Disusun Oleh :
JURUSAN KEBIDANAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN
SURAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal & Neonatal.
Adapun judul dari makalah ini adalah Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Kala III &
Kala IV.
Penulis menyadari adanya kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran kepada pembaca untuk menyempurnakan makalah ini.
Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kematian maternal adalah kematian ibu sewaktu hamil atau dalam waktu 42
hari sesudah berakhirnya kehamilan, tidak bergantung pada tempat atau usia
kehamilan.indikator yang umum digunakan kematian ibu adalah angka kematian ibu
(Maternal mortality ratio) yaitu jumlah kematian ibu dalam 100.000 kelahiran hidup.
Secara global 80% kematian ibu tergolong pada kematian ibu langsung. Pola
penyebab langsung dimana-mana sama, yaitu perdarahan 25% (biasanya perdarahan
pascapersalinan), sepsis 15%, hipertensi dalam kehamilan 12%, partus macet 8%
komplikasi abortus tidak aman 13%, dan sebab-sebab lain 8% (Prawirohardjo, 2009).
Dilihat dari beberapa penyebab kematian maternal yang terjadi, diperlukan
pelayanan kesehatan yang diarahkan untuk mewujudkan kesehatan keluarga.
Pelayanan kebidanan adalah pelayanan yang dilakukan oleh bidan sesuai kewenangan
yang ditentukan dengan maksud meningkatkan kesehatan ibu dan anak dalam rangka
tercapainya keluarga berkualitas, bahagia, dan sejahtera. Sasaran pelayanan
kebidanan adalah individu, keluarga, dan masyarakat dalam upaya peningkatan
pencegahan, penyembuhan, dan pemulihan.(Yulifah, 2013).
Periode pasca persalinan meliputi masa transisi kritis bagi ibu, bayi, dan
keluarga secara fisiologis, emosional, dan sosial. Baik di negara maju atau
berkembang perhatian utama bagi ibu dan bayi terlalu tertuju pada masa kehamilan
dan persalinan, sementara keadaan yang sebenarnya merupakan kebalikannya, oleh
karena resiko kesakitan dan kematian ibu dan bayi sering terjadi pada masa pasca
persalinan. Rendahnya kualitas pelayanan juga menyebabkan rendahnya keberhasilan
promosi kesehatan dan deteksi dini serta penatalaksanaan yang adekuat terhadap
masalah dan enyakit yang timbul pada masa paska persalinan (Prawirohardjo, 2009).
B. Tujuan
1. Apakah yang dimaksud dengan kegawatdaruratan kala III dan kala IV?
2. Apakah penyebab kegawatdaruratan kala III dan kala IV?
3. Apa saja kegawatdaruratan kala III dan kala IV, serta bagaimana
penatalaksanaannya?
4. Bagaimana cara pencegahan kegawatdaruratan kala III dan kala IV?
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN
1. Letak Sungsang
a. Pengertian
b. Klasifikasi
7. Plasenta previa. Plasenta yang menutupi jalan lahir dapat mengurangi luas
ruangan dalam rahim.
8. Panggul sempit. Sempitnya ruang panggul mendorong janin mengubah
posisinya menjadi sungsang (Sarwono, 2007; h. 611).
9. Multiparitas. Pernah melahirkan anak sebelumnya sehingga rahim elastis
dan membuat janin berpeluang untuk berputar (Sarwono, 2007; h. 611).
10. Bobot janin relatif rendah. Hal ini mengakibatkan janin bebas bergerak
(Sujiyatini dkk, 2011:119).
11. Rahim yang sangat elastis. Hal ini biasanya terjadi karena ibu telah
melahirkan beberapa anak sebelumnya, sehingga rahim sangat elastis dan
membuat janin berpeluang besar untuk berputar hingga minggu ke-37 dan
seterusnya (Sujiyatini dkk, 2011; h. 119).
d. Patofisiologi
Menurut Sarwono (2007; h.611) letak janin dalam uterus bergantung pada
proses adaptasi janin terhadap ruangan di dalam uterus. Pada kehamilan sampai
kurang lebih 32 minggu, jumlah air ketuban relatif lebih banyak, sehingga
memungkinkan janin bergerak dengan leluasa. Dengan demikian janin dapat
menempatkan diri dalam presentasi kepala, letak sungsang atau letak lintang.
Pada kehamilan triwulan terakhir janin tumbuh dengan cepat dan jumlah air
ketuban relatif berkurang. Karena bokong dengan kedua tungkai yang terlipat
lebih besar dari pada kepala, maka bokong dipaksa untuk menempati ruang yang
lebih luas di fundus uteri, sedangkan kepala berada dalam ruangan yang lebih
kecil di segmen bawah uterus.
e. Prognosis
1. Bagi ibu : Kemungkinan robekan pada perineum lebih besar, ketuban pecah
lebih cepat, partus lama, sehingga mudah terkena infeksi
2. Bagi bayi : Prognosa tidak begitu baik, karena adanya gangguan peredaran
darah plasenta setelah bokong lahir dan setelah perut lahir, tali pusat terjapit
antara kepala dan panggul, sehingga bayi bisa mengalami asfiksia
f. Penatalaksanaan
1) Persalinan pervaginam
a) Spontan yaitu persalinan yang terjadi sepenuhnya merupakan hal yang
terjadi secara spontan dengan tenaga ibu dan kontraksi uterus tanpa
dilakukan tarikan atau manipulasi sedikitpun selain memegang janin yang
dilahirkan. Jenis persalinan ini disebut persalinan dengan cara bracht.
c) Ekstraksi total yaitu persalinan yang terjadi dengan cara seluruh tubuh
janin di ekstraksi oleh tenaga penolong persalinan atau dokter kebidanan.
2. Persalinan Terlantar
a. Pengertian
Partus lama adalah berlangsung lebih dari 24 jam yang dinyatakan lama jika
terjadi keterlambatan 2-3 jam di belakang partograf normal. (David, 2008
hal.169).
b. Etiologi
Menurut Sarwono (2002) penyebab persalinan lama digolongkan menjadi 3 :
Kelainan Tenaga (His), Kelainan Janin, Kelainan Jalan Lahir.
1) Kelainan Tenaga (His)
His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan
kerintangan pada jalan lahir yang ladzim terdapat pada setiap persalinan,
tidak dapat diatasi sehingga persalinan mengalami hambatan atau
kemacetan.
2) Kelainan Janin
Persalinan dapat mengalami gangguan atau kemacetan karena kelainan
dalam letak atau bentuk janin (janin besar atau ada kelainan kongenital
janin).
3) Kelainan Jalan Lahir
Kelainan dalam bentuk atau ukuran jalan lahir bias menghalangi kemajuan
persalinan atau menyebabkan kemacetan.
c) Jika tidak ada ketuban yang mengalir setelah selaput ketuban pecah,
pertimbangkan adanya indikasi penurunan jumlah air ketuban yang
mungkin menyebabkan gawat janin.
(2) Berikan cairan baik secara oral atau parenteral dan upayakan
buang air kecil (hanya perlu katerisasi bila memang diperlukan).
(Saifuddin, 2006 hal. 184-185).
d.Penatalaksanaan
1) Penanganan Umum
a) Nilai cepat keadaan umum wanita hamil tersebut termasuk tanda-tanda
vital tingkat hidrasinya.
b) Periksa denyut jantung janin selama atau segera sesudah his. Hitung
frekuensinya sekurang-kurangnya sekali dalam 30 menit selama fase
aktif dan tiap 5 menit selama kala II.
3. Distosia Bahu
a. Pengertian
Distosia bahu merupakan kondisi kegawatdaruratan obstetri pada
persalinan pervaginam dimana bahu janin gagal lahir secara spontan setelah
lahirnya kepala.
Distosia bahu adalah tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat dilahirkan
setelah kepala janin dilahirkan. Selain itu distosia bahu juga dapat di
defenisikan sebagai ketidakmampuan melahirkan bahu dengan mekanisme
atau cara biasa.
b. Faktor Resiko Terjadinya Distosia Bahu
Kelainan bentuk panggul, diabetes gestasional, kehamilan postmature,
riwayat persalinan dengan distosia bahu dan ibu yang pendek.
1. Maternal
a) Kelainan anatomi panggul
b) Diabetes Gestational
c) Kehamilan postmatur
d) Riwayat distosia bahu
e) Tubuh ibu pendek
2. Fetal : Macrosomia
3. Masalah persalinan
a) Assisted vaginal delivery (forceps atau vacum)
b) “Protracted active phase” pada kala I persalinan
c) “Protracted” pada kala II persalinan
Distosia bahu sering terjadi pada persalinan dengan tindakan cunam
tengah atau pada gangguan persalinan kala I dan atau kala II yang memanjang.
4. Ruptur Uteri
a. Pengertian
Ruptur uteri merupakan komplikasi gawat dalam bidang obstetri yang
memerlukan tindakan dan penanganan serius. (Manuaba, 1996;161).
Ruptur uterus adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau
persalinan pada saat umur kehamilan lebih dari 28 minggu.
Ruptur uteri adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi
hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum atau hubungan
kedua rongga masih dibatasi oleh peritoneum viserale (Sarwono, 2010).
b. Klasifikasi
1) Menurut keadaan robek
a) Ruptur uteri inkomplit (subperitoneal), yaitu ruptur uteri yang hanya
bagian dinding uterus yang ribek sedangkan bagian mukosa (peritoneum)
masih utuh.
b) Ruptur uteri komplit (transperitoneal), yaitu ruptur uteri dinding dan
mukosanya robek sehingga dapat berada di rongga perut.
2) Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan menjadi:
a) Korpus Uteri, terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi,
seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.
b) Segmen Bawah Rahim, terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak
maju). SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah
ruptur uteri.
c) Serviks Uteri, terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versi
dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
d) Kolpoporeksis-Kolporeksis, robekan – robekan di antara serviks dan
vagina.
3) Menurut penyebab terjadinya, ruptur uteri di bagi menjadi:
a) Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil:
(1) Pembedahan pada miometrium: seksio sesaria atau histerotomi,
histerorafia, Miomektomi yang sampai menembus seluruh ketebalan
otot uterus, reseksi pada kornua uterus atau bagian interstisial,
metroplasti.
(2) Trauma uterus koinsidental: instrumentasi sendok kuret atau sonde
pada penanganan abortus, trauma tumpul atau tajam seperti pisau atau
palu, ruptur tanpa gejala pada kehamilan sebelumnya (silent rupture in
previous pregnancy).
(3) Kelainan bawaan: kehamilan dalam bagian rahim (born) yang tidak
berkembang.
b) Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan:
(1) Sebelum kelahiran anak: his spontan yang kuat secara terus menerus,
pemakaian oksitosin atau prostaglandin untuk meransang persalinan,
instilasi cairan ke dalam kantong gestasi atau ruang amnion seperti
larutan garam fisiologik atau prostaglandin, perforasi dengan kateter
pengukur tekanan intrauterin, trauma luar tumpu atau tajam, versi luar,
pembesaran rrahim yang berlebihan misalnya hidramnion dan
kehamilan ganda.
(2) Dalam periode intrapartum: versi ekstraksi, ekstraksi cunam yang
sukar, ekstraksi bokong, anomali jantung yang menyebabkan distensi
yang berlebihan pada segmen bawah rahim, teanan yang kuat pada
uterus saat melahirkan, kesulitan dlam melakukan manual plasenta.
(3) Cacat rahim yang didapat: plasenta inkreta atau parkreta, neoplasia
trofoblas gastasional, adenomiosis, retroversio uterus gravidus
inkarserata.
4) Menurut etiologinya, ruptur uteri dibedakan menjadi:
a) Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas SC,
miomektomi, perforasi waktu kuretase, histerorafia, pelepasan plasenta
secara manual. Dapat juga pada graviditas pada kornu yang rudimenter
dan graviditas interstisialis, kelainan kongenital dari uterus seperti
hipoplasia uteri dan uterus bikornus, penyakit pada rahim, misalnya mola
destruens, adenomiosis dan lain-lain atau pada gemelli dan hidramnion
dimana dinding rahim tipis dan regang.
b) Karena peregangan yang luar biasa dari Rahim, misalnya pada panggul
sempit atau kelainan bentuk panggul, janin besar seperti janin penderita
DM, hidrops fetalis, postmaturitas dan grandemultipara. Juga dapat karena
kelainan kongenital dari janin : Hidrosefalus, monstrum, torakofagus,
anensefalus dan shoulder dystocia; kelainan letak janin: letak lintang dan
presentasi rangkap; atau malposisi dari kepala : letak defleksi, letak tulang
ubun-ubun dan putar paksi salah. Selain itu karena adanya tumor pada
jalan lahir; rigid cervix: conglumeratio cervicis, hanging cervix,
retrofleksia uteri gravida dengan sakulasi; grandemultipara dengan perut
gantung (pendulum); atau juga pimpinan partus yang salah.
c) Ruptur Uteri Violenta (Traumatika), karena tindakan dan trauma lain
seperti:
(1) Ekstraksi Forsep
(2) Versi dan ekstraksi
(3) Embriotomi
(4) Versi Braxton Hicks
(5) Sindroma tolakan (Pushing syndrome)
(6) Manual plasenta
(7) Kuretase
(8) Ekspresi Kristeller atau Crede
(9) Pemberian Pitosin tanpa indikasi dan pengawasan
(10) Trauma tumpul dan tajam dari luar.
5) Komplikasi
a) Gawat janin
b) Syok hipovolemik, terjadi kerena perdarahan yang hebat dan pasien tidak
segera mendapat infus cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya
dalam waktu cepat digantikan dengan tranfusi darah.
c) Sepsis, infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur
uteri telah terjadi sebelum tiba di Rumah Sakit dan telah mengalami
berbagai manipulasi termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam
keadaan yang demikian pasien tidak segera memperoleh terapi antibiotika
yang sesuai, hampir pasti pasien akan menderita peritonitis yang luas dan
menjadi sepsis pasca bedah.
d) Kecacatan dan morbiditas.
(1) Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus belum punya
anak hidup akan meninggalkan sisa trauma psikologis yang berat dan
mendalam.
(2) Kematian maternal /perinatal yang menimpa sebuah keluarga merupakan
komplikasi sosial yang sulit mengatasinya.
Jika ruptur uteri yang mengancam dibiarkan terus maka akan terjadi gejala
ruptur uteri yang sebenarnya yaitu:
Tindakan aman yang akan dipilih, tergantung dari beberapa faktor, antara lain:
1) Keadaan umum
2) Jenis ruptur, inkompleta atau kompleta
3) Jenis luka robekan
4) Tempat luka
5) Perdarahan dari luka
6) Umur dan jumlah anak hidup
7) Kemampuan dan keterampilan penolong.
b. Etiologi
1) Multiparitas dan Usia lebih dari 30 tahun
Shock yang dalam yang terjadi secara tiba – tiba tanpa diduga pada wanita
yang proses persalinanya sulit atau baru saja menyelesaikan persalinan yang
sulit . Khususnya kalau wanita itu multipara berusia lanjut dengan janin yang
amat besar, mungkin sudah meningal dengan meconium dalam cairan ketuban,
harus menimbulkan kecurigaan, pada kemungkinan ini (emboli cairan
ketuban).
2) Janin besar intrauteri
Menyebabkan rupture uteri saat persalinan, sehingga cairan ketubanpun dapat
masuk melalui pembuluh darah.
3) Kematian janin intrauteri
Juga akan menyebabkan perdarahan didalam, sehingga kemungkinan besar
akan ketuban pecah dan memasuki pembuluh darah ibu, dan akan menyumbat
aliran darah ibu, sehingga lama kelamaan ibu akan mengalami gangguan
pernapasan karena cairan ketuban menyumbat aliran ke paru, yang lama
kelamaan akan menyumbat aliran darah ke jantung, dengan ini bila tidak
ditangani dengan segera dapat menyebabkan iskemik bahkan kematian
mendadak.
4) Menconium dalam cairan ketuban
5) Kontraksi uterus yang kuat
Kontraksi uterus yang sangat kuat dapat memungkinkan terjadinya laserasi
atau rupture uteri, hal ini juga menggambarkan pembukaan vena, dengan
pembukaan vena, maka cairan ketuban dengan mudah masuk ke pembuluh
darah ibu, yang nantinya akan menyumbat aliran darah, yang mengakibatkan
hipoksia, dispnue dan akan terjadi gangguan pola pernapasan pada ibu.
c. Faktor Risiko
1) Meningkatnya usia ibu
3) Adanya menconeum
4) Laserasi serviks
7) Persalinan singkat
8) Plasenta akreta
e. Patofisiologi
Perjalanan cairan amnion memasuki sirkulasi ibu tidak jelas, mungkin melalui
laserasi pada vena endoservikalis selama diatasi serviks, sinus vena subplasenta, dan
laserasi pada segmen uterus bagian bawah. Kemungkinan saat persalinan, selaput
ketuban pecah dan pembuluh darah ibu (terutama vena) terbuka. Akibat tekanan yang
tinggi, antara lain karena rasa mulas yang luar biasa, air ketuban beserta
komponennya berkemungkinan masuk ke dalam sirkulasi darah. Walaupun cairan
amnion dapat masuk sirkulasi darah tanpa mengakibatkan masalah tapi pada beberapa
ibu dapat terjadi respon inflamasi yang mengakibatkan kolaps cepat yang sama
dengan syok anafilaksi atau syok sepsis. Selain itu, jika air ketuban tadi dapat
menyumbat pembuluh darah di paru-paru ibu dan sumbatan di paru-paru meluas, lama
kelamaan bisa menyumbat aliran darah ke jantung. Akibatnya, timbul dua gangguan
sekaligus, yaitu pada jantung dan paru-paru. Pada fase I, akibat dari menumpuknya air
ketuban di paru-paru terjadi vasospasme arteri koroner dan arteri pulmonalis.
Sehingga menyebabkan aliran darah ke jantung kiri berkurang dan curah jantung
menurun akibat iskemia myocardium. Mengakibatkan gagal jantung kiri dan
gangguan pernafasan. Perempuan yang selamat dari peristiwa ini mungkin memasuki
fase II. Ini adalah fase perdarahan yang ditandai dengan pendarahan besar dengan
rahim atony dan Coagulation Intaravakuler Diseminata ( DIC ). Masalah koagulasi
sekunder mempengaruhi sekitar 40% ibu yang bertahan hidup dalam kejadian awal.
Dalam hal ini masih belum jelas cara cairan amnion mencetuskan pembekuan.
Kemungkinan terjadi akibat dari embolisme air ketuban atau kontaminasi dengan
mekonium atau sel-sel gepeng menginduksi koagulasi intravaskuler.
f. Penatalaksanaan
Walaupun pada awal perjalanan klinis emboli cairan amnion terjadi hipertensi
sistemik dan pulmonal, fase ini bersifat sementara. Wanita yang dapat bertahan hidup
setelah menjakani resusitasi jantung paru seyogyanya mendapat terapi yang ditujukan
untuk oksigenasi dan membantu miokardium yang mengalami kegagalan. Tindakan
yang menunjang sirkulasi serta pemberian darah dan komponen darah sangat penting
dikerjakan. Belum ada data yang menyatakan bahwa suatu intervensi yang dapat
memperbaiki prognosis ibu pada emboli cairan amnion. Wanita yang belum
melahirkan dan mengalami henti jantung harus dipertimbangkan untuk melakukan
tindakan seksio caesaria perimortem darurat sebagai upaya menyelamatkan janin.
Namun, bagi ibu yang hemodinamikanya tidak stabil, tetapi belum mengalami henti
jantung, pengambilan keputusan yang seperti itu menjadi semakin rumit.
11) Untuk memperbaiki defek koagulasi dapat digunakan plasma beku segar dan
sedian trombosit.
13) Darah segar diberikan untuk memerangi kekurangan darah; perlu diperhatikan
agar tidak menimbulkan pembebanan berlebihan dalam sirkulasi darah.
g. Komplikasi
1) Edema paru yang luas dan akhirnya mengakibatkan kegagalan dan payah jantung
kanan.
2) iskemik
6. Subcorionik Hematoma
a. Pengertian
Subkorionik atau biasa disebut hematoma subkorionik (subchorionic
hematoma) adalah salah satu kondisi pendarahan yang mungkin terjadi selama
kehamilan. Istilah ini mungkin agak asing di telinga, dan dapat dialami pada sekitar 1
persen dari seluruh kehamilan yang terjadi.
Pendarahan subkorionik adalah akumulasi darah yang terdapat didalam lipatan
chorion (membran luar janin, disebelah plasenta) atau didalam lapisan plasenta itu
sendiri. Ukuran hematoma subkorionik bisa bervariasi, dari gumpalan kecil hingga
gumpalan yang besar. Hematoma subkorionik kecil lebih sering terjadi dan
mengakibatkan bercak. Tapi hematoma berukuran besar bisa menyebabkan
pendarahan yang berlebihan.
b. Penyebab
c. Gejala
Pendarahan vagina merupakan satu-satunya gejala hematoma subkorionik. bisa
mengalami bercak atau pendarahan hebat, tapi bisa jadi tidak memiliki gejalanya
sama sekali. Pendarahan subkorionik dapat terdeteksi jika melakukan USG rutin.
Meskipun sebagian besar hematoma subkorionik menghilang dengan sendirinya,
namun ada kemungkinan sumbatan darah terjadi diantara plasenta dan dinding rahim,
yang akan menyebabkan keguguran.
d. Resiko Subcorionik Hematoma
Sebagian besar besar hematoma subkorionik menghilang dengan sendirinya tanpa
perawatan, dan tidak menyebabkan komplikasi. Namun dalam kasus yang jarang
terjadi, hematoma subkorionik dapat menyebabkan sejumlah masalah:
1) Hematoma subkorionik dapat menyebabkan plasenta terlepas dari dinding
rahim, yang meningkatkan risiko kelahiran prematur atau keguguran.
2) Hematoma subkorionik meningkatkan risiko abrupsio plasenta, atau lepasnya
plasenta sebelum waktunya. Pelepasan plasenta adalah komplikasi kehamilan
yang serius. Hematoma subkorionik bukanlah penyebab langsung terjadinya
abrupsio plasenta. Tapi karena pendarahan subkorionik melibatkan plasenta,
hal itu dapat mempengaruhi kesehatan plasenta dan perkembangan janin.
Namun hal ini jarang terjadi.
BAB III
PEMBAHASAN
Faktor risiko utama dari distosia bahu meliputi faktor antepartum dan intrapartum.
Faktor antepartum meliputi usia ibu, riwayat distosia bahu sebelumnya, diabetes atau
obesitas pada ibu sebelum hamil, makrosomia, diabetes gestasional dan peningkatan
berat badan berlebih selama hamil.Usia ibu lebih dari 35 tahun, IMT lebih dari 30 kg/m2,
dan peningkatan BB lebih dari 20 kg selama hamil merupakan faktor antepartum yang
rutin ditemukan.Faktor intrapartum meliputi disproporsi sefalopelvik relatif, persalinan
macet dan persalinan dengan bantuan alat.Pengukuran antropometrik fetal dengan USG
belum dapat mencegah risiko terjadinya distosia bahu. Namun, diduga ukuran diameter
abdomen (abdominal diameter/AD) - diameter biparietal (biparietal diameter/BPD) ≥26
mm diduga dapat menjadi faktor penting dalam deteksi distosia bahu. Meskipun
makrosomia merupakan faktor risiko distosia bahu yang telah diketahui, namun justru
mayoritas kasus distosia bahu terjadi pada bayi yang non-makrosomi. Batas berat lahir
yang diprediksi dapat mengalami distosia bahu adalah >3800-4200 g.
Antepartum Intrapartum
• Riwayat distosia bahu sebelumnya • Kala I persalinan memanjang
• Usia ibu>35 tahun • Secondary arrest
• Makrosomia • Kala II persalinan memanjang
• Diabetes (melitus atau gestasional) • Augmentasi oksitosin
Persalinan pervaginam yang ditolong
• IMT >30kg/m2 • dengan
• Disporporsi sefalopelvik relatif instrumen (forceps atau vakum)
(Tabel 2). Komplikasi pada janin yang berkaitan dengan distosia bahu meliputi
cedera pleksus brakialis, fraktur os humerus dan klavikula, ensefalopati hipoksik-iskemik
dan bahkan kematian perinatal.
Ketika didiagnosis rupture uteri, manajemen yang cepat adalah intinya. Perlu
dilakukan bidan sebelum melakukan dua alternatif (seperti tamponade ballon
intrauterine, embolisasi arteri rahim dan jahitan kompresi) untuk meminimalkan
kehilangan darah dan melestarikan rahim. Pasien jika mengalami syok klinis
memerlukan resusitasi segera dan intervensi bedah. Setelah situasi dievaluasi
sepenuhnya, dokter kandungan kemudian perlu memutuskan apakah ruptur itu bisa
diperbaiki dengan operasi atau diperlukan histerektomi. Pilihan prosedur pembedahan
juga tergantung pada jenis, lokasi, dan tingkat robek uterus. Beberapa penulis
menganggap histerektomi subtotal atau total sebagai prosedur pilihan; Sementara, yang
lain merekomendasikan agar perbaikan bedah adalah perawatan segera yang lebih
aman.Perbaikan yang berhasil dicapai pada 83% kasus. Namun, perbaikan rahim pecah
meningkatkan kemungkinan kambuhnya ruptur pada kehamilan berikutnya, dengan
kejadian yang dilaporkan sebesar 4,3-19%. Oleh karena itu, persalinan sesar elektif
berulang harus dilakukan pada kelompok pasien ini. Konseling ekstensif mengenai
kehamilan di masa depan dan komplikasi yang mungkin terkait harus selalu dilakukan
dengan pasien (Maruti et al, 2016).
Penatalaksanaan rahim yang pecah dimulai dengan resusitasi dengan cairan
kristaloid, pemberian darah intravena, dekompresi lambung dengan pemasangan tabung
nasogastrik, kateterisasi urin, dan pengobatan dengan antibiotik spektrum luas.
Laparotomi adalah pengobatan standar pada semua kasus rahim yang pecah dan pada
kasus di mana ada kekhawatiran klinis tentang ruptur yang akan terjadi karena nyeri
uterus yang ekstrem, kontraksi tetanik, dan riwayat persalinan yang berkepanjangan.
Keputusan manajemen yang pasti dibuat berdasarkan keinginan pasien untuk kesuburan
di masa depan, jenis anatomi ruptur, lama pecahnya, dan ada tidaknya komplikasi,
seperti infeksi. Dengan demikian, manajemen dapat berkisar dari perbaikan dengan atau
tanpa ligasi tuba hingga histerektomi abdomen total. Risiko atonia uteri persisten adalah
faktor utama dalam keputusan apakah akan melanjutkan histerektomi daripada perbaikan
rahim. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh luas dan lokasi ruptur dan status klinis pasien
(Cabot et al, 2012).
Manajemen pasca operasi dalam kasus rumit seperti ini sulit dan sama pentingnya
dengan pembedahan; Ini termasuk transfusi, istirahat kandung kemih, perawatan luka,
dan pemberian antibiotik. Morbiditas dan mortalitas tetap tinggi pasca operasi, apakah
histerektomi atau perbaikan lengkap dilakukan.14-16 Setelah diperbaiki, risiko ruptur
ruptur gravid lain tinggi; Oleh karena itu, perbaikan ruptur uterus pada pasien di Ethiopia
hampir selalu mencakup ligasi tuba bilateral. Di hampir semua negara lain, keputusan
untuk melakukan ligasi tuba hanya dilakukan dengan persetujuan pasien dan keluarga
(Cabot et al, 2012).
Operasi sesar merupakan penanganan utama pada rupture uteri. Operasi yang ada
adalah perbaikan rahim di satu sisi dan perbaikan rahim dengan Bilateral Tubal Ligation
(BTL) yaitu sterilisasi permanen dengan pembedahan yang memotong dan mengikat tuba
falopi. Prosedur ini dapat dilakukan pada saat yang sama dengan operasi caesar, yang
menghilangkan kebutuhan untuk operasi kedua, atau enam minggu atau lebih setelah
persalinan vaginal dan Histerektomi (subtotal atau total) di sisi lain (Eze et al, 2017).
Penatalaksanaan dari ruptur uteri adalah (Sari, 2015):
a. Perbaikan keadaan umum
1) Atasi syok dengan pemberian cairan dan darah
2) Berikan antibiotika
3) Oksigen
b. Laparotomi
1) Histerektomi, histerektomi dilakukan, jika:
a) Fungsi reproduksi ibu tidak diharapkan lagi
b) Kondisi buruk yang membahayakan ibu
2) Reparasi uterus (histerorafi), histerorafi dilakukan jika:
a) Masih mengharapkan fungsi reproduksinya
b) Kondisi klinis ibu stabil
c) Ruptur tidak berkomplikasi.
A. Kesimpulan
Kegawatdaruratan adalah mencakup diagnosis dan tindakan terhadap semua pasien
yang memerlukan perawatan yang tidak direncnakan dan mendadak atau terhadap pasien
dengan penyakit atau cidera akut untuk menekan angka kesakitan dan kematian pasien.
Kegawatdaruratan pada kala III dan kala IV terdapat beberapa macam kasus yang
dapat mengancam ibu dan bayi seperti letak sungsang, persalinan terlantar, distosia bahu,
ruptur uteri, emboli air ketuban, hematoma. Kegawatdaruatan dapat disebabkan oleh
riwayat persalinan ibu, multiparitas, kelainan tenaga (His), kelainan janin, kelainan jalan
lahir
Dilihat dari beberapa penyebab kematian maternal yang terjadi, diperlukan pelayanan
kesehatan yang diarahkan untuk mewujudkan kesehatan keluarga. Pelayanan kebidanan
adalah pelayanan yang dilakukan oleh bidan sesuai kewenangan yang ditentukan dengan
maksud meningkatkan kesehatan ibu dan anak dalam rangka tercapainya keluarga
berkualitas, bahagia, dan sejahtera. Sasaran pelayanan kebidanan adalah individu,
keluarga, dan masyarakat dalam upaya peningkatan pencegahan, penyembuhan, dan
pemulihan
B. Saran
Adapun saran yang diajukan dalam makalah ini, yaitu:
Dalam mempelajari asuhan kegawatdaruratan maternal dan neonatal, seorang calon bidan
diharapkan mengetahui macam kegawatdaruratan maternal dan neonatal, sehingga
mampu memberikan asuhan neonatus dengan baik dan sesuai dengan kewenangan
profesi.
DAFTAR PUSTAKA
Kuswanti, Ina. (2013). Askeb II Persalinan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Manuaba IBG,
Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Fisiologi persalinan. In: Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta:
EGC, 2007; p. 349.
Wiknjosastro H. Letak sungsang. In: Ilmu Kebidanan (4th ed). Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2009; p. 588
Wiknjosastro H. Letak sungsang. In: Ilmu Bedah Kebidann (1st ed). Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005; p. 104-122
Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal. Editor : Abdul Bari
Saifuddin, Gulardi Hanifa Wiknjosastro, Biran Affandi, Djoko Waspodo. Ed. I, Cet. 5,
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2003.
Cabot, R.C.. Harris, N.L., Rosenberg, E.S., dan Shepard, J.O. Case 34-2012. Journal Doctor
New England. Boston (367): 1839-1845
Eze, J.N., Okechukwu, B.A., Osaheni, L.L., Emmanuel, O.N., Uzoma, M.A., dan Johnson,
A.O. 2017. Evaluation of Obstetricians, Surgical Decision Making in The Management of
Uterine Rupture. BMC Pregnancy and Childbirth 17(179): 1-8
Maruti, Sinha., Ridhima, G., Pushpender, G., Rekha, R., Ramanjeet, K., dan Rahil, Singh.
2016. Uterine Rupture: A Seven Year Review at a Tertiary Care ospital in New Delhi,
India. Indian Journal of Community Medicine 41(1): 45-49
Sari, Ratna Dewi Puspita. 2015. Ruptur Uteri. Juke Unila 5(9): 110-114
UNIV.1984.OBSTESTRI PATOLOGI.Bandung:Elstar Offert Bandung
Oxom,Harry & R.Forte,William.2003.ILMU KEBIDANAN PATOLOGI DAN FISIOLOGI
PERSALINAN.Jakarta:Medica
Mitayani.2009.Asuhan Keperawatan Maternitas.Jakarta:Medica
Macdonald Grant,Cuningham.1995.Obstetri Williams Edisi 18.Jakarta:EGC
Gary Gunningham F.2006.Obstetri Williams Edisi.21 Vol1.Jakarta:EGC
LATIHAN SOAL
Ny. C umur 22 tahun G1P0A0, Hamil 40 minggu, datang ke RS dengan riwayat Diabetes
Mellitus. Saat ini Ny.C sedang dalam proses persalinan kala II. Setelah kepala janin lahir,
tidak terjadi putaran paksi luar.
1. Faktor predisposisi dari janin yang dapat menyebabkan kasus diatas adalah...
a. Mikrosomia
b. Makrosomia
c. Hidrosepalus
d. Anensephalus
e. CPD
2. Posisi yang paling tepat untuk melahirkan bayi dari kasus diatas adalah...
a. Litotomi
b. Mc. Robert
c. Semi fowler
d. Mc. Donald
e. Dorsal recumbent
3. Apabila penarikan kepala terlalu curam ke bawah, risiko yang dapat terjadi pada janin
Ny. F adalah......
a. Brachial palsy
b. Cerebral Palsy
c. Fraktur Klavikula
d. Fraktur toraks
e. Fraktur servika
Ny SF berusia 23 tahun, GII PI A0, umur kehamilan 37 minggu, bersalin ditolong Bidan
Mawar. Setelah kepala bayi lahir, terjadi kesulitan dalam melahirkan bahu. Taksiran berat
janin Ny S 4200 gr.
4. Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi Ny S apabila terjadi kesalahan dalam
melahirkan bahu ….
a. Torsi Servical
b. Fraktur Skapula
c. Fraktur Servical
d. Fraktur Klavikula
e. Fraktur Mandibula
5. Dari pemeriksaan Leopold bayi, diperoleh hasil: Leopold 1 di fundus uteri tidak
teraba massa, Leopold 2 massa bulat keras di kanan, dan bulat lunak di kiri, Leopold 3
terasa massa kecil lunak, dan Leopold 4 menunjukkan sebagian fetus sudah masuk ke
rongga pelvis, disebut apa presentasi tersebut?
a. Frank-breech presentation
b. Complete breech presentation
c. Flooting breech presentation
d. Shoulder presentation
e. Knee presentation
RUPTUR UTERI
1. Klasifikasi ruptur uteri menurut lokasi terjadinya yang benar dibawah ini adalah:
1. Korpus Uteri
2. Servik uteri
3. Kalpoporeksis
4. Ruptur uteri durante
Jawaban A ( 1,2,3 Benar)
Kasus
Ny. X usia G5P004 umur kehamilan 35 minggu datang ke BPS, kemudian didapatkan
hasil pemeriksaan ibu mengalami sianosis, gangguan nafas (sesak), dan edema paru.
dari hasil pemeriksaan ibu tersebut mengalami…..
a. Emboli paru
b.Emboli air ketuban
c.Retensio plasenta
d.Polihidramnion
e.oligohidramnion
PERTANYAAN LABIOSKIZIS
1. Seorang anak usia 6 tahun mengalami celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan
memanjang hingga ke hidungnya. Hal ini menunjukkan klasifikasi bibir sumbing :
a. Unilateral incomplete
b. Unilateral complete
c. Bilateral complete
d. Labiopalatoskizis
Jawaban : C
2. Seorang pasien berumur 4 tahun dating ke rumah sakit dengan memiliki kondisi
dimana terdapatnya celah pada bibir atas diantara mulut dan hidungnya. Kelainan ini
dapat berupa takik kecil pada pada bagian bibir yang berwaena sampai pada
pemisahan komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir sampai ke batas
bawah hidung. Kelainan ini dinamakan :
a. Palatoskizis
b. Labioskizis
c. Lingguaskizis
d. Filtrumskizis
Jawaban : B
3. Jelaskan kenapa etiologi atresia esophagus karena kegagalan fase embryonal ?
Jawaban : karena terjadi kegagalan didalam proses pembuatan organ esophagus dan
lambung saat fase embryonal, sehingga janin lahir cacat pada esophagus (atresia
esophagus).
4. Mengapa polihidramnion berpengaruh pada atresia esophagus ?
Jawaban : motilitas dari esophagus selalu dipengaruhi pada atresia esophagus.
Gangguan peristaltic esophagus biasanya paling sering dialami pada bagian
esophagus distal. Janin dengan atresia tidak dapat dengan efektif menelan cairan
amnion. Sedangkan pada atresia esophagus dengan fistula trakeo esophageal distal,
cairan amnion masuk melalui trakea kedalam usus. Polihidramnion bias terjadi akibat
perubahan dari sirkulasi amnion pada janin.