 Perencanaan Pembangunan. Kementrian PPN/Bappenas. Edisi 02, Tahun XX, September 2014, halaman 4.

142
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Kirana Intaniasari Politik Hukum Regulasi Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka
Ketahanan Energi

pos-pos pengeluaran lainnya? Ini termasuk tantangan dalam indikator “affordability”.


Selanjutnya dari sisi bauran energi, tantangan yang besar muncul dari masih tingginya
ketergantungan pada bahan bakar fosil (khususnya minyak bumi), yang berarti pangsa
pemanfaatan energi terbarukan yang masih rendah. Ketergantungan berlebihan pada
bahan bakar fosil juga menimbulkan pertanyaan pada aspek keberlanjutan (sustainability)
dari sistem pemanfaatan energi yang diterapkan di Indonesia.20
Dalam rangka menjaga ketahanan energi di Indonesia, Pemerintah mengundangkan
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
yang bertujuan untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri. Beberapa
sasaran kebijakan yang secara rinci diatur dalam Perpres tersebut adalah pada tahun
2025 terwujudnya elastisitas energi di bawah 1 dan pengurangan porsi BBM dalam
komposisi energi primer hingga 20% dan optimalisasi bahan bakar batubara dan gas
masing-masing lebih dari 33% dan 30%, serta sisanya dengan menumbuhkan sumber
energi baru terbarukan (EBT). Untuk mencapai sasaran tersebut, terdapat dua kebijakan,
yaitu:
1) kebijakan utama yang mengatur penyediaan, pemanfaatan, kebijakan harga dan
konservasi alam;
2) kebijakan pendukung, yang mengarah kepada pengembangan infrastruktur,
kemitraan pemerintah dan swasta, serta pemberdayaan masyarakat.
Arah kebijakan energi nasional yang tertuang dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2006
adalah untuk mengoptimalkan penggunaan energi primer yang memiliki cadangan
potensial dan menurunkan ketergantungan terhadap BBM. Dengan kecenderungan
menipisnya cadangan minyak bumi dan menurunnya produksi minyak mentah, kondisi
ketahanan energi minyak semakin rentan. Kerentanan atas produksi minyak juga terlihat
dari terbatasnya kapasitas kilang minyak domestik dalam memenuhi kebutuhan dalam
negeri.21
Pada tanggal 10 Agustus 2007, Pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2007 Tentang Energi. Atas dasar amanat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2007 tersebut, lalu dibentuk Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 Tentang
Kebijakan Energi Nasional. Kemudian pada tanggal 13 Maret 2017, Peraturan Presiden
Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum Energi Nasional (selanjutnya disebut
“Perpres RUEN”) diundangkan.22 Diundangkannya Perpres RUEN ini merupakan
amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi
Nasional. Secara keseluruhan, baik RUEN maupun Kebijakan Energi Nasional ini
merupakan amanat dari UU No. 30 Tahun 2007 Tentang Energi, yang pembentukannya
bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan energi dalam negeri secara berkelanjutan,
berkeadilan dan optimal dalam rangka mencapai ketahanan energi nasional.
Pada peraturan induknya, PP No. 79 Tahun 2014 terkait Kebijakan Energi Nasional,
dua arah kebijakan pengelolaan energi nasional telah ditetapkan, yakni kebijakan utama
dan kebijakan pendukung. Lebih jauh, dalam peraturan tersebut pengelolaan energi
nasional diutamakan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Adanya prioritas

20 Ibid, halaman 3.
21 Riza Azmi dan Hidayat. Ketahanan Energi: Konsep, Kebijakan dan Tantangan bagi Indonesia Buletin Info Risiko Fiskal Edisi 1 Tahun
2014.
22 Presiden RI (a), Peraturan Presiden tentang Rencana Umum Energi Nasional, Perpres No. 22 Tahun 2017, LN No. 43 Tahun 2017.

143
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Kirana Intaniasari Politik Hukum Regulasi Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka
Ketahanan Energi

ini ditujukan untuk mencapai tujuan utama Kebijakan Energi Nasional 2050 yaitu
Kemandirian dan Ketahanan Energi Nasional. Perpres RUEN mendetailkan bahwa
prioritas pengembangan energi Indonesia kedepannya harus didasarkan pada prinsip
berikut23:
1) Memaksimalkan penggunaan energi terbarukan dengan memperhatikan tingkat
keekonomian
2) Meminimalkan penggunaan minyak bumi
3) Mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi dan energi baru
4) Menggunakan batubara sebagai andalan pasokan energi nasional.
Politik hukum yang dapat dilakukan untuk memperbaiki regulasi maupun kebijakan
migas untuk memperbaiki ketahanan energi di masa mendatang adalah sebagai berikut,
Pertama, melakukan identifikasi terhadap kondisi ketahanan energi sekarang. Hal ini
dapat dilakukan dengan menggunakan indikator ketahanan energi 4A. Kedua, mencoba
menggambarkan suatu kondisi “ketahanan energi ideal” yang menjadi acuan jangka
panjang untuk dituju. Ketiga, melakukan “gap analysis”, membandingkan antara
“kondisi saat ini” dengan “kondisi ideal” yang ingin dituju. Setelah membandingkan
lebarnya kesenjangan (gap) antara “kondisi saat ini” dengan “kondisi ideal” dalam
kasus ketahanan energi, selanjutkan yaitu menafsirkan politik hukum menjadi suatu
kebijakan atau regulasi.
Untuk perbaikan availability, perlu ditempuh langkah-langkah peningkatan produksi
migas, terutama minyak bumi yaitu dengan tindakan “pengurasan lanjut” (enhanced
oil recovery) dan eksplorasi untuk mendapatkan cadangan baru. Agar pekerjaan besar
tersebut dapat berlangsung baik, iklim investasi bagi pembangunan minyak dan gas
bumi (terutama di sektor hulu) harus diperbaiki. Mengingat pentingnya peningkatan
produksi minyak bumi tersebut bagi ketahanan energi, deregulasi dan debirokratisasi
untuk memperbaiki iklim investasi tersebut layak ditempuh. Selain meningkatkan
produksi migas, impor energi harus dicegah agar tidak tumbuh cepat atau bahkan dapat
dikurangi. Peningkatan ketergantungan impor energi merentankan ketahanan energi,
menekan neraca perdagangan internasional Indonesia, di samping menjadi beban berat
bagi APBN. 24
Selanjutnya yaitu mengembangkan infrastruktur energi, terutama untuk gas bumi,
sehingga cadangan gas bumi di daerah terpencil dapat diolah. Akses terhadap energi
juga perlu ditingkatkan untuk memberikan pelayanan energi kepada penduduk di pulau-
pulau kecil, pulau-pulau terluar, serta di wilayah perbatasan dengan negara tetangga.
Teknologi energi yang sesuai, misalnya tenaga matahari, dapat dimanfaatkan untuk
upaya memperbesar akses energi tersebut. Mempercepat pengembangan potensi energi
terbarukan juga sangat penting ditempuh, terutama panas bumi (geothermal) dan air
(hydro). Kedua jenis energi terbarukan yang potensinya cukup besar di Indonesia ini
dan sedikit banyak sudah dimanfaatkan perlu terus didorong pengembangannya. 25
Berdasarkan hal tersebut UU Nomor 22 tahun 2001 dianggap belum cukup memadai
sebagai instrumen hukum yang dapat memecahkan berbagai masalah ketahanan energi

23 Grita Anindarini Widyaningsih. Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional. JURNAL
HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017.
24 Perencanaan Pembangunan. Kementrian PPN/Bappenas. Edisi 02, Tahun XX, September 2014, halaman 7.
25 Ibid, halaman 8.

144
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Kirana Intaniasari Politik Hukum Regulasi Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka
Ketahanan Energi

di atas. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang cenderung membuka liberalisasi


dalam pengelolaan migas, cenderung berorientasi pada ekonomi, mengutamakan
produksi migas sebanyak-banyaknya dan kurang memperhatikan ketahanan energi di
masa mendatang. Diperlukan regulasi migas yang baru dalam rangka mewujudkan
ketahanan energi seperti yang dicita-citakan pada Undang-Undang Nomor 30 tahun
2007 tentang Energi. Regulasi dan kebijakan migas harus selaras dengan tujuan Pasal
33 UUD NRI 1945 bahwa pemanfaatannya harus sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat namun juga harus mempertimbangkan ketahanan energi di masa yang akan
datang. Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 cukup mengundang reaksi dan
kontroversial dan diprediksi kuat berpihak kepada investor asing.26 Kebijakan atau
regulasi baru harus dapat mewujudkan politik hukum yang dicita-citakan, harus lebih
memperhatikan bahwa pengelolaan migas tidak boleh semata-mata mengutamakan
produksi sebanyak-banyaknya, tetapi juga menyeimbangkan antara kebutuhan dan
pasokan yang kita punya. Regulasi migas harus selaras dengan UU Nomor 30 Tahun 2007
tentang Energi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri secara berkelanjutan,
berkeadilan dan optimal dalam rangka mencapai ketahanan energi nasional.

C. PENUTUP
Kesimpulan
Ketahanan energi (energy security) digambarkan dengan indikator 4A yaitu terdiri dari,
bagaimana ketersediaan fisiknya (availability), bagaimana kemudahan mendapatkannya
(accessibility), bagaimana keterjangkuan harganya (affordability), serta bagaimana/
seberapa kualitasnya yang dapat diterima (acceptability). Dari keempat indikator tersebut,
dapat dilihat dari kenyataannya bahwa banyak sekali ancaman dan masalah yang dihadapi
Indonesia dalam mewujudkan Ketahanan Energi. Peraturan yang saat ini berlaku yaitu
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dianggap belum cukup memadai
sebagai instrumen hukum yang dapat memecahkan berbagai masalah ketahanan energi.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 cenderung membuka liberalisasi dalam pengelolaan
migas, cenderung berorientasi pada ekonomi, mengutamakan produksi migas sebanyak-
banyaknya dan kurang memperhatikan ketahanan energi di masa mendatang. Regulasi dan
kebijakan migas harus selaras dengan tujuan Pasal 33 UUD NRI 1945 bahwa pemanfaatannya
harus sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat namun juga harus mempertimbangkan
ketahanan energi di masa yang akan datang.
Saran
Diperlukan pembaharuan regulasi migas dalam rangka mewujudkan ketahanan energi seperti
yang dicita-citakan pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi yaitu untuk
memenuhi kebutuhan energi dalam negeri secara berkelanjutan, berkeadilan dan optimal
dalam rangka mencapai ketahanan energi nasional.

26 Fakta ini disampaikan oleh Kurtubi bersama pengamat perminyakan Wahyudin Yudiana Ardiwinata di Gedung Nusantara II DPR,
Rabu (27/8/2010), yang menjadi saksi ahli yang dihadirkan menduga ada intervensi asing dalam penyusunan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas pada Sidang Panitia Angket. Lihat: http://indonesianvoices.wordpress.com

145
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Kirana Intaniasari Politik Hukum Regulasi Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka
Ketahanan Energi

DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007.
Mahfud MD, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
PadmoWahyono, Indonesia Negara Berdasatkan atas hukum, Cet. II, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
Padmo Wahyono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan, Forum Keadilan,
No. 29 April 1991, 1991.
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana, Sinar
Baru, Bandung, 1983.

Jurnal :
Chester, L. Conceptualising energy security and making explicit its polysemic nature, Energy
Policy, Elsevier, vol. 38(2), pages 887-895. 2010.
Grita Anindarini Widyaningsih. Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana
Umum Energi Nasional. JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1,
SEPTEMBER 2017.
Muhammad Bagus Adi W, I Gusti Ayu KRH, Lego Karjoko. Strengthening The Government’s
Supervision in coal mining As Enforcement of Administrative Laws In Post And Mining
Activities. International Journal of Advanced Science and Technology. Vol. 29, No 3,
(2020), pp. 2870-2877
Nike K. Rumokoy, Pelanggaran Hukum Terhadap Penggunaan Minyak Dan Gas Bumi (Migas)
Yang Terkandung Di Dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia Oleh Pihak Yang
Tidak Berwenang, Jurnal Hukum Unsrat Vol.22 No.5, Januari, 2016
Riza Azmi dan Hidayat. Ketahanan Energi: Konsep, Kebijakan dan Tantangan bagi Indonesia
Buletin Info Risiko Fiskal Edisi 1 Tahun 2014

Sumber Lain :
http://ekonomibisnis.suarasurabaya.net/news/2014/144578
http://indonesianvoices.wordpress.com
Laporan SKK MIGAS 2013
Perencanaan Pembangunan. Kementrian PPN/Bappenas. Edisi 02, Tahun XX, September 2014
Rachmad Hardadi, Kondisi Pasokan dan Permintaan BBM di Indonesia dan Upaya Pertamina
dalam Pemenhuna Kebutuhan BBM Nasional, 2015.
Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019.
Singh, S. Energy Security: Concepts and Concerns in India, 2012, http://inpec.in/2012/09/24/
energy-security-concepts-and-concerns-in-india/

146
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

JAMINAN KONSTITUSIONAL DAN KEBIJAKAN PUBLIK DALAM


KEHIDUPAN BERBANGSA DI TENGAH PANDEMI COVID-19
Dr. Wilma Silalahi, S.H., M.H.1

Abstrak
Di tengah pandemi covid-19, setiap warga negara berhak atas jaminan konstitusional tanpa
diskriminasi. Pandemi covid-19 yang tengah mengancam kesehatan seluruh dunia menjadi
sebuah momok yang menakutkan, mengakibatkan masalah dan krisis global di tengah kehidupan
bernegara. Sehingga, permasalahan yang menarik untuk diangkat adalah bagaimana jaminan
konstitusional dan kebijakan publik berpengaruh dalam penyelamatan kehidupan berbangsa
di tengah pandemi covid-19. Penulis dalam tulisannya menggunakan metode yuridis normatif.
Seluruh dunia tidak ada yang mengetahui kapan pastinya pandemi covid-19 ini akan berakhir.
Menjadi suatu permasalahan sendiri apabila kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan oleh
pemerintah justru menjadi permasalahan sendiri. Dampak yang diakibatkan oleh pandemi
covid-19 sangat memengaruhi segala sektor, sampai beberapa negara menerapkan state crisis
management. Yang menjadi perhatian utama dalam mengeluarkan suatu kebijakan publik adalah
mengutamakan alasan kesehatan, sehingga semua pihak wajib mematuhi protokol kesehatan dan
kebijakan publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
Kata kunci: jaminan konstitusional, kebijakan publik, pandemi covid-19, protokol kesehatan,
state crisis management.

A. Pendahuluan
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik2 serta merupakan negara
hukum (the state of law)3, yang mempunyai tujuan dalam bernegara sebagaimana yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, pembentukan suatu pemerintahan
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.4
Tujuan dari negara kesatuan adalah suatu kehidupan bersama menghadapi hambatan dan
rintangan serta gangguan yang akan dihadapi ke depannya, misalnya dengan mewabahnya
virus corona yang menjadi krisis global, bagaimana kebijakan yang diberlakukannya untuk
menghadapi pandemi ini.5Konstitusi World Health Organization (WHO), 1948 menegaskan
bahwa “memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak asasi
bagi setiap orang” (the enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the

1 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jalan Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat – 10110, E-mail: silalahiwilma@gmail.
com and wilma@mkri.id, S1 pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, S2 pada Program Megister Ilmu Hukum
Universitas Indonesia, S3 pada Program Studi Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
2 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).
3 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
4 Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945.
5 M. Guntur Hamzah, Konstitusi dan Kebijakan Publik Dalam Penyelamatan Kehidupan Bersama, disampaikan dalam Webinar Nasional
APHTN-HAN Sumatera Utara melalui aplikasi Zoom, Selasa, 2 Juni 2020.

147
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

fundamental rights of every human being).6 Di tengah pandemi covid-19 yang merupakan
krisis global nonalam (non nature disaster),7 kepada setiap warga negara, Pemerintah
harus memberi jaminan konstitusional karena merupakan hal yang fundamental. Jaminan
konstitusional di tengah pandemi covid-19 antara lain hak atas hidup, hak atas pendidikan,
hak atas pelayanan kesehatan, terpenuhinya hak asasi manusia, hak atas kepastian hukum
yang adil, hak atas pendidikan, fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana yang tercantum
dalam:
- Pasal 28A UUD 1945, menyatakan “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
- Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum”.
- Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
- Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
- Pasal 31 ayat (1) UUD 1945, menyatakan “Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan”.
- Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Dengan pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Januari 2020, bahwa wabah
penyakit virus corona baru yang terjadi di Provinsi Hubei, Cina sebagai Darurat Kesehatan
Masyarakat yang merupakan Keprihatinan Internasional.8 Dua bulan kemudian, pada 11
Maret 2020, WHO juga menyatakan wabah virus corona covid-19 sebagai pandemi.9 Pada
saat diumumkan sebagai pandemi global, jumlah terinfeksi di seluruh dunia mencapai
121.000 (seratus dua puluh satu ribu) orang.10
Dengan demikian, yang menjadi permasalahan yang menarik adalah bagaimana jaminan
konstitusional dan kebijakan publik berpengaruh dalam penyelamatan kehidupan berbangsa
di tengah pandemi covid-19. Isu ini menjadi menarik, mengingat hingga saat ini tidak ada
yang dapat mengetahui sampai berapa lama pandemi covid-19 ini akan berakhir dan semua
warga negara di dunia dapat kembali hidup normal. Tulisan sederhana ini tidak bermaksud
untuk menjastifikasi perjalanan konstitusi dan kebijakan publik akibat pandemi covid-19, tapi
hendak memberi pilihan sudut pandang lain, meskipun tidak dapat dihindari pikiran-pikiran
yang beririsan satu sama lain. Dalam tulisan ini akan dilakukan kajian untuk mengetahui
bagaimana jaminan hak konstitusional dan kebijakan publik dalam kehidupan berbangsa.

6 Indra Perwira, Memahami Kesehatan Sebagai Hak Asasi Manusia, 2014, Koleksi Dokumentasi Elsam, https://referensi.elsam.or.id/
wp-content/uploads/2014/12/Kesehatan_Sebagai_Hak_Asasi_Manusia.pdf, diunduh 30 Juni 2020.
7 Agus Khoirul Anam, Sri Winarni, Linggar Handes, Gambaran Kesiapan Pedagang Pasar Dalam Penanggulangan Bencana Kebakaran
di Pasar Legi Kota Blitar (Disaster Nursing Research), Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 3, No. 3, Desember 2016, hlm. 278-279.
8 International Labour Organization (ILO), Dalam menghadapi pandemi: Memastikan Keselamatan dan Kesehatan di Tempat Kerja,
https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_742959.pdf,
diunduh 29 Juni 2020.
9 Ibid.
10 World Health Organization, WHO Director-General’s opening remarks at the media briefing on COVID-19 – 11 March 2020, https://
www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19—11-march-2020,
diunduh 30 Juni 2020.

148
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

Apakah kehidupan konstitusi dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah


dalam menghadapi pandemi covid-19 dapat menjadi penyelamat kehidupan berbangsa.
Oleh karena itu, kajian ini menggunakan pendekatan normatif dengan paradigma
post-positivisme, bahwa di tengah mewabahnya pandemi covid-19, Pemerintah perlu
mengeluarkan kebijakan-kebijakan dan regulasi yang segera untuk meminimalisir dan
menstabilkan kehidupan berbangsa. Kajian ini menggunakan metode yuridis normatif11atau
menurut Wignjosoebroto adalah penelitian doktrinal,12 yaitu kajian yang menggunakan legis
positivis, yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat
dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu dalam konsepsi ini
dipandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup, dan terlepas
dari kehidupan masyarakat. Satjipto Rahardjo menyebut perspektif ini adalah melihat hukum
sebagai suatu peraturan-peraturan yang abstrak, perhatiannya akan tertuju pada lembaga
yang benar-benar otonom, yaitu yang dapat dibicarakan sebagai subyek tersendiri, terlepas
dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan tersebut. Pemusatannya akan membawa pada
metode yang normatif dan sesuai dengan pembahasannya yang analisis, sehingga metode ini
disebut normatif analisis.13

B. Pembahasan
Virus corona (covid-19)14 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang baru
ditemukan dan dikenal sebagai sindrom pernapasan akut parah virus corona 2 (SARS-
CoV-2). Kasus manusia pertama covid-19 diidentifikasi di Kota Wuhan, Cina pada
November 2019.15 Virus corona merupakan keluarga besar virus yang umum terdapat pada
hewan, yang dapat menginfeksi pada hewan atau manusia, serta merupakan penyakit yang
dapat menyebar kepada orang lain. Virus corona menyebabkan infeksi pernapasan mulai
dari flu biasa hingga penyakit yang lebih parah seperti Sindrom Pernapasan Timur Tengah
(MERS) dan Sindrom Pernapasan Akut Parah (SARS).16 Virus corona yang paling baru
ditemukan inilah yang menyebabkan penyakit virus corona covid-19.17
Dengan mewabahnya pandemi covid-19 ini, negara seharusnya tetap berjalan dengan
berbagai kebijakan-kebijakannya, tetapi tetap mengutamakan kepentingan warga negara.
Pandemi covid-19 berdampak terhadap berbagai sektor/infrastruktur dalam kehidupan
peradaban manusia terutama terhadap sistem pemerintahan. Namun, negara dalam hal ini
Pemerintah tidak boleh terpuruk dengan pandemi covid-19 ini. Sehingga saat ini dibutuhkan
kesiapan semua unsur dan apabila memungkinan kondisi saat ini dapat lebih maju dari era
sebelumnya, dengan kesiapan pola pikir yang lebih modern. Dengan demikian, semua
elemen/sektor harus bangkit dan segera berbenah diri. Untuk itu, dibutuhkan jaminan hak
konstitusional dan kebijakan publik yang memberikan kepastian hukum terhadap warga

11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985, hlm. 15.
12 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 42.
13 Ibid., hlm. 67-68.
14 Leo Sher, The Impact of the Covid-19 pandemic on suicide rates, Oxford, QJM: AN International Journal of Medicine, 2020, p. 1.
15 Heldavidson, First Covid-19 case happened in November, China government records show – report 2020, https://www.theguardian.
com/world/2020/mar/13/first-covid-19-case-happened-in-november-china-government-records-show-report, diunduh 30 Juni
2020.
16 NIH, New coronavirus stable for hours on surfaces SARS-CoV-2 stability similar to original SARS, 2020, virushttps://www.sciencedaily.
com/releases/2020/03/200317150116.htm, diunduh 30 Juni 2020.
17 ILO, …Op.cit.

149
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

negara bahwa hak konstitusionalnya akan terjamin. Kebijakan publik yang dimaksud di
sini dapat juga sebagaimana yang dimaksud oleh Thomas R Dye, yaitu apa yang dipilih
oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan.18 Selain itu, Pemerintah juga harus
memberikan jaminan terhadap hak konstitusional setiap warga negara tidak akan terlanggar
serta kepastian hukum yang adil tanpa diskriminasi terhadap warganya.
Tujuan Kebijakan, Ciri-ciri Kebijakan, dan Tahap-tahap Kebijakan Publik
Implikasi dampak pandemi covid-19 terhadap berbagai sektor/infrastruktur, selain implikasi
kesehatan, juga sangat berimplikasi ke sektor ekonomi.19 Sehingga Pemerintah, dalam hal
ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan berbagai macam kebijakan, antara lain
Perpu tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan
pandemi covid-19.20 Perpu ini memberikan pondasi bagi pemerintah, otoritas perbankan, dan
otoritas keuangan untuk melakukan langkah-langkah luar biasa dalam menjamin kesehatan
masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan.21
Tujuan kebijakan publik ini adalah:22 (1) dapat dicapainya kesejahteraan masyarakat melalui
peraturan yang dibuat oleh pemerintah; (2) dapat diperolehnya nilai-nilai oleh publik baik
yang bertalian dengan barang publik (public goods) maupun jasa publik (public service).23
Sementara ciri-ciri dari kebijakan itu sendiri, yaitu: (1) kebijakan adalah suatu tindakan
pemerintah yang bertujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat; (2) kebijakan dibuat
melalui tahap-tahap yang sistematis sehingga semua variabel pokok dari semua permasalahan
yang akan dipecahkan tercakup; (3) kebijakan harus dapat dilaksanakan oleh unit organisasi
pelaksana; (4) kebijakan perlu dievaluasi sehingga diketahui berhasil atau tidaknya dalam
menyelesaikan masalah.
Tahap-tahap kebijakan publik, menurut Harold F Gortner, terdapat 5 (lima) tahap dalam
proses terjadinya kebijakan publik, yaitu:24
1. Identifikasi masalah (identification of needs), yaitu mengidentifikasikan kebutuhan-
kebutuhan masyarakat dalam pembangunan dengan mengikuti beberapa kriteria, antara
lain: analisis data, sampel dan data statistik, model-model simulasi, analisis sebab
akibat, dan teknik-teknik peramalan.
2. Formulasi usulan kebijakan, mencakup faktor-faktor strategi, alternatif-alternatif yang
bersifat umum, kemantapan teknologi, dan analisis dampak lingkungan.
3. Adopsi, mencakup analisis kelayakan politik, gabungan beberapa teori politik, dan
penggunaan teknik-teknik penganggaran.
4. Aplikasi, yaitu pelaksanaan program yang mencakup bentuk-bentuk organisasi, model
penjadwalan, penjabaran keputusan-keputusan, keputusan-keputusan penetapan harga,
dan skenario pelaksanaan.

18 Thomas R Dye, Understanding Public Policy, 1978. Lihat Kompas.com, Kebijakan Publik: Pengertian, Tujuan dan Ciri-ciri, https://www.
kompas.com/skola/read/2020/02/06/210000269/kebijakan-publik--pengertian-tujuan-dan-ciri-ciri?page=all, diunduh 15 Juli 2020.
19 Arti Majumdar, Neelesh Malyiya, and Shashi Alok, An Overview on Covid-19 Outbreak: Epidemic to Pandemic, International Journal
of Pharmaceutical Sciences and Research, Volume 11, Issue 5, 2020.
20 5 Poin Penting dalam Perpu Kebijakan Ekonomi Terkait Covid-19, https://katadata.co.id/berita/2020/04/02/5-poin-penting-dalam-
perpu-kebijakan-ekonomi-terkait-covid-19, diunduh 30 Juni 2020.
21 Ibid.
22 Ibid.
23 Kompas.com, …Op.cit.
24 Harold F Gortner, Public Administration, 1984. Lihat Kompas.com, …Op.cit.

150
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

5. Evaluasi, mencakup penggunaan metode-metode eksperimental, sistem informasi,


auditing, dan evaluasi mendadak.
Democratic Constitutional State
Sebagai negara modern, harus menganut prinsip demokrasi dan konstitusi yang menjadi dasar
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua karakteristik itu tidak dapat dipisahkan, karena
konstitusi dapat dikatakan sebagai salah satu wujud sekaligus piranti hukum demokrasi.25
Demokrasi modern26 dibentuk atas prinsip kedaulatan rakyat,27 dimana kekuasaan tersebut
ditransformasikan ke dalam organisasi negara melalui teori perjanjian sosial sebagai dasar
berdiri dan penyelenggaraan negara.28 Melalui perjanjian sosial akan tercapai kesepakatan
bersama (general agreement), yaitu kesepakatan pendirian negara untuk mencapai tujuan
tertentu, antara lain prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara, hak-hak warga negara
yang harus dilindungi, serta organisasi penyelenggaraan negara.29
Kesepakatan bersama dari seluruh rakyat diwujudkan dalam bentuk dokumen dasar
berdirinya negara demokrasi, yaitu konstitusi.30 Oleh karena itu, konstitusi merupakan
hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (the supreme law of the land).31
Dengan demikian, rakyat sebagai pemegang terakhir dalam kehidupan rakyat termasuk
dalam menilai kebijakan negara karena turut menentukan kehidupan rakyat/kesejahteraan
rakyat,32 sehingga demokrasi sebagai suatu gagasan politik harus mencakup minimal 5
(lima) kriteria, yaitu: (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang
mengikat; (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara
dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif; (3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya
peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses
politik dan pemerintahan secara logis; (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya
keputusan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan
tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan
itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyarakat; dan (5) pencakupan, yaitu
terliputnya masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.33
Keingginan untuk mewujudkan negara sebagai welfare state (negara kesejahteraan/
kemakmuran),34 yang lahir sebagai akibat dalam mewujudkan suatu sistem baru yang
tidak hanya memandang negara sebagai instrument of power, tetapi juga dipandang negara

25 Muchamad Ali Safa’at, Konstitusi Dalam Demokrasi, http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/KONSTITUSI-DALAM-DEMOKRASI.


pdf, diunduh 12 Juli 2020.
26 Dalam demokrasi modern, keberadaan negara diasumsikan sebagai bentukan rakyat dan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
atau kepentingan seluruh rakyat.
27 Prinsip kedaulatan rakyat, artinya kekuasaan tertinggi dalam suatu negara ada di tangan rakyat.
28 Muchamad Ali Safa’at, Op.cit.
29 Ibid.
30 Ibid.
31 Ibid.
32 Heru Nugroho, Demokrasi dan Demokratisasi; Sebuah Kerangka Konseptual Untuk Memahami Dinamika Sosial-Politik di Indonesia,
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, Mei 2012, hlm. 5.
33 Negara Kesejahteraa (welfare state), yaitu sebagai suatu negara dimana pemerintahan negara dianggap bertanggung jawab dalam
menjamin standar kesejahteraan hidup minimum bagi setiap warga negaranya. Oman Sukmana, Konsep dan Desain Negara
Kesejahteraan (Welfare State), Jurnal Sospol, Vol 2 No. 1 (Juli-Desember 2016), hlm. 104.
34 Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, terjemahan Sahat Simamora, Jakarta: Rajawali Press, 1985,
hlm. 19-20. Lihat Muntoha, Demokrasi dan Negara Hukum, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 Juli 2009: 379-395, hlm. 381.

151
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

sebagai agency of service,35 yang memandang manusia tidak hanya sebagai individu, akan
tetapi juga negara sebagai anggota atau warga dari suatu kolektivitas dan juga untuk tujuan
diri sendiri.36 Dalam konsepsi negara kesejahteraan/kemakmuran, negara dituntut untuk
memperluas tanggung jawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi
oleh rakyat banyak, peran personal untuk menguasai hajat hidup rakyat banyak dihilangkan,
negara justru perlu dan bahkan harus melakukan intervensi dalam berbagai masalah sosial
dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama.37 Dengan demikian, yang
menjadi ciri-ciri pokok dari suatu welfare state (negara kesejahteraan/kemakmuran) adalah
sebagai berikut:38
1. Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politica dipandang tidak prinspil lagi.
Pertimbangan-pertimbangan efisiensi kerja lebih penting dari pada pertimbangan-
pertimbangan dari sudut politis, sehingga peranan dari organ-organ eksekutif lebih
penting dari pada organ legislatif;
2. Peranan negara tidak terbatas pada penjaga keamanan dan ketertiban saja, akan tetapi
negara secara aktif berperan dalam penyelenggaraan kepentingan rakyat di bidang-
bidang sosial, ekonomi, dan budaya, sehingga perencanaan (planning) merupakan alat
yang penting dalam welfare state;
3. Welfare state merupakan negara hukum materiil yang mementingkan keadilan sosial
dan bukan persamaan formil;
4. Hak milik tidak lagi dianggap sebagai hak yang mutlak, akan tetapi dipandang mempunyai
fungsi sosial, yang berarti ada batas-batas dalam kebebasan penggunaannya; dan
5. Adanya kecenderungan bahwa peranan hukum publik semakin penting dan semakin
mendesak peranan hukum perdata. Hal ini disebabkan karena semakin luasnya peranan
negara dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
Negara hukum harus ditopang dengan sistem demokrasi karena terdapat korelasi yang jelas
antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi.39 Sehingga, demokrasi konstitusional
merupakan salah satu tipe demokrasi yang mana kekuasaan kaum mayoritasnya dilakukan
dalam memenuhi kerangka kerja konstitusi.40 Dengan demikian, demokrasi konstitusi
merupakan kinerja pemerintahan berdasarkan konstitusi yang berlaku.41 Dalam negara
demokrasi konstitusi, nilai-nilai dasar demokrasi konstitusi menunjuk kepada sebuah sistem
yang memberikan perhatian penuh kepada hak asasi manusia dan nilai-nilai yang dimiliki
oleh setiap individu.42

35 Marilang, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat (Studi Pengelolaan Tambang), Ikhtiar, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Keilmuan
Secara Aktual, Edisi Khusus, Makassar: Ikhtiar, 29 Juni 2010, hlm. 110.
36 Muntoha, Op.cit., hlm. 385-386.
37 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, hlm. 222.
Lihat Muntoha, Op.cit., hlm. 386.
38 Sorjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Keranka Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1975,
hlm. 54-55. Lihat Muntoha, Op.cit.
39 Muntoha, Op.cit.
40 Arli Fauzi, Demokrasi Konstitusional, https://cerdika.com/demokrasi-konstitusional/#Apa_Itu_Demokrasi_Konstitusional, diunduh
12 Juli 2020.
41 Ibid.
42 Ibid.

152
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

Oleh karena itu, karakteristik dan prinsip utama dalam democratic constitutional state,
antara lain:43
1. Kedaulatan rakyat (popular sovereignty);
2. Aturan mayoritas dan hak minoritas (majority rule and minority rights);
3. Pemerintahan terbatas (limited government), dapat dilaksanakan melalui:
a. Pemisahan dan pembagian kekuasaan (separated and shared powers);
b. Saling menjaga dan mengimbangi (checks and balances);
c. Proses hukum (due process of law);
d. Suksesi kepemimpinan melalui pemilu (leadership succession through elections).

Dampak Pandemi
Berdasarkan data yang dirilis oleh website corona.help.com dan website worsdometer.
com per tanggal 3 April 2020, menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan pertama
dari total angka akumulasi kematian akibat pandemi covid-19 dengan Jakarta sebagai
epicentrum penyebaran covid-19 di Indonesia diantara negara-negara Asean.44 Kebijakan
dan upaya pencegahan skala selebaran pandemi covid-19 yang pertama kali diumumkan
oleh Presiden Joko Widodo, 2 Maret 2020 telah berimbas pada perubahan cara dan ritme
beragam aktivitas, baik sosial kemasyarakatan, pelayanan publik, maupun kegiatan bisnis.45
Dengan demikian, dampak yang diakibatkan oleh pandemi covid-19 memengaruhi terhadap
berbagai sektor, antara lain:
1. Kesehatan
Penyebaran covid-19 yang mudah, cepat, dan luas mengakibatkan terjadinya krisis dan
darurat kesehatan.46 Oleh karena itu, perhatian khusus harus diberikan terhadap tenaga
kesehatan, karena tenaga kesehatan-lah salah satu unsur yang kontak langsung dengan
penderita, sehingga pada saat banyak yang terkena virus corona, tenaga kesehatan juga
banyak yang meninggal dunia akibat terpapar virus corona.
Juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19, Ahmad Yurianto
mengungkapkan strategi dalam penanganan pandemi covid-19, yaitu melalui Physical
distancing, merupakan strategi dasar dalam mengatasi pandemi covid-19, antara lain:47
a. Gerakan masker, 48 dengan cara mengampanyekan kewajiban memakai masker saat
berada di ruang publik atau di luar rumah;
b. Penelusuran kontak (tracing) dari kasus positif yang dirawat dengan menggunakan
rapid test atau tes cepat, antara lain pada orang terdekat, tenaga kesehatan yang
merawat pasien covid-19, serta masyarakat di daerah yang banyak ditemukan
kasus;
c. Isolasi, dapat dilakukan mandiri atau berkelompok seperti diinisasi oleh beberapa
kelompok masyarakat;

43 M. Guntur Hamzah, …Op.cit.


44 Taufik dan Eka Avianti Ayuningtyas, Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Bisnis dan Eksistensi Platform Online, Jurnal Pengembangan
Wiraswsta Vol. 22 No. 01 – Apr 2020, LP2M Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IPWI Jakarta, hlm. 25.
45 Ibid.
46 M. Martini, V. Gazzaniga, N.L. Bragazzi, and Barberis, The Spanish Influenza Pandemic: a lesson from history 100 years after 1918,
JPMH: Journal of Preventive Medicine and Hygiene, 2019.
47 Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Empat Strategi Pemerintah Atasi Covid-19, https://covid19.go.id/p/berita/empat-
strategi-pemerintah-atasi-covid-19, diunggah 15 Juli 2020.
48 Ardhana Januar Mahardhani, Menjadi Warga Negara yang Baik pada Masa Pandemi Covid-19: Perspektif Kenormalan Baru, JPK:
Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan Vol. 5 No. 2 Tahun 2020, hlm. 73.

153
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

d. Isolasi rumah sakit, dilakukan kala isolasi mandiri tidak mungkin dilakukan, seperti
karena ada tanda klinis yang butuh layanan definitif di rumah sakit, termasuk isolasi
di rumah sakit darurat, baik di Wisma Atlet ataupun di Pulau Galang yang akan
diikuti beberapa daerah untuk melakukan isolasi kasus positif dengan gejala klinis
ringan hingga sedang yang tidak mungkin dilaksanakan isolasi mandiri.
2. Sosial
Dalam bidang sosial tidak kalah berdampaknya covid-19. Warga negara wajib berhenti
dari segala kegiatan sosial, kerumunan sangat dilarang, termasuk sekolah dan ibadah
harus dilaksanakan secara daring (online). Pekerja diberlakukan kebijakan bekerja
dari rumah (work from home). Pada saat memasuki new normal, kerumunan mulai
dilonggarkan, tetapi korban akibat pandemi covid-19 ini justru semakin meningkat,
rakyat banyak yang tidak mengikuti protokol kesehatan. Untuk itu, pemerintah harus
lebih tegas memutus mata rantai penyebaran covid-19.49
3. Ekonomi
Pandemi covid-19 telah menimbulkan economic shock, yang memengaruhi ekonomi
secara perorangan, rumah tangga, perusahaan mikro kecil, menengah, maupun besar,
bahkan memengaruhi ekonomi negara dengan skala cakupan dari lokal, nasional, dan
bahkan global.50 Pandemi covid-19 ini telah mengurangi dan menghentikan beragam
aktivitas masyarakat, pelajar, mahasiswa, pekerja di area publik, berhentinya pabrikasi,
transportasi darat, jalur penerbangan, dan ditundanya banyak pembangunan dan
tertundanya investasi, termasuk aktivitas sektor keuangan, perbankan, serta ekspor
impor yang menyebabkan penurunan angka pertumbuhan (decline) 2% dari posisi 6%
pada capaian sebelum pandemi covid-19.51
Di masa pandemi covid-19 ini, kinerja ekonomi menurun tajam dan rantai suplai global
terdisrupsi seketika. Akibat pandemi covid-19 ini, beberapa lembaga negara, antara lain:
International Monetary Fund (IMF), memproyeksikan ekonomi global tumbuh minus
di angka 3% atau terjadi perlemahan ekonomi dunia.52 Menurut Menteri Keuangan,
bahwa pendapatan negara dan hibah pada akhir triwulan I tahun 2020 telah mencapai Rp.
375,95 triliun.53 Capaian pendapatan negara tersebut tumbuh 7,75%, dimana jauh lebih
baik dibandingkan pertumbuhan di bulan Februari 2020 sebesar minus 0,5%.54 Dengan
berlakunya sistem kerja work from home (WFH), baik yang berlaku di sektor pemerintah
maupun di sektor swasta, mempunyai dampak terhadap perlambatan kegiatan usaha
yang terjadi mulai akhir Maret 2020, yang berpotensi menurunkan penyerahan dalam
negeri, juga akan menekan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN
DN) bulan April 2020.55 Selain itu, dampak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB), juga mempunyai dampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi.

49 Sinergi Memutus Mata Rantai Pandemi, Gentra, Buletin Universitas Padjajaran, Juni 2020, Edisi Khusus Covid-19, hlm. 04.
50 Taufik dan Eka Avianti Ayuningtyas, …Op.cit., hlm. 22.
51 Penelitian oleh Naushad Khan dan Shah Faisal (2020). Lihat Taufik dan Eka Avianti Ayuningtyas, …Op.cit., hlm. 24.
52 Siaran Pers Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Nomor SP – 27/KLI/2020, https://www.kemenkeu.go.id/media/14954/sp-
27-pemerintah-waspada-dampak-pandemi-covid-19-terhadap-ekonomi-indonesia_v5a.pdf, diunduh 27 Juni 2020.
53 Ibid.
54 Ibid.
55 Ibid.

154
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

Konsekuensi dari himbauan penutupan pusat perbelanjaan dan social distance adalah
berkurangnya jumlah toko atau outlet yang dibuka, jam buka toko/outlet, serta jumlah
konsumen yang berkunjung. Hal ini berdampak pada 3 (tiga) sisi, yaitu: bagi pelaku
usaha perdagangan (termasuk usaha mikro dan kecil), bagi konsumen, dan bagi pemilik
properti seperti pemilik pertokoan/mall/plaza.56 Untuk angkutan online juga terasa
dampaknya karena pengurangan aktivitas warga di luar rumah menurun, tetapi masih
dimungkinkan dengan program kemitraan, misalnya antara Gojek dan Grab dengan
penjual (merchant) terutama untuk layanan pesan antar makanan/minuman dan bahan
pokok serta produk kesehatan.57 Selain itu juga berdampak terhadap bisnis perhotelan
yang mengalami penurunan customer, bisnis parawisata.58
Namun, ada juga bisnis yang bertahan selama pandemi covid-19, antara lain: farmasi,
produk kesehatan, bisnis online (pendidikan, ritel bahan kebutuhan pokok, bisnis
pengiriman barang online terutama untuk hantaran makan/minuman dan kebutuhan
pokok), telekomunikasi, penyedia/vendor platform online.59
4. Keuangan
Terjadi volatilitas dan gejolak sektor keuangan serta turunnya investor confidence.
Menteri Keuangan menyampaikan bahwa APBN meng-cover kebutuhan kesehatan,
bidang sosial, dan bidang ekonomi yang kesemuanya mempunyai dampak akibat pandemi
covid-19. Oleh karena itu, kebijakan extraordinary Pemerintah untuk mengurangi
dampak akibat penyebaran virus covid-19, antara lain melalui penerbitan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu 1/2020).60
Sementara, untuk mereduksi dampak pandemi covid-19, Pemerintah memberlakukan
larangan sementara atas ekspor alat kesehatan, relaksasi Free Alongside Ship (FAS)
Impor, pembebasan cukai alkohol, relaksasi ijin impor untuk alat kesehatan, relaksasi
PPh impor untuk perusahaan Kemudahan Impor Untuk Tujuan Ekspor (KITE),
percepatan layanan online untuk penanganan covid-19, relaksasi pelunasan cukai dan
produksi rokok, percepatan logistik dengan sistem National Logistik Ecosystems (NLE),
dan relaksasi penjualan lokal dari perusahaan KB/KITE.61
5. Politik dan hukum
Dengan mewabahnya virus covid-19 ini, berdampak juga terhadap bidang politik dan
bidang hukum. Akibat dampak ekonomi dan sosial masa pandemi covid-19, yaitu
kesulitan dalam hal pendapatan, berpotensi menimbulkan krisis politik, terutama soal
kepercayaan publik kepada pemerintah, antara lain: politik yang tidak stabil (chaos
politik).62 Selain itu, menurut Wakil Ketua Komisi I Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Abdul Kharis, bahwa ketidaksiapan pemerintah menangani pandemi covid-19 dapat

56 Taufik dan Eka Avianti Ayuningtyas, …Op.cit., hlm. 27.


57 Ibid, hlm. 28.
58 Ibid, hlm. 29.
59 Ibid, hlm. 30.
60 Siaran Pers Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Nomor SP – 27/KLI/2020, Op.cit.
61 Ibid.
62 Media Indonesia, Pandemi Covid-19 Berpeluang Ciptakan Krisis Politik, https://mediaindonesia.com/read/detail/311139-pandemi-
covid-19-berpeluang-ciptakan-krisis-politik, diunduh 15 Juli 2020.

155
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

menciptakan krisis politik pada pemerintahan yang sedang berjalan.63 Terhadap


pemilihan kepala daerah yang sudah merupakan agenda politik bangsa Indonesia, juga
mengalami penundaan dengan alasan kesehatan. Sementara dalam sistem peradilan,
juga sementara waktu sempat mengakibatkan proses persidangan di pengadilan menjadi
terhambat, tetapi segera dapat diatasi dengan persidangan melalui daring ataupun
persidangan tatap muka tetapi dengan mengikuti protokol kesehatan.
Dalam bidang hukum, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dengan alasan
kesehatan, mengambil kebijakan dengan membebaskan 22.158 narapidana dan anak.
Sebanyak 15.477 orang diantaranya keluar penjara melalui program asimilasi, 6.681
orang lainnya menghirup udara bebas melalui program hak integrasi, baik berupa
pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, maupun cuti menjelang bebas.64
Mission Driven
Kebijakan pemerintah dalam penanganan covid-19 merupakan prioritas pemerintah
baik terhadap kesehatan maupun terhadap anggaran negara yaitu sebesar Rp. 405,1 T.65
Oleh karena itu, prioritas utama yang dilaksanakan pemerintah, antara lain:
1. Menjamin kesehatan dan keselamatan masyarakat, termasuk tenaga medis;
2. Memastikan perlindungan dan jaring pengaman sosial untuk masyarakat rentan;
3. Perlindungan terhadap dunia usaha.
Dalam menghadapi pandemi covid-19 ini warga negara secara individu, perusahaan-
perusahaan, institusi, dan organisasi di seluruh dunia harus mengambil langkah yang
terukur untuk melindungi diri dari paparan covid-19 dan mempersiapkan diri, yaitu
yang terfokus pada 3 (tiga) area: (1) membatasi jumlah orang yang terinfeksi virus;
(2) melengkapi keluarga dengan perlengkapan penting dalam keadaan darurat; dan (3)
membatasi diri dari tempat umum maupun acara-acara besar yang dapat menjadi lokasi
infeksi virus menyebar.66
Kebijakan dan Regulasi
Langkah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah mengatasi pandemi covid-19,
antara lain: (1) menyusun payung hukum (norm); (2) produk hukum (instrument); (3)
perlindungan hukum (waarborg). Selain itu, karakter regulasi yang harus disusun, antara
lain: (a) mengarah pada pencapaian mission driven; (b) non birokrasi; (c) memperkuat
integritas (moral based regulation, Immanuel Kant); dan (d) wilayah DKI, memperluas
kewenangan pemerintah dan juga mengawasi sendiri.67
Dengan demikian, perlu relaksasi regulasi untuk meminimalisir terlalu banyak
mengeluarkan peraturan, yang dapat mengakibatkan peraturan yang banyak dan tidak
sinkron akan dapat memukul balik (hitback) bagi pejabat pemerintah. The law of non
composable of law. Dengan demikian, di tengah pandemi covid-19 ini, perlu diatur

63 Ibid.
64 Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia Terkait Wabah Covid-19, https://kemlu.go.id/brussels/id/news/6349/kebijakan-
pemerintah-republik-indonesia-terkait-wabah-covid-19, diunduh 15 Juli 2020.
65 Ibid.
66 Covid-19: Apa yang Perlu Disiapkan Menghadapi Pandemi?, https://www.dw.com/id/covid-19-apa-yang-perlu-disiapkan-
menghadapi-pandemi/a-52537090, diunduh 15 Juli 2020.
67 M. Guntur Hamzah, …Op.cit.

156
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

dengan tegas peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melegalkan kebijakan


pemerintah dan tindakan yang tepat yang dipergunakan menghadapi pandemi covid-19,
yaitu antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan;
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020;
4. Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Regulasi Dalam Penyelamatan Perekonomian
Nasional dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara Dalam Hal Penanganan Covid-19;
5. Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan; Kesehatan
Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19);
6. Keppres Nomor 12 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional;
7. Keppres Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala
Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(Covid-19)/(PP PSBB);
9. PP Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau Dalam
Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/
atau Stabilitas Keuangan;
10. Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala
Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(Covid-19);
11. Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) Dalam Penanganan Covid-19 di Provinsi DKI Jakarta.
Good Covid-19 Governance (GCG)
Good Emergency Situation Governance/Good Covid-19 Governance terdiri atas:68 (a)
Declaration/Notification; (b) Transparent; (c) Proportional; (d) Necessary; (e) Non
discrimination; (f) Non excessive powers; (g) Motivation and goals; (h) Accountable.
Penggunaan emergency and discretionary power di masa pandemi covid-19 dan keadaan
genting/darurat lainnya dibenarkan secara hukum, moral, dan konstitusional. Namun,
emergency and discretionary power tidak boleh digunakan untuk menghilangkan
perbedaan pendapat di masyarakat (emergency powers should not be used to quash
dissent).69 Oleh karena itu, Good Emergency Situation Governance/Good Covid-19
Governance perlu diatur kebijakan, antara lain:70
1. Peraturan perundang-undangan yang jelas sebagai payung hukum dalam mendesain
tata kelola kelembagaan yang secara khusus difungsikan untuk menangani pandemi
corona dan dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sumber
daya publik yang akan, sedang, dan telah dimanfaatkan.

68 Ibid.
69 Ibid.
70 Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Akuntabilitas Penanganan Covid-19, Policy Brief Akuntabilitas Penanganan Pandemi Covid-19, https://
ti.or.id/wp-content/uploads/2020/04/Policy-Brief_Akuntabilitas-Penanganan-Pandemi-COVID19.pdf#page=3&zoom=auto,703,8,
diunduh 16 Juli 2020.

157
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

2. Pemerintah Pusat menetapkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)


sebagai institusi yang menjadi garda depan penanggulangan bencana covid-19,
perlu penguatan kelembagaan BNPB agar dapat menjadi juru bicara untuk menjaga
kualitas informasi publik.
3. Pemerintah Pusat segera mendesain kebijakan pengadaan barang dan jasa
penanganan pandemi serta mekanisme distribusi sarana medis yang esensial bagi
pekerja medis di lapangan dengan tepat, cepat, dan kredibel untuk menutup berbagai
celah dan potensi penyimpangan dalam pengadaan dan distribusi sarana medis.
4. Pemerintah segera membuat kebijakan dengan meminta pertimbangan lembaga
lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK), Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) terkait seleksi pembelian barang sesuai
dengan skala perioritas untuk menanggulangi potensi barang tidak digunakan.
5. Pemerintah segera memaksimalkan proses uji sampel spesimen di seluruh
laboratorium sesuai kuota masing-masing dengan mengeluarkan kebijakan setingkat
Peraturan Menteri Kesehatan guna mempercepat proses identifikasi sebaran covid-19.
6. Pemerintah segera membuat Standar Operasional Prosedur untuk memberikan
informasi yang berlandaskan analisis dari ahli kesehatan agar setiap informasi yang
disampaikan kepada publik dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Manajemen Pasca Krisis
Di tengah pandemi covid-19, mengakibatkan krisis global yang dialami banyak
negara,71 selain kemunculan pandemi covid-19 ini muncul tidak terduga, krisis ini juga
diakibatkan penyebarannya yang sangat cepat meluas melintasi batas-batas wilayah
dan negara. Sehingga menurut Pusat Penelitian Politik, upaya yang harus dilakukan
oleh negara dalam situasi krisis seperti ini antara lain:72pertama, menerapkan undang-
undang darurat (martial law) dalam berbagai tingkatan sesuai dengan kebutuhannya.
Kedua, melakukan mitigasi dan kebijakan untuk mendorong upaya-upaya pencegahan.73
Perlunya dilakukan manajemen krisis nasional, bertujuan menahan penyebaran virus
dan meminimalkan kerusakan ekonomi, pada saat yang sama mengirimkan peringatan
segera bahwa mekanisme pemecahan masalah kolektif tidak berfungsi dengan baik. Ini
juga menunjukkan betapa saling tergantungnya ekonomi, sistem sosial, dan besarnya
krisis ini tidak dapat ditangani secara sepihak dalam batas-batas nasional.74 Sehingga,
kemunculan covid-19 yang tidak pernah ada menduga ini mengakibatkan banyak negara
yang menerapkan manajemen krisis (state crisis management).75

71 Bruno Gurtner, The Financial and Economic Crisis and Developing Countries, International Development Policy, Revue internationale
de politique de developpement.
72 Pusat Penelitian Politik, Politik Nasional, Evaluasi Manajemen Krisis Negara dalam Penanganan Pandemi Covid-19, http://www.
politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1402-evaluasi-manajemen-krisis-negara-dalam-penanganan-pandemi-covid-19,
diunduh 28 Juni 2020.
73 Situasi krisis didefinisikan sebagai kondisi gangguan cukup parah yang mengancam kelanjutannya keberadaan sistem ekonomi,
politik, maupun sosial yang mapan di suatu negara. Negara dapat berada dalam situasi krisis akibat situasi yang beragam seperti
peperangan, bencana alam, kerusuhan sipil (konflik), krisis keuangan atau ekonomi yang meluas, serta adanya pandemi sebagaimana
yang terjadi saat ini. Lihat dalam Charles Baubion, Strategic Crisis Management, OECD Publisher, Paris 2016, diunduh 28 Juni 2020.
74 Where do we go from here? –revisiting words of Steve Alemons, https://moderndiplomacy.eu/2020/07/28/where-do-we-go-from-
here-revisiting-words-of-steve-clemons/, diunduh 6 Agustus 2020.
75

158
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

Suistainable Welfare
Guntur Hamzah kepada detikNews menyatakan bahwa, kebijakan hukum saat pandemi
covid-19 berpihak ke kalangan tak beruntung atau yang disebut juga dengan diskriminasi
positif, artinya aturan yang memiliki keberpihakan pada kalangan yang tidak beruntung
yang terdampak sangat berat dari permasalahan covid-19 ini.76 Diskriminasi positif
dalam hal ini diartikan, perhatian Pemerintah dan masyarakat yang lebih beruntung lebih
terfokus terhadap masyarakat yang kurang beruntung yang terkena dampak pandemi
covid-19, misalnya: pemberian bantuan sosial. Lebih lanjut Guntur menyatakan bahwa
pada 5 Juni 2020, Indonesia akan memasuki fase kedua yang memiliki karakter hukum
berdasarkan budaya dan semangat serta kebiasaan baru. Dengan pemahaman yang baik
terhadap pencegahan covid-19, akan tercipta protokol-protokol berupa imbauan dalam
menjaga kesehatan.77
Masih menurut Guntur, pada fase ketiga diharapkan karakter hukum yang terbentuk
adalah peran serta aktif masyarakat yang berbasis keluarga, komunitas, dan individu
dalam menciptakan tatanan kehidupan berkelanjutan sebuah negara. Hingga akhirnya
pada fase keempat diharapkan akan tercipta sustainable welfare (kesejahteraan yang
berkelanjutan)78 yang mendorong masyarakat untuk bersaing secara sehat dalam
menciptakan kehidupan baru setelah semuanya berakhir.79
Agar terwujud kesejahteraan rakyat, harus didasarkan pada 5 (lima) pilar kenegaraan,
yaitu: (1) Demokrasi (Democracy); (2) Penegakan hukum (Rule of Law); (3) Perlindungan
Hak Asasi Manusia (The Human Right Protection); (4) Keadilan Sosial (Social Justice);
dan (5) Anti Diskriminasi (Anti Discrimination).80 Dalam teori negara kesejahteraan
(welfare state) yang oleh setiap orang maupun negara dimaknai berbeda. Oleh karena
itu, teori negara kesejahteraan secara garis besar mengandung 4 (empat) makna, antara
lain:81pertama, sebagai kondisi sejahtera (well-being), kesejahteraan sosial (social
welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi
sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar
akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi serta
manakala manusia memperoleh perlindungan dari risiko-risiko utama yang mengancam
kehidupannya.
Kedua, sebagai pelayanan sosial, umumnya mencakup 5 (lima) bentuk, yakni
jaminan sosial (social security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan
pelayanan sosial personal (personal social services). Ketiga, sebagai tunjangan
sosial, kesejahteraan sosial yang diberikan kepada orang miskin. Karena sebagian
besar penerima kesejahteraan adalah masyarakat miskin, cacat, pengangguran yang
kemudian keadaan ini menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti
kemiskinan, kemalasan, ketergantungan, dan lain sebagainya. Keempat, sebagai proses

76 detiknews, Sekjen MK: Kebijakan Hukum Saat Pandemi Berpihak ke Kalangan Tak Beruntung, https://news.detik.com/
berita/d-5040627/sekjen-mk-kebijakan-hukum-saat-pandemi-berpihak-ke-kalangan-tak-beruntung/2, diunduh 29 Juni 2020.
77 Ibid.
78 Tuuli Hirvilammi, Sustainable Welfare beyond Growth, Mapping Different Worlds of Eco, Journals, Sustainability, Volume 12, Issue 5.
79 detiknews, …Op.cit.
80 suara.com, Teori Negara Kesejahteraan di Indonesia dalam Penanganan Covid-19, https://www.suara.com/
yoursay/2020/05/13/143239/teori-negara-kesejahteraan-di-indonesia-dalam-penanganan-covid-19, diunduh 29 Juni 2020.
81 Ibid.

159
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

atau usaha terencana, sebuah proses yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga
sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas
kehidupan melalui pemberian pelayanan sosial dan tunjangan sosial.
Recovery Phase
Pandemi covid-19 merupakan masalah serius di setiap negara serta berdampak di semua
sektor, terutama sektor perekonomian. Selain itu, di wilayah DKI Jakarta berlaku aturan,
antara lain: PSBB82, belajar online, WFO, beribadah dari rumah secara online, jika
harus keluar masuk wilayah Jakarta harus memiliki surat izin keluar/masuk (SIKM).
Oleh karena itu sangat dibutuhkan usaha-usaha dalam pemulihannya. Fase ini dikenal
dengan Recovery Phase. Economic Recovery Phase bertujuan agar perekonomian
perlahan dapat pulih di tengah pandemi, sehingga pemerintah mengeluarkan skenario
tahapan pemulihan ekonomi sebagaimana yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri
BUMN Nomor SE 336/MBU/05/2020 tentang Antisipasi Skenario The New Normal
Badan Usaha Milik Negara (BUMN).83
Dalam tahapan fase “new normal” pemulihan ekonomi Indonesia, dapat dibedakan
antara lain:84
1. Fase 1 (1 Juni 2020)85
 Industri, jasa bisnis ke bisnis, sektor kesehatan berjalan kembali dan beroperasi
penuh dengan social distancing, persyaratan kesehatan, jaga jarak (termasuk
pakai masker);
 Toko, pasar, dan mall belum boleh beroperasi, kecuali toko penjual masker dan
fasilitas kesehatan;
 Sektor kesehatan full beroperasi dengan memerhatikan kapasitas sistem
kesehatan;
 Kegiatan lain sehari-hari outdoor, dilarang berkumpul ramai (maksimal 2
orang dalam satu ruangan), belum diperbolehkan olahraga outdoor.
2. Fase 2 (8 Juni 2020)86
 Toko, pasar, dan mall diijinkan buka dengan diskriminasi sektor (protokol ketat),
meliputi pengaturan pekerjaan, melayani konsumen, dan tidak diperbolehkan
toko dalam keadaan ramai;
 Usaha dengan kontak fisik (salon, spa, dan lain-lain) belum boleh beroperasi;
 Kegiatan berkumpul ramai dan olahraga outdoor masih belum diperbolehkan.

3. Fase 3 (15 Juni 2020)87


 Toko, pasar, dan mall tetap seperti fase 2, tetapi ada evaluasi untuk pembukaan
salon, spa, dan lain-lain dengan protokol kesehatan yang ketat;

82 Muhyiddin, Covid-19, New Normal dan Perencanaan Pembangunan di Indonesia, The Indonesia of Development Planning, Volume
IV No. 2 – Juni 2020, hlm. 242.
83 Republika.co.id, Bangkit Perlahan dari Covid-19, Ini Skenario 5 Fase Pemulihan Ekonomi Indonesia, https://republika.co.id/berita/
qaxliz3116000/bangkit-perlahan-dari-covid19-ini-skenario-5-fase-pemulihan-ekonomi-indonesia, diunduh 12 Juli 2020.
84 Ibid.
85 Terungkap! Skenario Pemerintah Pasca Covid-19, Mal Buka Juni, https://www.cnbcindonesia.com/news/20200508032628-4-
156979/terungkap-skenario-pemerintah-pasca-covid-19-mal-buka-juni, diunduh 14 Juli 2020.
86 Ibid.
87 Ibid.

160
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

 Kegiatan kebudayaan diperbolehkan dengan menjaga jarak, antara lain:


pembukaan museum, pertunjukan dengan tidak adanya kontak fisik (tiket jual
online), social distancing, dan physical distancing;
 Kegiatan pendidikan di sekolah sudah dapat dilakukan, tetapi dengan sistem
shift sesuai dengan jumlah kelas;
 Olahraga outdoor dan fasilitas umum dimungkinkan untuk dibuka diperbolehkan
dengan protokol kesehatan;
 Sudah mulai mengevaluasi pembukaan tempat untuk pernikahan, ulang tahun,
kegiatan sosial dengan kapasitas lebih dari 2-10 orang.
4. Fase 4 (6 Juli 2020)88
 Pembukaan kegiatan ekonomi dengan tambahan evaluasi untuk pembukaan
secara bertahap restoran, café, bar, tempat gym, dan lainnya dengan protokol
kebersihan yang ketat;
 Kegiatan outdoor lebih dari 10 orang;
 Travelling ke luar kota dengan pembatasan jumlah penerbangan;
 Kegiatan ibadah (masjid, gereja, pura, vihara, dan lain-lain) diperbolehkan
dengan jumlah jemaah dibatasi;
 Kegiatan berskala lebih dari yang disebutkan masih terus dibatasi.

5. Fase 5 (20 & 27 Juli 2020)89


 Evaluasi untuk 4 fase dan pembukaan tempat-tempat atau kegiatan ekonomi
dan kegiatan sosial berskala besar;
 Akhir Juli/awal Agustus 2020 diharapkan seluruh kegiatan ekonomi sudah
dibuka, namun tetap mengikuti protokol kesehatan dan standar kebersihan
serta kesehatan yang ketat;
 Selanjutnya akan dilakukan evaluasi secara berkala, sampai vaksin90 ditemukan
dan disebarluaskan.
Selain itu, protokol kesehatan covid-19 juga wajib berlaku selama fase ‘new normal’,
antara lain:91
1. Social Distancing (jaga jarak)92
Masyarakat yang sudah mulai bekerja (work from office), belanja di toko atau mall,
dan lainnya tetap harus menerapkan social distancing atau menjaga jarak antara
satu dengan yang lain.

88 Ibid.
89 Ibid.
90 Adityo Susilo, C. Martin Rumende, Ceva W Pitoyo, Widayat Djoko Santoso, Mira Yulianti, Herikurniawan, Robert Sinto, Gurmeet
Singh, Leonard Nainggolan, Erni J Nelwan, Lie Khie Chen, Alvina Widhani, Edwin Wijaya, Bramantya Wicaksana, Maradewi Maksum,
Firda Annisa, Chyntia OM Jasirwan, Evy Yunihastuti, Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini, Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia, Vol. 7, No. 1, Maret 2020, hlm. 60.
91 Terungkap! Skenario Pemerintah Pasca Covid-19, Op.cit.
92 Matias Carvalho Aguiar Melo and Douglas de Sousa Soares, Impact of Social distancing on mental health during the COVID-19
pandemic: An urgent discussion, International Journal of Social Psychiatry, 2020, Vol. 66(6), p. 625.

161
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

2. Pakai masker93
Virus covid-19 ini merupakan virus yang tidak tampak dengan kasat mata dan
penularannya ke orang yang berada di sekitar melalui udara, maka penting untuk
selalu memakai masker dimanapun kita berada.
3. Setiap fasilitas wajib perhatikan kebersihan94
Setiap pengelola fasilitas maupun pengunjung atau pengguna fasilitas umum, antara
lain: kendaraan umum, perkantoran, toko, mall, lembaga keuangan, rumah sakit,
dan lainnya wajib memerhatikan kebersihan area atau lingkungan sekitar dengan
menyediakan atau membawa kebutuhan yang ditentukan oleh protokol kesehatan,
antara lain: hand sanitizer, sabun, dan air agar karyawan dan pengunjung mudah
cuci tangan.
4. Pertokoan di berbagai sektor ada aturan baru
Meskipun pertokoan, mall, pusat perbelanjaan, restoran di berbagai sektor sudah
diijinkan beroperasi, bukan berarti bebas menjalankan kegiatan tersebut dengan
bebas, namun harus sesuai dengan protokol yang diberlakukan oleh Gugus Tugas
Penanganan Covid-19 dengan ketat sementara selama tahapan fase pemulihan,
antara lain:
 Menerapkan pengaturan pekerjaan;
 Ada prosedur melayani konsumen;
 Tidak diperbolehkan toko dalam keadaan ramai tanpa adanya pengaturan.

5. Pembelian tiket dianjurkan online


Khusus masyarakat yang ingin melakukan perjalanan atau berkunjung ke museum
atau pertunjukkan umum, sebaiknya pembelian tiket yang dilakukan secara online
masing-masing situs yang bersangkutan. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi antrian
panjang atau kerumuman saat ingin membeli tiket. Jika terpaksa harus membeli
tiket secara offline karena situs mengalami error maupun keadaan yang tidak
direncanakan, masyarakat tetap harus menerapkan protokol kesehatan, mulai dari
jaga jarak, pakai masker, dan membawa hand sanitizer.
6. Fasilitas dan Pemerintah bekerjasama dalam evaluasi
Dalam penerapan fase pemulihan ekonomi ini, perlu dilaksanakan evaluasi secara
berkala, yang dimaksudkan sebagai tindak lanjut agar tidak terjadi penambahan
yang terkena virus corona.95

93 Vincent Chi-Chung Cheng, Shuk-Ching Wong, Vivien Wai-Man Chuang, Simon Yung-Chun So, Jonathan Hon-Kwan Chen, Siddharth
Sridhar, Kelvin Kai-Wang To, Jasper Fuk-Woo Chan, Ivan Fan-Ngai Hung, Pak-Leung Ho, Kwok-Yung Yuen, The role of community-wide
wearing of face mask for control of coronavirus disease 2019 (COVID-19) epidemic due to SARS-CoV-2, Journal of Infection 81 (2020),
p. 108.
94 Michelle Doll, Michael Stevens, Gonzalo Bearman, Environmental cleaning and disinfection of patient areas, International Journal of
Infectious Diseases, p. 52-57.
95 European Council, Report on the comprehensive economic policy response to the COVID-19 pandemic, Council of the European
Union, 2020.

162
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

Distributed Control System (DCS) Indonesia


DCS merupakan suatu sistem yang mendistribusikan berbagai fungsi yang digunakan
untuk mengendalikan berbagai variabel proses dan unit operasi proses menjadi
suatu pengendalian yang terpusat pada suatu control room dengan berbagai fungsi
pengendalian, monitoring, dan optimasi.96 DCS Indonesia dalam menghadapi pandemi
covid-19 menempatkan pada prioritas yang paling utama dalam segala kebijakan
pemerintahan. Institusi kesehatan pada semua tingkatan/level harus mengikuti petunjuk
yang diberlakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah setempat
serta memperkuat pedoman kerja pencegahan dan pengendalian epidemi lokal dan
membentuk kelompok ahli dan pengendalian covid-19 yang melibatkan para ahli dan
pemangku kepentingan terkait.97
Dengan pertimbangan penyebaran pandemi covid-19 di dunia yang cenderung terus
meningkat dari waktu ke waktu, serta peningkatan jumlah korban yang semakin
meningkat, baik korban jiwa maupun kerugian material yang lebih besar, dan
berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.98 Dengan
demikian, Indonesia perlu percepatan penanganan covid-19 dengan langkah-langkah
cepat, tepat, fokus, terpadu, dan sinergis antara kementerian/lembaga dan pemerintah
daerah.99 Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo menetapkan Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19).100
Jaminan Hak Konstitusional
Dengan banyaknya kerugian yang dialami oleh masyarakat dan negara, Pemerintah
tetap harus dapat memberikan jaminan hak konstitusional terhadap warga negaranya.
Jaminan hak konstitusional tersebut dapat dilihat dari langkah-langkah yang diambil
oleh Pemerintah, antara lain: penghematan,101 pencarian pinjaman, upaya mendapatkan
pemasukan baru, membuka lapangan pekerjaan, memastikan sekolah-sekolah maupun
kampus dapat berjalan normal kembali, menjamin rumah-rumah ibadah dapat normal
kembali, membuka lapangan kerja seluas-luasnya, memastikan sistem pemerintahan
dapat berjalan kembali dengan lebih modern dan sesuai dengan kebutuhan perkembangan
masyarakat.
Selain itu, negara juga harus dapat memberikan jaminan dengan segenap upaya agar
rakyat tidak collaps semasa krisis,102 dengan tetap produktif dan memiliki penghasilan
memadai, serta binis dapat terus berjalan. Dengan demikian, diperlukan kebijakan yang

96 Distributed Control System (DCS), http://miraclesphysics.blogspot.com/2012/10/distributed-control-system-dcs.html, diunduh 14


Juli 2020.
97 Tim Kerja Kementerian Dalam Negeri Untuk Dukungan Gugus Tugas Covid-19, Pedoman Umum Menghadapi Pandemi Covid-19 Bagi
Pemerintah Daerah, Pencegahan, Pengendalian, Diagnosis dan Manajemen, https://www.kemendagri.go.id/documents/covid-19/
BUKU_PEDOMAN_COVID-19_KEMENDAGRI.pdf, hlm. 32, diunduh 14 Juli 2020.
98 Ibid., hlm. 33-34.
99 Ibid.
100 Presiden Teken Keppres Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, https://setkab.go.id/presiden-teken-keppres-gugus-tugas-
percepatan-penanganan-covid-19, diunduh 14 Juli 2020.
101 Wibowo Hadiwardoyo, Kerugian Ekonomi Nasional Akibat Pandemi Covid-19, Pusat Inkubator Bisnis dan Kewirausahaan Universitas
Muhammadiyah Jakarta, Baskara: Journal of Business and Entrepreneurship, Volume 2 No. 2 April 2020, hlm. 90.
102 David Bilchitz, Socio-economic rights, economic crisis, and legal doctrine, Oxford Academic, International Journal of Constitutional
Law, 2014.

163
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

tepat, baik, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.103 Upaya yang harus dilakukan
oleh Pemerintah sebaiknya melakukan tes massal, untuk memperjauh jarak antara si
kaya dan si miskin. Hal ini untuk mengurangi keresahan masyarakat Indonesia akibat
pandemi covid-19 yang mengancam kesehatan dan kelangsungan hidup masyarakat.104
Oleh karena itu, negara harus memastikan jaminan hak konstitusional, antara lain
jaminan kesehatan,105 jaminan ekonomi, jaminan pekerjaan, dan lain-lain di tengah
pandemi covid-19.

C. Penutup
Dalam penyelamatan kehidupan berbangsa, jaminan hak konstitusional dan kebijakan public
yang diberlakukan Pemerintah, harus berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dengan tujuan
kepentingan dan keselamatan bersama, antara lain: (1) bahwa dalam mengambil kebijakan/
keputusan selalu mengutamakan alasan “kesehatan”; (2) sangat dibutuhkan koordinasi &
kerja sama team; (3) peningkatan SDM berbasis ICT, kehidupan berbasis digital (ICT) bukan
lagi merupakan pilihan melainkan kewajiban yang tidak dapat ditawar lagi; (4) judicial
system based on technology, keuntungan yang kita dapatkan dengan berhukum berbasis
digital, yaitu dapat memberikan jaminan kepastian berhukum, antara lain: jangka waktu
pelayanan, sehingga walaupun tidak dilakukan secara bertatap muka tetapi tetap menjamin
kepastian waktu pelayanan, jangka waktu penyelesaian perkara, proses persidangan lebih
transparan, dan lain-lain; (5) bagi stakeholder waktunya untuk berbenah dan memperbaiki
diri demi memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat; (6) tetap mengutamakan
protokol kesehatan dalam kehidupan bermasyarakat; (7) disiplin hidup bermasyarakat
di tengah pandemi covid-19. Untuk itu diwajibkan kepada semua pihak agar mematuhi
protokol kesehatan dan kebijakan Pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asshiddiqie, Jimly, Gagasan Kedaulatan Rakyat dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Dahl, Robert A., Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, terjemahan Sahat
Simamora, Jakarta: Rajawali Press, 1985.
Soekanto, Sorjono, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Keranka Pembangunan di Indonesia,
Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1975.

103 Wibowo Hadiwardoyo, …Op.cit.


104 Bima Jati, Gilang Rizki Aji Putra, Optimalisasi Upaya Pemerintah Dalam Mengatasi Pandemi Covid 19 Sebagai Bentuk Pemenuhan
Hak Warga Negara, SALAM; Jurnal Sosial & Budaya Syar-i, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. 7 No. 5 (2020), hlm. 478.
105 Ulul Adzemi Romansyah, Ahmad Labib, Muridah Isnawati, Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara Indonesia: Studi Kasus
Jaminan Kesehatan Nasional, Justitia Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, Volume 1 No. 1, April
2017, hlm. 100.

164
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1985.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Jurnal
Anam, Agus Khoirul, Sri Winarni, Linggar Handes, Gambaran Kesiapan Pedagang Pasar
Dalam Penanggulangan Bencana Kebakaran di Pasar Legi Kota Blitar (Disaster Nursing
Research), Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 3, No. 3, Desember 2016.
Baubion, Charles, Strategic Crisis Management, OECD Publisher, Paris, 2016, diunduh 28 Juni
2020.
Bilchitz, David, Socio-economic rights, economic crisis, and legal doctrine, Oxford Academic,
International Journal of Constitutional Law, 2014.
Cheng, Vincent Chi-Chung, Shuk-Ching Wong, Vivien Wai-Man Chuang, Simon Yung-Chun
So, Jonathan Hon-Kwan Chen, Siddharth Sridhar, Kelvin Kai-Wang To, Jasper Fuk-Woo
Chan, Ivan Fan-Ngai Hung, Pak-Leung Ho, Kwok-Yung Yuen, The role of community-
wide wearing of face mask for control of coronavirus disease 2019 (COVID-19) epidemic
due to SARS-CoV-2, Journal of Infection 81 (2020).
Doll, Michelle, Michael Stevens, Gonzalo Bearman, Environmental cleaning and disinfection of
patient areas, International Journal of Infectious Diseases.
Dye, Thomas R, Understanding Public Policy, 1978.
European Council, Report on the comprehensive economic policy response to the COVID-19
pandemic, Council of the European Union, 2020.
Gortner, Harold F, Public Administration, 1984.
Gurtner, Bruno, The Financial and Economic Crisis and Developing Countries, International
Development Policy, Revue internationale de politique de developpement.
Hadiwardoyo, Wibowo, Kerugian Ekonomi Nasional Akibat Pandemi Covid-19, Pusat Inkubator
Bisnis dan Kewirausahaan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Baskara: Journal of
Business and Entrepreneurship, Volume 2 No. 2 April 2020.
Hirvilammi, Tuuli, Sustainable Welfare beyond Growth, Mapping Different Worlds of Eco,
Journals, Sustainability, Volume 12, Issue 5.
Jati, Bima, Gilang Rizki Aji Putra, Optimalisasi Upaya Pemerintah Dalam Mengatasi Pandemi
Covid 19 Sebagai Bentuk Pemenuhan Hak Warga Negara, SALAM; Jurnal Sosial &
Budaya Syar-i, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. 7 No. 5 (2020).
Mahardhani, Ardhana Januar, Menjadi Warga Negara yang Baik pada Masa Pandemi Covid-19:
Perspektif Kenormalan Baru, JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan Vol. 5 No. 2
Tahun 2020.
Majumdar, Arti, Neelesh Malyiya, and Shashi Alok, An Overview on Covid-19 Outbreak:
Epidemic to Pandemic, International Journal of Pharmaceutical Sciences and Research,
Volume 11, Issue 5, 2020.

165
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

Marilang, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat (Studi Pengelolaan Tambang), Ikhtiar, Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Keilmuan Secara Aktual, Edisi Khusus, Makassar: Ikhtiar,
29 Juni 2010.
Martini, M., V. Gazzaniga, N.L. Bragazzi, and Barberis, The Spanish Influenza Pandemic: a
lesson from history 100 years after 1918, JPMH: Journal of Preventive Medicine and
Hygiene, 2019.
Melo, Matias Carvalho Aguiar and Douglas de Sousa Soares, Impact of Social distancing on
mental health during the COVID-19 pandemic: An urgent discussion, International Journal
of Social Psychiatry, 2020, Vol. 66(6).
Muhyiddin, Covid-19, New Normal dan Perencanaan Pembangunan di Indonesia, The Indonesia
of Development Planning, Volume IV No. 2 – Juni 2020.
Muntoha, Demokrasi dan Negara Hukum, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 Juli 2009: 379-395.
Nugroho, Heru, Demokrasi dan Demokratisasi; Sebuah Kerangka Konseptual Untuk Memahami
Dinamika Sosial-Politik di Indonesia, Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, Mei
2012.
Romansyah, Ulul Adzemi, Ahmad Labib, Muridah Isnawati, Pemenuhan Hak Konstitusional
Warga Negara Indonesia: Studi Kasus Jaminan Kesehatan Nasional, Justitia Jurnal
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, Volume 1 No. 1, April
2017.
Safa’at, Muchamad Ali, Konstitusi Dalam Demokrasi, http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/
KONSTITUSI-DALAM-DEMOKRASI.pdf, diunduh 12 Juli 2020.
Sher, Leo, The Impact of the Covid-19 pandemic on suicide rates, Oxford, QJM: AN International
Journal of Medicine, 2020.
Sukmana, Oman, Konsep dan Desain Negara Kesejahteraan (Welfare State), Jurnal Sospol, Vol
2 No. 1 (Juli-Desember 2016).
Susilo, Adityo, C. Martin Rumende, Ceva W Pitoyo, Widayat Djoko Santoso, Mira Yulianti,
Herikurniawan, Robert Sinto, Gurmeet Singh, Leonard Nainggolan, Erni J Nelwan, Lie
Khie Chen, Alvina Widhani, Edwin Wijaya, Bramantya Wicaksana, Maradewi Maksum,
Firda Annisa, Chyntia OM Jasirwan, Evy Yunihastuti, Coronavirus Disease 2019: Tinjauan
Literatur Terkini, Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, Vol. 7, No. 1, Maret 2020.
Taufik dan Eka Avianti Ayuningtyas, Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Bisnis dan Eksistensi
Platform Online, Jurnal Pengembangan Wiraswsta Vol. 22 No. 01 – Apr 2020, LP2M
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IPWI Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

166
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

Makalah Seminar / Lokakarya /Talkshow / Sarasehan


Hamzah, M. Guntur, Konstitusi dan Kebijakan Publik Dalam Penyelamatan Kehidupan
Bersama, disampaikan dalam Webinar Nasional APHTN-HAN Sumatera Utara melalui
aplikasi Zoom, Selasa, 2 Juni 2020.
Penelitian oleh Naushad Khan dan Shah Faisal (2020).
Pusat Penelitian Politik, Politik Nasional, Evaluasi Manajemen Krisis Negara dalam Penanganan
Pandemi Covid-19, http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1402-
evaluasi-manajemen-krisis-negara-dalam-penanganan-pandemi-covid-19, diunduh 28
Juni 2020.
5. Surat Kabar / Majalah / Tabloid / Buletin
Covid-19: Apa yang Perlu Disiapkan Menghadapi Pandemi?, https://www.dw.com/id/covid-19-
apa-yang-perlu-disiapkan-menghadapi-pandemi/a-52537090, diunduh 15 Juli 2020.
detiknews, Sekjen MK: Kebijakan Hukum Saat Pandemi Berpihak ke Kalangan Tak Beruntung,
https://news.detik.com/berita/d-5040627/sekjen-mk-kebijakan-hukum-saat-pandemi-
berpihak-ke-kalangan-tak-beruntung/2, diunduh 29 Juni 2020.
Distributed Control System (DCS), http://miraclesphysics.blogspot.com/2012/10/distributed-
control-system-dcs.html, diunduh 14 Juli 2020.
Fauzi, Arli, Demokrasi Konstitusional, https://cerdika.com/demokrasi-konstitusional/#Apa_Itu_
Demokrasi_Konstitusional, diunduh 12 Juli 2020.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Empat Strategi Pemerintah Atasi Covid-19,
https://covid19.go.id/p/berita/empat-strategi-pemerintah-atasi-covid-19, diunggah 15 Juli
2020.
Heldavidson, First Covid-19 case happened in November, China government records show
– report 2020, https://www.theguardian.com/world/2020/mar/13/first-covid-19-case-
happened-in-november-china-government-records-show-report, diunduh 30 Juni 2020.
International Labour Organization (ILO), Dalam menghadapi pandemi: Memastikan Keselamatan
dan Kesehatan di Tempat Kerja, https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-
bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_742959.pdf, diunduh 29 Juni 2020.
Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia Terkait Wabah Covid-19, https://kemlu.go.id/
brussels/id/news/6349/kebijakan-pemerintah-republik-indonesia-terkait-wabah-covid-19,
diunduh 15 Juli 2020.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Akuntabilitas Penanganan Covid-19, Policy Brief Akuntabilitas
Penanganan Pandemi Covid-19, https://ti.or.id/wp-content/uploads/2020/04/Policy-
Brief_Akuntabilitas-Penanganan-Pandemi-COVID19.pdf#page=3&zoom=auto,703,8,
diunduh 16 Juli 2020.
Kompas.com, Kebijakan Publik: Pengertian, Tujuan dan Ciri-ciri, https://www.kompas.
com/skola/read/2020/02/06/210000269/kebijakan-publik--pengertian-tujuan-dan-ciri-
ciri?page=all, diunduh 15 Juli 2020.

167
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Wilma Silalahi Jaminan Konstitusional dan Kebijakan Publik dalam Kehidupan
Berbangsa di Tengah Pandemi Covid-19

Media Indonesia, Pandemi Covid-19 Berpeluang Ciptakan Krisis Politik, https://mediaindonesia.


com/read/detail/311139-pandemi-covid-19-berpeluang-ciptakan-krisis-politik, diunduh
15 Juli 2020.
NIH, New coronavirus stable for hours on surfaces SARS-CoV-2 stability similar to original
SARS, 2020, virushttps://www.sciencedaily.com/releases/2020/03/200317150116.htm,
diunduh 30 Juni 2020.
Perwira, Indra, Memahami Kesehatan Sebagai Hak Asasi Manusia, 2014, Koleksi Dokumentasi
Elsam, https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/Kesehatan_Sebagai_
Hak_Asasi_Manusia.pdf, diunduh 30 Juni 2020.
Presiden Teken Keppres Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, https://setkab.go.id/
presiden-teken-keppres-gugus-tugas-percepatan-penanganan-covid-19, diunduh 14 Juli
2020.
Republika.co.id, Bangkit Perlahan dari Covid-19, Ini Skenario 5 Fase Pemulihan Ekonomi
Indonesia, https://republika.co.id/berita/qaxliz3116000/bangkit-perlahan-dari-covid19-
ini-skenario-5-fase-pemulihan-ekonomi-indonesia, diunduh 12 Juli 2020.
Siaran Pers Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Nomor SP – 27/KLI/2020, https://
www.kemenkeu.go.id/media/14954/sp-27-pemerintah-waspada-dampak-pandemi-covid-
19-terhadap-ekonomi-indonesia_v5a.pdf, diunduh 27 Juni 2020.
Sinergi Memutus Mata Rantai Pandemi, Gentra, Buletin Universitas Padjajaran, Juni 2020, Edisi
Khusus Covid-19.
suara.com, Teori Negara Kesejahteraan di Indonesia dalam Penanganan Covid-19, https://
www.suara.com/yoursay/2020/05/13/143239/teori-negara-kesejahteraan-di-indonesia-
dalam-penanganan-covid-19, diunduh 29 Juni 2020.
Terungkap! Skenario Pemerintah Pasca Covid-19, Mal Buka Juni, https://www.cnbcindonesia.
com/news/20200508032628-4-156979/terungkap-skenario-pemerintah-pasca-covid-19-
mal-buka-juni, diunduh 14 Juli 2020.
Tim Kerja Kementerian Dalam Negeri Untuk Dukungan Gugus Tugas Covid-19, Pedoman Umum
Menghadapi Pandemi Covid-19 Bagi Pemerintah Daerah, Pencegahan, Pengendalian,
Diagnosis dan Manajemen, https://www.kemendagri.go.id/documents/covid-19/BUKU_
PEDOMAN_COVID-19_KEMENDAGRI.pdf, hlm. 32, diunduh 14 Juli 2020.
Where do we go from here? –revisiting words of Steve Alemons, https://moderndiplomacy.
eu/2020/07/28/where-do-we-go-from-here-revisiting-words-of-steve-clemons/, diunduh
6 Agustus 2020.
World Health Organization, WHO Director-General’s opening remarks at the media briefing
on COVID-19 – 11 March 2020, https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-
general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19—11-march-2020, diunduh
30 Juni 2020.
5 Poin Penting dalam Perpu Kebijakan Ekonomi Terkait Covid-19, https://katadata.co.id/
berita/2020/04/02/5-poin-penting-dalam-perpu-kebijakan-ekonomi-terkait-covid-19,
diunduh 30 Juni 2020.

168
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENGELOLAAN RETRIBUSI


PARKIR DI TEPI JALAN UMUM DI KOTA SURAKARTA
Mochammad Marhendra Kamajaya

ABSTRAK
Kota Surakarta merupakan daerah otonom yang dapat menjalankan kewenangnnya untuk
mengurusi urusan rumah tangganya sendiri. Untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri,
pemerintah membutuhkan dana untuk menjalankan tugas dan kewajibannya serta kewenangan
yang ada. Sebagai salah satu kota besar di Provinsi Jawa Tengah, Kota Surakarta mempunyai
potensi pemasukan pendapatan daerah yang besar melalui retribusi daerah. Salah satu retribusi
yang dapat menunjang pendapatan asli daerah adalah retribusi parkir ditepi jalan umum, hal
ini telah di tuangkan didalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 5 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Retribusi Daerah dan
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Implementasi Pengelolaan Retribusi Parkir Di Tepi
Jalan Umum Di Kota Surakarta. Mengetahui Penegakan Hukum Yang Dilakukan Bidang
Perparkiran Dinas Perhubungan Kota Surakarta Terhadap Pelaksanaan Pengelolaan Retribusi
Parkir Di Tepi Jalan Umum. Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan
hukum ini adalah penelitian hukum empiris, atau non doktrinal yang bersifat deskriptif
Hasil penelitian dan pembahasan mengahasilkan kesimpulan bahwa pelaksanaan pengelolaan
pungutan retribusi parkir di tepi jalan umum Kota Surakarta dilakukan oleh Bidang Perparkiran
Dinas Perhubungan Kota Surakarta. Di dalam pengelolaan tersebut dasar hukum yang
digunakan adalah Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Retribusi Daerah dan
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan
serta ditunjang dengan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Walikota Surakarta Nomor
16 Tahun 2011 Tentang Zona Parkir di Tepi Jalan Umum dan Peraturan Walikota Surakarta
Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Pakaian Petugas Parkir. Artinya Pemerintah Kota Surakarta telah
mempunyai landasan hukum, maksud, tujuan dan tata cara penegakan hukum untuk mengatasi
permasalahan pelanggaran parkir di wilayah Kota Surakarta. mekanisme penegakan hukum
terhadap pelanggaran parkir berdasarkan Peraturan Daerah Kota surakarta Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Penyelenggaraan Perhubungan sehingga memberikan dampak terhadap yang baik bagi
ketertiban, keamanan, kelancaran, dan kenyamanan lalu lintas di wilayah Kota Surakarta.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Peraturan Daerah, dan Retribusi Parkir

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Otonomi Daerah telah diberlakukan di Indonesia sebagaimana diatur dalam dengan Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dimana Pemerintah Daerah mempunyai hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka
daerah dipacu untuk dapat mencari sumber pendapatan daerah yang dapat mendukung
pembiayaan pengeluaran daerah.

169
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan


Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD) terdiri dari:
1. Pajak Daerah,
2. Retribusi Daerah,
3. Hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan,
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.1
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan yang diperoleh
daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Pendapatan Asli Daerah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah yang
membiayai penyelenggaran pemerintah kota dan DPRD untuk memenuhi atau mencukupi
Anggaran Belanja Rutin, sebagai syarat sekaligus kewajiban bagi setiap daerah seperti yang
tercantum dalam Undang-Undang dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah sebagaimana
peranan Pendapatan Asli Daerah diharapkan dan diupayakan dapat menjadi penyangga
utama dalam membiayai kegiatan pembangunan di daerah.2
Sumber Pendapatan Asli Daerah di antaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah
dimana daerah diberi kewenangan untuk melaksanakan pemungutan berbagai jenis pajak
daerah dan retribusi daerah yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Hal ini digunakan untuk meningkatkan pendapatan daerah dalam upaya pemenuhan
kebutuhan daerah.
Retribusi adalah pembayaran dari penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang
diberikan oleh negara bagi penduduknya secara perorangan.3 Sementara didalam Pasal 1
angka 64 Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
yang dimaksud dengan Retribusi Daerah adalah “pungutan daerah sebagai pembayaran atas
jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan”. Salah satu bagian yang termasuk
dalam retribusi daerah adalah retribusi parkir ditepi jalan umum.
Kota Surakarta merupakan daerah otonom yang dapat menjalankan kewenangnnya untuk
mengurusi urusan rumah tangganya sendiri. Untuk mengatur urusan rumah tangganya
sendiri, pemerintah membutuhkan dana untuk menjalankan tugas dan kewajibannya
serta kewenangan yang ada. Sebagai salah satu kota besar di Provinsi Jawa Tengah, Kota
Surakarta mempunyai potensi pemasukan pendapatan daerah yang besar melalui retribusi
daerah. Salah satu retribusi yang dapat menunjang pendapatan asli daerah adalah retribusi
parkir ditepi jalan umum, hal ini telah di tuangkan didalam Peraturan Daerah Kota Surakarta
Nomor 5 Tahun 2016 tentang Retribusi Daerah dan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor
6 Tahun 2004 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum.
Sebagaimana diketahui pertumbuhan volume kendaraan dan lahan parkir harus tumbuh

1 Md. Krisna Arta Anggar Kusuma dan Ni Gst. Putu Wirawati, Analisis Pengaruh Penerimaan Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah Terhadap Peningkatan PAD Se Sekabupaten/Kota Di Provinsi Bali. E-Jurnal Akutansi
Universitas Udayana 5.3, 2013. hlm. 575.
2 Penjelasan tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD) berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. (yang selanjutnya disebut Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004)
3 Marihot Pahala Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, edisi revisi, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 4.

170
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

seimbang karena bertambahnya jumlah kendaraan begitu pula kebutuhan ruang parkir akan
bertambah. Kebutuhan akan ruang parkir akan semakin bertambah apabila sebagian besar
dari kendaraan tersebut digunakan untuk bepergian sehingga dibutuhkan lebih dari satu unit
ruang parkir. Pemungutan Retribusi Parkir adalah salah satu dari pelaksanaan otonomi yang
luas, nyata dan bertanggung jawab sebagai mana yang dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan upaya pemerintah daerah
dalam menggali dan mengembangkan potensi daerah dalam rangka untuk memperoleh
dana sehubungan dengan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan
daerah. Perparkiran adalah merupakan bagian dari sub sistem lalu lintas angkutan jalan
penyelenggaraan dilaksanakan oleh pemerintah daerah, dalam rangka meningkatkan
penyelenggaraan kepada masyarakat di bidang perparkiran, penataan lingkungan, ketertiban,
dan kelancaran arus lalu lintas serta sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Beberapa titik parkir di Kota Solo ditandai sebagai lokasi rawan penyimpangan. Lokasi
tersebut di antaranya kawasan Coyudan, Pasar Kliwon, Balekambang, pusat perbelanjaan,
Pasar Gede, dan Alun-alun Kota Solo. Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD)
Perparkiran Solo mengungkapkan persoalan perparkiran yang mungkin terjadi saat lebaran
antara lain lahan parkir difungsikan di luar kegiatan parkir. Lokasi parkir tidak memadai,
penarikan retribusi parkir tak sesuai ketentuan, dan petugas yang mencetak karcis parkir
sendiri.4
Berdasarkan data Dishubkominfo Solo, saat arus mudik 2015 di Kota Solo, tercatat
18 pelanggaran juru parkir tanpa Kartu Tanda Anggota (KTA) atau jukir liar. Lalu, 15
pelanggaran juru parkir tidak mengenakan seragam, 3 pelanggaran karcis dan penarikan
tak sesuai. Tahun lalu, ada 53 kasus penggembokan lantaran parkir sembarang tempat.
Kemenhub memprediksi kendaraan sepeda motor naik hingga 50 persen pada mudik tahun
ini. Diperkirakan ada 5,3 juta sepeda motor dan 3 jutaan kendaraan roda empat saat mudik
lebaran 1437 H. Sedangkan perkiraan di Kota Solo 3,1 juta kendaraan sepeda roda dua
melintas dan beraktivitas saat arus mudik. Sedangkan kendaraan roda empat diprediksi
mencapai 1 jutaan. Mengantisipasi berbagai permasalahan parkir saat lebaran, Pemkot Solo
telah mengundang ratusan juru parkir, pengelola parkir, pelaku usaha, camat dan lurah,
pimpinan perhotelan, kepala SKPD dan muspida.5
Sebelum membahas tentang Pemerintahan Daerah terkait konstrribusi parkir ditepi jalan
umum di Kota Surakarta Yang diatur dalam Perda Kota Surakarta Nomer 6 Tahun 2004
Tentang Retribusi Parkir Di Tepi Jalan Umum ketauliah dahulu hukum dasar yang ada
di Indonesia yaitu Konstitusi, Konstitusi dalam bahasa belanda disebut dengan istilah
“Grondwet”. Dasar negara sebagai pedoman penyelenggaraan negara secara tertulis termuat
dalam konstitusi suatu negara. Keterkaitan konstitusi dengan Undang-Undang Dasar dapat
dijelaskan bahwa Konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak tertulis sedangkan
Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar tertulis. Undang-Undang Dasar memiliki sifat
mengikat oleh karenanya makin elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi menyangkut
cara suatu pemeritahan diselenggarakan. Sedangkan yang dimaksud dengan “constitution is
the system of fundamental principles according to which a nation, state, corporation, etc. is

4 Hasil wawancara dengan bapak Henry Satya Negara, A.Md LLAJ, SE,MM. KABID Perparkiran Kota Surakarta
pada hari Selasa, 24 Oktober 2019 pukul 11.00, di Dishub Surakarta.
5 http://jateng.metrotvnews.com/peristiwa/aNrLalzk-lokasi-parkir-di-solo-rawan-penyimpangan diakses pada hari
Selasa tanggal 25 Oktober 2019 Pukul 14:34 WIB.

171
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

governed the document embodying these principles (sistem prinsip-prinsip mendasar yang
mengatur suatu bangsa, negara, dan perkumpulan, sebuah dokumen yang berisi prinsip-
prinsip mendasar).6
Berdasarkan apa yang dapat penulis simpumlkan bahwa ada perlunya sistem hukum yang
baik sistem hukum adalah suatu susunan dari aturan-aturan hidup yang keseluruhannya
terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain. Sistem berasal dari bahasa Yunani
“systema” yang dapat diartikan sebagai keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian.
Menurut Subekti, sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan
yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu
rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan. Dalam suatu
sistem yang baik tidak boleh terdapat suatu pertentangan antara bagian-bagian. Selain itu
juga tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih diantara bagian-bagian itu. Suatu
sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya.7
Setelah Adanya suatu sistem hukum yang baik maka perlu adanya penegakan hukum
yang efektif dan efisien pula. Penegakan Hukum merupakan upaya yang dilakukan agar
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku hubungan hukum
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam rangka menjamin penyelenggaraan
tertib pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan daerah diperlukan adanya hubungan
yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diletakkan dalam kerangka
pelaksanaan otonomi daerah, sehubungan dengan hal itu maka pelaksanaan otonomi
daerah diarahkan pada otonomi yang nyata dan bertanggung jawab agar dapat menjamin
perkembangan dan pembangunan daerah.8
Setiap daerah memiliki kewenangan serta tanggungjawab terhadap roda pemerintahan
dan perekonomiannya dengan artian adanya hak untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri maka daerah berhak untuk membuat peraturan daerah. Peraturan daerah
tersebut tentunya hanya berlaku dan ditegakkan dalam wilayah masing-masing daerah
yang merupakan peraturan khusus di tiap-tiap daerah, namun tetap dalam batas-batas dan
pengawasan dari pemerintahan pusat. Peraturan daerah tersebut harus memenuhi batas-
batas kewenangan yang telah ditentukan dengan keterikatan dalam hubungannya pada
pemerintah pusat yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan pencegahan, pengawasan
penanggulangan dan pengawasan umum.9
Berdasarkan pada latar belakang tersebut maka penulis kemudian tertarik untuk melakukan
penelitian hukum dengan mengambil judul “PENEGAKAN HUKUM PENGELOLAAN
RETRIBUSI PARKIR DI TEPI JALAN UMUM DI KOTA SURAKARTA (Studi Peraturan
Daerah Kota Surakarta Nomor 26 Tahun 2004 Tentang Retribusi Parkir Di Tepi Jalan
Umum) “

6 Ensiklopedia of Journal, Perkembangan Teori Konstitusi Untuk Mendukung Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Vol. 1 No.2 Edisi 2 Januari 2019, hlm 164.
7 Inu Kencana Syafiie, Sistem Adminitrasi Negara Republik Indonesia (SANRI), Bumi Aksara, Jakarta, 2013, hlm.
2.
8 Samsul Wahidin, Politik Penegakan Hukum Di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2017, hlm. 51.
9 Misdayanti, Kartasapoetra, Fungsi Pemerintahan Daerah Dalam Pembuatan Peraturan Daerah, Bumi Aksara,
Jakarta, 2003, hlm. 28.

172
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, agar permasalahan yang
diteliti menjadi lebih jelas, rinci, dan terarah serta penulisan penelitiaan hukum ini mencapai
tujuan yang diinginkan, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Implementasi Pengelolaan Retribusi Parkir Di Tepi Jalan Umum Berdasarkan
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Retribusi Parkir Di Tepi
Jalan Umum?
2. Bagaimana Penegakan Hukum Yang Dilakukan Oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas
(UPTD) Perparkiran Kota Surakarta Terhadap Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota
Surakarta Nomor 6 tahun 2004 Tentang Retribusi Parkir Di Tepi Jalan Umum?

C. LANDASAN TEORI
1. Teori Sistem Hukum
Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence M. Friedman, ada tiga elemen utama dari
sistem hukum (legal system), yaitu:
a) Struktur Hukum (Legal Structure)
b) Subtansi Hukum (Legal Substance)
c) Budaya Hukum (Legal Culture)
Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan
hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (legal structure),
substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum
menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-
undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut
dalam suatu masyarakat.10
1) Struktur Hukum (Legal Structure)
Tentang struktur hukum Friedman menjelaskan Struktur dari sistem hukum terdiri
atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis
kasus yang berwenang mereka periksa), dan tata cara naik banding dari pengadilan
ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif ditata, apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden, prosedur ada yang diikuti oleh
kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur (legal struktur) terdiri dari lembaga hukum
yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada.
Struktur adalah Pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan
menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini menunjukkan bagaimana
pengadilan, pembuat hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan dan
dijalankan. Di Indonesia misalnya jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum
Indonesia, maka termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum
seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.11
2) Subtansi Hukum (Legal Subtance)
Substansi hukum menurut Friedman adalah Aspek lain dari sistem hukum adalah
substansinya. Yang dimaksud dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola

10 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Bandung, 2011, hlm. 3.
11 Ibid., hlm. 5-6.

173
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

perilaku nyata manusia yang berada dalam system itu. sistem substansial yang
menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti
produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup
keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Jadi substansi
hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki
kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum.12
Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan
yang ada dalam kitab undang-undang. Sebagai negara yang masih menganut
sistem Civil Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan
perundang-undangan juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Saxon)
dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-
peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi
sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas
dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tidak ada suatu perbuatan pidana
yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”. Sehingga bisa atau
tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah
mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
3) Budaya Hukum (Legal Culture)
Kultur hukum menurut Friedman adalah Budaya hukum erat kaitannya dengan
kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka
akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat
mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat
terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum. Kultur
hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk
budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum.
Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang
ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung
budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka
penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.13
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak lain
hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Untuk menjamin
tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat kearah yang lebih baik,
maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau
peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut
ke dalam praktek hukum, atau dengan kata lain, jaminan akan adanya penegakan
hukum yang baik.

2. Teori Penegakan Hukum


a. Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai dengan pedoman prilaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat

12 Ibid., hlm. 7.
13 Ibid., hlm. 8.

174
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

dan bernegara. Penegakan hukum itu sendiri adalah suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan, yang disebut sebagai keinginan-
keinginan hukum disini adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang
yang dirumuskan dalam peraturan hukum itu.14
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nila-nilai yang
terjabarkan dalam kaidah-kaidah mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir. untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup.15
Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan dan
harapan yang merupakan idealisme hukum agar menjadi atau terwujud di dalam
realitas atau alam nyata. Dari konseptualisasi yang kemudian dituangkan dalam
atauran hukum secara knkret, atau das sollen yang secara konkret ingin diwujudkan
sebagai kenyataan yang terukur. Ingin direfreksikan dalam tindakan nyata dalam
wujud penampilan tindakan subyek hukum yang mempunyai otoritas untuk itu,
yaitu dalam wujudnya sebagai das sein.16
b. Penegak Hukum Di Indonesia
Guna untuk melakukan penegakan hukum, institusi yang paling bertanggungjawab
dan memiliki kewenangan untuk ini adalah penegak hukum. Dalam peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya penegak hukum di Indonesia terdiri dari :
1. Polisi (Kepolisian), secara individu atau personil polisi sebagai penegak
hukum bertugas untuk menegakan hukum, dan keberadaanya bertujuan untuk
mewujudkan tertib dan tegaknya hukum. Secara kelembagaan adanya Kepolisan
Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam
negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat,
tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan masyarakat, serta terbinannya ketentraman dalam masyarakat
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
2. Jaksa Penuntut Umum (Kejaksaan), baik sebagai pejabat struktural,
fungsional maupun penuntut umum adalah penegak hukum. Dasar kinerjanya
adalah Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004. Kejaksaan sebagai lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
3. Hakim (Kehakiman), dasar kinerjanya adalah Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009. Hakim secara kelembagaan yang direfleksikan dalam kinerja
individunya adalah organ pengadilan yang memahami hukum. Di bawah
tanggunjawabnya diletakan kewajiban untuk tegaknya hukum. Hukum dan
keadilan itu ditegakan baik yang berdasarkan hukum tertulis atau tidak tertulis
atau hukm yang hidup di dalam masyarakat.
4. Advokat (Kepengacaraan), dasar kinerjanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di
dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyartan sesuai ketentuan
Undang-Undang.17

14 Satjipto Raharjo,Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, 2005, hlm. 24.
15 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2016. hlm. 5.
16 Samsul Wahidin, Op.Cit. hlm. 4.
17 Ibid., hlm. 66-67.

175
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

c. Faktor-Faktor yang Menghambat Penegakan Hukum


Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti hanya pada pelaksanaan
perundang-undangan saja atau berupa keputusan-keputusan hakim. Masalah
pokok yang melanda penegakan hukum yakni terdapat pada faktor-faktor yang
mempengaruhinya secara langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor tersebut
mempunyai arti yang netral sehingga dapat menyebabkan dampak positif maupun
dampak negatif. dilihat dari segi faktor penegakan hukum itu menjadikan agarsuatu
kaidah hukum benar-benar berfungsi. Faktor- faktornya adalah :18
1. Faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri.
Dapat dilihat dari adannya peraturan undang-undang, yang dibuat oleh
pemerintah dengan mengharapkan dampak positif yang akan didapatkan dari
penegakan hukum. Dijalankan berdasarkan peraturan undang-undang tersebut,
sehingga mencapai tujuan yang efektif. Di dalam undang - undang itu sendiri
masih terdapat permasalahan permasalahan yang dapat menghambat penegakan
hukum, yakni :
a) Tidak diikuti asas-asas berlakunya undang-undang.
b) Belum adanya peraturan-pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang.
c) Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan
kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya.19
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk dan
menerapkan hukum.
Istilah penegakan hukum mencakup mereka yang secara langsung maupun
tidak langsung berkecimpung dibidang penegakan hukum, seperti : dibidang
kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan permasyarakatan.
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang sudah
seharusnya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu guna menampung
aspirasi masyarakat. Penegak hukum harus peka terhadap masalah-masalahyang
terjadi di sekitarnya dengan dilandasi suatu kesadaran bahwa persoalan tersebut
ada hubungannya dengan penegakan hukum itu sendiri.20
3. Faktor Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
Kepastian penanganan suatu perkara senantiasa tergantung pada masukan
sumber daya yang diberikan di dalam program-program pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana. Didalam pencegahan dan penanganan tindak
pidana prostitusi yang terjadi melalui alat komunikasi, maka diperlukan yang
namanya teknologi deteksi kriminalitas guna memberi kepastian dan kecepatan
dalam penanganan pelaku prostitusi.
Tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar tanpa adanya
sarana atau fasilitas tertentu yang ikut mendukung dalam pelaksanaanya. Maka
menurut Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, “sebaiknya untuk melengkapi

18 M. Husein Maruapey. Penegakan Hukum Dan Perlindungan Negara. JIPSi Volume VII No. 1 Juni 2017, hlm. 22.
19 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 17.
20 Ibid., hlm. 34.

176
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum perlu dianut jalan pikiran sebagai
berikut :
a) Yang tidak ada, harus diadakan dengan yang baru
b) Yang rusak atau salah, harus diperbaiki atau dibetulkan.
c) Yang kurang, harus ditambah.
d) Yang macet harus dilancarkan.
e) Yang mundur atau merosot, harus dimajukan dan ditingkatkan.”21
4. Faktor Masyarakat, yaitu faktor lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku dan diterapkan.
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat itu sendiri. Secara langsung masyarakat
dapat mempengaruhi penegakan hukum. Hal ini dapat dilihat dari pendapat
masyarakat mengenai hukum. Maka muncul kecendrungan yang besar pada
masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas, dalam hal ini adalah
penegak hukumnya sendiri. Ada pula dalam golongan masyarakat tertentu
yang mengartikan hukum sebagai tata hukum atau hukum positif tertulis.
Pada setiap tindak pidana atau usaha dalam rangka penegakan hukum, tidak
semuanya diterima masyarakat sebagai sikap tindak yang baik, ada kalanya
ketaatan terhadap hukum yang dilakukan dengan hanya mengetengahkan
sanksi-sanksi negatif yang berwujud hukuman atau penjatuhan pidana apabila
dilanggar. Hal itu hanya menimbulkan ketakutan masyarakat terhadap para
penegak hukum semata atau petugasnya saja.22
5. Faktor Kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kebudayaan atau sistem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari
keadilan. Nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai
apa yang dianggap baik seharusnya diikuti dan apa yang dianggap buruk
seharusnya dihindari.
Mengenai faktor kebudayaan terdapat pasangan nilai-nilai yang berpengaruh
dalam hukum, yakni :
a) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
b) Nilai jasmaniah dan nilai rohaniah (keakhlakan).
c) Nilai konservatisme dan nilai inovatisme.23

D. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum
empiris atau non doctrinal research untuk mengetahui peristiwa atau keadaan yang terjadi
didalam praktek. Penelitian hukum empiris adalah penelitian yang didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari satu atau beberapa gejala

21 Ibid., hlm. 44.


22 Ibid., hlm. 56.
23 Ibid., hlm. 60.

177
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

sosial tertentu dengan jalan menganalisisnya. Dalam penelitian saya ini dapat di golongkan
penelitian hukum empiris karena data yang saya dapatkan melalui wawancara terhadap
Pejabat Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Perparkiran Kota Surakarta.
Selain itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta sosial tersebut untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan masalah atas permasalahan yang timbul dari
gejala sosial yang bersangkutan. Pada penulisan sosiologis atau empiris maka yang di teliti
awalnya adalah data sekunder yang memberikan penjelasan mengenai penulisan penelitian
hukum, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian data primer dilapangan atau terhadap
masyarakat.24

E. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Implementasi Pengelolaan Retribusi Parkir Di Tepi Jalan Umum Di Kota
Surakarta
a. Dasar Hukum
1) Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Retribusi
Daerah
Diterbitkannya dan diberlakunya Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 5
Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor
9 Tahun 2011 Tentang Retribusi Daerah merupakan salah satu kebijakan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam melakukan pungutan
retribusi daerah. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 5 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 9 Tahun 2011
Tentang Retribusi Daerah diterbitkan guna untuk menindaklanjuti berlakunya
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
Retribusi parkir di tepi jalan umum merupakan salah satu jenis retribusi
daerah yang termasuk dalam obyek retribusi jasa umum yang disediakan
oleh Pemerintah Daerah. Berdasarkan yang tertulis didalam Pasal 6 ayat (1)
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 9 Tahun 2011 Tentang
Retribusi Daerah bahwa prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi jasa
umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa, kemampuan
masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan
tersebut. Maka Pemerintah Kota Surakarta dalam hal ini Bidang Perparkiran
Dinas Perhubungan Kota Surakarta dalam menentukan tarif parkir harus
merujuk pada aturan tersebut.
Penetapan tarif parkir di tepi jalan umum telah diatur dalam Lampiran V
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Retribusi Daerah.
Dengan adanya parkir di tepi jalan umum dapat berpotensi akan menimbulkan
kemacetan di Kota Surakarta. Maka untuk mengatasi hal tersebut Pemerintah
Kota Surakarta berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 5 Tahun
2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 9 Tahun

24 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2015, hlm. 52.

178
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

2011 Tentang Retribusi Daerah membagi kawasan parkir ditepi jalan umum
menjadi beberapa zona parkir yaitu zona A, B, C, D, dan E dtmana setiap zona
memiliki tarif yang berbeda, akan tetapi mulai tahun 2012 yang berlaku hanya
zona C. D dan U karena penerapan zona A dan B masih menunggu perbaikaan
dan efektifitas zona yang sudah ada.
Tabel 1. Tarif retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum

Tarif
No. Zona Jenis Kendaraan Sekali Keterangan
Parkir
1 Zona A Sepeda 500 Satu kali
Andong/Dokar 500 parkir
Sepeda Motor 3.000 maksimum 1
Mobil Penumpang/Pick Up 5.000 (satu) jam.
Bus SedangTruck Sedang 8.000 tiap satu jam
Bus Besar/Truck Besar 10.000 kelebihan
dikenakan tarif
2 Zona B Sepeda 500 tambahan
Andong/Dokar 500 sebesar
Sepeda Motor 2.500 100% dari
Mobil Penumpang/Pick Up 4.000 besarnya
Bus Sedang/Truck Sedang 6.500 retribusi yang
Bus Besar/Truck Besar 8.500 ditetapkan.
3 Zona C Sepeda 500 Kelebihan
Andong Dokar 500 parkir kuang
Sepeda Motor 2.000 dari 1 (satu)
Mobil Penumpang/Pick Up 3.000 jam dihitung
Bus Sedang /Truck Sedang 5.000 1 (satu) jam.
Bus Besar/Truck Besar 7.000

4 Zona D Sepeda 500


Andong/Dokar 500
Sepeda Motor 1.500
Mobil Penumpang/Pick Up 2.000
Bus Sedang/Truck Sedang 3.500
Bus Besar/Truck Besar 5.500

5 Zona E Sepeda 500


Andong/Dokar 500
Sepeda Motor 1.000
Mobil Penumpang/Pick Up 1.500
Bus Sedang/Truck Sedang 3.000
Bus Besar/Truck Besar 4.000

Sumber : Bidang Perparkiran Dishub Kota Surakarta

179
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

Keterangan :
1. Besaran tarif Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan Umum untuk Tahun
2012 maximal sampai zona E.
2. Peningkatan zona setelah Tahun 2012 dengan Peraturan Walikota,
3. Penentuan zona ditentukan dengan Peraturan Walikota.
4. Khusus untuk sekolah, tempat ibadah, rumah sakit (Rumah
Sakit Umum Daerah, Puskesmas) tidak dikenakan tarif
progresif, (untuk penjemput dikenakan tarif progresif)
2) Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan
Perhubungan
Pemerintah Kota Surakarta dalam menunjang pembangunan dan pertumbuhan
perekonomian Kota Surakarta menerbitkan Peraturan Daerah Kota Surakarta
Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan untuk menjawab
kebutuhan didalam perkembangan kehidupan masyarakat. Pengelolaan
parkir menjadi salah satu bagian didalam Peraturan Daerah Kota Surakarta
Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan ini. hal tersebut
tertulis didalam Pasal 209 ayat (1) dijelaskan bahwa penyelenggaraan tempat
parkir dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan/atau badan, perorangan.
Sedangkan parkir di tepi jalan umum disebutkan didalam Pasal 209 ayat (2)
huruf a.
Pengelolaan parkir di tepi jalan umum dilakukan oleh Bidang Perparkiran Dinas
Perhubungan Kota Surakarta. Tugas dan fungsi Bidang Perparkiran Dinas
Perhubungan Kota Surakarta adalah melakukan proses lelang lahan parkir,
pelaksanaan dan pengawasan terhadap pemungutan, pembayaran dan penagihan
retribusi parkir. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang mana Kota Surakarta tidak memiliki sumber daya alam
yang memenuhi maka salah satu cara yang dimaksimalkan oleh Pemerintah
Daerah adalah melalui retribusi sebagai sumber utama pendapatan asli daerah.
Pemerintah Kota Surakarta dalam pengelolaan parkir di tepi jalan umum
berkerjasamakan dengan pihak ketiga yang di jelaskan didalam Pasal 215
ayat (1) Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 Tahun 2013 Tentang
Penyelenggaraan Perhubungan bahwa pengelolaan parkir milik Pemerintah
Daerah dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga melalui cara lelang dan
penunjukan. Dalam Peraturan Daerah ini juga dijelaskan tentang hak dan
kewajiban dari pengelola parkir, petugas parkir dan pengguna jasa parkir
didalam Pasal 220 sampai dengan Pasal 225 Peraturan Daerah Kola Surakarta
Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan. Dalam Peraturan
Daerah ini juga secara tertulis pembagian hasil pendapatan parkir yaitu sebagai
berikut:
Tabel 2. Pembagian hasil pendapatan parkir

Jenis Parkir
Pihak
Tepi Jalan Umum Tempat Khusus
Pemerintah Kola 40 % 40%

180
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

Jenis Parkir
Pihak
Tepi Jalan Umum Tempat Khusus
Pengelola Parkir 20% 20%
Petugas Parkir 25% 25%
Jaminan Sosial &.
15% 15%
hak-hak lainnya
Sumber : Bidang Perparkiran Dishub Kota Surakarta
3) Peraturan Walikota Surakarta Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Zona Parkir di
Tepi Jalan Umum
Sebagai pelaksaanaan dari Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 9 Tahun
2011 Tentang Retribusi Daerah, Pemerintah Kota Surakarta mengeluarkan
Peraturan Walikota Surakarta Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Zona Parkir di
Tepi Jalan Umum untuk pembagian zona-zona parkir yang bertujuan untuk
pengendalian lalu lintas ruas-ruas jalan Kota Surakarta dan demi tereiptanya
kenyamanan dan ketertiban bagi pengguna jasa parkir ditepi jalan umum.
Adapun pembagian dan interval evaluasi zona tersebut sebagai berikut :
Tabel 3. Klasifikasi dan interval kriteria evaluasi zona parkir

ZONA Interval LHR Interval Permintaan Parkir


ZONA A >25.O00 kdr/hari > 10.000 kdr/hari
ZONA U 15.000-25.000 kdr/hari 5000-10.000 kdr/hari
ZONA C 10.000-15.000 kdr/hari 1000-5000 kdr/hari
ZONA D 5000-10.000 kdr/hari 500-1000 kdr/hari
ZONA E < 5000 kdr/hari < 500 kdr/hari
Sumber : Bidang Perparkiran Dishub Kota Surakarta
Mulai tahun 2012 melalui Surat Keputusan Kepala Dinas Perhubungan Kota
Surakarta Nomor : 551.2/2578.A zona parkir yang berlaku di Kota Surakarta
hanya zona C, D, dan E.

Gambar 4. Peta pembagian zona parkir di tepi jalan umum


Sumber : Bidang Perparkiran Dishub Kota Surakarta

181
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

4) Peraturan Walikota Surakarta Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Pakaian Petugas


Parkir
Peraturan ini merupakan peraturan pelaksaan secara teknis yang ditujukan
untuk petugas parkir. Didalam Pasal 2 ayat (2) Tujuan dari pengaturan pakaian
petugas parkir adalah untuk menunjukkan identitas sebagai petugas parkir
dalam meningkatkan pelayanan dibidang jasa perparkiran dan menciptakan
pelayanan yang aman, nyaman, tertib dan teratur. Pakaian seragam petagas
parkir mempunyai fungsi untuk menunjukkan identitas petugas parkir dan
sarana pengawasan petugas.
Peraturan ini juga memuat seragam yang harus dikenakan oleh petugas parkir
dalam menjalankan tugasnya. Didalam Pasal 5 Peraturan Walikota ini atribut
Pakaian seragam terdiri diri:
a) Tutup Kepala;
b) Papan Tulisan Petugas Parkir,
c) Papan Nama;
d) Lambang Daerah Kota Surakarta;
e) Tanda Pengenal Petugas Parkir; dan
f) Tanda Zona Parkir.

2. Penegakan Hukum Yang Dilakukan Oleh Bidang Perparkiran Dinas Perhubungan


Kota Surakarta Terhadap Pelaksanaan Pengelolaan Retribusi Parkir Di Tepi
Jalan Umum
Dinas Perhubungan Kota Surakarta memiliki tugas melakukan sosialisasi dan
pembekalan yang berhubungan dengan perparkiran. Dinas Perhubungan Kota Surakarta
juga mempunyai tanggungjawab untuk melakukan pengawasan, pengendalian dan
penertiban dilapangan atau penegakan hukum. Kegiatan tersebut tidak dilakukan oleh
Dinas Perhubungan Kota Surakarta saja tetapi juga melibatkan pihak-pihak lain. Tim
Pengawasan, penertiban dan Pengendalian Lapangan atau Penegak Hukum terdiri
atas unsur Dinas Perhubungan Kota Surakarta, Kepolisian Resort Kota Surakarta,
Detasemen Polisi Militer IV/4 Surakarta, Kejaksanaan Negeri Surakarta, Pengadilan
Negeri Surakarta, Satuan Polisi Pamong Praja Kota Surakarta dan Asosiasi Parkir Kota
Surakarta. Tim tersebut melaksanakan koordinasi untuk menentukan lokasi rawan
parkir liar dan/atau lokasi rawan pungutan parkir yang melebihi ketentuan. Setelah
melaksanakan koordinasi. Tim melaksanakan operasi dengan target, petugas parkir
nakal, yaitu petugas parkir yang tidak memakai kelengkapannya (Seragam, KTA,
karcis dan atribut lain) dan petugas parkir yang memungut melebihi ketentuan, serta
seseorang yang bukan petugas parkir memungut biaya tertentu atas kendaraan yang
parkir (premanisme).
Hasil operasi berupa petugas parkir nakal, apabila petugas parkir nakal diberi pembinaan
oleh Dinas Perhubungan Kota Surakarta, berupa sosialisasi, teguran 1 dan 2 kepada
petugas parkir serta pengelola parkirnya. Apabila tahap sosialisasi, teguran 1 dan 2
tidak diindahkan, maka Dinas Perhubungan Kota Surakarta akan mencabut kartu tanda
anggota petugas parkir dan mencabut surat ijin pengusahaan parkir yang telah diberikan
kepada pengelola parkir. Hasil operasi berupa seseorang yang bukan petugas parkir
memungut biaya tertentu atas kendaraan yang parkir (premanisme) tindakan yang
diambil, yaitu diserahkan kepada pihak Kepolisian.

182
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

Petugas Parkir Pembinaan,


Nakal Teguran 1 dan 2
Dishub
kepada petugas dan
Kepolisian
pengelola parkir
Den Pom
TIM Kejaksaan Operasi
Pengadilan Premanisme
Satpol PP KTA dan Ijin Dicabut
Asosiasi Parkir
Kepolisian

Gambar 5. Mekanisme pengawasan, penertiban dan pengendalian lapangan


Sumber : Bidang Perparkiran Dishub Kota Surakarta
Penerapan sanksi administratif bagi pelanggaran pelanggaran yang dilakukan oleh
pengelola parkir juga diatur dalam peraturan daerah ini yakni di Pasal 227 sanksi
berupa peringatan dan pencabulan izin. Sedangkan pelanggaran oleh pengguna jasa
parkir diatur dalam Bab XV tentang pemindahan kendaraan. Pemindahan kendaraan
merupakan pemindahan terhadap kendaraan yang parkir di arca larangan. Dalam Pasal
231 ayat (1) diatur bahwa cara pemindahan kendaraan ada 3 (tiga ) yaitu:
a) Penggembokan pada roda kendaraan
b) Diderek dengan mobil derek sesuai dengan peruntukannya
c) Disimpan di areal penyimpanan kendaraan bermotor
Penerapan sanksi penggembokan pada roda kendaraan yang melanggar aturan
parkir dilakukan oleh tim pengawasan, penertiban dan pengendalian lapangan
terdiri atas unsur minimal dari Dinas Perhubungan Kota Surakarta dan Kepolisian
Resort Kota Surakarta (Satlantas Polresta) dengan melaksanakan koordinasi untuk
menentukan lokasi rawan pelanggaran parkir di daerah larangan dan melaksanakan
operasi gabungan. Hasil operasi/ temuan pelanggaran parkir di lapangan, tindakan
yang diambil yaitu pemberian surat tilang oleh Kepolisian (Satlantas Polresta),
penggembokan roda kendaraan dan pemberian tanda pemindahan kendaraan yang
ditempel di kaca mobil oleh petugas DISHUB Kota Surakarta serta pembuatan berita
acara penggembokan di tempat oleh PPNS/ petugas DISHUB. Setelah itu, pelanggar
diharuskan datang ke kantor Dinas Perhubungan Kota Surakarta untuk menyelesaikan
administrasi yaitu membayar biaya penggembokan sebesar Rp. 100.000,- (Seratus
Ribu Rupiah) dengan menunjukkan tanda pemindahan kendaraan dan surat tilang dari
Kepolisian. Hal ini berlaku bagi pelanggar kendaraan bermotor Roda 4 (empat)/ Lebih
dan/ atau Roda 2 (dua) yang berdomisili di Wilayah Solo Raya dan/ atau pelanggar
tidak berada di lokasi sedangngkan pelanggar yang berdomisili diluar kota/ luar Solo
Raya dapar membayar di tempat kejadian. Setelah menyelesaikan sanksi administratif
petugas Dinas Perhubungan Kota Surakarta mendatangi lokasi pelanggaran untuk
membuka gembok pada roda kendaraan dan pemilik kendaraan dapat melanjutkan
perjalanannya. Akan tetapi proses sidang di Pengadilan Negeri tetap berlaku sesuai
dengan jadwal yang tertulis di surat tilang.

183
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta


Gambar 6. Mekanisme pemindahan kendaraan dengan cara penggembokan pada
roda kendaraan
Sumber : Bidang Perparkiran Dishub Kota Surakarta

Tidak hanya pemberlakuan sanksi penggembokan saja. Dinas Perhubungan Kota Surakarta
dalam melakukan pengawasan, penertiban dan pengendalian juga memberlakukan
sanksi pendererekan dan pemindahaan tempat kendaraan bagi pelanggar parkir yang
tidak pada tempatnya. Sama halnya dengan sanksi penggembokan, penderekan dan
pemindahan tempat kendaraan jaga dilakukan oleh Dinas Perhubungan bekerja sama
dengan Kepolisian Resort Kota Surakarta (Satlanlas Polresta). Penderekan kendaraan
dan pemindahan tempal kendaraan dilakukan apabila sanksi penggembokan diacuhkan
oleh pemilik kendaraan. Penderekan kendaraan dan pemberian tanda pemindahan
kendaraan oleh petugas Dinas Perhubungan Kota Surakarta yang ditaruh tidak jauh dari
lokasi penderekan mobil akan langsung diderek dan disimpan di areal penyimpanan.
Pemilik kendaraan yang diderek baik atas pelanggaran maupun atas permintaan
diharuskan datang ke kantor Dinas Perhubungan Kota Surakarta untuk menyelesaikan
administrasi yaitu membayar biaya penderekan sebesar Rp.250.000.- (Dua Ratus Lima
Puluh Ribu Rupiah) dengan menunjukkan tanda pemindahan kendaraan dan surat
tilang dari Kepolisian (bagi pelanggar) petugas Dinas Perhubungan Kota Surakarta
menyerahkan kendaraan yang diderek kepada pemilik dan/atau pengguna kendaraan
dan mereka dapat melanjutkan perjalanannya; pemilik dan/ atau pengguna kendaraan
atas pelanggaran tetap harus menjalankan proses sidang di Pengadilan Negeri sesuai
dengan jadwal yang tertulis di surat tilang.

184
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

Gambar 7. Mekanisme pemindahan kendaraan dengan cara penderekan dan di


simpan di areal penyimpanan kendaraan
Sumber : Bidang Perparkiran Dishub Kota Surakarta

F. Penutup
1. Kesimpulan
Retribusi parkir di tepi jalan umum di Kota Surakarta sudah memiliki substansi hukum
yang cukup baik untuk pelaksanaanya. Namun, dalam pelaksanaannya pengelolaan
retribusi parkir ditepi jalan umum belum berjalan dengan baik karena di dalamnya
masih banyak sekali terdapat pelanggaran-pelanggaran mulai dari struktur hukum itu
sendiri yaitu pihak DISHUB Kota Surakarta tidak menjalankan tugasnya dengan baik
dan Budaya Hukum itu sendiri baik itu pengelola, petugas, dan pengguna parkir masih
tidak peduli dengan PERDA Kota Surakarta yang sudah diberlakukan.
Penegakan hukum terhadap pengelolaan retribuisi parkir di tepi jalan umum sudah
memiliki dasar hukum yang cukup untuk pelaksanaanya. Yang mana penegakan hukum
tersebut sudah terperinci di atur dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 Tahun
2013 tentang Penyelenggaraan Perhubungan. Hanya saja masih memiliki kendala di
dalamnya seperti pelaksanaan yang belum sesuai ketentuan dan budaya masyarakat
enggan terhadap PERDA yang sudah diberlakukan. Maka PERDA Kota Surakarta
terkait pengelolaan retribusi parkir di tepi jalan umum belum mencapai tujuan yang
maksimal karena masih banyaknya pelanggaran.
2. Saran
DISHUB Kota Surakarta dalam hal ini bidang perparkiran harus merubah sistem yang
digunakan dalam pengelolaan retribusi parkir di tepi jalan umum karena di lihat bahwa
apabila pengelolaan tersebut di berikan kepada pihak ketiga meskipun dengan cara yang
sudah di tentukan masih banyak sekali pelanggaran. Maka menurut saya pengelolaan
retribusi parkir di tepi jalan umum harus di kelola oleh Pemerintah sendiri yaitu DISHUB
Kota Surakarta agar hasil yang di peroleh lebih maksimal dan meminimalisir terjadinya
pelanggaran-pelanggaran terkait pengelolaan retribusi parkir di tepi jalan umum di Kota
Surakarta.

185
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

Apabila pengelolaan retribusi parkir di tepi jalan umum di kelola oleh Pemerintah
Kota Surakarta sendiri dalam hal ini khususnya DISHUB Kota Surakarta maka harus
adanya suatu regulasi yang di berlalukan yaitu PERDA Kota Surakarta yang dirancang
untuk mengatur bagaimana pengelolaan retribusi parkir itu dapat jalankan sebagaimana
mestinya sehingga selain meminimalisir pelanggaran pemerintah juga dapat membuka
lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat dengan kendali langsung oleh DISHUB
dan di bentuklah seksi khusus di dalam DISHUB terkait dengan pengelolaan retribusi
parkir di tepi jalan umum agar dapat berjalan dengan efektif dan efisien.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:
Friedman M, Lawrence, Sistem Hukum Prespektif Ilmu Sosial, Bandung: Nusa Media, 2011.
Misdayanti, Kartasapoetra, Fungsi Pemerintahan Daerah Dalam Pembuatan Peraturan
Daerah, Bumi Aksara, Jakarta, 2003.
Raharjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung,
2005.
Siahaan Pahala, Marihot, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah BerdasarkanUndang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah danRetribusi Daerah, edisi revisi, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2010.
________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2015
Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali
Pers, 2016.
Syafiie Kencana, Inu, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI), Jakarta: Bumi
Aksara, 2013.
Wahidin, Samsul, Politik Penegakan Hukum Di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2017.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Antara Pemerintah Pusat Dan
Pemerintah Daerah.
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 6 Tahun 2004 tentang Peraturan Daerah Kota Surakarta
Nomor 7 tahun 2001 Tentang Retribusi Parkir Ditepi Jalan Umum.

186
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mochammad Marhendra Kamajaya Penegakan Hukum terhadap Pengelolaan Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum di Kota Surakarta

Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 5 Tahun 2016 tentang Perubahan Peraturan Daerah
Kota Surakarta Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Retribusi Daerah.

JURNAL:
Anggar, Md. Krisna Arta dan Wirawati, Ni Gst. Putu. Analisis Pengaruh Penerimaan Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Peningkatan PAD Sekabupaten/Kota Di Provinsi
Bali. E-Jurnal Akutansi Universitas Udayana Volume 5. No. 3, 2013.
Ensiklopedia of Journal, Perkembangan Teori Konstitusi Untuk Mendukung Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Vol. 1 No.2 Edisi 2 Januari 2019.
Maruapey, M. Husein. Penegakan Hukum Dan Perlindungan Negara. JIPSi Volume VII No. 1
Juni 2017.

INTERNET :
http://jateng.metrotvnews.com/peristiwa/aNrLalzk-lokasi-parkir-di-solo-rawan-penyimpangan

187
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Moh Rizaldi Menguji Konstitusionalitas Materi Muatan Peraturan Presiden Nomor 72
Tahun 2020: Perspektif Nondelegasi Absolut

Menguji Konstitusionalitas Materi Muatan Pera-


turan Presiden Nomor 72 Tahun 2020: Perspektif Non-
delegasi Absolut
Moh Rizaldi1

Abstrak
Pandemi covid-19 mengharuskan pemerintah untuk bergerak cepat menghadapi ancaman krisis yang
ditimbulkannya, khusunya dibidang perekonomian. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan membentuk
Peraturan Presiden No 72 tahun 2020. Uniknya, sebagai peraturan delegasi, Perpres tersebut justru mengatur
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Artikel ini bertujuan untuk menguji konstitusionalitas materi
muatan Perpres tersebut dengan mendekatkan pada perspektif prinsip nondelegasi absolut dan keadaan darurat.
Artikel ini mengungkapkan bahwa norma-norma konstitusi yang direlaksasi pada saat pandemi covid-19, tidak
mengharuskan APBN untuk diatur oleh Perpres. Akibatnya, Perpres harus dinyatakan inkonstitusional.

Kata kunci: APBN, darurat, materi muatan, nondelegasi, Perpres.

Pendahuluan
Berlainan pandangan dengan ahli hukum tata negara lainnya, Bagir Manan justru berpendapat
bahwa perubahan UUD 1945 tidak melemahkan tetapi menguatkan kedudukan dan kekuasaan
Presiden.2 Salah satunya adalah penguatan kedudukan dan kekuasaan Presiden dibidang
pembentukan perundang-undangan yang ditunjukkan dengan adanya kekuasaan Presiden dalam
menetapkan Peraturan Presiden (Perpres). Diterangkan olehnya bahwa Perpres adalah ciptaan
undang-undang, tidak berdasarkan UUD, Perpres lebih leluasa dari Peraturan Pemerintah (PP)
dengan argumentasi bahwa menurut UUD, PP semata-mata untuk melaksanakan undang-undang
(ditunjuk undang-undang yang bersangkutan) sedangkan Perpres ditetapkan sebagai suatu
bentuk diskresi.3 Pandangan ini menunjukkan bahwa Perpres memiliki materi muatan yang lebih
luas dari PP.
Rahayu Prasetyaningsih juga memberikan pandangannya terhadap kekuasaan Presiden dalam
membentuk Perpres. Menurutnya, Perpres semacam executive order di Amerika Serikat (AS)
yaitu suatu kebijakan tanpa persetujuan congress. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa Perpres
adalah kekuasaan Presiden yang secara implied diperoleh dari Pasal 4 UUD 1945.4 Argumentasi
yang diberikannya adalah bahwa kewenangan Presiden membentuk Perpres tidak ditegaskan
oleh UUD 1945 namun pembentukan Perpres yang dibentuk pasca berlakunya UU No. 10 tahun
2004 selalu menempatkan Pasal 4 UUD 1945 sebagai dasar hukum baik secara sendiri maupun
disertai dengan beberapa dasar hukum lainnya.5

1 Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Jln. Banda No. 42 Bandung, Email: mohrizaldi19@gmail.com, SH (Universitas
Tadulako), Mahasiswa Magister Ilmu Hukum (Universitas Padjadjaran).
2 Bagir Manan, “Penguatan Kedudukan dan Kekuasaan Presiden Setelah Perubahan UUD 1945”, dalam buku Aradhana Sang Guru
Perundang-Undangan, yang disusun oleh Fitriani Ahlan Sjarif dan Sony Maulana Sikumbang (ed), Depok: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2019, hlm. 173-181.
3 Ibid., hlm. 178.
4 Rahayu Prasetyaningsih, “Menakar Kekuasaan Presiden Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Menurut Undang-
Undang Dasar 1945”, PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum, Volume 4 , Nomor 2, 2017, hlm. 277.
5 Ibid., hlm. 275.

188
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Moh Rizaldi Menguji Konstitusionalitas Materi Muatan Peraturan Presiden Nomor 72
Tahun 2020: Perspektif Nondelegasi Absolut

Dalam disertasi berjudul Peranan Keputusan Presiden Repulik Indonesia Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara yang ditulis oleh A. Hamid S. Attamimi disimpulkan bahwa Keputusan
Presiden yang bersifat pengaturan (sekarang Perpres) memiliki dua materi muatan yakni dapat
berupa delegasian PP dan dapat pula berupa atribusian langsung dari UUD 1945 atau disebut
Keppres yang mandiri.6 Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan materi muatan yang diatur
oleh UU 15 tahun 2019 jo UU 12 tahun 2011 (UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(P3)) yang merumuskan bahwa Perpres bersisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk
melaksanakan PP, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaran kekuasaan pemerintahan.7
Sebagai salah satu executive order, Perpres terikat pada asas nondelegasi. Kini sangat urgen
untuk menguji konstitusionalitas materi muatan Perpres No. 72 tahun 2020 tentang Perubahan
Atas Perpres No. 54 tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara tahun 2020 (Perpres APBN) sebagai obyek analisis dengan menjadikan prinsip
nondelegasi absolut dan keadaan darurat sebagai pisau analisis. Alasan mendasar dipilihnya
Perpres tersebut adalah pertama, Perpres tersebut diterbitkan sebagai respon pemerintah atas
pandemi covid-19 yang memungkinkan norma-norma konstitusi direlaksasi atau ditangguhkan.
Kedua, sesuai judulnya, materi muatan yang diatur olehnya sesungguhnya bukan materi muatan
yang seharusnya diatur oleh Perpres yakni APBN.
Argumentasi utama tulisan ini adalah bahwa keadaan darurat yang ditandai adanya pandemi
covid-19, mendorong terjadinya perkembangan materi muatan Perpres yang sesungguhnya
melanggar asas-asas konstitusi akibatnya, materi muatan Perpres tersebut berkarakter tidak
demokratis dan seharusnya dinyatakan inkonstitusional.

Pembahasan
A. Prinsip Non delegasi dalam UUD 1945: Perspektif John Locke
Menentukan kewenangan apa saja yang boleh dan tidak boleh didelegasikan adalah salah satu
kesulitan yang dihadapi oleh Congress Amerika Serikat (AS)8 tetapi tidak bagi pembentuk
UU (DPR bersama Presiden) di Indonesia.9 Alasannya, karena prinsip nondelegasi telah
dikunci sekaligus dirinci ke dalam norma-norma UUD 1945.
Asas/prinsip delegatus non potest delegare berasal dari bahasa latin yang berarti a delegate
cannot delegate.10 Asas ini dikenal luas sebagai nondelegation doctrine.11 Lisa A Chill dan
J. Russel Jackson mengatakan bahwa “originally, the nondelegation doctrine was a pure
manifestation of the lockean social contract theory”. Keduanya melanjutkan tulisannya
dengan mengutip tulisan John Locke, sebagai landasan argumentasinya, yang menyatakan

6 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Repulik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi
Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990, hlm. 370-371.
7 Lihat Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
8 The nondelegation doctrine seeks to restrict Congress from delegating legislative power in a manner inconsistent with its Article I
duties. The doctrine is difficult to apply because it is not a simple task to determine what constitutes legislative power. Lihat Azizz.
Huq dan Jond. Michaels, “The Cycles of Separation of Powers Jurisprudence”, The Yale Law Journal, 2016, hlm. 358. The Vesting
Clauses lack sufficient substantive clarity to have much effect on the law. One can agree that only Congress has legislative power
without having any idea what is actually exclusively legislative action. The generality of the Vesting Clause analysis may help explain
why the nondelegation doctrine has not been applied very strictly. Jack M. Beermann, Inside Administrative Law, New York: Aspen
Publisher, 2011, hlm. 23.
9 Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.
10 Moh Fadli, Peraturan Delegasi di Indonesia, Malang: Universitas Brawijaya Press, 2011,hlm. 12.
11 Ibid., hlm. 11.

189
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Moh Rizaldi Menguji Konstitusionalitas Materi Muatan Peraturan Presiden Nomor 72
Tahun 2020: Perspektif Nondelegasi Absolut

bahwa “the power of the legislative being derived from the people by a positive voluntary
grant and institution, can be no other, than what the positive grant conveyed, which being
only to make laws, and not to make legislators, the legislative can have no power to transfer
their authority of making laws, and places in other hands”.12
John Locke mendalilkan bahwa legislatif tidak dapat mengalihkan kekuasan pembuat
hukumnya kepada siapapun. Dalil tersebut diterjemahkan oleh Es. McMahon sebagai the
principle of absolute nondelegation (prinsip nondelegasi absolut).13 Senada dengan Locke,
Jack M Beermann menguraikan prinsip nondelegasi dalam konteks AS bahwa “Congress
may not delegate its legislative power to the President, an agency, or any other entity inside
or outside of government. It is axiomatic that only Congress has the constitutional power to
legislate. Congress cannot pass a law authorizing someone else, such as a federal agency,
the President, a private organization or a congressional committee, to write statutes and
place them in the United States Code”.14
Melanjutkan pandangannya, Beermann menerangkan bahwa prinsip nondelegasi
bersumber dari Pasal 1 Konstitusi AS. Selengkapnya dikatakan bahwa “the nondelegation
doctrine is derived from the Constitution’s grant of legislative power to Congress and from
the structural aspects ofthe Constitution that make clear that only Congress has the power
to enact federal laws. Article I, section 1 provides: ‘‘All legislative powers here in granted
shall be vested in a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House
of Representatives.’’ Further, the Presentment Clauses of Article. I, section 7, prescribe the
legislative process under which bills must pass both Houses of Congress to become law”.15
Meskipun dalam perkembangannya, penegakkan prinsip nondelegasi absolut perlahan-
lahan mulai ditinggalkan16 atau disebut sebagai “dead letter”17, namun dalam catatan
Martin H. Redish, Prinsip tersebut pernah digunakan oleh Mahkamah Agung (MA) untuk
menyelesaikan perkara Marshall Field & Co. v. Clark dimana MA menyatakan bahwa
“Congress cannot delegate legislative power to the president is a principle universally
recognized as vital to the integrity and maintenance of the system of government ordained
by the constitution.”18
Di Indonesia, prinsip nondelegasi absolut dirumuskan dalam UUD 1945 dengan dua
frasa yang berbeda yaitu “diatur dengan UU” dan “diatur dalam UU”. Perbedaan makna
keduanya, diungkapkan oleh hakim Laica Marzuki dalam disenting opinion yang ditulisnya
pada putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006 bahwa:
Istilah “diatur dalam undang-undang (geregeld in de wet)“ tidak identik dengan “diatur

12 Ibid., hlm. 14.


13 Es Mc Mahon, Chada and The Nondelegation Doctrine: Defining a Restricted Legislative Veto, The Yale Law Journal, Volume 94,
1995, hlm. 1493.
14 Jack M Beermann, Op.Cit., hlm. 21.
15 Ibid. 22.
16 Seperti yang diungkapkan oleh Gary Lawson, kegagalan untuk menegakkan doktrin non delegasi “bukan karena kurangnya
kesempatan.” Pengadilan dan sebagian besar ahli berpendapat bahwa doktrin tersebut terlalu sulit untuk dijalankan. Akibatnya,
doktrin saat ini tidak membatasi pendelegasian kekuasaan Congress. “intelligible principles” Congress saat ini begitu luas sehingga
sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa Congress sebenarnya mendelegasikan kekuasaan legislatif kepada presiden dan komisi
independen. Ilan Wurman, “Constitutional Administration”, Stanford Law Review, Volume 69, 2017, hlm. 375.
17 A. J. Kritkos, “Resuscitating the Non-Delegation Doctrine: A Compromise and an Experiment”, Missouri Law Review, Volume 82,
Issue 2, 2017, hlm. 442.
18 Martin H. Redish, “Pragmatic Formalism, Separation of Power, and Need to Revisit The Nondelegation Doctrine”, Loyola University
Chicago Law Journal , Volume 51, Issue 2, 2019, hlm. 373.

190
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Moh Rizaldi Menguji Konstitusionalitas Materi Muatan Peraturan Presiden Nomor 72
Tahun 2020: Perspektif Nondelegasi Absolut

dengan undang-undang (geregeld bij de wet)” sebagaimana lazim berlaku. Dikatakan,


“diatur dalam undang-undang (geregeld in de wet)” menjawab soal mengenai the where,
yaitu bahwasanya kaidah (norma) lebih lanjut daripadanya harus termaktub dalam undang-
undang, tidak dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Manakala pendapat Prof. Harun
Alrasid dimaksud dicermati, maka Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Badan-
badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-
undang”, seperti halnya dengan fungsi kepolisian atau kejaksaan yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman, tidaklah perlu kiranya Pembuat Undang-Undang (de Wetgever)
membuatkan undang-undang tersendiri, yang secara khusus mengatur fungsi-fungsi yang
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tersebut, sepanjang pengaturannya termaktub dalam
undang-undang (in de wet), bukan dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam pada itu, tatkala sesuatu “diatur dengan undang-undang (bij de wet geregeld)”, maka
sifatnya imperatif, merupakan perintah konstitusi bahwasanya hal sesuatu tersebut hanya
dapat secara khusus diatur dengan undang-undang tersendiri. Menurut Ahli Prof. Dr. Maria
Farida Indrati, S.H., M.H. di persidangan, kalau dilihat dari segi bahasa hukum, dikatakan
oleh para pakar Bahasa Indonesia bahwa kalau dikatakan “dengan undang-undang” maka
artinya dibuatkan undang-undang tersendiri atau harus dengan suatu undang-undang yang
tersendiri. Istilah-istilah “de wet regeld”, “bij de wet geregeld”, yang termaktub pada
Grondwet voor het Koninkrijk der Nederlanden, 1815, laatste wijzingen: Staatsblad 2002
nr 144, pada Hoofdstuk 6, di bawah judul Rechtspraak, dipahami dalam makna “ regulated
by act of parliament”. Manakala hal sesuatu tersebut tidak ternyata diatur dengan undang-
undang (niet geregeld bij de wet) maka dinyatakan inkonstitusional”.
Singkatnya, hakim Laica Marzuki berpendapat bahwa frasa “diatur dengan undang-undang
(geregeld bij de wet)” mengharuskan materi UU hanya dapat secara khusus diatur dengan
undang-undang tersendiri sedangkan “diatur dalam undang-undang (geregeld in de wet)”
tidak mengharuskan materi muatan UU diatur dengan undang-undang tersendiri melainkan
termaktub dalam undang-undang (in de wet), bukan dalam peraturan perundang-undangan
lainnya.
Meskipun terdapat perbedaan makna sebagaimana diutarakan oleh hakim Laica Marzuki,
dalam pandangan saya, kedua frasa tersebut, baik “diatur dengan UU” maupun “diatur
dalam UU” sesungguhnya mengandung prinsip nondelegasi absolut dimana pembentuk UU
tidak boleh mendelegasikan materi muatan yang seharusnya diatur oleh UU kepada produk
peraturan perundang-undangan lainnya. Berikut adalah rincian norma dalam UUD 1945
yang memuat prinsip nondelegasi absolut.
Diatur dengan UU Diatur dalam UU
Susunan keanggotaan MPR Tata cara Pemilihan Presiden dan
Syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden Wakil Presiden
Perjanjian Internasional Pembentukan dewan pertimbangan
Keadaan Bahaya atau penasehat oleh Presiden
Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain Pembentukan dewan pertimbangan
Pembagian Provinsi, Kabupaten dan Kota atau penasehat oleh Presiden
Pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau Pembentukan, Pengubahan dan
istimewa Pembubaran Kementerian Negara
Susunan DPR Tata cara penyelenggaraan
Tata cara Pembentukan undang-undang Pemerintah Daerah

191
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Moh Rizaldi Menguji Konstitusionalitas Materi Muatan Peraturan Presiden Nomor 72
Tahun 2020: Perspektif Nondelegasi Absolut

Diatur dengan UU Diatur dalam UU


Susunan dan Kedudukan DPD Pengakuan dan Penghormatan
Pemilihan Umum kesatuan masyarakat hukum adat
APBN Hak DPR dan hak anggota DPR
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa Tata cara dan syarat-syarat
Macam dan harga mata uang pemberhentian anggota DPR
Keuangan Negara Badan lain yang fungsinya
Bank Sentral berkaitan dengan kekuasaan
BPK kehakiman
Susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Pelaksanaan Pasal 33
MA serta badan peradilan dibawahnya (Perekonomian Nasional)
Susunan, kedudukan, dan keanggotaan KY
Pengangkatan dan pemberhentian Hakim konstitusi,
hukum acara, serta ketentuan lain tentang MK
Syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai
hakim
Wilayah, batas, hak-hak NKRI
Hal mengenai Warganegara dan Penduduk
Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
Susunan kedudukan TNI, Kepolisisan, hubungan
kewenangan TNI dan Polisi dalam menjalankan
tugas, syarat-syarat keikutsertaan warga negara,
dan hal lain yang terkait dengan pertahanan dan
keamanan
Sistem Pendidikan Nasional
Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu
Kebangsaan

B. Prinsip Nondelegasi Absolut dalam Keadaan Darurat: Perspektif Accommodation


Theory
Keadaan darurat senantiasa dihadapi oleh setiap negara, baik yang berasal dari dalam
maupun dari luar negara, baik yang berskala mayor maupun minor. Permasalahannya adalah
bagaimana menerapkan prinsip nondelegasi absolut dalam keadaan darurat?
Menjawab pertanyaan tersebut, Eric A. Posner dan Adrian Vermule menyatakan bahwa
“The Constitution should be relaxed or suspended during an emergency”.19 Perspektif ini
disebut sebagai accommodation theory.20 Selama keadaan darurat, penting agar kekuasaan
terkosentrasi. Keduanya menerangkan bahwa power should move up from the states to
the federal government, and, within the federal government, from the legislature and the
judiciary to the executive.21 Disamping itu, hak-hak konstitusional harus direlaksasi agar
eksekutif dapat bergerak cepat menghadapi ancaman. Tidak ada alasan untuk berpikir
bahwa hak dan kekuasaan konstitusional yang sesuai untuk keadaan darurat adalah sama

19 Eric A. Posner dan Adrian Vermule, Accommodating Emergencies, Stanford Law Review,Volume 56, 2003, hlm. 606.
20 Ibid.
21 Ibid.

192
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Moh Rizaldi Menguji Konstitusionalitas Materi Muatan Peraturan Presiden Nomor 72
Tahun 2020: Perspektif Nondelegasi Absolut

dengan yang berlaku selama masa normal. Ditegaskan oleh keduanya bahwa the reason
for relaxing constitutional norms during emergencies is that the risks inherent in expansive
executive power—the misuse of the power for political gain—are justified by the national
security benefits.22 Pandangan ini sejalan dengan prinsip “normale rechts voor normale tijd,
en abnormale rechts voor abnormale tijd”. (Hukum yang normal untuk waktu yang normal,
dan hukum yang abnormal untuk waktu yang abnormal).
Merujuk pada UUD 1945, prinsip nondelegasi absolut dimungkinkan untuk direlaksasi
penerapannya dengan mendasarkan pada Pasal 22 ayat (1) yang menyebut bahwa dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang. Artinya, relaksasi hanya dapat dilakukan oleh peraturan
perundang-undangan yang kedudukannya setara dengan UU, dalam hal ini adalah Perppu,23
bukan lainnya. Pengaturan prinsip nondelegasi absolut oleh perppu dapat disebut, meminjam
istilah Adam Shinar, Accidental constitutionalism.24 Meskipun demikian ada catatan yang
diberikan oleh MK dalam penggunaan Perppu antara lain:25
a. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara
cepat berdasarkan Undang-Undang;
b. undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan
hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada;
c. kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara
prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan
yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Berikut adalah contoh Perppu yang berisi materi muatan prinsip nondelegasi absolut
diantaranya: (i) Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang jaringan Pengaman Sistem Keuangan;
(ii) Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2013 tentang
Mahkamah Konstitusi; (iii) Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan; (iv) Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman
Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan.

C. Konstitusionalitas Materi Muatan Perpres


Pasal 13 UU P3 merumuskan bahwa Perpres bersisi materi yang diperintahkan oleh UU,
materi untuk melaksanakan PP, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaran kekuasaan
pemerintahan. Rumusan pasal tersebut, dapat dipastikan, mengadopsi pemikiran Hans Kelsen

22 Ibid.hlm. 607
23 Lihat pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
24 Unlike most democratic constitutional regimes, the events that gave rise to Israel’s constitutional structure did not come about
as a result of a constitutional convention, referendum, civic mobilization, or any other deliberate process that characterizes
traditional constitution-making. Instead, the process has been gradual, incremental, contingent, and piecemeal, often lacking
a clear trajectory, intention, or defined purpose, and involving the rarely coordinated contribution of multiple institutions,
particularly the legislature and the Supreme Court. Indeed several framers of the modern Israeli constitutional regime did
not perceive themselves to be constitutional framers at all. The making of Israel’s constitution, should be understood as
accidental, a process best described as accidental constitutionalism. Lihat Adam Shinar, Accidental Constitutionalism: The Political
Foundations and Implications of Constitution-Making in Israel, dalam buku Dennis J. Galligan dan Mila Versteeg (ed), Social and
Political Foundations of Constitutions, New York: Cambridge University Press, 2013, hlm. 207.
25 Lihat Putusan MK No 138/PUU-VII/2010, hlm. 19

193
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Moh Rizaldi Menguji Konstitusionalitas Materi Muatan Peraturan Presiden Nomor 72
Tahun 2020: Perspektif Nondelegasi Absolut

tentang hirarki norma.26 Menurutnya, kesatuan norma disusun oleh fakta bahwa pembuatan
norma, yang lebih rendah, ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi. Pembuatan yang
ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata
hukum yang membentuk kesatuan. Singkatnya, norma yang derajatnya lebih rendah akan
selalu mencari sumber validitasnya dari norma yang lebih tinggi.
Sumber validitas Perpres APBN berasal dari Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020
yang menyatakan bahwa perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-
langkah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Presiden.27
Pendelegasian dari Perppu ke Perpres tersebut, dalam pandangan saya, merupakan
pelanggaran konstitusional dan harus dinyatakan inkonstitusional sebab, materi muatan
yang didelegasikan untuk diatur oleh Perpres adalah APBN yang merupakan materi UU
berkarakter nondelegasi absolut atau materi yang tidak dapat didelegasikan secara mutlak.
Dalam UUD 1945, Pasal 23 ayat (1) dirumuskan bahwa anggaran pendapatan dan belanja
negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang28 dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”. Selanjutnya, rumusan ayat (2) berbunyi rancangan undang-
undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas
bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Daerah. Ketetentuan pasal ini ditutup oleh ayat (3) yang menyatakan bahwa apabila Dewan
Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapat dan belanja negara yang
diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara
tahun yang lalu.
Meminjam pandangan hakim Laica Marzuki sebelumnya, bahwa frasa “diatur dengan UU”
mengharuskan materi UU hanya dapat secara khusus diatur dengan undang-undang tersendiri.
Pengaturan dengan UU bersifat imperatif dan manakala hal tersebut tidak diatur dengan
undang-undang (niet geregeld bij de wet) maka seharusnya dinyatakan inkonstitusional.
Dalam teori, UU APBN tidak sama dengan UU non APBN. Jimly Asshiddiqie mengatakan
pada hakikatnya, APBN sendiri merupakan suatu akta administratif pemerintahan atau
undang-undang yang bersifat administratif, sehingga sifat UU APBN itu sendiri merupakan
acte condition (beschiking), dan bukan merupakan acte regle (regeling). Untuk itu, karakter
UU APBN lebih bersifat konkret, final, dan berlakunya sekali saja yaitu satu tahun anggaran.29
Meskipun UU APBN berbeda dengan UU non APBN, tidak berarti membuat materinya
dapat diatur oleh peraturan administrasi seperti Perpres yang memiliki derajat di bawah
UU. Pandemi Covid-19, sebagai suatu keadaan darurat, tidak dapat dijadikan sebagai legal

26 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, 2006, hlm. 110.
27 Cetak tebal dari penulis.
28 Cetak tebal dari penulis.
29 Mei Susanto, Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Budgeter dalam Pengujian Undang-Undang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 4, 2017 hlm. 735.

194
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Moh Rizaldi Menguji Konstitusionalitas Materi Muatan Peraturan Presiden Nomor 72
Tahun 2020: Perspektif Nondelegasi Absolut

reasoning untuk melegitimasi Pendelegasian tersebut.30 Sebab, pengaturan APBN dalam


keadaan darurat, berdasarkan accommodation theory, hanya dapat dilakukan melalui Perppu
yang memiliki kedudukan setara dengan UU.
Selain karena alasan kesetaraan norma, pengaturan APBN oleh Perpres juga tidak dapat
dibenarkan secara filosofis. Rumusan pasal 23 adalah pengejawantahan prinsip kedaulatan
rakyat yang dianut oleh Indonesia yang dikonstruksikan kedalam 3 bentuk pertama APBN
harus ditetapkan dengan UU, bukan jenis peraturan perundang-undangan yang lain; kedua,
APBN harus mendapat persetujuan dari DPR; ketiga, APBN bersifat periodik (ditetapkan
setiap tahun).31
Mempertegas argumentasi tersebut, Supomo dengan mengacu pada rumusan pasal 23 UUD
1945 sebelum perubahan, sebagaimana dikutip oleh Harun Alrasyid, menyatakan bahwa:32
“Ayat 1 memuat hak begrooting Dewan Perwakilan Rakyat. Cara menetapkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja adalah suatu ukuran bagi sifat Pemerintahan Negara. Dalam Negara
yang berdasar fascisme, anggaran itu ditetapkan semata-mata oleh Pemerintah. Tetapi dalam
Negara demokrasi atau dalam Negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat, seperti Republik
Indonesia, Anggaran Pendapatan dan Belanja itu ditetapkan dengan Undang-Undang. Artinya
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan
hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup harus ditetapkan oleh rakyat sendiri,
dengan perantaraan Dewan Perwakilannya. Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena
itu juga cara hidupnya. Pasal 23 menyatakan, bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan
belanja, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat lebih kuat daripada kedudukan Pemerintahan.
Ini tanda kedaulatan rakyat.”
Pengaturan APBN oleh Perpres, sesungguhnya telah mengamputasi “persetujuan rakyat”
yang merupakan manifestasi dari prinsip kedaulatan rakyat. Dengan kata lain, ditengah
pendemi covid-19, pemerintah sedang mengembangkan praktik pemerintahan dengan
kekuasaan tidak terbatas dan sewenang-wenang (despotisme). Praktik ini mengingatkan
kita pada ungkapan Lord Hewart yang melihat penggunaan peraturan delegasi di Inggris
sebagai “a key part of the bureaucratic plot to seize parliamentary power and create ‘new
despotism’ that would place administrative might above the sovereignty of parliament...”.33

Penutup
Zachary Abuza menyatakan bahwa “No government should be blamed for a pandemic, but
they should be scrutinized for how they respond”.34 Tidak dapat disangkal, bahwa produktivitas
pembentukan peraturan delegasi akan terus meningkat dalam keadaan darurat, khususnya
pandemi covid-19. Perppu No. 1 tahun 2020 adalah sumber validitas bagi pembentukan perpres
No. 72 tahun 2002 jo Perpres No. 54 tahun 2020. Sebagai peraturan delegasi, Perpres tersebut
justru mengatur materi muatan UU yang bersifat absolut yakni APBN. Pengaturan demikian

30 Untuk melaksnakan kebijakan dan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi corona virus disease 2019
(Covid 19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, dilakukan
perubahan terhadap postur dan rincian anggaran pendapatan dan belanja negara tahun anggaran 2020, lihat Pasal 1 Perpres APBN.
31 Lihat Putusan MK No. 23/PUU-XVIII/2018 hlm. 30.
32 Lihat Harun Alrasyid, Pembahasan Pasal 23 UUD 1945, Hukum dan Pembangunan, 1995, hlm. 414.
33 Dan Meagher dan Matthew Groves, The Common Law Principle of Legality and Secondary Legislation, Unsw Law Journal, Volume
39, Issue 2, 2016, hlm. 453.
34 Zachary Abuza, “Explaining successful (and unsuccessful) covid-19 responses in southeast asia”, thediplomat.com, diunduh 6
Agustus 2020.

195
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Moh Rizaldi Menguji Konstitusionalitas Materi Muatan Peraturan Presiden Nomor 72
Tahun 2020: Perspektif Nondelegasi Absolut

oleh Perpres adalah suatu tindakan yang tidak lazim bagi negara yang menjadikan kedaulatan
rakyat sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan. Akibatnya, Perpres harus dinyatakan
inkonstitusional.

Daftar Pustaka
Buku
Beerman, Jack M, Inside Administrative Law, Aspen Publisher, New York, 2011.
Fitriani Ahlan Sjarif dan Sony Maulana Sikumbang, Aradhana Sang Guru Perundang-Undangan,
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2019.
Galligan, Dennis J, dan Mila Versteg, Social and Political Foundations of Constitutions,
Cambridge University, New York, 2013.
Moh Fadli, Peraturan Delegasi di Indonesia, Universitas Brawijaya Malang, Malang, 2011.

Jurnal
Kritkos, A. J, “Resuscitating the Non-Delegation Doctrine: A Compromise and an Experiment”,
Missouri Law Review, Volume 82, Issue 2, 2017.
Harun Alrasyid, “Pembahasan Pasal 23 UUD 1945”, Hukum dan Pembangunan, 1995.
McMahon, Es, “Chada and The Nondelegation Doctrine: Defining a Restricted Legislative
Veto”, The Yale Law Journal, Volume 94, 1995.
Meagher, Dan, dan Mattew Groves, “The Common Law Principle of Legality and Secondary
Legislation”, Unsw Law Journal, Volume 39, Nomor 2, 2016.
Mei Susanto, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Sebagai Negative Budgeter Dalam Pengujian
Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”, Jurnal Konstitusi, Volume
14, Nomor 4, 2017.
Posner, Eric A, dan Adrian Vermule, “Accommodating Emergencies”, Stanford Law Review,
Volume 56, 2003.
Rahayu Prasetyaningsih, “Menakar Kekuasaan Presiden Dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Menurut Undang-Undang Dasar 1945”, PADJADJARAN Jurnal
Ilmu Hukum,Volume 4, Nomor 2, 2017.
Redish, Martin H, “Pragmatic Formalism, Separation of Power, and Need to Revisit The
Nondelegation Doctrine”, Loyola University Chicago Law Journal, Volume 51, Nomor
2, 2019.
Wurman, Ilan, “Constitutional Administration”, Stanford Law Review, Volume 69, 2017.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945

196
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Moh Rizaldi Menguji Konstitusionalitas Materi Muatan Peraturan Presiden Nomor 72
Tahun 2020: Perspektif Nondelegasi Absolut

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12


Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2020 Tentang Perubahan Postur Dan Rincian Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.

Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012-016-019/PUU-IV/2006.
Putusan Mahkamah konstitusi. No. 138/PUU-VII/2010.
Putusan Mahkamah Konstitusi. No. 23/PUU-XVIII/2018..

Disertasi
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Repulik Indonesia Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, Disertasi Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok,
1990.

Majalah
Abuza, Zachary. Explaining Successful (and Unsuccessful) Covid-19 Responses in Southeast
Asia. 2 Juni 2020, thediplomat.com.

197
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Anajeng Esri Edhi Mahanani Implikasi Kondisi Darurat dalam Pembentukan PERPPU
Penanggulangan Dampak Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19 di Indonesia serta
Pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020

IMPLIKASI KONDISI DARURAT DALAM PEMBENTUKAN PERPPU


PENANGGULANGAN DAMPAK EKONOMI AKIBAT PANDEMI
COVID-19 DI INDONESIA SERTA PENGESAHAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2020
Anajeng Esri Edhi Mahanani, S.H., M.H.1

Abstrak
Pandemi Covid-19 berimbas pada berbagai sektor di bidang penyelenggaraan pemerintahan serta
kondisi sosial masyarakat. Pemerintah Indonesia sebagai subyek penyelenggara negara dengan
prinsip welfare state memiliki pekerjaan besar untuk menuntaskan dampak pandemi covid-19
salah satunya adalah dampak ekonomi. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, merupakan salah
satu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang lahir dengan politik hukum yang
diartikan oleh Presiden dan kemudian disahkan menjadi Undang-Undang. Penelitian ini akan
membahas dasar pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang serta kedudukan
dalam hierarki. Berikutnya juga akan membahas lebih fokus terhadap politik hukum pemerintah
dan DPR dalam mengesahkan menjadi Undang-Undang. Hasil penelitian menyebutkan bahwa
dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dapat dilihat
dalam Pasal 22 serta Pasal 12 Konstitusi beserta turunannya, sedangkan hierarki menempatkan
produk hukum ini setara horisontal dengan Undang-Undang. Hasil yang kedua menyebutkan
bahwa politik hukum lebih didasarkan pada ancaman bahaya serta kebutuhan yang proporsional
di bidang ekonomi, yang semestinya juga didasarkan pada tujuan hukum, sehingga kekuatan
hukum produk hukum tersebut mestinya hanya sementara sampai dengan ancaman pandemi
covid-19 ini berakhir.
Kata Kunci: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Kondisi Darurat; Pandemi Covid-19, Politik
Hukum.

Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Pandemi Covid-19 menjadi momok di berbagai negara belahan dunia, termasuk Indonesia.
Terhitung tahun 2020, kehidupan normal hanya berjalan baik pada bulan Januari-Februari.
Memasuki Maret, berbagai kebijakan kemudian muncul menyusul dampak yang ditularkan
pandemi covid-19 ini tidak hanya pada sektor kesehatan, bahkan masuk pada sektor ekonomi,
sosial, pendidikan, yang akhirnya berpengaruh besar terhadap penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya mempengaruhi roda pemerintahan.
Hukum sebagai alat rekayasa sosial, sangat mendukung sebagai sarana merubah masyarakat
sebagaimana tujuan yang diinginkan bersama, atau supaya masyarakat mengikuti kondisi
yang dinamis dan dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Hukum kemudian dikenal

1 Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, email : anajengmahanani.ih@upnjatim.ac.id, S1 :
FHUNS, S2 : Magister Hukum UGM

198
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Anajeng Esri Edhi Mahanani Implikasi Kondisi Darurat dalam Pembentukan PERPPU
Penanggulangan Dampak Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19 di Indonesia serta
Pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020

sebagai a tool of engineering.2 Dalam hal ini, hukum diharapkan dapat sebagai alat rekayasa
sosial yang berguna untuk mengarahkan kehidupan masyarakat yang terdampak covid-19
ke arah kehidupan “New Normal”, atau adaptasi pada kebiasaan baru. Hukum dalam hal
ini tidak hanya dapat dinilai sebagai sarana pemberi sanksi namun produk hukum hasil
kebijakan yang bijak, sebagai solusi penertiban kondisi masyarakat.
Di Indonesia, per tanggal 23 Juli 2020, kasus Covid-19 sudah berada pada angka jumlah
korban positif covid-19 berjumlah 93.657, dengan total sembuh 52.164 dan meninggal
sebanyak 4.576 orang.3Data ini menunjukkan besarnya “tekanan” bagi pemerintah dan
masyarakat untuk segera memerangi covid-19 dengan berbagai kebijakan jika tidak
mengharapkan adanya kelumpuhan di berbagai sektor penyelenggaraan berbangsa dan
bernegara. Tercatat, banyak bisnis gulung tikar, para pekerja terkena PHK, pekerja harian
kehilangan kesempatan atau potensi pendapatan dampak daripada covid-19. Hal ini juga
tidak terlepas dari kebijakan awal Pembatasan Sosial Berskala Besar yang nyatanya belum
mampu membendung tingkat penyebaran covid-19, namun justru berdampak serius pada
sosial-ekonomi.
Potret permasalahan serius inilah yang kemudian melahirkan banyak kebijakan dalam bentuk
produk hukum yang dikeluarkan atas dasar kondisi darurat, kegentingan yang memaksa
dan sebagainya, salah satunya yang dikenal adalah dengan mengeluarkan produk hukum
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, yang seringkali disebut sebagai Perppu
Corona, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tersebut kemudian melahirkan banyak produk hukum turunan
yang berisi kebijakan dari mulai ekonomi, sampai dengan berbagai kebijakan lain yang
mendukung penanggulangan dampak covid-19 di berbagai sektor, misalnya Peraturan
Pemerintah No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar; Keputusan
Presiden No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; Instruksi
Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta
Pengadaan Barang dan Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19; Keputusan
Presiden No 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19; serta
berbagai produk hukum lain.
Adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini sebetulnya bukan merupakan
hal baru di Indonesia, mengingat kondisi darurat, kegentingan yang memaksa acapkali muncul
sebagai dasar pertimbangan Presiden untuk mengeluarkan jenis produk hukum ini, misalnya
kita pernah mengenal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang mengatur
terkait terorisme, terkait Pemilihan Kepala Daerah, ataupun terkait Komisi Pemberantasan
Korupsi dan sebagainya. Namun yang menjadi perhatian atas lahirnya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang dengan sebutan Perppu Corona ini adalah Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka
Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
Sistem Keuangan disinyalir menjadi produk hukum yang memberikan imunitas tinggi

2 Soerjono Seokanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 79.
3 Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, pada laman covid19.go.id.

199
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Anajeng Esri Edhi Mahanani Implikasi Kondisi Darurat dalam Pembentukan PERPPU
Penanggulangan Dampak Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19 di Indonesia serta
Pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020

terhadap pemerintah dalam hal ini penyelenggara pemerintahan untuk menggunakan dana
keuangan negara dengan alasan yang tidak dapat dielakkan, yakni penyelematan ekonomi
dan sektor lain terdampak covid-19. Hal ini yang kemudian menjadi pro kontra di masyarakat
dengan kekhawatiran terjadinya tindak pidana korupsi pada tubuh pemerintah dengan alasan
penanggulangan pandemi covid-19.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini seolah menimbulkan polemik karena
dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Presiden seolah
“power full”, dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun, atas dasar hak luar biasanya
dalam memberi penilaian atas adanya kondisi darurat maupun kegentingan yang memaksa.
Pembahasan terkait pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang
menimbulkan pro kontra dalam rangka penanggulangan covid-19 ini menjadi pembahasan
yang menarik mengingat Indonesia sebagai negara penganut prinsip welfare stateatau negara
kesejahteraan, yang semestinya justru mewujudkan kesejahteraan, melindungi hak-hak
asasi manusia, mengutamakan penegakan asas legalitas, dan tetap dalam bingkai ideologi
dan konstitusional.
Hukum sebagai dasar penguat kebijakan politik tidak kemudian dapat dimaknai sebagai
penguat legitimasi kekuasaan yang tidak dapat dibatasi. Pasal 22 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan dasar konstitusionil pembentukan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus menjadi tatakan awal acapkali
Presiden mengeluarkan produk hukum ini. Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi : (1) dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
(2) Peraturan Pemerintah harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
persidangan berikut; (3) jika tidak mendapat persetujuan maka Peraturan Pemerintah itu
harus dicabut,4 menjadi pijakan awal analisis tulisan ini oleh penulis pada pembahasan
berikutnya.
Permasalahan menjadi lebih panjang, ketika nyatanya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tersebut kemudian disahkan DPR bersama dengan Pemerintah menjadi
Undang-Undang. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang semestinya
diartikan sebagai produk hukum sementara menjadi lebih kuat dan memiliki jangka waktu
lebih lama ketika menjadi Undang-Undang. Hal ini kemudian menarik untuk dijadikan
pembahasan lebih lanjut terkait keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang dan Undang-Undang dari sisi hierarkis maupun kekuatan hukumnya.

2. Rumusan Masalah
Guna analisis pembahasan pada artikel ini, penulis merumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1) Apa dasar pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang? Dan
bagaimana kedudukannya dalam dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia?
2) Politik hukum apa yang tepat digunakan sebagai alasan pengesahan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang dalam penanggulangan dampak ekonomi akibat pandemi
covid-19 di Indonesia menjadi Undang-Undang? Dan bagaimana kekuatan hukum nya?

4 Baca Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

200
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Anajeng Esri Edhi Mahanani Implikasi Kondisi Darurat dalam Pembentukan PERPPU
Penanggulangan Dampak Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19 di Indonesia serta
Pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020

Pembahasan
1. Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam Hierarki
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dan Dasar Pembentukannya
Telah disebutkan pada pendahuluan, bahwa dasar konstitusional dibentuknya suatu Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tercantum pada Pasal 22 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi : (1) dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang; (2) Peraturan Pemerintah harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
dalam persidangan berikut; (3) jika tidak mendapat persetujuan maka Peraturan Pemerintah
itu harus dicabut. Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
ini menegaskan adanya kegentingan yang memaksa menjadi dasar pembentukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Selain Pasal 22, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 12 juga
menyebutkan bahwa “Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya
keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal ini juga disebut sebagai dasar
prerogratif Presiden untuk menakar keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa untuk
selanjutnya dibentuklah suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Pasal 12 menyebutkan bahwa syarat dan akibat keadaan bahaya ditentukan dengan undang-
undang, yang selanjutnya hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Peraturan tersebut
mengatur keadaan bahaya dalam tiga tingkatan bahaya, yakni keadaan darurat sipil, keadaan
darurat militer dan keadaan perang. Penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya mengatur ketentuan yang
mengkategorikan lima kondisi tingkatan keadaan bahaya, yakni perang saudara, kerusuhan,
bencana alam termasuk kategori keadaan darurat sipil, keadaan pemberontakan (bersenjata)
masuk dalam kategori darurat militer, dan juga keadaan darurat perang.
Pada penelitian sebelumnya,5 disebutkan bahwa berdasarkan dua ketentuan Pasal ini,
dapat diketahui adanya dua kategori adanya keadaan luar biasa dari negara atau keadaan
darurat, yakni keadaan bahaya, dan hal ikhwal kegentingan yang memaksa, yang mana
dua kategori ini dapat disamakan dengan keadaan darurat namun berbeda penekanannya.
Penelitian tersebut kemudian menekankan pada kondisi internal dan eksternal. Keadaan
bahaya disebutkan lebih menekankan pada strukturnya (faktor eksternal) dan hal ikhwal
kegentingan yang memaksa lebih menekankan pada isinya (faktor internal).
Kemudian membahas terkait kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
dalam hierarki peraturan perundang-undangan, hal ini dapat dilihat dari ketentuan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Pasal 7 undang-undang a quo menyebutkan jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

5 Muhammad Syarif Nur, “Hakekat Keadaan Darurat Negara (State of Emergency) sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang”, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 18 April 2011, hlm. 233.

201
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Anajeng Esri Edhi Mahanani Implikasi Kondisi Darurat dalam Pembentukan PERPPU
Penanggulangan Dampak Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19 di Indonesia serta
Pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020

d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas terlihat bahwa posisi Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang berada pada posisi yang sama dengan Undang-Undang. Memiliki kekuatan
yang sama, namun dibentuk dalam kondisi yang berbeda. Undang-Undang dibentuk dalam
kondisi normal, sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dibentuk
dalam kondisi tidak normal atau kondisi darurat atau hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Penulis merangkum bahwasannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dapat
dikeluarkan apabila pada kondisi kegentingan yang memaksa, belum ada Undang-Undang
yang mengatur dinamika kondisi tersebut, sehingga memerlukan suatu produk hukum sebagai
jawaban ketiadaan Undang-Undang. Kondisi yang berikutnya adalah apabila ada Undang-
Undang, namun nyatanya Undang-Undang tersebut tidak dapat menjawab atau menjadi
solusi suatu kegentingan yang memaksa, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang lahir untuk menjadi solusi kegentingan yang memaksa tersebut. Atas hal ini, maka
tidak dimungkinkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang berada pada posisi
vertikal terhadap Undang-Undang. Karena secara pemaknaan hierarki peraturan perundang-
undangan mengharapkan adanya kesesuaian dengan lain tidak adanya pertentangan antara
produk hukum yang posisinya berada di bawah terhadap produk hukum yang posisinya
terdapat di atasnya. Sebaliknya, hierarki ini juga mendorong produk hukum yang ada di atas
mendasari pembentukan produk hukum yang posisinya berada di bawahnya.
Apabila Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang berada pada posisi di atas Undang-
Undang, maka dengan kata lain, hierarki ini akan mendorong Undang-Undang menyesuaikan
dengan isi ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Sebaliknya,
apabila Undang-Undang berada di atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak akan menjadi jawaban atas
masalah yang belum terselesaikan oleh Undang-Undang, karena posisi hierarki vertikal ini
akan mendorong Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mengatur sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang. Itulah mengapa hierarki atas dua produk hukum ini
merupakan hierarki horisontal.

2. Politik Hukum Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


atas Dasar Kondisi Darurat dan Pengesahannya menjadi Undang-Undang, serta
Kekuatan Hukumnya dalam Penanggulangan Dampak Ekonomi Akibat Pandemi
Covid-19 di Indonesia
Pembahasan kondisi darurat telah disinggung dalam subbab pembahasan sebelumnya.
Beranjak pada pembahasan politik hukum pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang yang dibentuk guna penanggulangan dampak covid-19 di Indonesia,
mengarah pada alasan kondisi darurat yang semestinya dipisahkan dari alasan kepentingan
politik segelintir orang atau kelompok. Politik hukum harus dimaknai sebagai dasar alasan
pembentukan hukum guna kepentingan masyarakat umum. Keadaan darurat harus dipilah
dan dipilih untuk menentukan politik hukum yang tepat dalam pembentukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

202
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Anajeng Esri Edhi Mahanani Implikasi Kondisi Darurat dalam Pembentukan PERPPU
Penanggulangan Dampak Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19 di Indonesia serta
Pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020

Kondisi Darurat mempunyai pengertian yang luas, ia dapat berwujud keadaan darurat
militer atau keadaan darurat perang, keadaan darurat karena bencana alam, keadaaan darurat
administrasi berupa keadaan darurat keuangan atau seringkali disebut dengan welfare
emergency, dan lain sebagainya. Pandemi covid-19 ini merupakan kondisi darurat yang
dapat dikategorikan sebagai kondisi darurat bencana yang mengarah pada kondisi darurat
kesehatan dan welfare emergency. Dampak yang kemudian lahir adalah berpengaruh
terhadap kondisi kesejahteraan masyarakat dalam lingkup yang lebih luas, kesejahteraan
kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi, dan sektor lain.
Pemaknaan kondisi darurat, kondisi bahaya merupakan kewenangan Presiden. Presiden
dalam keadaan bahaya dapat melakukan tindakan khusus, mereduksi keberlakukan hukum
yang dianggap tidak mampu bahkan menghalagi pemulihan kondisi darurat atau kondisi
bahaya. Dalam hal ini Presiden juga dinilai tidak perlu terikat pada ketentuan administrasi
yang berlaku dalam keadaan atau kondisi normal.6
Dalam literatur lain, Jimly Asshidiqie menyebutkan bahwa pemberlakuan kondisi darurat
di Indonesia yang merupakan negara dengan sistem pemerintahan presidensii, meletakkan
pengambilan politik hukum pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang kepada Presiden namun tetap memperhaikan peran DPR dalam perwujudan prinsip
demokrasi perwakilan pula. DPR dalam hal ini berperan untuk:
(a) Melakukan pengawasan yang ketat dalam menentukan adanya suatu keadaan darurat
(recognizing an emergency);
(b) Membentuk kekuasaan untuk mengatasi keadaan darurat itu (creating the powers to
deal with it);
(c) Memantau pelaksanaan kewenangan pemerintah (eksekutif) untuk megatasi keadaan
yang tidak normal tersebut;
(d) Menyelidiki berbagai penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan dalam keadaan
darurat tersebut;
(e) Apabila diperlukan menyatakan berakhirnya masa keadaan darurat atau meminta
kepada Presiden untuk menyatakan mengakhiri keadaan darurat tersebut.7
Berbicara tentang politik hukum, dapat dirumuskan berdasarkan ketentuan dalam konstitusi,
bahwa kondisi darurat yang digunakan sebagai dasar pembentukan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang harus didasarkan pada unsur kumulatid yang merupakan unsur
penting tidak dapat terpisahkan satu sama lain, yakni : pertama, unsur adanya ancaman yang
membahayakan (dangerous threat), kedua, unsur adanya kebutuhan yang mengharuskan
(reasonable neccesity), dan ketiga, unsur adanya keterbatasan waktu (limited time) yang
tersedia.8 Selanjutnya, prinsip proporsionalitas yang mengarah pada kejelasan alasan
pembenar dan kebutuhan yang wajar, proporsional, setimpal dan tidak melebihi kewajaran,
yang dikenal dalam hukum internasional, harus menjadi dasar politik hukum pembentukan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.9
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dapat ditelaah bersama politik hukum pembentukan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atas dasar kondisi darurat covid-19.

6 Agus Adhari, “Ambiguitas Pengaturan Keadaan Bahaya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, JurnalDialogica Iuridica, Volume
11 Nomor 1, November 2019, hlm. 54.
7 Jimly Ashhidiqie, Hukum Tata Negara Darurat,Jakarta : PT. Rajawali Grafinfo Persada, 2007, hlm. 80.
8 Jimly Asshidiqie, Ibid., hlm. 207.
9 Ibid.

203
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Anajeng Esri Edhi Mahanani Implikasi Kondisi Darurat dalam Pembentukan PERPPU
Penanggulangan Dampak Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19 di Indonesia serta
Pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020

Pertama adalah unsur adanya ancaman yang membahayakan. Bahwasannya pandemi


covid-19 ini merupakan status yang ditetapkan WHO sebagai virus yang berdampak pada
dunia internasional, tidak hanya negara tertentu saja. Dampak yang kemudian terjadi di
Indonesia adalah jatuhnya korban yang tidak sedikit yang perlu dibantu penangannya oleh
pemerintah sebagai wujud pertanggungjawaban pemenuhan hak warga negara.
Kedua adalah unsur kebutuhan yang mengharuskan. Kebutuhan yang dimaksud adalah
utamanya adalah kebutuhan danaguna penanganan percepatan dampak covid-19 di bidang
kesehatan, ekonomi, dan sebagainya. Adanya keleluasaan penggunaan dana ini menjadi
salah satu unsur kebutuhan yang diperkirakan dibutuhkan pemerintah untuk keluwesan dan
keleluasaan penanggulangan dampak covid-19.
Ketiga adalah unsur adanya keterbatasan waktu. Unsur ini sebetulnya merupakan unsur
yang tidak terlalu utama, apabila Pemerintah dan DPRmemiliki pandangan kebutuhan yang
sama untuk segera mengeluarkan kebijakan penanggulangan covid-19 ini. Namun yang
kemudian diambil adalah keputusan pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang yang kemudian menarik untuk bersama-sama kita awasi bahwa produk hukum ini
betul-betul disusun tidak hanya untuk kepentingan pemerintah saja dalam menggunakan
keuangan negara, sebagaimana kekhawatiran adanya potensi korupsi di sana. Keputusan
untuk menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai produk
hukum kebijakan menanggulangi dampak covid-19 ini juga menunjukkan politik hukum
alasan sementara waktu penggunaan produk hukum ini hanya sampai pada covid-19 dapat
ditekan bahkan dihilangkan perkembangannya di Indonesia. Ada pandangan optimisme
dalam politik hukum penyusunan produk hukum ini, sehingga tidak dituangkan dalam
Undang-Undang yang juga merupakan produk hukum biasa.
Namun yang kemudian menarik adalah pembahasan mengenai kekuatan hukum Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa: (2) Peraturan
Pemerintah harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan
berikut; (3) jika tidak mendapat persetujuan maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.
Berdasarkan bunyi ketentuan pasal konstitusi tersebut, maka dapat disimpulka bahwa suatu
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dapat kemudian menjadi Undang-Undang
apabila DPR menyatakan persetujuannya untuk itu. Pertanyaannya adalah bagaimana
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terkait covid-19 yang banyak
menimbulkan polemik khususnya kekhawatiran adanya penyalahgunaan anggaran keuangan
karena pada salah satu pasalnya, yakni Pasal 27 inti nya menyatakan bahwa Pemerintah
dapat menggunakan anggaran atas dasar keselamatan bangsa dan negara tanpa dibayangi
sanksi pidana korupsi?
Terkait hal ini, harus kemudian dibedakan antara kondisi darurat atas dasar ancaman
bahaya dan kebutuhan yang proporsional, dengan kondisi darurat karena waktu yang
mendesak. Apabila berbicara terkait politik hukum yang didasarkan pada ancaman bahaya
dan kebutuhan yang proporsional, maka hal ini tepat untuk menjadi dasar pembentukan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19
dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Atas dasar politik hukum yang demikian,
maka secara logika ketatanegaraan, apabila ancaman bahaya sudha terlewatkan, kebutuhan

204
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Anajeng Esri Edhi Mahanani Implikasi Kondisi Darurat dalam Pembentukan PERPPU
Penanggulangan Dampak Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19 di Indonesia serta
Pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020

sudah terpenuhi, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dapat dinyatakan


tidak berlaku dan otomatis hapus.
Berbeda halnya apabila politik hukum pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang didasarkan pada waktu yang mendesak. Maka atas dasar ini, produk hukum
tersebut dibentuk dalam waktu yang relatif cepat, dan dapat dibahas lagi kemudian dengan
DPR sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya menjadi Undang-Undang.
Dua alasan ini bisa menjadi politik hukum yang sama-sama kuat. Namun untuk kasus
penanggulangan covid-19 ini, sudah semestinya politik hukum pembentukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang didasarkan pada alasan ancaman bahaya dan
kebutuhan yang proporsional.
Pembahasan lain kaitannya dengan politik hukum pembentukan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara
dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam
Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau
Stabilitas Sistem Keuangan, adalah terkait hal yang kemudian diatur dalam produk
hukum ini. Fokus pengaturan hanya pada penyelamatan kondisi keuangan negara,
namun justru tidak mengutamakan kondisi kesehatan masyarakat yang sebetulnya
menjadi fokus utama dampak pandemi covid-19 ini. Terkait hal ini sejatinya telah
disinggung dalam BAB II Pasal 39-41 Siracusa Principles on the Limitation and
Derogation of Provisions in the International Convenant on Civil and Political
Rights yang menyatakan bahaya selalu berkaitan dengan ancaman sebagai berikut:
39. “A state paarty may take measures derogating from its obligations under the
International Convenant on Civil and Political Rights pursuant to Article 4 (hereinafter
called “derogation measures”) only when faced with a situation of exceptional and actual
danger which threatens the life of nation. An threath to the lofe og the nation is one that :
(a) affects the whole of the population and either the whole of parts of the territory of the
State, and (b) threatens the physical integrity of the population, the political independence
or the territorial integrty of the State or the exsistence or basic functioning of institutions
indispensable to ensureand project the rights recognized in the Convenant, 40. Internal
conflict and unrest that do not constitute a grave and imminent threat to the life of the nation
cannot justify derogations under Article 4. 41. Economic difficulties per se cannot justify
derogation measures.”10
Berdasarkan ketentuan tersebut, ancaman ekonomi dibolehkan untuk menjadi dasar
menyatakan keadaan bahaya atau kondisi darurat dalam hal ini. Selain itu ancaman bahaya
yang mempengaruhi kondisi populasi masyarakat, yang di dalamnya termasuk bahaya
wabah penyakit yang membahayakan populasi manusia dengan syarat di luar prediksi dan
bukan karena human error, dapat menjadi dasar penyataan ancaman bahaya.
Namun demikian, mengutip dari penelitian Simamora berjudul “Multitafsir Pengertian “Ihwal
Kegentingan yang Memaksa”, “tidak adanya pengaturan secara jelas, tegas dan terperinci
mengenai pengertian istilah “hal ihwal kegentingan yang memaksa” dalam mekanisme
penerbitan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana harus

10 Baca BAB II Pasal 39-41 Siracusa Principles on the Limitation and Derogation of Provisions in the International Convenant on Civil
and Political Rights

205
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Anajeng Esri Edhi Mahanani Implikasi Kondisi Darurat dalam Pembentukan PERPPU
Penanggulangan Dampak Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19 di Indonesia serta
Pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020

tercermin dalam konsiderans “menimbang” dari produk hukum tersebut, maka menjadi
peluang yang besar bagi Presiden untuk menerjemahkan secara multitafsir”.11
Sejatinya, politik hukum pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
yang mengatur apapun itu, harus segera dirumuskan secara tunggal, mengingat Indonesia
adalah negara hukum, bukan negara berdasarkan pandangan politik prerogratif Presiden.
Kebutuhan hukum, kepastian hukum harus menjadi alasan utama pembentukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, selanjutnya untuk mewujudkan tujuan hukum yang
lain yakni keadilan, dan kemanfaatan hukum.
Kemudian, bagaimana ketika nyatanya suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang berubah menjadi Undang-Undang? Bagaimana politik hukumnya? Apakah masih
sama?
Keberadaan Undang-Undang hasil pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, tentunya sangat berbeda alasan pembentukannya. Alasan kondisi darurat, keadaan
yang memaksa, sudah bukan menjadi alasan yang tepat sebagai pertimbangan politik
hukum pembentukan Undang-Undang. Keberadaan Undang-Undang dapat dipastikan
dalam kondisi normal, karena membahas Undang-Undang memiliki kompleksitas waktu
dan kepentingan politik yang lebih beragam, sebab melibatkan Pemerintah sekaligus DPR.
Hal ini tentunya berbeda dengan pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, yang dibuat hanya berdasarkan satu pandangan yakni Pemerintah.
Bagaimana dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terkait penanggulangan
covid-19 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang
Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-
Undang, apa politik hukum yang mendasari pengesahan Undang-Undang tersebut?
Kiranya telah dibahas, bahwasannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
yang diterbitkan dalam rangka penanggulangan covid-19 diarahkan untuk menjawab kasus
wabah covid-19. Kondisi yang diharapkan hanya sementara dirasa cukup apabila dijawab
melalui suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Pertimbangan politis yang
kemudian mendesak untuk disahkan menjadi Undang-Undang, merupakan suatu ulasan
pembahasan yang menarik.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dimaksud dalam bahasan ini pernah
diajukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. Di tengah pengajuan perakara tersebut,
DPR bersama dengan Pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang yang dimaksud, menjadi suatu Undang-Undang. Pertimbangan politik hukum
pengesahan ini kemudian terlihat, bagaimana Pemerintah “melindungi” dan memberikan
kekuatan hukum pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut dalam
form Undang-Undang. Sekalipun dalam posisi hierarki yang setara, namun telah disinggung
sebelumnya, bahwasannya Undang-Undang memiliki tempo keberadaan dan kekuatan
hukum yang lebih besar dibanding sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
yang didasarkan hanya pada pertimbangan kondisi darurat dan keadaan yang memaksa.
Memberikan kekuatan dalam form Undang-Undang, semakin menegaskan bahwa

11 Simamora, “Multitafsir Pengertian “Ihwal Kegentingan yang Memaksa”, Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, hlm
68.

206
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Anajeng Esri Edhi Mahanani Implikasi Kondisi Darurat dalam Pembentukan PERPPU
Penanggulangan Dampak Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19 di Indonesia serta
Pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020

Pemerintah bersama dengan DPR selaku pemangku kebijakan, menganggap bahwasaanya


penanggulangan dampak covid-19 melalui kajian ekonomi, memiliki dampak panjang ke
depan. Segala kewenangan atau diskresi yang berkaitan dengan bidang ekonomi atas dalih
menanggulangi covid-19 tentunya memiliki dampak panjang sampai dengan ketika covid-19
berakhir. Diskresi ekonomi inilah yang kiranya hendak diamankan melalui pengesahan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.

Penutup
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang semestinya menjadi produk hukum yang
menjawab permasalahan yang belum terjawab oleh adanya produk hukum lain yang lahir
dalam kondisi normal. Keadaan bahaya ataupun kondisi darurat yang menjadi dasar politik
hukum pembentukannya, semestinya tidak menjadi alasan untuk menimbulkan permasalahan
baru karena dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Termasuk
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/
atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/
atau Stabilitas Sistem Keuangan, yang merupakan produk hukum guna penanggulangan dampak
ekonomi akibat pandemi covid-19 semestinya didasarkan pada politik hukum kesejahteraan
yang berdasarkan ancaman serta kebutuhan yang proporsional. Selain itu juga mesti memenuhi
tujuan hukum yakni kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. Terakhir, kaitannya dengan
pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Nomor 2 Tahun 2020
tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi
Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
menjadi Undang-Undang, memiliki politik hukum dengan pertimbangan dampak ekonomi
jangka panjang.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Jimly Ashhidiqie, Hukum Tata Negara Darurat, PT. Rajawali Grafinfo Persada, Jakarta, 2007,
hlm. 80.
Soerjono Seokanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo PersadaJakarta, 2000,
hlm. 79.

Jurnal:
Agus Adhari, “Ambiguitas Pengaturan Keadaan Bahaya dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia”, Jurnal Dialogica Iuridica, Volume 11, Nomor 1, November 2019, hlm. 54.
Muhammad Syarif Nur, “Hakekat Keadaan Darurat Negara (State of Emergency) sebagai Dasar
Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”, JurnalHukum,Volume
18. Nomor 2, April 2011, hlm. 233.
Simamora, “Multitafsir Pengertian “Ihwal Kegentingan yang Memaksa”, Jurnal Mimbar Hukum,
Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, hlm 68.

207
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Anajeng Esri Edhi Mahanani Implikasi Kondisi Darurat dalam Pembentukan PERPPU
Penanggulangan Dampak Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19 di Indonesia serta
Pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020

Internet:
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, pada laman covid19.go.id., diakses pada tanggal
23 Juli 2020, Pukul 18.32 WIB.

Peraturan Perundang-Undangan Indonesia:


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19
dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Peraturan lainnya:
Siracusa Principles on the Limitation and Derogation of Provisions in the International
Convenant on Civil and Political Rights

208
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

PROSEDUR PENGUJIAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG


DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN
Shubhan Noor Hidayat,1 Lego Karjoko,2 Sapto Hermawan3

Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian yuridis empiris,
penelitian ini bertujuan untuk mengkaji prosedur pengujian penyalahgunaan wewenang di
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan. Diketahui berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan,
penyalahgunaan wewenang menjadi bagian yang harus diuji dan dibuktikan adanya dalam
keputusan dan/atau tindakan yang diambil oleh Pejabat Pemerintahan. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa Prosedur pengujian penyalagunaan wewenang di Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) berkaitan erat dengan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Aparat
Pengawas Intern Pemerintah (APIP) terhadap keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan.
Keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan sebagai objek pengujian penyalahgunaan
wewenang di PTUN adalah keputusan dan/atau tindakan yang terdapat kesalahan administratif
dan menyebabkan kerugian negara, serta belum ada proses proses pidana. Keputusan dan/atau
tindakan tersebut dilakukan oleh subjek pemohon permohonan sesuai dengan Pasal 17, 18, 19,
dan/atau 24 UU Administrasi Pemerintahan. Subjek pemohon permohonan penyalahgunaan
wewenang di sini adalah adanya Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang merasa dirugikan
atas pengawasan APIP tersebut. Pejabat Pemerintahan adalah Pejabat yang mengeluarkan objek
keputusan dan/atau tindakan, sedangkan Badan Pemerintahan adalah instansi yang secara khusus
berwenang menuntut ganti rugi kepada Pejabat pemerintahan.
Kata Kunci: Penyalahgunaan Wewenang, Administrasi Pemerintah, PTUN

A. Latar Belakang
Pengujian penyalahgunaan wewenang merupakan kompetensi absolut baru yang dimiliki
oleh PTUN. Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan pada tanggal 17 Oktober 2014 (selanjutnya disebut UU Administrasi
Pemerintahan), undang-undang ini langsung diperkenalkan dalam berbagai forum. Berbagai
pihak baik akademisi maupun praktisi, ada yang mendukung dan ada pula mengkritik lahirnya
undang-undang ini. Pihak yang pro dengan UU Administrasi Pemerintahan, undang-undang
ini dianggap mencegah lahirnya korupsi terjadi di pemerintahan. Bagi para pengkritik,
UU Administrasi Pemerintahan dianggap sebagai penghambat semangat pemberantasan

1 Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah,
Indonesia, S.H. (Universitas Brawijaya ).
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Jalan 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, Dr. (Universitas
Sebelas Maret), S.H.(Universitas Sebelas Maret), M.Hum. (Universitas Diponegoro)
3 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Jalan 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, Dr. (Universitas
Gajah Mada), S.H.(Universitas Sebelas Maret), M.H. (Universitas Gajah Mada)

209
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

korupsi, karena adanya pengujian penyalahgunaan wewenang oleh lembaga PTUN sebelum
dilakukan proses pidananya.4
Wacana dan diskursus diadakan untuk melahirkan ide dan gagasan atas UU Administrasi
Pemerintahan ini, seperti sosialisasi yang diselenggarakan oleh Ikatan Hakim Indonesia
(IKAHI), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI, dan
Mahkamah Agung RI, yaitu:5
1. Seminar Nasional “Ulang Tahun Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)” di Hotel Mercure
Ancol Jakarta Tanggal 26 Maret 2015, diselenggrakan oleh Pengurus Pusat Ikatan
Hakim Indonesia (IKAHI).
2. Seminar “Sosialisasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan” di Batam pada tanggal 12 Mei 2015, diselenggrakan oleh Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI.
3. Seminar “Sosialisasi Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Sosialisasi Undang-
Undang Administrasi Pemerintahan di Makasar pada tanggal 4 Juni 2015, diselenggrakan
oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI.
4. Seminar “Sosialisasi Undang-Undang Administrasi Pemerintahan” di Jakarta 9 Juni
2015, diselenggrakan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi RI.
5. Seminar “Sehari HUT Peradilan Tata Usaha Negara Ke- 26” Di Hotel Mercure Ancol
Jakarta Tanggal 26 Januari 2017 diselenggrakan oleh Mahkamah Agung RI.
Reformasi birokrasi selalu didengungkan oleh pemerintah dalam berbagai kesempatan,
dengan tujuan agar peningkatan penyelenggaraan pemerintahan berbasis tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance).6 Di antara isu utama yang mendapat prioritas dari
reformasi birokrasi adalah efektivitas Sistem Pengendalian Internal Pemerintah.7 Bersama
dengan UU Administrasi Pemerintahan, undang-undang lainnya yang memiliki keterkaitan
dalam menunjang reformasi birokrasi adalah UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara, UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, UU No. 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara,8 sehingga untuk memahami UU Administrasi Pemerintahan tidak
bisa dilepaskan dari undang-undang lainnya tersebut.9
Pengaturan dalam UU Administrasi Pemerintahan yang bertujuan untuk menjamin bahwa
Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak akan dilakukan
dengan semena-mena mengingat terdapat batasan-batasan dalam melakukan proses
pengambilan keputusan, yaitu sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Pembentukan UU Administrasi Pemerintahan
tersebut nyata-nyatanya telah memberikan implikasi baru bagi Hukum materiil peradilan

4 Lihat dalam http://news.detik.com/berita/2873765/uu-administrasi-pemerintahan-dinilai-mengudeta-pemberantasan-korupsi,


diakses tanggal 28 Juni 2020
5 Aman Susanto, Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di PTUN Pasca disahkannya UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan, Tesis, Magister Hukum, Universitas Islam Indonesia, 2017. hlm 167
6 Philipus M. Hadjon, Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang No. 30 Th. 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015. hlm 56
7 Menteri PAN RB, “Keynote Speech”, Sambutan disampaikan dalam Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI, Batam Riau, tanggal
12 Mei 2015, hlm. 2.
8 Ibid.
9 Ayu Putriyanti, Kajian Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dalam Kaitan dengan Pengadilan Tata Usaha Negara, Pandecta.
Volume 10. Nomor 2. December 2015. hlm 181

210
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

tata usaha.10 Sebagaimana diketahui sebelumnya dalam Undang-Undang No. 5 Tahun


1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah dua kali diubah dengan Undang-
Undang No. 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 (selanjutnya disebut
UU PTUN) diatur tiga hal, yaitu hukum materiil, hukum formil, dan lembaga peradilan
tata usaha negara sendiri. Kini kompetensi absolut peradilan tata usaha negara menjadi
bertambah luas dari yang semula terbatas pada Keputusan Tata Usaha Negara (disebut
KTUN) atau (beschikking), menjadi bertambah dengan adanya penyalahgunaan wewenang
dan pengujiannya di peradilan tata usaha negara.11
Sebelumnya, dalam Pasal 53 ayat 2 huruf b UU No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN,
penyalahgunaan wewenang menjadi alasan seseorang atau badan hukum perdata yang
merasa dirugikan atas diterbitkannya KTUN kemudian mengajukan gugatan kepada Pejabat
Tata Usaha Negara dengan alasan Pejabat tersebut telah melanggar asas menyalahgunakan
wewenang. Kini berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan, penyalahgunaan wewenang
menjadi bagian yang harus diuji dan dibuktikan adanya dalam keputusan dan/atau tindakan
yang diambil oleh Pejabat Pemerintahan.12
Penyalahgunaan wewenang dalam UU Administrasi Pemerintahan diatur juga sebagai
larangan penyalahgunaan wewenang. Pada intinya dengan kompetensi baru ini, diatur
secara materiil larangan penyalahgunaan wewenang atau normatifisasi (asas) larangan
penyalahgunaan wewenang. Pengaturan ini termuat dalam Pasal 17 kemudian dirinci dalam
Pasal 18 dan dalam Pasal 10 ayat 1 huruf e, yaitu:
1. Larangan melampaui wewenang, mencakup : melampui masa jabatan atau batas waktu
berlakunya wewenang; melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
2. Larangan mencampuradukkan wewenang, meliputi: di luar cakupan bidang atau materi
wewenang yang diberikan; dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang
diberikan.
3. Larangan bertindak sewenang-wenang, yaitu: melakukan tindakan tanpa dasar
kewenangan; dan/atau Bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
4. Asas tidak menyalahgunakan kewenangan adalah asas yang mewajibkan setiap Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan
pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan
tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan
kewenangan.
Di dalam UU Administrasi Pemerintahan ini, diskresi juga menjadi bagian dalam
proses penyelenggaraan pemerintahan, sehingga tidak jarang diskresi mengakibatkan
penyalahgunaan wewenang.13 Diskresi yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan juga
melahirkan beberapa keputusan dan/atau tindakan yang memiliki akibat hukum yang sama

10 Penjelasan Umum Alinea kelima Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
11 Arfan faiz Muhlizi, Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum administrasi, Jurnala Rechtvinding, Vol 1, No 1, April 2012 hlm 94
12 Francisca Romana Harjiyatni & Suswoto, Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 24 Oktober 2017. hlm 603
13 Bambang Arwanto, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Akibat Tindakan Faktual Pemerintah, Yuridika: Volume 31 No 3, September
2016. hlm 349

211
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

dengan penyalahgunaan wewenang.14 Oleh karena itu, dalam Pasal 24 UU Administrasi


Pemerintahan diatur syarat mengenai diskresi, yaitu:15
1. Sesuai dengan tujuan diskresi, yaitu sebagaimana dalam Pasal 22: melancarkan
penyelenggaraan pemerintahan; mengisi kekosongan hukum; memberikan kepastian
hukum; dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan
dan kepentingan umum.
2. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
3. Sesuai dengan AUPB
4. Berdasarkan alasan-alasan yang objektif
5. Tidak menimbulkan Konflik Kepentingan
6. Dengan iktikad baik
Hukum formil pengujian penyalahgunaan wewenang oleh PTUN sesuai dengan UU
Administrasi Pemerintahan hanya mengatur mengenai batas waktu pengadilan untuk
memeriksa dan memutus permohonan penyalahgunaan wewenang.16 Pengaturan ini dapat
dipahamai minimal karena dua hal: Pertama, undang-undang ini memang dimaksudkan
sebagai hukum materiil sistem peradilan tata usaha negara; Kedua, hukum formil peradilan
tata usaha negara sudah ada dalam UU PTUN itu sendiri (ditambah hukum acara perdata).
Hukum formil ini terdapat dalam Pasal 21 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU
Administrasi Pemerintahan.17
Kemudian untuk mengisi kekosongan hukum acara terkait perluasan kompetensi absolut
pengujian penyalahgunaan wewenang, pada tanggal 21 Agustus 2015 Mahkamah Agung
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 4 Tahun 2015 Pedoman Beracara Dalam
Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang (Selanjutnya disebut Perma No. 4 Tahun 2015).18
Di dalam Perma No. 4 tahun 2015 ini terdapat IX BAB yang terdiri dari 22 Pasal. Bab-
Bab tersebut adalah mengenai: BAB I: Ketentuan Umum; BAB II: Kekuasaan Pengadilan
dan Kedudukan Hukum (legal Standing); BAB III: Materi Permohonan; BAB IV: Tata
Cara Pengajuan Permohonan; BAB V: Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang; BAB
VI : Pemeriksaan; BAB VII: Putusan; BAB VIII: Banding Terhadap Putusan Pengadilan;
BAB IX: Ketentuan Penutup. Namun demikian, penulis hanya akan akan mencantumkan
beberapa point yang sekiranya penulis anggap memang perlu diketahui dalam suatu prosedur
pengujian penyalahgunaan wewenang.

14 Dika Yudanto & Nourma Dewi, Sinkronisasi Undang-Undang Administrasi Pemerintah Dengan Undang-Undang Tindak Pidak
Korupsi Dalam Penyelesaian Kasus Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Pemerintah Di Indonesia, Jurnal Serambi Hukum Vol. 10
No. 02 Agustus 2016 - Januari 2017. hlm 35
15 Pasal 24 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
16 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan juga mengatur hukum formil, namun secara terbatas.
Selengkapnya lihat Imam Soebechi, “Peratun dan Kontrol Hukum Secara Utuh”, dalam Subur MS, dkk., ed., Bunga Rampai Peradilan
Administrasi Kontemporer, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Genta Press, 2014), hlm. 14
17 Pasal Pengadilan (3) wajib memutus permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
permohonan diajukan. Pasal (4) Terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat (3) dapat diajukan banding ke Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara. Pasal (5) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus permohonan banding sebagaimana di
maksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan banding diajukan. Pasal (6) Putusan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat final dan mengikat.
18

212
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

B. Pembahasan
Menurut Philiphus M. Hadjon, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan
hukum (rechtsmacht).19 F.P.C.L. Tonner dalam Ridwan HR berpendapat: “Overheids-
bevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het vermogen om positief recht vast te
srellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te
scheppen” (kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk
melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum antara
pemerintahan dengan warga negara).20
Baik hukum tata negara dan hukum administrasi mengatur tentang kewenangan. Hukum
tata negara berkaitan dengan susunan negara atau organ dan negara (staats, inrichtingrecht,
organisatierecht) dan posisi hukum warga negara berkaitan dengan hak-hak dalam
hubungannya dengan negara (grondrechten).21
Dalam organ atas susunan negara diatur mengenai: bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan
pembagian kekuasaan dalam negara. Hubungan integral antara hukum administrasi dengan
konsepsi kewenangan menurut Tatiek Sri Djatmiati dikarenakan hukum administrasi atau
hukum tata pemerintahan (administratiefrecht atau bestuursrecht) berisikan norma-norma
hukum pemerintahan. Norma-norma pemerintahan tersebut menjadi parameter yang dipakai
dalam penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah. Adapun
parameter yang dipakai dalam penggunaan wewenang itu adalah kepatuhan hukum ataupun
ketidakpatuhan hukum, sehingga apabila terjadi penggunaan kewenangan dilakukan secara
improper illegal maka badan pemerintah yang berwenang tersebut harus mempertanggung-
jawabkan.22
Hukum administrasi hakikatnya berhubungan dengan kewenangan publik dan cara-cara
pengujian kewenangannya, juga hukum mengenai kontrol terhadap kewenangan tersebut.23
H.B. Jacobini dalam menjawab pertanyaan “what is administrative law?” mengatakan:
“definitions of administrasi law contain several or all of the following components: control
of administration, the legal rules, both internal and external, emerging from administrative
agencies, the concerns and procedures pertinent to remedying legal injury to individuals
caused by government entities and their agents, and court decisions pertinent to all or to
parts of these.24 Konsepsi H.B. Jacobini tersebut cukup memberikan penjelasan bahwa
pemahaman tentang tanggung gugat (pemerintah atau negara) berkaitan dengan konsep
hukum administrasi yang menyangkut penggunaan wewenang dalam menjalankan tugas
untuk pelayanan publik. Memang tidak setiap konsep hukum administrasi yang dikemukakan
oleh para yuris mengandung unsur-unsur yang sama, namun umumnya selalu terdapat unsur
pengujian atau pengawasan penggunaan kewenangan oleh pemerintah.25

19 Philiphus M. Hadjon, “Tentang Wewenang”, Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, September– Desember, 1997, hlm. 1
20 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2006, hlm. 100
21 Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004,
hlm. 62-63.
22 Tatiek Sri Djatmiati, Op. Cit., hlm. 62-63.
23 Ibid
24 H.B. Jacobini, An Introduction to Comparative Administrative Law, (New York: Oceana Publications Inc), 1991, hlm.3
25 Kepustakaan hukum administrasi Perancis mengikuti pandangan Laubedere yang mengemukakan empat elemen hukum administrasi
yang meliputi: (1) the administrative organization of the state; (2) the study of administrative activity; (3) the means of actions by
which administration is in fact carried out, particulary the personnel employed and the material level utilized; (4) the patterns of
litigation or yudicial control of administration. H.B. Jacobini, Ibid hlm. 4

213
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

Penyalahgunaan wewenang dalam konsep hukum administrasi selalu diparalelkan dengan


konsep détournement de pouvoir. Dalam Verklarend Woordenboek Openbaar Bestuur
dirumuskan sebagai: het oneigenlijk gebruik maken van haar bevoegdheid door de overheid.
Hiervan is sprake indien een overheidsorgaan zijn bevoegdheid kennelijk tot een ander doel
heeft gebruikt dan tot doeleinden waartoe die bevoegdheid is gegeven. De overheid schendt
aldus het specialiteitsbeginsel (penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya. Dalam
hal ini pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan
yang telah diberikan kepada wewenang itu. Dengan demikian pejabat melanggar asas
spesialitas.26 Dalam mengukur apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang, haruslah
dibuktikan secara faktual bahwa pejabat telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain.
Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu kealpaan, melainkan secara
sadar yaitu mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu. Pengalihan
tujuan didasarkan atas interest pribadi, baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun
untuk orang lain. Berpijak kepada putusan Mahkamah Agung No. 572 K/Pid/2003 (Kasus
Ir. Akbar Tandjung), Philiphus M. Hadjon menguraikan tiga unsur utama penyalahgunaan
wewenang: (1) Met opzet (dengan sengaja); (2) Mengalihkan tujuan wewenang; (3) Ada
interest pribadi yang negatif.27
Unsur lain yang tidak bisa dilepaskan untuk mengetahui apakah pejabat telah menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada
wewenang itu, maka harus diperhatikan peraturan dasar sebagai sumber kewenangan pejabat
yang bersangkutan. Pengertian ini dianut oleh Belanda, Perancis dan Indonesia. Perancis
memperkaya konsep tersebut dengan istilah abuse of power (penggunaan wewenang
melampaui batas, tidak layak dan tidak sesuai peraturan). Di negara-negara dengan tradisi
hukum common law dikatakan menyalahgunakan wewenang apabila tindakan pemerintah
dalam membuat keputusan yang dilaksanakan tanpa wewenang atau yurisdiksi maka disebut
ultra vires. Yang penting dikemukakan Erliyana, dalam penanganan kasus menunjukkan
kesamaan bahwa di Perancis, Belanda, Indonesia dan Inggris, yaitu dengan penyalahgunaan
wewenang maka keputusan yang dibuat menguntungkan kepentingan pejabat dan kelompok
tertentu, oleh karenanya keputusan administrasi negara tersebut bertentangan dengan
kepentingan umum.28
Penyalahgunaan wewenang hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memperoleh
wewenang atas dasar atribusi dan delegasi. Dalam hal mandate, pihak yang mungkin
menyalahgunakan wewenang adalah mandans (pemberi tugas) dan bukan mandataris
(pelaksana tugas). Pihak pelaksana tugas (mandataris) tidak dilekati wewenang, karena itu
tidak mungkin menyalahgunakan wewenang dan karena itu pula tidak dibebani tanggung
jawab hukum.29 Hal ini identik dengan hukum pidana yang memiliki kaidah orang yang
menjalankan tugas atas perintah atasan, maka tidak akan dikenakan pertanggungjawaban
hukum pidana. Dengan demikian baik dalam hukum administrasi maupun hukum pidana,
pihak yang diberi dan yang menyalahgunakan wewenang adalah pihak yang dibebani tanggung

26 Philiphus M Hadjon. “Konsep Penyalahgunaan Wewenang Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan”,
disampaikan dalam Colloquium Membedah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Hotel
Garden Palace, 5 Juni 2015, hlm. 4
27 Ibid
28 Détournement de Pouvoir dalam rubrik Kamus Hukum, Majalah Konstitusi Januari 2013. Atau selengkapnya lihat Anna Erliyana,
Keputusan Presiden: Analisis Keppres R.I. 1987—1998, Program Pascarsarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
2005, hlm. 82-84.
29 Ibid

214
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

jawab hukum. Hal ini sejalan dengan asas geen bevoegheid zonder verantwoordelijkhedi
dan geen veroontwoordelijkheid zonder verantwoording (tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungjawaban dan tidak ada pertanggungjawaban tanpa kewajiban).30
Sebagaimana penulis paparkan sebelumnya bahwasanya dalam penulisan makalah ini,
penulis hanya akan mencantumkan beberapa poin yang sekiranya dianggap penting dan
memang perlu diketahui dalam suatu prosedur pengujian penyalahgunaan wewenang
berdasarkan Perma No. 4 Tahun 2015, yaitu:
1. Syarat Permohonan
a. Pengadilan baru berwenang meneriman, memerika, dan memutus penilaian
permohonan, setelah ada adanya hasil pengawasan Aparat Pengawas Intern
Pemerintah (APIP).
b. Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutus penilaian permohonan
penilaian ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam Keputusan dan/atau
Tindakan Pejabat Pemerintahan sebelum adanya proses pidana.
2. Subjek permohonan
Subjek permohonan penilaian penyalahgunaan wewenang ini adalah Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang kepentingannya dirugikan oleh hasil pengawasan APIP.
3. Objek Permohonan
Objek permohonan penilaian penyalahgunaan wewenang ini adalah keputusan dan/atau
tindakan Pejabat Pemerintahan agar dinyatakan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan
wewenang.
4. Materi Permohonan
- Identitas Pemohon
- Uraian mengenai objek permohonan
- Uraian dasar permohonan
. Kewenangan pengadilan
. Kedudukan hukum Pemohon
. Alasan permohonan (Pasal 17, 18, 19, dan/atau 24 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014)
5. Isi permohonan
Isi permohonan atau petitum permohonan dalam permohonan penilaian penyalahgunaan
wewenang pada intinya adalah:
a. Permohonan Badan Pemerintah
- Menyatakan Keputusan dan /atau Tindakan Pejabat Pemrintahan ada unsur
penyalahgunaan wewenang.
- Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat
Pemerintahan.
b. Pemohon Pejabat Pemerintahan
- Menyatakan Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan tidakada
unsur penyalahgunaan wewenang.
- Memerintahkan kepada negara untuk mengembalikan uang yang telah dibayar,
dalam hal pemohon telah mengembalikan kerugian negara sebagimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) dan ayat (6) UU No. 30 tahun 2014.

30 Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, Yogyakarta: FH UII Press, 2014, hlm. 181

215
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

6. Pendaftaran permohonan
Prosedur permohonan pendaftaran ini adalah:
- Permohonan diajukan kepada pengadilan yang wilayahnya meliputi tempat
kedudukan Pejabat pemerintahan yang mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan.
- Foto kopi identitas Pemohon
a. Badan Pemerintahan: Foto kopi keputusan dan/atau peraturan perundang
undangan pembentukan badan pemerintahan, atau
b. Pejabat Pemerintahan: Foto kopi KTP, keputusan pengangkatan jabatan
pemohon pada saat keputusan dan/atau tindakan pemohon yang dimohonkan
penilaian itu diterbitkan dan/atau dilakukan
- Fotocopi Keputusan yang dimohonkan penilaian dan hasil dari pengawasan
APIP serta foto kopi bukti surat atau tulisan yang berkaitan dengan alasan
permohonan.
- Daftar calon saksi dan/atau ahli.
- Bukti-bukti lain yang relevan (elektronik).
7. Waktu Pemeriksaan
Jangka waktu pemeriksaan dalam proses persidangan ini adalah:
- Pemeriksaan dipersidangan melalui serangkaian pemeriksaan, yaitu: Pemeriksaan
pokok permohonan; Pemeriksaan bukti surat atau tulisan; Mendengarkan keterangan
saksi; Mendengarkan keterangan ahli; Pemeriksaan alat-alat bukti lainnya.
- Paling lama pemeriksaan tersebut adalah 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
permohonan diajukan.
- Terhadap putusan permohonan ini, dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi
TUN.
- Pengadilan Tinggi TUN memeriksa permohonan paling lama 21 (dua puluh satu)
hari.
- Putusan Pengadilan Tinggi TUN tersebut bersifat final dan mengikat.
8. Putusan pengadilan bersifat final dan mengikat
1. “Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima”, dalam hal permohonan
tidak memenuhi syarat formal, pengadilan tidak berwenang dan/atau Pemohon
tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing).
2. Dalam hal Pemohon Badan Pemerintahan:
- “Mengabulkan Permohonan Pemohon”
- “Menyatakan Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan ada unsur
penyalahgunaan wewenang”.
- “Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat
Pemerintahan”.
Dalam hal Pemohon Pejabat pemerintahan:
- “Mengabulkan Permohonan Pemohon”.
- “Menyatakan Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan tidak ada
unsur penyalahgunaan wewenang”.
- “Memerintahkan kepada negara untuk mengembalikan kepada Pemohon
apabila Pemohon telah membayar uang yang telah dibayar dalam hal Pemohon
telah mengembalikan kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (4) dan ayat (6) Undang-Undang No. 30 tahun 2014”.
3. “Menolak permohonan permohon”, dalam hal Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat
Pemerintahan tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang apabila pemohonnya

216
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

Badan Pemerintahan, atau dalam hal Keputusan dan/atau Tindakan Pemohon ada
unsur penyalahgunaan wewenang apabila permohonnya Pejabat Pemerintahan.
4. “Menyatakan Permohonan gugur” dalam hal Pemohon tidak hadir dalam
persidangan 2 kali berturut-turut pada persidangan pertama dan kedua tanpa alasan
yang sah atau Pemohon tidak serius.
Prosedur yang penulis uraikan di atas dapat dikatakan ringkasan dari Perma No. 4
tahun 2015, sehingga masih terdapat beberapa point yang sebenarnya dalam ringkasan
tersebut oleh penulis anggap tidak perlu untuk dibahas, sehingga point penting untuk
dibahas dalam penulisan ini hanya meliputi 4 (empat) point di bawah ini, plus prosedur
hukum acara sebagaimana disebutkan sebelumnya. Empat point tersebut adalah:
1. Objek permohonan dan syaratnya: keputusan dan/atau tindakan yang
2. dimohonkan penilaian dari hasil pengawasan APIP
3. Subjek permohonan Alasan permohonan (Pasal 17, 18, 19, dan/atau 24 UU No. 30
Tahun 2014)
4. Putusan
Sebelum adanya Perma No. 4 Tahun 2015, prosedur pengajuan permohonan pengujian
penyalahgunaan masih terbatas dalam UU Administrasi Pemerintahan. Pada tanggal
9 Janurai 2015 Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, melalui Ketua Pengadilan
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta telah mengeluarkan Surat Keputusan No.
W2.TUN/54a/2015 Tentang Prosedur Penerimaan dan Pemeriksaan Permohonan Atas
Dasar Pasal 21 dan Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tertanggal 9 Januari 2015. Dalam
Lampiran III keputusan tersebut, perkara permohonan atas dasar Pasal 21 diproses
seperti perkara gugatan sengketa tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU
PTUN, yaitu ada tahap pembacaan permohonan, jawaban, pengajuan surat-surat bukti
Pemohon dan Termohon, pemeriksaan saksi dan ahli serta kesimpulan.31 Sedangkan
perbedaannya dengan UU PTUN adalah tidak adanya Rapat Permusyawaratan/Dismissal
proses sebagai ciri khusus pemeriksaan di PTUN dan istilah Penggugat-Tergugat
menjadi Pemohon Termohon. Kemudian Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
memperbaiki surat tersebut dengan surat perihal “Persyaratan pengajuan Permohonan
Berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Sesuai Perma Nomor 4
Tahun 2015 Di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta” tertanggal 20 Oktober 2015.
Kompetensi pengujian penyalahgunaan wewenang dapat dikatakan masih baru, sehingga
belum banyak perkara yang masuk di pengadilan tata usaha negara. Perkara-perkara
yang penulis berhasil himpun sebanyak 4 (empat) perkara, yang penulis ambil dari
Direktori Putusan Mahkamah Agung. Empat perkara tersebut adalah Perkara Nomor:
25/G/2015/PTUN-MDN antara Penggugat Drs. Ahmad Fuad Lubis, M.Si. melawan
Tergugat Kepala Kejakasaan Tinggi Sumatera Utara; Perkara No. 15/P/PW/2016/
PTUN.PLK antara Pemohon Andrey Dulu melawan Termohon Kepala Kejaksan Negeri
Tamiang Layang; Perkara No. 250/P/PW/2015/PTUN-JKT dengan Pemohon Drs. H.
Surya Dharm Ali., M.Si.; dan Perkara No.1/P/PW/2016/PTUN.Pbr., dengan Pemohon
Drs. Burhanuddin., MH.

31 Lihat Keputusan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. W2.TUN/54a/2015 Tentang Prosedur Penerimaan dan Pemeriksaan
Permohonan Atas Dasar Pasal 21 dan Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan di Pengadilan
Tata Usaha Negara Jakarta

217
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

Pemohon tiga perkara yang disebutkan pertama adalah pejabat yang mengelola
keuangan negara yang rawan terhadap praktik maladministrasi, sedangkan Pemohon
perkara keempat tidak jelas kedudukannya dalam pemerintahan apakah sebagai pejabat
pengelola keuangan atau pegawaiadministratif umum karena perkara tersebut telah
dicabut pada awal persidangan. Untuk itu, perkara keempat tidak dibicarakan secara
lebih lanjut kecuali memang dianggap perlu dalam penulisan ini. Agar lebih mudah
memahami perkara-perkara tersebut, di sini akan diuraikan secara singkat empat kasus
tersebut:
1. Perkara Nomor: 25/G/2015/PTUN-MDN antara Penggugat Drs. Ahmad Fuad
Lubis, M.Si. melawan Tergugat Kepala Kejakasaan Tinggi Sumatera Utara di
Pengadilan Tata Usaha Negara Medan
Perkara tertanggal 5 Mei 2015 ini berawal dari tindakan Tergugat yangmelakukan
panggilan permintaan keterangan dengan Surat No. B473/N.2.5/Fd.1/03/2015
tanggal 31 Maret 2015 terhadap Penggugat selaku Ketua Bendahara Umum Daerah
(BUD), Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Di mana isi panggilan tersebut
terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi di Pemerintah Provinsi Sumatera
Utara berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera
Utara Nomor: Print31/N.2/Fd.1/03/2015 tanggal 16 maret 2015. Surat panggilan
yang dilakukan Tergugat, oleh Penggugat dianggap telah melakukan melampaui
wewenang dengan : a) melakukan tindakan penyidikan yang tidak sesuai dengan
Pasal 1 angka 2 KUHAP, b) melakukan penyelidikan yang melanggar KUHAP dan
UU No. 30 tahun 2014, c) melakukan tindakan penyelidikan tidak sesuai dengan
MOU antara Kemendagri dan Kejaksaan, d) melakukan penyelidikan tidak sesuai
dengan MOU antara BPK dan Kejaksaan, e) melanggar asas legalitas, HAM, dan
AUPB (kepastian hukum, kecermatan, dan kehati-hatian).
Oleh karena itu, tindakan Tergugat dapat didiskualifikasikan sebagai suatu
tindakan penyalahgunaan wewenang yang melangggar Pasal 17 ayat (1) huruf a
dan Pasal 18 ayat (1) UU No. 30 tahun 2014.Adapun yang menjadi permohonan
gugatan tersebut adalah agar Surat Perintah Penyelidikan Kepala Kejaksaan Tinggi
Sumatera Utara Nomor. Print-31/N.2/Fd.1/03/2015 tanggal 16 maret 2015 dan
Surat Panggilan Keterangan No. B-473/N.2.5/Fd.1/03/2015 tanggal 31 Maret
2015, dalam penerbitannya mengandung penyalahgunaan wewenang sehingga
dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.Pada tanggal 7 Juli
2015 Pengadilan mengabulkan seluruh permohonan Penggugat. Kemudian pada
tanggal 21 Desember 2015 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan dengan
Perkara No. 176/B/2015/PT TUN-MDN. membatalkan putusan pengadilan tingkat
pertama dengan mengadili sendiri menerima eksepsi Tergugat tentang tidak
berwenangnya pengadilan mengadili perkara a quo, yaitu perkara Penggugat adalah
perkara pidana yang diluar kewenangan PTUN.
2. Perkara No. 15/P/PW/2016/PTUN.PLK antara Pemohon Andrey Dulu Melawan
Termohon Kepala Kejaksan Negeri Tamiang Layang di Pengadilan Tata Usaha
Negara Palangkaraya
Perkara dengan tanggal 15 April 2016 ini berawal dari Pemohon yang ditunjuk
sebagai Plt. Sekretaris Daerah Kabupaten Barito Timur sesuai Intruksi Bupati
Barito Timur No. 6 tahun 2012 tanggal 1 Agustus 2012 yang artinya secara ex
officio Pemohon menjabat pula sebagai Ketua PanitiaPengadaan Tanah Pelaksanaan

218
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

Untuk Kepentingan Umum berdasarkan Surat Bupati No. 22 tahun 2012 yang
mana pelaksanaan kegiatan tersebut telah dimulai pada 26 Januari 2012. Tugas
Pemohon sebagai Plt. Sekretaris Daerah adalah: a) Pengelola Keuangan Sekretariat
Daerah Kabupaten Barito Timur, b) sebagai PA/KPA Sekretariat Daerah, c) Sebagai
Pelaksana Administrasi Pemerintahan, d) Tugas Kedinasan lain yang diberikan oleh
Bupati/Wakil Bupati.
Surat Perintah penyidikan Kepala Kejaksaan Tamiang Layang No. Print01/Q.2.16/
Fd.1.07/2014 tanggal 1 Juli 2014 yang secara implisit di dalamnya dinyatakan bahwa
Pemohon telah menyalahgunakan wewenang dalam pelaksanaan Ganti Rugi Lahan
Untuk Taman Makam Pahlawan di Desa Jaweten Kec. Dusun Timur Kabupaten
Barito Timur Tahun 2012.Berdasarkan audit dari BPKP Kantor Perwakilan
Kalimantan Tengah, kerugian dalam proyek tersebut senilai Rp 270.000.000,- (dua
ratus tujuh puluh juta rupiah). Anehnya dalam perkara ini, sudah ada penghitungan
kerugian negara dari BPKP, tetapi Kejaksaan meminta penghitungan (ulang) atas
kerugian negara pada tanggal 18 Nopember 2014. Artinya hasil pengawasan BPKP
telah digunakan oleh penegak hukum untuk menetapkan tersangka kepada Pemohon
dengan dugaan adanya penyalahgunaan wewenang, lalu dilakukan permintaan
penghitungan ulang oleh kejaksaan kepada BPKP.
Pemohon meminta dalam permohonannya agar Pemohon selaku Plt. Sekretaris
Daerah yang ex officio sebagai Ketua Tim Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dalam dugaan penyimpangan yang
dituangkan dalam surat Perintah Penyidikan kejaksaan negeri tersebut bukan
merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang, dan memerintahkan kepada
Termohon untuk mencabut surat perintah penyidikan sepanjang menyangkut ada
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pemohon.Pengadilan tersebut
telah menjatuhkan putusan “tidak menerima permohonan Pemohon”. Adapun
yang menjadi pertimbangan hukumnya adalah Pemohon sedang menjalani proses
penyidikan dan telah berstatus sebagai tersangka sehingga sesuai dengan Perma
No. 4 tahun 2015 Pengadilan TUN tidak berwenang.
3. Perkara No. 250/P/PW/2015/PTUN-JKT dengan Pemohon Drs. H. Surya Dharm
Ali., M.Si. di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Perkara tertanggal 2 Desember 2015 ini adalah mengenai penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh Pemohon. Penyalahgunaan wewenang yang diduga
dilakukan adalah mengenai : a) Penggunaan DOM Kementerian Agama RI tahun
2011-2014, dan b) Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 2010-2013, khususnya
mengenai penunjukan petugas pendamping Amirul Hajj, penyewaan pemondokan
di Arab Saudi dan Pemanfaatan sisa kuota nasional.
Posisi Pemohon sebagai Menteri Agama adalah sekaligus sebagai Pengguna
Anggaran/PA. Pemohon berwenang untuk mengelola dan menggunakan DOM
sesuai UU No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun
2001 Tentang Perbendaharaan Negara, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 03/
PMK.06/2006 tentang DOM/Pejabat Setingkat Menteri yang telah diganti dengan
Peraturan Menteri Keuangan No. 268/PMK.05/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Anggaran DOM/Pimpinan Lembaga. Selain itu, Pemohon berdasarkan Pasal 7 dan
Pasal 8 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Agama dan Pasal
8 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah

219
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

haji, secara atributif juga berwenang merumuskan, membuat, menetapkan, dan


melaksanakan kebijakan kegiatan tersebut. Pada waktu BPKP melakukan audit
penghitungan kerugian negara pada
tanggal 5 Agustus 2015, penghitungan tersebut dilakukan atas permintaan KPK
tanggal 3 Juni 2014, dan sebelumnya Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka
oleh KPK. Putusan Pengadilan TUN tersebut memutus “Tidak menerima
permohonan Pemohon”, karena proses pidana telah berjalan sesuai dengan Perma
No. 4 tahun 2015.
4. Perkara No.1/P/PW/2016/PTUN.Pbr., dengan Pemohon Drs. Burhanuddin., MH.
Di Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru
Perkara ini diajukan oleh Pemohon (PNS) tertanggal 15 Juli 2016 kemudian pada
28 Juli 2016 perkara tersebut dicabut oleh Pemohon dengan alasan kurangnya bukti
formil. Perkara ini tidak diketahui tindak lanjut berikutnya.
Minimnya perkara pengujian penyalahgunaan wewenang disebabkan sulitnya
persyaratan yang harus dipenuhi dan terbatasnya lembaga pengawas yang hasilnya
pengawasannya menjadi syarat objek pengujian penyalahgunaan wewenang
di pengadilan tata usaha negara. Kewenangan lembaga pengawas yang hasil
pengawasannya sebagai syarat objek pengujian berdasarkan UU Administrasi
Pemerintahan hanya diberikan kepada Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP),
bukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Atasan Pejabat Pemerintahan.
Syarat suatu objek pengujian penyalahgunaan wewenang sebagaimana telah
disebutkan di atas bersifat kumulatif. Sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh
tiap-tiap lembaga APIP: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
Inspektoral Jenderal Kementerian/Lembaga; dan Inspektoral Daerah berwenang
mengawasi pemerintah atas penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintah termasuk
akuntabilitas keuangannya.32
Beberapa perkara pidana, BPKP sering digunakan sebagai tenaga audit penghitungan
kerugian negara oleh penegak hukum, sehingga Laporan Hasil Audit (penghitungan
kerugian negara) BPKP menjadi objek di PTUN, denganputusan yang bervariatif
(terjadi disparitas putusan), yaitu: a) Hasil audit bukanlah KTUN karena hasil
audit tidak wajib diikuti penyidik, tidak adaunsur kehendak sendiri (beslissing),
dan penggugat tidak mempunyai kepentingan yang dirugikan; b) Hasil audit tidak
bersifat individual, tidak mencantumkan atau menetapkan status hukum atau pihak
tertentu yang dituju untuk bertanggung jawab, hanya berisi temuan atau informasi
umum; c) Hasil audit belum bersifat final (perlu tindak lanjut aparat penegak
hukum) dan tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap Penggugat; d) Hasil audit
tidak termasuk KTUN karena bagian dari proses penegakan hukum pidana.33
Sesuai wewenang yang dimiliki, APIP memiliki tugas dan fungsi pengawasan
melalui audit, reviu, evaluasi, dan pemantauan, untuk membantu Menteri/Pimpinan
Lembaga, Gubernur, dan Bupati/Walikota dalam melakukan pengawasan atas
pengendalian intern pemerintah, yang meliputi lingkungan pengendalian, penilaian

32 Pasal 47 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintahan.
33 Mengenai perkara-perkara ini dapat dibaca lebih lanjut dalam Kabag Penelaahan dan Bantuan Hukum BPKP, “Disparitas Putusan
Atas Gugatan Terhadap Laporan Hasil Audit”, Warta Pengawasan, Vol. XXII/Nomor 6/tahun 2015, hlm. 37-39.

220
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

resiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, dan pemantauan.


Sebagai contoh pengawasan APIP dalam lingkup lingkungan pengendalian adalah
melalui pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat.34 APIP dapat
menggunakan wewenang pengawasannya dengan mengajukan pertanyaan kata
apakah atas kondisi sebagai berikut:
1. Wewenang diberikan kepada pegawai yang tepat sesuai dengan tingkat
tanggung jawabnya dalam rangka pencapaian tujuan Instansi Pemerintah,
dengan memperhatikan:
a. wewenang dan tanggung jawab ditetapkan dengan jelas di dalam Instansi
Pemerintah dan dikomunikasikan kepada semua pegawai.
b. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki tanggung jawab sesuai
kewenangannya dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya.
c. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki prosedur yang efektif untuk
memantau hasil kewenangan dan tanggung jawab yang didelegasikan.
2. Pegawai yang diberi wewenang memahami bahwa wewenang dan tanggung
jawab yang diberikan terkait dengan pihak lain dalam Instansi Pemerintah
yang bersangkutan, dengan memperhatikan:
a. Uraian tugas secara jelas menunjukkan tingkat wewenang dan tanggung
jawab yang didelegasikan pada jabatan yang bersangkutan.
b. Uraian tugas dan evaluasi kinerja merujuk pada pengendalian intern terkait
tugas, tanggung jawab, dan akuntabilitas.
3. Pegawai yang diberi wewenang memahami bahwa pelaksanaan wewenang dan
tanggung jawab terkait dengan penerapan SPIP.
a. Pegawai, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya, diberdayakan
untuk mengatasi masalah atau melakukan perbaikan.
b. Untuk penyelesaian pekerjaan, terdapat keseimbangan antara pendelegasian
kewenangan yang diterima dengan keterlibatan pimpinan yang lebih tinggi
Jika dalam suatu instansi ada wewenang yang didelegasikan kepada pejabat
yang lain ternyata delegataris tersebut tidak memahami tugas yang diberikan,
maka APIP wajib memberikan saran kepada delegans agar menarik kembali
wewenang yang telah diberikan atau menerangkan tugas dan wewenang yang
diberikan kepada delegataris. Termasuk wewenang yang tidak boleh didelegasikan
ternyata wewenang tersebut didelegasikan kepada pejabat yang lain. Hal ini untuk
menghindari adanya perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
delegans dan delegataris.35
UU Adminisrasi Pemerintahan tidak menjelaskan apakah temuan APIP itu kesalahan
administratif terlebih dahulu baru diketahui kerugian negara atau sebaliknya,
kerugian negara terlebih dahulu baru kemudian ada kesalahan administratif.
Namun, dari susunan gramatikalnya “terdapat kesalahan administratif yang
menimbulkan kerugian negara” dapat diketahui bahwa kesalahan administratif
lebih cepat diketahui oleh APIP daripada kerugian keuangan negara, karena pada
hakikatnya APIP adalah bagian dari pemerintah yang secara fungsional sebagai

34 Enrico Parulian Simanjuntak, Pengujian Ada Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang Menurut Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 7 Nomor 2, Juli 2018. hlm 245
35 Ujang Charda S. Potensi Penyalahgunaan Kewenangan Oleh Pejabat Administrasi Negara Dalam Pengambilan Dan Pelaksanaan
Kebijakan Publik, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 27 No. 02 September 2012. hlm 590

221
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

pengawas intern.36 Susunan tersebut secara implisit sama seperti pendapat Dian
Puji N. Simatupang, menurutnya untuk menyatakan adanya kerugian negara
harus dilakukan penghitungan kerugian negara terlebih dahulu, apabila dilakukan
sebaliknya kerugian negara baru dilakukan penghitungan kerugian negara maka
telah terjadi maladministrasi.37
Di dalam Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa pengawasan atas Provinsi
dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri untuk pengawasan umum dan menteri
teknis/kepala lembaga pemerintah non kementerian untuk pengawasan teknis;
pengawasan atas Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat untuk pengawasan umum dan teknis;dan tiap-tiap pengawasan
tersebut dilaksanakan oleh APIP pada setiap Kementerian/Instansi dan Pemerintah
Daerah sesuai tingkatan, fungsi dan kewenangannya.38
Oleh karena itu, untuk mengetahui antara kerugian negara dan penyalahgunaan
wewenang, sebaiknya merujuk kepada Peraturan Menteri PAN No. PER/05/M.
MPAN/03/2008 Tentang Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah,
dalam Bagian Standar Pelaksanaan Auditdisebutkan, bahwa sasaran audit kinerja
dan sasaran audit investigatif dapat digunakan untuk melakukan pengawasan
berupa kerugian negara dan penyalahgunaan wewenang. Perbedaan kedua audit
tersebut adalah audit investigatif dilakukan dengan sengaja untuk mengungkap
kasus penyimpangan yang terindikasi dapat menimbulkan kerugian negara/daerah,
sedangkan audit kinerja tujuan awalnya adalah untuk menilai kepatuhan auditi
dalam menjalankan kegiatannya secara ekonomis, efisien, efektif, dan mendeteksi
kepatuhan/ketidakpatuan terhadap perundang-undangan.39 Jadi, audit kinerja
maupun investigatif dapat digunakan untuk menemukan kesalahan administratif
yang menimbulkan kerugian negara akibat penyalahgunaan wewenang.
Tiga perkara pengujian penyalahgunaan yang telah disebutkan di atas, tidak ada
yang objek pengujiannya telah dilakukan pengawasan oleh APIP melalui PP SPIP.
Perkara No: 25/G/2015/PTUN-MDN, meskipun maksud dan tujuannya adalah
pengujian penyalahgunaan wewenang, namun objek pengujian penyalahgunaan
wewenangnya berbeda dari maksud pembentuk undang-undang, sehingga prosedur
yang dipakai oleh Penggugat pun seperti umunya perkara gugatan di PTUN.
Perkara No. 15/P/PW/2016/PTUN.PLK.dan Perkara No. 250/P/PW/2015/PTUN-
JKT. objek pengujiannya tidak berdasarkan pada sistem pengawasan APIP, tetapi
penghitungan kerugian negara atas dasar permintaan dari aparat penegak hukum,
yang dalam UU Administrasi Pemerintahan disebut sebagai bantuan kedinasan.

36 Instruksi Presiden No. 15 tahun 1983 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan.


37 Dian Puji N. Simatupang, Paradoks Rasionalitas, Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja
Keuangan Pemerintah, dalam S.F. Marbun, Hukum Administrasi Negara II, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: FH UII Press, 2013), hlm.
107.
38 Pasal 10 ayat (1) dan ayat (12) Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Pemerintahan Daerah
39 Peraturan Menteri PAN No. PER/05/M.MPAN/03/2008 Tentang Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah.

222
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

C. Penutup
Prosedur pengujian penyalagunaan wewenang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
berkaitan erat dengan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Aparat Pengawas Intern
Pemerintah (APIP) terhadap keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan. Keputusan
dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan sebagai objek pengujian penyalahgunaan wewenang
di PTUN adalah keputusan dan/atau tindakan yang terdapat kesalahan administratif dan
menyebabkan kerugian negara, serta belum ada proses proses pidana. Keputusan dan/
atau tindakan tersebut dilakukan oleh subjek pemohon permohonan sesuai dengan Pasal
17, 18, 19, dan/atau 24 UU Administrasi Pemerintahan. Subjek pemohon permohonan
penyalahgunaan wewenang di sini adalah adanya Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
merasa dirugikan atas pengawasan APIP tersebut. Pejabat Pemerintahan adalah Pejabat yang
mengeluarkan objek keputusan dan/atau tindakan, sedangkan Badan Pemerintahan adalah
instansi yang secara khusus berwenang menuntut ganti rugi kepada Pejabat pemerintahan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, Yogyakarta: FH UII Press, 2014
Subur MS, dkk., ed., Bunga Rampai Peradilan Administrasi Kontemporer, Cetakan Pertama,
(Yogyakarta: Genta Press, 2014),
S.F. Marbun, Hukum Administrasi Negara II, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: FH UII Press,
2013).
Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Airlangga, Surabaya, 2004
H.B. Jacobini, An Introduction to Comparative Administrative Law, (New York: Oceana
Publications Inc), 1991
Philiphus M Hadjon. “Konsep Penyalahgunaan Wewenang Berdasarkan UU No. 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan”, disampaikan dalam Colloquium Membedah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Hotel
Garden Palace, 5 Juni 2015
Anna Erliyana, Keputusan Presiden: Analisis Keppres R.I. 1987—1998, Program Pascarsarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2005

Jurnal, Arikel & Tesis:


Aman Susanto, Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di PTUN Pasca disahkannya UU No.
30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Tesis, Magister Hukum, Universitas
Islam Indonesia, 2017.
Arfan faiz Muhlizi, Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum administrasi, Jurnal
Rechtvinding, Vol 1, No 1, April 2012

223
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

Ayu Putriyanti, Kajian Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dalam Kaitan dengan


Pengadilan Tata Usaha Negara, Pandecta. Volume 10. Nomor 2. December 2015
Bambang Arwanto, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Akibat Tindakan Faktual Pemerintah,
Yuridika: Volume 31 No 3, September 2016.
Dika Yudanto & Nourma Dewi, Sinkronisasi Undang-Undang Administrasi Pemerintah Dengan
Undang-Undang Tindak Pidak Korupsi Dalam Penyelesaian Kasus Penyalahgunaan
Wewenang Pejabat Pemerintah Di Indonesia, Jurnal Serambi Hukum Vol. 10 No. 02
Agustus 2016 - Januari 2017.
Enrico Parulian Simanjuntak, Pengujian Ada Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang Menurut
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 7
Nomor 2, Juli 2018.
Francisca Romana Harjiyatni & Suswoto, Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 24 Oktober 2017.
Philipus M. Hadjon, Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang No. 30
Th. 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4,
Nomor 1 Maret 2015
Ujang Charda S. Potensi Penyalahgunaan Kewenangan Oleh Pejabat Administrasi Negara
Dalam Pengambilan Dan Pelaksanaan Kebijakan Publik, Jurnal Wawasan Hukum, Vol.
27 No. 02 September 2012.
Kabag Penelaahan dan Bantuan Hukum BPKP, “Disparitas Putusan Atas Gugatan Terhadap
Laporan Hasil Audit”, Warta Pengawasan, Vol. XXII/Nomor 6/tahun 2015,
Menteri PAN RB, “Keynote Speech”, Sambutan disampaikan dalam Seminar Sosialisasi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI, Batam Riau, tanggal 12
Mei 2015

Website:
Lihat dalam http://news.detik.com/berita/2873765/uu-administrasi-pemerintahan-dinilai-
mengudeta-pemberantasan-korupsi, diakses tanggal 28 Juni 2020

Putusan Pengadilan dan Peraturan Perundang-undangan:


Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Pemerintahan
Daerah
Instruksi Presiden Nomor 15 tahun 1983 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan.

224
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shubhan Noor Hidayat Prosedur Pengujian Penyalahgunaan Wewenang di Peradilan
Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

Peraturan Menteri PAN No. PER/05/M.MPAN/03/2008 Tentang Standar Audit Aparat


Pengawasan Intern Pemerintah.
Keputusan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. W2.TUN/54a/2015 Tentang
Prosedur Penerimaan dan Pemeriksaan Permohonan Atas Dasar Pasal 21 dan Pasal 53
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan di Pengadilan
Tata Usaha Negara Jakarta

225
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Febri Dwi Saputra Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Pencemaran
Air Sungai Akibat Limbah B3 Industri Kulit di Magetan

Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Terhadap


Pencemaran Air Sungai Akibat Limbah B3 Industri Kulit
Di Magetan
Febri Dwi Saputra1, Jadmiko Anom H2

Abstract
This study discusses the effectiveness of administrative law enforcement on river water pollution
due to B3 waste from the leather industry in Magetan. This research is an empirical (non-
doctrinal) research where the research process is to review and discuss objects with an emphasis
on the reality in the field. The results showed that in realizing environmental protection and
management, especially river waters in Magetan, they still face problems and challenges. This
is due to the inadequacy of the IPAL facilities provided and the lack of human resources in the
leather industry business actors, this makes the administrative law enforcement carried out by
the Environmental Office of Magetan Regency less effective. This situation requires the Regional
Government to regulate and manage IPAL so that it can be properly utilized and maintained by
leather industry players for the survival of its citizens, through proper, correct, and comprehensive
management. Suggestions given by researchers are the Environmental Service to be more pro-
active in providing outreach and guidance to industrial entrepreneurs and communities around
B3 waste-producing rivers, and the Environmental Service to provide adequate WWTP facilities
for industrial businesses.
Keywords : Effectiveness, Administrative Law Enforcement, River Water Pollution, B3 Waste,
Leather Industry

Abstrak
Penelitian ini membahas efektivitas penegakan hukum administrasi terhadap pencemaran air
sungai akibat limbah B3 industri kulit di Magetan. Penelitian ini termasuk jenis penelitian
Empiris (non-doctrinal) dimana proses penyelidikannya meninjau dan membahas obyek dengan
menitikberatkan pada kenyataan dilapangan. Hasil penelitian menunjukkan dalam mewujudkan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup khususnya perairan sungai di Magetan masih
mengahadapi masalah dan tantangan. Hal ini disebabkan karena kurang memadainya fasilitas
IPAL yang disediakan serta minimnya sumber daya manusia dilingkup pelaku usaha industri
kulit hal ini menjadikan kurang efektivnya penegakan hukum administrasi yang dilakukan oleh
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Magetan. Keadaan tersebut mengharuskan Pemerintah
Daerah untuk mengatur dan mengelola IPAL agar dapat dimanfaatkan dan dijaga dengan baik
oleh pelaku industri kulit demi keberlangsungan hidup warganya, melalui manajemen yang tepat,
benar, dan komprehensif. Saran yang diberikan peneliti yaitu, Dinas Lingkungan Hidup agar
lebih pro aktif dalam memberikan sosialisasi penyuluhan dan pembinaan kepada pelaku usaha

1 Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa
Tengah, Indonesia, Febridwisaputra05@gmail.com, S.H. (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia,
jadmikoanom@staff.uns.ac.id, Dr. (Universitas Sebelas Maret), S.H. (Universitas Sebelas Maret), M.H. (Universitas Sebelas Maret).

226
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Febri Dwi Saputra Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Pencemaran
Air Sungai Akibat Limbah B3 Industri Kulit di Magetan

industri maupun masyarakat sekitar aliran sungai penghasil limbah B3, serta Dinas Lingkungan
Hidup memberikan fasilitas IPAL yang memadai kepada pelaku usaha industri.

Kata kunci: Efektivitas, Penegakan Hukum Administrasi, Pencemaran Air Sungai, Limbah B3,
Industri Kulit

A. Pendahuluan
Penegakan hukum merupakan isu yang menarik untuk diteliti karena berkaitan dengan
implementasi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penegakan hukum lingkungan
sangat berkaitan dengan semua aspek kehidupan manusia karena lingkungan merupakan
penyangga kehidupan makhluk hidup di bumi ini. Secara konstitusional terdapat dalam
Pasal 28 huruf H ayat (1) yang berbunyi “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
memperoleh pelayanan kesehatan”, penegakan hukum lingkungan merupakan instrumen
untuk menciptakan lingkungan yang baik dan sehat.3
Masalah lingkungan bersifat irreversible atau tidak terpulihkan sehingga menimbulkan
kerugian dan kehilangan yang permanen. Karena pada dasarnya bahwa lingkungan hidup itu
merupakan satu rangkaian antara yang satu dengan yang lain, sehingga saling mempengaruhi.
Apabila salah satu instrumen dari lingkungan hidup terganggu atau rusak maka tentu akan
berpengaruh pada komponen lain dalam lingkup lingkungan hidup.4 Masalah lingkungan
dan kesehatan masyarakat timbul di berbagai daerah baik di perkotaan maupun pedesaan
yang disebabkan oleh produk limbah cair yang tidak ditangani dengan semestinya. Di
berbagai tempat terjadi pencemaran badan air, sungai dan telaga, yang menyebabkan air
tidak layak dikonsumsi oleh manusia.5
Di Magetan terdapat beberapa industri, salah satunya adalah industri penyamakan kulit yang
terletak pada kompleks Lingkungan Industri Kecil (LIK) Magetan. Industri penyamakan kulit
merupakan sebuah tempat berkumpulnya pengusaha industri penyamakan kulit yang terdiri
atas beberapa unit usaha industri skala kecil. Industri kulit di Magetan merupakan industri
yang sedang berkembang dari waktu ke waktu baik jumlah pengusahanya maupun kapasitas
produksinya. Kegiatan produksi kulit terutama didominasi oleh kegiatan penyamakan yang
dalam prosesnya banyak menggunakan air dan bahan kimia. Dengan demikian industri ini
menghasilkan limbah cair yang banyak mengandung bahan-bahan kimia dan bahan organik
dari kulit itu sendiri. Industri penyamakan kulit merupakan industri yang menghasilkan air
limbah dengan kategori B3 (Bahan Beracun Berbahaya). Limbah B3 jika dibuang langsung
ke sungai yang dapat menimbulkan bahaya terhadap lingkungan, kesehatan manusia, serta
mahluk hidup lainnya.
Pembuangan limbah B3 sembarangan merupakan perbuatan melawan hukum serta
bertentangan dengan Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan
bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

3 Suwari Akhmaddhian, “Peran Pemerintah Daerah Dalam Mewujudkan Hutan Konservasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Studi di Kabupaten Kuningan)”, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 13, Nomor 3, 2013, hlm 446-556.
4 Afwit Freastoni, “Perizinan Sebagai Instrumen Tanggung Jawab Negara Dalam Pengelolaan Sumber Daya Mineral dan Batu Bara”,
Jurnal Konstitusi, Volume 2, Nomor 1, 2013, hlm 120.
5 Asmadi dan Suharno, Dasar-Dasar Teknologi pengolahan Air Limbah, Yogyakarta: Gosyen Publishing, 2012.

227
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Febri Dwi Saputra Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Pencemaran
Air Sungai Akibat Limbah B3 Industri Kulit di Magetan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”. Selain itu, hal tersebut juga bertentangan dengan Pasal 65 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
sebagai bagian dari hak asasi manusia”. Selain adanya hak masyarakat juga terdapat
larangan bagi masyarakat maupun pelaku usaha untuk tidak mencemari lingkungan dalam
melakukan usahanya. Larangan tersebut terdapat dalam Pasal 69 ayat (1) huruf A dijelaskan
bahwa “terdapat larangan bagi seseorang untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Selain adanya hak, masyarakat dan
pelaku usaha juga berkewajiban dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Kewajiban masyarakat diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009, “setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”.
Dalam hal ini terdapat sebuah kasus mengenai pembuangan limbah B3 di perairan sungai
yang menyebabkan pencemaran lingkungan di Magetan yang dilakukan oleh pelaku industri
penyamakan kulit. Adanya hal tersebut para warga banyak yang memprotes karena diduga
telah melakukan pengrusakan lingkungan dalam bentuk pencemaran aliran sungai maupun
polusi udara yang diakibatkan dari kegiatan operasional dari industri penyamakan kulit
tersebut. Hal ini kemudian mengakibatkan timbulnya bau menyengat yang dirasakan telah
melumpuhkan aktifitas warga di sekitar tempat produksi maupun sekitar aliran sungai yang
tercemar. Industri kulit menghasilkan limbah bahan kimia yang sangat merugikan terhadap
lingkungan dan makhluk hidup. Limbah yang dihasilkan dari industri penyamakan kulit ini
juga menimbulkan bau yang sangat menyengat oleh adanya pembusukan berbagai sisa kulit
dan daging terutama lemak serta limbah cair yang mengandung sisa bahan penyamak kimia.
Kegiatan usaha industri penyamakan kulit di Magetan yang mengabaikan kelestarian
lingkungan hidup tidak sejalan dengan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang
mengamanatkan bahwa “setiap orang/pelaku usaha berkewajiban memelihara kelestarian
fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup”. Pada praktiknya apa yang di idealkan dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tersebut ternyata masih jauh dari harapan, karena masih banyaknya pelaku usaha
kegiatan industri penyamakan kulit yang belum melakukan pengelolaan limbah B3 dengan
baik dan benar hingga sampai saat ini, sehingga banyak limbah hasil penyamakan kulit yang
langsung di buang ke dalam perairan sungai tanpa melakukan pengelolaan. Berbagai macam
kegiatan industri apabila tidak disertai dengan program pengelolaan limbah yang baik akan
memungkinkan terjadinya pencemaran air baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pencegahan terhadap pencemaran yang terkait dengan lingkungan hidup merupakan
kewenangan dan urusan wajib pemerintah daerah sekitar, namun hingga kini tak ada solusi
kongkrit dari pihak pemerintah daerah dan Dinas Lingkungan Hidup Magetan perihal
penyelesaian pencemaran air sungai tersebut, warga sekitar aliran sungai tempat pembungan
limbah B3 menganggap pemerintah daerah tidak serius tangani pencemaran air sungai akibat
limbah B3 industri kulit di Magetan, hingga saat ini masih terjadi pembuangan limbah ke
aliran yang mengakibatkan bau yang menyengat dan pencemaran/kerusakan lingkungan
khususnya aliran sungai.
Melihat fakta yang terjadi di lapangan dimana masih terdapat pencemaran lingkungan yang
terjadi akibat pelanggaran pembuangan limbah B3 industri penyamakan kulit di Magetan,
menimbulkan pertanyaan apakah pelaksanaan penegakan hukum administrasi sudah efektif

228
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Febri Dwi Saputra Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Pencemaran
Air Sungai Akibat Limbah B3 Industri Kulit di Magetan

dalam melindungi lingkungan agar sesuai standar baku mutu lingkungan hidup di Magetan.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian yang berudul “Efektivitas
Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Pencemaran Air Sungai Akibat Limbah B3
Industri Kulit Di Magetan”, dengan rumusan masalah Bagaimana Efektivitas Penegakan
Hukum Administrasi Terhadap Pencemaran Air Sungai Akibat Limbah B3 Industri Kulit Di
Magetan?

B. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah Empiris atau penelitian hukum (non
doctrinal), yaitu dimana proses penyelidikannya meninjau dan membahas obyek dengan
menitik beratkan pada kenyataan di lapangan, sedangkan dari sifatnya termasuk penelitian
deskriptif. Dalam hal ini adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah
perundang-undangan mengenai lingkungan hidup sudah dapat berfungsi untuk mencegah
pencemaran dan perusakan serta bagaimana langkah dari Pemerintah Kabupaten Magetan di
dalam menegakkan sanksi administratif terhadap pencemaran/perusakan lingkungan hidup
di kabupaten Magetan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris. Hal ini dimaksudkan untuk melihat
bekerjanya hukum di dalam masyarakat dalam mengatasi pelaku pencemaran/perusakan
lingkungan hidup, baik dalam perspektif yuridis yaitu didasarkan pada peraturan perundang-
undangan mengenai aturan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maupun tata
cara prosedur pemberian sanksi administrasi terhadap pelaku usaha pencemaran/perusakan
lingkungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Lokasi penelitian ini terletak di beberapa instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Magetan
yang melaksanakan penegakan hukum administrasi mulai dari pengawasan hingga penerapan
sanksi administrasi terhadap pelaku usaha industri penyamakan kulit yang menyebabkan
kerusakan lingkungan, serta melakukan wawancara yang berlangsung secara lisan dimana
dua orang pihak masyarakat tepatnya disekitar area industri penyamakan kulit maupun
diarea sekitar aliran sungai pembuangan limbah B3.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data yang terbagi menjadi dua yaitu
sumber data primer, data langsung yang diperoleh peneliti dari tangan pertama yang belum
diolah dan diuraikan orang lain. Data primer mengandung data yang bersifat aktual yang
diperoleh langsung dari lapangan melalui metode wawancara. Serta sumber data sekunder,
penelitian terhadap data sekunder yang berasal dari peraturan perundang-undangan, buku-
buku, kamus hukum, dan lainnya.
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif yakni dengan mengambil data yang
representatif kemudian dianalisis secara kualitatif untuk dijadikan dasar dalam mengambil
kesimpulan. Data primer dan data sekunder yang diperoleh akan disusun secara sistematis.
Data yang disusun secara sitematis tersebut dianalisis untuk dapat memahami fokus penelitian
secara mendalam, hasil analisis yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara
komprehensif tentang efektivitas penegakan hukum administrasi terhadap pencemaran air
sungai akibat limbah B3 industri kulit di Magetan.

229
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Febri Dwi Saputra Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Pencemaran
Air Sungai Akibat Limbah B3 Industri Kulit di Magetan

C. Pembahasan
Efektivitas hukum dapat dijelaskan sebagai suatu keadaan di mana terjadi kesesuaian
antara cita-cita yang terkandung di dalam substansi hukum dengan realitas berlakunya
hukum tersebut di dalam masyarakat. Hukum dianggap kurang atau tidak efektif apabila
terdapat disparitas antara realita hukum dan ideal hukum, sehingga hukum tersebut harus
dirombak dan disusun kembali. Kalau ideal hukum itu mengacu kepada tujuan atau cita-cita
yang terkandung di dalam isi/substansi hukum, realita hukum mengacu kepada pengertian
penerapan hukum yang indikatornya adalah kesadaran atau kepatuhan hukum yang tercermin
dalam perilaku warga masyarakat tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa efektivitas hukum
yang berlaku dalam suatu masyarakat tidak terlepas dari konsep kesadaran hukum atau
kepatuhan hukum dari masyarakat itu sendiri. Agar dapat berlaku efektif, maka hukum
dalam kegiatannya ditegakkan dengan dukungan sanksi baik administrasi, sanksi perdata,
maupun sanksi pidana. Sehingga untuk menjamin dukungan sanksi tersebut, maka haruslah
dijalin hubungan harmonisasi dan sinkronisasi pada semua lintas kehidupan bersama, dengan
menjadikan satu panduan sebagai pedoman berkaitan mengenai bagaimana seharusnya
bertindak dan diharapkan bertindak. 6
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-
norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari subyeknya, penegakan hukum dapat dilakukan
oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu
melibatkan subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Menurut subyeknya penegakan
hukum dapat diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan tegaknya hukum itu dan aparatur penegak hukum itu dapat menggunakan daya
paksa dalam proses penegakan hukum.7
Penegakan hukum lingkungan tidak hanya ditujukan untuk memberikan hukuman kepada
perusak atau pencemar lingkungan hidup. Tetapi, juga ditujukan untuk mencegah terjadinya
perbuatan atau tindakan yang dapat menimbulkan perusakan atau pencemaran lingkungan
hidup. Oleh karena itu, penegakan hukum lingkungan tidak hanya bersifat represif, tetapi
juga bersifat preventif. 8
Penegakan hukum lingkungan yang bersifat represif ditujukan untuk menanggulangi
perusakan atau pencemaran lingkungan dengan menjatuhkan sanksi kepada perusak atau
pencemar lingkungan yang dapat berupa sanksi pidana (penjara atau denda), sanksi perdata
(ganti kerugian), dan sanksi administrasi (paksaan pemerintah, uang paksa, dan pencabutan
izin).
Sedangkan penegakan hukum lingkungan yang bersifat preventif ditujukan untuk mencegah
terjadinya perbuatan atau tindakan yang dapat menimbulkan perusakan atau pencemaran
lingkungan. Dewasa ini, instrumen hukum yang ditujukan untuk penegakan hukum
lingkungan yang bersifat preventif ini adalah AMDAL dan Perizinan.

6 Sutrisno, “Politik Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal Hukum, Volume 18, Nomor 3, 2011, hlm 461.
7 Kartono, “Penegakan Hukum Lingkungan Administratif Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”,
Jurnal Dinamika Hukum, Vollume 9, Nomor 3, 2009, hlm 247-257.
8 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya: Airlangga University Press, 2000,
hlm 209-210.

230
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Febri Dwi Saputra Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Pencemaran
Air Sungai Akibat Limbah B3 Industri Kulit di Magetan

Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan yang bersifat represif dilakukan setelah
adanya perbuatan atau tindakan yang mengakibatkan terjadinya perusakan atau pencemaran
lingkungan. Sedangkan penegakan hukum preventif lebih bersifat mencegah agar perbuatan
atau tindakan itu tidak menimbulkan perusakan atau pencemaran lingkungan. Jadi, dilakukan
sebelum terjadinya perusakan atau pencemaran lingkungan.
Secara normatif, UU PPLH telah mengintegrasikan upaya pembangunan dengan
pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana menjadi ciri dari pembangunan berkelanjutan
melalui Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang menjadi
dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan rencana
pembangunan jangka menengah di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.9 UU
PPLH menegaskan bahwa salah satu tujuan perlingungan dan pengelolaan lingkungan hidup
adalah menjamin pemenuhan dan perlingungan hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.10
Limbah industri merupakan limbah cair domestik (domestic wastewater), karena limbah
domestik merupakan hasil buangan dari industri.11 Kegiatan industri dan teknologi, air yang
telah digunakan (air limbah industri) tidak boleh langsung dibuang ke lingkungan karena
dapat menyebabkan pencemaran. Air tersebut harus diolah terlebih dahulu agar mempunyai
kualitas yang sama dengan kualitas air lingkungan. Jadi air limbah industri harus mengalami
proses daur ulang, sehingga dapat digunakan lagi atau dibuang kembali ke lingkungan tanpa
menyebabkan pencemaran air. Semua kegiatan industri dan teknologi harus memperhatikan
dan melaksanakan pengolahan air limbah industri. Namun dalam kenyataannya masih banyak
industri atau suatu pusat kegiatan kerja yang membuang limbahnya ke lingkungan melalui
sungai, danau atau langsung ke laut. Pembuangan air limbah secara langsung ke lingkungan
inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya pencemaran air limbah (baik berupa padat
maupun cairan) yang masuk ke air lingkungan menyebabkan terjadinya penyimpangan dari
keadaan normal air dan ini berati suatu pencemaran.
Salah satu industri kulit yang memerlukan perhatian khusus yaitu industri penyamakan kulit di
Magetan. Kegiatan produksi kulit di Magetan terutama didominasi oleh kegiatan penyamakan,
yang mana dalam prosesnya banyak menggunakan air dan bahan kimia. Dengan demikian
maka industri ini akan membutuhkan air bersih dalam jumlah besar dan menghasilkan
limbah cair yang banyak mengandung polutan kimia dan bahan organik dari kulit itu sendiri.
Permasalahan lingkungan yang terjadi di Kabupaten Magetan adalah pencemaran lingkungan
terhadap air sungai yang diakibatkan dari banyaknya perusahaan yang tidak bisa mengolah
limbahnya secara baik hingga menjadi tercemar. Limbah cair hasil industri penyamakan kulit
yang ada di Magetan telah sering kali menimbulkan permasalahan lingkungan baik air, udara,
dan makhluk hidup. Permasalahan yang terjadi diantaranya adalah pertama, pencemaran air
di Sungai yang mana air sungai berubah menjadi keruh dan berbusa serta banyak ikan yang
mati. Kedua, terjadinya pencemaran udara dengan timbulnya bau busuk yang menyengat.
Ketiga, limbah cair industri penyamakan kulit yang dihasilkan menimbulkan permasalahan
kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat. Banyak dari warga sekitar yang terancam terkena
penyakit kulit, sesak nafas dan ISPA.

9 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015, hlm 74.
10 Masrudi Muchtar, Abdul Khair, dan Noraida, Hukum Kesehatan Lingkungan (Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran), Yogyakarta:
Tim Pustaka Baru, 2016, hlm 39.
11 Achmad Faishal, Hukum Lingkungan: Pengaturan Limbah dan Paradigma Industri Hijau, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2006, hlm 84.

231
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Febri Dwi Saputra Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Pencemaran
Air Sungai Akibat Limbah B3 Industri Kulit di Magetan

Permasalahan diatas disebabkan oleh kurangnya pengawasan IPAL serta terbatasnya IPAL
yang ada sehingga IPAL sering mengalami kerusakan dan kebocoran karena tidak dapat
menampung kapasitas limbah, ditambah masih banyak industri penyamakan kulit yang
membuang limbah cairnya secara langsung ke badan sungai tanpa ada pengolahan di IPAL.
Bila permasalahan ini terus dibiarkan maka kerusakan lingkungan dan pencemaran akibat
limbah cair industri penyamakan kulit akan semakin meluas dan mengganggu ekosistem
alam maupun makhluk hidup di Kabupaten Magetan.
1. Faktor Perundang-undangan
Pengelolaan limbah B3 diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014
Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Dalam peraturan ini
menjelaskan bagaimana pengelolaan limbah B3 dengan benar mulai dari identifikasi,
pengumpulan, penyimpanan, penyerahan ke pihak ketiga, hingga pengelolaan.
Pasal 12 ayat (1) PP No. 101 Tahun 2014 menyatakan bahwa setiap Orang yang
menghasilkan Limbah B3 wajib melakukan Penyimpanan Limbah B3. Namun dalam
sanksi nya, pada peraturan ini hanya terdapat sanksi administratif saja. Tidak ada sanksi
pidana maupun perdata. Pada peraturan lain yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH, mengatur juga mengenai Limbah B3, dan
mewajibkan setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib mengelolanya. Dalam
undang-undang ini terdapat juga sanksi yang mengikat yaitu sanksi administratif,
pidana, dan perdata. Penerapan dari sanksi hukum administrasi menurut pasal 76, 77,
78, 79, 80, 81, 82, 83 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup , melekat pada kewenangan pemerintah, sehingga
dilakukan tanpa memerlukan bantuan lembaga peradilan.
Ketentuan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tersebut menekankan
bahwa
a) Wewenang menerapkan sanksi administratif adalah wewenang menteri, gubernur,
dan bupati/walikota.
b) Penerapan sanksi administratif dilakukan sebagai tindak lanjut dari dilakukannya
pengawasan dan penerapan sanksi tersebut adalah sebagai tindak lanjut atas
pelanggaran izin lingkungan.
Seiring dengan luasnya ruang lingkup dan keragaman bidang urusan pemerintahan yang
masing-masing bidang itu diatur dengan peraturan tersendiri, macam dan jenis sanksi
dalam rangka penegakan peraturan itu menjadi beragam. Pada umumnya macam-
macam dan jenis sanksi itu dicantumkan dan ditentukan secara tegas dalam peraturan
perundang-undangan bidang administrasi tertentu. Secara umum dikenal beberapa
macam sanksi dalam hukum administrasi menurut pasal 76 ayat (2) Undang-Undang
No 32 Tahun 2009, yaitu:
a) Paksaan pemerintah (bestuursdwang)
b) Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (ijin, subsidi, pembayaran, dan
sebagainya)
c) Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom)

232
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Febri Dwi Saputra Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Pencemaran
Air Sungai Akibat Limbah B3 Industri Kulit di Magetan

d) Pengenaan denda administratif (administratieve boete)


Macam-macam sanksi tersebut tidak selalu dapat diterapkan secara keseluruhan
pada suatu bidang administrasi Negara tertentu.12
Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa paksaan
pemerintah berupa:
a) Penghentian sementara kegiatan produksi
b) Pemindahan sarana produksi
c) Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi
d) Pembongkaran
e) Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran
f) Penghentian sementara seluruh kegiatan
g) Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup
Paksaan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang No
32 Tahun 2009 dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang
dilakukan menimbulkan:
a) Ancaman yang serius bagi manusia dan lingkungan hidup
b) Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran
dan/atau perusakannya
c) Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya.
Apabila dicermati mengenai ketentuan penerapan sanksi administratif sebagaimana
diuraikan di atas, timbul kesan bahwa sanksi utama dalam penegakan hukum lingkungan
adalah sanksi paksaan pemerintah. Kesan ini sesungguhnya tidaklah salah, sebab dalam
hukum administrasi, penerapan sanksi lebih mengarah pada sifat pemulihan, dan bukan
sifat penghukuman.
2. Faktor Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya
mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran,
disamping hal itu penegak hukum harus mampu menjalankan atau membawakan
peranan yang dapat diterima oleh pihak industri.
Dimana di dalam prakteknya di lapangan penegakkan hukum yaitu Dinas Lingkungan
Hidup Serta Sataun Polisi Pamong Praja Kabupaten Magetan belum pernah mengeluarkan
surat peringatan terhadap pelaku usaha industri penghasil limbah B3 yang melakukan
pelanggaran. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Magetan belum pernah melakukan
tindakan tegas yang berupa pemberian sanksi terhadap pelaku usaha industri penghasil
limbah B3. Namun, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup beserta Sataun Polisi
Pamong Praja Kabupaten Magetan hanya langsung turun tangan menemui para pelaku
usaha industri yang melakukan pelanggaran tersebut. Tindakan turun ke lapangan yang
dilakukan ini hanya untuk memberikan peringatan secara lisan dan juga memberikan
masukan terkait dampak buruk pembuangan limbah B3 ke aliran sungai kepada para
pelaku usaha industri penghasil limbah B3

12 HR Ridwan, Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

233
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Febri Dwi Saputra Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Pencemaran
Air Sungai Akibat Limbah B3 Industri Kulit di Magetan

Implementasi di dalam prakteknya di lapangan sedikit kurang maksimal karena


ketidakjelasan penegakkan hukum yang berdampak pada lingkungan yang telah
tercemar. Masih ada kekurangan sinergi antara penegak hukum dengan perangkat
pemerintah. Dalam hal ini peran Dinas Lingkungan Hidup dan Aparat Satuan Polisi
Pamong Praja belum optimal dikarenakan keterbatasan IPAL yang ada sehingga dalam
penegakan hukum masih belum efektiv.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Peran Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Magetan kurang maksimal dalam
memberikan sosialisasi baik penyuluhan maupun pembinaan kepada pelaku usaha
industri penyamakan kulit yang menghasilkan limbah B3 maupun masyarakat sekitar
aliran sungai mengenai betapa pentingnya pengelolaan limbah B3 hal tersebut menjadi
terhambat karena keterbatasan jumlah anggaran operasional serta sarana dan fasilitas
kepada pelaku usaha penghasil limbah B3, dikarenakan jumlah instalasi pengelolaan air
limbah (IPAL) belum mencukupi berbanding terbalik dengan lebih banyaknya pelaku
usaha industri penyamakan kulit, efek dari belum optimalnya Dinas Lingkungan Hidup
memberikan fasilitas IPAL tersebut, maka masyarakat pelaku usaha industri seringkali
membuang limbah B3 ke sungai yang mencemari lingkungan karena hal tersebut sudah
dilakukan dari tahun sebelumnya dan menjadi kebiasaan. Selain itu, kebiasaan buruk
pembuangan limbah B3 di daerah aliran sungai karena kurangnya kesadaran dari pelaku
usaha industri itu sendiri sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan di aliran sungai
secara terus menerus di masa yang akan datang.
4. Faktor Masyarakat
Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar industri maupun sekitar aliran sungai
tersebut sangat merasakan dampak dari limbah cair industri. Di samping perubahan
air yang ada, air sungai yang dulunya digunakan untuk memandikan hewan ternak dan
juga digunakan mengairi sawah sekarang sudah tidak dipergunakan karena masyarakat
merasakan air yang sehari-hari mereka gunakan untuk kebutuhan sangat berbahaya bagi
kesehatannya, terkadang masyarakat merasakan gangguan pernafasan maupun gatal-
gatal karena dampak dari bau busuk limbah cair B3 tersebut
Peran serta masyarakat baik pelaku industri maupun masyarakat disekitar pembuangan
limbah B3 belum dapat dilakukan secara optimal hal ini disebabkan kurangnya tingkat
pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam mengelola limbah, sumber daya manusia
yang kurang, tingkat penghasilan masyarakat yang masih rendah dimana sebagian besar
masyarakatnya memiliki tingkat pendapatan terbatas tentunya sulit bagi masyarakat
dapat berkontribusi dana dalam pengelolaan limbah.
Dalam hal ini pihak masyarakat baik pelaku industri maupun masyarakat disekitar
pembuangan limbah B3 harus ikut berperan serta dalam pemantauan lingkungan agar
pihak industri dan dinas lingkungan hidup benar-benar melakukan pembenahan baik
dalam pengelolaan IPAL maupun penyediaan IPAL yang memenuhi kapasitas industri
hal itu agar pihak industri tidak melakukan pembuangan limbah ke sungai. Masyarakat
perlu adanya sosialisai lebih dalam agar kesadaran tentang pengelolaan limbah dapat
dipahami dan dijalankan oleh masyarakat sekitar.

234
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Febri Dwi Saputra Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Pencemaran
Air Sungai Akibat Limbah B3 Industri Kulit di Magetan

D. Penutup
1. Simpulan
Faktor yang menjadi penyebab mengapa penegakan hukum administrasi di Magetan
tidak efektiv terhadap kegiatan industri penyamakan kulit sehingga menyebabkan
kerusakan lingkungan perairan sungai yaitu limbah industri tidak ditangani dengan
baik dan serius oleh pemerintah daerah dan penegak hukum dimana wilayah industri.
Pemerintah harus mengatasi pembuangan limbah industri dengan sungguh-sungguh
dengan menyediakan IPAL sesuai dengan kapasitas yang ada dalam menampung
limbah B3 yang dihasilkan oleh pelaku industri serta masih belum maksimal perangkat
pemerintah dalam memberikan sarana edukasi baik penyuluhan maupun pembinaan
terhadap pentingnya pengelolaan limbah B3 kepada pelaku usaha industri. Masih
ada kekurangan sinergi antara penegak hukum dengan perangkat pemerintah lainnya
disebabkan karena terbatasnya instalasi pengelolaan air limbah (IPAL).
2. Saran
Rekomendasi yang dapat di berikan adalah pemerintah daerah harus segera membuat
langkah-langkah untuk memastikan tersedianya sarana dan fasilitas khususnya
tambahan IPAL untuk mendukung keikutsertaan industri dalam pengelolaan limbah,
memberikan sosialisasi baik penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat serta
pelaku usaha penghasil limbah B3 tentang pentingnya upaya pengelolaan limbah B3 dan
bahayanya membuang limbah B3 di sungai, masyarakat harus ikut berperan serta dalam
pemantauan lingkungan agar pihak industri benar-benar melakukan pembenahan dalam
pengelolaan IPAL serta mendukung pemberlakuan dan pelaksanaan inisiatif-inisiatif
pemerintah guna merealisasikan tambahan IPAL yang bertujuan untuk mengeliminasi
penggunaan dan pelepasan bahan-bahan kimia berbahaya dan beracun dari industri
kulit secara proaktif.
Implementasi sanksi harus lebih ditegaskan agar pihak pelaku usaha industri lebih
patuh akan peraturan agar tidak membuang hasil limbah B3 industri kulit ke sungai,
hukum perlu ditegakkan sebagai perlindungan pengelolaan lingkungan hidup untuk
menghasilkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuai amanah Undang-Undang
Dasar 1945.

235
Daftar Pustaka

Buku
Achmad Faishal, Hukum Lingkungan: Pengaturan Limbah dan Paradigma Industri Hijau,
Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2006.
Asmadi dan Suharno, Dasar-Dasar Teknologi pengolahan Air Limbah, Gosyen Publishing,
Yogyakarta, 2012.
HR Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.
Masrudi Muchtar, Abdul Khair, dan Noraida, Hukum Kesehatan Lingkungan (Kajian Teoritis
dan Perkembangan Pemikiran), Tim Pustaka Baru, Yogyakarta, 2016.
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga
University Press, Surabaya, 2000.
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015.

Jurnal
Afwit Freastoni, “Perizinan Sebagai Instrumen Tanggung Jawab Negara Dalam Pengelolaan
Sumber Daya Mineral dan Batu Bara”, Jurnal Konstitusi, Volume 2, Nomor 1, 2013.
Kartono, “Penegakan Hukum Lingkungan Administratif Dalam Undang-Undang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 9, Nomor 3, 2009.
Sutrisno, “Politik Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal Hukum, Volume
18, Nomor 3, 2011.
Suwari Akhmaddhian, “Peran Pemerintah Daerah Dalam Mewujudkan Hutan Konservasi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Studi di
Kabupaten Kuningan)”, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 13, Nomor 3, 2013.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun.

236
BAGIAN 2

HUKUM KESEHATAN

237
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2018
Paijo Sastrodikompo, Tukiman Sastromiharjo, Indah Sekali Banget
Implementasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pada PT Indah Skeli Banget Poll
Bergeyol.

SEMINAR NASIONAL
MAGISTER HUKUM UNS 2020

238
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

KETERCAPAIAN ASAS KEADILAN SOSIAL PADA MEKANISME


SINGLE POOL JAMINAN KESEHATAN NASIONAL, DALAM
PERSPEKTIF TEORI KEADILAN JOHN RAWLS
Mahfuzhi Elharis*; Mulyanto**

ABSTRAK
Salah satu Pilar dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) yang menerapkan sistem pembayaran Single Payer dengan mekanisme Single
Pool,. Mekanisme Single Pool kemudian menimbulkan isu ketidakadilan yang bertentangan
dengan asas keadilan sosial SJSN, karena yang terjadi adalah kelompok tidak mampu yang
menyubsidi atau membantu kelompok yang mampu. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).Hasil penelitian menunjukan
bahwa mekanisme Single Pool tidak memenuhi salah satu dari dua prinnsip keadilan dalam teori
keadilan John Rawls. Oleh sebab itu asas keadilan sosial dalam Jaminan Kesehatan Nasional
belum tercapai sampai saat ini.
Kata Kunci: Jaminan Kesehatan Nasional, Keadilan Sosial, Single Pool

A. Pendahuluan
Sejak reformasi ketatanegaraan tahun 1998 paradigma hubungan antara penyelenggara
Negara dan warga negara mengalami perubahan mendasar. Pada masa orde baru hubungaan
penyelenggara negara dan warga negara berorientasi kepada Negara (state oriented).
Kemudian sejak reformasi hubungan tersebut berubah menjadi orientasi kepada rakyat
yang berdaulat (people oriented). Rakyat tidak dipandang sebagai obyek melainkan sebagai
subyek yang diberi wewenang untuk turut menentukan kebijakan publik yang menyangkut
kepentingan mereka. Negara tidak lagi menguasai penyelenggaraan segala urusan pelayanan
publik, tetapi mengatur dan mengarahkannya. Perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat tersebut direspon oleh hukum. Untuk menyikapi dinamika dalam masyarakat
dan untu menangkap semangat jaman yang berubah, menyerap aspirasi dari setiap lapisan
sosial, dan cita-cita hukum masyarakat, pemerintah menyusun dan mengundangkan
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional(UU SJSN)tahun 2004. Penyelenggaraan
program jaminan sosial diubah secara mendasar untuk memberi kepastian perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.1
Pembentukan UU SJSN merupakan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
Pasal 28H, ayat (3) Amandemen Kedua yang menyatakan bahwa “Setiap Orang berhak
atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana

* Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jorong Subarang Ombak, Muaro,
Sijunjung, Sumatera Barat, Indonesia, drg. (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami no.36 A- Jebres, Surakarta, Jawa Tengah,
Indonesia, Dr. (Universitas Gadjah Mada), S.H. (Universitas Sebelas Maret), M.H. (Universitas Gadjah Mada)
1 Asih Eka Putri, Paham SJSN (Sitem Jaminan Sosial Nasional), Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung, 2014, hlm. 14.

239
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

manusia yang bermartabat”.2 Pasal ini menjadi dasar pemikiran bahwa penyelenggaraan
SJSN berlandaskan kepada hak asasi manusia dan hak konstitusional setiap orang.
Kemudian, penyelenggaran SJSN juga sebagai bentuk wujud tanggung jawab negara
dalam pembangunan jaminan sosial dan kesehatan sebagimana termaktub dalam Pasal 34
(Amandemen Keempat) UUD 1945 menyatakan:3
1. Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. ****)
2. Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.****)
3. Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak. ****)
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang.****)
SJSN diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.4 Tujuan SJSN adalah memberikan jaminan terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan anggota keluarganya.5 Hal ini
demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jaminan Kesehatan Nasioal (JKN) merupakan salah satu pilar utama SJSN. Konsep JKN
untuk pertama kalinya dicetuskan pada tahun 1911 di Inggris, dengan dasar mekanisme
asuransi kesehatan sosial dimana pertama kali diselenggarakan oleh Jerman pada tahun
1883.6 JKN juga merupakan program untuk mencapai Universal Health Coverage (UHC)
yang banyak di gaungkan oleh negara-negara terutama di Eropa. UHC adalah sebuah
sistem kesehatan yang menjamin setiap orang dalam suatu negara untuk mendapatkan
akses pelayanan kesehatan yang adil dan merata serta bermutu dengan harga terjangkau.7
Prinsip dasar dan niilai pokok yang menjadi landasan utama dalam pembangunan jaminan
kesehatan nasional adalah menjamin setiap warga negara mendapatkan hak yang sama
dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu, tanpa memandang agama,
ras, suku, golongan, daerah dan status sosial ekonomi.8 Prinsip ini adalah bentuk penerapan
asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana termaktub pada pasal 2 UU
SJSN.9 Jaminan kesehatan Nasional menganut prinsip gotong-royong, di mana masyarakat
yang mampu menyubsidi masyarakat yang kurang mampu.10
Pelaksana Program Jaminan Kesehatan Nasional selanjutnya dilimpahkan kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.11 Penunjukan BPJS Kesehatan sebagai
pelaksana tunggal JKN secara tidak langsung merubah kebijakan pooling kepesertaan pada
JKN yang dahulunya multiple pool menjadi single pool. Pooling adalah sebuah mekanisme

2 Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan
Keempatbelas, 2015, hlm. 107.
3 Ibid, hlm. 168,
4 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
5 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
6 Schramm B, Social Health Insurance-System of Solidarity, Germany: GTZ Eschborn, 2004,
7 Tashiro., Kosaka R, “Universal Health Coverage: Healthcare System for universal Health Coverage Under
Partnerships”, Springer Nature Switzerland AG, 2019, hal. 1-2.
8 Hasbullah Thabrany, Jaminan Kesehatan Nasional, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2014.
9 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
10 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
11 Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

240
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

mengelola dana yang terkumpul secara efisien dan adil. Mekanisme single pool sebagai
wadah penampung dana iuran peserta menimbulkan beberapa polemik yang bersinggungan
dengan asas keadilan sosial dan prinsip gotong royong. Data Dashboard Sistem Kesehatan
menunjukan bahwa penggunaan layanan kesehatan olehpeserta Penerima Bantuan
Hibah(PBI) APBN masih rendah sehingga iuran kelompok PBI yang di bayarkan oleh
APBN tidak habis terpakai atau selalu mengalami surplus dari tahun ke tahun. Penggunaan
layanan kesehatan era JKN didominasi oleh segmen peserta (PPU), (PBPU), dan BP yang
merupakan kelompok masyarakat mampu.
Akibatnya yang terjadi adalah prinsip gotong royong terbalik, di mana masyarakat yang
kurang mampu menyubsidi masyarakat yang mampu. Kemudian ratio utilisasi hanya merata
di regional 1 yang umumnya merupakan provinsi di pulau Jawa dan tidak merata di luar
pulau Jawa. Klaim rujukan di regional 1 bahkan melebihi iuran yang diberikan oleh peserta,
sedangkkan di luar regional 1 ratio klaim sangat rendah terutama di daerah-daerah terpencil
yang fasilitas kesehatanya masih minim dan sulit dijangkau. Salah satu faktor penyebabnya
adalah distribusi SDM kesehatan dan fasilitas kesehatan yang tidak merata di seluruh
wilayah Indonesia. Dengan kata lain, masyarakat di luar pulau Jawa menyubsidi anggaran
kesehatan masyarakat di pulau Jawa. Berlandaskan dari permasalahan di atas, penulis ingin
mengetahui bagaimanakah ketercapaian asas keadilan sosial pada mekanisme single pool
sistem jaminan kesehatan nasional dilihat dari perspektif teori keadilan John Rawls?

B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif guna menjawab isu
hukum, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach).12 Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data sekunder yang diperoleh dari hasil studi literatur (bahan pustaka) dengan
sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder guna mengkaji isu hukum berupa
ketercapaian asas keadilan sosial dalam mekanisme single pool sistem jaminan kesehatan
nasional.13 Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dan disajikan secara
deskriptif.

C. Pembahasan
1. Isu Ketidakadilan Mekanisme Single Pool JKN.
Pasal 2 UU SJSN menyatakan bahwa SJSN diselenggarakan berdasarkan asas
kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.14
Dalam UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025 (RPJPN 2005- 2025) secara eksplisit memuat arah Pembangunan
Sistem Jaminan Sosial Nasional. Ringkasan arah pembangunan jangka panjang jaminan
sosial salah satunya adalah: Dalam rangka mewujudkan pemerataan pembangunan dan
berkeadilan, pembangunan nasional selama 20 tahun diarahkan salah satunya pada
tersedianya akses yang sama bagi masyarakat terhadap pelayanan sosial.15

12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005, hal. 96.
13 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 2005, hal 153.
14 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
15 Asih Eka Putri, Paham SJSN (Sitem Jaminan Sosial Nasional), Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung, 2014, hlm. 27.

241
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

Salah satu prinsip dasar dalam Jaminan Kesehatan adalah setiap orang memiliki
kesempatan dan hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu
tanpa memandang latar belakang, agama, ras, suku dan status sosial. Prinsip ini tidak lain
untuk menegakan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai cerminan
dari dasar negara Pancasila terutama sila kelima.16 BPJS Kesehatan kemudian di tunjuk
sebagai pelaksana tunggal Jaminan Kesehatan Nasional. BPJS kesehatan menerapkan
sistem dana amanat dalam bentuk himpunan iuran dari seluruh peserta yang kemudian
di kelola oleh BPJS.17 Besaran iuran kemudian dibagi berdasarkan kelompok peserta
diantaranya: Kelompok PBI APBN, PBI APBD, PBPU, PPU dan BP.
PBI atau Penerima Bantuan Iuran adalah kelompok masyarakat yang di kategorikan
sebagai fakir miskin dan orang tidak mampu.18 Kelompok ini mendapatkan subsidi dari
APBN dan APBD untuk membayarkan iuran kepesertaan di BPJS Kesehatan. Hal ini
sebagai bentuk implementasi asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan
prinsip gotong royong yang termaktub dalam UU SJSN. Kelompok PPU atau Pekerja
Penerima Upah didefenisikan sebagai setiap orang yang bekerja pada pemberi kerja
dengan menerima gaji atau upah.19 Kemudian kelompok PBPU atau Pekerja Bukan
Penerima Upah, didefinisikan sebagai setiap orang yang bekerja atau berusaha atas
resiko sendiri.20 Kelompok BP atau Bukan Pekerja, di definisikan sebagai setiap orang
yang bukan termasuk kelompok PPU, PBPU, PBI APBN maupun PBI APBD.21 Secara
garis besar Peserta Jaminan Kesehatan dibagi menjadi PBI (Peserta tidak mampu) dan
bukan PBI Jaminan Kesehatan (peserta mampu).22
Di dunia terdapat beberapa model sistem pembayaran jaminan kesehatan. Pertama
berbasis National health Insurance atau pembayaran tunggal (single payer), kedua
adalah sistem pembayaran ganda (two-tier dual health care system), dan sistem ketiga
adalah mandat asuransi.23 Model pembayaran dalam UU SJSN dan UU BPJS mengarah
ke sistem single payer. Model ini mensyaratkan beberapa point agar stabilitas dana
dapat berjalan stabil seperti kemampuan fiskal negara, kemudian presentasi kelompok
masyarakat mampu dengan status kesehatan yang baik yang lebih besar. Untuk
memastikan perlindungan keuangan dan mengurangi kesenjangan, sistem kesehatan
harus mampu memaksimalkan tiga fungsi pembiayaan kesehatan. Fungsi pembiayaan
kesehatan diantaranya adalah, pertama revenue collection adalah mekanisme sebuah
sistem kesehatan untuk mengumpulkan uang dari institusi, rumah tngga, asuransi
kesehatan dan/atau langsung dari masyarakat itu sendiri, yang pengumpulanya
dilakukan secara adil dan efisien. Di Indonesia bentuk ini kita kenal dengan iuran atau
premi. Fungsi pembiayaan kedua adalah Pooling risk merupakan bentuk kontribusi agar
biaya perawatan dapat di tanggung bersama, sehingga resiko merugikan satu individu
dapat di minimalisir.Definisi lain, pooling adalah kontribusi untuk menanggung

16 Hasbullah Thabrany, Jaminan Kesehatan Nasional, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2014


17 Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
18 Pasal 1 Ayat (5) Peraturan Presidden Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
19 Pasal 1 Ayat (7) Peraturan Presidden Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
20 Pasal 1 Ayat (8) Peraturan Presidden Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
21 Pasal 1 Ayat (9) Peraturan Presidden Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
22 Pasal 2 Peraturan Presidden Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
23 World Health Organization, Achieving Universal Health Coverage: Developing the Health Financing System,
Technical Brief for Policy-makers, number 1, 2005, hal. 1-9.

242
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

biaya perawatan bersama atas bentuk solidaritas di dalam masyarakat. Fungsi ketiga
Purchasing, fungsi ini merupakan mekanisme pembayaran kepada institusi atau pihak-
pihak penyelenggara pelayanan kesehatan.24
Fungsi Pooling risk sebagai mekanisme agar semua dana yang terkumpul (pool) dapat
digunakan untuk membiayai siapa saja yang sakit. Pooling Risk juga dapat diartikan
sebagai, mereka yang sehat membantu mereka yang sakit, mereka yang kaya membantu
mereka yang miskin, mereka yang memiliki resiko rendah membantu mereka yang
memiliki resiko tinggi, kalau di dalam UU SJSN di sebut sebagai prinsip gotong
royong, tujuan utamanya agar prinsip equity atau keadilan dapat tercapai. Sistem Pool
ini dapat di fragmentasi menjadi Single Pooling dan Multiple pooling Pertama adalah
Single pooling, dalam model ini semua dana iuran dicampur menjadi satu, dan dapat
digunakan oleh kelompok manapun, model ini lebih praktis sehingga banyak digunakan
oleh sistem kesehatan di berbagai negara, termasuk oleh
BPJS Kesehatan. Model kedua adala Multiple pooling, model ini membagi
peengelolaan dana iuran berdasarkan kelompok peserta, sehingga kelompok satu tidak
dapat menggunakan dana kelompok lain, model ini jarang digunakan karena sistem
administrasinya yang lebih kompleks dan membutuhkan anggaran dana operasional
yang lebih besar (Lihat Gambar 1).25
Pelaksanaan Sistem Single Pool di Indonesia menimbulkan beberapa dampak yang
kemudian bersinggungan dengan isu ketidakadilan. Pertama, surplus atau dana tidak
terpakai selalu terjadi dalam segmen PBI APBN (masyarakat miskin dan tidak mampu),
jumlah dana tidak terpakai pada kelompok PBI APBN daam kurun waktu 2014-2019
smencapai 41 triliun. Sementara itu, segmen PBPU (masyarakat mampu) mengalami
defisit sebanyak Rp93 triliunsejak 2014-2019. Kebijakan menutup defisit PBPU dari
dana surplus PBI APBN merupakan diskresi yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan
dengan dasar kebijakan Single pooling yang tentu merugikan kelompok PBI APBN
(Lihat Gambar 2). Dana PBI APBN yang tidak terpakai seharusnya digunakan untuk
menjalankan kebijakan kompensasi untuk memperbaiki akses pelayanan kesehatan
bagi masyarakat miskin dan tidak mampu di daerah tertinggal.26 Khususnya NTT,
Papua dan Papua Barat, serta beberapa daerah lain terutama di regional 5. Tim peneliti
PKMK FKKMK UGM, berpendapat akan ada beberapa akibat jika hal ini masih tetap
diaksanakan. Dana PBI APBN yang naik tinggi sejak disahkanya Perpres No. 75 Tahun
2019 akan semakin digunakan oleh PBPU yang tetap defisit, sehingga BPJS tidak akan
mempunyai dana untuk di alokasikan pada kebijakan kompensasi, kemudian mutu
pelayanan kesehatan akan semakin sulit dijamin dan penambahan dana akan menjadi
tanggung jawab APBN yang mulai melemah.27 Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan
bahwa masyarakat miskin yang akhirnya mensubsidi masyarakat mampu, tentu hal ini
tidak sesuai dengan prinsip gotong royong dimana semangat awalnya adalah masyarakat
mampu membantu masyarakat yang kurang mampu.

24 World Health Organization (WHO), Health System Financing: The Path to Universal Coverage. The World
Helath Report, Geneva: World Health Organization, 2010,
25 Inke Mathauer et al, Pooling Arragement in Health Financing System: a Proposed Classification, International
Journal for Equity in Health, Volume 18, No. 198, 2019, hal. 1-5.
26 Pasal 23 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
27 Hakam, “Peneliti UGM Imbau Kebijakan BPJS yang Lebih Adil”, https://ugm.ac.id/id/berita/19147-peneliti-
ugm-imbau-kebijakan- bpjs-yang-lebih-adil, diunduh 20 Juli 2020

243
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

A B
Gambar 1. A. Ilustrasi Penggunaan iuran dengan sistem Single pool, B. Ilustrasi Penggunaan iuran dengan
Sistem Multiple pool
Sumber:https://kebijakankesehatanindonesia.net/images/2019/policy_brief_Wujudkan_Keadilan_Sosial_
dalam_ JKN, diakses 20 Juli 2020

Gambar 2. Defisit dana JKN Berdasarkan Segmentasi Kepesertaan JKN


Sumber: https://www.ksi-indonesia.org/old/document/material , berdasarkan materi presentasi Prof. dr.
Laksono Triantoro, M.Sc., Ph.D., diakses 20 Juli 2020

Kedua, fasilitas kesehatan termasuk rumah sakit yang tidak merata di seluruh wilayah
Indonesia menimbulkan permasalahan (Lihat Gambar 4). Penggunaan layanan kesehatan
merupakan salah satu indikator untuk melihat disparitas antar wilayah. Sebagai contoh
di wilayah Indonesia Timur dan daerah pedesaan yang Jumlah fasilitas kesehatanya
terbatas menyebabkan masyarakat sulit untuk mengakses layanan kesehatan, kondisi
ini menjadikan masyarakat tidak memiliki banyak pilihan untuk mendapatkan fasilitas
kesehatan yang bermutu. Sehingga klaim rujukan untuk dana BPJS yang terpakai
menjadi rendah.28 Sementara di Indonesia bagian barat khususnya pulau Jawa terutama
daerah perkotaan yang memiliki banyak jenis dan tingkat fasilitas kesehatan, maka
akan terjadi pemanfaatan provider (pemberi layanan kesehatan) yang sangat tinggi.
Contoh, menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 wanita
yang tinggal di perkotaan sebanyak 88% melakukan persalinan di fasilitas pelayanan
kesehatan, dibandingkan dengan wanita di perdesaan yang hanya berkisar di angka

28 Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK), “Pemetaan Utilisasi Layanan Rujukan” https://reksoadi.shinyapps.io/utili


sasiviz/_w_84f34ecf/_w_63501ebb/_w_c1f74c69/#, diunduh 19 Juli 2020

244
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

60%.29 Hampir 96% wanita di perkotaan melakukan persalinan dibantu oleh tenaga
kesehatan yang kompeten, sedangkan wanita di pedesaan dengan kuintil kekayaan
terendah masih melakukan persalinan di dukun (19%).30
Alasan utama kenapa di pedesaan kunjungan ke fasilitas kesehatan sangat rendah seperti
dalam hal persalinan adalah karena jarak yang jauh ke fasilitas kesehatan.31 Sementara
di regional 1 dan 2 wilayah Indonesia bagian barat terutama di pulau jawa dan daerah-
daerah yang telah maju dalam fasilitas kesehatan dan aksesnya mudah, permintaan
akan pelayanan kesehatan akan tinggi, sehingga benefit package bisa menjadi tidak
terbatas, atau klaim dana kesehatan yang dipakai jauh melebihi iuran yang diberikan.
Kondisi seperti ini menjadikan dana BPJS Kesehatan banyak terpakai di daerah-daerah
maju atau kota-kota besar.32 Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya klaim rujukan
BPJS kesehatan di wilayah-wilayah luar pulau jawa terutama di bagian Indonesia
Timur adalah sulitnya akses ke Rumah Sakit Rujukan Nasional. Distribusi Rumah Sakit
Rujukan Nasional terpusat di Regional 1.33 Dampaknya adalah rujukan untuk penyakit-
penyakit kronis yang membutuhkan penanganan tingkat lanjut seperti penyakit jantung
menjadi rendah, penyakit jantung merupakan penyakit kronis dengan insidensi tertinggi
yang menyebabkan defisit BPJS Kesehatan.34
Data Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK) menunujukan bahwa klaim penyakit
kelompok kardiovaskular (penyakit jantung dan pembuluh darah) pada regional 1
mencapai 31 M rupiah sedangan di regional 5 berkisar di angka 1,8 M pada tahun 2016
(Lihat Gambar 6).35 Dengan kondisi utilisasi yang tidak merata seperti ini, akhirnya
banyak dana iuran yang tersedot di Regional 1 dan kota-kota besar. Padahal UU
SJSN Pasal 23 ayat 3 menyatakan “Dalam hal di suatu daerah belum tersedia fasilitas
kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medik sejumlah peserta,
Badan Penyelenggara jaminan Soisial wajib memberikan kompensasi.36 Kompensasi
yang dimaksud pada pasal tersebut sampai saat ini belum dilaksanakan, terbukti
disparitas fasilitas kesehatan masih terpusat di Regional 1 sedangkan diluar pulau jawa
fasilitas kesehatan terutama untuk Rumah Sakit Rujukan Nasional masih rendah dan
sulit dijangkau (Lihat gambar 5).

29 Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), 2017, hal. 154.


30 Ibid, hal. 155-156.
31 Ibid, hal, 161
32 Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK), “Data Pertumbuhan Rumah Sakit Secara Umum di Indonesia tahun
2019”https://kebijakankesehatanindonesia.net/datakesehatan/index.php/component/content/article/107-data-
fasilitas-rumah- sakit-di-indonesia, diunduh 20 Juli 2020
33 Sistem Informasi Rumah Sakit rujukan, “Peta RS Rujukan Nasional” http://manajemenrumahsakit.net/monevrs/
instrumen- monitoring-dan-evaluasi-rumah-sakit-rujukan-nasional/, diunduh 20 Juli 2020
34 Deloitte Indonesia Perspektive, “Memastikan Keberlangsungan JKN-KIS untuk Masyarakat Indonesia”, https://
www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/id/Documents/about-deloitte/id-about-dip-edition-1-chapter-1-id-
sep2019.pdf, diunduh 21 Juli 2020.
35 Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK), “Data Klaim Penyakit Tingkat Nasional tahun 2016”, https://reksoadi.
shinyapps.io/utilisasiviz/_w_84f34ecf/#, diunduh 20 Juli 2020
36 Pasal 23 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

245
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

Gambar 3. Data Klaim dana rujukan di semua provinsi di Indonesia, terlihat dana klaim di pulau jawa
sangat besar dibanding provinsi-prvinsi lain di luuar pulau jawa
Sumber: https://reksoadi.shinyapps.io/utilisasiviz/_w_84f34ecf/_w_63501ebb/_w_c1f74c69/# , diakses20
Juli 2020

246
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

Gambar 4. Data pertumbuhan Rumah Sakit Berdasarkan Regional Di Indonesia tahun 20019.
Sumber:https://kebijakankesehatanindonesia.net/datakesehatan/index.php/component/content/
article/107-data- fasilitas-rumah-sakit-di-indonesia, diakses 20 Juli 2020

Gambar 5. Data Peta Rumah Sakit Rujukan Nasional tahun 2016.


Sumber:http://manajemenrumahsakit.net/monevrs/instrumen-monitoring-dan-evaluasi-rumah-sakit-
rujukan-nasional/, diakses 20 Juli 2020

247
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

Gambar 6. Klaim Penyakit Tingkat Nasional tahun 2016. KlaimKelompok penyakit kardiovaskular di
Regional 1 sebesar 31 M rupiah sedangkan di Regional 5 hanya 1,8 M rupiah
Sumber: https://reksoadi.shinyapps.io/utilisasiviz/_w_84f34ecf/#, diakses 20 Juli 2020

Konsep keadilan sosial yang menjadi dasar pemikiran filosofis SJSN merupakan
cerminan dari sila ke-5. Keadilan sosial sendiri menurut Ir.Soeekarno adalah “suatu
masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang,
tidak ada penghinaan , tidak ada penindasan, dan tidak ada penghisapan”. Dalam
perwujudanya, penerapan keadilan dapat berupa jaminan agar berbagai hak setiap
orang tidak dilanggar termasuk oleh pemerintah. Konsep keadilan dalam pancasila
adalah sebuah pengakuan nasional dan konsensus bahwa semua manusia pada dasarnya
sama. Tidak ada perbedaan dan diskriminasi dapat dibuat atas dasar latar belakang
ras, agama, sosial, gender, dan politik. Semua diskriminasi baik dalam bentuk implisit
maupun eksplisit, pada dasarnya bertentangan dengan konsep keadilan dalam pancasila.

248
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

Keadilan dapat diwujudkan jika tidak ada pelanggaran atas hak/kebebasan seseorang.
Keadilan juga berarti memandang sama harkat dan martabat setiap orang.37
Dimensi keadilan sosial menjadi jelas dalam kehidupan sehari-hari, di mana setiap warga
masyarakat memiliki hak untuk diperlakukan secara adil dalam bidang apapun termasuk
pelayanan sosial dan kesehatan. Inti keadilan Sosial dalam sila kelima Pancasila adalah
negara hadir untuk memenuhi segala hak rakyatnya dalam kaitan hidup berdampingan
dengan sesama, keadilan sosial harus ada dalam hidup dan kehidupan sosial masyarakat
sebagai syarat mutlak dan ditanam dalam hati nurani manusia.38

2. Ketercapaian Asas Keadilan Sosial pada Mekanisme Single pool Sistem Jaminan
Sosial Nasional dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawl
Sejalan dengan pemikiran Ir. Soekarno, John Rawls menyatakan bahwa kesetaraan dalam
kebebasan dasar yang sama menjadi salah satu prinsip keadilan dalam teori keadilanya.
Rawls menyatakan dalam teori keadilanya bahwa bidang utama keadilan adalah susunan
dasar masyarakat dan institusi sosial, ekonomi, politik dan hukum. Institusi sosial ini
memiliki pengaruh fundamental dan mendasar terhadap prospek kehidupan seseorang.
Manusia terlahir dengan kedudukan sosial yang berbeda, sehingga mempunyai prospek
kehidupan yang juga berbeda. Dalam hal inilah institusi sosial berperan penting untuk
menyeimbangkan prospek sosial tersebut agar menjadi lebih baik dimasa yang akan
datang. Untuk menyeimbangkan perbedaan sosial, institusi sosial perlu menegakan
prinsip-prinsip keadilan agar tercapai sebuah keadilan sosial. Contoh anak yang terlahir
dari keluarga miskin biasanya akan mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih
kecil, contoh lain bagi kelompok masyarakat miskin mendapatkan akses pelayanan
kesehatan yang baik dari fasilitas kesehatan yang mumpuni adalah sulit, sehingga
institusi-institusi sosial ini diharapkan mampu menyusun langkah-langkah progresif
agar prinsip-prinsip keadilan dapat di tegakan. Dasar pemikiran inilah yaang menjadikan
struktur dasar masyarakat menjadi bidang utama keadilan.39
Rawls mengemukakan tiga macam kebenaran bagi prinsip keadilan yang dia bangun,
dua diantaranya pada daya penilaian moral yang sungguh dipertimbangkan, dan yang
ketiga berdasar pada apa yang Rawls sebut dengan Interpretasi Kantian. Dasar kebenaran
pertama berdasar pada tesis: “Jika sebuah prinsip mampu menerangkan penilaian dan
keputusan moral kita yang sungguh dipertimbangkan tentang apa itu adil dan tidak
adil, maka prinsip tersebut dapat diterima”. Menurut dasar kebenaran kedua : “Jika
menurut keputusan moral kita sebuah prinsip dipilih dibawah kondisi yang cocok untuk
pemilihan, maka prinsip keadilan dapat diterima”. Prinsip tersebut akan cocok dengan
pertimbangan moral kita. Kedua dasar kebenaran yang cocok dengan pertimbangan
moral kita mengacu pada apa yang disebut adil dan tidak adil serta kondisi-kondisi yang
sesuai dengan prinsip keadilan. Antara pertimbangan-pertimbangan moral tentang adil
dan tidak adil dengan kondisi bagi pemilihan prinsip terdapat penyesuaian timbal balik.
Rawls menyebutnya sebagai keseimbangan refleksi (reflective equilibrium).40

37 Yunie Herawati, Konsep Keadilan Sosial dalam Bingkai Sila Kelima Pancasila, Jurnal UPNYK, Volume 18,
Nomor 1, 2014, hal. 20- 22.
38 Ibid, hal. 25.
39 John Rawls, Theory of Justice, London: Oxford university, 1973, hal.25.
40 Damanhuri Fattah, Teori Keadilan Menurut John Rawls, Jurnal TAPIs, Volume. 9, No.2, 2013, hal. 37.

249
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

Di dalam buku “Theory of Justice ”, 1971, John Rawls mencoba untuk menganalisa
kembali permasalahan mendasar dari kajian filsafat politik dengan merekonsiliasikan
antara prinsip kebebasan dan prinsip persamaan. Rawls mengakui bahwa karyanya
tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial (social contract) yang pada awalnya
diusung oleh pelbagai pemikir kenamaan, seperti John Locke, Jean Jacques Rousseau,
dan Immanuel Kant. Namun demikian, gagasan sosial kontrak yang dibawa oleh Rawls
sedikit berbeda dengan para pendahulunya, bahkan cenderung untuk merevitalisasi
kembali teori teori kontrak klasik yang bersifat utilitarianistik dan intuisionistik. Dalam
hal ini, kaum utilitaris mengusung konsep keadilan sebagai suatu keadaan dimana
masyarakat dapat memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara sama-rata. Rawls
berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi
sosial (social institutions). Akan tetapi menurutnya keadilan bagi seluruh masyarakat
tidak dapat mengesampingkan atau menggangu rasa keadilan dari setiap orang yang
telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah. Oleh karena itu, sebagian
kalangan menilai cara pandang Rawls sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social
justice”. Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip
keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan
“posisi asali” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance).
Sebagaimana pada umumnya, setiap teori kontrak pastilah memiliki suatu hipotesis
dan tidak terkecuali pada konsep Rawls mengenai kontrak keadilan. Dirinya berusaha
untuk memosisikan adanya situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di
dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu
dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan,
kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya. Sehingga, orang-orang tersebut dapat
melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang.41
John Rawl mengenalkan dua prinsip keadilan, pertama adalah prinsip kebebasan dasar
yang sama (Equal Liberty). John Rawls merumuskan bahwa “setiap orang mempunyai
hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas yang dapat dicocokan
dengan kebebasan-kebebasan yang sejenis untuk semua orang” dalam arti sederhana
dapat dikatakan bahwa setiap orang memunyai kebebasan yang setara. Hal ini
merupakan konfirmasi bahwa manusia selalu hidup bersama yang kemudian disebut
sebagai makhluk sosial, sehingga keadilan yang diterapkan harus memperhatikan
lingkungan sosial atau dapat disebut dengan keadilan sosial. Prinsip kedua terdiri dari
dua bagian, pertama adalah kesamaan kesempatan yang adil (equal oportunity). Artinya
setelah diberikan kebebasan yang setara, maka selanjutnya setiap orang diberikan
kesempatan yang sama. Bagian kedua adalah prinsip perbedaan (equal distribution/ the
difference principle), dalam prinsip ini semua orang harus mendapatkan keuntungan
sampai masyarakat level terendah, Rawls tidak mempermasalahkan adanya perbedaan
kedudukan sosial, namun menurut Rawls keadilan baru bisa di tegakan jika masyarakat
pada level terendah mendapatkan keuntungan paling besar. Prinsip perbedaan berangkat
dari prinsip ketidaksamaan yang dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol
sepanjang menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah. Sementara itu prinsip
persamaan kesempatan tidak hanya memerlukan adanya prinsip kualitas kemampuan
semata, namun juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari kualitas tersebut.

41 Pan Mohammad Faiz, Teori Keadilan John Rawls (John Rawls’ Theory of Justice), Jurnal Konstitusi, Volume 6,
Nomor 1, 2009, hal. 135-136.

250
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

Sehingga dengan kata lain, ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan kualitas
kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat dipandang sebagai suatu nilai yang adil
berdasarkan persepktif Rawls. Selain itu, prinsip pertama memerlukan persamaan atas
hak dan kewajiban dasar, sementara pada prinsip kedua berpijak dari hadirnya kondisi
ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai nilai-nilai keadilan
dapat diperkenankan jika memberikan manfaat bagi setiap orang, khususnya terhadap
kelompok masyarakat yang kurang beruntung (the least advantage).42
Prinsip-prinsip keadilan bersifat umum jika dapat mencakup semua persoalan keadilan
sosial yang mungkin muncul. Universal dalam penerapan berarti tuntutan-tuntutannya
harus berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Dapat diuniversalkan dalam artian
harus menjadi prinsip yang univesalitas penerimaannya dapat dikembangkan seluruh
warga masyarakat. Seandainya dapat dikembangkan dan membimbing tindakan warga
masyarakat, prinsip-prinsip tersebut harus dapat diumumkan dan dimengerti setiap
orang. Kemudian karena masalah keadilan muncul dimana individu-individu yang
berlainan mengalami konflik atas keuntungan yang dihasilkan oleh kerjasama sosial,
prinsip-prinsip keadilan harus bersifat memutuskan, dalam arti menyediakan cara-
cara membereskan tuntutan-tuntutan yang paling bertentangan. Yang terakhir prinsip
keadilan harus menjadi prinsip yang menyediakan penentuan hasil bagi perselisihan
masalah keadilan.43
Untuk melaksanakan ketiga prinsip di atas agar tidak saling berbenturan, Rawls
mengenalkan skema prioritas yang disebut Lexical Order, seluruh prinsip diatas ditata
dan diurutkan sesuai prioritas. Prinsip pertama harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum
prinsip kedua dilibatkan, dan prinsip kesamaan kesempatan harus dipenuhi sebelum
prinsip perbedaan untuk mencapai keadilan sosial. Dengan kata lain, setiap orang harus
mendapatkan kebebasan yang setara terlebih dahulu, baru kemudian bisa mendapatkan
kesempatan yang sama dan terakhir keadilan akan tercipta jika masyarakat pada level
paling bawah mendapatkan keuntungan yang paling besar.44 Rawls menyatakan teori
keadilanya lebih unggul daripada teori keadilan utilitarianisme. Dalam pandangan
utilitarian, institusi sosial dikatakan adil jika hanya diandikan untuk memaksimalkan
keuntungan rata-rata perkapita, sedang menurut Rawls institusi sosial dikatakan adil jika
diabdikan untuk memaksimalkan keuntungan dan kegunaan. Kemudian jika terdapat
kemampuan untuk menikmati kebebasan tidak sama, maka akan di berikan distribusi
keadilan yang tidak sama pula. Hal ini secara sistematis kurang memberikan keuntungan
kepada individu-individu terutama pada masyarakat di level terendah.45 Teori keadilan
Raws berusaha melindungi masyarakat di level terendah, dengan alasan itu Rawls
menyatakan teori keadilanya lebih unggul, karena utilitarianisme membenarkan adanya
korban demi manfaat keseluruhan yang lebih besar, dalam prinsip-prinsip utulitarian
kelas yang kurang mempunyai akses keuntungan sungguh-sungguh berada dalam
keadaan yang buruk.

42 Ibid, hal.10.
43 Damanhuri Fattah, Teori Keadilan Menurut John Rawls, Jurnal TAPIs, Volume. 9, No.2, 2013, hal. 41.
44 Ibid, hal.45.
45 Schaefer, David Lewis, Jusice of tyrany? A Critique Of John Rawls “Theory of Justice, New York: Kenniket,
1979, hal. 30.

251
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

Dalam implementasi keadilan sosial pada SJSN dan JKN dengan kebijakan single pool
yang diterapkan oleh BPJS,prinsip equal oppoturnity dan prinsip equal distribution/ the
difference principle dalam teori keadilan Rawls tidak terpenuhi. Prinsip equal oppoturnity
menekankan agar setiap orang diberikan kesempatan yang sama, dengan kondisi fasilitas
kesehatan dan utilisasi yang tidak merata di seluruh Indonesia dan sulitnya akses untuk
pelayanan kesehatan di wilayah terpencil, mengurangi kesempatan masyarakat miskin
terutama di luar pulau untuk mengakses dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang
baik dan komprehensif. Prinsip equal distribution menekankan dalam perbedaan status
sosial, masyarakat di level paling bawah harus mendapatkan keuntungan paling besar,
dengan mekanisme single pool dana kelompok PBI APBN (kelompok tidak mampu)
dirugikan sebab kelompok PBI yang merupakan masyarakat di level paling bawah
tidak mendapatkan keuntungan terbesar karena dana surplus kelompok PBI APBN yang
seharusnya di berikan dalam bentuk kompensasi untuk membangun fasilitas kesehatan
yang layak di daerah terpencil di alokasikan untuk menutupi defisit kelompok PBPU
BPJS Kesehatan.
Menurut Lu dan Hsiao (2003), tentang sistem jaminan kesehatan di Taiwan, menyatakan
bahwa kebijakan single pool memang berhasil meningkatkan efisiensi dengan
menekan biaya operasional, namun disisi lain sistem ini hanya bisa diimplementasikan
pada negara-negara dengan tiingkat ekonomi yang kuat dan bukan di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia tentunya. Negara-negara yang berhasil melaksanakan
kebijakan single pool adalah negara-negara dengan konteks lebih banyak pekerja berada
pada sektor formal, apabila kebijakan ini tidak optimal maka akan besar kemungkinan
terjadinya defisit. Selama ini dalam agenda revisi UU SJSN dan UU BPJS perdebatan
ideologis terkait filosofi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum menjadi
agenda utama para pemangku kebijakan, sehingga terjadi kebijakan populis yang
menguntungkan sebagian pihak dan merugikan sebagian pihak yang lain.46
Untuk terwujudnya asas keadilan sosial dalam sistem jaminan kesehatan nasional, tata
kelola dan sumber pembiayaan kesehatan perlu ditata ulang terutama kebijakan pooling
yang akan diterapkan, pemilihan segmentasi kebijakan pooling ini menjadi bahan yang
perlu dikaji secara mendalam. Undang-undang SJSN dan Undang-undang BPJS yang
sentralistik perlu diharmonisasikan dengan kebijakan pemerintah yang desentralistik.
Kebijakan single pool perlu ditinjau ulang dengan menelaah kondisi antar daerah di
Indonesia. Kebijakan multiple pool dirasa efektif untuk diterapkan kenapa? Dengan
kebijakan multiple pool dana iuran tidak dicampur dan hanya dapat didistribusikan sesuai
dengan kelompok terkait. Sehingga dana APBN dapat difokuskan untuk masyarakat
miskin dan tidak mampu, kemudian BPJS Kesehatan dapat menjalankan kebijakan
kompensasi guna menyeimbangkan ketersediaan fasilitas kesehatan di daerah terpencil.
Dana APBD dari pemerintah daerah juga ikut aktif menyeimbangkan fasilitas kesehatan
dan sumber daya manusia/ tenaga kesehatan serta turut membayar defisit di daerahnya.
Kemudian BPJS Kesehatan juga perlu mengoptimalkan dana- dana filantropi (dana
kemanusiaan) dalam bidang kesehatan.
Dengan Kebijakan multiple pool segmentasi kebutuhan layanan kesehatan antara desa
dan kota juga akan lebih jelas, hal ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang

46 Lu, J.F.R. and Hsiao, W.C., Does Universal Health Insurance Make Health Care Unaffordable? Lesson From
Taiwan, Health Affairs, 22(3), 2003, hal. 77-88.

252
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

lebih sensitif terhadap pemerataan distribusi sumber daya kesehatan, kualitas pelayanan
berdasarkan geografis, alokasi pembiayaan yang lebih sesuai dengan kebutuhan daerah,
serta untuk mencapai populasi yang paling rentan. Pemerintah perlu mempertimbangkan
kembali besaran iuran untuk kelompok pekerja informal dan PBPU serta sistem
mengoptimalkan sistem untuk mengontrol pembayaran kelompok peserta tersebut.47
Beberapa kebijakan lain mungkin dapat kita pelajari dari negara-negara yang berhasil
mencapai universal health coverage dalam sistem jaminan kesehatan mereka. Utilisasi
yang tidak merata di wilayah Indonesia dan hanya terpusat di pulau Jawa sebelumnya
juga pernah dialami oleh negara Taiwan. Studi di Taiwan menunjukan disparitas geografi
muncul akibat alokasi sumber daya layanan kesehatan yang tidak merata dan hanya
terpusat di daerah Metropolitan atau kota-kota besar sementara di wilayah pedesaan
tetap tertinggal.48 Taiwan melakukan upaya khusus untuk menangani ketimpangan
melalui pemberian insentif tambahan bagi tenaga kesehatan di daerah tertinggal, serta
mempermudah akses ke layanan kesehatan bagi masyarakat di wilayah pedesaan, seperti
dengan memberikan dana transportasi bagi pasien-pasien yang berdomisili di wilayah
pegunungan dan pedesaan yang jauh dari fasilitas kesehatan.49 Kemudian China yang
dahulu memiliki angka utilisasi di wilayah pedesaan sangat rendah ditingkatkan melalui
sejumlah kebijakan penambahan investasi kesehatan khusus untuk daerah pedesaan.50
Dengan adanya perbaikan dalam tata kelola keuangan jaminan kesehatan nasional dan
diubahnya kebijakan single pool menjadi multiple pool diharapkan ketercapaian asas
keadilan sosial dapat segera terwujud.

D. Penutup
1. Kesimpulan

Dari uraian pembahasan dapat disimpulkan, bahwa dengan mekanisme Single Pool asas
keadilan sosial yang menjadi dasar pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional belum
bisa tercapai. Hal ini juga di dukung oleh Teori Keadilan John Rawls dimana dengan
mekanisme Single Pool prinsip equal oppoturnity dan prinsip equal distribution/
the difference principle dalam teori keadilan Rawls tidak terpenuhi. Oleh karena itu
perlu adanya tata ulang tata kelola keuangan dan kebijakan pooling sistem jaminan
kesehatan nasional yang saat ini single pool dirubah menjadi multiple pool . Penulis
tidak mempermasalahkan peserta PBPU yang mengambil klaim melebihi iuran yang
dibayarkan, karena kondisi kesehatan setiap orang tidak ada yang bisa memprediksi.
Kami juga tidak mempermasalahkan angka utilisasi yang terpusat di pulau Jawa, karena
memang kondisi fasilitas kesehatan di luar pulau Jawa terutama di Indonesia bagian
timur memang belum baik dan masih sulit untuk diakses.

47 Honda, A, et al, ‘Strategic Purchasing in China, Indonesia and the Philippiness, WHO Comparaative Country
Studies, 2016
48 Kreng Victor. B. And Yang. C.T., “The Equality of Resource Allocation in Health Care under the National Health
Insurance System in Taiwan”, Health Policy, Elsivier, Volume 100 (2),2011, hal 203-210.
49 Wu, Tai Yin et al, An Overview of Healthcare System in taiwan, London Journal of Primary Care, Volume (3),
2010, hal. 115-119.
50 Winnie Yip and William C. H., What Drove the Cycles of Chinese Health System Reforms, Journal Health
System & Reform, Volume 1,, Issue 1, 2015, hal 52-61.

253
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

2. Saran
a. BPJS Kesehatan perlu merubah kebijajan single pool menjadi multiple pool untuk
mencapai asas keadilan sosial sistem jaminan kesehatan nasional.
b. Kebijakan kompensasi harus di laksanakan oleh BPJS Kesehatan agar pembangunan
fasilitas kesehatan dapat merata sampai ke daerah-daerah terpencil sehingga klaim
dana BPJS dapat merata di seluruh wilayah Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Asih Eka Putri, Paham SJSN (Sitem Jaminan Sosial Nasional), Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung,
2014,
Hasbullah Thabrany, Jaminan Kesehatan Nasional, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2014. John
Rawls, Theory of Justice, London: Oxford university, 1973,
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 2005,
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005
Schaefer, David Lewis, Jusice of tyrany? A Critique Of John Rawls “Theory of Justice, New
York: Kenniket, 1979
Schramm B, Social Health Insurance-System of Solidarity, Germany: GTZ Eschborn, 2004,
Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Cetakan Keempatbelas, 2015, hlm. 107.
Tashiro., Kosaka R, “Universal Health Coverage: Healthcare System for universal Health
Coverage Under Partnerships”, Springer Nature Switzerland AG, 2019
World Health Organization (WHO), Health System Financing: The Path to Universal Coverage.
The World Helath Report, Geneva: World Health Organization, 2010,

Jurnal
Damanhuri Fattah, Teori Keadilan Menurut John Rawls, Jurnal TAPIs, Volume. 9, No.2, 2013
Honda, A, et al, ‘Strategic Purchasing in China, Indonesia and the Philippiness, WHO
Comparaative Country Studies, 2016
Inke Matheuer, Priyanka Saksena, Joe Kutzin, Pooling Arrangements in Health Financing
System: a Proposed Classification, International Journal for Equity in Health,Volume 18,
Issue 198,2019
Kreng Victor. B. And Yang. C.T., “The Equality of Resource Allocation in Health Care under
the National Health Insurance System in Taiwan”, Health Policy, Elsivier, Volume 100
(2),2011
Lu, J.F.R. and Hsiao, W.C., Does Universal Health Insurance Make Health Care Unaffordable?
Lesson From Taiwan, Health Affairs, 22(3). 2003

254
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mahfuzhi Elharis, Mulyanto Ketercapaian Asas Keadilan Sosial Pada Mekanisme
Single Pool Jaminan Kesehatan Nasional, Dalam Perspektif Teori Keadilan John Rawls

Tashiro., Kosaka R, “Universal Health Coverage: Healthcare System for universal Health
Coverage Under Partnerships”, Springer Nature Switzerland AG, 2019
Winnie Yip and William C. H., What Drove the Cycles of Chinese Health System Reforms,
Journal Health System & Reform, Volume 1,, Issue 1, 2015, hal 52-61.
Wu, Tai Yin et al, An Overview of Healthcare System in taiwan, London Journal of Primary
Care, Volume (3), 2010
Yunie Herawati, Konsep Keadilan Sosial dalam Bingkai Sila Kelima Pancasila, Jurnal UPNYK,
Volume 18, Nomor 1, 2014

Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Undang-
Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan SosialPeraturan
Presidden Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Media Online
Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK), “Data Klaim Penyakit Tingkat Nasional tahun 2016”,
https://reksoadi.shinyapps.io/utilisasiviz/_w_84f34ecf/#, diunduh 20 Juli 2020
Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK), “Data Pertumbuhan Rumah Sakit Secara Umum di
Indonesiatahun2019”https://kebijakankesehatanindonesia.net/datakesehatan/index.php/com
ponent/content/article/107-data-fasilitas-rumah-sakit-di-indonesia, diunduh 20 Juli 2020
Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK), “Pemetaan Utilisasi Layanan Rujukan” https://reksoadi.
shinyapps.io/utilisasiviz/_w_84f34ecf/_w_63501ebb/_w_c1f74c69/#, diunduh 19 Juli 2020
Deloitte Indonesia Perspektive, “Memastikan Keberlangsungan JKN-KIS untuk Masyarakat
Indonesia”, https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/id/Documents/about- deloitte/id-
about-dip-edition-1-chapter-1-id-sep2019.pdf, diunduh 21 Juli 2020.
Hakam, “Peneliti UGM Imbau Kebijakan BPJS yang Lebih Adil”, https://ugm.ac.id/id/
berita/19147-peneliti-ugm-imbau-kebijakan-bpjs-yang-lebih-adil, diunduh 20 Juli 2020
Sistem Informasi Rumah Sakit rujukan, “Peta RS Rujukan Nasional” http://manajemenrumahsakit.
net/monevrs/instrumen-monitoring-dan-evaluasi-rumah-sakit- rujukan-nasional/, diunduh 20
Juli 2020

255
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hilmia Fahma, Waluyo Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Penolakan
Jenazah Covid-19

Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku


Penolakan Jenazah Covid-19
Hilmia Fahma*, Waluyo**

ABSTRAK
Coronavirus Diseases atau Covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh coronavirus
yang menjangkit tubuh manusia dan menularkan ke tubuh manusia lain. Di beberapa daerah
masyarakat melakukan penolakan pemakaman jenazah Covid-19 di sekitar areanya, dikarenakan
masyarakat memiliki kekhawatiran dapat tertular Covid-19 melalu jenazah yang dimakamkan
di area sekitar pemukimannya. Metode: menggunakan pendekatan kasus (case approach)
dan pendekatan undang-undang (statute approach). Hasil: Penolakan jenazah covid-19 dapat
melanggar Undang-undang nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular pada pasal 5
ayat (1) huruf e, Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 178, pasal 212, pasal 213 dan pasal
214.
Kata Kunci : Corona, Covid-19, Jenazah, Penolakan Jenazah, Jerat Hukum

A. Pendahuluan
Wabah coronavirus telah menjadi tantangan global sejak diumumkan sebagai pandemi oleh
direktur jenderal organisasi kesehatan dunia (WHO) pada 30 Januari 2020. Coronavirus
disease-19 atau yang biasa disebut covid-19 pertama kali muncul di kota Wuhan, Provinsi
Hubei pada Desember 2019. Wuhan sendiri adalah sebuah kota yang menjadi salah satu
jantung industri dan transportasi di kawasan pusat China. Sejak kemunculannya pertama
kali, virus ini dengan cepat merebak dan menjangkiti negara lain. WHO mencatat sampai
pada tanggal 9 Juli 2020, sebanyak 11.874.226 orang di seluruh dunia telah terjangkit virus
ini dan sebanyak 545.481 orang meninggal di seluruh dunia1. Indonesia sendiri menjadi
salah satu negara yang terjangkit virus ini, data dari yang tersaji di web covid19.go.id
tertanggal 9 Juli 2020 sebanyak 70.736 orang positif corona virus dan sebanyak 3.417 orang
di Indonesia telah meninggal akibat virus ini2.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam penanganan coronavirus disease-19.
Berbagai regulasi telah diterbitkan oleh pemerintah dalam menanggulangi wabah ini, yaitu:
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran
serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus

* Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres,
Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, hilmiafahma@gmail.com (Universitas Sebelas Maret).
** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah,
Indonesia, waluyo.fh@staff.uns.ac.id
1 WHO, “Coronavirus Disease (Covid-19): Situation Report - 171”, https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-
reports/20200709-covid-19-sitrep-171.pdf?sfvrsn=9aba7ec7_2, diunduh 9 Juli 2020
2 Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, “Peta Sebaran”, https://covid19.go.id/peta-sebaran, diunduh 9
Juli 2020

256
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hilmia Fahma, Waluyo Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Penolakan
Jenazah Covid-19

Disease 2019 (COVID-19)3, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)4, Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional5, Peraturan Pemerintah
No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19)6, Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020
Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus  Disease 20197, Keputusan
Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun
2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-
19)8, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman
yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan9,
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Dalam
Rangka Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19)10
Berbagai regulasi dalam rangka penanganan penyebaran Covid-19 yang diterbitkan merupakan
salah satu upaya dalam mendukung keberadaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
yang menetapkan bahwa wabah penyakit sebagai salah satu bencana non-alam yang perlu
dikelola potensi ancamannya. Meskipun berbagai upaya dan regulasi telah ditetapkan untuk
melindungi masyarakat dari virus ini, namun semakin hari semakin bertambah kasus positif
covid-19 dan bertambah pula kasus meninggal yang diakibatkan covid-19. Ironisnya seiring
dengan menanjaknya tren grafik penambahan kasus positif covid-19 dan penambahan kasus
yang meninggal, di berbagai daerah terdapat kasus penolakan oleh warga terhadap jenazah
pasien covid-19 yang akan di makamkan di daerahnya. Penolakan jenazah dengan positif
virus korona tidak hanya datang dari masyarakat umum, namun juga terjadi kepada para
tenaga medis seperti di Semarang terdapat seorang jenazah perawat dengan status positif virus
korona dari RSUP Kariadi Semarang yang di tolak oleh warga saat hendak dimakamkan11,
jenazah seorang tokoh agama juga sempat ditolak dua kali untuk dimakamkan di dua daerah

3 Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran serta Pengadaan
Barang dan Jasa dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
4 Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19)
5 Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional
6 Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19)
7 Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease
2019
8 Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020
Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
9 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara
dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau
dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan
10 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Dalam Rangka Penanganan
Corona Virus Disease (Covid-19)
11 Tim Detikcom, “Kisah Pilu Penolakan Jenazah Perawat Corona di Semarang”, https://news.detik.com/berita-
jawa-tengah/d-4973112/kisah-pilu-penolakan-jenazah-perawat-corona-di-semarang, diunduh 2 Juli 2020

257
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hilmia Fahma, Waluyo Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Penolakan
Jenazah Covid-19

yang berbeda di daerah Bandung12, seorang jenazah pasien virus korona ditolak oleh warga
hingga seorang bupati Banyumas turut memimpin dalam pemindahan pemakamannya13, dan
masih banyak kasus yang terjadi di daerah lainnya. Berbagai alasan penolakan di lontarkan
oleh warga, salah satunya adalah bahwa jenazah tersebut dapat menularkan virus korona
kepada masyarakat yang tinggal dekat dengan daerah tempat jasad tersebut dimakamkan.
Kurangnya pengetahuan dan sosialisasi yang diterima oleh masyarakat mengenai virus ini
juga menjadi salah satu penyebab terjadinya penolakan. Di sisi lain masyarakat kurang
memiliki pengetahuan akan perundang-undangan yang diterbitkan oleh pemerintah untuk
mengatasi pandemi Covid-19 ini, sehingga masyarakat belum mengetahui akan langkah-
langkah penanganan pandemi Covid-19 ini dan konsekuensi hukum yang dapat diterima
apabila melanggar perundang-undangan tersebut. Hal ini yang melatar belakangi penulisan
artikel “Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Penolakan Jenazah Covid-19” sebagai
media untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai pandemi Covid-19
dan konsekuensi hukum yang dapat dihadapi.

B. Metode Penelitian
Penelitian mengenai “Pertanggungawaban Hukum Pidana Pelaku Penolakan Jenazah
Covid-19” merupakan penelitian hukum yang mengkaji akan penerapan peraturan perundang-
undangan yang diterbitkan oleh pemerintah untuk menanggulangi isu yang timbul di tengah
masyarakat, dikarenakan kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia. Khususnya
isu penularan virus Covid-19 kepada orang yang sehat dari jenazah yang terjangkit Covid-19.
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini menggunakan pendekatan kasus
(case approach) dan pendekatan undang-undang (statute approach).

C. Pembahasan
1. Kasus Penolakan Jenazah pasien dengan Positif Covid-19
Sejak pertama kali diumumkannya virus corona di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020,
grafik infeksi virus corona semakin meningkat. Seiring dengan meningkatnya grafik orang
dengan positif virus corona, semakin bertambah pula kasus kematian yang diakibatkan
covid-19. Penolakan demi penolakan atas pemakaman jenazah dengan positif covid-19
semakin bermunculan. Kasus seorang perawat RSUP Kariadi ditolak oleh ketua RT
dan warga sekitar untuk dimakamkan di TPU Sewaku, Kabupaten Semarang. Perawat
dengan nama lengkap Nuria Kurniasih meninggal pada hari Kamis, 9 April 2020 setelah
turut merawat pasien covid-19. Jenazah Nuria di tolak oleh beberapa oknum warga dan
ketua RT di Sewakul, Kabupaten Semarang karena dianggap berpotensi menularkan
virus corona. Penolakan telah terjadi sejak jenazah diberangkatkan dari RSUP Kariadi.
Keluarga Nuria hingga memohon kebesaran hati kepada warga sekitar untuk menerima
jenazah Nuria, namun para warga tetap menolaknya hingga jenazah Nuria dibawa
Kembali ke kamar jenazah RSUP Kariadi. Sesuai dengan kesepakatan antara pihak

12 Muhammad Iqbal, “Cerita Keluarga Jenazah Tokoh Agama Sempat Ditolak Warga 2 Kali di Bandung”, https://
news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5001450/cerita-keluarga-jenazah-tokoh-agama-sempat-ditolak-warga-2-
kali-di-bandung, diunduh 2 Juli 2020
13 Fadlan Mukhtar Zain, “Jenazah Ditolak Warga, Bupati Banyumas Pimpin Pemindahan Makam Pasien Positif
Covid-19”, https://regional.kompas.com/read/2020/04/01/15004441/jenazah-ditolak-warga-bupati-banyumas-
pimpin-pemindahan-makam-pasien-positif, diunduh 2 Juli 2020

258
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hilmia Fahma, Waluyo Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Penolakan
Jenazah Covid-19

rumah sakit dan Pemerintah Kota Semarang, perawat tersebut akhirnya dimakamkan di
taman pemakaman milik rumah sakit yaitu di TPU Bergota Semarang14.
Kasus penolakan lain datang dari Bandung, jenazah seorang tokoh agama juga ditolak saat
akan hendak dimakamkan. Kejadian tersebut sempat ramai diperbincangkan di berbagai
media sosial. Mobil ambulans yang membawa jenazah Sunandar, dihadang jalannya
oleh sekelompok warga di Kampung Boncel. Jenazah hendak dimakamkan di lokasi
tersebut karena permintaan beliau sebelum meninggal. Mobil jenazah akhirnya putar
arah, dan hendak memakamkan ke kampung sebelah yaitu di Kampung Randukurung.
Namun, penolakan tersebut kembali terjadi. Hingga akhirnya ada keluarga dari kakek
jenazah yang berbesar hati menawarkan agar jenazah dapat dimakamkan di makam
keluarganya yang terletak di Kampung Randukurung juga. Kasus penolakan jenazah ini
pun telah ditangani oleh Polresta Bandung15.

2. Virus Corona
Penyakit coronavirus atau yang biasa disebut sebagai Covid-19 adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh coronavirus. Menurut WHO, sebagian besar orang yang
terinfeksi virus ini akan mengalami Virus covid-19 menyebar terutama melalui droplet
ketika orang yang terinfeksi sedang batuk atau bersin16. Belum diketahui secara pasti
bagaimana patogenesis infeksi covid-19. Virus ini pada awalnya diketahui memiliki
kesamaan dengan SARS dan MERS CoV, namun hasil dari evaluasi isolasi genomic
pada 10 pasien didapatkan kesamaan hampir 99% yang menunjukkan bahwa covid-19
merupakan virus baru, dan menunjukkan kesamaan (identik 88%) dengan bat-derived
severe acute respiratory syndrome (SARS)-like coronaviruses, bat-SL-CoVZC45 dan
bat-SL-CoVZXC21, yang diambil pada tahun 2018 di Zhoushan, Cina bagian Timur,
kedekatan dengan SARS-CoV adalah 79% dan lebih jauh lagi dengan MERS-CoV
(50%)17.
Virus corona merupakan zoonosis, sehingga terdapat kemungkinan bahwa virus tersebut
berasal dari hewan dan ditularkan kepada manusia. Belum diketahui secara pasti proses
penularan dari hewan ke manusia pada covid-19, namun data filogenesis menunjukkan
bahwa covid -19 juga zoonosis18.
Diagnosis covid-19 ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis terutama jika seseorang memiliki riwayat
perjalanan atau riwayat kontak erat dengan kasus terkonfirmasi atau seseorang

14 CNN Indonesia, “VIDEO: Jasad Perawat Positif Corona Ditolak Warga di Semarang”, https://www.cnnindonesia.
com/nasional/20200410162043-24-492440/video-jasad-perawat-positif-corona-ditolak-warga-di-semarang,
diunduh 2 Juli 2020
15 Muhammad Iqbal, “Cerita Keluarga Jenazah Tokoh Agama Sempat Ditolak Warga 2 Kali di Bandung”, https://
news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5001450/cerita-keluarga-jenazah-tokoh-agama-sempat-ditolak-warga-2-
kali-di-bandung, diunduh 2 Juli 2020
16 World Health Organzation, “Coronavirus”, https://www.who.int/health-topics/coronavirus#tab=tab_1, diunduh 2
Juli 2020
17 Roujian Lu. “Genomic characterisation and epidemiology of 2019 novel coronavirus: implications for virus
origins and receptor binding”. The Lancet. Volume 395, Issue 10224, 2020, hlm. 565-574.
18 Peng Zhou. “A pneumonia outbreak associated with a new coronavirus of probable bat origin”. Nature. Volume
579, 2020, hlm. 270–273.

259
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hilmia Fahma, Waluyo Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Penolakan
Jenazah Covid-19

tersebut bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan yang merawat pasien COVID-1919,20.


Gejala klinis bervariasi bergantung derajat penyakitnya, namun yang sering ditemui
hingga saat ini adalah demam, batuk dan myalgia21. Pada pneumonia dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa foto toraks, dan dapat dilanjutkan dengan computed
tomography scan atau CT scan toraks dengan kontras. CT scan toraks dapat dilakukan
untuk melihat lebih detail kelainan, Pemeriksaan laboratorium pada pasien COVID-19
dapat dilakukan dengan tujuan membedakan infeksi virus22. Diagnosis pasti dapat
ditentukan berdasarkan hasil ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan ekstraksi RNA
virus severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Contoh uji yang
dapat digunakan adalah sampel dari swab tenggorok23. Pemeriksaan ulang diperlukan
untuk menentukan respons terapi seiring dengan perbaikan klinisnya. Bila dalam 2-4
hari hasil tes swab tenggorok negatif selama 2 kali berturut-turut maka pasien tersebut
dinyatakan sembuh24.
Menurut WHO, prinsip tatalaksana covid-19 yaitu: identifikasi segera pasien, pisahkan
pasien dengan severe acute respiratory infection, melakukan prinsip pencegahan dan
pengendalian infeksi yang sesuai, terapi suportif dan monitor pasien, pengambilan
sampel untuk uji diagnosis laboratorium, tata laksana secepatnya pada pasien dengan
gagal napas, syok sepsis, dan kondisi kritis lainnya25. Membatasi mobilisasi orang yang
berisiko sampai masa inkubasi merupakan salah satu pencegahan utama covid-19.
Pencegahan lain adalah dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat dan gerakan
masyarakat hidup sehat. Hingga saat ini belum ada vaksinasi untuk pencegahan
primer covid-19. Angka mortalitas pada covid-19 hingga saat ini mencapai 2%, tetapi
jumlah kasus berat dapat mencapai 10%. Prognosis bergantung pada seberapa derajat
penyakitnya, komorbid dan faktor usia pasien26.

3. Protokol Pemakaman Pasien Covid-19


Jenazah pasien Covid-19 memiliki risiko yang sangat rendah untuk menyebarkan virus
korona apabila jenazah tersebut ditangani sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
Pada kematian seorang manusia, terjadi penghentian kerja organ, termasuk otot pada
orang tersebut dan hal ini dapat berfungsi sebagai penahan cairan tubuh. Di dalam

19 Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI. “Pedoman
Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi Novel Coronavirus (2019-nCoV)”. https://infeksiemerging.kemkes.go.id/
download/REV-04_Pedoman_P2_COVID-19__27_Maret2020_TTD1.pdf, diakses 3 Juli 2020
20 World Health Organization. “Laboratory testing for 2019 novel coronavirus (2019-nCoV) insuspected human
cases”, https://www.who.int/publications/i/item/laboratory-testing-for-2019-novel-coronavirus-in-suspected-
human-cases-20200117, diunduh 2 Juli 2020
21 Dawei Wang. “Clinical characteristics of 138 hospitalized patients with 2019 novel coronavirus–infected
pneumonia in Wuhan, China”. Jama. Volume 323, Number 11, 2020, hlm. 1061-1069.
22 Siegel JD, “Guideline for isolation precautions: preventing transmission of infectious agents in health care
settings”. Am J Infect Control. Volume 35, 2020, hlm. 65-164.
23 World Health Organization. “Infection prevention and control during health care when novel coronavirus (Ncov)
infection is suspected”. https://www.who.int/publications/i/item/10665-331495, diunduh 3 Juli 2020
24 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, “Protokol Tatalaksana COVID-19”. https://klikpdpi.com/bukupdpi/wp-
content/uploads/2020/04/Protokol-Tatalaksana-COVID-19-5OP-FINAL-ok.pdf, diakses 4 Juli 2020
25 World Health Organization. “Clinical management of COVID-19”. https://apps.who.int/iris/rest/bitstreams/
1278777/retrieve , diunduh 3 Juli 2020
26 Diah Handayani, “Corona Virus Disease 2019”, Jurnal Respirologi Indonesia, Volume 40, Nomor 2, 2001, hlm.
120-130, https://jurnalrespirologi.org/index.php/jri/article/view/101/110.

260
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hilmia Fahma, Waluyo Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Penolakan
Jenazah Covid-19

tubuh seorang pasien covid-19 dapat mengandung virus SARS-CoV-2 yang infeksius27.
Mengikuti seluruh prosedur pengurusan jenazah sesuai dengan protokol kesehatan yang
telah ditetapkan dapat mengurangi risiko penyebaran infeksi virus korona lebih lanjut.
WHO telah menerbitkan panduan pengurusan jenazah covid-19 untuk semua orang
termasuk keluarga dan tenaga kesehatan, kamar jenazah hingga tempat pemakaman28.
Merujuk panduan yang telah dikeluarkan WHO, pemerintah pusat melalui kementerian
agama Indonesia serta majelis ulama Indonesia telah mengeluarkan panduan-panduan
resminya.
Majelis Ulama Indonesia menegaskan bahwa dalam prosedur menyalatkan dan
menguburkan jenazah pasien dengan positif coronavirus dapat dilakukan sebagaimana
biasa dengan tetap memperhatikan keselamatan diri agar tidak terpapar virus korona.
Hal ini dituangkan dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 tentang
pedoman Pengurusan Jenazah (tajhiz al-jana’iz) Muslim yang Terinfeksi COVID-1929,30.
Bina masyarakat kementerian agama juga menerbitkan surat edaran protokol
pengurusan jenazah pasien covid-19 dari berbagai agama yaitu Surat Edaran Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor P-002/DJ.III/HK.00.7/03/2020 Tahun
2020 tentang Imbauan dan Pelaksanaan Protokol Penanganan COVID-19 pada Area
Publik di Lingkungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam31 sebagaimana
yang telah diubah dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Nomor P-003/DJ.III/HK.00.7/04/2020 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Surat Edaran
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor P-002/DJ.III/HK.00.7/03/2020
Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Protokol Penanganan COVID-19 pada Area Publik
di Lingkungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam32, Imbauan Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Perihal Layanan Ibadah, Layanan Pemberkatan
Nikah, Layanan Penguburan Terkait Darurat Covid-19 Nomor B-512/DJ.IV/Dt.IV.I/
BA.01.1/3/202033, Imbauan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Nomor:
312/SE/PHDI Pusat/III/2020 tentang Pedoman Perawatan Jenazah Dan Upacara
Pitra Yajn͂a Bagi Jenazah Pasien COVID-1934, Imbauan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Buddha Nomor B-743/DJ.VII/DT.VII.I/BA.00/04/2020 Tahun 2020 Perihal
Pelaksanaan Ibadah, Pencegahan Virus Covid-19 dan Perawatan Jenazah35.

27 Nahla Shihab, Covid-19: Kupasan Ringkas yang Perlu Anda Ketahui, Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2020,
hlm. 95
28 World Health Organization. “Infection Prevention and Control for the safe management of a dead body in the
context of COVID-19”. https://apps.who.int/iris/rest/bitstreams/1272796/retrieve , diunduh 3 Juli 2020
29 LPBKI MUI Pusat, FIQH WABAH: Panduan Syariah, Fatwa Ulama, Regulasi Hukum, dan Mitigasi Spiritual,
Jakarta: Albayzin, 2020, hlm. 40
30 Fatwa No 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Jana’iz) Muslim Yang Terinfeksi
COVID-19
31 Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Imbauan dan Pelaksanaan Protokol Penangan Covid 19 pada Area Publik
32 SE Dirjen Bimas Islam No_P-003 Perubahan SE Dirjen Bimas Islam No_P-002
33 Surat Edaran Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Nomor B-512/DJ.IV/DT.IV.I/BA.01.1/3/2020
Tahun 2020
34 Surat Edaran Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Nomor: 312/SE/PHDI Pusat/III/2020 tentang Pedoman
Perawatan Jenazah Dan Upacara Pitra Yajn͂a Bagi Jenazah Pasien COVID-19
35 Surat Edaran Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Nomor B-743/DJ.VII/DT.VII.I/BA.00/04/2020
Tahun 2020

261
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hilmia Fahma, Waluyo Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Penolakan
Jenazah Covid-19

4. Sanksi Hukum Penolak Jenazah Covid-19


Ketentuan pemakaman jenazah yang di sebabkan oleh sebuah wabah, termasuk
covid-19, telah diatur dalam undang-undang. Undang-undang nomor 4 tahun 1984
tentang Wabah Penyakit Menular36 pada pasal 5 ayat (1) huruf e menyatakan dengan
jelas bahwa salah satu upaya penanggulangan wabah adalah penanganan jenazah akibat
wabah. Dalam pasal 14 UU Nomor 4 Tahun 1984 juga di tegaskan bahwa setiap upaya
yang menghalangi penanganan wabah akan dikenakan sanksi berupa sanksi pidana.
Penolakan pemakaman jenazah juga diatur lebih lanjut di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana pasal 178. Dalam buku kitab undang hukum pidana, disebutkan bahwa
siapa pun yang dengan sengaja merintangi atau menghalangi pengangkutan jenazah ke
makam yang diizinkan sehingga pemakamannya tidak dapat berlangsung dapat dipidana
penjara paling lama satu bulan dua minggu37.
Apabila terdapat tindakan perlawanan yang dilakukan terhadap petugas pemakaman
jenazah tersebut juga secara tegas telah di tuangkan di dalam pasal 212 KUHP yaitu
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat
yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-
undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena
melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”, pasal 213 dan pasal 214
yaitu “paksaan dan perlawanan tersebut dalam pasal 211 dan 212 bila dilakukan oleh
dua orang atau lebih secara bersama sama, diancam dengan pidana penjara paling lama
7 tahun”38.
Seseorang atau sekelompok orang menolak pemakaman jenazah covid-19 yang
pengurusan jenazahnya telah sesuai dengan protokol kesehatan yang telah ditetapkan
maka orang tersebut dapat diancam pidana sesuai dengan pasal-pasal yang berlaku.
Sampai dengan saat ini pun, belum ada laporan dari berbagai negara terkait penularan
virus Covid-19 melalui jenazah.
Pemerintah juga telah menghimbau para lapisan masyarakat agar tidak panik dan
melakukan aksi penolakan terhadap jenazah pasien covid-19 atau sampai membuat
kerumunan orang di jalan untuk memblokade. Justru dengan blokade massa di jalan
dapat berpotensi menjadi tempat penyebaran virus Covid-19.

D. Penutup
1. Kesimpulan
Pandemi Covid-19 menaikkan tingkat kekhawatiran di masyarakat akan potensi
menyebar dan tertularnya kepada tubuh masing-masing orang, salah satunya anggapan
bahwa virus ini dapat menular dari Jenazah Covid-19 ke sumber kehidupan masyarakat
sekitar. Sehingga di bebrapa daerah masyakarat melakukan penolakan pemakaman
Jenazah Covid-19 di lingkungan mereka. Penolakan masyarakat tersebut lebih kepada
ketidaktahuan mereka akan informasi mengenai Covid-19 beserta perundang-undangan

36 Undang-undang nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular


37 Duwi Handoko, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Riau: Hawa dan AHWA, 2018 hlm. 40
38 Ibid., hlm. 48-49

262
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hilmia Fahma, Waluyo Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Penolakan
Jenazah Covid-19

yang dikeluarkan pemerintah demi menangulangi Covid-19 di Indonesia. Para pelaku


provokator juga telah diberikan sanksi hukum atas setiap perbuatannya
2. Saran
Aparat hukum terkait yang memiliki kewenangan dalam menindak para pelaku penolak
jenazah diharapkan berani mengambil langkah tegas agar tidak terjadi lagi penolakan
terhadap jenazah covid-19 secara terus-menerus di tengah pandemi covid-19 ini dan
diperlukan upaya untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai Covid-19
berserta langkah penanggulangannya melalui sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah
atau institusi pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Nahla Shihab, Covid-19: Kupasan Ringkas yang Perlu Anda Ketahui, Tangerang Selatan:
Lentera Hati, 2020, hlm. 95
LPBKI MUI Pusat, FIQH WABAH: Panduan Syariah, Fatwa Ulama, Regulasi Hukum, dan
Mitigasi Spiritual, Jakarta: Albayzin, 2020, hlm. 40
Duwi Handoko, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Riau: Hawa dan AHWA, 2018 hlm. 40

Jurnal
Lu, Roujian, (et al). “Genomic Characterisation And Epidemiology Of 2019 Novel Coronavirus:
Implications For Virus Origins And Receptor Binding”. The Lancet. Volume 395, Issue
10224, 2020, hlm. 565-574.
Zhou, Peng, (et al). “A pneumonia outbreak associated with a new coronavirus of probable bat
origin”. Nature. Volume 579, 2020, hlm. 270–273.
Wang, Dawei, (et al). “Clinical characteristics of 138 hospitalized patients with 2019 novel
coronavirus–infected pneumonia in Wuhan, China”. Jama. Volume 323, Number 11,
2020, hlm. 1061-1069.
Siegel JD, “Guideline for isolation precautions: preventing transmission of infectious agents in
health care settings”. Am J Infect Control. Volume 35, 2020, hlm. 65-164.
Diah Handayani, (et al), “Corona Virus Disease 2019”, Jurnal Respirologi Indonesia, Volume
40, Nomor 2, 2001, hlm. 120-130.

Peraturan Perundang-Undangan
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran
serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19)

263
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hilmia Fahma, Waluyo Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Penolakan
Jenazah Covid-19

Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional
Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam
rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19)
Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona
Virus Disease 2019
Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Dalam Rangka
Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19)
Fatwa No 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Jana’iz) Muslim
Yang Terinfeksi COVID-19
Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Imbauan dan Pelaksanaan Protokol Penangan Covid 19 pada
Area Publik
SE Dirjen Bimas Islam No_P-003 Perubahan SE Dirjen Bimas Islam No_P-002
Surat Edaran Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Nomor B-512/DJ.IV/DT.IV.I/
BA.01.1/3/2020 Tahun 2020
Surat Edaran Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Nomor: 312/SE/PHDI Pusat/III/2020
tentang Pedoman Perawatan Jenazah Dan Upacara Pitra Yajn͂a Bagi Jenazah Pasien
COVID-19
Surat Edaran Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Nomor B-743/DJ.VII/DT.VII.I/
BA.00/04/2020 Tahun 2020
Undang-undang nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular

Data Elektronik
CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200410162043-24-492440/video-
jasad-perawat-positif-corona-ditolak-warga-di-semarang.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI.
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi Novel Coronavirus (2019-nCoV). Diakses
Juli 3, 2020. https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/REV-04_Pedoman_P2_
COVID-19__27_Maret2020_TTD1.pdf.

264
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Hilmia Fahma, Waluyo Pertanggungjawaban Hukum Pidana Pelaku Penolakan
Jenazah Covid-19

Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Peta Sebaran. Diakses Juli 9, 2020. https://
covid19.go.id/peta-sebaran.
Iqbal, Muhammad. Cerita Keluarga Jenazah Tokoh Agama Sempat Ditolak Warga 2 Kali di
Bandung. Diakses Juli 2, 2020. https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5001450/
cerita-keluarga-jenazah-tokoh-agama-sempat-ditolak-warga-2-kali-di-bandung.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Protokol Tatalaksana COVID-19. Diakses Juli 4, 2020.
https://klikpdpi.com/bukupdpi/wp-content/uploads/2020/04/Protokol-Tatalaksana-
COVID-19-5OP-FINAL-ok.pdf.
Tim Detikcom. Kisah Pilu Penolakan Jenazah Perawat Corona di Semarang. Diakses Juli
2, 2020. https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4973112/kisah-pilu-penolakan-
jenazah-perawat-corona-di-semarang.
World Health Organization. Coronavirus disease (COVID-19): Situation Report – 171.
Diakses Juli 9, 2020. https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-
reports/20200709-covid-19-sitrep-171.pdf?sfvrsn=9aba7ec7_2,.
World Health Organization. Coronavirus. Diakses Juli 2, 2020. https://www.who.int/health-
topics/coronavirus#tab=tab_1.
World Health Organization. Laboratory testing for 2019 novel coronavirus (2019-nCoV) in
suspected human cases. Diakses Juli 3, 2020. https://www.who.int/publications/i/item/
laboratory-testing-for-2019-novel-coronavirus-in-suspected-human-cases-20200117.
World Health Organization. Infection prevention and control during health care when novel
coronavirus (Ncov) infection is suspected. Diakses Juli 3, 2020. https://www.who.int/
publications/i/item/10665-331495.
World Health Organization. Clinical management of COVID-19. Diakses Juli 3, 2020. https://
apps.who.int/iris/rest/bitstreams/1278777/retrieve.
World Health Organization. Infection Prevention and Control for the safe management of a
dead body in the context of COVID-19. Diakses Juli 3, 2020. https://apps.who.int/iris/rest/
bitstreams/1272796/retrieve.
Zain, Fadlan Mukhtar. t.thn. Jenazah Ditolak Warga, Bupati Banyumas Pimpin Pemindahan
Makam Pasien Positif Covid-19. Diakses Juli 2, 2020. https://regional.kompas.
com/read/2020/04/01/15004441/jenazah-ditolak-warga-bupati-banyumas-pimpin-
pemindahan-makam-pasien-positif.

265
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Eko Sumardiyono, Arief Suryono Bagaimana Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan
Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan Ekonomi Menuju Era New Normal

BAGAIMANA PERAN POLITIK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN


KESEHATAN SEBAGAI UPAYA MENGGERAKKAN EKONOMI
MENUJU ERA NEW NORMAL
Eko Sumardiyono*, Arief Suryono**

ABSTRAK
COVID-19 menjadi realitas penyakit yang mengubah struktur sosial masyarakat. Perilaku
sosial berubah, begitu pun kohesi sosial. Cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan
(mores), dan adat istiadat (custom) turut beradaptasi. Secara sosiologis setidaknya pandemi
Covid-19 terkonstruksi empat persepsi di masyarakat. Tujuan bagaimana peran Politik Hukum
dalam Pembangunan Hukum Kesehatan dan Hukum Ekonomi menuju Era New Normal
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa hukum kesehatan menuju new
normal merupakan hukum yang berbasis pada kesehatan untuk memenuhi peraturan atau tatanan
di era new normal. Tatanan hidup baru adalah tatanan menjaga kesadaran dan kedisiplinan
kuat untuk bisa memperoleh kesehatan dan peningkatan ekonomi lebih baik dan berkualitas.
Sekalipun aktivitas ekonomi seperti mall serta pusat keramaian dan bisnis sudah mulai dibuka,
pemaknaannya tidaklah sama dengan aktivitas berkerumun yang tidak tertib dan melanggar
kebijakan atau protokol kesehatan. Pemerintah harus menerapkan hukum kesehatan dan hukum
ekonomi agar kehidupan di era new normal menjadi lebih baik.
Kata Kunci : Politik Hukum, Pembangunan Kesehatan dan Ekonomi, Era New Normal

A. Latar Belakang
COVID-19 menjadi realitas penyakit yang mengubah struktur sosial masyarakat. Perilaku
sosial berubah, begitu pun kohesi sosial. Cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan
(mores), dan adat istiadat (custom) turut beradaptasi. Secara sosiologis setidaknya pandemi
Covid-19 terkonstruksi empat persepsi di masyarakat.1
Pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) memberikan guncangan dalam segala aspek
kehidupan manusia, tidak hanya bidang kesehatan tetapi juga ekonomi, sosial, budaya,
dan politik. Perubahan yang terjadi pada segala aspek kehidupan membawa kita pada era
baru yang dikenal dengan Kehidupan baru New Normal, bahwasannya memasuki kondisi
untuk berdamai dengan Pandemi virus corona.Tuntutan ekonomi menjadi latar belakang
diberlakukannya Era New Normal. Demikian masyarakat tetap dapat melakukan beraktivitas
secara normal, namun tetap mengindahkan protokol kesehatan yang telah dibuat oleh
Pemerintah.2

* Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Indonesia, d10ng@yahoo.
com
** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia, ariefsuryono@staffuns.ac.id
1 Kompasiana (2020), Hukum Menuju New Normal. Diakses tanggal 12 Juli 2020
2 Ratunugraheni. 2020. Kebijakan Menuju New Normal

266
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Eko Sumardiyono, Arief Suryono Bagaimana Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan
Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan Ekonomi Menuju Era New Normal

Pandemi Covid-19 menyusahkan kehidupan masyarakat, dua cara berpikir menimbulkan


dilema dalam memilih. Satu sisi menghendaki kesehatan menjadi fokus utama. Sisi yang
lain menghendaki ekonomi yang diutamakan. Apapun yang dipilih dipastikan tidak
memberi solusi tepat karena ekonomi dan kesehatan seharusnya berjalan bersamaan dan
saling bersinergi. Ekonomi merupakan komponen utama sistem kesehatan, dan sebaliknya,
kesehatan memegang peran penting dalam pertumbuhan ekonomi. 3.
Dalam rangka melaksanakan New Normal Life,  Pemerintah telah mengeluarkan Keputusan
Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan
dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung
Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi. Panduan ini dilakukan karena roda
perekonomian harus tetap berjalan sehingga perlu dilakukan upaya mitigasi dan kesiapan
tempat kerja seoptimal mungkin. 4
Edukasi kepada masyarakat sehingga masih dijumpai banyaknya masyarakat yang belum
siap memenuhi standar protokol pencegahan Covid-19. Pemerintah dalam hal ini harus
secara terus menerus melakukan edukasi kepada masyarakat dan melakukan tindakan secara
tegas kepada masyarakat yang tidak tertib, karena akan berdampak pada kerugian bagi orang
lain, masyarakat dan Negara. Masyarakat tidak menyadari bahwa kondisi “bandel” tersebut
semakin memperberat tugas para tenaga kesehatan dalam menangani pasien Covid-19.4 
Pemerintah mulai menerapkan new normal yang dimana masyarakat akan dapat beraktifitas
seperti biasa dengan syarat-syarat tertentu dan tetap menerapkan protocol tertentu untuk
mencegah penyebaran COVID-19. Sebelum menerapkan new normal pemerintah sudah
terlebih dahulu menerapkan peraturan seperti social distancing yang kemudian diganti
dengan istilah physical distancing, pemerintah juga sudah memberlakukan lockdown  serta
kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah sebagai upaya pemutusan rantai
COVID-19.5
Tenaga kesehatan adalah garda terdepan yang setiap hari merawat pasien Covid-19 dengan
resiko sangat tinggi terhadap penularan virus tersebut. Perlindungan hukum bagi para tenaga
kesehatan sering terabaikan, seolah masyarakat apatis dan beropini bahwa itu sudah sebagai
tugas dan tanggungjawab sebagai tenaga medis.  Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular mengatur bahwa Wabah penyakit menular
yang selanjutnya disebut wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular
dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada
keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
Penularan Covid-19 ini sudah berkategori wabah mengingat penularan sangat cepat dan
dengan jumlah penderita semakin meningkat pada waktu dan daerah tertentu. 
Upaya penanggulangan terhadap wabah menular dilakukan dengan mengikutsertakan
masyarakat secara aktif sudah diatur dalam Pasal 5 UU Wabah Penyakit Menular diantaranya
dengan a). Penyelidikan epidemiologis, b). Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi
penderita, termasuk tindakan karantina, c). Pencegahan dan pengebalan, d). Pemusnahan

3 Ilyas, (2020) Tatanan Hukum Menuju New Normal Life https://investor.id/opinion/tatanan-hukum-menuju-new-


normal-life
4 Rusmala (2020) Covid-19: Urgensi Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kesehatan, http://new.widyamataram.
ac.id/content/news/covid-19-urgensi-perlindungan-hukum-bagi-tenaga-kesehatan#.XyDiNJ4zbDc
5 Fadilla (2020), Apa Itu New Normal dan Bagaimana Penerapannya Saat Pandemi Corona?

267
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Eko Sumardiyono, Arief Suryono Bagaimana Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan
Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan Ekonomi Menuju Era New Normal

penyebab penyakit, e). Penanganan jenazah akibat wabah, f). Penyuluhan kepada masyarakat,
dan g). Upaya penanggulangan lainnya. 
Upaya preventif yang dilakukan agar masyarakat dapat menghindari daerah tidak aman
yaitu dengan melakukan pemetaan. Selain itu pemerintah agar tetap memberikan pelayanan
publik terkait dengan kesehatan, ekonomi, dan lainnya untuk masyarakat (Ratunugraheni,
2020). Lebih lanjut Mahfud (2020) mengatakan ada tiga indikator dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, yaitu kesehatan yang baik, ekonomi yang baik, serta pendidikan
yang baik.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis ingin mengupas tentang “Peran Politik Hukum
dalam Pembangunan Hukum Kesehatan dan Hukum Ekonomi menuju Era New Normal)”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan diatas maka rumusan masalah makalah ini adalah : Bagaimanakah
Peran Politik Hukum dalam Pembangunan Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan
Ekonomi menuju Era New Normal?

C. Tinjauan Pustaka
1. Politik Hukum
Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari
istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata recht dan
politiek. Istilah ini seyogyanya tidak dirancukan dengan istilah yang muncul belakang,
politiekrecht atau hukum politik, yang dikemukakan Hence van Maarseveen karena
keduanya memiliki konotasi yang berbeda. Istilah yang disebutkan terakhir berkaitan
dengan istilah lain ditawarkan Hence van Maarseveen untuk mengganti istilah Hukum
Tata Negara. Untuk kepentingan itu dia menulis sebuah karangan yang berjudul
“Politiekrecht, als Opvolger van het Staatrecht”.6
Menurut Padmo Wahjono, Pengertian politik hukum adalah kebijakan penyelenggara
negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi daripada
hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan
sesuatu. Dengan demikian, Pengertian Politik Hukum menurut Padmo Wahjono
berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa yang akan datang (ius constituendum).7
Pengertian politik hukum menurut Teuku Mohammad Radhie ialah sebagai suatu
pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya
dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.8
Hubungan antara hukum dan politik tergantung pada persepsi tentang apa yang kita
maksudkan sebagai hukum dan apa yang kita maksudkan dengan politik. Jika kita
berpandangan non-dogmatik dan memandang hukum bukan sekedar peraturan yang
dibuat oleh kekuasaan politik maka tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan

6 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, "Dasar-Dasar Politik Hukum", (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2015), hal.
19
7 Padmo Wahjono, "Indonesia Berdasarkan Atas Hukum", (Jakarta: Gahlia Indonesia, 1986), hal. 160
8 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, "Dasar-Dasar Politik Hukum", (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2015), hal.
29

268
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Eko Sumardiyono, Arief Suryono Bagaimana Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan
Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan Ekonomi Menuju Era New Normal

kekuasaan hukum dan kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita
menganut pandangan positif yang memandang hukum semata-mata hanya produk
kekuasaan politik maka rasa tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara
kekuasaan hukum dan kekuasaan politik karena pada akhirnya mereka mengidentikkan
antara hukum dan politik tersebut.
Pada prinsipnya hubungan hukum dan politik telah di atur dalam sistem pemerintahan
negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 diantaranya
menyatakan prinsip Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat)
dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) elemen pokok negara
hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights (tiada negara
hukum tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights).
Menurut Moh. Mahfud MD, menyatakan bahwa jika kita berasumsi bahwa hukum
merupakan produk politik, maka dalam menjawab hubungan antara hukum dan
politik, dapat dikatakan bahwa hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel
terpengaruh), sedangkan politik diletakan sebagai independent variable (variabel
berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau
politik yang determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas,
bahwa kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal
yang imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat
undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan konstestasi
agar kepentingan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan
politik dan menjadi undang-undang.9
Demikian pula hukum harus dapat membatasi kekuasaan politik agar tidak timbul
penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik
menunjang terwujudnya fungsi hukum dengan menyuntikan kekuasaan pada hukum
yaitu dalam wujud sanksi hukum. Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik salah
satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan
oleh kekuasaan politik melalui alat-alat negara yang telah diberi kewenangan seperti
polisi, penuntut umum dan pengadilan. Setelah hukum memperoleh kekuasaan dari
kekuasaan politik hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya. Dalam
hal ini, tentu saja sanksi hukum dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik yang
melanggar hukum.

2. Politik Hukum Pembangunan


Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang
dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu (menjadikan sesuatu sebagai Hukum).
Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya.10
Politik hukum pada dasarnya merupakan strategi proses pembentukan, serta pelaksanaan
hukum. Hal tersebut sejalan dengan pandangan dari Mahfud M.D. yang menyatakan
bahwa:11

9 Moh. Mahfud MD, "Politik Hukum Indonesia", (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 10
10 Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus, 2020, New Normal
11 Moh. Mahfud M. D., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES, Jakarta, 2006,
hlm. 15-16

269
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Eko Sumardiyono, Arief Suryono Bagaimana Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan
Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan Ekonomi Menuju Era New Normal

Dari berbagai definisi poltik hukum dapatlah dibuat rumusan sederhana bahwa
politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara
untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan
negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan
hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara pijakan utama politik hukum nasional
adalah tujuan negara yang kemudian melahirkan sistem hukum nasional yang harus
dibangun dengan pilihan isi dan cara-cara tertentu.
Berdasarkan penjelasan dari Mahfud M. D. di atas dapat dinyatakan bahwa politik
hukum pada dasarnya merupakan arah pembangunan hukum yang berpijak pada
sistem hukum nasional untuk mencapai tujuan negara atau cita-cita negara dan bangsa.12

3. Pembangunan Kesehatan dan Ekonomi


Sehat adalah keadaan fisik, mental dan sosial yang sempurna (complete) dan tidak
hanya bebas dari sakit dan kecacatan.. Keadaan sehat setinggi-tingginya yang dapat
dicapai adalah salah satu hak asasi mendasar bagi setiap orang, tanpa membedakan
ras, agama, kepercayaan politik serta keadaan sosial dan ekonomi seseorang Kesehatan
esensial untuk perdamaian dan keamanan, dan memerlukan kerja sama antara individu
dan negara Kinerja negara dalam meningkatkan dan memelihara kesehatan akan
memberikan manfaat bagi semua penduduk. Kesenjangan derajat kesehatan antar
negara dan pengendalian penyakit, khususnya penyakit menular adalah suatu ancaman13

4. New Normal
a. Definisi
Definisi new normal adalah skenario untuk mempercepat penanganan COVID-19
dalam aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Pemerintah Indonesia telah
mengumumkan rencana untuk mengimplementasikan skenario new normal dengan
mempertimbangkan studi epidemiologis dan kesiapan regional. 7
b. Indikator
Beberapa indikator dari WHO (2020) dalam rangka skenario new normal di tengah
pandemi corona. “Jadi WHO memberikan beberapa indikator yang diminta untuk
dapat dipatuhi oleh semua negara di dunia dalam rangka menyesuaikan kehidupan
normalnya, new normal-nya itu dengan COVID-19, sampai kita belum menemukan
vaksin,” jelas Kepala Bappenas. Indikator yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Tidak menambah penularan atau memperluas penularan atau semaksimalnya
mengurangi penularan.
Banyak hal dan ini tidak bisa melalui modifikasi cara kampanye vaksinasi,
tidak, tetapi ini hanya dapat dimodifikasi melalui satu intervensi sosial yang
bentuknya antara lain yang kita lakukan, seperti PSBB (Pembatasan Sosial
Berskala Besar) sekarang. “Beberapa kebijakan publik yang diambil oleh

12 Pada dasarnya hampir tidak ada perbedaan antara cita-cita negara dan tujuan negara, Namun dalam
konteks politik hukum Mahfud M. D. membedakan dua hal tersebut, menurut Mahfud M. D. cita-cita merupakan
semangat yang bersemayam di dalam hati masyarakat, sedangkan tujuan negara adalah pernyataan
konstitutif yang harus dijadikan arah atau orientasi penyelengraan negara. Lihat: Moh. Mahfud M. D., op,
cit, hlm. 17.
13 WHO. 2020. Aspek Politik Hukum Kesehatan di Era New Normal

270
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Eko Sumardiyono, Arief Suryono Bagaimana Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan
Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan Ekonomi Menuju Era New Normal

pemerintah, dan melindungi wajah dan seterusnya dengan menggunakan


masker. Jadi itu caranya adalah untuk kita bagaimana mendapatkan apa yang
disebut dengan R0 itu. 14
2) Menggunakan indikator sistem kesehatan yakni seberapa tinggi adaptasi dan
kapasitas dari sistem kesehatan bisa merespons untuk pelayanan COVID-19.
Kapasitas sistem kesehatan yang terukur yang bisa dipakai dalam rangka apakah kita
melonggarkan atau tidak melonggarkan, mengurangi atau tidak mengurangi
PSBB.
3) Surveilans yakni cara menguji seseorang atau sekelompok kerumunan apakah
dia berpotensi memiliki COVID-19 atau tidak sehingga dilakukan tes masif.
4) Cara physical distancing, kemudian mengurangi kontak fisik, kemudian kalau
tidak perlu sekali tidak perlu harus ke luar rumah. Protokolnya itu, menurut
Menteri PPN (2020) disiapkan, dipromosikan, dikampanyekan.
c. Protokol New Normal
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan
nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan
Pengendalian COVID-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam
Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi. Terawan (2020)
mengatakan dunia usaha dan masyakat pekerja memiliki kontribusi besar dalam
memutus mata rantai penularan karena besarnya jumlah populasi pekerja dan
besarnya mobilitas, serta interaksi penduduk umumnya disebabkan aktivitas
bekerja. “Tempat kerja sebagai lokus interaksi dan berkumpulnya orang merupakan
faktor risiko yang perlu diantisipasi penularannya.
Peraturan Pemerintah nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan COVID-19 telah menyatakan,
PSBB dilakukan salah satunya dengan meliburkan tempat kerja. Namun dunia
kerja tidak mungkin selamanya dilakukan pembatasan, roda perekonomian harus
tetap berjalan. Pasca pemberlakuan PSBB dengan kondisi pandemi COVID-19
yang masih berlangsung, perlu dilakukan upaya mitigasi dan kesiapan tempat kerja
seoptimal mungkin sehingga dapat beradaptasi melalui perubahan pola hidup pada
situasi COVID-19 atau New Normal

D. Pembahasan
Pemerintah mengeluarkan kebijakan  new normal dengan memperhatikan protokol
kesehatan, karena memang kebijakan new normal harus mengikuti aturan hukum yang
berlaku agar dalam mengeluarkan rencana new normal harus memperhatikan Asas  Yuridiktas
(Keputusan/kebijakan pemerintah tidak boleh melanggar hukum), Asas Legalitas(Keputusan
atau kebijakan harus diambil sesuai ketentuan Undang-Undang).15
Dalam skema new normal perlu dilakukan kerjasama dari berbagai pihak agar kehidupan
dapat kembali seperti sediakala, perlu dipersiapkan sebaik mungkin dan kerjasama dari
semua pihak dan perlu ditanamkan kesadaran kesehatan dari masing masing individu.

14 Suharso. 2020. Apa Itu New Normal dan Bagaimana Penerapannya Saat Pandemi Corona?
15 Danangwandaru (2020) Persiapan New Normal Berdasarkan Sudut Pandang Hukum

271
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Eko Sumardiyono, Arief Suryono Bagaimana Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan
Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan Ekonomi Menuju Era New Normal

Keputusan pemerintah untuk melibatkan TNI-Polri dalam memberikan implementasi


protokol kesehatan di tengah-tengah masyarakat. Guna mencegah kedua institusi ini
melampaui kewenangan dan bersifat refresif maka pemerintah mengutamakan edukasi
daripada penegakan hukum. Penanganan dan penanggulangan bencana nonalam dalam hal
ini, virus korona atau covid-19 merupakan tugas bersama. Tim kesehatan atau Kementerian
Kesehatan merupakan garda terdepan untuk menyadarkan masyarakat untuk mengikuti
protokol kesehatan. Masyarakat, kata dia, memiliki kesadaran kolektif yang tinggi meskipun
terdapat pihak yang masih mengabaikan protokol kesehatan. “Masyarakat Indonesia lebih
disiplin dan mentaati aturan atau himbauan pemerintah. Hal ini terlihat hampir semuanya
menggunakan masker dan tidak terjadi gejolak ketika sarana umum ditutup termasuk tempat
ibadah. Kondisi berbeda terjadi disejumlah negara seperti halnya di India dan lainnya
(Arifin, 2020).
Pernyataan WHO dan Joko Widodo (2020) mengatakan manusia hidup harus berdampingan
dan berdamai dengan virus ini. New normal memberikan sejumlah keleluasaan kepada
publik dengan menjalankan protokol kesehatan. Dengan membuka kembali aktivitas dan
aksesibilitas seperti tempat ibadah, hiburan, belanja dan liburan diyakini dapat memulihkan
perekonomian baik dalam skala makro dan mikro. Sekaligus mengontrol penyebaran dengan
menjalankan protokol kesehatan
Keputusan ini diperkuat dengan regulasi melalui Keputusan Menteri Kesehatan HK.01.07/
MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di Tempat
Kerja Perkantoran dan Industri agar penyebaran Corona tidak meluas. Diyakini peraturan
lain akan keluar di berbagai tempat lain seperti aktivitas olah raga atau lain-lain.16
Respon publik pun beragam. Banyak kalangan berpendapat kebijakan itu tidak pas mengingat
kurva COVID-19 masih belum turun ditambah lagi ancaman gelombang kedua yang mulai
terjadi di berbagai negara. Pemerintah dianggap memilih ekonomi ( baca : uang) daripada
nyawa tak ayal muncul persepsi publik tentang herd immunity. Sebagian publik lain bisa
menerim situasi ini mengingat sudah cukup lama berada dalam situasi isolasi dari dunia luar.
Gangguan psikologis omo dikenal dengan istilah cabin fever.
Kepentingan hukum adalah menempatkan hukum bersifat holistik. Lebih jelas, Desiderius
(1469-1537) mengungkapkan, manusia merupakan pribadi unggul di antara segala makhluk
hidup lainnya. Jadi, kepentingan hukum tidak kaku dalam soal memilih kebijakan. Dalam
konteks itu, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi cara berpikir lain
dalam hukum.
Dimasa pandemi ini harus benar-benar ditegakan tentang upaya pencegahan covid-19.
sejumlah elemen masyarakat terus mendesak pemerintah segera menerapkan Undang-
undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dalam langkah pencegahan
penyebaran virus corona di Indonesia. Sesuai undang-undang ini, salah satu kewajiban
pemerintah adalah memenuhi kebutuhan hidup dasar masyarakat, termasuk makanan bagi
hewan-hewan ternak milik warga. Berdasarkan UU Kekarantinaan Kesehatan, karantina
wilayah dilakukan jika situasi kesehatan masyarakat dikategorikan darurat salah satunya
karena penyakit menular.17

16 Keputusan Menteri Kesehatan HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian


COVID-19
17 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dalam langkah pencegahan
penyebaran virus corona di Indonesia.

272
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Eko Sumardiyono, Arief Suryono Bagaimana Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan
Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan Ekonomi Menuju Era New Normal

Peraturan lain sebeumnya telah disusun yaitu UU 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular mendefiniskan bahwa wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular
dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada
keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
UU 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular menyebutkan tentang sumber penyakit.
Sumber penyakit adalah manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda yang mengandung
dan/atau tercemar bibit penyakit, serta yang dapat menimbulkan wabah.
UU 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular memiliki niat untuk terwujudnya tingkat
kesehatan yang setinggi-tingginya bagi rakyat Indonesia yang merupakan salah satu bagian
dari tujuan pembangunan nasional. Perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, dan lalu
lintas internasional, serta perubahan lingkungan hidup dapat mempengaruhi perubahan
pola penyakit termasuk pola penyakit yang dapat menimbulkan wabah dan membahayakan
kesehatan masyarakat serta dapat menghambat pelaksanaan pembangunan nasional.
Berdasarkan hal-hal tersebut, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Wabah yang
diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1968 tentang Perubahan Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Wabah, tidak sesuai lagi dengan kebutuhan, dan oleh
karenanya perlu ditetapkan kembali ketentuan-ketentuan mengenai wabah dalam suatu
Undang-Undang.18
Didukung juga dengan U Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Di
undang  undang ini disebutkan Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai hak  untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis,
meminta pendapat dokter,mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak
tindakan medis dan mendapatkan isi rekam namun pasien juga mempunyai kewajiban kepada
dokter untuk memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya,
mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan dan  nasihat / petunjuk
dokter sertamemberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima
PSBB menurut penulis merupakan strategi berpikir keseimbangan dalam hukum. Kesehatan
mesti dijalankan secara simultan dengan peningkatan ekonomi. Lapisan sosial masyarakat
yang tidak sama menjadi cara menilai supaya hukum menjadi solusinya, sekaligus
pembuktian menilai manusia adalah pribadi unggul. Keunggulan pribadi adalah keunggulan
menilai dalam tataran hukum, bukan harus memilih ‘kesehatan’ atau ‘ekonomi’.
Keseimbangan dalam hukum juga dapat dinilai dalam konteks filsafat rasionalisme seperti
disebut Descartes (1596-1650) yang mengunggulkan ide-ide akal budi murni. Ide-ide itu
berakar dalam kesadaran tiap-tiap manusia tentang dirinya sebagai pribadi yang memiliki
kesadaran dan kemampuan untuk berpikir secara rasional. Homo est animal rationale,
manusia adalah makhluk berakal budi yang dapat berpikir secara rasional.
Memandang persoalan Covid-19 adalah memandang bagaimana ideide rasional dapat
dijalankan untuk meloloskan diri dari persoalan pandemi. Pemimpin harus dapat melihat
persoalan Covid-19 dengan rasional. Keunggulan pribadi pemimpin dapat diketahui dari
pilihan kebijakannya. Tantangan ini merupakan ujian yang bersifat global dan dialami oleh
pemimpin di berbagai negara, khususnya yang mengalami pandemi Covid-19.2

18 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1968 tentang Perubahan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang
Wabah

273
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Eko Sumardiyono, Arief Suryono Bagaimana Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan
Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan Ekonomi Menuju Era New Normal

Dalam politik hukum peraturan perundang-undangan dibuat sesuai dengan visi misi
pembentuk peraturan perundang-undangan, namun demikian isi peraturan perundang-
undangan itu harus disesuaikan dengan keadaan yang ada pada saat peraturan perundang-
undangan itu dibentuk.
Kondisi di Indonesia sedang menghadapi Pandemi Covid-19, maka mau tidak mau
pembentuk peraturan perundang-undangan harus membuat peraturan perundang-undangan
sesuai dengan kondisi Pendemi Covid-19 ini.
Pandemi Covid-19 salah satu cara mencegah penyebarannya adalah dengan pola hidup
bersih, memakai masker, social distancing dan psical distancing, peraturan perundang-
undangan yang hendak dibuat harus berisi cakupannya tentang hal tersebut di atas.
Pemegang kewenangan pembentuk peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan
kewenangannya harus bisa memasukkan unsur-unsur di atas tadi agar terjadi pencegahan
penyebaran Covid-19 tersebut.
Negara juga diajarkan bahwa peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi 3
unsur, yaitu unsur filosofis, unsur yuridis dan unsur sosiologis, agar peraturan perundang
Dalam HukumTata -undangan bisa diterima oleh masyarakat pembentuk peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan ketiga unsur tersebut.19
Skema new normal mendapatkan berbagai kritik dan harus dimaknai sebagai upaya bagi
semua pihak dalam menjalani kehidupan dan “berdamai” dengan alam. Pemerintah perlu
memperluas perspektif new normal tidak hanya dalam pendekatan kesehatan, sosial dan
ekonomi dan lingkungan. New normal diartikan sebagai sebuah perubahan paradigma
pertumbuhan industri berbasis pada energi terbaru. Mempertahankan kualitas udara akan
mempermudah upaya pemerintah dalam menurunkan emisi karbon sebagai bagian komitmen
terhadap penurunan emisi global. Mendorong produktivitas masyarakat dengan pendekatan
gotong royong (saling bantu) pada kelompok yang paling rentan terdampak COVID-19.
Mendorong produktivitas ekonomi berbasis konsumerisme tidak menunjukkan sikap dan
perilaku normal baru dalam tatanan masyarakat baru. Perubahan perilaku publik jadi new
normal secara terus menerus sehingga terwujud perilaku baru ramah lingkungan. Mengubah
perilaku new normal tidak akan sulit apabila menggunakan pendekatan perilaku. Hal ini
akan mengurangi penyebaran virus sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
Perlindungan hukum tentunya tidak bisa dilepaskan dari hak dan kewajiban. Tidak
terlindunginya tenaga kesehatan, dalam hal ini profesi dokter. Saat dokter tidak mendapatkan
haknya atas adanya pelanggaran yang dilakukan pasien. Pelanggaran pasien terhadap hak
dokter yang berhubungan dengan pelayanan pasien Covid-19 yang sering terjadi adalah
pasien tidak memberikan informasi secara jujur terhadap kondisinya sebagai ODP atau PDP.
Hal ini menyebabkan semakin rawan adanya penularan virus Covid-19 yang memberikan
dampak efek dominan baik pada dokter, paramedis, pasien lain dan bahkan keluarganya.
Pelanggaran ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 50 huruf c Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek kedokteran bahwa dokter berhak memperoleh
informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya. 20

19 Kelik Endro Suryono, SH, M Hum, Dr (cand), Peranan Hukum Tata Negara dalam Pandemi Covid-19 dan Menuju
ke Arah New Normal Dekan Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta/ Pengajar Hukum
Tata Negar
20 Ketentuan Pasal 50 huruf c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek kedokteran bahwa dokter
berhak memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya. 

274
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Eko Sumardiyono, Arief Suryono Bagaimana Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan
Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan Ekonomi Menuju Era New Normal

Hak dan kewajiban dokter secara lengkap tertuang dalam Pasal 50 Undang-undang Praktek
Kedokteran. Dokter mempunyai hak dalam melaksanakan praktek kedokterannya. Di
samping pelanggaran terhadap hak informasi yang jujur, perlindungan yang harus diberikan
kepada tenaga kesehatan baik dokter atau perawat adalah tersedianya Alat Pelindungan Diri
(APD). APD merupakan hak dokter yang harus dipenuhi demi keselamatannya dan agar
dapat bekerja sesuai dengan standar profesinya, sebagaimana yang diamanahkan di dalam
Pasal 50 huruf (b) Undang-Undang Praktek Kedokteran yang menyatakan bahwa, dokter
dalam melaksanakan praktek kedokteran mempunyai hak untuk memberikan pelayanan
medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional. Standar pelayanan medis
untuk perawatan pasien dalam kategori penyakit wabah menular wajib dilengkapi dengan
APD sesuai dengan standar medis.3
Perlindungan terhadap tenaga kesehatan juga telah diatur di dalam Pasal 8 dan 9 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular. Pasal 8 ayat (1) Undang-
undang tersebut menyatakan bahwa Kepada mereka yang mengalami kerugian harta benda
yang diakibatkan oleh upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 dapat diberikan ganti rugi. Demikian juga di dalam Pasal 9 ayat (1) juga telah diatur
secara tegas bahwa kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan
wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat diberikan penghargaan atas risiko yang
ditanggung dalam melaksanakan tugasnya. Pasal 9 UU Wabah Penyakit Menular ini sungguh
telah adil dan sepadan dengan risiko yang dihadapi oleh para tenaga kesehatan. 
“Peran dan tanggung jawab negara untuk melaksanakan amanat ketentuan Pasal 9 ini wajib
untuk dilaksanakan karena ini sudah merupakan kewajiban hukum yang berimbas kepada
hak tenaga kesehatan yang harus dipenuhi. Sekali lagi, bahwa perlindungan hukum selalu
berkaitan dengan hak dan kewajiban. Tidak terpenuhinya hak dan kewajiban tentunya
mempunyai akibat hukum,” tandas Erna. 
Perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan juga dapat diberikan melalui tuntutan
tindak pidana kepada masyarakat yang masih tidak tertib untuk melaksanakan protokol
penanggulangan wabah penyakit menular yang berdampak pada tertularnya tenaga
kesehatan atau bahkan mengakibatkan meninggal dunianya tenaga kesehatan maupun
orang lain yang ikut terpapar. Tidak tertibnya melaksanakan standar protokol kesehatan
penanggulangan Covid-19 dapat dikatakan memenuhi unsur dengan sengaja menghalangi
pelaksanaan penanggulangan wabah penyakit menular Covid-19. Hal ini tertuang dalam
Pasal 14 Undang-Undang Wabah Penyakit Menular. 
Demikian pula manakala pihak-pihak tertentu dengan sengaja ataupun alpa tidak secara
baik mengelola bahan-bahan yang digunakan untuk penanggulangan wabah penyakit
menular Covid-19 seperti pengelolaan bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit
yang dinyatakan dapat menimbulkan wabah, misalnya pengiriman/pengangkutan bahan
yang mengandung bibit penyakit harus dilakukan dengan memperhatikan persyaratan dan
pengawasan yang ketat, sehingga bahan-bahan tersebut tidak dapat menimbulkan wabah
maka dapat dijerat Pasal 15 Undang-Undang Wabah Penyakit Menular. 
Dalam paradigma baru, hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri,
melainkan harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk
mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Untuk itu, tidaklah
heran jika hukum bisa berinteraksi dengan politik. Hukum yang demikian ini akan lebih
mampu memahami atau menginterpretasi ketidaktaatan dan ketidakteraturan yang terjadi di

275
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Eko Sumardiyono, Arief Suryono Bagaimana Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan
Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan Ekonomi Menuju Era New Normal

masyarakat. Dengan demikian, didalam hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog
untuk memberikan wacana dan adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas.
Moh. Mahfud dalam disertasinya yang berjudul “Perkembangan Politik Studi tentang
Pengaruh Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia” menunjukkan bahwa ada pengaruh
cukup signifikan antara konfigurasi politik terhadap produk hukum di Indonesia. Karena itu,
kata Mahfud, kebanyakan produk hukum sudah terkooptasi kekuasaan.
Pengaruh politik dalam pembentukan hukum tampak jelas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan tidak
dapat terelakkan dari pengaruh politik, yang akhirnya berdampak pada substansi peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah. Menurut Pasal 1 Angka 1 UU No.12
Tahun 2011, pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan
perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan dan pengundangan.
Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dari hukum dan memiliki nilai yang urgen
bagi perkembangan sistem hukum Indonesia kedepannya. Adapun yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Masalah Covid-19 hanya dapat diselesaikan dengan rasional, yang dalam bahasa Presiden
Jokowi ditekankan pada dua kata, ‘kesadaran dan kedisiplinan’. Tatanan the new normal atau
kenormalan baru adalah satu keharusan yang hanya bisa terwujud. Covid-19 telah memberi
pelajaran penting bagi kesadaran dan kedisiplinan masyarakat dalam menyambut kehidupan
baru. Sebagai contoh, tindakan dengan melibatkan TNI dan Polri agar kerumunan massa
tidak terjadi, dapat dinilai sebagai langkah tepat. Hanya dengan kesadaran dan kedisiplinan
tinggi dari masyarakat, pemerintah, dan aparat dapat memberi keyakinan tatanan kenormalan
baru dapat terwujud segera. Dua kata kunci itu perlu dipahami dan diwujudkan secara nyata
dengan segera. Dalam pelaksanannya, mungkin saja sebagian pihak belum siap menuju
tatanan kenormalan baru.
Pelaksanaan kenormalan baru juga harus dijaga dengan hukum, supaya terbentuk keselarasan
serta keadilan dalam masyarakat. Dalam bahasa Weber (1864- 1920), hukum mengatur dan
membimbing kehidupan bersama manusia atas dasar prinsip keadilan. Oleh karena itu,
tatanan kehidupan berdasarkan kenormalan baru hanya dapat diwujudkan dengan berpikir
menurut hukum. Hukum yang dijalankan pemerintah harus memiliki wibawa, bukan terletak
pada kekuasaan semata, tetapi pada pemikiran matang yang rasional.
Pandemi Covid-19 sudah memberi pelajaran betapa hukum tetap menjadi acuan berpikir
menuju tatanan hidup baru. Tatanan hidup baru adalah tatanan menjaga kesadaran dan
kedisiplinan kuat untuk bisa memperoleh kesehatan dan peningkatan ekonomi lebih baik
dan berkualitas. Sekalipun aktivitas ekonomi seperti mall serta pusat keramaian dan bisnis
sudah mulai dibuka, pemaknaannya tidaklah sama dengan aktivitas berkerumun yang tidak
tertib dan melanggar kebijakan atau protokol kesehatan yang meliputi menggunakan masker
saat keuar rumah, cuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, jaga jarak aman dan di
rumah saja.
Secara sosiologis harus diakui apabila kedisiplinan dan kesadaran masyarakat terhadap
protokol kesehatan sangatlah kurang. Kebiasaan hidup dengan sering cuci tangan, memakai
masker dan hidup berjarak dengan orang lain, seakan asing dan susah dijalankan. Sejak

276
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Eko Sumardiyono, Arief Suryono Bagaimana Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan
Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan Ekonomi Menuju Era New Normal

pandemi Covid-19, kebiasaan beraktivitas masyarakat, termasuk kegiatan beribadah dan


budaya lainnya, menjadi sulit jika dijalankan dengan cara berbeda. Hukum bagi mereka
adalah kebiasaan beraktivitas yang sudah diturunkan sejak turun temurun. Padahal, apabila
dilihat dengan kacamata hukum yang rasional, berfokus pada kesehatan sekaligus peningkatan
kesejahteraan masyarakat, pandemi Covid-19 mengharuskan tatanan hidup dalam hukum
kebiasaan yang mau tidak mau harus berubah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
pandemi Covid-19 telah memberi cara berpikir bagi hukum untuk menata kehidupan menuju
kondisi kenormalan yang baru (the new normal).
Tujuan ini hanya bisa terwujud melalui kesadaran dan kedisiplinan dari setiap komponen
masyarakat, serta pemerintah yang selalu menggunakan bukti atau data yang kuat serta
melibatkan ahli kesehatan dan ekonomi dalam setiap pengambilan keputusan agar menjadi
sebuah kebijakan yang rasional. Dengan demikian, kita tidak perlu memilih antara kesehatan
masyarakat dan ekonomi, karena dari keduanya sudah dipikirkan secara matang agar dapat
bersinergi dengan baik, menuju Indonesia maju ekonominya, sehat masyarakatnya.
Prof. Dr. Sufyarma Marsidin, M.Pd., mengatakan tantangan kebangsaan, persatuan dan
kesatuan Indonesia di era new normal. Ada beberapa tantangan baik internal maupun
eksternal yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia di saat pandemic Covid-19 ini, seperti:
masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama dan munculnya pemahaman terhadap
ajaran agama yang keliru dan sempit, kurang berkembangnya pemahaman dan penghargaan
atas kebhinekaan dan kemajemukan masyarakat Indonesia, belum berjalannya penegakan
hokum secara optimal, dan kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian
pemimpin dan tokoh bangsa, serta masifnya pengarug globalisasi. Dianjurkan mahasiswa
harus memahami kembali empat pilar bangsa Indonesia secara komprehensif, yaitu:
Pancasila, UUD 1945, NKRI sebagai bentuk negara kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhineka Tunggal Ika. Mahasiswa hendaknya menguasai kompetensi abad ke-21, seperti:
berpikir kritis, kreatif, kolaboritif, dan komunikatif. Selain itu, mahasiswa harus memiliki
jiwa toleransi dan kebersamaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia,
melalui by knowing, loving, and action.21
Menurut Soerjono Soekanto tolok ukur efektivitas dalam penegakan hukum atau penerapan
hukum dalam pembangunan hukum kesehatan dan hukum ekonomi di era new normal ada
lima yaitu:
1. Faktor Hukum
Setiap peraturan yang di keluarkan pemerintah adalah hukum yang memiliki unsur
ketertiban dalam masyarakat, karena hukum pada hakikatnya berfungsi untuk keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan.
2. Faktor Penegakan Hukum
Berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan
peranan penting. Di era new normal atau tatanan kehidupan baru ini pemerintah
melibatkan TNI dan Polri, untuk menghadapi lajunya virus corona. Dan juga
mengutamakan tim kesehatan sebagai garda terdepan.

21 Prof. Dr. Sufyarma Marsidin, M.Pd, 2020, FIP UNP Adakan Webinar Peran Mahasiswa di Era New Normal

277
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Eko Sumardiyono, Arief Suryono Bagaimana Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan
Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan Ekonomi Menuju Era New Normal

3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung


Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa penegak hukum tidak dapat bekerja dengan baik,
apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat yang profesional. Maka sarana
atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, atau mungkin penegak hukum menyerasikan
peranan yang seharusnya dengan peraturan yang aktual. Seperti pemerintah harus
menyediakan APD untuk tim kesehatan sebagai garda terdepan dalam menghadapi
virus corona ini. Dan bagi masyarakat untuk menjalankan protokol kesehatan.
4. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian
di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya
mempunyai kesadaran hukum. Persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum,
yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan
hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya
hukum yang bersangkutan. Berbicara tentang masyarakat maka perlu di ingatkan bahwa
masyarakat itu berbeda pemahaman dalam mengimplementasikan sistem new normal
ini. Masyarakat harus beradaptasi dengan sistem new normal atau tatanan kehidupan
baru ini untuk melawan virus corona ini. Masyarakat harus sadar dan patuh dan siap
untuk bekerja sama untuk mengatasi lajunya virus Corona ini. Dengan cara mematuhi
protokol kesehatan.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku,
nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi yang abstrak mengenai apa yang
dianggap baik sehingga diikuti dan apa yang diangap buruk maka dihindari. Budaya
yang baik adalah tetap menjaga kesehatan dengan cara menjalankan protokol kesehatan,
budaya yang buruk adalah sikap apatis yang melekat pada diri. Mari sama-sama jauhkan
sikap apatis karena itu akan membuat virus tetap eksis.
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam
penegakan hukum, dan sebagai tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.
Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegak hukumnya sendiri merupakan
titik sentralnya. Jika diamati dari lima faktor tersebut, maka semua kalangan baik pemerintah
maupun masyarakat harus bekerjasama dan bisa beradaptasi dengan virus corona ini.
persoalan pandemi semata-mata tidak hanya tugas dari pemerintah melainkan butuh
kesadaran dan kepatuhan dari semua kalangan. Jangan jadikan istilah new normal sebagai
kebebasan yang merugikan. Pada dasarnya new normal ini mempunyai edukasi hukum. Ada
kewajiban yang harus dikerjakan yakni menjalankan protokol kesehatan, membiasakan diri
hidup bersih selalu mencuci tangan, memakai masker, dan berolahraga.
New normal tidak hanya keinginan dari pemerintah sendiri melainkan juga keinginan dan
harapan dari masyarakat. Jika new normal ini adalah keinginan semua kalangan, maka
semua kalangan mempunyai tugas yang harus dituntaskan. 22

22 Riswan Amirul. 2020. New Normal dalam Sudut Pandang Ilmu Hukum

278
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Eko Sumardiyono, Arief Suryono Bagaimana Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan
Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan Ekonomi Menuju Era New Normal

E. Kesimpulan
Politik Hukum sangat berperan dalam menentukan arah pembangunan yang berpijak pada
sistem hukum nasional untuk mencapai tujuan negara atau cita-cita negara dan bangsa.
Politik dan Hukum merupakan subsistem dalam sistem kemasyarakatan. Masing-masing
melaksanakan fungsi-fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan
secara keseluruhan. Secara garis besar, hukum juga berfungsi melakukan social control,
dispute settlement and social engeneering atau inovation. Adapun Fungsi politik meliputi
pemeliharaan sistem dan adaptasi (socialization dan recruitment), konversi (rule making,
rule aplication, rule adjudication, interesttarticulation and aggregation) dan fungsi
kapabilitas (regulatif extractif, distributif and responsif).
Hubungan antara hukum dan politik tergantung pada persepsi tentang apa yang kita maksudkan
sebagai hukum dan apa yang kita maksudkan dengan politik. Jika kita berpandangan non-
dogmatik dan memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan
politik maka tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan
kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut pandangan positif
yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik maka rasa tak
relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik
karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum dan politik tersebut.

F. Saran
Dianjurkan mahasiswa harus memahami kembali empat pilar bangsa Indonesia secara
komprehensif, yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI sebagai bentuk negara kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika. Mahasiswa hendaknya menguasai kompetensi abad
ke-21, seperti: berpikir kritis, kreatif, kolaboritif, dan komunikatif. Selain itu, mahasiswa
harus memiliki jiwa toleransi dan kebersamaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia, melalui by knowing, loving, and action.23

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Achmad Ali, “Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis”, (Jakarta: Gunung
Agung, 2002)
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, “Dasar-Dasar Politik Hukum”, (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2015)
Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum Indonesia”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009)
Padmo Wahjono, “Indonesia Berdasarkan Atas Hukum”, (Jakarta: Gahlia Indonesia, 1986)
Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991)

23 Prof. Dr. Sufyarma Marsidin, M.Pd, 2020, FIP UNP Adakan Webinar Peran Mahasiswa di Era New Normal

279
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Eko Sumardiyono, Arief Suryono Bagaimana Peran Politik Hukum Dalam Pembangunan
Kesehatan Sebagai Upaya Menggerakkan Ekonomi Menuju Era New Normal

Gamal Albinsaid (2020) bahwa New Normal Is Not Easy.


Sukanto. 2016. Pengantar Sosial Budaya Dasar. Jakarta : Rineka Cipta

Artikel
Danangwandaru (2020) Persiapan New Normal Berdasarkan Sudut Pandang Hukum
Ilyas, (2020) Tatanan Hukum Menuju New Normal Life https://investor.id/opinion/tatanan-
hukum-menuju-new-normal-life
Kelik Endro Suryono, SH, M Hum, Dr (cand), Peranan Hukum Tata Negara dalam Pandemi
Covid-19 dan Menuju ke Arah New Normal Dekan Fakultas Hukum Universitas Widya
Mataram (UWM) Yogyakarta/ Pengajar Hukum Tata Negar
Rusmala (2020) Covid-19: Urgensi Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kesehatan, http://new.
widyamataram.ac.id/content/news/covid-19-urgensi-perlindungan-hukum-bagi-tenaga-
kesehatan#.XyDiNJ4zbDc
Jurizal, 2020. Isu-isu mengenai ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam
menangani kasus Covid-19 ini dapat berpotensi menjadi boomerang bagi pemerintah.
https://www.suara.com/yoursay/2020/06/05/155631/dampak-new-normal-terhadap-
ekonomi-dan-politik
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ed8a961ebfa7/new-normal--dampak-dilema-
kesehatan-dan-kemiskinan-bagi-kantor-hukum/
Prof. Dr. Sufyarma Marsidin, M.Pd, 2020, FIP UNP Adakan Webinar Peran Mahasiswa di Era
New Normal
Suharso. 2020. Apa Itu New Normal dan Bagaimana Penerapannya Saat Pandemi Corona?
“Apa Itu New Normal dan Bagaimana Penerapannya Saat Pandemi Corona?”, https://tirto.id/
fCSg

Undang-undang
ketentuan Pasal 50 huruf c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek kedokteran
bahwa dokter berhak memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan nomor
HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19
di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha
pada Situasi Pandemi.
Ratunugraheni. 2020. Kebijakan Menuju New Normal
Riswan Amirul. 2020. New Normal dalam Sudut Pandang Ilmu Hukum
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Hukum Kesehatan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
WHO. 2020. Aspek Politik Hukum Kesehatan di Era New Normal

280
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

PENGATURAN TELEMEDICINE SEBAGAI UPAYA


PERLINDUNGAN BAGI DOKTER DI MASA PANDEMI COVID-19
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus**

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaturan telemedicine sebagai upaya perlindungan bagi
dokter di masa pandemi COVID-19. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif
dengan menggunakan pendekatan peraturan perundangan-undangan dan pendekatan konseptual
dengan teknik pengumpulan bahan hukum berupa studi kepustakaan. Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa diperlukan suatu perlindungan bagi dokter dalam melaksanakan
praktik layanan kesehatan telemedicine dikarenakan belum ada peraturan perundang-undangan
yang secara khusus mengatur mengenai telemedicine, sedangkan berbagai regulasi yang ada
memiliki celah hukum bagi perlindungan dokter. Hal tersebut dikarenakan peraturan yang ada
hanya mengatur mengenai hubungan hukum antar fasilitas layanan kesehatan. Politik hukum
diperlukan sebagai sebuah patokan dan/atau tolok ukur dari isi, bentuk dan arah suatu hukum
di suatu negara. Politik hukum telemedicine di Indonesia guna memberikan perlindungan bagi
dokter dapat dikaji dari segi izin praktik dan standar etika profesi.
Kata Kunci: COVID-19, Politik Hukum, Telemedicine, Perlindungan bagi Dokter.

ABSTRACT
The research aims to determine the arrangement of telemedicine as a protection effort for
physicians during the COVID-19 pandemic. This research is a normative legal research using
statue approach and conceptual approach with the technique of collecting legal materials in
the form of literature studies. From the results of the study, it is necessary that a protection to
the doctor in implementing telemedicine health care services because there are no statutory
regulations that specifically regulate the telemedicine, while the various rules that have a legal
gap for the protection of doctors. Based on that case, because the regulations only regulate
the relationship between the legal facilities of health services. Legal politics is required as
a benchmark of the content, form and direction of a law in a country. The political law of
telemedicine in Indonesia to provide legal protection for doctors can be examined in terms of
practice permits and professional ethical standards.
Keywords: COVID-19, Legal Policy, Telemedicine, Protection for Physicians.

* Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa
Tengah,Indonesia, qoriaulia099@gmail.com, S.H (Universitas Islam Riau)
** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia,
firdaussunny@staff.uns.ac.id, Dr. (Univeristas Gajah Mada), M.H (Universitas Sebelas Maret), S.H (Universitas Sebelas Maret)

281
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

A. Pendahuluan
Pada bulan Desember 2019, di Kota Wuhan, China muncul sebuah penyakit yang
diidentifikasi sebagai “unexplained pneumonia” atau disebut dengan penyakit pneumonia
tidak wajar (tidak dapat dijelaskan).1 Pasien pada kasus pertama di Wuhan disinyalir
berkaitan erat dengan kegiatan perdagangan di pasar makanan laut Wuhan. Hal ini kemudian
menjadi spekulasi mengenai transmisi virus yang kemudian lebih dikenal sebagai penyakit
COVID-19. Penyakit COVID-19 disebabkan oleh virus SARS-CoV-2, berbeda dengan
virus MERS-CoV dan SARS-CoV, virus ini merupakan virus corona turunan ketujuh dalam
family virus corona yang menginfeksi manusia.2 Virus SARS-CoV-2 merupakan jenis virus
baru yang menginfeksi manusia, yang mana apabila manusia terpapar virus tersebut akan
langsung bereaksi secara fatal bagi kesehatan tubuh manusia.
COVID-19 telah berubah menjadi momok mengerikan bagi seluruh negara di dunia.
Penyebaran massif yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 yang sangat laten berupa
penularan dari manusia ke manusia melalui droplet belum dapat dikontrol sehingga menelan
jumlah korban jiwa yang banyak. Dalam kurun waktu dua minggu sejak kemunculan kasus
COVID-19 di China, terjadi ledakan kasus positif COVID-19 hingga 13 kali lipat yang
terjadi di luar China. Pada 11 Maret 2020, Badan Kesehatan Dunia mengumumkan bahwa
COVID-19 telah menginfeksi 114 negara dengan jumlah korban meninggal dunia sebesar
4.291.3 Sebuah data dari John Hopkins University and Medicine Coronavirus Resource
Center, per 25 Maret 2020 menunjukkan bahwa penularan COVID-19 telah menyerang
hampir seluruh negara di dunia.4
Terhitung sejak tanggal 11 Maret 2020, Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia Tedros
Ghebreyesus melalui pernyataan resminya menyampaikan bahwa, “… COVID-19 can
be characterized as a pandemi . Pandemi is a not a word that, if misused, can cause
unreasonable fear, or unjustified acceptance that the fight is over, leading to unnecessary
suffering and death.”5 Wabah COVID-19 sudah mencapai tahap yang sangat memprihatinkan
dengan tingkat transmisi virus yang sangat tinggi. Oleh karena itu, Badan Kesehatan Dunia
memberikan penilaian bahwa COVID-19 dapat dicirikan sebagai pandemi . Badan Kesehatan
Dunia menyadari dengan ditetapkannya COVID-19 dapat menimbulkan situasi yang sukar
untuk dipahami apabila tidak dapat memahami konteks makna pandemi itu sendiri, namun
langkah tersebut dinilai merupakan langkah yang paling tepat guna tindakan agresif yang
harus dilakukan dalam perjuangan untuk melawan COVID-19.
Penyakit COVID-19 telah menyerang 216 negara di seluruh dunia, terhitung sejak tanggal
2 Agustus 2020 kasus positif COVID-19 di seluruh dunia mencapai 17.660.523 kasus

1 Luigi Cirrincione, Fulvio Plescia, Caterina Ledda, Venerando Rapisarda, Daniela Martorana, Raluca Emilia
Moldovan, Kellu Theodoridou, COVID-19 Pandemi ; Prevention and Protection Measures to be Adopted at the
Workplace, Sustainability, doi:10.3390/su12093603, 2020, hal. 2
2 “During celebrations of the Chinese New Year in Wuhan, China, a novel coronavirus, SARS-CoV-2 caused the
emergence of the newest disease, COVID-19.” Farid Rahimi, Amin Talebi Bezmin Abadi, Tackling the COVID-19
Pandemi , Archives of Medical Research, Vol. 51 Issues 5, https://doi.org/10.1016/j.arcmed.2020.04.012 , 2020,
hal. 468.
3 https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-
covid-19---11-march-2020 - diakses pada tanggal 3 Agustus 2020 pada pukul 16.45 WIB.
4 Data tersebut diakses pada laman resmi John Hopkins University and Medicine Coronavirus Resource Center
https://coronavirus.jhu.edu/map.html diakses pada tanggal 3 Agustus 2020 pada pukul 16.49 WIB.
5 Ibid.

282
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

dengan rincian pasien meninggal sejumlah 680.894 kasus.6 Dalam rangka mencegah dan
mengurangi transmisi penyebaran penyakit COVID-19, Badan Kesehatan Dunia (World
Health Organization) memberikan sejumlah anjuran kepada masyarakat, sebagaimana di
kutip dalam laman resmi World Health Organization antara lain:
1. Regularly and thoroughly clean your hands with an alcohol based hand rub or was
them with soap and water.
2. Maintain at least 1 metre (3 feet) dostance between yourself and others.
3. Avoid going to crowded places.
4. Avoid touching eyes, noes and mouth because it could transfer the virus to your body.
5. Make sure and the people around you, follow good respiratory hygiene.
6. Stay home and self-isolate even with minor symptoms.
7. Keep up to date on the latest information from trusted sources such as WHO or your
local and national health authorities.7
Rekomendasi yang paling dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) bagi seluruh
warga masyarakat di seluruh dunia adalah pola hidup bersih dan sehat diantaranya mencuci
tangan dengan sabun, menggunakan masker dan/atau pelindung wajah, menghindari
kerumunan dan mengisolasi mandiri di rumah.8 Berdasarkan rekomendasi tersebut, diketahui
bahwa sejauh ini langkah preventif pencegahan penyebaran COVID-19 yang paling efektif
harus dimulai dari konsistensi diri sendiri untuk menjalankan anjuran tersebut.
Pandemi COVID-19 telah mengubah wajah dunia, baik secara nasional maupun global.
Adaptasi sangat diperlukan guna mencegah transmisi penyebaran penyakit COVID-19,
salah satunya dengan memanfaatkan telemedicine sebagai pelayanan kesehatan guna
meminimalisir penyebaran. Secara terminologi, telemedicine (telemedika) merupakan
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (termasuk pula elektronika, telekomunikasi,
computer, informatika) untuk mentransfer (mengirim dan/atau menerima) informasi
kedokteran guna meningkatkan pelayanan klinis (diagnosis dan terapi) serta pendidikan.9
Telemedicine adalah praktik kesehatan dengan memakai komunikasi audio visudal dan data.
Telemedicine juga dapat didefinisikan sebagai “teknologi untuk layanan kesehatan”,
telemedicine merupakan layanan perawatan kesehatan jarak jauh, di mana jarak berperan
sebagai faktor kritis yang menjadi pertimbangan bagi semua pekerja kesehatan professional
(professional health worker) yang memanfaatkan penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi untuk pertukaran informasi guna memberikan diagnosis, pencegahan dan
pengobatan penyakit yang disertai dengan evaluasi bagi pasien yang berada dalam kondisi

6 https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019 diakses pada tanggal 3 Agustus 2020 pada


pukul 16.53 WIB.
7 World Health Organization, Coronavirus disease (COVID-19) advice for the public, 2020 https: who.int diakses
pada tanggal 3 Agustus 2020 pada pukul 17.15 WIB.
8 …”the most referred recommendations is frequent handwashing, wearing the protective facemask, avoiding the
suspeceted cases and self-isolating at home.” Ibid, hal. 469
9 Budi Setiawan Santoso, Medina Rahmah, Trisnanti Setiasari, Puji Sularsih, Perkembangan dan Masa Depan
Telemedika di Indonesia, CITEE: Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada, ISSN: 2085-6350, 2015, hal.11

283
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

jauh dari fasilitas kesehatan.10 Menurut penelitian ilmiah yang ditulis oleh Ittipong
Khemapech, Watsawee Sansrimahachai dan Manachai Toahchoode dengan judul
“Telemedicine – meaning, challenges and opportunities” dalam koridor pelaksanaan
telemedicine, teknologi informasi dan komunikasi berperan sebagai key of infrastuctur
(infrastruktur kunci) guna memfasilitasi pertukaran data bagi professional health worker
dan pasien.11
Perkembangan telemedicine di Indonesia telah dimulai setidaknya sejak tahun 2015, namun
karena implementasi dari telemedicine juga tergolong sebagai terobosan yang baru maka
regulasi yang mengatur pun juga masih cenderung baru. Dengan adanya Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2017 tentang Strategi E- Kesahatan Nasional
yang diaman Stragegi e-kesehatan merupakan suatu pendekatan secara menyeluruh untuk
pemanfaatan teknologi infomasi dan kunikasi di bidang kesehatan secara nasional, dan
Pelayanan telemedicine di Indonesia telah diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine
Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Pertimbangan dari dikeluarkannya Peraturan Menteri
Kesehatan mengenai telemedicine yaitu untuk memberikan pelayanan kesehatan secara
spesialistik dan meningkatan mutu pelayanan kesehatan terutama daerah terpencil serta
mewujudkan pelayanan telemedicine yang aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif
serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien.12
Pelayanan kesehatan telemedicine memegang peran yang sangat penting guna mencegah
penularan COVID-19, berdasarkan latar belakang tersebut maka dikeluarkanlah regulasi
yang pada dasarnya dimaksudkan untuk memperkuat pelaksanaan telemedicine. Adapaun
peraturan tersebut antara lain, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 74 Tahun
2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine Pada
Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia. Dasar pertimbangan
dikeluarkannya Peraturan Konsil Kedokteran tersebut sebagai upaya percepatan
penanggulangan dan pencegahan penularan COVID-19 serta percepatan pencegahan
penularan dan/atau penatalaksanaan pasien COVID-19 dengan pemberian kewenangan
klinis pelayanan pasien COVID-19 dan praktik kedokteran melalui telemedicine.13
Selain Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia, terdapat Surat Edaran Nomor HK.02.01/
MENKES/303/2020 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui Pemanfaatan

10 Definisi dari telemedicine disampaikan oleh Konsultasi Internasional Badan Kesehatan Dunia (International
Group Consultation on World Health Organization) yang menyampaikan bahwa, “telemedicine is the delivery
of health care services, where distance is a critical factor, by all health care professionals using information
and communications technologies for the exchange of valid information for diagnosis, treatment and prevention
of disease and injuries, research and evaluation, and for the continuing education of health care providers, all
in the interests of advancing the health of individuals and their communities.” Berdasarkan kutipan tersebut,
dapat ditarik sebuah definisi bahwa telemedicine merupakan teknologi di bidang layanan kesehatan. Ittipong
Khemapech, Watsawee Sansrimahachai, and Manachai Toachoodee, Telemedicine – meaning, challenges and
opportunities, Siriraj Medical Journal, Vol. 71 No.3 http://dx.doi.org/10.33192/Smj.2019.38 , 2019, hal. 247
11 “information and communication technologies have been regarded as a key infrastructure for facilitating data
exchange among relevant parties located at different locations.” Ibid.
12 Dasar Pertimbangan sebagaimana tercantum di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
13 Dasar Pertimbangan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 74 Tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis
dan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di
Indonesia.

284
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19). Surat edaran ini dimaksudkan sebagai acuan dalam memberikan
pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Namun,
dari berbagai peraturan mengenai pelayanan kesehatan telemedicine, terdapat celah hukum
dari regulasi yang sudah ada. Implementasi pelayanan kesehatan telemedicine berpotensi
menimbulkan masalah hukum apabila tidak disertai dengan regulasi yang konstruktif, spesifik
dan konkret mengenai perlindungan bagi dokter. Urgensi diperlukannya perlindungan
tersebut mengingat berbagai tindakan medis berupa lisensi atau perizinan bagi dokter atau
tenaga medis yang melakukan praktik telemedicine, peralatan pelayanan medis, persetujuan
tindakan medis (informed consent), keamanan dan kerahasiaan data informasi kesehatan
pasien (medical record) memerlukan regulasi yang jelas. Politik hukum menjadi kajian
guna merumuskan dasar kebijakan yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum
(dalam ini dititikfokuskan pada perlindungan bagi dokter). Berdasarkan latar belakang
masalah yang telah dipaparkan, penulis mengkaji pengaturan telemedicine sebagai upaya
memberikan perlindungan dokter di masa pandemi COVID-19.

B. Metode Penelitian
Metode penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normative
atau doktrinal, yang mempunyai tujuan guna menemukan aturan hukum, prinsip hukum
guna menjawab sebuah isu hukum di dalam masyarakat.14 Dalam penyusunan penelitian
hukum, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan
pendekatan konseptual (conseptual approach).15 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan dengan
jenis data sekunder (secondary data) dengan sumber bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder guna mengkaji isu hukum berupa politik hukum telemedicine perlindungan bagi
dokter di masa pandemi COVID-19.

C. Pembahasan
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (information and communication
technologies) mempunyai potensi besar untuk mengatasi berbagai tantangan di berbagai
aspek bidang kehidupan, salah satunya di bidang kesehatan. Perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi dalam bidang kesehatan di dunia menjadi pandangan yang
komprehensif dan mendalam guna memberikan layanan kesehatan yang mudah diakses,
efektif, efisien dan berkualitas tinggi.16 Salah satu perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi di bidang kesehatan adalah telemedicine. World Mecical Association
memberikan definisi mengenai telemedicine yaitu, “the practice of medicine over a
distance, in which intervensions diagnoses, therapeutic decisions, and subsequent treatment

14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada, 2014, hal. 62
15 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Banyumedia Publishing, 2006, hal.
300.
16 Pernyataan tersebut dikutip dari pernyataan resmi Badan Kesehatan Dunia mengenai perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, “Information and communication technologies (ICTs) have great potential to address
some of the challenges faced by both developed and developing countries in providing accessible, cost effective,
high-quality health care services.” World Health Organization, Telemedicine: Opportunities and Developments
in Member States (Report on the 2nd Global Survey on eHealth, Global Observatory for eHealth Series, ISBN:
9789241564144 ISSN: 2220-5462, 2010, hal. 6

285
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

recommendations are based on patient date, documents and other information transmitterd
through telecommunication systems.”17 Berdasarkan kutipan tersebut, telemedicine dapat
diartikan sebagai praktik kedokteran jarak jauh berupa diagnosis, terapi dan rekomendasi
perawatan didasarkan pada data, dokumen dan informasi menunjang kondisi pasien yang
dikirimkan melalui sistem komunikasi, kondisi jarak menjadi faktor utama dari pelaksanaan
telemedicine.
Telemedicine dianggap sebagai salah satu inovasi utama dalam pelayananan kesehatan
yang berfungsi untuk peningkatan kualitas layanan kesehatan berupa perawatan medis.18
Telemedicine berperan untuk memberikan solusi guna menjawab tantangan di era perubahan
sosial ekonomi dalam sistem pelayanan kesehatan di abad 21. Tantangan besar di era
perubahan sosial ekonomi di bidang pelayanan kesehatan mencakup peningkatan pelayanan
kesehatan, mobilitas warga (pasien), kebutuhan dalam mengelola informasi, dan daya saing
global.19 Dalam praktik pelaksanaanya, telemedicine menerapkan dua konsep yaitu real time
(synchoronous) dan store-to-forward (asynchoronous). Telemedicine secara real time dapat
terjadi secara sederhana melalui penggunaan telepon atau apabila dilakukan secara kompleks
dapat melalui penggunaan robot. Telemedicine realtime memerlukan kehadiran dua pihak
di waktu yang sama. Telemedicine dengan store-to-forward mencakup pengumpulan data
medis dan pengiriman data ke seorang dokter pada waktu yang tepat yang bertujuan sebagai
evaluasi secara offline.
Secara historis, istilah telemedicine mulai dikenal di abad pertengahan hingga akhir abad
ke-19.20 Telemedicine dalam bentuk modern, mulai dikenal pada sekitar tahun 1960an
yang didorong oleh perkembangan di sektor militer dan ruang angkasa yang dikelola
secara komersial.21 Pertumbuhan populasi menjadi faktor pendorong terbesar munculnya
telemedicine sebagai pelayanan kesehatan. Telemedicine mengubah bentuk komunikasi
analog dengan metode digital guna memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien secara
efektif dan efisien. Telemedicine dapat digambarkan sebagai hubungan antara tenaga
kesehatan professional dan pasien yang berdiskusi guna bertukar informasi dari jarak jauh
secara real time. Perkembangan teknologi dan informasi (information and communication
technologies) menjadi faktor lain yang semakin menunjang perkembangan telemedicine
sebagai opsi layanan kesehatan.

17 World Mecical Association on The Ethics of Telemedicine which adapted by the 58th WMA General Assembly,
Copenhagen, Denmark, October 2007 and amended by the 69th WMA General Assembly, Reykjavik, Iceland,
October 2018.
18 “Telemedicine is regarded as one of the major innovations in health servives, not only from the technological but
also from the cultural and social perspectives since it benefits accessibility to health care services and improves
the quality of medical care and organizational efficiency.” Pan American Health Organization, Framework for
the Implementation of a Telemedicine Service, Marco de Implementacion de un Servicio de Telemedicia, ISBN
978-92-75-31903-1, 2016, hal. 1
19 Kajian mengenai tuntutan yang mendorong adanya telemedicine sebagaimana dikutip dalam jurnal ilmiah
Pan American Health Organization yaitu, “Telemedicine has a role in providing solutions to the challenges
posed by socioeconomic changes in health care systems in the 21st century (greater demands on health care,
aging populations, increased mobility of citizens, the need to manage large amounts of information, global
competitiveness, and improved health care provision), all in an environment of limited budgets and restrictions
on spending.” Ibid.
20 Craig J, Patterson V, Introduction to the Practice of Telemedicine, Journal of Telemedicine and Telecare, Vol.11
Issue (1), 2005, hal. 4
21 Currel et al, Telemedicine versus face to face care: effects on professional practice and health care outcomes,
Cochrane Database of Systematic Reviews, Issue 2, 2000.

286
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

Dalam rentang waktu di tahun 1970, istilah telemedicine diciptakan untuk memberikan
pengertian secara mudah mengenai “healing at distance” atau penyembuhan jarak
jauh.22 Telemedicine menggunakan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
(information and communication technologies) guna memberikan peningkatan kualitas
layanan kesehatan berupa akses perawatan dan informasi medis. Badan Kesehatan Dunia
melakukan perluasan definisi dari telemedicine, yaitu: “The delivery of health care services,
where distance is a critical factor, by all health care professionals using information and
communication technologies for the exchange of valid information for diagnosis, treatment
and prevention of disease and injuries, research and evaluation, and for the continuing
education of health care providers, all in the interests of advancing the health of individuals
and their communities”.23 Di mana menurut kutipan resmi dari Badan Kesehatan Dunia,
telemedicine mempunyai definisi sebagai pelayanan kesehatan dengan menempatkan
jarak sebagai faktor kritis antara pasien dan semua tenaga kesehatan professional dengan
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi berupa pertukaran informasi valid yang
berfungsi sebagai proses diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit, serta evaluasi untuk
perawatan layanan kesehatan lanjutan.
Telemedicine memungkinkan adanya kegiatan kerjasama antara tenaga kesehatan professional
untuk penyebaran prosedur medis yang dilakukan dari jarak jauh melalui penggunaan
perangkat informasi dan teknologi komunikasi. Telemedicine tentu sangat dibutuhkan
apalagi dengan kondisi daerah kritis yang berlokasi cukup jauh dari akses rumah sakit yang
memerlukan pelayanan kesehatan secara cepat guna diagnosis, pengobatan, tindak lanjut dan
pemantauan.24 Beberapa ahli di berbagai bidang terutama di bidang kesehatan dan teknologi
sepakat bahwa telemedicine merupakan salah satu rumpun ilmu pengetahuan yang terbuka
akan berbagai penyempurnaan lebih lanjut guna mencakup berbagai probabilitas kemajuan
baru yang bermanfaat di bidang kesehatan untuk kebutuhan masyarakat.25
Telemedicine telah banyak digunakan di berbagai negara di dunia. Jepang merupakan contoh
dari negara maju yang menerapkan telemedicine sebagai salah satu fasilitas pelayanan
kesehatan. Salah satu rumah sakit ternama St. Mary dalam memeriksa pasien menggunakan
panggilam video dari klinik bersalin via Google Hangouts dan Skype, dengan dokter
atau bidan di klinik atau rumah sakit lain.26 Selain itu, United States turut menerapkan
telemedicine, hal tersebut sebagaimana diketahui dalam kutipan resmi dari The Health
Resources and Services Administration dari United States Department of Health and Human
Services yaitu “… the use of electronic information and telecommunications technologies
to support and promote long-distance clinical health care, patient and professional health-

22 Strehle EM, Shabde N, One hundred years of telemedicine: does this new technology have a place in paediatrics?,
Archieves of Disease in Childhold 91(12), 2006, hal. 957
23 World Health Organization, A Health Telematics Policy in Support of WHO’s Health-For-All Strategy for Global
Health Development: Report of the WHO Group Consultation on Health Telematics, Geneva: World Health
Organization, 1997.
24 M.B. Doumbouya, B. Kamsu-Foguem, H. Kenfack and C. Foguem, Telemedicine using mobile telecommunication:
towards synstatic interoperability in teleexpertise, Telematics and Informatics, Vol. 3 Iss. 4, hal. 655.
25 World Health Organization, Telemedicine: Opportunities and Developments in Member States (Report on the 2nd
Global Survey on eHealth, Loc. Cit, hal. 9
26 I Wayan Wiryawan, I Nyoman Bagiastra, Ni Made Ari Yuliartini, Bunga Rampai Problematika Hukum https://
simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/0941191842bb92643df026c834e91ae6.pdf diakses pada
tanggal 4 Agustus 2020 pada pukul 18.15 WIB.

287
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

related education, public health and health administration.”27 Melalui pemanfaatan


teknologi informasi dan komunikasi maka dapat menjadi sebuah upaya guna mendukung
dan mempromosikan pelayanan klinis jarak jauh.
United States memiliki perbedaan definisi dan subyek mengenai telemedicine dan telehealth,
pembeda yang mencolok terletak pada telemedicine merupakan layanan kesehatan yang
dilakukan oleh dokter, sedangkan telehealth merupakan pelayanan kesehatan yang mencakup
subjek lebih luas yaitu dokter, perawat dan apoteker maupun tenaga kesehatan professional
lainnya.28 Layanan telemedicine oleh The American Telemedicine Association(Asosiasi
Telemedicine Amerika) dibagi menjadi lima tipe layanan, antara lain:29 
1. Specialist referral services
Pelayanan ini umumnya melibatkan dokter spesialis yang dibantu oleh dokter umum
dalam melakukan diagnosis. Jenis layanan ini meliputi praktik di mana pasien
“menemui” dokter spesialis untuk konsultasi perihal kesehatannya atau memberikan
gambar diagnosis dan/atau data informasi menunjang lainnya.
2. Direct patient care
Layanan jenis ini seperti pengiriman suara, video, atau data medisantara pasien dan
tenaga kesehatan profesional untuk digunakan dalammelakukan diagnosis, rencana
penyembuhan, pemberian resep ataupunsaran. Tipe layanan ini umumnya melibatkan
pasien yang berada di klinikdi daerah terpencil dan dokter yang berada di kantor atau
rumahnya.
3. Remote patient monitoring 
Layanan ini dengan menggunakan peralatan (devices) untuk mengumpulkan dan
mengirimkan data pemantauan ke pusat pemantauan (monitoring station) untuk
diinterpretasi. Pemantauan tanda-tanda vital seperti tekanan darah, kadar gula darah,
elektrokardiogram (EKG), atau berat badan berguna untuk mendukung layanan
kunjunganoleh perawat.
4. Medical education and mentoring 
Layanan ini berkisarnpemberian kredit pendidikan dokter secara berkelanjutan untuk
tenaga kesehatan berupa seminar pendidikan medis khusus hingga saran ahli interaktif
yang diberikan kepada professional lain yang melakukan prosedur medis.
5. Consumer medical and health information
Layanan jenis ini termasuk penggunaan internetoleh konsumen untuk mendapatkan
informasi kesehatan khusus dandiskusi grup daring.
Salah satu negara di United States, California memiliki regulasi mengenai telemedicine yaitu
Telehealth Advancement Act of 2011 yang telah menggantikan Telemedicine Development
Act of 1996. Telemedicine telah diterapkan secara luas di United States karena telah memiliki

27 The office of National Coordinator for Health Information Technology, “telemedicine and telehealth” http://
www.healthit.gov/topic/health-it-initiatives/telemedicine-and-telehealth diakses pada tanggal 3 Agustus 2020
pukul 20.54 WIB.
28 The American Telemedicine Association, “Telemedicine, Telehealth and Health Information
Technology” https://www.who.int/goe/policies/countries/usa_support_tele.pdf diakses pada
tanggal 3 Agustus pukul 21.00 WIB.
29 Ibid.

288
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

infrastruktur yang sangat memadai, legalitas yang melindungi dan kesadaran masyarakat
atas efisiensi dan efektivitas layanan kesehatan tersebut. Ontario, salah satu negara bagian
di United States, program telemedicine menyediakan layanan monitoring jarak jauh dan
panduan kesehatan (health coaching) untuk pasien. Selain itu, peran pemerintah dalam
memaksimalkan pelaksanaan telemedicine juga turut memberikan andil besar. Pemerintah
mendukung infrastruktur berupa perangkat yang dimiliki dokter dengan berbagai fitur
canggih seperti telepon cerdas yang dilengkapi fitur untuk mengukur tekanan darah, fungsi
paru, dan fungsi jantung yang berguna bagi monitoring dari dokter untuk pasien.
Pemerintah Indonesia menjadi salah satu negara yang memanfaatkan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technologies) di
bidang kesehatan yaitu telemedicine. Sejak tahun 1990, Indonesia telah mulai mengenal
istilah telemedicine secara sederhana. Seiring berjalannya waktu yang disertai dengan
perkembangan teknologi dan informasi, telemedicine juga mengalami perkembagan
guna mencapai hasil yang lebih maksimal di bidang fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor
penyebab diperlukannya penyelenggaran telemedicine antara lain kesenjangan pelayanan
kesehatan, persebaran dokter yang belum merata, dan berbagai masalah kesehatan yang
terkendala wilayah.30
Telemedicine merupakan salah satu opsi terbaik yang perlu dilakukan secara matang dan
sistematis. Hal tersebut mengingat dengan kondisi pandemi COVID-19 yang telah menyerang
baik secara nasional maupun global. Transmisi penyebaran dari penyakit COVID-19 yang
disebabkan oleh penularan dari manusia ke manusia melalui droplet dapat dikurangi.
Telemedicine memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi antara
dokter dan pasien dalam bertukar data dan informasi penunjang dari pasien kepada dokter
guna melakukan diagnosis, perawatan dan berbagai tindakan lanjutan. Telemedicine bukan
menjadi sebuah inovasi baru di Indonesia, namun memerlukan berbagai penyempurnaan
guna mencapai hasil yang lebih baik dan/atau maksimal dalam penyelenggaraannya.
Secara normative, Indonesia mempunyai regulasi mengenai telemedicine yang diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2017 tentang
Strategi E-Kesehatan Nasional, dan Peraturan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine
Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Indonesia dalam menghadapi pandemi COVID-19
mengeluarkan aturan terbaru mengenai telemedicine antara lain Peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia Nomor 74 Tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran
Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di
Indonesia dan Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/303/2020 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam
Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Definisi normative telemedicine diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan, yaitu: “pemberian pelayanan
kesehatan jarak jauh oleh professional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi

30 Ibid.

289
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

dan komunikasi, meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit


dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan
kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat.” Pelayanan
telemedicine antara fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai makna bahwa antara fasilitas
pelayanan kesehatan satu dengan fasilitas kesehatan yang lain berupa konsultasi untuk
menegakkan diagnosis, terapi dan/atu pencegahan penyakit. Dalam koridor implementasi
telemedicine, fasilitas pelayanan kesehatan merupakan suatu alat dan/atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik promotive, preventif,
kuratif maupun rehabilitative yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan/
atau masyarakat (sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan).
Penerapan telemedicine sebagai opsi pelayanan kesehatan guna mencegah dan menanggulangi
transmisi COVID-19 dinilai sebagai langkah yang efektif. Hal tersebut dikarenakan dapat
meminimalisir kondisi tatap muka antara dokter dan pasien. Namun, berbagai aturan yang
ada tersebut belum mampu untuk memberikan perlindungan secara sistematis dan kontruktif.
Berbagai peraturan mengenai telemedicine terdapat celah hukum yang sangat beresiko
apabila tak kunjung dilakukan perbaikan. Celah hukum yang dimaksudkan adalah belum
adanya perlindungan bagi dokter dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dalam
koridor menerapkan opsi pelayanan kesehatan telemedicine. Peraturan yang ada hanya
sebatas mengatur mengenai pelayanan telemedicine antar fasilitas pelayanan kesehatan.
Implikasi dari celah tersebut adalah kedudukan dokter sebagai tenaga kesehatan professional
cenderung lemah dan tidak dilindungi. Hal tersebut dapat semakin memburuk dengan belum
optimalnya peran dari pemerintah guna melakukan sosialisasi penyelenggaran telemedicine
sebagai opsi pelayanan kesehatan, ketidaksiapan infrastruktur teknologi dan informasi
pendukung, hingga hal vital yang semakin memperlemah penyelenggaran telemedicine di
Indonesia adalah belum adanya Undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai
telemedicine. Melihat kondisi mengenai berbagai regulasi yang ada belum dapat mencakup
secara keseluruhan diperlukan adanya pengaturan secara konstruktif dan sistematis mengenai
telemedicine.
Pengaturan telemedicine sebagai upaya perlindungan bagi dokter sangat diperlukan. Namun
Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/303/2020 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Rangka
Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang kurang memberikan
perlindungan hukum bagi dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan, dikarenakan
Kedudukan Surat Edaran Mentri tidak berkekuatan hukum yang tetap. Maka dari itu, peran
politik hukum perlu dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menyusun suatu hukum
di masa mendatang (ius constituendum), Surat Edaran Mnetri Tersebut dapat sebagai
acuan untuk dibuat Undang-Undang mengenai telemedicine. Pada dasarnya konsep politik
hukum merupakan bagian dari fungsi negara yang dibangun oleh manusia berdasarkan pola
hubungan manusia dalam masyarakat yang diimplementasikan melalui suatu organisasi guna
mencapi tujuan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan bersama.31 Dengan demikian,
setiap negara memiliki politik hukum sebagai kebijakan dasar bagi penyelenggaraan negara.

31 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hal. 11

290
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

Politik hukum mempunyai definisi sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk
maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.32
Politik hukum merupakan sebuah kebijakan dari penyelenggara negara mengenai kriteria
untuk menyusun suatu hukum. Peran dari politik hukum merupakan suatu patokan dalam
pembentukan formulasi maupun rekontsruksi hukum. Dalam konteks penyusunan suatu
hukum, diperlukan suatu tolok ukur yang berfungsi sebagai patokan dari suatu hukum
yang berlaku di suatu negara. Dalam menyusun politik hukum di suatu negara diperlukan
analisis kajian dari aspek hukum dalam hal ini merupakan aspek hukum telemedicine guna
menentukan isi, bentuk dan patokan dari suatu hukum. Melalui kajian politik hukum tersebut,
dapat disusun sebuah pengaturan telemedicine sebagai upaya perlindungan hukum. Posisi
dokter sebagai organ vital dalam pelaksanaan telemedicine perlu diatur secara konkret dan
jelas guna memperkuat legalitas perannya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab.
Dalam koridor kajian aspek hukum telemedicine dapat dijelaskan mulai dari standar profesi
dan izin praktik. Berdasarkan Peraturan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2019 dan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 74 Tahun 2020
tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine Pada Masa
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia, pelayanan telemedicine
dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yaitu dokter dan dokter gigi. Dari segi kajian izin
praktik memiliki kelemahan bagi dokter, hal tersebut dikarenakan dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 tentang Izin Praktik
dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 adalah Surat Izin
Praktik bagi dokter dan dokter gigi hanya diberikan paling banyak untuk tiga tempat praktik
baik fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah, swasta maupun praktik perorangan.
Penyelenggaran telemedicine belum diatur di dalam pasal tersebut dikarenakan sistem dan
pola pelaksanaan yang berbeda dengan praktik kedokteran yang ada sehingga bertendensi
untuk melemahkan posisi dokter dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Implikasi
dari pasal tersebut adalah Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran yaitu bagi dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat izin dapat dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pengaturan telemedicine dalam memberikan perlindungan bagi dokter dapat dikaji
melalui sudut pandang bioetika berkaitan dengan standar etika kedokteran. Dalam koridor
implementasi telemedicine di Indonesia perlu dikaji dari sudut pandang bioetika yang
apabila dipaparkan dari pendekatan rasional. Pendektan rasional dalam kajian moralitas
etika antara lain:33
1. Deontologi, yaitu melibatkan pencarian aturan-aturan yang terbentuk dengan baik yang
dapat dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan keputusan moral seperti “perlakuan
manusia secara sama”. Suatu aturan yang telah disusun maka harus diterapkan dalam
situasi ilmiah.

32 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, cetakan II, 1986, hal.
160
33 https://www.wma.net/wp-content/uploads/2016/11/ethics_manual_indonesian.pdf - diakses pada tanggal 5
Agustus 2020 pada pukul 18.46 WIB.

291
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

2. Konsekuensialisme yaitu hal yang mendasari keputusan etis yang diambil karena
merupakan cara analisis bagaimana konsekuensi atau hasil yang akan didapatkan dari
berbagai pilihan dan tindakan. Tindakan yang benar dalam koridor konsekuensialisme
adalah tindaka yang memberikan hasil terbaik.
3. Prinsiplisme yaitu mempergunakan prinsip-prinsip etik sebagai dasar dalam membuat
keputusan moral. Prinsip-prinsip tersebut digunakan dalam kasus-kasus atau keadaan
tertentu untuk menentukan hal yang benar yang harus dilakukan dengan tetap
mempertimbangkan aturan dan konsekuensi yang mungkin timbul.
4. Etika budi pekerti berfokus pada karakter si pengambil keputusan yang tercermin
melalui perilakunya. Nilai merupakan bentuk moral unggul. Dokter dalam menjalankan
tugasnya mempunyai nilai-nilai yang harus dipenuhi yaitu belas kasih, kejujuran, bijak
dan dedikasi.
Berdasarkan empat pendekatan tersebut, setiap individu yang berkerja sebagai tenaga
kesehatan professional harus memperhatikan aturan dan prinsip-prinsip yang berlaku.
Kajian dari segi bioetika apabila ditelaah secara lebih lanjut, dapat menjadi tolok ukur dan/
atau indikator yang berfungsi sebagai patokan dalam politik hukum telemedicine dalam
memberikan perlindungan bagi dokter. Sesuai kajian dari segi bioetika tolok ukur yang
dapat dijadikan antara lain berbuat baik (beneficence), tidak merugikan (non maleficence),
keadilan (justice) dan otonomi (self-determination) yang dapat berfungsi sebagai tolok
ukur guna menetapkan standard of care dalam pelaksanaan telemedicine. Tolok ukur yang
digunakan dapat menjadi pertimbangan bagi para pembuat kebijakan maupun berbagai
pihak terkait guna menyusun pengaturan mengenai telemedicine.
Penyelenggaraan telemedicine di Indonesia harus memenuhi standar profesi berupa kode
etik dan standar prosedur operasional serta secara legalitas memenuhi izin praktik di
fasilitas pelayanan kesehatan, rekam medik dan keamanan serta kerahasiaan pasien. Hal
tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 44 (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran yaitu, “dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan
praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.”
Selanjutnya, diatur pula di dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran bahwa, “dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien”.
Dalam implementasi standar profesi kedokteran menurut Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran merupakan batasa kemampuan (knowledge,
skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk
dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yag dibuat oleh
organisasi profesi.Kajian lain yaitu mengenai standar pelayanan yaitu berupa pedoman yang
harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.
Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga diatur
mengenai standar prosedur operasional sebagai suatu perangkat/instruksi maupun langkah-
langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Stabdar
prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan consensus
bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh
sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.
Politik hukum telemedicine dalam memberikan perlindungan bagi dokter dapat dimulai
melalui perluasan dari pelaksanaan telemedicine yang dimulai dari Undang-Undang Nomor

292
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang mana praktik kedokteran dilaksanakan
berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan,
keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien (sebagaimana diatur di dalam
Pasal 2 Undang-Undang Praktik Kedokteran) sebagaimana pemaparan dari segi izin
praktik dan standar etika profesi dokter, selanjutnya di dalam peraturan perundang-undang
yang disusun diperlukan pemaparan mengenai keadaan darurat (pandemi) sebagai bahan
pertimbangan (consideration) berupa Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 74
Tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine Pada
Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia guna memperkuat
legalitas pelaksanaan telemedicine di Indonesia dan berbagai aturan terkait dengan kondisi
pandemic COVID-19.

D. Penutup
1. Simpulan
Indonesia dalam menghadapi kondisi darurat guna menghadapi pandemi COVID-19
memerlukan berbagai adaptasi di berbagai aspek kehidupan, salah satunya di bidang
kesehatan. Bentuk dari adaptasi yang perlu dilakukan guna menekan angka transmisi
penyebaran COVID-19 yaitu melalui penerapan telemedicine sebagai opsi pelayanan
kesehatan. Indonesia telah memiliki berbagai regulasi mengenai penerapan telemedicine,
namun legalitas dari regulasi tersebut masih terdapat celah hukum dikarenakan berbagai
regulasi yang ada sebatas mengatur mengenai hubungan hukum antar fasilitas pelayanan
Kesehatan. Dalam koridor pelaksanaan telemedicine dokter memberikan pelayanan
kesehatan, posisi dokter masih cukup lemah dikarenakan belum adanya regulasi yang
konstruktif, sistematis dan konkret. Maka dari itu, diperlukan sebuah pengaturan yang
dikaji melalui aspek politik hukum guna befungsi sebagai tolok ukur dari isi, bentuk dan
arah dari suatu hukum (ius constituendum) dalam penerapan telemedicine yang dikaji
dari segi izin praktik dan standar etika profesi dokter guna memberikan legalitas bagi
perlindungan dokter.

2. Saran
Pemerintah Indonesia melalui para legislator, Kementerian Kesehatan dan berbagai pihak
terkait perlu segera menyusun regulasi telemedicine yang kuat dalam bentuk Undang-
Undang yang secara khusus mengatur mengenai telemedicine baik dari segi kajian
fasilitas layanan kesehatan, dokter dan pasien di Indonesia dalam rangka memberikan
perlindungan secara menyeluruh. Regulasi telemedicine tersebut menjadi sebuah
penyempurnaan secara legalitas yang kemudian dapat dilakukan upaya memperbaiki
dari segi infrastruktur, dan kesiapan masyarakat.

293
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Banyumedia
Publishing, 2006.
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia,
cetakan II, 1986.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada, 2014.
World Health Organization, A Health Telematics Policy in Support of WHO’s Health-For-All
Strategy for Global Health Development: Report of the WHO Group Consultation on
Health Telematics, Geneva: World Health Organization, 1997.

Jurnal/Prosiding/Seminar Nasional/ Penelitian Hukum (Tesis dan Desertasi)


Budi Setiawan Santoso, Medina Rahmah, Trisnanti Setiasari, Puji Sularsih, Perkembangan dan
Masa Depan Telemedika di Indonesia, CITEE: Departemen Teknik Elektro dan Teknologi
Informasi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, ISSN: 2085-6350, 2015.
Craig J, Patterson V, Introduction to the Practice of Telemedicine, Journal of Telemedicine and
Telecare, Vol.11 Issue (1), 2005.
Currel et al, Telemedicine versus face to face care: effects on professional practice and health
care outcomes, Cochrane Database of Systematic Reviews, Issue 2, 2000.
Farid Rahimi, Amin Talebi Bezmin Abadi, Tackling the COVID-19 Pandemi , Archives of
Medical Research, Vol. 51 Issues 5, https://doi.org/10.1016/j.arcmed.2020.04.012 , 2020.
Ittipong Khemapech, Watsawee Sansrimahachai, and Manachai Toachoodee, Telemedicine
– meaning, challenges and opportunities, Siriraj Medical Journal, Vol. 71 No.3 http://
dx.doi.org/10.33192/Smj.2019.38 , 2019.
Luigi Cirrincione, Fulvio Plescia, Caterina Ledda, Venerando Rapisarda, Daniela Martorana,
Raluca Emilia Moldovan, Kellu Theodoridou, COVID-19 Pandemi ; Prevention and
Protection Measures to be Adopted at the Workplace, Sustainability, doi:10.3390/
su12093603, 2020.
M.B. Doumbouya, B. Kamsu-Foguem, H. Kenfack and C. Foguem, Telemedicine using mobile
telecommunication: towards synstatic interoperability in teleexpertise, Telematics and
Informatics, Vol. 3 Iss. 4.
Pan American Health Organization, Framework for the Implementation of a Telemedicine
Service, Marco de Implementacion de un Servicio de Telemedicia, ISBN 978-92-75-
31903-1, 2016.
Strehle EM, Shabde N, One hundred years of telemedicine: does this new technology have a
place in paediatrics?, Archieves of Disease in Childhold 91(12), 2006.

294
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

World Health Organization, Telemedicine: Opportunities and Developments in Member States


(Report on the 2nd Global Survey on eHealth, Global Observatory for eHealth Series,
ISBN: 9789241564144 ISSN: 2220-5462, 2010.

Peraturan perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik.
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2017 tentang Strategi
E-Kesehatan Nasional.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 74 Tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis dan
Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) di Indonesia.
Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/303/2020 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Rangka
Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
World Mecical Association on The Ethics of Telemedicine which adapted by the 58th WMA
General Assembly, Copenhagen, Denmark, October 2007 and amended by the 69th WMA
General Assembly, Reykjavik, Iceland, October 2018.

Website
https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-
briefing-on-covid-19---11-march-2020 - diakses pada tanggal 3 Agustus 2020 pada pukul
16.45 WIB.
Laman resmi John Hopkins University and Medicine Coronavirus Resource Center https://
coronavirus.jhu.edu/map.html diakses pada tanggal 3 Agustus 2020 pada pukul 16.49
WIB.
https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019 diakses pada tanggal 3
Agustus 2020 pada pukul 16.53 WIB.
World Health Organization, Coronavirus disease (COVID-19) advice for the public, 2020 https:
who.int diakses pada tanggal 3 Agustus 2020 pada pukul 17.15 WIB.
The office of National Coordinator for Health Information Technology, “telemedicine and
telehealth” http://www.healthit.gov/topic/health-it-initiatives/telemedicine-and-telehealth
diakses pada tanggal 3 Agustus 2020 pukul 20.54 WIB.

295
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Qori Aulia*, Sunny Ummul Firdaus Pengaturan Telemedicine Sebagai Upaya
Perlindungan Bagi Dokter Di Masa Pandemi COVID-19

The American Telemedicine Association, “Telemedicine, Telehealth and Health Information


Technology” https://www.who.int/goe/policies/countries/usa_support_tele.pdf diakses
pada tanggal 3 Agustus pukul 21.00 WIB.
I Wayan Wiryawan, I Nyoman Bagiastra, Ni Made Ari Yuliartini, Bunga Rampai Problematika
Hukum https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/0941191842bb92643df02
6c834e91ae6.pdf diakses pada tanggal 4 Agustus 2020 pada pukul 18.15 WIB.
https://www.wma.net/wp-content/uploads/2016/11/ethics_manual_indonesian.pdf - diakses
pada tanggal 5 Agustus 2020 pada pukul 18.46 WIB.

296
BAGIAN 3

HUKUM PIDANA

297
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2018
Paijo Sastrodikompo, Tukiman Sastromiharjo, Indah Sekali Banget
Implementasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pada PT Indah Skeli Banget Poll
Bergeyol.

SEMINAR NASIONAL
MAGISTER HUKUM UNS 2020

298
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Khairul Imam Prasetyo Hadi Purwandoko Urgensi Problematika Delik Korupsi di
dalam Rancangan Undang-Undang KUHP

Urgensi Problematika Delik Korupsi di dalam


Rancangan Undang-Undang KUHP
Khairul Imam*; Prasetyo Hadi Purwandoko**

ABSTRAK
Pembaharuan hukum pidana di indonesia sudah beberapa kali masuk agenda prolegnas DPR
rancangan Undang-undang. Sudah sejak lama rencana pembaharuan undang-undang hukum
pidana diadakan. Hukum pidana indonesia merupakan warisan dari negara Belanda. Pembaharuan
hukum pidana telah memasukkan beberapa pasal khusus dalam RUUKUHP. Salah satu aturan
atau pasal khusus tersebut adalah tindak pidana korupsi Undang-undang No 31 Tahun 1999
jo Undang-undang No 2001, tentang Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana korupsi yang
sebelumnya menjadi undang-undang yang khusus akan dimasukkan dalam RUUKHUP. Undang-
undang yang ada dalam delik korupsi bila dimasukkan dalam RUUKHUP akan menimbulkan
ketidakpastian hukum aturan mana yang dipakai, sedangkan antara RUUKUHP dan Undang-
undang anti korupsi mengenai penjatuhan hukuman pidana berbeda. tataran praktik, persoalan
delik korupsi yang akan dimasukkan kedalam RUU KUHP akan menjadi permasalahan di
penjatuhan sanksi pidana, berkaitan dengan adanya 2 Undang-Undang yang mengatur materi
yang sama asas In dobio proreo ( jika terjadi keragu raguan maka hakim mengambil keputusan
yang menguntungkan terdakwa). selanjutnya permasalahan berikutnya adalah bahwa delik
kroupsi bukan lagi delik atau tindak pidana khusus meskipun dalam RUUKUHP telah mengatur
mengenai BAB kekhususan delik korupsi.
Kata kunci: Problematika delik Korupsi dalam RUUKUHP kekhususan delik Korupsi

ABSTRACT
The renewal of criminal law in Indonesia has been included several times in the agenda of
the DPR’s national legislation program. It has long been planned to renew the criminal law.
Indonesian criminal law is a legacy from the Netherlands.One of the special rules or articles is
a criminal act of corruption Act No. 31 of 1999 in conjunction with Law no 2001, concerning
Corruption. corruption that was previously a special law will be included in RUUKHUP.The law
in corruption offense when included in the RUUKHUP will cause legal uncertainty which rules
are used, whereas between the RUUKUHP and the anti-corruption law regarding imposing
criminal penalties are different.the level of practice, the issue of corruption offenses that will
be included in the Criminal Code Bill will become a problem in the imposition of criminal
sanctions, related to the existence of 2 Laws governing the same material as the principle of
In dobio proreo (if there is doubtful, the judge makes a decision favorable to the defendant).
then the next problem is that the offense of the group is no longer a crime or a special crime
even though in the RUUKUHP it has stipulated the chapter on the specificity of the corruption
offense.
Keywords: Problem of Corruption offense in the RUUKUHP on the specificity of Corruption
* Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres,
Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, khairulimm@gmail.com, S.H. (Universitas Sebelas Maret).
** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa
Tengah, Indonesia, prasetyohp@staff.uns.ac.id

299
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Khairul Imam Prasetyo Hadi Purwandoko Urgensi Problematika Delik Korupsi di
dalam Rancangan Undang-Undang KUHP

offense
A. Pendahuluan
Pembaharuan pidana pada hakikatnya adalah bagian kebijakan hukum pidana yang dapat
ditinjau dari beberapa aspek yaitu sosiopolitik sosiokultural dan sosioekonomi.1Pembaharuan
hukum pidana itu sendiri baru dapat dikatakan menyeluruh bila meliputi 3 hal, yakni
pembaharuan hukum pidana material (substantif), hukum pidana formal (hukum acara
pidana) dan hukum pelaksanaan pidana (Strafvollstreckungsgesetz). Kalau hanya salah
satu bidang yang diperbaharui dan yang lain tidak, maka akan timbul kesulitan dalam
pelaksanaannya, dan tujuan pembaharuan itu tidak akan tercapai sepenuhnya.2Berbeda
halnya dengan pembaharuan hukum pidana nasional (criminal law reform) yang dimulai
pada tahun 1963, yang mana sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghasilkan suatu
KUHP yang “serasi”, (baik dengan pendekatan antara keduanya), melainkan diharapkan
terbentuknya KUHP nasional yang berkepribadian Indonesia yang sangat menghormati
nilai-nilai agamis dan adat, bersifat modern dan sesuai pula dengan nilai-nilai, standar dan
asas serta kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia.3
Romli Atmasasmita mengatakan bahwa membangun hukum pidana nasional , tidak hanya
menggunakan penafsiran hukum berbasis metode abstraksi-normatif logis dan sistematis
tidak lagi hanya satu-satunya sarana dan parameter keberhasilan untuk menemukan
kebenaran materiil yang selalu berujung pada pemenjaraan pelaku tindak pidana. Metode
abstraksi-normatif logis dengan tujuan penjeraan tidak lagi sepenuhnya dapat dibenarkan
karena bertentangan dengan Pancasila, pendekatan retributif juga terbukti tidak mewujudkan
kepastian, keadilan sreta kemanfaatan sosial.4Rekodifikasi yang dilakukan oleh tim perumus
KUHP , mengingat semangat ,beberapa misi yaitu dekolinialisasi, harmonisasi, konsolidasi,
sehingga Tim perumus menginginkan bahwa KUHP kedepan merupakan hukum pidana
Indonesia, dikarenakan KUHP tersebut manjadi identitas nasional,dalam RUU KUHP yang
baru ada beberapa tindak pidana yang selama ini di luar KUHP, sebagian orang menyebutnya
dengan Tindak Pidana Khusus. Salah satu contoh adanya rekodifikasi yaitu dimasukkannya
delik-delik Korupsi yang ada dalam Undang-undang No 31 Tahun 1999 jo Undang-
undang no 2001, tentang Tindak Pidana Korupsi, hal demikian akan menjadi Polemik
serta menjadikan Kajian Teoritik Maupun Praktik, dikarenakan beberapa belakangan ini
sedang gencar-gencarnya upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh
KPK,Hal tersebut akan menjadi pertanyaan besar dan ironis sekali mengingat penegakan
hukum yang dilakukan yang dilakukan oleh KPK menuai pujian di kalangan masyarakat
luas, menjadi ironi sekali jika aturan dalam pemberantasan tindak pidana Korupsi yang
selama ini diatur dalam UU khusus di luar KUHP,akan dimasukkan dalam KUHP yang
notabene sebagai delik umum, pada hal ini ada azas yang sangat familiar yaitu lex specialis
derogat legi generali( UU khusus menyimpangi UU yang umum). Tidak mempunyai arti lagi
dikarenakan tindak pidana Korupsi sudah menjadi delik umum.

1 Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penyusunan KUHP Baru, Jakarta : Kencana ,
2008, hlm 29
2 Soedarto, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia (dalam Simposiaum Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman), Bandung : Bina Cipta , 1986 hlm. 27.
3 Muladi, Beberapa Catatan tentang RUU-KUHP, dalam Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1 Nomor 2 -
September 2004.
4 Romli Atmasasmita, Rekontruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld),Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2017 hlm 93

300
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Khairul Imam Prasetyo Hadi Purwandoko Urgensi Problematika Delik Korupsi di
dalam Rancangan Undang-Undang KUHP

B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research).Penelitian hukum merupakan
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-
doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.5Morris L. Cohen menambahkan,
dalam penelitian hukum (legal research) terdapat beberapa pendekatan yang digunakan,
yaitu statuta approach, conceptual approach, analitycal approach, comparative approach,
historical approach, philosophical approach, dan case approach.6Merujuk pendekatan-
pendekatan itu, penulisan artikel ini menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statuta approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan historycal approach
(pendekatan sejarah). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data sekunder
(secondary data) dengan sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan
hukum primer adalah bahan hukum yang autoritatif, sedangkan bahan hukum sekunder
berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi
meliputi buku-buku, teks, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putus pengadilan.7

C. Pembahasan
Undang -undang tindak pidana korupsi no 31 Tahun 1999 jo no 20 tahun 2001, merupakan UU
khusus di luar KUHP perbuatan pidana yang terletak dalam UU 31 thun 1999 merupakan lex
specialis derogat legi generali suatu asas hukum yang sangat familiar di dalam ilmu hukum,
korupsi di indonesia dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, (extra ordinary crime)
yaitu sifat kejahatan ini memepunyai dampak yang luar biasa dengan modus sangat masif
dan pelaku perbuatan bukan sembarang orang, dan pasti dia mempunyai sebuah kedudukan
sosial,Bertalian dengan dibahasnya RUU KUHP, yang memasukkan delik Korupsi ke dalam
RUU tersebut maka dimungkinkan tindak pidana Korupsi menjadi delik umum bukan
delik khusus, walaupun dalam RUU KUHP tersebut mengatur di BAB tersendiri tentang
Tindak Pidana khusus, ada sebuah postulat dalam hukum yaitu titulus est lex ( judul bab
yang menetukan ) ,rubrica est lex ( judul bagian atau paragraf yang menentukan), sehingga
memasukkan delik delik tindak pidana korupsi di dalam RUU KUHP tidak mengurangi sifat
kekhususan dalam UU 31 tahun 1999 jo 20 tahun 2001, di tambah dengan Pasal 729 KUHP
Bab mngatur tentang aturan peralihan, dimasukkannya tindak pidana khusus dalam RUU
KUHP tidak lepas dari masalah ketentuan pidana yang dimuat diluar KUHP,Menurut Nils
Jareborg keseluruhan sistem hukum pidana adalah8
1. Masalah kriminalisasi (criminalization): Perumusan Tindak Pidana
2. Masalah pemidanaan /penjatuhan sanksi
3. Pelaksanaan sanksi pidana
Doktrin perbedaan pemahaman hukum adalah adanya asas hukum satu dengan yang lain
saling berbenturan akan tetapi tidak saling menegasikan, artinya jika Lex specialis derogat
legi generali itu berbenturan dengan lex posteori derogat legi priori maka kedua asas hukum
itu tidak saling meniadakan dan hal itu akan menjadi hukum itu lebih dinamis,di dalam

5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada, 2014, hlm 35.
6 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2006, hlm.
300
7 Peter Mahmud Marzuki, Loc.cit, hlm. 133
8 Nils Jareborg, The Coherence Of The Penal System , Criminal law action, J.J.M Van dick, 1988, Arnhem, hl 329-
340

301
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Khairul Imam Prasetyo Hadi Purwandoko Urgensi Problematika Delik Korupsi di
dalam Rancangan Undang-Undang KUHP

lapangan penegakan hukum ini sebuah dilemma, menjadi sebuah pertanyaan UU manakah
yang harus diterapkan apakah KUHP apa UU 31 Tahun 1999 jo 20 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi. Asas In dobio Proreom Pada tataran praktik, persoalan delik korupsi yang akan
dimasukkan kedalam RUU KUHP akan menjadi permasalahan di penjatuhan sanksi pidana,
berkaitan dengan adanya 2 Undang-Undang yang mengatur materi yang sama asas In dobio
proreo (jika terjadi keragu raguan maka hakim mengambil keputusan yang menguntungkan
terdakwa), hal demikian sangat tidak sejalan dengan upaya Pemerintah. Dalam perbandingan
sanksi pidana maka RUU KUHP strafmaart lebih menguntungkan daripada Undang-undang
No 31 Tahun 1999 jo No 21 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.
Beberapa ini adalah perbandingan Pasal-Pasal yang berada di dalam Undang- Undang 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang No 20 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi;
UU 31 TH 1999 Jo 21 2001 RUU KUHP 2018 per 9 april
Pasal 2: Setiap orang yang secara melawan Pasal 687: Setiap Orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
diri sendiri atau orang lain yang suatu sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi yang
korporasi yang dapat merugikan keuangan merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara atau perekonomian negara, dipidana negara dipidana dengan pidana penjara seumur
dengan pidana penjara seumur hidup atau hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua)
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Kategori II dan paling
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 banyak Kategori VI.
(dua ratus juta rupiah)dan paling banyak Catatan: bahwa dalam perumusan strafmaart
Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah nya mengalami penurunan pidana minimum
Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan Pasal 688: Setiap Orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan atau suatu Korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
yang ada padanya karena jabatan atau padanya karena jabatan atau kedudukan yang
kedudukan atau sarana yang ada padanya merugikan keuangan negara atau perekonomian
karena jabatan atau kedudukan yang negara dipidana dengan pidana penjara seumur
dapat merugikan keuangan negara atau hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua)
perekonomian negara, dipidana dengan tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan
pidana penjara seumur hidup atau pidana denda paling sedikit Kategori II dan paling
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan banyak Kategori IV
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau Catatan: ada penambahan dalam strafmaart
denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima yaitu pidana minimum
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 13 : Setiap orang yang memberikan Pasal 690: Setiap orang yang memberikan
hadiah atau janji kepada pegawai negeri hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
dengan mengingat kekuasaan atau mengingat kekuasaan atau wewenang yang
wewenang yang melekat pada jabatan atau melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat
atau janji dianggap melekat pada jabatan pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana
atau kedudukan tersebut, dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) atau
pidana penjara paling lama 3 (tiga) dan atau denda paling banyak Kategori II.
denda paling banyak Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah). Catatan : tidak ada perubahan

302
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Khairul Imam Prasetyo Hadi Purwandoko Urgensi Problematika Delik Korupsi di
dalam Rancangan Undang-Undang KUHP

Pasal 12 b: pegawai negeri atau penyeleng- Pasal 691: Pegawai negeri atau penyelenggara
gara negara yang menerima hadiah, pada- negara yang menerima hadiah atau janji padahal
hal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah
diduga bahwa hadiah tersebut diberikan se- atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan
bagai akibat atau disebabkan karena telah atau kewenangan yang berhubungan dengan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
dalam jabatannya yang bertentangan de- yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada
ngan kewajibannya; hubungan dengan jabatannya dipidana dengan
Catatan : tidak ada perubahan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit
Kategori II dan paling banyak Kategori IV.
Pasal 693 Setiap pegawai negeri atau penyeleng-
gara negara yang memperkaya diri secara tidak
sah, dengan adanya pertambahan kekayaannya
yang tidak dapat dijelaskan secara Masuk akal
berkaitan dengan pendapatannya yang sah
dipidana dengan pidana penjara paling lama…
dan/atau….;
Alternatif (1): Setiap pegawai negeri
Pasal 694 a : Pegawai negeri, penyelenggara
negara, atau seseorang yang menerima janji,
tawaran, atau pemberian suatu keuntungan yang
tidak semestinya secara langsung atau tidak
langsung untuk menyalahgunakan pengaruhnya
baik yang nyata maupun yang diduga dimilikinya
dipidana dengan pidana penjara paling lama ….
dan/atau
Pasal 15 :Setiap orang yang melakukan Pasal 694 b; Setiap Orang yang menjanjikan,
percobaan, pembantuan, atau permufakatan menawarkan, atau memberikan suatu keun-
jahat untuk melakukan tindak pidana tungan yang tidak semestinya secara langsung
korupsi, dipidana dengan pidana yang sama atau tidak langsung kepada pegawai negeri,
penyelenggara negara, atau seseorang dengan
Pasal 21 Setiap orang yang dengan
maksud supaya menyalahgunakan pengaruhnya
sengaja mencegah, merintangi, atau
baik yang nyata maupun yang diduga dimilikinya
menggagalkan secara langsung atau
tidak langsung penyidikan, penuntutan, Alternatif ayat (1) dan (2):
dan pemeriksaan disidang pengadilan (1) Setiap Orang yang menjanjikan, menawar-
terhadap tersangka atau terdakwa kan, atau memberikan keuntungan yang tidak
ataupun para saksi dalam perkara semestinya kepada pejabat publik atau orang
korupsi,dipidana dengan pidana penjara lain, secara langsung atau tidak langsung agar
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling pejabatpublik atau orang itu menyalahgunakan
lama 12 (duabelas) tahun dan atau pengaruhnya yang ada atau yang dianggap
denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 ada dengan maksud memperoleh keuntungan
(seratus lima puluh jutarupiah) dan paling yang tidak semestinya dari lembaga atau
banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus pejabat publik yang berwenang untuk
juta rupiah). kepentingannya atau kepentingan orang lain
dipidana dengan pidana penjara paling lama
... tahun dan denda paling banyak Kategori

303
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Khairul Imam Prasetyo Hadi Purwandoko Urgensi Problematika Delik Korupsi di
dalam Rancangan Undang-Undang KUHP

Pejabat publik atau orang lain yang menerima


atau meminta keuntungan yang tidak semesti-
nya secara langsung atau tidak langsung agar
menyalahgunakan pengaruhnya sebagaima-
na dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan
pidana yang sama
Pasal 695:
Setiap Orang yang secara langsung atau
tidak langsung menjanjikan, menawarkan
atau memberikan sesuatu atau suatu keun-
tungan yang tidak sah kepada seorang peja-
bat publik asing atau seorang pejabat suatu
organisasi internasional publik, dengan
maksud supaya pejabat itu berbuat atau ti-
dak berbuat sesuatu dalam jabatannya un-
tuk memperoleh atau mempertahankan usa-
ha (bisnis) atau keuntungan lain yang tidak
sah dalam usaha (bisnis) internasional
Pasal 22: (3) Pembantuan untuk melakukan
Tindak Pidana dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari
ancaman pidana pokok yang diancamkan untuk
Tindak Pidana yang bersangkutan.

Latar belakang dimasukkannya delik delik khusus diluar KUHP adalah sesuai misi yang
diemban oleh Tim perumus KUHP yaitu:9
1. Misi dekolonialisasi yaitu berusaha menghapuskan pengaruh kolonial yang masih
secara intensif diakui denga asas konkordansi, doktrin dan yurisprusdensi.
2. Misi harmonisasi terhadap konvensi-konvensi melalui berbagai ratifikasi terhadap
konvensi internasional dan disusul dengan implentasi di bidang legislasi
3. Misi demokratisasi yaitu memperhatikan baik pelaku maupun korban dan negara serta
masyarakat
4. Misi humanisasi yaitu korban tindak pidana pelanggaran berat ( HAM , Genocida,) serta
perlindungan terhadap terpidana seperti penyempurnaan alternatif pidana kemerdekaan.
5. Misi aktualisasi berkembangan nya dunia teknologi menyebabkan peningkatan terhadap
modus-modus kejahatan yaitu tindak pidana informasi dan transasksi elektronik serta
semua kejahatan melalui dunia
6. Misi adaptasi terhadap ilmu pengetahuan /doktrin hukum pidana yang semakin
berkembang misalnya penerapan pertanggungjawaban korporasi
7. Misi komplementer terhadap perkembangan hukum pidana administrasi( admintrasi penal
law) bahwa hukum pidana administrasi sering kali digunakan untuk mengefektivitaskan
norma hukum administrasi yang kadang-kadang (overcriminalisasi)
Beberapa ide terkait dengan misi tersebut, penulis menganggap semua ide yang menjadi
dasar itu sesungguhnaya cukup baik dalam arti perkembangan ilmu hukum pidana dan ada

9 Muladi dan Dyah Sulistyani, KompleksitasPerkembangan tindak pidana dan kebijakan kriminal,. Bandung:
Alumni, 2016 hlm 21-22

304
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Khairul Imam Prasetyo Hadi Purwandoko Urgensi Problematika Delik Korupsi di
dalam Rancangan Undang-Undang KUHP

nuasa Ke-Indonesiaan dalam misi tersebut, dan secara doktrin menghilangkan sifat kolonial
yang individualistis,akan tetapi perkembangan Undang-Undang dilaur KUHP semakin pesat
walau terkadang menyimpang akan tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah dikarenakan
dalam Pasal 103 KUHP , tapi dalam perkembangan aturan itu ada yang menimbulkan
permasalahan yuridis dilihatdari sistem pemidanaan antara lain :10
1) Banyak perundang-undangan khusus yang tidak menyebutkan/menentukan kualifikasi
tindak pidana sebagai kejahatan atau pelanggaran sehingga dapat menimbulkan masalah
untuk mrmberlakukan aturan umum KUHP yang tidak secara khusus diatur dalam UU
khusus diluar KUHP
2) Banyak UU khusus yang mencamtumkan ancaman pidana minmal khusus tetapi tida
disetasi dengan aturan pemidanaan/penerapannya.
3) Beberapa UU khusus diluar KUHP subjek tindak pidana ada yang diperluas pada
korporasi ketentuan pertanggung jawaban pidana korporasi.11
4) Dalam UU khusus yang memuat ketentuan tentang pertanggung jawaban pidana
korporasi tidak satupun yang memuat ketentuan bila korporasi (bukan pengurus) tidak
membayar pidana denda.padahal dalam atura umum jika denda tidak dibayar atau aturan
prngganti denda hanya berlaku untuk orang Pasl 30 KUHP.
5) Dalam UU khusus ada yang menetapkan permufakatan jahat dipidana sama dengan
tindak pidananya, padahal permufakatan jahat merupakan istilah yuridis sama dengan
penyertaan dan percobaan, namun , dalam UU khusus itu tidak ada ketentuan yang
memeberikan pengertian atau batasan kapan permufakatan jahat speerti Pasal 88 KUHP
padahal Pasal 88 KUHP ini tidak berlaku untuk UU khusus diluar KUHP.
Menurut hemat penulis ada beberapa hal baru dalam RUU KUHP berkaitan dengan UU
khusus maka secara teoritik maka memasukkan delik-delik dalam RUU KUHP merupakan
langkah langkah yang tepat guna mengantisipasi bertumbuhnya UU khusus yang tidak
bersistem dan tidak konsisten bermasalah secara yuridis dan mencabik-cabik sistem induk
hukum pidana, akan tetapi pada saat ini untuk delik korupsi masih belum perlu dimasukkan
kedalam RUU KUHP, dikarenakan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia menurut masih
sangat masif. Dan penanggulangannya juga harus dengan cara yang luar biasa. Selain itu
pengembalian aset hasil korupsi juga harus dimasukkan dalam sebuah Undang-undang
baik itu melalui penyitaan hasil korupsi. Asset recovery is an attempt to carry out asset
recovery or pursue assets through criminal or non-punitive (NCB) conventions or through
processes in which is has fundamental objectives and processes for asset recovery.12 Melalui
kutipan tersebut dapat diketahui bahwa asset recovery merupakan sebuah upaya untuk
mengembalikan aset atau dapat dikatakan juga sebagai pemulihan aset akibat terjadinya
suatu akibat yang menimbulkan kerugian.Berbicara mengenai kerugian keuangan negara,
tentu ada nilai yang harus menjadi patokan atau tolak ukur dalam rangka asset recovery
atau pengembalian aset akibat perbuatan merugikan yang ditimbulkan. “…reinstatement
measures should have realistic chance of significantly accelerating natural recovery without
adverse consequences for other natural or economic resources and should be proportional

10 Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Sebuah Restrukturisasi, Rekontruksi sistem hukum pidana Indonesia,
Semarang: Pustaka Megister, 2016 hlm 9-10
11 Ibid
12 Jean Pierre Brun, Larissa Gray, Clive Scott, Kevin M. Stephenson, Asset Recovery Handbook: A Guide for
Practicioners,Washington: Stolen Asset Recovery Initiative World Bank, 2011, hlm. 5.

305
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Khairul Imam Prasetyo Hadi Purwandoko Urgensi Problematika Delik Korupsi di
dalam Rancangan Undang-Undang KUHP

to the extent and duration of the damage and the benefits likely to be achieved.”13 Studi
tentang kejahatan menegaskan bahwa kejahatan yang tidak bisa hilang sampai dunia ini
kiamat adalah Korupsi dan Prostitusi14, dengan demikian peraturan mengenai Korupsi harus
bersifat khusus dan efektif serta komprehensif. Persoalan penyimpangan yang terjadi alam
UU khusus terhadap KUHP adalah hal sangat memungkinkan karena perkembangan modus
modus dan tingkat kejahatan yang semakin masif, sehingga Muladi menyebutkan beberapa
hal yang menonjol dari KUHP atas dasar Pasal 103 yaitu:15
1. Sinkronisasi vertikal terhadap Konstitusi melalui beberapa perubahan akibat uji materiil
2. Perkembangan subjek tindak pidana korporasi
3. Mengenai perma tentang tindak pidana ringan
4. Asas subsidairitas (ultimum remedium) dalam UU lingkungan hidup
5. PengaAturan pidan secara komulatif dan alternatif (UU 31 th 1999)
6. Pidana minimum khusus (UU 31 th 1999)
7. Pemberlakuan surut pidana dalam pengadilan HAM
8. Kewajiban penerapan divesi atau keadilan restoratif
9. Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak
banyaknya dengan diperolah dari Korupsi
10. Tindak pidana menerima gratifikasi (UU No 20 th 2001)
11. Serat munculnya lembaga-lembaga baru yang independen (KPK, BNN, Komnas HAM)
Eddy OS Hiariej dalam tulisan nya di Kompas berpendapat bahwa di masukkannnya delik
delik khusus (Korupsi) di dalam KUHP dengan ketentuan sebagai berikut16;
1) delik korupsi berada dalam bab khusus dalam RUU KUHP.
2) Substansi delik-delik dalam tindak pidana korupsi hanyalah bersifat Core crime (delik
pokok).sehingga tidak menghilangkan UU yang berlaku sekarang
3) Delik korupsi ini direformulasi hanyalah 5 ketentuan yaitu pasal 2 ayat 1, Pasal 3, Pasal
11 dan Pasal 1, diketahui bahwa delik yang ada dalam UU 31 Tahun 1999 jo UU no 20
tahun 2001 ada 30 jenis delik korupsi, sehingg 25 lainya masih tetap dalam UU 31 tahun
1999 jo 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi
4) Secara mutatis mutandis lima ketentuan diatas seseui dengan asas Preferensi Lex posteori
derogat legi priori sesuai dengan doktrin rubrica est lex hal ini tidak menghilangkan
kekhususan delik korupsi meskipun didalam RUU KUHP.
5) Ketentuan Pasal 729 RUU KUHP tentang aturan peralihan secara expresive verbis
kewenangan KPK masih tetap berlaku
6) Beberapa delik korupsi ancaman maksmimum nya adalah 20 th, sedangkan ancaman
minimumnya ada yang diperberat dan ada yang diperingan, pencamtuman ancaman
pidana sesuai dengan rasionalitas dengan standard yang jelas.
7) Permufakatan jahat, percobaan, dan pembantuan tetap diancam dengan pidana yang
sama.

13 Brendan Bromwich, Enviromental Impacts of Conflict: The Loss of Governance and Routes to Recovery,
Environemntal Conflict in Africa Journal, 2009, hlm. 312
14 Wawancara dengan Prof Dr Eddy OS Hiariej di Fakultas Hukum UGM, 23 Januari 2016, dalam makalah Ridwan
Suryawan, Catatan Dalam Delik Korupsi, Yogyakarta : Pusat Studi Hukum Pidana dan Kriminologi FH UMY,
2010 hlm : 8
15 Muladi Op, cit hlm 30
16 Eddy OS Hiariej, Lex specialis dalam Hukum Pidana,Kompas edisi 12 juni 2018, dalam makalah Ridwan
Suryawan, Catatan dalam Delik Korupsi, Yogyakarta : Pusat Studi Hukum Pidana dan Kriminologi FH UMY,
2010 hlm : 10

306
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Khairul Imam Prasetyo Hadi Purwandoko Urgensi Problematika Delik Korupsi di
dalam Rancangan Undang-Undang KUHP

a) Pro dan Kontra terhadap Delik Korupsi yang dimasukkan dalam RUU KUHP
Perbedaan pendapat dan pandangan dalam dunia akademis merupakan sunnattullah,
dengan itu maka perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang sangat mungkin di
dalam dunia akademis dengan perbedaan itu maka wawasan dan kajian akan bertambah
baik jika didasari argumen-argumen yang ilmiah. Terkait dengan beberapa pandangan
dan pendapat bahwa delik Korupsi akan dimasukkan ke dalam RUU KUHP maka
ada beberepa pendapat yang Pro yaitu pernyataan Eddy OS Hiariej17 selaku Tim ahli
Penyusun RUU KUHP yang menyatakan bahwa delik Korupsi yang ada dalam RUU
KUHP merupakan core crime (kejahatan pokok) dari 30 Pasal yang ada dalam Undang-
Undang No 31 tahun 1999 jo Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dan memasukkan Pasal-Pasal delik Tindak Pidana Korupsi
dalam RUU KUHP, Dalam hal ini Penulis tidak sepakat dengan Prof Eddy,uraian bagian
atas telah menyebutkan bahwa Undang-Undang 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No
21 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan Lex Specilais
derogat Legi generali, sehingga menurut hemat penulis, Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi tetap berada di luar RUU KUHP dan RUU KUHP harus mencabut semua Pasal
Tindak Pidana Korupsi.

b) Pandangan yang menolak delik Korupsi masuk ke RUU KUHP


Beberapa pendapat dari ahli hukum pidana juga berpendapat yaitu Prof Indriyanto
Seno Adji yang notabene merupakan mantan Wakil ketua KPK dan seorang Guru Besar
Hukum Pidana, berpendapat bahwa delik korupsi bukan lagi sebagai tindak pidana
khusus, tetapi menjadi tindak pidana umum, akibatnya justru akan terjadi delegitmasi
kewenangan KPK untuk memeriksa kasus korupsi, Mantan Hakim Asep Iwan Iriawan
juga mengatakan jika Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo Undang-undang 20 tahun
2001 itu adalah hukum pidana materiil sekaligus hukum acara (formil) , maka dipastikan
akan merubah Hukum Acara yang menyimpangi di dalam Undang-Undang 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Menurut
hemat penulis apa yang dikatakan kedua ahli hukum memang benar jika Tindak Pidana
Korupsi masuk kedalam RUU KUHP, Hukum Acara Pidana yang ada dalam Undang-
Undang No 31 tahun 1999 jo Undang-Undang 20 Tahun 2001, akan mengalami
perubahan, padahal dalam doktrin hukum acara pidana menurut Van Bemmelen
adalah 18Strafvorderingheeftalleenplaatsopdewijzebijdewetvoorzien”. (Acara pidana
dijalankan hanya menurut cara yang diatur undang-undang) hal ini akan berdampak
pada tataran proses Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi.

D. Kesimpulan
Asas lex specialis derogat legi generalis istilih doktrin yang selama ini di pakai dalam UU
Tindak Pidana Korupsi jika RUU KUHP ini disahkan maka sesaui dengan asas preferensi
maka RUU KUHP yang di dahulukan, tetapi sejauh ini masih ada ketidaksepahaman antara
Tim Perumus dengan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, semoga dengan diskusi
mendalam antar Steakholder untuk menemukan rumusan Pasal yang komprehensif dalam

17 Ibid
18 Van Bemmelen, dalam Andi Hamzah, Beberapa Hal dalam Rancangan KUHAP, Makalah pelatihan hukum
pidana dan kriminologi “Asas asas hukum Pidana dan Kriminologi serta Perkembangannya Dewasa ini”
diselnggarakan oleh MAHUPIKI, Universitas Gadjah Mada, 23 -27 Februari 2014

307
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Khairul Imam Prasetyo Hadi Purwandoko Urgensi Problematika Delik Korupsi di
dalam Rancangan Undang-Undang KUHP

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga tidak menimbulkan kesalahan dalam


penafsiran peraturan perundang undangan Tindak Pidana Korupsi.Pertentangan Asas lex
specialis derogat legi generali dan lex posteori derogat legi priori akan menimbulkan
ambiguitas dalam tataran penegak hukum. Yaitu Undang-Undang manakah yang akan
diterapkan apakah KUHP apakah Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Korupsi karena mereka mempunyai bahasan delik
yang sama dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

B. Saran
Sesuai hal tersebut penulis memberikan saran bahwa terbentuknya penegakan hukum yang
idealharus diikuti dengan aturan yang jelas agar tidak terjadi kesimpangsiuran. Korupsi
merupakan penyakit negara sejak lama penegakan hukum yang efektif dan efisien perlu
dilakukan. Menurut hemat penulis bahwa pemasukan delik korupsi dalam RUUKHUP
mendatang perlu disesuaikan dengan Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi
terutama masa hukuman, Tidak masalah delik korupsi berada dalam RUUKHUP. Tetapi
harus sesuai dengan aturan yang ada di Undang-undang tipikor, hal ini sejalan dengan misi
pemerintah dalam pemeberantasan tindak pidana korupsi.

Daftar Pustaka
Buku
Arief, Nawawi Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penyusunan KUHP Baru,
Jakarta : Kencana, 2008
Arief, Nawawi Barda, RUU KUHP Sebuah Restrukturisasi,Rekontruksi sistem hukum pidana
Indonesia, Semarang : Pustaka Magister, 2016
Arief, Nawawi Barda, Kebijakan Formulasi ketentuan pidana dalam perundang-undangan,
Semarang : Pustaka Magister, 2016
Atmasasmita, Romli, Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straf Zonder
Schuld), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2017
Muladi, Dyah Sulistyani, KompleksitasPerkembangan Tindak Pidana dan Kebijakan kriminal,
Bandung : Alumni, 2017
Nils Jareborg, The Coherence Of The Penal System, dalam Criminal law action, J.J.M Van dick,
Arnhem,1988
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada, 2004
Soedarto, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia (dalam Simposiaum Pembaharuan
Hukum Pidana Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman),
Bandung: Bina Cipta, 1986

Peraturan perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

308
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Khairul Imam Prasetyo Hadi Purwandoko Urgensi Problematika Delik Korupsi di
dalam Rancangan Undang-Undang KUHP

Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 9 April 2018
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 2012

Jurnal
Andi Hamzah Beberapa Hal dalam Rancangan KUHAP, Makalah pelatihan hukum pidana dan
kriminologi “Asas asas hukum Pidana dan Kriminologi serta Perkembangannya Dewasa
ini” diselenggarakan oleh MAHUPIKI, Universitas Gadjah Mada, 23 -27 Februari 2014
Brendan Bromwich, Enviromental Impacts of Conflict: The Loss of Governance and Routes to
Recovery, Environemntal Conflict in Africa Journal, 2009.
Jean Pierre Brun, Larissa Gray, Clive Scott, Kevin M. Stephenson, Asset Recovery jurnal: A
Guide for Practicioners,Washington: Stolen Asset Recovery Initiative World Bank, 2011.
Muladi, Beberapa Catatan tentang RUU-KUHP, dalam Jurnal Legislasi Indonesia - Volume 1
Nomor 2 – September 2004

Media cetak
Eddy OS Hiariej, Lex specialis dalam Hukum Pidana, Kompas edisi 12 Juni 2018

Makalah
Ridwan Suryawan, Catatan dalam Delik Korupsi, Yogyakarta : Pusat Studi Hukum Pidana dan
Kriminologi FH UMY, 2010

309
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Erlinda Yulia Purnomo Penerapan Prinsip yang Adil (Fair Trial) dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia

PENERAPAN PRINSIP YANG ADIL (FAIR TRIAL) DALAM SISTEM


PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
Erlinda Yulia Purnomo

ABSTRAK
Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, kinerja hukum dan penegak hukum masih dianggap
kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan masyarakat.Lembaga peradilan yang seharusnya
menjadi benteng terakhir (last forttress) untuk mendapatkan keadilan sering tidak mampu
memberikan keadilan yang didambakan. Akibatnya, rasa hormat dan kepercayaan terhadap
lembaga ini nyaris tidak ada lagi sehingga semaksimal mungkin orang tidak menyerahkan
persoalan hukum ke pengadilan.Setiap orang tanpa diskriminasi berhak memperoleh keadilan
dan untuk memperolehnya dilakukan dengan cara mengajukan permohonan, pengaduan, dan
gugatan, baik dalam perkara perdata, pidana, atau administrasi. Untuk itu, perkara diadili
melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, dengan mengacu kepada hukum acara
yang menjamin pemeriksaan objektif oleh hakim yang jujur dan adil. Tujuannya adalah untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar.Menurut asas ini harus dihindarkan jual putusan di
dalam penanganan perkara. Prinsip-prinsip fair trial dalam proses peradilan pidana di Indonesia
telah dilaksanakan dan mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat
manusia telah diletakkan di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Prinsip-prinsip fair trialitu antara lain Praduga tidak bersalah (presumption of
innocence), Persamaan dimuka hukum (equality before the law), Asas Legalitas. Penulisan ini
bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis prinsip-prinsip fair trial dalam proses peradilan
pidana di Indonesia.Penulis menggunakan metode penelitian normatif atau doktrinal.
Kata kunci: Penerapan Prinsip, Fair Trial, Peradilan Pidana.

ABSTRACT
Since independence day until now, performance law and law enforcement are still considered
to be less meet the expectations of the community and feelings justice. The judiciary that are
supposed to be last strong hold to gets justice often were not able to provide these justice. As a
result, respect and confidence in these institutions almost no more so the optimal did not give
legal problem to the court. Every person without discrimination entitled to receive justice and
to get it done by means of request, complaints, and lawsuit, both in the civil case, criminal, or
the administration. For it, and trial by judicial process free and impartial, with reference to
the events which ensure the objective by the judge to be honest and fair. The goal is to obtain
decisions which are fair and true.According to this principle should be avoided in selling the
case management.Principles in the process a fair trial criminal justice in indonesia has been
implemented and set protection againstagainst of the dignity and human dignity is already in
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 concerning about the Judicial Power. The principles of
fair trial between presumption of innocence, equality before the law, the principles of legality.
This research aims to determine and analyze principles of fair trial criminal justice in Indonesia.
The author uses normative or doctrinal legal research methods.
Keywords: The application principle of, Fair trial, Criminal Justice

310
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Erlinda Yulia Purnomo Penerapan Prinsip yang Adil (Fair Trial) dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia

A. Pendahuluan
Fair trial atau peradilan yang adil adalah sebuah prinsip yang merupakan indikator dari
terbangunnya masyarakat dan sistem hukum yang adil. Tanpa penerapan prinsip peradilan
yang adil, orang-orang yang tak bersalah akan banyak memasuki sistem peradilan pidana
dan kemungkinan besar akan masuk dalam penjara. Tanpa penerapan prinsip peradilan
yang adil, hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta sistem peradilan akan
runtuh. Muladi menyebutkan bahwa sejak Indonesia merdeka, tema negara hukum paling
banyak mendapat sorotan.Sebagian dikarenakan kelemahan yang nyata pada lembaga-
lembaga hukum itu sendiri.Institusi-institusi hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya,
yaitu menurut taraf keinginan, harapan, dan tuntutan rakyat dari hampir semua tingkatan
masyarakat.
Donald Black menyebut hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental
social control), sehingga sistem hukum adalah sistem kontrol sosial yang di dalamnya diatur
tentang struktur, lembaga, dan proses kontrol sosial tersebut. Friedman juga menyebutkan
bahwa yang terpenting adalah fungsi dari hukum itu sendiri yaitu sebagai kontrol sosial
(ibarat polisi), penyelesaian sengketa (dispute settlement), skema distribusi barang dan jasa
(good distributing scheme), dan pemeliharaan sosial (Social maintenance).
Dalam konteks Indonesia, perjuangan menegakkan prinsip peradilan yang adil telah lama
dimulai.Salah satu yang menjadi cornerstone dan dianggap sebagai karya agung dari bangsa
Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (atau
lebih sering disebut sebagai KUHAP). Selepas pemberlakuan KUHAP, berbagai instrument
hak asasi manusia juga diadopsi dan menjadi bagian dari sistem hukum nasional, diantaranya
adalah United Nations Convention Against Corrruption, International Convention Against
Torture, dan International Covenant on Civil and Political Rights. Dalam proses peradilan
pidana saat ini, paradigma yang ingin dibangun adalah warga negara yang menjadi tersangka
atau terdakwa, tidak dapat lagi dipandang sebagai “obyek” tetapi sebagai “subyek” yang
mempunyai hak dan kewajiban berdasarkan hukum.
Dalam sistem peradilan pidana, due process of law diartikan sebagai suatu proses hukum
yang baik, benar dan adil.Pengadilan yang adil merupakan suatu usaha perlindungan paling
dasar untuk menjamin bahwa para individu tidak dihukum secara tidak adil. Proses hukum
yang demikian terjadi apabila aparat penegak hukum yang terkait dengan proses tersebut,
tidak hanya melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan yang ada, tetapi juga memastikan
agar semua hak tersangka/terdakwa yang telah ditentukan diterapkan. Proses hukum adil
juga wajib mengimplementasikan asas-asas dan prinsip-prinsip yang melandasi proses
hukum yang adil tersebut (meskipun asas atau prinsip tersebut tidak merupakan peraturan
hukum positif).
Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, kinerja hukum dan penegak hukum masih
dianggap kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan masyarakat.Lembaga peradilan
yang seharusnya menjadi benteng terakhir (last forttress) untuk mendapatkan keadilan
sering tidak mampu memberikan keadilan yang didambakan.Akibatnya, rasa hormat dan
kepercayaan terhadap lembaga ini nyaris tidak ada lagi sehingga semaksimal mungkin
orang tidak menyerahkan persoalan hukum ke pengadilan.
Dalam teori hak kodrati (John Locke), ia beragumentasi bahwa semua individu dikarunai
oleh alam, hak yang inheren atas kehidupan, kebebasan dan harta, yang merupakan milik
mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh negara. Tetapi Locke juga

311
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Erlinda Yulia Purnomo Penerapan Prinsip yang Adil (Fair Trial) dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia

mempostulatkan bahwa untuk menghindari ketidakpastian hidup dalam alam ini, umat
manusia telah mengambil bagian dalam suatu kontrak sosial, yang dengan itu penggunaan
hak mereka yang tak dapat dicabut itu diserahkan kepada penguasa negara.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, menyatakan
bahwa setiap orang diakui sebagai manusia pribadi, oleh karena itu berhak memperoleh
perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan mertabat kemanusiaan di depan
hukum. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan
yang objektif dan tidak berpihak. Selanjutnya, adalah perlakuan dan perlindungan kelompok
masyarakat yang rentan berkenaan dengan kekhususan, seperti : orang jompo, anak-anak,
fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
Hak atas fair trial atau peradilan yang berimbang merupakan:
1. Suatu yang tetap harus diperhitungkan dalam kehidupan demokrasi adalah kekuasaan
kehakiman yang merdeka, yang memberikan jaminan terselenggaranya peradilan yang
jujur terhadap semua orang yang dituduh melakukan tindak pidana. Jaminan ini secara
kongkrit dilakukan terhadap individu yang dituduh melakukan tindak pidana, yang
mengklaim bahwa haknya atas “fair trial” dilanggar. Hal ini diatur dalam Optional
Protocol to The International Convenant on Civil and Political Rights ( ICCPR) tahun
1966.
2. Landasan utama pengaturan fair trial terdapat dalam artikel 10 dan 11 Universal
Declaration of Human Rights (UDHR 1948); artikel 14 dan 15 International Convenant
on Civil and Political Rights(ICCPR) menegaskan eksistensi hak seseorang atas a fair
and public hearing by a competent, independent and impartial established by law.
Setiap orang tanpa diskriminasi berhak memperoleh keadilan dan untuk memperolehnya
dilakukan dengan cara mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam
perkara perdata, pidana, atau administrasi. Untuk itu, perkara diadili melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, dengan mengacu kepada hukum acara yang
menjamin pemeriksaan objektif oleh hakim yang jujur dan adil. Tujuannya adalah untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar.Menurut asas ini harus dihindarkan jual putusan
di dalam penanganan perkara.
Namun, hukum sekali lagi adalah produk politik pada masa itu.Meskipun dinyatakan
sebagai karya agung dari bangsa Indonesia, proses politik otoriter pada masa itu juga banyak
mempengaruhi ketentuan-ketentuan dalam KUHAP. Selain ketentuan KUHAP yang masih
belum sempurna dalam melindungi kepentingan tersangka/terdakwa, dan juga korban,
pada praktiknya usaha perlindungan yang tercantum dalam KUHAP sering diabaikan tidak
hanya oleh para aktor dalam sistem peradilan pidana, namun juga oleh Pengadilan. Penulis
melakukan penelitian hukum dengan judul ”Penerapan Prinsip yang adil (Fair Trial) dalam
Sistem Peradilan di Indonesia” dengan rumusan masalah mengenai bagaimana penerapan
prinsip-prinsip fair trial dalam sistem peradilan pidana di Indonesia?

B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research). Penelitian hukum merupakan
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-
doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Morris L. Cohen menambahkan,
dalam penelitian hukum (legal research) terdapat beberapa pendekatan yang digunakan,
yaitu statuta approach, conceptual approach, analitycal approach, comparative approach,
historical approach, philosophical approach, dan case approach. Merujuk pendekatan-

312
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Erlinda Yulia Purnomo Penerapan Prinsip yang Adil (Fair Trial) dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia

pendekatan itu, penulisan artikel ini menggunakan pendekatan perundang-undangan


(statuta approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan historycal approach
(pendekatan sejarah).Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data sekunder
(secondary data) dengan sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.Bahan
hukum primer adalah bahan hukum yang autoritatif, sedangkan bahan hukum sekunder
berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi
meliputi buku-buku, teks dan jurnal-jurnal hukum.

C. Pembahasan
Fair Justice Trial dalam Kamus Inggris-Indonesia, memberikan arti yang beragam, antara
lain: pengadilan yang jujur, wajar, tidak berat sebelah, adil dan tanpa prasangka. Istilah
“Peradilan yang Berimbang” lebih tepat jika dipadankan dengan asas equality before the
law. Sedangkan Ranu Handoko mengartikan “fair Trial” sebagai proses peradilan yang
jujur sejak awal sampai akhir.
Didalam pertimbangan Huruf (a) KUHAP atau menyebutkan bahwa: “Negara Republik
Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta yang menjamin segala warga negara
bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Ketentuan di atas memperjelas bahwa negara menjamin perlindungan hak warga negara
tanpa ada kecualinya. KUHAP sebagai pedoman pengatur Acara Pidana Nasional,
wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka sudah
seharusnyalah didalam ketentuan materi pasal atau ayat tercemin perlindungan terhadap Hak
Asasi Manusia serta kewajiban warga negara. Asas yang mengatur perlindungan terhadap
keluhuran harkat serta martabat manusia telah diletakkan di dalam Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.Asas-asas tersebut merupakan prinsip fair
trial dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang harus ditegakkan dengan KUHAP.
Adanya pemeriksaan perkara di pengadilan dapat dilakukan dengan menggunakan tiga
acara pemeriksaan perkara, yaitu pemeriksaan biasa, singkat dan cepat.Pembagian dalam
tiga acara ini sebenarnya merupakan wujud dari salah satu fair trial yaitu asas peradilan
sepat, sederhana dan biaya ringan.
Adapun prinsip prinsip fair trial yang di maksud adalah yang berlaku dalam sistem peradilan
pidana, antara lain:
1. Praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence)
Terhadap setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan
didepan sidang pengadilan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde).Dalam memeriksa tersangka
penyidik harus memperhatikan hak-hak asasi manusia, karena dalam setiap diri manusia
terdapat harkat dan martabat yang harus di junjung tinggi.Di dalam KUHAP di atur
tentang hak-hak yang di miliki oleh tersangka, karena itu suatu pemeriksaan khususnya
penyidikan, tidak diperbolehkan adanya ancaman atau kekerasan.
Untuk melindungi hak-hak tersebut, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah dirubah dengan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang salah satu isinnya berkaitan dengan Asas Praduga
Tidak Bersalah yang diatur pada Pasal 8 yang berbunyi: “Setiap orang yang disangka,

313
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Erlinda Yulia Purnomo Penerapan Prinsip yang Adil (Fair Trial) dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia

ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap
tidak bersalah sebelum ada keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahanya dan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Pengertian Asas Praduga Tidak Bersalah yaitu bahwa tersangka dianggap tidak
bersalah dalam arti kasus yang sebenarnya.Hal ini terkait penyidikan, penangkapan dan
penahanan. Pengertian Asas Praduga Tidak Bersalah tidak berkaitan dengan fakta-fakta,
tetapi berkaitan dengan peraturan-peraturan dan prosedur yang pokok dalam proses
peradilan pidana. Dikatakan bahwa tersangka/terdakwa tidak atau belum dianggap
bersalah dan tidak harus membuktikan ketikdakbersalahannya sendiri, tetapi nanti
ditentukan oleh pengadilan yang adil, yang memberi kesempatan kepada mereka untuk
membela dirinya sendiri dan mereka ini harus diperlakukan sama sebagaimana orang
tidak bersalah.
Tidak jarang tersangka didalam pemeriksaannya diberikan tekanan-tekanan dan
intimidasi untuk mengakui kesalahan yang belum tentu dilakukannya, bahkan dalam
beberapa kasus terjadi salah tangkap yang dilakukan oleh aparat yang sebelumnya,
tersangka diperlakukan tidak sesuai dengan hak-hak yuridis berdasarkan KUHAP,
sehingga perbuatan tersebut tidak sesuai dengan perwujudan Asas Praduga Tidak
Bersalah. Hak-hak tersangka yang dikemukakan diatas dijamin dan dilindungi oleh
Undang-Undang dalam proses penanganan perkara pidana, hal ini menunjukkan bahwa
KUHAP menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dengan
memberikan perlindungan dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (tersangka).
Diaturnya secara khusus hak-hak tersangka di dalam KUHAP maksudnya tiada lain
agar dalam proses penanganan perkara, hak-hak itu dapat memberikan batas-batas
yang jelas atau tegas bagi kewenangan aparat penegak hukum agar mereka terhindar
dari tindakan sewenang-wenang. Ditinjau dari segi hukum acara pidana, pembelajaran
jaminan dan perlindungan terhadap tersangka tersebut terutama ditujukan agar dalam
penegakan hukum itu benar-benar dapat didasarkan kepada kebenaran materil.Dengan
demikian diperoleh jaminan bahwa tujuan akhir dari KUHAP yakni untuk menegaskan
kebenaran dan keadilan secara konkrit dalam suatu perkara pidana.
Selain mempunyai hak-hak yang diatur oleh KUHAP, seorang tersangka atau terdakwa
juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakannya sesuai
dengan Undang-Undang. Kewajiban-kewajiban tersangka atau terdakwa yang terdapat
dalam KUHAP antara lain:
1) Kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan
dalam hal yang bersangkutan menjalani penahanan kota (Pasal 22 ayat 3 KUHAP);
2) Kewajiban meminta izin keluar rumah atau kota dari penyidik, penuntut umum
atau hakim yang memberi perintah penahanan, bagi tersangka atau terdakwa yang
menjalani penahanan rumah atau penahanan kota (Pasal 22 ayat 2 dan 3 KUHAP);
3) Kewajiban menaati syarat yang ditentukan bagi tersangka atau terdakwa yang
menjalani massa penangguhan misalnya wajib lapor tidak keluar rumah atau kota
(penjelasan Pasal 31 KUHAP);
4) Wajib menyimpan isi berita acara (turunan berita acara pemeriksaan) untuk
kepentingan pembelaannya (Pasal 72 KUHAP dan penjelasannya);
5) Kewajiban menyebut alasan-alasan apabila mengajukan permintaan tentang sah
atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan serta permintaan ganti kerugian
dan atau rehabilitasi (Pasal 79 dan 81 KUHAP);

314
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Erlinda Yulia Purnomo Penerapan Prinsip yang Adil (Fair Trial) dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia

6) Apabila dipanggil dengan sah dan menyebut alas an yang jelas, maka wajib datang
kepada penyidik kecuali memberi alas an yang patut dan wajar (Pasal 112 dan 113
KUHAP)
7) Wajib hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan. Kehadiran terdakwa disidang
merupakan kewajiban bukan merupakan haknya, terdakwa harus hadir di siding
pengadilan (penjelasan Pasal 154 ayat 4 KUHAP). Bahkan apabila terdakwa setelah
diupayakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dihadirkan dengan baik, maka
terdakwa dapat dihadirkan paksa (Pasal 154 ayat 6 KUHAP);
8) Meskipun tidak secara tegas disebut sebagai kewajiban, tetapi pembelaan terdakwa
atau penasehat hukum tentu merupakan suatu keharusan (Pasal 182)
9) Kewajiban menghormati dan menaati tata tertib persidangan;
10) Kewajiban membayar biaya perkara yang telah diputus pidana (Pasal 22 ayat 1)
11) Meskipun tidak secara tegas merupakan keharusan, sangat logis jika memori
banding perlu dibuat terdakwa yang mengajukan permintaan banding. Pasal 237
KUHAP mengatakan selama pengadilan tinggi, belum memeriksa suatu perkara
dalam tingkat banding, baik terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat
menyerahkan memori banding atau kontra memori banding kepada pengadilan
tinggi;
12) Apabila sebagai pemohon kasasi maka terdakwa wajib mengajukan memori
kasasinya, dan dalam waktu 14 hari setelah mengajukan permohonan tersebut,
harus sudah menyerahkan kepada panitera (Pasal 248 ayat 1 KUHAP);
13) Apabila terdakwa mengajukan permintaan peninjauan kembali (PK) maka harus
menyebutkan secara jelas alasannya (Pasal 264 ayat 1 KUHAP).
Untuk mewujudkan pemeriksaan dan persidangan yang sesuai dengan hukum, maka di
tetapkannya kewajiban yang bertujuan sebagai penyeimbang hak dari tersangka atau
terdakwa. Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah terkait dengan dasar obyektif dan
dasar subyektif di atas, maka terhadap tersangka diberikan hak-hak yang sepenuhnya
oleh hukum dalam proses penahanan dimana tersangka tidak ditahan melebihi jangka
waktu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang dan selama ditahan tersangka
diperlakukan secara patut dan wajar serta tidak mendapat kekerasan sebagaimana orang
yang tidak bersalah oleh penyidik, karena walaupun berada dalam masa penahanan,
tersangka tetap dianggap tidak bersalah selama belum ada putusan yang bersifat tetap
yang menyatakan ia bersalah.

2. Persamaan dimuka hukum (Equality Before The Law)


Adanya perlakuan sama terhadap diri setiap orang dimuka hukum/hakim dengan
perlakukan yang berbeda. Prinsip Equality Before The Law tertuang dalam Undang-
Undang Dasar 1945 mengakui prinsip ini, tersirat dalam Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara
Indonesia adalah negara hukum. Mengacu pada pemikiran AV. Dicey, bahwa Equality
Before The Law adalah the second meaning of rule of law. Pengertian Equality Before
The Law dalam konteks rule of law adalah no man above the law, every man whatever
be his rank or condition is subject to the ordinary law of the realm and amenable to the
jurisdiction of the ordinary tribunals.
Asas Equality Before The Law adalah bagian dari rule of law atau diterjemahkan
sebagai negara hukum. Menurut wikipedia, equality before the law adalah the principle
under which each individual is subject to the same laws, with no individual or group
having special legal privileges. Setiap warga negara tidak boleh ada yang menikmati

315
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Erlinda Yulia Purnomo Penerapan Prinsip yang Adil (Fair Trial) dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia

keistimewaan dalam setiap proses penegakan hukum. Apabila ada terjadi kebalikan
maka pengingkaran terhadap prinsipEquality Before The Law melahirkan diskriminasi
dalam di depan hukum.
Negara hukum akan menempatkan warga negaranya setara atau sama kedudukannya
di depan hukum (bandingkan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945).
Kesetaraan kedudukan berarti menempatkan warga Negara mendapatkan perlakuan
yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga
negara saat berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada di atas maupun di bawah
hukum.No man above the law dapat diartikan tidak ada keistimewaan yang diberikan
oleh hukum pada orang-orang tertentu sebagai subyek hukum, dan kalau ada subyek
hukum yang memperoleh keistimewaan menempatkan orang-orang tertentu sebagai
subyek hukum tersebut berada di atas hukum.
Dalam Pasal 26 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
menyatakan, all person are equal before the law and are entitled without any
discrimination to the equal protection of the law. In this respect, the law shall prohibit
any discrimination and guarantee to all persons equal and effective protection againts
discrimination on any ground such as race, colour, sex, language, religion, political, or
other opinion, national or social origin, property, birth or other status.Subyek hukum
dalam prinsip Equality Before The Law diberi perlindungan dari berbagai diskriminasi
(hukum) baik aspek substansi hukumnya atau penegakan hukum oleh aparatnya.
Pancasila sebagai statfundamentalnorma (norma paling dasar), yang menjadi ruh bagi
negara Indonesia pada sila kedua menyebutkan kemanusiaan yang adil dan beradap.
Itu mengharuskan negara ini menciptakan suatu sistem yang menciptakan keadilan dan
keberadaban manusia Indonesia itu.Salah sistem itu adalah sitem peradilan pidana, yang
di dalamnya ada asas-asas peradilan pidana.
Sistem peradilan pidana itu didasari asas-asas sebagai pengawal peradilan pidana
Indonesia tersebut. Salah satunya seperti asas equality before the law, tetapi berbagai
macam permasalahan hukum sekarang ini mulai menggerogoti asas-asas tersebut
sehingga proses penegakan hukum mulai tak berjalan dengan baik. Adanya pembedaan
perlakuan oleh Pengadilan (Hakim) terhdap bentuk penahan bagi terdakwa, menjadi
bukti asas equality before the law tak lagi menjadi pengawal sistem peradilan pidana
untuk menegakan hukum hukum substantif. Orang-orang yang terlibat dalam kasus-
kasus tersebut di duga merupakan orang-orang yang berada dalam lingkar kekuasaan
sehingga proses penegakan hukum menjadi belum berjalan dengan baik.
Sistem peradilan pidana merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain
mengharuskan semua subsistem yang ada bekerja dengan baik. Subsistem yang terdiri
dari substansi hukum (peraturan perundang-undangan), struktur hukum (lembaga
penegak hukum), dan budaya hukum (kesadaran masyarakat akan hukum) harus berjalan
seirama.Permasalahan-permasalahan hukum yang ada tak jarang mempengaruhi
efektifitas pelaksanaan sistem peradilan pidana tersebut.Permasalahn hukum yang
dimaksud tentu bukan sekedar pelanggaran substansi hukum tapi juga berkenaan dengan
lemahnya struktur dan budaya hukum.Sehingga sistem peradilan pidana tidak dapat
dijalankan dengan baik yang berakibat pada penegakan hukum menjadi tidak baik.
Asas-asas sistem peradilan pidana seperti tidak memiliki tempat lagi.Hal ini bisa dilihat
dari subsistem-subsistem yang tidak terintegarsi dengan baik. Karena seandainya asas

316
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Erlinda Yulia Purnomo Penerapan Prinsip yang Adil (Fair Trial) dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia

yang merupakan landasan dasar bergeraknya sistem peradilan pidana tersebut dijalankan
dan ditegakkan dengan baik, maka sistem peradilan pidana juga akan berjalan dengan
baik.
Asas equality before the law yang menjadi pengawal agar semua orang di negara ini
dipandang sama di depan hukum harus benar-benar ditegakan, karena disamping asas
equality before the law sebagai asas dalam sIstem peradilan pidana Indonesia juga
merupakan amanat konstitusi karena di pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa “segala warga negara bersamaan
kedudukannnya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Hal tersebut menunjukan bahwa
konstitusi kita yang merupakan hukum dasar dan konsensus semua elemen bangsa
menghendaki adanya persamaan di muka hukum tanpa terkecuali.Sehingga asas itu
harus dijaga demi kedaulatan hukum umumnya dan sistem peradilan pidana khususnya.
Asas kesamaan didepan hukum dan pemerintahan (Equality Before The Law) juga harus
selalu ditegakan demi kedaulan hukum dan system peradilan pidana.Karena sebagai
negara hukum diharuskan menjamin hak-hak manusia dan dalam konteks ini, tidak
boleh serta merta menjatuhkan pidana guna menegakan hukum dengan melanggar asas
ini. Jangan sampai terjadi memberikan penghakiman di luar aturan atau sistem yang
ada.
Asas persamaan di depan hukum serta asas lainnya seperti asas sederhana, cepat, dan
asas efektif serta efisen, praduga tak bersalah juga harus ditegakkan agar sistem peradilan
pidana Indonesia dapat berjalan baik, sehingga hukum dapat ditegakan. Asas-asas
terebut sangat, penting mengingat dalam menegakan sistem peradilan pidana yang tidak
bisa lepas dari adanya permasalahan hukum, maka orang-orang yang diduga melanggar
hukum tersebut harus dilindungi hak asasinya dan jangan sampai proses penegakan
hukum berakibat pada sistem peradilan pidana menjadi berjalan dengan lamban dan
tidak sederhana, sehingga tidak efektif dan efisien yang malah menyebabkan adanya
hak-hak asasi sterdakwa terlanggar kerena dalam proses peradilan itu mereka terlalu
lama padahal belum tentu mereka bersalah.
Asas proses hukum yang adil (due proses of law) menjadi salah satu asas terpenting
guna menunjang berjalannnya sistem peradilan pidana dengan baik. Adil disini tentu
memiliki makna yang luas, terlepas dari makna keadilan yang begitu subjektif tetapi
juga terkait dengan sulitnya penerapan keadilan tersebut.Akan tetapi dalam mengawal
berjalannnya sistem peradilan pidana asas keadilan harus tetap dijunjung tinggi. Karena
proses hukum yang adil (due proses of law) adalah hak yang harus diberikan oleh negara
dan itu kewajiban dari sub-sub sistem peradilan pidana untuk memenuhinya, karena
itu setiap orang yang ada dalam sistem peradilan pidana harus memperhatikan dan
menginsyafi asas itu, agar semua orang mendapatkan keadilan dan persamaan dalam
perlakuan hukum oleh lembaga penegak hukum dalam hal ini Pengadilan (Hakim). Asas
dalam sistem peradilan pidana harus selalu dijunjung tinggi. Terlebih asas persamaan di
muka hukum dan asas proses hukum yang adil, karena hal tersebut merupakan amanat
Undang-undang Dasar yang merupakan landasan hukum tertinggi.
Asas-asas peradilan pidana Indonesia seperti asas persamaan di muka hukum, asas
praduga tak bersalah, asas cepat, asas sederhana, asas efisien dan efektif serta asas proses
hukum yang adil harus selalu dijunjung tinggi. Hal tersebut demi berjalannya sistem
peradilan pidana dan tercapainya kedaulatan hukum. Asas-asas tersebut akan sangat

317
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Erlinda Yulia Purnomo Penerapan Prinsip yang Adil (Fair Trial) dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia

mempengaruhi sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.


Karena asas-asas tersebut sebagai landasan utama dan pegangan bagi mereka yang ada
dalam system peradilan pidana dan dalam penegakan hukum. Akan tetapi jika asas-
asas tersebut tidak dijadikan landasan maka hal akan sulit untuk menjalankan sistem
peradilan pidana agar berjalan baik.

3. Asas Legalitas
Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan dan dituntut atau diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan baik mengenai orangnya atau
penerapan hukum, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan
dan para pejabat penegak hukum, yang dengan sengaja atau kelalaiannya, menyebabkan
asas hukum tersebut dilanggar maka akan dituntut, dipidana dan atau dikenakan
hukuman administratif.
Istilah asas legalitas berasal dari bahasa latin yang berbunyi, “Nullum Delictum Nulla
Poena Sine Praevia Lege Poenali”, yang berarti tidak ada delik, tidak ada pidana, tanpa
peraturan terlebih dahulu. Rumusan Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege
Poenali ini pertama kali dikemukakan oleh sarjana hukum pidana Jerman terkenal Von
Feuerbach, dialah yang merumuskan dalam pepatah latin dalam bukunya “Lehrbuch
des pemlichen Recht”
Ansen Von Feuerbach merumuskan asas tersebut berhubungan dengan teorinya yang
terkenal “vom psychologischen zwang”.Menurut teori ini ancaman pidana dimaksudkan
untuk menakut-nakuti, sehingga dorongan bathin untuk melakukan tindakan pidana
dapat dicegah.Agar orang mengetahui adanya ancaman pidana, maka perlu dirumuskan
dalam undang-undang, jadi ada hubungan antara teori vom psychologischen zwang
dengan asas legalitas.
Asas legalitas merupakan realisasi teori vom psychologischen zwang, asas ini
menghendaki untuk adanya tindak pidana harus dicantumkan terlebih dahulu dalam
peraturan perundang-undangan pidana.Bagaimanapun jahatnya suatu perbuatan
dipandang masyarakat, bukanlah tindak pidana, dan kepada pelakunya tidak dapat
dipidana selama undang-undang tidak mengaturnya. Dengan kata lain perbuatan itu
terlebih dahulu ada dalam peraturan perundang-undangan disertai pidananya. Asas
legalitas menentukan perbuatan apa saja yang dipandang sebagai tindak pidana, karena
yang membuat undang-undang kita adalah pemerintah bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat, sebagai wakil rakyat, maka menjadi tugas pemerintah bersama-
sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menentukan dengan bijaksana perbuatan-
perbuatan apa yang dipandang sebagai tindak pidana.
Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP
yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.
Asas legalitas menghendaki bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak
pidana apabila terlebih dahulu ada undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan
itu sebagai tindak pidana.Oleh karenanya, asas legalitas melarang penerapan hukum
pidana secara surut (retroaktif).“Pasal 1 ayat (1) KUHP inilah yang menjadi landasan
penegakan hukum pidana di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan kepastian
hukum”.

318
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Erlinda Yulia Purnomo Penerapan Prinsip yang Adil (Fair Trial) dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia

Asas legalitas ini diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa: “Tidak seorang pun
dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-
undang”. Bunyi pasal ini memperkuatkan kembali kehendak asas legalitas terhadap
hukum pidana yang dibuat secara tertulis. Begitu juga dalam Undang-Undang Dasar
1945 Amandemen II Pasal 281 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “Hak untuk
hidup…..dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Dalam Amandemen
IV disebutkan bahwa: “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur dan dituangkan dalam perundang-undangan”.
Perlu disadari bahwa WetBoek van Strafrecht (WvS) merupakan peninggalan kolonial
Belanda, sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam
konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan
diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang.Tetapi
ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri yang
menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I
KUHP.Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya.
Sebagai peraturan peninggalan Belanda, menurut Mudzakkir: Asas legalitas kemudian
menjadi problem dalam penerapannya. Asas legalitas dihadapkan pada realitas
masyarakat Indonesia yang heterogen.KUHP maupun ketentuan pidana di luarnya
masih menyisakan bidang perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan
yang dilarang, sementara undang-undang tertulis tidak mengatur larangan itu.
Dalam sejarah hukum pidana Indonesia, keberadaan pengadilan adat memungkinkan
diterapkannya pidana adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law)
walaupun tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP.Oleh karena itu, asas legalitas
dalam praktek di Indonesia tidak diterapkan secara murni seperti yang dikehendaki
Pasal 1 KUHP. Dalam komentar terhadap K.U.H.P oleh Soesilo, asas legalitas dalam
Pasal 1 memiliki tiga pengertian yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas)
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Pengertian yang pertama mengandung konsekuensi tertentu, yaitu hukum adat
tidak dapat diberlakukan.Sebab hukum adat sifatnya tidak tertulis, sedangkan dalam
pengertian di atas secara jelas menyebutkan bahwa perbuatan yang dapat diancam
adalah jika sudah diatur dalam sebuah undang-undang.Berdasarkan pengertian di atas,
maka hukum pidana Indonesia menggunakan penafsiran yang sempit, yakni hukum
yang dimaksud hanya hukum yang tertulis saja. Sebetulnya, pada perundang-undangan
Indonesia yang lain ada memuat tentang asas legalitas, yaitu Undang-undang Dasar
Sementara (UUDS) tahun 1950 Pasal 14 ayat (2) yang menyatakan: “Tak seorangpun
boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman kecuali suatu aturan hukum yang
sudah ada dan berlaku terhadapnya”.
Dari pasal di atas tercermin pengertian hukum melingkupi aturan tertulis dan aturan
tidak tertulis, sehingga dalam UUDS berlakunya hukum adat sangat kuat.Menurut
Moeljatno, “Ini merupakan asas legalitas dalam pengertian yang luas, namun saat ini

319
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Erlinda Yulia Purnomo Penerapan Prinsip yang Adil (Fair Trial) dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia

UUDS tidak berlaku lagi dalam perundang-undangan di Indonesia”.Pengertian yang


kedua yaitu, tidak dikenal adanya tafsir analogi, ini merupakan sebuah pembatasan atau
persyaratan berlakunya asas legalitas pada pengertian pertama. Diprediksikan bahwa
masyarakat akan mengalami perubahan dengan cepat, sehingga dengan dinamisnya
masyarakat bisa jadi makna sebuah kata juga mengalami perubahan makna, sehingga
dibutuhkan metode penafsiran undang-undang dengan makna yang berkembang.
Dalam pengertian ketiga, yaitu, aturan pidana tidak berlaku surut memberi pengertian
bahwa perbuatan seseorang dinyatakan perbuatan pidana menurut aturan yang berlaku
pada waktu perbuatan dilakukan. Pengertian ketiga ini dibatasi dengan Pasal 1 ayat (2)
KUHP yang menyebutkan: “Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah
saat melakukan perbuatan, maka digunakan aturan yang paling ringan bagi terdakwa”.
Pasal tersebut mengandung pengertian arti bahwa asas tanpa delicti tidak berlaku jika
ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan dan sebelum
perkara diadili, tetapi yang dipakai jika ada kasus yang demikian ialah aturan yang
paling ringan bagi terdakwa.
Mengenai terkait masalah pencegahan penyiksaan yang terjadi dalam penegakan
hukum di Indonesia, problem ini tidak begitu saja bisa dihapus hanya karena Negara
Republik Indonesia melakukan ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan
Martabat Manusia atau yang dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan The United
Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment
or Punishment.
Dalam KUHAP sekarang, tata cara perolehan alat bukti tidak diatur secara tegas,
misalnya apakah alat bukti yang diperoleh melalu intimidasi, tekanan, atau bahkan
penyiksaan dapat digunakan sebagai bukti di Pengadilan.Meski telah terdapat beberapa
putusan pengadilan yang mengeliminir bukti yang diperoleh melalui penyiksaan,
namun secara umum pengadilan belum memandang bahwa due process menjadi bagian
terpenting dalam sistem peradilan pidana.

D. Penutup
1. Simpulan
Prinsip-prinsip penerapan fair trial dalam proses peradilan pidana di Indonesia sudah
dilaksanakan untuk memberikan perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat
manusia antara lain, Praduga tidak bersalah, terhadap setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan didepan sidang pengadilan sampai adanya
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap; Persamaan
dimuka hukum, adanya perlakuan sama terhadap diri setiap orang dimuka hukum/hakim
dengan perlakukan yang berbeda; Asas Legalitas, kepada seseorang yang ditangkap,
ditahan dan dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau
karena kekeliruan baik mengenai orangnya atau penerapan hukum, wajib diberi ganti
kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum,
yang dengan sengaja atau kelalaiannya, menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar
maka akan dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administratif.
2. Saran
Perlu pembenahan terhadap seluruh sistem peradilan di Indonesia yang mencakup
struktur, substansi dan cultur hukumnya.Faktor yang sangat penting dalam pembenahan

320
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Erlinda Yulia Purnomo Penerapan Prinsip yang Adil (Fair Trial) dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia

itu adalah sumber daya manusia sebagai salah satu faktor yang sangat esensial untuk
melakukan perubahan secara total. Jadi memang persoalan kita tidak bisa terlepas dari
sistem, tapi yang paling baik adalah orang yang membuat system itu seharusnya orang
yang bermoral, jadi sistemnya tidak akan menjadi baik kalau yang membuatnya orang
yang tidak bermoral alias jahat dan tidak baik. Kemudian agar peradilan yang fair,
impartial dan obyektif dapat segera direalisasikan maka perlu adanya status dan peranan
profesi advokat ataupun penegak hukum lain (polisi, jaksa, hakim) yang otonom dalam
sistem hukum. Menjadikan profesi menjadi bagian birokrasi secara independen akan
membuka lebar pada penyimpangan dalam peradilan. Demikian juga pengawasan dari
masyarakat berupa pengawasan secara lisan maupun tulisan mengenai gagasan dan
keluhan yang sifatnya membangun melalui media.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anton Freddy Susanto, Wajah Peradilan Kita Kontriksi Sosial Tentang Penyimpangan Mekanisme
Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004.
Darwan Prinst, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakkan Hak Asasi Manusia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001.
Donald Black, The Behaviour of Law, New York, USA, Academic Press, 1976.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2002
Eva Achjani Zulfa, Ketika Jaman Meninggalkan Hukum, 01 Apr 2003, www.pemantauperadilan.
com.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, 2006.
Lawrence Friedman, American Law, An Introduction, W.W. Norton & Company, New York,
1984.
Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan
Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, PT. Alumni,
Bandung, 2003.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1997.
Mudzakir, Pengaturan Asas legalitas Dalam RUU KUHP, Makalah, Jakarta, 2005.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Penerbit UNDIP, 1998.
O.C.Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Alumni,
Bandung, 2006,
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2014.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Prenada Media Group, 2014.

321
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Erlinda Yulia Purnomo Penerapan Prinsip yang Adil (Fair Trial) dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia

Ranu Handoko, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996


R.E. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum,
Penerbit Pakar Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001.
Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2011.
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, PT Temprint, Jakarta, 1994.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm dalam bahasa Jerman) adalah kedudukan
sebagai kaidah negara yang fundamental.Teori tentang staatsfundamentalnorm ini
dikembangkan oleh Hans Nawiasky, seorang ahli hukum berkebangsaan Jerman.

Internet
http://www.twocircles.net/book/export/html/135429).Diakses pada tanggal 5 Juli 2020 pada
pukul 20.35 WIB.
www.politik.kompasiana.com/2010/04/28/drama-anomali-prinsip-equality-before-the-law/
diakses pada tanggal 5 Juli 2020 pada pukul 22.15 WIB
www.ohchr.org/english/law/ccpr.htm diakses pada tanggal 12 Juli 2020 pada pukul 18.00 WIB

322
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rahmawati Efek Globalisasi terhadap Kekerasan Seksual Anak di Indonesia

EFEK GLOBALISASI TERHADAP KEKERASAN SEKSUAL ANAK


DI INDONESIA
Rahmawati*

ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk mengeksplanasi perkembangan terhadap kekerasan seksual
terhadap anak di Indonesia, sebagai imbas dari pengaruh globalisasi, yang berfokus kepada
perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan seksual. Perkembangan teknologi informasi,
telekomunikasi dan proses elektronik, serta kontribusinya untuk meningkatkan kesejahteraan,
kemajuan dan peradaban kehidupan manusia, menjadi alat yang lebih efektif yang digunakan
oleh beberapa orang atau kelompok orang untuk melanggar hukum atau melakukan kejahatan,
yang mengakibatkan tindakan berbahaya bagi masyarakat. di antara para korban. Kekerasan
seksual terhadap anak setiap tahun semakin meningkat seiring dengan kemajuan zaman, dimana
akses teknologi mudah untuk dicapai. Salah satu dampak negatif yang didapat dari mudahnya
untuk memperoleh akses tersebut adalah anak-anak yang lepas dari kontrol orang tua dapat
membuka situs-situs pornografi yang bisa dibuka dengan mudah melalui jaringan internet.
Proses perlindungan anak adalah proses pendidikan karena kemampuan anak untuk salah paham
dan melakukan tugas sosial. Perlindungan hak anak dapat dicapai secara sistematis melalui
serangkaian program, insentif, pendidikan, pendidikan, bimbingan agama, permainan, dan juga
melalui bantuan hukum yang disebut hukum advokasi dan perlindungan anak
Kata kunci: Kekerasan Seksual, Anak, Globalisasi

A. Pendahuluan
Dalam tatanan dunia baru globalisasi tidak dapat dipisahkan dari era pencerahan pada abad
pertengahan Eropa. Dimana sebagai pencetus globalisasi dimulai dari adanya revolusi
industri dan transportasi. Proses tersebut terus berkembang menjadi bagian yang sangat cepat
mengalami perubahan, baik dari kecepatan transformasi yang mampu menjangkau seluruh
aspek dalam kehidupan. Dapat dilihat bagaimana globalisasi1 memainkan peran penting
dalam seluruh lini kehidupan seperti dalam bidang politik, sosial budaya, dan lainnya
Peradaban hidup manusia pun semakin maju berkat adanya perkembangan yang begitu
pesat di segala bidang kehidupan, khususnya dengan kemajuan dalam bidang teknologi
informasi, telekomunikasi ataupun dalam melakukan transaksi elektronik. Selain memberi-
kan kemudahan-kemudahan dalam melakukan berbagai kegiatan dalam kehidupan,
globalisasi juga ternyata dapat dijadikan alat untuk melakukan perbuatan melawan hukum
atau perbuatan lain yang dapat merugikan orang lain.

* Dosen di STIH Rahmaniyah Sekayu dan mahasiswi PDIH UNS, email rahma.stihrahmaniyah@gmail.com
1 Menurut M. Albrow, "Globalisasi mengacu pada seluruh proses di mana orang-orang di seluruh dunia
dimasukkan dalam satu komunitas global. Karena prosesnya jamak, kita juga dapat melihat globalisasi dalam
pluralisme." Lihat M. Albrow, Globalisasi (london, New York: SAGE Publications, 1992).. Menurut Satjipto
Rahardjo, "Sebuah proses Karena globalisasi telah mengalami percepatan selama beberapa dekade terakhir,
tetapi proses sesungguhnya telah berlangsung cukup lama hanya dengan syarat bahwa manusia cenderung hidup
berdampingan dalam suatu bidang, dan oleh karena itu menghubungkan dan mengakui hubungan satu sama
lain. Lihat Satjipto Rahardjo, ‘Pengembangan Hukum Di Indonesia, Global Dalam Konteksnya’ (Universitas
Surakarta Muhammadiyah, 1996).

323
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rahmawati Efek Globalisasi terhadap Kekerasan Seksual Anak di Indonesia

Indonesia ikut berperan aktif dalam melakukan kegiatan globalisasi dengan membuat
beberapa kebijakan dalam pembangunan nasional yang dapat memudahkan untuk melakukan
Indonesia berinteraksi dengan negara lain dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan
dengan pasar internasional diantaranya dengan membuka ekonomi domestik.
Pembangunan nasional pun mengalami kemajuan yang cukup signifikan dalam melakukan
proses modernisasi. Meskipun tetap menjaga tujuan dari pembangunan itu sendiri, yaitu
untuk mensejahterakan manusia, selain itu perilaku pembangunan juga adalah manusia.2
Maksudnya manusia tetap berperan penting dalam penggunaan teknologi dengan bijak
sehingga penggunaan teknologi dapat memudahkan dan menguntungkan hidup manusia,
jangan sampai penggunaan teknologi yang semakin canggih menyebabkan manusia menjadi
korban atau bahkan menjadi pembuat korban.
Pembangunan awalnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup primer manusia berupa
sandang dan pangan, namun kemudian kebutuhan hidup tersebut berkembang menjadi
kebutuhan yang bersifat sekunder ataupun tersier, seperti pemenuhan untuk kebutuhan rasa
aman, kasih sayang, penghargaan ataupun aktualisasi diri yang bersifat positif. Akan tetapi
dengan berjalannya waktu ternyata pembangunan juga memiliki sifat negatif, yang dipicu
oleh adanya keinginan-keinginan dari manusia untuk mendapatkan lebih dari apa yang
sudah diperolehnya atau yang dibutuhkannya, atau bahkan keinginan dari manusia yang
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dari sifat negatif tersebut maka muncullah keadaan-keadaan yang mengingkari tujuan
awal dari pembangunan itu, yang bahkan bisa menimbulkan korban.Baik yang disebabkan
oleh adanya kekuasaan yang sewenang-wenang, adanya kekerasan ataupun dengan adanya
penyalahgunaan teknologi yang tidak tepat guna.Diantara korban yang ditimbulkan oleh
keadaan tersebut adalah anak-anak, dimana mereka belum mampu untukberhadapan dengan
orang dewasa ataupun keadaan sekitar. Padahal anak adalah sumber daya manusia, bagian
dari masa depan pembangunan dan sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa. Untuk
mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, pembangunan berkelanjutan
harus dipertahankan untuk anak-anak dan bangsa di masa depan.
Dalam Konvensi Hak Anak (CRC) yang diakui oleh semua negara di seluruh dunia, sangat
penting untuk melindungi hak anak untuk mendapatkan hak perlindungan khusus. Sebagai
amanat dari Tuhan, anak-anak harus dirawat dengan baik dalam proses pertumbuhan untuk
bertumbuh menjadi orang dewasa dikemudian hari, dalam hal ini orang tua langsung atau
orang lain yang memiiki kewajiban untuk mengasuh dan merawatnya di suatu tempat dan
waktu tertentu.Setiap anak dijamin untuk dilindungi dari semua kegiatan yang berhubungan
dengan kekerasan ataupun pemaksaan secara ekonomi serta dari semua perbuatan yang
berbahaya bagi anak-anak yang patut dikira dapat mengganggu pendidikan, kesehatan
jasmani, moralitas, kehidupan sosial, kejiwaan dan spiritual. Dalam kenyataannya, hak-hak
anak belum dapat dipenuhi secara penuh.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa kekerasan terhadap
anak terus meningkat dalam 4 tahun terakhir. Akhirnya, ada 5.066 kasus pada tahun 2014.
Peningkatan rata-rata dalam kasus dimulai pada 2011, dari 1.000 kasus kekerasan. Diantarnya
ada beberapa macam kekerasan terhadap anak-anak, diantaranya adanya kekerasan dalam
rumah tangga, kekerasan di lembaga pendidikan, serta pornografi dan kejahatan dunia maya.

2 Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM Dan Terciptanya Masyarakat
Madani, ( Yogyakarta : Pustak Pelajar), 2003, hal. 14.

324
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rahmawati Efek Globalisasi terhadap Kekerasan Seksual Anak di Indonesia

Media sosial dan adanya jaringan internet yang tidak tepat guna dapat memicu terjadinya kasus
kekerasan terhadap anak-anak, termasuk di dalamnya adalah kekerasan seksual secara online.
Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2014 tentang amandemen yang dibuat dalam Undang-
Undang No. 23 dan 2002 tentang Perlindungan Anak belum menyentuh tentang dampak
yang diakibatkan oleh gaya hidup hedonisme untuk anak dan dampak negatif dari teknologi
informasi yang merupakan bagian dari globalisasi yang semakin meluas. Undang-Undang
Perlindungan Anak , dalam artikel Perlindungan Khusus yang ditentukan dalam Pasal 59
menyatakan,
1. Pemerintah, Pemerintah Daerah dan lembaga pemerintah lainnya wajib memberikan
Perlindungan Khusus untuk Anak-anak.
Perlindungan Khusus untuk Anak-anak sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (1):
a) Anak-anak dalam keadaan darurat;
b) Anak-anak yang berkonflik dengan hukum;
c) Anak-anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d) Anak-anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan / atau seksual;
e) Anak-anak yang menjadi korban narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya;
f) Anak-anak yang menjadi korban pornografi;
g) Anak-anak dengan HIV / AIDS;
h) Anak yang telah diculik, dijual dan / atau diperdagangkan;
i) Anak-anak yang menjadi korban pelecehan fisik dan / atau psikologis;
j) Anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual;
k) Korban jaringan teroris;
l) Anak-anak Penyandang Cacat;
m) Anak korban perlakuan buruk dan penelantaran;
n) Anak-anak dengan perilaku sosial sesat; dan
o) Anak-anak yang menjadi korban stigmatisasi tanpa pelabelan terkait dengan status
orang tua mereka.
Dengan keadaan tersebut maka dianggap penting untuk melihat kembali peraturan-peraturan
yang berkaitan dengan anak khususnya yang bersangkut paut dengan keselamatan anak
dalam rangka menuju Indonesia yang layak anak. Merujuk kepada uraian latar belakang
permasalahan diatas, maka permasalahan pada tulisan ini adalah bagaimanakah efek
globalisasi terhadap kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia?

B. Pembahasan
Ada banyak pemahaman tentang anak, di antaranya memberi pengertian bahwa seorang
anak masih di bawah usia tertentu dan belum dewasa dan belum menikah. Selain itu, ada
orang yang mengatakan bahwa seorang anak masih muda dan mengidentifikasi kondisi
manusia normal dan bahwa ia sangat tidak stabil dari jiwanya dan dapat dengan mudah
dipengaruhi oleh lingkungan.
Secara umum apa yang dimaksud dengan Anak-anak yaitu manusia muda dalam umur muda
dalam jiwa dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh untuk keadaan sekitarnya3.
Kemudian di dalam hukum adat sebagaimana yang dinyatakan oleh Soerojo Wignjodipoero
yang dikutip oleh Tholib Setiadi menyatakan bahwa, kecuali dilihat oleh orang tuanya

3 RA Koesnan, Susunan Pidana Dalam Negara Sosialis Indonesia (Bandung, Jawa Barat, Indonesia: Sumur,
2005), hal. 113.

325
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rahmawati Efek Globalisasi terhadap Kekerasan Seksual Anak di Indonesia

sebagai penerus generasi anak juga dipandang sebagai wadah di mana semua harapan orang
tuanya kelak kemudian hari wajib ditumpahkan4, pula dipandang sebagai pelindung orang
tuanya kelak bila orang tua itu sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah.
Definisi anak-anak juga dinyatakan dalam amandemen Undang-Undang Anak ke-23
UU Nomor 1 (1) tahun 2002, UU No. 35 tahun 2014, “Anak-anak yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, masih dalam kandungan.” Sementara itu, Kamus Besar Bahasa
Indonesia.(KBBI) menyatakan bahwa anak-anak adalah cucu atau masih muda.
Menurut Undang-Undang, anak-anak diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Anak yang bersalah adalah anak yang membutuhkan hukuman di penjara selambat-
lambatnya 18 tahun, berdasarkan keputusan pengadilan.
b) Anak negara adalah anak yang dikirim ke negara, yang akan dilatih dan ditempatkan di
penjara remaja, selambat-lambatnya 18 tahun, berdasarkan keputusan pengadilan.
c) Anak sipil adalah anak yang, atas permintaan orang tua atau wali, mengambil keputusan
pengadilan untuk menerima pendidikan di penjara paling lambat 18 tahun.
Dari beberapa macam pengertian diatas, Romli Atmasasmita5 dan R.A Koesnoen6
melakukan penilaian dari berbagai macam karakter dan bentuk anak dilihat dari aspek fisik
dan psikologis mereka.
Jika dilihat dari aspek fisik, pihak penegak hukum biasanyaselalu memprioritaskan usia dan
status perkawinan. Penentuan usia tidak sama di antara negara-negara. Di Amerika Serikat,
yaitu, di 27 negara bagian ada negara-negara lain yang menerima batas usia anak-anak antara
usia 8 dan 18, di 6 negara lain yang menerima antara usia 7 dan 17 dan bahkan antara usia 8
dan 16; Batas usia untuk anak-anak di Inggris adalah 12 hingga 16 tahun; 8 hingga 16 tahun
di Australia; 12 hingga 15 tahun di Belanda; Di negara-negara Asia termasuk Sri Lanka 8
hingga 16 tahun, Iran 6 hingga 18 tahun, Jepang dan Korea 14 hingga 20 tahun, Kamboja 10
hingga 15 tahun; Negara-negara ASEAN termasuk Filipina dari 7 hingga 16 tahun, Malaysia
dari 7 hingga 18 tahun, Singapura dari 7 hingga 16 tahun.Ketentuan Angkatan Pencegahan
Pidana Anak membutuhkan batas minimum 10 tahun dan tidak lebih dari 16 hingga 18 tahun
dalam menentukan situasi anak-anak. Peraturan Beijing menetapkan batasan untuk anak-
anak dari 7 hingga 18 tahun.sedangkan Resolusi PBB 45/113 menetapkan batas atas untuk
usia anak yang baru berusia 18 tahun7.

4 Tholib Setiadi., Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia (Bandung, Jawa Barat, Indonesia: Alfabeta, 2010),
hal. 173.
5 Romli Atmasasmita menyebutkan bahwa pembangunan Nasional merupakan pembangunan manusia Indonesia
secarar utuh dan bebudi luhur, salah satunya adalah perlindungan bagi anak sebagai bagian dari pembangunan
Nasional yang lebih mantap. lihat Romli Atmasasmita (ed), Peradilan Anak Di Indonesia (Bandung, Jawa Barat,
Indonesia: Mandar Maju, 1997), hal.166.
6 R.A. Koesnoen menyebutkan bahwa anak adalah manusia muda, baik dalam umur, jiwa, dan pengalaman hidup,
serta mudah terpengaruh oleh lingkungan disekitaranya. Lihat Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi
Anak Di Indonesia (Jakarta, Indonesia: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 7. Kartini Kartono mengatakan
anak adalah manusia normal yang masih masih muda dalam usia, berada dalam proses menentukan identitas
diri, tidak stabil dalam jiwa dan mudah dipengaruhi. Lihat juga Kartini Kartono, Patologi Sosial Dan Kenakalan
Remaja (Jakarta, Indonesia: Grafindo Persada, 1998) hal. 9.
7 Sri Widayati Soekito, Anak Dan Wanita Dalam Hukum (Jakarta, Indonesia: LP3ES, 1989), hal. 10-11.
Hadisuprapto menyebutkan tentang ketentuan Task Force on Juvenile Delinquency Prevention, dimana batas
usia anak-anak 10 tahun dan maksimal 18 tahun, sedangkan dalam resolusi PBB 45/113 menyebutkan bahwa
batas usia anak-anak pada usia 18 tahun, lihat Paulus. Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, Pemahaman Dan
Pencegahannya (Bandung, Jawa Barat, Indonesia: Citra Aditya Bakti, 1997).hal.8

326
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rahmawati Efek Globalisasi terhadap Kekerasan Seksual Anak di Indonesia

Kalau dari aspek psikologis, pihak penegak hukum biasanya lebih mengutamakan keadaan
kesehatan mental atau kejiwaan dari seseorang. Dalam hukum tradisional, seseorang
dianggap dewasa, jika orang tersebut sudah menunjukkan adanya tanda-tanda kedewasaan
secara biologis. Hukum adat juga menyatakan bahwa seseorang bisa dianggap dewasa
ketika seseorang (pria atau wanita) sudah menikah dan meninggalkan ibu / ayah atau ibu
mertua untuk menetap di rumah lain sebagai pria muda atau wanita muda, untuk membentuk
keluarga kecil yang mandiri. Hukum tradisional juga menekankan bahwa apa yang disebut
sebagai anak di bawah umur adalah mereka yang belum menunjukkan keadaan jasmani
yang nyata yang dapat memperlihatkan bahwa mereka sudah berubah menjadi seorang yang
dewasa.
Melihat dari pengertian diatas, maka sudah sewajarnyalah bahwasanya anak memang masih
sangat membutuhkan bimbingan dan arahan orang tua atau orang dewasa yang terdekat
dengan dia dalam membuat suatu keputusan ataupun melakukan suatu tindakan, termasuk
didalamnya dalam menggunakan ataupun menjalankan suatu perbuatan yang menggunakan
teknologi.
Suatuteknologi yang dapat membuat atau menghasilkan informasi yang berkualitas termasuk
didalamnya yang dapat digunakan untuk memproses dan mendapatkan data, serta menyusun
dan menyimpannya inilah yang disebut dengan teknologi informasi.Teknologi informasi
ini jika digunakan secara benar dan tepat guna sangatlah membantu untuk menghasilkan
informasi yang strategis dan akurat yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan baik secara
individu, kelompok ataupun untuk keperluan pemerintahan.
Ada banyak macam bentuk teknologi informasi, diantaranya adalah perangkat komputer
dan jaringan internet yang penggunaannya untuk dapat dihubungkan dengan perangkat
komputer lainnya yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Semakin bagus, cepat
dan aman komputer serta jaringan yang digunakan maka akan menghasilkan data informasi
yang baik pula sesuai dengan yang diharapkan.
Sejarah teknologi informasi sangat berkembang dengan pesat, dimulai dengan adanya
penemuan radio, kamera, gambar yang bergerak, kemudian ditemukannya televisi, lalu
mengalami kemajuan lagi dengan semakin berkembangnya berbagai macam teknologi
termasuk diantaranya adalah jaringan internet yang di Indonesia di mulai sekitar tahun 1994.
Perkembangan teknologi informasi di Indonesia masih terus berjalan, meskipun belum
bisa disamakan dengan perkembangan teknologi di negara maju lain seperti di Singapura,
Jepang, Inggris ataupun di Amerika. Perbedaan tersebut karena dipengaruhi oleh beberapa
hal diantaranya karena perbedaan bentuk wilayah, ketersediaan infrastruktur dan lain
sebagainya.
Teknologi informasi di Indonesia berkembang secara bertahap sejak tahun 1970-an dengan
dibentuknya Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) yang membuat teknologi
informasi di Indonesia lebih terarah dan lebih baik dengan mengembangkan media-media
informasi yang telah ada sejak masa penjajahan seperti surat kabar dan radio.
Untuk ketertiban dalam berbagi informasi dan teknologi dengan menggunakan fasilitas
yang semakin canggih maka di Indonesia telah dibuat beberapa peraturan yang mengatur
tentang hal tersebut, diantaranya adalah:
1. UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
2. UU No. 38 Tahun 2009 Tentang Pos

327
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rahmawati Efek Globalisasi terhadap Kekerasan Seksual Anak di Indonesia

3. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik


4. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
5. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
6. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
7. UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Meskipun teknologi informasi telah berkembang dengan sangat baik namun belum
diringi oleh kesadaran begi pengguna teknologi tersebut untuk menggunakan teknologi
informasi tersebut secara tepat guna.Hal tersebut terjadi karena masih ada Sebagian
orang yang menggunakan teknologi tersebut untuk melakukan perbuatan yang tidak baik,
seperti perbuatan melawan hukum ataupun perbuatan lannya yang merugikan orang lain,
diantaranya adalah melakukan kekerasan terhadap anak melalui media teknologi informasi.
Tindak kekerasan yang dilakukan baik secara fisik, seksual, penganiayaan secara emosional
ataupun pengabaian anak termasuk dalam kekerasan terhadap anak.8Pusat Pengendalian
dan Pencegahan Penyakit (CDC) di Amerika Serikat mendefinisikan penganiayaan anak
adalah semua perbuatan atau serangkaian perbuatan wali atau kelalaian oleh orang tua atau
pengasuh lainnya yang hasilnyabisa membahayakan, atau memiliki potensi bahaya, atau bisa
memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak.9Kekerasan terhadap anak seringkali
terjadi di rumah anak itu sendiri, di lingkungan sekolah, di lingungan sekitar rumah atau
dalam kumpulan organisasi tempat anak berinteraksi.Tindak kekerasan terhadap anak dapat
dibagi menjadi empat macam, seperti diabaikan, adanya kekerasan fisik, dilecehkan baik
secara emosional atau secara psikologis dan juga kekerasan seksual terhadap anak.
Termasuk dalam penganiayaan terhadap anak adalah “semua tindakan terbaru atau
kegagalan untuk bertindak pada bagian dari orang tua atau pengasuh yang bisa menyebabkan
kematian, kerusakan fisik serius atau emosional yang membahayakan, kekerasan seksual
atau eksploitasi, tindakan atau kegagalan tindakan yang mengakibatkan adanya risiko
besar akan terjadinya bahaya yang serius”, menurut Journal of Child Abuse and Neglect. 10
Seseorang yang memiliki keinginan atau hasrat untuk melakukan kekerasan terhadap anak
atau mengabaikan anak mungkin bisa diklasifikan sebagai “pedopath”.
Ada banyak macam kekerasan terhadap anak:11 Empat macam kekerasan terhadap anak yang
sering terjadi adalah kekerasan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran.12Termasuk
dalam penelantaran anak adalah kegagalan orang dewasa yang seharusnya bertanggung
jawab dalam memenuhi kebutuhan anak atau tidak berhasil dalam penyediaan kebutuhan
yang memadai untuk berbagai kebutuhan, termasuk kebutuhan fisik seperti gagal untuk
menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional, gagal untuk
memberikan pengasuhan atau kasih sayang, pendidikan, gagal untuk mendaftarkan

8 “Child abuse - definition of child abuse by the Free Online Dictionary, Thesaurus and Encyclopedia.”
Thefreedictionary.com. Diunduh tanggal 29 November 2017
9 Leeb, R.T.; Paulozzi, L.J.; Melanson, C.; Simon, T.R.; Arias, I. (1 January 2008). “Child Maltreatment
Surveillance: Uniform Definitions for Public Health and Recommended Data Elements.” Centers for Disease
Control and Prevention. Diunduh tanggal 4 Desember 2017
10 Herrenkohl, R.C. (2005). “The definition of child maltreatment: from case study to construct”. Child Abuse and
Neglect 29 (5): 413–24 diakses tanggal 4 Desember 2017
11 Child Abuse and Neglect: Types, Signs, Symptoms, Help and Prevention diunduh tanggal 4 Desember 2017
12 A Coordinated Response to Child Abuse and Neglect: The Foundation for Practice, Office on Child Abuse and
Neglect (HHS), USA, 2003. Diunduh tanggal 5 Desember 2017

328
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rahmawati Efek Globalisasi terhadap Kekerasan Seksual Anak di Indonesia

anak di sekolah, atau medis gagal untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter.
Adapun yang termasuk dalam kekerasan fisik adalah tindakan menyerang secara fisik
yang diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa, sepertiadanya tinjuan, pemukulan,
penendangan, pendorongan, melakukan tamparan, pembakaran, penarikan telinga atau
rambut, penusukan, membuat memar ataupun dengan hanya mengguncang-guncangkan
tubuh anak. Mengguncangkan tubuh anak termasuk dalam kekerasan terhadap anak karena
akibat yang ditimbulkan oleh adanya guncangan dapat membuat pembengkakan pada
otak dan kekurangan oksigen yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada difus aksonal
yang pada akhirnya anak bisa mengalami gagal tumbuh, ubun-ubun yang menegang atau
membengkak, nafas berubah, pelebaran pupil mual dan muntah serta lesu dan kejang.
Adanya penularan racun dari orang tua mereka, khususnya dari ibu yg alkoholik ataupun
perokok berat, kepada janin atau mencemari lingkungan di sekitar anak-anak mereka juga
bisa dikategorikan sebagai penganiayaan fisik di beberapa negara.Sebagian besar negara di
dunia telah mempunyai aturan perundang-undangan yag berisikan larangan dan hukuman
bagi pelaku kekerasan terhadap anak dengan mempertimbangkan penderitaan yang
diakibatkan oleh perbuatan kekerasan tersebut, seperti luka fisik atau tindakan yang telah
menyebabkan anak berada dalam risiko yang jelas dapat menyebabkan cedera serius atau
bahkan kematian yang tidak wajar. Selain hal tersebut, ada beberapa yang mempermasalahkan
tentang perbuatan tersebut, seperti mempertanyakan tentang adakah perbedaan antara
tindakan mendisiplinkan anak dengan tindak kekerasan, karena hal tersebut sering kurang
dijelaskan perbedaan definisinya. Dalam budaya norma juga apa yang termasuk dalam
tindak kekerasan juga sangat beragam, kalangan ahli serta masyarakat yang lebih luas tidak
setuju pada apa yang disebut merupakan perilaku kekerasan.13 Beberapa profesional yang
bertugas di bidang manusia mengklaim bahwa norma-norma budaya yang berhubungan
dengan sanksi hukuman fisik adalah salah satu penyebab kekerasan terhadap anak dan
mereka telah melakukan kampanye untuk mendefinisikan kembali norma-norma tersebut.14
Penggunaan tindak kekerasan apapun terhadap anak-anak sebagai tindakan disiplin adalah
ilegal di 24 negara di seluruh dunia15, akan tetapi lazim dan diterima secara sosial di banyak
negara lainnya.
Selain bentuk kekerasan diatas, ada juga kekerasan seksual terhadap anak yang sangat perlu
untuk diperhatikan dan ditangani secara serius. Adanya tindakan penyiksaan terhadap anak
untuk mendapatkan stimulasi seksual yang dilakukan oleh orang dewasa termasuk dalam
kekerasan seksual.16 Tindakan-tindakan lain yang juga termasuk dalam kekerasan seksual
terhadap anak seperti memaksa anak untuk melakukan kegiatan seksual, memamerkan
organ-organ seksual kepada anak, menunjukkan pornografi kepada anak, melakukan kontak
seksual ataupun kontak fisik kepada anak, melihat kelamin anak meski tidak ada kontak

13 Noh Anh, Helen (1994). “Cultural Diversity and the Definition of Child Abuse”, in Barth, R.P. et al., Child
welfare research review, Columbia University Press, 1994, p. 28. ISBN 0231080743
14 Haeuser, A. A. (1990). “Banning parental use of physical punishment: Success in Sweden”. International
Congress on Child Abuse and Neglect. Hamburg, diunduh pada tanggal 4 Desember 2017
15 “States with full abolition.” Global Initiative to End All Corporal Punishment of Children, diunduh tanggal 6
Desember 2017
16 Guidelines for psychological evaluations in child protection matters. Committee on Professional Practice
and Standards, APA Board of Professional Affairs". The American Psychologist 54 (8): 586–93. August
1999. PMID 10453704. doi:10.1037/0003-066X.54.8.586. Abuse, sexual (child): generally defined as contacts
between a child and an adult or other person significantly older or in a position of power or control over the child,
where the child is being used for sexual stimulation of the adult or other person.

329
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rahmawati Efek Globalisasi terhadap Kekerasan Seksual Anak di Indonesia

fisik secara langsung, ataupun membuat produk pornografi dengan menggunakan anak
sebagai modelnya.17
Efek yang dirasakan oleh anak yang mengalami kekerasan seksual ada banyak yang
menyangkut kelangsungan hidupnya sebagai seorang manusia atau individu, diantaranya
anak akan terus diikuti oleh rasa bersalah dan cendrung untuk selalu menyalahkan dirinya
sendiri karena menjadi korban kekerasan seksual. Anak juga akan mengalami kenangan
buruk, mimpi buruk bahkan kesulitan untuk dapat tidur dengan tenang. Ketakutan dengan
hal-hal yang berkaitan dengan kejadian kekerasan seksual tersebut, seperti takut dengan
benda, tempat, orang lain seperti tenaga kesehatan yang berkaitan dengan pemeriksaan.
Belum lagi meningkat dewasa, anak akan mengalami masalah kepercayaan diri, harga
diri ataupun penerimaan diri yang berkurang yang bisa menyebabkan disfungsi seksual
atau mendapatkan penyakit yang serius. Dan secara kejiwaan, anak pun dapat mengalami
gangguan jiwa yang hebat, mulai dari depresi, keinginan untuk melukai diri sendiri, timbul
niat untuk menghabisi nyawanya sendiri, stress, cemas serta gangguan kepribadian lain. 18
Selain itu ada juga gangguan identitas disosiatif, dimana anak akan memiliki kecenderungan
untuk mengulangi tindakan kekerasan setelah dewasa atau anak ada kemungkinan untuk
menjadi pelaku kejahatan yang sama, mengalami bulimia nervosa, mendapatkan luka-luka
pada tubuh anak adalah masalah-masalah lainnya yang dbisa ditimbulkan jika anak jadi
korban.19
Sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria yang mengalami kekerasan
seksual ketika mereka masih anak-anak. Kebanyakan pelaku dari kekerasan seksual tersebut
adalah orang terdekat dan yang kenal dengan korban mereka. Sekitar 30% adalah keluarga
dari anak, paling sering adalah saudara, ayah, ibu, paman atau sepupu, sekitar 60% adalah
kenalan teman lain seperti keluarga, pengasuh anak, atau tetangga; orang asing yang
melakukan hanya sekitar 10% dari kasus kekerasan seksual anak.20
Dari semua bentuk kekerasan terhadap anak, kekerasan emosional adalah yang paling
sulit untuk diidentifikasikan. Mengejek nama panggilan, mengejek bentuk fisik ataupun
kepandaian anak,merusak benda kesayangannya, melakukaan penyiksaan ataupunmerusak
hewan peliharaan, berlebihan dalam memberikan kritik, menuntut untuk melakukan sesuatu
yang tidak pantas atau secara berlebihan, memutus hubungan komunikasi dengan anak,
memberikan pelabelan sehari-hari atau menghina anak dengan kata-kata yang tidak pantas
adalah sebagian dari bentuk kekerasan emosional terhadap anak.21
Anak yang mengalami kekerasan seksual biasanya memberikan reaksi dengan menghindari
atau memberi jarak dengan pelaku, menggunakan kata-kata kasar atau balas menghina
orang yang sudah melakukan penghinaan terhadapnya. Anak korban kekerasan emosional

17 Martin J, Anderson J, Romans S, Mullen P, O'Shea M (1993). “Asking about child sexual abuse: methodological
implications of a two stage survey”. Child Abuse & Neglect 17 (3): 383–92
18 Martin J, Anderson J, Romans S, Mullen P, O'Shea M (1993). “Asking about child sexual abuse: methodological
implications of a two stage survey”. Child Abuse & Neglect 17 (3): 383–92
19 Levitan, R. D., N. A. Rector, Sheldon, T., & Goering, P. (2003). “Childhood adversities associated with major
depression and/or anxiety disorders in a community sample of Ontario: Issues of co-morbidity and specificity,”
Depression & Anxiety; 17, 34-42.
20 Whealin, Julia (22 May 2007). “Child Sexual Abuse.” National Center for Post Traumatic Stress Disorder, US
Department of Veterans Affairs.
21 Gorey, K.M.; Leslie, D.R. (April 1997). “The prevalence of child sexual abuse: integrative review adjustment for
potential response and measurement biases”. Child Abuse & Neglect 21 (4): 391–8

330
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rahmawati Efek Globalisasi terhadap Kekerasan Seksual Anak di Indonesia

juga dapat mengalami gangguan kasih sayang yang tidak seperti biasa, anak tersebut juga
cenderung untuk menyalahkan dirinya sendiri yang bisa menjad korban, anak juga akan
bersikap terlalu pasif dan tidak berdaya.22

Efek Globalisasi terhadap Kekerasan Seksual Anak di Indonesia


Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menyebutkan sepanjang tahun
2013 dan dilanjutkan ditahun 2014, semakin banyak terjadi kasus-kasus kekerasan seksual
yang menimpa anak-anak23. Bahkan banyak pihak di luar negeri memberikan perhatiannya
kepada Indonesia,ketika adanya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah
bertaraf Internasional (JIS). Di bulan April tahun 2015,telah terjadi kasus penelantaran anak
yang dilakukan oleh orang tua kandungnya sendiri. Kemudian di bulan Juni terdapat kasus
penelantaran anak yang dilakukan oleh ibu angkatnya, yang kemudian menyebabkan anak
tersebut meninggal dan sempat mengalami kekerasan seksual oleh tersangka pembunuhnya.
Di bulan mei 2016 seorang gadis berumur 14 tahun, siswa SMP kelas I di Bengkulu menjadi
korban kebiadapan 14 remaja.  Bulan Juni 2016, salah satu yang menarik perhatian adalah
kasus pemerkosaan yang dialami PL, seorang anak yang berusia 12 tahun asal Semarang,
yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Kasus ini menarik perhatian karena jumlah
pemerkosa awalnya disebut mencapai 21 orang. Belakangan, polisi menangkap delapan
orang yang diduga sebagai pemerkosa PL. Dua orang di antara mereka akhirnya dilepaskan
karena tidak terbukti. Namun, polisi menetapkan dua orang lain sebagai buronan karena
diduga menjadi otak kejahatan seksual itu. Atas pemerkosaan itu, PL mengalami trauma
pada laki-laki dan gangguan pada organ reproduksinya. Sekolah PL juga terganggu akibat
pemerkosaan tersebut. 
Kejahatan seksual terhadap anak setiap tahun semakin meningkat seiring dengan kemajuan
zaman, dimana akses teknologi bisa dengan mudah untuk dicapai. Dulu akses untuk
teknologi sulit untuk di capai, dimana telepon seluler (telepon genggam) masih menjadi
barang yang mahal, akses internet sulit untuk diperoleh karena hanya wilayah kota-kota
besar dan gedung-gedung perkantoran yang bisa mencapai akses internet tersebut. Berbeda
bila dibandingkan pada masa sekarang dimana setiap orang memiliki telepon seluler dengan
mudah dan jaringan internet yang sangat cepat dicapai hanya dengan membeli kuota atau
paket data di konter-konter yang bertebaran di tiap sudut kota dan sampai ke pelosok
pedesaan.
Salah satu akibat negatif yang disebabkan dari mudahnya untuk memperoleh akses tersebut
adalah anak-anak yang lepas dari penjagaan orang tua mereka, mereka bisa membuka situs-
situs pornografi dengan mudah melalui jaringan internet. Padahal fikiran mereka belum begitu
memahami apa yang seharusnya belum boleh mereka lihat sehingga dapat merusak fikiran
mereka melalui konten-konten terlarang tersebut.Selain itu, hal tersebut dapat dijadikan
cara bagi para predator anak atau phedopil yang semakin beragam untuk menjadikan anak-
anak sebagai korbannya, mulai dari berkenalan melalui situs jejaring sosial, melakukan
pembullian, ataupun mengancam, melakukan tindakan kekerasan dan bahkan melakukan
penculikan dan pembunuhan bisa dengan leluasa mereka lakukan melalui jaringan internet ini.

22 Whealin, Julia (22 May 2007). "Child Sexual Abuse". National Center for Post Traumatic Stress Disorder, US
Department of Veterans Affairs.
23 Davit Setyawan, ‘KPAI: Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Tiap Tahun Meningkat’, KPAI, 2015 <https://www.
kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat> [accessed 10 August 2020].

331
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rahmawati Efek Globalisasi terhadap Kekerasan Seksual Anak di Indonesia

Kasus Loly Candy Group 18 di Facebook, merupakan salah satu contoh adanya
penyalahgunaan penggunaan teknologi informasi, yang berisikan ribuan kelompok
pedofilia.24 Berbagai konten termasuk pelecehan anak dan pelecehan dalam kelompok yang
terdiri dari 7.497 anggota, kelompok ini terkait dengan sebelas kelompok lain yang terlibat
dalam kejahatan terhadap anak-anak di berbagai negara termasuk Indonesia yang rawan
terhadap kasus pedofilia.
Indonesia memiliki banyak destinasi pariwisata yang mengundang banyak wisatawan
domestik ataupun dari mancanegara. Sayangnya banyak dari warga asing yang
meyalahgunakan tujuannya untuk datang ke Indonesia, diantaranya dengan menggunakan
anak-anak untuk memuaskan nafsu seksualnya.Sekretaris KPAI, Erlinda, menyatakan,
para turis kerap menutupi operasi kegiatan (pedofilia) mereka dengan sangat rapi. Erlinda
menunjuk beberapa wilayah, misalnya Sumatera, Cianjur, Semarang, Solo, Palu, dan Bali
sebagai titik-titik paling sering disasar oleh turis pedofil dengan target anak usia 4-8 tahun
dan remaja 9-15 tahun. Untuk kasus grup pedofil yang ada di facebook, ditangkap empat
admin dengan 500 video dan 100 foto berkonten kekerasan terhadap anak ditemukan dalam
grup tersebut, mereka dijerat dengan pasal berlapis Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Dampak yang timbul setelah kasus ini terjadi tidak selesai begitu saja, karena jejak digital
akan tetap ada, sulit untuk dihapus dan suatu Ketika masih bisa dibuka aksesnya, inilah
yang menjadi kekhawatiran untuk kelangsungan hidup masa depan anak-anak yang
pernah menjadi korban, dimana data pribadinya masuk dalam situs-situs pornografi anak.
Hal tersebut bisa terjadi karena ada banyak situs yang bisa dipakai oleh pelaku kejahatan
pornografi elektronik untuk melakukan kejahatannya, seperti dengan memakai web kamera,
surat elektronik, ruang obrolan dan situs lainnya yang dapat dengan mudah dibuka oleh
anak-anak tanpa pengawasan orang dewasa.
Dalam melakukan kejahatan di dunia maya dengan menggunakan teknologi informasi yang
semakin canggih ini, seorang pelaku pedofil mempunyai banyak cara untuk melakukan
kekerasan seksual terhadap anak, diantaranya dengan melakukan pengancaman kepada anak
korban dengan menggunakan web kamera untuk memaksa anak-anak tersebut menemui
mereka atau untuk memperlihatkan perilaku seksual yang provokatif. Jika hal tersebut
dilakukan oleh anak korban maka anak tersebut akan terjerat selamanya dengan pedofil
tersebut. Pelaku kekerasan seksual itu akan terus memaksa korban untuk selalu memenuhi
keinginan mereka, jika anak korban itu menolak maka ancamannya adalah pelaku akan
mengirimkan rekaman-rekaman gambar ataupun perbuatan yang tidak senonoh tadi kepada
publik. Kekerasan seksual terhadap anak tersebut akan berlangsung terus dan lama serta
pelaku kekerasan seksual bisa berbuat yang lebih jauh lagi seperti mengajak anak korban
untuk melakukan kontak fisik, didokumentasikan dan akhirnya akan tetap juga diedarkan di
situs-situs porno mereka di internet.

24 Pedofilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa
(pribadi dengan usia 18 atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau eksklusif
pada anak prapuber (umumnya usia 16 tahun atau lebih muda, walaupun pubertas dapat bervariasi). Anak
harus minimal dua belas tahun lebih muda dalam kasus pedofilia remaja (12 tahun atau lebih tua) baru dapat
diklasifikasikan sebagai pedofilia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pedofil atau pedofilia merupakan
kata yang berasal dari bahasa yunani yang artinya kelainan perilaku pada seseorang yaitu perilaku penyimpangan
seksual , biasanya seseorang yang menderita pedofil akan menyukai anak-anak sebagai sasarannya.

332
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rahmawati Efek Globalisasi terhadap Kekerasan Seksual Anak di Indonesia

Kejadian ini akan seperti rantai setan jika tidak segera diketahui oleh orang tua atau orang
dewasa lain yang bertanggung jawab terhadap anak korban. Padahal ada banyak anak korban
ataupun orang tuanya yang tidak benar-benar memahami kejadian ini bahwa mereka sudah
menjadi korban kekerasan seksual sehingga mereka tidak melaporkan kejadian tersebut
kepada pihak yang berwajib, hal ini bisa terjadi karena ada beberapa kemungkinan, bisa
karena malu, takut, tidak tahu atau karena tidak mau mendapatkan masalah lain dikemudian
hari.
Untuk tindakan pencegahan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak melalui alat
teknologi informasi ini dapat dilakukan dengan banyak cara. Antara lain orang tua melakuan
penyaringan sejak anak-anak mulai mengakses data internet, orang tua juga dapat memilihkan
situs yang aman untuk dikunjungi dan di buka oleh anak-anak selain itu orang tua juga perlu
memiliki pengetahuan dasar tentang cara mengelola dan menggunakan teknologi informasi
seperti kompuer dan jaringan internet.
Dalam masa tumbuh kembang anak, sudah seharusnyalah orang tua dapat terus mendampingi
dan membimbing anak dengan baik. Dengan cara memperhatikan tumbuh kembangnya
baik secara jasmani maupun rohani. Orang tua juga seharusnya lebih memahami apa yang
terjadi pada diri anak dan apa kegiatan yang dilakukan oleh anak dalam kesehariannya.
Hal tersebut sangatlah penting sebagai tindakan pencegahan atas sesuatu yang tidak baiik
untuk kelangsungan hidup anak di masa depan. Jika ada perilaku anak yang berubah
atau dianggap bukan kebiasaannya, orang tua bisa langsung menanyakannya pada anak,
melakukan pendekatan pada anak, atau bisa juga dengan selalu memeriksa kegiatan anak di
dunia digital baik melalui media sosial ataupun jaringan lainnya untuk mencari informasi
tentang kegiatan apa yang telah mereka lakukan. Orang tua juga bisa membatasi pertemanan
anak di media sosial terhadap orang yang sekiranya bisa memberikan dampak buruk untuk
kehidupan anak.
Orang tua juga sebaiknya mengenalkan tentang dampak positif dan negatif dari penggunaan
media sosial, serta memberitahu tentang informasi baik yang seperti apa yang bisa diterima,
informasi apa yang bisa untuk disebarkan dan juga memberitahu tetang informasi yang
belum tentu kebenarannya dan tidak layak untuk disebarkan. Termasuk juga informasi data
pribadi anak dan keluarga yang tidak boleh disebarkan untuk umum, guna mengurangi
resiko anak bertemu dengan predator online.
Memang globalisasi ibarat pisau bermata dua yang sama-sama tajamnya. Di satu sisi
globalisasi memberi kesempatan untuk mengembangkan diri melalui informasi yang dapat
diterima dari seluruh negara di dunia, tapi di sisi lain globalisasi bisa menjadi ancaman
karena di dalamnya terdapat persaingan tanpa batas, tanpa kendali dimana keberhasilan
bukan didasarkan pada sumber daya alam tapi hanya pada human capital, keunggulan
komparatif individu yang berpadu dengan kemampuan materi. 25
Dampak negatif dari globalisasi untuk negara berkembang seperti Indonesia bisa
menghilangkan identitas bangsa jika banyak melakukan penyeragaman berbagai produk
ataupun ikut membaur dalam kebudayaan global. Kasus kekerasan seksual terhadap anak
misalnya, apabila tidak ada kesamaan langkah dan Kerjasama dari pemerintah, orang tua
dan masyarakat, maka bisa saja kita akan kehilangan generasi penerus bangsa dimasa depan.
Dengan memberikan perlindungan terhadap hak asasi anak yaitu dengan meletakkan hak

25 Qodri Azizy, Op. Cit, hlm. 22

333
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rahmawati Efek Globalisasi terhadap Kekerasan Seksual Anak di Indonesia

anak ke dalam status sosial anak dalam kehidupan masyarakat, 26 sebagai bentuk perlindungan
terhadap kepentingan-kepentingan anak yang mengalami masalah sosial. Selama ini anak
hanya dipaksa untuk mengikuti kemauan orang tua tanpa memperhatikan keinginan anak.
Oleh sebab itu perlindungan terhadap hak asasi anak wajib dilakukan.
Proses perlindungan anak tersebut sebagai proses edukasional terhadap ketidakpahaman dan
kemampuan anak dalam melakukan suatu tugas-tugas sosial kemasyarakatan. Perlindungan
hak asasi anak bisa diberikan dengan cara sistematis, melalui serangkaian program, stimulasi,
latihan, pendidikan, bimbingan keagamaan, permainan dan dapat juga diberikan melalui
bantuan hukum yang dinamakan advokasi dan hukum perlindungan anak.
Dalam hal proses perlindungan anak , keluarga merupakan garda terdepan, dan orang tua
memiliki peranan yang sangat penting. Jadi, orang tua juga sebaiknya bisa mendapatkan
pendidikan ataupun pelatihan tentang bagaimana menerapkan konsep cara mendidik anak
dengan baik untuk mencerdaskan anak, memberikan kasih sayang, dan menghargai hak-hak
anak (asah, asih, asuh).
Pemerintah juga sudah melakukan usaha yang baik untuk melindungi hak-hak anak,
meskipun memang belum bisa untuk menyelesaikan semua masalah yang berkaitan
dengan hak-hak anak, khususnya daam hal kekerasan seksual terhadap anak.27Menurut
Bismar Siregar dan Abdul Hakim Garuda Nusantara: “Undang-undang umumnya harus
menekankan hak-hak anak, dan terutama dalam proses peradilan pidana, pekerjaan sosial
anak-anak dapat diperiksa secara individual dan alasan pelanggaran kriminal akan disorot”.
Karena itu, perlindungan hukum mutlak diperlukan untuk anak-anak. Penganiayaan anak
dapat terjadi tidak hanya oleh orang tua, guru, tetapi juga di antara para penegak hukum
yang perlu membela dan melindungi hukum untuk anak-anak.
Menurut Lawrence Meir Feidman28, ada tiga faktor yang mempengaruhi fungsi hukum:
struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Pada kenyataannya, tidak ada alat
hukum yang cukup untuk melindungi anak-anak dari kekerasan. Lembaga penegak hukum
berdasarkan hukum yang ada belum diimplementasikan dengan baik. Jika dikaji lebih dalam
dalam hal penegakan supremasi hukum, rendahnya partisipasi publik, dan sentralitas tinggi
pembentukan hukum.
Menurut William M. Evan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi saat membuat hukum,
termasuk: hukum harus berasal dari sumber yang bergengsi dan berwibawa; menunjukkan

26 Achmad Ali, “Keterpurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002,
hlm. 2.
27 Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berhubungan dengan anak antara lain :
Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
Undang-Undang No. 4 tentang Penyandang Cacat
Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
Undang-Undang No. 10 tahun 2012 tentang Konvensi Hak Anak
Undang-Undang No. 1 tahun 2000 tentang Pengesahan ILO
Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
28 Lebih lanjut Lawrence M. Friedman menyebutkan “To begin with, the legal system has the structure of a legal
system consist of elements of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction. Structure also means
how the legislature is organized….what procedures the police department follow, and so on. Structure, in way, is
a kind of cross section of the legal system…a kind of still photograph, with freezes the action.”. lihat Lawrence
M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York, USA: Russel Sage Foundation, 1975),
hal.4-5.

334
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rahmawati Efek Globalisasi terhadap Kekerasan Seksual Anak di Indonesia

tingkat hukum sesuai dengan nilai-nilai yang dapat dipahami dan tersedia; dukungan dan
perubahan membutuhkan referensi untuk negara atau komunitas yang dikenal di mana
hukum berhasil; lembaga penegak hukum harus bertujuan untuk berubah dalam waktu yang
relatif singkat; penegakan hukum membutuhkan komitmen untuk berubah sebagaimana
diharuskan oleh hukum; penegakan hukum mencakup sanksi positif dan negatif; Instansi
penegak hukum yang masuk akal tidak hanya untuk sanksi yang digunakan, tetapi juga
untuk perlindungan hak-hak yang hilang karena pelanggaran hukum.

C. Kesimpulan
Proses perlindungan anak tersebut sebagai proses edukasional terhadap ketidakpahaman dan
kemampuan anak dalam melakukan suatu tugas-tugas sosial kemasyarakatan. Perlindungan
hak asasi anak bisa diberikan dengan cara sistematis, melalui serangkaian program, stimulasi,
latihan, pendidikan, bimbingan keagamaan, permainan dan dapat juga diberikan melalui
bantuan hukum yang dinamakan advokasi dan hukum perlindungan anak.
Dalam hal proses perlindungan anak , keluarga merupakan garda terdepan, dan orang tua
memiliki peranan yang sangat penting. Jadi, orang tua juga sebaiknya bisa mendapatkan
pendidikan ataupun pelatihan tentang bagaimana menerapkan konsep cara mendidik anak
dengan baik untuk mencerdaskan anak, memberikan kasih sayang, dan menghargai hak-hak
anak (asah, asih, asuh). Pemerintah juga sudah melakukan usaha yang baik untuk melindungi
hak-hak anak, meskipun memang belum bisa untuk menyelesaikan semua masalah yang
berkaitan dengan hak-hak anak, khususnya dalam hal kekerasan seksual terhadap anak.

DAFTAR PUSTAKA

Albrow, M., Globalisasi (london, New York: SAGE Publications, 1992)


Azizy, Qodri, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM Dan
Terciptanya Masyarakat Madani) (Yogyakarta,Indonesia: Pustaka Pelajar, 2003)
Friedman, Lawrence M., The Legal System: A Social Science Perspective (New York, USA:
Russel Sage Foundation, 1975)
Hadisuprapto, Paulus., Juvenile Delinquency, Pemahaman Dan Pencegahannya (Bandung,
Jawa Barat, Indonesia: Citra Aditya Bakti, 1997)
Kartono, Kartini, Patologi Sosial Dan Kenakalan Remaja (Jakarta, Indonesia: Grafindo Persada,
1998)
Koesnan, RA, Susunan Pidana Dalam Negara Sosialis Indonesia (Bandung, Jawa Barat,
Indonesia: Sumur, 2005)
Martin J, Anderson J, Romans S, Mullen P, O’Shea M (1993). “Asking about child sexual abuse:
methodological implications of a two stage survey”. Child Abuse & Neglect 17 (3): 383–92
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia (Jakarta, Indonesia: PT Raja
Grafindo Persada, 2011)

335
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rahmawati Efek Globalisasi terhadap Kekerasan Seksual Anak di Indonesia

Noh Anh, Helen (1994). “Cultural Diversity and the Definition of Child Abuse”, in Barth, R.P. et
al., Child welfare research review, Columbia University Press, 1994, p. 28. ISBN 0231080743
Rahardjo, Satjipto, ‘Pengembangan Hukum Di Indonesia, Global Dalam Konteksnya’
(Universitas Surakarta Muhammadiyah, 1996)
Romli, Atmasasmita (ed), Peradilan Anak Di Indonesia (Bandung, Jawa Barat, Indonesia:
Mandar Maju, 1997)
Satjipto Rahardjo, Pengembangan Hukum di Indonesia, Global Dalam Konteksnya, Seminar
Pertemuan Dosen / Klien Sosiologi Hukum di Jawa Tengah dan Yogyakarta di Universitas
Surakarta Muhammadiyah, Agustus 1996
Setiadi., Tholib, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia (Bandung, Jawa Barat, Indonesia:
Alfabeta, 2010)
Setyawan, Davit, ‘KPAI: Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Tiap Tahun Meningkat’, KPAI,
2015 <https://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-
meningkat> [accessed 10 August 2020]
Soekito, Sri Widayati, Anak Dan Wanita Dalam Hukum (Jakarta, Indonesia: LP3ES, 1989)
Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang No. 4 tentang Penyandang Cacat
Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
Undang-Undang No. 10 tahun 2012 tentang Konvensi Hak Anak
Undang-Undang No. 1 tahun 2000 tentang Pengesahan ILO
Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Whealin, Julia (22 May 2007). “Child Sexual Abuse”. National Center for Post Traumatic Stress
Disorder, US Department of Veterans Affairs.
“Child abuse - definition of child abuse by the Free Online Dictionary, Thesaurus and
Encyclopedia”. Thefreedictionary.com
Leeb, R.T.; Paulozzi, L.J.; Melanson, C.; Simon, T.R.; Arias, I. (1 January 2008). “Child
Maltreatment Surveillance: Uniform Definitions for Public Health and Recommended
Data Elements”. Centers for Disease Control and Prevention.
Herrenkohl, R.C. (2005). “The definition of child maltreatment: from case study to
construct”. Child Abuse and Neglect 29 (5): 413–24
“Child Abuse and Neglect: Types, Signs, Symptoms, Help and Prevention”A Coordinated
Response to Child Abuse and Neglect: The Foundation for Practice, Office on Child Abuse
and Neglect (HHS), USA, 2003.

336
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Septina Fadia Putri Kejahatan Financial Technology (Fintech) Ilegal terhadap UMKM

Kejahatan Financial Technology (Fintech) Ilegal


terhadap UMKM
Septina Fadia Putri*

ABSTRAK
UMKM terdampak pandemi covid-19 terkendala permodalan dalam menjalankan usahanya
kembali di era new normal. Fintech menjadi solusi masyarakat mendapatkan dana segar dengan
cepat dan syarat mudah. Biasanya, kemudahan syarat pinjaman hanya diberikan dari Fintech P2P
Lending Ilegal. Berdasarkan hasil penelitian diketahui fintech ilegal selalu memberi kemudahan
yang tidak dapat dipenuhi fintech legal. Sebut saja, dana cair cepat dan limit pinjaman dana yang
dikucurkan tidak berbatas. Dengan konsekuensi peminjam siap menanggung bunga 2 sampai
3 persen per hari tanpa perincian yang jelas jika tidak tepat waktu mengembalikan uang. Atau
melebihi jatuh tempo. Perlu undang-undang khusus yang mengatur secara tersendiri tentang
fintech. Fungsi hukum sebagai kontrol sosial. Sanksi pidana dalam rumusan suatu aturan
hukum agar masyarakat mematuhi kaidah yang berlaku. Tujuannya memberi efek jera terhadap
pelanggaran hukum. Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Hukum berperan sebagai
pengatur dan penggerak perubahan masyarakat dengan kebijaksanaannya penyelaras kepentingan
umum dan pemerintah. Kejahatan Fintech P2P Lending Ilegal diatur dalam KUHP pasal yang
mengatur pencemaran nama baik, pemerasan/pengancaman, penipuan/penggelapan. Diatur
pula dalam undang-undang khusus, tentang pencucian uang, pendanaan terorisme, perbankan,
dan perlindungan konsumen. Lebih spesifik lagi diatur dalam Undang-Undang tentang ITE,
mengenai penyadapan data, penyebaran data pribadi, pengancaman, manipulasi data, dan ilegal
akses.
Kata kunci: UMKM, Modal, Financial, Technology, Ilegal

A. Pendahuluan
Pandemi covid-19 berhasil mempengaruhi seluruh tatanan kehidupan masyarakat.Terutama
di bidang ekonomi.Pertumbuhan ekonomi yang terus merosot membuat pemerintah berani
mengambil langkah baru.Demi menyelamatkan perekonomian masyarakat, diterapkan
kebijakan new normal.
Sayangnya, kebijakan ini diterapkan setelah banyak masyarakat menjadi korban pemutusan
hubungan kerja (PHK).Bagi mereka pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM), juga
terdampak.Penjualan yang merosot berimbas pada anjloknya omzet yang diperoleh.Alhasil,
mereka pun kesulitan mengembalikan modal awal.
Untuk banting setir memproduksi kebutuhan selama pandemi ini pun, pelaku UMKM
mengeluh terkendala berbagai hal. Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Dinkop
UKM) Kota Surakarta mencatat sebanyak 60-70 persen dari total 2-3 ribu UMKM binaannya
yang terdampak covid-19 menghadapi kendala permodalan.
Mayoritas UMKM terdampak tersebut bergerak di bidang fashion, boga, dan cenderamata.
Kendalanya, pelaku UMKM mampu menghasilkan produk namun tidak laku di pasaran.Juga
ada pelaku UMKM yang ingin membuat produk, tapi tidak memiliki modal. Solusi yang

* Mahasiswi Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS)

337
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Septina Fadia Putri Kejahatan Financial Technology (Fintech) Ilegal terhadap UMKM

ditawarkan pihak Dinkop UKM Kota Surakarta dengan menggandeng bank pemerintah atau
pihak lain yang bersedia memberikan modal.
Namun, tidak semua pelaku UMKM beruntung mendapat stimulus dari pemilik modal.
Suntikan dana segar tersebut hanya bisa diperoleh pelaku UMKM yang mengajukan
proposal dan lolos seleksi. Seperti bantuan modal yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Jawa Tengah.Pihak Pemprov hanya menyalurkan paket bantuan modal ke 80
UMKM boga.
Padahal, ada lebih dari 100 UMKM yang mengajukan menjadi penerima bantuan tersebut.
Namun beberapa di antaranya tidak lolos tahap seleksi yang dilakukan pemilik modal.Lalu
bagaimana dengan pelaku UMKM yang membutuhkan modal namun tidak lolos seleksi
tersebut? Pinjaman yang ditawarkan financial technology (fintech) menjadi sebuah angin segar.
Sebagai salah satu bentuk penerapan teknologi informasi di bidang keuangan.Fintech
memiliki fungsi beragam, yang diyakini mampu dengan cepat berkembang secara cepat.
Saat ini fintech mampu melayani electronic money, virtual account, agregator, lending,
crowdfunding dan transaksi keuangan online lainnya.Adapun fintech yang telah beroperasi,
sebagian ada yang didirikan oleh perusahaan berbasis konvensional, tetapi tidak sedikit pula
yang merupakan perusahaan rintisan atau startup.Namun perkembangan fintech di Indonesia
tetap berada dalam pengawasan Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral.
Kolaborasi antara perbankan dan fintech bisa memberikan kontribusi dalam peningkatan
literasi keuangan UMKM.Terlebih selama ini pemerintah gencar mengkampanyekan
gerakan nasional transaksi nontunai.Sehingga terbentuk less-cash society dalam transaksi.
Penggunaan layanan fintech oleh pengguna smartphone dapat menjadi jawaban atas upaya
pemerintah membangun less-cash society.Sebab, jumlah pengguna handphone di Indonesia
sudah sangat banyak. Penetrasi smartphone di Indonesia sudah melebihi penetrasi akun
bank di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa terdapat peranan Fintech dalam meningkatkan
Literasi Keuangan pada UMKM.
Mengutip hasil penelitian Institute for Development of Economics and Finance, Sekarang
ini masih ada sekitar 60 juta pelaku UMKM. Dari jumlah tersebut ternyata baru sebanyak
11 juta pelaku UMKM yang bankable.Sisanya sebesar 49 juta pelaku UMKM masih belum
unbankable. Masih berasal dari data yang sama, total kebutuhan pembiayaan nasional untuk
UMKM sebesar Rp 1.649 triliun. Sementara kapasitas perbankan hanya Rp 660 triliun.
Dengan begitu terdapat gap Rp 989 triliun.Masyarakat yang belum terliterasi dengan baik
ditambah besarnya kebutuhan pembiayaan nasional untuk UMKM, merupakan peluang
bagi pelaku usaha fintech.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) optimistis penyaluran pembiayaan
melalui perusahaan rintisan berbasis fintech peer-to-peer (p2p) lending akan mengalami
kenaikan kala protokol kenormalan baru dijalankan. Usai pembatasan sosial berskala besar
(PSBB) berakhir, akan menjadi titik balik para pelaku UMKM untuk memulai aktivitas
ekonomi kembali. Tentu pelaku UMKM ini memerlukan permodalan lantaran selama
pembatasan social berskala besar (PSBB) ada pembatasan ekonomi yang berdampak pada
pendapatan dan arus kas.Maka fintech p2p hadir untuk mendukung kebutuhan permodalan.
Kebutuhan yang kian meningkat menuntut masyarakat mendapatkan suntikan dana yang
lebih besar dari pendapatannya. Salah satu cara yang ditempuh dengan mengajukan pinjaman
perbankan.Sayangnya, pinjaman perbankan mematok syarat yang sulit dan cenderung ribet.
Solusinya, masyarakat kini memilih beralih ke pinjaman online atau lumrah disebut fintech.

338
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Septina Fadia Putri Kejahatan Financial Technology (Fintech) Ilegal terhadap UMKM

Fintech menjadi solusi masyarakat mendapatkan dana segar dengan cepat dan syarat mudah.
Bahkan fintech mampu menjanjikan kucuran dana besar yang bisa dicairkan dalam waktu
singkat. Alasan ini yang membuat masyarakat lebih berminat memperoleh pinjaman uang
dari fintech dibandingkan pinjaman perbankan.
Iming-iming kemudahan tersebut tidak semata-mata diberikan pihak fintech dengan Cuma-
Cuma.Biasanya, kemudahan syarat pinjaman hanya diberikan dari Fintech Peer to peer (P2P)
Lending Ilegal.Alhasil, muncul berbagai permasalahan yang timbul di masyarakat lantaran
terjerat iming-iming tersebut.Sebut saja, tata cara penagihan yang tidak sesuai sasaran. Yakni
tidak hanya peminjam yang ditagih, namun juga keluarga, rekan kerja, sampai atasan di
kantor. Belum lagi fitnah, ancaman, bahkan pelecehan seksual bisa didapatkan si peminjam.
Melalui siaran pers, Satgas Waspada Investasi tercatat telah menghentikan sebanyak 1.477
entitas Fintech P2P Lending Ilegal tanpa izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sepanjang 2018
sampai Oktober 2019.
Ribuan entitas Fintech P2P Lending tersebut disebut ilegal menurut OJK karena tidak sesuai
dengan POJK No. 77/ POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi (POJK P2P Lending) yang kemudian memiliki peraturan turunan
berupa Surat Edaran OJK (SEOJK) nomor 18/SEOJK.02/2017.
Dalam aturan tersebut Fintech P2P Lending wajib memenuhi syarat sebagai berikut; kejelasaan
bentuk badan hukum, kepemilikan, dan permodalan; mengajukan pendaftaran dan perizinan
kepada OJK; ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki keahlian atau latar
belakang IT; dokumen berbentuk elektronik; terdapat akses informasi untuk penyelenggara
pinjaman, pemberi pinjaman, dan penerima pinjaman; pusat data dan disaster recovery plan
yang ditempatkan di Indonesia dan memenuhi standar minimum, pengelolaan risiko, dan
pengamanan teknologi informasi, serta ketahanan terhadap gangguan dan kegagalan sistem,
serta alih kelola sistem teknologi informasi.
Fintech P2P Lending juga wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data
pribadi, data transaksi dan data keuangan sejak data diperoleh hingga data dimusnahkan;
sistem pengamanan yang mencakup prosedur, sistem pencegahan, dan penanggulangan
terhadap serangan yang menimbulkan gangguan, kegagalan, dan kerugian; penyelenggara
menerapkan prinsip dasar dari perlindungan pengguna (konsumen) di sektor jasa keuangan;
perjanjian dilaksanakan dengan menggunakan tanda tangan digital.

B. Rumusan Masalah
Mengapa masih banyak masyarakat yang terjerat utang Fintech P2P Lending Ilegal?
Kejahatan apa saja yang dilakukan Fintech P2P Lending Ilegal?

C. Metode Penelitian
Penelitian ini meggunakan metode penelitian hukum normatif.Terdapat dua metode
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan Undang-Undang (Statute
Aprroach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Appoach).Pendekatan Undang-Undang
(Statute Approach) adalah menelaah berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan financial technology.Sedangkan pendekatan konseptual (Conceptual Appoach)
adalah beranjak pada pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam
ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu hukum pidana ekonomi.

339
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Septina Fadia Putri Kejahatan Financial Technology (Fintech) Ilegal terhadap UMKM

D. Pembahasan
Industri fintech menjadi salah satu metode layanan jasa keuangan yang mulai populer di era
digital sekarang ini. Data World Bank, sebanyak 36 persen masyarakat Indonesia terhubung
dengan lembaga keuangan formal. Populasi sekitar 250 juta penduduk, kelas menengah
yang kian berkembang dan masih banyak komponen masyarakat yang belum tersentuh
produk perbankan atau unbanked. Indonesia memiliki potensi hingga Rp 1.600 triliun dari
sisi permintaan pendanaan.Namun hanya Rp 600 triliun yang mampu disediakan oleh bank
dan institusi perbankan.
Bisnis Fintech merupakan inovasi finansial dengan sentuhan teknologi modern, yang
memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk menciptakan inovasi baru di
sektor jasa keuangan, yang lebih cepat dan mudah digunakan. Financial Technology is a
financial product and services service through a combination of the technology platform and
innovative business model (Teknologi Finansial adalah produk dan layanan jasa keuangan
melalui kombinasi platform teknologi dan model bisnis yang inovatif).
Pertumbuhan industri fintech di Indonesia tergolong sangat pesat. Asosiasi fintech Indonesia
mencatat pelaku start-up fintech domestik yang beroperasi di Indonesia telah mencapai 165
perusahaan per Januari 2016, atau tumbuh mencapai empat kali lipat dibanding kuartal IV
2014 yang sebanyak 40 perusahaan.
Seharusnya fintech yang diimplementasikan dalam lembaga perbankan memiliki kekuatan
untuk memudahkan konsumen dalam mengakses layanan keuangan.Kehadiran fintech
sebagai inovasi tersendiri bagi konsumen juga membawa pengalaman sebagai nasabah ke
tingkat yang lebih tinggi dalam melakukan transaksi finansial dengan adanya teknologi ini.
Selanjutnya, karena saat ini perbankan belum dapat menjangkau seluruh daerah terpencil.
Maka teknologi ini membuat biaya operasional menjadi hemat.Fintech sangat mendukung
dan memudahkan aktivitas pelayanan bagi konsumen, mengurangi pekerjaan, dan
menghemat waktu. Serta dengan adanya fintech masyarakat tidak perlu kehadiran fisik ke
kantor cabang karena segala layanan keuangan dapat diakses.
Sektor fintech berkembang dengan cepat, tetapi beragam definisi konsep ada dalam praktik
akademik dan jurnal bisnis.Sementara itu, jika para pemangku kepentingan sepakat tentang
elemen-elemen inti dari istilah ini, ruang lingkupnya belum jelas.Pendapat berbeda-beda
tentang apakah hanya perusahaan berbasis teknologi keuangan, jika mereka berinovasi
dalam layanan atau produk berbasis teknologi.Juga tidak jelas apakah ada ambang
kapitalisasi pasar, yang dapat digunakan untuk membedakan antara teknologi dari perantara
keuangan tradisional.Meskipun ada perbedaan, definisi setuju bahwa teknologi mengacu
pada perusahaan yang mengembangkan layanan keuangan dan produk dengan penggunaan
teknologi informasi yang jauh lebih intens.
Data OJK menyebutkan bahwa jumlah Fintech P2P Lending terdaftar atau berizin di OJK
berjumlah 127 entitas, di antaranya 118 konvensional dan 9 syariah. Izin tersebut diatur
dalam POJK No. 77/ POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi (POJK P2P Lending).Melalui aturan tersebut OJK telah melihat
urgensi hadirnya ketentuan yang mengatur Fintech pinjam-meminjam, memperhatikan
masih kuatnya budaya pinjam meminjam (utang) di masyarakat Indonesia.
Perusahaan Fintech P2P Lending juga menjadi kewenangan OJK karena perusahaan
tersebut memberikan jasa keuangan kepada masyarakat.Namun belum memiliki landasan
hukum kelembagaan dalam menjalankan kegiatan usahanya. Dalam POJK P2P Lending,

340
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Septina Fadia Putri Kejahatan Financial Technology (Fintech) Ilegal terhadap UMKM

perusahaan fintech disebutkan sebagai lembaga jasa keuangan lainnya berbentuk perseroan
terbatas.
Kemudahan membuat aplikasi menjadi pupuk bagi Fintech P2P Lending Ilegal makin
marak menjamur.Peneliti melihat permasalahan Fintech P2P Lending Ilegal yang terjadi
di masyarakat.Di antaranya, bunga pinjaman yang tidak jelas, penyebaran data pribadi
peminjam, tata cara penagihan yang tidak hanya kepada peminjam tapi juga ditagihkan
kepada keluarga, rekan kerja, hingga atasan.Juga ujaran fitnah, ancaman, sampai pelecehan
seksual, dan penagihan sebelum batas waktu.
Untuk menawarkan aplikasi, pihak Fintech P2P Lending Ilegal tidak menggunakan Google
Play Store.Namun dengan link unduh yang disebar melalui SMS.Dengan cara-cara tersebut,
tidak heran muncul beragam masalah karena Fintech P2P Lending Ilegal ini.Mayoritas yang
terjadi adalah tidak ada keterbukaan informasi, penyalahgunaan data pribadi, penyalahgunaan
keadaan yakni bunga tinggi, denda tinggi, dan biaya lain-lain. Juga pencantuman klausa
baku yang dilarang.
Padahal Pasal 2 POJK 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
Jo. Pasal 29 POJK 77 tahun 2016 menyebutkan bahwa penyelenggara wajib menerapkan
prinsip dasar dari perlindungan pengguna yaitu; transparansi; perlakuan yang adil; keandalan;
kerahasiaan dan keamanan data; penyelesaian sengketa pengguna secara sederhana, cepat
dan biaya terjangkau.
Meski demikian, masyarakat seolah tidak peduli apakah fintech tempatnya meminjam uang
legal atau tidak.Yang masyarakat tahu, fintech ilegal selalu memberi kemudahan yang tidak
dapat dipenuhi fintech legal. Sebut saja, dana yang cair bisa hanya dengan menunggu 15
menit saja. Bahkan limit pinjaman dana yang dikucurkan tidak berbatas atau unlimited.
Padahal, di balik kemudahan itu, masyarakat harus bersiap menanggung bunga 2 sampai 3
persen per hari tanpa perincian yang jelas jika peminjam tidak tepat waktu mengembalikan
uang. Atau melebihi jatuh tempo.
Satgas Waspada Investasi OJK mencatat ada 404 aplikasi fintech ilegal yang merambah
Indonesia.OJK sudah memberi izin kepada 88 aplikasi fintech untuk beroperasi secara
resmi di Indonesia.Pelaku UMKM diimbau memanfaatkan fintech resmi yang legal demi
keamanan.Sebab marak kasus pengguna fintech yang mengeluhkan tata cara penagihan,
bunga pinjaman yang mencekik, dan teror.
Peneliti mengamati kejahatan Fintech P2P Lending Ilegal dilakukan secara terorganisasi
melalui sindikat kejahatan fintech, atau bisa disebut dengan pemufakatan jahat.Kejahatan juga
dilakukan secara korporasi sesuai dengan perintah korporasi, maksud dan tujuan korporasi,
tupoksi dan manfaat bagi korporasi.Atau bisa juga kejahatan dilakukan secara individu.
Kejahatan yang dilakukan Fintech P2P Lending Ilegal sudah diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni pasal yang mengatur pencemaran nama baik,
pemerasan/pengancaman, penipuan dan atau penggelapan. Diatur pula dalam undang-undang
khusus, tentang pencucian uang, pendanaan terorisme, perbankan (pengumpulan dana), dan
perlindungan konsumen. Dan lebih spesifik lagi diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), mengenai penyadapan data, penyebaran
data pribadi, pengiriman gambar porno, pengancaman, manipulasi data, dan ilegal akses.
Pencemaran Nama Baik
Pencemaran nama baik diatur dalam KUHP, Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat
dalam Pasal 310 s.d 321 KUHP. R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-

341
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Septina Fadia Putri Kejahatan Financial Technology (Fintech) Ilegal terhadap UMKM

Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal
(hal. 225) dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa, menghina adalah
menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Yang diserang ini biasanya merasa malu.
Kehormatan yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang nama baik, bukan
kehormatan dalam lapangan seksual, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung
anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.
Pemerasan/pengancaman
Spesifik tindak pidana ini diatur dalam pasal 368 KUHP. Dalam struktur KUHP, tindak
pidana pemerasan diatur dalam satu bab (Bab XXIII) bersama tindak pidana pengancaman
pasal 369 KUHP.
Dengan cara memaksa, pelaku ingin korban menyerahkan barang atau membayar utang atau
menghapus piutang.Jika yang terjadi penyerahan barang, maka berpindahnya barang dari
tangan korban menjadi peristiwa penting melengkapi unsur pasal ini.Putusan Hoge Raad
17 Januari 1921 menyebutkan penyerahan baru terjadi apabila korban telah kehilangan
penguasaan atas barang tersebut.
Penipuan dan atau Penggelapan
Penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP. Yang termasuk penggelapan adalah perbuatan
mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya di mana penguasaan atas barang
itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Misalnya, penguasaan suatu
barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut.Atau penguasaan
barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan barang.
Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasannya
yang mana barang/ uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain.
Sementara itu penipuan diatur dalam pasal 378 KUHP. Yaitu dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya
memberi hutang maupun menghapuskan piutang.
Pencucian Uang
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.Menurut Pasal 3 ayat (1) disebutkan TPPU
adalah upaya dengan sengaja menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan
yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.
Dalam siaran pers yang disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),
fintech bisa menjadi sarana ilegal pencucian uang lantaran sifatnya yang cepat dan dinamis.
Berbeda dengan bank konvensional yang wajib memenuhi berbagai persyaratan regulasi yang
ada.Sehingga tidak bisa secepat dan sedinamis fintech.Maraknya fintech yang tidak terdaftar
bisa sangat rentan menjadi tempat pencucian uang dan berbagai tindak pidana lainnya.
Pendanaan Terorisme
Pelaku terorisme di Indonesia berlaku sebagai peminjam di fintech lending ilegal. Kemudian
si pemberi dana terorisme berlaku sebagai penyedia platform atau pun investornya. Modus
seperti itu bisa dilakukan tanpa tercium di fintech ilegal.Ini sulit terdeteksi jika fintech yang
digunakan ilegal.Identitas lender, borrower, dan sumber datanya tidak diketahui.Karena
tidak terdaftar di OJK.

342
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Septina Fadia Putri Kejahatan Financial Technology (Fintech) Ilegal terhadap UMKM

Indonesia menjadi salah satu negara yang berinisiatif untuk menerapkan langkah-langkah
pencegahan penyalahgunaan Fintech untuk Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT).Sejak tahun 2016, Indonesia telah mengeluarkan
peraturan mengenai FinTech, khususnya Fintech untuk fasilitas pembayaran dan FinTech
untuk fasilitas pinjaman.Peraturan mengenai Fintech yang telah dikeluarkan di Indonesia
adalah Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi dan Peraturan Bank Indonesia No. 19/12/PBI/2017 Tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial.Peraturan-peraturan tersebut telah mewajibkan
penyelenggara Fintech untuk menerapkan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme (APU PPT).Indonesia juga menyusun kebijakan penerapan program
APU PPT pada mata uang virtual yaitu Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016
Tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran.
Kejahatan Siber
Kelemahan teknologi finansial selain membutuhkan koneksi jaringan internet yang kuat,
juga meningkatkan kejahatan siber. Sehingga nasabah harus waspada dan hati-hati.Perlu
sosialisasi dari regulator, karena masyarakat masih belum biasa dengan fintech agar tidak
salah pilih yang berakibat pada kerugian bagi masyarakat. Infrastruktur teknologi komunikasi
yang tidak merata, maka fintech akan terasa sulit disentuh oleh masyarakat. Khususnya
di daerah terpencil.Untuk itu diperlukan effort lebih dari pemerintah untuk mendukung
perkembangan teknologi ini.
Peraturan Menkominfo No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem
Elektronik menyebutkan data pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan,
dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.
POJK No. 13/POJK.02/ 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan
menjelaskan penyelenggara bisnis Fintech wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan
ketersediaan data pribadi, data transaksi dan data keuangan yang dikelolanya sejak data
diperoleh hingga data tersebut dimusnahkan. Syarat pemanfaatan data dan informasi
pengguna antara lain; memperoleh persetujuan dari pengguna; menyampaikan batasan
pemanfaatan data dan informasi kepada pengguna; menyampaikan setiap perubahan tujuan
pemanfaatan data dan informasi kepada pengguna dalam hal terdapat perubahan tujuan
pemanfaatan data dan informasi; dan media dan metode yang digunakan dalam memperoleh
data dan informasi terjamin kerahasiaan, keamanan serta keutuhannya.
Ada berbagai potensi risiko dan kerawanan layanan fintech. Antara lain, digitalisasi dan
otomatisasi menyebabkan rawan sekali timbul aksi kejahatan online seperti penyadapan,
pembobolan, dan kejahatan siber. Sebut saja, transaksi fiktif, carding atau penggunaan kartu
kredit orang lain, penipuan di marketplace. Risiko lainnya, tidak semua penyedia jasa layanan
teknologi finansial memiliki lisensi untuk menjalin kerjasama dengan lembaga perbankan
atau melakukan transaksi finansial secara tersistem dan legal. Sehingga dimungkinkan
terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan transaksional, yang akan
merugikan lembaga perbankan itu sendiri.
Namun juga ada beberapa risiko pinjaman online yang wajib dipahami peminjam. Yakni
untuk setiap pembayaran yang melewati jatuh tempo pembayaran, peminjam akan dikenakan
biaya keterlambatan sesuai dengan kriteria pinjaman. Biaya administrasi penagihan, ketika
menunggak, maka risikonya tidak hanya menghadapi penagihan, tetapi juga tambahan biaya
karena keterlambatan pembayaran, atau late fee. Di samping itu, karena proses penagihan
membutuhkan ekstra sumber daya manusia, maka biaya penagihan dibebankan kepada

343
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Septina Fadia Putri Kejahatan Financial Technology (Fintech) Ilegal terhadap UMKM

penunggak. Kemudian sanksi peminjam yang tidak membayar online, maka perusahaan
pinjaman online akan melakukan tindakan penagihan mulai dari yang sifatnya reminder
sampai dengan intensif. Juga risiko operasional, bangkrut dan dibawa lari.
Sementara dalam fintech ilegal, tidak menerapkan seluruh syarat pemanfaatan data tersebut.
Padahal para pelaku UMKM berharap besar pada keberadaan fintech dalam mengembangkan
usahanya.Salah satunya terkait pembiayaan.Fintech berupa P2P lending sebenarnya
membuat UMKM yang unbankable menjadi terakses.Alhasil, fintech ini bisa membuat
kapasitas usaha mengalami peningkatan. Kehadiran fintech mampu menjadi salah satu
solusi untuk mengatasi masalah yang sedang ada di masyarakat khususnya masyarakat yang
bertempat tinggal jauh dari pusat kota maupun bagi masyarakat yang tergolong unbanked.
Berdasarkan konsep privasi yang dikemukakan oleh Thomas J. Imedinghaff, salah satu
konsep privasi yaitu privasi dari data tentang seseorang (privacy of data about person). Artinya
hak privasi dapat juga mengikat pada informasi mengenai seseorang yang dikumpulkan
dan digunakan oleh orang lain. Maka diketahui bahwa perlindungan terhadap keamanan
data pribadi merupakan perwujudan dari privasi seseorang.Sehingga sangat penting untuk
diwujudkan.Perlindungan data pada dasarnya dapat berhubungan secara khusus dengan
privasi seperti yang dikemukakan oleh Allan Westin. Ia mendefinisikan privasi sebagai hak
individu, grup, atau lembaga untuk menentukan apakah informasi tentang mereka akan
dikomunikasikan atau tidak kepada pihak lain. Sehingga definisi yang dikemukakan oleh
Westin disebut dengan information privacy karena menyangkut informasi pribadi.
Dalam konteks bisnis fintech yang berkembang pesat di tengah lajunya perkembangan
teknologi informasi, bisa dipahami bahwa data pribadi perlu dilindungi. Karena data pribadi
merupakan bagian dari privasi individu, sehingga pemilik data pribadi itu sendirilah yang
menentukan apakah data pribadinya boleh diakses dan diketahui oleh orang lain atau tidak.
Artinya segala data pribadi tesebut apabila pihak lain ingin mengetahuinya harus dengan
persetujuan pemilik data pribadi.

E. Kesimpulan
Perlu undang-undang khusus yang mengatur secara tersendiri tentang fintech.Fungsi hukum
di sini sebagai kontrol sosial.Artinya, sanksi pidana dalam rumusan suatu aturan hukum
dimaksudkan agar masyarakat mematuhi kaidah yang berlaku.Tujuannya untuk memberi
efek jera terhadap pelanggaran hukum.Selain itu, hukum sebagai alat untuk mengubah
masyarakat.Hukum berperan sebagai pengatur dan penggerak perubahan masyarakat dengan
kebijaksanaannya penyelaras kepentingan umum dan pemerintah.

F. Saran
Ada beberapa cara agar tidak terjerat fintech ilegal. Di antaranya, meminjam uang pada
fintech P2P Lending yang terdaftar di OJK, pinjam sesuai kebutuhan dan kemampuan,
pinjam untuk kebutuhan yang produktif, dan pahami manfaat, biaya, bunga, jangka waktu,
denda, dan risikonya.
Perlu adanya edukasi fintech di kalangan pelaku UMKM.Terutama kaitannya dengan status
legalitas fintech tersebut.Termasuk imbas yang mengintai jika terjebak dalam jeratan fintech
illegal.Pelaku UMKM perlu mengetahui ciri-ciri fintech illegal dan iming-iming yang
ditawarkan. Sehingga terhindar dari kejahatan yang akan dilakukan fintech illegal tersebut.

344
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Septina Fadia Putri Kejahatan Financial Technology (Fintech) Ilegal terhadap UMKM

Daftar Pustaka

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. 2005. Jakarta: Kencana Prenada Media
R. Soenarto Soerodibroto. KUHAP dan KUHP Dilengkapi Yurisprudensi.2003. Mahkamah
Agung dan Hoge Raad. Edisi ke-5. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal. 1991. Bogor: Politeia
OJK. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Perlindungan Konsumen Pada
Fintech. Jakarta: 2017
Alan F. Westin, Privacy and Freedom (London 1967) 7.
Buckley R. P. and Webster S., ‘Fin-Tech in DevelopingCountries : Charting New Customer
Journeys J Capco Inst J Financ Transform’ (2018) 44 Journal of Financial Transformation
1, 19.
Dávid Varga (2017). Fintech, The New Era Of Financial Services.Budapest Management Review,
XLVIII, 22-32.
Deni Sukma. 2016. Fintechfest, mempopulerkan teknologi finansial di Indonesia. Arena LTE.
Ferry Hendro Basuki dan Hartina Husein. Jurnal Manis Volume 2 Nomor 1, Januari 2018
Kornelius Benuf, Siti Mahmudah, Ery Agus Priyono. Perlindungan Hukum Terhadap Keamanan
Data Konsumen Financial Technology Di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum Refleksi Hukum.
Volume 3 Nomor 2, April 2019. Halaman 145-160
Muchlis, R. (2018). Analisis SWOT Financial Technology (Fintech) Pembiayaan Perbankan
Syariah Di Indonesia (Studi Kasus 4 Bank Syariah Di Kota Medan). ATTAWASSUTH:
Jurnal Ekonomi Syariah, 1(1), 335–357
Muhamad Rizal, dkk. Fintech As One Of The Financing Solutions For Smes.Jurnal Pemikiran
dan Penelitian Administrasi Bisnis dan Kewirausahaan 89 Vol.3, No. 2, Agustus 2018.
Halaman 98
Rezkiana Nisaputra, 2017. Fintech Jadi Ancaman Sekaligus Peluang Bagi Bank.
Rumondang, A. (2018, April). The Utilization of Fintech (P2P Landing) as SME’s Capital Solution
in Indonesia: Perspective in Islamic Economics (Qirad). In International Conference of
Moslem Society (Vol. 2, pp. 12-22).
Schulte Paul & Liu, Gavin. 2018. FinTech is Merging with IoT and AI to Challenge Banks: How
Entrenched Interest Can Prepare. The Journal of Alternative Investments JAI 2017, 20(3)
41-57.
Sijabat, T. W. S. (2018). Pelaksanaan Pemberian Kredit Berbasis Teknologi Informasi Oleh
Fintech Kepada Pelaku Ukm (Studi Pengawasan OJK Surakarta). Surakarta.
Thomas J. Imedinghaff, ed., Online Law The SPA’s Legal Guide to Going Business on The
Internet (Addison-wesley Developers Press 1996) 269. Dalam Edmon Makarin, Pengantar
Hukum Telematika (PT. Raja Grafindo Persada 2005)160.

345
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Septina Fadia Putri Kejahatan Financial Technology (Fintech) Ilegal terhadap UMKM

Wahid Wachyu Adi Winarto. Peran Fintech dalam Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Jurnal Ekonomi & Ekonomi Syariah Vol 3 No 1, Januari 2020
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Peraturan Menkominfo No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem
Elektronik
POJK 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Jo. Pasal 29 POJK
77 tahun 2016
POJK No. 77/ POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi (POJK P2P Lending)
POJK No. 13/POJK.02/ 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan
Surat Edaran OJK (SEOJK) nomor 18/SEOJK.02/2017
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU
Koran Jawa Pos Radar Solo, 22 Juli 2020
https://www.ojk.go.id/apu-ppt/id/berita-dan-kegiatan/info-terkini/Pages/Indonesia-dalam-
FATF-FinTech-and-RegTech-Initiative.aspx
http://www.ppatk.go.id/siaran_pers/read/969/hati-hati-pencucian-uang-di-industri-fintech.html
https://www.medcom.id/ekonomi/mikro/4KZnrqEK-umkm-diminta-cermat-memilih-fintech
https://republika.co.id/berita/pz192i370/sejak-2018-1477-emfintechem-ilegal-telah-rugikan-
masyarakat
https://finansial.bisnis.com/read/20200603/563/1248006/new-normal-penyaluran-pinjaman-
fintech-diprediksi-meningkat)

346
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shofiyatul Jannatinnaim Dampak Asimilasi dan Hak Integrasi Narapidana
Suatu Refleksi atas Kebijakan Pemerintah untuk Pencegahan COVID-19

Dampak Asimilasi Dan Hak Integrasi Narapidana


Suatu Refleksi Atas Kebijakan Pemerintah Untuk
Pencegahan COVID-19
Shofiyatul Jannatinnaim*

ABSTRAK
Wabah virus corona (Covid-19) dinyatakan sebagai darurat kesehatan global oleh Badan Kesehatan
Dunia (WHO).Kondisi ini berimplikasi kepada berbagai aspek terutama aspek hukum pidana,
salah satunya adalah kebijakan pembebasan narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan penyebaran Covid-19, yang menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat.
Bagi kalangan yang Kontra, kebijakan ini dinilai kurang tepat karena dianggap dapat menambah
keresahan di tengah-tengah masyarakat yang sedang terpuruk akibat pandemi.Penelitian ini
bertujuanmengetahui tentang dampak kebijakan dari pembebasan warga binaan pemasyarakatan
dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat setelah pemberlakuan asimilasi dan integrasi
terhadap narapidana.Metode penelitian yang digunakan ialah menggunakan penelitian yuridis-
normatif yaitu penelitian hukum yang mendasarkan analisisnya pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan relevan dengan permasalahan hukum yang diteliti.Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa kebijakan asimilasi dan hak integrasi justru menimbulkan kerawanan
keamanan ditengah masyarakat, dalam kondisi saat ini yang tengah panik dengan kerawanan
social. Hal tersebut dikarenakan kondisi ekonomi saat ini yang carut-marut ditengah pandemic
corona virus atau Covid- 19, pengangguran yang banyak, hidup susah sehingga menjadikan
potensi kriminologinya besar sekali. Maka tak heran sejumlah napi nekat berulahkembali.
Kata kunci: asimillasi dan integrasi narapidana, kebijakan pemerintah, pencegahan Covid-19

ABSTRACT
The corona virus outbreak (Covid-19) has been declared a global health emergency by the World
Health Organization (WHO). This condition has implications for various aspects, especially
aspects of criminal law, one of which is the policy of releasing prisoners and children in the
context of preventing and overcoming the spread of Covid-19, which raises pros and cons in the
community. For those who are cons, this policy is considered inaccurate because it is considered
to increase anxiety in the midst of a society that is being hit by the pandemic. This study aims to
find out about the policy of freeing prisoners and how it impacts the community after assimilation
and integration of prisoners. The research method used is to use juridical-normative research,
namely legal research which bases its analysis on applicable laws and regulations relevant to the
legal issues being studied. From the research results, it can be concluded that the assimilation
policy and the right to integration actually create security insecurity in the community, in a
current state of panic with social unrest. This is due to the current chaotic economic conditions
in the midst of the corona virus or Covid-19 pandemic, large unemployment, difficult life, so that
the criminological potential is enormous. So no wonder a number of prisoners are recklessagain.
Keywords: assimilation and integration of prisoners, government policies, prevention of Covid-19

* Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan,
Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, Shofiyatul0228@gmail.com

347
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shofiyatul Jannatinnaim Dampak Asimilasi dan Hak Integrasi Narapidana
Suatu Refleksi atas Kebijakan Pemerintah untuk Pencegahan COVID-19

A. Pendahuluan
Memasuki tahun 2020 wabah pandemi Virus Corona atau biasa disebut dengan Covid-19
menjadi angin segar bagi para narapidana di Indonesia, selain itu juga menjadi ajang
kebingungan para pemangku kebijakan di negeri pertiwi ini. Menteri hukum dan HAM
membebaskan ribuan narapidana dari penjara, melalui program asimilasi dan integrasi terkait
upaya pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19 di lembaga pemasyarakatan,
rumah tahanan Negara, dan lembaga pembinaan khusus anak (LPKA). Kebijakan ini diambil
melalui Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor M.HH-19-PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang
Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana danAnak melalui asimilasi dan integrasi dalam
rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19. Selain itu, Peraturan
Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang syarat pemberian asimilasi dan
hak integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan
penyebaran covid-19.
Lembaga Pemasyarakatan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang mengarah
pada tujuan resosialisasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang–undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan: Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan
warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat,
sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung
jawab.1 Ketentuan pembebasan narapidana tersebuat diatur dalam Keputusan Menteri
Hukum dan HAM bernomor M.HH 19.PK/01.04.04 Tentang Pengeluaran dan Pembebasan
Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan
Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Didalam peraturan Kepmen tersebut menjelaskan salah satu pertimbangan dalam
membebaskan para tahanan itu adalah karena tingginya hunian di lembaga pemasyarakatan,
lembaga pembinaan khusus anak dan rumah tahanan Negara sehingga rentan terhadap
penyebaran virus Corona. Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah
narapidana dan tahanan di Indonesia per 11 April 2020 telah mencapai 225.176 orang,
sedangkan total daya tampung penjara hanyauntuk132.107 narapidana dan tahanan.
Sementara menurut data Word Prison Brief, penjara di Indonesia mengalami kelebihan
kapasitas yaitu sebesar104%.2
Kepadatan narapidana tersebut menimbulkan lembaga pemasyarakatan menjadi tempat
yang sangat rentan terjadinya penularan virus Covid-19 secara masif dan cepat, jika salah
satu dari penghuni lapas terkena virus tersebut.Mengingat para petugas pemasyarakatan
tidak tinggal di dalam lapas, melainkan di luar kompleks lapas yang sudah barang tentu
berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Ditambah lagi pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan untuk menerapkan physical distancing, atas dasar itu maka sangat urgent untuk
mengambil tindakan untuk mencegah dan menghalau penyebaran Covid-19 di dalam
lembaga pemasyarakatan.3
Menyikapi kondisi tersebut pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan seperti
perbaikan bangunan atau rehabilitasi hingga pembuatan gedung baru untuk menambah daya

1 Undang-Undang No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.


2 Trias Palupi Kurnianingrum, Kontroversi Pembebasan Narapidana Di Tengah Pandemi Covid-19, Kajian
Singkat Terhadap Isu Aktual Dan Strategis, Vol. XII, No.8/II/PUSLIT/April/2020, hlm.2
3 Safaruddin Harefa, “Kebijakan Kriminal Dalam Menanggulangi Kelebihan Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan”,
Jurnal Yuridis, Volume 5, No. 2, (November 2020), Hlm. 294.

348
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shofiyatul Jannatinnaim Dampak Asimilasi dan Hak Integrasi Narapidana
Suatu Refleksi atas Kebijakan Pemerintah untuk Pencegahan COVID-19

tampung.Kondisi demikian merupakan permasalahan serius yang harus segera terselesaikan.


Seperti yang disampaikan Woolf, “dalam mengelola lapas perlu memperhatikan faktor yang
memperburuk kondisi dalam lapas, diantaranya: kepadatan penjara yang extreme; kelebihan
penghuni; keadaan penjarayangburuk; kerusuhan diantara para tahanan dan lainnya.”4
Kondisi tersebut diperburuk dengan terjadinya bencana non alam Corona Virus Disiase
2019 (Covid-19) yang telah menyebar dan menimbulkan jumlah korban dan kerugian harta
beda yang semakin meluas dan masif di Indonesia.5
Namun Kebijakan pemerintah dalam pengeluaran dan pembebasan narapidana melalui
proses asimilasi dan integrasi ini dinilai kurang tepat. Karena sampai dengan keputusan
pembebasan narapidana itu sendiri belum ada berita atau kabar yang menyebutkan bahwa
ada narapidana yang terindikasi positif corona. Jelas langkah ini tidak sejalan dengan
fakta yang ada. Diduga ada kepentingan lain di balik gagasan membebaskan napi dengan
mengkaitkan kondisi lapas dan pandemi Corona. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan
pemerintah guna mencegah penyebaran Covid-19 di Lembaga Permasyarakatan, Namun
kebijakan ini masih perlu dievaluasi dalam pelaksanaanya. Mengingat Narapidana yang
dilepaskan melalui asimilasi dan integrasi hingga (13/05/2020) setidaknya sudah ada 106
narapidana yang kembali berulah dengan persebaran paling banyak di Jawa Tengah, Jawa
Barat dan Sumatera Utara.6
Dengan adanya pembebasan narapidana dalam jumlah besar akan terjadi keresahan di
masyarakat. Narapidana yang dibebaskan akan kembali berulah menimbulkan keresahan
di masyarakat karena didukung oleh kondisi ekonomi yang tidak jelas, pengangguran
yang banyak, hidup susah menjadikan potensi kriminologinya besar sekali. Pada sisi lain,
lapas boleh jadi merupakan tempat yang cocok untuk pencegahan penyebaran Covid-
19.7 Lingkungan terisolasi meminimalkan kemungkinan terpaparnya para napi pada virus
Corona yang ditularkan oleh orang-orang dari luar lapas. Dalam kondisi semacam itu,
melepas napi lebih dini ke lingkungan masyarakat yang faktanya sudah terkena wabah
justru berpeluang menjadikan mereka sebagai orang yang tertular dan, nantinya, penular
virus. Lembaga pemasyarakatan sebagai lingkungan yang terisolasi juga dapat menjadikan
seluruh narapidana sebagai kelompok yang sangat riskan tertular wabah Covid-19 andaikan
ada satu saja orang positif Covid-19 yang masuk dan menularkan virusnya ke dalam lapas.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji tentang bagaimana dampak atas kebijakan
asimilasi dan hak integrasi narapidana di tengah pandemi covid-19?

B. MetodePenelitian
Metode penelitian yang digunakan ialah menggunakan penelitian yuridis-normatif yaitu
penelitian hukum yang mendasarkan analisisnya pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan relevan dengan permasalahan hukum yang diteliti.Penelitian menggunakan

4 Rissang Achmad Putra Perkasa, “Optimalisasi Pembinaan Narapidana dalam Upaya Mengurangi Overcapacity
Lembaga Pemasyarakatan”, Jurnal Wajah Hukum, Volume 4, no. 1 ( April, 2020) Hlm. 110.
5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional
6 Cnnindonesia.com. “Napi Asimilasi Kembali Berulah, Mencuri Hingga Pencabulan”,<https://www.
cnnindonesia.com/nasional/20200512150324-12-502544/106- napi - asimilasi-kembali -berulah-mencuri-hingga-
pencabulan>Diakses 15 Juli2020.
7 Reza Indragiri Amriel, Senjang Logika Pembebasan Napi, https://news.detik.com/kolom/d-4986311/senjang-
logika-pembebasan-napi.Diakses 19 juli 2020.

349
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shofiyatul Jannatinnaim Dampak Asimilasi dan Hak Integrasi Narapidana
Suatu Refleksi atas Kebijakan Pemerintah untuk Pencegahan COVID-19

data-data sekunder dengan tujuan untuk mengkaji fenomena yang terjadi berdasarkan studi
dokumen dengan menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai landasan yuridis,
serta pendapat para ahli hukum yang berkaitan dengan objek kajian penelitian ini. Penulisan
artikel inimenggunakan pendekatan perundang-undangan (statuta approach), pendekatan
konseptual(conceptual approach), dan historycal approach (pendekatan sejarah). Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan jenis data sekunder (secondary data) dengan sumber
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum
yang autoritatif, sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku, teks, jurnal-jurnal
hukum dan komentar atau putus pengadilan.8

C. Pembahasan dan Anaslisis


Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada masa pandemi
covid-19 ini “kembali menjadi sorotan masyarakat luas”.Penggunaan istilah “kembali”
menggambarkan pengulangan aktivitas yang sudah berlalu kemudian terjadi lagi. Sorotan
pertama muncul sekitar tahun lalu ketika terjadi demo besar yang timbul karena adanya
kebijakan terkait pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sorotan selanjutnya adalah terjadi saat ini
di mana Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna H. Laoly mengeluarkan kebijakan dengan
memberikan asimilasi kepada narapidana dalam rangka menekan angka penyebaran dan
penularan covid-19 di lembaga pemasyarakatan.
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (KEMENKUM-HAM) Pada Tanggal 30
Maret 2020, Menetapkan“Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.Hh- 19.Pk.01. 04.04 Tahun 2020 Tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana
dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan
Penyebaran Covid-19”, yang selanjutnya disebut “Kebijakan PencegahanPenyebaranCovid-
19diLapas”. Keputusan menteri ini merupakan kebijakan pemerintah yang diambil dalam rangka
“menyelamatkan Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan yang berada di Lembaga
Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara”.
Pertimbangan pemerintah mengeluarkan kebijakan ini utamanya adalah karena kondisi
Lapas, Lembaga Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara, merupakan sebuah institusi
tertutup yang memiliki tingkat hunian tinggi, sehingga sangat rentan terhadap penyebaran
dan penularan Covid-19.9
Di Indonesia, pemerintah menerapkan pembebasan narapidana melalui program asimilasi
danintegrasi mulai 31 Maret 2020. Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan), menyebutkan asimilasi adalah pembinaan
narapidana dewasa dan anak dengan membiarkan mereka hidup berbaur di lingkungan
masyarakat. Sedangkan integrasi adalah pembebasan narapidana yang telah memenuhi
syarat untuk bebas bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang pembebasan.Berdasarkan
Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-19. PK.01.04.04/2020 pembebasan

8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada, 2014, hlm 133
9 “Virus Corona Dorong Pembebasan Narapidana Global, Tahanan yang Kejam Tak Dibebaskan”, 26 Maret 2020,
https:// internasional.kontan.co.id/ news/virus-corona-dorong- pembebasan-narapidana- global-tahanan-yang-
kejam-tak- dibebaskan?page=all, diakses 18 Juli 2020

350
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shofiyatul Jannatinnaim Dampak Asimilasi dan Hak Integrasi Narapidana
Suatu Refleksi atas Kebijakan Pemerintah untuk Pencegahan COVID-19

narapidana dilakukan dengan syarat selain berkelakuan baik selama menjalani masa pidana
juga telah menjalani 2/3 masa pidana pada 31 Desember 2020 untuk narapidana dan telah
menjalani 1/2 masa pidana 31 Desember 2020 untuk anak. Sementara syarat bebas melalui
integrasi adapun ketentuan Narapidana untuk mendapatkan integrasi yaitu “telah menjalani
2/3 masa pidana, bagi Anak telah menjalani 1/2 masa pidana, Narapidana dan Anak yang
tidak terkait dengan PP nomor 99 tahun 2012, yang tidak sedang menjalani subsidaer dan
bukan warga negara asing”. Melalui dua cara inilah, sebagai mana yang telah diatur dalam
Kebijakan Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lapas, seorang Narapidana dan anak bisa
dikeluarkan dan dibebaskan, namun tatap mendapatkan pembimbingan dan pengawasan
asimilasi dan integrasi dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan. Diatur pula bahwa adanya
“laporan pembimbingan dan pengawasan dilakukan secara daring”.10
Lembaga Pemasyarakatan merupakan lembaga pelaksana pidana penjara di Indonesia
dengan sistem pemasyarakatan. Adanya sistem pemasyarakatan memberikan makna yang
penting bagi pembangunan sistem hukum pidana bidang pelaksana pidana di Indonesia.
Sistem pemasyarakatan merupakan rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana.
Oleh karena itu, pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan pengembangan konsepsi umum
mengenai sistem pemidanaan.11 Perkembangan di lembaga pemasyarakatan dewasa ini
mengalami problematika dimana salah satu permasalahan dan terdapat sebagian lembaga
pemasyarakatan di Indonesia yaitu masalah kepadatan narapidana.Kondisi lembaga
pemasyarakatan di Indonesia terjadi kepadatan dimana perbandingan jumlah penghuni
lembaga pemasyarakatan dan kapasitas lembaga pemasyarakatan yang tidak sebanding
jumlahnya.
Permasalahan yang timbul akibat dari kepadatan narapidana di lembaga pemasyarakatan
antara lain: “Pembinaan/proses rehabilitasi narapidana tidak berjalan maksimal, sulitnya
pengawasan dan pengamanan, memburuknya psikologis narapidana termasuk psikologis
petugas, rentan konflik antarpenghuni, rentan terjadi penyimpangan seksual, rusaknya sistem
sanitasi, memburuknya kondisi kesehatan narapidana, dan terjadi pemborosan anggaran
negara akibat meningkatnya konsumsi makanan, air, dan pakaian.12
Permasalahan di atas merupakan realitas yang dihadapi pemasyarakatan saat ini.Kondisi
kelebihan daya tampung lembaga pemasyarakatan, berakibat pada keterbatasan atau
bahkan kekurangan berbagai fasilitas umum maupun fasilitas khusus yang disediakan
dan diperuntukkan narapidana, yang dapat memicu terjadinya berbagai permasalahan
dalam lembaga pemasyarakatan.Upaya mengurangi kepadatan narapidana dalam lembaga
pemasyarakatan di Indonesia adalah menambah jumlah gedung atau lembaga pemasyarakatan
baru dan pemberian hak narapidana dengan mempercepat reintegrasi narapidana di
lembaga pemasyarakatan. Pada tahun 2019 pemerintah menyiapkan anggaran biaya makan
tahanan dan napi sebesar Rp. 1,79 triliun dengan rata-rata biaya makan Rp. 20 ribu per
napi/tahanan tiap harinya.13 Biaya tersebut belum termasuk biaya pemeliharan sarana dan

10 Kumparan.com,“39RibuNapiDibebaskankarenaAsimilasiCorona,90OrangBerulahLagi”,<https://kumparan.
com/kumparannews/39- ribu-napi-dibebaskan-karena- asimilasi-coro na-95-orang-berulah-lagi-1tOSeawgtg6/
full>, Diakses 19 juli2020
11 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksana Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,2013, hlm.103.
12 Kementerian Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tenaga Administrasi akan Dialihkan
Menjadi Sopir, (Jakarta: Kemenpan), diakses pada tanggal 19 Juli 2020. http://www.menpan.go.id.
13 Marfuatul Latifah, Overcrowded Pada Rumah Tahanan Dan Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia: Dampak
Dan Solusinya, Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual Dan Strategis, Vol. XI, No.10/Ii/Puslit/Mei/2019, hlm.3

351
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shofiyatul Jannatinnaim Dampak Asimilasi dan Hak Integrasi Narapidana
Suatu Refleksi atas Kebijakan Pemerintah untuk Pencegahan COVID-19

prasarana Lapas atau Rutan. Anggaran yang tersedia tidak sesuai jumlah tahanan dan napi
yang ada, sehingga tahanan dan napi tidak mendapatkan fasilitas mendasar yang memadai.
Fasilitas yang dimaksud adalah tempat tinggal yang layak (luas sel) yang memadai, sanitasi
yang bersih, dan perawatan medis.Dengan adanya kondisi covid 19 ini sesungguhnya
kesempatan bagi pemerintah untuk mengurangi kapasitas narapidana yang ada dilembaga
pemasyarakatan. Artinya kebijakan ini menjadi kuat dengan adanya Peraturan Menteri
Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor
M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan
Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan
Penyebaran Corona.
Pembebasan Narapidana melalui program asimilasi dan integrasi sebagai kebijakan
pemerintah mencegah penyebaran Covid-19 di Lapas, menimbulkan keresahan di masyarakat.
Hal ini dikarenakan masih terdapat Narapidana yang dibebaskan kembali melakukan tindak
pidana. Hingga pada tanggal 12 Mei 2020, terdapat 106 narapidana melakukan tindak pidana
lagi dan harus ditangkap akibat kembali berulah melakukan tindakan criminal.14
Permenkumham 10/2020 menjelaskan narapidana yang dapat diberikan asimilasi di rumah
adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a. berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam
kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir;
b. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan
c. telah menjalani ½ (satu per dua) masa pidana.
Sedangkan narapidana yang dapat diberikan hak integrasi berupa pembebasan bersyarat dan
cuti menjelang bebas apabila memenuhi syarat:
a. telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan2/3 (dua
per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;
b. berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 (sembilan) bulan
terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana;
c. telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat;dan
d. masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana.
Ketika warga binaan pemasyarakatan atau narapidana mendapatkan kebebasan, mereka
menghadapi lingkungan yang menantang dan secara aktif menghalangi mereka untuk menjadi
anggota masyarakat yang produktif. Sebuah penelitian di Amerika Serikat menjelaskan bahwa
dalam waktu tiga tahun setelah dibebaskan, 67,8 persen dari mantan pelanggar ditangkap
kembali, dan dalam lima tahun, 76,6% ditahan kembali. Hal ini tentunya menjadi gambaran
bahwa begitu besar tantangan narapidana ketika kembali berintegrasi di masyarakat. Ketika
para mantan narapidana kembali berulah karena tekanan yang begitu besar di masyarakat,
sebetulnya bagi publik secara luas, hal ini jelas merupakan kerugian. Mengapa demikian?
Publik selaku pembayar pajak yang membiayai kehidupan para narapidana di lapas harus
menerima kenyataan bahwa pola pembinaan di lapas tidak sepenuhnya mengembalikan
kondisi sosial mantan narapidana kepada bentuk pribadi yang baik.
Hambatan hukum dan sosial yang sistemik, begitu mantan narapidana dibebaskan, lebih
sulit bagi mereka dibandingkan dengan masyarakat umum untuk mendapatkan pekerjaan

14 Cnnindonesia.com, 106 Napi Asimilasi Kembali Berulah, Mencuri Hingga Pencabulan, <https://www.
cnnindonesia.com/nasional/20200512150324-12-502544/106-napi-asimilasi-kembali-berulah-mencuri-hingga-
pencabulan,> Diakses 19 Juli 2020

352
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shofiyatul Jannatinnaim Dampak Asimilasi dan Hak Integrasi Narapidana
Suatu Refleksi atas Kebijakan Pemerintah untuk Pencegahan COVID-19

yang menguntungkan atau bahkan berfungsi di masyarakat sebagai pejabat kewilayahan.


Mantan narapidana terus-menerus dihukum dengan stigma di masyarakat karena
kejahatannya. Setidaknya untuk melamar pada satu posisi jabatan publik atau untuk
menjadi karyawan saja membutuhkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) atau
bahkan surat keterangan tidak pernah dipidana. Terlebih pada masa pandemi ini, bukan
hanya mantan narapidana yang dihadapkan pada kesulitan, masyarakat pada umumnya
juga merasakan dampak yang begitu luar biasa dari adanya wabah ini. Banyak perusahaan
merumahkan pekerjanya tanpa upah.Bahkan tidak sedikit pula yang menerima pemutusan
hubungan kerja (PHK).
Narapidana yang dibina dalam lapas bukan serta merta ditempatkan hanya untuk menjalani
masa pidananya saja dan dirampas kemerdekaannya, tetapi poin penting dan mulianya
adalah lapas harus memiliki kemampuan dalam hal pembinaan narapidana guna menjadi
orang yang lebih baik dan dapat berbaurkembali di masyarakat. Arti memasyarakatkan
narapidana tersebut adalah menjadikan narapidana diterima menjadi anggota masyarakat
dan dapat berinteraksi dengan masyarakat dengan baik serta mampu berubah ketika selesai
menjalani masa pidananya. Memasyarakatkan kembali narapidana adalah hal terpenting
yang harus dilaksanakan oleh lapas. Keberhasilan sistem pembinaan narapidana di lapas
sebagai tempat pembinaan narapidana dilihat dari pelaksanaan tugasnya dalam membina
narapidana dan memberikan hak-haknya, sehingga mampu menjadi yang lebih baik serta
tidak melakukan kejahatan kembali. Jika pembinaan sudah berjalan dengan baik, maka
lapas pun tak akan mengalami overcrowded. Kejahatan yang berulang kali (residivis) yang
dilakukan oleh narapidana pun tak akan terulang kembali.
Secara rinci, dampak dari penerapan kebijakan asimilasi dan hak integrasi dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Bidang hukum dan peraturan
Pada prakteknya, kita sering jumpai hukum yang dicita-citakan secara ideal kadang-
kadang pada prakteknya melenceng dari harapan.Pada prakteknya, penyelenggaraan
hukum pada ranah empiris dapat timbul permasalahan seputar kepastian hukum dan
aspek keadilan. Seorang narapidana yang telah menjalani hukum seyogyanya bisa
kembali menjadi masyarakat biasa kembali dengan tidak ada beban masa lalu. Terbitnya
surat keterangan bebas dari lembaga pemasyarakatan tentunya tidak menghapus stigma
bahwa seorang narapidana dianggap telah dihukum dengan adil. Berbagai peraturan
perundang-undangan melarang seorang mantan narapidana untuk kembali berkiprah di
masyarakat semisal untuk bekerja dan mengisi jabatan publik.Banyak sekali peraturan
hukum yang melarang seseorang yang pernah dipidana untuk mengisi slot pada posisi
tertentu.Ini jelas menjadi tantangan seumur hidup bagi narapidana yang kembali kepada
masyarakat.
b. Penegak hukum
Aspek sumber daya aparatur lembaga pemasyarakatan menjadi tantangan yang tak
terelakan. Seorang narapidana yang dengan kebijakan asimilasi dan integrasi pada masa
pandemi covid-19 tetap harus berada di bawah kendali pengawasan dan pembinaan
lembaga pemasyarakatan meskipun dengan tingkat yang minimum. Akan tetapi, jauh
sebelum melaksanakan pengawasan dan pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan,
SDM bidang pemasyarakatan sudah sangat terbatas. Ditambah dengan teritori yang
begitu luas dari sebaran para penerima kebijakan asimilasi dan hak integrasi ini jelas
akan menambah beban pengawasan dan pembinaan aparatur pemasyarakatan.

353
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shofiyatul Jannatinnaim Dampak Asimilasi dan Hak Integrasi Narapidana
Suatu Refleksi atas Kebijakan Pemerintah untuk Pencegahan COVID-19

c. Sarana dan Prasarana


Para warga binaan pemasyarakatan atau narapidana sudah terbiasa dengan sarana dan
prasarana yang mencukupi meskipun serba terbatas. Sarana daprasarana tersebut antara
lain adalah sarana perawatan kesehatan, pendidikan, aspek pangan yang memadai
dan layak makan, sarana upah dan premi untuk narapidana yang dikerjakan selama di
lapas dan sarana prasarana lain yang menunjang pembinaan mereka di lapas. Ketika
narapidana berasimilasi dan mendapatkan hak integrasinya maka segala sarana dan
prasarana tersebut akan dengan sendirinya gugur dan tidak melekat lagi pada dirinya.
Para mantan narapidana harus bekerja keras sendiri untuk dapat menikmati fasilitas
tersebut di luar lapas.
d. Masyarakat
Masyarakat adalah salah satu faktor penting keberhasilan kebijakan asimilasi dan hak
integrasi. Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Pasal
1 ayat 2 menekankan bahwa “sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah
dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila
yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk
meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali
oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup
secara wajarsebagaiwargayangbaikdanbertanggungjawab”.Namunrealitanya,peranserta
masyarakat dalam menerapkan proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan atau
napi sangat minim. Faktor penunjangnya adalah atau ditunjang oleh ketidakpedulian
masyarakat terhadap mantan narapidana dengan enggan menerima keberadaannya.Hal
ini tentunya menghambat tercapainya tujuan pemidanaan yang diharapkan.Maka tanpa
ada peran serta masyarakat dengan sedikitnya mengurangi stigma negatif bagi para
mantan narapidana, tujuan sistem pemasyarakatan dengan upaya reintegrasi narapidana
melalui asimilasi dan hak integrasi tidak akan tercapai.
e. Peningkatan Kriminalitas Dampak dari ProgramAsimilasi
Sejauh ini total narapidana yang telah dibebaskan karena program asimilasi dan hak
integrasi lebih dari 35.000 orang. Namun hal tersebut, menjadi sebuah pertanyaan di
tengah masyarakat bahwa apakah para narapidana yang telah dibebaskan melalui program
asimilasi dan integrasi telah melalui tahap penilaian perilaku dengan benar. Pertanyaan
lainnya adalah apakah program tersebut justru berpotensi menimbulkan permasalahan
baru.Sehingga, pembebasan narapidana tersebut justru menjadi keresahan di tengah
masyarakat, dimana sekarang ini masyarakat dipertontonkan sederet kasus kejahatan
yang dilakukan kembali oleh beberapa napi yang baru saja diberikan kebebasaan melalui
kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut justru berpotensi menimbulkan permasalahan
baru karena saat para napi dibebaskan, mereka akan kesulitan mencari pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya di tengah pandemic corona virus atau Covid-19, yang
tentu saja hal tersebut berdampak terhadap aspek so- sial, ekonomi, serta keamanan.16
Dari sederet kasus, misalnya seorang napi yang mendapat asimilasi pada 6 April Lapas
Kelas IIA Pontianak.Dia bersama dua tersangka lainnya mencuri ponsel, napi yang
mendapat asimilasi tersebut tak hanya sekali melakukan aksinya, tetapi setidaknya
sudah empat kali setelah bebas.Setidaknya menurut Kabareskrim POLRI, tercatat ada
27 napi yang kembali melakukan kejahatan.Saat ini masyarakat tak hanya dirisaukan
dengan penyebaran Covid- 19, masyarakat juga harus mawas diri dari aksi kriminalitas.

354
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shofiyatul Jannatinnaim Dampak Asimilasi dan Hak Integrasi Narapidana
Suatu Refleksi atas Kebijakan Pemerintah untuk Pencegahan COVID-19

Hal tersebut dikarenakan kondisi ekonomi saat ini yang carut-marut di tengah pandemic
corona virus atau Covid-19, pengangguran yang banyak, hidup susah sehingga
menjadikan potensi kriminologinya besar sekali. Maka tak heran sejumlah napi nekat
berulah kembali.
Usaha-usaha peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan perlindungan terhadaphak
asasi manusia justru muncul dari gerakan akar rumput, dalam bentuk organisasi-
organisasi non-pemerintah.15 Pemahaman tersebut nampaknya cocok dengan kondisi
saat ini, dimana masyarakat yang memiliki harta berlebih memiliki kepedulian kepada
sesamanya. Untuk menjawab tantangan memasyarakatkan narapidana penting adanya
perhatian pemerintah.Terlebih dalam kondisi serba terbatas saaat ini.Kehadiran
pemerintah dalam hal ini dilaksanakan oleh menteri dan oleh petugas pemasyarakatan
sesuai Pasal 7 Undang-undang Pemasyarakatan.Perhatian tersebut diharapkan dapat
memberikan dampak positif dan berkelanjutan bagi lapas dan narapidana.Bentuk
kehadiran pemerintah tersebut adalah adanya pengawasan dan pembinaan lanjutan.
Kebijakan asimilasi dan hak integrasi bukanlah kebebasan secara murni sehingga
tetap memiliki rangkaian proses yang harus diikuti dan diselesaikan oleh mereka para
penerima kebijakan asimilasi dan hak integrasi.

D. Penutup
Kesimpulan
Pembebasan narapidana pada masa covid 19 ini merupakan kebijakan pemerintah guna
menghindari penyebaran wabah covid 19 yang ada di lembaga pemasyarakat sehingga
narapidana yang ada di lembaga pemasyarakatan terhindar dari penularan wabah covid
19. Namun dengan adanya pembebasan tersebut juga berdampak pada perilaku narapidana
setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan dimana pada masa covid 19 ini perekonomian
semakin sulit sehingga menimbulkan kriminalitas dalam masyarakat tidak terkecuali para
narapidana yang dibebaskan ini tentu saja kesempatan bagi mereka menjadi residivis. Oleh
karena itu seyogyanya pemerintah mencari solusi yang tepat guna mengatasi persoalan
pada masa covid 19 ini sehingga pembebasan narapidana pada masa covid 19 perlu
dipertimbangkan.

E. Saran
Program asimilasi memang perlu kajian mendalam, karena kondisi napi yang terisolasi dari
dunia luar seharusnya lebih aman ketimbang harus berinteraksi dengan banyak orang di
luar lapas. Memang perlu memikirkan aspek kemanusiaan terhadap na- rapidana, tapi apa
yang dilakukan residivis justru tak manusiawi. Seharusnya pemerintah juga melihat faktor
keamanan yang dirasa- kan masyarakat. Jangan sampai kebijakan ini berbuah masalah baru
menjadi tingginya kriminalitas di tengah-tengah masyarakat.Se- hingga solusi pembebasan
napi adalah solusi tambal sulam dimana program asimilasi tersebut tidak dibarengi dengan
sistem kontrol para napi, hanya sekedar pembebasan untuk melepas tanggung ja- wab untuk
membiayai kebutuhan warga binaan.

15 Fauzia, I. (2017). Indonesia dalam Doktrin Hukum dan Pembangunan. Jurnal As-Syari’ah. Vol. 19 No. 2.https://
doi.org/10.15575/as.v19i2.4358

355
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Shofiyatul Jannatinnaim Dampak Asimilasi dan Hak Integrasi Narapidana
Suatu Refleksi atas Kebijakan Pemerintah untuk Pencegahan COVID-19

Daftar Pustaka

Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksana Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,2013.
“Napi Asimilasi Kembali Berulah, Mencuri HinggaPencabulan”
,<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200512150324-12-502544/106-napi-asimilasi-
kembali -berulah-mencuri-hingga-pencabulan> Diakses 15 Juli 2020 pada pukul 22.40WIB
Fauzia, I. (2017). Indonesia dalam Doktrin Hukum dan Pembangunan. Jurnal As-Syari’ah. Vol.
19 No.
2. https://doi.org/10.15575/as.v19i2.4358
Kementerian Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tenaga Administrasi
akan Dialihkan Menjadi Sopir, (Jakarta: Kemenpan), http://www.menpan.go.id.diakses
pada tanggal 19 Juli 2020 pukul 17.38.
KeputusanMenkumhamNomorM.HH.19.PK.01.04.04Tahun2020tentang“Pengeluarand
an Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka
Pencegahan dan Penanggulangan PenyebaranCovid-19”
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana
Non alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai BencanaNasional
Kumparan.com, “39 Ribu Napi Dibebaskan karena Asimilasi Corona, 90 Orang Berulah
Lagi”,<https://kumparan.com/kumparannews/39-ribu-napi-dibebaskan-karena- asimilasi-
coro na-95-orang-berulah-lagi-1tOSeawgtg6/full>,Diakses 19 juli 2020 pukul23.40
Marfuatul Latifah, Overcrowded Pada Rumah Tahanan Dan Lembaga Pemasyarakatan Di
Indonesia: Dampak Dan Solusinya, Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual Dan Strategis,
Vol. XI, No.10/Ii/Puslit/Mei/2019
PermenkumhamNomor10Tahun2020tentang“SyaratPemberianAsimilasidanHakIntegrasipada
Narapidana danAnak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid- 19.”
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada, 2014.
Reza Indragiri Amriel, Senjang Logika Pembebasan Napi, https://news.detik.com/
kolom/d-4986311/senjang-logika-pembebasan-napi.Diakses 19 juli 2020 pukul 21.37
Rissang Achmad Putra Perkasa, “Optimalisasi Pembinaan Narapidana dalam Upaya Mengurangi Overcap
acityLembagaPemasyarakatan”,JurnalWajahHukum,Volume4,no.1.
Safaruddin Harefa, “Kebijakan Kriminal Dalam Menanggulangi Kelebihan Kapasitas Lembaga
Pemasyarakatan”, Jurnal Yuridis, Volume 5, No. 2, (November 2020).
Trias Palupi Kurnianingrum, Kontroversi Pembebasan Narapidana Di Tengah Pandemi
Covid-19, Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual Dan Strategis, Vol. XII, No.8/II/PUSLIT/
April/2020.
“VirusCoronaDorongPembebasanNarapidanaGlobal,TahananyangKejamTakDibebaskan”,26
Maret 2020, https://internasional.kontan.co.id/news/virus-corona-dorong-pembebasan-
narapidana-global-tahanan-yang-kejam-tak- dibebaskan?page=all, diakses 18 Juli 2020
pukul 23.35

356
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Aditya Angga Rohendriyanto Hari Purwadi Korupsi Politik pada Kebijakan
Penanggulangan Dampak Covid-19 di Bidang Ekonomi

KORUPSI POLITIK PADA KEBIJAKAN PENANGGULANGAN


DAMPAK COVID-19 DI BIDANG EKONOMI
Aditya Angga Rohendriyanto*; Hari Purwadi**

ABSTRAK
Pandemi COVID-19 yang menyerang berbagai negara di seluruh dunia termasuk Indonesiadan
telah memberikan dampak yang masifdi berbagai bidang, salah satunya di bidang ekonomi.
Pemerintah Indonesia dalam rangka penanggulangan dampak Corona Disease 2019 (COVID-19)
khususnya di bidang ekonomi, mengeluarkan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19) Namun, kemunculan
PERPPU menimbulkan polemik, terdapat indikasi adanya korupsi politik yang dilakukan oleh
pembuat kebijakan. Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengkaji adanya indikasi korupsi
politik dari kebijakan yang telah dikeluarkan. Penelitian hukum ini merupakan penelitian
hukum doktrinal. Penelitian artikel ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue
approach) dan pendekatan kasus (case approach), dengan menggunakan bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder.
Kata kunci: Pandemi COVID-19, Korupsi Politik, Kebijakan.

ABSTRACT
The COVID-19 pandemic which has attacked various countries around the world, including
Indonesia has had a massive impact in various fields, such as in economic side. The Government
of Indonesia in order to counteract the impact of the Corona Disease 2019 (COVID-19) pandemic,
especially in the economic side, issued The Government Regulation in Lieu of Law Number 01
of 2020 concerning State Financial Policy and Financial System Stability for HandlingCorona
Disease 2019 (COVID-19). However, the appearance of The Government Regulation in Lieu
caused a polemic, there were indications of political corruption committed by policy makers.
This legal research aims to examine the indication of political corruption from policies that have
been issued. This legal research is normative or doctribal.The research used statue approach
and case approach on this legal research, with primary legal materials and secondary legal
materials.
Keywords: The COVID-19 pandemic, Political Corruption, Policy

* Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres,
Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, anggarohen58@gmail.comS.H. (Universitas Sebelas Maret).
** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa
Tengah, Indonesia, haripurwadi@staff.uns.ac.id, Dr. (Universitas Sebelas Maret), S.H. (Universitas Airlangga),
M.Hum. (Universitas Diponegoro).

357
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Aditya Angga Rohendriyanto Hari Purwadi Korupsi Politik pada Kebijakan
Penanggulangan Dampak Covid-19 di Bidang Ekonomi

A. Pendahuluan
COVID-19 merupakan pandemi terbesar yang melanda secara merata di seluruh dunia pasca
perang dunia kedua (2ndWorld War).1 Wabah virus COVID-19 dimulai dari pasar makanan
laut Hunan yang terletak di kota Wuhan, China pada bulan Desember 2019, hanya dalam
waktu hitungan bulan virus COVID-19 menjadi kondisi darurat kesehatan global yang
menyerang hampir seluruh negara di dunia.2Dampak dari COVID-19 menjalar ke berbagai
bidang baik kesehatan,sosial, poltik, ekonomi dan berbagai bidang lain yang menyebabkan
efek domino bagi seluruh negara di dunia.Berbicara mengenai dampak ekonomi yang
disebabkan oleh COVID-19, sebagian besar didorong oleh penurunan permintaan, hal
tersebut dapat dimaknai bahwa tidak ada konsumen untuk membeli barang dan jasa yang
tersedia dalam ekonomi global.3Ekonomi global dipastikan akan berjalan secara stagnan,
bahkan akan ada tendesi untuk mengalami perlambatan. Hal tersebut menyusul dari penetapan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebutkan bahwa wabah COVID-19 sangat
mempengaruhi keberlangsungan dunia usaha.Keterpurukan ekonomi menjadi salah satu
ancaman pesar selama dan pasca kondisi pandemi COVID-19.4
Indonesia tidak luput dari dampak domino dari wabah COVID-19 yang telah menyerang
hampir seluruh negara di dunia. Secara faktual, Indonesia mengalami penurunan
pertumbuhan ekonomi yang dikhawatirkan apabila tidak adanya kebijakan yang bersifat
represif dan supportive maka perekonomian Indonesia akan mengalami stagnansi.
Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam bentuk stimulus ekonomi dalam
rangka survival life keberlangsungan hidup bagi masyarakatnya. Pemerintah Indonesia
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman
yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Corona Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang
membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan lahir sebagai
kebijakan yang berbentuk produk hukum sebagai langkah taktis dan praktis atas kondisi di
masa pandemi COVID-19, secara spesifik di bidang perekonomian negara. Dasar hukum
ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19) berpijak dari Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang

1 … The COVID-19 pandemic is considered as the most crucial global health calamity of the century and the
greatestchallenge that the humankind faced since the 2nd World War.Lihat pada: Indranil Chakraborty and
Prasenjit Maity, COVID-19 outbreak: migration, effects on society, global environment and prevention, Science
of the Total Environment, Volume 728 1 August, 2020, hal. 12
2 Wang et al, Remdesivir and chloroquine effectively inhibit the recently emerged novel corona virus in vitro, Cell
Res 30 (3), 2020, hal. 269
3 … The economic damage caused by the COVID-19 pandemic is largely driven by a fall in demand, meaning
that there are not consumers to purchase the goods and services available in the global economy. This dynamic
can be clearly seen in heavily affect industries such as travel and tourism.Lihat pada:Erin Duffin, Impact of the
Corona Virus Pandemic on the Global Economy. Statista Journal, 2020, hal. 2
4 Nuno Fernandes, Economy Effects of Corona Virus Outbreak (COVID-19) on the World Economy, SSRN
3557504,2020, hal. 3

358
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Aditya Angga Rohendriyanto Hari Purwadi Korupsi Politik pada Kebijakan
Penanggulangan Dampak Covid-19 di Bidang Ekonomi

Dasar 1945 yang pada intinya menyatakan bahwa, “dalam hal kegentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona
Disease 2019 (COVID-19) mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan kebijakan
stabilitas sistem keuangan dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 dan/atau dalam
rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas
sistem keuangan, antara lain kebijakan keuangan negara meliputi kebijakan pendaparan
negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk
kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan serta kebijakan stabilitas
sistem keuangan meliputi kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan
yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.Namun,
lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Corona Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang
membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan memunculkan
kontroversial “controversial spotlight”dari berbagai kalangan baik masyarakat awam,
akademisi bahkan sesama penyelenggara negara.
Controversial spotlight mengacu pada salah satu pasal di dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19)
yaitu Pasal 27. Pasal 27 dianggap memberikan kekebalan hukum pada pemerintah. 5Pasal
tersebut muncul sebagai kontradiksi dari prinsip equality before the law yang dianut
oleh bangsa Indonesia sebagai negara hukum. Pasal 27 PeraturanPemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19) memicu
munculnya animo negatif yang berisi rasa skeptisme dari rakyat kepada pemerintah.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia dalam menghadapi pandemic COVID-19
dinilai mengandung indikasi korupsi politik. Dalam konsep klasik, istilah korupsi politik
dimaknai sebagai hubungan permasalahan antara sumber-sumber kekuasaan dan hak-hak
moral penguasa.6 Dewasa ini, korupsi politik berkaitan erat dengan permasalahan lembaga
negara dan pola perilaku penyelenggara negara. Pada dasarnya, korupsi politik mempunyai
perspektif yang berdampak pada negara dan ekonomi. Berdasarkan latar belakang yang
dipaparkan oleh penulis, maka penulis menyusun sebuah penelitian hukum yang berjudul,
“KORUPSI POLITIK PADA KEBIJAKAN PENANGGULANGAN DAMPAK COVID-19
DI BIDANG EKONOMI.”

B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research)doktrinal.Penelitian hukum
merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun

5 Miftahul Arifin & Ahda Bayhaqi, Merdeka.com, “Ini Pasal Kontroversial Perppu Corona Yang Didukung DPR
Digugat Ke MK”, https://www.merdeka.com/jabar/ini-pasal-kontroversial-perppu-corona-yang-didukung-dpr-
digugat-ke-mk.html, diakses pada tanggal 1 Juli 2020 pukul 11.11 WIB
6 Fransiska Adelina, Bentuk-Bentuk Korupsi Politik, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 16 No. 1- Maret 2019: 59-
75, hal. 62

359
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Aditya Angga Rohendriyanto Hari Purwadi Korupsi Politik pada Kebijakan
Penanggulangan Dampak Covid-19 di Bidang Ekonomi

doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.7 Morris L. Cohen
menambahkan, dalam penelitian hukum (legal research) terdapat beberapa pendekatan yang
digunakan, yaitu statuta approach, conceptual approach, analitycal approach, comparative
approach, historical approach, philosophical approach, dan case approach.8Penulisan
artikel ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan
pendekatan kasus (case approach). Statute approach digunakan untuk mengkaji penerapan
Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19) dan/atau
dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau
stabilitas sistem keuangan. Case approach direfleksikan untuk memahami kondisi dan
realita faktual yang terjadi mengenai korupsi politik di Indonesia. Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan jenis data sekunder (secondary data) dengan sumber bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.

C. Pembahasan
1. Pandemi COVID-19 di Indonesia
COVID-19 telah melumpuhkan perekonomian global, dampak tersebut disebabkan oleh
penularan virus yang bersifat massive dan belum bisa dicegah. Kebijakan-kebijakan
yang dilakukan pemerintah baik berupa social distancing, physical distancing, lockdown
dan berbagai kebijakan lain tentu saja berimbas pada kondisi perekonomian di suatu
negara. Akibat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, penerbangan domestic dan
penerbangan internasional ditutup, berbagai jalur transportasi ditutup, seluruh sentra
komersial pemerintah yang menyebabkan hotspot penularan COVID-19 ditutup hingga
batas waktu yang tidak ditentukan. Berbagai dampak dari wabah COVID-19 telah
menjangkiti berbagai negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Terhitung sejak tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan
mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar atau yang disingkat dengan PSBB dalam
menghadapi wabah COVID-19. Pemerintah Indonesia mengeluarkan detail mengenai
teknis pelaksanaan PSBB melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka
Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Pembatasan Sosial
Berskala Besar mempunyai artian bahwa dilakukan pembatasan kegiatan tertentu penduduk
dalam suatu wilayah yang terduga terinfeksi COVID-19. Penetapan PSBB yang dilakukan
oleh pemerintah Indonesia mempunyai dasar pertimbangan seperti epidemiologis, besar
ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi,
sosial, budaya dan keamanan. Proyeksi dari Pembatasan Skala Sosial Berskala Besar yang
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia mempunyai lingkup antara lain:
1. Peliburan sekolah dan tempat kerja.
2. Pembatasan kegiatan keagamaan, sosial, budaya di tempat umum atau fasilitas
umum.
3. Moda transportasi.
4. Kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.

7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada, 2014, hal. 35.
8 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2006, hal.
300

360
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Aditya Angga Rohendriyanto Hari Purwadi Korupsi Politik pada Kebijakan
Penanggulangan Dampak Covid-19 di Bidang Ekonomi

Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tentu saja berdampak pada
roda perekonomian Indonesia, dalam hal ini khususnya Jakarta. Menurut ekonom
Institute for Development of Economic and Finance Bhima Yudhistira Adhinegara,
“PSBB berdampak pada seluruh sektor bisnis di Jakarta, utamanya bagi sektor-sektor
yang bukan bergerak di bidang yang bukan bergerak di sektor penyediaan kebutuhan
publik sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020
tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar”.9 Dampak instan yang dapat
langsung dirasakan akan terjadi pada masyarakat yang berkerja di sektor informal.
Lambat laun, PSBB di Jakarta akan terasa pada kestabilan perekonomian nasional. Hal
tersebut terjadi dikarenakan perputaran uang sebesar 70% terjadi di ibu kota Jakarta.
Jakarta menyumbang cukup signifikan terhadap pendapatan nasional, khususnya
penerimaan pajak, tentu saja hal tersebut akan berefek pada makro ekonomi maupun
APBN.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana tertuang di Pasal 13 bahwa kegiatan di
tempat kerja wajib diliburkan, kecuali beberapa sektro yang berorientasi pada layanan
masyarakat. Sektor tersebut antara lain pertahanan dan keamanan, ketertiban umum,
kebutuhan pangan, bahan bakar minyak dan gas, pelayanan kesehatan, perekonomian,
keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistic dan kebutuhan
dasar lainnya. Proyeksi nyata dari dampak PSBB tersebut adalah pada sektor lain yang
wajib tutup selama PSBB terjadi penurunan kinerja yang mendekati dormant atau mati.
Kondisi yang sangat kacau dari berbagai bidang baik sosial, ekonomi maupun lainnya
mendorong pemerintah Indonesia untuk merancang sebuah pembangunan hukum
mapun pembaharuan hukum berupa pengaturan dari segi kebijakan untuk mengatur
keberlangsungan hajat hidup rakyat.

2. Kebijakan Penanggulangan Dampak Pandemi COVID-19 di Bidang Ekonomi


Pembangunan hukum mempunyai makna yang lebih menyeluruh dan mendasar
dibandingkan dengan istilah pembinaan hukum atau pembaharuan hukum. Pembangunan
adalah suatu upaya untuk mentransformasikan masyarakat dari suatu kondisi ke
kondisi yang lebih baik.10 Dalam hal ini sebagai bentuk tindakan yang perlu dilakukan
oleh pemerintah selama dan pasca kondisi pandemi COVID-19 yaitu dengan adanya
pembangunan hukum yang menyesuaikan dengan kondisi Indonesia pada saat ini.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah kebijakan berupa Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease
2019 (COVID-19) dalam rangka menghadapi wabah pandemi COVID-19 yang telah
melumpuhkan baik di bidang sosial, ekonomi, politik dan berbagai bidang lainnya.

9 https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4969028/dampak-psbb-ke-ekonomi-dan-pesan-untuk-anies -
diakses pada tanggal 6 Juli 2020, pukul 19.22 WIB
10 Proses transformasi pun harus diarahkan pada penanggalan nilai-nilai lama yang sudah tidak lagi relevan dengan
kebutuhan, tantangan dan konteks zaman. Modifikasi dan revitalisasi nilai-nilai lama yang masih relevan dengan
kebutuhan, tantangan dan konteks zaman. Penemuan dan pemasyarakatan nilai-nilai baru yang dipelrukan untuk
berinteraksi ddengan lingkungan yang senantiasa berubah dan untuk menjawab permasalahan baru yang dibawa
oleh perubahan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sebekas
Maret Surakarta oleh Prof. Dr. Adi Sulistyono, S.H.,M.H. disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka Universitas
Sebelas Maret Surakarta pada tanggal 17 November 2007.

361
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Aditya Angga Rohendriyanto Hari Purwadi Korupsi Politik pada Kebijakan
Penanggulangan Dampak Covid-19 di Bidang Ekonomi

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) diatur di


dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa dapat
diterbitkan apabila terjadi keadaan yang genting dan/atau memaksa. Definisi dari
kegentingan memaksa menjadi pemaknaan yang multitafsir, hal tersebut dikarenakan
tergantung pada subjektifitas Presiden dalam hal penafsiran. Terdapat Putusan Mahmah
Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yang mana memaparkan mengenai adanya
kegentingan yang memaksa sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
1. Terdapat keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum
secara cepat berdasarkan undang-undang.
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan
hukum.
3. Undang-undang yang tidak memadai dan kekosongan hukum tersebut tidak
dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena
akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak
memerlukan kepastian untuk diselesaikan.
Presiden berpijak pada kebijaksanaannya dalam menentukan tafsir keadaan genting
dan/atau memaksa yang kemudian diimplementasikan pada substansi PERPPU. Maka,
berdasarkan dengan landasan filosofisnya, Presiden mempunyai kewenangan untuk
mengeluarkan PERPPU dengan kebijaksanaannya yang bersifat subjektif menyikapi
kondisi negara.
Negara sebagai institusi kerakyatan yang berkualitas melindungi dan sekaligus
berkewajiban menegakkan keadilan yang mencakup pemberantasan segala bentuk
korupsi. Pemerintah dalam menjalankan kekuasaan politik memerlukan kontrol,
hal tersebut menjadi hal yang mutlak dijalankan mengingat dari segi histori bangsa
Indonesia yang telah mengalami berbagai penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi
politik yang mempunyai dampak dahsyat yang menggoyahkan kehidupan berbangsa
dan bernegara sehingga sangat merugikan rakyat dari berbagai aspek kehidupan.
Implementasi kekuasaan politik harus mempunyai tujuan hakiki dan tidak dapat
dilepaskan dari nilai ideal keadilan dan kepastian hukum. Kekuasaan poltik dalam suatu
negara sangat berkorelasi dengan faktor kesejahteraan rakyat dan sumber daya manusia
suatu bangsa. Pada saat yang sama, operasionalisasi kekuasaan sangat berkaitan erat
dengan kedaulatan hukum. Dalam koridor kekuasaan politik, muncul sebuah kasus
yang disebut dengan korupsi politik. Korupsi politik mencakup berbagai aspek yang
berkaitan dengan kekuasaan, karena figure sentral dari korupsi politik adalah subjek
hukum yang memiliki kekuasaan politik, menerima amanat dari rakyat, memiliki mandat
konstitusional dan hukum untuk menegakkan demokrasi dan keadilan di berbagai aspek
kehidupan dan penghidupan rakyat.11

3. Korupsi Politik Kebijakan Penanggulangan Dampak COVID-19 di Bidang Ekonomi


Negara sebagai institusi kerakyatan yang berkualitas melindungi dan sekaligus
berkewajiban menegakkan keadilan yang mencakup pemberantasan segala bentuk
korupsi. Korupsi politik berkaitan erat dengan kekuasaan dan/atau kewenangan

11 Artidjo Alkotsar, Korelasi Korupsi Politik dengan Hukum dan Pemerintahan di Negara Modern (Telaah tentang
Praktek Korupsi Politik dan Penanggulangannya), Jurnal Hukum Edisi Vol. 16 Oktober, 155-179, 2009, hal. 163

362
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Aditya Angga Rohendriyanto Hari Purwadi Korupsi Politik pada Kebijakan
Penanggulangan Dampak Covid-19 di Bidang Ekonomi

yang dimiliki oleh seseorang. Secara harfiah, korupsi politik dapat diartikan sebagai
penyalahgunaan kekuasaan.12Masyarakat yang sehat secara sosial, hukum dan politik
merupakan masyarakat yang mampu mengkontrol tingkah laku birokrasi kekuasaan dan
kebebasan individu agar tidak terjadi penyalahgunan kekuasaan dan/atau korupsi politik.
Korupsi politik mengindikasikan ada penyalahgunaan amanat, mandat, kewenangan
yang dipercayakan oleh rakyat selaku pemegang kekuasaan tertinggi di dalam negara
demokrasi.
Korupsi politik dilakukan oleh pelaku dengan menyalahgunakan kewenangan, sarana
dan kesempatan yang melekat pada kedudukan dan posisi sosial politik yang melekat.
Penyalahgunaan posisi strategis pelaku korupsi politik berdampak pada bidang politik,
ekonomi, hukum dan pendidikan sosial yang negatif bagi rakyat. Korupsi politik menjadi
fenomena kejahatan kompleks dengan kualifikasi modus operandi dan implikasi yang
rumit dengan korupsi pada umumnya. Hal ini berkaitan dengan pelaku dari korupsi
politik merupakan seseorang yang mempunyai kekuasaan politik. 13 Proyeksi dari
korupsi politik berkaitan erat dengan pengelolaan hukum yang dikuasai oleh elit politik
dan pejabat pemerintahan untuk memasukkan subjektivitas dan kepentingan individua
tau kroninya dapat diakomodasi dalam perangkat aturan hukum.14 Sikap dan tindakan
biasa yang dilakukan oleh elit politik dan pejabat pemerintahan dalam mengeluarkan
kebijakan tentu sangat merugikan rakyat, tindak amoral diakomodasi oleh legitimasi
yuridis. Refleksi nyata dari adanya kasus korupsi politik terjadi di era Pemerintahan
Orde Baru (1966-1998), pemerintah banyak merekayasa hukum dan peradilan.
Banyak undang-undang dan aturan hukum di bawahnya yang hanya berintisari hanya
menguntungkan elit politik dan pemerintahan beserta keluarga dan kroninya.
Indonesia sedang mengalami kemunduran penegakan hukum di masa pandemi, terdapat
indikasi korupsi politik pada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Penerapan
Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2020 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19) dan/
atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional
dan/atau stabilitas sistem keuangan memiliki indikasi adanya korupsi politik. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi sarana khusus yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai formula
menyelesaikan keadaan yang genting dan/atau memaksa. Implementasi dari Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang mengikat pada saat disahkan oleh Presiden
sampai pada masa sidang DPR, yang kemudian diputuskan apakah akan disetujui atau
ditolak untuk diaplikasikan dalam bentuk Undang-Undang.
Dalam koridor pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19) tersebut,
menegaskan bahwa “tidak dapat dituntut dan digugat pelaksana kebijakan”. Implikasi
dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020 yaitu
menjadi sarana legalisasi terhadap segala kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah

12 Ibid.
13 Ibid
14 Ibid.

363
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Aditya Angga Rohendriyanto Hari Purwadi Korupsi Politik pada Kebijakan
Penanggulangan Dampak Covid-19 di Bidang Ekonomi

dalam rangka menyelamatkan stabilitas dan perekonomian negara pasca pandemi.


Tidak hanya berfungsi sebagai legalisasi, namun juga berperan sebagai imunitas yang
berguna untuk kepentingan pelaksana kebijakan. Kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah kerap kali menjadi alat korupsi. Frasa pada Pasal 27 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020, “… tidak dapat dituntut
baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada
itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” merupakan
bentuk perlawanan pemikiran dari apa yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sesuai dengan fakta yang telah
dipaparkan, penulis mengkaji bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19) sangat
rawan untuk menjadi celah terjadinya korupsi kebijakan. Korupsi kebijakan yang
dimaksudkan adalah dengan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang
dalam ranah pelaksanaannya.
Korupsi politik berupa adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat negara, sangat
memunculkan sebuah tendesi bahwa pejabat negara lebih mengutamakan kepentingan
sendiri yang berpotensi merugikan keuangan negara. Pada titik ini, kekuasaan politik
yang dimiliki oleh pejabat negara, telah terjadi penyalahgunaan kewenangan berupa
menciptakan sebuah aturan hukum yang melegitimasi perbuatan yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Kekuasaan politik yang dimiliki oleh pejabat
negara digunakan untuk memunculkan unsur kontradiktif yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai yang ada. Korupsi politik pada kebijakan yang dihasilkan pemerintah telah
masuk ke dalam ranah pidana, sebagaimana argumentasi Eddy O.S Hiariej, terdapat
tiga parameter secara kumulatif untuk menjustifikasi apakah suatu kebijakan telah
memasuki ranah hukum pidana, antara lain:15
1. Suatu kebijakan dijadikan pintu masuk untuk melakukan suatu kejahatan. Hal
ini dapat dibuktikan melalui ajaran kausalitas dalam hukum pidana bahwa antara
kebijakan dan kejahatan merupakan suatu rangkaian dalam terjadinya tindak
pidana.
2. Terdapat moral hazard (aji mumpung) dalam pengambilan kebijakan. Dalam
hukum pidana yang menjadi persoalan tidak hanya kesalahan yuridis, tetapi juga
aji mumpung dalam melakukan suatu perbuatan.
3. Kebijakan melanggar aturan, definisi melanggar aturan bersifat sangat luas. Aturan
tidak serta merta didefinisikan sebagai Undang-Undang, tetapi cukup melanggar
peraturan perundang-undangan lain yang termasuk peraturan yang dibuat untuk
pejabat publik atau lembaga negara.
Terdapat sebuah terminologi yaitu discretionary corruption, yang mana mempunyai
makna bahwa terkait dengan wewenang yang ada pada diri seseorang terjadi
penyalahgunaan. Korupsi tersebut terjadi dikarenakan ada sebuah kebebasan dalam
menentukan kebijakan.16

15 http://library.um.ac.id/majalah/printmajalah5.php/35641.html diakses pada tanggal 7 Juli 2020 pukul 10.00 WIB


16 https://aclc.kpk.go.id/wp-content/uploads/2019/07/Modul-tindak-pidana-korupsi-aclc-KPK.pdf diakses pada
tanggal 7 Juli 2020 pukul 10.10 WIB.

364
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Aditya Angga Rohendriyanto Hari Purwadi Korupsi Politik pada Kebijakan
Penanggulangan Dampak Covid-19 di Bidang Ekonomi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020 tentang


Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19) menjadi sebuah fase reduksi penegakan
hukum, yang rawan disusupi oleh kepentingan-kepentingan sebagian golongan yang
berindikasi menimbulkan kerugian dalam bentuk yang konkret. Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease
2019 (COVID-19) sarat akan agenda politik dalam melegitimasi setiap tindakan negara
dalam penanganan wabah COVID-19.

C. Penutup
1. Simpulan
Lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19) memunculkan adanya korupsi politik yang
dilakukan oleh pembuat kebijakan. Pembuat kebijakan yang memiliki kebebasan dalam
menentukan kebijakan justru melakukan penyalahgunaan wewenang berupa membuat
suatu kebijakan yang melanggar aturan, terdapat moral hazard, dan kebijakan yang
dibuat berpotensi menjadi pintu masuk adanya tindak pidana.
2. Saran
Penulis menyusun saran yang menyasar langsung kepada seluruh masyarakat untuk
melakukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019
(COVID-19) yang sangat berpotensi menjadi pintu masuk adanya tindak pidana.

Daftar Pustaka
Buku
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, 2006.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2014.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Prenada Media Group, 2014.

Jurnal
Artidjo Alkotsar, Korelasi Korupsi Politik dengan Hukum dan Pemerintahan di Negara Modern
(Telaah tentang Praktek Korupsi Politik dan Penanggulangannya), Jurnal Hukum Edisi
Vol. 16 Oktober, 155-179, 2009.
Erin Duffin, Impact of the Corona Virus Pandemic on the Global Economy, Statista Journal,
2020.
Fransiska Adelina, Bentuk-Bentuk Korupsi Politik, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 16 No. 1-
Maret 2019: 59-75.

365
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Aditya Angga Rohendriyanto Hari Purwadi Korupsi Politik pada Kebijakan
Penanggulangan Dampak Covid-19 di Bidang Ekonomi

Indranil Chakraborty and Prasenjit Maity, COVID-19 outbreak: migration, effects on society,
global environment and prevention, Science of the Total Environment, Volume 728 1
August, 2020.
Nuno Fernandes, Economy Effects of Corona Virus Outbreak (COVID-19) on the World
Economy. SSRN 3557504, 2020.
Wang et al, Remdesivir and chloroquine effectively inhibit the recently emerged novel corona
virus in vitro, Cell Res 30 (3), 2020.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19).
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Corona Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang
membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2020.

Internet dan Lain-lain


Pidato Pengukuhan Guru Besar Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sebekas
Maret Surakarta oleh Prof. Dr. Adi Sulistyono, S.H.,M.H. disampaikan dalam Sidang
Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tanggal 17 November 2007.
Miftahul Arifin & Ahda Bayhaqi, Merdeka.com, “Ini Pasal Kontroversial Perppu Corona Yang
Didukung DPR Digugat Ke MK”, https://www.merdeka.com/jabar/ini-pasal-kontroversial-
perppu-corona-yang-didukung-dpr-digugat-ke-mk.html, diakses pada tanggal 1 Juli 2020
pukul 11.11 WIB.
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4969028/dampak-psbb-ke-ekonomi-dan-
pesan-untuk-anies - diakses pada tanggal 6 Juli 2020 pukul 19.22 WIB.
http://library.um.ac.id/majalah/printmajalah5.php/35641.html diakses pada tanggal 7 Juli 2020
pukul 10.00 WIB.
https://aclc.kpk.go.id/wp-content/uploads/2019/07/Modul-tindak-pidana-korupsi-aclc-KPK.pdf
diakses pada tanggal 7 Juli 2020 pukul 10.10 WIB.

366
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ninne Zahara Silviani Implementasi Unclos 1982 dalam Mengatur Kebangsaan Kapal
untuk Mencegah Kejahatan Transnasional Penyelundupan Migran Melalui Laut di
Indonesia pada Tingkat Daerah

IMPLEMENTASI UNCLOS 1982 DALAM MENGATUR KEBANGSAAN


KAPAL UNTUK MENCEGAH KEJAHATAN TRANSNASIONAL
PENYELUNDUPAN MIGRAN MELALUI LAUT DI INDONESIA PADA
TINGKAT DAERAH
Ninne Zahara Silviani1

Abstrak
Kejahatan transnasional terorganisir yang terjadi di wilayah laut masih terus berkembang bahkan
di era new normal saat ini. Salah satu isu yang masih menjadi polemik dalam permasalahan
kejahatan transnasional terorganisir adalah penyelundupan migran (Smuggling of Migrants)
melalui laut yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya provinsi Kepulauan
Riau. Penyelundupan yang terjadi keluar wilayah Indonesia maupun kedalam wilayah Indonesia
melalui jalur laut secara illegal dilakukan dengan kapal-kapal yang tidak memiliki legalitas untuk
berlayar keluar wilayah Indonesia. Kapal-kapal yang berlayar tanpa dokumen-dokumen resmi ini
seringkali tidak memperhatikan keselamatan pelayaran sehingga mengakibatkan tingginya risiko
kecelakaan maupun berdampak kepada masalah bidang hukum lainnya, seperti pelanggaran
aturan keimigrasian, perdagangan orang (Human Trafficking), dan kejahatan transnasional
lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan meneliti bagaimana Pemerintah Indonesia
melaksanakan perjanjian internasional UNCLOS 1982 terkait dengan legalitas suatu kapal untuk
berlayar dan kekurangannya dalam penerapannya hingga ke daerah-daerah terluar dan terdepan
di Indonesia untuk mencegah penyelundupan migran.
Kata kunci: Penyelundupan Manusia, Kapal, UNCLOS 1982

Abstract
Transnational organized crime rate in marine areas is still increasing even in the new normal
condition recently. One of the issues that is still a polemic in the problem of transnational
organized crime is the smuggling of migrants by sea, which occurs in several regions in Indonesia,
especiallt in Riau Islands province. The smuggling of migrants that executed from Indonesia
abroad or into Indonesia by sea, illegally carried out by vessels that do not have the legality
and official documents to sail beyond the territory of Indonesia. Ships who sail without official
documents oftentimes do not pay attention to the regulation regarding safety of navigation, it is
resulting in a high risk of accidents like collision. Moreover, it could cause other legal issues just
as violations of immigration rules, human trafficking, and other addition transnational crimes.
This study aims to understand and examine how the Indonesian Government implements the
UNCLOS 1982 related to the legality of a ship to sail in sea and its implementation of the
convention starts from national level to the outermost and frontier lines in Indonesia to prevent
migrant smuggling by sea.
Keywords: Smuggling of Migrants, Vessels, UNCLOS 1982

1 Mahasiswi Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang Km.21, Jatinangor-
Sumedang, Jawa Barat, Indonesia, ninnezaharasilviani@gmail.com , S.H. (Universitas Internasional Batam)

367
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ninne Zahara Silviani Implementasi Unclos 1982 dalam Mengatur Kebangsaan Kapal
untuk Mencegah Kejahatan Transnasional Penyelundupan Migran Melalui Laut di
Indonesia pada Tingkat Daerah

Pendahuluan
Berkembangnya teknologi di bidang informasi dan komunikasi telah menembus batas wilayah
kenegaraan. Transnational Organized Crime (Kejahatan transnasional terorganisir) semakin
marak terjadi dan menyebabkan kerugian bagi negara-negara, termasuk bagi daerah-daerah
tertentu di wilayah negara tersebut. Kejahatan transnasional terorganisir diartikan sebagai
kejahatan yang dilakukan oleh sebuah kelompok terorganisir untuk mendapatkan secara langsung/
tidak langsung keuntungan materil dan finansial yang dilakukan di lebih dari satu negara, atau
dilakukan di satu negara dengan persiapan, perencanaan dan pengarahan dan kontrol dilakukan
dari negara lain, atau memiliki efek yang substansial di negara lain.2 Kejahatan-kejahatan
lintas negara yang dianggap serius antara lain adalah kejahatan dengan tuntutan minimal empat
tahun penjara atau hukuman lainnya yang lebih serius. Dalam hukum internasional, kejahatan
transnasional diatur dalam United Nations Convention against Transnational Organized Crime
2000 (UNTOC 2000). Namun, jika lebih kejahatan transnasional tersebut dilaksanakan diatas
laut atau dalam bidang maritim, kejahatan transnasional terorganisir di bidang maritim ini
tidak bias terikat hanya pada UNTOC saja. Keanggotaan suatu negara dalam United Nations
Convention on The Law of The Sea (UNCLOS 1982) akan mempengaruhi langkah hukum suatu
negara untuk menangani ataupun mencegah kejahatan tersebut.
Salah satu isu yang masih menjadi polemik dalam permasalahan kejahatan transnasional
terorganisir yang terjadi melalui wilayah laut adalah penyelundupan migran (Smuggling of
Migrants). Penyelundupan migran memiliki arti sebagai sebuah tindakan untuk memperoleh,
secara langsung atau tidak langsung, keuntungan finansial atau material lainnya, dari pemasukan
ilegal seseorang ke suatu negara pihak di mana orang tersebut bukan warga negara yang sah
atau penduduk tetap.3 Berbeda dengan konsep perdagangan manusia (Human Trafficking) yang
memiliki unsur paksaan, penyelundupan migran dalam aksinya, berusaha masuk ke negara lain
secara illegal atas keinginan dan niat sendiri.4
Penyelundupan migran kerap dilakukan melalui tiga jalur, yakni jalur darat, jalur laut dan jalur
udara. Penyelundupan migran melalui laut umumnya terjadi terhadap para pencari suaka dari
negara-negara berkonflik atau para tenaga kerja yang masuk secara ilegal dari negara asalnya
untuk berkerja tanpa disertai work permit yang dikeluarkan oleh otoritas negara yang sah. Dalam
UNTOC 2000, The Smuggling Protocol mewajibkan negara peserta untuk menggolongkan
penyelundupan migran sebagai perbuatan kriminal yang mencakup pengadaan masuk secara
ilegal atau tempat tinggal ilegal dengan tujuan keuntungan finansial, serta pengadaan, penyediaan,
kepemilikan atau produksi dokumen perjalanan yang tidak sah.
Bedasarkan data yang dihimpun oleh UNODC, peyelundupan manusia di Asia Tenggara didorong
oleh kesenjangan ekonomi pada masyarakatnya. Dengan pengamanan perbatasan yang rapuh,
diperkirakan bahwa lebih dari 80% migran gelap mengandalkan penyelundup. Biaya untuk
layanan penyelundupan dimulai dari beberapa dolar hingga beberapa ratus dolar, menyebabkan
seringkali lebih murah untuk menggunakan layanan penyelundupan daripada sistem penyaluran
tenaga kerja biasa.5

2 Pasal 3 ayat 2, United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (2000).
3 Pasal 3 Poin a, Protocol Against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air Supplementing the UNTOC.
4 Lihat kepada, Ad Hoc Committee on the Elaboration of a Convention against Transnational Organized Crime, “Draft Protocol against
the Smuggling of Migrants by Land, Air and Sea, Supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized
Crime,” UN Doc. A/AC.254/4/Add.1/Rev.1, May 13, 1999, at n. 1. (“The term ‘smuggling’ is used throughout the text in the light of
action taken by the Commission on Crime Prevention and Criminal Justice at its eighth session regarding the draft Protocol Addressing
Trafficking in Women and Children.”)
5 UNODC, “Smuggling of Migrants,” https://www.unodc.org/unodc/en/about-unodc/index.html?ref=menuto, diunduh 20 Juli
2020.

368
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ninne Zahara Silviani Implementasi Unclos 1982 dalam Mengatur Kebangsaan Kapal
untuk Mencegah Kejahatan Transnasional Penyelundupan Migran Melalui Laut di
Indonesia pada Tingkat Daerah

Penyelundupan migran juga kerap terjadi di Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan
dengan wilayah laut yang luas memiliki visi untuk menjadi poros maritim dunia dan menjadikan
Indonesia negara maritim yang besar, kuat dan makmur. Wilayah kedaulatan Indonesia merupakan
wilayah terluas dengan jumlah penduduk terbanyak di Asia Tenggara. Indonesia juga memiliki
garis pantai terpanjang dan jumlah anjungan lepas pantai terbanyak. Luasnya wilayah dan
panjangnya garis pantai ini memiliki beberapa faktor kendala khususnya pada tingginya biaya
terkait pertahanan di bidang kelautan. Pembangunan untuk mencapai visi tersebut antara lain
dimulai dari aspek infrastruktur, politik, sosial-budaya, hukum, keamanan dan ekonomi.6 Dalam
mencapai visi poros maritim dunia, Indonesia masih memiliki hambatan-hambatan terutama di
bidang keamanan maritim.
Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki banyak permasalahan dalam sektor kejahatan
transnasional yang terkait dengan kemaritiman adalah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Posisi geografis Provinsi Kepri terbentang dari selat Malaka sampai dengan Laut Cina Selatan
dan berbatasan langsung dengan Vietnam, Malaysia, Kamboja dan Singapura.7 Dengan wilayah
laut yang luas dan batas wilayah yang langsung dengan negara-negara lain, Provinsi Kepri rawan
dengan berbagai kejahatan transnasional seperti Illegal Unreported Unregulated (IUU) Fishing,
pembajakan (piracy), penyelundupan narkotika serta penyelundupan dan perdagangan manusia
ke luar negeri. Negara yang menjadi tujuan penyelundupan migran dari Provinsi Kepri ini antara
lain Malaysia dan Singapura.
Pada masalah penyelundupan migran yang terjadi di wilayah Provinsi Kepri, Ketua Komite
Migran Keuskupan Agung Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung, yaitu Pascalis Saturnus
Esong mengatakan para pekerja migran ilegal mengambil rute ilegal dari Batam atau Tanjung
Pinang di Kepulauan Riau dengan kapal-kapal yang penuh sesak dua hingga tiga kali seminggu.8
Pada kasus-kasus penyelundupan TKI ilegal, Provinsi Kepri memiliki tiga titik kawasan yang
rawan dijadikan lokasi pengiriman TKI ilegal tersebut. Yang pertama adalah desa Berakit di
Kabupaten Bintan, kemudian Batu Besar di Kota Batam, dan Tanjung Balai Karimun.9
Kejahatan-kejahatan transnasional ini dapat terjadi tidak terlepas daripada berperannya kapal-
kapal nelayan tradisional yang atau kapal-kapal kecil yang tidak teregister secara nasional
hak kepemilikan dan kebangsaannya sebagaimana ditetapkan dalam UNCLOS 1982 sebagai
landasan hukum laut internasional dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
(UU Pelayaran) serta Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.
31 tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan). Kapal-kapal tidak teregister ini menyebabkan
peruntukan kapal menjadi tidak jelas dan berdampak pada berbagai kegiatan kejahatan di wilayah
perairan internasional.
Disamping faktor kriminal, faktor transportasi pelayaran memegang peranan penting dalam
masalah penyelundupan migran di Provinsi Kepri. Pencegahan terhadap keluarnya WNI dari
wilayah Indonesia secara ilegal, masih dalam bentuk langkah-langkah koordinasi dengan
instansi terkait di tingkat daerah, sosialisasi terkait human trafficking dan pengawasan ketat
dalam pembuatan paspor. Luputnya perhatian pemerintah terhadap pengaturan pendaftaran dan

6 Kementerian KOMINFO, “Menuju Poros Maritim Dunia,” https://www.kominfo.go.id/ content/detail/8231/menuju-poros-maritim-


dunia/0/kerja_nyata, diunduh 20 Juli 2020
7 BARENLITBANGKEPRI, “Potensi Kepulauan Riau,” https://barenlitbangkepri.com/potensi-kepri/, diunduh 22 Juli 2020
8 Fadli, “RI-Malaysia Hold Coordinated Patrols to Tackle Smuggling of Illegal Workers”, https://www.thejakartapost.com/
news/2017/09/27/ri-malaysia-hold-coordinated-patrols-to-tackle-smuggling-of-illegal-workers.html., diunduh 22 Juli 2020.
9 Roland Aritonang, “BP3TKI Tanjungpinang Petakan Tiga Daerah Rawan Penyelundupan TKI Ilegal Di Kepri.”, https://batamtoday.
com/home/read/113350/BP3TKI-Tanjungpinang-Petakan-Tiga-Daerah-Rawan-Penyelundupan-TKI-Ilegal-di-Kepri>, diunduh 22
Juli 2020.

369
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ninne Zahara Silviani Implementasi Unclos 1982 dalam Mengatur Kebangsaan Kapal
untuk Mencegah Kejahatan Transnasional Penyelundupan Migran Melalui Laut di
Indonesia pada Tingkat Daerah

kebangsaan kapal-kapal kecil akhirnya berdampak pada banyak kerugian negara dalam bidang
keimigrasian dan pidana, diantaranya pemalsuan dokumen keberangkatan dan penyelewengan
hukum yang dilakukan para pelaku penyelundupan, para WNI yang menjadi korban
penyelundupan migran dengan tujuan mencari pekerjaan seperti pada kasus-kasus sebelumnya,
beresiko terlibat dalam perdagangan manusia dikarenakan tidak adanya perlindungan tenaga
kerja dari negara asal sebagaimana tenaga kerja resmi.
Ketiadaan peraturan setingkat Provinsi tentang pendaftaran kapal ini, menjadi awal
permasalahan yang berdampak kepada kapal-kapal pribadi tersebut menjadi tidak terlacak saat
berlayar melewati batas negara tanpa legalitas, dan yang terutama, tidak terlacak oleh otoritas
lokal yang mengawasi wilayah laut (TNI AL, Kepolisian, dan Dinas Kelautan). Hal ini juga
menunjukkan belum maksimalnya komitmen pemerintah Indonesia dalam mengaplikasikan
perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Posisi geografis Provinsi Kepri yang berbatasan
langsung dengan Malaysia dan Singapura, menjadikan wewenang pemerintah daerah yang
turun daripada Undang-Undang memiliki akses yang lebih besar terhadap penanganan masalah
penyelundupan migran berupa patroli, penangkapan dan pengumpulan alat bukti. Terutama
juga untuk menerbitkan aturan-aturan untuk mencegah berlayarnya kapal-kapal dari wilayah
daerahnya ke wilayah perbatasan luar negeri.
Berdasarkan uraian permasalahan sebelumnya, terdapat hal-hal yang penting untuk dikaji,
yang mana tulisan ini akan menelaah bagaimana hukum internasional memberi landasan terkait
pendaftaran kapal lalu juga bagaimana hambatan-hambatan dalam pencegahan penyelundupan
migran yang terjadi di wilayah laut perbatasan Kepri dengan Singapura dan Malaysia secara
hukum di tingkat nasional hingga ke tingkat daerah. Dalam menjawab berbagai isu tersebut,
dibutuhkan suatu kajian dan pemahaman yang dituangkan dalam penelitian berbentuk artikel
dengan judul: Implementasi UNCLOS 1982 dalam Mengatur Kebangsaan Kapal Untuk
Mencegah Kejahatan Transnasional Penyelundupan Migran Melalui Laut Di Indonesia, dengan
rumusan masalah bagaimana Pemerintah Indonesia

Metode Penelitian
Penelitian ini disusun dengan jenis penelitian yuridis-normatif yaitu Penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder saja, disebut sebagai penilitian
hukum normatif atau kepustakaan. Penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan
Perundang-Undangan (Statute Approach) dan pendekatan Konseptual yang menelaah berbagai
peraturan setingkat perjanjijan internasional maupun perundang-undangan nasional yang
berkaitan dengan topik tulisan dan pandangan-pandangan serta konsep hukum yang berkembang
terkait topik tulisan.
Data berasal dari data sekunder, Data sekunder yaitu bahan pustaka yang mencakup dokumen-
dokumen resmi, buku-buku perpustakaan, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, artikel-
artikel, serta dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian. Data sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini akan berfokus terhadap asas-asas hukum dalam perjanjian internasional
yang tertuang dalam UNCLOS 1982 serta penerapannya di Indonesia melalui beberapa peraturan
perundang-undangan serta peraturanvertikal dibawahnya. Bahan hukum sekunder lainnya yang
digunakan antara lain jurnal internasional, hasil-hasil penelitian sarjana terdahulu, naskah
internet dan berita akurat terkini. Serta bahan hukum tersier sebagai petunjuk dan penjelasan
yang digunakan antara lain kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan lainnya.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi pustaka dan dianalisa secara
eksplanatoris. Analisa Eksplanatori merupakan penelitian yang bertujuan untuk menguji suatu
teori atau hipotesis guna memperkuat atau bahkan menolak teori atau hipotesis hasil penelitian

370
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ninne Zahara Silviani Implementasi Unclos 1982 dalam Mengatur Kebangsaan Kapal
untuk Mencegah Kejahatan Transnasional Penyelundupan Migran Melalui Laut di
Indonesia pada Tingkat Daerah

yang sudah ada. Penelitian eksplanatori bersifat mendasar dan berujuan untuk memperoleh
keterangan, informasi, data mengenai hal-hal yang belum diketahui.

Pendaftaran Kapal dalam UNCLOS 1982


Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) dibentuk untuk menyediakan kerangka
kerja untuk mempromosikan dan memfasilitasi penggunaan laut secara damai, mengaitkan
hubungan UNCLOS 1982 dengan kejahatan penyelundupan migran, terdapat dua unsur yang
berhubungan antara hukum laut internasional dan hukum kejahatan transnasional penyelundupan
migran, pertama, yaitu unsur perlindungan hak-hak individu di wilayah laut dan transportasi
yang digunakan dalam tindak kejahatan penyelundupan migran.
Berlayarnya suatu kapal di laut, kemudian bergantung pada kebangsaan kapal dan juga di wilayah
mana kapal tersebut berlayar. Mengaitkan kepada Konvensi Hukum Laut/ UNCLOS 1982,
prinsip utama dalam berlayarnya kapal di laut adalah Freedom of Navigation yang diartikan
sebagai kebebasan berlayar di wilayah laut yang terbagi atas kebebasan berlayar di ZEE, selat
internasional dan laut lepas. Di bawah hukum internasional, masing-masing Negara berhak
menentukan persyaratan untuk pemberian kewarganegaraannya kepada kapalnya.10 Setiap negara
harus melaksanakan secara efektif yurisdiksi dan pengawasannya dalam bidang administratif,
teknis dan sosial atas kapal yang mengibarkan benderanya. Hubungan ini disebut juga dengan
Genuine Link. Tujuan adanya Genuine Link adalah untuk menunjukkan hubungan substansial
antara negara dan kapal yang memakai benderanya, terutama untuk kapal-kapal publik atau
swasta.11 Hal tersebut diterangkan dalam pasal 91 UNCLOS yang menyatakan bahwa:
(1)Every State shall fix the conditions for the grant of its nationality to ships, for the registration
of ships in its territory, and for the right to fly its flag. Ships have the nationality of the State whose
flag they are entitled to fly. There must exist a genuine link between the State and the ship, (2) Every
State shall issue to ships to which it has granted the right to fly its flag documents to that effect.
UNCLOS 1982 menerangkan bahwa, negara harus menetapkan persyaratan bagi pemberian
kebangsaan kapalnya untuk pendaftaran kapal dalam wilayah dan untuk hak mengibarkan
benderanya, serta genuine link (hubungan sungguh-sungguh) antara kapal dengan negara
kebangsaan kapal tersebut.12 Negara harus mengeluarkan bukti-bukti kebangsaan suatu kapal
yang disebut juga dengan paplers de bord (dokumen) yang terdiri dari dua macam, yaitu:
Mengenai kapal dan anak buah, misalnya kebangsaan, identitas kapal, dan surat jalan. Selain itu
juga mengenai muatan kapal, misalnya: manifest, connaissement, dan lain-lainnya.13 Sedangkan
batasan terhadap kewarganegaraan suatu kapal hanya terbatas untuk satu kewarganegaraan.14
Negara bertanggungjawab terhadap pendaftaran kapal memiliki tujuan-tujuan yang berkaitan
dengan keselamatan pelayaran dan pencegahan dari perbuatan-perbuatan melanggar hukum
yang bisa dilakukan dengan menggunakan alat transportasi kapal laut. Hal ini didasarkan pada
pasal 94 ayat (2) UNCLOS 1982:
“2. In particular every State shall:
(a) maintain a register of ships containing the names and particulars of ships flying its flag,
except those which are excluded from generally accepted international regulations on
account of their small size; and

10 Tanaka Yoshifumi, “The International Law of the Sea”, New York: Cambridge University Press, 2012. Hlm. 156
11 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung: Penerbit Alumni,
Cetakan ke.6, 2018. Hal. 324 Dalam The M/V Saiga (No.2) case, p.1343, Para. 83
12 Pasal 91 United Nations Convention on The Law Of The Sea (UNCLOS) 1982, Ayat 1.
13 Mauna. Op.Cit. Hal 325.
14 Pasal 92 UNCLOS 1982, ayat 1.

371
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ninne Zahara Silviani Implementasi Unclos 1982 dalam Mengatur Kebangsaan Kapal
untuk Mencegah Kejahatan Transnasional Penyelundupan Migran Melalui Laut di
Indonesia pada Tingkat Daerah

(b) assume jurisdiction under its internal law over each ship flying its flag and its master,
officers and crew in respect of administrative, technical and social matters concerning the
ship.”
Hal ini menegaskan bahwa dalam melaksanakan pendaftaran sebuah kapal, negara
bertanggungjawab berdasarkan UNCLOS 1982 untuk mengatur segala perihal terkait syarat-
syarat didaftarkannya kapal tersebut di negaranya dan menyusun regulasi dalam menjamin
keselamatan berlayar. Kapal yang tidak memiliki kewarganegaraan berdasarkan definisinya
tidak mendapatkan perlindungan dari negara manapun dan para penyelundup maupun migran
yang diselundupkan diatas kapal dengan kondisi seperti itu secara praktik tidak memiliki hak
untuk mendapatkan perlindungan diplomatik dari negara kewarganegaraan mereka.15
Pendaftaran Kapal dalam Hukum Nasional Indonesia
Setelah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS
1982, pendaftaran kebangsaan kapal menjadi salah satu amanat dalam UNCLOS 1982 yang
menjadi tanggungjawab negara peserta perjanjiannya tanpa terkecuali kapal dalam ukuran
apapun. Mekanismenya pun diserahkan kepada negara untuk mengatur sendiri. Hukum Indonesia
menetapkan demikian serupa. Pendaftaran kapal di Indonesia dilaksanakan berdasarkan UU
Pelayaran dan UU Perikanan dilengkapi dengan peraturan vertikal dibawahnya.
Bedasarkan Undang-Undang Pelayaran, dilengkapi dengan Peraturan Menteri Perhubungan
(PERMENHUB) No. 39 Tahun 2017, kapal dengan segala ukuran, atau yang dimilik oleh Warga
Negara Indonesia atau badan Hukum Indonesia wajib didaftarkan kepemilikan dan kebangsaannya
legalitas untuk dapat berlayar di wilayah laut mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera
kebangsaan kapal,16 termasuk juga kapal penangkap ikan.17 Untuk kapal yang digunakan untuk
menangkap ikan memiliki mekanisme tambahan yang lebih rinci terkait ukuran melalui UU
Perikanan dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan terkait. Di Indonesia, ukuran kapal
menjadi penentu diwilayah kewenangan mana kapal tersebut didaftarkan kebangsaannya. Surat
kebangsaan kapal terbagi atas 3 macam, yaitu Surat Laut untuk kapal berukuran 175 GT (Gross
Tonnage) keatas yang wajib didaftarkan ke pejabat pendaftar atau balik nama Kementerian
Perhubungan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.18 Untuk kapal
berukuran GT 7 hingga GT 175, surat kebangsaan ditandai dengan Pas Besar dan kapal dengan
GT 7 kebawah ditandai dengan Pas Kecil, Sedangkan kapal yang berukuran kecil dengan ukuran
yang ditentukan yaitu dibawah 7 GT, didaftarkan ke pejabat Syahbandar di Kantor Kesehatan
Pelabuhan di wilayah kapal berada.19
Lebih lanjut untuk kapal yang diperuntukkan sebaga kapal perikanan, diharuskan memiliki
perizinan dari kementerian perikanan dan/atau Dinas terkait. Kapal perikanan yang beroperasi di
wilayah perikanan Republik Indonesia wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan
Indonesia yang dilengkapi dengan dokumen berupa bukti kepemilikan, identitas pemilik dan
surat ukur.20 Pendaftaran kapal perikanan kemudian lebih rinci diatur dalam Peraturan Menteri
Perikanan Republik Indonesia No. 5/PERMEN-KP/2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. 23/PERMEN-KP/2013 Tentang Pendaftaran dan Penandaan
Kapal Perikanan. Untuk kapal perikanan yang beroperasi di wilayah laut, alam Peraturan menteri

15 Anna T. Gallagher, and Fiona David. The international law of migrant smuggling. Cambridge university press, 2014, Hlm. 246
16 Pasal 78 Pasal 57 ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan No. 39 tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal.
17 Penjelasan Pasal 163 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
18 Pasal 57 Peraturan Menteri Nomor 39 Tahun 2017 Tentang Pendaftaran Kebangsaan Kapal.
19 Pasal 59 Peraturan Menteri Perhubungan No. 39 tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal
20 Pasal 36 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan

372
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ninne Zahara Silviani Implementasi Unclos 1982 dalam Mengatur Kebangsaan Kapal
untuk Mencegah Kejahatan Transnasional Penyelundupan Migran Melalui Laut di
Indonesia pada Tingkat Daerah

tersebut, diatur bahwa:


a. Menteri berwenang melakukan Pendaftaran Kapal Perikanan berukuran diatas 30 (tiga
puluh) gros ton, dioperasikan di WPP-NRI atau Laut Lepas, berbendera Indonesia dan
dimiliki Orang Indonesia, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Direktur Jenderal;
b. gubernur berwenang melakukan Pendaftaran Kapal Perikanan berukuran
1) Diatas 10 (sepuluh) gros ton sampai dengan 30 (tiga puluh) gros ton, dioperasikan pada
wilayah pengelolaan perikanan yang menjadi kewenangannya, berbendera Indonesia
dan dimiliki Orang yang berdomisili di wilayah administrasi provinsi tersebut; dan
2) Sampai dengan 10 (sepuluh) gros ton yang beroperasi di laut, sungai, danau, waduk, rawa,
dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu)
daerah provinsi pada wilayah pengelolaan perikanan yang menjadi kewenangannya,
berbendera Indonesia dan dimiliki Orang yang berdomisili di wilayah administrasi
provinsi tersebut.”
Kapal-kapal perikanan dengan ukuran kurang dari 10 GT yang kemudian diarahkan untuk
didaftarkan ke otoritas pemerintah daerah provinsi diartikan sebagai penyerahan kewenangan
dari pemerintah pusat untuk mengatur pendafataran kapal perikanan kecil di wilayahnya sendiri.
Selain arahan dari PERMEN-KP sebelumnya, perihal ini juga merupakan amanat dari Undang-
Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Implementasi Ketentuan Terkait Pendaftaran Kapal di Tingkat Pemerintahan Daerah


Provinsi Kepulauan Riau
Maraknya kejahatan transnasional penyelundupan migran yang terjadi melalui laut di wilayah
Provinsi Kepulauan Riau ditangani dengan ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku dan
pengawasan berkala oleh otoritas yang berwenang di wilayah laut. Hal ini terus terjadi bahkan di
masa pandemi Covid-19 ini. Sebagai contoh, Badan Keamanan Laut ( Bakamla) Zona Maritim
Barat berhasil menyelamatkan 47 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang pulang dari Malaysia
melalui jalur tidak resmi atau illegal, Ke-47 TKI tersebut tersebut diketahui masuk melalui
perairan Teluk Mata Ikan, Nongsa, Batam, Kepulauan Riau (Kepri) dan sudah dibawa ke Mako
Bakamla Zona Barat di Jembatan dua Barelang.21
Kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur administrasi kapal di wilayahnya turun darip
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 ayat (2) tentang Pemerintahan Daerah. Yang menyatakan
bahwa Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan
laut di luar minyak dan gas bumi; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. ikut serta
dalam memelihara keamanan di laut; dan e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.
Berdasarkan, UU Pelayaran, UU Perikanan, dan UU Pemerintahan Daerah, kewajiban
melaksanakan ketentuan didalam UNCLOS 1982 pun turut menjadi kewajiban pemerintah daerah
termasuk tentang pendaftaran kapal. Penerbitan dokumen-dokumen kapal-kapal berukuran GT
kecil ini seringkali diabaikan oleh masyarakat karena kewenangannya berada pada pemerintah
daerah dan Syahbandar di wilayah pemerintahan daerah, sedangkan tidak semua pemerintah
daerah menyiapkan peraturan dan protokol yang tegas dalam persoalan ini termasuk Provinsi
Kepri.
Tidak tegasnya aturan terkait pendaftaran kapal dengan GT yang kecil saat ini, terjadi karena

21 Hadi Maulana, 47 TKI dari Malaysia Masuk Secara Ilegal ke Perairan Nongsa Batam, Diselamatkan Bakamla Zona Maritim Barat
, https://regional.kompas.com/read/2020/04/15/11504091/47-tki-dari-malaysia-masuk-secara-ilegal-ke-perairan-nongsa-batam.
diunduh 24 Juli 2020.

373
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ninne Zahara Silviani Implementasi Unclos 1982 dalam Mengatur Kebangsaan Kapal
untuk Mencegah Kejahatan Transnasional Penyelundupan Migran Melalui Laut di
Indonesia pada Tingkat Daerah

rumitnya mekanisme pendaftaran kapal. Hukum Internasional memberi landasan bahwa setiap
negara wajib mengatur mekanisme pendaftaran kapal di wilayah negaranya namun, pemerintah
Indonesia melalui beberapa Undang-undang berbeda tidak satu suara terkait hal tersebut.
Dalam UU Pelayaran misalnya, Kapal wajib didaftarkan dan pengajuannya diarahkan kepada
Syahbandar di KSOP setempat, yang mana KSOP berada dibawah kementerian Perhubungan.
Di sisi UU perikanan dan peraturan Kementerian Perikanan terkait, kapal perikanan dengan
ukuran dibawah 10 GT yang berlayar di laut wilayah daerahnya, didaftarkan lagi sebagai kapal
dibawah kewenangan pemerintah daerah provinsi. Hal ini cukup sejalan dengan kewenangan
Pemerintah Daerah terhadap sumber daya laut yang tercantum dalam Pasal 27 UU Pemerintahan
Daerah dan UU Pelayaran. Peraturan setingkat daerah Provinsi Kepri No. 6 tahun 2006
tentang Usaha Perikanan menjadi patokan pendaftaran kapal perikanan di wilayah Provinsi.
Dalam peraturan daerah tersebut, Bab V-nya menjelaskan tentang usaha perikanan yang tidak
memerlukan perizinan. Pasal 8 menyebutkan bahwa SIUP tidak diperlukan dalam hal melakukan
kegiatan usaha Kelautan/ perikanan yang hasilnya hanya untuk keperluan konsumsi, tidak
diperdagangkan atau diperjualbelikan, olah raga serta untuk kepentingan penelitan dan ilmu
pengetahuan.
Wilayah provinsi Kepri terdiri dari 96% wilayah laut dengan kapal laut sebagai transportasi
utama antar pulaunya. Jumlah kapal dengan ukuran kecil dibawah GT 10 dengan peruntukan
yang tidak jelas bahkan tidak terdata secara lengkap oleh otoritas yang berwenang. Kapal-kapal
tersebut dibuat tanpa didaftarkan kepemilikan dan kebangsaannya ke pemerintah namun tetap
berlayar bahkan ke luar wilayah perairan Indonesia dikarenakan letaknya yang dieperbatasan.
Ditambah lagi, tidak ada sanksi yang tegas jika kapal tidak terdaftar.
Hal ini yang dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk melakukan kejahatan transnasional
seperti penyelundupan migran, barang-barang illegal, sehingga tingkat kejahatan transnasional
di wilayah laut terus meningkat. Turunnya kewenangan administrasi kapal kepada pemerintah
daerah harusnya dapat menjadi dasar bagi pemerintah daerah provinsi untuk menyusun langkah-
langkah pencegahan lewat proses administrasi.

Kesimpulan dan Saran


Absennya peran pemerintah daerah dalam mengimplementasikan aturan-aturan dalam UNCLOS
1982 terkait pendaftaran kapal bahkan disaat negara telah mengatur demikian mengakibatkan
dampak yang signifikan terhadap tingginya kejahatan transnasional terorganisir di wilayah-
wilayah perbatasan di Indonesia. Berdasarkan studi di wilayah Provinsi Kepulauan Riau,
dengan berkedok sebagai kapal nelayan kecil, kapal-kapal dengan GT kecil yang tidak terdaftar
digunakan untuk melakukan pelanggaran hukum melewati wilayah perbatasan negara.
Peraturan dengan mekanisme yang panjang dan membingungkan, tidak adanya sanksi tegas
serta kurang perhatiannya pemerintah daerah menjadi kunci tingginya angka kejahatan
transnasional penyelundupan migran dan kejahatan lainnya di wilayah laut perbatasan Provinsi
Kepri. Pentingnya kejelasan aturan di level nasional hingga ke level daerah menjadi saran
penulis terhadap permasalahan ini. Hal ini membutuhkan perhatian dari pemerintah pusat untuk
lebih meringkas dan menyederhanakan proses hukum dari pendaftaran suatu kapal dalam segala
ukuran dan peruntukannya. (revisi 21-08) Selain daripada peningkatan dalam segi hukum
nasionalnya, penyelundupan migran merupakan kejahatan transnasional yang membutuhkan
peran kerjasama internasional dalam pencegahannya. Maka optimalisasi perjanjian lain terkait
kerjasama pemberantasan penyelundupan migran dan kejahatan transnasional lainnya yakni
United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) diperlukan
terutama dalam praktik seperti patroli gabungan dan pertukaran informasi.

374
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ninne Zahara Silviani Implementasi Unclos 1982 dalam Mengatur Kebangsaan Kapal
untuk Mencegah Kejahatan Transnasional Penyelundupan Migran Melalui Laut di
Indonesia pada Tingkat Daerah

Daftar Pustaka
Buku
Anna T. Gallagher and Fiona David. The international law of migrant smuggling. Cambridge
University Press, New York, 2014
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global,: Penerbit Alumni, Cetakan ke.6, Bandung, 2018.
Tanaka Yoshifumi, “The International Law of the Sea”, Cambridge University Press, New York,
2012.

Perjanjian Internasional dan Peraturan Perundang-Undangan


Draft Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Air and Sea, Supplementing the
United Nations Convention against Transnational Organized Crime,” UN Doc. A/
AC.254/4/Add.1/Rev.1, May 13, 1999
Peraturan Menteri Perhubungan No. 39 tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal.
Peraturan Menteri Perikanan Republik Indonesia No. 5/PERMEN-KP/2019 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 23/PERMEN-KP/2013 Tentang
Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan
Protocol Against the Smuggling of Migrants by Land, Sea, and Air Supplementing the UNTOC
Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982
Undang-Undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran
Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun
2004 tentang Perikanan
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (2000).
United Nations Covention on The Law Of The Sea 1982.

Data Elektronik
BARENLITBANGKEPRI, “Potensi Kepulauan Riau,” <https://barenlitbangkepri.com/potensi-
kepri/>, [22 /07 /2020]
Fadli, “RI-Malaysia Hold Coordinated Patrols to Tackle Smuggling of Illegal Workers”, <https://
www.thejakartapost.com/news/2017/09/27/ri-malaysia-hold-coordinated-patrols-to-
tackle-smuggling-of-illegal-workers.html.>, [22 /07 /2020]
Hadi Maulana, 47 TKI dari Malaysia Masuk Secara Ilegal ke Perairan Nongsa Batam,
Diselamatkan Bakamla Zona Maritim Barat ,  https://regional.kompas.com/
read/2020/04/15/11504091/47-tki-dari-malaysia-masuk-secara-ilegal-ke-perairan-

375
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ninne Zahara Silviani Implementasi Unclos 1982 dalam Mengatur Kebangsaan Kapal
untuk Mencegah Kejahatan Transnasional Penyelundupan Migran Melalui Laut di
Indonesia pada Tingkat Daerah

nongsa-batam. [24 /07/ 2020]


Kementerian KOMINFO, “Menuju Poros Maritim Dunia,” <https://www.kominfo.go.id/
content/detail/8231/menuju-poros-maritim-dunia/0/kerja_nyata> [20 /07 /2020]
Roland Aritonang, “BP3TKI Tanjungpinang Petakan Tiga Daerah Rawan Penyelundupan TKI
Ilegal Di Kepri.”, <https://batamtoday.com/home/read/113350/BP3TKI-Tanjungpinang-
Petakan-Tiga-Daerah-Rawan-Penyelundupan-TKI-Ilegal-di-Kepri>, [22 /07 /2020]
UNODC, “Smuggling of Migrants,” <https://www.unodc.org/unodc/en/about-unodc/index.
html?ref=menutop> [20 /07 /2020]

376
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Didik Ariyanto Analisis Mengenai Faktor-Faktor Penyebab Putusan Hakim Tidak Sesuai
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pada Kasusu Kecelakaan Lalu Lintas

ANALISIS MENGENAI FAKTOR PENYEBAB PUTUSAN HAKIM


TIDAK SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 PADA
KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS
Didik Ariyanto1, Supanto2, Rehnalemken Ginting3

Abstrak
Kecelakaan lalu lintas dalam realitas yang terjadi di masyarakat sangat banyak menimbulkan
korban, tidak jarang korban dari kecelakaan lalu lintas tersebutberujung meninggal dunia.
Pelaku penyebab kecelakaan lalu-lintas dapat dijerat dengan ancaman, diantaranya diancam
dengan tindak pidana kealpaan ataupun kelalaian dalam mengemudikan kendaraan bermotor
yang telah diakomodir dalam UU 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Akan tetapi,
seringkali kita lihat dalam banyak perkara kecelakaan lalu lintas khususnya yang sudah memiliki
kekuatan hukum mengikat (inkraht) vonis ataupun hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku
tindak pidana kecelakaan lalu lintas banyak yang tidak mengacu atau berpatokan pada UU LLAJ
sehingga berujung pada tidak adanya kepastian hukum dalam tindak pidana lalu lintas, pidana
yang dijatuhkan cenderung lebih ringan dari yang diatur dalam UU LLAJ. Berdasarkan hasil
kajian yang penulis lakukan, beberapa faktor yang menjadi penyebab putusan hakim dalam
perkara kecelakaan lalu lintas tidak sesuai dengan ketentuan UU LLAJ adalah sebagai berikut,
pertama pihak kepolisian yang memperbolehkan perdamaian dalam tindak pidana lalu lintas
yang diperkuat dengan SE Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS, kedua perdamaian yang
dilakukan atas dasar inisiatif pelaku kepada korban kecelakaan lalu lintas dengan memberikan
sumbangan.
Kata Kunci: Penerapan, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kecelakaan Lalu Lintas

A. Pendahuluan
Perkembangan alat transportasi semakin lama bukannya berkurang melainkan semakin
bertambah. Akan tetapi, hal tersebut tidak diiringi dengan infrastruktur dan kesadaran
masyarakat yang memadai. Karena, kurang berhati-hatinya para pengguna jalan mampu
untuk mempengaruhi secara signifikan fluktuasi angka kecelakaan yang ada di jalan
raya (baik yang menimbulkan korban jiwa maupun hanya sebatas luka ringan.[4]Apabila
menelisik lebih jauh kebelakang sebenarnya pemerintah selaku penyelenggara negara
pernah berkomitmen untuk menurunkan fatalitas kecelakaan lalu lintas hingga 50 persen
pada 2020 lewat Wakil Presiden Repulik Indonesia yakni Bapak Boediono di Jakarta pada
20 Juni 2011.[5]
Akan tetapi hal tersebut sepertinya tidak berjalan sesuai target melihat angka kecelakaan
dan kematian akibat kecelakaan lalu lintas dalam rentan waktu tersebut masih sangat cukup

1 Graduate Student of Law Science Program, SebelasMaret University, Jalan 36 Kentang, Jebres, Surakarta, Central Java, Indonesia
2 Lecturer at the Faculty of Law, SebelasMaret University, Jalan 36 Kenting, Jebres, Surakarta, Central Java, Indonesia.
3 Lecturer at the Faculty of Law, SebelasMaret University, Jalan 36 Kenting, Jebres, Surakarta, Central Java, Indonesia.
4 Zuleha, The Relevance of Judges' Decisions in Traffic Crime Settlement, Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 13, Nomor 1,
Januari-Juni 2018, hlm 176
5 Lihat dalam http://www.bin.go.id/awas/detil/197/4/21/03/2013/kecelakaan-lalu-lintas-menjadi-pembunuhterbesar-ketiga, diakses
pada 21 Februari 2020

377
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Didik Ariyanto Analisis Mengenai Faktor-Faktor Penyebab Putusan Hakim Tidak Sesuai
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pada Kasusu Kecelakaan Lalu Lintas

besar, hal tersebut sebagai akibat dari perkembangan zaman yang tengah berkembang
pesat saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwasanya bidang transportasi merupakan salah satu
faktor kunci perkembangan masyarakat. Percepatan kemajuan teknologi juga menyebabkan
perkembangan transportasi di dunia, hal itu berakibat pada semakin banyaknya pilihan
transportasi kendaraan saat ini. Perkembangan kendaraan tersebut tentunya memberikan
dampak positif bagi manusia dan kesejahteraanya, salah satunya yakni mempermudah
mobilitas dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Namun hal ini juga diiringi dengan
timbulnya beberapa dampak negatif, seperti kemacetan dan meningkatnya angka kecelakaan
lalu lintas.[6]
Pengaturan mengenai Lalu lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) di Indonesia diatur dalam
peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disebut UU LLAJ), UU tersebut dibentuk dengan
tujuan untuk menjamin keamanan, dan ketertiban pada masyarakat dalam hal mengakses
kegiatan dilingkup Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, adapun mengenai pelanggaran dalam UU
LLAJ pemerintah juga memasukkan beberapa unsur yang dapat diancam dengan pidana.[7]
Seiring dengan banyaknya korban meninggal dalam kasus kecelakaan dan dapat
dikategorikan sebagai pembunuhan karena kealpaan atau kelalaian. yang bermaksud tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku bukan karna kehendaknya. Namun, karena kurangnya
kewaspadaan yang berakibat orang lain menjadi korban. Maka dari itu pelaku tindak pidana
dalam kecelakaan lalu lintas tidak masuk dalam kategori kesengajaan dan lebih kedalam
kelalalian.[8]yang mana dengan Rumusan “karena salahnya” yang berunsur “kelalaian”
atau culpa yang oleh hukum pidana dikategorikan menjadi dua jenis, yakni: a. culpa yang
dilakukan dengan kesadaran, dan b. culpa yang dilakukan tanpa adanya kesadaran dari
pelaku.[9]oleh karena itu, dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan banyak
korban pelaku dari tindak pidana tersebut dapat dikenakan dengan ancaman pembunuhan
karna alpa ataupun lalai. Adapun menurut Fachrurrozy Lakalantas merupanperistiwa yang
terjadi seketika atau tidak terdua, yang umumnya terjadi antar kendaraan, maupun tunggal
yang berakibat pada jatuhnya korban (baik luka ringan, berat atau nyawa).[10]
Dalam UU LLAJjuga mengatur hal-hal lain yakni:“hak-hak korban, kewajiban pelaku
tindak pidana kecelakaan lalu lintas ataupun tanggungjawab para penyedia jasa terhadap
kerugian pihak ketiga sebagai akibat dari penyelenggaraan angkutan jalan”.
Maka cukup mengherankan apabila dewasa ini ditemui pelaku tindak pidana lalu lintas
jalan yang kewajiban mengenai keharusan memberikan santunan kepada korbannya dan hal
tersebut juga menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan pidana kepada pelaku tidak
sesuai dengan yang diatur dalam UU LLAJ.
Hal yang penulis paparkan tersebut diatas juga terjadi dalam kasus yang telah di putus
oleh Pengadilan Negeri Surakarta dan diperkuat dengan Putusan Banding di Pengadilan
Tinggi Jawa Tengah, dengan nomor putusan: 77/Pid/2019/PT SMG,dalam putusan tersebut

6 Ahsan, MarsaidM.Hidayat.Factors Associated with Traffic Accidents on Motorcyclists in the District Police Office of Malang, Jurnal
Ilmu Keperawatan - Volume 1, No. 2, Nopember 2013, hlm. 99
7 Hamzah, Muhammad Dani.Law Enforcement in the Criminal Case of a Traffic Accident which Causes the Loss of People's Livesg,
Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1. No. 1 Maret 2018, hlm. 43
8 Lamintang,P.A.F. & Lamintang, Theo.Special Offenses: Crimes Against Life, Body, and Health, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 43
9 Marpaung, Leden.Crime Against Life and Body, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 65
10 Dyan, Antory Royan Pranata Hukum, Jurnal Ilmu Hukum. Vol 7 No. 1 , Januari 2012 hlm 27

378
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Didik Ariyanto Analisis Mengenai Faktor-Faktor Penyebab Putusan Hakim Tidak Sesuai
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pada Kasusu Kecelakaan Lalu Lintas

terdakwa atas nama Iwan Adranacus, direktur utama PT Indaco Warna Dunia, yang sengaja
mengemudikan kendaraanya dengan cara atau keadaan membahayakan dan mengakibatkan
korbannya meninggal dunia hanya dipidana dengan pidana 8 (delapan) bulan, yang dalam
salah satu pertimbangan hakim lagi-lagi dimasukkan pertimbangan yang menyatakan
bahwasanya terdakwa telah memberikan sejumlah uang bagi istri korban yang sebenarnya
menurut UU LLAJ merupakan tanggungjawab atau kewajiban yang harus pelaku tunaikan.
Apabila kita cermati kasus tersebut merupakan kesengajaan dari terdakwa dan tidak masuk
dalam defenisi kecelakaan lalu lintas yang dikarenakan kelalaian, hakim berdasarkan
putusannya juga telah mengamini bahwa terdakwa telah sengaja mengemudikan
kendaraannya yakni Mobil Mercedes dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi
nyawa atau yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia yang diatur dalam Pasal 311
ayat (5) UU LLAJ. Maka berdasarkan hal tersebut timbul pertanyaan yang selanjutnya akan
menjadi rumusan masalah dalam peneilitian ini yakni: a. mengapa dalam kasus kecelakaan
lalu lintas hakim cenderung menjatuhkan putusan yang tidak sesuai dengan UU LLAJ?,
b. bagaimana seharusnya penerapan hukum terhadap kasus kecelakaan lalu lintas yang
menyebabkan hilangnya nyawa orang lain?

B. Metode penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Langkah awal yang dilakukan yakni
dengan mengumpulkan data sekunder. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan dalam
studi literatur, dan melakukan pendeketakan peraturan-perundang-undangan (statuta
approach).[11]Sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya bahwasanya penelitian ini
menggunakan data sekunder. Alat dan teknik pengumpulan data sekunder berupa buku-
buku, jurnal dan artikel yang berkaitan dan mendukung dengan konsep objek penelitian,
artikel terkait, literature tentang karya ilmiah dan sebagainya. [12]data dianalisis mengunakan
metode kualitatif selanjutnya disajikan dalam bentuk deskriftif. Analisis dilakukan dengan
cara melakukan kategorisasi permasalahan yang dikaji oleh peneliti.

C. Pembahasan
1. Faktor Penyebab Putusan Hakim Tidak Sesuai Dengan Undang-Undang Dalam
Kasus Kecelakaan Lalu Lintas
Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang
mengakibatkan orang lain meninggal dunia, secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal
310 Ayat (3) dan Pasal 273 UULAJ, untuk umum dan kesalahan penyelenggara jalan
yang berbunyi sebagai berikut :
Ps 321UU LLAJ:
Ayat (1) “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/
atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah)”.

11 Maria S.S, Metodologi Penelitian Ilmu Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 2016.
12 Dudu D.M, “Modernization and Acceleration of Case Standard Handling and Reviewing on Indonesia Supreme Court”, Journal of
Legal, Ethical and Regulatory Issues, Volume 21, Issue 3, 2018

379
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Didik Ariyanto Analisis Mengenai Faktor-Faktor Penyebab Putusan Hakim Tidak Sesuai
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pada Kasusu Kecelakaan Lalu Lintas

Ayat (2) “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan
kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat
(3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah)”.
Ayat (3) “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah)”.
Ayat (4) “Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah)”.

Ps273 UU LLAJ:
Ayat (1) : “setiap penyelenggara jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki
jalan yang rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan
kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama (enam) bulan atau
denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.
Ayat (2) : “dalam hal pebuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp 24.000.000, 00 (dua puluh empat juta rupiah)”.
Ayat (3) : “dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain meninggal 65 dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta
rupiah)”.
Ayat (4) : “penyelenggara jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada jalan yang
rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp
1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah)”.
Menurut ketentuan Pasal 310 jo 273 tersebut di atas, secara jelas dan tegas dapat dikatakan
bahwa ancaman terhadap para pelaku pelanggaran yang menyebabkan kecelakaan cukup
berat, bahkan penyelenggara jalan juga dapat dituntut pertanggungjawabannya akibat
kelalaiannya yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas jalan yang disebabkan
karena kerusakan jalan sehingga mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Namun
dalam banyak putusan, pelaku tindak pidana lakalantas cenderung diberikan hukuman
tidak sesuai dengan hal tersebut diatas. yang disebabkan oleh beberapa faktor sebagai
berikut:
a. Perdamaian pada Tingkat Penyidikan (Kepolisian)
Dalam kasus tindak pidana kecelakaan lalu lintas jika dilihat dalam aspek
perdamaian, hal tersebut dilokasi (locus) kecelakaan masih sering dilakukan.yang

380
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Didik Ariyanto Analisis Mengenai Faktor-Faktor Penyebab Putusan Hakim Tidak Sesuai
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pada Kasusu Kecelakaan Lalu Lintas

bertujuan untuk meminimalisir tumpukan perkara dan menjadikan tindak pidana


ringan seperti lakalantas dilakukan ditingkat kepolisian. Hal tersebut juga diperkuat
dengan Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/
SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif
Dispute Resolusion (ADR).
b. Perdamaian Yang Dilakukan Atas Dasar Inisiatif Pelaku Kepada Korban.
Sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya bahwa pelaku tindak pidana lalu
lintas dewasa ini banyak memberikan bantuan dan santunan kepada korban dari
tindakanya, hal tersebut seperti sudah menjadi kewajiban ditambah lagi jika pelaku
tindak pidana tersebut memiliki kedudukan kuat dalam ekonomi dan mempunyai
kelebihan finansial. Dalam proses sidang hakim biasanya bertanya kepada terdakwa
atau keluarga terdakwa lakalantas, apakah yang bersangkutan telah menyantuni
korban dan keluarganya baik untuk korban yang mengalami luka ringan, berat
ataupun kehilangan nyawa.[13]

2. Penerapan Hukum Terhadap Kecelakaan Lalu Lintas


Sebagaimana diketahui bahwasanya berdasarkan UU Kehakiman, hakim diberikan
kebebasan dalam menentukan berat atau ringanya pidana yang diberikan kepada calon
terpidana. Namun meskipun demikian dalam UU LLAJ hakim mempunyai batasan
dalam hal tersebut, yakni dengan tetap memperhatikan persoalan yang ketentuan yang
diatur dalam UU LLAJ tersebut, yakni:[14]
a. “Hal-hal yang memberatkan pidana dari terdakwa, yakni Perbuatan terdakwa
mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
b. Hal-hal yang meringankan pidana dari terdakwa, yakni: 1. Terdakwa belum pernah
di hukum. 2. Terdakwa bersikap sopan dan tidak mempersulit jalannya pemeriksaan
dipersidangan”. 3. Adanya pemberian uang duka dan uang damai dan jaminan
hidup keluarga yang ditinggal. 4. Adanya surat pernyataan damai dari keluarga
korban.
Menurut Pasal 310 butir (1) UU LLAJ, yang mengancam terdakawa tindak pidana
lakalantas yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain dengan ancaman maksimal
6 (enam) tahun penjara. tetapi dalam kenyataan yang sering terjadi dalam tindak
pidana pelanggaran lalu lintas hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara dibawah
minimum. Apabila dikaitkan dengan teori penerapan pidana, maka terhadap penerapan
hukumannya tidak diterapkan secara maksimum atas tindak pidana kecelakaan lalu
lintas.
Ps 273 UU LLAJ, menyatakan suatu tindak pidana lalu lintas menyebabkan korban
meninggal dunia, terdakwa dipidana diancam dengan pidana maksimal 5 (lima tahun)
atau denda, akan tetapi penjatuhan pidana terhadap penyelenggara jalan berdasarkan
Pasal tersebut bersifat alternatif artinya hakim dalam menjatuhkan pidana dapat
memilih. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 273 ancaman terdapat frase kata “atau”,
misalnya pidana penjara atau pidana denda saja.

13 Wahid, Abdul. Tinjauan Hukum Terhadap Santunan Bagi Keluarga Korban Kecelakaan Lalu Lintas Menurut UU LLAJ, Jurnal Ilmu
Hukum Legal Opinion, Edisi 3, Volume 1, 2013, hlm. 8
14 Amdani, Yusi.Implications of Interpretation of Laws by Pre-Trial Judges in Corruption Crime Cases, Mimbar Hukum Journal,Vol. 27,
No. 3, 2015”, hlm. 462

381
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Didik Ariyanto Analisis Mengenai Faktor-Faktor Penyebab Putusan Hakim Tidak Sesuai
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pada Kasusu Kecelakaan Lalu Lintas

D. Penutup
Faktor yang menjadi penyebab hakim dalam memutus terlihat tidak mengacu UU LLAJ
adalah adanya pertimbangan yakni telah dilakukanya mediasi oleh pihak kepolisian kemudian
juga perdamaian yang dilakukan atas dasar inisiatif pelaku kepada korban kecelakaan lalu
lintas dengan memberikan sumbangan.

DAFTAR PUSTAKA
Wahid, Abd. “Tinjauan Hukum Terhadap Santunan Bagi Keluarga Korban Meninggal Atau Luka
Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009”, Jurnal
Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 3, Volume 1, 2013
Chazawi, Adami.2010.Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT. Raja Grafindo,
Dyan, Antory Royan.Pranata Hukum, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 7 No. 1 , Januari 2012
D.M, Dudu“Modernization and Acceleration of Case Standard Handling and Reviewing on
Indonesia Supreme Court”, Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues, Volume 21,
Issue 3, 2018
Marpaung, Leden.2000. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta: Sinar Grafika,
Ahsan, Marsaid, M.Hidayat, Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kecelakaan Lalu
Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Di Wilayah Polres Kabupaten Malang, Jurnal Ilmu
Keperawatan - Volume 1, No. 2, Nopember 2013
Dani Hamzah, Muhammad.Penegakan Hukum Pada Kasus Tindak Pidana Kecelakaan Lalu
Lintas Yang Menyebabkan Hilangnya Nyawa Orang, Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1. No. 1
Maret 2018
Maria S.S, 2016. Metodologi Penelitian Ilmu Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada Press,
Lamintang P.A.F. & Lamintang, Theo.2012. Delik-Delik Khusus: Kejahatan Terhadap Nyawa,
Tubuh, dan Kesehatan, Jakarta: Sinar Grafika,
A, Suharsimi.2018.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Amdani, Yusi.Implikasi Penafsiran Undang-Undang oleh Hakim Praperadilan Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 27, No. 3, 2015
Zuleha, Zuleha. Relevansi Putusan Hakim Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Lalu Lintas,
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 13, Nomor 1, Januari-Juni 2018, HLM 176
http://www.bin.go.id/awas/detil/197/4/21/03/2013/kecelakaan-lalu-lintas-menjadi-
pembunuhterbesar-ketiga, diakses pada 21 Februari 2020.

382
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mohammad Haris Yusuf Albar Penegakan Hukum terhadap Kekerasan Dunia Maya
(Cyberviolence)

Penegakan Hukum Terhadap Kekerasan Dunia Maya


(Cyberviolence)
Mohammad Haris Yusuf Albar1, Novianto T. Widodo2

Abstrak
Perkembangan teknologi berdampak pada penggunaan komputer dan internet sebagai alat
untuk melakukan berbagai modus kejahatan. pelaku akan dapat memantau korbanya dan
melakukan kejahatan tanpa melakukan kontak fisik dengan korban. Internet dengan demikian
menciptakan hubungan asimetris, dalam arti bahwa tautan kejahatan / korban kejahatan tidak
seimbang. sanksi pidana yang ditentukan dalam KUHP. Pada UU ITE, jenis penindakannya
adalah tindak pidana penjara dan tindak pidana denda. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui
penegakan hukum kekerasan dunia maya (cyberviolence) serta tindak pidana tambahan. Penulis
menggunakan metode penilitian normatif atau doktrinal dengan cara identifikasi mengumpulkan
data kepustakaan yang berupa arsip, dokumen resmi, data pustaka lainnya yang berkaitan erat
dengan permasalahan penelitian Hasil akhir pengolahan data kualitatif normatif.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Kekerasan Dunia Maya, Cyberviolence

Abstract
Technology development impact on the use of computers and internet as tool for exerting variety
of modes evil. Will monitor the ways for his victims and do felony without make physical contact
the.Internet thus have invented a asymmetrical, tautan evil meaning that any / victims of crime.
Criminal sanctions specified in kuhp. Of law ite, type action are crimes prison and fine crimes.
Writing aims to understand cyber law enforcement violence ( cyberviolence ) and additional
crimes.Writer research normative or use of doctrinal data collection by means identification
literature, such as the official documents, data literature closely related to problems other
research data processing normative outcome qualitative..
Keywords: Law Enforcement, Cyberviolence, Cybercrime

A. Pendahuluan

Hukum yang diyakini ada jalinan nilai tentang keadilan dan kebenaran yaitu sebuah
(value) yang berkonotasi positif dan bermanfaat bagi manusia lahir maupun batin. Pada
dasarnya hukum dibentuk agar manusia dapat menjalankan haknya, tanpa mengurangi atau
melanggar hak orang lain. Seperti yang disebutkan Thomas Hobbes dalam karyanya “De
Cive”, bahwa “Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya”. Maksudnya manusia akan
saling menyakiti satu sama lain, karena keinginan manusia untuk mendapatkan haknya
dan memenuhi kebutuhannya akan mendorong untuk melanggar hak orang lain, bila tidak

1 Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa
Tengah, Indonesia, yusufharis1111@gmail.com , S.H. (Universitas Sebelas Maret).
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia,
novianto@consultan.com, Dr. (Universitas Sebelas Maret), S.H. (Universitas Jember), M.Hum. (Universitas Diponegoro).

383
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mohammad Haris Yusuf Albar Penegakan Hukum terhadap Kekerasan Dunia Maya
(Cyberviolence)

ada aturan. 3 Hukum mengatur masyarakat manusia secara patut dan bermanfaat dengan
menetapkan apa yang harus diharuskan ataupun yang dibolehkan dan sebaliknya. Hukum
dapat mengkualifikasi sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum tidak merupakan masalah dan
tidak perlu dipersoalkan, yang menjadi masalah ialah perbuatan melawan hukum. Bahkan
yang diperhatikan dan digarap oleh hukum ialah justru perbuatan yang disebut melawan
hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan yang mungkin
akan terjadi (onrecht in potentie).4
Perkembangan Teknologi Informasi telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, terutama
setelah diketemukannya teknologi yang menghubungkan antar komputer (Networking)
dan Internet. Namun demikian, berbagai kemajuan tersebut ternyata diikuti pula dengan
berkembangnya sisi lain dari teknologi yang mengarah pada penggunaan komputer
sebagai alat untuk melakukan berbagai modus kejahatan. Istilah ini kemudian dikenal
dengan cybercrime. Indonesia selama ini dianggap sebagai surga kejahatan dunia maya.5
Perkembangan besar-besaran dari teknologi informatika serta karakteristik dari internet
memiliki pegaruh besar pada ekspresi interaksi sosial kita, dan pada saat yang sama
menciptakan peluang baik untuk kegiatan kriminal dan untuk kegiatan hukum. Oleh sebab
itu perkembangan teknologi internet dan komputer yang sangat tinggi telah memungkinkan
peningkatan peluang penjahat, kemudahan penggunaaannya serta sifatnya yang transnasional
batasnya adalah semua kekhususan yang memungkinkan banyak pelaku kejahatan untuk
melihatnya sebagai peluang untuk melakukan penyimpangan. Ini kemudian mengeksploitasi
fakta bahwa dunia maya memberikan kemungkinan peyebaran informasi secara luas, cepat,
dan murah.
Internet berdampak pada perilaku kriminal dengan meciptakan peluang untuk melakukan
penyimpangan. Faktanya pelaku akan dapat memantau korbannya dan melakukan kejahatan
tanpa melakukan kontak fisik dengan korban. Internet dengan demikian menciptakan hubugan
asimetris, hubungan asimetris akan terletak pada peningkatan peluang utuk meningkatkan
jumlah inside kriminal skala kecil yang bagaimanapun tidak aka dipertimbangkan oleh
sistem peradilan dan yang tidak akan menghasilkan mobilisasi sistem peradilan/kepolisian.
Meskipun jika disatukan, insiden-insiden ini akan mewakili aktivitas kriminal yang signifikan.
Kejahatan dunia maya (cyber crime) di era modern sekarang telah bermacam-macam jenis
seperti peretasan, penipuan online, intimidasi dunia maya, pelecehan dunia maya, pornografi
dan lainnya. Salah satu kejahatan dunia maya yang berkembang adalah kekerasan dunia
maya (cyber violence). Cyberviolence adalah kategori umum yang mencakup berbagai
tindakan diantaranya cyberbullying (intimidasi, perundungan) dan cyberstalking (menguntit,
pelecehan).6 Ini adalah kategori paling banyak terjadi di Indonesia saat ini.
Christopher Chaney, seorang warga Negara amerika berusia 35 tahun menggunakan informasi
yang tersedia dari berbagai blog selebriti menebak kata sandi untuk akun email google atau
yahoo mereka. Dia telah berhasil meretas 50 akun diantaranya seperti Scarlett Johanson,
Mila Kunis, Christina Aguilera, dan Renee Olstead. Dengan demikian memperoleh akses ke

3 Dr. Herman Bakir, S.H., M.H., Filsafat Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal.1
4 Sudarto, kapita selekta hukum pidana, PT.Alumni, Bandung, 1986, hal.111
5 Pratama Persadha, artikel dalam26 Agustus 2016, sebagaimana diakses dalam https://www.cissrec.org/publications/detail/38/
Indonesia-Surga-Kejahatan-Cyber.html diakses tanggal 19 Juli 2020
6 Thomas J Holt & Adam M Bossler, penilaian kondisi terkini dari kejahatan dunia maya, tandfonline.com.jurnal vol;35, 26 september
2013 hal.20

384
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mohammad Haris Yusuf Albar Penegakan Hukum terhadap Kekerasan Dunia Maya
(Cyberviolence)

email, foto, dan dokumen rahasia yang tak terhitung jumlahnya. Christopher Chaney telah
secara khusus memindahkan foto-foto ayahnya tentang sifat seksual seorang mantan kolega
ditempat kerja. Jenis kekerasan ini biasanya sangat serius bagi para korban. Sementara salah
satu dari mereka telah mengalami kecemasan dan serangan panik yang serius. Yang lain
telah mengembangkan kecenderungan yang kuat terhadap depresi dan paranoid.7

B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research). Penelitian hukum merupakan
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-
doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.8 Pengambilan Sampel dilakukan
tidak terhadap orang namun bahan-bahan pustaka terutama terkait dengan tentang peraturan
informasi dan transaksi elektronik dianalisis dengan pola pikir deduktif dan induktif secara
kombinasi. Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statuta
approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan historycal approach
(pendekatan sejarah). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data sekunder
(secondary data) dengan sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan
hukum primer adalah bahan hukum yang autoritatif, sedangkan bahan hukum sekunder
berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi
meliputi buku-buku, teks, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan.9
Hasil akhir pengolahan data dikualitatifkan, selanjutnya dianalisis dengan metode kualitatif
normatif, metode penafsiran dalam ilmu hukum, serta menginterpretasikan data berdasarkan
teori-teori sebagaimana tersebut dalam tinjauan pustaka.

C. Pembahasan
Secara umum yang dimaksud dengan kejahatan komputer atau kekerasan dunia maya
(cyberviolence) adalah “upaya memasuki dan atau menggunakan fasilitas komputer atau
jaringan internet dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan
dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut.”
Bila seseorang menggunakan komputer atau bagian dari jaringan komputer tanpa seijin
yang berhak, tindakan tersebut sudah tergolong pada kejahatan komputer.10 Keragaman
aktivitas kejahatan yang berkaitan dengan komputer sangat besar dan telah menimbulkan
perbendaharaan bahasa baru, misalnya hacking, cracking, virus, time bomb, worm, troyan
horse, logical bomb, spaming, hoax, cyberstalking, cyberbulliying, dan lain sebagainya.
Menurut Freddy Haris, Cybercrime merupakan suatu tindak pidana dengan karakteristik-
karakteristik sebagai berikut:11
1. Unauthorized acces (dengan maksud memfasilitasi kejahatan)
2. Unauthorized alteration or distruction of data
3. Mengganggu/merusak operasi komputer,
4. Mencegah/menghambat akses pada komputer.

7 Burgard A & Schlembach C, Kerangka Penipuan: Analisis Kualitatif tentang struktur dan proses viktimisasi di internet, International
journal of cyber criminology 7 (2), 2013, hal.112
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada, 2014, hlm 35.
9 Peter Mahmud Marzuki, Loc.cit, hlm. 133
10 Dikdik M arief Mansur & Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek hukum teknologi informasi, Bandun: reflika aditama, 2005, hal.8
11 Fredy Haris, cybercrime dari prespektif akademis, lembaga kajian hukum dan teknologi Fakultas Hukum universitas Indonesia,
Hal.4, dalam <http:www.gipi.or.id>, akses tanggal 27 juli 2020

385
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mohammad Haris Yusuf Albar Penegakan Hukum terhadap Kekerasan Dunia Maya
(Cyberviolence)

Barda Nawawi Arief menunjukkan pada kerangka (sistematik) Draft Convention on


Cybercrime dari Dewan Eropa (Draft No. 25 tahun 2000). Beliau menyamakan peristilahan
antara keduanya dengan memberikan definisi cybercrime sebagai “cyber related to
technology, computers, and the internet” atau secara sederhana berarti kejahatan yang
berhubungan dengan teknologi computer dan internet.12
Beberapa bentuk kekerasan yang berhubungan erat dengan penggunakan teknologi informasi
yang berbasis utama computer dan jaringan telekomunikasi ini, dalam beberapa literatur dan
praktiknya dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain:13
1. Unauthorized Acces to Computer System and Service
Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup kedalam suatu system jaringan
computer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik system
jaringan computer yang dimasukinya.
2. Illegal Contents
Merupakan kejahatan dengan memasukan data atau informasi ke internet tentang suatu
hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu
ketertiban umum.
3. Data Forgery
Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang
tersimpan sebagai scriptless document melalui internet.
4. Cyber espionage
Merupakan jaringan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan
mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer
network system) pihak sasaran.
5. Cyber sabotage and Extortion
Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran
terhadap suatu data, program computer atau sistem jaringan computer yang terhubung
dengan internet.
6. Offense Against Intellectual Property
Kejahatan ini ditunjukan terhadap ha katas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain
di internet. Sebagai contoh adalah peniruan tampilan pada web page suatu situs milik
orang lain secara illegal, penyiaran suatu informasi di internet yang ternyata merupakan
rahasia dagang oranglain dan sebagainya.
7. Infringements of Privacy
Kejahatan ini ditunjukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang
sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan
seorang pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang apabila
diketahui oleh oranglain akan dapat merugikan korban secara materil maupun
immaterial seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit tersembunyi
dan sebagainya.

12 Konvensi ini telah ditandatangani oleh 30 negara pada bulan November 2001, di Budapest Hungaria
13 Mas Wigrantoro & Mirna Dian, Naskah akademik rancangan Undang-undang tindak pidana dibidang teknologi informasi, Global
internet policy Initiative-indonesia bekerja sama dengan Indonesia Media Law And Policy Center, November, 2003, hlm.25. dalam
http//www.gipi.or.id/download/naskah%20akademik, akses tanggal 28 juli 2020.

386
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mohammad Haris Yusuf Albar Penegakan Hukum terhadap Kekerasan Dunia Maya
(Cyberviolence)

Cyberviolence pelecehan atau intimidasi memiliki dampak buruk pada kehidupan para
korban. Dampak dari cyberviolence bisa lebih keras dari kejahatan tradisional, pelecehan
dan intimidasi bias terjadi dimana saja dan kapan saja karena rumah bukan lagi tempat yang
aman. Juga, identitas pelaku belum tentu diketahui oleh korban. Para korban cyberviolence
ini hidup dengan konsekuensi psikologis, terutama beresiko mengalami depresi atau bunuh
diri. Setiap orang perlu Aspek Hukum Thak mendapatkan perlindungan hukum secara
normatif antara lain diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Cyberviolence adalah segala bentuk kekerasan yang
dialami seseorang melalui ruang maya atau internet.
Pada definisi dari McKemmish diperkenalkan istilah digital evidence (bukti digital). Bukti
digital sangat berkaitan dengan forensik komputer. Istilah bukti digital digunakan untuk
menghindari keterbatasan yang ada pada istilah bukti elektronik. Termasuk didalam bukti
digital adalah bukti komputer, audio digital, video digital, telepon seluler, mesin fax dan
lainnya. Forensik komputer diterapkan pada penanganan kejahatan yang berkaitan dengan
teknologi informasi. Forensik komputer dapat dipergunakan untuk menganalisis dan
mengamankan bukti digital dan merupakan tata cara yang benar untuk menangani bukti
digital. Kesulitan dalam forensik komputer adalah dalam menghadirkan bukti digital yang
dapat digunakan dalam persidangan dan besarnya dokumentasi yang diperlukan.14
Sistem pemidanaan di Indonesia mencakup beberapa teori pemidanaan, system ini bertujuan
untuk melindungi masyarakat agar mencapai kesejahteraan. Sistem pemidanaan itu antara
lain:15
1. Teori absolut atau teori pembalasan yaitu, teori ini memberikan statement bahwa
pemidanaan mempunyai fungsi menghilangkan kejahatan pidana tersebut.
2. Teori relatif atau teori tujuan yaitu, penjatuhan pidana tersebut bertujuan untuk dibina
sehingga setelah selesei menjalani pidananya akan menjadi orang yang lebih baik dari
sebelum menjalani pidana.
3. Teori gabungan, teori ini muncul setelah reaksi teori sebelumnya yang kurang dapat
memuaskan menjawab mengenai tujuan dari pemidanaan. Teori gabungan ini berusaha
memadukan konsep-konsep yang dianut oleh teori absolut dan teori relatif tujuan
pemidanaan yaitu disamping penjatuhan pidana harus membuat jera, juga harus
meberikan perlindungan serta pendidikan terhadap masyarakat dan terpidana.
Pengaturan Tindak Pidana Siber Materil di Indonesia Berdasarkan Instrumen PBB, maka
pengaturan tindak pidana siber di Indonesia juga dapat dilihat dalam arti luas dan arti sempit.
Secara luas, tindak pidana siber ialah semua tindak pidana yang menggunakan sarana atau
dengan bantuan sistem elektronik. Itu artinya semua tindak pidana konvensional dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sepanjang dengan menggunakan bantuan atau
sarana sistem elektronik seperti pembunuhan, perdagangan orang, dapat termasuk dalam
kategori tindak pidana siber dalam arti luas. Demikian juga tindak pidana dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana maupun tindak pidana perbankan
serta tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

14 Nudirman Munir, Pengantar Hukum Siber Indonesia Edisi 3, Depok Raja Grafindo Persada, 20017, Hal 534.
15 Ruslan Saleh, stelsel pidana Indonesia, Jakarta aksara baru, 1983, hal.6

387
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mohammad Haris Yusuf Albar Penegakan Hukum terhadap Kekerasan Dunia Maya
(Cyberviolence)

Akan tetapi, dalam pengertian yang lebih sempit, pengaturan tindak pidana siber diatur
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, UU no.19 tahun 2016 sama halnya seperti Convention on Cybercrimes, UU
ITE juga tidak memberikan definisi mengenai cybercrimes, tetapi membaginya menjadi
beberapa pengelompokkan yang mengacu pada Convention on Cybercrimes:16
1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal, yaitu:
a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten illegal, yang terdiri
dari:
• Kesusilaan (Pasal 27 ayat (1) UU ITE);
• Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3) UU ITE);
• pemerasan dan/atau pengancaman (Pasal 27 ayat (4) UU ITE);
• berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat (1)
UU ITE);
• menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat (2) UU ITE);
• mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti
yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29 UU ITE);
b. dengan cara apapun melakukan akses illegal (Pasal 30 UU ITE);i
c. ntersepsi atau penyadapan illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan
Sistem Elektronik (Pasal 31 UU 19/2016);
2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:
a. Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference - Pasal
32 UU ITE);
b. Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference –Pasal 33 UU ITE);
3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE);
4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (Pasal 35 UU ITE);
5. Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36 UU ITE); dan
6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).
Pengaturan Tindak Pidana Siber Formil di Indonesia selain mengatur tindak pidana siber
materil, UU ITE mengatur tindak pidana siber formil, khususnya dalam bidang penyidikan.
Pasal 42 UU ITE mengatur bahwa penyidikan terhadap tindak pidana dalam UU ITE
dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketentuan dalam UU ITE. Artinya, ketentuan penyidikan
dalam KUHAP tetap berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam UU ITE. Kekhususan UU
ITE dalam penyidikan antara lain.17
a. Penyidik yang menangani tindak pidana siber ialah dari instansi Kepolisian Negara RI
atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”) Kementerian Komunikasi dan informatika.
b. Penyidikan dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi,
kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data.
c. Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan
dugaan tindak pidana harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
d. Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sistem elektronik, penyidik wajib
menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.

16 Sitompul Josua, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana,Jaarta: PT. Tatanusa.2012, Hal.25
17 Pasal 43 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 19/2016

388
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mohammad Haris Yusuf Albar Penegakan Hukum terhadap Kekerasan Dunia Maya
(Cyberviolence)

Ketentuan penyidikan dalam UU ITE dan perubahannya berlaku pula terhadap penyidikan
tindak pidana siber dalam arti luas. Sebagai contoh, dalam tindak pidana perpajakan,
sebelum dilakukan penggeledahan atau penyitaan terhadap server bank, penyidik harus
memperhatikan kelancaran layanan publik, dan menjaga terpeliharanya kepentingan
pelayanan umum sebagaimana diatur dalam UU ITE dan perubahannya. Apabila dengan
mematikan server bank akan mengganggu pelayanan publik, tindakan tersebut tidak boleh
dilakukan.
Adapun prosedur untuk menuntut secara pidana terhadap perbuatan tindak pidana siber,
secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:18
1. Korban yang merasa haknya dilanggar atau melalui kuasa hukum, datang langsung
membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada unit/bagian Cybercrime atau
kepada penyidik PPNS pada Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian
Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang
dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan atas kasus bersangkutan Hukum Acara
Pidana dan ketentuan dalam UU ITE.
2. Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan dilimpahkan
kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan. Apabila yang
melakukan penyidikan adalah PPNS, maka hasil penyidikannya disampaikan kepada
penuntut umum melalui penyidik POLRI.

D. Penutup
1. Simpulan
Rendahnya penindakan cyberviolence menurut literatur sama dengan kekerasan
fisik biasa menyangkut kurangnya konsensus tentang definisi kejahatan dunia maya.
Seringkali mengatasi penyebab kejahatan dunia maya menggunakan teori tradisional
seperti pembelajaran social, teori aktivitas rutin, teori penyimpangan dan netralitas,
Forensik computer diterapkan pada penanganan kejahatan yang berkaitan dengan
teknologi informasi. Rumusannya masih bersifat abstrak dan teknis, yang kemungkinan
berdampak kesulitan pembuktian nantinya, dan baiknya merupakan pengembangan
tindak pidana pada undang-undang lain, khususnya dari KUHP, yang mengaitkan/
mengontekskan dengan perkembangan teknologi informasi sebagai alat/instrument
dalam melakukan kejahatan dan perumusan sanksi pidana yang diancamkan dalam
tindak pidana menurut ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik tetap sebagaimana jenis-jenis sanksi pidana yang
ditentukan dalam KUHP. Yang diancamkan pada UU ITE, jenisnya adalah tindak pidana
penjara dan tindak pidana denda, tidak dirumuskan ancaman sanksi pidana tambahan.
Jadi sistem pidana yang dipakai tidak ada inovasi jenis sanksi pidana yang khas untuk
tindak pidana di bidang informasi dan transaksi elektronik.
2. Saran
Sehubungan dengan penerapan pencegahan yang lebih efektif dan terarah dalam
kejahatan dunia maya yang paling penting adalah pemahaman yang lebih baik tentang
faktor resiko pribadi dan kontekstual. Perlu juga kerja sama antara lembaga Negara
untuk menanggulangi kekerasan Dunia Maya, Undang-Undang Tentang Cybercrime,
ITE dan UHP perlu dibuat secara khusus untuk memudahan sebagai Lexspesialis

18 Pasal 102 s.d. Pasal 143 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

389
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mohammad Haris Yusuf Albar Penegakan Hukum terhadap Kekerasan Dunia Maya
(Cyberviolence)

penegakan hukum terhadap cyberviolence. Perlu adanya penyamaan konsepsi antara


KUHP dengan karakteristik cybercrime saat ini dan Negara perlu mepertimbangkan
untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan untuk perlindungan korban dan menjerat pelaku
yang berada diluar jangkauan yurisdiksi nasional, yakni dengan mengkulturasikan
kekerasan dunia maya kedalam perjanjian ekstradisi.

Daftar Pustaka
Buku
Dikdik M arief Mansur & Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek hukum teknologi informasi,
Bandung: reflika aditama, 2005
Dr. Herman Bakir, S.H., M.H., Filsafat Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, 2006,
Nudirman Munir, Pengantar Hukum Siber Indonesia Edisi 3, Depok Raja Grafindo Persada,
20017
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada, 2014,
Ruslan Saleh, stelsel pidana Indonesia, Jakarta aksara baru, 1983
Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana,
Jaarta:PT. Tatanusa.
Sudarto, kapita selekta hukum pidana, PT.Alumni, Bandung, 1986,

Jurnal
Burgard A & Schlembach C, Kerangka Penipuan: Analisis Kualitatif tentang struktur dan proses
viktimisasi di internet, International journal of cyber criminology 7 (2), 2013
Thomas J Holt & Adam M Bossler, penilaian kondisi terkini dari kejahatan dunia maya,
tandfonline.com.jurnal vol;35, 26 september 2013

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Konvensi ini telah ditandatangani oleh 30 negara pada bulan November 2001, di Budapest
Hungaria

390
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Mohammad Haris Yusuf Albar Penegakan Hukum terhadap Kekerasan Dunia Maya
(Cyberviolence)

Internet
Fredy Haris, cybercrime dari prespektif akademis, lembaga kajian hukum dan teknologi Fakultas
Hukum universitas Indonesia, dalam <http:www.gipi.or.id>, akses tanggal 27 juli 2020
Mas Wigrantoro & Mirna Dian, Naskah akademik rancangan Undang-undang tindak pidana
dibidang teknologi informasi, Global internet policy Initiative-indonesia bekerja sama
dengan Indonesia Media Law And Policy Center, November, 2003.
dalam http//www.gipi.or.id/download/naskah%20akademik, akses tanggal 28 juli 2020.
Pratama Persadha, artikel dalam26 Agustus 2016, sebagaimana diakses dalam https://www.
cissrec.org/publications/detail/38/ Indonesia-Surga-Kejahatan-Cyber.html diakses tanggal
19 Juli 2020

391
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ridwan Suryawan Penemuan Hukum terkait dengan Pertanggungjawaban dan
Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Pasar Modal

PENEMUAN HUKUM TERKAIT DENGAN PERTANGGUNG-


JAWABAN DAN PEMIDANAAN KORPORASI DALAM TINDAK
PIDANA PASAR MODAL
Ridwan Suryawan.1

Abstrak
Pasar modal merupakan kegiatan pasar ekonomi yang memperjualbelikan saham yang berada
dalam bursa efek, dengan berkembangnya modus operandi dan banyaknya perusahaaan yang
ingin ikut dalam legiatan pasar modal, maka secara kriminologis akan banyak tindak pidana yang
berkaitan dengan tindak pidana pasar modal, kompleksitas yang berkembang dalam kegiatan
pasar modal merupakan hal yang sangat wajar apabila dikaitkan dengan dinamika globalisasi
dan perkembangan kejahatan kerah putih ( white collar crime), akan tetapi dalam rumusan pasal
yang termuat dalam Undang-undang Pasar Modal, adresat nya hanya “ setiap pihak” sehingga
untuk memudahkan aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana pasar modal,
pihak-pihak terkait tidak terkecuali korporasi bisa dipidana dan dimintai pertanggungjawawaban
pidana. Metode penelitian yang dillakukan penulis untuk menganalisis adalah normatif
taua dokrtrinal, jenis penelitian adalah preskriptif analitis, metode pendekatan menggunakan
pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual ( conceptual
approach), bahwa korporasi bisa dimint ai pertanggungajawaban pidana jika melakukan tindak
pidana pasar modal karena kata setiap pihak itu jika menggunakan intrepretasi sistematis
maka bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, pemidanaan terhadap korporasi kedepan bisa
dilakukan dengan menggunakan prinsip harmoni system, yaitu menggunakan KUHP sebagai
dasar untuk pemidanaan
Kata kunci; Penemuan hukum, pertanggungjawaban pidana, Pasar modal

A. Pendahuluan
Di era globalisasi saat ini, banyak pelaku usaha yang yang merambah dunia pasar modal.
Hal ini dikarenakan dari segi ekonomi, biaya penjualan saham di pasar modal lebih rendah
jika dibandingkan dengan bunga perbankan, baik perbankan dalam maupun perbankan luar
negeri. Modal dari penjualan saham ini dapat dipakai untuk membiayai proses produksi
barang dan jasa. Pasar modal dalam pengertian klasik diartikan sebagai suatu bidang usaha
perdagangan surat-surat berharga seperti saham, sertifikat saham, dan obligasi atau efek-
efek pada umumnya. Pengertian pasar modal sebagaimana pasar umum yaitu merupakan
tempat bertemunya penjual dan pembeli, tetapi pasar modal berbeda dengan pasar konkret.
Dalam pasar modal yang diperjualbelikan adalah modal atau dana2. Menurut Suad Husnan
mendefinisikan bahwa pasar modal yaitu :
“Pasar modal dapat didefinisikan juga sebagai pasar untuk berbagi instrumen keuangan (atau
sekuritas) jangka panjang yang bisa diperjual belikan, baik dalam bentuk hutang maupun

1 Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret


2 Najib A.Gisymar ,“Insider Trading dalam Transaksi Efek”, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hlm.10

392
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ridwan Suryawan Penemuan Hukum terkait dengan Pertanggungjawaban dan
Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Pasar Modal

modal sendiri, baik yang diterbitkan pemerintah, public aothorities, maupun perusahaan
swasta.“3
Berdasarkan definisi di atas, disebutkan bahwa di pasar modal diperdagangkan berbagai
komoditas modal sebagai instrument jangka panjang. Komoditas modal tersebut dibagi menjadi
dua kelompok yaitu modal hutang dan modal sendiri. Modal sendiri adalah surat berharga yang
bersifat penyertaan atau ekuitas seperti saham, waran, dan right. Sedangkan modal hutang
adalah surat berharga yang bersifat hutang atau sering juga disebut sebagai surat berharga
pendapatan tetap (fixed income) seperti obligasi dan obligasi konversi. Sedangkan menurut
Pasal 1 ayat (13), Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995 (yang selanjutnya disebut
UUPM) pengertian pasar modal yang lebih spesifik, yaitu: “Kegiatan yang bersangkutan
dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan
dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek”.
Berdasarkan UUPM tersebut dalam memberi arti pasar modal tidak memberi suatu definisi
secara menyeluruh melainkan lebih menitikberatkan pada kegiatan dan para pelaku suatu
pasar modal. Saat ini laju perkembangan ekonomi dan pasar modal berjalan sangat pesat,
dan saat bersamaan, pasar modal Indonesia dituntut untuk bersaing dengan pasar modal lain.
Dalam hal ini OJK (Otorisasi Jasa Keuangan) yang posisinya menggantikan BAPEPAM-
LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) selaku badan yang melakukan
pembinaan dan pengawasan kegiatan pasar modal diharapkan dapat membuat aturan-
aturan yang dapat memayungi kegiatan di pasar modal ini dengan peraturan yang jelas dan
mengikat serta memiliki tindakan yang tegas terhadap siapa saja yang melanggar aturan-
aturan yang ada dalam bidang pasar modal. Selain itu, dengan adanya kegiatan investasi
dengan cara jual-beli saham ini juga sangat menguntungkan Indonesia , yang salah satunya
adalah masuknya investor asing ke negara kita. Hal itu secara tidak langsung menambah
devisa negara kita. Oleh karena itu penting kiranya peraturan mengenai pasar modal ini
benar-benar diperhatikan.
Dalam kegiatan di pasar modal prinsip yang terpenting adalah prinsip keterbukaan informasi
atau disebut disclosure principle, ialah “seluruh informasi mengenai keadaan usahanya
yang meliputi aspek keuangan, hukum, manajemen, dan harta kekayaan perusahaan pada
masyarakat”. Berkembangnya peraturan peraturan yang mengatur tentang kegiatan ekonomi
membuat pelaku kejahatan semakin mengerti untuk melakukan tindk pidana tertentu, tidak
terkecuali tentang tindak Pidana Pasar Modal
Undang-undang Pasar Modal merupakan administrasi penal law , yaitu hukum administrasi
yang bersanksi pidana, sehingga menurut Barda nawawi arief menyebutkan bahwa hukum
pidana administrasi ini untuk mendayagunakan atau mengopersionalkan, memfungsikan
hukum administrasi tersebut, sehingga upaya penegakan hukum administrasi yang bersanksi
pidana tetap bisa di tegakkan.
Tindak pidana pasar modal adalah salah satu ciri dari kejahatan ekonomi yang modus
operandinya semakin kompleks, ada beberapa kriteria mengenai kejahatan ekonomi,
menurut kadish seperti yang di kutip oleh Barda nawawi arief menyebutkan ada tiga pokok
jenis kejahatan ekonomi yaitu 4;

3 Suad Husnan,“Teori Portfolio dan Analisis Sekuritas”,Yogyakarta,UPP STIM YKPN, 1998, hlm 3
4 Sanfod H Kadish..., dikutip oleh Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, cet 3, Bandung, Alumni
2010 hlm 168

393
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ridwan Suryawan Penemuan Hukum terkait dengan Pertanggungjawaban dan
Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Pasar Modal

1. Property crime, yaitu perbuatan yang berkaitan dengan dengan keselamatan harta benda
berkaitan dengan kekayaan seseorang dan negara
2. Regulatory crime, yaitu perbuatan yang melanggar aturan pemerintah
3. Tax crime, yaitu perbuatan mengenai pertanggungjawaban dan pelanggaran syarat-
syarat yang berhubung dengan pembuatan laporan menurut hukum pajak.
Pengertian diatas menunjukkan kedudukan hukum pidana administrasi sangat penting guna
mencegah kejahatan- kejahatan yang berdimensi ekonomi yang semakin komplek, hal ini
sejalan dengan adanya pembaharuan sistem hukum pidana di Indonesia, tindak Pidana Pasar
modal merupakan salah satu contoh yang paling konkrit sebagai tolok ukur pencegahan
kejahatan di bidang ekonomi, sehingga kebijakan hukum pidana mempunyai fungsi dan
peran yang sangat vital guna menciptakan sistem peradilan pidana yang efektif, sistem
peradilan pidana mempunyai tiga bagian yang sangat penting yaitu;
1. Fase formulasi yang ada pada tataran pembentukan perundang-undangan, pada fase
ini mempunyai nilai yang sangat strategis dalam pembangunan hukum
2. Aplikatif adalah menegakkan sistem peradilan pidana yang ada pada tataran
mengaplikasikan sebuah peraturan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum , yaitu
pengadilan
3. Eksekusi adalah hal yang berkaitan dengan melaksanakan hasil dari aplikasi penegak
hukum ke langkah selanjutnya, hal ini dilakukan oleh aparat badan pemasyarakatan.
Salah satu tindak pidana pasar modal yang terjadi di Indonesia dari hasil penangkapan yang
dilakukan oleh Badan reserse dan Kriminal Mabes Polri telah mengungkap bahwa uang
hasil kejahatan senilai 55 milyar, yaitu kasus tentang PT Reliance Securities yang salah Tatu
mantan karyawannya menawarkan investasi, engan mengatasnamakan PT Head of Wealth
Management, menawarkan investasi sejak 2014. Setidaknya terdapat 27 korban dalam
kasus itu.5 Dalam penjatuhan sanksi pidana, hemat penulis apakah korporasi akan dimmintai
pertanggung jawaban.
Hal ini menjadi minat penulis untuk melakukan penelitian berkaitan dengan pertanggung
jawaban korporasi yang ada pada ketentuan pidana dalam tindak pidana pasar modal,
dalam RUU KUHP menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dan bisa dimintai
pertanggungjawaban pidana, hal ini berbeda dengan KUHP sekarang yang belum mangatur
tentang pertanggung jawaban korporasi. Berkaitan dengan permasalahan diatas penulis
ingin mengurai dan meniliti tentang permasalahan yang ada pada Undang-undang No 8
tahun 1995 Tentang pasar modal, penulis beranggapan bahwa permasalahan diatas bisa
ditarik kesimpulan dengan pertanyaan sebagai rumusan permasa`lahan
Setelah penulis merumuskan pertanyaan yang berkaitan dengan pertanggung jawaban
korporasi yang ada dalam Undang-undang Tindak pidana pasar modal , penulis ingin
mengetahui sejauh mana pertanggung jawaban korporasi yang melakukan tindak pidana,
sejauh ini dengan sejalannya perkembangan Hukum pidana di Indonesia , dalam KUHP
selama ini belum mengatur tentang pertanggung jawaban korporasi, sesuai dengan keinginan
penulis bahwa dalam tindak pidana pasar modal kedudukan korporasi sebagai subjek yang
melakukan kegiatan di pasar modal, seperti yang sudah diterangkan diatas maka, kebijakan
formulasi untuk mengatur pertanggung jawaban korporasi dalam tindak pidana pasar modal
harus di atur sesuai dengan perkembangan kejahatan bidang pasar modal.

5 https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/10/18/pgrq3e430-polisi-ungkap-penggelapan-
pasar-modal-senilai-rp-55-miliar di unduh, Rabu 25 september 2019, Di unduh jam 10.00

394
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ridwan Suryawan Penemuan Hukum terkait dengan Pertanggungjawaban dan
Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Pasar Modal

B. Rumusan masalah
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana Pasar
modal?
2. Bagaimanakah pemidanaan korporasi yang melakukan tindak pidana pasar modal di
masa mendatang?
Permasalahan pengaturan pertanggung jawaban korporasi masih menjadi masalah yang ada
dalam hal ini adalah bentuk dan karakter atau sifat-sifat dari korporasi yang bersangkutan ,
yang tercermin dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga korporasi tersebut, dalam
hal ini siapa yang bertanggung jawab atas perbuatan yang telah terjadi, dan sejauh mana
perbuatan tersebbut dikatagorikan sebagai perbuatan korporasi, hal ini sangat bergantung
kepada Undang-undang yang mengaturnya apakah korporasi itu berbentuk perseoroan
terbatas apakah yayasan dan koperasi, sehingga korporasi itu harus tunduk pada undang-
undang khusus yang mengaturnya.6

C. Metode Penelitian
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh peneliti guna mencari apa yang
menjadi perenungannya dan diwujudkan dengan kegiatan yang terukur dan teratur dalam
pengembangan ilmu, hal ini senada apa yang diungkapkan oleh F Sugeng Istanto yaitu
penelitian adalah rangkain kegiatan yang secara teratur membantu pengembangan suatu
ilmu dalam mengungkap kan suatu kebenaran. Dengan demikian masih menurut F Sugeng
Istanto bahwa penelitian hukum adalah penelitian yang membantu pengembangan ilmu
hukum dalam mengungkapkan suatu kebenaran hukum.7 Soerjono Soekanto mempunyai
pendapat yang berbeda tentang penelitian, menurutnya, penelitian adalah metode
yang bertujuan memperlajari satu dan beberapa gejala, dengan cara menganalisa dan
mempelajari dan memecahkan masalah -masalah yang timbul dari fakta yang bersangkutan,
penelitian sebagai suatu kegiatan ilmiah untuk menagalisis serta mengadakan konstruksi,
secara metedologis. Sistematis dan konsisten , sebagai cara untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan baik dari segi teoritis maupun praktis.8 Penelitian tentang kebijakan formulasi
pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pasar modal, di ere new normal ini
menggunakan penelitian doktrinal, dalam penelitian ini, untuk menjawab permasalahan
yang diajukan menggunakan data primer dan data sekunder . sehingga berdasarkan jenis
datanya, penelitian ini tergolong penelitian normatif yuridis.

D. Pembahasan
1. Pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana pasar modal?
Permasalahan pokok yang terkandung dalam pembaharuan hukum pidana adalah
masalah tindak pidana (criminal act), pertanggung jawaban pidana ( criminal
responsibility) dan pidana dan pemidanaan (Crime and Punishment), sesuai dengan
perkembangan tersebut penulis mengutip pendapat Heijder9 tentang pembaharuan

6 Setiyono, Teori dan alur pikir penerapan pertanggung jawaban korporasi, Malang , Bayumedia, 2012 hlm 12-13
7 F Sugeng Istanto, Penelitian Hukum, Yogyakarta, Ganda, 2007, hlm 2
8 Mukti fajar dan Yulianto Ahmad, 2010, dualisme penelitian hukum normatif dan empiris, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar 2010, hlm 34
9 Hoogleraar strafrecht in Vrije Universiteit Van Amsterdam.( Guru besar hukum pidana Universitas Amsterdam)

395
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ridwan Suryawan Penemuan Hukum terkait dengan Pertanggungjawaban dan
Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Pasar Modal

dan apa yang menjadi permasalahan dalam ilmu hukum pidana, yaitu 3 kritik yang
dilontarkan oleh Heijder adalah normatif sistematis, naif empiris, dan refleksi filsafati.10
Teori diatas sudah sangat tepat untuk menjawab permasalahan yang terjadi dalam
penegakan hukum pidana di Indonesia, pertama tentang normatif sistematis ini adalah
peraturan perundang-undangan yang selama ini masih menjadi permasalahan para
aparat penegak hukum lebih khususnya pada tindak pidana pasar modal, kedua naif
empiris atau sebuah fakta yang terjadi di masyarakat yang berkaitan dengan penegakan
hukum pidana terutama dalam bidang pasar modal, ketiga mengenai refleksi filsafati ini
adalah melalui perenungan dan evaluasi bagi pembuatan hukum pidana menjadi lebih
baik dan tetap menggunakan asas-asas hukum pidana dan tidak meninggalkan sistem
hukum pidana yang ada.
Sesuai dengan perkembangan kejahatan yang semakin canggih maka hukum pidana
seolah oelah tidak mampu melakukan pencegahan baik melalui upaya penal maupun
non penal kejahatan yang semakin komplek, terjadi perkembangan dengan adanya
pemidanaan terhadap korporasi yang pada mulanya ada adeguim bahwa universitas
deliquere non potest (korporasi tidak dapat dipidana) dan Societes delinquerr non
potest (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana.) namun demikian hal itu
sudah tidak berlaku karena ada konsep berkembang yaitu functioneel dadershap.11
Syarat Pertanggung jawaban pidana menurut Roeslan saleh ada tiga yaitu12
a. Dapat mengisyafi makna yang senjatanya daripada perbuatannya.
b. Dapat mengisyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam
pergaulan masyarakat
c. Mempu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
Masalah pertanggungjawaban korporasi ini menjadi masalah adalah sumber hukum yang
harus dipakai oleh penegak hukum untuk melakukan proses penegakan hukum, dalam
KUHP, orang ( natural persoon) hanyalah satu satunya subjek hukum , hal ini ditegaskan
dalam Pasal 59 KUHP, maka demikian ketentuan ini berjasa bagi pengurus untuk
meniadakan alasan penghapus pidana, sepanjang pengurus itu dilakukan melakuakan
perbuatan turut serta( deelneming), ini menunjukkan bahwa hanya perorangan lah yang
dapat dipertanggung jawabkan melakukan pidana13 Hal ini mendapat catatan dari Jan
Remmelink bahwa menuntut pertanggungjawaban pidana bagi korporasi adalah hal
yang rumit dalam hukum pidana umum, karena korporasi sebagai entitas yang tidak
memilki akal dan akhalk, tidak sanggup merasa salah dan sesal serta bukan bagian
komunitas bermoral.14 Penegakan hukum terhadap korporasi yang selama ini adalah
masalah dalam tindak pidana pasar modal, Undang undang No 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal mengatur tentang subjek hukum yang berkaitan dengan pertanggung
jawaban hukum pelaku tindak pidana pasar modal. Adresat norma yang digunakan
dalam Undang-undang pasar modal adalah dengan menggunakan kata “ para pihak” hal

10 Eddy OS Hiariej , Asas Legiltas dan penemuan hukum dalam hukum pidana, Jakarta, Erlangga,2009, hlm 12
11 Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban korporasi Bandung, Kencana, 2009,, hlm 17
12 Roesaln Saleh Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana ( dua pengertian dasar dalam hukum pidana),
Jakarta, Aksara baru, 1983, hlm 80
13 , Setiyono Teori dan alur pikir penerapan pertanggung jawaban korporasi ,Op cit hlm 24
14 Jan Remmelink,Komentar atas Pasal-pasal Terpenting Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan
Padanananya dalam kitab Undang-undang hukum pidana Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2003,
hlm 103

396
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ridwan Suryawan Penemuan Hukum terkait dengan Pertanggungjawaban dan
Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Pasar Modal

ini ditegaskan pada ketentuan pidana dalam Undang undang No 8 Tahun 1995 Tentang
pasar modal yaitu;
Pasal 103
1 Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa Izin,
persetujuan, atau pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal
13, Pasal 18, Pasal 30, Pasal34, Pasal 43, Pasal 48, Pasal 50, dan Pasal
64 diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2 Setiap Pihak yang melakukan kegiatan tanpa memperoleh izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 diancam dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)
Pasal 104
Setiap Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal
91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 ayat (1), dan Pasal 98 diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 105
Manajer Investasi dan atau Pihak terafiliasinya yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 106
(1) Setiap Pihak yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 diancam dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah).
(2) Setiap Pihak yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 diancam dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Pasal 107
Setiap Pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihak lain atau
menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah,
mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang memperoleh
izin, persetujuan, atau pendaftaran termasuk Emiten dan Perusahaan Publik diancam
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 108
Ancaman pidana penjara atau pidana kurungan dan denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, dan Pasal 107 berlaku pula bagi
Pihak yang, baik langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi Pihak lain untuk
melakukan pelanggaran Pasal-Pasal dimaksud.

397
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ridwan Suryawan Penemuan Hukum terkait dengan Pertanggungjawaban dan
Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Pasar Modal

Pasal 109
Setiap Pihak yang tidak mematuhi atau menghambat pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 diancam dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda pa ling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Berdasarkan ketentuan pidana dalam Undang-undang No 8 Tahun 1995, pertanggung
jawaban pidana korporasi tidak secara eksplesit disebutkan dengan nama korporasi atau
badan hukum,para pihak menurut Undang-undang No 8 atahun 1995 tentang Pasar
Modal, maka hanya subjek hukum yaitu orang, jika kita melihat pihak pihak dalam
ketentuan Pasal 1 Undang-undang No 8 tentang Pasar Modal maka ada beberapa pihak
yang melakukan kegiatan pasar modal.
Ada beberapa pertanggungjawaban korporasi secara umum a yaitu pertama teori
ficti ( fiction teori) hal ini berlaku fikti hukum yang berarti setiap orang dianggap
tahu undang-undang, dalam perkembangannya hubungan hukum yang terjadi dalam
masyarakat dan menimbukan hubungan hubungan hukum diantaranya korporasi, hal
ini akan menimbulkan teori perbuatan korporasi, teori ini menghasilkan solusi tentang
keberadaan usaha atau korporasi untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu sampai
perbuaan tersebut dapat dipidana dan bagaimana pertanggung jawabannya. Kedua
adalah Teori kekayaan bersama teori ini di kemukakakan oleh Rodulf von Jhering
menurutnya badan hukum sebagai kumpulan manusia dan kepentingan hukum adalah
kepentingan seluruh anggotanya. Ketiga Teori kekeyaan bertujuan yaitu perkembangan
dari teori kekayaan bersama , definisi teori ini adalah kekayaan badan hukum itu tidak
berdiri dari hak-hak sebagaimana lazimnya. Keempat teori organ menurut Chidir ali
yang dikutip Setiyono adalah badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak tetapi
benar benar ada , badan hukum itu suatu organisme yang riil yang hidup dan bekerja
seperti manusia biasa.15
Pemidanaan berkaitan dengan korporasi yang melakukan tindak pidana pasar modal
maka, penulis menggunakan metode pendekatan dengan Undang-undang statuta
aproach untuk mengisi kekosongan hukum yang ada dalam Undang-undang No 8 tahun
1995 tentang pasar modal, hal ini sesuai dengan adagium het recht hinkt achter de feiten
ann (hukum selalu tertinggal dari peritiwanya), maka dalam hal ini penulis mencoba
menjawab permasalahan yang tentang tanggung jawab korporasi, metode penemuan
hukum yang digunakan penulis adalah metode pendekatan undang-undang, maka dari itu
penulis mencoba menguraikaan beberapa Undang-undang yang telah mengatur tindak
pidana yang mengatur pertanggung jawaban korporasi, Undang-Undang No 31 tahun
1999 Jo 20 Tahun 2001 tentang Pembarantasan Tindak pidana Korupsi, menyebutkan
bahwa “ korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, dan adresat norma dalam
Pasal 1 ayat 3 tersebut adalah orang perseorangan dan badan hukum. Korporasi dalam
Undang-undang no 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup menggunakan kata ‘’ Setiap Orang” , Penulis beranggapan bahwa Adressat yang
dimaksud Oleh pembentuk Undang-undang bertujuan untuk Rechtpersoon dan natural
persoon, pertanggungjawaban pidana bagi korporasi menggunakan teori vacarius

15 Setiyono, Teori dan alur pikir penerapan pertanggung jawaban korporasi Op cit, hlm 59-60

398
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ridwan Suryawan Penemuan Hukum terkait dengan Pertanggungjawaban dan
Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Pasar Modal

liability pertanggungjawaban pengganti., dengan demikian bahwa pertanggungjawaban


pidana korporasi kepada korporasi.
Maka penulis berpendapat bahwa aparat penegak hukum bisa menggunakan kata
setiap untuk menjerat korporasi atau badan hukum yang melakukan tindak pidana
dalam Undang-undang Pasar Modal,hal ini menurut penulis merupakan bagian dari
metode penemuan hukum, dalam metode penemuan hukum ada beberapa cara untuk
penemuan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah adalah
proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum yang berkecimpung dalam
proses penegakan hukum dan mempunyai tugas menerapkan peraturan hukum umum
pada peristiwa konkret.16 Memang dalam UU PM ketidakjelasan pertanggung jawaban
korporasi memunculkan banyak akan menjadi persoalan jika korporasi melakukan
tindak pidana, dalam doktrin ada teori strict liability( pertanggungjawaban ketat) maka
penegak hukum bisa menggunakan teori tersebut.Hemat penulis, ada dua unsur penting
dalam penemuan hukum pertama sumber hukum dan yang kedua fakta hukum, jika
dikaitkan dengan pertanggung jawaban korporasi dalam pendekatan Vacarius liability.
Adagium exeptio format regulam jika terjadi penyimpangan terhadap aturan umum
dilakukan, maka penyimpangan tersebut harus dilakukan secara sempit.17 Hal ini
sejalan dengan metode penemuan hukum, Metode penemuan hukum ada beberapa cara
yakni pertama interpretasi gramatikal yaitu metode ini adalah untuk mengetahui
makna undang-undang yang ditafsirkan dengan bahasa umum sehari hari. Kedua
Interpretasi sistematis atau logis yakni menafsirkan peraturan perundang-undangan
dengan menghubungkan dengan peraturan hukum atau peraturan lainnya. Ketiga
intepretasi historis yaitu penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan
menggnakan pendekatan sejarah terjadinya, penafsiran ini menggunakan sejarah
dan menggunakan sejarah lahirnya Undang-undang tersebut. Keempat interpretasi
sosiologis secara singkat interprestasi ini hanya berlaku bagi hakim untuk menafsirkan
undang-undang sesuai dengan maksud dan tujuan para pembentuk Undang-undang
daripada kata-kata dalam undang-undang.18
Penulis berpendapat pertanggung jawaban terhadap korporasi yang melakukan tindak
pidana Pasar modal, maka menggunakan Metode penemuan hukum Intepretasi sistematis
atau logis, hal ini dengan menggunakan metode pertanggungjawaban korporasi yang
ada dalam peraturan perundang-undangan lainya, penulis telah menguraikan beberapa
Undang-undang yang berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi, “setiap pihak”
secara logis bisa dimaknai dengan “setiap orang”

B. Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Pasar Modal di masa mendatang?


Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, sistem hukum yang ada dalam adalah
warisan kolonial Belanda dikarenakan Indonesia dijajah oleh belanda kurang lebih 350
tahun, hal ini sangat berpengaruh terhadap sistem hukum yang ada di Indonesia, jiwa
dan sifat kolonialisme masih mengakar dalam sistem hukum Indonesia, dalam beberapa
peraturan perundang undangan masih menggunakan peninggalan Belanda yaitu Wetboek
van Strafrecht voor Netherland Indish ( KUHP) dan Burgelijk wetboek (KUHPerdata),

16 Sudikno Mertokusumo, , Penemuan Hukum, sebuah pengantar, Yogyakarta, Liberty 2000 , hlm 38
17 Eddi OS Hiariej, Asas Legiltas dan penemuan hukum dalam hukum pidana, Op cit hlm 60
18 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar Op cit hlm 55-58

399
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ridwan Suryawan Penemuan Hukum terkait dengan Pertanggungjawaban dan
Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Pasar Modal

yang notabene kedua peraturan tersebut sangat berdampak pada segala aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara, setelah tahun 1950 pemerintah pada waktu itu tidak suka dengan
peninggalan kolonialisme sehingga, pemerintah Indonesia ingin merubah segala aspek
peraturan perundang-undangan yang mempunyai jiwa nasionalisme yang berakar pada
falsafah bangsa Indonesia yaitu pancasila. Pembaharuan dalam bidang hukum ini disebut
juga sebagai Politik hukum. Sistem pemidanaan yang dianut oleh Wetbook van strafrecht (
WVS) adalah (daad strafrecht) yaitu pemidanaan yang hanya berdasarkan dan bersandarkan
hanya pada perbuatan seseorang, sedangkan RUU KUHP mengalami perubahan yaitu tidak
hanya pebuatan tetapi masalah pertanggung jawaban pidana ( daad dader starfrecht).
RUU KUHP telah mengatur bahwa subjek hukum pidana adalah orang dan badan hukum,
hal demikian jika dikaitkan dengan pemidanaan terhadap korporasi, maka dalam Undang
Undang Pasar Modal harus menyesuikan dengan RUU KUHP, hal ini sesuai dengan Prinsip
Harmoni sistem, prinsip ini menurut Barda Nawawi Arief adalah setiap perumusan
ketentuan pidana dalam RUU/UU yang berada dalam sistem hukum pidana , maka
seyogyanya harus tetap menyesuaikan dengan hukum pidana Materil yang berlaku saat ini.19
Maka demikian pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana pasar modal
harus tunduk dengan aturan umum/materiil atau KUHP. Jika dikaitkan dengan pemidanaan
kedepan, maka dalam sistem Pemidanaan RUU KUHP 2019 telah mengatur korporasi
sebagai subjek hukum, hal ini tertuang dalam Pasal 45 RUU KUHP, yaitu;
Pasal 45
(1) Korporasi merupakan subjek Tindak Pidana.
(2) Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup badan hukum yang
berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta perkumpulan baik yang
berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk
firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 46
Tindak Pidana oleh Korporasi merupakan Tindak Pidana yang dilakukan oleh pengurus
yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi atau orang
yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk
dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi, dalam lingkup usaha
atau kegiatan Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Pasal 47
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Tindak Pidana oleh Korporasi
dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi
yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat mengendalikan Korporasi.
Pasal 48
Tindak Pidana oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 dapat
dipertanggungjawabkan, jika

19 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Formulasi ketentuan Pidana dalam peraturan perundang-undangan, Semarang,
Penerbit Pustaka Magister,,2016, hlm 13

400
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ridwan Suryawan Penemuan Hukum terkait dengan Pertanggungjawaban dan
Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Pasar Modal

a. termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran
dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi Korporasi
b. menguntungkan Korporasi secara melawan hukum; dan 13 c. diterima sebagai
kebijakan Korporasi. Pasal 43
Pasal 49
Pertanggungjawaban atas Tindak Pidana oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 dikenakan terhadap Korporasi, pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional,
pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat Korporasi. Pasal 44
Pasal 50
Alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan
fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi dapat
juga diajukan oleh Korporasi sepanjang alasan tersebut berhubungan langsung dengan
Tindak Pidana yang didakwakan kepada Korporasi
Hemat penulis setelah mencermati Pasal-Pasal dalam RUU KUHP berkaitan dengan
pemidanaan terhadap korporasi dalam RUU KUHP ke depan sesuai dengan prinsip
harmonisasi sistem, maka korporasi secara mutatis mutandis langsung bisa dimintai
pertanggungjawaban pidana. Hal ini sesuai dengan pola pemidanaan dan pedoman
pemidanaan yang ada dalam RUU KUHP, dengan ini penulis ingin mencoba menjelaskan
pedoman pemidanaan terhadap korporasi yaitu;
Pasal 56
Dalam pemidanaan terhadap Korporasi wajib dipertimbangkan
a. tingkat kerugian atau dampak yang ditimbulkan;
b. tingkat keterlibatan pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional Korporasi dan/
atau peran pemberi perintah, pemegang kendali, pemberi perintah, dan/atau pemilik
manfaat Korporasi;
c. lamanya Tindak Pidana yang telah dilakukan;
d. frekuensi Tindak Pidana oleh Korporasi;
e. bentuk kesalahan Tindak Pidana;
f. keterlibatan Pejabat;
g. nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat;
h. rekam jejak Korporasi dalam melakukan usaha atau kegiatan;
i. pengaruh pemidanaan terhadap Korporasi; dan/atau
j. kerja sama Korporasi dalam penanganan Tindak Pidana
Dengan adanya ketentuan pedoman pemidanaan diatas maka kedepan pemidanaan terhadap
korporasi yang melakukan tindak pidana dalam bidang Pasar Modal, hakim dalam menimbang
(ratio decidendi) akan selalu berpedoman dengan ketentuan pasal diatas, sehingga kepastian
hukum terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana pasar modal akan terakomodasi,
hal ini sesuai dengan apa yang menjadi fokus perancang RUU KUHP dan secara teori sudah
sesuai apa yang menjadi persoalan yang selama ini terus menerus dialami oleh penegak
hukum, ambiguitas ketentuan perundang-undangan yang menjadi payung hukum terhadap
korporasi yang melakukan tindak pidana akan dapat dipidana.
Pemidanaan terkait dengan korporasi dalam pasar modal adalah sebuah tantangan bagi
aparat penegak hukum, dikarenakan kepentingan Pasar dan ekonomi akan jauh lebih besar
manfaatnya ketimbang kepastian hukum. Berkaiatan dengan adanya pandemi Covid 19 maka

401
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ridwan Suryawan Penemuan Hukum terkait dengan Pertanggungjawaban dan
Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Pasar Modal

F. Kesimpulan
Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pasar modal, selama ini belum
menunjukkan progres atau sudah sesuai harapan, dikarenakan dalam subjek Hukum atau
adresat yang tertuang dalam UU PM adalah kata “ setiap pihak”hal ini menyebabkan
keraguan bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penegakan hukum terhadap korporasi
yang diduga melakukan tindak pidana Pasar modal/.
Pemidanaan berkaitan dengan korporasi ini kedepan akan menggunakan pendekatan harmoni
sistem, sehingga walaupun dalam undang-undang a-quo tidak secara eksplisit tertuang dalam
Undang-Undang terkait, maka dengan menggunakan ketentuan hukum pidana materiil atau
KUHP kedepannya korporasi secara mutatis mutandis akan bisa dipidana dengan sendirinya

Daftar Pustaka
Buku
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, cet 3, Alumni , Bandung, 2010
..................................., Kebijakan Formulasi ketentuan Pidana dalam peraturan perundang-
undangan, Penerbit Pustaka Magister, Semarang ,2016
F Sugeng Istanto, Penelitian Hukum, Ganda Yogyakarta 2007
Hiariej, Eddi OS , Asas Legiltas dan penemuan hukum dalam hukum pidana, Erlangga Jakarta,
2012
Jan Remmelink, Komentar atas Pasal-pasal Terpenting Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Belanda dan Padanananya dalam kitab Undang-undang hukum pidana Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban korporasi, kencana, Bandung, 2009
Mukti fajar dan Yulianto ahmad, Dualisme penelitian Hukum normatif dan empiris, pustaka
pelajar, Yogyakarta, 2010
Najib A.Gisymar ,“Insider Trading dalam Transaksi Efek”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
Roeslan Saleh Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana ( dua pengertian dasar dalam
hukum pidana), aksara baru Jakarta, 1983,
Setiyono Teori-teori dan alur pikir penerapan pertanggung jawaban korporasi, Bayumedia,
Malang, 2012
Suad Husnan,“Teori Portfolio dan Analisis Sekuritas”,UPP STIM YKPN, Yogyakarta, 1998
Sudikno Mertokusumo,Penemuan Hukum, Sebuah pengantar,Liberty ,Yogyakarta , 2000

402
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Firstananda Probojati Hartito Kajian terhadap Pendekatan Konsep Follow the Money
untuk Memberantas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

KAJIAN TERHADAP PENDEKATAN KONSEP FOLLOW THE MONEY


UNTUK MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Firstananda Probojati Hartito1

ABSTRAK
Kasus tindak pidana korupsi di Indonesia semakin mengalami peningkatan dari masa ke masa.
dapat diketahui bahwa tindak pidana korupsi telah menjadi masalah besar bagi bangsa Indonesia
selama beberapa dekade. Tentu saja berbagai penegakan hukum yang ada juga sedikit banyak
dipengaruhi oleh perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang semakin pesat dan
tidak terelakkan Pendekatan follow the money dinilai sebagai upaya yang lebih tepat dalam
menyelesaikan masalah tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia karena melalui pendekatan
follow the money dapat ditelusuri ke mana aliran sumber uang hasil tindak pidana korupsi.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kajian terhadap pendekatan konsep follow the money
untuk memberantas tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia. Penulis menggunakan metode
penelitian hukum yang doctrinal atau normative. Pengungkapan dimulai dengan cara mengejar
aset (aliran dana/transaksi keuangan) terlebih dahulu, selanjutnya baru mengungkap tindak
pidana yang dilakukan dan pelakunya. hakikatnya dalam penggunaan follow the money dalam
penyelesaian masalah tindak pidana korupsi di Indonesia sudah cukup efektif namun masih ada
kekurangan yang belum bisa teratasi dalam penerapannya, dikarenaka semua aspek yang dituju
dalam penerapaan follow the money belum semuanya sesuai.
Kata Kunci : Penegakan Hukum, follow the money, Tindak Pidana Korupsi

A. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara hukum (rechstaats) mencerminkan bahwa hukum mengatur
kehidupan di masyarakat, guna mencapai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Namun, tak jarang perkembangan hukum dari waktu ke waktu menyebabkan hukum
memperoleh sebutan sebagai “pedang bermata dua” karena pada satu sisi hukum melindungi
kepentingan masyarakat, namun dalam sisi lain pelaksanaannya justru menyebabkan
penderitaan hukum.2 Tentu saja berbagai penegakan hukum yang ada juga sedikit banyak
dipengaruhi oleh perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang semakin pesat dan
tidak terelakkan. Hukum diperlukan sebagai perlindungan individu maupun masyarakat.3
Kemajuan peradaban umat manusia, di bidang ilmu pengetahuan, Teknik informasi,
komunikasi dan transportasi sudah melanda hampir seluruh dunia tanpa terkecuali.
Globalisasi di segala bidang berjalan sangat cepat sehingga tidak mungin satu negara
mengisolasi diri secara politik, sosial budaya dan ekonomi.4 Terdapat adagium lama yang
menyatakan bahwa semakin miskin suatu bangsa, semakin tinggi kejahatan yang terjadi.
Namun adagium tersebut tampaknya sudah mulai tak berlaku di era globalisasi yang serba

1 Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutarmi 36 Kentingan, Jebres, Surakarta,
Jawa Tengah, Indonesia, firstanandahartito@gmail.com, S.H (Universitas Sebelas Maret)
2 Muhammad Taufiq. 2012. Mahalnya Keadilan Hukum. Surakarta: MT&Law Firm. Hlm. 4
3 Muhammad Taufiq. 2014. Keadilan Substansial Memangkas Rantai Birokrasi Hukum. Surakarta: MT&Law Firm. Hlm. 129
4 Dwidja Priyatno. 2018. Bunga Rampai Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Reka Cipta. Hlm. 1

403
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Firstananda Probojati Hartito Kajian terhadap Pendekatan Konsep Follow the Money
untuk Memberantas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

mengalami perkembangan di berbagai bidang.


Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi memberikan berbagai dampak baik dari
segi positif maupun negatif. Salah satu dampak negatif yang menerjang Indonesia berkaitan
dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah kejahatan dengan motif
ekonomi yang marak terjadi, baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun organisasi
atau perusahaan dalam batas wilayah negara maumpun melintasi batas wilayah negara
lain. Perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia semakin pesat seiring dengan
perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Kasus tindak pidana korupsi
seakan tidak pernah memiliki kata sudah dalam perkembangannya. Sejarah korupsi
bermula sejak awal kehidupan manusia bermasyarakat, yakni pada tahap tatkala organisasi
kemasyarakatan yang rumit mulai muncul. Seperti gejala kemasyarakatan lainnya, korupsi
banyak ditentukan oleh berbagai faktor5
Kasus tindak pidana korupsi di Indonesia semakin mengalami peningkatan dari masa ke masa.
Menurut Hendi Yogi Prabowo, Jaka Sriyana, Muhammad Syamsudin (2018) menyatakan
bahwa: “In Indonesia corruption has been a major problem for decades. It robs the economy
of its competitiveness and effectiveness as well as eroding public trust in government)”.6
Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa korupsi telah menjadi masalah besar
bagi bangsa Indonesia selama beberapa dekade. Dampak buruk dari korupsi sendiri seperti
merampas daya saing perusahaan dan mengikis efektivitas kepercayaan rakyat. Tindak
pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar negara, melainkan
juga penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha,
sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta
membahayakan eksistensi negara.7 Banyaknya kasus tindak pidana korupsi yang terjadi
serta jumlah kerugian yang ditanggung negara merupakan bukti nyata bahwa tindak pidana
korupsi adalah masalah penting yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Kasus tindak pidana
korupsi tidak hanya terjadi di kota-kota besar besar, akan tetapi perkembangannya sudah
menjalar hingga berbagai daerah di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, kasus tindak pidana korupsi di Indonesia menunjukkan
perkembangannya dari tahun ke tahun. Terlihat dari perhatian pemerintah akan hal tersebut
kemudian membentuk suatu komisi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas
tindak pidana korupsi di Indonesia. Hal ini membawa sebuah perubahan besar dalam sejarah
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Pada masa keterbukaan informasi seperti
sekarang ini masyarakat semakin ingin tahu dan menuntut keterbukaan informasi mengenai
perkembangan penanganan kasus tindak pidana korupsi. Media informasi dalam hal ini
memberikan andil yang besar terhadap penyampaian informasi mengenai tindak pidana
korupsi yang sedang terjadi di Indonesia. Efektivitas penegak hukum dapat dicapai dengan
penegakan substansial peraturan perundang-undangan.8
Menyadari permasalahan tindak pidana korupsi merupakan masalah yang kompleks maka

5 Alatas. 1987. Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi. Jakarta: Media Pratama. Hlm. 1
6 Hendi Yogi Prabowo, Jaka Sriyana, Muhammad Syamsudin. 2018. Forgetting corruption: unlearning the knowledge of corruption in
the Indonesian public sector. Journal of Financial Crime. https://www.emeraldinsight.com/doi/full/10.1108/JFC-07-2016-0048
7 Nyoman Serikat Putra Jaya. 2005. Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponergoro. Hlm. 5
8 Muhammad Taufiq. 2018. Kejahatan Korporasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 2

404
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Firstananda Probojati Hartito Kajian terhadap Pendekatan Konsep Follow the Money
untuk Memberantas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Tindak Pidana Korupsi menjadi hal yang penting untuk dihadapi melalui langkah-langkah
yang tegas dan jelas. Pemberantasan tindak pidana korupsi secara hukum dapat dilakukan
dengan mengandalkan diperlakukannya Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan berbagai ketentuan terkait yang bersifat repressif. Undang-Undang yang
dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi.
Penegakan hukum yang konsisten dan terpadu juga akan membawa kemanfaatan bagi
masyarakat yaitu timbulnya efek jera, sehingga dapat mencegah seseorang yang hendak
melakukan tindak pidana korupsi. Manfaat lainnya ialah tumbuhnya kepercayaan
masyarakat terhadap upaya penegakan hukum dan aparatur penegak hukum, sehingga
dukungan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum akan menguat. Sebaliknya bila
terjadi inkonsistensi dan ketidakterpaduan dalam penegakan hukum, masyarakat akan
menilai bahwa dalam proses penegakan hukum terjadi tarik menarik kepentingan, sehingga
kepercayaan kepada penegak hukum akan melemah. Implikasinya, hal ini akan melemahkan
budaya hukum dan kepatuhan terhadap hukum oleh masyarakat9
Berdasarkan pendahuluan diatas maka penelitian dengan judul kajian terhadap pendekatan
konsep follow the money untuk memberantas tindak pidana korupsi di Iinndonesia

B. Metode penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau dikenal
dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kasus (case approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).

C. Pembahasan
Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruption atau corruptus, dan
istilah bahasa Latin yang lebih tua dipakai istilah corumpere. Dari bahasa Latin itulah turun
keberbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa seperti Inggris: corruption, Prancis: corruption,
dan Belanda corruptive dan korruptie, yang kemudian turun kedalam bahasa Indonesia
menjadi Korupsi. Korupsi merupakan gejala di mana para pejabat, badan-badan negara
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan
lainnya.10
Berdasarkan Black Law Dictionary, pengertian korupsi yang dikutip dengan, “Corruption
an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the
right of others. The act of an official of fiduciary person who unlawfully and wrongfully

9 Bambang Waluyo. Optimalisasi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jurnal Yuridis. Vol. 1 Nomor 2. 2014 (Desember – 2014). Hlm.
179
10 Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. 2007. Hlm. 8

405
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Firstananda Probojati Hartito Kajian terhadap Pendekatan Konsep Follow the Money
untuk Memberantas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person,
contrary to duty and the right of other”.11 Dapat diartikan bahwa korupsi merupakan suatu
perbatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan
yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya.
Pendekatan follow the money dikenal juga sebagai pendekatan anti-pencucian uang.
Pendekatan follow the money pertama kali diperkenalkan secara formal oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1998 dalam Konvensi Wina yaitu Convention Againts Illicit
Traffic in Narcotics and Psychotropic Substance.12 Pendekatan follow the money berupaya
menemukan uang/harta benda/kekayaan lain yang dapat dijadikan sebagai alat bukti (obyek
kejahatan) dan sudah barang tentu setelah melalui analisis transaksi keuangan dan dapat
diduga bahwa uang tersebut sebagai hasil kejahatan, berbeda halnya dengan pendekatan
konvensional yang menitik beratkan pada pencarian pelaku secara langsung setelah
ditemukan bukti-bukti permulaan.
Pendekatan follow the money mendahulukan mencari uang atau harta kekayaan hasil tindak
pidana dibandingkan dengan mencari pelaku kejahatan. 13 Setelah mendapatkan titik temu
mengenai uang atau harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana, kemudian akan
dilakukan langkah selanjutnya untuk mencari pelaku kejahatan. Melalui pendekatan follow
the money yang dapat dikatakan sebagai pendekatan “mengikuti aliran dana” maka dapat
diungkap siapa pelaku, jenis tindak pidana serta di mana tempat dan jumlah harta kekayaan
di sembunyikan.14
Melihat dari sisi kriminologi, pendekatan ini berkeyakinan bahwa hasil kejahatan merupakan
darah yang menghidupi kejahatan itu senditi (life-blood of the crime). Dengan demikian,
apabila darah kejahatan dapat dideteksi dan dirampas oleh negara, maka terdapat kesempatan
untuk menurunkan tingginya angka kejahatan di Indonesia.
Pendekatan follow the money mempunyai keunggulan antara lain:
1. Pendekatan follow the money mempunyai jangkauan yang lebih jauh sehingga dirasakan
lebih adil karena pendekatan follow the money memprioritaskan untuk mengejar hasil
kejahatan, bukan pelaku kejahatan, sehingga dapat dilakukan dengan diam-diam, lebih
mudah, resiko lebih kecil karena tidak berhadapan langsung dengan pelaku yang kerap
mempunyai potensi melakukan perlawanan.
2. Pendekatan ini mengejar hasil kejahatan yang nantinya dibawa ke depan proses hukum
dan disita untuk negara karena pelaku tidak berhak menikmati harta yang diperoleh
dengan cara tidak sah. Melalui proses penyitaan hasil tindak pidana, motivasi seseorang
melakukan tindak pidana untuk mencari harta menjadi berkurang atau hilang.
3. Harta atau uang merupakan tulang punggung organisasi kejahatan. Mengejar dan
menyita harta kekayaan hasil kejahatan akan memperlemah para pelaku sehingga tidak
membahayakan kepentingan umum.
4. Terdapat pengecualian ketentuan kerahasiaan bank atau rahasia lainnya sejak pelaporan
transaksi oleh penyedia jasa keuangan (PJK) sampai pemeriksaan selanjutnya oleh
penegak hukum. Hal ini akan dapat mengungkap oknum-oknum atau pelaku yang
menjadi dalang maupun menerima hasil uang kejahatan dengan cara melihat keadaan

11 Surachmin dan Suhandi Cahaya. Strategi dan Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. 2011. Hlm. 10
12 Yunus Hussein. 2008. Negeri Sang Pencuci Uang. Jakarta: Pustaka Juanda TIgalima. Hlm. 62
13 Yunus Hussein. Ibid. hlm. 63
14 Yunus Hussein. Ibid. hlm. 64

406
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Firstananda Probojati Hartito Kajian terhadap Pendekatan Konsep Follow the Money
untuk Memberantas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

dan transaksi keuangannya.15


Setiap tindak pidana, setidaknya mempunyai tiga komponen antara lain pelaku, tindak
pidana yang dilakukan dan hasil tindak pidana. Pengungkapan tindak pidana korupsi
melalui pendekatan follow the money perlu dilakukan dikarenakan tindak pidana
korupsi merupakan cikal bakal dari timbulnya tindak pidana lain seperti Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU). Harta atau uang hasil dari tindak pidana korupsi dialihkan atau
dibersihkan alirannya guna menghilangkan jejak. Sehingga, demikian terjadilah Tindak
Pidana Pencucian Uang. Melalui pendekatann follow the money dapat ditelusuri ke mana
alirana dana hasil tindak pidana korupsi. Penelusuran aliran dana hasil tindak pidana
korupsi sangat penting untuk dilaksanakan dalam konteks untuk tujuan memiskinkan.
Sehingga, fokus selanjutnya mengenai penelusuran aliran dana hasil tindak pidana
korupsi mengarah pada dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu hasil tindak
pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Sehingga,
terlihat adanya korelasi bahwa tindak pidana korupsi merupakan cikal bakal dari
suatu tindak pidana lain yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan menggunakan
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) pengungkapan kasus
tindak pidana korupsi dapat diawali dengan menelusuri aliran dana atau transaksi yang
dilakukan oleh tersangka kasus tindak pidana korupsi. Sehingga, pendekaran follow
the money tidak menitik beratkan pada pengakuan tersangka, akan tetapi melakukan
strategi pengembangan penyidikan dengan cara mencari tersangka lain di mana aliran
dana hasil tindak pidana bermuara.
Pendekatan follow the money dalam mencari hasil dari tindak pidana menggunakan
pendekatan analisis keuangan (financial analysis). Pendekatan financial analysis
menggunakan akutansi dan ilmu pengetahuan yang terkait. Ilmu akutansi yang digunakan
adalah akutansi forensik (forensic accounting).16 Penanganan pendekatan follow the
money menggunakan empat tahapan dasar dalam proses investigasi. Proses investigasi
merupakan proses rekonstruktif yang menggunakan penalaran deduktif berdasarkan
bukti-bukti spesifik untuk menetapkan bukti bahwa seorang tersangka bersalah atas
kejahatan yang dilakukan.17
Selain mempunyai kelebihan, pendekatan follow the money mempunyai kendala dalam
penerapannya dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi, antara lain18:
1. Hambatan Identifikasi Laporan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan
(LKTM) dan Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK
Penanganan kasus tindak pidana korupsi melalui pendekatan follow the money
berguna untuk mencari hasil dari tindak pidana. Di mana seperti yang diketahui,
tindak pidana korupsi merupakan awal dari munculnya tindak pidana lain seperti
Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering). Upaya awal dari pendekatan

15 Yunus Hussein. Ibid. hlm. 66


16 Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003. Hlm. 63
17 Swanson, Charles .R, Neil C. Chamelin and Leonard Territo. Criminal Investigation Eight Edition. New York: McGraw-Hill.2003.
Hlm. 3
18 www. PPATK E-LEARNING.com. Pengenalan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme

407
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Firstananda Probojati Hartito Kajian terhadap Pendekatan Konsep Follow the Money
untuk Memberantas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

follow the money untuk mengungkap kasus tindak pidana korupsi adalah dengan
melakukan identifikasi laporan transaksi keuangan yang mencurigakan (LKTM)
yang dilaporkan oleh Penyedia Jasa Keuangan. Hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan identifikasi ini seperti profil, pola transaksi dan perilaku mengindari
dari pelaporan bank. Dalam identifikasi LKTM yang dilaporkan oleh PJK banyak
menimbulkan masalah. Tindakan pendekatan follow the money merupakan upaya
untuk mengejar hasil dari tindak pidana, di mana identifikasi tersebut mempunyai
kesamaan dengan tindak pencucian yang menorobos kerahasiaan bank. Hal tersebut
dikarenakan, rekening nasbah merupakan rekening yang bersifat privat antara orang
dengan bank.
2. Hambatan tempat dan waktu
Banyak permasalahan muncul ketika proses penangan kasus yang melibatkan lintas
negara sehingga aturan hukum yang diberlakukan dalam melakukan koordinasi
dengan penegak hukum negara yang bersangkutab. Kaitannya dengan pendekatan
follow the money adalah adanya aset yang merupakan hasil dari tindak pidana
korupsi yang berada di luar negeri. Sedangkan untuk dapat menelusuri aset tersebut
dipelrukan penyidikan langsung terhadap aset tersebut. Penanganan yang bisa
dilakukan dalam kasus tersebut adalah Mutual Legal Assistance (MLA). Selain itu,
juga diperlukan kerjasama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
dan Departemen Luar Negeri untuk mengurus perizinan penyidikan dengan
polisi di luar negeri. Selain itu, berkaitan dengan hambatan waktu, sistem untuk
pemblokiran harta kekayaan seseorang pelaku dilakukan paling lama 30 (tiga
puluh) hari. Dalam hal ini menjadi masalah proses penanganan kasus tindak pidana
korupsi yang memerlukan waktu yang cukup lama berdasarkan tingkat kerumitan
kasus tindak pidana korupsi. Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari penyidikan
terhadap suatu kasus belum selesai, maka rekening pelaku yang berisi harta
kekayaan yang diketahui merupakan hasil tindak pidana akan dicairkan kembali.
Hal ini bisa menjadi celah baru bagi pelaku untuk memanfaatkan kembali harta
kekayaannya tersebut.

D. Simpulan
Pada hakikatnya dalam penggunaan follow the money dalam penyelesaian masalah tindak
pidana korupsi di Indonesia sudah cukup efektif namun masih ada kekurangan yang belum
bisa teratasi dalam penerapannya , dikarenaka semua aspek yang dituju dalam penerapaan
follow the money belum semuanya. Pelaksanaan pendekatan follow the money yang dilakukan
selain mempunyai banyak manfaat, juga memberikan beberapa hambatan seperti hambatan
Identifikasi Laporan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan (LKTM) dan Laporan Hasil
Analisis (LHA) PPATK dan hambatan waktu dan tempat.

E. Saran
Saran dari penulis Pelaksanaan pendekatan follow the money perlu dilakukan mengingat dapat
langsung menyasar kepada di mana dan dari mana sebuah aliran dana ditelusuri, akan tetapi
mengingat adanya hambatan-hambatan yang ditimbulkan maka diperlukan pengembangan
dari berbagai pihak untuk dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pelaksaan follow the
money.
DAFTAR PUSTAKA

408
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Firstananda Probojati Hartito Kajian terhadap Pendekatan Konsep Follow the Money
untuk Memberantas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Buku
Alatas. 1987. Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi. Jakarta: Media Pratama.
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2003. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Dwidja Priyatno. 2018. Bunga Rampai Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Reka Cipta.
Evi Hartanti. 2007. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad Taufiq. 2012. Mahalnya Keadilan Hukum. Surakarta: MT&Law Firm.
. 2014. Keadilan Substansial Memangkas Rantai Birokrasi Hukum. Surakarta:
MT&Law Firm.
. 2018. Kejahatan Korporasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nyoman Serikat Putra Jaya. 2005. Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponergoro.
Surachmin dan Suhandi Cahaya. 2011. Strategi dan Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Swanson, Charles .R, Neil C. Chamelin and Leonard Territo. 2003. Criminal Investigation Eight
Edition. New York: McGraw-Hill.
Yunus Hussein. 2008. Negeri Sang Pencuci Uang. Jakarta: Pustaka Juanda Tigalima.

Jurnal
Bambang Waluyo. 2014. Optimalisasi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jurnal Yuridis. Vol.
1 Nomor 2 (Desember – 2014).
Hendi Yogi Prabowo, Jaka Sriyana, Muhammad Syamsudin. 2018. Forgetting corruption:
unlearning the knowledge of corruption in the Indonesian public sector. Journal of
Financial Crime.
https://www.emeraldinsight.com/doi/full/10.1108/JFC-07-2016-0048

Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.

Internet
http://elearning.ppatk.go.id/pluginfile.php/269/mod_page/content/5/Mod%201%20-%20
Bag%201%20-%20Pengenalan%20Pencucian%20Uang.pdf
Pengenalan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme – diakses pada tanggal 22 juli 2020
pada pukul 21.16 WIB.

409
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dwiva Amalia Tarvianty Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Penimbunan
Barang Bernilai Penting di Masa Pandemi

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU


PENIMBUNAN BARANG BERNILAI PENTING DI MASA PANDEMI
Dwiva Amalia Tarvianty1, Mohammad Jamin2

Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal yang mengkaji urgensi pertanggungjawaban
pidana terhadap penimbunan barang bernilai penting di masa pandemi. Pandemi COVID-19
telah mengubah wajah dunia, dan memberikan dampak di berbagai bidang, salah satunya di
bidang ekonomi. Dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19, masyarakat memberikan
reaksi terlalu responsive dikarenakan terjadi kondisi panic buying diluar kendali. Pemerintah
Indonesia memiliki sejumlah instrumen hukum terkait penimbunan barang, namun kondisi
faktual di lapangan menunjukkan bahwa implementasi dari instrumen tersebut belum berjalan
maksimal. Berdasarkan kondisi tersebut, maka terdapat keadaan mendesak (urgensi) yang
mendorong pemerintah guna mengeluarkan sejumlah kebijakan baik yang bersifat himbauan
dan/atau aturan tegas guna mengatasi masalah tersebut.
Kata Kunci: Pandemi COVID-19, Penimbunan Barang, Pertanggungjawaban Pidana.

Abstract
The legal research is doctrinal legal that examines the urgency of criminal liability for the
hoarding of valuable goods in the pandemic. The COVID-19 Pandemic has changed the world,
and has had an impact in various fields, one of which is in the economic field. In order to prevent
the spread of COVID-19, the community gave a responsive reaction to a number of goods that
were considered to have valuable goods for the preventive action of the spread of COVID-19,
hence the condition of panic buying was out of control. Indonesia has few legal instruments
which related to the hoarding of goods valuable. Eventhough, in factual conditions indicate that
the implementation of these instruments has not been running optimally. Under these conditions,
there is an urgency that urges the government should do any policies that are appealing and/or
strict rules to overcome the problems.
Keywords: The COVID-19 Pandemic, Panic Buying, Criminal Liability.

A. Pendahuluan
Dalam beberapa dekade terakhir, beberapa penyakit baru telah muncul di dunia antara lain
Ebola, Flu Spanyol, dan Zika. Pada Desember 2019 telah muncul penyakit yang bermula
dari Kota Wuhan, Cina yang disebabkan oleh virus SARS-Cov-2 dengan penyakit yang
kemudian disebut dengan COVID-19.3 Dalam kurun waktu hitungan bulan, COVID-19 telah
berubah menjadi pandemi kesehatan global yang telah menyerang hampir seluruh negara di

1 Mahasiswa Magister Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia, dwivaa@gmail.com


2 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia, mohjamin@staff.uns.ac.id
3 … recently there are new virus infection has emerged in Wuhan City, China with initial genomic sequencing is CoVs, suggesting a
novel COV strain (2019-nCov), which has now been termed as severe acute respiratory syndrome Cov-2 (SARS-CoV-2) or people
nowadays calles it as COVID-19, which followed by human to human transmission. Lihat pada: Kuldep Dhama, Sharun Khan, Ruchi
Tiwari, Shubhankar Sircar, Coronavirus Disease 2019 – COVID19, Peprints Journal, 2020, doi: 10.20944/preprints202003.001.v2,
hal. 2

410
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dwiva Amalia Tarvianty Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Penimbunan
Barang Bernilai Penting di Masa Pandemi

berbagai belahan dunia. Terhitung semenjak 11 Mei 2020, Badan Kesehatan Dunia (WHO)
melaporkan sebanyak 3,9 juta kasus COVID-19 yang terkonfirmasi di antara 216 negara di
dunia, termasuk Indonesia.
Penyebaran COVID-19 menjadi permasalahan global yang menimbulkan berbagai dampak
negatif baik secara ekonomi, sosial, politik, kesehatan dan berbagai bidang lainnya. Pandemi
COVID-19 telah mengubah total wajah ekonomi dunia. Selama satu semester, IMF telah
tiga kali mengubah proyeksi ekonominya.4 Skenario perubahan proyeksi yang dilakukan
oleh IMF menegaskan bahwa dampak COVID-19 terhadap perekonomian lebih luas dari
perkiraan semula. Bank Dunia memperkirakan bahwa ekonomi dunia akan menyusur hingga
5,2% pada tahun 2020. Hal ini mempunyai makna bahwa akan terjadi resesi terdalam sejak
Perang Dunia II, sebagaimana Global Economic Prospects yang dirilis Bank Dunia pada
Juni 2020 bahwa diperkirakan ekonomi akan rebound ke 4,2% pada 2021.5
Pandemi COVID-19 di Indonesia telah menembus 70.736 kasus positif, 32.651 pasien
sembuh dan 3.417 korban meninggal pada tanggal 9 Juli 2020, dengan data sebaran global
telah menyerang 216 negara, terkonfirmasi positif 11.874.226 dan korban meninggal
545.4816 Gelombang pertama COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda berakhir hingga
semester pertama tahun ini ditutup. Tedros Adhanom Ghebreyesus selaku Pimpinan Badan
Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa, “pandemic COVID-19 jauh dari kata selesai,
sebagian besar orang masih memiliki probabilitas menjadi suspect, virus masih memiliki
ruang yang luas untuk bergerak.”7 Nampaknya, Indonesia menjadi salah satu negara yang
masih harus berjuang keras untuk keluar dari jeratan COVID-19.
Dalam rangka menanggulangi penyebaran COVID-19, pemerintah Indonesia memberikan
sebuah arahan bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan pencegahan seperti menjaga
kesehatan diri melalui upaya mencuci tangan dengan sabun dan/atau menggunakan
handsanitizer, menggunakan masker dan menjaga jarak (social distancing dan physical
distancing). Namun, kekhawatiran yang luar biasa di masyarakat menyebabkan terjadinya
panic buying dalam menyikapi langkah preventif dalam penanganan penyebaran COVID-19
di Indonesia. Kondisi panic buying yang menjadi salah satu dampak dari penyebaran
COVID-19 tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga beberapa negara di dunia seperti
United States. Indonesia telah mengalami kondisi panic buying, terhitung sejak diumumkan
kasus pertama COVID-19 pada bulan Maret 2020, beberapa stok barang seperti hand
sanitizer dan masker mengalami kelangkaan di berbagai kota di Indonesia.8
Pembelian akibat panik (panic buying) adalah jenis perilaku yang ditandai dengan

4 Pada Januari 2020, IMF memperkirakan ekonomi dunia akan tumbuh 3,3%. Namun, pada April 2020 IMF menurunkan proyeksinya
menjadi -3% yang diubah lagi menjadi -4,9% pada Juni 2020. Dengan proyeksi tersebut, IMF memperkirakan total kerugian ekonomi
global selama dua tahun (2020-2021) mencapai 12 triliun dolar akibat krisis. https://tirto.id/mahalnya-harga-lockdown-di-seluruh-
dunia-fMw7 diakses pada tanggal 9 Juli 2020 pukul 21.45 WIB.
5 … COVID-19 has triggered the deepest global recession in the decades. https://www.worldbank.org/en/publication/global-
economic-prospects diakses pada tanggal 9 Juli 2020 pukul 21.47 WIB.
6 Covid19.go.id – diakses pada tanggal 9 Juli 2020 pukul 22.00 WIB
7 …”the COVID-19 pandemic is not even close to being over, World Health Organization Chief told a briefing on Monday 29 June, Chief
of WHO noted that after six months China first alerted the WHO to a novel respiratory infection, the grim milestones of 10 million
confirmed infenctions and 500,000 deaths had been reached. https://www.straitstimes.com/world/europe/who-chief-tedros-says-
coronavirus-pandemic-not-even-close-to-being-over diakses pada tanggal 9 Juli 2020 pukul 22.16 WIB.
8 Putra, Headline: COVID-19 picu panic buying makanan, masker, handsanitizer. https://www.liputan6.com/news/read/4193886/
headline-virus-corona-picu-panic-buying-makanan-masker-hand-sanitizer-bagaimana-meredamnya diakses pada tanggal 9 Juli 2020
pukul 11:38 WIB.

411
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dwiva Amalia Tarvianty Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Penimbunan
Barang Bernilai Penting di Masa Pandemi

peningkatan cepat dalam volume pembelian, biasanya menyebabkan harga suatu barang atau
keamanan meningkat.9 Kajian dari perspektif makro, panic buying mengurangi penawaran
dan menciptakan permintaan yang lebih tinggi, yang mengarah ke inflasi yang lebih tinggi.
Panic buying sering dikaitkan dengan emosi keserakahan yang dapat dikontraskan dengan
penjualan panik, yang dikaitkan dengan ketakutan.10 Pada kajian psikologi, panic buying
memiliki pengertian bahwa adanya perilaku masyarakat (bertindak sebagai konsumen)
yang melakukan pembelian produk dalam jumlah besar agar tidak mengalami kekurangan
di masa depan.11 Kondisi panic buying pertama kali muncul pada tahun 1918 saat terjadi
pandemi flu spanyol.12
Panic buying dapat pula diartikan bahwa terdapat suatu kondisi di mana konsumen atau
masyarakat tertentu memandang gawat sebuah situasi sehingga melakukan perilaku
penimbunan barang.13 Menurut Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development
of Economics and Finance, panic buying dipicu oleh faktor psikologis yang biasanya terjadi
karena informasi yang tidak sempurna atau menyeluruh yang diterima oleh masyarakat.
Akibatnya, timbul kekhawatiran di masyarakat sehingga menimbulkan respons tindakan
belanja secara massif sebagai upaya penyelamatan diri. Terdapat dua bentuk kekhawatiran
yang terjadi di masyarakat yaitu adanya kekhawatiran apabila tidak belanja hari ini, maka
besok barang akan naik dan/atau jika tidak belanja sekarang, maka barang tidak ada. Hal
tersebut yang menjadi pemicu kelangkaan masker dan hand sanitizer.
Keberadaan (terutama) masker, pada masa pandemi merupakan kebutuhan primer. Melihat
nilai esensial yang dimiliki oleh masker di masa pandemi menyebabkan sebagian masyarakat
melakukan penimbunan barang.14 Penimbunan barang yang dilakukan oleh sekelompok
oknum membuat masyarakat geram, karenanya harga masker dan hand sanitizer menjadi
melambung tinggi. Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan berbunyi, “pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/
atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang,
gejolak harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan.”
Larangan di dalam pasal tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang
yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan/atau barang
penting. Namun, pada kenyataannya, masih terdapat banyak kasus mengenai penimbunan
barang yang bernilai krusial di masa darurat. Berdasarkan latar belakang masalah yang
dipaparkan, maka penulis menyusun penelitian hukum yang berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA TERHADAP PELAKU PENIMBUNAN BARANG BERNILAI PENTING DI MASA PANDEMI”.
Penelitian hukum yang disusun oleh penulis bertujuan untuk mengkaji kebijakan hukum pidana
pada tahap penerapan dalam menanggulangi tindak pidana penimbungan barang yang berlaku
(ius constituendum) dan melihat seberapa jauh kebijakan hukum pidana di masa yang akan

9 Radar Bandung, Virus Corona dan Panic Buying yang impulsive, Senin 6 April 2020 https://www.researchgate.net/
publication/340453297_Virus_Corona_dan_Panic_Buying_yang_Impulsif diakses pada tanggal 10 Juli 2020 pukul 10.10 WIB.
10 S. Gupta and J.W. Gentry, Should I Buy, Hoard or Hide?- Consumers responses to perceived scarcity. International Review Retail
Distribution Consumen, 2019, hal. 186
11 B. Shou, H. Xiong dan Z.M. Shen, Consumer Panic Buying and Quota Policy under Supply Disruptions. Hongkong In Working Paper,
2020 hal. 23
12 M. Honigsbaum, Regulating the 1918-19 pandemic: flu, stoicism and the Northcliffe press, Medical History, 2013, https://doi.
ord/10.1017/mdh.2012.101, hal. 166
13 https://tirto.id/panic-buying-dan-dampaknya-terhadap-ekonomi-eDDT diakses pada tanggal 10 Juli 10.25 WIB
14 Imas Novita Juaningsih, Penerapan Sanksi Pidana bagi Penimbun Masker di Indonesia selama masa pandemic COVID-19, Adalah:
Buletin Hukum dan Keadilan, Volume 4 Nomor 1 ISSN: 2338 4638, 2020, hal. 76

412
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dwiva Amalia Tarvianty Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Penimbunan
Barang Bernilai Penting di Masa Pandemi

dating (ius constitutum) sehingga melalui kajian tersebut dapat diketahui urgensi penerapan
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penimbunan barang.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative atau doktrinal, yang bertujuan ntuk
menemukan aturan hukum, prinsip hukum guna menjawab sebuah isu hukum.15 Dalam
penyusunan penelitian hukum, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan
(statue approach) dan pendekatan kasus (case approach).16 Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan jenis data sekunder (secondary data) dengan sumber bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder guna mengkaji isu hukum berupa pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku penimbuan barang bernilai penting di masa pandemi.

C. Pembahasan
COVID-29 merupakan jenis penyakit baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya
yang disebabkan oleh Sars-CoV-2. Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain
gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas.17 Pada 31 Desember 2019,
Badan Kesehatan Dunia (WHO) China Country Office melaporkan kasus pneumonia yang
tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Tidak memerlukan waktu
lama, pada tanggal 30 Januari 2020 Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan COVID-19
sebagai kondisi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia/ Public Health
Emergency of International Concern.18 Indonesia menjadi salah satu negara yang harus
berjuang keras untuk mengatasi kondisi pandemic COVID-19. Terhitung, sejak tanggal
12 Juli 2020 kasus positif yang ditemukan di Indonesia sejumlah 75.699 dengan korban
meninggal sejumlah 3.606 dan pasien sembuh sejumlah 35.638.19 Berdasarkan bukti ilmiah,
COVID-19 menyebar dari manusia ke manusia melalui percikan batuk/bersin (droplet).
Dalam rangka menanggulangi pandemi COVID-19, pemerintah Indonesia menerapkan
rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi adalah melalui mencuci tangan
secara teratur menggunakan sabun dan air bersih (menggunakan handsanitizer), menerapkan
etika batuk dan bersin, menggunakan masker, dan menghindari kontak di keramaian.
Berdasarkan hal tersebut, masyarakat memberikan reaksi berlebihan yang sangat luar biasa,
sebagai contoh faktual di lapangan terjadi kondisi panic buying terhadap sejumlah barang-
barang yang dinilai mempunyai nilai penting dalam mencegah penyebaran COVID-19.
Analisis psikologis secara lebih lanjut memaparkan bahwa kondisi panic buying terjadi
karena masyarakat mempunyai asumsi yang sangat responsive bahwa terhadap suatu
produk-produk tertentu dinilai mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah atau
kemampuan untuk membantu mengatur suatu masalah.
Pada kajian sosiologi, panic atau panik popular merupakan bentuk perilaku kolektif, perilaku

15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada, 2014, hal. 62
16 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Banyumedia Publishing, 2006, hal. 300.
17 Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas
dengan masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Lihat pada: Direktorat Jenderal Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit, Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease (CODID-19), Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2020, hal. 11
18 Ibid.
19 Covid19.go.id – diakses pada tanggal 12 Juli 2020 pukul 17.06 WIB.

413
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dwiva Amalia Tarvianty Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Penimbunan
Barang Bernilai Penting di Masa Pandemi

kolektif merujuk pada aksi yang muncul secara tiba-tiba, spontan, bukan aktivitas rutinitas
dan cenderung tidak sesuai norma (non-normatif).20 Dalam koridor terjadinya kondisi panic
buying di masa pandemic COVID-19 mempunyai benang merah yaitu keadaan tiba-tiba
yang tidak terkontrol. Kondisi panic buying dijelaskan sebagai perilaku konsumen berupa
tindakan orang membeli produk dalam jumlah besar untuk menghindari kekurangan di masa
depan. Perilaku ini juga disebut sebagi perilaku penimbunan barang yang dilakukan oleh
konsumen. 21 Kondisi panic buying tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga terjadi di
berbagai negara lain yang terjangkit COVID-19.
Kondisi panic buying, yang terjadi di masyarakat tidak luput dari peran pemerintah dalam
menyampaikan informasi sebagai referensi, sebagaimana diungkapkan oleh John Drury,
Professor Psikologi Sosial dari University of Sussex, yang meneliti kondisi psikologis
seseorang di mana kondisi panic buying terjadi karena masyarakat merasakan kepanikan
dari himbauan pemerintah, sebagai contoh pemerintah menyampaikan telah terjadi kondisi
panic buying di negara tetangga dalam menghadapi pandemi COVID-19 terhadap sejumlah
barang-barang tertentu.22
Cina menjadi salah satu negara yang mengalami kondisi panic buying. COVID-19 membuat
masyarakat sangat panik, sejumlah perlengkapan seperti masker, handsanitizer, bahkan
Alat Perlindungan Diri (APD) mengalami kelangkaan karena tingginya jumlah permintaan
dari masyarakat akan barang-barang kebutuhan tersebut.23 Kondisi tidak berbeda dialami
oleh United States dan United Kingdom, sejumlah barang yang mempunyai nilai penting
sebagai pencegahan dan penanggulangan COVID-19 mengalami kenaikan lebih dari 100
kali lipat dari harga normal di pasaran.24 Juru bicara Badan Kesehatan Dunia (WHO) turut
menyampaikan bahwa kondisi pandemic COVID-19 menyebabkan terjadinya panic buying
di seluruh negara di dunia, bahkan eskalasi dari kondisi panic buying tersebut menimbulkan
penimbunan dan spekulasi di masyarakat.25
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Muhaimin Iskandar
mengatakan bahwa pemerintah perlu memberikan reaksi responsive atas fenomena panic
buying yang terjadi di masyarakat guna menghindari kondisi yang semakin chaos dan
tidak terkendali.26 Langkah kebijakan yang dimungkinkan dapat dilakukan oleh pemerintah
adalah dengan memastikan ketersediaan perlengkapan kesehatan serta bahan pangan sesuai
kebutuhan masyarakat, selain itu pemerintah perlu memberikan informasi yang konstruktif
dan mudah dipahami oleh masyarakat guna meminimalisir kepanikan masyarakat dalam
mengolah informasi dan menghindari kesalahpahaman. Kebijakan lain yang perlu
dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memberikan sanksi tegas apabila kondisi di

20 D.A. Snow, D. Della Porta, B. Klandermas and D.McAdams, The Wiley-Blackwell Encyclopedia of Social and Political Movements,
https://doi.org/10.1002/9780470674871.wbespm032.
21 B. Shou. Loc. Cit.
22 https://sains.kompas.com/read/2020/03/03/070500323/penjelasan-psikologi-di-balik-panic-buying-akibat-virus-corona?page=all
diakses pada tanggal 12 Juli 2020 pukul 18.45 WIB.
23 https://www.merdeka.com/dunia/deretan-negara-yang-alami-panic-buying-gara-gara-virus-corona.html diakses pada tanggal 12
Juli 2020 pukul 19.00 WIB.
24 https://mediaindonesia.com/read/detail/294478-tak-hanya-di-indonesia-panic-buying-juga-terjadi-di-negara-ini diakses pada
tanggal 12 Juli 2020 pukul 19.10 WIB.
25 Ibid.
26 https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01347558/fenomena-panic-buying-merebak-di-masyarakat-pemerintah-indonesia-
didesak-segera-bertindak diakses pada tanggal 12 Juli 2020 pukul 19.13 WIB.

414
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dwiva Amalia Tarvianty Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Penimbunan
Barang Bernilai Penting di Masa Pandemi

lapangan menunjukkan adanya oknum-oknum yang sengaja memanfaatkan kondisi panic


buying, untuk keuntungan komersil dengan melakukan penimbunan sejumlah barang yang
mempunyai nilai penting di masa pandemi.
Indonesia telah mempunyai instrumen hukum terkait dengan penyimpanan dan penimbunan
barang yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan , di mana pada peraturan
perundang-undangan tersebut telah memuat rumusan ancaman pidana guna menjerat
subjek hukum yang melakukan tidak pidana penimbunan barang. Hal tersebut sebagaimana
tercantum di dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
yaitu:
1. Pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting
dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga,
dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
2. Pelaku usaha dapat melakukan penyimpnana barang kebutuhan pokok dan/atau barang
penting dalam jumlah dan waktu tertentu jika digunakan sebagai bahan baku atau bahan
penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan barang untuk didistribusikan.
Sanksi yang diatur di dalam instrumen hukum meliputi sanksi pidana dan sanksi administrative
(berupa denda, penghentian kegiatan produksi atau peredaran dan pencabutan izin), sedangkan
sanksi pidana diberikan apabila pelaku usaha melanggar ketentuan dalam Pasal 133 Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2014 tentang Perdagangan, apabila pelaku usaha melanggar ketentuan tersebut maka pelaku
usaha diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Namun, kondisi faktual di lapangan menunjukkan bahwa kondisi pandemic COVID-19 menjadi
celah bagi oknum untuk tetap melakukan serangkaian kegiatan yang merugikan masyarakat
meskipun pemerintah Indonesia telah mempunyai instrumen hukum guna menjerat oknum-
oknum yang tidak bertanggungjawab. Celah tersebut, harus dapat menjadi kajian kebijakan bagi
pemerintah bahwa selain upaya represif diperlukan upaya pre-emptif dan preventif. Urgensi dari
tindakan atas kasus penimbunan barang di masa pandemic COVID-19 dalam bentuk upaya pre-
emptif dan preventif yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia mengingat bahwa upaya
represif yang telah diatur di dalam instrumen hukum juga belum berjalan secara maksimal.
Upaya pre-emptif berupa himbauan kepada oknum-oknum yang memiliki tendensi untuk
menjadi pelaku dengan cara melakukan himbauan untuk tidak melakukan praktek penyimpanan
dan penimbunan barang, sedangkan upaya preventif dilakukan melalui pengawasan terhadap
pemenuhan ketersediaan dan/atau kecukupan barang dan pangan pokok.27 Pemerintah (dalam hal
ini melalui Kementerian Perdagangan, Kementerian Koordinator Ekonomi, Pemerintah Provinsi
dan berbagai pihak terkait) melakukan pemantauan, pengawasan, evaluasi dan pengawasan
secara berkala terhadap kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan/atau
peredaran barang-barang yang bernilai penting di masa pandemic COVID-19 guna menstabilkan
kondisi pasar di tengah masyarakat.
D. Penutup

27 https://setkab.go.id/mengejar-pemain-harga-barang-kebutuhan-pokok/ diakses pada tanggal 12 Juli 2020 pada pukul 20.30 WIB.

415
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dwiva Amalia Tarvianty Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Penimbunan
Barang Bernilai Penting di Masa Pandemi

1. Simpulan
Pandemi COVID-19 menimbulkan keresahan bagi masyarakat Indonesia. Berbagai
upaya untuk pencegahan penyebaran COVID-19 dilakukan, salah satunya dengan
melengkapi diri dengan penggunaan masker dan handsanitizer. Reaksi responsive
masyarakat menyebabkan terjadinya kondisi panic buying terhadap sejumlah barang
yang bernilai penting di masa pandemi. Kondisi tersebut menjadi faktor dan/atau celah
terhadap terjadinya tindak pidana penimbunan barang di masa pandemi. Pemerintah
Indonesia memiliki sejumlah instrumen hukum guna mengatasi kasus penimbunan
barang. Namun, tidak hanya sebagai langkah represif pemerintah Indonesia juga perlu
melakukan sejumlah upaya pre-emptif dan preventif baik yang bersifat himbauan dan/
atau aturan yang bersifat tegas dan mengikat. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat
kondisi mendesak (urgensi) dari COVID-19 yang telah menimbulkan ketidakteraturan
(chaos) dan ketidakstabilan apabila tidak kunjung mendapatkan atensi dari pemerintah.
2. Saran
Dalam mitigasi dan antispasi kasus panic buying yang mengakibatkan penimbunan
barang bernilai penting di masa pandemi, pemerintah Indonesia perlu memberikan
informasi konstruktif dan jelas yang merupakan otoritas dari pihak yang berwenang,
guna menghindari tumpang tindih informasi yang menyebabkan kondisi yang tidak
stabil di masyarakat serta memberikan instrukti yang tegas bagi berbagai pihak terkait
(Kementerian Perdagangan, Kementerian Koordinator Ekonomi, Pemerintah Provinsi
dan berbagai pihak) sebagai kebijakan guna menghadapi kondisi panic buying di
masyarakat.

Daftar Pustaka
Buku
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Corona Virus Disease (CODID-19), Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2020.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Banyumedia
Publishing, 2006.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada, 2014.

Jurnal/Prosiding/Seminar Nasional/ Penelitian Hukum (Tesis dan Desertasi)


B. Shou, H. Xiong dan Z.M. Shen, Consumer Panic Buying and Quota Policy under Supply Disruptions.
Hongkong In Working Paper, 2020.
D.A. Snow, D. Della Porta, B. Klandermas and D.McAdams, The Wiley-Blackwell Encyclopedia of
Social and Political Movements, https://doi.org/10.1002/9780470674871.wbespm032.
Imas Novita Juaningsih, Penerapan Sanksi Pidana bagi Penimbun Masker di Indonesia selama masa
pandemic COVID-19, Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan, Volume 4 Nomor 1 ISSN: 2338
4638, 2020.
Kuldep Dhama, Sharun Khan, Ruchi Tiwari, Shubhankar Sircar, Coronavirus Disease 2019 – COVID19,

416
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Dwiva Amalia Tarvianty Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Penimbunan
Barang Bernilai Penting di Masa Pandemi

Peprints Journal, 2020, doi: 10.20944/preprints202003.001.v2


M. Honigsbaum, Regulating the 1918-19 pandemic: flu, stoicism and the Northcliffe press, Medical
History, 2013, https://doi.ord/10.1017/mdh.2012.101
S. Gupta and J.W. Gentry, Should I Buy, Hoard or Hide?- Consumers responses to perceived scarcity.
International Review Retail Distribution Consumen, 2019.

Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Website
Putra, Headline: COVID-19 picu panic buying makanan, masker, handsanitizer. https://www.liputan6.
com/news/read/4193886/headline-virus-corona-picu-panic-buying-makanan-masker-hand-
sanitizer-bagaimana-meredamnya diakses pada tanggal 9 Juli 2020 pukul 11:38 WIB.
https://tirto.id/mahalnya-harga-lockdown-di-seluruh-dunia-fMw7 diakses pada tanggal 9 Juli 2020
pukul 21.45 WIB.
https://www.worldbank.org/en/publication/global-economic-prospects diakses pada tanggal 9 Juli
2020 pukul 21.47 WIB.
Covid19.go.id – diakses pada tanggal 9 Juli 2020 pukul 22.00 WIB.
https://www.straitstimes.com/world/europe/who-chief-tedros-says-coronavirus-pandemic-not-
even-close-to-being-over diakses pada tanggal 9 Juli pukul 22.16 WIB.
https://www.researchgate.net/publication/340453297_Virus_Corona_dan_Panic_Buying_yang_
Impulsif diakses pada tanggal 10 Juli 2020 pukul 10.10 WIB.
https://tirto.id/panic-buying-dan-dampaknya-terhadap-ekonomi-eDDT diakses pada tanggal 10 Juli
10.25 WIB.
https://sains.kompas.com/read/2020/03/03/070500323/penjelasan-psikologi-di-balik-panic-
buying-akibat-virus-corona?page=all diakses pada tanggal 12 Juli 2020 pukul 18.45 WIB.
https://www.merdeka.com/dunia/deretan-negara-yang-alami-panic-buying-gara-gara-virus-
corona.html diakses pada tanggal 12 Juli 2020 pukul 19.00 WIB.
https://mediaindonesia.com/read/detail/294478-tak-hanya-di-indonesia-panic-buying-juga-
terjadi-di-negara-ini diakses pada tanggal 12 Juli 2020 pukul 19.10 WIB.
https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01347558/fenomena-panic-buying-merebak-di-
masyarakat-pemerintah-indonesia-didesak-segera-bertindak diakses pada tanggal 12 Juli
2020 pukul 19.13 WIB.
https://setkab.go.id/mengejar-pemain-harga-barang-kebutuhan-pokok/ diakses pada tanggal 12
Juli 2020 pada pukul 20.30 WIB.

417
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Irma Mawati Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
di Era Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19)

Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang


(Human Trafficking) di Era Pandemi Coronavirus Disease
(Covid-19)
Irma Mawati1, Rehnalemken Ginting2

Abstrak
Kegiatan masyarakat selama dalam pandemi ini diatur di dalam kebijakan PSBB, salah satunya adalah
meliburkan tempat kerja. Pada masa new normal, aturan PSBB diterapkan kembali supaya masyarakat bisa
kembali produktif bekerja dan mengikuti protokol kesehatan di era pandemi covid-19. Namun dalam keadaan
new normal tidak merubah nasib para pekerja yang mengalami PHK. Akibatnya adalah kelompok masyarakat
menegah ke bawah menjadi tertekan karena kehilangan kerja, membuat seorang dapat berbuat nekat untuk
menyambung hidupnya dengan melakukan tindak pidana perdagangan orang. Penulisan ini bertujuan untuk
mengetahui upaya penanggulangan dari tindak pidana perdagangan orang dalam pandemi covid-19. Penelitian
ini merupakan penelitian penelitian yuridis empiris. Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan
sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data
yang digunakan meliputi reduksi, penyajian, verifikasi dan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di era pandemi coronavirus
disease (covid-19) dapat dilakukan melalui jalur penal dan non penal. Penanggulangan menggunakan jalur
penal yaitu dengan menerapkan hukum pidana menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
maupun undang-undang di luar KUHP Undang-Undang meliputi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Sedangkan penanggulangan melalui jalur non penal dengan cara memperbaiki kondisi-kondisi tertentu dalam
masyarakat atau melakukan pengawasan. Salah satu upaya non penal yaitu pendidikan formal dan informal
mengenai pengetahuan larangan dan ancaman hukum terkait dengan perdagangan orang dan KDRT.
Kata Kunci: Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19), Pembatasan Sosial Berskala Besar, Perdagangan
Orang, Tindak Pidana.

Abstract
Community activities during this pandemic are regulated in the PSBB policy, one of which is
closing workplaces. During the new normal period, the PSBB rules were re-applied so that
people could return to work productively and follow health protocols in the era of the Covid-19
pandemic. However, in the new normal situation it does not change the fate of the workers
who experience layoffs. The result is the middle and lower class community groups becoming
depressed because they lose their jobs, making a person determined to live by committing the
crime of trafficking in persons. This writing aims to know the efforts to combat the criminal
act of trafficking in persons in the Covid-19 pandemic. This research is a empirical juridical
research. The types of data in this study include primary and secondary data. Data collection
techniques using interviews, observation and documentation. The data analysis used includes
reduction, presentation, verification and conclusion. The results showed that efforts to combat
human trafficking in the era of the coronavirus disease (covid-19) pandemic can be carried out
through penal and non-penal channels. Prevention uses the penal route, namely by implementing

1 Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa
Tengah, Indonesia, irrma.ribawann@gmail.com, S.H. (Universitas Sebelas Maret).
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia,
rehnalemken_g@staff.uns.ac.id, Dr. (Universitas Sebelas Maret), S.H. (Universitas Sebelas Maret), M.H. (Universitas Indonesia).

418
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Irma Mawati Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
di Era Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19)

criminal law using the Criminal Code (KUHP) and laws outside the KUHP. The Law covering
Law Number 21 of 2007 concerning the Eradication of the Crime of Trafficking in Persons,
Law Number 44 of the Year 2008 concerning Pornography, and Law Number 23 Year 2004
concerning the Elimination of Domestic Violence. Meanwhile, the prevention uses non-penal
channels by improving certain conditions in society or conducting supervision. One of the non-
penal measures is formal and informal education regarding knowledge of prohibitions and legal
threats related to trafficking in persons and domestic violence.
Keywords: Coronavirus Pandemic Disease (Covid-19), Large-scale Social Limitation, Human Trafficking,
Criminal Acts.

A. Pendahuluan
Tahun 2020 seluruh negara sedang dilanda oleh pandemi Covid-19 yang awalnya muncul
secara lokal di Wuhan-China pada akhir tahun 2019, kemudian merembet ke seluruh negara-
negara lainnya termasuk di Indonesia. Virus ini mulai masuk di Indonesia pada bulan
Maret 2020 hingga sekarang. Untuk membatasi penyebaran virus ini, Indonesia melakukan
kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Aturan pelaksana dari PSBB yaitu
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan
Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(Covid-19) (selanjutnya disebut PP PSBB) yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada
tanggal 31 Maret 2020.
Kegiatan masyarakat selama dalam pandemi ini diatur di dalam kebijakan PSBB, antara lain
yaitu: meliburkan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan
kegiatan di tempat atau fasilitas umum.3 Menyoroti meliburkan sejumlah tempat kerja ini
membuat sebagian para karyawan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-
besaran. Menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat bahwa pekerja
yang kena Pemutusan Hubungan Kerja atau di-PHK mencapai 6,4 juta orang hingga Mei.4
Akibatnya adalah kelompok masyarakat menegah ke bawah pada era pandemi ini menjadi
tertekan untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Adanya tekanan dalam hal ekonomi dan
frustasi dapat menjadi salah satu faktor seseorang dapat melakukan tindak pidana. Seperti
halnya pada kasus suami yang menjual istrinya dalam bentuk pelayanan seksual di Surabaya.
Modus perdagangan istri dalam kondisi pandemi covid-19 ini semakin marak terjadi
di berbagai Kota atau Kabupaten di Indonesia. Pada beberapa bulan yang lalu, tepatnya
tanggal 16 Juni 2020, seorang suami berinisial SBB (35) mengaku terpaksa menjual istrinya
lantaran selama tiga bulan terakhir tidak lagi bekerja sejak pemberlakukan PSBB di Kota
Surabaya. Dia menjual istrinya dengan tarif 500 hingga 900 ribu.5
Berdasarkan keterkaitan antara kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar)
dengan keadaan di lapangan, aturan ini juga dapat menimbulkan tindak pidana dalam hal
ini yang dimaksud yaitu perdagangan orang dalam kasus suami yang menjual istri. Penulis
melakukan penelitian hukum dengan judul, “Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human

3 Lihat Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar
dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
4 Tira Santia, “Data Kadin Catat 6,4 Juta Orang di-PHK dan Dirumahkan Hingga Mei 2020”, https://www.merdeka.com/uang/data-
kadin-catat-64-juta-orang-di-phk-dan-dirumahkan-hingga-mei-2020.html, diakses pada 15 Juli 2020 pukul 23:23 WIB.
5 Chandra Iswinarno. “Gegara PSBB Surabaya Raya, Suami Nekat Jual Istri Rp 500 Ribu Sekali Main”, https://jatim.suara.com/
read/2020/06/18/182338/gegara-psbb-surabaya-raya-suami-nekat-jual-istri-rp-500-ribu-sekali-main, diakses pada tanggal 14 Juli
2020 pukul 19:57 WIB.

419
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Irma Mawati Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
di Era Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19)

Trafficking) di Era Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) ”, dengan rumusan masalah


mengenai bagaimana upaya penanggulangan dari tindak pidana perdagangan orang dalam
pandemi covid-19?

B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris yaitu mengkaji ketentuan hukum yang
berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataannya dalam masyarakat.6 Tipe penelitian
dalam penulisan ini bersifat penelitian deskriptif analisis yaitu menganalisa data yang
dipergunakan baik data primer dan data sekunder.7 Data primer yaitu data yang diperoleh
dari hasil penelitian di lapangan, yang dilakukan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam
masalah penegakan hukum pidana. Sedangkan data sekunder yaitu data yang didapat dari
hasil penelaahan kepustakaan, buku-buku, majalah serta litertur yang berkaitan. Teknik
pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data
yang digunakan meliputi reduksi, penyajian, verifikasi dan kesimpulan.

C. Pembahasan
Pada era pandemi covid-19, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan pemerintah
yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan
Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(Covid-19). Definisi dari politik hukum adalah kebijakan hukum (legal policy) yang
hendak diterapkan atau dilaksanakan oleh suatu pemerintahan negara tertentu.8 Menurut
Soedarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang
berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan
akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang dicita-citakan.9 Tujuan dikeluarkannya aturan ini merupakan cita-cita
negara di pandemi covid-19 yaitu adanya PP ini sebagai upaya penanggulangan penyebaran
virus corona. Acuan yang digunakan dalam PP ini yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1984 tentang Wabah Penyakit Menular; Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana; dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan.
Segala bentuk aktivitas masyarakat dalam keadaan pandemi ini diatur di dalam Pasal 4 PP
PSBB, yang menyebutkan bahwa:
(1) Pembatasan Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
(2) Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b harus
tetap mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja, dan ibadah
penduduk.
(3) Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan
memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.”

6 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitiaan Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2012, hlm. 126.
7 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 107.
8 Mahfud MD, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 15.
9 Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru, 1983, hlm. 20.

420
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Irma Mawati Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
di Era Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19)

Fokus pada pembahasan mengenai peliburan dalam tempat kerja dan adanya pembatasan
pada produktivitas kerja, dalam keadaan semacam ini nasib para pekerja di pertokoan besar
seperti mall, para buruh pabrik, para pekerja hotel, dll cenderung mengalami pemutusan
hubungan kerja. Sebagian kelompok yang pengangguran akibat dari pandemi ini sulit lagi
untuk mendapatkan pekerjaan. Terlebih pengangguran yang dialami oleh seorang kepala
keluarga, akibatnya adalah menghalalkan segara cara untuk mendapatkan uang guna
menyambung hidup. Seperti halnya kasus seorang suami yang menjual istrinya sendiri
lantaran kesulitan dalam ekonomi di masa PSBB. Menjual istri sendiri digunakan sebagai
ladang bisnis dengan cara menawarkan dalam bentuk pelayanan seksual.Dalam hal ini
adanya aturan PSBB dapat menjadi salah satu faktor seseorang dapat melakukan tindak
pidana yaitu perdagangan orang.
Perdagangan orang merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat yang mulia
sekaligus melanggaran Hak Asasi Manusia. Perdagangan manusia atau istilah Human
Trafficking merupakan sebuah kejahatan yang sangat sulit diberantas dan disebut-sebut oleh
masyarakat internasional sebagai bentuk perbudakan masa kini dan pelanggaran terhadap
hak asasi manusia. Kejahatan ini terus menerus berkembang secara nasional maupun
internasional. Adapun definisi perdagangan orang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya disebut
PTPPO), dalam Pasal 1 Angka (1) menyebutkan bahwa:
“Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan
di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi.”
Pengertian eksploitasi terdapat dalam Pasal 1 Angka (7) PTPPO, eksploitasi adalah tindakan
dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran,
kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindakan,
pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum
memindahkan atau mentransplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan
tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik
materiil maupun immateriil.
Definisi di atas memuat tiga elemen yang berbeda yang saling berkaitan satu dengan yang
lainnya,yakni: 10
1) Elemen pertama: tindakan atau perbuatan
Rekruitmen, transportasi, pemindahan, penempatan dan penerimaan orang.
2) Elemen kedua: dengan cara
Dengan menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaan
lain, penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan
atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh
persetujuan dari orang-orang.

10 Supriyadi Widodo Eddyono, “Perdagangan Manusia dalam Rancangan KUHP”, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri # 5
Jakarta: ELSAM - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005, hlm. 7-8.

421
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Irma Mawati Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
di Era Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19)

3) Elemen ketiga : tujuan atau maksud


Eksploitasi mencakup setidak-tidaknya eksploitasi pelacuran dari orang lain atau
bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan dan
pengambilan organ tubuh.
Dalam hal upaya untuk menanggulangi kejahatan, diperlukan penegakkan hukum pidana
dilihat sebagai bagian dari politik kriminal (criminal policy), yakni usaha rasional
untuk menanggulangi kejahatan. Pengertian kebijakan kriminal atau politik kriminal
(criminal policy) merupakan usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan.11 Politik kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral
dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat (social welfare), oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan
utama dari politik kriminal atau kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat.
Menurut G. Peter Hoefnagels, mengemukakan bahwa “criminal policy is the rational
organization of the social reactions to crime”.12 G. Peter Hoefnagels juga mengemukakan
beberapa definisi mengenai kebijakan kriminal antara lain:
1. Criminal Policy is the science of response (kebijakan kriminal adalah ilmu tentang
reaksi dalam menghadapi kejahatan).
2. Criminal policy is the science of prevention (kebijakan kriminal adalah ilmu untuk
menanggulangi kejahatan).
3. Criminal policy is a the science of designating human behavior as crime (kebijakan
kriminal adalah kebijakan untuk merancang tingkah laku manusia sebagai kejahatan).
4. Criminal policy is a rational total of response to crime (kebijakan kriminal adalah satu
reaksi terhadap kejahatan yang rasional).13
Menurut Muladi bahwa usaha menanggulangi kejahatan dalam berbagai bentuk yaitu:
bentuk pertama adalah bersifat represif yang menggunakan sarana penal yang sering
disebut sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice system). Yang kedua usaha-
usaha tanpa menggunakan penal (prevention without punishment) dan yang ketiga adalah
mendayagunakan usaha-usaha pembentukan opini masyarakat tentang kejahatan dan
sosialisasi hukum melalui mass media secara luas.14 Usaha untuk menanggulangi kejahatan
menurut Muladi dapat dijabarkan sebagai berikut, antara lain: 15
1. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan
3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat
media masa (influencing views of society on crime and punishment).
Melihat pemaparan diatas jika dikaitkan dengan upaya penanggulangan dari tindak pidana
perdagangan orang dalam pandemi covid-19 dapat menggunakan dua cara yaitu jalur penal
dan non penal. Upaya dalam penanggulangan kejahatan lewat jalur penal (hukum pidana)
yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law application). Sedangkan lewat jalur

11 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981, hlm. 38.
12 G. Peter Hoefnagels, The Other Slide of Criminology(An Inversion of the Concept of Crime), Holland: Kluwer-Deventer, 1969,
hlm.57.
13 Ibid., hlm. 57-59.
14 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana,Semarang: BP Undip, 1997, hlm.100.
15 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 45-46.

422
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Irma Mawati Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
di Era Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19)

non penal (bukan /di luar hukum pidana) dengan cara pencegahan tanpa pidana (prevention
without punishment) dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media masa (influencing views of society on crime and punishment).
Penanggulangan dari tindak pidana perdagangan orang dalam pandemi covid-19
menggunakan jalur penal yaitu dengan menerapkan hukum pidana yang sifatnya repressive
yaitu penganggulangan dilakukan sesudah kejahatan terjadi dengan menggunakan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun undang-undang di luar KUHP. KUHP
sebagai dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang
tidak boleh dilakukan, memiliki tujuan sebagaimana tujuan hukum pada umumnya. Arti
terpenting dari adanya hukum pidana sebagai bagian dari sistem hukum yang berlaku di
dalam suatu negara, terletak pada tujuan hukum pidana itu sendiri yakni menciptakan tata
tertib di dalam masyarakat sehingga kehidupan masyarakat dapat berlangsung dengan
damai dan tenteram.16 Dalam KUHP, pelaku perdagangan orang dapat dijerat dengan Pasal
296 KUHP, yang menyatakan bahwa: 17 “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau
memudahkan bul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian
atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.” Selain itu dapat juga dikenakan Pasal
506 KUHP, yang menyatakan bahwa: 18 “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan
cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana
kurungan paling lama satu tahun.”
Politik hukum pidana dapat juga disebut kebijakan hukum pidana/penal policy atau
pembaharuan hukum pidana. Melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan
peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dalam kepustakaan asing istilah politik
hukum pidana sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain ‚penal policy ‚criminallaw
policy, atau strafrechts politiek.19 Pembaharuan hukum pidana yang terkodifikasi yaitu
RUU KUHP (Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Dalam
RUU KUHP, perdagangan orang diatur dalam Pasal 461 yang menyebutkan bahwa:20
“(1) Setiap Orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan,penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan Ancaman Kekerasan, penggunaan
Kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk
tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dipidana karena melakukan Tindak Pidana perdagangan orang dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda
paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI.
“(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi,
maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

16 Jhon Gilissen dan Firts Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, edisi terjemahan, Bandung: Refika Aditama, 2005, hlm. 42-43.
17 Lihat Pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
18 Lihat Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
19 Maroni, Pengantar Politik Hukum, Bandar Lampung: Anugrah Utama Raharja, 2013, hlm. 6.
20 Lihat Pasal 461 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

423
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Irma Mawati Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
di Era Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19)

Selain itu, adapun peraturan diluarnya yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Aspek perdagangan orang ini diatur
dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 63. Kejahatan perdagangan orang pada kasus seorang
istri yang dijual oleh suami terjerat Pasal 12 UU PTPPO , yang menyatakan bahwa:21
“Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan
orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban
tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang
untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana
perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”
Selain membiarkan istri berhubungan badan dengan orang lain, apabila pelaku atau
suami juga mengambil gambar atau video untuk dijual ke orang-orang yang mempunyai
kesenengan menonton film porno. Dalam hal ini termasuk dapat dijerat Pasal 29 Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang menyatakan bahwa:22
“Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan,
menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”
Perdagangan manusia yang dilakukan kepada seorang wanita yang mempunyai status sebagai
seorang istri, termasuk dalam kekerasan dalam rumah angga. Dalam hal ini pelaku yaiu
suami dapat dijera Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang menyatakan bahwa:23
“Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan
hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
atau denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
Selanjutnya mengenai penanggulangan dari tindak pidana perdagangan orang dalam
pandemi covid-19 menggunakan jalur non penal yaitu dengan cara pencegahan tanpa
pidana dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat media masa yang bersifat preventif sebelum kejahatan terjadi. Dalam hal ini sasaran
utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab kejahatan. Suatu kejahatan
dapat terjadi karena ada faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud
yaitu psikologi atau perilaku dan mental pelaku. Dalam teori psikogenesis mengatakan
bahwa perilaku kriminalitas timbul karena faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi,
sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin,
emosi yang kontroversial dan kecenderungan psikopatologis, artinya perilaku jahat
merupakan reaksi terhadap masalah psikis.24 Selanjutnya eksternal dari suatu kejahaan

21 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
22 Lihat Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
23 Lihat Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
24 Indah Sri Utami. Aliran dan Teori dalam Kriminologi. Yogyakarta: Thafa Media, 2012, hlm. 48.

424
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Irma Mawati Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
di Era Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19)

menurut teori subkultural delikuensi, perilaku jahat adalah sifat-sifat struktur sosial dengan
pola budaya yang khas dari lingkungan dan masyarakat yang dialami oleh penjahat. Hal
itu terjadi karena populasi yang padat, status sosial-ekonomis penghuninya rendah, kondisi
fisik perkampungan yang sangat buruk, atau juga karena banyak disorganisasi familiar dan
sosial bertingkat tinggi.25
Kedua teori tersebut merupakan salah satu faktor penyebab seseorang dapat menjual istrinya
sendiri. Beberapa alasan suami yang menjual istrinya karena keadaan ekonomi. Hal yang
dapat dilakukan oleh suami salah satunya adalah membiarkan istri untuk berhubungan
badan dengan laki-laki lain guna mendapatkan keuntungan. Terjadinya kasus suami yang
menjual istriya ini biasanya daerah perkotaan akan lebih rawan daripada di pedesaan. Hal
ini dapat terjadi karena orang-orang yang tinggal di perkotaan pada pandemi covid-19 lebih
sulit untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Selain itu budaya konsumtif dan hedonisme
di masyarakat, hal ini berimplikasi pada pada keinginan untuk mendapatkan sesuatu secara
instan dan mudah.26 Didukung juga dengan tidak adanya lapangan kerja, sempitnya peluang
bekerja dan harga kebutuhan pokok di pasar yang naik menjadikan seorang kepala keluarga
yaitu suami yang pengangguran dapat berbuat nekat untuk menyambung hidup dengan cara
menjual istrinya sendiri dan menjadikan kegiatan tersebut sebagai suatu pekerjaan tetap di
pandemi covid-19 ini.
Sarana non penal artinya upaya penanggulangan kejahatan dengan tidak melakukan hukum
pidana. Upaya non penal dapat juga disrtikan sebagai upaya yang bersifat preventif, misalnya
memperbaiki kondisi-kondisi tertentu dalam masyarakat atau melakukan pengawasan
tertantu sebagai upaya prevensi terhadap kejahatan. Selain itu, dapat juga berbentuk
sosialisasi terhadap suatu perundang-undangan yang baru, yang didalamnya mencangkup
suat kriminalisasi perbuatan tertentu yang menjadi gejala sosial dalam masyarakat modern.27
Menurut Mardjono Reksodiputro menyebutkan bahwa, “penanggulangan masalah
kejahatan di masyarakat dibagi dalam usaha besar yaitu: yang informal (informal social
control) adalah melalui lingkungan keluarga, lingkungan kepemukiman (RT dan RW),
sekolah, lembaga keagamaan dan sebagainya dan yang formal (formal social control)
adalah melalui sistem peradilan pidana (criminal justice system)”. 28 Salah satu upaya untuk
mengatasi masalah sosial dengan menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana
merupakan bidang kajian penegakan hukum. Disamping itu, karena tujuannya adalah untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat,maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk
dalam bidang kebijakan sosial.
Pada pertengahan tahun 2019 sebelum adanya covid-19, pemerintah mengumumkan
program mengenai pra nikah yang akan dilaksanakan pada tahun 2020. Pendidikan pra
nikah merupakan sebuah proses atau upaya untuk memberikan perubahan atau transformasi
pengetahuan, nilai-nilai serta keterampilan yang lebih baik mengenai pernikahan, sebelum
pernikahan itu sendiri dilakukan terhadap calon mempelai. Pendidikan pra nikah ini penting
untuk dipelajari bagi setiap orang guna membekali diri agar mampu menjalani kehidupan
pernikahan dengan langgeng. Dikutip dari CNN Indonesia, “Muhadjir Effendy-Menteri

25 Ende Hasbi Nassarudin, Kriminologi. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2016, hlm. 121-122.
26 Deassy J.A. Hehanussa, et.al, “Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Provinsi Maluku”, Jurnal Muara Ilmu Sosial,
Humaniora, dan Seni, Vol. 2, No. 1, hlm. 8.
27 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers , 1983, hlm. 21.
28 Mardjono Reksodiputro,”Penanggulangan Masalah Preman dari Penegakan Kriminologi”, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi,
Vol I, No. 1/1998, hlm. 92.

425
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Irma Mawati Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
di Era Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19)

Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan  bakal mewajibkan pasangan


yang akan menikah untuk menjalani sertifikasi persiapan perkawinan berupa kelas atau
bimbingan pranikah. Muhadjir menjelaskan sertifikasi ini nantinya akan dibuat dengan
sistem pelatihan yang dijalani minimal tiga bulan. Saat pelatihan itu dilaksanakan, kedua
pasangan betul-betul mempersiapkan diri untuk menjalani kehidupan rumah tangga dengan
pasangannya. Keduanya akan dilatih berbagai pengetahuan, termasuk soal mengelola
emosi, keuangan hingga pengetahuan soal kesehatan dan alat reproduksi. Sertifikat kawin
ini nantinya akan dikelola oleh Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan.29
Dalam hal pencegahan penyebaran virus covid-19 ini, selain aturan PSBB pemerintah juga
mengeluarkan aturan baru mengenai pelaksanaan perkawinan di Indonesia diatur dalam
Surat Edaran Nomor: P-006/DJ.III/Hk.00.7/06/2020 tentang Pelayanan Nikah Menuju
Masyarakat Produktif Aman Covid. Dalam Surat Edaran ini mengatur mengenai pelaksanaan
pelayanan nikah dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Sesuai dengan nama surat
edarannya, didalamnya hanya terdapat aturan mengenai peserta prosesi akad nikah yang
dilaksanakan di KUA atau di rumah diikuti yaitu sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh) orang;
apabila dilaksanakan di Masjid atau gedung pertemuan diikuti sebanyak-banyaknya 20%
dari kapasitas ruangan dan tidak boleh lebih dari 30 (tiga puluh) orang. Melihat pernyataan
yang diuraikan oleh Mardjono Reksodiputro mengenai pendidikan formal dan informal
dalam penanggulangan masalah kejahatan. Penulis berpendapat dalam pelayanan mengenai
pelaksaan nikah dengan protokol kesehatan seharunya juga perlu adanya sosialisasi
mengenai larangan dan ancaman hukum terkait dengan perdagangan orang dan KDRT.
Selain itu, jika program pemerintah mengenai pra nikah jadi dilaksanakan pada tahun 2020,
perlu adanya tambahan pengetahuan hukum mengenai larangan dan ancaman hukum terkait
dengan perdagangan orang dan KDRT yang disisipkan pada materi pra nikah 2020.
Kejahatan perdagangan orang tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui berbagai
pertimbangan yang matang oleh para pelaku serta korban, sehingga para pelaku mau
melakukan perbuatan tersebut.30 Pertimbangan seperti itu, pada umumnya dikenal sebagai
pertimbangan rasional seseorang untuk memilih bertindak atau tidak bertindak dengan
menilai apakah keputusannya tersebut membawa manfaat lebih atau tidak bagi dirinya.
Sebenarnya penggunaan Rational Choice Theory bagi penjelasan peran pertimbangan
seseorang melakukan suatu kegiatan tidak saja berlaku bagi pelaku, namun dapat menjelaskan
mengapa korban potensial dapat terjebak dalam kegiatan perdagangan orang.31
Di dalam teori pilihan rasional, individu dilihat sebagai orang yang termotivasi oleh tujuan
atau keinginan yang mengekspresikan pilihan mereka. Mereka bertindak di dalam batasan
spesifik, diberi dan atas dasar informasi yang mereka miliki tentang kondisi-kondisi di mana
mereka sedang bertindak. Pada kondisi yang paling sederhana, hubungan antara hambatan
atau batasan dan pilihan dapat dilihat sebagai hal yang sematamata teknis sifatnya,
menyangkut hubungan dari suatu alat-alat bagi suatu akhir. Karena itu tidaklah mungkin
bagi individu untuk mencapai semua hal-hal yang mereka inginkan. Mereka harus membuat

29 CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono, “Menko PMK Wajibkan Sertifikasi Siap Kawin Mulai 2020”, https://www.cnnindonesia.com/
nasional/20191113182127-20-448076/menko-pmk-wajibkan-sertifikasi-siap-kawin-mulai-2020, diakses pada 20 Juli 2020 pukul
14:42 WIB.
30 Okky Chahyo Nugroho, “Tanggung Jawab Negara Dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (State’s Responsibility
in Mitigation of Human Trafficking Crime)”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang.
Kemenristekdikti: No:30/E/KPT/2018, hlm. 12.
31 Wubbolding, R.E, “Answering Objections to Choice Theory/Reality Therapy”, International Journal of Choice: Theory and Reality
Theory, Vol. XXXI, 1, hlm. 14.

426
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Irma Mawati Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
di Era Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19)

aneka pilihan dalam hubungan dengan pencapaian tujuan mereka. Teori pilihan rasional
berpendapat bahwa individu harus mengantisipasi hasil dari bermacam tindakan alternatif
dan mengkalkulasi yang terbaik untuknya. Individu secara rasional memilih alternatif yang
mungkin dapat memberikan kepuasan yang terbesar bagi dirinya. Berdasarkan teori pilihan
rasional (Rational Choice Theory), individu dilihat sebagai orang yang termotivasi oleh
tujuan atau keinginan yang mengekspresikan pilihan mereka. Dalam hal ini, sebagian dari
mereka telah mengetahui informasi tentang bahaya kejahatan perdagangan orang, namun
karena adanya pilihan rasional untuk perbaikan perekonomian keluarga di masa pandemi
ini maka menjual istri menjadi salah satu ladang mata pencaharian. Oleh karena itu juga
perlu adanya upaya untuk membuka lapangan kerja bagi kepala keluarga yang berstatus
sebagai pengangguran, serta dapat diharapkan dapat membantu pencegahan perdagangan
orang dalam masa pandemi covid-19.

D. Penutup
1. Simpulan
Upaya penanggulangan terhadap tindak pidana perdagangan orang dapat dilakukan
melalui jalur penal dan non penal. Penanggulangan dari tindak pidana perdagangan orang
dalam pandemi covid-19 menggunakan jalur penal yaitu dengan menerapkan hukum
pidana yang sifatnya repressive yaitu penganggulangan dilakukan sesudah kejahatan
terjadi dengan menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun
undang-undang di luar KUHP. Jalur penal yang dapat ditempuh dengan menerapkan
hukum pidana para pelaku dikenalan pasal-pasal hukum pidana yang bersangkutan yaitu
Pasal 296 dan 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Pasal 47 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Sedangkan upaya penanggulangan sarana non penal dapat juga diartikan sebagai upaya
yang bersifat preventif, yaitu dengan memperbaiki kondisi-kondisi tertentu dalam
masyarakat atau melakukan pengawasan. Salah satu upaya non penal yaitu pendidikan
formal dan informal mengenai pengetahuan larangan dan ancaman hukum terkait
dengan perdagangan orang dan KDRT.
2. Saran
Tindak pidana perdagangan orang dalam masa pandemi covid-19 menjadi masalah
urgensi di Indonesia karena berkaitan langsung dengan masalah ekonomi, maka
diperlukan peran pemerintah untuk dapat melakukan berbagai kerjasama dan koordinasi
terkait dengan tindak lanjut dari tindak pidana perdagangan orang. Perlu adanya
upaya untuk membuka lapangan kerja bagi kepala keluarga yang berstatus sebagai
pengangguran, serta dapat diharapkan dapat membantu pencegahan perdagangan orang
dalam masa pandemi covid-19. Perlu adanya kerja sama pihak-pihak berwenang yang
terkait seperti Kementerian Hukum dan HAM, Koordinator Bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan serta berbagai pihak lain guna
melaksanakan penanggulangan terkait tindak pidana perdagangan orang dalam masa
pandemi covid-19.

427
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Irma Mawati Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
di Era Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19)

Daftar Pustaka
Buku
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,
Bandung, 1991.
Ende Hasbi Nassarudin, Kriminologi. CV. Pustaka Setia, Bandung, 2016.
G. Peter Hoefnagels, The Other Slide of Criminology(An Inversion of the Concept of Crime),
Kluwer-Deventer, Holland, 1969.
Indah Sri Utami. Aliran dan Teori dalam Kriminologi. Thafa Media, Yogyakarta, 2012.
Jhon Gilissen dan Firts Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, edisi terjemahan, Refika
Aditama, Bandung, 2005.
Mahfud MD, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
Maroni, Pengantar Politik Hukum, Anugrah Utama Raharja, Bandar Lampung, 2013.
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, BP Undip, Semarang, 1997.
Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana, Sinar
Baru, Bandung, 1983.
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers ,
Jakarta, 1983.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitiaan Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta,
2012.
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Jurnal
Deassy J.A. Hehanussa,et.al, “Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Provinsi
Maluku”, Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, Vol. 2, No. 1.
Mardjono Reksodiputro,”Penanggulangan Masalah Preman dari Penegakan Kriminologi”,
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol I, No. 1/1998.
Okky Chahyo Nugroho, “Tanggung Jawab Negara dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (State’s Responsibility In Mitigation Of Human Trafficking Crime)”, Jurnal
Penelitian Hukum De Jure, Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018.
Supriyadi Widodo Eddyono, “Perdagangan Manusia dalam Rancangan KUHP”, Position Paper
Advokasi RUU KUHP Seri # 5, ELSAM - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,
Jakarta, 2005.

428
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Irma Mawati Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
di Era Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19)

Wubbolding, R.E, “Answering Objections to Choice Theory/Reality Therapy”, International


Journal of Choice: Theory and Reality Theory, Vol. XXXI, 1.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang. (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4928).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial
Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(Covid-19). (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6487).

Data Elektronik
Chandra Iswinarno. “Gegara PSBB Surabaya Raya, Suami Nekat Jual Istri Rp 500 Ribu Sekali
Main”, https://jatim.suara.com/read/2020/06/18/182338/gegara-psbb-surabaya-raya-
suami-nekat-jual-istri-rp-500-ribu-sekali-main, diakses pada tanggal 14 Juli 2020 pukul
19:57 WIB.
CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono, “Menko PMK Wajibkan Sertifikasi Siap Kawin Mulai 2020”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191113182127-20-448076/menko-pmk-
wajibkan-sertifikasi-siap-kawin-mulai-2020, diakses pada 20 Juli 2020 pukul 14:42 WIB.
Tira Santia, “Data Kadin Catat 6,4 Juta Orang di-PHK dan Dirumahkan Hingga Mei 2020”,
https://www.merdeka.com/uang/data-kadin-catat-64-juta-orang-di-phk-dan-dirumahkan-
hingga-mei-2020.html, diakses pada 15 Juli 2020 pukul 23:23 WIB.

429
430
BAGIAN 4

PERDATA

431
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2018
Paijo Sastrodikompo, Tukiman Sastromiharjo, Indah Sekali Banget
Implementasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pada PT Indah Skeli Banget Poll
Bergeyol.

SEMINAR NASIONAL
MAGISTER HUKUM UNS 2020

432
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Doyo Utomo Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang Tidak Memiliki Sertifikat Kekayaan
Intelektual Terdaftar

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN WARALABA YANG TIDAK


MEMILIKI SERTIFIKAT KEKAYAAN INTELEKTUAL TERDAFTAR
Doyo Utomo1, Adi Sulistiyono2, Pujiyono3

Abstrak
Penyelenggaraan waralaba harus didasarkan pada perjanjian tertulis yang diselenggarakan
antara pemberi dan penerima waralaba sebagaimana di atur dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Walaupun di atur secara khusus dalam
peraturan pemerintah, penyelenggaraan waralaba juga harus memperhatikan syarat sahnya
perjanjian sebagaimana di atur dalam Pasal 1320 KUHperdata. Sehingga metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode normatif-empiris dengan pendekatan peraturan perundang-
undangan dengan cara analisis berdasarkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Hasil dari penelitian menunjukan bahwa prinsip perlindungan Kekayaan Intelektual yang
berlaku di Indonesia adalah prinsip first to file, sehingga dalam hal pelaksanaan waralaba
yang belum memiliki sertifikat Kekayaan Intelektual maupun masih dalam tahap pendaftaran
berpotensi menimbulkan kerugian bagi penerima waralaba disebabkan karena Kekayaan
Intelektual yang masih dalam proses pendaftaran dimungkinkan untuk ditolak dan dibatalkan
karena beberapa sebab yaitu upaya pihak lain yang berkepentingan, tidak dapat untuk didaftar
sesuai ketentuan undang-undang atupun upaya hukum lain. Sehingga perjanjian waralaba yang
tidak memiliki bukti kepemilikan Kekayaan Intelektual berupa sertifikat berpotensi melanggar
hak-hak penerima waralaba sehingga penerima waralaba dapat melakukan upaya hukum berupa
pembatalan perjanjian, gugatan ganti rugi serta melaporkan atas dugaan tindak pidana kepada
kepolisian.
Kata kunci : Perjanjian, Waralaba, Kekayaan Intelektual

Abstract
The operation of the franchise must be based on a written agreement entered into between the
giver and recipient of the franchise as regulated in Article 4 paragraph (1) of Government
Regulation No. 42/2007 concerning Franchising. Even though it is specifically regulated in
government regulations, franchising must also pay attention to the validity of the agreement as
set out in Article 1320 of the Civil Code. So the method used in this research is a normative-
empirical method with a statutory approach by means of analysis based on primary and
secondary legal materials.
The results of the research show that the principle of protection of Intellectual Property that
applies in Indonesia is the first to file principle, so that in terms of implementing a franchise
that does not yet have an Intellectual Property certificate or is still in the registration stage it
has the potential to cause losses to franchise recipients due to Intellectual Property which is still

1 Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres,
Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, utomodoyo@student.uns.ac.id
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia,
adisulistiyono@staff.uns.ac.id
3 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia,
pujifhuns@staff.uns.ac.id

433
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Doyo Utomo Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang Tidak Memiliki Sertifikat Kekayaan
Intelektual Terdaftar

in the registration process. it is possible to reject and cancel it due to several reasons, namely
the efforts of other interested parties, it cannot be registered according to the provisions of law
or other legal remedies. So that a franchise agreement that does not have proof of ownership
of Intellectual Property in the form of a certificate has the potential to violate the rights of
the franchisee so that the franchisee can take legal action in the form of cancellation of the
agreement, claim for compensation and report suspected criminal acts to the police.
Keyword : Agreement, franchise, Intellectual Property

A. Pendahuluan
Waralaba merupakan salah satu bagian dari perjanjian dimana para pihak sebelum
mengadakan bisnis waralaba baik di bidang barang atau jasa mereka harus terlebih dahulu
terikat dengan perjanjian waralaba. Perjanjian di atur pada Buku ke-III Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang dapat diartikan sebagai peristiwa dimana sesorang berjanji
kepada sesorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal”.4 Sedangkan waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan
atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan
barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan
oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba5.
Dalam perjanjian waralaba tidak terlepas dari keberadaan suatu merek, dimana merek
termasuk dalam bentuk Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut KI) yang dilindungi dan
dijamin kepastian hukumnya khususnya di Indonesia. Hal tersebut tentu karena adanya
campur tangan Pemerintah Indonesia dengan diundangngkannya Undang-Undang Nomor
20 tahun 2016 yang mengatur tentang Merek dan Indikasi Geografis (selanjutnya disebut
sebagai UU MIG) yang menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek. Adapun dalam UU MIG, yang dimaksud dengan merek adalah “tanda yang dapat
ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan, warna,
dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi
dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/jasa yang diproduksi
oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa”6.
Menurut Rachmadi Usman, merek diartikan sebagai suatu tanda pengenal dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa yang sejenis atau sekaligus merupakan jaminan mutunya bila
dibandingkan dengan produk barang atau jasa sejenis yang dibuat pihak lain. Dengan melihat,
membaca dan mendengar suatu merek, seseorang sudah dapat mengetahui secara persis
bentuk dan kualitas suatu barang atau jasa yang akan diperdagangkan oleh pembuatnya.7
Dari pengertian merek di atas, pada pokoknya pengertian merek menunjuk kepada tanda dan
tanda tersebut sengaja dibuat untuk kepentingan perdagangan. Tampak terdapat hubungan
erat antara tanda dengan produk yang diperdagangkan, yaitu sebagai tanda pengenal produk
yang berfungsi untuk membedakan antara produk yang satu dengan produk yang lain. Di

4 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 2008, hlm.1


5 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba jo Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba
6 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
7 Rachmadi Usman, Hukun Hak Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia,Bandung : Alumni, 2003, hlm.
321.

434
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Doyo Utomo Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang Tidak Memiliki Sertifikat Kekayaan
Intelektual Terdaftar

dalam UU MIG, sebuah merek ditekankan pada unsur daya pembeda. Artinya bahwa merek-
merek yang akan digunakan tidak boleh terlalu sederhana dan tidak boleh terlalu rumit
sehingga menjadi tidak jelas dan dimengerti apalagi bagi konsumen yang lebih memfokuskan
pada sisi merek sebagai daya ingat dalam memilih dan menentukan sebuah produk. Merek
yang bentuknya sederhana dan terlalu rumit akan membingungkan masyarakat apakah tanda
itu sebagai merek atau bukan. Menurut Gautama hal ini tidak dapat memberikan kesan dari
suatu merek. Oleh karena itu, agar merek dapat memberikan individualitas kepada suatu
benda maka merek yang bersangkutan harus memiliki kekuatan-kekuatan individualitas.8
Keberadaan sertifikat merek menjadi salah satu daya tarik tersendiri dalam bisnis barang
maupun jasa karena hal tersebut memiliki nilai ekonomis yaitu dengan cara mewaralabakan
usahanya kepada pihak lain. Namun tidak semua pelaku usaha saat ini memiliki sertifikat KI
baik itu dalam perdagangan barang maupun jasa yang menggunakan model bisnis waralaba
sedangkan syarat waralaba sendiri tidak terpenuhi yaitu berupa sertifikat KI sebagaimana
di atur dalam Pasal 3 f Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Jo Pasal 2 ayat (2)
huruf f Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 yang berbunyi waralaba
harus memenuhi kriteria sebagai berikut; f. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 3 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007
yang dimaksud dengan HKI yang telah terdaftar yaitu HKI yang mempunyai sertifikat atau
sedang dalam proses permohonan baik merek, hak cipta, paten dan rahasia dagang. Dalam
hal kekayaan intelektual yang masih dalam proses permohonan tidak memberikan kepastian
hukum terhadap keberhasilan suatu Kekayaan Intelektual dapat didaftar atau terdaftar,
hal tersebut dikarenakan ketika masih dalam proses permohonan sangat dimungkinkan
terjadinya suatu penolakan yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu akibat adanya keberatan
dari pihak lain, gugatan pembatalan, maupun karena pemeriksaan substantif sehingga
hal tersebut berpengaruh juga terhadap perjanjian waralaba itu sendiri terutama kepada
penerima waralaba. Padahal keberadaan sertifikat KI merupakan salah satu syarat krusial
bilamana dalam penyelenggaraan model bisnis dengan sistem waralaba ternyata diketahui
belum memiliki sertifikat KI, maka hal tersebut berpotensi besar menimbulkan kerugian bagi
penerima waralaba maupun calon penerima waralaba. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian hukum dengan judul “akibat hukum perjanjian waralaba yang tidak
memiliki sertifikat kekayaan intelektual terdaftar, dengan fokus permasalahan yaitu apakah
akibat hukum perjanjian waralaba yang tidak memiliki sertifikat kekayaan intelektual?”

B. Metode Penelitian
Penulisan yang digunakan dalam penelitian hukum ini menggunakan metode normatif-
empiris, yaitu penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif secara
in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat9, sedangkan
penelitian hukum merupakan penelitian yang dilakukan untuk mencari dan menemukan solusi
terhadap permasalahan atau isu hukum yang terjadi sebagaimana pendapat Peter Mahmud
Marzuki yang menyatakan bahwa penelitian hukum sebagai suatu proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi.10 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

8 Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2008, hlm. 16
9 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004, hlm.134
10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, Cetakan ke-2, 2008 hlm.29

435
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Doyo Utomo Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang Tidak Memiliki Sertifikat Kekayaan
Intelektual Terdaftar

peraturan perundang-undangan, yaitu pengkajian peraturan perundang-undangan dengan


memahami hierarki dan asas-asas yang ada dalam peraturan perundang-undangan11 dengan
menggunakan metode analisis kualitatif yaitu untuk menganalisis kata-kata atau teks
yang kemudian dijabarkan. Sedangkan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan
hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah dan lain-lain. Sedangkan bahan hukum sekunder yaitu bahan
hukum berupa buku teks, skripsi, tesis, disertasi, jurnal,-jurnal hukum serta kamus hukum.

C. Pembahasan
Perjanjian waralaba adalah dua hal berbeda namun dalam implementasi keduanya menjadi
bagian yang tidak terpisahkan. Perjanjian itu sendiri diatur dalam buku ke-III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sedangkan Waralaba diatur secara khusus dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba ( selanjutnya disebut PP Waralaba) dan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba
(selanjutnya disebut Permendag Waralaba). Perjanjian merupakan suatu perbuatan di mana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.12 Sedangkan
waralaba diartikan sebagai hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan
usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/
atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak
lain berdasarkan perjanjian waralaba.13
Dalam perjanjian waralaba yang harus diperhatikan adalah penerapan ketentuan pasal
1320 dimana mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian yaitu kesepakatan mereka
yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan dan suatu pokok
persoalan tertentu, suatu sebab yang tidak terlarang14 karena ketika perjanjian waralaba telah
ditandatangani oleh masing-masing pihak maka sejak saat itu perjanjian waralaba berlaku dan
bersifat mengikat secara mutlak untuk memenuhi prestasi masing-masing karena perjanjian
tersebut hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya15.”Perjanjian waralaba menurut
Burhanuddin, diartikan sebagai “suatu perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak
untuk memanfaatkan dan/atau mengggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan
atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan
yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan/atau penjualan barang
atau jasa”16. Diperlukannya syarat sebagaimana di atur dalam KUHperdata khususnya
pasal 1320 yaitu karena dalam konsep waralaba memiliki karakteristik pokok yaitu berupa
kesepakatan kerjasama yang tertulis, penggunaan identitas pewaralaba, pemberian jasa
penyiapan usaha, mengikuti ketentuan pewaralaba, pengendalian hasil dan kegiatan17,
sehingga dalam penyusunan suatu kontrak waralaba atau perjanjian waralaba unsurnya
harus dipenuhi terlebih dahulu.

11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2011, hlm.141


12 Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
13 Op.Cit
14 Terjemahan R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Jakartan : PT. Pradnya
Paramita, Cetakan ke-34, 2005, pasal 1320
15 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-I, Wipres, 2008
16 Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2009, hlm. 241
17 Indira Hastuti, Aspek Hukum Perjanjian Walaba Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat, Volume 4 Nomor 1, 2006, hlm.32

436
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Doyo Utomo Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang Tidak Memiliki Sertifikat Kekayaan
Intelektual Terdaftar

Dari beberapa pengertian tersebut dapat dipahami bahwa waralaba merupakan sebuah sistem
penyelenggaraan bisnis yang diadakan oleh dua pihak atau lebih dimana penyelenggaraan
tersebut berdasarkan pada perjanjian atau kontrak dengan tujuan untuk memperoleh hasil
atau royalty yang telah ditetapkan bersama yang tertuang dalam perjanjian. Namun untuk
dapat mengadakan perjanjian waralaba, pewaralaba dan calon penerima waralaba juga harus
terebih dahulu memenuhi aspek-aspek atau kriteria yang menjadi dasar penyelenggaraan
waralaba. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2007 tentang
waralaba dalam Pasal 3 jo Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun
2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba menyebutkan bahwa Waralaba harus memenuhi
kriteria sebagai berikut :
a. Memiliki ciri khas usaha
b. Terbukti sudah memberikan keuntungan
c. Memiliki standar atas pelayanaan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat
secara tertulis
d. Mudah diajarkan dan diaplikasikan
e. Adanya dukungan yang berkesinambungan, dan
f. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang terdaftar.18
Sebelum melakukan kegiatan usaha secara waralaba, pemberi waralaba sebagai pemegang
hak ekslusif harus terlebih dahulu menyampaikan Prospektus Penawaran Waralaba kepada
Calon Penerima Waralaba yang nantinya akan memperoleh hak untuk menggunakan,
memakai, memanfaatkan, memperoleh informasi, memperoleh bantuan, dan segala hal
yang berkaitan dengan Kekayaan Intelektual beserta penyelenggaraan waralaba hal tersebut
bertujuan agar penerima waralaba mengetahui apa yang menjadi keuntungan dan apa yang
dapat dibebankan kepadanya sebagai hak dan kewajiban penerima waralaba dalam kontrak
waralaba sejak dini.19 Prospektus penawaran waralaba yaitu keterangan tertulis dari Pemberi
Waralaba yang paling sedikit menjelaskan tentang identitas, legalitas, sejarah kegiatan,
struktur organisasi, laporan keuangan, jumlah tempat usaha, daftar Penerima Waralaba, hak
dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba, serta Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) Pemberi Waralaba20.
Prospektus itu sendiri setidaknya mengandung beberapa kalusula yaitu identitas pemberi
waralaba, legalitas usaha waralaba, sejarah kegiatan usaha, struktur organisasi pemberi
waralaba, laporan keuangan dua tahun terakhir, jumlah tempat usaha, daftar penerima
waralaba dan hak dan kewajiban pemberi dan penerima waralaba.21 Baik prospektus
waralaba maupun perjanjian waralaba nantinya sama-sama harus di daftarkan ke instansi
yang berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 10 PP Waralaba jo Pasal 7 Permendag
Waralaba.
Dalam penyelenggaraan waralaba, salah satu yang menjadi syarat adalah adanya KI yang
terdaftar. Adanya KI yang telah terdaftar semata-mata adalah untuk memberikan jaminan
dan kepastian hukum atas objek Kekayaan Intelektual yang merupakan bagian penting dari
Waralaba (franchise) bagi para Franchisor yang hendak mengadakan perjanjian waralaba

18 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba jo Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba
19 Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, Ghalia Indonesia, Bogor : 2008, Hal. 34.
20 Op.Cit Pasal 1 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (7)
21 Moch Najib Imanullah, Urgensi Pengaturan Waralaba Dalam Undang-Undang, Yustisia Volume 1 Nomor 2 Mei-Agustus 2012,
hlm.20-21

437
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Doyo Utomo Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang Tidak Memiliki Sertifikat Kekayaan
Intelektual Terdaftar

khususnya di wilayah Indonesia sehingga kepastian hukum terhadap Kekayaan Intelektual


yang merupakan salah satu objek dari suatu perjanjian dapat dimanfaatkan secara maksimal
oleh pemberi dan penerima waralaba22.
Kemudian dalam permohonan pendaftaran untuk memperoleh Surat Tanda Pendaftaran
Waralaba (STPW), syarat sebagaimana Penjelasan Pasal 3 di atas dapat diartikan sebagai
bentuk keharusan” atau “kewajiban” dimana KI yang telah terdaftar secara hukum telah
memperoleh perlindungan, akan tetapi KI yang sedang dalam proses pendaftaran belumlah
mempunyai perlindungan hukum sebagaimana bunyi penjelasan pasal 3 huruf f PP Waralaba
serta prinsip perlindungan KI yaitu first to file not first to use. Dalam penjelasan tersebut,
terhadap objek Kekayaan Intelektual setidaknya terdiri dari 2 (dua) bentuk yaitu : pertama,
Kekayaan Intelektual Terdaftar. Kedua, KI yang sedang dalam proses pendaftaran. KI yang
telah terdaftar adalah KI yang telah memperoleh sertifikat baik itu merek, rahasia dagang,
hak cipta maupun yang lainnya, sedangkan KI yang sedang dalam proses permohonan
yaitu KI yang masih dalam tahap pendaftaran dimuali dari permohonan pendaftaran sampai
dengan masa pemeriksaan substantif atau dengan kata lain belum memiliki sertifikat KI.
Tentunya KI yang sedang dalam proses permohonan berpotensi terhadap pelanggaran Hak
Penerima Waralaba karena KI yang sedang dalam proses pendaftaran dapat dimungkinkan
untuk ditolak baik karena pemeriksaan substantif maupun karena adanya keberatan maupun
gugatan dari pihak lain. Indonesia adalah negara dengan urutan pertama pendaftaran KI
terbanyak23 sehingga kemungkinan untuk ditolak cenderung lebih besar karena dengan
berlakunya sistem konstitutif dalam perlindungan KI persaingan terhadap pendaftaran KI
sangat ketat sehingga siapa yang lebih dulu mendaftar maka dialah yang kiranya lebih dulu
memperoleh sertifikat KI. Hal ini dapat dijumpai dalam salah satu peraturan yaitu dalam
ketentuan Pasal 20-21 UU MIG yang mengatur tentang Merek Yang Tidak Dapat Didaftar
Dan Ditolak.
Kemudian merujuk pada Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor
16/PIN/KEP/3/2014 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan dan Pengawasan Waralaba
pada angka 12b ayat (3) huruf f menyatakan bahwa Pemohon menyampaikan SP-STPW yang
telah diisi dan dokumen persyaratan berupa Fotocopy Sertifikat/tanda bukti pendaftaran HKI
dari Pemberi Waralaba. Dalam petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Dirjen Perdagangan
Dalam Negeri khsusunya angka 12b ayat (3) huruf f maka terdapat 2 (dua) bentuk yaitu
berupa fotocopy sertifikat atau dapat berupa tanda bukti pendaftaran.
Apabila kita melihat ketentuan yang terkandung dalam pasal 3 PP Waralaba dan dihubungkan
dengan Pasal 2 ayat (2) Permendag Waralaba dan dihubungkan lagi dengan Keputusan
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Nomor 16/PIN/KEP/3/2014 tentang Petunjuk Teknis
Penyelenggaraan dan Pengawasan Waralaba maka terjadi perbedaan dalam hal syarat
permohonaan pendaftaran. Dimana dalam ketentuan Pasal 3 PP Waralaba dan Pasal 2 ayat (2)
Permendag Waralaba, KI tersebut sudah didaftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang
dalam proses pendaftaran, sedangkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan
Dalam Negeri Nomor 16/PIN/KEP/3/2014 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan
dan Pengawasan Waralaba pada angka 12b ayat (3) huruf f menyatakan bahwa Pemohon

22 https://www.kemendag.go.id/id/newsroom/media-corner/dorong-pertumbuhan-waralaba-kemendag-terbitkan-aturan-1, diakses
pada tanggal 14 Desember 2019 pukul 15:22
23 Nurul Hidayati dan Naomi Yuli Ester, S., Urgensi Perlindungan Merek Melalui Protokol Madrid, Jurnal Lesgislasi Indonesia, Volume
14 Nomor 2, Juni 2017, hlm. 179

438
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Doyo Utomo Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang Tidak Memiliki Sertifikat Kekayaan
Intelektual Terdaftar

menyampaikan SP-STPW yang telah diisi dan dokumen persyaratan berupa Fotocopy
Sertifikat/tanda bukti pendaftaran HKI dari Pemberi Waralaba.
Perbedaan ketentuan tersebut tentunya dapat mengakibatkan dan menimbulkan permasalahan
bagi para pelaku usaha khususnya dalam bidang Waralaba sehingga ketidakpastian
terhadap HKI dalam penyelenggaraan waralaba dapat menimbulkan resiko dan akibat
hukum khususnya terhadap penerima waralaba. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 3
khususnya dalam pasal Penjelasannya, apabila terdapat calon pemberi waralaba yang akan
mewaralabakan usahanya, maka dapat disimpulkan terhadap obyek HKI tersebut berupa 2
(dua) syarat :
1. Bukti HKI yang sedang dalam proses pendaftaran; atau
2. Bukti kepemilikan berupa sertifikat.
Bukti HKI yang sedang dalam proses pendaftaran sebagaimana angka 1 (satu) di atas,
tentunya dapat diartikan bahwa KI tersebut secara hukum belum memperoleh perlindungan
hukum karena belum terdaftar dalam Daftar Umum Merek pada Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual pada Kementerian Hukum dan HAM. Artinya setiap orang yang berkepentingan
dapat melakukan upaya-upaya terhadap HKI yang sedang dalam peroses pendaftaran dan
hal tersebut sangat dimungkinkan terjadinya penolakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual, karena di Indonesia prinsip yang di anut dalam sistem perlindungan KI adalah
prinsip first to file, jadi siapa yang mendaftarkan pertama kali dengan dibuktikannya
sertifikat pendaftaran, maka dialah yang memiliki hak eksklusif atas KI tersebut, berbeda
halnya dengan prinsip first to use, dimana dalam prinsip ini yang menjadi beban pembuktian
adalah siapa pemakai dan pengguna pertama kali. Pentingnya perlindungan terhadap KI
adalah untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan
berbagai ancaman dari pihak manapun.24
Sedangkan dalam praktek penyelenggaraan waralaba atau penggunaan nama atau istilah
waralaba harus memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan
Pasal 3 Permendag Waralaba yang berbunyi sebagai berikut :
“orang perseorangan atau badan usaha dilarang menggunakan istilah dan/atau nama waralaba
untuk nama dan/atau kegiatan usahanya, apabila tidak memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada Pasal 2 25”. Artinya bahwa, penyelenggaraan bisnis dengan model waralaba
berdasarkan ketentuan ayat ini dilarang ketika tidak dipenuhinya salah satu syarat baik itu
keberlangsungan atau keberhasilan bisnis maupun HKI itu sendiri. Sehingga keberadaan
KI sangat penting guna menunjang penyelenggaraan waralaba khususnya kepada penerima
waralaba.
Oleh karena itu, para pihak dalam perjanjian waralaba harus memperhatikan salah satu
unsur waralaba yaitu berupa bukti kepemilikan KI khususnya bagi calon penerima waralaba
(franchise) karena bisa saja pemberi waralaba seolah-olah telah memiliki KI terdaftar demi
memperoleh hasil atau keuntungan dengan cara menggunakan model waralaba, padahal
pada kenyataannya belum ada sertifikat KI yang dipegangnya, oleh karena itu prinsip kehati-
hatian harus terbenam dalam diri calon penerima waralaba karena ketika perjanjian itu
telah dibuat dan ditandatangani oleh pemberi waralaba dan penerima waralaba, maka sejak
saat itu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, dengan demikian

24 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm.74
25 Op.Cit, Pasal 2 ayat (2)

439
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Doyo Utomo Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang Tidak Memiliki Sertifikat Kekayaan
Intelektual Terdaftar

masing-masing dari mereka berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Dengan adanya


perjanjian tersebut dapat menjadi dasar hukum yang kuat untuk menegakkan perlindungan
hukum bagi para pihak yang terlibat dalam sistem waralaba26. Prinsip ini menjadi syarat
bagi calon penerima waralaba untuk mengantisipasi dikemudian hari jika ternyata KI yang
dimohonkan oleh pemberi waralaba terdapat penolakan, hal ini tentunya akan menimbulkan
akibat hukum yang baru bagi kedua belah pihak dan yang paling dirugikan adalah penerima
waralaba karena belum menikmati hasil waralaba sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan
yaitu menggunakan merek, bentuk format, formula, ciri khas, metode, tata cara, prosedur,
sistem dan lain sebagainya yang bersifat khas.27
Di sisi lain, PP Waralaba memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk memperluas
jaringan bisnis dalam bentuk waralaba dengan hanya cukup menggunakan bukti permohonan
pendaftaran KI, akan tetapi dengan adanya frasa yang optional dalam bentuk KI terdaftar
atau dalam proses permohonan menjadi tidak tepat ketika pelaku bisnis hanya mengantongi
bukti pendaftaran atau bukti permohonan pendafataran. Sebagaimana yang telah diuraikan
bahwa KI yang masih dalam proses permohonan memiliki konsekuensi terhadap adanya
penolakan maupun upaya hukum dari pihak lain, sehingga dalam hal pendaftaran STPW
dan Perjanjian Waralaba, apabila di implementasikan cukup dengan bukti pendaftaran hal
ini menjadi tidak konsisten dengan tujuan sebenarnya yaitu memberikan kemudahan dalam
penyelenggaraan waralaba tanpa harus mengantongi sertifikat KI.
Beberapa literatur menjelaskan bahwa dalam PP Waralaba dan Permendag Waralaba tidak
mengatur tentang adanya pencabutan STPW itu sendiri karena STPW merupakan suatu
perwujudan pemerintah untuk menghormati keabsahan suatu perjanjian waralaba, walaupun
dengan adanya pencabutan STPW tidak menghilangkan entitas waralaba yang melekat pada
penerima waralaba. Disinilah eksistensi Perjanjian waralaba terlihat28. Berdasarkan pada
pengertian ini, apabila dihubungkan dengan pelaksanaan perjanjian, syarat perjanjian, asas
perjanjian dalam KUHPerdata terlihat jelas bahwa dari eksistensi perjanjian waralaba itu
sendiri maka terdapat ketidakrelevanan terhadap perjanjian yang tidak dapat dibatalkan.
Artinya bahwa pemerintah sebagai aktor dalam penyusunan naskah peraturan perundang-
undangan seharusnya paham terhadap suatu perjanjian khususnya perihal syarat objektif.
Bilamana syarat objektif tidak terpenuhi yaitu berupa Kekayaan Intelektual, tidak mungkin
penerima waralaba cukup menggunakan KI lain seperti rahasia dagang atau hak cipta,
karena suatu branding dalam hal ini adalah merek atau merek dagang sangat dibutuhkan
dalam penyelenggaraan waralaba.
Dalam hal pendaftaran merek maupun KI yang lain baik itu rahasia dagang maupun hak cipta
dalam penyelenggaraan waralaba terdapat penolakan oleh pemeriksa pada Dirjen KI, maka
terhadap perjanjian antara pemberi dan penerima waralaba memiliki konsekuensi hukum
yaitu berupa pembatalan perjanjian atau addendum perjanjian bahkan dapat dituntut pidana
tentang penipuan. Tentunya apabila perjanjian waralaba dibatalkan maka terhadap hak dan
kewajiban para pihak harus diletakkan pada posisi semula seperti sebelum mengadakan

26 Adhitya Bagus Kuncoro, Perlindungan Hukum HKI dalam Perjanjian Waralaba (Studi Tentang Produk Bebek Goreng Haji Slamet),
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014
27 Gunawan Widjaja, Franchise Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta : Rajawali Press, 2007, hlm. 25
28 Akbar Hiznu Mawanda, Urgensi STPW Terhadap Keabsahan Suatu Perjanjian Waralaba, Tesis Magister Hukum Universitas Airlangga,
2012,
hlm. 81

440
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Doyo Utomo Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang Tidak Memiliki Sertifikat Kekayaan
Intelektual Terdaftar

perjanjian29. Selain pembatalan perjanjian, para pihak khususnya penerima waralaba yang
menerima dampak besar akibat tidak dapat menerima prestasi dalam hal memanfaatkan,
menggunakan, memakai kekayaan intelektual yang dijanjikan oleh pemberi waralaba, dapat
menuntut ganti rugi30 baik materil maupun immateril. Dalam hukum perdata mengenal
istilah asas perlindungan hukum, yaitu suatu asas yang mengandung pengertian bahwa
antara debitur dengan kreditur harus dilindungi terutama kepada debitur karena pihak ini
berada pada posisi yang lemah31. Begitu juga dengan bisnis waralaba yang asal muasal
keterikatannya adalah dengan perjanjian waralaba, maka penerima waralaba dalam konteks
perlindungan hukum adalah pihak yang paling utama untuk memperoleh perlindungan
hukum. Oleh karena itu ketika terjadi suatu pelanggaran akibat perjanjian waralaba terutama
menyangkut KI yang tidak sesuai dengan kriteria waralaba, penerima waralaba berhak untuk
melakukan upaya hukum.

D. Penutup
Simpulan
Perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sedangkan Waralaba diatur
secara khusus dalam Peraturan Pemrintah dan Peraturan Menteri Perdagangan. Dalam
perjanjian waralaba, harus mengacu kepada syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana
diatur Pasal 1320 KUHPerdata dan syarat penyelenggaraan waralaba sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 3 PP Waralaba jo Pasal 2 Permendag Waralaba yaitu tentang adanya
KI yang telah terdaftar dan sedang dalam proses permohonan. Berdasarkan pada ketentuan
yang mengatur tentang adanya KI yang masih dalam proses permohonan, hal tersebut
berpotensi melanggar hak-hak penerima waralaba dimana sangat dimungkinkan terhadap
proses pendaftaran merek maupun KI yang lain dapat untuk ditolak disebabkan beberapa
hal yaitu melanggar ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21 UU MIG, upaya hukum pihak lain baik
berupa keberatan maupun gugatan akibat persamaan merek atau pelanggaran atas merek
yang sedang didaftarkan sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat antara KI itu
sendiri dengan pemilik KI atas dasar prinsip firt to file. Dalam hal penerima waralaba telah
mengadakan perjanjian dengan nama waralaba bersama dengan pemberi waralaba, maka
penerima waralaba dapat melakukan upaya hukum kepada pihak pemberi waralaba berupa
pembatalan perjanjian waralaba, addendum perjanjian, permintaan ganti rugi dan pelaporan
tidak pidana kepolisian atas dasar dugaan penipuan.
Saran
Kekayaan Intelektual yang masih dalam proses pendaftaran secara hukum atas prinsip
kepemilikan yaitu first to file yang mana pemilik kekayaan intelektual yang dilindungi
adalah pemilik KI yang telah memperoleh sertifikat KI, sehingga dalam penyelenggaraan
waralaba kiranya harus memperhatikan prinsip pendaftaran KI dan sistem perlindungan
KI dikarenakan apabila KI masih dalam tahap pendaftaran sangat dimungkinkan untuk
ditolak maupun di batalkan. Oleh karena itu, alangkah baiknya pemerintah sebagai pembuat
produk hukum memberikan kepastian hukum terhadap pemilik KI terutama dalam hal
penyelenggaraan waralaba. Adanya klausula “KI yang sedang dalam proses pendaftaran”

29 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil, Jakarta : Kencana, hlm. 294
30 Yulia Dewitasari, dkk, Akibat Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Perjanjian Apabila Terjadi Pembatalan Perjanjian, Jurnal Garuda
Volume 3 Nomor 2, Januari 2015, hlm.4
31 M. Muhtarom, Asas-Asas Hukum Perjanjian:Suatu Landasaan Dalam Pembuatan Kontrak, SUHUF Volume 26 Nomor 1, Mei 2014,
hlm.55

441
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Doyo Utomo Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang Tidak Memiliki Sertifikat Kekayaan
Intelektual Terdaftar

berpotensi terhadap kerugian para pihak dalam perjanjian waralaba. Pemilik usaha seringkali
memanfaatkan momentum ini dimana tanpa harus mengantongi sertifikat KI, mereka sudah
dapat mengadakan perjanjian waralaba. Oleh karena itu, frasa “KI yang sedang dalam proses
permohonan atau proses pendaftaran” dalam PP Waralaba dan Permendag Waralaba kiranya
perlu dilakukan perubahan.

Daftar Pustaka
Buku
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004
Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, Ghalia Indonesia, Bogor : 2008
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil,
Jakarta : Kencana
Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2009
Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia, Jakarta : Rineka
Cipta, 2008
Gunawan Widjaja, Franchise Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta : Rajawali
Press, 2007
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, Cetakan ke-2, 2008
………………, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2011
Rachmadi Usman, Hukun Hak Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di
Indonesia,Bandung : Alumni, 2003
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 2008
R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
Jakartan : PT. Pradnya Paramita, Cetakan ke-34, 2005
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000

Jurnal
Indira Hastuti, Aspek Hukum Perjanjian Walaba Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat,
Volume 4 Nomor 1, 2006
Moch Najib Imanullah, Urgensi Pengaturan Waralaba Dalam Undang-Undang, Yustisia Volume
1 Nomor 2 Mei-Agustus 2012
Nurul Hidayati dan Naomi Yuli Ester, S., Urgensi Perlindungan Merek Melalui Protokol Madrid,
Jurnal Lesgislasi Indonesia, Volume 14 Nomor 2, Juni 2017
Yulia Dewitasari, dkk, Akibat Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Perjanjian Apabila Terjadi
Pembatalan Perjanjian, Jurnal Garuda Volume 3 Nomor 2, Januari 2015

442
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Doyo Utomo Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang Tidak Memiliki Sertifikat Kekayaan
Intelektual Terdaftar

Skripsi dan Tesis


Adhitya Bagus Kuncoro, Perlindungan Hukum HKI dalam Perjanjian Waralaba (Studi Tentang
Produk Bebek Goreng Haji Slamet), Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2014
Akbar Hiznu Mawanda, Urgensi STPW Terhadap Keabsahan Suatu Perjanjian Waralaba, Tesis
Magister Hukum Universitas Airlangga, 2012

Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba
Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 16/PIN/KEP/3/2014 tentang
Petunjuk Teknis Penyelenggaraan dan Pengawasan Waralaba

443
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Chintya Amelia Syaranamual Rekontruksi Ketentuan Penetapan Harga Jual Kembali
(Resale Price Maintenance) Terhadap Perlindungan Konsumen

Rekonstruksi Ketentuan Penetapan Harga Jual


Kembali (Resale Price Maintenance) Terhadap
Perlindungan Konsumen
Chintya Amelia Syaranamual1, Pujiyono2, Hari Purwadi 3

ABSTRAK
Persaingan usaha yang sehat sangat diperlukan guna mewujudkan iklim usaha yang kondusif.
Adanya peraturan yang mengatur persaingan usaha yang sehat diharapkan dapat menjamin
adanya kepastian kesempatan berusaha bagi para Pelaku Usaha dan mencegah terjadinya
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, dan disisi lain juga guna melindungi
konsumen. Penetapan harga jual kembali atau lebih dikenal sebagai konsep Resale Price
Maintenance (RPM) sebagai usaha atau tindakan dari pelaku usaha di hulu seperti perusahaan
manufaktur atau pemasok untuk mengontrol harga pada saat produk tersebut dijual kembali
(resold). Rekonstruksi hukum perlindungan konsumen atas praktik penetapan harga jual kembali
Resale Price Maintenance (RPM) perlu dilakukan mengingat masalah praktik monopoli yang
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dalam hal penetapan harga jual kembali masih banyak
terjadi di masyarakat. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana rekonstruksi hukum
perlindungan konsumen atas praktik penetapan harga jual kembali (Resale Price Maintenance).
Penulis menggunakan metode penelitian normatif atau doktrinal dengan pendekatan undang-
undang dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian dapat disimpulkan rekonstruksi hukum
perlindungan konsumen atas praktik penetapan harga jual kembali Resale Price Maintenance
(RPM) dapat dilakukan dengan merekonstruksi ketentuan sanksi pidana denda bagi pelaku usaha
yang telah melanggar ketentuan terkait praktik penetapan harga jual kembali Resale Price
Maintenance (RPM) sehingga menimbulkan praktik monopoli atau menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat.
Kata kunci: Rekonstruksi, Perlindungan Konsumen, Penetapan Harga Jual Kembali, Praktik
Monopoli.

A. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-harinya manusia tidak
akan terhindar dari pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kemudian terjadi proses ekonomi,
ketika manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga diperlukan transaksi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemudian kebutuhan ekonomi tersebut
diwujudkan dalam bentuk jual beli dengan menggunakan media uang sebagai alat tukar. Jual
beli membawa dua aspek penting dalamhukum perdata. Pertama, adalah kegiatan menjual,
yang secara sederhana menunjukkan pada suatu proses atau kegiatan yang bertujuan untuk
mengurangi jumlah harta kekayaan seseorang, pada satu sisi, yang merupakan suatu bentuk

1 Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres,Surakarta,Jawa
Tengah, Indonesia, chintya.amelia97@yahoo.co.id, S.H. (Universitas Sebelas Maret).
2 ** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, Prof.

(Universitas Sebelas Maret), Dr. (Universitas Sebelas Maret), S.H. (Universitas Sebelas Maret), M.H. (Universitas Sebelas Maret).
3 ***Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami 36 Kentingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia,

haripurwadi@staff.uns.ac.id, Dr. (Universitas Sebelas Maret), S.H. (Universitas Airlangga), M.Hum. (Universitas Diponegoro).

444
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Chintya Amelia Syaranamual Rekontruksi Ketentuan Penetapan Harga Jual Kembali
(Resale Price Maintenance) Terhadap Perlindungan Konsumen

kewajiban, prestasi atau utang yangharus dipenuhi. Kedua, pada sisi yang bertimbal balik,
kegiatan membeli tersebut, melahirkan suatu bentuk tagihan atau hak yang merupakan
kebendaan tidak berwujud yang bergerak. Kedua hal tersebut ada secara bertimbal balik,
pada “saat yang bersamaan” pada kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi
dalam jual beli terjadi dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan
secara bersama- sama4. Sebagaimana disebutkan Pasal 1457 KUHPerdata menjelaskan
Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan.
Berdasarkan rumusan tersebut bahwa jual beli merupakan salah satu bentuk perjanjian yang
melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud
dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh
pembeli kepada penjual5. Dalam kegiatan bisnis yang sehat akan meningkatkan ekonomi
nasional dan berdampak bagi ksejahteraan masyarakat. Persaingan usaha yang sehat sangat
diperlukan guna mewujudkan iklim usaha yang kondusif. Pelaku usaha kemudian melakukan
Penetapan harga jual kembali dalam literatur ilmu ekonomi lebih dikenal sebagai konsep
Resale Price Maintenance (RPM) yang dapat didefinisikan sebagai usaha atau tindakan
dari pelaku usaha di hulu seperti perusahaan manufaktur atau pemasok untuk mengontrol
harga pada saat produk tersebut dijual kembali (resold). Berkaitan dengan hal ini Adanya
peraturan yang mengatur persaingan usaha yang sehat diharapkan dapat menjamin adanya
kepastian kesempatan berusaha bagi para Pelaku Usaha dan mencegah terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Ketentuan yang mengatur mengenai resale price maintenance oleh Undang-Undang
Nomor. 5 Tahun 1999 ditafsirkan secara rule of reason, sehingga dapat diartikan pelaku
usaha diperbolehkan membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa penerima produk tidak akan menjual atau memasok kembali produk
yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan
asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Berkaitan dengan
pengaturan tersebut diatas, pada kenyataannya dalam praktik bisnis di masyarakat masih
banyak praktik monopoli yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Terdapat beberapa
kasus mengenai resale price maintenance ini. Salah satunya adalah mengenai Distribusi
Semen Gresik yang telah diputus oleh KPPU dengan Putusan No. 11/KKPU-I/2005. Selain
itu masih banyak terjadi Produsen atau pemasok mensyaratkan retailer agar tidak menjual
produknya lebih rendah dari harga jual minimum yang telah ditentukan. Penetapan harga
jual kembali (resale price maintenance) dapat merugikan konsumen melalui penghilangan /
mekanisme menghilangkan tingkat persaingan (lessening competition). Tidak jarang dalam
penetapan harga jual kembali (resale price maintenance) para pelaku usaha melakukan
kesepakatan kolusi sehingga merugikan konsumen baik konsumen akhir maupun konsumen
antara serta pelaku usaha lainnya. Penetapan harga jual kembali (resale price maintenance)
digunakan untuk memuluskan praktik kolusi, dengan menetapkan resale price maintenance
perusahaan di hulu dapat memastikan bahwa harga yang sampai di tangan konsumen sesuai
dengan kesepakatan kolusi yang dilakukan oleh perusahaan- perusahaan yang di hulu. Hal

4 Dewi Wulan Fasya. Jual Beli Dengan Hak Membeli Kembali (Studi Komparasi Antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan
Fikih Syafi’I. Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol. 6 No. 1. 2015
5 Gunawan Widjaja and Kartini Muljadi.Jual Beli.Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2003. Hlm. 7

445
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Chintya Amelia Syaranamual Rekontruksi Ketentuan Penetapan Harga Jual Kembali
(Resale Price Maintenance) Terhadap Perlindungan Konsumen

ini tentu merugikan konsumen serta pelaku usaha lainnya dan menunjukan bahwa peraturan
terkait khususnya ketentuan tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 8 Undang-undang
Nomor. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
belum maksimal. Hal ini yang melatar belakangi penulis untuk mengkaji permasalahan
dengan rumusan masalah bagaimana Rekonstruksi Ketentuan Praktik Penetapan Harga Jual
Kembali (Resale Price Maintenance) Terhadap Perlindungan Konsumen.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau dapat disebut dengan penelitian
hukum doktrinal, yaitu penelitian yang disusun dengan cara merujuk dari bahan pustaka
atau bahan sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder6.
Penulisan artikel ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statuta approach),
pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data sekunder (secondary data) dengan
sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi
buku-buku, teks, jurnal- jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan7.

C. Pembahasan
1. Penetapan Harga Jual Kembali (resale price maintenance)
Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan atau jasa sesuai
kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan8. Pelaku Usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang
dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan
yang sama9. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi suatu perjanjian yang dibuat dalam
suatu usaha patungan; atau suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang
berlaku10.Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang
satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama11.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat12. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual
atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih
rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat13. Pelanggaran terhadap larangan di atas diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp 5 milyar dan setinggi-tingginya Rp 25 milyar atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan14.

6
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Grup. 2014. hlm 55-56
7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. 2014. hlm. 133
8 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999
9 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999
10 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999
11 Pasal 6 Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999
12 Pasal 7 Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999
13 Pasal 8 Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999
14 Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999

446
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Chintya Amelia Syaranamual Rekontruksi Ketentuan Penetapan Harga Jual Kembali
(Resale Price Maintenance) Terhadap Perlindungan Konsumen

Penetapan harga jual kembali dalam literatur ilmu ekonomi lebih dikenal sebagai
konsep Resale Price Maintenance (RPM) yang dapat didefinisikan sebagai usaha atau
tindakan dari pelaku usaha di hulu seperti perusahaan manufaktur atau pemasok untuk
mengontrol harga pada saat produk tersebut dijual kembali (resold). Dengan demikian
Resale Price Maintenance merupakan suatu bentuk perjanjian antara dua atau lebih
pelaku usaha yang berada dalam tingkatan produksi atau distribusi yang berbeda.
Resale Price Maintenance merupakan salah satu bentuk hambatan vertikal (vertical
restraints) yaitu suatu pembatasan pengalihan hak atas suatu barang dan/atau jasa dalam
suatu transaksi ekonomi (economic exchange) diantara dua pihak yang berada dalam
tingkatan yang berbeda.
Yang termasuk ke dalam ketentuan penetapan harga jual kembali adalah penetapan
formula penentuan harga jual kembali dan penetapan range harga jual kembali, selain
dari bentuk penetapan harga tertentu. Penetapan minimum harga jual kembali akan
memberikan hasil optimal sesuai dengan yang diinginkan oleh pemasok/pemberi
persyaratan apabila dipatuhi dan dilaksanakan oleh penerima barang/penerima
persyaratan. Dalam kondisi persaingan yang intensif, penetapan minimum harga jual
kembali tidak akan dipatuhi oleh pihak penerima barang, karena dengan menetapkan
harga jual kembali yang lebih rendah, pelaku usaha tersebut dapat meningkatkan
penjualan. Dengan demikian penetapan sanksi atas tidak dilaksanakannya perjanjian
penetapan minimum harga jual kembali menjadi bagian penting. Oleh karena itu
pembuktian adanya sanksi terhada penerima barang/penerima persyaratan akibat
ketidakpatuhannya memenuhi persyaratan penetapan minimum harga jual kembali
termasuk bagian yang penting dalam penyelesaian sengketa yang terjadi dikemudian
hari.
Ahli Hukum dan Ahli Ekonomi aliran Chicago menyatakan bahwa resale price
maintenance bukanlah merupakan perbuatan yang melawan hukum persaingan. Setiap
pelaku usaha mempunyai hak untuk mengontrol beberapa aspek distribusi dari produknya.
Pelaku usaha dapat saja mendirikan perusahaan retail sendiri atau bekerjasama dengan
pihak lain. Mendirikan retail sendiri memerlukan modal dan tenaga, sedangkan
kerjasama dengan pihak lain namun tidak mempunyai kontrol secara langsung15.
Terdapat dua macam resale price maintenance yaitu penetapan harga secara maksimum
(maximum price fixing). Dengan penetapan harga maksimum ini, maka sebenarnya
masih terdapat persaingan antara pelaku usaha, yang mungkin akan menguntungkan
konsumen, karena yang diperjanjikan adalah larangan untuk menjual lebih mahal atau
diatas harga maksimum yang disepakati, sehingga pelaku usaha masih bisa berkompetisi
di harga jual sepanjang hal tersebut masih diatas harga predatori. Jenis kedua adalah
minimum resale price maintenance (floor price) yaitu kesepakatan antar pelaku usaha
dimana pembeli akan menjual kembali barang yang dia beli pada harga dimana tidak
boleh dibawah harga yang ditentukan. Dengan demikian adanya perjanjian minimum
resale price maintenance yang telah dibuat sebelumnya oleh perusahaan manufaktur
dengan perusahaan penyalurnya mengakibatkan perusahaan penyaluran tidak lagi
memiliki kebebasan untuk menjual produk yang disalurkannya tersebut dengan harga

15 S.G. Corones, Competition Law in Australia, 4th ed. Thomson Lawbook. 2007. Hlm.526.

447
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Chintya Amelia Syaranamual Rekontruksi Ketentuan Penetapan Harga Jual Kembali
(Resale Price Maintenance) Terhadap Perlindungan Konsumen

yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan perusahaan penyalur lainnya16. Sampai
dengan saat ini masih terdapat beberapa kasus mengenai resale price maintenance ini.
Salah satunya adalah mengenai Distribusi Semen Gresik yang telah diputus oleh KPPU
dengan Putusan No. 11/KKPU- I/2005.
Secara singkat kasus ini adalah mengenai distribusi Semen Gresik di Area 4 Jawa Timur
yang meliputi wilayah Blitar, Jombang, Kediri, Kertosono, Nganjuk, Pare, Trenggalek,
dan Tulungagung. Pelanggaran tersebut diduga dilakukan oleh PT. Bina Bangun Putra,
PT. Varia Usaha, PT. Waru Abadi, PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero),
UD. Mujiarto, TB. Lima Mas, CV. Obor Baru, CV. Tiga Bhakti, CV. Sura Raya Trading,
CV. Bumi Gresik yang merupakan Distributor Semen Gresik dan PT. Semen Gresik.
Dalam rangka memasarkan produknya, PT. Semen Gresik, Tbk. Dalam kasus ini
sebagai Terlapor XI menunjuk distributor. Kemudian PT. Semen Gresik, Tbk. dan para
Distributor mengikatkan diri melalui suatu Perjanjian Jual Beli yang menempatkan
para Distributor sebagai distributor mandiri/pembeli lepas. Dalam perjanjian tersebut
maka para distributor yaitu Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor
V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X harus menjual
Semen Gresik sesuai dengan harga yang telah ditentukan oleh Terlapor XI. Disamping
itu juga terdapat ketentuan yang melarang Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor
IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X
untuk memberikan potongan harga (discount) di muka. Terlapor XI juga menentukan
harga tebus Distributor, harga jual Semen Gresik dari Distributor kepada LT, harga jual
Semen Gresik dari Distributor dan atau LT kepada Toko dan harga jual eceran minimum.
Unsur utama dalam resale price maintenance adalah adanya perjanjian antar pelaku usaha
yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/ atau jasa tidak akan menjual
atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang
lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Dengan adanya perjanjian penetapan harga ditingkat distributor tersebut, maka Terlapor
telah melanggar ketentuan dalam Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999, karena dalam kasus ini
tidak ditemukan adanya alasan-alasan dilakukannya perjanjian-perjanjian tersebut yang
dapat diterima, sehingga perbuatan tersebut akan menyebabkan terjadinya persaingan
usaha yang tidak sehat dan tidak membawa dampak yang positif bagi masyarakat.
Sanksi pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 terdiri dari sanksi administratif, sanksi pidana
dan pidana tambahan. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999
diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)
dan setinggi- tingginya Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima milyar rupiah) atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 bulan.

2. Rekonstruksi Hukum Perlindungan Konsumen Atas Praktik Penetapan Harga


Jual Kembali (Resale Price Maintenance)
Konsumen sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen merupakan konsumen akhir yang dikenal dalam kepustakaan

16 Veronica G. Kayne, et. al., Vertical Restraints: Resale Price Maintenance Territorial and Customer Restraint, Practising Law Institute.
2007. Hlm.2

448
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Chintya Amelia Syaranamual Rekontruksi Ketentuan Penetapan Harga Jual Kembali
(Resale Price Maintenance) Terhadap Perlindungan Konsumen

ekonomi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua orang adalah konsumen
karena membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri,
keluarganya, ataupun untuk memelihara atau merawat harta bendanya17. Dalam Pasal 2
Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan
bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan,
dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Asas manfaat mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas keadilan ialah partisipasi
masyarakat dapat diwujudkan secara maksimal dan dapat memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk melakukan kewajiban serta memperoleh
haknya secara adil. Asas keseimbangan dimaksudkan guna memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan
spiritual. Asas keamanan dan keselamatan konsumen mengamanatkan memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dan penggunaan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas kepastian hukum dimaksudkan
agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum18.
Perlindungan hukum bagi konsumen sangat penting sebab memperhatikan posisi
tawar konsumen yang lemah. Pentingnya suatu Negara mengatur perlindungan
hukum terhadap konsumen pada umumnya didasarkan pada pertimbangan urgensinya.
Pertimbangan ini biasanya ditempuh dengan memperhatikan tingkat pembangunan
masing-masing Negara, pertumbuhan industri dan teknologi serta filosofi dan
kebijakan pembangunan19. Perlindungan Konsumen adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam
usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen
itu sendiri. Dalam bidang hukum, istilah ini masih relative baru, khususnya di Indonesia
sedangkan di Negara maju, hal ini mulai dibicarakan bersamaan dengan berkembangnya
industry dan teknologi20.
Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan
dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam
kehidupan bermasyarakat. Hal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 64 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa segala ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat
undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara
khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini21.
Tuntutan pasar bebas dan globalisasi dan dalam upaya menciptakan perekonomian
yang efisien, sehingga pada tahun 1999 Indonesia memberlakukan Undang-undang No.
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

17
Janus Sidabalok. 2014. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm.14 18Ahmadi Miru,
Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, Hlm. 25. 19 Abdul Halim Barkatullah, Hak-
Hak Konsumen, Bandung: Nusa Media, 2010, Hlm. 23.
20 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014, Hlm.24.
21 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, Hlm. 24.

449
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Chintya Amelia Syaranamual Rekontruksi Ketentuan Penetapan Harga Jual Kembali
(Resale Price Maintenance) Terhadap Perlindungan Konsumen

Pemberlakuan UU tersebut tentunya akan mempengaruhi praktik internal maupun


eksternal Indonesia sehingga mampu menciptakan praktik usaha yang semakin sehat
dan meningkatkan efisiensi perekonomian. Terdapat dua efisiensi yang hendak dicapai
oleh UU tersebut yaitu efisiensi bagi produsen dan efisiensi bagi masyarakat22.
Pasal 8 Undang-undang Nomor. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/
atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
Ketentuan yang mengatur mengenai resale price maintenance oleh Undang-Undang
Nomor. 5 Tahun 1999 ditafsirkan secara rule of reason, sehingga dapat diartikan
pelaku usaha diperbolehkan membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa penerima produk tidak akan menjual atau memasok kembali
produk yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Penulis menilai bahwa secara empiris sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa
dalam Penetapan Harga Jual Kembali (resale price mantanence) masih menimbulkan
praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Hal mana dalam Undang-undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat pada saat ini telah mengatur perihal ketentuan sanksi berupa sanksi administratif,
sanksi pidana dan pidana tambahan. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 8 UU No.
5 Tahun 1999 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 5.000.000.000,- (lima
milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima milyar
rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 bulan. Namun sanksi
tersebut dinilai tidak efektif dan menimbulkan efek jera bagi pelaku usaha sehingga
masih terjadi praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dalam Penetapan
Harga Jual Kembali (resale price mantanence) sehingga hal ini tentu sangan merugikan
konsumen.
Berkaitan dalam penulisan ini, maka rekonstruksi Hukum Perlindungan Konsumen Atas
Praktik Penetapan Harga Jual Kembali (Resale Price Maintenance) perlu dilakukan
dengan melakukan analisis sinkronisasi, konsistensi, dan harmonisasi dengan konsep
demokrasi ekonomi di Indonesia. Kemudian perlu direvisi terhadap produk perundang-
undangan khususnya terkait ketentuan penerapan sanksi atas pelanggaran terhadap
Penetapan Harga Jual Kembali (resale price mantanence) berupa sanksi administratif,
sanksi pidana dan pidana tambahan. Sebagaimana UU No. 5 Tahun 1999 yang telah
memberikan ancaman pidana denda serendah-rendahnya Rp. 5.000.000.000,- (lima
milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima milyar
rupiah) dinilai masih terlalu kecil bagi Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan
tersebut atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 bulan juga nilai tidak
menimbulkan efek jera.
Sehingga ketentuan ancaman pidana denda dapat lebih dimaksimalkan lagi dengan
menambahkan denda melebihi jumlah dari keuntungan yang diperoleh dari tindakan

22
Sukarmi, Peran UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam Meningkatkan Persaingan Usaha Di Era
AFTA. Jurnal Persaingan Usaha Edisi 4, 2010, Hlm. 2.

450
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Chintya Amelia Syaranamual Rekontruksi Ketentuan Penetapan Harga Jual Kembali
(Resale Price Maintenance) Terhadap Perlindungan Konsumen

pelanggaran yang dimungkinkan untuk diperhitungkan nilainya. Pengenaan denda yang


baru dapat menggunakan presentase dengan pedoman perhitungan denda proporsional
sebab denda yang dikenakan terhadap setiap pelaku usaha tidak bisa dipukul rata, karena
keuntungan dan kemampuan finansial setiap pelaku usaha berbeda. Pengenaan denda
dapat diubah dengan ketentuan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi
50% (lima puluh persen) dari nilai penjualan dari Pelaku Usaha pelanggar dalam kurun
waktu pelanggaran. Sehingga besaran denda yang baru dinilai lebih memberatkan pelaku
usaha yang melanggar dan menimbulkan efek jera karena menggunakan presentase.

D. Penutup
Penetapan Harga Jual Kembali (resale price mantanence) dengan adanya perjanjian antar
pelaku usaha yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/ atau jasa tidak akan
menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga
yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pelaku Usaha dalam hal ini harus diberikan
perlindungan khusus sebab berbagai kemungkinan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pada kenyataannya masih terdapat banyak sengketa persaingan usaha utamanya praktik
monopoli yang merugikan konsumen dan masyarakat hal ini menunjukan bahwa Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak
Sehat serta Undang-Undang Perlindungan Konsumen belum secara optimal melindungi
kepentingan Konsumen dan Pelaku Usaha. Rekonstruksi Hukum Perlindungan Konsumen
Atas Praktik Penetapan Harga Jual Kembali (Resale Price Maintenance) perlu dilakukan
dengan melakukan analisis sinkronisasi, konsistensi, dan harmonisasi dengan konsep
demokrasi ekonomi di Indonesia. Kemudian perlu direvisi terhadap produk perundang-
undangan khususnya terkait ketentuan penerapan sanksi atas pelanggaran terhadap
Penetapan Harga Jual Kembali (resale price mantanence) berupa sanksi administratif,
sanksi pidana dan pidana tambahan. Sehingga ketentuan ancaman pidana denda dapat lebih
dimaksimalkan lagi dengan menambahkan denda melebihi jumlah dari keuntungan yang
diperoleh dari tindakan pelanggaran yang dimungkinkan untuk diperhitungkan nilainya.
Pengenaan denda yang baru dapat menggunakan presentase dengan pedoman perhitungan
denda proporsional. Sehingga besaran denda yang baru dinilai lebih memberatkan pelaku
usaha yang melanggar dan menimbulkan efek jera karena menggunakan presentase yang
lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Bandung: Nusa Media, 2010.
Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010
Gunawan Widjaja and Kartini Muljadi, Jual Beli, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, 2006.

451
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Chintya Amelia Syaranamual Rekontruksi Ketentuan Penetapan Harga Jual Kembali
(Resale Price Maintenance) Terhadap Perlindungan Konsumen

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2014. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada
Grup, 2014.
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.

Jurnal
Dewi Wulan Fasya, Jual Beli Dengan Hak Membeli Kembali (Studi Komparasi Antara Kitab
Undang- Undang Hukum Perdata Dan Fikih Syafi’I), Jurisdictie: Jurnal Hukum dan
Syariah Vol. 6 No. 1. 2015.
S.G. Corones, Competition Law in Australia, 4th ed. Thomson Lawbook, 2007.
Sukarmi, Peran UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam
Meningkatkan Persaingan Usaha Di Era AFTA. Jurnal Persaingan Usaha Edisi 4, 2010
Veronica G. Kayne, et. al., Vertical Restraints: Resale Price Maintenance Territorial and
Customer Restraint, Practising Law Institute, 2007.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Putusan Pengadilan
Putusan KPPU No. 11/KKPU-I/2005

452
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno Penegakan Hukum terhadap Pertamini
Ilegal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan Pertashop

Penegakan Hukum Terhadap Pertamini Ilegal


Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan Gas Bumi dan Pertashop
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno1, Adi Sulistiyono2, Suraji3

ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui eksistensi Pertamini illegal dalam kenyataan di
masyarakat, peran Pertashop dalam menekan angka Pertamini illegal dan penegakan hukum
Pertamini illegal berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Bumi. Penelitian ini adalah penelitian empiris. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menghasilkan kesimpulan yaitu Penegakan hukum
Pertamini tidak bisa semata-mata dilakukan karena hanya Undang-Undang namun dilihat juga
dari aspek kemanfaatan kepada masyarakat yang mendapatkan BBM khususnya pada wilayah-
wilayah yang belum terjangkau akses SPBU untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Adanya
Pertashop membawa dampak positif bagi masyarakat dengan tujuan mendapat kualitas BBM
yang terbaik dan dengan harga terjangkau sehingga bisa menekan angka Pertamini illegal, namun
jumlah Pertashop yang sudah ada belum bisa menjangkau semua daerah yang jauh dari SPBU.
Kata Kunci: Bahan Bakar Minyak, Ilegal, Penegakan Hukum, Pertamini, Pertashop.

Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah yang mana kekayaan
ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat Indonesia. Hal ini
tercantum pada Pasal 33 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Pasal 33 ayat (2) yang menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”4
Bahan Bakar Minyak5 termasuk salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi
kehidupan masyarakat guna melakukan kegiatan dan aktivitas sehari-hari dan mobilitas
bagi masyarakat. Penggunaan bahan bakar minyak terbilang sangat tinggi. Oleh karena itu,
negara harus menjamin bahwa bahan bakar minyak ini dapat disalurkan ke seluruh wilayah
Indonesia sampai ke wilayah terpencil agar sumber daya alam ini dapat dirasakan dan
dimanfaatkan oleh selurut rakyat Indonesia.
Pelaku usaha yang ingin berjualan bahan bakar minyak harus memiliki izin usaha yang
menurut Pasal 2 PP Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan
Gas Bumi menyatakan “Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh Badan Usaha yang telah
memiliki Izin Usaha yang dikeluarkan oleh Menteri dan diselenggarakan melalui mekanisme
persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.”6

1 Mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum Minat Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4 Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5 Selanjutnya disebut BBM.
6 PP Nomor 36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi.

453
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno Penegakan Hukum terhadap Pertamini
Ilegal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan Pertashop

Namun pada kenyataannya, beberapa wilayah di Indonesia masih kesulitan untuk mengakses
bahan bakar minyak yang salah satu faktornya adalah letak geografis yang mana Pemerintah
agak kesulitan untuk menyalurkan bahan bakar minyak. Hal ini kemudian dimanfaatkan
para pelaku usaha untuk menyalurkan bahan bakar minyak khususnya pada wilayah-wilayah
yang belum terjangkau, namun yang menjadi persoalan adalah masih banyak penyalur bahan
bakar illegal atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Pertamini yang tidak memiliki izin
usaha yang dapat merugikan masyarakat.
Kegiatan dengan tanpa izin tersebut adalah mengumpulkan, menampung dan menyimpan
serta izin niaga yang tidak sesuai dengan izin usaha pengelolaan yang mendapat rekomendasi
dari pemerintah daerah yang sudah ditetapkan dalam Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Keadaan Pertamini yang tidak sesuai standard dan pendirian yang tidak memiliki izin
merupakan suatu pelanggaran hukum. Oleh karena itu diperlukan suatu penegakan hukum
yang tegas dan solusi untuk mengatasi suatu permasalah tersebut.
Saat ini Pertamina sudah mengeluarkan produk terbaru Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Umum7 mini yang bernama Pertashop, yaitu sebuah mini SPBU yang bekerja sama dengan
Pertamina yang merupakan pengembangan program Pertamina One Village One Outlet
(OVOO). Pada dasarnya konsep yang ditawarkan Pertashop tidak jauh berbeda dengan
kegiatan bisnis Pertamini, diharapkan dapat menekan atau mengurangi Pertamini illegal.
Berdasarkan uraian diatas, Peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai
permasalahan tersebut yang diangkat dalam sebuah artikel yang berjudul “Penegakan
Hukum Terhadap Pertamini Ilegal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dan Pertashop”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana eksistensi pertamini illegal dalam kenyataan di masyarakat ?
2. Bagaimana penegakan hukum Pertamini illegal ditinjau dari Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi?

C. Teori Hukum
Salah satu fungsi hukum, baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap atau perilaku adalah
membimbing perilaku manusia. Masalah pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada
timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum, tapi mencakup efek total dari hukum
terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif. Efektivitas
penegakan hukum sangat berkaitan erat dengan efektivitas hukum. Agar hukum itu efektif,
maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakkan sanksi tersebut. Suatu sanksi
dapat diaktualisasikan kepada masyarakat dalam bentuk ketaatan (compliance), dengan
kondisi tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa hukum tersebut adalah efektif.
Faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto antara lain
sebagai berikut.8

7 Selanjutnya disebut SPBU.


8 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 110.

454
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno Penegakan Hukum terhadap Pertamini
Ilegal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan Pertashop

1. Faktor Hukum
Hukum mengandung unsur keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik
penerapannya tidak jarang terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.
Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak
sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-
undang saja, maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka, ketika melihat
suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi prioritas utama.
Karena hukum tidak semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, melainkan
juga ikut mempertimbangkan faktor-faktor lain yang berkembang dalam masyarakat.
Sementara dari sisi lain, keadilan pun masih menjadi perdebatan disebabkan keadilan
mengandung unsur subyektif yang sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subyektif
dari masing-masing orang.
2. Faktor Penegak Hukum
Faktor Penegak Hukum Penegakan hukum berkaitan dengan pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum (law enforcement). Bagian-bagian law enforcement
itu adalah aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan,
dan kemanfaatan hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum melingkupi
pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat penegak hukum, sedangkan
aparat penegak hukum dalam arti sempit dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman,
penasehat hukum dan petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur
diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing yang meliputi
kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian,
penjatuhan vonis dan pemberian sanksi serta upaya pembinaan kembali terpidana.
Ada tiga elemen penting yang memengaruhi mekanisme bekerjanya aparat dan aparatur
penegak hukum, antara lain: (a) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat
sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (b) budaya
kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya; dan
(c) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaanya maupun yang
mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materiilnya maupun
hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan
ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan secara
internal dapat diwujudkan secara nyata.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas Hukum
Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai
tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor
pendukung. Fasilitas pendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan
sebagainya. Selain ketersediaan fasilitas, pemeliharaan pun sangat penting demi menjaga
keberlangsungan. Sering terjadi bahwa suatu peraturan sudah difungsikan, padahal
fasilitasnya belum tersedia lengkap. Kondisi semacam ini hanya akan menyebabkan
kontra-produktif yang harusnya memperlancar proses justru mengakibatkan terjadinya
kemacetan.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Masyarakat
mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum. Artinya, efektivitas hukum

455
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno Penegakan Hukum terhadap Pertamini
Ilegal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan Pertashop

juga bergantung pada kemauan dan kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran yang
rendah dari masyarakat akan mempersulit penegakan hukum, adapun langkah yang
bisa dilakukan adalah sosialisasi dengan melibatkan lapisan-lapisan sosial, pemegang
kekuasaan dan penegak hukum itu sendiri. Perumusan hukum juga harus memerhatikan
hubungan antara perubahan-perubahan sosial dengan hukum yang pada akhirnya hukum
bisa efektif sebagai sarana pengatur perilaku masyarakat.
5. Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja
dibedakan, karena di dalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-
nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau nonmaterial. Hal ini dibedakan
sebab sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum
mencakup, struktur, subtansi, dan kebudayaan. Struktur mencangkup wadah atau bentuk
dari sistem tersebut, umpamanya, menyangkup tatanan lembaga-lembaga hukum
formal, hukum antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajibankewajibanya,
dan seterusnya.9
Hukum mempunyai pengaruh langsung atau pengaruh yang tidak langsung di dalam
mendorong terjadinya perubahan sosial. Cara-cara untuk memengaruhi masyarakat
dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu dinamakan social
engineering atau social planning.10 Agar hukum benar-benar dapat memengaruhi
perlakuan masyarakat, maka hukum harus disebarluaskan, sehingga melembaga
dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu merupakan salah satu syarat
bagi penyebaran serta pelembagaan hukum. Komunikasi hukum tersebut dapat
dilakukan secara formal yaitu, melalui suatu tata cara yang terorganisasi dengan resmi.
Dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, bahwa suatu sikap tindak perilaku hukum
dianggap efektif, apabila sikap, tindakan atau perilaku lain menuju pada tujuan yang
dikehendaki, artinya apabila pihak lain tersebut mematuhi hukum.11 Undang-undang
dapat menjadi efektif jika peranan yang dilakukan pejabat penegak hukum semakin
mendekati apa yang diharapkan oleh undang-undang dan sebaliknya menjadi tidak
efektif jika peranan yang dilakukan oleh penegak hukum jauh dari apa yang diharapkan
undang-undang.12

D. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah jenis penelitian hukum empiris.13
Penelitian hukum empiris adalah sebuah metode penelitian hukum yang berupaya untuk
melihat hukum dalam artian yang nyata atau dapat dikatakan melihat, meneliti bagaimana
bekerjanya hukum di masyarakat, yang kemudian menggunakan pendekatan penelitian, jenis

9 Ibid., 112.
10 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 1982),115.
11 Ibid.
12 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 9.
13 Empiris (emprical) ini berarti bahwa pendapat atau keyakinan subjektif harus diperiksa dengan meghadapkannya pada realitas
objektif atau melakukan telaah uji empiris. Masalah-masalah yang diteliti adalah masalaha yang bersifat empiris. Oleh karena itu, data
terdiri atas pengalamanpengalaman penyidik dengan orang, benda, gejala, atau peristiwa-peristiwa. Ini berarti bahwa materi mentah
diperoleh melalui observasi sistematis atas realitas sosial. Data empiris digunakan sebagai solusi masalah sehingga penelitian empiris
telah menjadi padanan untuk penelitian ilmiah. Lihat Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009),
hlm. 10

456
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno Penegakan Hukum terhadap Pertamini
Ilegal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan Pertashop

pendekatan kualitatif.14 Pendekatan kualitatif biasanya digunakan untuk menghasilkan data


deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang atau perilaku yang diamati,
dan selanjutnya dikuatkan dengan sumber data primer dan sumber data sekunder.15
Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum yang deskripsi-analitis, yaitu menggambarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek
pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan.16 Deskriptif karena dalam
penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis tentang
Fokus penelitian. Sedangkan analitis karena dari data-data yang diperoleh akan dianalisis.17

E. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Ngargosari Kabupaten Kulon Progo. Pertimbangan lokasi
tersebut karena Pertahop sudah ada disana dan para pelaku usaha Pertamini relative lebih
banyak dibandingkan Pertashop.

Pembahasan
A. Eksistensi Pertamini Illegal dalam Kenyataan di Masyarakat
Keberadaan pelaku usaha Pertamini illegal saat ini banyak ditemukan di berbagai daerah
baik pedesaan, perkotaan, daerah yang sudah memiliki SPBU, ataupun daerah yang masih
belum terjangkau SPBU. Penyebab semakin banyaknya pelaku usaha Pertamini illegal
dikarenakan faktor kebutuhan masyarakat yang sangat bergantung pada BBM baik untuk
transportasi ataupun digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Selain itu, para
pelaku usaha Pertamini illegal menilai bahwa usaha tersebut dapat dijadikan sebagai sumber
penghasilan sehingga banyak masyarakat lain yang mencoba bisnis tersebut yang hampir
sebagian besar tidak memiliki izin dan tidak menaati peraturan yang berlaku.
Pelaku usaha Pertamini illegal melanggar Peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas
Bumi Nomor 6 Tahun 2015 tentang Penyaluran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan
Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan pada Daerah yang belum terdapat Penyalur18. Dalam
peraturan BPH Migas tersebut menyatakan dengan jelas syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk menjadi penyalur BBM.
Pasal 1 poin 5 peraturan BPH Migas menjelaskan bahwa Penyalur adalah koperasi, usaha
kecil, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta Nasional yang ditunjuk oleh
badan usaha untuk melakukan kegiatan penyaluran jenis BBM tertentu dan atau jenis BBM
Khusus Penugasan. Dalam poin ini dapat dipahami jika penyalur bukanlah milik orang
perseorangan melainkan harus dimiliki oleh badan usaha. Apabila di suatu daerah wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia belum terdapat atau tidak terdapat Penyalur maka
berdasarkan Pasal 3 ayat (2) BPH Migas dapat ditunjuk Sub Penyalur.

14 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 26.
15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986, hlm. 51. Lihat, Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar
Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), hlm. 133
16 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia;, 1988), hlm. 35.
17 Dalam hubungannya dengan spesifikasi penelitian yang deskriptif ini, J. Vrendenbergt mengungkapkan sebagaimana yang termuat
dalam bukunya“Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat”, menguraikan bahwa: “Dalam tipe penelitian deskriftif diusahakan untuk
memberi suatu uraian jelas mengenai suatu kolektifitas dengan syarat bahwa representatifitas harus terjamin. Kalau kolektifitas
tersebut besar maka penelitian mendasarkan diri atas suatu sampel yang selektif. Tujuan utama dari penelitian yang deskriptif ialah
melukiskan realitas sosial yang kompleks sedemikian rupa, sehingga relevansi sosiologis antropologis tercapai”
18 Selanjutnya disebut BPH Migas.

457
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno Penegakan Hukum terhadap Pertamini
Ilegal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan Pertashop

Syarat untuk menjadi Sub Penyalur dijelaskan dalam Pasal 6 BPH Migas
a. Anggota dan/atau perwakilan masyarakat yang akan menjadi Sub Penyalur memiliki
kegiatan usaha berupa usaha dagang dan/atau unit usaha yang dikelola oleh Badan
Usaha Milik Desa
b. Lokasi pendirian Sub Penyalur memenuhi standar keselamatan kerja dan lindungan
lingkungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
c. Memiliki sarana penyimpanan dengan kapasitas paling banyak 3.000 liter dan memenuhi
persyaratan teknis keselamatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
d. Memiliki atau menguasai alat angkut BBM yang memenuhi standar pengangkutan
BBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
e. Memiliki peralatan penyaluran yang memenuhi persyaratan teknis dan keselamatan
kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
f. Memiliki izin lokasi dari pemerintah daerah setempat untuk dibangun fasilitas Sub
Penyalur
g. Lokasi yang akan dibangun sarana Sub Penyalur secara umum berjarak minimal 5 km
dari lokasi penyalur berupa APMS terdekat, atau 10 km dari penyalur berupa SPBU
terdekat atau atas pertimbangan lain yang dapat dipertanggungjawabkan
h. Memiliki data konsumen pengguna yang kebutuhanya telah diverifikasi oleh Pemerintah
Daerah setempat
Penunjukan sub Penyalur oleh Pemerintah Daerah ditetapkan setelah:
a. Adanya usulan Kepala Desa setempat;
b. Tersedianya alokasi jenis BBM tertentu berdasarkan kuota Kabupaten/Kota yang
ditetapkan oleh Badan Pengatur sesuai dengan kuota Nasional;
c. Tersedianya alokasi jenis BBM Khusus Penugasan berdasarkan kuota yang ditetapkan
oleh Bdan Pengatur.
Namun pada kenyataannya, peraturan BPH Migas tersebut belum dapat diaplikasikan secara
maksimal. Sebagai contoh, kita masih banyak menemui Pertamini baik di pedesaan atau
perkotaan yang jaraknya tidak sampai 10 km dari SPBU Pertamina, lalu mesin Pertamini
bisa kita jumpai di toko-toko online dengan harga terjangkau, kemudian pendirian Pertamini
berada di lokasi yang ramai orang tanpa diberi sekat atau pembatas dengan jarak seadanya
atau bersebelahan langsung dengan jalan utama, hal ini membahayakan pelaku usaha dan
orang lain. Namun di lain sisi, masyarakat sekitar tidak menunjukkan penolakan dan bahkan
cenderung merasa terbantu dengan keberadaan Pertamini. Jika dilihat berdasarkan peraturan
BPH Migas hal ini jelas melanggar persyaratan pelaku usaha sebagai sub Penyalur BBM.
Permasalahan inilah yang menjadi kajian Pemerintah dan Pertamina. Jika menilik Pasal 8
ayat (2) UU Migas yang berbunyi “Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran
pendistribusian Bahan Bakar Minyak yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat
hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Khususnya
pada daerah-daerah yang sangat terpencil yang belum terjangkau SPBU, dimana Pemerintah
belum dapat melakukan distribusi secara menyeluruh, para pelaku usaha Pertamini inilah
yang secara kreatif membuat peluang usaha dengan menyalurkan BBM sehingga dapat
dinikmati oleh masyarakat sekitar meskipun dengan harga yang lebih tinggi, namun
masyarakat tidak mempermasalahkan karena pada dasarnya keberadaan BBM sangat vital
untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

458
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno Penegakan Hukum terhadap Pertamini
Ilegal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan Pertashop

Secara aturan, para pelaku usaha Pertamini melanggar hukum, namun hal tersebut menjadi
alternative karena untuk mendirikan sebuah SPBU resmi membutuhkan investasi yang
besar dan persyaratan-persyaratan lain yang tidak dapat dipenuhi oleh para pelaku usaha.
Pembenahan faktor penegak hukum, sarana atau fasilitas hukum, dan masyarakat menjadi
tugas utama Pemerintah agar penegakan hukum dapat terwujud.
Efektivitas Hukum menurut Soerjono Soekanto dalam permasalahan ini antara lain:
Faktor penegak hukum; Faktor sarana atau fasilitas hukum; dan Faktor masyarakat. Pada
kenyataannya ketiga faktor ini belum efektif karena ada kesenjangan antara das sollen dan
das sein. Penegak hukum tidak bisa hanya melihat dari Undang-Undang saja sedangkan
masyarakat memilih Pertamini karena sarana dan fasilitas Pemerintah yang kurang memadai
untuk pendistribusian BBM sehingga peraturan ini belum efektif.
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) sudah menyederhanakan aturan yang tercantum dalam Peraturan Menteri
ESDM Nomor 13 Tahun 2018 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM),
Bahan Bakar Gas (BBG), dan Liquefied Petroleum Gas (LPG), salah satu penyederhanaan
tersebut adalah perizinan pendirian SPBU hanya menjadi satu yang sebelumnya
mengharuskan untuk mengurus 31 perizinan.
Pertamina mengeluarkan produk Pertashop yaitu SPBU Mini resmi dari Pertamina yang
memiliki konsep hampir mirip dengan Pertamini dengan tujuan untuk membantu pemerataan
kebutuhan BBM masyarakat di seluruh wilayah Indonesia dengan biaya pendirian yang
lebih murah dibandingkan mendirikan SPBU Reguler. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan
program Pertamina One Village One Outlet dan memudahkan badan usaha yang ingin menjadi
Penyalur BBM di daerah terpencil agar masyarakat dapat merasakan mutu, keamanan, dan
harga yang sama dengan SPBU.
Kategori pemilihan wilayah yang akan diadakan kerjasama kemitraan bisnis Pertashop antara
lain: Pertama, lokasi daerah tersebut jauh dari SPBU yang sudah ada, Kedua, belum ada
SPBU pada kecamatan tersebut, Ketiga, daerah pemukiman tersebut padat sehingga dampak
atau manfaat dengan adanya Pertashop ini akan terasa dengan pemenuhan kebutuhan BBM
orang banyak. Kemudian, dilakukan pemilihan desa-desa yang sudah siap terkait lokasi,
manajemen, dan investasinya yang kemudian akan menjadi skala prioritas Pertamina, dalam
hal ini Pertamina bekerja sama dengan Kementrian Dalam Negeri untuk menentukan desa
mana yang menjadi prioritas kerjasama Pertashop.
Ada beberapa aspek penting yang menjadi tolak ukur Pertashop dalam mempersempit ruang
gerak Pertamini illegal, antara lain: aspek perizinan, aspek keamanan, aspek kenyamanan,
aspek takaran dan kualitas BBM, serta aspek harga yang sama dengan SPBU, karena pada
umumnya Pertamini menjual harga BBM lebih tinggi dari harga normal.
Ditinjau dari aspek perizinan jelas pelaku usaha Pertamini illegal melanggar aturan sebagai
sub Penyalur BBM, sedangkan Pertashop merupakan produk resmi dari Pertamina namun
perlu adanya investasi yang telah ditentukan terlebih dahulu, dibutuhkan modal yang lebih
besar namun dengan terjaminnya kelangsungan usaha karena investasi tersebut sudah
termasuk perizinan didalamnya.
Ditinjau dari aspek keamanan, mesin Pertashop sudah melewati berbagai macam tes terlebih
dahulu, salah satunya adalah tes dengan cara dibakar untuk memproyeksikan bagaimana
ketika mesin tersebut terjadi kebakaran, sedangkan untuk mesin yang digunakan pelaku

459
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno Penegakan Hukum terhadap Pertamini
Ilegal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan Pertashop

usaha Pertamini dapat dicari melalui toko online yang tidak memiliki standar keamanan
yang pasti
Ditinjau dari aspek kenyamanan, produk Pertashop didirikan pada lokasi yang telah
ditentukan dengan prosedur keamanan bagi masyarakat sekitar sehingga masyarakat tidak
perlu kuatir dan menimbulkan perasaan nyaman untuk membeli BBM, sedangkan untuk
Pertamini masih sering ditemukan di pinggir-pinggir jalan tanpa ada jarak dengan jalan
utama serta banyak orang yang melintasi jalan tersebut.
Ditinjau dari takaran dan kualitas BBM, Pertashop memiliki takaran dan kualitas yang sama
dengan SPBU Pertamina sehingga masyarakat tidak perlu takut atau kuatir terkait kandungan
yang ada dalam BBM itu sendiri, sedangkan untuk Pertamini belum tentu memiliki takaran
dan kualitas yang sama dengan SPBU.
Ditinjau dari segi harga, Pertashop memiliki harga yang sama dengan SPBU Pertamina,
sedangkan Pertamini memiliki harga yang lebih tinggi dari harga normal dengan
memperhitungkan biaya transportasi.
Berdasarkan alasan-alasan diatas, Pertashop diharapkan dapat menekan atau mengurangi
banyaknya Pertamini illegal. Namun saat ini, jumlah Pertashop yang sudah ada belum bisa
memenuhi kebutuhan BBM di semua wilayah yang jauh dari SPBU sehingga beberapa
daerah yang belum merasakan kemanfaatan Pertashop masih mengandalkan Pertamini.

B. Penegakan Hukum Pertamini Ilegal Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 22


Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi
yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum
akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Wayne laFavre menyatakan bahwa pada
hakikatnya diskresi berada di antara hukum dan moral (etika dalam arti sempit).19 Atas dasar
uraian tersebut dapatlah dikatakan bahwa gangguan terhadap penegakan hukum mungkin
terjadi, apabila ada ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku.
Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan
yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur dan pola perilaku tidak terarah
yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.20
Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum hukum bukanlah semata-
mata pelaksanaan perundang-undangan walaupun di dalam kenyataan di Indonesia
kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian “Law Enforcement” begitu populer.
Selain dari itu, maka ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum
sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Perlu dicatat, bahwa pendapat-pendapat
yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, apabila pelaksanaan daripada
perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut malahan mengganggu
kedamaian di dalam pergaulan hidup.21
Kegiatan penjualan bahan bakar minyak di Indonesia masuk kedalam kegiatan usaha hilir
yang terdapat dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 menyebutkan;

19 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Hlm. 6.


20 Ibid, Hlm. 7
21 Ibid. Hlm. 7-8

460
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno Penegakan Hukum terhadap Pertamini
Ilegal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan Pertashop

“Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan
usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau niaga.”
Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001, disebutkan; “Niaga adalah kegiatan
pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk
Niaga Gas Bumi melalui pipa.”
Dalam kegiatan usaha hulu dan usaha hilir, pihak yang memiliki wewenang adalah Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi, dan Badan
Usaha Swasta sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 21
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumi, yang menyatakan bahwa: “Kegiatan Usaha Hulu
dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat
dilaksanakan oleh:
1. Badan Usaha Milik Negara;
2. Badan Usaha Milik Daerah;
3. Koperasi;
4. Badan usaha Swasta.
Pasal 5 yang dimaksud pada Pasal 9 ayat (1) ialah badan usaha yang melakukan kegiatan
usaha hulu mencakup eksplorasi dan eksploitasi serta kegiatan usaha hilir mencakup
pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga.
Kegiatan usaha hilir dapat dilaksanakan oleh badan usaha yang telah mendapatkan izin
usaha dari pemerintah. Adapun jenis izin usaha hilir minyak meliputi izin usaha pengolahan,
izin usaha pengangkutan, izin usaha penyimpanan, dan izin usaha niaga sebagaimana yang
dimaksud pada Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi.
Penyalahgunaan pengangkutan terdapat pada Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan “Setiap orang yang
menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi
Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).”yang dimaksudkan dengan
menyalahgunakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan perseorangan
atau badan usaha dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat banyak dan negara
seperti antara lain kegiatan pengoplosan Bahan Bakar Minyak, penyimpangan alokasi
Bahan Bakar Minyak, Pengangkutan dan Penjualan Bahan Bakar Minyak ke luar negeri.22
Sedangkan kegiatan yang tidak memiliki izin usaha tercantum pada Pasal 53 Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
Pasal 53
“Setiap orang yang melakukan :
a. Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengolahan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling tinggi
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
b.  Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengangkutan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling tinggi
Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah);

22 Penjelasan atas Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.

461
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno Penegakan Hukum terhadap Pertamini
Ilegal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan Pertashop

c. Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Penyimpanan


dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi
Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);
d. Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00
(tiga puluh miliar rupiah).”
Dalam Pasal ini pengolahan yang dimaksud baik pengolahan dalam tahap pertama maupun
pengolahan pada tahap selanjutnya jika tidak sesuai dengan izin atau melakukan dengan
tanpa izin maka akan dipidana sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.23
Kegiatan perniagaan dalam bidang pendistribusian Bahan Bakar Minyak tidak serta merta
menjadi suatu bentuk tindak pidana asalkan kegiatan tersebut mendapat izin dari pihak yang
berwenang dalam hal ini yaitu Pemerintah. Perniagaan yang dimaksud dalam hal ini adalah:
“Pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang
itu di tempat lain atau pada waktu yang berikut dengan maksud memperoleh keuntungan”.24
Pelaku usaha yang tidak memiliki izin untuk melakukan kegiatan usahanya dalam
penyaluran Bahan Bakar Minyak akan dikenakan sanksi yang tercantum pada Pasal 53 dan
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Namun
masih memungkinkan bagi pelaku usaha yang memiliki izin usaha, tetapi melakukan yang
tidak seharusnya, maka dikenakan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang
Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan:
(1) Pemerintah dapat menyampaikan teguran tertulis, menangguhkan kegiatan,
membekukan kegiatan, atau mencabut Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 berdasarkan:
a.  pelanggaran terhadap salah satu persyaratan yang tercantum dalam Izin Usaha;
b.  pengulangan pelanggaran atas persyaratan Izin Usaha;
c. tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Sebelum melaksanakan pencabutan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Pemerintah terlebih dahulu memberikan kesempatan selama jangka waktu tertentu
kepada Badan Usaha untuk meniadakan pelanggaran yang telah dilakukan atau
pemenuhan persyaratan yang ditetapkan.
Menurut Pasal 50 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Bumi Penegak hukum atau pihak-pihak yang berwenang melakukan penyidikan jika
terdapat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah:
Pasal 50
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi diberi wewenang khusus sebagai
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomon 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam kegiatan usaha
Minyak dan Gas Bumi.

23 Dr. H. Syaiful Bakhri, SH, MH. 2012. Hukum Migas. Yogyakarta: Total Media. Hlm 26.
24 Giri Ahmad Taufik dan Wahyudin Sunarya. 2017. Pengantar Hukum Minyak dan Gas di Indonesia. Depok: Indorecht Publishing.
Hlm. 34

462
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno Penegakan Hukum terhadap Pertamini
Ilegal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan Pertashop

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berwenang:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang diterima
berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak
pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
c. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam
perkara tindak pidana kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
d. Menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan
tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
e. Melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk
melakukan tindak pidana;
f. Menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
h. Menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan
Gas Bumi.
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan perkara pidana kepada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya
dalam hal peristiwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a tidak terdapat cukup
bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana.
(5) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2018 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas dan
Liquefied Petroleum Gas mengatur lebih lanjut mengenai sanksi administrasi khususnya
pada Pasal 21 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
(1) Direktur Jenderal atas nama Menteri dapat memberikan sanksi administratif kepada BU
Niaga Migas yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal2 ayat (2), Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11 ayat (7), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 dan/
atau Pasal20 ayat (2).
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Teguran tertulis;
b. Penghentian sementara kegiatan; dan/atau
c. Pencabutan Izin Usaha Niaga minyak dan gas bumi
Eugen Ehrlich menyatakan “at the present as well as any other time, the centre or gravity of
legal development lies not in legislation, nor in jurist science nor in judicial decision, but in
society it self” (baik kini dan di masa kapanpun, pusat kegiatan dan perkembangan hukum
bukanlah dalam perundang-undangan, bukan dalam ilmu hukum, juga bukan dalam putusan
pengadilan, tetapi di dalam masyarakat sendiri)25

25 Achmad Ali. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta: Yarsif Watampone. Hlm. 289 s/d 290.

463
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno Penegakan Hukum terhadap Pertamini
Ilegal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan Pertashop

Penegakan hukum terhadap Pertamini illegal pada kenyataannya tidak semudah hanya
berdasar pada Undang-Undang semata, faktanya masyarakat pada wilayah-wilayah tertentu
khususnya yang belum terjangkau pendistribusian BBM merasa sangat terbantu dan tidak
mempersoalkan perbedaan harga antara Pertamini dengan SPBU Pertamina. Faktor lain
mengapa masyarakat lebih memilih Pertamini dibandingkan dengan SPBU adalah karena
jarak yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, para penegak hukum
kesulitan untuk menindak Pertamini illegal tersebut. Sedangkan Pertamina tidak bisa
menindak Pertamini karena bukan merupakan bagian bisnis dari Pertamina. Pemantauan
kegiatan perdagangan BBM eceran dilakukan oleh badan pengawas. Sedangkan mengenai
penindakan, yang bisa melakukannya hanyalah aparat penegak hukum.26
Seorang penegak hukum tentunya harus melakukan proses hukum ketika mengetahui adanya
pelanggaran hukum yang telah dilakukan. Namun polisi tidak dapat begitu saja melakukan
proses penegakan hukum terhadap pengecer yang menggunakan merk Pertamini karena
ada alasan yang mempermudah masyarakat dan mengakomodir kebutuhan BBM dalam
masyarakat.27
Dalam koordinasi yang dilakukan oleh BPH Migas dengan Pihak Kepolisian tentu akan
terganggu dengan jumlah yang sangat sedikit untuk seluruh wilayah Indonesia. Melihat
jumlah PPNS BPH Migas tersebut terlihat bahwa dalam proses pengawasan masih kurangnya
tenaga ahli manusia. Kekurangan tenaga ahli manusia tentu akan berpengaruh dalam proses
pengawasan itu sendiri. Dengan demikian BPH Migas lebih memprioritaskan kinerjanya
terhadap pengawasan kuota volume yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia dan terhadap
penimbunan bahan bakar minyak. Hal ini menjadi tidak terjangkaunya pengawasan terhadap
penjualan bahan bakar minyak tanpa izin. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penjualan
bahan bakar minyak yang Dilakukan oleh Pengecer. Sehingga pengawasan terhadap
penjualan bahan bakar minyak tanpa izin masih belum baik dan belum tercapainya tujuan
pengawasan.28
Peneliti memiliki pendapat lain mengenai adanya Pertashop dan Pertamini berdasarkan teori
efektivitas hukum Soerjono Soekanto yaitu Faktor Penegak Hukum, Faktor Sarana atau
Fasilitas Hukum, dan Faktor Masyarakat. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan satu sama
lain sehingga penegakan hukum belum dapat dilakukan secara maksimal. BBM merupakan
kebutuhan masyarakat yang sangat penting dan pendistribusiannya dijamin oleh konstitusi
kita UUD RI Tahun 1945 namun pada kenyataannya banyak daerah yang belum mendapatkan
distribusi BBM tersebut dikarenakan sarana pendukungnya seperti tenaga manusia untuk
menjadi pengawas, alat-alat, dan keperluan-keperluan lain yang tidak memadai sehingga
menimbulkan terhambatnya distribusi BBM. Selain itu, masyarakat yang justru terbantu
dengan adanya Pertamini dan para penegak hukum tidak bisa serta merta menindak para
pelaku usaha ini hanya berdasar Undang-Undang membuat penegakan hukum belum
tercapai maksimal. Peneliti mempunyai pendapat untuk dibentuknya sebuah kebijakan yang
bersifat win-win solution antara Pertamina dan Pertamini yaitu membuat peraturan untuk
menjadikan Pertamini sebagai usaha yang legal menurut Undang-Undang yang apabila

26 Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro dalam https://www.liputan6.com/bisnis/read/2298956/


pertamina-tak-bisa-tindak-pertamini
27 Retno Wijaya. 2015. Jurnal SKRIPSI Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penjualan BBM yang Dilakukan oleh Pengecer dengan
Menggunakan Merk Pertamini di Hubungkan dengan Undang-Undang
28 Dr. Syahiful Bakhri, SH, MH. 2012. Hukum Migas.Jakarta: total Media. Hlm. 36.

464
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno Penegakan Hukum terhadap Pertamini
Ilegal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan Pertashop

dibandingkan dengan Pertashop, jumlah Pertamini sudah sangat banyak di berbagai daerah,
bahkan daerah-daerah yang sudah terdapat SPBU. Penyederhanaan persyaratan Pertamina
untuk masyarakat yang ingin menjadi sub penyalur BBM juga diperlukan karena nampaknya
pada saat ini kebijakan penyederhanaan yang sudah dibuat masih terkesan memberatkan
masyarakat itu sendiri. Hal ini bisa menjadi jalan keluar dari problematika antara Pertamina
dan Pertamini, yang mana Pertamina dapat mengontrol jalannya Pertamini secara legal,
sedangkan para pelaku usaha Pertamini tidak kehilangan sumber penghasilan mereka sehari-
hari.

Penutup
A. Kesimpulan
1. Eksistensi Pertamini illegal saat ini sudah sangat banyak dijumpai di berbagai daerah
di Indonesia. Para pelaku usaha melanggar peraturan BPH Migas Nomor 6 Tahun 2015
tentang Penyaluran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Khusus
Penugasan pada Daerah yang belum terdapat Penyalur. Pertashop yang diharapkan
dapat menekan angka Pertamini illegal jumlahnya belum memadai sehingga daerah
yang belum merasakan manfaat dari Pertashop masih mengandalkan Pertamini untuk
memenuhi kebutuhan BBM.
2. Penegakan hukum Pertamini tidak bisa semata-mata dilakukan karena hanya
Undang-Undang namun dilihat juga dari aspek kemanfaatan kepada masyarakat yang
mendapatkan BBM khususnya pada wilayah-wilayah yang jauh atau belum terjangkau
akses SPBU untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

B. Saran
Kepada Pemerintah, disarankan untuk membuat kebijakan yang bersifat win-win solution
sehingga Pertamina dapat mengontrol jalannya Pertamini dan di sisi lain para pelaku usaha
Pertamini tidak kehilangan pekerjaannya.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta: Yarsif Watampone, 1998.
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2006.
Giri Ahmad Taufik dan Wahyudin Sunarya, Pengantar Hukum Minyak dan Gas di Indonesia,
Depok: Indorecht Publishing, 2017.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1988.
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005.

465
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Gusti Muhammad Faruq Abdul Hakim Sutikno Penegakan Hukum terhadap Pertamini
Ilegal Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan Pertashop

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta :


RajaGrafindo Persada, 1993.
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 1982.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986.
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Syaiful Bakhri, Hukum Migas, Yogyakarta: Total Media, 2012.
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009.

JURNAL
Retno Wijaya, “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penjualan BBM yang Dilakukan oleh
Pengecer dengan Menggunakan Merk Pertamini di Hubungkan dengan Undang-Undang”,
Lex Et Societatis, Vol. VI, No. 6, Juni 2019, https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/
lexetsocietatis/article/viewFile/25801/25446.

UNDANG-UNDANG
Peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi Nomor 6 Tahun 2015 tentang Penyaluran
Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan pada
Daerah yang belum terdapat Penyalur
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2018
tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas dan Liquefied
Petroleum Gas
PP Nomor 36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

DATA ELEKTRONIK
Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro dalam https://www.
liputan6.com/bisnis/read/2298956/pertamina-tak-bisa-tindak-pertamini

466
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Yapiter Marpi Strategi Sinergi Investor dan Penataan Regulasi sebagai Turbulensi
Inovasi Bisnis Perekonomian Indonesia Imbas Pandemi Covid-19

STRATEGI SINERGITAS INVESTOR DAN PENATAAN REGULASI


SEBAGAI TURBULENSI INOVASI BISNIS PEREKONOMIAN
INDONESIA IMBAS PANDEMI COVID-19
Yapiter Marpi1

Abstrak
Indonesia memiliki langkah perjuangan besar dalam pembangunan berkelanjutan dan
menciptakan perekonomian kancah daya saing secara global sebagai predikat Indonesia Maju.
Kemudian dalam perjalanannya Indonesia dihadapkan dengan cobaan tantangan menghadapi
pandemi Corona Virus Disease 2019 yang disingkat covid-19 telah mampu mengguncang
perekonomian Indonesia. Pantang menyerah dalam jiwa bangsa Indonesia dalam membangun
sinergitas bersama stakeholder didukung legislatif dan eksekutif agar dapat merangsang
investor asing maupun dalam negeri untuk bangkit secara berkesinambungan yang berdaulat
guna memperkuat kembali ekonomi Indonesia, cita-cita besar agar dapat menciptakan penataan
regulasi sebagai alat kebijakan secara tegas dan bijak sebagai upaya turbulensi sebagai
percepatan membangun perekonomian Indonesia dari keterpurukkan ekonomi menjadi New
Normal kembali seperti sediakala. Dalam penelitian artikel ini menarik suatu permasalahan
bagaimana strategi untuk peningkatan kembali perekonomian akibat pandemi? Dalam penelitian
ini bertujuan untuk meningkatkan perekonomian melalui ketegasan regulasi bersama sinergitas
piñata regulasi dan stakeholder. Dalam penelitian artikel menggunakan metode yuridis normatif
dan secara sosiologi kemudian mengkaji melalui analisis deskriptif analisis. Sehingga artikel ini
dapat menarik benang merah dengan adanya regulasi yaang baik dapat mengakomodir aturan
yang bisa menjamin bahwa diperlukan sinergitas stakeholder bersama legislatif dan eksekutif
terutama memerangi ditengah-tengah masa kahar yang menyebabkan melumpuhnya ekonomi
Indonesia segala sektor, besar harapan yang menjadikan buah pemikiran bersama ini menjadi
turbulensi pembangunan ekonomi dan menghidupkan kembali sendi-sendi bisnis melalui para
investor untuk mendorong kembali ekonomi Indonesia yang majemuk menjadi normal kembali.
Kata kunci: Investor, Penataan regulasi, sinergitas, strategi, turbulensi pembangunan ekonomi.

I. Pendahuluan
Dalam masa kahar saat ini dimana merupakan bencana nonalam yang kian dihadapi
masyarakat indonesia bukanlah hal biasa yang lagi namun menjadi luar biasa untuk menjadi
melemahnya ekonomi Indonesia saat ini dan dapat dikategorikan sebagai krisis ekonomi jilid
II. Kurun waktu awal februari 2020 ini bukanlah merupakan nasib baik bagi badan usaha
yang bergerak disektor usaha perbisnisan swasta maupun sektor usaha milik pemerintah
mengalami tak berdaya. Ditengah-tengah pandemi Covid-19 pemerintah mengupayakan
untuk pencegahan dan pula pada sektor-sektor tersebut ada diantaranya terjadi berkaitan
dengan pemangku kepentingan, penegakan hukum, hak asasi manusia, dan pemberantasan

1 Universitas Jakarta (UNIJA), Jakarta Timur, yapitermarpi@gmail.com ,


S1 Komputer (Universitas Teknokrat Indonesia);
S1 Hukum (Universitas Lampung); dan
S2 Hukum (Universitas Jayabaya).

467
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Yapiter Marpi Strategi Sinergi Investor dan Penataan Regulasi sebagai Turbulensi
Inovasi Bisnis Perekonomian Indonesia Imbas Pandemi Covid-19

korupsi, kolusi dan Nepotisme yang memanfaatkan situasi kondisi untuk meraih keuntungan
pribadi secara sembunyi-sembunyi.2
Disamping itu artikel ini tidak akan membahas panjang lebar terhadap dampak pandemi
namun yang diperlukan bagi investor adalah Penataan regulasi yang dapat mempermudah
akses sehingga menumbuhkan kepercayaan di kalangan investor terutama investor asing. Di
samping memulihkan kepercayaan tersebut, pemerintah juga harus melengkapi infrastruktur.
Karena, tersedianya infrastruktur juga merupakan syarat terciptanya investasi. Sebagai
sumber utama dana pembangunan nasional di Indonesia adalah dana dalam negeri.3 Perlu
diperhatikan juga, jumlah Investor dalam negeri yang tersedia sangat terbatas, sehingga
pemerintah memanfaatkan dana dari luar negeri. Salah satu sumber dana dari investor asing
yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan ekonomi nasional Indonesia adalah
penanaman modal asing. Investor asing sebagai bentuk aliran modal mempunyai peran
penting bagi pertumbuhan perekonomian suatu negara, khususnya negara berkembang.
Hal ini disebabkan investor asing tidak hanya memindahkan modal barang, tetapi juga
mentransfer pengetahuan dan modal sumber daya manusia untuk sebagai turbulensi
peningkatan bisnis pada sektor swasta maupun pemerintah sendiri.
Perlu bersama-sama untuk mencermati dalam berfikit secara jernih dan matang untuk
mengupayakan pemulihan kembali ekonomi yang kian memburuk, oleh sebab itu sudah
banyak sekali faktor-faktor penghambat untuk perlu diperhatikan. Permasalahan utama
dalam perizinan yang banyak dikeluhkan pelaku usaha biasanya mengacu pada proses
ekspor impor komoditas barang, proses pengurusan legalitas usaha yang membutuhkan
persyaratan yang sangat banyak dengan prosedur berbelit-belit dan birokratis yang dapat
memakan banyak pengeluaran biaya administrasi (cost administration) sehingga menyita
banyak waktu yang lama. Selain itu seringkali bentuk perijinan yang dihasilkan tidak efisien
karena banyaknya regulasi yang tumpang tindih (overlapping) antara instansi pusat dan
Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dan tidak berlaku secara nasional. Sehingga
regulasi yang ada tidak dapat mengakomodir sebagai cita-cita yang dapat memulihkan
perekonomian secara pesat.4
Era dampak pandemi covid-19 ini banyak memaksa semua negara untuk berlomba
membangun dan memperkuat sistem perekonomian masing-masing. Indonesia sebagai salah
satu negara yang sedang berjuang menarik investasi sebesar-besarnya untuk membangun
sistem perekonomian nasional menghadapi tantangan yang sama di tengah persaingan
tersebut. Adapun upaya pembangunan bidang ekonomi dimasa pandemi covid-19 pada
dasarnya merupakan refeksi dari cita-cita kemerdekaan dan Pancasila. Dalam penelitian
ini, politik ekonomi harus dimaknai secara utuh di mana sila-silanya tdaklah terlepas satu
dengan yang lain. Kelima sila Pancasila bersifat saling memaknai dan merupakan satu
kesatuan yang utuh. 5
Sebagai upaya penyempurnaan penataan regulasi di bidang investasi merupakan
kewenangan penuh sebagai buah pemikiran maupun kebijakan peran legislatif dan eksekutif,
mengingat kondisi saat ini ditengah masa kahar pandemi covid-19 saat ini diperlukannya

2 Dosen pada fakultas hukum Universitas Jakarta (UNIJA) Jakarta, pada 15 Juli 2020
3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Kompas Media Nusantara,2016, hlm. 65.
4 Arfan Faiz Muhlizi, Penataan Regulasi dalam Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasiona, Jurnal RechtsVinding, Vol. 6 No. 3,
Desember 2017, hlm. 351.
5 Abdul Manan, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014, hlm. 76.

468
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Yapiter Marpi Strategi Sinergi Investor dan Penataan Regulasi sebagai Turbulensi
Inovasi Bisnis Perekonomian Indonesia Imbas Pandemi Covid-19

suatu penataan regulasi di bidang investasi yang dapat menjadi daya tarik untuk investor
mendorong perekonomian Indonesia yang sedang mengalami keterpurukan namun bukan
cukup sampai pekerjaan pemerintah tetapi seluruh pemerintah baik pusat maupun daerah
memiliki tangggungjawab untuk bersama-sama menciptakan sebuah budaya hukum dan
budaya ekonomi yang baik dan bersinergitas. Menciptakan iklim investasi bukan hanya
menjamin keuntungan bagi sektor bisnis swasta serta keberlanjutan pembangunan negara
tetapi lebih dari pada itu investasi harus berdampak kepada masyarakat baik kualitas secara
ekonomi, sosial serta budaya bisnis. Suasana iklim penanaman modal yang kondusif melalui
penyesuaian hukum terkait penaman modal, pemberian insentif perizinan dan nonperizinan
dan penghilangan merupakan hambatan hukum dan nonhukum dalam penanaman
modal adalah upaya yang dapat dan perlu terus dilakukan untuk dapat memanfaatkan
sebesar-besarnya kesempatan yang ada dan memenangkan persaingan yang ketat, dalam
meningkatkan kegiatan penanaman modal.
Pentingnya politik sebagai Pembangunan ekonomi di era new normal saat ini merupakan
proses yang diselenggarakan secara berkelanjutan untuk mencapai kemakmuran dan
kemajuan bangsa. Sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, perwujudan tujuan
di atas tercermin di dalam peningkatan kegiatan ekonomi yang disertai dengan perbaikan
kualitas hidup setiap penduduknya sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Regulasi yang dikontruksikan harus mampu
menyeimbangan berbagai kepentingan agar masing-masing negara saling menghormat
kedaulatan untuk menetapkan kebijakan hukum investasinya, namun masing-masing
negara harus pula saling melindungi dan memperlakukan kegiatan investasi di negaranya
tanpa ada diskriminasi antara investor asing dengan investor domestik, demikian juga antar
sesama investor asing. Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal menyatakan, pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada
semua investor yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman
modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini
mensyaratkan adanya kegiatan perekonomian yang secara berkelanjutan meningkat kualitas
dan kuantitasnya, stabilitas ekonomi yang terjaga, dan hasil dari pembangunan ekonomi
yang dinikmati secara nyata oleh seluruh masyarakat. Dalam kurun masa pandemi covid-19
banyak berdampak serius terhadap perusahaan-perusahaan tingkat publik maupun swasta
internasional di Indonesia sebagai salah satu sampel artikel ini memasukan perusahaan KSP
Indosurya Cipta yang mengalami keterlambatan membayar pada investor sebagai nasabah
sehingga diperkarakan kedalam Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Akibat
dari kondisi tersebut menyumbang angka keterpurukan perekonomian Indonesia kancah
nasional maupun internasional yang menarik diri untuk tidak lagi berinvestasi, oleh karena
itu peneliti berminat untuk meneliti kondisi saat ini yang juga terdapat banyak kekurangan
dalam regulasi yang ada dan faktor penghambat ditengah-tengah pengurusan administrasi
bagi investor untuk menanamkan modal. Sehingga diperlukan sinergitas pemangku
kewenangan penataan regulasi dan pemangku penguasa sebagai eksekutif dalam hal ini
pemerintah untuk bersama-sama memperhatikan.

II. Permasalahan
Bagaimana strategi untuk peningkatan kembali perekonomian akibat pandemi?

469
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Yapiter Marpi Strategi Sinergi Investor dan Penataan Regulasi sebagai Turbulensi
Inovasi Bisnis Perekonomian Indonesia Imbas Pandemi Covid-19

III. Metode Penelitian


untuk menganalisis permasalahan yang diteliti, Dalam artikel ini merupakan penelitian
hukum normatif. Untuk mencari dan menemukan jawaban atas masalah dalam artikel
ini, digunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang terkait dengan
perlindungan penanaman modal asing di Indonesia. Data yang digunakan untuk mengkaji
masalah yang diteliti meliputi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal dan bahan hukum primer berupa karya-karya ilmiah dan hasil penelitian para ahli
hukum, khususnya yang terkait dengan penanaman modal asing pada masa kahar imbas
pandemi Covid-19. Data dikumpulkan dengan cara studi kepustakaan, kemudian dianalisis
menggunakan metode normatif kualitatif.

IV. Peningkatan Bisnis Perekonomian Indonesia


A. Strategi Relationship Investor bisnis peningkatan ekonomi
Sebagai strategi hubungan investor kepada inveistier lazimnya banyak faktor yang
mempengaruhi minat para investor asing untuk menginvestasikan modalnya di suatu
negara. Terutama untuk memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia yang sedang
buruk imbas pandemi Covid-19 ini dapat salah satu faktor penarik (pull factors) yang
ada di negara penerima modal, yaitu terkait dengan kebijakan pemberian insentif di
bidang perpajakan, tersedianya infrastruktur yang memadai, serta tersedianya tenaga
kerja yang terampil dan berdisiplin. Selain faktor tersebut, faktor utama yang dijadikan
pertimbangan oleh para investor sebelum menanamkan modalnya adalah faktor
kepastian hukum yang tentu saja terkait dengan stabilitas politik dan keamanan di negara
penerima modal.Daya tarik investor asing untuk melakukan investasi di Indonesia akan
sangat bergantung pada sistem hukum yang diterapkan. Sistem hukum itu harus mampu
menciptakan kepastian, keadilan, dan efisiensi.6
Realitasnya jika perlakuan yang sama bagi semua investor, Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal menyatakan, pemerintah memberikan
perlakuan yang sama kepada semua investor yang berasal dari negara mana pun yang
melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Perlakuan yang sama tersebut tidak berlaku bagi investor dari
suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.
Pembangunan ekonomi pada era pemerintahan nasional, dari orde lama, orde baru
dan era refomasi, arah kebijakannya merupakan bagian yang tak terpisah dari tuntutan
kondisi nasional yang ada. Maka sudah pasti akan dapat membantu mendorong roda
perekonomian Indonesia yang sedang merosot jauh sehingga menjadi keadaaln normal
kembali.
B. Strategi Kontruksi penataan regulasi bisnis peningkatan ekonomi
Strategi regulasi yang dikontrusksi mesti mampu menyeimbangankan berbagai
kepentngan agar masing-masing negara saling menghormati kedaulatan untuk
menetapkan kebijakan hukum investasinya, namun masing-masing negara harus pula
saling melindungi dan memperlakukan kegiatan investasi di negaranya tanpa ada
diskriminasi antara investor asing dengan investor domestk, demikian juga antar sesama

6 Agung Sudjati Winata, Perlindungan Investor Asing dalam Kegiatan Penanaman Modal Asing dan Implikasinya Terhadap Negara,
Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 2. Desember 2018, hlm. 130

470
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Yapiter Marpi Strategi Sinergi Investor dan Penataan Regulasi sebagai Turbulensi
Inovasi Bisnis Perekonomian Indonesia Imbas Pandemi Covid-19

investor asing guna meningkatkan atau pertumbuhan perekonomian Indonesia imbas


pandemi Covid-19.7 Dengan adanya regulasi yaang baik dapat mengakomodir aturan
yang bisa menjamin adanya kepastian hukum, maka pada satu sisi akan terwujud suatu
pasar yang teratur dan wajar, dan pada sisi lainnya pemberian perlindungan kepada
investor yang menempatkan dananya di pasar modal.
Bukan mudah untuk melakukan pembangunan ekonomi di massa pandemi Covid-19
dibutuhkan sebuah proses yang diselenggarakan secara berkelanjutan untuk mencapai
kemakmuran dan kemajuan bangsa. Sebagai bagian penyembuhan perekonomian
dari imbas pandemi, guna perwujudan tujuan di atas tercermin di dalam peningkatan
kegiatan ekonomi yang disertai dengan perbaikan kualitas hidup setap penduduknya
sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Hal ini mensyaratkan adanya kegiatan
perekonomian yang secara berkelanjutan meningkat kualitas dan kuanttasnya, stabilitas
ekonomi yang terjaga, dan hasil dari pembangunan ekonomi yang dinikmat secara nyata
oleh seluruh masyarakat.
Rencana pembangunan bidang ekonomi pada dasarnya merupakan refleksi dari
pembangunan ekonomi imbas pandemi sesuai pada pengamalan pancasilan dan UUD
1945. Dalam konteks ini, Pancasila harus dimaknai secara utuh di mana sila-silanya
tdaklah terlepas satu dengan yang lain. Artikel ini konsentrasi terhadap adanya kegiatan
penanaman modal asing, maka berbagai produk teknologi yang ada di negara asal
investor dapat dijual di Indonesia sebagai negara penerima modal. Kelima sila Pancasila
bersifat saling memaknai dan merupakan satu kesatuan yang utuh sebagai satu-satunya
cara untuk mewujudkan keinginan bersama itu adalah dengan adanya persatuan. 8
Segi praktisi implementasi, banyak terjadi di lapangan sebagai perspektf ekonomi
maupun dalam perspektf hukum. Dalam Hukum bisnis permasalahan utama yang
dihadapi adalah mudah sekali terjadi tumpang tindih atau bahkan pertentangan antara
peraturan yang satu dengan peraturan yang lain. Pemerintah sebagai regulator dan
fasilitator pembangunan ekonomi bertanggung jawab terhadap menarik atau tidak
iklim berusaha di Indonesia. Ini berarti bahwa kurang menariknya iklim berusaha
mengindikasikan lemahnya kapasitas pemerintah dalam mendorong daya saing negeri
ini. Dalam konteks ini, kelemahan tersebut, diindikasikan ketidakmampuan pemerintah
untuk membendung impor produk illegal. Kedua, kurangnya koordinasi antar instansi
pemerintah baik di level pusat, daerah dan antar daerah. Kondisi ini kian diperumit oleh
lemahnya kepemimpinan ataupun profesionalisme kerja birokrat serta masih kentalnya
intervensi kepentngan kelompok dalam pengambilan kebijakan ekonomi. Evaluasi
seluruh peraturan perundang-undangan perlu dilakukan mengingat kualitas regulasi saat
ini masih rendah yang ditandai dengan masih adanya tumpang tndih dan disharmoni
antar peraturan perundang-undangan, baik yang bersifat vertkal maupun horizontal,
jumlah regulasi juga masih dirasakan berlebihan serta tdak semuanya berdaya guna dan
berhasil guna dalam keadaan normal.

7 Suradiyanto, Made Warka , Pembangunan Hukum Investasi Dalam Peningkatan Penanaman Modal Di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 11, No. 2, Pebruari 2015, hlm.28.
8 Aladin Sirait, Peranan Politik Hukum Investasi Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia, Jurnal Kajian Politik Islam Vol. 2 No. 1
Januari-Juni 2019, hlm.67.

471
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Yapiter Marpi Strategi Sinergi Investor dan Penataan Regulasi sebagai Turbulensi
Inovasi Bisnis Perekonomian Indonesia Imbas Pandemi Covid-19

C. Sinergitas Peran Investor terhadap Stakeholder Sebagai Turbulensi inovasi


Ekonomi Indonesia
Strategi guna meningkatkan peran investor terhadap stakeholder sebagai langkah
inovatid turbulensi pertumbuhan ekonomi yang berkenaan dengan imbas pandemi
covid-19, inflasi dan pengangguran dan juga dengan kebijakan ekonomi nasional yang
berkaitan dengan isu-isu tersebut. Faktor-faktor penentu investasi di pasar modal sedang
berkembang; 9
Pertama, tingkat keuntungan investasi di pasar modal berkembang, para pemodal
penilaian suatu kesempatan investasi selalu berhubungan dengan aspek tingkat
keuntungan, bagi pemodal asing kesempatan investasi akan menghasilkan keuntungan
yang tinggi, karena dimana pasar modal yang berkembang akan selalu naik dan
berkembang dalam setiap tahunnya. Pembelian saham di pasar modal yang berkembang
akan berdampak positif di masa mendatang. Investor asing dan lokal mulai untuk
melakukan investasi dan mnunggu kesempatan untuk berinvestasi di pasar modal yang
berkembang, banyak investor mulai melakukan kegiatan jual beli dengan keuntungan
yang besar. Pasar modal yang berkembang akan tumbuh dai ekonomi suatu negara,
karena semakin banyaknya investor asing yang berinvestasi di bursa negara. Dalam
artikel ini penelitian perlunya perlakuan yang sama bagi semua investor, Pasal 6 UU
Penanaman Modal menyatakan, pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada
semua investor yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman
modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kedua, tingkat risiko investasi di pasar modal berkembang, pemodal asing perlu
memperhatikan faktor perubahan kurs valuta asing ini dalam perhitungan risiko
investasi. Pemodal asing terdapat dua sumber risiko sewaktu mereka menginvestasikan
dana di pasar modal berkembang, yaitu perubahan harga saham (risiko domestik) dan
perubahan valuta asing (risiko valuta asing), maka bisa diperkirakan bahwa devisiasi
standar tingkat keuntungan yang diperoleh oleh pemodal asing akan cenderung lebih
tinggi apabila dibandingkan dengan pemodal domestik. Sesuai dengan definisi bisnis
yang sudah dikemukakan, maka ilmu makro ekonomi inilah yang membahas peranan
perusahaan dalam perekonomian suatu negara. Perusahaan yang menyediakan barang
dan jasa yang dibutuhkan masyarakat sehingga terjadi keseimbangan ekonomi antara
suplai dan permintaan. Profit yang diperoleh perusahaan juga akan dipotong pajak yang
masuk ke dalam kas negara dan pajak tersebut juga digabung dengan pajak lainnya akan
digunakan membiayai pengeluaran negara untuk penekanan pandemi covid-19.
Bagi investor asing yang tetap mempertahankan sahamnya di pasar modal Indonesia
yang memiliki pemikiran dan pandangan baik dalam waktu masa mendatang. Masalah
pembangunan pada dasarnya merupakan masalah menambahkan investasi modal,
masalah keterbelakangan adalah masalah kekurangan modal. Kalau ada modal dan
modal itu diinvestasikan hasilnya adalah pembangunan ekonomi.Dewasa ini hampir
di semua negara, khususnya negara berkembang membutuhkan modal asing. Modal
asing itu merupakan suatu hal yang semakin penting bagi pembangunan suatu negara.
Sehingga kehadiran investor asing nampaknya tidak mungkin dihindari. Pemerintah
menetapkan bidang-bidang usaha yang memerlukan penanaman modal dengan berbagai

9 Iskandar Muda & Muhammad Kadaf, Penerapan Konsep Hukum Pembangunan Ekonomi , Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 1 April 2013,
hlm.23.

472
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Yapiter Marpi Strategi Sinergi Investor dan Penataan Regulasi sebagai Turbulensi
Inovasi Bisnis Perekonomian Indonesia Imbas Pandemi Covid-19

peraturan. Selain itu, pemerintah juga menentukan besarnya modal dan perbandingan
antara modal nasional maupun internasional. Pengaturan tentang kegiatan penanaman
modal di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal. Dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, disebutkan bahwa kegiatan penanaman modal
diselenggarakan berdasarkan asas kepastian hukum. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi
di Indonesia cukup pesat dan telah mengubah pola pikir masyarakat di bidang ekonomi
umumnya dan bidang investasi pada khususnya. Investasi merupakan salah satu
indikator yang dapat mempengaruhi perekonomian di suatu negara.10 Investasi dapat
dikatakan mempengaruhi perekonomian apabila investasi tersebut digunakan untuk
melakukan pembiayaan pada sector riil sehingga apabila sector riil telah berkembang
dengan baik maka output nasional akan meningkat.11

V. Penutup
Diperlukan sinergitas integrasi antar investor dalam penyeimbang penataan regulasi yang
keterkaitan perencanaan, pengharmonisasian, dan pengevaluasian regulasi yang mengatur
investor sehingga tidak mempersulit atas kepengurusan administrasi dan hendak menanamkan
modalnya di Indonesia guna pemulihan pertumbuhan ekonomi Indonesia harus dilakukan
secara aktif untuk semua peraturan perundang-undangan dengan parameter yang sama asas
pembentukan peraturan perundang-undangan, dan asas materi muatan peraturan perundang-
undangan. Pentingnya bersinergi investor untuk pemulihan dan pembangunan ekoonmi
Indonesia untuk kepentingan secara umum dan kemajuan bangsa, hal ini sangat penting
sehingga semua kepentingan masyarakat dan kepentingan para investor yang difasilitasi
oleh pemerintah dengan aturan hukum yang jelas. Penataan regulasi diselenggarakan
melalui proses terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta sehingga menghasilkan produk hukum
beserta peraturan pelaksanaan yang dapat diaplikasikan secara efektif dengan didukung
oleh penelitian dan pengembangan hukum yang didasarkan pada aspirasi dan kebutuhan
masyarakat. Evaluasi seluruh peraturan perundang-undangan perlu dilakukan mengingat
kualitas regulasi saat ini masih rendah yang ditandai dengan masih adanya tumpang
tndih dan disharmoni antar peraturan perundang-undangan, baik yang bersifat vertkal
maupun horizontal, jumlah regulasi juga masih dirasakan berlebihan serta tidak semuanya
berdaya guna dan berhasil guna dalam keadaan normal imbas pandemi covid-19. Dengan
demikian akan dapat meningkatkan ekonomi Indonesia sebagai pemulihan secara turbulensi
menjadikan Indonesia yang berkembang dikancah ekonomi.

Daftar Pustaka
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Kompas Media Nusantara,Jakarta,2016.
Abdul Manan, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2014.

10 Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hlm.4.
11 Nadir & Win Yuli Wardani, Politik Hukum Dalam Pembangunan Hukum Nasional Indonesia: Arah Dan Substansinya, Jurnal YUSTITIA
Vol. 19 No. 1 Mei 2018, hlm. 14.

473
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Yapiter Marpi Strategi Sinergi Investor dan Penataan Regulasi sebagai Turbulensi
Inovasi Bisnis Perekonomian Indonesia Imbas Pandemi Covid-19

Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2008.
Nadir & Win Yuli Wardani, Politik Hukum Dalam Pembangunan Hukum Nasional Indonesia:
Arah Dan Substansinya, Jurnal YUSTITIA Vol. 19 No. 1 Mei 2018.
Arfan Faiz Muhlizi, Penataan Regulasi dalam Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasiona,
Jurnal RechtsVinding, Vol. 6 No. 3, Desember 2017.
Agung Sudjati Winata, Perlindungan Investor Asing dalam Kegiatan Penanaman Modal Asing
dan Implikasinya Terhadap Negara, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 2. Desember 2018.
Aladin Sirait, Peranan Politik Hukum Investasi Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia,
Jurnal Kajian Politik Islam Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2019.
Iskandar Muda & Muhammad Kadaf, Penerapan Konsep Hukum Pembangunan Ekonomi ,
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 1 April 2013.
Suradiyanto, Made Warka , Pembangunan Hukum Investasi Dalam Peningkatan Penanaman
Modal Di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 11, No. 2, Pebruari 2015.
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945
Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

474
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Debora Pasaribu Perlindungan Hukum Folklor Tari Tor-Tor Berdasarkan UU Hak Cipta
dan UU Pemajuan Kebudayaan Perspektif Keadilan Bermartabat

PERLINDUNGAN HUKUM FOLKLOR TARI TOR-TOR BERDASAR-


KAN UU HAK CIPTA DAN UU PEMAJUAN KEBUDAYAAN PERSPEK-
TIF KEADILAN BERMARTABAT
Debora Pasaribu, Ellora Sukardi, Agrippina Ngadiman

ABSTRAK
Bangsa Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat beraneka ragam, termasuk namun tidak
terbatas pada Folklor. Folklor termasuk dalam salah satu objek perlindungan dalam Undang-
undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut “UU Hak Cipta”)
dan termasuk dalam salah satu objek hukum dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017
tentang Pemajuan Kebudayaan (selanjutnya disebut “UU PK”). Tari Tor-Tor merupakan salah
satu kesenian suku bangsa Batak yang masih eksis hingga saat ini dan wajib dilindungi serta
dilestarikan agar tidak punah terlebih lagi diakui kepemilikannya oleh Negara lain. Rumusan
masalah yang diangkat adalah bagaimana perlindungan hukum Folklor tari Tor-Tor berdasarkan
UU Hak Cipta dan UU Pemajuan Kebudayaan perspektif keadilan bermartabat? Metode
penelitian yang digunakan adalah metode yuridis-normatif, menggunakan data sekunder berupa
bahan hukum primer yakni peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan
Folklor, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Kesimpulan yang didapatkan adalah
Folklor merupakan objek yang dilindungi oleh UU Hak Cipta dan wajib didukung pelestariannya
berdasarkan UU Pemajuan Kebudayaan, berdasarkan perspektif keadilan bermartabat dengan
melesatrikan Folklor maka telah mendukung tujuan untuk memanuisiakan manusia dalam hal
ini agar Folklor tetap dapat dinikmati oleh generasi penerus selanjutnya.
Kata Kunci: Folklor, Tari Tor-Tor, Hak Cipta, Pemajuan Kebudayaan, Keadilan Bermartabat

A. Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang sangat luas dengan beragam suku bangsa dan budaya.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945) telah memberikan perlindungan kebudayaan nasional Indonesia. Pasal 32 ayat (1)
UUD 1945 mengamanatkan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Arti kata Folklor berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah adat-istiadat tradisional
dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, tetapi tidak dibukukan; ilmu adat-
istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan.1 Peraturan perundang-undangan
yang membahas Folklor dapat ditemukan pada Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang berbunyi Negara memegang Hak Cipta atas folklor
dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng,
legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
Dengan pengertian inilah tari Tor-Tor termasuk dalam adat-istiadat tradisional yang berasal

1 KBBI, “Folklor”, diakses dari https://kbbi.web.id/folklor

475
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Debora Pasaribu Perlindungan Hukum Folklor Tari Tor-Tor Berdasarkan UU Hak Cipta
dan UU Pemajuan Kebudayaan Perspektif Keadilan Bermartabat

dari suku Batak, Sumatera Utara.2 Tortor merupakan seni tari yang menggerakkan
seluruh badan dengan diiringi irama gondang, pusat gerakan tarian ini berada pada tangan
dan jari, kaki dan telapak kaki, punggung dan bahu. Orang yang menarikan, disebut
Panortor.3 Berdasarkan database Direktorat Jenderal Kekayaan Komunal, Tor-Tor diakui
sebagai sebuah tari dari daerah Batak dengan latar belakang falsafah peradatan dan ditarikan
dalam suasana khusuk.4 sebagai sebuah budaya yang diakui, tentu Tor-Tor membutuhkan
perlindungan yang jelas.
Namun, dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta tersebut belum
sepenuhnya memberikan perlindungan kepada Folklor mengingat pengakuan Folklor
Indonesia oleh pihak asing telah berulang kali terjadi. UU Hak Cipta Tahun 2002 ini, dinilai
tidak mampu mengantisipasi Pelanggaran Hak Cipta.5 Pelaksanaan dari pengaturan ini tidak
mudah dan dinilai terlalu ‘sumir’.6 Sebagai contoh, negara Malaysia sedikitnya pernah
melakukan klaim terhadap 8 Budaya Indonesia berupa Wayang Kulit, Lagu Rasa Sayange,
Batik, Reog Ponorogo, Angklung, Tari Pendet, Tari Piring dan Kuda Lumping.7 Bahkan,
Tari Tor-Tor dan alat musik Gordang Sambilan yang berasal dari suku Batak ini sendiri
pernah di klaim oleh negara Malaysia dan didaftarkan dalam seksyen 67 sebagai Akta
Warisan Kebangsaan 2005.8 Selanjutnya, dalam Undang-undang Hak Cipta yang baru yaitu
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut “UU Hak
Cipta”), terminologi yang digunakan adalah Ekspresi Budaya Tradisional (“EBT”) yang
secara khusus diatur dalam BAB V yaitu EBT dan Ciptaan yang dilindungi. Jadi dalam UU
Hak Cipta ini kebudayaan yang dilindungi adalah EBT, dan Hak cipta atas EBT dipegang
oleh negara.9
UU Hak Cipta menganut asas deklaratif, hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 1 yang
berbunyi: Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan
prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi
pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, perlindungan
terhadap ciptaan tersebut muncul sejak pertama kali Pencipta mempublikasikan karyanya
tanpa harus dilakukan pencatatan terlebih dahulu. Definisi Pencipta dapat dilihat pada
Pasal 1 angka 2 yang menjelaskan bahwa Pencipta adalah seorang atau beberapa orang
yang secara sendiri- sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat
khas dan pribadi.Walaupun tidak ada kewajiban untuk mencatatkan suatu karya/Ciptaan,
pencatatan Ciptaan juga menjadi satu hal yang penting agar Pencipta mempunyai bukti yang

2 National Geographic, “Mengupas Sejarah dan Makna Tari Tor-Tor”, diakses dari <https://nationalgeographic.grid.id/read/13282448/
mengupas-sejarah-dan-makna-tari-Tor-Tor>, Pada 10 Juli 2020
3 Tati Diana, “Makna Tari Tortor Dalam Upacara Adat Perkawinan Suku Batak Toba Desa Tangga Batu Kecamatan Tampahan Kabupaten
Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara”, Jom FISIP Volume 4 NO. 1 Februari 2017, hlm. 1.
4 Pusat Data Nasional Kekayaan Intelektual Komunal Indonesia, diakses dari <http://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/index.php/
penelusuran/439/ebt>, Pada 3 Agustus 2020.
5 Simona Bustani, “Potret Efektivitas Penerapan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta”, Jurnal Hukum Prioris, Vol. 4
Nomor 2, 2014, hlm. 102.
6 Agus Sardjono, “Perlindungan Folklore: Apakah Rezim Hak Cipta Memadai?”, Indonesian Journal of International Law, Volume 1,
Nomor 1, Oktober 2003, hlm. 125.
7 Sulung Lahitani, “8 Warisan Budaya Indonesia yang Pernah Diklaim Malaysia”, diakses dari <https://www.liputan6.com/citizen6/
read/2156339/8-warisan-budaya-indonesia-yang-pernah-diklaim-malaysia>, Pada 10 Juli 2020.
8 Mohamad Hasist, “Tari Tor-Tor asli Batak diklaim Malaysia, diakses dari <https://www.merdeka.com/peristiwa/tari-Tor-Tor-asli-
batak-diklaim-malaysia.html>, Pada 10 Juli 2020.
9 DJKI, “Lindungi Warisan Budaya Dengan Inventarisasi Kekayaan Intelektual Komunal”, diakses dari <https://dgip.go.id/lindungi-
warisan-budaya-dengan-inventarisasi-kekayaan-intelektual-komunal>, Pada 11 Juli 2020

476
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Debora Pasaribu Perlindungan Hukum Folklor Tari Tor-Tor Berdasarkan UU Hak Cipta
dan UU Pemajuan Kebudayaan Perspektif Keadilan Bermartabat

sempurna atas suatu Ciptaan. Folklor/EBT pun perlu mendapatkan kepastian dalam bidang
Hak Ciptanya.
Perlindungan terhadap folklor/EBT ini sudah cukup lama dibahas, dapat dilihat dari
adanya Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual
Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (RUU PTEBT), yang termasuk
dalam Prolegnas 2010-2014. Namun RUU ini hingga saat ini belum kunjung disahkan.
Belakangan ini, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly kembali mendorong dan
meminta kepala daerah untuk untuk segera menginventarisasi dan mendaftarkan hak
kekayaan intelektual komunal ke kementerian tersebut.10 Sedangkan dalam Hak Cipta, yang
termasuk dalam Objek Hak Cipta penting juga untuk dicatatkan sebagai bukti kepemilikan
yang sempurna. Selain itu, hingga saat ini pelanggaran hak cipta masih sering terjadi yang
berdampak pada penurunan bahkan hingga kehilangan nilai ekonomi hak cipta. Sehingga
sebagai pemegang Hak Cipta, para pencipta harus melakukan pengawasan terhadap Hak
Ciptanya agar bebas dari pelanggaran-pelanggaran yang dapat terjadi. Meskipun pelaksanaan
pengawasan ini membutuhkan biaya yang lebih pada praktiknya.11
Salah satu pelanggaran dalam Hak Cipta yang marak terjadi adalah plagiarisme, Plagiarisme
adalah satu tindakan yang melawan hukum yang dilakukan dengan cara menggunakan atau
memperbanyak dan menarik keuntungan dari hasil karya cipta orang lain tanpa seizin atau
sepengetahuan dari pemegang hak cipta itu sendiri. Plagiarisme juga dapat digambarkan
sebagai satu aksi untuk menjiplak karya ataupun ciptaan seseorang yang sudah diakui dan
dilindungi hukum. Tindakan menjiplak atau suatu hasil jiplakan atau meniru karya orang
lain. Lalu plagiarize yaitu mencuri dan meniru karya seseorang baik dalam bentuk kata-
kata, gagasan, ide, keterampilan maupun imajinasi yang kemudian diakui sebagai karyanya
sendiri. Seseorang yang melakukan plagiarisme disebut sebagai Plagiator.12 Maka dibutuhkan
perlindungan yang ekstra untuk melindungi sebuah karya dari pelanggaran-pelanggaran hak
cipta. Khususnya dalam penulisan ini adalah ciptaan yang berupa EBT.
Berdasarkan data yang diberikan pada 2019, baru ada 744 (tujuh ratus empat puluh empat)
ekspresi budaya tradisional, 124 (seratus dua puluh empat) pengetahuan tradisional yang
terdaftar.13 Tentu jumlah ini, masih jauh lebih sedikit dari EBT yang ada di Indonesia. Seperti
yang diketahui bahwa dalam Hak Cipta terdapat Hak Moral dan Hak Ekonomi, dan EBT
juga merupakan salah satu kekayaan intelektual yang bersifat komunal memiliki hak
ekonomi.14
Tari Tor-Tor juga masuk dalam salah satu objek pemajuan kebudayaan15 sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (selanjutnya
disebut UU PK). Pemerintah tentunya sangat memperhatikan pemajuan kebudayaan,

10 Putu Merta Surya Putra, “Dorong Daftarkan Hak Paten, Menkumham: Jangan Sesudah Dicuri Orang Baru Kita Ribut”, diakses dari
<https://www.liputan6.com/news/read/4139961/dorong-daftarkan-hak-paten-menkumham-jangan-sesudah-dicuri-orang-baru-
kita-ribut>, Pada 11 Juli 2020.
11 Brian W. Jacobs, Using Intellectual Property to Secure Financing After the Worst Financial Crisis Since the Great Depression,
Marquette Intellectual Property Law Review, Rev. 449, 2011, p. 7
12 Agus Budianto, “Aspek Pidana Plagiarisme Musik dan Lagu”, Jurnal Penegakan Hukum Universitas Padjadjaran, Vol.6 Nomor 2, Juli
2009, hlm. 101.
13 Ibid.,
14 Sigit Nugroho, “Pengelolaan Ekspresi Budaya Tradisional (Ebt) Di Daerah Pasca Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak
Cipta”, Jurnal Society, Volume V, Nomor 1, Juni 2017, hlm. 87.
15 Berdasarkan Pasal 5 UU PK, Objek Pemajuan Kebudayaan meliputi: · a. tradisi lisan; b . manuskrip; c. adat istiadat; d. ritus; e .
pengetahuan tradisional; f. teknologi tradisional; g. seni; h . bahasa; i. permainan rakyat; dan j. olahraga· tradisional.

477
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Debora Pasaribu Perlindungan Hukum Folklor Tari Tor-Tor Berdasarkan UU Hak Cipta
dan UU Pemajuan Kebudayaan Perspektif Keadilan Bermartabat

Pemerintah telah mengeluarkan payung hukum untuk hal tersebut. Payung hukum tersebut,
(1). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Strategi Kebudayaan (selanjutnya
disebut Perpres 65/2018); 2. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 45 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan
Daerah (selanjutnya disebut Permendikbud 45/2018).

Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat adalah bagaimana perlindungan hukum folklor Tari Tor-Tor
berdasarkan UU Hak Cipta dan UU Pemajuan Kebudayaan perspektif keadilan bermartabat?

B. Pembahasan
Pada pembahasan ini,Metode penelitian yang digunakan adalah:
1. Pendekatan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ‘kualitatif. Prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang teramati.16
2. Metode Pengumpulan Data. Metode pengumpulan data yang digunakan yakni
menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan (literature research) yang
terdiri dari pertama, bahan hukum primer yakni (a). Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); b. Undang-undang
No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta; c. Undang-undang No. 5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan d. pelbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan topik penelitian; kedua, bahan hukum sekunder yang terdiri dari artikel ilmiah,
jurnal penelitian dan literatur lainnya; ketiga, bahan hukum tersier yang terdiri dari
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Black’s Law Dict.
3. Teknik Analisis Data. Data akan dianalisis secara logis sistematis. Logis sistematis
dilakukan dengan cara berpikir secara deduktif maupun induktif dan mengikuti tata
tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai, maka
hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan
apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.17

1. Tinjauan Singkat Teori Keadilan Bermartabat


Keadilan bermartabat, bukanlah jenis pengertian keadilan, namun suatu teori hukum
yang memberi petunjuk mengenai tujuan dalam setiap institusi hukum.18 Tujuan
dalam Keadilan Bermartabat menunjuk kepada Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber inspirasi hukum. Maka dari itu, dalam Keadilan Bermartabat terkandung nilai-
nilai sentra sosio-politik, ekonomi, kebudayaan dan lain sebagainya yang ada dalam
Pancasila.
Dalam Keadilan Bermartabat, Pancasila adalah jiwa bangsa (volksgeist). Rujukan
kepada Pancasila dikarenakan hal itu menjadi keharusan ketika pada tanggal 17 Agustus
1945 Indonesia diproklamasikan. Proklamasi mengharuskan pembentukan suatu sistem
hukum yang murni, hasil saringan dan penggantian pemahaman dan pemaknaan atas

16 Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2002), hlm. 4.
17 H.B Sutopo, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, (Surakarta: UNS Press, 1998), hlm. 37.
18 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat: Perspektif Teori Hukum, Edisi Pertama, Cetakan ke-I, (Bandung: Nusa Media, 2015),hlm. 1.

478
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Debora Pasaribu Perlindungan Hukum Folklor Tari Tor-Tor Berdasarkan UU Hak Cipta
dan UU Pemajuan Kebudayaan Perspektif Keadilan Bermartabat

konsep, kaidah, asas hukum-hukum yang pernah dipakai penjajah. Dalam Keadilan
Bermartabat, tujuan hukum harus mengisi kemerdekaan dengan etos kebangsaan.
Tujuan demikian itu disebut juga dengan pembaruan hukum.19
Dengan adanya keadilan bermartabat ini, diharapkan setiap masyarakat khususnya
masyarakat adat yang memiliki hak atas EBT-nya dapat lebih sejahtera, dengan
mendapatkan apa yang menjadi haknya, khususnya dalam Hak Moral dan Hak
Ekonominya. Mengingat, landasan konsep dan landasan filosofis atas adanya
perlindungan hak cipta dan muncul hak moral serta hak ekonomi adalah menciptakan
kesejahteraan bagi individu, kelompok dan masyarakat atas suatu Ciptaan.20 Hak
moral tentu harus dihormati dan dilindungi karena hubungan pencipta dan karya cipta
merupakan sebuah hubungan yang tidak bisa dipisahkan.21 Pemerintah tidak boleh
tinggal diam dalam pelestarian EBT Tari Tor-Tor, Pemerintah Pusat/Daerah melalui
Kementerian ataupun Dinas Kebudayaan wajib mendukung pegiat, kelompok kesenian
Tari Tor-Tor. Menurut hemat Peneliti, caranya adalah pertama dengan memberikan
insentif yang diambil dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) ataupun
dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD); kedua, melibatkan stakeholders/
pihak ketiga untuk mendukung pemajuan kebudayaan kesenian Tari Tor-Tor.
Dukungan pemajuan ini juga ditujukan kepada generasi muda, generasi milenial yang
bisa saja mereka tidak tertarik dengan kebudayaan kesenian Tari Tor-Tor. Generasi
milenial sangat erat kaitan dengan teknologi dan informasi, media elektronik namun
terkadang generasi muda hanya fokus pada kehidupannya sendiri22. With globalisation,
new technologies and information are easily accessible, especially with the existence of
the internet23. Menurut hemat Peneliti, dengan pemberdayaan kepada generasi muda,
dengan mendukung ekonomi, industri kreatif maka kesenian Tari Tor-Tor dapat lebih
dikenal oleh dunia sekaligus meningkatkan industri pariwisata Indonesia. Seiring
dengan berkembangnya budaya Tari Tor-Tor ini, akan membawa dampak positif
salah satunya dalam bidang ekonomi bagi masyarakat, mengingat sebagian besar Hak
Kekayaan Intelektual memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pernyataan ini didukung
dengan adanya estimasi World Intellectual Property Organization (WIPO) bahwa HKI
dapat memberikan keuntungan sampai 6 (enam) milyar dolar dalam perdagangan global
di tahun 2020, bahkan perusahaan besar di Amerika pun mendapatkan keuntungan dari
royalti karena menggunakan, mengeksploitasi HKI serta memberikan lisensi kepada
pihak lain.24
Bersamaan dengan sedang berkembangnya pembangunan pariwisata di Danau Toba,
Sumatera Utara yang sedang menjadi salah satu perhatian Pemerintah Pusat dan

19 Teguh Prasetyo, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Pertama, Cetakan ke-I, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2018)hlm. 214.
20 I Nyoman Lodra, Lisensi: Jaminan Kesejahteraan Pemegang Hak Cipta (Studi Kasus di Bali), diakses dari <https://proceedings.
sendesunesa.net/id/publications/196094/lisensi-jaminan-kesejahteraan-pemegang-hak-cipta-studi-kasus-di-bali>, pada 6 agustus
2020.
21 Ferol Mailangkay, "Kajian Hukum Tentang Hak Moral Pencipta Dan Pengguna Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta", Lex Privatum Vol. V/No. 4/Jun/2017, hlm. 138.
22 Karo, R.P.K. and Yana, A.F., 2019, December. UPAYA MEMBANGUN KESADARAN HUKUM PENGGUNAAN TEKNOLOGI BAGI GENERASI
MILINEAL BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN BERMARTABAT. In Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu Universitas Asahan.
23 Karo, R. K., & Sebastian, A. (2019). Juridical Analysis on the Criminal Act of Online Shop Fraud in Indonesia. Lentera Hukum, 6(1),
1-14.
24 Xuan-Thao Nguyen, Collateralizing Intellectual Property, Georgia Law Review Association, Inc., Rev. 1, 2007, p. 4.

479
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Debora Pasaribu Perlindungan Hukum Folklor Tari Tor-Tor Berdasarkan UU Hak Cipta
dan UU Pemajuan Kebudayaan Perspektif Keadilan Bermartabat

dimaksudkan untuk menjadi destinasi pariwisata super prioritas,25 ini menjadi kesempatan
emas bagi masyarakat khususnya suku Batak untuk menyuguhkan penampilan tari
Tor-Tor pada wisatawan mancanegara. mengingat EBT Indonesia Mempunyai potensi
ekonomi yang menjanjikan terutama terkait dengan industri pariwisata dan industri
ekonomi kreatif.26 Selain untuk melestarikan kebudayaan, pada dasarnya penampilan
tari Tor-Tor juga dapat menjadi sumber penghasilan secara material.

2. Tari Tor-Tor Sebagai Objek Perlindungan Hak Cipta & Pemajuan Kebudayaan
Objek Ciptaan yang dilindungi dalam UU Hak Cipta, dapat dilihat pada Pasal 40 ayat
(1) yang meliputi bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Tari Tor-Tor termasuk
dalam objek ciptaan yang dilindungi khususnya pada poin e. drama, drama musikal, tari,
koreografi, pewayangan, dan pantomim; Dalam UU PK, Tari Tor-Tor juga termasuk dalam
objek ciptaan yang dilindungi berdasarkan Pasal 5, huruf c. Adat istiadat dan g. Seni.
Tari Tor-Tor merupakan hak komunal yang dimiliki oleh suku Batak, Sumatera Utara.
Sebagai objek perlindungan dan menjadi salah satu tarian yang masih eksis hingga saat
ini, seiring dengan majunya kebudayaan/pelestarian Tarian tersebut, perlu dipastikan
pula dengan kemajuan masyarakat adat di mana Tarian tersebut tercipta dan berkembang.

3. Pemajuan Kebudayaan Tari Tor-Tor Perspektif Keadilan Bermartabat


Tujuan teori hukum keadilan bermartabat yakni untuk memanusiakan manusia
(nguwongke uwong). Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU PK, Pemajuan Kebudayaan
adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah
peradaban dunia melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan
Kebudayaan. Tujuan keadilan bermartabat tersebut selaras dengan tujuan pemajuan
kebudayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU PK, 4 (empat) diantaranya yakni:
a . mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa; b. meningkatkan kesejahteraan
rakyat; c. melestarikan warisan budaya bangsa; d. mempengaruhi arah perkembangan
peradaban dunia sehingga Kebudayaan menjadi haluan pembangunan nasional.
Pemajuan kebudayaan bertujuan untuk:
a. mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa;
b. memperkaya keberagaman budaya;
c. memperteguh jati diri bangsa;
d. memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mencerdaskan kehidupan bangsa;
f. meningkatkan citra bangsa;
g. mewujudkan masyarakat madani;
h. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
i. melestarikan warisan budaya bangsa; dan
j. mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia, sehingga Kebudayaan
menjadi haluan pembangunan nasional27.

25 Reza Efendi, “Pengembangan Wisata Danayu Toba akan Tingkatkan Kunjungan Wisatawan”, diakses dari <https://www.liputan6.
com/regional/read/4194263/pengembangan-wisata-danau-toba-akan-tingkatkan-kunjungan-wisatawan>, pada 11 Juli 2020.
26 Kholis Roisah, "PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DALAM SISTEM HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL", Jurnal MMH,
Jilid 43 No. 3 Juli 2014, hlm. 373.
Pasal 4 UU PK 27

480
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Debora Pasaribu Perlindungan Hukum Folklor Tari Tor-Tor Berdasarkan UU Hak Cipta
dan UU Pemajuan Kebudayaan Perspektif Keadilan Bermartabat

a. Hak Masyarakat dalam Pemajuan Kebudayaan


Berdasarkan Pasal 41 UU PK bahwa, Setiap Orang berhak untuk:
a. berekspresi;
b. mendapatkan pelindungan atas hasil ekspresi budayanya;
c. berpartisipasi dalam Pemajuan Kebudayaan;
d. mendapatkan akses informasi mengenai Kebudayaan;
e. memanfaatkan sarana dan prasarana Kebudayaan; dan memperoleh manfaat
dari pemajuan kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan.

b. Inventarisasi
Inventarisasi adalah tahapan perlindungan kebudayaan. Berdasarkan Pasal 16 ayat
(1) UU PK bahwa Inventarisasi Objek Pemajuan Kebudayaan terdiri atas tahapan:
a. pencatatan dan pendokumentasian;
b. penetapan; dan
c. pemutakhiran data. Pemerintah Pusat dan/ atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya wajib melakukan pencatatan dan pendokumentasian
Objek Pemajuan Kebudayaan28.
Selain Pemerintah Pusat/Daerah, setiap orang juga dapat melakukan pencatatan
dan pendokumentasian dan akan difasilitasi oleh Pemerintah Pusat/Daerah29.
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah wajib melakukan pemutakhiran
data Objek Pemajuan Kebudayaan yang telah ditetapkan30. Inventarisasi ini dapat
berguna agar Budaya-budaya yang ada dapat terus terjaga dengan baik, serta hak-hak
yang timbul dari adanya kebudayaan ini tidak menjadi salah sasaran, memajukan
kebudayaan dan memajukan masyarakat/tempat budaya ini berasal.

4. Perlindungan Hukum Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional yang Memberikan


Perlindungan untuk Menjaga Klaim Kepemilikan Kebudayaan
Pada dasarnya, konsep tentang perlindungan hukum secara umum merujuk pada
pendapat para ahli hukum. Perlindungan hukum memberikan pengayoman kepada hak
asasi manusia yang dirugikan oleh pihak lain. Perlindungan tersebut diberikan agar
masyarakat dapat menikmati hak yang memang telah diberikan oleh hukum. Dalam
kata lain, perlindungan hukum merupakan upaya hukum yang harus diberikan oleh
aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat.31
Seperti yang telah dibahas juga diatas oleh penulis, dapat dikatakan bahwa Negara
sebagai pemegang Hak Cipta EBT memiliki Hak Eksklusif atas karya cipta yang ada.
Negara sebagai otoritas tertinggi disini seharusnya dapat mencegah adanya monopoli
atau komersialisasi atas Karya Cipta tersebut tanpa seizin pemegang Hak Cipta yakni
Negara sendiri.32 Namun pada kenyataanya, negara hingga saat ini belum menaruh
usaha yang maksimal dalam melindungi karya-karya tradisional yang dieksploitasi oleh
negara lain atau pihak-pihak tertentu yang tidak memiliki hak untuk mengeksploitasi.

28 Pasal 17 UU PK
29 Pasal 18 ayat (1), (2) UU PK
30 Pasal 20 ayat (1) UU PK
31 Satjipto Rahardjo, “Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang Sedang Berubah”, Jurnal Hukum 1993, hlm. 74
32 Bungana Beru, “Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medang” Jurnal Hukum Vol. 2, Agustus
2017, hlm. 65

481
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Debora Pasaribu Perlindungan Hukum Folklor Tari Tor-Tor Berdasarkan UU Hak Cipta
dan UU Pemajuan Kebudayaan Perspektif Keadilan Bermartabat

Oleh sebab itu, idealnya suatu negara pada saat menjalankan dan memberikan
perlindungan hukum terhadap EBT adalah dengan menyiapkan suatu wadah dalam
pelaksanaan perlindungan hukum. Pelaksanaan tersebut dapat dibagi menjadi dua
macam sarana perlindungan hukum, yaitu; i) Perlindungan Hukum Preventif ii)
Perlindungan Hukum Represif.
a) Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah sebelum terjadi suatu pelanggaran.
Hal ini dapat diaplikasikan di dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud
untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-
batasan dalam melakukan suatu kewajiban.33

b) Perlindungan Hukum Represif


Perlindungan yang diberikan sebagai perlindungan akhir yang berupa sanksi seperti
denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi
sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.34
Diluar itu, dalam upaya melindungi warisan budaya Indonesia, pemerintah tidak cukup
hanya dengan sekedar membuat peraturan serta hukumannya saja. Melainkan, idealnya
pemerintah secara rutin melakukan proses dokumentasi dan kompilasi database budaya
lokal maupun Pengetahuan Tradisional Indonesia. Tindakan tersebut sebenarnya
merupakan hal yang vital untuk aspek pelestarian budaya Indonesia dan juga sebagai
pencegah lunturnya budaya di Indonesia, karena apabila warisan budaya lokal punah
karena tidak diakui bahkan oleh komunitasnya sendiri, otomatis dapat dikatakan bahwa
hilang juga perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas budaya tersebut, dan secara
otomatis kebudayaan tersebut akan menjadi public domain.35Dengan lebih tegas dan
pastinya pengaturan mengenai Hak Cipta terhadap EBT ini, tentu akan memberikan
dampak yang positif bagi banyak pihak yang terlibat didalamnya.

C. Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka kesimpulan yang dihasilkan adalah, Perlindungan
hukum folklor tari Tor-Tor berdasarkan UU Hak Cipta dan UU Pemajuan Kebudayaan
perspektif keadilan bermartabat bertujuan untuk (1) Melestarikan, menjaga kesenian tari Tor-
Tor agar dapat dinikmati oleh generasi berikutnya; (2) Melindungi kesenian tari Tor-Tor dari
dugaan klaim negara lain; (3) Memberikan manfaat ekonomi yang lebih banyak lagi kepada
pegiat seni, kelompok kesenian tari Tor-Tor. Sehingga, seiring dengan berkembangnya
suatu budaya, masyarakat adat tempat berkembangnya budaya tersebut pun ikut maju
pula. Mengingat Budaya tradisional merupakan identitas dan jatidiri bangsa Indonesia.
Budaya Tradisional yang sebagai sebuah karya intelektual yang dapat dimanfaatkan
secara ekonomi demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat tentu harus dilindungi.36

33 Dyah Budi, “Perlindungan Hukum Preventif Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan
Undang-Undang no. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta”, Journal of Intellectual Property Vol.1, Augustus 2018, hlm. 18
34 Ibid.,
35 Ibid,. hlm. 19
36 Bayangsari Wedhatami dan Budi Santoso, “32UPAYA PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONALDENGAN PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH”, diakses dari <https://media.neliti.com/media/publications/110672-ID-upaya-perlindungan-ekspresi-budaya-
tradi.pdf>, pada tanggal 6 Agustus 2020.

482
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Debora Pasaribu Perlindungan Hukum Folklor Tari Tor-Tor Berdasarkan UU Hak Cipta
dan UU Pemajuan Kebudayaan Perspektif Keadilan Bermartabat

Tari Tor-Tor merupakan budaya tradisional yang sudah menjadi seperti nafas orang dalam
suku Batak, yang selalu ada dalam acara suka maupun duka, seperti di pernikahan, pesta
perkumpulan marga, pesta panen, acara keagamaan, penyambutan tamu, hingga kedukaan.
Selain acara adat tersebut juga seringkali ditampilkan dalam pertunjukan-pertunjukan seni.
Tari Tor-Tor bukan hanya sekedar indah dalam gerak-geriknya tetapi tarian ini mempunyai
aturan dalam membawakannya sesuai dengan adat Batak, serta terkandung makna dalam tiap
gerakan, dan musik pengiringnya.37 Sehingga dalam hal ini Hak Moral dan Hak Ekonomi
yang didapatkan dari budaya khususnya tari Tor-Tor ini dapat benar-benar dirasakan oleh
masyarakat adat Pencipta tarian tersebut.
Adapun pengaturan perlindungan hukum EBT di Indonesia dapat dikatakan masih sangat
lemah berdasarkan pemaparan yang telah dipaparkan oleh penulis di atas. Padahal sudah
sepatutnya Negara perlu untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah
peradaban dunia sebagai bentuk investasi membangun masa depan peradaban bangsa.
Dibutuhkan sebuah langkah strategis dalam upaya Pemajuan Kebudayaan berupa
Perlindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan.38 Pada praktiknya lemahnya
pengaturan tersebut juga memiliki beberapa faktor, salah satunya sulitnya membuktikan
siapa pencipta EBT yang padahal untuk mendeklarasikan karya hak cipta mengharuskan
nama pencipta tertera di karya cipta. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa untuk
melindungi EBT Indonesia membutuhkan perlindungan hukum yang bersifat preventif dan
represif. EBT juga dinilai sebagai kekayaan budaya yang merepresentasikan daerah asalnya,
sehingga sudah semestinya kekayaan ini dapat mendukung kemajuan dari daerah asal
tersebut yang sifatnya komunal. Sehingga sudah sepantasnya pemerintah dan masyarakat
daerah asal tersebut memiliki kesadaran dan proteksi yang baik untuk karya EBT tersebut
agar tidak ada negara lain yang mengakuinya.
Saran
Adapun saran yang diberikan oleh Peneliti adalah:
1. Pemerintah Daerah melalui Dinas Kebudayaan wajib mengikutsertakan kelompok
kesenian Tor-Tor, stakeholders lainnya untuk bersinergi dalam pemajuan kebudayaan,
kesenian tari Tor-Tor dengan pemanfaatan media elektronik;
2. Pemerintah Daerah hendaknya secara berkala melakukan identifikasi, inventarisasi dan
dokumentasi terhadap EBT agar dapat dilakukan dokumentasi untuk dicatat di Kantor
Kementerian Hukum dan HAM.
3. Pemerintah Daerah wajib memberikan insentif lebih banyak lagi kepada kelompok
kesenian tari Tor-Tor agar kelompok ini dapat lebih sering, lebih semangat dalam
berkarya.
4. Pencipta memiliki kesadaran untuk mencatatkan Ciptaannya agar menjadi alat bukti
yang sah dan paling kuat atas kepemilikan Ciptaan.

37 Maria Serlitaria Nainggolan, "MAKNA TARI TORTOR SEBAGAI IDENTITAS ORANG BATAK DI KOTA BALIKPAPAN", eJournal llmu
Komunikasi, 2017, hlm. 156
38 Abdul Atsar, “Pelindungan Hukum terhadap Pengetahuan dan EBT untuk Meningkat kan Kesejahteraan Masyarakat ditinjau dari
Undang-undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta”, Jurnal
Law Reform, Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017, hlm. 284.

483
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Debora Pasaribu Perlindungan Hukum Folklor Tari Tor-Tor Berdasarkan UU Hak Cipta
dan UU Pemajuan Kebudayaan Perspektif Keadilan Bermartabat

Daftar Pustaka
Buku
Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2002).
H.B Sutopo, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, (Surakarta: UNS Press, 1998).
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat: Perspektif Teori Hukum, Edisi Pertama, Cetakan ke-I,
(Bandung: Nusa Media, 2015).
Teguh Prasetyo, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Pertama, Cetakan ke-I, (Depok: PT RajaGrafindo
Persada, 2018).

Jurnal Nasional dan Internasional


Abdul Atsar, “Pelindungan Hukum terhadap Pengetahuan dan EBT untuk Meningkat kan
Kesejahteraan Masyarakat ditinjau dari Undang-undang No. 5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan dan Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta”,
Jurnal Law Reform, Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017.
Agus Budianto, “Aspek Pidana Plagiarisme Musik dan Lagu”, Jurnal Penegakan Hukum
Universitas Padjadjaran, Vol.6 Nomor 2, Juli 2009.
Agus Sardjono, “Perlindungan Folklore: Apakah Rezim Hak Cipta Memadai?”, Indonesian
Journal of International Law, Volume 1, Nomor 1, Oktober 2003.
Brian W. Jacobs, Using Intellectual Property to Secure Financing After the Worst Financial Crisis
Since the Great Depression, Marquette Intellectual Property Law Review, Rev. 449, 2011.
Bungana Beru, “Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Medang” Jurnal Hukum Vol. 2 , Agustus 2017.
Dyah Budi, “Perlindungan Hukum Preventif Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional di Daerah
Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Undang-Undang no. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta”,
Journal of Intellectual Property Vol.1, Augustus 2018.
Ferol Mailangkay, “Kajian Hukum Tentang Hak Moral Pencipta Dan Pengguna Menurut
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta”, Lex Privatum Vol. V/No. 4/
Jun/2017, hlm. 138.
Kholis Roisah, “PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DALAM SISTEM
HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL”, Jurnal MMH, Jilid 43 No. 3 Juli 2014, hlm.
373.
Maria Serlitaria Nainggolan, “MAKNA TARI TORTOR SEBAGAI IDENTITAS ORANG
BATAK DI KOTA BALIKPAPAN”, eJournal llmu Komunikasi, 2017, hlm. 156
Satjipto Rahardjo, “Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang Sedang Berubah”,
Jurnal Hukum 1993.
Sigit Nugroho, “Pengelolaan Ekspresi Budaya Tradisional (Ebt) Di Daerah Pasca Undang-
undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta”, Jurnal Society, Volume V, Nomor 1,
Juni 2017.

484
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Debora Pasaribu Perlindungan Hukum Folklor Tari Tor-Tor Berdasarkan UU Hak Cipta
dan UU Pemajuan Kebudayaan Perspektif Keadilan Bermartabat

Simona Bustani, “Potret Efektivitas Penerapan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak
Cipta”, Jurnal Hukum Prioris, Vol. 4 Nomor 2, 2014, hlm. 102.
Tati Diana, “Makna Tari Tortor Dalam Upacara Adat Perkawinan Suku Batak Toba Desa Tangga
Batu Kecamatan Tampahan Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara”, Jom
FISIP Volume 4 NO. 1 Februari 2017.
Karo, R. K., & Sebastian, A. (2019). Juridical Analysis on the Criminal Act of Online Shop
Fraud in Indonesia. Lentera Hukum.
Xuan-Thao Nguyen, Collateralizing Intellectual Property, Georgia Law Review Association,
Inc., Rev. 1, 2007.

PUU
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Data Elektronik
Bayangsari Wedhatami dan Budi Santoso, “32UPAYA PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA
TRADISIONALDENGAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH”, diakses dari
<https://media.neliti.com/media/publications/110672-ID-upaya-perlindungan-ekspresi-
budaya-tradi.pdf>, pada tanggal 6 Agustus 2020.
DJKI, Lindungi Warisan Budaya Dengan Inventarisasi Kekayaan Intelektual Komunal, diakses
dari <https://dgip.go.id/lindungi-warisan-budaya-dengan-inventarisasi-kekayaan-
intelektual-komunal>.
KBBI, “Folklor”, diakses dari https://kbbi.web.id/folklor
I Nyoman Lodra, Lisensi: Jaminan Kesejahteraan Pemegang Hak Cipta (Studi Kasus di
Bali), diakses dari <https://proceedings.sendesunesa.net/id/publications/196094/lisensi-
jaminan-kesejahteraan-pemegang-hak-cipta-studi-kasus-di-bali>, pada 6 agustus 2020.
Mohamad Hasist, “Tari Tor-Tor asli Batak diklaim Malaysia, diakses dari <https://www.merdeka.
com/peristiwa/tari-Tor-Tor-asli-batak-diklaim-malaysia.html>.
National Geographic, “Mengupas Sejarah dan Makna Tari Tor-Tor”, diakses dari <https://
nationalgeographic.grid.id/read/13282448/mengupas-sejarah-dan-makna-tari-Tor-Tor>.
Putu Merta Surya Putra, Dorong Daftarkan Hak Paten, Menkumham: Jangan Sesudah Dicuri
Orang Baru Kita Ribut, diakses dari <https://www.liputan6.com/news/read/4139961/
dorong-daftarkan-hak-paten-menkumham-jangan-sesudah-dicuri-orang-baru-kita-ribut>.
Reza Efendi, “Pengembangan Wisata Danayu Toba akan Tingkatkan Kunjungan Wisatawan”,
diakses dari <https://www.liputan6.com/regional/read/4194263/pengembangan-wisata-
danau-toba-akan-tingkatkan-kunjungan-wisatawan>.
Sulung Lahitani, 8 Warisan Budaya Indonesia yang Pernah Diklaim Malaysia, diakses dari
<https://www.liputan6.com/citizen6/read/2156339/8-warisan-budaya-indonesia-yang-
pernah-diklaim-malaysia>.

485
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Debora Pasaribu Perlindungan Hukum Folklor Tari Tor-Tor Berdasarkan UU Hak Cipta
dan UU Pemajuan Kebudayaan Perspektif Keadilan Bermartabat

Seminar
Karo, R.P.K. and Yana, A.F., 2019, December. UPAYA MEMBANGUN KESADARAN HUKUM
PENGGUNAAN TEKNOLOGI BAGI GENERASI MILENIAL BERDASARKAN
PRINSIP KEADILAN BERMARTABAT. In Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu
Universitas Asahan.

486
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky P.P. Karo-Karo Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 di Indonesia pada
Sistem Elektronik sebelum adanya UU Perlindungan Data Diri Pribadi Berdasarkan
Perspektif Teori Keadilan Bermanfaat

PERLINDUNGAN DATA PRIBADI PASIEN COVID-19 DI


INDONESIA PADA SISTEM ELEKTRONIK SEBELUM ADANYA UU
PERLINDUNGAN DATA PRIBADI BERDASARKAN PERSPEKTIF
TEORI KEADILAN BERMARTABAT
Rizky P. P. Karo Karo, S.H., M.H1., Sri Purnama2, dan Olivia Celia3

ABSTRAK
Latar belakang penulisan ini adalah pasien memiliki hak untuk dilindungi baik perlindungan
pasien dari segi kesehatan dan hak pasien dalam hal perlindungan data pribadi. Pasien COVID-19
di Indonesia membutuhkan perlindungan data pribadi, karena acap kali data tersebut tersebar
luas, masyarakat tahu nama bahkan alamat lengkap pasien COVID-19. Perbuatan ini selain
melawan hukum, namun dapat juga mengganggu privasi serta konsentrasi penyembuhan pasien
COVID-19. Hak perlindungan diri pribadi adalah hak asasi manusia yang diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Rumusan masalah
dalam penulisan ini yakni bagaimana perlindungan data pribadi pasien COVID-19 di Indonesia
sebelum adanya UU Perlindungan Data Pribadi perspektif teori keadilan bermartabat? Metode
yang digunakan yakni metode yuridis-normatif, menggunakan data sekunder berupa bahan
hukum primer yakni peraturan perundang-undangan yang berkaitan, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier. Kesimpulan yang didapatkan adalah data pribadi wajib dijaga oleh
manajemen rumah sakit, ketiadaan UU Perlindungan Data Pribadi bukan menjadi alasan data
pribadi pasien dapat disebarluaskan, dipergunakan tidak untuk peruntukannya. Pihak Rumah
Sakit (RS) wajib menjaga data pribadi pasien sesuai teori hukum keadilan bermartabat yang
bertujuan untuk memanusiakan manusia (nguwongke uwong) sehingga pasien COVID-19 dapat
berkonsentrasi dalam penyembuhannya.
Kata Kunci: Data Pribadi, Keadilan Bermartabat, Kewajiban Rumah Sakit, Pasien COVID-19

A. Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Pasien wajib dilindungi karena hal ini merupakan amanat Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) dan adalah Hak Asasi
Manusia (selanjutnya disebut HAM). Definisi yuridis pasien pada Undang-undang No. 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (selanjutnya disebut UU RS) yakni “setiap orang yang
melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit”. Hak Pasien
dalam UUD 1945 yakni dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 hak mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan dan terkait data pribadi
pasien yakni dalam Pasal 28G ayat (1) bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya,

1 Universitas Pelita Harapan, Jalan M. H. Thamrin Boulevard 1100 Lippo Karawaci, Tangerang, Banten, rizky.karokaro@uph.edu.
2 Universitas Pelita Harapan, Jalan M. H. Thamrin Boulevard 1100 Lippo Karawaci, Tangerang, Banten, sripurnama204@gmail.com.
3 Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia, olivcelias@gmail.com.

487
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky P.P. Karo-Karo Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 di Indonesia pada
Sistem Elektronik sebelum adanya UU Perlindungan Data Diri Pribadi Berdasarkan
Perspektif Teori Keadilan Bermanfaat

serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Negara wajib hadir untuk memberikan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tanpa diskriminasi.4
Payung hukum yang mengatur tentang perlindungan data pribadi di Indonesia saat ini baru
berbentuk Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 20 Tahun 2016 tentang
Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik (selanjutnya disebut Permenkominfo
PDPSE). Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Permenkominfo PDPSE, data pribadi adalah data
perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi
kerahasiaannya. Prinsip utama dalam perlindungan data pribadi adalah data pribadi wajib
dijaga, dan dapat dipergunakan setelah pemilik data pribadi memberikan persetujuan
kepada penyelenggara sistem elektronik.5 Data pribadi sekarang ini merupakan komoditas
penting dalam dunia digital, sehingga terdapat suatu berkas digital atau digital dossier yang
merupakan kumpulan informasi data pribadi yang dimiliki oleh sebagian besar bahkan
hampir seluruh orang dengan memanfaatkan teknologi internet yang dikembangkan oleh
pihak swasta yang sangat berisiko terjadinya pelanggaran hak privasi atas data pribadi
seseorang.6
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang terkena
dampak dari Virus Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) telah
menyatakan bahwa Covid-19 adalah pandemic kesehatan karena telah menyerang banyak
Negara dalam waktu bersamaan.7 Presiden RI, Bapak Joko Widodo juga telah menetapkan
pada tanggal 13 April 2020 bahwa Covid-19 merupakan bencana nasional non-alam melalui
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 2020.
Dahulu dikenal istilah OTG, ODP dan PDP melalui Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. HK.01.07/MENKES/247/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), (selanjutnya disebut KepMenkes
247/2020) mengklasifikasikan surveilans menjadi 4 (empat) definisi operasional, yakni
pertama, PDP (Pasien Dalam Pengawasan) dengan dua cirinya yakni Orang dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam (≥38C) atau riwayat demam; disertai salah
satu gejala/tanda penyakit pernapasan seperti: batuk/sesak nafas/sakit tenggorokan/pilek/
pneumonia ringan hingga berat dan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab Orang dengan
demam (≥38C) atau riwayat demam atau ISPA DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul
gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19.; kedua, ODP (Orang
dalam Pemantauan) dengan salah satu cirinya yakni Orang yang mengalami gejala gangguan
sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN pada 14 hari terakhir sebelum
timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19.; ketiga, OTG
(Orang Tanpa Gejala), Seseorang yang tidak bergejala dan memiliki risiko tertular dari orang
konfirmasi COVID-19. Orang tanpa gejala (OTG) merupakan kontak erat dengan kasus

4 Karo, R.K., Sukardi, E. and Purnama, S., 2019. PERLINDUNGAN HAK PEKERJA DALAM SATU PERUSAHAAN UNTUK MELANGSUNGKAN
PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017. JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI, 3(1), pp.18-
33.
5 Berdasarkan Pasal 1 angka 6, definisi Penyelenggara Sistem Elektronik adalah Setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha,
dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-
sama kepada Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.
6 Dewi,S., “Konsep Perlindungan Hukum atas Privasi dan Data Pribadi Dikaitkan dengan Penggunaan Cloud Computing di Indonesia”,
dalam Demo 2 Jurnal, Vol. 94, (2016), hlm. 23.
7 World Health Organization, “Rolling Updates on Coronavirus Disease (COVID-19)”, diakses melalui <https://who.int/emergencies/
diseases/novel-coronavirus-2019/events-as-they-happen> pada tanggal 7 April 2020.

488
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky P.P. Karo-Karo Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 di Indonesia pada
Sistem Elektronik sebelum adanya UU Perlindungan Data Diri Pribadi Berdasarkan
Perspektif Teori Keadilan Bermanfaat

konfirmasi COVID-19.; keempat, kasus konfirmasi - Pasien yang terinfeksi COVID-19


dengan hasil pemeriksaan tes positif melalui pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction).
Namun, ketiga istilah tersebut telah diubah menjadi Kasus Suspek, Kasus Probable, Kasus
Konfirmasi, Kontak Erat melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/
MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease
2019 (Covid-19). Peneliti akan memparkan beberapa ciri dari istilah tersebut. Pertama,
‘kasus suspek’ memiliki ciri bahwa Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)*
DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal
di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal; Kedua, ‘kasus proable’
bericirikan Kasus suspek dengan ISPA Berat/ARDS***/meninggal dengan gambaran klinis
yang meyakinkan COVID-19 DAN belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR;
ketiga, Kasus Konfirmasi Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19
yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Kasus konfirmasi dibagi
menjadi 2: a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) b. Kasus konfirmasi tanpa
gejala (asimptomatik); keempat, Kontak Erat bericirikan Kontak tatap muka/berdekatan
dengan kasus probable atau kasus konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu
15 menit atau lebih.
Berdasarkan penelusuran Peneliti, tindakan pembocoran data pribadi pasien Covid-19 yang
pernah terjadi yakni: pertama, tersebarnya informasi pribadi pasien dalam pemantauan
(PDP) di salah satu RS di Surabaya, data yang tersebar dalam bentuk berkas (yang dilengkapi
nomor registrasi, alamat pasien, nama dokter, dan sebagainya) yang difoto dan disebarkan
melalui media komunikasi elektronik, Whatsapp;8 kedua, pada Bulan Juni 2020, diduga
ratusan ribu data pasien Covid-19 dikabarkan bocor dan diperjualbelikan di situs internet
RaidForums dalam bentuk MySQL. Data pasien yang dibocorkan cukup lengkap mulai dari
nama warga negara Indonesia dan asing yang berstatus ODP dan PDP. Terdiri dari tanggal
laporan, status, nama responden, kewarganegaraan, kelamin, umur, telepon, alamat tinggal,
resiko, jenis kontak, hubungan kasus, tanggal awal risiko, tanggal akhir resiko, hasil rapid test
dan tes PCR.9 Namun, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika di Kabinet Indonesia
Maju, Johnny G. Plate, Kominfo telah mendapatkan konfirmasi dari Badan Siber dan Sandi
Negara (BSSN) bahwa tidak ada akses tidak sah yang berakibat kebocoran data pada sistem
elektronik dan aset informasi aktif penanganan Covid-19 dan tidak terjadi data breach
ataupun data leakage, semua dalam pengelolaan adalah aman;10 ketiga, pada bulan Maret
2020 terdapat kasus tidak dilindunginya data pribadi pasien positif Covid-19 di Depok dan
bocor di media sosial, bukan hanya 2 pasien yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan
namun beberapa tetangga dari 2 pasien tersebut juga mengalami perlakuan yang tidak adil
dari masyarakat, banyak dampak negatif yang ditimbulkan setelah data pribadi kedua pasien
tersebut tersebar luas di media sosial.11 Hal tersebut menunjukkan bahwa data pribadi sangat
rentan untuk diakses secara bebas oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan

8 <https://nasional.kompas.com/read/2020/03/18/10205171/komisi-informasi-sesalkan-tersebarnya-data-pribadi-pasien-covid-19-
di?page=all> diakses pada tanggal 4 Juli 2020.
9 <https://mediaindonesia.com/read/detail/322016-data-covid-19-diretas-dpr-kebut-uu-perlindungan-data-pribadi> diakses tanggal
4 Juli 2020.
10 <https://aptika.kominfo.go.id/2020/06/menkominfo-jawab-dugaan-jual-beli-data-pribadi-pasien-covid-18/> diakses pada tanggal 4
Juli 2020
11 <https://style.tribunnews.com/amp/2020/03/05/data-pasien-corona-asal-depok-bocor-tetangga-dapat-perlakuan-tak-adil-
anaknya-dilarang-sekolah?page=all> diakses tanggal 4 Juli 2020.

489
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky P.P. Karo-Karo Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 di Indonesia pada
Sistem Elektronik sebelum adanya UU Perlindungan Data Diri Pribadi Berdasarkan
Perspektif Teori Keadilan Bermanfaat

untuk menghindari hal yang sama akan terjadi, perlu adanya kebijakan pemerintah terkait
data yang dikelola dan terjamin kerahasiaannya.12
Data pribadi pasien bukanlah informasi publik, bukan informasi yang dapat diakses oleh
pelbagai pihak. Pengaturan data pribadi di Indonesia masih tersebar dalam pelbagai peraturan
perundang-undangan. Apabila merujuk pada Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya disebut UU KIP). Pasal 1 Angka 2 UU KIP,
Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau
diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan
negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai
dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Berdasarkan penelusuran Peneliti, pengaturan data pribadi masih tersebar dibanyak regulasi
baik dari tingkat Undang-undang sampai dengan Peraturan Menteri.
Jika mengacu pada UU 23/2006 jo. UU 24/2013 tentang administrasi kependudukan
(selanjutnya disebut UU AK). Pasal 84 ayat (1) UU AK mengatur bahwa Data pribadi
penduduk yang harus dilindungi ialah 1. Nomor Kartu Keluarga (KK); 2. Nomor Induk
Kependudukan (NIK); 3. Tanggal/bulan/tahun lahir; 4. Keterangan tentang kecacatan fisik
dan/atau mental; 5. NIK ibu kandung; 6. NIK ayah; 7. Beberapa isi catatan peristiwa penting.
Sedangkan dalam topik bahasan Peneliti, data pribadi yang diatur dalam UU Kesehatan
yakni Data pribadi berupa data riwayat kesehatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Berdasarkan latar belakang tersebut, Peneliti mengangkat judul tulisan yakni “Perlindungan
Data Pribadi Pasien Covid-19 Di Indonesia Pada Sistem Elektronik Sebelum Adanya UU
Perlindungan Data Pribadi Berdasarkan Perspektif Teori Keadilan Bermartabat.”

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang diangkat dan dibahas dibagian
pembahasan yakni mengenai perlindungan data pribadi pasien covid-19 di Indonesia sebelum
adanya UU Perlindungan Data Pribadi berdasarkan perspektif teori keadilan bermartabat.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah :
1. Pendekatan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ‘kualitatif. Prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang teramati.13
2. Metode Pengumpulan Data. Metode pengumpulan data yang digunakan yakni
menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan (literature research) yang terdiri dari
pertama, bahan hukum primer yakni (a). Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); b.Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan); b. Undang-undang No. 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit (selanjutnya disebut UU RS); c. Undang-undang No. 19 Tahun 2016
tentang Perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) d. pelbagai peraturan perundang-undangan yang

12 Inggarwati, M. P., Celia, O. dan Arthanti, B. D. (2020). “Online Single Submission for Cyber Defense and Security in Indonesia”, dalam
Lex Scientia Law Review, 4 (1), hlm. 89-102.
13 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), hlm. 4.

490
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky P.P. Karo-Karo Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 di Indonesia pada
Sistem Elektronik sebelum adanya UU Perlindungan Data Diri Pribadi Berdasarkan
Perspektif Teori Keadilan Bermanfaat

berkaitan dengan topik penelitian; kedua, bahan hukum sekunder yang terdiri dari artikel
ilmiah, jurnal penelitian dan literatur lainnya; ketiga, bahan hukum tersier yang terdiri dari
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Black’s Law Dict.
3. Teknik Analisis Data. Data akan dianalisis secara logis sistematis. Logis sistematis
dilakukan dengan cara berpikir secara deduktif maupun induktif dan mengikuti tata tertib
dalam penulisan laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan
disajikan secara deskriptif yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai
dengan permasalahan yang diteliti.14

B. Pembahasan
1. Tinjauan Singkat Teori Keadilan Bermartabat
Teori Keadilan Bermartabat merupakan suatu teori yang digagas oleh Prof. Teguh
Prasetyo, yang menyatakan bahwa Teori Keadilan Bermartabat tidaklah anti terhadap
teori-teori yang selama ini ada dan dirujuk dalam menjelaskan hukum yang berlaku di
Indonesia. Namun, Keadilan Bermartabat berusaha memberi teladan untuk ber-hukum,
termasuk mencari dan membangun atau melakukan konstruksi maupun rekonstruksi
atas hukum serta penjelasan tentang hukum itu dari falsafah atau filosofis yang digali
dari dalam bumi Indonesia sendiri; tidak harus bergantung kepada teori-teori, konsep-
konsep yang dikembangkan di dalam sistem hukum yang lain.15
Keadilan bermartabat, bukanlah jenis pengertian keadilan, namun suatu teori hukum
yang memberi petunjuk mengenai tujuan dalam setiap institusi hukum.16 Tujuan
dalam Keadilan Bermartabat menunjuk kepada Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber inspirasi hukum. Maka dari itu, dalam Keadilan Bermartabat terkandung nilai-
nilai sentra sosio-politik, ekonomi, kebudayaan dan lain sebagainya yang ada dalam
Pancasila. Dalam Keadilan Bermartabat, Pancasila adalah jiwa bangsa (volksgeist).
Rujukan kepada Pancasila dikarenakan hal itu menjadi keharusan ketika pada tanggal
17 Agustus 1945 Indonesia diproklamasikan. Proklamasi mengharuskan pembentukan
suatu sistem hukum yang murni, hasil saringan dan penggantian pemahaman dan
pemaknaan atas konsep, kaidah, asas hukum-hukum yang pernah dipakai penjajah.
Dalam Keadilan Bermartabat, tujuan hukum harus mengisi kemerdekaan dengan etos
kebangsaan. Tujuan demikian itu disebut juga dengan pembaruan hukum.17
Menurut hemat Peneliti, teori keadilan bermartabat mengawal perlindungan data
pribadi pasien covid-19 dengan tujuan memanusiakan manusia (nguwongke uwong),
dengan tujuan agar pasien tersebut dapat berkosentrasi dalam pemulihan kesehatan.
Data pribadi pasien wajib dijaga, pihak Rumah Sakit wajib melakukan perawatan sistem
secara berkala. Apabila terbukti adanya pembocoran maka hal tersebut merupakan tidak
manusiawi, sudah pasien sakit ditambah data pribadi diretas atau diperjualbelikan.

14 H. B. Sutopo, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II,(Surakarta: UNS Press, 1998), hlm. 37.
15 Teguh Prasetyo dalam Rizky P. P. Karo Karo dan Laurenzia Luna, “Pengawasan Teknologi Finansial melalui Regulatory Sandbox oleh
Bank Indoensia atau Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Perspektif Keadilan Bermartabat”, dalam Transparansi: Jurnal Ilmiah Ilmu
Administrasi, Vol. 2, No. 2, (Desember 2019), hlm. 119.
16 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat: Perspektif Teori Hukum, (Bandung: RajaGrafindo Persada: 2018), hlm. 214.
17 Teguh Prasetyo, Pengantar Ilmu Hukum, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2018), hlm. 2.

491
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky P.P. Karo-Karo Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 di Indonesia pada
Sistem Elektronik sebelum adanya UU Perlindungan Data Diri Pribadi Berdasarkan
Perspektif Teori Keadilan Bermanfaat

2. Hak Pasien
Hak pasien merupakan hak yang termasuk hak asasi manusia sehingga pasien dapat
menerima perlindungan optimal terhadap kesehatan mereka terlepas dari usia, jenis
kelamin, status finansial, dan sebagainya.18 Hubungan hukum yang terdapat antara
pasien dengan pihak lain yang terkait, seperti dokter, pihak rumah sakit, dsb, dilandasi
oleh perjanjian, sehingga setiap pasien memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang
boleh dilakukan terhadap dirinya, tubuhnya, ataupun properti kepunyaannya.19 Peneliti
melakukan penelusuran hak-hak pasien dalam pelbagai peraturan perundang-undangan
di bidang kesehatan namun Peneliti tidak memaparkan keseluruhan hak tersebut
melainkan hanya hak pasien yang berkaitan dengan data pribadi pasien. Adapun hak
pasien tersebut yakni:
2.1. Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap [Pasal 56 ayat (1) UU
Kesehatan].20 Namun, pengecualian ini tidak berlaku pada: a. penderita penyakit
yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau c. gangguan mental berat [Pasal
56 ayat (2) UU Kesehatan] sehingga menurut hemat Peneliti, pasien Covid-19
tidak dapat menolak tindakan medis yang akan diberikan kepadanya termasuk saat
dijemput oleh tim medis ataupun dari tim Gugus Tugas;
2.2. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan (Pasal 32 huruf f
UU RS);
2.3. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data
medisnya (Pasal 32 huruf i UU RS);
2.4. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan
tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi,
dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan
(Pasal 32 huruf j UU RS);
2.5. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah
Sakit (Pasal 32 huruf n UU RS);
2.6. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya
(Pasal 32 huruf o UU RS);
2.7. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata
ataupun pidana (Pasal 32 huruf q UU RS);
2.8. Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah
dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan [Pasal 57 ayat (1) UU
RS]. Namun pengecualian norma ini adalah tidak berlaku dalam hal: a. perintah
undang-undang; b. perintah pengadilan; c. izin yang bersangkutan; d. kepentingan
masyarakat; atau e. kepentingan orang tersebut [Pasal 57 ayat (2) UU RS];

18 Azizollah Arbabisarjou, Sadegh Zare, dan Adel Kadkhodaie, “Evaluation of Respect the Patient’s Rights: Nurses’ Perspective in Teaching
Hospitals”, dalam International Journal of Medical Research and Health Sciences, Vol. 5, (2016), hlm. 3, <https://www.ijmrhs.com/
medical-research/evaluation-of-respect-the-patients-rights-nurses-perspective-in-teaching-hospitals.pdf> pada 3 Agustus 2020>.
19 Hari Baru Mukti, “Perlindungan Hukum Terhadap Pasien sebagai Konsumen Jasa di Bidang Pelayanan Medis Berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata”, dalam Mimbar Keadilan, Jurnall Ilmu Hukum, (Januari – Juni 2016), hlm. 91).
20 Valeri M. P. Siringoringo, Dewi Hendrawati, dan R. Suharto, “Pengaturan Perlindungan Hukum Hak-Hak Pasien dalam Peraturan
Perundang-Undangan tentang Kesehatan di Indoensia”, dalam Diponegoro Law Journal, Vol. 6, No. 2, (2017), hlm. 5.

492
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky P.P. Karo-Karo Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 di Indonesia pada
Sistem Elektronik sebelum adanya UU Perlindungan Data Diri Pribadi Berdasarkan
Perspektif Teori Keadilan Bermanfaat

Adapun bentuk fisik dari Data Pribadi yang biasanya dimiliki pihak rumah sakit
atas pasien, bukan hanya melulu mengenai identitas seperti Nama, Alamat, Tempat
Tanggal Lahir dan lainnya, namun juga rekam medis yang berisi catatan dan dokumen
pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan yang telah diberikan oleh tenaga
kesehatan terhadap pasien.21 Terhadap rekam medis tersebut, wajib dijaga kerahasiaannya
oleh petugas kesehatan termasuk rumah sakit, kecuali ditentukan lain oleh UU.22
Menurut hemat Peneliti, hak pasien adalah hak asasi manusia yang melekat otomatis
pada diri pribadi (in persoon) pasien tersebut, terlebih telah diatur tegas dalam hukum
positif, hukum tertulis yakni peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur di
atas. Hak tersebut wajib dilindungi dan dihormati. Apabila pasien menolak untuk diberi
perawatan tertentu maka itu adalah hak-nya, namun tetap dalam ‘batasan’, ‘batasan’nya
adalah penyakit yang diderita bukanlah penyakit karena virus Corona.
3. Kewajiban Rumah Sakit
Peneliti melakukan penelusuran kewajiban rumah sakit dalam pelbagai peraturan
perundang-undangan di bidang kesehatan, namun Peneliti tidak memaparkan
keseluruhan kewajiban tersebut melainkan hanya kewajiban RS yang berkaitan dengan
data pribadi pasien. Adapun kewajiban RS tersebut yakni:
3.1. Kewajiban Rumah Sakit untuk menghormati dan melindungi hak Pasien
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf m dilaksanakan dengan
memberlakukan peraturan dan standar Rumah Sakit, melakukan pelayanan yang
berorientasi pada hak dan kepentingan Pasien,23 serta melakukan monitoring dan
evaluasi penerapannya [Pasal 17 ayat (1) Permenkes 4/2018];
3.2. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien
dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu [Pasal 32 ayat (1) UU Kesehatan];
3.3. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka [Pasal 32 ayat (2)
UU Kesehatan]. Apabila pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan melanggar Pasal 32 ayat (2) maka dapat diancam pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
3.4. aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan
kemampuan pelayanannya [Pasal 32 ayat (1) huruf d UU RS];
3.5. melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit
sebagai acuan dalam melayani pasien [Pasal 32 ayat (1) huruf g UU RS];
3.6. menyelenggarakan rekam medis [Pasal 32 ayat (1) huruf h UU RS];24
3.7. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban
pasien [Pasal 32 ayat (1) huruf l UU RS];

21 Tiromsi Sitanggang, “Aspek Hukum Kepemilikan Rekam Medis Dihubungkan dengan Perlindungan Hak Pasien”, dalam Jurnal
Penelitian Pendidikan Sosial Humaniora, Vol. 2, No. 1, (Mei 2017), hlm. 4.
22 Made Dwi Mariani, “Perlindungan Hukum Terhadap Rekam Medis Pasien di Rumah Sakit”, dalam Jurnal Magister Hukum Udayana,
Vol. 4, No. 2, (Juli 2015), hlm. 389.
23 Lihat, Rocy Jacobus, “Hak Pasien dalam Mendapatkan Informasi Risiko Pelayanan Medik”, dalam Lex Privatum, Vol. II/No.1/Jan-
Mar/2014, hlm. 11.
24 Mustajab, “Analisis Yuridis Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien dalam Pelayanan Kesehatan”, dalam Jurnal Ilmu Hukum Legal
Opinion, Vol. 1, Ed. 4, (2013), hlm. 4.

493
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky P.P. Karo-Karo Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 di Indonesia pada
Sistem Elektronik sebelum adanya UU Perlindungan Data Diri Pribadi Berdasarkan
Perspektif Teori Keadilan Bermanfaat

3.8. menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws)
[Pasal 32 ayat (1) huruf r UU RS];
Dalam beberapa literatur, terdapat beberapa pendapat terkait kesalahan-kesalahan yang
terdapat dalam praktik kesehatan publik, antaranya pendapat yang mengatakan bahwa
kesalahan yang terjadi bukan merupakan kesalahan dari individual atau perorangan,
namun kesalahan struktural atau berdasarkan sistem.25

4. Regulasi Perlindungan Data Pribadi di Indonesia


Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Komisi
I Dewan Perwakilan Rakyat masih membahas RUU PDP. Namun tidak berarti bahwa
belum adanya UU PDP, data pribadi pasien secara khusus, dan data pribadi secara
umum tidak dapat dilindungi.
Peneliti akan menguraikan peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan
dalam perlindungan data pribadi. Peraturan tersebut yakni, pertama UU ITE, kedua
Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik (selanjutnya disebut PP PSTE); ketiga, Peraturan Menteri Komunikasi
dan Informatika No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem
Elektronik (Permenkominfo PDPSE).
Norma yang mengatur tentang perlindungan data pribadi dalam UU ITE yakni terdapat
dalam Pasal 26, terdapat 4 (empat) pengaturan pokok Pasal 26 UU ITE, pertama:
bahwa penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data
pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan; kedua,
apabila dilanggar maka pemilik data pribadi dapat mengajukan gugatan atas kerugian
yang ditimbulkan; ketiga, Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di
bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan
pengadilan; keempat, Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan
mekanisme penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kedua, PP PSTE juga mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik wajib melaksanakan
prinsip perlindungan Data Pribadi. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) PP PSTE diatur 7
(tujuh) kewajiban perlindungan data pribadi, misalnya dalam melakukan pemrosesan
Data Pribadi meliputi: a. pengumpulan Data Pribadi dilakukan secara terbatas dan
spesifik, sah secara hukum, adil, dengan sepengetahuan dan persetujuan dari pemilik
Data Pribadi.
Ketiga, Permenkominfo PDPSE adalah payung hukum yang mengatur tentang data
pribadi di Indonesia. Berdasarkan Pasal 26 Permenkominfo PDPSE, pemilik data
pribadi berhak: a. atas kerahasiaan Data Pribadinya; b. mengajukan pengaduan dalam
rangka penyelesaian sengketa Data Pribadi atas kegagalan perlindungan kerahasiaan
Data Pribadinya oleh Penyelenggara Sistem Elektronik kepada Menteri; c. mendapatkan
akses atau kesempatan untuk mengubah atau memperbarui Data Pribadinya tanpa

25 Kenneth Watson dan Rob Kottenhagen, “Patients’ Rights, Medical Error, and Harmonisation of Compensation Mechanisms in
Europe”, dalam European Journal of Health Law, Vol. 25, (2018), hlm. 1-23, <http://core.ac.uk/download/pdf/154418213.pdf> pada
tanggal 3 Agustus 2020.

494
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky P.P. Karo-Karo Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 di Indonesia pada
Sistem Elektronik sebelum adanya UU Perlindungan Data Diri Pribadi Berdasarkan
Perspektif Teori Keadilan Bermanfaat

mengganggu sistem pengelolaan Data Pribadi, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan; d. mendapatkan akses atau kesempatan untuk
memperoleh historis Data Pribadinya yang pernah diserahkan kepada Penyelenggara
Sistem Elektronik sepanjang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan e. meminta pemusnahan Data Perseorangan Tertentu miliknya dalam
Sistem Elektronik yang dikelola oleh Penyelenggara Sistem Elektronik, kecuali
ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Permenkominfo PDPSE bahwa Data Pribadi yang disimpan
dalam Sistem Elektronik harus Data Pribadi yang telah diverifikasi keakuratannya.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) Permenkominfo PDPSE bahwa Data Pribadi yang
disimpan dalam Sistem Elektronik harus dalam bentuk data terenkripsi. Berdasarkan
Pasal 15 ayat (3) Permenkominfo PDPSE bahwa Data Pribadi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib disimpan dalam Sistem Elektronik: a. sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban jangka waktu penyimpanan
Data Pribadi pada masing-masing Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor; atau b. paling
singkat 5 (lima) tahun, jika belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan
yang secara khusus mengatur untuk itu.

5. Upaya Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 berdasarkan Perspektif


Keadilan Bermartabat Sebelum Adanya UU Perlindungan Data Pribadi
Pada dasarnya, konsep yang dititiktekankan dalam mekanisme Perlindungan Data
Pribadi adalah bahwa tiap-tiap individulah yang berhak menentukan diberlakukan
atau tidak sharing data, dan apabila sharing data tersebut dilakukan, individu tersebut
memiliki hak pula untuk memberikan batasan-batasan terhadap pemberian data
pribadinya tersebut.26 Di Indonesia, diskursus mengenai tingkat privasi data pribadi
masih sangat jarang dilakukan dan aturan yang komprehensif mengatur mengenai
Perlindungan Data Pribadi pun masih belum ada.27 Padahal, menurut Data Norton
Report 2013, tingkat potensi dan risiko terhadap tindakan kriminal terkait Data Pribadi
di Indonesia memasuki status darurat dan terus menunjukkan peningkatan sebagaimana
dilansir dari laman Id-SIRTII/CC (Indonesia Security Incident Response Team on
Internet Infrastructure/Coordination Center).28 Meskipun perlindungan data dilindungi
dan harus ditanggungjawabi dengan liability rules, banyak pihak-pihak atau korporasi
yang masih menggunakan Data Pribadi sebagai suatu komoditas.29 Urgensi dari adanya
produk hukum yang mengatur secara komprehensif mengenai Perlindungan Data
Pribadi adalah dikarenakan semakin meningkatknya tindakan kriminal yang muncul
yang dapat saja merugikan korban secara materiil maupun imateriil.30

26 Fanny Priscyllia, “Perlindungan Privasi Data Pribadi Perspektif Perbandingan Hukum”, dalam Jatiswara, Vol. 34, No. 3, (November
2019), hlm.241.
27 Graham Greenleaf, “Asian Data Privacy on Personal Data Law, Trade, and Human Rights Perspectives”, dalam Oxford Law Review,
(2014), hlm. 374.
28 Latumahina, “Aspek Hukum Perlindungan Data Pribadi di Dunia Maya”, dalam Jurnal Gema Aktualita, Vol. 3, No. 2, (Desember 2014),
hlm. 15
29 Jacob M. Victor, “The EU General Data Protection Regulation: Toward a Property Regime for Protecting Data Privacy”, dalam The
Yale Law Journal, Vol. 123, No. 2, (November 2013), hlm. 266, <https://www.yalelawjournal.org/comment/the-eu-general-data-
protection-regulation-toward-a-property-regime-for-protecting-data-privacy> pada tanggal 3 Agustus 2020.
30 Tejomurti K., Imanullah, dan Indriyani, “Legal Protection for Urban Online-Transportation-User’s Personal Data Disclosure in the Age
of Digital Technology”, dalam Padjajaran Journal of Law, Vol. 5, No. 3, (2018), hlm.487-488.

495
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky P.P. Karo-Karo Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 di Indonesia pada
Sistem Elektronik sebelum adanya UU Perlindungan Data Diri Pribadi Berdasarkan
Perspektif Teori Keadilan Bermanfaat

Data pribadi pasien Covid-19 wajib dilindungi baik oleh Rumah Sakit, oleh Gugus
Tugas, oleh Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
berada di posisi lemah, pasien pasti akan pasrah menyerahkan data-data nya untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima dan berfokus pada penyembuhan.31
Kebocoran data pribadi yang dialami pasien Covid-19 hanya menimbulkan dampak
negatif, khususnya dampak sosial. Menurut hemat Peneliti, dampak sosial yang akan
terjadi yakni diskriminasi, persekusi oleh tetangga, dikucilkan bahkan yang lebih
parah yakni diusir dari lingkungannya. Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak
bermartabat, seyogyanya lingkungan memberikan dukungan kepada tetangganya yang
sakit atau menjadi pasien Covid-19, ODP.
Berdasarkan Pasal 17 huruf h Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya disebut UU KIP) bahwa Setiap Badan
Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan
Informasi Publik, kecuali: a……; h. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan
kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu: 1. riwayat
dan kondisi anggota keluarga; 2. riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan
fisik, dan psikis seseorang; 3. kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank
seseorang; 4. hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas,
dan rekomendasi kemampuan seseorang; dan/atau 5. catatan yang menyangkut
pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan
satuan pendidikan nonformal. Apabila melanggar ketentuan ini sengaja dan tanpa
hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi maka diancam
dengan dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo untuk Kabinet Indonesia Maju-
2019) memiliki komitmen untuk terus menjaga dan memperhatikan perlindungan
data pribadi pasien Covid-19 dan masyarakat pada umumnya.32 Selain Menkominfo,
Komisi Informasi, lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini
dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi
publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi
nonlitigasi. Komisi Informasi Pusat juga telah mengeluarkan Surat Edaran Komisi
Informasi Pusat RI No. 2 Tahun 2020 tentang Pelayanan Informasi Publik dalam
Masa Darurat Kesehatan Masyarakat Akibat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19),
selanjutnya disebut SE KIP 2/2020.
Menurut hemat Peneliti, budaya kesadaran hukum pentingnya data pribadi juga harus
ditingkatkan. Pihak Rumah Sakit, manajemen RS wajib memberikan edukasi bagi
para pekerja khususnya divisi rekam medis, pengelola informasi dan teknologi bahwa
rekam medis, data pasien adalah milik pasien itu sendiri dan digunakan hanya untuk
kepentingan medis bukan untuk dikoleksi secara pribadi bahkan dijual. Kesadaran

31 Mark J. Taylor dan Tess Whitton, “Public Interest, Health Research, and Data Protection Law: Establishing a Legitimate Trade-Off
between Individual Control and Research Access to Health Data”, dalam University of Melbourne Law Journal, Vol. 9, No. 6, (2020),
hlm 3.
32 <https://nasional.kompas.com/read/2020/04/29/13154321/wabah-covid-19-menkominfo-berkomitmen-jaga-perlindungan-data-
pribadi> diakses tanggal 4 Juli 2020.

496
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky P.P. Karo-Karo Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 di Indonesia pada
Sistem Elektronik sebelum adanya UU Perlindungan Data Diri Pribadi Berdasarkan
Perspektif Teori Keadilan Bermanfaat

hukum adalah perbuatan dalam alam bawah sadar (beyond) bahwa hukum yang ada
adalah untuk ditaati.33
Berdasarkan Angka 4 SE KIP 2/2020, Komisi Informasi Pusat memberikan panduan
kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Menteri Kesehatan
RI, Gubernur, Bupati/Walikota, dan instansi pemerintah lain yang terkait dengan
penanganan darurat kesehatan akibat Covid-19, untuk menginformasikan hal-hal
sebagai berikut, salah satunya adalah “secara ketat dan terbatas, menginformasikan
penyebaran Covid-19 dengan tetap melindungi data pribadi ODP, PDP, pasien positif
Covid-19, dan orang-orang yang dinyatakan telah sembuh oleh pihak yang berwenang.
Adapun data pribadi yang dimaksud terdiri atas: nama, alamat rumah, nomor telepon
dan sebagainya, yang dapat mengungkapkan identitas pribadi yang bersangkutan. Data
pribadi dapat digunakan oleh Pemerintah untuk mitigasi penyebaran dan penanganan
Covid-19. Namun demikian, tidak boleh dipublikasikan kecuali disetujui oleh yang
bersangkutan atau keluarga inti dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Jurnalis yang melakukan peliputan tentang pasien Covid-19 juga wajib menjunjung
tinggi prinsip perlindungan data pribadi pasien baik yang sudah positif, ataupun masih
dalam pengawasan. Jurnalis tidak boleh menyebutkan nama ataupun identitas lainnya
terhadap pasien. Jika hal tersebut dibuka maka akan menimbulkan ketidaknyamanan
keluarga pasien, keluarga pasien berpotensi diganggu, dikucilkan dan merupakan
perbuatan yang tidak bermartabat.
Selain itu, peran serta masyarakat, kesadaran masyarakat khususnya tetangga yang dekat
dengan pasien wajib menjunjung tinggi privasi, kerahasiaan data pribadi pasien tersebut.
Apabila pada kemudian hari timbul sengketa pembocoran data pribadi, maka langkah
yang tepat dilakukan adalah dengan cara mediasi, karena dapat diselesaikan secara
bermartabat dengan tujuan yang disepakati bersama. Walaupun pilihan menggunakan
media hukum lain diperkenankan, misalnya melakukan pengaduan ke Kementerian
Kesehatan agar diberikan sanksi adminstratif ataupun membuat laporan polisi dengan
dugaan tindakan cracking/peretasan.34

C. Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, kesimpulan yang diperoleh yakni:
Pasien Covid-19 selain wajib disembuhkan, dilakukan tindakan medis yang maksimal,
namun data pribadi pasien tersebut wajib dihormati, wajib dilindungi. Walaupun Rancangan
Undang-undang tentang Perlindungan Data Pribadi masih diproses, masih disusun, data
pribadi pasien covid-19 dapat dilindungi oleh peraturan perundang-undangan lainnya yang
berkaitan dengan kesehatan, rumah sakit, UU ITE dan juga Permenkominfo PDPSE. Pihak
manajemen RS wajib melakukan perlindungan data sedemikian rupa sesuai dengan prinsip
keadilan bermartabat. Pihak RS wajib melakukan pengecekan berkala pada sistem elektronik
yang dimiliki khususnya terhadap keamanan sistem data pribadi pasien, data rekam medis
pasien. Manajemen RS wajib melakukan perawatan sistem dengan bekerja sama dengan

33 Karo, R.P.K. dan Yana, A.F, “Upaya Membangun Kesadaran Hukum Penggunaan Teknologi Bagi Generasi Milenial berdasarkan Prinsip
Keadilan Bermartabat”, dalam Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu Universitas Asahan.
34 Rizky Karo Karo, Penegakan Hukum Kejahatan Dunia Maya (Cybercrime) Melalui Hukum Pidana, (Karawaci: Penerbit Fakultas
Hukum, Universitas Pelita Harapan, 2019), hlm. 157.

497
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky P.P. Karo-Karo Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 di Indonesia pada
Sistem Elektronik sebelum adanya UU Perlindungan Data Diri Pribadi Berdasarkan
Perspektif Teori Keadilan Bermanfaat

perusahaan sistem keamanan elektronik untuk meningkatkan sistem keamanan rekam


medis, misalnya dengan menambahkan program enkripsi pada program yang digunakan.
Manajemen RS juga wajib memberikan edukasi kesadaran hukum kepada seluruh pekerjanya
bahkan hingga satpam, cleaning service untuk tidak memberitahukan data pribadi pasien
covid-19 berupa apapun, nama, alamat, nama media sosial. Apabila terjadi sengketa data
pribadi sebaiknya diselesaikan secara mediasi, diselesaikan secara bermartabat dicarikan
solusinya, dicarikan sumber kebocoran datanya untuk segera dihapus.

Saran
1. Pihak manajemen rumah sakit wajib menjaga keamanan data pribadi pasien, riwayat
rekam medis yang ada dalam sistem elektronik rumah sakit tersebut;
2. Pihak manajemen rumah sakit wajib melakukan perawatan sistem dengan merekrut,
atau kerja sama dengan orang yang IT yang mengerti keamanan sistem data;
3. Wartawan media massa baik online ataupun cetak wajib menghargai data pribadi pasien
dengan tetap tidak mencantumkan nama asli ataupun data lainnya pada artikel yang
diterbitkan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
H.B Sutopo, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta, 1998.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002.
Rizky Karo Karo, Penegakan Hukum Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime) Melalui Hukum
Pidana, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Karawaci, 2019.
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat: Perspektif Teori Hukum, Edisi Pertama, Cetakan ke-I,
Nusa Media, Bandung, 2015.
Teguh Prasetyo, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Pertama, Cetakan ke-I, PT RajaGrafindo Persada,
Depok, 2018.

Jurnal
Azizollah Arbabisarjou, Sadegh Zare, dan Adel Kadkhodaie, “Evaluation of Respect the
Patient’s Rights: Nurses’ Perspective in Teaching Hospitals”, dalam International Journal
of Medical Research and Health Sciences, Vol. 5, 2016.
Dewi, S., Konsep Perlindungan Hukum atas Privasi dan Data Pribadi Dikaitkan dengan
Penggunaan Cloud Computing di Indonesia, Demo 2 Jurnal, Vol. 94, 2016.
Fanny Priscyllia, “Perlindungan Privasi Data Pribadi Perspektif Perbandingan Hukum”, dalam
Jatiswara, Vol. 34, No. 3, 2019.
Graham Greenleaf, “Asian Data Privacy on Personal Data Law, Trade, and Human Rights
Perspectives”, dalam Oxford Law Review, 2014.
Hari Baru Mukti, “Perlindungan Hukum Terhadap Pasien sebagai Konsumen Jasa di Bidang

498
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky P.P. Karo-Karo Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 di Indonesia pada
Sistem Elektronik sebelum adanya UU Perlindungan Data Diri Pribadi Berdasarkan
Perspektif Teori Keadilan Bermanfaat

Pelayanan Medis Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, dalam Mimbar


Keadilan, Jurnall Ilmu Hukum, 2016.
Jacob M. Victor, “The EU General Data Protection Regulation: Toward a Property Regime for
Protecting Data Privacy”, dalam The Yale Law Journal, Vol. 123, No. 2, 2013.
Inggarwati, M. P., Celia, O. dan Arthanti, B. D. Online Single Submission for Cyber Defense and
Security in Indonesia, Lex Scientia Law Review, 4 (1), 2020.
Karo, R.K., Sukardi, E. and Purnama, S., Perlindungan Hak Pekerja Dalam Satu Perusahaan
Untuk Melangsungkan Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/
PUU-Xv/2017. Jurnal Hukum Media Bhakti, 3(1), 2019.
Karo, R.P.K. dan Yana, A.F, “Upaya Membangun Kesadaran Hukum Penggunaan Teknologi
Bagi Generasi Milenial berdasarkan Prinsip Keadilan Bermartabat”, dalam Seminar
Nasional Multi Disiplin Ilmu Universitas Asahan.
Kenneth Watson dan Rob Kottenhagen, “Patients’ Rights, Medical Error, and Harmonisation of
Compensation Mechanisms in Europe”, dalam European Journal of Health Law, Vol. 25,
2018.
Latumahina, “Aspek Hukum Perlindungan Data Pribadi di Dunia Maya”, dalam Jurnal Gema
Aktualita, Vol. 3, No. 2, 2014.
Made Dwi Mariani, “Perlindungan Hukum Terhadap Rekam Medis Pasien di Rumah Sakit”,
dalam Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. 4, No. 2, 2015.
Mark J. Taylor dan Tess Whitton, “Public Interest, Health Research, and Data Protection Law:
Establishing a Legitimate Trade-Off between Individual Control and Research Access to
Health Data”, dalam University of Melbourne Law Journal, Vol. 9, No. 6, 2020.
Mustajab, “Analisis Yuridis Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien dalam Pelayanan
Kesehatan”, dalam Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 1, Ed. 4, 2013.
Rocy Jacobus, “Hak Pasien dalam Mendapatkan Informasi Risiko Pelayanan Medik”, dalam Lex
Privatum, Vol. II/No.1/Jan-Mar/2014.
Teguh Prasetyo, Rizky P. P. Karo Karo, Laurenzia Luna, Pengawasan Teknologi Finansial melalui
Regulatory Sandbox oleh Bank Indoensia atau Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan
Perspektif Keadilan Bermartabat, Transparansi: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi, Vol. 2,
No. 2, 2019.
Tejomurti K., Imanullah, dan Indriyani, “Legal Protection for Urban Online-Transportation-
User’s Personal Data Disclosure in the Age of Digital Technology”, dalam Padjajaran
Journal of Law, Vol. 5, No. 3, 2018.
Tiromsi Sitanggang, “Aspek Hukum Kepemilikan Rekam Medis Dihubungkan dengan
Perlindungan Hak Pasien”, dalam Jurnal Penelitian Pendidikan Sosial Humaniora, Vol.
2, No. 1, 2017.
Valeri M. P. Siringoringo, Dewi Hendrawati, dan R. Suharto, “Pengaturan Perlindungan Hukum
Hak-Hak Pasien dalam Peraturan Perundang-Undangan tentang Kesehatan di Indoensia”,
dalam Diponegoro Law Journal, Vol. 6, No. 2, 2017.

499
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Rizky P.P. Karo-Karo Perlindungan Data Pribadi Pasien Covid-19 di Indonesia pada
Sistem Elektronik sebelum adanya UU Perlindungan Data Diri Pribadi Berdasarkan
Perspektif Teori Keadilan Bermanfaat

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Data Elektronik
https://nasional.kompas.com/read/2020/04/29/13154321/wabah-covid-19-menkominfo-
berkomitmen-jaga-perlindungan-data-pribadi diakses tanggal 4 Juli 2020
https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/events-as-they-happen
diakses tanggal 7 April 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/18/10205171/komisi-informasi-sesalkan-
tersebarnya-data-pribadi-pasien-covid-19-di?page=all diakses tanggal 4 Juli 2020
https://mediaindonesia.com/read/detail/322016-data-covid-19-diretas-dpr-kebut-uu-
perlindungan-data-pribadi diakses tanggal 4 Juli 2020.
https://aptika.kominfo.go.id/2020/06/menkominfo-jawab-dugaan-jual-beli-data-pribadi-pasien-
covid-19/ diakses tanggal 4 Juli 2020
https://style.tribunnews.com/amp/2020/03/05/data-pasien-corona-asal-depok-bocor-tetangga-
dapat-perlakuan-tak-adil-anaknya-dilarang-sekolah?page=all diakses tanggal 4 Juli 2020
https://who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/events-as-they-happen> pada
tanggal 7 April 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/18/10205171/komisi-informasi-sesalkan-
tersebarnya-data-pribadi-pasien-covid-19-di?page=all> diakses pada tanggal 4 Juli 2020.
https://mediaindonesia.com/read/detail/322016-data-covid-19-diretas-dpr-kebut-uu-
perlindungan-data-pribadi> diakses tanggal 4 Juli 2020.
https://aptika.kominfo.go.id/2020/06/menkominfo-jawab-dugaan-jual-beli-data-pribadi-pasien-
covid-18/> diakses pada tanggal 4 Juli 2020
https://style.tribunnews.com/amp/2020/03/05/data-pasien-corona-asal-depok-bocor-tetangga-
dapat-perlakuan-tak-adil-anaknya-dilarang-sekolah?page=all> diakses tanggal 4 Juli
2020.
https://nasional.kompas.com/read/2020/04/29/13154321/wabah-covid-19-menkominfo-
berkomitmen-jaga-perlindungan-data-pribadi> diakses tanggal 4 Juli 2020.

500
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ghina Mufidah Pandemi Virus Corona sebagai Bencana Nonalam Terkait Keadaan
Force Majeure dalam Kontrak Bisnis

PANDEMI VIRUS CORONA SEBAGAI BENCANA NONALAM


TERKAIT KEADAAN FORCE MAJEURE DALAM KONTRAK BISNIS
Ghina Mufidah1, Yudho Taruno**, Hari Purwadi***

Abstract
This article aims to find out the relationship between Presidential Decree number 12 of 2020
regarding the Corona virus pandemic as a non-natural disaster with force majeure and the
context in the agreement if the covid-19 phenomenon or pandemic can make either party unable
to fulfill its obligations. This research is a normative legal research that is prescriptive in
research approach using a statutory approach and a case approach. The results showed that Not
necessarily Presidential Decree Number 12 of 2020 can be stated an event that can be made a
matter of force because it must be applied from the situation and conditions and in accordance
with the type and character of the agreement made by both parties. Force majeure due to the
Corona virus outbreak cannot be used as a reason for cancellation of the majeure contract
depending on the contents of the contract clause. That is, it must be seen first whether in the
contract clause there is an agreement that if a force majeure occurs because of a pandemic the
contents of the contract can be distorted.
Keywords : Pandemic, Force Majeure, Business Contract

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui kaitannya Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2020
tentang pandemi Covid-19 sebagai bencana nonalam dengan force majeure sebagai konteks yang
memungkinkan salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya. Penelitian ini merupakan
penelitian hukum doktrinal yang bersifat preskriptif pendekatan penelitian menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak serta merta situasi pandemi dapat dijadikan hal memaksa
karena harus diterapkan dari situasi dan kondisi sesuai dengan jenis serta karakter perjanjian
yang dibuat oleh kedua belah pihak. Force majeure karena pandemi Covid-19 tidak secara
otomatis dijadikan alasan pembatalan kontrak. Hal tersebut bergantung pada ada atau tidaknya
klausul kontrak yang menyatakan bahwa jika terjadi force majeure karena adanya pandemi,
maka isi kontrak bisa disimpangi. Artinya, harus dilihat dahulu apakah di dalam klausul kontrak
tersebut ada kesepakatan bahwa jika terjadi force majeure karena adanya pandemi yang terjadi
isi kontrak bisa disimpangi.
Kata Kunci : Pandemi, Force Majeure, Kontrak Bisnis

A. Latar Belakang
Sebuah kontrak akan membentuk sesuatu yang besifat privat antara pihak - pihak yang
mengadakan kontrak di antara mereka memiliki hak secara yuridis yaitu salah satunya untuk
menuntut pelaksanaan serta kepatuhan atas batasan - batasan yang telah disepakati secara

1 * Mahasiswa Magister Hukum Universitas Sebelas Maret (Hukum Bisnis)


** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
***Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

501
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ghina Mufidah Pandemi Virus Corona sebagai Bencana Nonalam Terkait Keadaan
Force Majeure dalam Kontrak Bisnis

sukarela. Sebuah kontrak yang lahir melalui hubungan hukum tidak selalu berjalan sebagaimana
maksud dan tujuannya, dalam keadaan tersebut dapat dikatakan sebagai wanprestasi yang
dilakukan oleh salah satu pihak., sebab adanya kekeliruan, perbuatan curang, paksaan,
maupun keadaan memaksa (force majeure) atau overmacht. Konsekuensi yang muncul karena
force majeure yaitu (kontrak) dapat menyebabkan suatu kontrak menjadi batal demi hukum.2
Berkaitan dengan ketidaktercapaian maksud dan tujuan perjanjian dapat disebabkan oleh
force majeure atau keadaan memaksa dan lazimnya ditujukan terhadap suatu peristiwa
yang berada di luar jangkauan manusia untuk menghindar dari peristiwa tersebut.3 Force
majeure diatur di dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, namun apabila dikaji lebih
lanjut ketentuan tersebut lebih menekankan bagaimana tata cara penggantian biaya, rugi
dan bunga akan tetapi dapat dijadikan acuan sebagai pengaturan force majeure.4
Pada saat ini pandemi Covid-19 yang dialami beberapa negara di dunia termasuk Indonesia
dimana pandemi Covid-19 ini tidak hanya mengancam kekebalan tubuh manusia akan
tetapi juga mengancam segala sektor bisnis, pandemi Covid-19 ini telah menggangu mata
rantai produksi industri sehingga perputaran bisnis tak lancar, sementara kewajiban para
pengusaha tetap harus berjalan.
World Health Organization (WHO) telah menyatakan virus Corona sebagai Global
Pandemic, sehingga Presiden Joko Widodo menetapkan Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana nonalam Penyebaran Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional. Dengan mempertimbangkan bahwa
bencana nonalam yang disebabkan oleh penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
telah berdampak meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta benda, meluasnya cakupan
wilayah yang terkena bencana, serta menimbulkan implikasi pada aspek sosial ekonomi
yang luas di Indonesia.5 Tak terkecuali aktivitas korporasi baik nasional maupun global
ikut menerima dampak yang sangat besar akibat merebaknya pandemi Covid-19. Dalam
lingkungan bisnis, kegagalan pemenuhan perjanjian atau wanprestasi tidak berlaku apabila
orang yang tak memenuhi prestasi dapat membuktikan ada suatu halangan yang tidak dapat
dihindari, misalnya akibat adanya bencana alam.
Pada dasarnya force majeure adalah kejadian luar biasa yang menyebabkan orang tidak
mampu memenuhi prestasinya karena peristiwa di luar kemampuannya. Force majeure
menyebabkan perjanjian atau kontrak keperdaataan secara otomatis dapat diubah atau
dibatalkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan publik karena akan mengganggu aktivitas
masyarakat termasuk sektor bisnis. Terdapat sejumlah unsur utama yang membuat sebuah
kondisi dianggap sebagai force majeur, yaitu:6
a. Adanya kejadian tidak terduga
b. Halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan
c. Ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur
d. Ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.

2 Elly Erawati & Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, Nasional Legal Reform Program, Jakarta : PT.
Gramedia.2010, hlm. 5
3 Agri Chairunisa Isradjuningtias, “Forcemajeure (overmacht) Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Di Indonesia”, Jurnal UNPAR, Vol
1, No 1, 2015, hlm. 137.
4 Ibid., hlm.140.
5 Serketariat Kabinet Republik Indonesia, “Presiden Tetapkan Bencana Non-Alam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional”
melalui website http://setkab.go.id diakses pada tanggal 8 Juni 2020
6 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan dan Kaidah Hukum, Jakarta: Prenamedia Group, 2018,. hlm. 116

502
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ghina Mufidah Pandemi Virus Corona sebagai Bencana Nonalam Terkait Keadaan
Force Majeure dalam Kontrak Bisnis

Akibat luasnya kemungkinan keadaan atau situasi force majeur, para pihak yang terlibat
dalam suatu perjanjian hukum atau kontrak biasanya mencantumkan klausul dengan daftar
peristiwa yang dapat menjadi force majeure dalam perjanjian mereka. Hal ini guna mendapat
kepastian hukum. Pada klausa force majeure memberikan perlindungan yang diberikan dari
kerugian yang disebabkan oleh kebakaran, banjir, gempa, hujan badai, angin topan, (atau
bencana alam lainnya), pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase, perang, invasi,
perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer terorisme, nasionalisasi, blokade,
embargo, perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu pemerintahan.7
Hal inilah yang menjadikan spekulasi bahwa para pihak dapat melakukan pemutusan suatu
perjanjian disebabkan adanya Covid-19 sebagai salah satu hal penyebab keadaan kahar
namun, di sisi lain belum adanya kejelasan secara hukum apakah pandemi dapat dijadikan
force majeure.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, ada 2 (dua) permasalahan yang
akan diulas dalam artikel ini. Pertama, bagaimana kaitannya Keputusan Presiden Nomor
12 Tahun 2020 tentang pandemi Covid-19 sebagai bencana nonalam dengan force majeure
dan kedua, bagaimana konsekuensi hukum atas perjanjian jika fenomena pandemi Covid-19
dapat membuat salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya.

C. Metode Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian
nomatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai
prepenelitian dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Pendekatan yuridis
normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara
menganalisis teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Data yang diguakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku,
jurnal, buku literatur dan jurnal publikasi 8

D. Pembahasan
1. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Virus Corona Sebagai Bencana
Non Alam Kaitannya Dengan Force Majeure
Pandemi Covid-19 ditetapkan oleh pemerintah sebagai salah satu bencana nonalam
yang terjadi, namun ketika wabah ini muncul pemerintah menyatakan pandemi
Covid-19 sebagai wabah nasional dan diikuti oleh peraturan pelaksanaan lainnya.
Ketentuan - ketentuan dalam peraturan tersebut diantaranya melarang masyarakat untuk
melaksanakan kegiatan, berkumpul, melaksanakan kegiatan suatu usaha. Oleh karena
itu, keadaan yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 berpotensi sebagai force majeure,
terjadinya pandemi menyebabkan masyarakat tidak mampu melakukan kegiatan apapun

7 M. Muhtarom, “Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak”, Jurnal Suhuf (Publikasi Ilmiah UMS).
Vol. 26, No. 1, 2014. hlm. 50.
8 Peter Mahmud Marzuk, Penelitian Hukum,cetakan ketujuh, Jakarta: Kencana. 2011. hlm. 89.

503
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ghina Mufidah Pandemi Virus Corona sebagai Bencana Nonalam Terkait Keadaan
Force Majeure dalam Kontrak Bisnis

seperti bekerja atau malakukan kegiatan lainnya namun ketika masyarakat dilarang
untuk melakukan suatu pekerjaan, sehingga dapat dikatakan sebagai force majeure.
Terdapat dua jenis force majeure yaitu absolut dan relatif. Force majeure absolut
adalah kejadian yang secara mutlak meniadakan kemampuan salah satu pihak untuk
memenuhi prestasinya, seperti musnahnya bangunan yang dijadikan jaminan kontrak
karena bencana alam, sedangkan force majeure relatif adalah perubahan keadaan tetapi
masih ada alternatif-alternatif yang dapat disubstitusikan, dikompensasi, ditunda,
dan sebagainya.9 Pandemi Covid-19 nyata-nyata telah menjadi bencana nonalam di
Indonesia tetapi, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 pandemi Covid-19 tidak
dapat dijadikan alasan untuk langsung membatalkan kontrak yang sedang berlangsung.
Ketika keadaan lain yang memungkinkan bisa dilakukan pekerjaan akan tetapi karena
sesuatu hal, seseorang tidak mungkin melaksanakannya lagi karena pengorbanan
terlalu besar maka dapat dikatakan sebagai keadaan memaksa.10 Munir Fuady,
mengungkapkan bahwa force majeure dapat dipilah - pilah yaitu ketidakmungkinan
dan ketidakpraktisan. Apabila pekerjaan yang dikerjakan perlu pengorbanan besar, hal
ini termasuk ketidakpraktisan para pihak secara teoritis dapat melakukan prestasinya
namun secara praktis memerlukan pengorbanan yang besar dari segi biaya, waktu atau
pengorbanan lainnya.11
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional tidak secara serta merta dapat
menjadi suatu dasar untuk keadaan memaksa karena harus mempertimbangkan kondisi
dan jenis serta karakter dalam perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak. Force
majeure selalu dikaitkan sebagai kewajiban debitur yang ‘tertunda’ dimana debitur
mempunyai kesempatan untuk menunda kewajibannya.
Secara teori force majeure dapat dikatakan sebagai keadaan wanprestasi artinya salah
satu pihak berjanjian kepada pihak lainnya untuk melaksanakan suatu kewajiban tetapi
karena keadaan terpaksa (force majeure absolute/relatif) maka tidak dapat melaksanakan
kewajibannya. Dengan adanya force majeure jika salah satu pihak tidak melaksanakan
kegiatan sesuai tepat waktu maka dapat dikatakan tidak melakukan wanprestasi.
Mengacu dalam force majeure maka pihak yang berkewajiban melakukan kewajiban
dapat menunda pelaksaan kewajiban sampai keadaan foce majeure itu selesai.12
Keadaan dalam masa pandemi Covid-19 ini tidak dapat dikatakan sebagai pembebasan
kewajiban seorang debitur dari kewajibannya namun dalam situasi tertentu pihak
debitur dapat menunda kewajiban sampai force majeure itu selesai. Dalam hakikatnya
siatuasi dapat dikatakan force majeure atau bukan pemerintah yang memerintahkan
atau menetapkan suatu keadaan adalah force majeure akan, tetapi secara teknis hakim
yang menyatakan apakah keadaan tersebut termasuk keadaan kahar atau tidak. Hakim
dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian, dan hasil dari
pembuktian itu digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara demi

9 Santoso, Djohari dan Achmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. 1989.,
hlm. 75.
10 Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Pertama, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2011., hlm.123
11 Ibid., hlm. 124
12 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsonalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta : LaksBang Mediatama.
2008., hlm.241-243.

504
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ghina Mufidah Pandemi Virus Corona sebagai Bencana Nonalam Terkait Keadaan
Force Majeure dalam Kontrak Bisnis

mendapatkan kepastian hukum. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian


bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan
putusan hakim yang benar dan adil.13 Karena pemerintah melalui Keputusan Presiden
Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019
(Covid-19) Sebagai Bencana Nasional sejatinya hanya mengatakan suatu keadaan.
Menurut Otto Hasibuan dalam wawancaranya bersama Nusantara TV mengenai “Force
Majeure Terkait Wabah Covid 19” bahwa force majeure tidak dapat diterapkan secara
umum. Harus dilihat dari kasus yang terjadi apakah bagi orang tersebut itu force majeure
atau bagi orang lain hal tersebut bukanlah force majeure karena tidak semua masyarakat
menggunakan pemikiran tersebut. Aspek lain yang harus dipertimbangkan, yaitu:14
a. Sifat perjanjiannya
b. Subjek perjanjiannya
c. Jenis perjanjiannya
d. Keadaan - keadaan (situasi yang terjadi)
Force majeure menurut M Yahya Harahap, berdasarkan Pasal 1244 dan 1245 KUH
Perdata, force majeure telah ditetapkan sebagai alasan hukum yang membebaskan debitur
dari kewajiban melaksanakan pemenuhan (nakoming) dan ganti rugi (schadevergoeding)
sekalipun debitur telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum/onrechtmatig.15
Kreditur dapat menyatakan dirinya mengalami force majeure dengan pembuktian yang
membuat hal tersebut membuatnya mengalami keadaan kahar. Kedua belah pihak dapat
menyatakan dirinya mengalami force majeure dengan pembuktian.16 Dengan adanya
force majeure kedua belah pihak tidak saling menuntut terhadap kerugian yang dialami
karena force majeure. Force majeure tidak memberikan arti bahwa suatu kewajiban
dapat tidak dilaksanakan tetapi pihak debitur dapat menuntut penundaan kewajiban
apabila debitur dapat membuktikan bahwa kewajibannya mengalami force majeure.17

2. Konsekuensi hukum atas perjanjian jika fenomena pandemi Covid-19 dapat


membuat salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Suatu Perjanjian dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 KUHperdata tentang Syarat-
syarat Yang Diperlukan Untuk Sahnya Suatu Perjanjian, yang berbunyi :18
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Terpenuhinya suatu perjanjian maka, kedua belah pihak otomatis saling mengikat dirinya
dalam suatu perjanjian namu, seiring berjalannya waktu dapat terjadi “wanprestasi”
dalam suatu kesepakatan yang telah dibuat oleh salah satu pihak yang tentunya dapat

13 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cetakan kelima, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004. hlm.14
14 Agus Yudha Hernoko, Op.cit.,hlm.241-243.
15 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni, 1986. hlm.95.
16 Hero Pandi, “Penyelesaian Ganti Rugi Karena Force Mejeure Dalam Kasus Jasa Pengangkutan”.Jurnal Rechts Vinding. Vol.5. No, 1,
2010. hlm. 215.
17 Mariam Darus Badrulzama, Aneka Hukum Bisnis, Alumni : Bandung, 2005. hlm. 57.
18 Indonesia (a), Kitab Undang - Undang Hukum Perdata, Pasal 1320.

505
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ghina Mufidah Pandemi Virus Corona sebagai Bencana Nonalam Terkait Keadaan
Force Majeure dalam Kontrak Bisnis

merugikan mereka. Wanprestasi, tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban


sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara ke dua belah pihak.19
Dalam perspektif hukum Perdata tentunya pihak yang tidak dapat menjalankan
kewajibannya dapat dikualifikasikan telah melakukan ”wanprestasi” atau “lalai
dalam menjalankan kewajibannya”. Implikasi hukumnya jelas diatur dalam Pasal
1243 KUHPerdata yang pada intinya mengatur kewajiban untuk mengganti kerugian
yang timbul akibat tidak dipenuhinya suatu Perjanjian. Tidak dipenuhinya kewajiban
menempatkan Debitur dalam keadaan lalai dan keadaan lalai memberikan hak kepada
Kreditur untuk menuntut ganti rugi (Pasal 1243 BW).
Dalam kategori force majeure jika salah satu pihak tidak melaksanakan kegiatan
sesuai tepat waktu maka dapat dikatakan tidak melakukan wanprestasi. Lebih lanjut
berdasarkan ruang lingkup force majeure, secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi sebagai berikut :
a) Force Majeure karena keadaan alam
b) Force Majeure karena keadaan darurat
c) Force Majeure karena keadaan ekonomi
d) Force Majeure karena kebijakan atau peraturan pemerintah
e) Force Majeure keadaan teknis yang tidak terduga
Ketentuan dalam KUHPerdata mengenai ketentuan umum force majeure terdapat pada
Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, Pada dasarnya ketentuan tersebut hanya mengatur
masalah force majeure dalam hubungan dengan pergantian biaya rugi dan bunga saja.
Pasal 1244 Perdata :20
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga
apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat
dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada
pada pihaknya.”
Pasal 1245 KUHPerdata :21
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa
atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan
perbuatan yang terlarang.”
Rumusan klausa force majeure dalam KUHPerdata dapat dirinci sebagai berikut:
a. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah “tidak
terduga“ oleh para pihak, atau tidak termasuk dalam asumsi dasar (basic assumption)
pada saat para pihak membuat kontrak itu (Pasal 1244 KUHPerdata);
b. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak yang harus
melaksanakan prestasi (pihak debitur) tersebut (Pasal 1244 KUHPerdata);

19 Stefanus Tatawi, “Tuntutan Ganti Rugi Terhadap Debitur Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Ditinjau Dari Pasal 1243
Kuhperdata (BW)”. Jurnal UNSRAT Lex Privatium, Vol 3 No.2, 2015.hlm. 129.
20 Indonesia (a), Op.Cit., Pasal 1244.
21 Ibid., Pasal 1245.

506
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ghina Mufidah Pandemi Virus Corona sebagai Bencana Nonalam Terkait Keadaan
Force Majeure dalam Kontrak Bisnis

c. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure itu diluar kesalahan pihak
debitur, (Pasal 1244 KUHPerdata);
d. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut bukan kejadian
yang disengaja oleh Debitur. Ini merupakan perumusan yang kurang tepat, sebab
yang semestinya tindakan tersebut “diluar kesalahan para pihak (Pasal 1545
KUHPerdata), bukan tidak sengaja;
e. Para pihak tidak dalam keadaan itikat buruk (Pasal 1244 KUHPerdata);
f. Ketika terjadi force majeure, maka kontrak tersebut menjadi gugur, dan sedapat
mungkin para pihak dikembalikan seperti seolah–olah tidak pernah dilakukan
perjanjian (Pasal 1545 KUHPerdata);
Subekti mengemukakan bahwa force majeure atau keadaan memaksa adalah suatu
keadaan di mana tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan disebabkan oleh hal-hal
yang sama sekali tidak dapat diduga dan debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap
keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi.22 Dengan kata lain, tidak
terlaksananya perjanjian atau terlambat dalam pelaksanaan perjanjian bukan karena
kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa dan orang yang tidak salah tidak
boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian.23
Subekti mendasarkan keadaan memaksa pada dua pasal, yaitu Pasal 1244 dan 1245
KUH Perdata. Isi kedua pasal sama, hanya penilaian lebih baik diberikan pada isi Pasal
1244 KUH Perdata karena dianggap paling tepat menunjukkan force majeure. Force
majeure yang merupakan pembelaan bagi debitor yang dituduh lalai juga memberikan
beban pembuktian pada debitor untuk membuktikan adanya peristiwa yang disebut
overmacht (keadaan memaksa) itu.24
Akibat penting dari adanya force majeure adalah pihak yang harus menanggung resiko. Pasal
1237 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan
suatu kebendaan tertentu, maka sejak perikatan-perikatan dilahirkan, benda tersebut
menjadi tanggungan pihak kreditur”.25 Dari ketentuan dalam Pasal 1237 KUHPerdata
tersebut, jika terjadi force majeure atas kontrak sepihak, maka resiko ditanggung oleh
pihak penerima prestasi (kreditur), kecuali jika pihak debitur lalai dalam memberikan
prestasi, dimana sejak kelalaian tersebut menjadi resiko pihak pemberi prestasi (debitur).
Persoalan yang timbul sehubungan dengan uraian di atas adalah, apabila para pihak
tidak menuangkan suatu pandemi khususnya pada saat ini pandemi Covid-19 tersebut
sebagai force majeure di dalam Perjanjian. Banyak pendapat yang menyangka bahwa
jika tidak diatur dalam Perjanjian maka hal tersebut bukanlah merupakan sebuah force
majeure. Mengacu pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (“UU Penanggulangan Bencana”) dinyatakan bahwa:26
“Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi,
dan wabah penyakit.”

22 Agri Chairunisa Isradjuningtias, Op.cit., hlm 147.


23 Subekti, ,. Aneka Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bakti. 1995. hlm. 69.
24 Ibid., hlm. 70-71.
25 Indonesia (a), Op.cit., Pasal 1237
26 Indonesia (b), Undang -Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 1 ayat 3.

507
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ghina Mufidah Pandemi Virus Corona sebagai Bencana Nonalam Terkait Keadaan
Force Majeure dalam Kontrak Bisnis

Dalam Undang - Undang Penanggulangan Bencana, epidemi penyakit dapat


dikualifikasikan sebagai bencana nonalam yang disebabkan rangkaian peristiwa
nonalam. Dalam hal ini sangatlah relevan untuk menggunakan pernyataan Organisasi
Kesehatan Dunia/World Health Organization yang telah menyatakan bahwa pandemi
Covid-19 adalah sebuah pandemi. Hal ini juga dikuatkan dengan Keputusan Presiden
Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional.
Perlu diketahui terdapat perbedaan definisi antara wabah, epidemi dan pandemi. (1)
Wabah adalah penyakit yang tersebar namun masih dapat diantisipasi. (2) Adapun
epidemi adalah penyakit yang tersebar dalam jumlah besar yang tersebar dalam suatu
area geografis. (3) Yang terakhir adalah pandemi sebuah penyakit dengan persebarannya
hingga tingkat internasional. Dengan demikian dapatlah kita definisikan bahwa pandemi
Covid-19 merupakan sebuah bencana nonalam. Hal tersebut belum dapat mengafirmasi
bahwa pandemi Covid-19 sebagai bencana nonalam dapat dikualifikasikan sebagai
force majeure.
Melihat unsur-unsur keadaan memaksa yaitu tidak dikehendakinya pandemi ini, pandemi
ini dapat menghambat salah satu pihak menjalankan kewajibannya serta yang terakhir
tidak adanya unsur kesengajaan atau kelalaian yang membuat salah satu pihak tidak dapat
menjalankan kewajibannya. Meskipun pandemi Covid-19 bisa saja dikualifikasikan
sebagai force majeure, hal tersebut belumlah cukup untuk dapat membuktikan bahwa
salah satu pihak dalam perjanjian dapat dilepaskan dari tanggung jawab melakukan
ganti rugi karena tidak dapat menjalankan kewajibannya karena force majeure.
Mahmud M.D sebagai salah satu pejabat yang ikut bertanggung jawab atas kebijakan
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional, di dalam website
seminar “Perkembangan Problematika dan Implikasi Force Majeure Akibat Covid
Bagi Dunia Bisnis” mengatakan bahwa anggapan Keputusan Presiden 12 Tahun 2020
tentang Penetapan Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai
Bencana Nasional sebagai dasar untuk membatalkan kontrak-kontrak keperdataan,
terutama kontrak-kontrak bisnis oleh para pelaku usaha merupakan kekeliruan. Di
dalam hukum perjanjian memang ada ketentuan bahwa force majeure bisa dijadikan
alasan untuk membatalkan kontrak. Menurut Mahfud M.D, spekulasi tersebut keliru
dan meresahkan, bukan hanya dalam dunia usaha tetapi juga bagi pemerintah.27
Force majeure memang tidak bisa secara otomatis dijadikan alasan pembatalan kontrak
tetapi memang bisa dijadikan pintu masuk untuk bernegosiasi dalam membatalkan atau
mengubah isi kontrak. Kontrak harus tetap dilaksanakan sesuai dengan isinya karena
menurut Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), setiap
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang membuatnya.28
Force majeure karena pandemi Covid-19 tidak bisa secara serta merta dijadikan alasan
pembatalan kontrak juga dalam arti pembatalan kontrak dengan alasan force majeure
tergantung pada isi klausul kontraknya. Artinya, harus dilihat dulu klausul kontrak
tersebut ada atau tidak adanya kesepakatan bahwa jika terjadi, maka force majeure

27 Website Seminar Perkembangan Problematika dan Implikasi Force Majeure Akibat Covid Bagi Dunia Bisnis Hari, Tanggal 20 April
2020.
28 Website Seminar Perkembangan Problematika dan Implikasi Force Majeure Akibat Covid Bagi Dunia Bisnis Hari, Tanggal 20 April
2020.

508
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ghina Mufidah Pandemi Virus Corona sebagai Bencana Nonalam Terkait Keadaan
Force Majeure dalam Kontrak Bisnis

karena adanya pandemi yang terjadi, maka isi kontrak bisa disimpangi. Harus ada
klausul dalam kesepakatan dan harus dilihat pula pada jenis force majeure yang terjadi
yang disebutkan dalam klausul kontrak.
Secara umum, pengaturan keadaan memaksa (force majeure) dalam perundang-
undangan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar. Pertama, force majeure
ditentukan sebagai klausul yang harus dimasukkan dalam kontrak/ atau perjanjian
mengenai substansi yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Kedua, force
majeure diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi dengan kontrak/perjanjian
yang tidak sesuai, dan substansi sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.29 Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana
Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional sama
sekali tidak dimaksudkan dan memang tidak bisa menjadikan pandemi Covid-19 untuk
dijadikan alasan langsung membatalkan kontrak.
Renegosiasi dengan alasan force majeure tentu bisa dengan tetap berpatokan pada Pasal
1244, Pasal 1245, dan terutama Pasal 1338 KUHPerdata yaitu dengan adanya klausul
yang menyepakti antara kedua belah pihak menjadikan Covid-19 tergolong force majeure
dalam kontrak bisnis mereka. Pihak yang terdampak dapat mengklaim bahwa pandemi
Covid-19 merupakan suatu kejadian kahar, sepanjang para pihak dapat membuktikan
bahwa kondisi tersebut sehingga salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Salah satu contoh ketika pemerintah mengambil tindakan akibat pandemi Covid-19
misalnya, setiap pelarangan atau pembatasan perjalanan yang mencegah suatu pihak
untuk melakukan kewajibannya berdasarkan suatu perjanjian, dan pihak tersebut tidak
menimbulkan tindakan pemerintah, dan pihak tersebut bertindak dengan itikad baik,
maka pihak tersebut dapat mengklaim dengan alasan force majeure.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, mengenai force majeure menunjukkan adanya
hal yang tidak terduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang,
sedangkan yang bersangkutan dengan segala daya berusaha secara patut memenuhi
kewajibannya.30 Hanya debitor yang dapat mengemukakan keadaan memaksa, apabila
setelah dibuat suatu perjanjian timbul suatu keadaan yang tidak diduga-duga akan terjadi
dan keadaan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.31 Hal ini sepanjang
pihak yang berdampak mengklaim bahwa pandemi Covid-19 merupakan keadaan kahar
sehingga tidak terpenuhinya/terhambah menjalani suatu prestasi yang diperjanjikan.
Teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound yaitu Law as a tool of sosial engineering
yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah
ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat.
Hukum bukan hanya yang tertulis dalam undang - undang, melainkan apa yang
dilakukan oleh aparat penyelenggara hukum atau siapa saja yang melaksanakan fungsi
pelaksanaan hukum dengan konsep hukumnya, yaitu hukum dapat berperan sebagai
sarana perubahan masyarakat.32

29 Rahmat Soemardipraja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, Jakarta : Nasional Legal Reform Program, 2010., hlm. 71.
30 Ibid., hlm.51.
31 Daryl John Rasuh, “Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal 1244 Dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata”. Jurnal Lex Privatum. Vol.4 No.2, 2016. hlm. 176.
32 Rosce Pound dalam Contemporary Juristic Theory dikutip dari Atip latipulhayat, “ROSCOE POUND”, Padjajaran Jurnal Ilmu
Hukum, Vol 1, No. 2, 2014. hlm. 413.

509
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ghina Mufidah Pandemi Virus Corona sebagai Bencana Nonalam Terkait Keadaan
Force Majeure dalam Kontrak Bisnis

Bahwa dalam pembahasan ini, aturan Covid-19 sebagai bencana nonalam dalam
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional bahwa sejatinya
aturan yang baru saja dikeluarkan oleh pemerintah sepatutnya peraturan tersebut dapat
diatur dengan situasi yang terjadi agar pandemi Covid-19 dapat memberikan kepastian
hukum bagi masyarakat terutama terkait hal force majeure yang dituliskan dalam
kontrak yang diadakan oleh para pihak serta para pihak sedang dalam melakukan suatu
prestasi dapat melakukan suatu perubahan seperti negosiasi untuk mengubah atau
memberikan kelonggaaran waktu agar salah satu pihak tidak mengalami kerugian karena
pada dasarnya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana
Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional dibuat
semata - mata Covid-19 dijadikan sebagai pembatalan kontrak akan tetapi para pihak
dapat melakukan negoisiasi apakah pandemi Covid-19 dapat mereka tuangkan sebagai
keadaan force majeure dalam kontrak yang terikat antara mereka guna menghadapi dan
menyikapi perubahan keadaan dalam masyarakat saat situasi pandemi Covid-19 ini
Jika suatu perjanjian secara tegas mengecualikan pandemi Covid-19 atau pandemi
atau tindakan pemerintah yang terkait dengannya, maka tidak ada pihak yang dapat
mengklaim kejadian force majeure karena wabah Covid-19. Akibatnya, para pihak harus
terus melakukan kewajibannya masing-masing berdasarkan perjanjian yang relevan.
Maka sangatlah beralasan pandemi Covid-19 tidak serta merta dapat membatalkan
perjanjian, keseluruhan tersebut tergantung bagaimana klausula-klausula yang telah
diatur dalam Perjanjian, dimana Prinsip perjanjian berlaku sebagai Undang-undang
bagi para pihak berlaku sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata,
sehingga apabila di dalam perjanjian tersebut telah mengatur secara ekslusif tentang
force majeure, maka Para Pihak harus tunduk dalam perjanjian tersebut.

Simpulan
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Penetapan Bencana Nonalam Corona Virus Disease
2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional tidak dimaksudkan dan memang tidak bisa
menjadikan pandemi Covid-19 untuk dijadikan alasan langsung membatalkan kontrak. Tidak
serta merta peraturan tersebut mennyatakan suatu kejadian yang dapat dijadikan hal keadaan
memaksa karena harus diterapkan dari situasi dan kondisi dan sesuai dengan jenis serta karakter
daripada perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Pasal 1243 KUHPerdata tentunya pihak yang tidak dapat menjalankan kewajibannya dapat
dikualifikasikan telah melakukan wanprestasi. Meskipun Covid-19 bisa saja dikualifikasikan
sebagai force majeure, hal tersebut belumlah cukup untuk dapat membuktikan bahwa salah satu
pihak dalam perjanjian dapat dilepaskan dari tanggung jawab melakukan ganti rugi karena tidak
dapat menjalankan kewajibannya dengan alasan force majeure. Force majeure karena pandemi
Covid-19 tidak dapat secara serta merta dijadikan alasan pembatalan kontrak sebagai force
majeure karena bergantung pada isi klausul kontraknya. Artinya, harus dilihat dahulu klausul
kontrak mengenai adanya kesepakatan bahwa jika terjadi force majeure karena pandemi, maka
isi kontrak bisa disimpangi.

Saran
Pandemi Covid-19 sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bencana nonalam melalui
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 serta merta bukan termasuk golongan force majeure
karena tidak bersifat absolut maka perlu adanya kepastian apakah suatu pandemi dapat dikatakan

510
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ghina Mufidah Pandemi Virus Corona sebagai Bencana Nonalam Terkait Keadaan
Force Majeure dalam Kontrak Bisnis

force majeure guna para pihak yang akan dan sedang dalam melakukan perjanjian mendapatkan
kepastian hukum. Pemerintah patut melindungi para pihak atau masyarakat dalam melaksanakan
suatu perjanjian demi melancarkan perekonomian. Langkah - langkah yang harus diambil oleh
suatu pihak sehubungan dengan wabah Covid-19 untuk mengklaim peristiwa force majeure dan
mencari alasan untuk tidak berprestasi yaitu mengidentifikasi kewajiban para pihak dan batas
waktu untuk prestasi tersebut; Selepas dari keadaan force majeure yang disebabkan pandemi
Covid-19 ini, masing-masing pihak dalam Perjanjian dapat duduk bersama-sama guna merevisi
beberapa klausula-klausula dalam perjanjian, hal ini menjadi penting, agar perjanjian tersebut
tidak multitafsir dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam perjanjian tersebut.

Daftar Pustaka
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsonalitas dalam Kontrak Komersial,
Yogyakarta : LaksBang Mediatama. 2008.
Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan dan Kaidah Hukum, Jakarta:
Prenamedia Group, 2018.
Atip latipulhayat, “ROSCOE POUND”, Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1. No, 2, 2014.
Daryl John Rasuh, “Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal 1244
Dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Jurnal Lex Privatum. Vol.4
No.2, 2016.
Elly Erawati & Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, Nasional
Legal Reform Program, Jakarta : PT. Gramedia.2010.
Hero Pandi, “Penyelesaian Ganti Rugi Karena Force Mejeure Dalam Kasus Jasa Pengangkutan”.
Jurnal Rechts Vinding. Vol.5. No, 1, 2010.
Mariam Darus Badrulzama, Aneka Hukum Bisnis, Alumni : Bandung, 2005.
Muhtarom, “Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak”, Jurnal
Suhuf (Publikasi Ilmiah UMS). Vol. 26, No. 1, 2014.
Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Pertama, Bandung :
PT Citra Aditya Bakti, 2011.
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cetakan kelima, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2004.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,cetakan ketujuh, Jakarta: Kencana. 2011.
Rahmat Soemardipraja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, Jakarta : Nasional
Legal Reform Program, 2010.
Santoso, Djohari dan Achmad Ali,Hukum Perjanjian Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia. 1989.
Serketariat Kabinet Republik Indonesia, “Presiden Tetapkan Bencana Non-Alam Penyebaran
Covid-19 Sebagai Bencana Nasional” melalui website http://setkab.go.id, tanggal 8 Juni
2020.

511
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Ghina Mufidah Pandemi Virus Corona sebagai Bencana Nonalam Terkait Keadaan
Force Majeure dalam Kontrak Bisnis

Stefanus Tatawi, “Tuntutan Ganti Rugi Terhadap Debitur Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa
Menyewa Ditinjau Dari Pasal 1243 Kuhperdata (BW)”. Jurnal UNSRAT Lex Privatium,
Vol 3 No.2, 2015.
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bakti. 1995.
Website Seminar “Perkembangan Problematika dan Implikasi Force Majeure Akibat Covid Bagi
Dunia Bisnis”,tanggal 20 April 2020.
Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni, 1986.

512
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Triyono Adi Saputro Kajian Problematika Indikasi Geografis (IG) pada Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM) di Kabupaten Sragen

KAJIAN PROBLEMATIKA INDIKASI GEOGRAFIS (IG) PADA USAHA MIKRO


KECIL MENENGAH (UMKM) DI KABUPATEN SRAGEN
Triyono Adi Saputro1, Yudho Taruna Muryanto2, Suraji3

ABSTRAK
Indikasi geografis (IG) merupakan salah satu bentuk upaya melindungi suatu produk dengan
mengedepankan karakteristik khusus yang meliputi asal suatu daerah. Maraknya produk beragam
yang diperdagangkan oleh pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di pasaran masih
banyak yang belum memiliki legalitas secara sah, kondisi ini cenderung mengkhawatirkan dan
meresahkan akan persaingan usaha tidak sehat antar pelaku usaha lain. Kerajinan batu Sangiran
adalah salah satu produk unggulan daerah Kabupaten Sragen yang memiliki potensi khas yang
belum dilegalkan secara resmi oleh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang dikarenakan
beberapa aspek yang menghambat proses pendaftaran legalitas melalui indikasi geografis
(IG). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisa langsung mengenai kondisi di
lapangan guna mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh pelaku Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) dengan menggunakan metode yuridis empiris dan melakukan pendekatan
menggunakan bahan primer dan sekunder sebagai bahan penunjang dalam keberhasilan proses
penelitian. Rendahnya dukungan dan perhatian dari pemerintah setempat terhadap pelaku
usaha di daerah Kabupaten Sragen, sosialisasi informasi yang tidak merata ke seluruh elemen
masyarakat dan belum ada aturan (produk hukum) yang baku di Kabupaten Sragen terhadap
pendaftaran indikasi geografis (IG) yang mengakibatkan kekosongan hukum adalah pemicu
selama ini yang dihadapi oleh pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kabupaten
Sragen. Amandemen peraturan daerah dengan menambahkan instruksi terkait indikasi geografis
(IG) dengan dasar Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
(IG) sebagai solusi alternative dalam mempercepat dan menstimulus pelaku Usaha Mikro Kecil
dan Menengah (UMKM) dalam memperoleh payung hukum melakui indikasi geografis (IG).
Kata kunci: indikasi geografis, usaha mikro kecil menengah (UMKM), kekosongan hukum

Abstract
Geographical Indication (IG) is one of the efforts to protect a product by promoting special
characteristics that include the origin of an area. The rise of diverse products traded by actors
Micro Small Medium Enterprises (MSMES) in the market there are still many who do not have
legal legality, this condition tends to worry and disturbing the competition of unhealthy business
among other business actors. Sangiran Stone Crafts is one of the flagship products of Sragen
Regency that has a unique potential that has not been legalized officially by micro Small Medium
Enterprises (MSMES) due to some aspects that impede the process of registration of legality
through geographical indication (IG). This research is done with the aim to analyze directly
on the conditions in the field to find out the problems faced by the perpetrators of micro small

1 Mahasiswa Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan. Ir Sutami 36 Ketingan, Jebres, Surakarta, Jawa
Tengah, Indonesia, mas.tri@student.uns.ac.id, S.H (Universitas Islam Batik).
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan. Ir Sutami 36 Ketingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia,
yudhotaruno@staff.uns.ac.id, Dr (Universitas Gadjah Mada), S.H (Universitas Sebelas Maret), M.Hum (Universitas Gadjah Mada)
3 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jalan. Ir Sutami 36 Ketingan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia, suraji.
esha@staff.uns.ac.id, S.H (Universitas Sebelas Maret), M.Hum (Universitas Sebelas Maret).

513
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Triyono Adi Saputro Kajian Problematika Indikasi Geografis (IG) pada Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM) di Kabupaten Sragen

enterprises (MSMES) by using empirical juridical method and approach using primary and
secondary materials as supporting materials in the success of the research process. Low support
and attention from the local government business actors in Sragen district, the socialization of
information to all elements of society and there is no rule (legal product) that is raw in Sragen
district against the registration of geographical Indication (IG) that resulted in the legal void
is a trigger during this time faced by the perpetrators of micro enterprises (MSMES) in Sragen
district. The amendment of regional regulations by adding instructions related to geographical
indication (IG) with the basis of law number 20 year 2016 about the brand and geographical
indication (IG) as an alternative solution in accelerating and stimulus the perpetrators of micro
small and medium enterprises (MSMES) in obtaining a legal umbrella in the geographical
Indication (IG).
Keywords: geographical indication, small micro-medium enterprises (MSMES), legal void

A. Pendahuluan
1. Latar belakang masalah
Perkembangan peraturan mengenai hak kekayaan intelektual di Indonesia secara
historis sudah ada sejak tahun 1840. Pada tahun 1885 Undang-Undang Merek sudah
diberlakukan oleh pemerintahan kolonial di Indonesia yang kemudian disusul dengan
Undang-Undang paten tahun 1910 dan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1912.
Setelah Indonesia merdeka, tahun 1946 pemerintah Indonesia resmi mengundangkan
Undang-Undang Merek pada tahun 1961, Undang-Undang Hak Cipta tahun 1982 dan
Undang-Undang Paten 1989 yang kemudian mengalami beberapa kali perubahan akibat
konsekuensi keikutsertaan konvensi Internasional.4
Pada dasarnya pertumbuhan hak kekayaan intelektual di Indonesia tidak lepas dari tiga
cabang utama yang terdiri dari; merek, paten dan hak cipta. Ketiga cabang tersebut lebih
awal meramaikan pasar Internasional dan perlindungan hukum Internasional, yang
kemudian diikuti oleh cabang lain yang memiliki peranan sama dalam hal perlindungan
hukum atas produk hasil ciptaan pelaku usaha. Cabang lain yang memiliki korelasi
dengan ketiga hal tersebut adalah desain industri, rahasia dagang, tata letak sirkuit
terpadu, perlindungan varietas tanaman dan indikasi geografis, yangmana rezim ini
sedang digadang-gadang pemerintah sejak tahun 2018.
Istilah indikasi geografis pada awal kemunculan di tahun 1970 digunakan sebagai
negosiasi oleh World Intellectually Property Organization (WIPO). Awal kehadiran
indikasi geografis sebelum perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights (TRIPs) berhasil disepakati, banyak istilah yang berkembang dengan sebutan
yang beragam seperti : geographical origin of goods, geographical origin, the
appellation of origin, dan geographical indications. Definisi indikasi geografis sendiri
merupakan salah satu rezim hak kekayaan intelektual yang mengatur tentang tanda
suatu produk (karakter khusus) yang dipengaruhi oleh tempat asalnya. Tanda tersebut
terdiri dari nama asal produk dan tempat asal menjadi jaminan keunikan dan kualitas
produk sehingga nilai ekonomis produk tersebut dapat meningkat.5

4 Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual di era Global, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010, hlm. 6-7
5 Miranda Risang Ayu,Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis, Bandung : PT. Alumni, 2006, hlm. xiii

514
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Triyono Adi Saputro Kajian Problematika Indikasi Geografis (IG) pada Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM) di Kabupaten Sragen

Di Indonesia penggunaan indikasi geografis masih hangat dan menjadi banyak


perbincangan oleh masyakarat karena pada tahun 2018 merupakan tahunnya indikasi
geografis oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Indonesia6, dengan
harapan masing-masing daerah sudah mengajukan dan mendaftarkan produk yang
memiliki karakter khusus di kantor pendaftaran pendaftaran indikasi geografis terdekat.
Namun, hal tersebut belum sejalan dengan program yang dicanangkan oleh pemerintah
dikarenakan terdapat perbedaan yang sangat jauh peminatan dan ketertarikan indikasi
geografis dengan rezim lainnya, hal ini terlihat dari jumlah statistik pendaftar indikasi
geografis 3 (tiga) tahun terakhir sebagai berikut:7
Jenis Permohonan
No Tahun Desain Indikasi Rahasia
Merek Paten
Industri Geografis Dagang
1 2017 53.105 986 3.656 15 0
2 2018 52.352 1.542 3.812 35 0
3 2019 35.087 1.123 2.778 4 0
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa pendaftaran indikasi geografis tidak
sebanyak dengan rezim hak kekayaan intelektual lainnya. Padahal apabila produk
daerah terlindungi dengan indikasi geografis akan memperoleh big impact yang baik
untuk perkembangan usaha bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan
secara umum manfaat yang diperoleh dengan memberikan perlindungan hak kekayaan
intelektual pada produk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sangat baik, seperti
: memingkatkan posisi perdagangan, mengembangkan teknologi, mendorong pelaku
usaha dapat bersaing secara internasional, membantu komersialisasi inventoran secara
efektif, mengembangkan sosial budaya dan menjaga reputasi internasional untuk
kepentingan ekspor. 8
Melihat kondisi yang sedemikian, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan
indikasi geografis (IG) dalam penulisan artikel ini khususnya dalam menganalisa
mengenai kendala dan alasan kenapa pelaku usaha mikro kecil dan menengah
(UMKM) di Indonesia banyak yang belum mendaftarkan produknya melalui indikasi
geografis (IG) secara khusus dengan mengangkat permasalahan yang ada di daerah
Kabupaten Sragen yang belum sepenuhnya mendaftarkan produknya melalui indikasi
geografis (IG) dibandingkan rezim hak kekayaan intelektual lainnya, mengingat
pentingnya perlindungan payung hukum bagi pelaku usaha di daerah dalam jangka
panjang dan perdagangan dalam skala nasional maupun internasional. Untuk itu, perlu
kunjungan langsung ke beberapa pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM)
guna memperoleh kevalidan data dan kondisi yang sesungguhnya terjadi di lapangan
Kabupaten Sragen.

6 Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) , Dirjen Kekayaan Intelektual Canangkan Program Tahun 2018 sebagai Tahun
Indikasi Geografis di Indonesia, http://www.kemenkumham.go.id/berita/konferensi-pers-dirjen-ki-tentang-peringatan-hari-
kekayaan-intelektual-sedunia-ke-18 , diunduh 21 Juli 2020
7 iiDirektorat Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI), Statistik Pemohon Hak Kekayaan Intelektual, http://www.statistik.dgip.go.id/
statistik/productiom/merek_jenis.php, diunduh 17 Juli 2020
8 Tim Lindsey BA, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung : Asian Law Group Pty Ltd dan PT Alumni, 2005, hlm.78

515
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Triyono Adi Saputro Kajian Problematika Indikasi Geografis (IG) pada Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM) di Kabupaten Sragen

2. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengangkat
dalam artikel ini terkait, bagaimana permasalahan atau kendala yang ada di daerah yang
mengakibatkan masih banyaknya pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM)
yang belum mendaftarkan dan mendapatkan perlindungan hukum melalui indikasi
geografis.
3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk menganalisa dan mengetahui
secara langsung dan mendalam mengenai berbagai permasalahan yang ada dilapangan
yang menjadi dasar mengapa masih banyak pelaku usaha mikro kecil dan menengah
(UMKM) belum mendapatkan perlindungan hukum khususnya indikasi geografis (IG).
4. Metode
Artikel ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris. Di sisi lain, untuk
menunjang dalam pembahasan permasalahan ini penulis menggunakan bahan hukum
primer dan sekunder. Bahan hukum primer dengan menggunakan bahan-bahan hukum
yang mengikat dari masyarakat langsung, sedangkan bahan sekunder meliputi undang-
undang, hasil penelitian dan hasil karya dari kalangan hukum.9

B. Pembahasan
Perlindungan terhadap Indikasi Geografis di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang No.
20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pasal 1 angka 6 mengatur bahwa
Indikasi Geografis (IG) merupakan suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang
dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor
manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan
karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.
Definisi Indikasi Geografis (IG) tersebut diatas mengacu kepada pengertian Indikasi
Geografis (IG) yang tercantum dalam persetujuan TRIPs Article 22 (1) Geographical
indications are, for the purposes of this Agreement, indications which identify a good as
originating in the territory of a Member, or a region or locality in that territory, where a
given quality, reputation or other characteristic of the good is essentially attributable to its
geographical origin. Menurut Tomi Suryo Utomo, bahwa kata “Indikasi” tidaklah harus
merujuk suatu tempat saja, akan tetapi juga mencakup nama produk yang diasosiasikan
dengan sebuah tempat.10
Pengertian Indikasi Geografis (IG) juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Di dalam penjelasannya menjelaskan pengertian
dari Indikasi Geografis (IG) yaitu suatu tanda yang tanpa disadari sudah lama ada dan secara
tidak langsung dapat menunjukkan adanya kekhususan pada suatu barang yang dihasilkan
dari daerah tertentu. Tanda dimaksud selanjutnya dapat digunakan untuk menunjukkan asal
suatu barang, baik yang berupa hasil pertanian, bahan pangan, hasil kerajinan tangan, atau
barang lainnya, termasuk bahan mentah dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari hasil
pertanian maupun yang berasal dari hasil tambang. Tanda yang dilindungi sebagai indikasi

9 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : PT RajaGravindo Persada, 2015,
hlm.12-13
10 Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Eksklusif (Surabaya : Airlangga University Press, 2007) hlm. 195.

516
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Triyono Adi Saputro Kajian Problematika Indikasi Geografis (IG) pada Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM) di Kabupaten Sragen

geografis adalah suatu identitas yang menunjukkan suatu barang berasal dari tempat atau
daerah tertentu. Tempat atau daerah tertentu itu menunjukkan kualitas dan karakteristik
suatu produk.
Usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang melakukan kegiatan ekonomi,
bertujuan menghasilkan barang atau jasa, terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu,
dan mempunyai catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta
ada seorang atau lebih yang bertanggung jawab atas usaha tersebut. Berdasarkan Peraturan
Daerah Kabupaten Sragen Nomor 3 Tahun 2013 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) definisi usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau
badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam
Peraturan Daerah, Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan
atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau, menjadi bagian baik langsung
maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha
kecil sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah dan Usaha menengah adalah usaha
ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha
yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,
atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha
besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan.
Kabupaten Sragen adalah salah satu daerah yang memiliki potensi produk khas yang
terletak antara 110.45’ dan 111.10’ BT serta 7.15’ dan 7.30’LS. Kabupaten Sragen berada
paling timur dipropinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan Kabupaten Ngawi Jawa Timur
yang memiliki luas wilayah sebesar 941,55 Km2 terbagi dalam 20 kecamatan, 208 desa/
kelurahan yangmana luas tersebut 68.902 Ha (73,18 %) merupakan lahan pertanian dan
25.253,00 Ha (26,82 %) merupakan lahan bukan pertanian11.
Pada tahun 2019 jumlah pelaku usaha usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Kabupaten
Sragen mencapai angka sebesar 67.351 yang terdiri dari usaha mikro sebesar 54.743, usaha
kecil sebesar 11.562 dan usaha menengah sebesar 2.046 yang tersebar di seluruh Kabupaten
Sragen12. Dari sekian jumlah pelaku usah daerah tersebut Kabupaten Sragen memiliki
satu produk potensi unggulan yang dapat dilindungi dengan perlindungan hukum indikasi
geografis yaitu produk kerajinan batu Sangiran di Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen.
Sesuai aturan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 pada Pasal 1 angka 6 menyatakan
bahwa indikasi geografis (IG) adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu
barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam,
faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas,
dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Dari definisi yang
telah disajikan dalam Pasal diatas, maka dapat ditarik kesimpulan, indikasi geografis (IG)
adalah tanda yang digunakan atas barang yang memiliki kualitas khusus karena faktor alam
dan faktor manusia.13
Berdasarkan uraian produk batu Sangiran Kabupaten Sragen dapat dikategorikan sebagai
produk dengan perlindungan hukum indikasi geografis (IG) karena produk tersebut dibentuk

11 Badan Pusat Statistik, Sragen dalam Angka 2019 (Sragen : BPS Kabupaten Sragen, 2019) hlm. 5
12 Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Sragen, UMKM Kabupaten Sragen dalam 2019, (Sragen : Diskop UMKM Kabupaten
Sragen), hlm. 8
13 Ibid. hlm. 4

517
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Triyono Adi Saputro Kajian Problematika Indikasi Geografis (IG) pada Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM) di Kabupaten Sragen

oleh faktor alam bahan utama (kombinasi) yang digunakan dari bebatuan Sangiran dan
produk tersebut dibuat oleh pelaku usaha asli dari masyarakat sekitar Kecamatan Kalijambe
Kabupaten Sragen. Di sisi lain, produk batu Sangiran berdasarakan Pasal 56 ayat 1-2 tidak
melanggar dan tidak ditolak karena memiliki persamaan dengan produk lain yang sudah
terdaftarkan. Meskipun demikian sampai detik ini produk tersebut belum dapat terlindungi
dikarena beberapa masalah yang ada di lapangan yang sangat beragam dan masih terdapat
beberapa aspek yang perlu analisis lanjutan lebih dalam dan ditinjau lebih lanjut yang
menjadi kendala sampai saat ini mengapa para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM)
di daerah Sragen belum mendaftarkan produk batu Sangiran Kalijambe melalui indikasi
geografis (IG) sebagai berikut:
1. Aspek yuridis
Landasan yuridis ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi pembuatan
suatu peraturan yangmana terbagi dalam dua aspek yaitu Landasan yuridis dari segi
formal, yakni landasan yuridis yang memberi kewenangan (bevoegdheid) bagi
instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu, misalnya Pasal 5 ayat (1) UUD
1945 menjadi landasan yuridis dari segi formil bagi Presiden untuk membuat RUU
dan landasan yuridis dari segi materiil, yaitu landasan yuridis untuk mengatur hal-hal
tertentu, misalnya Pasal 18 UUD 1945 menjadi landasan yuridis dari segi materiil untuk
membuat Undang-Undang organik mengenai pemerintahan daerah.14
Peraturan yang mengatur terkait indikasi geografis di Indonesia selama ini masih
menggunakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pendaftaran
Merek Internasional berdasarkan protokol terkait dengan Persetujuan Madrid mengenai
Pendaftaran Merek secara Internasional. Pada aturan tersebut memuat banyak hal terkait
indikasi geografis secara umum yang meliputi skema proses pengajuan, penentuan
kriteria dan tata laksana proses registrasi.
Sedangkan untuk aturan indikasi geografis di Kabupaten/Kota belum ada sama sekali
yang menerbitkan mengenai perlindungan produk unggalan khas daerah melalui indikasi
geografis (IG). Di kabupaten Sragen selama ini masih menggunakan Peraturan Daerah
Nomor 3 tahun 2013 tentang usaha mikro kecil menengah (UMKM), yangmana dalam
aturan tersebut belum memaparkan secara detail mengenai perlindungan atas produk
khas daerah melalui indikasi geografis (IG). Hal ini dikarenakan masih banyaknya
sumber daya manusia (SDM) daerah yang belum memahami secara mendalam akan
peran penting indikasi geografis dalam memberikan payung hukum bagi produk suatu
daerah. Dampak lainnya adalah para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM)
kurang informasi sehingga pemahaman terbatas dan kurang adanya ketertarikan untuk
memberikan perlindungan pada produk yang sudah dihasilkan dan dapat dikategorikan
melalui indikasi geografis.
Disisi lain, Kabupaten Sragen juga telah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 12
Tahun 2014 tentang Penyelanggaran Perizinan, dimana dalam aturan tersebut memuat
beberapa klausul seperti : a. penataan perizinan; b. pengelompokan jenis perizinan;
c. prosedur perizinan; d. penyelenggara perizinan; e. standar pelayanan perizinan; f.
peran serta masyarakat; dan g. pengawasan dan sanksi. Pada aspek pengelompokan

14 Pemerintah Kota Makasar, Kajian tentang Tata Cara Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 16 Tahun 2011 tentang
Retrebusi Izin Mendirikan Bangunan (Bali : Pemerintah Kota Denpasar, 2015) hlm. 15.

518
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Triyono Adi Saputro Kajian Problematika Indikasi Geografis (IG) pada Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM) di Kabupaten Sragen

perizinan dalam aturan tersebut tidak dijelaskan secara detail terkait jenis izin yang
harus didaftarkan bagi pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan untuk
prosedur perizinan juga tidak dimuat secara spesifik atau terperinci dimasing-masing
jenis perizinan yang diselenggarakan. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab pelaku
usaha mikro kecil menengah (UMKM) kurang minat dan tertarik untuk mengajukan
pendaftaran karena aturan yang ada belum mencakup seluruh perizinan yang dibutuhkan
pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) dalam menunjang proses keberhasilan
dalam membangun usaha dan mengembangkan usaha tersebut.
2. Aspek sosiologis
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, definis landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta
empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Landasan ini lebih fokus dalam pemahaman dan pengetahuan sumber daya manusia
(SDM) sekitar terkait dengan sebuah aturan yang ada. Dalam hal ini pengetahuan para
pelaku pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) di daerah akan adanya suatu
aturan yang berkembang saat ini dalam menangkap esensi dan manfaat dari adanya
suatu aturan tersebut sehingga bisa diterapkan dalam proses usaha yang dilakukan oleh
para pelaku pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) . Meskipun pada
tahun 2018 telah diratifikasi oleh Dirjen Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
Indonesia sebagai tahunnya indikasi geografis, namun kenyataan masih banyak sekali
masyarakat Indonesia khususnya para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM)
belum memahami secara betul terkait akan makna dan esensi dari adanya pentingnya
perlindungan hukum indikasi geografis. Permasalahan ini muncul karena sejauh ini
peran pemerintah, stakeholder dan masyarakat dalam mendukung dan mensosialisasikan
tentang indikasi geografis masih rendah sehingga keterlambatan pemahanan dan
keberadaan akan kegunaan indikasi geografis lambat dala lingkungan para pelaku usaha
mikro kecil menengah (UMKM).
Disamping itu, keberadaan para usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang sangat
beragam jenjang pendidikan menjadi salah satu pemicu kurangannya pemahanan dan
penerimaan akan informasi mengenai perlindungan hukum melalui indikasi geografis
alhasil pelaku usaha kurang minat dalam pengurusan legalitasnya dan memilih untuk
pasif. Kondisi demikian sebagai salah satu menjadi hambatan terbesar bagi pelaku
usaha mikro kecil menengah (UMKM) untuk bisa menjadi lebih aktif dan terbuka akan
informasi-informasi baru yang penting akan keberlangsungan dalam membangun sebuah
usaha dalam skala mikro kecil menengah. Kondisi seperti ini sangat diperlukan adanya
topangan dan dukungan dari berbagai elemen guna kelangsungan dan pemahaman
secara mendalam akan aturan yang ada didaerah maupun pusat.
Salah satu contoh Kabupaten yang memiliki potensi produk untuk dilindungi
indikasi geografis (IG) di Jawa Tengah yang sampai saat ini belum terealisasi adalah
Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Kabupaten Brebes adalah kabupaten yang layak untuk
mendaftarkan indikasi geografis (IG) karena memiliki produk unggulan dari berbagi
sector seperti; dari sektor perkebunan yaitu Perkebunan Teh Kaligua penghasil Teh
Hitam (Black Tea), sektor Pertanian yaitu Bawang Merah Brebes dan Beras Hitam
Sirampog dan sektor Peternakan itik penghasil telur asin Brebes. Dari ke empat produk

519
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Triyono Adi Saputro Kajian Problematika Indikasi Geografis (IG) pada Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM) di Kabupaten Sragen

potensi indikasi geografis (IG) yang ada, hanya perkebunan teh yang dikelola oleh
BUMN selebihnya adalah milik masyarakat. Permasalahan tersebut muncul karena
selain dari pemerintah daerah setempat tetapi juga sumber daya manusia (SDM) terkait
yangmana belum sadar akan hukum dan esensi pendaftaran indikasi georgrafis (IG)
pada produk unggulan di daerah. Oleh karena itu, maka sebagai solusi yang dilakukan
oleh Kabupaten Brebes adalah dengan memberdayakan pelaku usaha dengan tujuan
menumbuhkan kesadaran hukum dan meningkatkan wawasan pelaku usaha daerah
serta membentuk kelembagaan Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG)
yang focus dalam pengurusan, penyusunan karakteristik produk dan sebagai wadah
pelaku usaha daerah dalam pembinaan dan pendampingan serta sebagai pihak yang
mengajukan permohonan pendaftaran agar masyarakat dapat lebih sejahtera dan
ekonomi lokal dapat lebih ditingkatkan.15
3. Aspek filosofis
Aspek filosofis merupakan landasan dengan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa undang-undang yang dibentuk mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa
Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945.16
Dalam hal ini, aspek filosofis lebih mengedapankan sejarah terkait sejarah aturan
tersebut diterbikan di suatu negara.
Istilah indikasi geografis (IG) muncul didunia pertama kali pada abad ke 19 pada
tahun 1883 yangmana tertuang dalam perjanjian Paris Convention dengan dikenal
sebutan indication of source and appelation of origin. Selang beberapa tahun kemudian
perkembangan indikasi geografis (IG) muncul adanya istilah baru yaitu indication
source/ made in/product of yang merupakan tuangan dari perjanjian Madrid Agreement
pada tahun 1891. Setelah adanya perjanjian Madrid Agreement kemudian timbul istilah
baru yang disebut dengan appelation of origin yang merupakan perjanjian dalam dalam
Lisbon Agreement di tahun 1908.17
Awal mula keberadaan indikasi geografis di Indonesia adalah dengan adannya Perjanjian
Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs) tahun 1995 yang
mengharuskan kepada para anggota yang bergabung untuk membuat aturan baru terkait
indikasi geografis sebagai bentuk dari upaya perlindungan produk dan persaingan usaha
dalam skala nasional maupun internasional. Hal tersebut ditandai pula dengan adanya
Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) oleh Indonesia pada
tanggal 2 November 1994 yangmana Indonesia wajib menerima persetujuan-persetujuan
World Trade Organization (WTO) tersebut dengan menerbitkan aturan baru sebagai
wujud upaya Negara Indonesia melalui aturan Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2001
tentang Merek yang diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek dan Indikasi Geografis.

15 Asfiyah, Siti, Perlindungan Hukum Potensi Indikasi Geografis Di Kabupaten Brebes Guna Pengembangan Ekonomi Masyarakat
Lokal, (Purwokweto : Universitas Jendral Soedirman, 2015) hlm. 114
16 DPRI, pedoman penyusunan naskah akademik rancangan undang-undang, (Jakarta : Pusat Perancangan Undang-Undang, 2017) hlm.
26
17 Indonesia. Keputusan Presiden RI No. 24 Tahun 1979 tentang Pengesahan Paris Convention For The Protection of Industrial
Property dan Convention Establishing The World Intellectual Property, Keppres No. 24 Tahun 1979, sebagaimana telah Diubah
dengan Keppres No. 15 Tahun 1997, LN. No. 32

520
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Triyono Adi Saputro Kajian Problematika Indikasi Geografis (IG) pada Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM) di Kabupaten Sragen

Penggunaan aturan terkait di indikasi geografis (IG) selama ini Kabupaten Sragen
belum memiliki aturan yang menyangkut permasalahan perlindungan hukum melalui
indikasi geografis. Sejauh ini masih mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Sragen
Nomor 3 Tahun 2013 tentang usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dimana dalam
aturan tersebut belum sama sekali menyebutkan dan menuangkan aturan bahwa bagi
pelaku usaha daerah yang memiliki potensi untuk mendapatkan payung hukum dengan
perlindungan hukum indikasi geografis. Pada aturan tersebut hanya memuat klausa arah
kebijakan, pemberdayaan dan peran pemerintah dalam mengelola usaha bagi pelaku
usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di daerah. Sehingga dalam kondisi sampai
saat ini banyak pelaku usaha yang pasif dan kurang respect terkait legalitas bagi produk
yang dihasilkan, pada dasarnya prinsip pelaku usaha adalah membuat dan menjual
produk laku tanpa memikirkan dampak jangka panjang akan kekhawatiran produk
tersebut apabila dilakukan plagiasi atau diakui oleh pihak lain. Kekurangan akan
beberapa klausa terkait pentingnya perlindungan hukum melalui indikasi geografis
menjadikan dampak kekosongan hukum dan dampak lainnya adalah kabupaten Sragen
belum memperoleh payung hukum indikasi geografis.
Selain adanya peraturan daerah yang mengatur tentang usaha mikro kecil menengah
(UMKM), Kabupaten juga telah menerbitkan terkait perizinan yaitu Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2014 tentang Penyelanggaraan Perizinan. Pada aturan daerah tersebut
hanya memuat klausul umum yangmana tidak ada kejelasan dan pengelompokan
terperinci terkait perizinan yang harus dimiliki dan didaftarkan oleh pelaku usaha mikro
kecil menengah (UMKM) di daerah sehingga salah satu dampaknya adalah keterlambatan
informasi dan pemahaman yang kurang dirasa oleh pelaku usaha mikro kecil menengah
(UMKM) di Kabupaten Sragen. Peraturan daerah tersebut meliputi asas, ruang lingkup,
tujuan, fungsi, subjek obyek dan sanksi sehingga keterkaitan dalam perizinan melalui
indikasi geografis (IG) belum sama sekali dibahas dan masuk didalamnya, maka dari itu
aturan ini seharusnya dilakukan perubahan yang memuat instruksi pendaftaran indikasi
geografis (IG) bagi produk potensi daerah dengan dasar Undang-Undang Nomor 20
tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (IG).
Pada dasarnya, penggunaan aspek Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dengan Indikasi
geografis (IG) berbeda dengan yang lainnya, seperti merek, atau paten dimana penamaan
terhadap suatu produk disertai logo dan tulisan tertentu, pada indikasi geografis (IG)
terdapat produk yang mencerminkan hasil dari suatu daerah dengan menambahkan
nama daerah pada produk yang dihasilkan tersebut yang berguna sebagai pembeda
antara produk atau benda yang sejenis yang dihasilkan oleh daerah lain.18 Maka dari itu
indikasi geografis (IG) sangat unik karena tidak semua kabupaten/kota memiliki potensi
atas produk yang dihasilkan untuk didaftarkan dengan perlindungan hukum indikasi
geografis (IG). Hal ini dikarenakan berbagai problematika yang beragam dan berbeda,
namun kondisi seperti ini dapat diatasi dengan adanya campur tangan pemerintah dan
memberikan payung hukum di daerah.

18 Sudaryat, Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung,: Oase Media, 2010), hlm. 48.

521
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Triyono Adi Saputro Kajian Problematika Indikasi Geografis (IG) pada Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM) di Kabupaten Sragen

C. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan kajian bahwa permasalahan pelaku usaha mikro kecil dan menengah
(UMKM) Kabupaten terkait pendaftaran indikasi geografis (IG) belum terpenuhi selama
ini karena aturan produk hukum indikasi geografis (IG) di daerah belum ada sehingga
masih mengacu pada UU No 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (IG),
kurangnya sosialisasi dari pemerintah terkait aturan hukum indikasi geografis (IG)
belum merata ke semua pelaku usaha, jenjang pendidikan sumber daya manusia yang
beragam dan lambatnya perkembangan indikasi geografis (IG) di Kabupaten Sragen
mengakibatkan kekosongan hukum daerah dan keterlambatan mendapatkan payung
hukum indikasi geografis (IG).
2. Saran
Pihak pemerintah dan stakeholder diharapkan membentuk wadah baru sebagai
sarana pelaku usaha daerah yang menangani permasalahan indikasi geografis dengan
membentuk kelembagaan Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) di
Kabupaten Sragen dan pemangku kepentingan lebih aktif melakukan sosialisasi
dengan pelaku Usaha mikro kecil menengah (UMKM) daerah Kabupaten Sragen guna
memberikan informasi dan kesadaran hukum agar terciptanya pemahaman terkait
esensi pentingnya perlindungan hukum atas produk yang dihasilkan oleh pelaku Usaha
mikro kecil menengah (UMKM) agar lebih terjamin serta melakukan amandemen
peraturan daerah tentang penyelenggaran perizinan dengan penambahan instruksi yang
menyangkut indikasi geografis (IG) dengan dasar Undang-Undang Nomor 20 tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (IG).

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asfiyah, Siti, Perlindungan Hukum Potensi Indikasi Geografis Di Kabupaten Brebes Guna
Pengembangan Ekonomi Masyarakat Lokal, Purwokweto : Universitas Jendral Soedirman,
2015.
Badan Pusat Statistik, Sragen dalam Angka 2019, Kabupaten Sragen : BPS Kabupaten Sragen,
2019.
Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Sragen, UMKM Kabupaten Sragen dalam 2019,
Kabupaten Sragen : Diskop UMKM Kabupaten Sragen, 2019.
DPRI, Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang, (Jakarta : Pusat
Perancangan Undang-Undang, 2017.
Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham), Dirjen Kekayaan Intelektual Canangkan
Program Tim Lindsey BA, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung : Asian
Law Group Pty Ltd dan PT Alumni, 2005.
Miranda Risang Ayu, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis,
Bandung : PT. Alumni, 2006.

522
SEMINAR NASIONAL MAGISTER HUKUM UNS 2020
Triyono Adi Saputro Kajian Problematika Indikasi Geografis (IG) pada Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM) di Kabupaten Sragen

Pemerintah Kota Makasar, Kajian tentang Tata Cara Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota
Denpasar No. 16 Tahun 2011 tentang Retrebusi Izin Mendirikan Bangunan, Bali :
Pemerintah Kota Denpasar, 2015.
Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Eksklusif, Surabaya : Airlangga
University Press, 2007.
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta :
PT Raja Gravindo Persada, 2015.
Sudaryat, Hak Kekayaan Intelektual, Bandung,: Oase Media, 2010.
Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual di era Global, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010.

Peraturan perundang-undangan
Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 3 Tahun 2013 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM).
Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 12 Tahun 2014 tentang Penyelenggarakan Perizinan.
Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis (IG).
Keputusan Presiden RI No. 24 Tahun 1979 tentang Pengesahan Paris Convention For The
Protection of Industrial Property dan Convention Establishing The World Intellectual
Property.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (IG).

Internet
Tahun 2018 sebagai Tahun Indikasi Geografis di Indonesia, http://www.kemenkumham.go.id/
berita/konferensi-pers-dirjen-ki-tentang-peringatan-hari-kekayaan-intelektual-sedunia-
ke-18 , diunduh 21 Juli 2020
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI), Statistik Pemohon Hak Kekayaan
Intelektual, http://www.statistik.dgip.go.id/statistik/productiom/merek_jenis.php, diunduh
17 Juli 2020

523

Anda mungkin juga menyukai