Anda di halaman 1dari 3

Sejarah Singkat Suster FSGM

“cinta Akan kemiskinan, gembira dalam karya, dan setia dalam doa”.

Kata-kata di atas merupakan semangat yang diperjuangkan para suster Fransiskanes


dari St. Georgius Martir (FSGM), Thuine. Semangat ini adalah wasiat yang di berikan oleh
pendiri FSGM yaitu Mdr. Aselma Bopp. Sebelum masuk biara, Mdr Aselma kecilnya
memiliki nama Pauline Bopp. Pada tanggal 19 Juli 1855 ia masuk dalam kongregasi Salib
Suci dengan nama. Sr Aselma. Pada suatu hari ia dipanggil pimpinan Jendralnya, Madame de
Glaubitz untuk membuka biara baru bersama seorang suster yang lebih tua darinya. Pasalnya
dua suster dari Strassburg berkeliling mencari donatur di daerah Emsland, Jerman Utara.
Disana mereka bertemu dengan P Gerhard Dall (80). Setelah mendengar karya-karya kreatif
kedua suster ini, P Gerhard dall berfikir bahwa suster-suster seperti dapat menolong
masyarakat desa Thuine yang miskin dan menderita wabah penyakit.

Melihat hal tadi P. Gerhard mengajukan permohonan kepada suter-suster Salib Suci
agar mengutus dua suster ke Thuine kotanya tersebut. Lalu pimpinan Jendral pun mengutus
Sr. Anselma ke tempat yang kurang mereka kenal itu, karena pimpinan Jendral yakin akan
keteguhan dan bakat-bakat yang dimiliki Sr. Anselma. Awalnya, Sr Anselma dan Sr.
Marianna merasa keberatan karena tempat mereka di utus jauh dari biara induk bukan serta
masyarakat yang akan mereka datangi memiliki bahasa, kebiasaan dan suasana yang berbeda.
Bukan hanya itu saja mereka berdua juga hanya tinggal di sebuh gubuk karena belum adanya
persiapan Ketika mereka datang.

Di tempat yang ia datangi ini banyak sekali orang yang membutuhkan pertolongan
mereka karena wabah penyakit dan kemiskinan yang melanda desa itu. Sebelum mereka
mendapatkan tempat seudah banyak orang sakit yang berdatangan baik itu muda maupun tua.
Hal inilah yang mendorong P. Gerhard Dall dan masyarakat sekitar langsung mendirikan
rumah perlindungan anak-anak , sekolah dasar serta ruangan untuk merawat orang sakit yang
kemudian menjadi rumah sakit kecil.

Setelah 12 tahun biara di thuine berdiri, mereka kesulitan untuk menambah jumlah
biarawati karna letaknya yang jauh dan juga pada saat itu di bawah pemerintahan Prancis
sedang tidak bersahabat dengan Jerman, yang membuat pemudi yang melamar masuk biara
Thuine akan dikirim me Strassburg dan tidak dapat diharapkan akan Kembali k Thuine. Maka
P.Gerhard Dall didukung oleh Uskup Osnabruck YM.Yohanes Heinrich Beckmann
mengurusi izin agar biara di Thuine boleh melepaskan diri dari kongregasi Suste-suster Salib
Suci. Tanggal 25 November 1869 berdirilah kongregasi Suste-suster Fransiskanes dari
St.Georgius Martin Thuine. Mdr. Anselma (34) menjadi pendiri dan pemimpin jendral
pertama. Tanggal 17 Juli 1887 Mdr. Anselma meninggal dunia dalam usia 52 tahun akibat
TBC1.

1
“Sejarah FSGM Indonesia,” 14 September 2016, https://fsgm-indonesia.org/2016/09/14/sejarah/, Di akses pada
3 November 2022 pukul: 20.40 Mdr. Anselma menopang penderitaan batin dengan hidup doa ketika ia harus
berpisah dengan Kongregasi Suster-suster Salib Suci.“Seandainya ketika itu saya tidak yakin akan kehendak
Tuhan, tentu saya tidak berbuat demikian,” tuturnya. Selama sembilan tahun Mdr. Anselma menyerahkan segala
tenaga dan kemampuannya, mengabdi dan melayani sesama. Thuine berkembang menjadi kongregasi dan
menjadi biara induk. Dan, membuka cabang di berbagai negara: Jerman Utara, Belanda (1875), Jepang (1920),
Kehadiran para suster fransiskan dari fransiskan St. Gregorius martir (FSGM)

1. Kehadiran Para Suster FSGM


Pater van oort2 mencatat kemungkinan baru untuk menghadirkan para suster
FSGM dari Thuine ke misi di sumatra. Kongregasi suster-suster Fransiskan ST.
George Martir (FSGM) didirikan di Tuine, jerman, akhir abad ke-18 dan membuka
novisiat baru di Denekamp, Negeri Belanda, tahun 1917. Dalam waktu yang singkat,
kongregasi ini berkembang cepat sekali di berbagai bidang pelayanan orang kecil
seperti pelayanan bagi orang sakit, miskin, orang lanjut usia, dan memberikan
pendidikan kepada anak-anak mereka3.
Pater van Oort mencatat: Perundingan dengan suster-suster FSGM sudah
dimulai dan sedang berlangsung lancar. Tanah seluas 4,2 ha telah dibeli oleh pusat
Misi Bengkulu dan dipersiapkan untuk karya Misi Pringsewu ini.
pembicaraan tentang rencana Misi suster FSGM ke sumatra semakin hari
semakin menjadi bahan pembicaraan di antara mereka. Terlebih lagi beberapa romo
SCJ memiliki saudari yang menjadi anggota suster FSGM di Denekmp. Salah satu
dari mereka adalah keluarga P. Hermelink SCJ. Suster Adeline FSGM adalah adik
dari Pater Albertus dan Pater Henny Hermelink. Ia mendengar tentang permohonan
SCJ untuk mendatangkan suster-suster kongregasinya.
Dalam sebuah kisah di antara para suster diceritakan tentang semangat
membara para suster bagi karya Misi di sumatra. pada hari ketik dewan jendral FSGM
berkumpul di Thuine untuk mengambil keputusan tentang karya misi di sumatra,
Suster Adeline mengajak semua teman suster di biara Denekamp pergi ke kapel
dengan perintah, Hentikan pekerjaan segera dan marilah berdoa untuk Misi di
Sumatra Selatan. seorang dokter yang lewat dan melihat peristiwa itu, bertanya:
Apakah ada orang yang meninggal dunia? Semua suster sedang berdoa di kapel?
Karena peristiwa itu, pada hari berikutnya suster Adeline ditegur oleh suster Regulata
karena mengambil inisiatif untuk berdoa tanpa meminta izin4.
Pada tanggal 5 juni 1931 empat suster pertama tiba di pringsewu yakni Muder
Odulpha, Suster Engelmunda, Suster Solanis dan Suster Arnolde. Pada waktu itu
hanya ada sebuah susteran kecil dan kosong. Belum ada sumur atau pompa
air,wc,kurdi dan meja. Untuk ke belakang (buang air besar/kecil) mereka harus masuk
lapangan alang-alang5.

Amerika Serikat (1923), Indonesia (1932), Tanzania-Afrika (1960), dan di Brazil (1972).
2

“Sejarah Provinsi SCJ Indonesia,”05 November 2019, https://dehonian.or.id/2019/11/05/sejarah-propinsi-scj-


indonesia/, Di Akses pada tanggal 1 November 2022 pukul: 20.13 WIB. Misionaris SCJ pertama adalah Pastor
H.J.D. van Oort, Pastor K. van Steekelenburg, dan Br. Felix van Langenberg. Pada bulan September 1924
mereka memulai karya mereka di Tanjung Sakti. Pertama-tama mereka menjelajahi seluruh daerah Tanjung
Sakti untuk mengetahui keadaannya dan untuk melihat apa yang dapat dan harus dikerjakan.
3

Cess Van Paassen SCJ, Padi Tumbuh tak terdengar, “Kehadiran para suster FSGM” (2018, hlm 253-254)
4

Zr.M. Winiberta dan M. Adeline, kenangan,2.


5
2. karya Pendidikan Para Suster FSGM di Pringsewu 
Keempat suster yang datang pertama kali itu langsung bekerja keras. Dana
untuk mendirikan sekolah sudah sedikit tersedia. lalu mereka segera mendirikan
Volksschool yang diberi nama Santa Beda. Nama ini digunakan sebagai tandan
hormat dan kasih kepada Muder M. Beda, pemimpin jendral kongregasi mereka di
Thuine.
Pada 1 Juli 1931 dibuka pula Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dengan
jumlah murid pertama 24 orang yang berusia antara 4-16 tahun. Sekolah ini di urus
oleh suster Engelmunda, sekaligus bertugas kolektif dengan Suster Solanis di HIS
Gedong Tataan. Ny. Odilia Katijem menjadi guru di sekolah ini. Ibu guru ini berasal
dari solo. Sewaktu kecil, ia berkomunikasi dengan suster-suster Fransiskan di
Mendut. Disanalah ia dibaptis dan mengikuti sekolah misi hingga berusia 18 tahun.
karena tidak adanya pekerjaan di jawa ia memutuskan untuk pindah ke Sumatra dan
bekerja di sekolah para suster di Pringsewu6.
Suster Engelmunda heran melihat anak-anak HIS yang tidak bersepatu. Nama-
nama mereka pun sulit diucapkan, apalagi nama anak Tionghoa yang membuat suster
tersebut merubah nama nya. Setiap harinya suster Soladis bersepeda ke Gedog
Tataan.
sekolah ini memperlihatkan harapan baik, jadi perlu untuk menambah guru.
Untuk itu Pater Hermelink segera mendatangkan guru baru dari jawa (Ambarawa).
Pada awal 1933 mereka pun datang. Mereka adalah Kristin Legiyem bersama Udilia
Suroto bertugas di Pringsewu dan Matilda Gedung Tataan. Pertengahan tahun itu juga
datang lagi bala bantuan empat sukarelawati guru yakni Valentin(sekarang Ny.sutadi),
Romana Sudarni, Agnes Rosmini, dan Yosephine (yang menjadi suster Munder Maria
Yosepha;suster fransiskanes pertama yang asli Indonesia)7.
Pada masa itu sekolah memang harus gencar mencari murid dan
mempromosikan kegunaan sekolah. Berbagai usaha ditempuh agar anak-anak serta
para orang tua tentang pentingnya sekolah. Jika cara itu tidak mempan maka pak lurah
yang maju dengan mengancam anak yang sudah berusia 8 tahun yang tidak sekolah
maka orang tuanya harus kerja rodi.
Para suster berdoa setiap hari di gereja. gereja paroki tersebut dipandang
sebagai bagian biara mereka. Umat menghadiri Misa kudus setiap hari dan pada hari
minggu di gereja tersebut pada pukul 06.00. Umat katolik yang kebanyakan migran
Jawa kurang lebih berjumlah 100 orang.(Mutiara,19-20)

“Usaha-Usaha Suster Fransiskanes Dari Santo Gregorius Martir Thuine (FSGM)


https://docplayer.info/52075144-Usaha-kongregasi-suster-suster-fransiskanes-dari-santo-georgius-martir-thuine-
fsgm.html, Di akses pada tanggal 11 November 2022 pukul 09:46 WIB. Mereka berangkat dari biara pusat
Thuine dengan upacara perpisahan di Gereja Kristus Raja Thuine pada tanggal 4 Mei 1932, melalui Denekamp
menuju Indonesia. Mereka menempuh perjalanan dengan kapal dari pelabuhan Mersaile, Perancis menuju
Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia. Mereka disambut oleh Suster-Suster Ursulin dan menginap di Susteran Jl.
Pos Jakarta. Hari berikutnya perjalanan menuju ke Lampung. Para Suster Hati Kudus dari Teluk Betung, Pastor
H.J.D. Van Oort, SCJ, Pastor A. Hermelink, SCJ,dan Pastor J.Kuyper,SCJ telah menunggu mereka di Pelabuhan
Panjang, yang dulu disebut Oost Haven. Mereka sempat singgah di Susteran Hati Kudus. Bersama Pastor A.
Hermelink,SCJ keempat Suster meneruskan perjalanan ke Pringsewu dan singgah di Gedongtataan melihat-lihat
sekolah HIS yang akan dipimpin oleh Suster M solanis (Veronika Gunartati, 2003:149).
6

Odilia Katijem,” Al een paar keer”, RHH,34 (1935,73-74.)

7
Cess Van Paassen SCJ, Padi tumbuh tak terdengar “Karya Pendidikan Para Suster FSGM di Pringsewu”.
(2018, hlm 254-255)

Anda mungkin juga menyukai