Anda di halaman 1dari 56

1

KAJIAN KOMITE NASIONAL PEDIDIKAN

TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI 1

Bagian I

FILOSOFI PENDIDIKAN TINGGI

A. ASPEK HISTORIS KONSTITUSIONALISASI PENDIDIKAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR.

Indonesia sejak awal kemerdekaannya telah memberlakukan beberapa bentuk konstitusi.


Setiap konstitusi mewakili era-era yang berbeda. Era tersebut yaitu masa berlakunya UUD 1945
yang pertama pasca kemerdekaan, Konstitusi RIS, UUDS 1950, serta kembali berlakunya UUD
1945 hingga setelah tahun 2002 menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang merupakan amandemen dari Undang-Undang Dasar 1945.

Kesemua Undang-Undang Dasar itu memiliki pengaturan tersendiri mengenai pendidikan (atau
pengajaran). Setiap bentuk Undang-Undang Dasar memiliki latar belakang pemikiran dan ruang
lingkup pengaturan mengenai pendidikan dalam pasal-pasalmya. Hal ini penting untuk dikaji
dalam rangka mengetahui mengenai keberpihakan konstitusi Indonesia terhadap pendidikan,
lebih jauh lagi dapat memberikan gambaran mengenai pemikiran dasar tentang pendidikan di
Indonesia.

Berdasarkan konstitusi yang berlaku, maka pembahasan dapat diurutkan sebagai berikut:

1. Pra Kemerdekaan dan UUD 1945

Khusus pada masa ini, pembahasan mengenai konstitusionalisasi pendidikan di Indonesia harus
menyertakan pembahasan-pembahasan di BPUPK maupun PPKI. Dalam perdebatan, pidato,
dan kesimpulan lembaga-lembaga tersebut banyak pendapat yang terangkat mengenai
pendidikan di Indonesia. Beberapa tokoh mengedepankan pendapatnya mengenai pentingnya
pendidikan di Indonesia.

1
Disusun oleh Alghiffari Aqsa, Dinda Nissa Yura, Yura Pratama, Fajri Siregar, Fajri Nursyamsi, dan Sulaiman Sudjono
yang merupakan anggota Komite Nasional Pendidikan.
1
2

Pendapat pertama dapat ditemukan pada catatan sidang pada 29 Mei 1945, tanggal ini
menunjukkan ini adalah rapat pada masa kerja Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK). Pendapat tersebut diangkat dalam pidato oleh Soerio yang memberikan
informasi tentang gagasan pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia ke depan. Dalam
pidatonya, Soerio menyampaikan tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menuju kepada dasar
kemerdekaan Indonesia, yaitu:2

a. Kuat dan Sentausa.

b. Subur makmur.

c. Suci Abadi.

Menurut Soerio, suci abadi berarti harus berdasarkan persatuan lahir dan batin.
Perasaan persatuan tidak dapat diberikan atau diperintahkan, tetapi harus timbul dan tumbuh.
Namun, untuk mengubah perasaan bagi orang-orang dewasa sudah sukar. Jadi proses
perubahan harus dimulai dari anak-anak. Usaha-usaha yang praktis untuk mencapai suci abadi
ini menurut usulan Soerio adalah sebagai berikut:

a. Semua sekolahan, mulai rendah hingga tinggi harus dipersatukan: artinya, dijadikan
sekolah Indonesia; jangan masih ada sekolah Jawa, Tionghoa, Arab dan sebagainya.
Perlu upaya didikan pengajaran dapat dipersatukan dalam asas dan tujuannya.
b. Pada semua sekolahan, mulai rendah hingga tinggi, harus digabungkan internat atau
asrama, di mana anak-anak muridnya dapat mengolah adat lembaganya serta
tekadnya yang terpimpin. Hal ini kami pandang amat perlu sekali guna mencepatkan
tercapainya persatuan perasaan dan tujuan, karena kita mengakui, betapa besar
pengaruh rumah-tangga dan kampung, di atas jiwa anak-anak yang masih murni itu.
Meskipun sekali-kali ta’ menacat, akan tetapi merasa bahwa persatuan tujuan tentu
tidak akan lekas tercapai, apabila anak-anak murid masih setiap hari pulang ke
rumahnya masing-masing. Dalam asrama itulah nanti akan terjadi penanaman
semangat seperti kita cita-citakan dengan gampang dan cepat. Pun soal agama akan
terkupas pula dalam hidup di asrama situ karena pengaruh dari luar akan menjadi
tiada.
c. Juga harus diciptakan nama-nama baru buat anak-anak dalam asrama tersebut,
nama persatuan Indonesia di samping nama lamanya. Ini adalah suatu usaha yang
praktis guna mencepatkan datangnya persatuan perasaan tersebut. Karena kita
tahu, bahwa nama Sudibyo senantiasa mengingatkan yang memakainya kepada
2
RM.A.B Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004), hlm. 107
2
3

kebangsaannya Jawa; nama lama Liem Siem Hok kepada kebangsaannya Tionghoa
dan sebagainya.3
Soesanto Tirtoprodjo juga turut menyatakan pentingnya pendidikan bagi negara
Indonesia merdeka. Menurut Soesanto, soko-guru negara Indonesia merdeka adalah sebagai
berikut:

a. Pemerintahan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Ini berarti harus adanya Badan
Perwakilan Rakyat atau Parlemen.
b. Badan Kehakiman yang satu untuk segenap penduduk dan bebas dari pengaruh
Badan-Badan pemerintahan
c. Perekonomian yang teratur dan terbatas menurut kebutuhan masyarakat, ini berarti
membuang pendirian liberalisme.
d. Pendidikan rohani dan jasmani seluas-luasnya dengan menjauhkan sifat-sifat
intellectualisme dan materialisme.4

Peserta lain yang memberikan perhatian terhadap pendidikan adalah Roosseno. Dalam
rapat BPUPK tersebut, Roosseno menyampaikan kelemahan-kelemahan masyarakat dalam
membuat persiapan dan rancangan yang sistematis dan rasional. Kelemahan-kelemahan
tersebut adalah (1) dalam lapangan pendidikan dan pendidikan umum serta (2) dalam lapangan
perekonomian, teknik, dan politik internasional. Dalam pidatonya, dia juga mengusulkan supaya
pendidikan diurus oleh satu badan seperti Jawa Hookokai. Penggunaan contoh Jawa Hookokai
ini demi menunjang persatuan bahasa dan persatuan negara yang harus menjadi dasar
Indonesia Merdeka.5 Pendapat Roosseno ini kemudian dipertegas oleh M. Aris dengan
ungkapan yang singkat dan penuh semangat, ”Pendidikan pemuda harus mendapatkan
perhatian yang istimewa. Pendidikan teknik supaya diperluas dan diperdalam.” 6

Pada sidang hari kedua 30 Mei 1945, A. Rahchim Pratalykrama menyampaikan delapan
butir penting, termasuk masalah pendidikan dengan menekankan kewajiban belajar. Delapan
hal tersebut sebagai berikut:

(1) Negara Indonesia: Kepala dipilih rakyat, punya Perdana Menteri dan Kebinet;

3
Ibid., hlm. 107—109
4
Ibid., hlm. 112
5
Ibid., hlm. 115.
6
Ibid., hlm. 116.
3
4

(2) Badan Perwakilan Rakyat: Majelis Luhur dan Majelis Rendah, yang anggotanya dipilih
rakyat;
(3) Keluar: Satu Negara di dalam: Beberapa daerah pemerintahan dan kota-kota yang
masing-masing otonomi dengan tunduk pada pimpinan Kepala Negara Indonesia;
(4) Pembelaan: Milisi umum sebelumnya itu diadakan gemblengan bagi rakyat dijuken-
juken sebagai sekarang, buat menimbulkan semangat berkorban buat tanah air;
(5) Pendidikan: Kewajiban belajar;
(6) Perekonomian: Ekonomi dalam arti seluas-luasnya perlu diperluas dan diperdalam
dan di segala lapangan misalnya nasionalisasi dari perusahaan-perusahaan. Aturan-
aturan hak tanah-tanah komunal dihapuskan, tanah erfpacht dan opstal harus
dikembalikan kepada rakyat via pemerintah;
(7) Dasar Negara: persatuan rakyat sekokoh-kokohnya. Agama Islam 95% dari penduduk
beragama dan Kepala Negara harus seorang Muslimin. Islam sebagai Agama Negara
dengan kemerdekaan seluas-luasnya bagi penduduk untuk memeluk agama yang
bukan Islam; dan
(8) Permulaan pembangunan Negara harus minta bantuan kepada Dai Nippon berupa
penasehat-penasehat Nippon dan lain-lain.7
Pada sidang hari ketiga pada 31 Mei 1945, pembicara pertama, Abdul Kadir, menyampaikan
bahwa dasar-dasar pembentukan negara baru adalah (1) Persatuan; (2) Pendidikan Rakyat; dan
(3) Pembangunan untuk memajukan ekonomi yang sehat agar rakyat menjadi makmur.8 Sampai
dengan masa reses sidang BPUPK pada 2 Juni hingga 9 Juli 1945, tidak ada lagi para pembicara
yang mengemukakan pendidikan. Pada rancangan undang-undang dasar sementara yang terdiri
atas 18 pasal, sebagaimana yang disampaikan kepada Zimukyokutyoo dari Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai tanggal 15 Juni 1945, belum juga terdapat adanya pasal khusus yang menerangkan
mengenai pendidikan. Baru pada rapat besar 10 Juli 1945 yang menghasilkan rancangan
undang-undang dasar menghasilkan sebuah pembukaan yang mengandung unsur pendidikan di
dalamnya, berikut kutipannya:

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negera Indonesia

7
Ibid., hlm. 120.
8
Ibid., hlm. 122.
4
5

yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan
dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setelah itu, pada beberapa rancangan batang tubuh sudah mulai terdapat ada pasal mengenai
pendidikan. Pembahasan dan pengaturan yang mencerminkan persepsi dari perumus UUD
tentang pendidikan dapat dilihat pada sidang 17 Juli 1945, dimana Subpanitia Pendidikan dan
Pengajaran Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK) yang terdiri atas Ki Hajar Dewantara sebagai
Ketua, dengan anggotanya Prof. Dr. Husein Jayadiningrat, Prof. Dr. Asikin, Prof. Ir. Roosseno, Ki
Bagus Hadikusumo, dan K.H. Mas Mansur, telah berhasil merumuskan Garis-Garis Besar Soal
Pendidikan dan Pengajaran untuk diserahkan kepada Gunseikan Kakka pada 18 Juli 1945. Isi
Garis-Garis Besar Soal Pendidikan dan Pengajaran tersebut adalah sebagai berikut: 9

I. Dengan Undang-Undang berkewajiban belajar, atau peraturan lain, jika keadaan suatu
daerah memaksanya, Pemerintah memelihara pendidikan dan kecerdasan akal budi
untuk segenap rakyat dengan cukup dan sebaik-baiknya, seperti ditetapkan Undang-
Undang Dasar, Pasal 31.
II. Dalam garis-garis adab kemanusiaan, seperti terkandung di dalam segala pengajaran
agama, maka pendidikan dan pengajaran nasional bersendi pada agama dan
kebudayaan bangsa serta menuju ke arah keselamatan dan kebahagiaan masyarakat.
III. Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat
Indonesia seluruhnya.
Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-
daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan
harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak
bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau
memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan
bangsa Indonesia.
IV. Untuk dapat memperhatikan serta memelihara kepentingan-kepentingan khusus
dengan sebaik-baiknya, teristimewa yang berdasarkan agama dan atau kebudayaan,
maka pihak rakyat diberi kesempatan yang cukup luas untuk mendirikan sekolah-
sekolah partikelir, yang penyelenggaraannya, sebagian atau sepenuhnya, boleh dibiayai
oleh Pemerintah. Pengawasan dari Pemerintah atas usaha sekolah-sekolah partikelir itu,
hanya mengenai syarat-syarat untuk menjamin kebaikan pelajaran dan ketenteraman
umum.
V. Tentang susunan pelajaran pengetahuan umum harus ditetapkan suatu daftar
pengajaran sedikit-dikitnya (minimum leerplan), yang menetapkan luas-tingginya
9
Ibid., hlm. 458-460
5
6

pelajaran pengetahuan dan kepandaian umum, serta pula pendidikan budi pekerti,
teristimewa pendidikan semangat bekerja, kekeluargaan, kebaktian, cinta tanah air,
serta keprajuritan. Syarat-syarat itu diwajibkan untuk semua sekolah, baik kepunyaan
negeri maupun partikelir.
VI. Susunan sekolah diatur sebagai berikut:
1. Mulai tingkatan sekolah rakyat sampai tingkatan sekolah menengah tinggi diadakan
sekolah pengetahuan umum dan sekolah kepandaian khusus (vakschool).
2. Untuk murid-murid yang tidak akan meneruskan pelajarannya, maka tiap-tiap
sekolah rakyat diadakan kelas sambungannya, yaitu ”kelas masyarakat” untuk
mengajarkan permulaan kepandaian khusus yang sesuai dengan alam dan
masyarakat di tempat kedudukan sekolah masing-masing, (pertanian di desa-desa,
perdagangan dan pertukangan di dalam kota, pelajaran dan perikanan di keliling
pantai dan sebagainya), dan pelajaran ilmu kemasyarakatan yang praktis.
3. Tiap-tiap sekolah pengetahuan umum mempunyai hubungan lanjutan dengan
sekolah kepandaian khusus.
4. Sekolah-sekolah menengah dan menengah tinggi dibagi menjadi Bagian A (dari Alam)
dan Bagian B (dari Budaya), untuk menyesuaikan pengajaran dengan pembawaan
anak-anak murid.
5. Pada sekolah-sekolah menengah atau menengah tinggi putri daftar pelajarannya
yang mengenai pengetahuan umum, sama dengan daftar pelajaran sekolah yang
sejenis untuk anak-anak laki-laki.
6. Lamanya belajar di masing-masing tingkatan sekolah (pertama, rakyat, menengah
dan menengah tinggi) ialah 3 tahun.
7. Tentang sekolah-sekolah khusus, yakni sekolah kepandaian (vakschool), maka untuk
segala kepentingan masyarakat dan kebudayaan harus diadakan sekolah-sekolah
khusus yang cukup. Misalnya, sekolah-sekolah tani, pertukangan, teknik dan
sebagainya: juga sekolah-sekolah kesusasteraan, musik, pelukis, ukir-ukiran, dan
sebagainya.
8. Sekolah-sekolah untuk mendidik guru-guru harus dipentingkan. Bahkan, untuk
pengluasan pendidikan dan pengajaran yang sehebat-hebatnya, harus diadakan
usaha-usaha mendidik guru dengan secara kilat. Baik untuk penyelenggaraan
sekolah-sekolah guru biasa, maupun untuk pendidikan guru secara kilat, maka
kegiatan rakyat
9. Untuk dapat tenaga-tenaga pemimpin penyelenggara segala kewajiban negeri dan
masyarakat yang penting-penting, maka harus diadakan universiteit dan atau
sekolah-sekolah tinggi yang cukup; jangan dilupakan sekolah-sekolah tinggi untuk
keprajuritan.
10. Biaya belajar harus serendah-rendahnya, dengan pembebasan uang belajar
untuk mereka yang tidak mampu.

VII. Tentang pelajaran bahasa dan kebudayaan, dengan mengingat Pasal-Pasal 32 dan 36
Undang-Undang Dasar dan Pasal III dalam Garis-Garis Besar ini sebagai berikut:
6
7

1. Bahasa Indonesia diajarkan dengan cukup di segala sekolah di seluruh Indonesia dan
dipakai sebagai bahasa perantaraan, mulai di sekolah rakyat sampai di sekolah tinggi.
2. Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya
dengan baik-baik, diwajibkan mengajarkan bahasa persatuan mulai kelas 3 pada
sekolah pertama, dengan jaminan akan cukup pandainya anak-anak dalam bahasa
Indonesia, bila mereka tamat belajar di sekolah-sekolah rakyat.
3. Bahasa Nippon sebagai bahasa asing yang terpenting di seluruh Asia, baik untuk
keperluan hubungan negara-negara di Asia Timur Raya maupun untuk mudah
mengambil kebudayaan Nippon, yang dapat memperkaya kebudayaan bangsa
Indonesia, diajarkan mulai kelas 5 di sekolah rakyat, dengan jaminan akan cukup
pandainya anak-anak dalam bahasa itu, bila mereka duduk di sekolah menengah.
4. Di sekolah menengah tinggi (SMA) bagian Budaya diajarkan bahasa Arab dan
Sanskerta.
5. Bahasa asing, yang kelak diakui sebagai bahasa perantaraan sedunia, diajarkan mulai
di sekolah menengah.
VIII. Selain di dalam sekolah-sekolah harus dipentingkan juga pendidikan rakyat dengan jalan
sebagai berikut:
1. Latihan-latihan keprajuritan untuk pemuda-pemuda, laki-laki dan perempuan.
2. Pendidikan yang ditujukan kepada orang-orang dewasa.
3. Pendidikan khusus kepada kaum wanita dengan mempergunakan Hunjinkai.
4. Memperbanyak bacaan dengan mamajukan perpustakaan, penerbitan surat-surat
kabar dan majalah-majalah.
IX. Mendirikan Balai Bahasa Indonesia.
X. Mengirimkan pelajar-pelajar ke seluruh dunia.

2. Masa 1949-1959

Masa berikutnya adalah masa 1949-1959. Pada masa ini terdapat pemberlakuan dua konstitusi,
yaitu Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Konstitusi RIS walaupun sebentar merupakan bagian dari
warna sejarah Indonesia, walaupun tidak murni disusun oleh pihak Indonesia selama
perundingan KMB.

Rancangan Konstitusi RIS tersebut disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR RI) dengan seluruh anggota Bjeenkomst voor Federaal Overleg. Setelah pemulihan

7
8

kedaulatan dilaksanakan di Amsterdam, kekuasaan pemerintah diserahkan di kota Jakarta pada


27 Desember 1949. Sejak itu Konstitusi RIS berlaku. 10

Pada Konstitusi RIS, pendidikan termasuk di dalam Bagian V tentang Hak-Hak Kebebasan Dasar
Manusia pada Bab 1 tentang Negara Republik Indonesia Serikat. Berikut pasal-pasal pada
Konstitusi RIS:

Bab I
NegaraRepublikIndonesiaSerikat
Bagian V
Hak-Hak Kebebasan Dasar Manusia
(1) Mengadjar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa jang dilakukan
terhadap itu menurut peraturan-peraturan undang-undang.
(2) Memilih pengadjaran jang akan diikuti, adalah bebas.
Bagian VI
Asas-Asas Dasar
Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudajaan serta kesenian dan ilmu
pengetahuan. Dengan melindungi asas ini, maka penguasa memadjukan sekuat tenaganja
perkembangan kebangsaan dan kebudajaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan.
(1) Penguasa wadjib memadjukan sedapat-dapatnja perkembangan rakjat baik rohani maupun
djasmani, dan dalam hal ini teristimewa berusaha selekas-lekasnja menghapuskan buta-huruf.
(2) Di mana perlu, penguasa memenuhi kebutuhan akan pengadjaran umum jang diberikan
atas dasar memperdalam keinsjafan kebangsaan, mempererat persatuan Indonesia,
membangun dan memperdalam perasaan peri-kemanusiaan, kesabaran dan penghormatan
jang sama terhadap kejakinan agama setiap orang dengan memberikan kesempatan dalam
djam-peladjaran untuk mengadjarkan peladjaran agama sesuai dengan keinginan orang-tua
murid.
(3) Murid-murid sekolah partikulir memenuhi syarat-sjarat kebaikan-kebaikan menurut
undang-undang bagi pengadjaran umum, haknja sama dengan hak murid-murid sekolah umum
(4) Terhadap pengadjaran rendah, maka penguasa berusaha melaksanakan dengan
lekaskewadjiban belajar jang umum.11
10
Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Ketiga, (Jakarta: Siguntang, 1960), hlm.
82 dalam Mahkamah Konstitusi, NASKAH KOMPREHENSIFPERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASARNEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002; Buku IX Pendidikan
dan Kebudayaan, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 25.

11
W.A. Engelbrecht, Kitab-kitab Undang-Undang, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Serta Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia, (Leiden: A.W. Sijthoff’s Uitgeversmij N.V., 1954), hlm. 18-18c dalam
8
9

Pada lampiran Konstitusi RIS terdapat pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang


dibebankan kepada Republik Indonesia Serikat dan Daerah-Daerah Bagian, sesuai dengan bunyi
Pasal 51 Konstitusi RIS. Dalam lampiran tersebut, yang terkait dengan pendidikan disebutkan
sebanyak dua butir berikut ini:12

y. Institut dan organisasi ilmu-pengetahuan jang penting bagi Republik Indonesia serikat
seluruhnya.
Kemudian pada butir selanjutnya:

d. Pengaturan pengadjaran tinggi dan djalan pengadjaran akademi jang berhubungan


dengan itu, termasuk pedoman-pedoman tentang pendidikan-pendidikan jang
memberi hak untuk masuk udjian-udjian akademi, dan akibat sipil idjazah pengadjaran
tinggi.
Konstitusi RIS ini tidak berumur terlalu lama, yang kemudian digantikan dengan UUD Sementara
tahun 1950 (UUDS 1950). Bunyi UUDS tersebut yang terkait pendidikan adalah sebagai berikut:

Bab I
NegaraRepublikIndonesia
Bagian V
Hak-Hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia
(1) Tiap-tiap warga-negara berhak mendapat pengadjaran.
(2) Memilih pengadjaran jang akan diikuti, adalah bebas.
(3) Mengajar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa jang dilakukan
terhadap itu menurut peraturan perundang-undangan.
Bagian VI
Azas-azas Dasar
Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudajaan serta kesenian dan ilmu
pengetahuan. Dengan mendjundjung azas ini maka penguasa memadjukan sekuat tenaganya
perkembangan kebangsaan dalam kebudajaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan
(1) Penguasa wadjib memadjukan perkembangan rakjat baik rohani maupun djasmani.

Mahkamah Konstitusi, NASKAH KOMPREHENSIFPERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASARNEGARA REPUBLIK


INDONESIA TAHUN 1945Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002; Buku IX Pendidikan dan
Kebudayaan, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 27.
12
Ibid., hlm. 27
9
10

(2) Penguasa teristimewa berusaha selekas-lekasnja menghapuskan buta-huruf


(3) Penguasa memenuhi kebutuhan akan pengadjaran umum jang diberikan atas dasar
memperdalam
Kedua konstitusi pada masa ini memiliki pernyataan yang jelas mengenai hak-hak atas
pendidikan. Perlindungan atas hak atas pendidikan ini termasuk di dalamnya hak-hak untuk
mengajar, mendapatkan pengajaran, dan memilih bentuk pengajaran. Terdapat jaminan
kebebasan bagi seorang pengajar untuk mengajar dalam koridor cita-cita bersama dari
Indonesia pada saat itu dan juga jaminan kebebasan memilih bentuk pengajaran sekaligus
dilengkapi dengan hak untuk mendapatkan pengajaran.

3. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pada masa perubahan UUD 1945 hingga tahun 2002, beberapa isu kemudian muncul, salah
satunya mengenai anggaran pendidikan dalam kaitannya dengan hak atas pendidikan dan hak
atas pendidikan itu sendiri. Pengaturan pada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengenai pendidikan terdapat pada:

Pasal 22D
- Pasal 22D ayat (2) dimana Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, serta memberikan pertimbangan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan
dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.
- Pasal 22D ayat (3) dimana Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai pendidikan dan menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindaklanjuti.
Pasal 28C
1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmupengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitashidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.
2. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknyasecara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Pasal 28E
10
11

1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhakkembali.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikirandan
sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.
Pasal 31
1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan
umat manusia.
Penekanan yang terlihat pada proses Amandemen UUD 1945 ini adalah penekanan pada
pandangan bahwa pendidikan adalah merupakan hak dari rakyat Indonesia yang
pemenuhannya dijamin oleh Negara. Hal ini dapat dilihat pada proses pembahasannya,
termasuk di dalamnya adalah pandangan-pandangan awal mengenai penetapan anggaran
minimal 20%. Salah satu pendapat awal mengaitkannya dengan kehendak GBHN Indonesia
tahun 1999 yang menghendaki kenaikan anggaran pendidikan.

Argumen tersebut diajukan oleh Soedijarto dari F-UG (Utusan Golongan, pen.)13. Di
dalam GBHN tersebut pada Bab IV tentang Arah Kebijakan pada huruf E tentang pendidikan
disebutkan bahwa:

1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang


bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia
berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan
kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara

13
Ibid., hlm. 70
11
12

optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat
mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.

3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa


diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan
kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta
diversifikasi jenis pendidikan secara profesional.

4. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat
pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan
masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai.

5. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan


prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manejemen.

6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat


maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien
dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah,


terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh
komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai
dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.

Dapat dilihat pada poin pertama dikehendakinya adanya peningkatan anggaran. Soedijarto
mengatakan:14

Yang ke tiga mengenai pendidikan saya sepakat karena saya orang pendidikan hanya
kita orang bertanya kapan ketentuan yang ditetapkan itu diikuti dan dilaksanakan gitu
ya. Karena GBHN tahun 1999 menetapkan anggaran pendidikan supaya dinaikan, secara
berarti, malah turun. Padahal GBHN harus dibaca kan? Tapi kok turun. Jadi maksud saya
kalau pasal-pasalnya ditambahin kalau dibaca sama saja. Karena saya ingin usul, kalau
bisa Iptek masuk dalam pasal-pasal, tapi juga seperti Taiwan Pak. Di Taiwan itu anggaran
belanja pendidikan pun ditetapkan. Undang-Undang Dasar Taiwan menetapkan
pemerintah pusat mengalokasi 15% anggaran belanja untuk pendidikan, pemerintah
propinsi 25%, pemerintah Kabupaten 35%. Jadi cepat perkembangannya. Kita itu tidak
diberi uang suruh maju.

14
Sekretariat Jenderal MPR-RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(1999-2002), Tahun Sidang 2000 Buku Dua (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008), hlm. 532 dalam
Mahkamah Konstitusi, NASKAH KOMPREHENSIFPERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASARNEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002; Buku IX Pendidikan dan
Kebudayaan, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 71
12
13

Pada perkembangannya usulan ini yang memicu perdebatan dan penetapan anggaran 20%
untuk pendidikan pada UUD. Perdebatan lain adalah mengenai diskriminasi lembaga
pendidikan. Mengenai hal ini dapat diperhatikan penjelasan Azyumardi Azra yang memaparkan
mengenai diskriminasi anggaran berdasarkan status universitas negeri dan juga perbantuan
kepada pergurutan tinggi swasta.15

Beberapa kali terangkat, terutama mengenai perguruan tinggi adalah penjaminan pelaksanaan
sistem yang memastikan tidak hanyak rakyat berhak mendapatkan pendidikan, tetapi juga
mengenai negara yang berkewajiban menyelenggarakan. Diantara yang mengungkapkan
pendapat tersebut adalah Sapardi Djoko Damono16 dan Frans Magnis Suseno17.

Ada pendapat lain yang menarik mengenai pendidikan yang disampaikan oleh Retno Triani
Johan dari F-UD (Utusan Daerah, pen.), dan ini menjadi permasalahan yang muncul pada saat
ini:18

Jadi harus dimungkinkan pendidikan dasar tanpa bayar, sederhana sekali. Dan di situ
kita tidak pada pertanyaan, tentu Bapak-Bapak yang banyak juga di DPR tahu betul
bahwa kita tidak seenaknya bisa minta pengeluaran.

Jadi yang the have, mampu, mendapatkan pendidikan yang tinggi, yang bagus.
Sebaliknya, yang kurang mampu menjadi tidak mendapat pendidikan tinggi yang bagus.

Yang saya ingin tanyakan, apakah dari pihak kementrian, Menteri Pendidikan sudah ada
upaya untuk menyelesaikan hal ini? Karena terus terang saja saya mendapat titipan ini
karena, mumpung ketemu dengan Bapak Menteri, yaitu tentang tidak adanya
keseimbangan antara swasta sendiri dan juga swasta dengan Pemerintah, terutama
15
Ibid., hlm. 69-70
16
‘Pemerintah memiliki kewajiban atau mempunyai kewajiban untuk melakukan itu. Keruwetan - keruwetan
pemikiran di dalam hal yang kita bicarakan tadi adalah kata “wajib” dan kata “berhak”. Kita menyatakan
menyelenggarakan, pemerintah “berhak” atau barangkali warga negara “berhak” mendapat pelajaran, tapi
Pemerintah juga beberapa yang mengenai “wajib” belajar, saya lupa di mana tempatnya. Wajib belajar selama
sekian tahun, begitu. Selama sembilan tahun. Nah, kalau ini masalahnya maka kewajiban itu paling tidak dituntut
dari Pemerintah atau dari kita semua untuk menerapkan terhadap yang sembilan tahun itu. Jadi, yang sembilan
tahun itu harus sepenuhnya merupakan kewajiban dari Pemerintah. Yang lain itu adalah hak dari masyarakat untuk
mendapat pendidikan.’ Ibid., hlm. 285
17
‘Jadi harus dimungkinkan pendidikan dasar tanpa bayar, sederhana sekali. Dan di situ kita tidak pada pertanyaan,
tentu Bapak-Bapak yang banyak juga di DPR tahu betul bahwa kita tidak seenaknya bisa minta pengeluaran.’ Ibid.,
hlm. 288
18
Ibid., hlm., 265-266
13
14

pada pendidikan tinggi. Kalau dulu diibaratkan pada waktu Pemerintah tidak bisa
menangani pendidikan tinggi sendiri maka mereka minta tolong swasta. Tetapi setelah
sekarang, swasta berkembang demikian pesat, kemudian ada kebijakan-kebijakan yang
merugikan swasta di antaranya adalah masalah extention dari Perguruan Tinggi Negeri.

Dan selanjutnya pada pendidikan tinggi juga dan ini nanti merupakan tugas Pemerintah
untuk menyelenggarakan pendidikan yang adil dan merata, pemerintah bisa mendapat
bantuan dari luar negeri. Dan saya kira itu sudah diperoleh soft loan dari luar negeri.
Namun, soft loan itu diberikan pada perguruan tinggi swasta secara grant. Dan yang
kebetulan mendapatkan grant itu adalah pendidikan tinggi swasta yang sudah mampu
karena ada persyaratan-persyaratan dari luar negeri. Apakah ini tidak bisa diatur oleh
pihak kementrian, sehingga pendidikan tinggi swasta yang kurang besar, kurang mampu,
juga mendapatkan kesempatan untuk mendapat grant.

Dapat disimpulkan bahwa pada UUD 1945 setelah amandemen ini telah difokuskan perspektif
bahwa pendidikan adalah hak dan permasalahan mengenai akses juga anggaran telah dibahas
dalam proses amandemen. Hal ini setidaknya menggambarkan bahwa proses amandemen ini
telah melihat berbagai permasalahan yang mungkin terjadi terkait hak ada akses terhadap
pendidikan. Penekanan bahwa pendidikan adalah hak adalah hal terpenting merupakan fokus
terpenting dari amandemen UUD 1945 pada masa ini.

B. HAK ATAS PENDIDIKAN DALAM KERANGKA HAK ASASI MANUSIA.

Pendidikan merupakan bagian dari hak paling dasar atau hak asasi manusia, khususnya di
bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Hak atas pendidikan diakui oleh masyarakat internasional
melalui berbagai instrument internasional, yang juga diratifikasi oleh Indonesia. Sehingga,
Indonesia juga secara langsung mengakui dan berkomitmen dalam pemenuhan, perlindungan,
dan penghormatan atas hak atas pendidikan bagi setiap orang.

Hak Atas Pendidikan dalam Instrumen Hukum Internasional

Kutipan Terjemahan Pasal 26 Universal Declaration on Human Rights 1948:


Pasal 26
1. Setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidak-tidaknya untuk
tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan
teknik dan jurusan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pengajaran tinggi harus
secara adil dapat diakses oleh semua orang, berdasarkan kepantasan.

14
15

2. Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas luasnya serta
memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi. Pendidikan
harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa,
kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa
dalam memelihara perdamaian.
3. Orang-tua mempunyai hak utama untuk memilih jenis pendidikan yang akan diberikan
kepada anak-anak mereka.
Kutipan Tejemahan Pasal 13 International Covenant on Economic, Social, and Cuktural
Rights:

Pasal 13
1. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka
menyetujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia
seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak
asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Mereka selanjutnya setuju bahwa pendidikan
harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat
yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa
dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan kegiatan-kegiatan
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian.
2. Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut
secara penuh:
(c) Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar
kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan
cuma-cuma secara bertahap;
4. Tidak satupun ketentuan dalam Pasal ini yang dapat ditafsirkan sebagai pembenaran untuk
mencampuri kebebasan individu dan badan-badan untuk mendirikan dan mengurus lembaga-
lembaga pendidikan sepanjang prinsip-prinsip yang dikemukakan ayat 1 Pasal ini selalu
diindahkan, dan dengan syarat bahwa pendidikan yang diberikan dalam lembaga-lembaga itu
memenuhi standar minimum yang ditetapkan oleh Negara.

Apabila kita melihat dua kovenan internasional, jelaslah bahwa Pendidikan merupaka hak
asasi manusia, yang pelaksanaannya merupakan kewajiban dari Negara. Secara lebih spesifik,
untuk perguruan tinggi dapat kita lihat dari Kovenan Ekosob pasal13, 2.e. dimana jelas
dicantumkan perguruan tinggi harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya untuk semua
orang, dengan pengadaan pendidikan tinggi yang cuma-cuma secara bertahap. Keberlakuan
Kovenan Eksosob ini adalah sama dan setara dengan Undang-undang, sejak diratifikasinya

15
16

melalui UU No. 11 Tahun 2005. Artinya, semua pasal yang ada di Kovenan Ekosob bersiat
mengikat dan harus dipatuhi layaknya Undang-undang yang dibuat DPR dan Presiden.

Dengan demikian, kewajiban Negara terhadap penyediaan pendidikan, tidak hanya berhenti
pada pendidikan dasar atau menengah, namun juga pada pendidikan tinggi. Memang, kovenan
ini berkompromi terhadap kemampuan Negara, sehingga penyediaan pendidikan tinggi secara
cuma-cuma dilaksanakan secara bertahap. Meski demikian, kewajiban bagi Negara pihak untuk
mengusahakan pendidikan tinggi yang gratis itu jelas harus dilaksanakan. Dengan kata lain,
pemerintah sebagai mebuat kebijakan sama sekali tidak dapat membentuk kebijakan yang
justru menegasikan perannya dalam penyediaan pendidikan tinggi secara gratis, dan
mengalihkan tanggung jawab pendanaan pendidikan tinggi kepada masyarakat.

Berdasarkan Panduan Maastricht19 (Maastricht Guidliness on Violation of Economic, Social,


and Cultural Rights) kewajiban negara dalam Hak Ekosob meliputi kewajiban untuk memenuhi,
kewajiban untuk melindungi, dan kewajiban untuk menghormati. Menurut Panduan
Maastricht, kegagalan untuk menjalankan satu atau semua kewajiban tersebut merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak EKOSOB.

Audrey R Chapman, salah seorang pakar hukum internasional yang ikut menyusun panduan
tersebut mengelaborasi ketiga dimensi kewajiban itu sebagai berikut20:

1. Kewajiban untuk menghormati (to respect) mengharuskan negara tidak campur tangan
dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Contohnya adalah dalam
pemenuhan terhadap hak atas perumahan (hak atas standar kehidupan yang layak)
dilanggar apabila Negara terlibat dalam pengusiran secara arbiter yang dilakukan dengan
paksa.
2. Kewajiban untuk melindungi (to protect) mengharuskan Negara mencegah pelanggaran
terhadap hak-hak tersebut oleh pihak ketiga. Dengan demikian, kegagalan untuk
menjamin bahwa para pengusaha swasta tunduk pada standarstandar dasar perburuhan
dapat mengakibatkan palanggaran atas hak untuk bekerja atau hak atas kondisi kerja
yang adil dan menguntuntungkan.
3. Kewajiban untuk memenuhi (to fulfill) mengharuskan Negara untuk mengambil langkah-
langkah yang tepat dalam hal legislatif administratif, anggaran negara, judisial serta
19
Audrey R Chapman. ”Indikator dan Standar Untuk Pemantauan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya”,
Jurnal HAM vol 1 (Oktober 2005) hal 72
20
ibid
16
17

lainnya menuju terwujudnya realisasi sepenuhnya dari hak-hak tersebut. Oleh karena itu,
kegagalan negara untuk menyediakan perawatan kesehatan dasar yang esensial bagi
mereka yang membutuhkan dapat mengakibatkan sebuah pelanggaran.
Dari penjelasan Audrey P Chapman, dalam kaitannya dengan penghormatan hak atas
pendidikan:

1. Kewajiban untuk menghormati

Negara harus menghormati pilihan-pilihan masyarakat dalam hak atas pendidikan.


Sebagaimana terlihat dalam pasal 26 ayat (3) DUHAM, dan pasal 13 ayat (3) dan (4) Kovenan
Ekosob, bahwa Kebebasan untuk memilih institusi pendidikan bagi anak ada di tangan orang
tua atau wali yang sah. Sementara Negara wajib menghormati kebebasan tersebut. Selain itu,
Negara juga dilarang mencampuri kebebasan individu dan badan-badan untuk mendirikan dan
mengurus lembaga-lembaga pendidikan.

Dengan kata lain, Negara harus menghormati hak individu dan atau kelompok untuk memilih
sendiri sistem pendidikan yang dikehendaki juga meliputi hak individu dan atau kelompok
dalam mengembangkan sistem pendidikannya. Kedua aspek ini merupakan hak asasi dalam hak
atas pendidikan sebagaimana disebutkan di pasal 13 Kovenan EKOSOB.

2. Kewajiban untuk melindungi

Negara memiliki kewajiban untuk melindungi setiap orang dari pihak-pihak lain yang
menghalang-halangi atau menyebabkan orang tersebut kehilangan atau tidak bisa mengakses
hak atas pendidikannya.

3. Kewajiban untuk memenuhi

Dalam konteks memenuhi hak atas pendidikan, Negara memiliki kewajiban untuk memenuhi
hak atas pendidikan itu sendiri. Sebagaimana diatur dalam Kovenan Ekosob pasal 13 ayat (2)
huruf a sampai c, dimana Negara wajib menyediakan pendidikan secara gratis untuk pendidikan
dasar serta pengadaan pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi cuma-cuma secara bertahap.
Wujud pemenuhan hak tersebut adalah dengan menyediakan alokasi anggaran dan
mengupayakan agar pendidikan dapat diakses oleh siapa saja tanpa diskriminasi.

17
18

Dengan demikian, terdapat dua dimensi kewajiban Negara, yang pertama adalah bahwa
kewajiban itu harus dilakukan dengan melakukan tindakan aktif. Sementara yang kedua, Negara
justru harus pasif dan tidak melakukan intervensi untuk menghormati hak atas pendidikan itu
sendiri. Sehingga, terdapat aspek dimana dibutuhkan campur tangan dan peran serta aktif
Negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan. Namun, sebaliknya, terdapat aspek dimana
Negara hendaknya tidak melakukan intervensi dalam pelaksanaan hak atas pendidikan (pasif).

Jika dimensi kewajiban untuk memenuhi dan melindungi hak atas pendidikan menekankan
pada perlunya campur tangan Negara dalam penyelenggaraan pendidikan, maka dalam dimensi
kewajiban untuk menghormati, maka hendaknya peran Negara diupayakan seminimal mungkin.

Sebagai bagian dari kelompok hak-hak ekonomi sosial dan budaya, pelanggaran terhadap
hak atas pendidikan didefinisikan sebagai kegagalan pemerintah dari Negara peserta kovenan
untuk mematuhi kewajibannya yang tercantum dalam kovenan. Sebagaimana disebutkan
dalam The Limburg Priciples on The Implementation of The International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights21 kegagalan negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan
dapat dikarenakan tindakan aktif (acts of commision) atau tindakan pasif (acts of ommisison)
dimana pelanggaran terjadi ketika negara tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan
sehingga hak tersebut tidak dapat diwujudkan.

Selain dimensi kewajiban Negara yang dirumuskan oleh Audrey P Chapman, dalam general
comments Kovenan Ekosob (generalcomments E/C.12/1999/10) juga tertuang mengenai empat
indikator untuk melihat keberhasilan atau kegagalan sebuah Negara dalam mewujudkan hak
atas pendidikan. Indikator tersebut antara lain:

a) Ketersediaan – menuntut berbagai lembaga dan program pendidikan harus


menyediakan sarana dan prasarana dalam kuantitas yang memadai seperti, bangunan
sebagai perlindungan fisik, fasilitas sanitasi untuk laki-laki dan perempuan, air minum

The Limburg Principles on The Implementation of The International Covenant on Economic, Social, and
21

Cultural rights”. Human Quarterly vol 9 (1987). hal 121-135


18
19

yang sehat, guru-guru yang terlatih dengan gaji yang kompetitif, materi – materi
pengajaran, serta tersedianya fasilitas perpustakaan,

b) Keterjangkauan - mengharuskan lembaga dan program pendidikan harus bisa diakses


oleh setiap orang, tanpa diskriminasi, di dalam yurisdiksi pihak negara. Aksesibilitas
mempunyai tiga dimensi umum yaitu :

- Non-diskriminasi – pendidikan harus bisa diakses oleh semua orang, terutama


golongan paling rentan, dalam hukum dan faktual, serta tanpa diskriminasi terhadap
bidang-bidang tertentu.

- Aksesibilitas fisik - pendidikan harus berada dalam jangkauan fisik yang aman,
mudah dijangkausecara geografis (misalnya, sekolah disekitar lingkungan tempat
tinggal) maupun teknologi informasi modern (misalnya, akses terhadap program
belajar jarak jauh).

- Aksesabilitas ekonomi - pendidikan harus bisa dijangkau oleh semua orang. Dimensi
aksesibilitas ekonomi ini meliputi : pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun
pendidikan tinggi. Mengingat pendidikan harus tersedia “gratis untuk semua
kalangan’, pihak-pihak Negara perlu secara progresif mengusahakan pendidikan
menengah maupun pendidikan tinggi yang gratis.

c) Keberterimaan – menginginkan bentuk dan substansi pendidikan, termasuk kurikulum,


dan metode pengajaran harus mudah diterima (misalnya, relevan, tepat secara budaya,
dan berkualitas baik) untuk peserta didik dalam hal tertentu juga orang tua

d) Kebersesuaian – pendidikan harus fleksibel, supaya bisa mengadaptasi dengan


kebutuhan masyarakat dan komunitas yang selalu berubah serta selalu bisa merespon
kebutuhan peserta didik tanpa membedakan status sosial dan budayanya.

Empat aspek tersebut, yang juga dikenal dengan 4 A (Availability, Accessibility, Acceptability,
dan Adaptability) merupakan aspek yang harus dipenuhi oleh Negara, untuk membuktikan
pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak atas pendidikan sudah terpenuhi.tidak

19
20

terwujudnya keempat aspek yang menjadi indikator tersebut jelas menunjukan bahwa Negara
gagal atau belum berhasil mewujudkan hak atas pendidikannya.

C. VISI PENDIDIKAN TINGGI

Hakikat Pendidikan
Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan membuat orang
jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih
luas lagi yaitu sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi).
Peserta didik harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan.
Dimensi kemanusiaan itu mencakup tiga hal paling mendasar, yaitu:
(1) Afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi
pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis;
(2) Kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan
mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
(3) Psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis,
kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Fungsi pendidikan tidak berhenti pada individu, melainkan berpengaruh langsung terhadap
masyarakat. Prof. H.A.R Tilaar, M. Sc. Ed, melihat pendidikan merupakan sarana perubahan
sosial. Menurutnya, pendidikan adalah kunci dari semua aspek kehidupan sosial, budaya,
ekonomi, politik berkaitan dengan pendidikan. Perubahan sosial hanya bisa terjadi melalui
pendidikan, serta meningkatkan kapasitas manusia tidak dapat melalui kekuasaan, tetapi
pendidikan.22
Hal ini sejalan dengan pembukaan UUD 1945, dimana salah satu tujuan Negara adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, fungsi pendidikan tidak berhenti pada
individu, melainkan angat luas yang melibatkan seluruh masyarakat untuk menjadi cerdas.
Sementara para psikolog humanistis seperti Maslow dan Rogers berpendapat pendidikan
yang progresif adalah menyerukan penataan kembali masyarakat dan bangsa. Pembangunan
Tuti alfiani Resensi buku Manajemen Pendidikan Nasional karya Prof. Dr. H.A.R Tilaar, M. Sc. Ed
22

http://cair-resuman.blogspot.com/2010/06/resensi-buku-prof-tilaar.html
20
21

sektor pendidikan harus menghasilkan sistem nilai yang mampu mendorong terjadinya
perubahan-perubahan positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 23 Dengan begitu,
pendidikan hendaknya dapat menjadi sarana pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya
sebagai subyek yang bermutu dan memberikan dampak pada perubahan sosial dan masyarakat
yang lebih baik.

Pendidikan Tinggi Sebagai Ruang Pengabdian Pada Masyarakat

Prof. H.A.R Tilaar, menyatakan 24 Pendidikan Tinggi, dimana dunia akademik memiliki
peranan yang sangat strategis dalam menumbuh kembangkan kehidupan demokrasi atau
keterbukaan dan tidak hanya menjadi penonton atau mungkin pengritik kejadian-kejadian
sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Perguruan Tinggi di masa depan agar
Lembaga perguruan tinggi dapat berfungsi sebagai mana suatu pranata sosial yang mendukung
pencapaian cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang terbuka yang adil dan makmur.

Sementara, dalam website dikti.go.id25, dirumuskan bahwa Pendidikan tinggi pada


hakekatnya merupakan upaya sadar untuk meningkatkan kadar ilmu pengetahuan dan
pengamalan bagi mahasiswa dan lembaga dimana upaya itu bergulir menuju sasaran - sasaran
pada tujuan yang ditetapkan. Perguruan tinggi sebagai lembaga merupakan komunitas hidup
dinamik dalam perannya menumbuh-dewasakan kadar intelektual, emosional dan spirirtual
para mahasiswa, bergumul dengan nilai - nilai kehidupan kemasyarakatan, mengejar dan
mendiseminasikan pengetahuan sebagai pengabdian bagi kemajuan masyarakat. Dalam posisi
dan perannya ini lembaga pendidikan tinggi merupakan mercu suar kebajikan dan
kemaslahatan, tidak seperti menara gading yang merupakan monumen mati sebagai simbol
belaka.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa fungsi pendidikan tinggi tidak semata-mata berhenti
pada pengembangan individu, melainkan berdampak secara langsung bagi masyarakat. Karena
itulah, kepentingan terhadap pendidikan tinggi yang berkualitas tidak hanya dimiliki oleh orang
23
Kajian BEMUI 2008 Badan Hukum Pendidikan
24
Op.cit, Tuti Alfiani
25
http://dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=138&Itemid=231
21
22

perorang saja. Pendidikan tinggi bukan sekotor jasa yang menghasilkan mahasiswa sebagai
produk siap pakai bagi perusahaan-perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Pendidikan
Tinggi merupakan tempat dimana ilmu pengetahuan didapatkan, diproses, dan dihasilkan,
untuk manfaat bagi masyarakat secara luas.

Perspektif yang melihat Pendidikan Tinggi sebagai pabrik untuk menghasilkan tenaga kerja
siap pakai, justru mengkerdilkan makna Pendidikan Tinggi itu sendiri. Mahasiswa sebagai
generasi penerus bangsa tidak bisa hanya disiapkan untuk berdaya saing dalam mendapatkan
pekerjaan. Merupakan kepentingan seluruh bangsa di dunia, untuk memiliki agent of change
yang sanggup memimpin dan membawa perubahan masyarakat menjadi lebih baik.

Bagi Kovenan Hak Ekosob, pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian
manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas
hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Pendidikan adalah proses pembebasan.
Bebas dari kemiskinan, bebas dari kebodohan, dan bebas dari kungkungan-kungkungan sosial,
politik, dan budaya. Dengan pendidikan, manusia mampu berpikir kritis, dan menentukan
hidupnya. Pendidikan juga merupakan suatu cara bagi manusia untuk mencapai mobilisasi
vertikal ke taraf hidup yang lebih baik.

Proses pembebasan tersebut tidak berhenti pada individu. Peran individu-individu sebagai
bagian dari masyarakat akan memberi dampak pada keseluruhan masyarakat, sehingga tercipta
masyarakat yang bebas dari kemiskinan, bebas dari kebodohan, dan bebas dari kungkungan-
kungkungan sosial, politik, dan budaya.

22
23

Bagian III

KONDISI FAKTUAL PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA

A. PENDIDIKAN TINGGI SULIT DIAKSES

Pendidikan tinggi masih menjadi barang mewah di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari
rendahnya angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia. Pada tahun 2010 Angka
Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi sebesar 16.35, dan Angka Parsisipasi Murni Perguruan Tinggi
adalah 11.01.26 Pada tahun 2011, jumlah mahasiswa Indonesia baru mencapai 4,8 juta orang.
Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya
baru 18,4 persen. Jumlah ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain, terutama
negara maju.27

Rendahnya angka partisipasi tersebut menunjukkan rendahnya aksesibilitas untuk


mendapatkan pendidikan tinggi, terutama aksesibilitas ekonomi. Hal tersebut dikarenakan
biaya pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat mahal akibat telah diprivatisasinya
pendidikan tinggi. Sebagaimana dikemukakan di Bab I, hak atas pendidikan merupakan salah
satu dari Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Dalam pemenuhannya, berdasarkan Komentar
Umum Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya terdapat 4 indikator, yaitu Ketersediaan,
Keterjangkauan, Keberterimaan, dan Kebersesuaian. Untuk indikator keterjangkauan, salah
satunya adalah keterjangkauan ekonomi (aksesibilitas ekonomi). Indikator tersebut,
menunjukkan bahwa negara Indonesia belum memenuhi hak atas pendidikan warga negaranya
dalam mengakses pendidikan tinggi. Bahkan kebijakan privatisasi pendidikan semakin
memperburuk keadaan. Di Universitas Gadjah Mada, misalnya pada tahun 2002 sekurang-

26
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=28&notab=1 diunduh pada 3
Februari 2012

27
http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/26/13202052/Mahasiswa.di.Indonesia.Cuma.4.8.Juta diunduh
pada 3 Februari 2012
23
24

kurangnya terdapat 1.000 calon mahasiswa yang mengundurkan diri karena tidak mampu
membiayai ongkos pendidikan.28

PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB

B. PRIVATISASI PENDIDIKAN

Privatisasi PTN sebenarnya berawal dari krisis ekonomi yang mendera bangsa Indonesia
sejak pertengahan tahun 1997. Krisis ekonomi memaksa bansa Indonesia bekerja sama dengan
lembaga keuangan internasional (IMF). IMF bersedia member pinjaman dengan syarat adanya
berbagai macam kenaikan harga, seperti tarif listrik, bahan bakar mnyak, yang lalu diikuti
melambungnya berbagai macam kebutuhan harian masyarakat. Bagi dunia pendidikan, paling
nyata adalah privatisasi PTN.

Privatisasi PTN dituangkan dalam PP 61/1999 dan PP 153/2000 yang Mengubah status PTN
menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Privatisasi berarti pencabutan subsidi pendidikan
secara bertahap lima tahun terhitung semenjak 1999. Sejak itu perguruan tinggi dituntut
mencari dana secara mandiri untuk membiayai pendidikannya. Di dalam perkembangannya
persoalan ini kemudian menjadi pangkal atas persoalan komersialisasi dunia pendidikan dan
menjadikan dunia pendidikan semakin mahal untuk diakses warga ekonomi kelas rendah. 29

Privatisasi pendidikan berdalih otonomi kemudian menghasilkan berbagai program


perguruan tinggi yang menghasilkan uang dari mahasiswa dan masyarakat, misalkan ujian
mandiri dan sumbangan pendidikan. Berdasarkan data penerimaan mahasiswa di PTN tahun
2008/2009, Sumbangan Pembangunan Pendidikan (SPP) yang dibebankan kepada para calon
mahasiswa sangat mahal. Di UI, sistem penerimaan mahasiswa UI-Program prestasi dan minat
mandiri mematok tariff Rp. 75 juta/calon mahasiswa. Di Undip, program pengembangan dan
kerja sama mematok tariff Rp. 25 juta hingga Rp. 250 juta per calon mahasiswa. UGM membuka
Program Penjaringan Kemitraan dengan tariff Rp. 15 juta hingga Rp. 10o juta per calon

28
(Muhammad Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional, Cet. I. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Hal, 266)

29
Muhammad Rifa’I, Sejarah Pendidikan Nasional, Cet. I. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Hal, 265
24
25

mahasiswa. Kemudian, ITB melalui penelusuran minat, bakat, dan potensi mematok tarif Rp. 45
juta per calon mahasiswa.30

Privatisasi yang memiliki maksud baik membuat setiap PTN semakin mandiri dalam
kerangka kerja ilmunya, ternyata menyimpan bara ketidakadilan sosial, melanggengkan
kemiskinan dan mencabut hak-hak orang miskin atas pendidikan yang semestinya disediakan
oleh negara.

Berbicara tentang pengalihan tanggung jawab pendanaan dari Negara ke masyarakat, hal
itu menjadi masalah ketika kita melihat makna pendidikan itu sendiri. Bagi individu, pendidikan
merupakan suatu proses pembebasan. Bebas dari kemiskinan, bebas dari kebebasan, dan bebas
dari kungkungan-kungkungan sosial, politik, dan budaya. Dengan pendidikan, manusia mampu
berpikir kritis, dan menentukan hidupnya. Pendidikan juga merupakan suatu cara bagi manusia
untuk mencapai mobilisasi vertikal ke taraf hidup yang lebih baik.

Namun, fungsi pendidikan tidak berhenti hanya pada individu saja. Ada ungkapan yang
menyatakan bahwa harapan besar masyarakat terletak pada karakter tiap individu. Ungkapan
ini bila diartikan secara lebih luas mengandung makna bahwa tiap individu berperan dalam
pembangunan peradaban. Hal ini karena masyarakat sendiri terdiri dari individu sehingga untuk
membangun masyarakat, peran tiap individu sangat dibutuhkan. Dengan kata lain, masing-
masing individu memiliki peranan dalam membangun sebuah peradaban bangsa. Majunya
sebuah bangsa bergantung pada individu-individu yang ada untuk mendapatkan pendidikan
dan menentukan arah bangsa ini. Karena itu, Negara memiliki kepentingan akan pendidikan dan
kemajuan individu tersebut, yang akhirnya akan menjadi kemajuan kolektif yang
mempengaruhi kemajuan Negara.

Kesadaran itu tampaknya turut mendorong para pembentuk Undang-undang Dasarr 1945,
dimana merumuskan‘mencerdaskan kehidupan bangsa,’sebagai tujuan Negara. Hak atas
pendidikan juga secara tegas diatur di dalam batang tubuh UUD 1945, asal 28 C dan pasal 31
ayat (1).

30
Ibid. Hal. 282
25
26

Tidak berhenti di UUD 1945, Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional juga menyatakan setiap warga Negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan
pendidikan yang bermutu. Indonesia bahkan berkomitmen dalam memajukan pendidikan
melalui konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob). Kovenan yang diratifikasi melalui
UU No. 11 Tahun 2005 menjadi sebuah dasar hukum yang mengikat, sama seperti Undang-
undang lainnya di Indonesia. Kovenan ini secara jelas menunjuk Negara sebagai pihak yang
bertanggung jawab untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak atas pendidikan.

Apabila kita tengok pasal 13 Kovenan Ekosob tersebut, jelas bahwa Negara melalui
pemerintahlah yang memiliki tanggung jawab dalam hak atas pendidikan. Tak hanya pendidikan
dasar, Negara juga wajib menyediakan pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi secara Cuma-
cuma secara bertahap. Kewajiban Negara tersebut, mencakup aspek ketersediaan,
keterjangkauan, keberterimaan, dan kebersesuaian. Keempat indikator tersebut menjadi tolak
ukur apakah sebuah Negara benar-benar melaksanakan tanggung jawabnya dalam hak atas
pendidikan atau tidak.

Inkonsistensi Pengaturan

Dengan demikian, munculnya konsep badan hukum pendidikan (dengan huruf kecil, karena
bukan hanya bentuk Badan Hukum Pendidikan, tapi juga bentuk badan hukum bagi pendidikan
lainnya), yang mengalihkan tanggung jawab pendanaan dari Negara ke masyarakat jelas
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Secara nyata, dampak dari
pembadanhukuman lembaga pendidikan juga sudah bisa dilihat melalui institusi-institusi
pendidikan yang berbentuk badan hukum seperti UI. Polemik UI, yang muncul akibat berbagai
permasalahan, terutama persoalan biaya dan berbagai kebijakan mercusuar, justru diakibatkan
oleh kebijakan pendidikan di tataran nasional.

Karena itu, tidak mengherankan Mahkamah Konsitutusi (MK) melalui putusannya tanggal 3
Maret 2010, mencabut Undang-undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
MK mencabut Undang-undang tersebut secara keseluruhan, bukan hanya pasal per pasalnya.
Karena, yang bertentangan dengan UUD 1945 bukan sekedar pengaturan di dalamnya, tetapi
konsep badan hukum secara keseluruhan.
26
27

Mencermati permasalahan UI, dan juga lembaga pendidikan lainnya, yang harus kita
perhatikan adalah landasan hukum yang mengatur tata kelola pendidikan tinggi, termasuk
organ, sistem keuangan, status kepegawaian, dan isu-isu lainnya yang saat ini turut menjadi
polemik di UI. Hendaknya pendidikan tinggi yang diselenggarakan secara cuma-cuma meskipun
secara bertahap itu dapat terwujud. Kewajiban Negara harus dipahami dan dilaksanakan secara
komprehensif, baik untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak atas pendidikan.
Artinya, secara positif, Negara harus memenuhi dengan menyediakan pendidikan yang
bermutu, melalui anggara pendidikan yang memadai, serta melindungi warga Negara dari
pihak-pihak ketiga yang melakukan atau berpotensi melanggar hak atas pendidikan. Secara
negatif, kewajiban untuk menghormati mengharuskan Negara memberikan kewenangan
kurikulum, dan menjadikan institusi pendidikan berjalan independen tanpa intervensi Negara
dalam hal kegiatan belajar mengajar dan menciptakan ilmu pengetahuan.

C. KONDISI SOSIOLOGIS PENDIDIKAN TINGGI

Sejak tahun 2000 hingga saat ini, sbanyak tujuh perguruan tinggi negeri telah beralih status
menjadi Badan Hukum Milik Negara. BHMN memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan
PTN. Perbedaan ini terletak di sifat otonom, tidak hanya terkait kurikulum, atau akademis,
melainkan juga otonom dalam pengelolaan keuangan.

Kondisi UI sebagai Perguruan Tinggi BHMN

Universitas Indonesia (UI), sejak tahun 200 menjadi BHM melalui Peraturan Pemerintah No.
152 Tahun 2000. Status BHMN memberikan otoritas kepada UI untuk menentukan
kebijakannya, yang direncanakan oleh pimpinan Universitas (rektor) dengan persetujuan
Majelis Wali Amanat, serta dilaksanakan oleh badan rektor dan jajarannya. Semenjak menjadi
Universitas BHMN, kita menyaksikan sejumlah kebijakan terkait pembangunan fisik yang
membutuhkan pendanaan besar. Pembangunan fisik disertai ketidakmampuan UI dalam
mendapatkan sumber pendanaan, akhirnya membebankan mahasiswa untuk membayar lebih
besar. Melalui otonomi kebijakan, UI menghasilkan berbagai kebijakan pendanaan yang
membebabkan mahasiswa, antara lain melalui:

a. Admission Fee
27
28

Admission Fee di UI mulai berlaku sejak tahun 2004, yang tujuannya jelas untuk menambah
pemasukan UI. Admission fee dibayarkan oleh mahasiswa baru di awal tahun ketika masuk UI.
Besarnya admission fee berdasarkan fakultas, dengan jumlah antara Rp5 juta, Rp10 juta, dan
Rp25 juta.

b. Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan

Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan, disingkat BOP-B, merupakan suatu sistem yang
muncul ketika rektor ingin menaikkan BOP yang telah berlaku. BOP-B dirumuskan dengan
harapan bahwa mahasiswa yang masuk ke UI dapat membayar BOP dengan proporsional sesuai
dengan kemampuan financial yang dimiliki. Namun pada pelaksanaan di lapangan BOPB
menjadi sebuah sistem keringanan, untuk mahasiswa yang dianggap tidak mampu membayar
biaya operasional pendidikan sebesar Rp5 juta (untuk rumpun sosial), dan Rp7,5 juta (untuk
rumpun sains)

c. Ujian Mandiri UI sebagai jalur masuk S1 reguler

Tahun 2008, UI melaksanakan Ujian Mandiri Bersama dengan 4 Perguruan tinggi lainnya,
yaitu UI Jakarta, USU Medan, UIN Jakarta, UNJ Jakarta, dan Unhas Makassar. Dan pada tahun
2009 UI menyelenggarakan SIMAK UI yang merupakan jalan masuk UI program S1 reguler,
vokasi, dan non regular. Stigma yang berkembang di masyarakat bahwa ujian mandiri adalah
mahal, tentunya akan membatasi keberanian siswa/I SMA untuk memilih UI. Hal ini berarti
secara tidak langsung UI sudah menutup akses calon mahasiswa itu untuk masuk UI. Padahal,
Aksesibilitas merupakan salah satu indikator terpenuhinya hak pendidikan.

Selain itu, bentuk pendaftaran SIMAK yaitu secara online menjadi permasalahan tersendiri.
Tidak semua siswa/I SMA di Indonesia akrab dan bisa mengakses internet. Seperti yang kita
ketahui adalah bahwa salah satu ciri masyarakat miskin adalah memiliki keterbatasan atas
akses informasi, termasuk internet. Dari sini bisa kita lihat bahwa sejak awal, dengan
mekanisme SIMAK, UI sudah melakukan seleksi finansial bagi calon mahasiswanya.

d. Jalur Non Reguler

28
29

Jika biasanya kita hanya mengenal S1 reguler, D3, dan Ekstensi, maka kini kita mengenal
jalur masuk baru yang bernama non regular. Di peraturan dikti sendiri dikatakan bahwa
nonreguler merupakan salah satu cara untuk menambah pemasukan. Adanya program non
regular di UI menunjukkan bahwa UI masih mengandalkan mahasiswa sebagai penyumbang
dana terbesar.

D. Kisruh pengelolaan perguruan tinggi.

Kisruh Tata Kelola UI

Kita tentu belum lupa dengan munculnya kontroversi pemberian penghargaan Honoris
Causa oleh UI kepada raja Saudi Arabia menjadi perdebatan yang muncul ke permukaan publik.
Tak tanggung-tanggung kecaman tidak hanya datang dari kalangan aktivis Buruh Migran yang
keberatan UI memberikan penghargaan bagi raja yang membiarkan pelanggaan HAM terhadap
Buruh Migran Indonesia terus terjadi di negaranya itu. Kecaman yang lebih banyak tertuju pada
rektor Universitas Indonesia tersebut justru dilancarkan oleh internal keluarga Universitas
Indonesia. Dari Guru Besar, pekerja, alumni, bahkan mahasiswa, seakakan bersaut-sautan
meneriakan rektor UI turun dari jabatannya.

Apabila kita telusuri lebih jauh, kecaman dari lingkungan UI bukan tanpa alasan. Pasalnya,
kesalahan Rektor UI tidak sebatas pemberian gelar Honoris Causa. Sederet kebijakan yang
dinilai tidak sesuai menjadi pemicu murkanya berbagai elemen di UI. Dari mahasiswa, dosen
dan karyawan, sampai Guru Besar, masing-masing bersuara berdasarkan kepentingannya.

Persoalan mahalnya biaya pendidikan, tidak adanya sistemnya check and balances, dan tidak
adanya status kepegawaian yang jelas, yang akhirnya memberikan dampak terhadap
ketidakjelasan hak yang mereka peroleh pula merupakan persoalan besar dari persoalan
lainnya yang membuat civitas akademika UI seolah meledak di momen ini.

Polemik di UI sudah menjadi api dalam sekam selama bertahun-tahun. Ketidakpuasan dari
berbagai elemen tidak muncul ketika UI yang dipimpin Gumilar Rusliwa Sumantri memberikan
gelar Dr Honoris Causa kepada raja Arab. Terhitung sejak tahun 1999, gejolak di UI sudah

29
30

tercatat. Mahasiswa berdemo karena munculnya Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP),
yang berjumlah Rp750 ribu.

Menyusul kemudian, UI dibadanhukumkan, melalui Peraturan Pemerintah No. 152 Tahun


2000 tentang Penetapan Universitas Indonesia sebagai Badan Hukum Milik Negara. Sejak saat
itu, berbagai kebijakan yang terkait peningkatan biaya pendidikan terus muncul. Dari mulai
hadirnya admission fee sebesar Rp5 juta sampai Rp25 juta. Hingga kenaikan biaya operasional
pendidikan sebesar Rp5 juta dan Rp7,5 juta per semester.

Karena itu, persoalan di UI tentulah bukan sekedar pemberian gelar, bukan pula sekedar
tentang tata kelola yang dianggap bermasalah, karena Majelis Wali Amanah UI terancam
dibubarkan. Sebaliknya, permasalahan UI terkait erat dengan kebijakan nasional. Sehingga,
sangat relevan membicarakan keterkaitan polemic UI dengan rezim badan hukum pendidikan,
yang sangat mungkin akan terjadi di lembaga-lembaga pendidikan lainnya.

Hadirnya konsep BHMN, memang terkait erat dengan wacana membadanhukumkan semua
lembaga pendidikan, sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-undang Badan Hukum
Pendidikan yang telah dicabut beberapa waktu yang lalu. UI, disusul oleh enam Perguruan
Negeri lainnya, harus menjadi laboratorium uji coba pemberlakukan badan hukum pendidikan
melalui status BHMN tersebut.

Lembaga Pendidikan sebagai Badan Hukum

Bentuk badan hukum bagi lembaga pendidikan muncul dari semangat otonomi pendidikan.
Berbagai permasalahan birokrasi menjadi alasan kebutuhan lembaga pendidikan untuk menjadi
otonom, baik dari segi tata kelola maupun keuangannya. Baik di PP 152 Tahun 2000, maupun
Undang-undang BHP menyatakan kekayaan awal Universitas berasal dari APBN berupa
kekayaan Negara yang dipisahkan. Itulah yang mengakibatkan lembaga pendidikan dengan
bentuk badan hukum tersebut dapat dipailitkan.

Masih terkait dengan keuangan, muncul pengalihan tanggung jawab pendanaan dari
Negara ke Universitas. Dengan status Perguruan Tinggi Negeri, Universitas mendapatkan
pembiayaan dari alokasi APBN. Namun, otonomi pendidikan memberikan taanggung jawab

30
31

kepada universitas untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan di luar APBN. Sejalan dengan
kewenangan untuk merumuskan kebijakannya sendiri, yang terjadi di UI belakangan rektor
memilih pebangungan fisik sebagai prioritas.

Pembangunan fisik ini otomatis disertai dengan kebutuhan pendanaan yang cukup besar.
Masalahnya, jalan pencarian dana yang disediakan, misalnya dalam bentuk ventura tidak
memberikan hasil yang signifikan. Hal ini tidak mengherankan mengingat universitas didirikan
untuk tujuan pendidikan, menciptakan ilmu pengetahuan, bukan untuk pencarian dana.
Akibatnya, kebutuhan dana yang besar itu dibebankan kepada peserta didik. Kebijakan terkait
pembiayaan pendidikan yang kemudian keluar adalah melulu kenaikan biaya, dari mulai
munculnya admission fee, kenaikan BOP, dibukanya jalur Non Reguler, dan lain sebagainya.

E. PERGURUAN TINGGI RENTAN INTERVENSI

Di institusi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kandidat rektor dinominasikan oleh senat.
Tiga kandidat yang menduduki peringkat paling tinggi akan dihadapkan ke Majelis Wali Amanat
untuk dilakukan pemilihan, tetapi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ikut di dalamnya dan
memiliki hak suara yang cukup besar, yaitu sebesar 35%. Sedangkan di institusi non BHMN,
kandidat dinominasikan oleh senat universitas yang kemudian dikirim dan direkomendasikan ke
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.31

Pemilihan rektor universitas sangat dipengaruhi oleh jaringan sosial politik. Setiap calon
rektor harus mendekati kekuasaan dan pengambil keputusan. Seringkali rektor harus
mendekati partai-partai yang dominan untuk menjadi mendapatkan posisi rektor, selain itu juga
dipengaruhi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang saat itu menjabat berasal dari
partai politik mana. Jika ada calon rektor yang berkualitas, namun tidak memiliki jaringan politik
yang bagus, maka jangan harap ia akan terpilih menjadi rektor. Akibat dari kondisi tersebut,
rektor menjadi tidak kritis terhadap kebijakan pemerintah dan justru jadi corong pemerintah
dengan mengabaikan kebenaran akademisnya.

31
Heru Nugroho, The Political Economy of Higher Education: The University As An Arena For The Struggle For
Power. Hal.150
31
32

Selain permasalahan pemilihan pimpinan universitas. Universitas di Indonesia saat ini masih
terpengaruh oleh struktur kebijakan Orde Baru. Struktur yang militeristik di jaman Orde Baru
mengakibatkan kampus berada di bawah komando dari pemerintah. Struktur komandonya
sebagai berikut: President, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi,
Rektor, Dekan atau Kepala Pusat Studi, Kepala Departemen/Program/Jurusan/Laboratorium,
Pengajar, dan Mahasiswa. Struktur tersebut merupakan piramida administrasi. 32 Universitas
memliki kewenangan untuk membuat putusan terkait administrasi dalam departemen dan
fakultas, namun masih dalam pengaruh besar pemerintah. Promosi harus dibuat oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Surat untuk pengukuhan professor pun harus ditandatangani
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan cenderung otoriter dalam kebijakannya, misalnya


adanya Surat Edaran No. 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari perihal publikasi karya ilmiah untuk
mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 berlaku mulai kelulusan Agustus 2012. Isinya adalah mewajibkan
mahasiswa S-1 untuk menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah, mahasiswa S-2
menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal nasional, dan mahasiswa S-3 wajib menghasilkan
makalah yang terbit pada jurnal internasional. Demi meningkatkan produktivitas, Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan tidak memperhatikan bagaimana implementasi surat edaran
tersebut dan bagaimana kualitas makalah yang diterbitkan. Jika setiap tahunnya terdapat
100.000 calon lulusan S-1, S-2, dan S-3, perlu disediakan sejuta halaman jurnal ilmiah. Kalau
satu jurnal rata-rata 150 halaman dan terbit 12 kali setahun, yang harus disediaka adalah 555
jurnal ilmiah baru. Selain itu apakah Dikti bisa mengecek 1000.000 halaman makalah tersebut.
Dalam tulisannya Franz Magnis Suseno SJ mengkritisi kewajiban makalah, ia mengatakan
perguruan tinggi di Indonesia dipermainkan birokrat-birokrat yang wawasannya kadang-kadang
berkesan beyond hope, melampaui harapan.33

F. PERGURUAN TINGGI RENTAN PENYIMPANGAN ANGGARAN

Di tengah gencarnya pemberantasan korupsi, perguruan tinggi justru menjadi bagian dari
masalah. Otonomi yang diberikan berpotensi besar menimbulkan penyimpangan anggaran
32
Ibid, Hal. 154.
33
Franz Magnis Suseno SJ, Dikti di Seberang Harapan?, Kompas, 8 Februari 2012, Hal. 6.
32
33

sehingga memang diperlukan tata keuangan yang tersendiri terhadap perguruan tinggi. Kasus
dugaan penyimpangan tersebut dapat terlihat antara lain dalam beberapa kampus sebagai
berikut:

 Universitas Gadjah Mada (UGM)

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit terhadap pengadaan barang dan jasa
serta rekening UGM. BPK menemukan 9 permasalahan signifikan dalam pengelolaan anggaran
di UGM dalam rentang tahun 2008-2010. Hal tersebut sesuai dengan surat BPK kepada Rektor
UGM dengan nomor 42/S/VIII/12/2011 per tanggal 30 Desember 2011. Sembilan permasalahan
tersebut adalah sebagai berikut:34

1) Penetapan volume pekerjaan dalam RAB tidak berdasar data faktual dan gambar
rencana pembangunan RSA UGM tahap II TA 2010 mengakibatkan kelebihan
pembayaran sebesar Rp 479.679.261,10.

2) Penetapan harga satuan pekerjaan dalam addendum kontrak pembangunan RSA UGM
tahap II TA 2010 melebihi harga penawaran mengakibatkan kelebihan pembayaran
sebesar Rp 2.066.210.452,50

3) Volume pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai kontrak minimal senilai Rp 262.464.789,40

4) Pelaksanaan pekerjaan pembangunan gedung RSA UGM tahap I dan II serta Fisipol tahap
II terlambat dan belum dikenakan sanksi denda sebesar Rp 3.489.722.071,00

5) Hasil pengadaan peralatan RSA UGM TA 2009 dan 2010 belum dapat dimanfaatkan dan
tidak dapat dilaksanakan uji fungsi sebagai syarat penyelesaian pekerjaan
mengakibatkan denda keterlambatan sebesar Rp 1.383.655.450,00

6) Prosedur pengadaan tanah untuk pembangunan RSA UGM tidak sesuai ketentuan

7) Pembayaran biaya langsung non personil atas pelaksanaan kontrak konsultan tidak
didukung bukti senilai Rp 1.102.790.000,00

34
http://www.detiknews.com/read/2012/02/02/100308/1832128/10/9-Temuan-BPK-Soal-Masalah-
Keuangan-UGM diakses 3 Februari 2012
33
34

8) Penilaian penawaran penyedia jasa pembangunan RSA UGM tahap II TA 2010 tidak
berdasarkan dokuen lelang mengakibatkan indikasi kerugian negara sebesar Rp
22.846.000.000,00

9) Penerimaan pendidikan dan non pendidikan UGM TA 2010 tidak disetorkan ke rekening
rektor sebesar Rp 336.832.693.470,38.

 Institut Teknologi Bandung (ITB)

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit terhadap pengadaan barang dan jasa
serta rekening Institut Teknologi Bandung (ITB), dan menemukan BPK 5 permasalahan
signifikan dalam pengelolaan anggaran di ITB dalam rentang tahun 2008-2010. Hal tersebut
sesuai dengan surat BPK kepada Rektor ITB dengan nomor 35/S/VIII/12/2011 per tanggal 30
Desember 2011. Lima permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: 35

1) Penyedia barang TA 2008,2009,2010 tidak dapat melaksanakan pekerjaan sesuai


kontrak dan tidak dikenakan sanksi senilai Rp 122.759.797,00

2) Addendum pengurangan volume pekerjaan tidak sesuai ketentuan sehingga tujuan


pengadaan barang tidak tercapai dan ITB tidak memperoleh barang yang dibutuhkan
senilai Rp 1.445.322.780,00

3) Addendum perubahan volume kotrak dan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan


pekerjaan pada empat kontra senilai Rp 3.959.241.932,93 dibuat setelah jangka waktu
kontrak berakhir dan mendahului surat peringatan/teguran I

4) Pekerjaan pengadaan barang yang berasal dari sumber dana APBN terlambat
diselesaikan dan belum dikenakan denda keterlambatan Rp 191.560.560,00

5) Pekerjaan pengadaan barang yang berasal dari sumber dana masyarakat (DM) terlambat
diselesaikan dan belum dikenakan denda keterlambatan senilai Rp 29.763.515,00

 Universitas Indonesia (UI)


35
http://www.detiknews.com/read/2012/02/02/103743/1832153/10/5-Temuan-BPK-Soal-Masalah-
Keuangan-ITB diakses pada 3 Februari 2012
34
35

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menduga telah terjadi tindakan korupsi dengan potensi
kerugian negara sejumlah Rp. 41 miliar. Dugaan tersebut terkait alih fungsi lahan bekas asrama
Pegangsaan Timur (PGT) di daerah Cikini seluas 23.583 meter tanpa sepengetahuan Kementrian
Keuangan.36 Selain itu, Universitas Indonesia juga dinilai tidak transparan. Hal tersebut
tercermin dengan adanya permintaan informasi pengelolaan keuangan yang dimohonkan oleh
Indonesia Corruption Watch (ICW), namun tidak ditanggapi secara transparan. ICW pun
melakukan gugatan ke Komisi Informasi Publik (KIP). 37

G. PENGARUH TREN KAPITALISASI GLOBAL

Berakhirnya perang dingin telah memberikan berbagai konsekuensi terhadap konstelasi


politik global. Salah satu dan mungkin yang paling penting adalah kemenangan demokrasi
liberal atas komunis Uni Soviet. Kemenangan oleh Fukuyama dimaknai oleh akhir dari sejarah
dimana kemenangan demokrasi liberal membuat nilainilai demokrasi liberal akan menyebar ke
seluruh dunia dan manusia akan hidup dalam kedamaian di bawah naungan nilai-nilai
demokrasi liberal. Hal tersebut menjadi konsekuensi yang logis dimana AS sebagai negara yang
menguasai konstelasi politik global, memiliki sebuah privilaged untuk menyebarkan nilai-nilai
yang dipegang oleh AS, dalam hal ini adalah nilai-nilai demokrasi liberal. Oleh sebab itu sejak
berakhirnya perang dingin demokrasi liberal disebarkan melalui berbagai institusi maupun
rezim, termasuk WTO, IMF, dan Bank Dunia, yang biasa disebut unholly trinity. Lewat kebijakan
stuctural adjustment program-nya, ketiga institusi tersebut menjadi ujung tombak penyebaran
nilai-nilai demokrasi liberal.

Indonesia sebagai sebuah entitas negara yang tidak terpisahkan dari konstelasi politik
global, juga tidak dapat menghindarkan diri dari penyebaran nilai-nilai demokrasi liberal. Dalam
konteks kebijakan pendidikan, maka keikutsertaan Indonesia dalam GATS menjadi awal mula
masuk-nya semangat liberal-kapitalisme di dunia pendidikan. Berdasarkan kesepakatan di

36
http://www.bisnis.com/articles/korupsi-bpk-temukan-dugaan-korupsi-ui-rp41-miliar diakses 3 Februari
2012

37
http://nasional.vivanews.com/news/read/277158-icw-gugat-rektor-ui-ke-kip diakses pada 3 Februari 2012

35
36

GATS, maka pendidikan dimasukkan sebagai salah satu sektor komoditas jasa, sehingga
Indonesai yang ikut menyepakati GATS, harus melakukan berbagai penyesuai struktural agar
sektor pendidikan menjadi sebuah sektor komoditas jasa. Berangkat dari kesepakatan tersebut,
maka Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pendidikan mulai dari UU Sisdiknas,
UU Guru dan Dosen, dan UU Badan Hukum Pendidikan yang akhirnya dicabut oleh MK. Seperti
yang kita ketahui, pasca dicabutnya UU BHP oleh MK, muncul Rancangan Undang-undang baru
yang mengatur tata kelola pendidikan tinggi. Prinsip otonomi mewarnai pengaturan dalam draft
RUU ini, sebagaimana diatur dalam UU BHP.

Berbagai perundangan-undangan tersebut membuat adanya perubahan secara struktur


makna pendidikan, dari sebuah majelis luhur tempat dilakukannya transfer wawasan, budaya,
dan nilai-nilai, menjadi sebuah sektor komoditas jasa yang mana dapat diperjual belikan
selayaknya barang ekonomi lainnya. Berbagai program telah diberikan oleh Bank Dunia agar
institusi pendidikan lebih siap dalam penyesuaian diri menjadi sebuah institusi sektor jasa,
seperti Higher Education for Compt Project (HECP) yang pada akhirnya dirubah menjadi
Indonesia Managing Higher Education for Relevance dan Efficiency (IMHERE). Bila kita melihat
secara sepintas judul dari program tersebut maka tujuan dari program tersebut adalah
terbentuknya sebuah pendidikan yang efisien.

Dalam konteks tersebut, maka pemikiran liberal percaya bahwa akan terjadi sebuah
efisiensi ketika peran negara diminimalisasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa program
tersebut merupakan sebuah ‘bantuan’ terhadap proses perubahan institusi pendidikan menjadi
sebuah institusi yang efisien. Pada akhirnya kita dapat melihat bahwa berbagai kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah dalam kaitannya dengan pendidikan menunjukkan adanya upaya
secara sistematis untuk mewujudkan sebuah pendidikan yang efisien tanpa adanya intervensi
dari pemerintah.

Dalam Dokumen Bank Dunia, Project Apprissal Document on a Proposed Loan In the
Amount of $50 millions, and a Propose Credit os SDR 19,85 millions ($ 0 millions equivalent) to
the Republic Indonesia for a Managing Higher Education for Relevant and efficiency Project,

36
37

terdapat beberapa hal yang menyebut-nyebut Badan Hukum Pendidkan. Badan Hukum
Pendidikan disebut2 sebagai salah satu Key Project Indicators, yaitu:

There are five key indicators for the development objectives of this project. These general
indicators will guide project monitoring and evaluation and are discussed in detail in Annex 3.
the foundation for a coherent legal structure and an overarching regulatory framework to
support the effectiveness o f institutional autonomy.
The National Information System for Higher Education develops the capability to conduct and
report on regular graduate tracer studies by 2010, thereby signaling significant The draft law on
education institutions (BHP) is passed by 201 0, thereby putting in place
Apabila kita membaca naskah akademik RUU Pendidikan Tinggi versi 22 Maret 2011, kita
akan melihat inkosistensi yang nyata dari sikap pemerintah. Dalam naskah akademik tersebut
dinyatakan, “UUD 1945 pada esensinya menyatakan bahwa pendidikan nasional bukan bidang
usaha jasa untuk menghasilkan tenaga kerja terdidik, yang satu kategori dengan industri
pertambangan, perdagangan dan jasa perbankan dan keuangan serta jasa-jasa lainnya.”

Namun nyatanya, Naskah Akademik ini menghasilkan sebuah Undang-undang yang


menganut prinsip otonomi dalam pengelolaan pendidikan, yang mereduksi peran Negara dalam
menyelenggarakan pendidikan tinggi. Dalam draft terbaru, RUU yang diberi judul Tata Kelola
Pendidikan Tinggi ini tak lagi malu-malu menunjukan semangat otonomnya. Perguruan Tinggi
akan dibagi menjadi Perguruan Tinggi otonom, semi otonom, dan otonom terbatas. Jelas
bahwa Perguruan Tinggi yang tadinya berbentuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan swasta,
dimana PTN menjadi sepenuhnya tanggung jawab Negara, dilepaskan untuk berdiri sendiri,
dengan beban pengelolaan, termasuk pengelolaan keuangan.

RUU ini secara tegas memberikan kewajiban kepada mahasiswa untuk turut menanggung
biaya pendidikannya. Sementara, dana dari Negara hanya berbentuk bantuan. Dari sini kita
melihat bahwa konsep pendidikan tinggi yang dikehendaki bukanlah perguruan tinggi yang
diselenggarakan oleh Negara. Sehingga terlihat pergeseran pendidikan yang seharusnya
menjadi barang publik, masuk ke dalam sektor privat dimana campur tangan Negara dalam
penyelenggaraannya menjadi begitu minim.

Sebagaimana tertuang dalam draft tanggal 17 Maret 2012 , Pengelolaan Perguruan Tinggi
Otonom, memiliki otonomi baik dalam bidang akademik maupun nonakademik. PTN yang
37
38

berstatus otonom dapat berbentuk badan hukum pendidikan yang bersifat nirlaba dan
berfungsi meningkatkan layanan pendidikan untuk memajukan PTN. Hal ini sejalan dengan apa
yang ‘diamanahkan’ Bank Dunia melalui IMHERE. Dalam dokumen IMHERE, tertuang:

A new BHP law must be passed to establish the independent legal status of all education
institutions in Indonesia (public and private), thereby making BHMN HEIs a legal subset o f BHP.
Selain itu, peran pemerintah dalam bentuk pendanaan tereduksi dalam RUU ini. pelepasan
tanggung jawab tersebut paling parah terjadi untuk PTN otonomo. Pasalnya, dana yang
dikeluarkan oleh APBN hanya dialokasikan untuk membiayai investasi, operasional, dan
pengembangan PTN itu sendiri. Sementara untuk mahasiswa hanya berbentuk dukungan biaya
untuk mengikuti pendidikan tinggi, yang disalurkan dalam bentuk beasiswa; bantuan biaya
pendidikan; dan/atau pinjaman dana pendidikan.Sementara APBD hanya bisa dialokasikan
untuk perguruan tinggi daerah masing-masing, dalam bentuk bantuan.

Inkonsistensi pemerintah dalam melihat pendidikan juga dibuktikan dari keberadaan


IMHERE itu sendiri. Hingga saat ini, proyek IMHERE masih berjalan. Pemerintah juga
menerbitkan pedoman terkait proyek tersebut yang bisa diunduh di website resmi Dikti:
http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=761&Itemid=316.
Sehingga, patut dicurigai bahwa hadirnya RUU Tata Kelola Pendidikan Tinggi adalah untuk
menggantikan UU BHP yang dicabut MK, dalam rangka menjalankan ‘amanah’ Bank Dunia,
melalui proyek IMHERE nya. Karena itulah konsep tata kelola pendidikan tinggi dalam RUU ini
tetap mengikuti pengaturan dalam UU BHP.

H. Anggaran yang minim untuk perguruan tinggi

Di tengah keterpurukan pendidikan tinggi di Indonesia, kebijakan negara justru tidak terlihat
untuk menyelamatkannya. Salah satu indikatornya, yaitu terlihat jelas dari postur anggaran
pendidikan tinggi dari tahun ke tahun. Walaupun anggaran pendidikan di Indonesia dinyatakan
telah melebihi 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), ternyata anggaran untuk
pendidikan tinggi justru sangat minim. Untuk tahun anggaran 2012, anggaran pendidikan
adalah 285 Triliun. Kurang lebih 137 Triliun dari 285 Triliun adalah untuk gaji. Sebanyak 100
Triliun lebih anggaran ditransfer ke daerah untuk BOS, dana bagi hasil, gaji guru, dan

38
39

pembangunan sekolah. Sebanyak 50 Triliun untuk kementrian lainnya. Sebanyak 57,8 Triliun
anggaran dikelola Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara anggaran untuk
pendidikan tinggi hanya 5 Triliun.38
Anggaran 5 Triliun sangatlah sedikit jumlahnya, karena jumlah perguruan tinggi di Indonesia
adalah 3150 perguruan tinggi. Tidak heran perguruan tinggi kemudian berlomba-lomba
membuat berbagai program pendidikan dan juga ujian masuk perguruan tinggi agar dapat
memenuhi kebutuhan belanjanya. Uang pangkal 5 s/d 250 juta rupiah setiap mahasiswa
menjadi lumrah. Mahasiswa/masyarakat kemudian menjadi korban dari kebijakan tersebut dan
dihadapkan oleh setidaknya tiga pilihan, yaitu tidak melanjutkan jenjang pendidikan tinggi,
membayar mahal untuk masuk perguruan tinggi dengan kemampuan ataupun memaksakan
kemampuan, atau masuk perguruan tinggi dengan mengharapkan beasiswa yang minim akses
dan jumlahnya.

Bagian IV

PERMASALAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI

1. ASPEK FORMAL RUU PENDIDIKAN TINGGI

Pasca disahkan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada tanggal 7 April 2011,
Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi resmi sebagai usulan inisiatif DPR untuk dibahas
bersama Pemerintah. Dalam Rapat Paripurna tersebut ditunjuk Komisi X sebagai alat kelengkapan
yang akan membahas RUU Pendidikan Tinggi ini.

Apabila melihat dari judulnya, RUU ini mengatur secara luas mengenai pendidikan tinggi.
Namun apabila dilihat pada substansinya, porsi pengaturan dalam RUU ini lebih dominan pada
pengaturan mengenai perguruan tinggi, khususnya tata kelola perguruan tinggi. 1 Selain itu, dari
sejarah pembentukannya pun, yang tercantum dalam daftar Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) tahun 2011 sebagai RUU prioritas, judul RUU ini adalah RUU Tata Kelola Pendidikan
38
Paparan Ketua Panja RUU Pendidikan Tinggi pada Audiensi Komnas Pendidikan Tinggi 5 Desember 2011 di Komisi
X DPR RI.
39
40

Tinggi. Namun kemudian melalui rapat internal di Komisi X DPR disepakati berubah menjadi RUU
Pendidikan Tinggi.

Kekosongan Hukum Pasca Putusan MK No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009

Dasar pemikiran munculnya RUU Pendidikan Tinggi ini adalah untuk merespon adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, yang salah satu implikasinya adalah
menjadikan Undang-undang No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) secara
keseluruhan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahkan ada anggapan bahwa pasca UU
BHP “dibatalkan”, perguruan tinggi tidak memiliki dasar hukum dalam melakukan segala
aktivitasnya. Namun anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karena pada dasarnya pengaturan dalam
UU BHP didasari oleh pengaturan dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.

Adapun anggapan adanya kekosongan hukum lebih tepat ditujukan untuk satu aspek saja, yaitu
tata kelola perguruan tinggi, itupun hanya terpusat pada tata kelola perguruan tinggi yang
berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Hal ini disebabkan karena pasca pengesahan UU
BHP, Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi (PP 60/1999), dan
Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai
Badan Hukum (PP 61/1999) direvisi dengan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (PP 17/2010).

Dalam PP 17/2010 tersebut tidak mengatur perihal tata kelola perguruan tinggi, terutama
yang sudah terlanjur memiliki status badan hukum, karena dianggap sudah diatur dalam UU
BHP. Sehingga pasca putusan MK yang “membatalkan” UU BHP, ketentuan mengenai tata
kelola perguruan tinggi pun menjadi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi. Namun kondisi ini
tidak berlarut-larut, karena pada bulan September 2010, Pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah
No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP No. 17 tahun tentang 2010 Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan (PP 66/2010).Dalam PP 66/2010 memperjelas status tata kelola dari
perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi yang sudah terlanjur berstatus BHMN. Sehingga

40
41

sebenarnya permasalahan terkait dengan kekosongan hukum dalam aspek tata kelola perguruan
tinggi sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan argumentasi dibentuknya produk hukum baru
(termasuk RUU Pendidikan Tinggi).

Perang Kepentingan Pasca Pembentukan PP 66/2010

Solusi yang ditawarkan oleh PP 66/2010 ternyata tidak memuaskan semua pihak atau
stakeholder yang ada. Titik ketidaksepahaman ada pada pengaturan mengenai perubahan status
dari perguruan tinggi yang saat ini berstatus BHMN menjadi perguruan tinggi yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, yang diatur dalam Pasal 220A ayat (4). Pergantian status itu
dianggap akan mengurangi otonomi yang dimiliki oleh perguruan tinggi saat ini.

Walaupun ada penolakan dari berbagai pihak, PP 66/2010 tetap berlaku. Hal ini lebih
dikarenakan adanya masa transisi yang diberikan oleh PP 66/2010, atau dengan kata lain perguruan
tinggi BHMN tidak perlu segera mengubah statusnya menjadi perguruan tinggi yang
diselenggarkaan oleh Pemerintah. PP 66/2010 memberikan masa waktu tiga tahun untuk
perguruan tinggi BHMN menyesuaikan statusnya.

Namun pengaturan ini ternyata memunculkan permasalahan baru, yaitu interpretasi yang tidak
jelas dari pengertian masa transisi tersebut. Ada yang beranggapan bahwa masa waktu tiga tahun
adalah perubahan yang dilakukan secara berangsur-angsur, namun dipihak lain ada pula yang
beranggapan bahwa selama tiga tahun perguruan tinggi BHMN tidak perlu melakukan
apapun, karena penyesuaian dapat dilakukan diakhir masa tiga tahun tersebut. Perbedaan
pendapat inilah yang kemudian menjadi pemicu konflik internal di UI antara Majelis Wali Amanat
(MWA) dengan Rektor.

Berbicara mengenai UU, tentu tidak hanya berkaitan dengan aspek substansi atau materiil
saja, tetapi juga ada aspek formil yang turut menentukan sah atau tidaknya UU tersebut. Dalam
menilai aspek formil dari UU tersebut dapat merujuk kepada Undang-undang No. 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011), UU ini merupakan
perubahan dari Undang-undang No. 10 tahun 2004. Dalam Pasal 5 UU 12/2011 disebutkan
bahwa salah satu asas yang harus dipenuhi dalam pembentukan peraturan perundang-
41
42

undangan adalah kesesuaian antara jenis, hirearki, dan materi muatan.39 Dalam RUU Pendidikan
Tinggi, jelas jenis peraturan perundang-undangannya adalah UU, dimana dalam hirearki peraturan
perundang-undangan, Pasal 7 ayat (1), menempati urutan ketiga setelah UUD 1945 dan TAP MPR.

Pada pasal 10 ayat (1) UU 12/2011 diatur bahwa materi muatan yang harus diatur dalam UU berisi
pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; pengesahan
perjanjian internasional tertentu; tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Dari kelima materi muatan diatas kemudian
dapat dianalisa, materi muatan manakah yang diatur dalam RUU Pendidikan Tinggi.

Pengaturan Lebih Lanjut Mengenai Ketentuan UUD 1945

Pengaturan mengenai sistem pendidikan nasioanl dalam UUD 1945 secara khusus diatur dalam
Pasal 31. Dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa

“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang


meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam ran gka mencerdaskan
kehidupan ba gsa, yang diatur dengan undang-undang”

Dari Pasal terebut dapat diketahui bahwa pengaturan mengenai sistem pendidikan nasional
diatur secara terpusat pada satu UU saja, dan UU tersebut sudah ada, yaitu UU 20/2003. Sehingga
dapat dikatakan bahwa materi muatan dari RUU Pendidikan Tinggi, yang juga merupakan bagian
dari sistem pendidikan nasional, bukanlah berasal dari ketentuan lebih lanjut dari UUD 1945.

Perintah Suatu UU Untuk Diatur Dengan Undang-Undang Lainnya

Materi muatan UU bisa juga berasal dari materi delegasian dari UU lainnya, atau secara sederhana
dapat dipahami sebagai ketentuan yang diamanatkan dari satu UU ke UU yang lain. Dalam konteks
RUU Pendidikan Tinggi, UU yang mungkin memberikan delegasian pengaturan adalah UU 20/2003,
karena substansi dari RUU tersebut merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional.

39
Asas lain yang harus dipenuhi peraturan perundang-undangan menurut Pasal 5 UU 12/2011 adalah kejelasan tujuan;
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan
rumusan; dan keterbukaan.
42
43

Apabila dicermati satu per satu pasal dalam UU 20/2003, tidak satupun Pasal yang
mendelegasikan untuk membentuk UU baru terkait dengan Pendidikan Tinggi. Justru pendelgasian
untuk pengaturan mengenai pendidikan tinggi diberikan kepada Peratuan Pemerintah, bukan UU.
Dalam Pasal 24 ayat (3) UU 20/2003 disebutkan bahwa “Ketentuan mengenai penyelenggaraan
pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah”. Adapun delegasian yang diberikan oleh UU 20/2003 kepada UU
lain adalah perihal pengaturan mengenai badan hukum pendidikan, dimana UU BHP sudah
dinyatakan tidak mengikat oleh MK pada akhir 2009 lalu.

Dari analisa diatas patut untuk dipertanyakan motif sebenarnya dari pembentukan RUU
Pendidikan Tinggi ini, yaitu apakah memang untuk menghidupkan kembali “roh” dari UU BHP?
Karena sejauh ini baik dari pihak DPR atau kalangan lain yang pro terhadap RUU Pendidikan Tinggi,
terkesan enggan untuk mengakui hal tersebut, mengingat citra UU BHP sudah terlanjur buruk di
mata masyarakat. Selain itu, dengan tidak ditemukannya pasal yang mengatur mengenai
pendelegasian ketentuan mengenai pendidikan tinggi untuk diatur dalam UU, maka dapat dipastikan
materi muatan dari RUU Pendidikan Tinggi bukan berasal dari perintah suatu UU untuk diatur
dengan UU lainnya.

Pengesahan Perjanjian Internasional Tertentu

Sebagai suatu negara, Indonesia tidak terlepas dari konstelasi global atau internasional, yang
dalam pergaulannya kerap membentuk perjanjian-perjanjian internasional. Namun sebagai negara
yang memiliki kedaulatan sendiri, perjanjian Internasional tidak langsung bisa berlaku di Indonesia,
harus terlebih dahulu di retifikasi dan dituankan dalam peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan konteks RUU Pendidikan Tinggi, RUU ini tidak berkaitan secara langsung
dengan perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Dalam dasar hukum yang
tercantum dalam bagian “dasar mengingat” tidak ada dikutip satu perjanjian internasional pun.
Begitupun dengan bagian dasar yuridis dalam Naskah Akademik RUU Pendidikan Tinggi, yang tidak
sedikitpun membahas mengenai perjanjian internasional. Sehingga dapat dipastikan bahwa materi
muatan RUU Pendidikan Tinggi tidak berasal dari pengesahan perjanjian internasional.

43
44

Tindak Lanjut Atas Putusan Mahkamah Konstitusi

Alasan paling mengemuka saat ini terkait dengan materi muatan RUU Pendidika Tinggi
adalah merupakan tindak lanjut dari Putusan MK, yaitu Putusan No.
11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. Hal ini dijelaskan panjang lebar, baik dalam penjelasan umum
RUU Prndidikan Tinggi maupun Naskah Akademiknya. Namun, menjadi pertanyaan kemudian
apakah tepat bentuk tindak lanjut putusan tersebut dilakukan dengan pembentukan UU
Pendidikan Tinggi? Bukankah UU yang “dibatalkan” oleh Putusan tersebut adalah UU BHP?

Dua pertanyaan diatas perlu untuk dijawab dan dibuktikan terlebih dahulu, karena jangan
sampai pembentuk UU kemudian keliru menafsirkan Putusan MK tersebut. Dalam menjawab
kedua pertanyaan tersebut, pertama harus dijabarkan terlebih dahulu amar putusan dari Putusan
MK No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, terutama yang terkait dengan tata kelola perguruan tinggi
dan UU BHP.

Dalam amar Putusan MK tersebut disebutkan bahwa UU BHP bertentangan dengan UUD
1945, sehingga kemudian dinyatakan tidak mengikat. Argumentasi hakim yang terjabarkan dalam
Putusan MK itu adalah karena istilah BHP diartikan sebagai satu status khusus, sehingga terjadi
pemaksaan penggunaan status badan hukum kepada seluruh institusi pendidikan, dimana hal
tersebut bertentangan dengan kebebasan berserikat yang dijamin UUD 1945.

Dari penjabaran amar putusan diatas terlihat bahwa MK hanya “membatalkan” UU BHP,
tidak termasuk substansi mengenai pendidikan tinggi dalam UU 20/2003. Sehingga keputusan poltiik
yang dibuat oleh DPR untuk membentuk RUU Pendidikan Tinggi adalah berlebihan, dan tidak
sesuai dengan kebutuhan yang ada. Hal itu sekaligus menkonfirmasi bahwa materi muatan dari
RUU Pendidikan Tinggi bukan hanya sekedar tindak lanjut dari Putusan MK, tetapi substansinya
sudah terlalu meluas.

Pemenuhan Kebutuhan Hukum Dalam Masyarakat

Kriteria materi muatan UU terakhir ini memang kerap menjadi pilihan bagi pembentuk UU
untuk mengakomodir kepentingannya dalam pembentukan UU, karena kriteria ini seakan mudah

44
45

untuk dibuktikan, tanpa harus merujuk kepada peraturan perundang-undangan manapun. Oleh
karena itu, kriteria terakhir ini kerap disebut sebagai “tong sampah”. Namun dalam konteks
RUU Pendidikan Tinggi sudah seharusnya pembentuk UU memiliki argumentasi yang jelas
apabila ingin menggunakan argumentasi ini sebagai materi muatan RUU Pendidikan Tinggi. Dengan
kata lainm pembentuk UU harus mampu membuktikan bahwa memang RUU Pendidikan Tinggi
dibutuhkan masyarakat.

Kondisi yang terjadi saat ini, substansi dari RUU Pendidikan Tinggi hanya dibutuhkan, atau hanya
mengakomodir kepentingan sebagian pihak saja, yaitu mereka yang tidak menginginkan PP 66/2010
berlaku, dan menginginkan status BHMN atau sejenisnya tetap berlaku. Sedangkan kepentingan
stakeholders lain, seperti pegawai atau mahasiswa masih terabaikan.

2. KASTANISASI DAN OTONOMI KEBABLASAN

Bahwa otonomi keilmuan dalam pengelolaan pendidikan merupakan harga mati dan
menjadi bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diatur oleh Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya. Namun kami melihat otonomi yang diatur dalam RUU Pendidikan Tinggi merupakan
otonomi yang kebablasan dan menimbulkan kastanisasi perguruan tinggi. Otonomi tersebut
diatur dalam Pasal 77 RUU PT sebagai berikut:40

Paragraf 2
Status Pengelolaan Perguruan Tinggi

Pasal 77
(1) Status pengelolaan perguruan tinggi terdiri atas:
a. otonom terbatas;
b. semi otonom, atau
c. otonom.
(2) Status otonom terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan
perguruan tinggi yang hanya memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik.
(3) Status semi otonom sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan perguruan
tinggi yang memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan memiliki sebagian dari
wewenang non akademik yang diberikan oleh Pemerintah atau badan penyelenggara.
(4) Status otonom sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perguruan tinggi
yang memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan non akademik.
40
Draft RUU 17 Maret 2012
45
46

(5) Sebagian dari wewenang non akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah
wewenang pengelolaan keuangan secara mandiri.
(6) Pengelolaan keuangan secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan
secara transparan dan akuntabel.

Adanya Pasal 77 ayat (1) merupakan bentuk kastanisasi terhadap perguruan tinggi,
sedangkan Pasal 77 ayat (4) merupakan bentuk dari privatisasi pendidikan tinggi, yaitu otonom
secara akademik dan non akademik. Pasal 77 ayat (4) tersebut tidak ubahnya PT BHMN yang
sudah ada sekarang dimana banyak terdapat permasalahan akuntabilitas dan pelanggaran
terhadap hak atas pendidikan warga negara karena sulitnya akses. Hal tersebut juga
dikonfirmasi oleh komentar dari Rektor Insitut Teknologi Bandung (ITB) yang mengatakan
bahwa Status Otonom tidak ubahnya PT BHMN yang ada saat ini. 41 Rektor ITB juga
menyebutkan jika Status PTN Otonom tentunya akan berorientasi bisnis.

Alasan pemberian otonomi tidak kuat. Jumlah dan penyebaran institusi pendidikan tinggi di
Indonesia (3000 perguruan tinggi), tidak memiliki relevansi langsung dengan pemberian
otonomi itu sendiri. Lebih relevan apabila dikaitkan dengan otonomi di bidang kurikulum,
karena banyaknya institusi pendidikan tinggi di berbagai wilayah yang memiliki karakteristik dan
kebutuhan masing-masing. Apakah besarnya jumlah di sini dikaitkan dengan ketidakmampuan
pendanaan?. Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang mencabut Undang-
undang No. 9 Tahun 2009 tetang Badan Hukum Pendidikan justru menyatakan bahwa otonomi
sebagaimana yang diatur di dalam UU BHP, dan RUU Pendidikan Tinggi tidak dibutuhkan dalam
Pendidikan. Dalam poin 3.7.3 pertimbangan hakim (halaman 387-389), Hakim mempertanyakan
apakah otonomi penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasalnya, tidak ada
keterkaitan antara otonomi dengan nilai-nilai pendidikan berdasarkan pancasila.

3. TENAGA KEPENDIDIKAN

Naskah akademik RUU Pendidikan Tinggi mengatakan sebagai berikut:


Pegawai perguruan tinggi Pemerintah, baik dosen maupun tenaga kependidikan yang
berstatus pegawai negeri sipil (PNS) merupakan hambatan bagi perguruan tinggi untuk

41
http://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/20071160/PTN.BHMN.Ragu.Pilih diakses 26 Maret 2012 Pkl.
21.00
46
47

mengembangkan dosen sebagai professional. Sebagian besar unsur manajemen sumber daya
manusia mulai dari pengangkatan, penugasan, mutasi/promosi/demosi, hingga pemberhentian
harus mengikuti manajemen pegawai negeri sipil yang dirancang bagi aparatur pemerintah,
sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan pengembangan kepegawaian di perguruan tinggi.
Bahwa Pasal 80 ayat (2) hurud e mengatakan PTN Otonom memiliki ketenagaan yang
diangkat oleh lembaganya. Hal ini semakin memperjelas bahwa PTN Otonom adalah layaknya
perguruan tinggi swasta/privat sehingga dosen tenaga kependidikannya bukan lagi Pegawai
Negeri Sipil, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk tenaga kependidikan pergurruan tinggi
akan menggunakan tenaga outsourcing. Terkait status tersebut tentunya memiliki implikasi
bahwa hak-hak yang diterima oleh tenaga kependidikan menjadi minim dan jauh lebih rendah
dari pada PNS, bahkan lebih buruk jika menggunakan tenaga outsourcing.

Hal tersebut diatas kemudian diperkuat oleh Pasal 85 ayat (4) dan (6) yang mengatur
hubungan kerja dosen dan tenaga kependidikan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan
kerja bersama layaknya pekerja swasta. Bunyi Pasal 85 tersebut adalah sebagai berikut:

Ayat (4): Pengangkatan dan penempatan dosen dan tenaga kependidikan oleh badan
penyelenggara atau Perguruan Tinggi yang memiliki status otonom dilakukan berdasarkan
perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Ayat (6): Badan penyelenggara atau Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
wajib memberikan gaji pokok diatas kebutuhan hidup minimum atau diatas upah minimum
regional, serta tunjangan lain kepada dosen dan tenaga kependidikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

4. KERJA SAMA DUNIA USAHA DAN INDUSTRI

Dalam Pasal 105 ayat (1) RUU Pendidikan Tinggi dikatakan Pemerintah mendorong dunia
usaha dan dunia industri agar secara aktif memberikan bantuan dana kepada perguruan tinggi.
Tidak ada batasan yang jelas mengenai hal ini. Saat ini yang terjadi justru kerjasama perguruan
tinggi dengan pelaku industri dan juga daerah industri yang memasuki bidang akademis.
Misalnya UI yang melakukan kerjasama dengan pelaku industri dan daerah industri dengan
menerima perwakilan mahasiswa dari dua pihak tersebut. Hal ini tentunya sangat kebablasan,
47
48

dimana di satu sisi mahasiswa menempuh tes yang sangat ketat masuk perguruan tinggi,
namun di sisi lain karena alasan kerja sama yang sifatnya ekonomis seseorang dapat masuk
dengan mudah di UI. Akibatnya tentu kualitas yang sangat rendah. Tidak jarang kerja sama
dengan daerah industri justru banyak diisi oleh anak atau kerabat kepala daerah.

5. TIDAK JELASNYA PERLINDUNGAN AKSES TERHADAP PENDIDIKAN TINGGI

Bahwa dalam RUU Pendidikan Tinggi memang terdapat ketentuan mengenai standar biaya
operasional pendidikan tinggi yang menurut Panja mampu melindungi mahasiswa yang tidak
mampu untuk tetap dapat menikmati pendidikan tinggi. Kedepan maka akan ada indeks
kemahalan biaya kuliah sesuai dengan Upah Minimum Provinsi setempat. Hal tersebut terdapat
dalam pasal 90 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak
mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi agar dapat menyelesaikan studinya sesuai
peraturan akademik.
(2) Pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. memberikan beasiswa kepada mahasiswa berprestasi;
b. memberikan bantuan atau membebaskan biaya pendidikan kepada mahasiswa yang
tidak mampu secara ekonomi; atau
c. memberikan dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa;
(3) Pinjaman dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diberikan tanpa bunga.
(4) Pinjaman dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c wajib dilunasi oleh mahasiswa
setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
(5) Perguruan tinggi atau penyelenggara perguruan tinggi menerima pembayaran yang ikut
ditanggung oleh mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan
mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak yang menanggungnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Namun, kami kembali mengingatkan bahwa Pasal 13 ayat 2 huruf c Kovenan Hak-Hak
Ekonomi Sosial dan Budaya mengatur bahwa pendidikan tinggi mengarah ke cuma-cuma. Hal
tersebut tidak terlihat dalam RUU Pendidikan Tinggi, bahkan Undang-Undang No. 11 Tahun
2005 tentang Pengesahan Kovenan Ekosob tersebut sama sekali tidak dicantumkan oleh DPR.
Padahal Komnas Pendidikan pada 5 Desember 2011 dalam audiensinya dengan Panja Komisi X
telah mengingatkan Panja untuk memasukkan Kovenan Ekosob sebagai pertimbangan.

48
49

Ketentuan mengenai standar satuan biaya operasional diatur dalam Pasal 107 yang
berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi secara
periodik berdasarkan:
a. standar nasional pendidikan tinggi;
b. jenis program studi; dan
c. indeks kemahalan wilayah perguruan tinggi.
(2) Standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi dasar untuk mengalokasikan anggaran dalam APBN kepada PTN
(3) Standar satuan biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai
dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa.
(4) Biaya yang ditanggung oleh seluruh mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
sesuai kemampuannya dari biaya operasional PTN.
(5) Penetapan biaya pendidikan tinggi yang ditanggung oleh mahasiswa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus dengan persetujuan Menteri.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Penjelasan Pasal 107 Ayat (4) berbunyi sebagai berikut: Yang dimaksud “biaya yang
ditanggung oleh seluruh mahasiswa” adalah biaya penyelenggaraan pendidikan atau
sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana jika timbul
biaya lain yang dibebankan oleh perguruan tinggi? Dan siapakah yang akan menanggung beban
tersebut khususnya bagi mahasiswa tidak mampu? Seperti apa perlindungan pemerintah?
Kontradiksi kembali kami temukan di RUU Pendidikan Tinggi ini dengan munculnya
ketentuan mengenai pinjaman dana pendidikan yang diatur dalam Pasal 111 yang berbunyi
sebagai berikut:
(1) Alokasi anggaran untuk mahasiswa sebagaimana ketentuan yang di atur dalam Pasal 108
ayat (1) huruf c dapat diberikan dalam bentuk:
a. beasiswa;
b. bantuan biaya pendidikan; dan/atau
c. pinjaman dana pendidikan.
(2) Ketentuan mengenai pemberian beasiswa, bantuan biaya pendidikan, dan/atau pinjaman
dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Penjelasan:
Ayat (1)
Huruf a

49
50

Yang dimaksud “beasiswa” adalah dukungan biaya pendidikan yang diberikan kepada
mahasiswa untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan pendidikan tinggi berdasarkan
pertimbangan utama prestasi dan/atau potensi akademik.
Huruf b
Yang dimaksud “bantuan biaya pendidikan” adalah dukungan biaya pendidikan yang diberikan
kepada mahasiswa untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan pendidikan tinggi berdasarkan
pertimbangan utama keterbatasan kemampuan ekonomi.
Huruf c
Pinjaman dana pendidikan dengan bunga rendah tanpa agunan yang diterima oleh mahasiswa
untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan pendidikan tinggi dengan kewajiban membayar
kembali setelah lulus dan mendapatkan pendapatan yang cukup.

Kontradiksi terlihat pada ketentuan untuk memberikan bantuan biaya pendidikan bagi
mahasiswa yang memiliki keterbatasan ekonomi. Namun di sisi lain terdapat ketentuan
mengenai pinjaman dana pendidikan bagi mahasiswa untuk mengikuti dan/atau menyelesaikan
pendidikan tinggi dengan kewajiban membayar kembali setelah lulus dan mendapatkan
pendapatan yang cukup. Jadi mahasiswa yang tidak mampu bisa tidak digratiskan melainkan
diberikan hutang yang harus dibayar ketika ia bekerja. Sistem pinjaman seperti ini merupakan
bentuk lepas tanggungjawab negara/pemerintah untuk menjamin akses terhadap pendidikan
tinggi dan merupakan adopsi sistem pembiayaan pendidikan yang digunakan oleh negara
seperti Amerika Serikat atau negara liberal yang terbukti telah gagal untuk menegakkan hak
atas pendidikan warga negaranya. Kredit bagi mahasiswa seharusnya hanyalah digunakan
untuk membangkitkan jiwa wirausaha mahasiswa, tapi tidak untuk pembiayaan operasional
pendidikan.

6. SEMANGAT NKK/BKK

Semangat normalisasi kehidupan kampus sebagaimana yang ditanamkan oleh orde baru
dapat dilihat dari dua pasal berikut:

Pasal 15
(1) Mahasiswa mengembangkan bakat, minat, potensi, dan kemampuan melalui kegiatan
kokurikuler dan ekstra kurikuler sebagai bagian dari proses pendidikan.
(2) Kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan.
50
51

(3) Ketentuan mengenai kegiatan kokurikuler dan ekstra kurikuler sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Organisasi Kemahasiswaan
Pasal 91
(1) Mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan yang diselenggarakan oleh, dari,
dan untuk mahasiswa.
(2) Organisasi kemahasiswaan berfungsi:
a. mewadahi kegiatan mahasiswa dalam mengembangkan bakat, minat, dan potensi
mahasiswa;
b. mengembangkan kreatifitas, kepekaan, daya kritis, keberanian, dan kepemimpinan serta
rasa kebangsaan mahasiswa; dan
c. memenuhi kepentingan dan kesejahteraan mahasiswa.
(3) Organisasi mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan organisasi intra
perguruan tinggi.
(4) Pengurus organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari,
oleh, dan untuk mahasiswa.
(5) Perguruan tinggi menyediakan sarana dan prasarana serta dana untuk mendukung
kegiatan organisasi kemahasiswaan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi kemahasiswaan diatur dalam Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Kemahasiswaan.” menjadi “Ketentuan
lebih lanjut mengenai organisasi kemahasiswaan diatur oleh Perguruan Tinggi.”

Ketentuan Pasal 15 ayat (3) RUU Pendidikan Tinggi dan Pasal 91 ayat (4) dan (6) merupakan
bentuk pembatasan dan control terhadap kegiatan organisasi mahasiswa layaknya era orde
baru dengan ketentuan normalisasi kehidupan kampus. Kita masih banyak menemukan
pemberangusan organisasi mahasiswa oleh kampus seperti pembekuan BEM UI oleh rektorat
UI pada tahun 2009 lalu, pemecatan 3 orang mahasiswa STIE Hidayatullah karena mengikuti
organisasi Himpunan Mahasiswa Islam, pelarangan kuliah 31 mahasiswa AMIK LAKSI karena
mengikuti kegiatan organisasi dan menggunakan logo Bendera Merah Putih di jaket
almamaternya, dan berbagai kasus lain yang tidak terekspose ke publik. Hal tersebut
merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara untuk berserikat dan
berorganisasi sebagaimana diatur oleh Pasal 28 dan 28E UUD NRI 1945, Pasal 21 dan 22
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 24 UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM.

7. INTERNASIONALISASI

51
52

RUU Pendidikan Tinggi mengatur mengenai internasionalisasi pada Pasal 52 yang berbunyi
sebagai berikut:

(1) Internasionalisasi merupakan proses bagi pendidikan tinggi di Indonesia untuk berperanan
dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan keindonesiaan guna meningkatkan
kedaulatan dan martabat bangsa.
(2) Intenasionalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengintegrasian
dimensi internasional dan lintas budaya ke dalam kegiatan akademik.
(3) Internasionalisasi pendidikan tinggi diselenggarakan dalam mengaktualisasikan prinsip
bebas dan aktif, solidaritas, toleransi, dan rasa saling menghormati dengan
mempromosikan nilai-nilai dan standar keindonesiaan dan kemanusiaan yang memberikan
manfaat bagi kesejahteraan, kemuliaan kehidupan dan peradaban.
(4) Internasionalisasi pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui:
a. pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya lokal di Perguruan Tinggi di dalam
negeri dan di luar negeri;
b. penyelenggaraan pembelajaran yang bertaraf internasional;
c. kerja sama internasional antara lembaga penyelengara pendidikan tinggi Indonesia dan
lembaga penyelenggara pendidikan tinggi negara lain;
d. Kerjasama internasional dilakukan dengan kerjasama formal dengan Perguruan Tinggi
yang terakreditasi di negara asalnya; dan
e. Kerjasama internasional menganut dengan bersifat resiprokal.
(5) Kebijakan nasional mengenai Internasionalisasi pendidikan tinggi ditetapkan oleh menteri;
(6) Kebijakan nasional mengenai internasionalisasi pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) paling sedikit memuat:
a. pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri;
b. pemberian wawasan pada sivitas akademika sebagai bagian dari masyarakat
internasional; dan
c. pemajuan nilai-nilai dan budaya bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional.

Komnas Pendidikan mencatat bahwa internasionalisasi bukanlah jawaban sebagai alat


untuk meningkatkan kualitas dan daya saing dalam tingkat global. Internasionalisasi, khususnya
kerja sama dengan perguruan tinggi asing justru akan menggerus budaya lokal dan
menghambat akses masyarakat miskin untuk menikmati pendidikan tinggi yang berkualitas.
Tentunya kerja sama akan mengikuti sistem pembiayaan dan akademis perguruan tinggi
tersebut, terlebih lagi perguruan tinggi yang otonom/liberal dan mendapatkan sumber daya
keuangan dari biaya perkuliahan yang mahal.

8. BISNIS PENERIMAAN MAHASISWA BARU


52
53

Mengenai penerimaan mahasiswa baru diatur dalam Pasal 87 yang berbunyi sebagai
berikut:

(1) Penerimaan mahasiswa baru PTN untuk setiap program studi dapat dilakukan melalui pola
penerimaan mahasiswa secara nasional atau bentuk lain.
(2) Pemerintah menanggung biaya kepada calon mahasiswa yang akan mengikuti pola
penerimaan mahasiswa baru secara nasional.
(3) Calon mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang telah memenuhi
persyaratan akademik wajib diterima oleh Perguruan Tinggi.
(4) Perguruan tinggi menjaga keseimbangan antara jumlah maksimum mahasiswa dalam
setiap program studi dan kapasitas sarana dan prasarana, dosen dan tenaga kependidikan,
serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya.
(5) Penerimaan mahasiswa baru PTS untuk setiap program studi diatur oleh masing-masing
PTS atau dapat mengikuti pola penerimaan mahasiswa baru PTS dengan mengikuti pola
penerimaan mahasiswa baru PTN secara nasional.
(6) Penerimaan mahasiswa baru merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan
tujuan komersial.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan mahasiswa PTN diatur dalam Peraturan
Menteri.

Kata bentuk lain dalam ayat (1) Pasal diatas melanggengkan praktek seleksi penerimaan
mahasiswa baru secara mandiri oleh Perguruan Tinggi Negeri sebagaimana kami ungkap di bab
sebelumnya di atas. Namun kami mengapresiasi bahwa pemerintah akan menanggung biaya
seleksi masyarakat yang tidak mampu dan penerimaan mahasiswa baru tidak untuk tujuan
komersil.

9. TIDAK ADA PERLINDUNGAN DAN SANKSI YANG TEGAS, MELANGGENGKAN MASALAH


FAKTUAL

Kami melihat bahwa RUU Pendidikan Tinggi ini tidak mampu menyelamatkan carut
marutnya pendidikan tinggi di Indonesia dengan segala permasalahannya, korupsi, kuliah
mahal, dualisme ketenagakerjaan, pelanggaran hak atas pendidikan, dll. Hal tersebut terlihat
dari tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh perguruan tinggi.
Misalkan, jika terdapat mahasiswa miskin yang tidak diberi kesempatan kuliah walaupun sudah
lolos seleksi apa sanksi pemerintah terhadap rektor? Begitu pula jika terdapat pelanggaran

53
54

terhadap hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul atau pelanggaran terhadap
akuntabilitas, apa sanksi dari pemerintah? Bagaimana perlindungan terhadap mahasiswa,
dosen, dan tenaga kependidikan?

Bagian V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

Dari keseluruhan analisa diatas dapat diketahui bahwa RUU Pendidikan Tinggi masih memiliki
permasalahan dalam aspek Formil perundang-undangannya, yaitu tidak memiliki materi muatan
yang sesuai dengan jenis dan hirarkinya. Sehingga sepenting apapun substansinya, tetap saja RUU ini
lemah dalam dasar hukumnya. Apabila RUU ini masih tetap dipaksakan untuk disahkan, bukan tidak
mungkin akan bernasib sama dengan “saudara tuanya” yaitu UU BHP, yang dinyatakan tidak
mengikat lagi oleh MK. Dalam konteks ruang lingkup pengaturan, RUU Pendidikan Tinggi dibuat
secara berlebihan, yang dampaknya menjadikan RUU ini tidak menjawab permasalahan yang ada,
bahkan cenderung menimbulkan permasalahan baru.

Selain itu kehadiran RUU Pendidikan hanya akan melanggengkan kondisi faktual pendidikan
yang ada, seperti otonomi yang kebablasan atau privatisasi pendidikan tinggi, kastanisasi
perguruan tinggi, pelanggaran akses masyarakat miskin atau miskinnya biaya kuliah, pelanggaran
hak mahasiswa untuk berorganisasi, privatisasi dosen dan tenaga kependidikan, bisnis penerimaan
mahasiswa baru, tidak transparannya kampus, internasionalisasi yang menggerus budaya dan
menimbulkan diskriminasi terhadap hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan tinggi yang
berkualitas, kerja sama dengan industri yang mengorbankan nilai dan kualitas peserta didik, dan
sebagainya. Walapun terdapat ketentuan yang dianggap melindungi masyarakat tidak mampu,
namun tidak ada jaminan sanksi terhadap perguruan tinggi yang melanggar. Tidak ada
perlindungan yang jelas terhadap hak-hak mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan yang tegas
diatur oleh UUD NRI 1945, UU HAM, UU NO. 11 Tahun 2005, UU No. 12 Tahun 2005 dan UU
Sisdiknas.

54
55

B. REKOMENDASI

Berdasarkan hal tersebut kami mendesak beberapa hal sebagai berikut:

1. Hentikan pembahasan dan batalkan rencana pengesahan RUU Pendidikan Tinggi


2. Kembalikan status BHMN dan BLU Perguruan Tinggi menjadi Perguruan Tinggi Negeri.
Hentikan privatisasi pendidikan tinggi.
3. Hapuskan Dualisme Status Tenaga Pendidik dan Kependidikan
4. Wujudkan Hak Rakyat atas Pendidikan Tinggi dengan Menyediakan Pendidikan Tinggi
Negeri yang terjangkau tanpa diskriminasi bagi seluruh Rakyat Indonesia
5. Pemerintah dan DPR haruslah mengeluarkan aturan yang melindungi hak atas pendidikan
warga negara, hak atas kebebasan berserikat, memilih sendiri pendidikannya, hak atas
kesejahteraan tenaga pendidik, jaminan terhadap otonomi keilmuan, dan kontribusi
pengabdian perguruan tinggi yang konkrit kepada masyarakat. Peraturan tersebut
haruslah memiliki sanksi tegas kepada perguruan tinggi dan pihak-pihak yang melanggar
hak yang disebutkan diatas.

Bagian VI
PENUTUP
Demikian kajian ini kami buat tidak lain adalah dengan niatan tulus menyelamatkan
pendidikan tinggi di Indonesia dan mewujudkan pemenuhan hak asasi warga negara untuk
mengenyam pendidikan tinggi, serta menikmati hak lain yang melekat.
Hormat Kami,
KOMITE NASIONAL PENDIDIKAN

55
56

(Lembaga Bantuan Hukum/LBH Jakarta, Paguyuban Pekerja Universitas Indonesia/PPUI,


Front Mahasiswa Universitas Islam Jakarta, Forum Mahasiswa Peduli Pendidikan/FMPP BSI,
Front Mahasiswa Nasional/FMN, Formasi IISIP, Serikat Mahasiswa Indonesia/SMI, Lembaga
Advokasi Pendidikan Anak Marjinal/Lapam, Federasi Guru Independen Indonesia/FGII,
Persatuan Guru-Swasta Seluruh Indonesia/PGSI, Ikatan Pelajar Muhammadyah/IPM,
Lembaga Bantuan Hukum Pendidikan/LBHP, Serikat Perempuan Indonesia/SPI, Perhimpunan
Rakyat Pekerja/PRP, Education Forum/eF, Institut Sejarah Sosial Indonesia/ISSI, Indonesian
Human Rights Committee Social Justice/IHCS, Lembaga Bantuan Hukum/LBH Semarang, BEM
UI, BEM Fisip UI, BEM UNJ, dan BEM FHUI)

56

Anda mungkin juga menyukai