Disusun oleh
MUHAMMAD NOVAL: (21089064)
MUHAMMAD TAUFIQ: (21089188)
DOSEN PENGAMPU:
Prof. Dr. Gusril, M.Pd
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG......................................................................................................
1.2 RUMUSANMASALAH…………………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
(1) tata kelola sistem pembinaan olahraga melalui jalur pendidikan, seperti PPLP 133,
PPLM 21 dan sekolah khusus olahraga/SKO empat yang belum terstandardisasi, antara lain
disebabkan oleh karena rendahnya kualitas tenaga keolahragaan dalam menjalankan
pembibitan dan terbatasnya prasarana dan sarana; (2) belum membudayanya olahraga di
masyarakat secara luas, dimana angka partisipasi anak usia 10 tahun ke atas berada di kisaran
26,9 % dan nilai indeks pembangunan olahraga dalam bentuk SDI tergolong rendah; (3)
lemahnya upaya meningkatkan prestasi olahraga nasional dan internasional, antara lain
disebabkan oleh karena: sistem pembibitan yang belum berjalan optimal, penerapan IPTEK
dan kesehatan olahraga yang belum menjangkau dan meluas, dan terbatasnya jumlah dan
kualitas tenaga dan pembina keolahragaan; (4) kurangnya pendanaan, baik dari pemerintah
melalui APBN maupun APBD, dan (5) rendahnya apresiasi dan penghargaan bagi
olahragawan dan tenaga keolahragaan yang berprestasi, termasuk tata kelola atau manajemen
keolahragaan secara umum yang juga dilengkapi dengan profil prasarana olahraga hasil
survei BPS melalui PODES (2008).
Mari kita kritisi bahwa permasalahan tersebut walaupun sudah merangkum tiga ruang
lingkup olahraga, akan tetapi perumusannya masih belum tajam. Permasalahan pertama,
mengarah pada pemaknaan olahraga pendidikan, akan tetapi terjemahannya tidak sesuai
dengan substansi UU-SKN, karena olahraga pendidikan hanya dimaknai dalam tataran
pembibitan yang digambarkan oleh PPLP/PPLM dan SKO. Hal ini menunjukkan bahwa
pemaknaan olahraga selama ini adalah berujung pada prestasi. Tentu pemaknaan seperti ini
tidak tepat, dimana sesungguhnya olahraga dalam perspektif pendidikan haruslah menjadi
bagian integral dari kehidupan peserta didik di persekolahan sehingga perlu dilayani dan
diselenggarakan dengan standar yang tinggi dan/atau melampaui batas minimal serta tidak
semata-mata ditujukan untuk peningkatan prestasi, tetapi untuk memberikan jalan keluar
bagaimana setiap peserta didik berkesempatan potensi dirinya tumbuh dan berkembang
secara menyeluruh dan sempurna. Manakala ada peserta didik yang berminat dan berbakat
dalam olahraga, baru kemudian difasilitasi secara khusus.
Kata kunci permasalahan ketiga sejatinya mengarah pada sistem pembinaan, karena
menyangkut atlet, pelatih, tempat latihan, proses latihan, implementasi IPTEK, dll. Jika
diuraikan satu persatu niscaya akan semakin jelas.
Demikian pula permasalahan kelima tentang penghargaan dan tata kelola atau manajemen
olahraga secara umum, yang juga dilengkapi dengan profil jumlah berbagai jenis lapangan
olahraga di daerah berdasarkan data BPS melalui PODES (2008).Hal ini cenderung tidak
konsisten, antara isu penghargaan, tata kelola atau manajemen dengan profil prasarana.
Permenpora Nomor 0022 (2010:26) juga menjelaskan bahwa tantangan ke depan adalah
peningkatan pembudayaan dan pembinaan prestasi olahraga yang didukung oleh pendanaan
keolahragaan, prasarana dan sarana olahraga, penghargaan keolahragaan, serta optimalisasi
sistem manajemen keolahragaan nasional dalam rangka pembangunan olahraga pendidikan,
olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi.
2. Permasalahan dan tantangan pembangunanolahraga (2015-2019)
(1) belum tertatanya sistem pembinaan olahraga elit menuju kelas dunia sebagai
akibat dari belum terstandardisasinya sistem pembinaan, belum terintegrasinya kebijakan
pembinaan olahraga antara pusat dan daerah, belum tertatanya sistem pembibitan, terbatasnya
sarana dan prasarana olahraga untuk sentra pembinaan, terbatasnya tenaga keolahragaan yang
berkualifikas memadai, belum terstrukturnya sistem penghargaan, belum berkembangnya
sentra pembinaan olahraga di daerah-daerah, belum tertatanya kompetisi dan industri
olahraga, serta belum optimalnya penerapan IPTEK; (2) rendahnya prosentase angka
partisipasi masyarakat dalam olahraga (belum menjadi gaya hidup aktif yang sehat/healthly
activelifestyle) sebagai akibat dari belum adanya kebijakan pengembangan program olahraga
bagi semua (sportforall) yang sistematis, terstruktur, dan meluas; (3) terpinggirkannya
program olahraga pendidikan, seperti: rendahnya kualitas penyelenggaraan pendidikan
jasmani dan olahraga pada setiap jenjang satuan pendidikan, belum banyaknya unit kegiatan
olahraga dan kelas olahraga, belum ada pengembangan sekolah khusus/keberbakatan
olahraga di daerah-daerah, belum adanya program olahraga khusus, belum direvitalisasinya
program PPLP dan PPLM, dan belum tertatanya sistem kompetisi olahraga pelajar dan
mahasiswa.
Jika dicermati lebih dalam permasalahan tersebut sudah terbagi ke dalam tiga ruang
lingkup olahraga, permasalahan pertama menjelaskan situasi terkini tentang masalah yang
dihadapi oleh olahraga prestasi. Sebuah analogi permasalahan olahraga prestasi pada tataran
persaingan di tingkat Asia dengan enam Negara peraih medali emas Asian Games 17/2014 di
Incheon Korea Selatan, yaitu dengan melihat peta persaingan secara matematis yang
dianalogikan dengan perumpamaan gedung berlantai 30, dimana kumpulan medali emas ada
di lantai 30 dan guna mencapainya adalah dengan menggunakan sistem pembinaan olahraga
yang dilakukan Negara-negara dimaksud. Sistem pembinaan olahraga dimaksud, tentu
meliputi berbagai hal yang menjadi indikator sebuah sistem pembinaan olahraga berkelas
dunia bagi setiap cabang olahraga.Sistem pembinaan olahraga berkelas dunia berarti
memiliki daya saing yang tinggi untuk diperbandingkan dengan Negara-negara mitera
sekaligus sebagai pesaing. Kalaulah boleh dipaparkan terkait indikator-indikator sistem
pembinaan olahraga berkelas dunia (maju, modern, dan dapat bersaing) di level Asia dan
dunia, kita dapat mencontoh cabang olahraga bulutangkis, dimana cabang olahraga ini, sudah
terbukti konsisten menjadi sumber perolehan medali emas setiap multievent olahraga
diselenggarakan, terutama di Asian Games dan beberapa kali olimpiade.
Sebagaimana diketahui sistem pembinaan cabang olahraga bulutangkis telah memiliki sentra
pembinaan dan pelatihan yang relatif melampaui standar minimal, yaitu di Cipayung Jakarta
Timur dengan fasilitas yang relatif sudah memadai. Proses pembinaan dan pelatihannya
berjalan secara terus menerus, tanpa terputus, dan berkelanjutan, serta ditangani oleh para
pelatih profesional. Tata kelola organisasinya relatif baik dan miskin konflik serta sistem
pembibitan
3. BENCHMARKING PEMBANGUNAN OLAHRAGA
Seluruh negara di dunia mengakui bahwa olahraga merupakan salah satu sarana
yang cukup ampuh untuk menciptakan perdamaian dunia. Olahraga menyatukan dunia
melalui semangat sportivitas sekaligus hiburan tanpa membedakan perbedaan ras, suku
bangsa, dan perbedaan sosial ekonomi. Prestasi olahraga merupakan identitas
kebanggaan bangsa-bangsa di dunia yang selalu diperebutkan. Selain itu, olahraga dapat
meningkatkan kesehatan, kebugaran, dan kualitas hidup manusia sehingga dapat
meningkatkan produktivitas suatu negara-bangsa.
Dalam perkembangan zaman, olahraga tidak bukan hanya untuk meraih prestasi
dan menjaga kesehatan dan kesegaran jasmani, melainkan juga untuk kepentingan
ekonomi. Di beberapa negara seperti Italia, Inggris, Belanda, dan Amerika telah
menjadikan olahraga sebagai salah satu sektor penghasil devisa melalui industrialisasi
olahraga. Pertandingan sepak bola merupakan salah satu industri olahraga unggulan di
Inggris, Italia, dan Belanda yang dapat menarik devisa. Begitupula dengan Amerika
sebagai salah satu negara industri olahraga tinju dunia. Dengan kata lain, olahraga selain
berperan dalam peningkatan derajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat juga
memiliki peran dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Di beberapa negara maju, olahraga telah menjadi industri sehingga olahraga
bukan lagi bidang pembangunan yang menyerap anggaran pemerintah, tapi juga memiliki
kontribusi dalam pendapatan daerah. Di negara industri olahraganya sudah berkembang,
pendanaan pembangunan olahraga berasal dari pemerintah dan swasta. Bahkan pemerintah
hanya sebagai pengatur kebijakan, sedangkan pelaksana kegiatan-kegiatan keolahragaan
dilakukan oleh swasta.
China merupakan negara yang berhasil dalam mengembangkan olahraga prestasi
dan peningkatan budaya olahraga di kalangan masyarakat. Hal ini terlihat dari prestasinya
menjadi juara umum pada Olimpiade Beijing 2008. Pemerintah China mampu
menggabungkan kebijakan keolahragaan yang mengarahkan olahraga sebagai salah satu
alat instrumen bagi pencapaian visi (ideologi) masa depan bangsa. Cina menjadi adidaya
baru di bidang olahraga secara sistematis, dikarenakan China memiliki visi masa depan
untuk mengungguli Amerika dan negara lain. Mereka melakukan konsolidasi berbagai
aspek seperti politik, ekonomi, budaya, dan olahraga. Arah kebijakan pembangunan
olahraga China adalah: (1) menjadikan olahraga sebagai instrumen dari pencapaian visi
bangsa; (2) menggunakan kemajuan ekonomi untuk memberikan jaminan kesejahteraan
bagi atlet; (3) melakukan pembibitan atlet sejak dini secara berjenjang dan terintegrasi;
dan (4) menjadikan kemajuan sains dan teknologi untuk melakukan akselerasi dalam
pencapaian prestasi olahraga.
Dalam hal alokasi anggaran untuk melaksanakan pembangunan keolahragaan,
negara-negara Asean mengalokasikan anggaran olahraga di atas 3%dari total anggaran
negara. Sebagai contoh Singapura 3%, Malaysia 4,9%, Thailand 4,8%, Pilipina 3,4%, dan
Vietnam 3% (UNDP, 2001). Sementara Indonesia anggaran yang dikelola oleh
Kemengpora masih sangat kecil dan tidak memadai untuk melaksanakan program
pembangunan keolahragaan. Hal ini terlihat dari DIPA Kemenegpora tahun 2008 sekitar
0,014% dari GNP.
Sementara itu, Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memberikan
perhatian serius dalam pembangunan olahraga. Mantan Sekretaris Jendral PBB Kofi
Annan dalam Olympic Aid Roundtable Forum, Salt Lake City Olympic Games 2002.1
mengatakan, bahwa pembangunan olahraga (sports development) adalah suatu istilah
yang digunakan untuk menguraikan proses-proses, kebijakan-kebijakan, dan praktek-
praktek dalam membentuk suatu karakter yang integral dalam kegiatan olahraga.
Olahraga dapat meningkatkan kemampuan hidup seseorang. Namun sebenarnya tidak
hanya untuk individu namun juga untuk masyarakat dan negara. Pembangunan olahraga
dilakukan lewat pemahaman dari para pengambil keputusan di sebuah negara, agen
pembaruan, dan masyarakat, saya yakini akan membantu anak-anak yang hidup dalam
kemiskinan, dikelilingi wabah penyakit, dan hidup di daerah konflik.
Kofi Annan (Hylton et.al, 2001) mengatakan bahwa model pembangunan
olahraga ada empat yakni pondasi, partisipasi, performa, dan excellence. Pondasi
memberikan dasar yang tepat terhadap olahraga. Setelah mempunyai landasan yang tepat
harus diikuti dengan partipasi, entah dari masyarakat, teknokrat, maupun dunia usaha.
Partisipasi yang komprehensif dari segenap unsur akan mendorong pada peningkat
performa, baik untuk olahraga prestasi maupun olahraga masyarakat. Tingkatan tertinggi
Pengumpulan data SDI 2021 mencakup 34 provinsi, 246 kabupaten/kota, 594 kecamatan, 667
desa/kelurahan, dan 20.010 responden serta melibatkan 2561 personil pengumpul data.
Laporan SDI tersebut akhirnya disosialisasikan kepada perwakilan Dinas Pemuda dan
Olahraga dari seluruh provinsi di Indonesia serta kepada Kementerian/Lembaga terkait pada
acara sosialisasi SDI yang berlangsung di Jakarta pada 15 Desember 2021.
“Banyak tantangan yang kami hadapi dalam mengumpulkan data SDI di masa pandemi. Dan
hasilnya semoga dapat menjadi pertimbangan dalam membuat keputusan di masa yang akan
datang”, ucap Asisten Deputi Kemitraan dan Penghargaan Olahraga Suyadi Pawiro.
“Ini adalah Sport Development Index pertama di dunia dengan 9 dimensi, sehingga lebih
komprehensif”, ucap Ketua Tim Ahli SDI Prof. Toho Cholik Mutohir dalam acara sosialisasi.
“Olahraga punya peranan besar dalam membangun karakter bangsa. Ini adalah hal yang harus
kita sadari dan kita sampaikan kepada masyarakat luas agar paham. Kepada teman-teman di
daerah, jadikanlah laporan SDI ini menjadi pegangan untuk tempur dalam menentukan
program apa yang tepat untuk dijalankan di daerah masing-masing. Karena setiap daerah
berbeda-beda”, ucap Deputi Bidang Pembudayaan Olahraga Raden Isnanta dalam
sambutannya pada acara sosialisasi SDI. “DBON bisa dilihat keberhasilannya melalui SDI
ini”, tambah Raden Isnanta.
Acara tersebut dibuka secara resmi oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia
yang diwakili oleh Pelaksana Tugas Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Dr. Jonni
Mardizal, M.M. Dalam sambutannya Jonni menyampaikan harapannya kepada seluruh
perwakilan dispora provinsi yang hadir agar nanti dapat membuat tindak lanjut terkait
laporan SDI tahun 2021 di daerah masing-masing.
KESIMPULAN DAN SARAN