Anda di halaman 1dari 16

Metabolisme karbohidrat dan diabetes mellitus adalah dua mata rantai yang tidak dapat

dipisahkan. Keterkaitan antara metabolisme karbohidrat dan diabetes mellitus dijelaskan oleh
keberadaan hormon insulin. Penderita diabetes mellitus mengalami kerusakan pada produksi
maupun sistem kerja insulin, padahal insulin sangat dibutuhkan tubuh dalam menjalankan
fungsi regulasi metabolisme karbohidrat. Akibatnya, penderita diabetes mellitus akan
mengalami gangguan pada metabolisme karbohidrat.

Insulin merupakan polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel β pankreas yang terdiri atas dua
rantai polipeptida. Struktur insulin manusia dan beberapa spesies mamalia kini telah
diketahui. Insulin manusia terdiri atas 21 residu asam amino pada rantai A dan 30 residu pada
rantai B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh adanya dua buah rantai disulfida (Granner,
2003). Insulin disekresi sebagai respon atas meningkatnya konsentrasi glukosa dalam plasma
darah. Konsentrasi ambang kadar glukosa untuk sekresi tersebut adalah antara 80-100 mg/dL
(pada saat puasa). Sementara itu, respon maksimal diperoleh pada kadar glukosa yang
berkisar antara 300-500 mg/dL. Insulin yang disekresikan dialirkan melalui aliran darah ke
seluruh tubuh. Umur insulin dalam aliran darah sangat cepat, waktu paruhnya kurang dari 3-5
menit.

Sel-sel tubuh menangkap insulin pada suatu reseptor glikoprotein spesifik yang terdapat pada
membran sel. Reseptor tersebut berupa heterodimer yang terdiri atas subunit α dan subunit β
dengan konfigurasi α2β2. Subunit α berada pada permukaan luar membran sel dan berfungsi
mengikat insulin. Subunit β berupa protein transmembran yang melaksanakan fungsi
tranduksi sinyal. Bagian sitoplasma subunit β mempunyai aktivitas tirosin kinase dan tapak
autofosforilasi (King, 2007).

Terikatnya insulin subunit α menyebabkan subunit β mengalami autofosforilasi pada residu


tirosin. Reseptor yang terfosforilasi akan mengalami perubahan bentuk, membentuk agregat,
internalisasi dan menghasilkan lebih dari satu sinyal. Dalam kondisi dengan kadar insulin
tinggi, misalnya: pada obesitas ataupun akromegali, jumlah reseptor insulin berkurang dan
terjadi resistansi terhadap insulin. Resistansi ini diakibatkan terjadinya regulasi ke bawah.
Reseptor insulin mengalami endositosis ke dalam vesikel berbalut klatrin.
Insulin mengatur metabolisme glukosa dengan memfosforilasi substrat reseptor insulin (IRS)
melalui aktivitas tirosin kinase subunit β pada reseptor insulin. IRS terfosforilasi memicu
serangkaian reaksi kaskade yang efek nettonya adalah mengurangi kadar glukosa dalam
darah (Granner, 2003). Metabolisme glukosa oleh insulin diatur melalui berbagai mekanisme
kompleks yang efeknya adalah peningkatan kadar glukosa dalam darah. Oleh karena itu,
penderita diabetes mellitus yang jumlah insulinnya tidak mencukupi atau bekerja tidak efektif
akan mengalami hiperglikemia. Ada 3 mekanisme yang terlibat yaitu:

a. Meningkatnya difusi glukosa ke dalam sel

Pengangkutan glukosa ke dalam sel melalui proses difusi dilakukan dengan bantuan protein
pembawa. Protein ini telah diidentifikasi melalui teknik kloning molekular. Ada 5 jenis
protein pembawa tersebut yaitu GLUT1, GLUT2, GLUT3, GLUT4 dan GLUT 5. GLUT1
merupakan pengangkut glukosa yang ada pada otak, ginjal, kolon dan eritrosit. GLUT2
terdapat pada sel hati, pankreas, usus halus dan ginjal. GLUT3 berfungsi pada sel otak, ginjal
dan plasenta. GLUT4 terletak di jaringan adiposa, otot jantung dan otot skeletal. GLUT5
bertanggung jawab terhadap absorpsi glukosa dari usus halus. Insulin meningkatkan secara
signifikan jumlah protein pembawa terutama GLUT4. Sinyal yang ditransmisikan oleh
insulin menarik pengangkut glukosa ke tempat yang aktif pada membran plasma. Translokasi
protein pengangkut ini bergantung pada suhu dan energi, namun tidak bergantung pada
sintesis protein. Efek ini tidak terjadi pada hati.

b. Peningkatan aktivitas enzim

Pada kondisi normal, sekitar separuh dari glukosa yang dimakan diubah menjadi energi lewat
glikolisis dan separuh lagi disimpan sebagai lemak atau glikogen. Glikolisis akan menurun
dalam keadaan tanpa insulin dan proses glikogenesis ataupun lipogenesis akan
terhalang. Hormon insulin meningkatkan glikolisis sel-sel hati dengan cara meningkatkan
aktivitas enzim-enzim yang berperan, seperti glukokinase, fosfofruktokinase dan piruvat
kinase. Meningkatnya aktivitas glikolisis akan meningkatkan penggunaan glukosa, dengan
demikian secara tidak langsung akan menurunkan pelepasan glukosa ke plasma darah. Insulin
juga menurunkan aktivitas glukosa-6-fosfatase, yaitu: enzim yang ditemukan di hati dan
berfungsi mengubah glukosa menjadi glukosa 6-fosfat. Penumpukan glukosa 6-fosfat dalam
sel mengakibatkan retensi glukosa yang mengarah pada diabetes mellitus tipe 2.
Banyak efek metabolik insulin, khususnya yang terjadi dengan cepat dilakukan dengan
mempengaruhi reaksi fosforilasi dan difosforilasi protein, yang selanjutnya akan mengubah
aktivitas enzimatik enzim tersebut. Kerja insulin dilaksanakan dengan mengaktifkan protein
kinase, menghambat protein kinase lain atau meransang aktivitas fosfoprotein fosfatase.
Defosforilasi meningkatkan aktivitas sejumlah enzim penting. Modifikasi kovalen ini
memungkinkan terjadinya perubahan yang hampir seketika pada aktivitas enzim tersebut.
Mekanisme defosforilasi enzim dilakukan melalui reaksi kaskade yang dipicu oleh fosforilasi
substrat reseptor insulin. Sebagai contoh adalah pengeruh insulin pada enzim glikogen sintase
dan glikogen fosforilase (King, 2007).

c. Menghambat kerja cAMP

Dalam menghambat atau meransang kerja suatu enzim, insulin memainkan peran ganda.
Selain menghambat secara langsung, insulin juga mengurangi terbentuknya cAMP yang
memiliki sifat antagonis terhadap insulin. Selain itu, insulin merangsang terbentuknya
fosfodiesterase-cAMP. Dengan demikian insulin mengurangi kadar cAMP dalam darah.

Kerja insulin yang telah dijelaskan tersebut,


semuanya terjadi pada tingkat membran plasma atau di dalam sitoplasma. Insulin juga
mempengaruhi berbagai proses spesifik dalam nukleolus. Enzim fosfoenolpiruvat
karboksikinase mengkatalisis tahap yang membatasi kecepatan reaksi dalam
glukoneogenesis. Sintesis enzim tersebut dikurangi oleh insulin, sehingga glukoneogenesis
akan menurun. Hasil penelitian menunjukkan transkripsi enzim ini menurun dalam beberapa
menit setelah penambahan insulin. Penurunan transkripsi tersebut menyebabkan terjadinya
penurunan laju sintesis enzim ini.

Penderita diabetes mellitus memiliki jumlah protein pembawa yang sangat rendah, terutama
pada otot jantung, otot rangka dan jaringan adiposa karena insulin yang
mentranslokasikannya ke situs aktif tidak tersedia. Kondisi ini diperparah pula dengan
peranan insulin pada pengaturan metabolisme glukosa. Glikolisis dan glikogenesis akan
terhambat karena enzim yang berperan dalam kedua jalur tersebut diinaktivasi tanpa
kehadiran insulin. Hal ini menyebabkan jalur metabolisme yang mengarah pada pembentukan
glukosa diransang terutama oleh glukagon dan epinefrin yang bekerja melalui cAMP yang
memiliki sifat antagonis terhadap insulin. Oleh karena itu, penderita diabetes mellitus baik
tipe I atau tipe II kurang dapat menggunakan glukosa yang diperolehnya melalui makanan.
Glukosa akan terakumulasi dalam plasma darah (hiperglikemia).

Penderita diabetes mellitus memiliki kadar gula yang sangat tinggi. Gula tersebut akan
dikeluarkan melalui urine. Gula disaring oleh glomerolus ginjal secara terus menerus, tetapi
kemudian akan dikembalikan ke dalam sistem aliran darah melalui sistem reabsorpsi tubulus
ginjal. Kapasitas ginjal mereabsorpsi glukosa terbatas pada laju 350 mg/menit. Ketika kadar
glukosa sangat tinggi, filtrat glomerolus mengandung glukosa di atas batas ambang untuk
direabsorpsi. Akibatnya kelebihan glukosa tersebut dikeluarkan melalui urine. Gejala ini
disebut glikosuria yang merupakan indikasi lain dari penyakit diabetes mellitus. Glikosuria
ini mengakibatkan kehilangan kalori yang sangat besar (Mayes, 2003).

Kadar glukosa yang sangat tinggi pada aliran darah maupun pada ginjal akan mengubah
tekanan osmotik tubuh. Secara otomatis, tubuh akan mengadakan osmosis untuk
menyeimbangkan tekanan osmotik. Ginjal akan menerima lebih banyak air, sehingga
penderita akan sering buang air kecil. Konsekuensi lain dari hal ini adalah tubuh kekurangan
air. Penderita mengalami dehidrasi (hiperosmolaritas) bertambahnya rasa haus dan gejala
banyak minum (polidipsia).

Gejala yang diterima oleh penderita diabetes tipe I biasanya lebih kompleks, karena mereka
kadang tidak dapat menghasilkan insulin sama sekali. Akibatnya gangguan metabolik yang
dideritanya juga mempengaruhi metabolisme lemak dan bahkan asam amino. Penderita tidak
dapat memperoleh energi dari katabolisme glukosa. Energi adalah hal wajib yang harus
dimiliki oleh sel tubuh, sehingga tubuh akan mencari alternatif substrat untuk menghasilkan
energi tersebut. Cara yang digunakan oleh tubuh adalah dengan merombak simpanan lemak
pada jaringan adiposa. Lemak dihidrolisis sehingga menghasilkan asam lemak dan gliserol.
Asam lemak dikatabolisme lebih lanjut dengan melepas dua atom karbon, satu persatu
menghasilkan asetil-KoA. Penguraian asam lemak terus menerus mengakibatkan terjadi
penumpukan asam asetoasetat dalam tubuh. Asam asetoasetat dapat terkonversi membentuk
aseton, ataupun dengan adanya karbondioksida dapat dikonversi membentuk asam β-
hidroksibutirat. Ketiga senyawa ini disebut sebagai keton body yang terdapat pada urine
penderita serta dideteksi dari bau mulut seperti keton. Penderita mengalami ketoasidosis dan
dapat meninggal dalam keadaan koma diabetik (Kaplan dan Pesce, 1992).

Ketidaksediaan glukosa dalam sel juga mengakibatkan terjadinya glukoneogenesis secara


berlebihan. Sel-sel hati akan meningkatkan produksi glukosa dari substrat lain, salah satunya
adalah dengan merombak protein. Asam amino hasil perombakan ditransaminasi sehingga
akan menghasilkan substrat atau senyawa antara dalam pembentukan glukosa. Peristiwa
berlangsung terus-menerus karena insulin yang membatasi glukoneogenesis sangat sedikit
atau tidak ada sama sekali. Glukosa yang dihasilkan kemudian akan terbuang melalui urine.
Akibatnya, terjadi pengurangan jumlah jaringan otot dan jaringan adiposa secara signifikan.
Penderita akan kehilangan berat tubuh yang hebat kendati terdapat peningkatan selera makan
(polifagia) dan asupan kalori normal atau meningkat (Granner, 2003).
Penderita diabetes tipe I juga mengalami hipertrigliseridemia, yaitu: suatu keadaan dimana
kadar trigliserida dan VLDL dalam darah yang tinggi. Hipertrigliseridemia terjadi karena
VLDL yang disintesis dan dilepaskan tidak mampu diimbangi oleh kerja enzim
lipoproteinlipase yang merombaknya. Jumlah enzim ini diransang oleh rasio insulin dan
glukagon yang tinggi. Efek pada produksi enzim ini juga mengakibatkan
hipersilomikronemia, karena enzim ini juga dibutuhkan dalam katabolisme silomikron pada
jaringan adiposa.

Berbeda dengan penderita diabetes tipe I, pada penderita diabetes tipe II, ketoasidosis tidak
terjadi karena penguraian lemak (lipolisis) tetap terkontrol. Namun, pada terjadi
hipertrigliseridemia yang menghasilkan peningkatan VLDL tanpa disertai
hipersilomikronemia. Hal ini terjadi karena peningkatan kecepatan sintesis de novo dari asam
lemak tidak diimbangi oleh kecepatan penyimpanannya pada jaringan lemak. Asam lemak
yang dihasilkan tidak semuanya mampu dikatabolisme, kelebihannya diesterifikasi menjadi
trigliserida dan VLDL. Hal ini diperparah oleh aktivitas fisik penderita diabetes mellitus tipe
II yang pada umumnya sangat kurang. Akibatnya kadar lemak dalam darah akan meningkat.
Pada penderita yang akut, akan terjadi penebalan pada pembuluh darah terutama pada bagian
mata, sehingga dapat menyebabkan rabun atau bahkan kebutaan (Harris dan Crabb, 1992).

Kelainan tekanan darah akibat kadar glukosa yang tinggi menyebabkan kerja jantung, ginjal
dan organ dalam lain untuk mempertahankan kestabilan tubuh menjadi lebih berat. Akibatnya
pada penderita diabetes mellitus akan mudah dikenai berbagai komplikasi diantaranya
penurunan sistem imun tubuh, kerusakan sistem kardivaskular, kelainan trombosis, inflamasi
dan kerusakan sel-sel endothelia serta kerusakan otak, yang biasanya ditandai dengan
penglihatan yang kabur (Clement et al, 2004).

Dampak dramatis dari diabetes mellitus terhadap kesehatan seseorang sangatlah kompleks.
Diabetes mellitus dan penyakit turunannya telah menjadi ancaman serius. Penyakit ini
membunuh 3,8 juta orang per tahun dan dalam setiap 10 detik seorang penderita akan
meninggal karena sebab-sebab yang terkait dengan diabetes. Menjaga pola makan seimbang,
sehat dan bernutrisi merupakan hal yang dapat dilakukan dalam mencegah diabetes mellitus.
INSULIN : MEKANISME SEKRESI DAN ASPEK METABOLISME

Proses Pembentukan dan Sekresi Insulin

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel
beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin
disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk
keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur
bersama dengan hormone glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas.

Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada
retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami
pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-
gelembung
(secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase,
proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk
disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.

Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal,


karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada
dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang
memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa,
beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam
rangsangan terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari
sintesis dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup
rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas.

Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya
rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati
membrane sel. Untuk dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain.
Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai
sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai “kendaraan”
pengangkut glukosa masuk dari luar kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2
(GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya
glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan
selanjutnya yakni molekul glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam
sel dan kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan
untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada membran
sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel yang
menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh tahap
pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga
menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses
sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.(
Gambar 1 )

Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel tidak hanya


disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tapi juga dapat
oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan
tersebut, misalnya obat anti diabetes sulfonil urea, bekerja pada reseptor tersendiri, tidak
pada reseptor yang sama dengan glukosa, yang disebut sulphonylurea receptor (SUR)
pada membran sel beta.

Glucose Ca2+
Insulin
K+ channel Channel
GLUT-2 Release
shut Opens

Glucose K+
↑ Exocytosis
Glucose-6-phosphate Insulin + C peptide
↑ Cleavage
Depolarization secretory
enzymes

ATP of membrane
Proinsulin
Glucose signaling
preproinsulin
Preproinsulin
B. cell Insulin Synthesis
Gb.1 Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat stimulasi
Glukosa ( Kramer,95 )

Dinamika sekresi insulin


Dinamika Sekresi Insulin
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal
oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti
dikemukakan, sekresi insulin normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya
rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang
dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas-batas
fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat beban. Dengan demikian, kedua fase
sekresi insulin yang berlangsung secara sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah
selalu dalam batas-batas normal, sebagai cerminan metabolisme glukosa yang fisiologis.

Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi insulin yang
terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir juga
cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu
memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat
tajam, segera setelah makan. Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi
regulasi glukosa yang normal karena pasa gilirannya berkontribusi besar dalam
pengendalian kadar glukosa darah postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang
normal diperlukan untuk mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa
secara fisiologis. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya
hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah postprandial (postprandial
spike) dengan segala akibat yang ditimbulkannya termasuk hiperinsulinemia kompensatif.

Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained phase,
latent phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan
dalam waktu relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan glukosa darah
selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang berlangsung relatif
lebih lama, seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa
besar kadar glukosa darah di akhir fase 1, disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi
semacam mekanisme penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya.
Apabila sekresi fase 1 tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk
peningkatan sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut pada
hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah
(postprandial) tetap dalam batas batas normal. Dalam prospektif perjalanan penyakit, fase 2
sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase 1. Pada gambar dibawah ini ( Gb. 2 )
diperlihatkan dinamika sekresi insulin pada keadaan normal, Toleransi Glukosa Terganggu (
Impaired Glucose Tolerance = IGT ), dan Diabetes Mellitus Tipe 2.
Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi insulin yang juga
normal di jaringan ( tanpa resistensi insulin ), sekresi fase 2 juga akan berlangsung normal.
Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan ( ekstra ) sintesis maupun sekresi insulin pada
fase 2 diatas normal untuk dapat mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah
keadaan fisiologis yang memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang
dapat memberikan dampak glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai
dampak negatifnya.

Intravenous Second
glucose Phase
stimulation
IGT

First-Phase Normal
Insulin Secretion

Type 2DM

Basal

0 5 10 15 20 25 30 ( minute )

Gb.2 Dinamika sekresi Insulin setelah beban glukosa intravena pada

Aksi Insulin
Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam tubuh
terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam proses
utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak, dan hepar.

Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis
reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan
antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses
regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja
yang sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam
meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada
mendorong penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4
inilah yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya
mengalami metabolism (Gb. 3). Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal,
selain diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi
insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan
tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya
diabetes tipe 2.

Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan metabolisme
glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana GLUT-2 berfungsi sebagai
kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah
jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar
glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen
yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua
proses ini berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon
insulin. Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon
tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan menjadi tidak
lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan
inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat
produksi glukosa dari hepar.

1. binding ke reseptor, 2. translokasi GLUT 4 ke membran sel, 3. transportasi glukosa meningkat,


4.disosiasi insulin dari reseptor, 5. GLUT 4 kembali menjauhi membran, 6. kembali kesuasana
semula.
Gambar. 3. Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport glukosa di jaringan
perifer ( Girard, 1995 )

Efek Metabolisme dari Insulin

Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan pada
metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada dasarnya ini
bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan
kadar glukosa darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes
melitus. Pada diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering
ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak
adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh
terhadap insulin (resistensi insulin), disertai oleh faktor lingkungan ( environment ).
Sedangkan pada diabetes tipe 1 (DMT1), gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi
insulin secara absolut.

Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika
sekresi insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan
(inadekuat). Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap
homeostasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial
(HAP) yakni peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah beban glukosa
(makan atau minum).

Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi yang
bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, perjalanan penyakit ini bersifat progressif dan
cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan
kadar glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna pada gilirannya
secara klinis sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan
kadar glukosa yang normal dalam darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel
beta untuk peningkatan sekresi insulin ( insulin secretagogue ) atau bila diperlukan secara
substitusi insulin, disamping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi insulin (
insulin sensitizer ).

Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase 2 sekresi
insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah.
Secara klinis, barulah pada tahap dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan
Toleransi Glukosa Terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada tahap ini
mekanisme kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang
mungkin secara relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada toleransi
glukosa terganggu (TGT) didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi
beban larutan 75 g glukosa dengan Test Toleransi Glukosa Oral ( TTGO ), berkisar diantara
140-200 mg/dl. Juga dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa
antara 100 – 126 mg/dl, yang disebut juga sebagai Glukosa Darah Puasa Terganggu
( GDPT ).

Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes, atau
hiperglikemia akut postprandial yang terjadi ber-ulangkali setiap hari sejak tahap TGT,
memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka panjang menimbulkan
komplikasi kronis dari diabetes.Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity) yang diikuti
pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan baik
secara langsung melalui stres oksidatif, dan proses glikosilasi yang meluas.

Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau konversi fase
TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai
dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini terlihat
dari kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin serum yang
cukup tinggi, namun hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi,
terutama mikrovaskular, meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan
gangguan makrovaskular telah muncul semenjak prediabetes. Semakin tingginya tingkat
resistensi insulin dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun
postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi insulin,
semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan
glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa dari hepar.

Jadi, dapat disimpulkan perjalanan penyakit DMT2, pada awalnya ditentukan oleh kinerja
fase 1 yang kemudian memberi dampak negatif terhadap kinerja fase 2, dan berakibat
langsung terhadap peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiperglikemia terjadi
tidak hanya disebabkan oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi insulin), tapi pada saat
bersamaan juga oleh rendahnya respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin).
Gangguan atau pengaruh lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan mempercepat
progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut pada
gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai jaringan tubuh.
Rangkaian kelainan yang dilatarbelakangi oleh resistensi insulin, selain daripada intoleransi
terhadap glukosa beserta berbagai akibatnya, sering menimbulkan kumpulan gejala yang
dinamakan sindroma metabolik.

REFERENSI

Ashcroft FM, Gribble FM, 1999. ATP-sensitive K+ channels and insulin secretion: Their role
in health and disease. Diabetologia 42: 903-19.
Ashcroft FM, Gribble FM, 1999. Differential sensitivity of beta-cell and extrapancreatic K ATP
channels to gliclazide. Diabetologia 42: 845-8.
Cerasi E, 2001.The islet in type 2 diabetes: Back to center stage. Diabetes 50: S1-S3.
Ceriello A, 2002. The possible role of postprandial hyperglycemia in the pathogenesis of
diabetic complications. Diabetologia 42:117-22.

Kramer W, 1995. The molecular interaction of sulphonylureas. DRCP 28: 67 – 80

Ferrannini E, 1998. Insulin resistance versus insulin deficiency in non insulin dependent
diabetes mellitus: Problems and prospects. Endocrine Reviews 19: 477-90.

Gerich JE, 1998. The genetic basis of type 2 diabetes mellitus: impaired insulin secretion
versus impaired insulin sensitivity. Endocrine Reviews 19: 491-503.

Girard J, 1995. NIDDM and glucose transport in cells. In ( Assan, R, ed ) NIDDM and glucose
transport in cells. Molecular Endocrinology and Development CNRS Meudon, France: 6 – 16.

Kramer W, 1995. The molecular interaction of sulphonylureas. DRCP 28: 67 – 80


Nielsen MF, Nyholm B, Caumo A, Chandramouli V, Schumann WC, Cobelli C, et al, 2000.
Prandial glucose effectiveness and fasting gluconeogenesis in insulin-resistant first-
degree relatives of patients with type 2 diabetes. Diabetes 49: 2135-41.
Prato SD, 2002. Loss of early insulin secretion leads to postprandial hyperglycaemia.
Diabetologia 29: 47-53.
Suryohudoyo P, 2000. Ilmu kedokteran molekuler. Ed I, Jakarta: Perpustakaan Nasional,
hlm 48-58.
Suzuki H, Fukushima M, Usami M, Ikeda M, Taniguchi A, Nakai Y, et al,2003.Factors
responsible for development from normal glocose tolerance to isolated postchallenge
hyperglycemia. Diabetes Care 26: 1211-5.
Tjokroprawiro A, 1999. Diabetes mellitus and syndrome 32 (A step forward to era of
globalisation–2003). JSPS-DNC symposium, Surabaya: 1-6.
Ward WD, 1984. Pathophysiology of insulin secretion in non insulin dependent diabetes
mellitus. Diabetes Care 7 : 491 - 502
Weyer C, Bogardus C, Mort DM, Tataranni PA, Pratley RE, 2000. Insulin resistance and
insulin secretory dysfunction are independent predictors of worsening of glucose
tolerance during each stage of type 2 diabetes development. Diabetes Care 24: 89-94.

Anda mungkin juga menyukai