Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH III

EVALUASI KASUS OMPHALOCELE DI RUMAH SAKIT WAHIDIN


SUDIROHUSODO TAHUN 2016-2019

11

Oleh:

dr. Albertus Aryo Pradito

Pembimbing:

DR. dr. Nita Mariana, M.Kes, Sp.BA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur organ bayi


yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan
sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kematian bayi
dalam bulan bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh kelainan kongenital yang
cukup berat. Hal ini seakan akan merupakan seleksi alam terhadap kelangsungan hidup bayi
yang dilahirkan (George W Holcomb III, 2014).
Bayi yang dilahirkan dengan kelaianan kongenital, umumnya akan dilahirkan sebagai
kelainan bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa
kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat kira kira 20 % akan
meninggal dalam minggu pertama kehidupannya. Disamping pemeriksaan fisik, radiologi dan
laboratorium untuk menegakkan diagnose kelainan kongenital setelah bayi lahir, dikenal juga
adanya diagnose pre dan ante natal dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu misalnya
pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban dan darah janin (Jay L. Grosfeld, 2006).
Kelaian kongenital ada beberapa diantaranya seperti Omfalokel, Gastroschisis,
Hirschsprung serta atresia ani. Namun kali ini omfalokel yang akan dibahas lebih detail (Jay
L. Grosfeld, 2006).
Tahun 1634 Omfalokel pertama kali dideskripsikan oleh ahli bedah Perancis
Ambroise Pare. Dia menggambarkan omfalokel secara akurat dan melakukan tindakan
konservatif pada permukaan selaput omfalokel dengan tujuan untuk merangsang epitelisasi.
Cara tersebut membutuhkan waktu yang lama serta selaput dapat pecah yang berakibat
terjadinya infeksi. Tahun 1948 , Robert Gross di boston memperkenalkan suatu metode
penutupan omfalokel. Dia menggambarkan penutupan omfalokel melalui 2 tahap. Tahap
pertama yaitu dengan membuat skin flap untuk melindungi organ-organ abdomen yang
mengalami herniasi. Tahap kedua ialah memperbaiki hernia ventralis. Tahun 1967, Schuster
memperkenalkan pemakaian material prostetik untuk melindungi organ – organ abdomen
selama tahapan pertama diatas. Akhirnya pada tahun 1969, Allen dan Wrenn
memperkenalkan teknik “SILO”, dimana organ–organ abdomen yang mengalami herniasi
ditutup dengan 1 lapis bahan elastis yang diletakkan fasia dinding abdomen. Organ organ
tersebut kemudian dimasukkan secara bertahap kedalam cavum abdomen melalui tightening
progresiv / tekanan manual dalam beberapa hari. Sampai hari ini berbagai usaha telah
dilakukan untuk mendapatkan hasil klinik yang memuaskan (George W Holcomb III,2014;
Carol McNair 2008).

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dibuat rumusan masalah sebagai
berikut :

1. Berapakah jumlah kasus omphalocele di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar


selama periode tahun 2016 sampai tahun 2019.
2. Bagaimana distribusi kasus omphalocele di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
berdasarkan jumlah, jenis kelamin, kelainan penyerta, penatalaksanaan terapi dan
angka mortalitas.

I.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kasus omphalocele di RS. Dr.
Wahidin Sudirohusodo periode tahun 2016 sampai tahun 2019.

I.4. Manfaat

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang kasus
omphalocele di RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo periode tahun 2016 sampai tahun 2019.

I.5. Metode

Metode penelitian ini bersifat retrospektif deskriptif dengan mengambil data dari
catatan Rekam Medik di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo periode Januari 2016 sampai
Desember 2019. Data yang didapat kemudian diolah, dianalisa secara deskriptif dan
disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

I.6. Tempat dan Waktu

Bagian rekam medik RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, waktu evaluasi


periode Januari 2016 sampai dengan Desember 2019.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Omfalokel berasal dari bahasa yunani Omphalos yang artinya umbilikus = tali pusat
dan cele yang artinya bentuk hernia. Jadi omfalokel diartikan sebagai suatu defek sentral dari
dinding abdomen pada daerah cincin umbilicus ( umbilical ring ) atau cincin tali pusat
sehingga terdapat herniasi dari organ-organ intra abdomen dari cavum abdomen namun
masih dilapisi oleh suatu kantong atau selaput. Selaput ini terdiri dari lapisan amnion dan
peritoneum. Pada lapisan tersebut terdapat lapisan wharton’s jelly (Farid Nur Mantu,2010;
Sandeep Vilasrano Pekhale,2015).
Omfalokel merupakan suatu keadaan dimana visceral abdominal terdapat diluar
cavum abdomen tetapi masih di dalam kantong amnion. Omfalokel dapat diartikan sebagai
kantong bening tidak berpembuluh darah yang terdiri lapisan peritoneum dan lapisan amnion
pada pangkal tali pusat. Omfalokel adalah herniasi sebagian isi organ intra abdomen melalui
cincin umbilicus yang terbuka ke dalam dasar tali pusat (George W Holcomb III, ,2014; E.R
Christison Lagay,2011).
Ukuran bisa bervariasi, isi dalam kantong bisa berupa seluruh midgut, gaster dan
hepar. 70 % kasus omfalokel berhubungan dengan kelainan yang lain. Kelainan terbanyak
adalah kelainan kromosom. Hal ini menunjukkan keikutsertaan perkembangan embriologi
secara umum. Kelainan penyerta terjadi antara 30 % - 70 % termasuk didalamnya kelainan
kromosom (trisomi 18, 21), kelainan jantung kongenital, sindroma Backwith-Wiederman
(hiperinsulinisme, viseromegali dari ginjal, glandula supra renalis dan pancreas),
makroglosia, tumor hepatorenal, ekstrofia kloaka, pentalogi Cantrell dan sindroma prune
belly (tidak tumbuhnya otot dinding abdomen, kelainan genitourinaria, kriptokismus). Atresia
ani mugkin juga dijumpai dan diperkirakan sebagai akibat dari iskemia yang ditimbulkan
oleh tekanan dari tepi defek dinding abdomen (Lidia Chircor,2009; Vincent E
Morterello,2010).
Gambar 2. Omfalokel besar berisi hepar dan usus (Ascraft 2014).

Embriologi
Pada awal minggu ke 3 perkembangan embrio, saluran pencernaan terbagi menjadi
foregut, midgut dan hindgut. Pertumbuhan ini berkaitan erat dengan lipatan embrio yang
berperan dalam pembentukan dinding abdomen. Cakram embrio membentuk empat lipatan
(dua lipatan lateral = Lateral Fold, 1 lipatan kranial = Cephalic Fold, 1 lipatan kaudal =
Caudal Fold), yang akan menutup rongga tubuh (F. Nwabueze Inekwabe,1981; Vincent E
Mortellaro,2010).
1. Lipatan Kepala (Cephalic Fold)
Letaknya didepan mengandung foregut yang membentuk faring, esophagus dan
lambung. Kegagalan perkembangan lapisan somatik lipatan kepala akan
mengakibatkan kelainan dinding abdomen daerah epigastrial disebut omfalokel
epigastrial (Moh. Adjie Pratignyo, 2011).
2. Lipatan Samping (Lateral Fold)
Membungkus midgut dan bersama lipatan lain membentuk cincin awal umbilikus.
Bila terjadi kegagalan abdomen tidak menutup sempurna pada bagian tengah. Pada
kelainan ini cincin umbilikus tidak terbentuk sempurna sehingga tetap terbuka lebar
(Moh. Adjie Pratignyo, 2011)..
3. Lipatan Ekor (Caudal Fold)
Membungkus hindgut yang akan membentuk kolon dan rektum. Kegagalan
pertumbuhan lapisan splenikus dan somatik mengakibatkan atresia ani dan omfalokel
hipogastrium (Moh. Adjie Pratignyo, 2011)..
Awal terjadinya omfalokel masih belum jelas. Terdapat beberapa teori embriologi
yang menjelaskan kemungkinan berkembangnya omfalokel. Teori yang banyak disebutkan
oleh para ahli ialah omfalokel berkembang akibat kegagalan migrasi dan fusi dari lipatan
embrionik bagian kranial, kaudal dan lateral saat membentuk cincin umbilikus pada garis
tengah sebelum invasi miotom pada minggu ke-4 perkembangan. Teori lain menyebutkan
bahwa omfalokel berkembang karena kegagalan midgut untuk masuk kembali ke kavum
abdomen pada minggu ke-12 perkembangan (George W Holcomb III, 2014; Vincent E
Monterello,2010).
Sebagaimana diketahui pada minggu ke-4 perkembangan, dinding abdomen embrio
berupa suatu membran tipis yang terdiri dari ektoderm dan mesoderm somatik yang disebut
sebagai somatopleura. Somatopleura memiliki embrionik fold yaitu kranial, kaudal dan
lateral. Pada minggu ke-4 tersebut secara simultan terjadi pertumbuhan kedalam mesoderm
dari embrionik fold somatopleura bagian kranial, kaudal dan lateral yang mulai mengadakan
fusi pada garis tengah untuk membentuk cincin umbilikus. Pada minggu ke-4 sampai ke-7,
somatopleura diinvasi oleh miotom yang terbentuk disebelah lateral dari vertebra dan
bermigrasi ke medial. Selama itu juga midgut mengalami elongasi dan herniasi ke umbilical
cord. Miotom merupakan segmen primitif sepanjang spinal cord yang nantinya masing-
masing segmen tersebut berkembang menjadi muskulus dan diinervasi oleh nervus spinalis.
Pada minggu ke-8 sampai ke-12 miotom berdiferensiasi menjadi 3 lapis otot dinding perut
dan mengadakan fusi pada garis tengah. Akhirnya pada minggu ke-12 rongga abdomen janin
sudah cukup kuat sebagai tempat usus yang akan masuk kembali dan berputar yang kemudian
menempati posisi anatomisnya (Polina Frolov,2010; Vincent E Monterello,2010 ).

Etiologi
Omfalokel disebabkan oleh kegagalan alat dalam untuk kembali ke rongga abdomen
pada waktu janin berumur 10 minggu sehingga menyebabkan timbulnya omfalokel. Kelainan
ini dapat terlihat dengan adanya penonjolan dari kantong yang serisi usus dan visera abdomen
melalui defek dinding abdomen pada umbilikus (George W Holcomb III, 2014).
Faktor risiko tinggi yang berhubungan dengan omfalokel adalah risiko tinggi kehamilan
seperti :(T Mac Bird et al,2008)
a. Infeksi dan penyakit pada ibu
b. Penggunaan obat-obatan berbahaya, merokok
c. Kelainan genetik
d. Defesiensi asam folat
e. Hipoksia
f. Salisilat dapat menyebabkan defek pada dinding abdomen.
g. Asupan gizi yang tak seimbang
h. Unsur polutan logam berat dan radioaktif yang masuk ke dalam tubuh ibu hamil.

Ada beberapa faktor penyebab omfalokel, yaitu:

1. Faktor kehamilan dengan risiko tinggi, seperti ibu hamil sakit dan terinfeksi,
penggunaan obat-obatan, merokok dan kelainan genetik. Faktor-faktor tersebut
berperan pada timbulnya insufisiensi plasenta dan lahir pada umur kehamilan kurang
bulan atau bayi prematur, diantaranya bayi dengan gastroschizis dan omfalokel paling
sering dijumpai (Moh. Adjie Pratignyo, 2011; T Mac Bird et al,2008 ).

2. Defisiensi asam folat, hipoksia dan salisilat menimbulkan defek dinding abdomen
pada percobaan dengan tikus tetapi kemaknaannya secara klinis masih sebatas
perkiraan. Secara jelas peningkatan MSAFP (Maternal Serum Alfa Feto Protein) pada
pelacakan dengan ultrasonografi memberikan suatu kepastian telah terjadi kelainan
struktural pada fetus. Bila suatu kelainan didapati bersamaan dengan adanya
omfalokel, layak untuk dilakukan amniosintesis guna melacak kelainan genetik (Moh.
Adjie Pratignyo, 201; T Mac Bird et al,2008)..

3. Polihidramnion, dapat diduga adanya atresia intestinal fetus dan kemungkinan


tersebut harus dilacak dengan USG (Moh. Adjie Pratignyo, 2011; T Mac Bird et
al,2008).

Selain itu omfalokel juga disebabkan oleh terbukanya (cacat) bagian tengah dari
dinding perut pada umbilikus. Kulit, otot dan jaringan berserat tidak ada. Usus menonjol pada
bagian yang terbuka dan dilapisi dengan membran yang tipis. Tali pusar berada pada pusat
pembalikan. Gastroskisis adalah pembukaan abnormal dari dinding perut, biasanya di
sebelah kanan dari umbilikus, sehingga usus yang terbuka dapat keluar (hernia). Kedua
kondisi ini dapat didiagnosis dengan ultrasound prenatal (sebelum lahir) (Jay L.
Grosfeld,2006).
Omfalokel biasanya dihubungkan dengan cacat bawaan (seperti cacat jantung) dan
dengan sindroma genetika spesifik. Operasi definitif adalah adalah primary clousure.
Sebaiknya kulit dari diding perut harus sering dilonggarkan sebelum operasi sehingga ada
cukup jaringan untuk menutupi defek. Cacat yang luas seringkali membutuhkan penutupan
kulit (Jay L. Grosfeld, 2006 ; Carol McNair,2006).
Omfalokel berkembang saat bayi tumbuh dalam rahim ibu. Otot-otot pada dinding
abdomen (umbilical cord) tidak menutup dengan benar. Akibatnya, usus tetap berada di luar
tali pusat. Sekitar 25 - 40% dari bayi dengan omfalokel yang memiliki cacat lahir lainnya.
Mereka mungkin termasuk masalah genetik (kelainan kromosom), hernia diafragma
kongenital, dan
cacat jantung (George W Holcomb III,2014).

Patofisiologi
Selama perkembangan embrio terjadi kelemahan pada dinding abdomen
menyebabkan herniasi isi usus salah satu sisi umbilikus (kanan biasanya) , organ viseral
abdomen keluar dari kavitas abdomen dan tertutupi oleh kantong. Usus, organ viseral, dan
seluruh permukaan rongga abdomen mudah mengalami penguapan, dan pancaran panas dari
tubuh cepat berlangsung, sehingga terjadi dehidrasi dan hipotermi, kontaminasi usus dengan
kuman juga bisa terjadi, dapat menyebabkan sepsis. Pada saat pembedahan jika usus-usus
distensi akan sulit dimasukkan dalam rongga abdomen (Jay L. Grosfeld, 2006).
Saat embriogenesis janin pada usia 5-6 minggu isi abdomen terletak di luar abdomen.
Normalnya usus dari eksternal masuk ke dalam rongga abdomen. Namun jika proses ini tidak
terjadi maka dapat menyebabkan omfalokel jika terbentuk kantong di pangkal umbilikus
berisi usus, lambung kadang hati, yang dibungkus lapisan peritoneum dan amnion yang
bening sehingga isi kantong terlihat dari luar (Emily R Christison-lagay,2006).

Diagnosis
Diagnosis omfalokel sederhana, namun perlu waktu khusus sebelum operasi
dikerjakan, pemeriksaan fisik lengkap dan perlu pemeriksaan thorax x-ray serta
ekokardiogram. Pada saat lahir omfalokel diketahui sebagai defek dinding abdomen pada
dasar cincin umbilikus. Defek tersebut > 4 cm (bila defek <4 cm secara umum dikenal
sebagai hernia umbilikalis) dan dibungkus oleh suatu kantong membran amnion. Kantong
mungkin ruptur dalam Rahim 10-18% atau sekitar 4% saat proses kelahiran. Omfalokel
raksasa (giant omphalocele) mempunyai suatu kantong yang menempati hampir seluruh
dinding abdomen, berisi hampir semua organ intra abdomen dan berhubungan dengan tidak
berkembangnya rongga peritoneum serta hipoplasi pulmoner (Jay L. Grosfeld, 2006 ; Moh.
Adjie Pratignyo,2011).
Defek yang sempit dengan kantong yang kecil mungkin tidak terdiagnosis saat lahir.
Dalam kasus ini timbul bahaya tersendiri bila kantong terjepit klem dan sebagian isinya
berupa usus, bisa teriris saat ligasi tali pusat. Bila omfalokel dibiarkan tanpa penanganan,
bungkusnya akan mengering dalam beberapa hari dan akan tampak retak retak. Keadaan
tersebut akan menimbulkan infeksi dibawah lapisan yang mengering dan berkrusta. Kadang
dijumpai lapisan tersebut pecah dan usus akan prolapse (Jay L. Grosfeld, 2006;Moh. Adjie
Pratignyo,2011).
Diagnosis omfalokel ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan dapat ditegakkan
pada waktu prenatal dan post natal
Manifestasi dari omfalokel adalah :
1. Organ visera / internal abdomen keluar
2. Penonjolan dari isi usus
3. Teridentifikasi pada prenatal dengan ultrasound
Omfalokel dapat dilihat dengan jelas, karena isi abdomen menonjol atau keluar
melewati area perut yang tertekan. Berikut ini perbedaan ukuran omfalokel, yaitu :
Omfalokel kecil yaitu hanya usus yang keluar atau menonjol, sedangkan Omfalokel besar
yaitu usus, hati atau limpa yang mungkin bisa keluar dari tubuh yang sehat (Jay L. Grosfeld,
2006;Moh. Adjie Pratignyo,2011).

Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada kelainan Omfalokel, diantaranya :


Pemeriksaan Fisik
Pada omfalokel tampak kantong yang berisi usus dengan atau tanpa hati di garis
tengah pada bayi yang baru lahir. Pada gastroskisis usus berada di luar rongga perut tanpa
adanya kantong (George W Holcomb III, 2014).

Gambar 3 : Omfalokel besar yang mengalami kebocoran


(George W Holcomb III, 2014)

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Maternal Serum Alfa Fetoprotein (MSAFP). Diagnosis prenatal defek
pada dinding abdomen dapat dideteksi dengan peningkatan MSAFP. MSAFP dapat juga
meninggi pada spinabifida yang disertai dengan peningkatan asetilkolinesterase dan
pseudokolinesterase (George W Holcomb III, 2014; Carol McNair,2006)
Prenatal, ultrasonografi
Fetal echocardiogram menunjukkan adanya defek omfalokel (George W Holcomb
III, 2014).

Pemeriksaan radiologi
Fetal sonography dapat menggambarkan kelainan genetik dengan memperlihatkan
marker structural dari kelainan kariotipik. Echocardiography fetus membantu
mengidentifikasi kelainan jantung. Untuk mendukung diagnosis kelainan genetik diperjelas
dengan amniosentesis. Pada omfalokel tampak kantong yang terisi usus dengan atau tanpa
hepar di garis tengah pada bayi yang baru lahir.
Cara mendiagnosis omfalokel dibagi menjadi 2 waktu pelaksanaan.

1. Diagnosis prenatal
o USG, defek dideteksi pada minggu ke 13 kehamilan, secara normal usus telah
masuk ke dalam cavum abdomen. Jika terdapat omfalokel akan tampak
gambaran garis halus dengan gambaran kantong/selaput, pada daerah tali pusat
berkembang. Gastroskisis akan tampak defek terpisah dari tali pusat (George
W Holcomb III, 2014; Moh. Adjie Pratgnyo,2011; Carol McNair,2006) .
o Echocardiografi
o MSAPF (Maternal Serum Alfa Fetoprotein)
o Analisa kromosom dengan cara amniosintesis (melihat kelainan lain pada
janin, dan diagnosis) (George W Holcomb III, 2014; Moh. Adjie
Pratgnyo,2011).
2. Diagnosis postnatal
o Gambaran klinis, defek sentral dinding abdomen di daerah tali pusat. Variasi
ukuran, 4 cm – 12 cm. mengandung organ abdomen, solid/berongga dan masih
dilapisi oleh selaput /kantong, tali pusat di puncak kantong. Lapisan berupa
selaput amnion, peritoneum, kadang ada lapisan wharton’s jelly di antaranya
diferensiasi jaringan mesenkimal (mesodermal), jelly kaya mukosa dengan
sedikit serat tanpa vasa atau nervus (George W Holcomb III, 2014; Moh. Adjie
Pratgnyo,2011; Carol McNair,2006).
o Omfalokel besar diameter 8-12 cm, dapat mengandung hepar, organ abdomen
lain. Kantong dapat ruptur. Jika terjadi maka organ abdomen bayi akan
berubah struktur dan fungsi seperti bengkak, memendek/eksudat, tergantung
lama infeksi dan iskemik. Gangguan respirasi jika terjadi hipoplasia paru
(George W Holcomb III, 2014; Moh. Adjie Pratgnyo,2011)

Diagnosis Banding
Tabel 1 Perbedaan karakteristik omfalokel dan gastroskisis (E.R Christison Lagay et al 2011)

Karakteristik Omfalokel Gastroskisis


Kantong Ada Tidak ada
Lokasi defek umbilikus Kanan umbilikus
Proses persalinan Sectio cesaria / Pervaginam
pervaginam
Tindakan Operasi Tidak Segera Segera
Faktor Prognostik Tergantung dari anomali Tergantung kondisi usus
yang ada
Usia ibu Usia rata rata Usia lebih muda
Anomali yang terjadi Ada Tidak selalu

Tabel 2 Perbedaan karakteristik omfalokel dan gastroskisis (Ashcraft’s Pediatric Surgery, 6th
Edition)

Karakteristik Omfalokel Gastroskisis


Isi herniasi Usus ± hepar Hanya usus
Kantong (Sac) Ada Tidak ada
Anomali penyerta Umumnya ada (50%) Jarang (<10%)
Lokasi defek umbilikus Kanan umbilikus
Proses persalinan Sectio cesaria / Pervaginam
pervaginam
Tindakan Operasi Tidak Segera Segera
Faktor Prognostik Tergantung dari anomali Tergantung kondisi usus
yang ada

Kelainan Anomali Penyerta

Gastroskisis dianggap sebagai defek yang hanya terisolasi pada dinding abdomen
yang mana kadang disertai atresia usus sesekali (1 0% - 1 2%). Namun dalam tinjauan
literatur baru-baru ini, sejumlah anomali dicatat pada gastroschisis termasuk kelainan
jantung, tungkai, ginjal, dan kadang kelainan kromosom. Ini hanya terjadi pada beberapa
kasus, tetapi ada kemungkinan ada komponen genetic berkaitan dengan kondisi defek
tersebut.

Bayi dengan omfalokel memiliki insiden kelainan anomali penyerta terkait yang
tinggi yang dapat mempengaruhi hasil outcome secara signifikan. Hal ini termasuk anomali
jantung atau ginjal, kelainan kromosom (trisomi 13, 18, dan 21), dan dapat dikenali sindrom
seperti prune belly, Beckwith-Wiedemann, dan pentalogy of Cantrell. Pada pasien dengan
sindrom pentalogy of Cantrell (gambar 4) memiliki posisi epigastrik lebih tinggi dari defek,
sedangkan hipogastrik lebih rendah dari defek (gambar 5). Ketika omfalokel dengan
exstrophy kloaka, maka outcome nya akan lebih sulit. Penting untuk mengidentifikasi
anomali yang berpotensi mebawa kematian terhadap pasien yang terkait dengan omfalokel
baik sebelum lahir atau segera setelah lahir untuk mengantisipasi komplikasi perioperatif dan
konseling kepada orang tua dari bayi. (Zingler’s Operative Pediatric Surgery 2nd Edition)
Gambar 4 : Pentalogy on Cantrell

Gambar 5 : Omfalokel dengan ekstrofi kloaka

Tatalaksana
A. Penatalaksanaan Prenatal

Apabila terdiagnosis omfalokel pada masa prenatal maka sebaiknya dilakukan


informed consent pada orang tua tentang keadaan janin, risiko tehadap ibu, dan prognosis.
Informed consent sebaiknya melibatkan ahli kandungan, ahli anak dan ahli bedah anak.
Keputusan akhir dibutuhkan guna perencanaan dan penatalaksanaan berikutnya berupa
melanjutkan kehamilan atau mengakhiri kehamilan. Bila melanjutkan kehamilan sebaiknya
dilakukan observasi melaui pemeriksaan USG berkala juga ditentukan tempat dan cara
melahirkan. Selama kehamilan omfalokel mungkin berkurang ukurannya atau bahkan ruptur
sehingga mempengaruhi prognosis (George W Holcomb III, 2014; Moh. Adjie
Pratgnyo,2011; Carol Mc Nair,2006).

Oak Sanjai meyebutkan bahwa komplikasi dari partus pervaginam pada bayi dengan
defek dinding abdomen kongenital dapat berupa distosia dengan kesulitan persalinan dan
kerusakan organ abdomen janin termasuk hepar. Walaupun demikian, sampai saat ini
persalinan melalui sectio caesaria belum ditentukan sebagai metode terpilih pada janin
dengan defek dinding abdomen. Ascraft menyatakan bahwa beberapa ahli menganjurkan
pengakhiran kehamilan jika terdiagnosis omfalokel yang besar atau janin memiliki kelainan
kongenital multipel (George W Holcomb III, 2014; Moh. Adjie Pratignyo,2011).

B. Penatalaksanaan Postnatal

Penatalaksannan postnatal meliputi penatalaksanaan segera setelah lahir (immediate


postnatal), kelanjutan penatalakasanaan awal apakah berupa operasi atau nonoperasi
(konservatif) dan penatalaksanaan postoperasi. Secara umum penatalaksanaan bayi dengan
omfalokel dan gastroskisis adalah hampir sama. Bayi sebaiknya dilahirkan atau segera
dirujuk ke suatu pusat yang memiliki fasilitas perawatan intensif neonatus dan bedah anak.
Bayi-bayi dengan omfalokel biasanya mengalami lebih sedikit kehilangan panas tubuh
sehingga lebih sedikit membutuhkan resusitasi awal cairan dibanding bayi dengan
gastroskisis (Jay L. Grosfeld, 2006; Moh. Adjie Pratignyo,2011).

C. Penatalaksanaan Non operatif

Penatalaksanaan konservatif dilakukan bila penutupan secara primer tidak


memungkinkan, misal pada omfalokel dengan diameter > 5 cm. Penatalaksanaan omfalokel
secara konservatif dilakukan pada kasus omfalokel besar atau terdapat perbedaan yang besar
antara volume organ-organ intraabdomen yang mengalami herniasi atau eviserasi dengan
rongga abdomen seperti pada giant omphalocele atau terdapat status klinis bayi yang buruk
sehingga ada kontra indikasi terhadap operasi atau pembiusan seperti pada bayi-bayi
prematur yang memiliki hyaline membran disease atau bayi yang memiliki kelainan
kongenital berat yang lain seperti gagal jantung. Pada giant omphalocele bisa terjadi herniasi
dari seluruh organ-organ intraabdomen dan dinding abdomen berkembang sangat buruk,
sehingga sulit dilakukan penutupan (operasi/repair) secara primer dan dapat membahayakan
bayi. Beberapa ahli mengatakan, walaupun demikian, pernah mencoba melakukan operasi
pada giant omphalocele secara primer dengan modifikasi dan berhasil. Tindakan nonoperatif
secara sederhana dilakukan dengan dasar merangsang epitelisasi dari kantong atau selaput.
Suatu saat setelah granulasi terbentuk maka dapat dilakukan skin graft yang nantinya akan
terbentuk hernia ventralis yang akan direpair pada waktu kemudian dan setelah
status kardiorespirasi membaik (Jay L. Grosfeld, 2006; Moh. Adjie Pratignyo,2011).

Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan dengan perawatan sebagai berikut


:
1. Bayi dijaga agar tetap hangat
2. Kantong ditutup kasa steril dan ditetesi NaCl 0,9% kalo perlu ditutup dengan lapisan
silo yang dikecilkan secara bertahap
3. Posisi penderita miring
4. Pemasangan Naso gastric tube atau oro gastric tube

Tindakan non operatif lain dapat berupa penekanan secara eksternal pada kantong.
Beberapa material yang biasa digunakan ialah Ace wraps, Velcro binder, dan poliamid mesh
yang dilekatkan pada kulit. Glasser menyatakan bahwa tindakan non operatif pada omfalokel
memerlukan waktu yang lama, membutuhkan nutrisi yang banyak dan angka metabolik yang
tinggi serta omfalokel dapat ruptur sehingga dapat menimbulkan infeksi organ-organ
intraabdomen. Ashcraft menyebutkan bahwa dari suatu studi, bayi-bayi yang menjalani
penatalaksanaan non operatif ternyata memiliki lama rawat inap yang lebih pendek dan waktu
full enteral feeding yang lebih cepat dibanding dengan penatalaksanaan dengan silastic
(George W Holcomb III, 2014; Moh. Adjie Pratignyo,2011).

Indikasi tatalaksana non bedah adalah:

1. Bayi dengan ompalokel raksasa (giant omphalocele) dan kelainan penyerta yang
mengancam jiwa dimana penanganannya harus didahulukan daripada omfalokelnya.
2. Neonatus dengan kelainan yang menimbulkan komplikasi bila dilakukan
pembedahan.
3. Bayi dengan kelainan lain yang berat yang sangat mempengaruhi daya tahan hidup.

Namun kerugian dari metode ini adalah kenyataan bahwa organ visera yang
mengalami kelainan tidak dapat diperiksa, sebab itu bahaya yang terjadi akibat kelainan yang
tidak terdeteksi dapat menyebabkan komplikasi misalnya obstruksi usus yang juga bisa
terjadi akibat adhesi antara usus halus dan kantong. Jika infeksi dan ruptur kantong dapat
dicegah, kulit dari dinding anterior abdomen secara lambat akan tumbuh menutupi kantong,
dengan demikian akan terbentuk hernia ventralis, karena sikatrik yang terbentuk biasanya
tidak sebesar bila dilakukan operasi. Metode ini terdiri dari pemberian lotion antiseptik secara
berulang pada kantong, yang mana setelah beberapa hari akan terbentuk skar. Setelah sekitar
3 minggu, akan terjadi pembentukan jaringan granulasi yang secara bertahap kana terjadi
epitelialisasi dari tepi kantong. Penggunaan antiseptik merkuri sebaiknya dihindari
karena bisa menghasilkan blood and tissue levels of mercury well above minimum toxic
levels. Alternatif lain yang aman adalah alkohol 65% atau 70% atau gentian violet cair 1%.
Setelah keropeng tebal terbentuk,bubuk antiseptik dapat digunakan. Hernia ventralis
memerlukan tindakan kemudian tetapi kadang-kadang menghilang secara komplit (Jay L.
Grosfeld, 2006; George W Holcomb III, 2014).

D. Penatalaksanaan Operatif
Tujuan operasi atau pembedahan ialah memperoleh lama ketahanan hidup yang
optimal dan menutup defek dengan cara mengurangi herniasi organ-organ intraabomen,
aproksimasi dari kulit dan fascia serta dengan lama tinggal di RS yang pendek. Operasi
dilakukan setelah tercapai resusitasi dan status hemodinamik stabil. Operasi dapat bersifat
darurat bila terdapat ruptur kantong dan obstruksi usus.

Inspeksi kerusakan
organ dan incisi
ditutup

Defek diperluas
dengan incisi

Gambar 4. Sebelum dan sesudah operasi omfalokel; Grosfeld 2006.

Operasi dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu primary closure (penutupan secara
primer atau langsung) dan staged closure (penutupan secara bertahap). Standar operasi baik
pada primary ataupun staged closure yang banyak dilakukan pada sebagiaan besar pusat
adalah dengan membuka dan mengeksisi kantong. Organ-organ intraabdomen kemudian
dieksplorasi, dan jika ditemukan malrotasi dapat dikoreksi dengan :

1. Primary Closure (Penutupan Primer)


Primary closure merupakan treatment of choice pada omfalokel kecil dan medium
atau terdapat sedikit perbedaan antara volume organ-organ intraabdomen yang mengalami
herniasi atau eviserasi dengan rongga abdomen. Primary closure biasanya dilakukan pada
omfalokel dengan diameter defek < 5-6 cm. Operasi dilakukan dengan general anestesi
dengan obat-obatan blok neuromuskuler. Mula-mula hubungan antara selaput dengan kulit
serta fascia diinsisi dan vasa–vasa umbilkus dan urakus diidentifikasi dan diligasi. Selaput
kemudian dibuang dan organ-organ intraabddomen kemudian diperiksa. Sering defek
diperlebar agar dapat diperoleh suatu insisi linier tension free dengan cara memperpanjang
irisan 2 –3 cm ke superior dan inferior (Farid Nur Mantu, 2010 ; Jay L. Grosfeld, 2006;
Carol McNair,2006).
Kemudian dilakukan manual strecthing pada dinding abdomen memutar diseluruh
kuadran abdomen. Manuver tersebut dilakukan hati-hati agar tidak mencederai liver atau
ligamen. Kulit kemudiaan dideseksi atau dibebaskan terhadap fascia secara tajam. Fascia
kemudian ditutup dengan jahitan interuptus begitu pula pada kulit. Untuk kulit juga dapat
digunakan jahitan subkutikuler terutama untuk membentuk umbilikus (umbilikoplasti) dan
digunakan material yang dapat terabsorbsi. Standar operasi ialah dengan mengeksisi kantong
dan pada kasus giant omphalocele biasanya dilakukan tindakan konservatif dahulu, namun
demikian beberapa ahli pernah mencoba melakukan operasi langsung pada kasus tersebut
dengan teknik modifikasi (Farid Nur Mantu, 2010 ; Jay L. Grosfeld, 2006)

2. Staged closure

Pada kasus omfalokel besar atau terdapat perbedaan yang besar antara volume organ-
organ intraabdomen yang mengalami herniasi atau eviserasi dengan rongga abdomen seperti
pada giant omphalocele, dapat dilakukan tindakan konservatif. Cara tersebut ternyata
memakan waktu yang lama, membutuhkan nutrisi yang banyak dan beresiko terhadap
pecahnya kantong atau selaput sehingga dapat timbul infeksi. Juga pada keadaan tertentu
selama operasi, ternyata tidak semua pasien dapat dilakukan primary closure. Yaster M. et al
dari suatu studinya melaporkan bahwa kenaikan IGP (intra gastricpressure) > 20
mmHg dan CVP > 4 mmHg selama usaha operasi primer dapat menyebabkan kenaikan
tekanan intraabdomen yang dapat berakibat gangguan kardiorespirasi dan dapat
membahayakan bayi sehingga usaha operasi dirubah dengan metode staged closure.
Beberapa ahli kemudian mencari solusi untuk penatalaksanaan kasus-kasus tersebut, yang
akhirnya ditemukan suatu metode staged closure.4 Staged closure telah diperkenalkan
pertama kali oleh Robet Gross pada tahun 1948 dengan teknik skin flap yang kemudian tejadi
hernia ventralis dan akhirnya cara tersebut dikembangkan oleh Allen dan Wrenn paada tahun
1969 dengan suatu teknik “silo”( George W Holcomb III, 2014 ; Farid Nur Mantu, 2010;
Carol McNair,2006).

Akibat yang diderita oleh penderita Omfalokel diantaranya :


Infeksi usus dan kematian jaringan usus yang bisa berhubungan dengan kekeringan atau
trauma oleh karena usus yang tidak dilindungi.

Penyakit atau kelainan ini sangat berbahaya dan dapat pula menyebabkan kematian. Angka
kematian tinggi bila omfalokel besar karena kantong dapat pecah dan terjadi infeksi.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1 Hasil Penelitian

Dari hasil studi retrospektif yang dilakukan di RS Wahidin Sudirohusodo bagian


Rekam Medik, diperoleh data pasien bedah anak yang menderita Omphalocele periode
tahun 2016 -2019 sebanyak 58 kasus. Berikut hasil evaluasi yang dituangkan dalam bentuk
tabel.

Tabel 1. Distribusi kasus Omphalocele dan perbandingan jenis kelamin periode tahun 2016-
2019 di RSUP Wahidin Sudirohusodo

Jenis Kelamin Total


Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah
%
Jumlah Kasus % Jumlah Kasus % Kasus
2016 3 5.20% 2 3.50% 5 8.70%
2017 7 12% 9 15.50% 16 27.50%
2018 9 15.50% 7 12% 16 27.50%
2019 9 15.50% 12 20.80% 21 36.20%
Total 28 48.20% 30 51.80% 58 100%

Berdasarkan tabel 1, distribusi kasus omphalocele tahun 2016 sebanyak 5 kasus


(8,7% ) dengan penderita laki-laki 3 kasus (5,2%) dan penderita perempuan 2 kasus (3,5%).
Tahun 2017 sebanyak 16 kasus (27,5%) dengan penderita laki-laki 7 kasus (12%) dan
penderita perempuan 9 kasus (15,5%). Tahun 2018 sebanyak 16 kasus (26,5%) dengan
penderita laki-laki 9 kasus (15.5%) dan penderita perempuan 7 kasus (12%). Tahun 2019
sebanyak 21 kasus (36,2%) dengan penderita laki-laki 9 kasus (15.5%) dan penderita
perempuan 12 kasus (20.8%) Dari data ini tidak ditemukan peningkatan kasus Omphalocele
dalam periode empat tahun di RS Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar. Dengan perbandingan
jenis kelamin yang tidak ada perbedaan signifikan anatara kasus omphalocele laki-laki dan
perempuan.

Menurut sebuah penelitian, prevalensi omfalokel di Amerika Serikat pada tahun 2001
didapatkan kasus omphalocele sebanyak 775 kasus diperkirakan sebanyak 1,92 kasus per
10.000 kelahiran. Kasus omfalokel lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki dibandingkan
perempuan dengan rasio 1,5 : 1. (Zahouani T, Mendez MD. Omphalocele. StatPearls. NCBI. 2019;
Marshall J, Salemi JL, Tanner JP, et al. Prevalence, correlates, and outcomes of omphalocele in the
united states, 1995-2005. Obstet Gynecol. 2015; 126(2): 284-93)

Menurut hasil surveilans yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RepubIik


Indonesia di 28 Rumah Sakit (18 provinsi), pada periode September 2014 hingga Maret 2018,
dilaporkan bahwa kelainan dinding abdomen seperti omfalokel dan gastroskisis, masuk ke
dalam peringkat ke-4 dari 8 jenis kelainan bawaan terbanyak di Indonesia dengan presentase
sebesar 16,14%. (Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
2018. Diunduh dari: www. depkes.go.id)

Tabel 2. Perbandigan terapi konservatif dan operatif kasus Omphalocele dan perbandingan
jenis kelamin periode tahun 2016-2019 di RSUP Wahidin Sudirohusodo
Tahun Kasus Konservatif Operasi
2016 5 5 100% 0 0%
2017 16 11 68.70% 5 31.30%
2018 16 13 81.20% 3 18.80%
2019 21 15 71.40% 5 28.60%
Total 58 45 75.90% 13 24.10%

Perbandingan terapi konservatif dan operatif pada kasus omphalocele pada tahun
2016-2019 dengan total 58 kasus dengan terapi konservatif 44 kasus (75,9%) dan terapi
operatif 13 kasus (24,1%) (tabel2). Sepanjang tahun 2016-2019 pilihan terapi konservatif
masi menjadi pilihan utama untuk managemen terapi omphalocele.

Tabel 3. Perbandigan terapi operatif one step dan multi step kasus Omphalocele dan
perbandingan jenis kelamin periode tahun 2016-2019 di RSUP Wahidin Sudirohusodo
Kasus One Step Multi Step
2016 0 0 0% 0 0%
2017 5 4 80% 1 20%
2018 3 2 66.60% 1 33.30%
2019 5 2 40% 3 60%
Total 13 8 62% 5 38%

Pada tabel 3 dijelaskan perbandingan managemen operatif pada kasus omphalocele tahun
2016-, dengan total 13 kasus operasi, didapatkan 8 kasus (62%) dilakukan operasi 1 tahap
(tutup defek abdomen) dan 5 kasus (38%) dilakukan operasi lebih dari 1 tahap.
Tabel 4. Perbandingan kasus Omphalocele dengan angka mortalitas periode tahun 2016-2019
di RSUP Wahidin Sudirohusodo
Tahun Kasus Kematian %
2016 5 2 40%
2017 16 6 37.50%
2018 16 4 25%
2019 21 5 23.80%
Total 58 17 29.30%

Berdasarkan tabel 4, didapatkan perbandingan total Omphalocele 58 kasus debngan


angka kematian 17 kasus (29,3%). Detil perbandingan kasus omphalocele dengan angka
mortalitas tahun 2016 sebanyak 5 kasus dengan kematian 2 kasus (40%). Tahun 2017
sebanyak 16 kasus dengan angka kematian 6 kasus (37,5%). Tahun 2018 sebanyak 16 kasus
dengan angka kematian 4 kasus (25%). Tahun 2019 sebanyak 21 kasus dengan angka
kematian 5 kasus (23,8%). Dari data ini ditemukan penurunan angka mortalitas pada kasus
Omphalocele dalam periode empat tahun di RS Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar.

Persentase mortalitas perinatal bayi dengan omfalokel sebesar 30%, biasanya terjadi
di usia 28 hari. Tingginya angka mortalitas sangat dipengaruhi oleh keberadaan anomali atau
abnormalitas lain. Angka kesintasan pada bayi dengan kondisi omfalokel saja mencapai 90%,
sedangkan yang disertai dengan anomali lain sebesar 80%. (Lamquami S, Mamouni N,
Errarhay S, et al. Antenatal diagnosis of isolated omphalocele. Pan Afr Med J. 2015; 21: 233)
Pada literature review pada tahun 2018 dari 23 artikel yang terdiri dari 396 kasus
giant omphaloceles, hasilnya angka mortalitas hampir 23% (n = 90) neonatus, dengan kondisi
sepsis sebagai penyebab utama di lebih dari separuh pasien ini (56,6%; n = 51) . Dua
prediktor kematian adalah hipoplasia paru dan gagal napas; prematuritas dan rupture kantung
juga terlibat.(Saxena AK, Raicevic M. Predictors of mortality in neonates with giant
omphalocele. Minerva pediatric. 2018 Jun. 70(31) 289-95)

Tabel 5. Perbandingan angka mortalitas pada penanganan konservatif dan operatif pada kasus
Omphalocele periode tahun 2016-2019 di RSUP Wahidin Sudirohusodo
Konservatif Kematian % Operasi Kematian %
2016 5 2 40% 0 0 0%
2017 11 5 45% 5 1 20%
2018 13 4 32.50% 3 0 0%
2019 16 4 25.00% 5 1 20%
Total 45 15 33% 13 2 15.40%
Berdasarkan tabel 5, didapatkan perbandingan angka mortalitas pada kasus
Omphalocele yang dengan mangement konservatif dan operasi. Total Omphalocele 58 kasus
dengan angka kematian 17 kasus (29,3%). Detil perbandingan kasus omphalocele dengan
pada pengananan konservatif dan operatif dibandingkan dengan angka mortalitas dijelaskan
pada tabel 5. Dari total kasus penangan konservatif 45 dengan angka kematian 15 (33%)
kasus, sedangkan operatif 13 kasus dengan angka kematian sebanyak 2 (15.4%) kasus. Dari
data ini ditemukan angka mortalitas lebih rendah pada penanganan operatif pada kasus
Omphalocele dalam periode tahun 2016-2019 di RS Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar.

Tabel 6. Perbandingan kasus omphalocele dengan dan tanpa penyakit penyerta pada tahun
2016-2019 di RSUP Wahidin Sudirohusodo
Kasus %
Tanpa Penyakit Penyerta 15 26%
Dengan Penyakit Penyerta 43 74%
Total 58 100%

Berdasarkan tabel 6, didapatkan perbandingan kasus omphalocele yang tanpa


penyakit penyerta dengan disertai penyakit penyerta. Dari total 58 kasus, terdapat 15 kasus
(26%) tanpa penyakit penyerta. Sedangkan terdapat 43 kasus (74%) omphalocele yang
disertai dengan penyakit penyerta. Hal ini didapakan angka yang berbeda dari textbook
Ashcraft Pediatric Surgery, yang mana dikatakan omphalocele dikaitkan dengan anomali lain
adalah sebesar 50%.

Tabel 7. Tabel kasus omphalocele dengan jenis penyakit penyerta pada tahun 2016-2019 di
RSUP Wahidin Sudirohusodo

Kasus %
Kelainan jantung 12 27.90%
Kelinan musculoskletal 10 23.30%
Kelainan sistem nervus sentral 0 0%
Kelainan traktus urinarius 4 9.30%
Kelainan langit-langit celah bibir 3 6.98%
Kelainan traktus intestinal 5 11.60%
Hydrocephalus 1 2.30%
Gangguan koagulasi darah 7 16.30%
Distress Sistem Pernafasan 21 48.80%
Sepsis 23 53.40%

Berdasarkan tabel 7, didapatkan data penyakit penyerta pada kasus omphalocele. Dari
total 43 kasus Omphalocele dengan penyakit penyerta didapatkan kelainan congenital
tertinggi adalah penyakit jantung 12 kasus (27,9%), diikuti kelainan musculosceletal 10 kasus
(23,3%), kelainan traktus intestinal 5 kasus (11,6%), kelainan traktus urinarius 4 kasus
(9,3%), kelainan langit-langit dan celah bibir 3 kasus (6,98%), dan hidrocephalus (2,3%).
Didapatkan juga kelainan komorbid lain berupa sepsis 23 kasus (53,4%) distress sistem
pernafasan 21 kasus (48,8%), dan gangguan koagulasi darah 7 kasus (16,3%).
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

IV.1 Kesimpulan

Dari evaluasi yang sudah dipaparkan, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Jumlah kasus Omfalokel di RS dr.Wahidin Sudirohusodo dari tahun 2016-2019
adalah sebanyak 58 kasus.
2. Insidensi Omfalokel tidak banyak perbedaan antara laki-laki (48,2%) dibanding
perempuan (51,8%).
3. Dari total kasus Omfalokel sebanyak 58 kasus dilakukan konservatif 75,9%
berbanding operatif 24,1%.
4. Pada penelitian ini dari total 13 kasus dilakukan operasi, one step operasi 62%
berbanding multi step operasi 38%.
5. Angka mortlitas yang terjadi untuk kasus Omfalokeldi RS dr.Wahidin Sudirohusodo
dari tahun 2016-2019 adalah sebanyak 17 kasus (29,3%).
6. Angka mortalitas yang terjadi untuk kasus Omfalokel dengan tindakan konservatif
33% berbanding dengan mortalitas tindakan operasi 15,4%.
7. Kasus omfalokel dengan kelainan anomali penyerta sebanyak 74% dan kasus
omfalokel tanpa kelainan anomaly penyerta 26%.
8. Anomali terbanyak yang terjadi sebagai kelainan penyerta kasus omphalocele adalah
kelainan jantung.

IV.2 Saran

Berdasarkan evaluasi dan kesimpulan di atas, penulis memiliki saran sebagai berikut:

1. Perlu diadakan peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, sarana, dan
prasarana dalam menghadapi kemungkinan peningkatan kasus atresia omfalokel pada
tahun yang akan datang.
2. Perlu dibuat evaluasi yang berkesinambungan untuk memberikan gambaran kasus
omfalokel pada tahun yang akan datang.
3. Perlu dibuat strategi khusus untuk mengurangi angka kejadian kematian pada
perawatan lebih lanjut.
4. Penelitian ini perlu didokumetasi untuk penelitian lebih lanjut
DAFTAR PUSTAKA

Bird TM, Robbins JM, Druschel C, et al. Demographic and Environmental Risk Factors for

Gastroschisis and Omphalocele in the National Birth Defects Prevention Study.

Journal of Pediatr Surg. 44; 2009: 1546-51.

Carol McNair, Judy Hawes, Heather Urquhart, Caring for the Newbon with an Omphalocele,

2006.

Emily R. Christison-Lagay, Cassandra M. Kelleher, Jacob C. Langer, Neonatal abdominal

wall defects, 2011.

Farid Nur Mantu, Buku Ajar Bedah Anak FK-UH, 2010, 257- 269

Frolov P, Alali J, Klein MD. Clinical Risk Factors for Gastroschisis and Omphalocele in

Humans : a review of the Literature. Pediatr Surg Int. 26;2010:1136-46.

George W Holcomb III, Patrick J Murphy, Daniel J Ostile, Ascraft’s Pediatrics Surgery,

Sixth Edition,2014 ;675-720

Jay L. Grosfeld, James A. O’Neil, Jr, Eric W. Fonkslsurd, Arnold G Coran, Pediatric

Surgery, Sixth Edition, Volume 3, 2006, 1157 – 1170.

Lidia Chircor, Rodica Mehedinti, Mihaela Hincu, Risk factors related to omphaloceleand

gastroschisis

Moh. Adjie Pratignyo, Dr. SpBA, Bedah Saluran Cerna Anak, 2011, 150-164

Riboh J, Abrajano CT, Garber K, et al. Outcomes of Sutureless Gastroschisis Closure.

Journal of Pediatr Surg. 44. 2009: 1947-50.

Sandeep Vilasrao Pakhale, Prafulla Sahebrao Dakhane, A Rare AAnterior Abdominal Wall:

Omphalocele – A Case Report, 2015

Sjamsuhidajat, de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3, 2012 ; 615-617


Vincent E. Mortellaro, Shawn D. St. Peter, Frankie B. Fike, Saleem Islam. s.l. Review of the
evidence on the closure of abdominal wall defects. : Pediatric Surgery International,
2010.

Zahouani T, Mendez MD. Omphalocele. StatPearls. NCBI. 2019

Marshall J, Salemi JL, Tanner JP, et al. Prevalence, correlates, and outcomes of omphalocele
in the united states, 1995-2005. Obstet Gynecol. 2015; 126(2): 284-93.

Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2018.
Diunduh dari: www. depkes.go.id

Saxena AK, Raicevic M. Predictors of mortality in neonates with giant omphalocele. Minerva
pediatric. 2018 Jun. 70(31) 289-95

Anda mungkin juga menyukai