Sebelum kita memulai bab ini lebih jauh, mula-mula kita harus menjawab
suatu pertanyaan praktis yakni, apakah yang dimaksud dengan waktu itu? Walaupun
kedengarannya mudah, namun ternyata jawabannya sulit juga, namun setidaknya
kita tahu waktu tidak hanya memiliki satu makna. Waktu dalam konsep kalender
atau penanggalan dapat didefinisikan sebagai selang lamanya dua kejadian
berlangsung dibandingkan terhadap satuan-satuan waktu yang telah disepakati
secara universal. Zona waktu merupakan selisih suatu bujur mengalami tengah hari
dibandingkan dengan bujur Grenwich. Waktu secara mutlak (kosmos) setidaknya
dapat kita jabarkan sebagai arus konstan yang ditempuh oleh ruang dalam perubahan
atau proses-proses penuaan, dengan demikian, untuk sementara dapat kita katakan
waktu kosmos tak dapat berbalik, diperlambat, maupun dipercepat.
Nah, karena konsep waktu dalam kalender itu bergantung terhadap kerangka
dan diukur hanya berdasarkan perbandingan terhadap satuan waktu, maka dua
selang waktu kosmos yang benar-benar sama dapat terukur berbeda oleh dua
pengamat pada kerangka berbeda. Karena yang akan dibahas kali ini adalah waktu
kalender dan zona waktu, maka kita tinggalkan dulu pengertian yang satunya.
Satuan waktu merupakan dasar dari penentuan selang waktu. Tentunya agar
perhitungan menjadi mudah, satuan-satuan waktu ini didasarkan pada perhitungan
peristiwa-peristiwa kosmis yang sering terjadi yakni, rotasi dan revolusi Bumi dan
Bulan.
ROTASI BUMI
Kita telah tahu bahwa bergesernya posisi bintang tiap menitnya merupakan
akibat dari rotasi Bumi. Jika kita mau mengukur periode dari suatu bintang berada di
zenit sampai kembali ke zenit lagi, maka akan didapatkan periodenya sekitar 23 jam
56 menit 4,1 detik atau disebut satu hari bintang (sideral time). Pergerakan semu
bintang-bintang ini dari timur ke barat, sehingga berdasarkan arah rotasi relatif yang
akan dibahas pada bab 3, maka gerak rotasi Bumi pastilah dari barat ke timur
(direct). Namun jika yang kita amati adalah Matahari, maka periode semu harian
Matahari bukanlah 23 jam 56 menit 4,1 detik, melainkan 24 jam. Perbedaan ini
diakibatkan periode sinodis antara rotasi Bumi dan revolusi Bumi terhadap Matahari
yang searah, sehingga periode semu harian Matahari menjadi lebih lambat sekitar 4
Satu mean second didefinisikan sebagai satu hari surya rerata dibagi 3600,
sedangkan satu sideral second didefinisikan sebagai satu hari bintang dibagi 3600,
sehingga satu sideral second = 0,997269565972 mean second. Perhitungan waktu
astronomis menggunakan standar waktu mean second, dan jika satu hari surya rerata
dinyatakan dalam sideral second didapatkan
1
24h 00m 00s 24h 3m 56s ,5554 sideral second
0,997269565972
REVOLUSI BUMI
Sehingga satu tahun menurut sistem ini sama dengan 365 hari 5 jam 48 menit
46 detik mean second.
Perhitungan berdasarkan gerak Matahari dari titik Aries ke titik Aries ini
disebut tahun tropik yang kemudian dijadikan patokan kalender Surya moderen
(Syamsiah, Solar calender) Contoh dari kelender Surya adalah kalender Masehi.
Namun, karena siklus tahun tropik tidak tepat 365,25 hari melainkan 365 hari
5 jam 48 menit 46 detik, maka terdapat ketidak cocokan sebesar
Jadi selisih dalam 100 tahun adalah 1.100 menit 1.400 detik atau 18 jam 43
menit dan dalam 128 tahun selisih itu menjadi 23,96 jam atau mendekati 1 hari.
Akibat kesalahan satu hari itu, penanggalan menjadi tidak sesuai lagi dangan tanggal
takwim.
Sejak tahun 1582 berlakulah tarikh baru yaitu tarikh Gregorian. Karena tiap
128 tahun terdapat kelebihan 1 hari, maka tiap 400 tahun terdapat kelebihan sekitar 3
hari. Jadi tiap empat abad harus ada tiga hari yang dihilangkan, dan hari-hari itu
adalah tanggal 29 Februari pada tahun abad yang tidak habis dibagi 400. Misalkan
tahun abad 1700, 1800, 1900, dan 2000, maka yang jumlah harinya 366 hanyalah
tahun 2000. Tahun 1700, 1800 dan 1900 bukan merupakan tahun kabisat meskipun
habis dibagi 4, namun tidak habis dibagi 400. Adapun tahun-tahun yang bukan tahun
abad tetap mengikuti ketentuan kalender Julian.
1 9 17 25
2* 10* 18* 26*
3 11 19 27
4 12 20 28*
5* 13* 21* 29
6 14 22 30
7* 15 23
8 16* 24*
Zona waktu GMT+8 berpatokan pada bujur 8 15 = 120° BT. Jadi dari bujur
112,5 BT sampai dengan 127,5 BT merupakan zona waktu GMT+8. Namun rumus
ini hanya dapat digunakan secara teori, karena secara hukum, garis-garis waktu
dapat saja dibelokkan dengan alasan-alasan tertentu, misalkan agar suatu negara
memiliki zona waktu sesedikit mungkin.
Meskipun dalam berbagai kebutuhan praktis metode zana waktu seperti ini
sudah cukup baik, namun dalam beberapa urusan zona waktu ini tidak teliti.
Misalkan kota A pada bujur 112,5 BT , kota B pada bujur 120 BT dan kota C pada
bujur 127,5 BT yang keduanya terletak di dekat ekuator, zona waktu keduanya
adalah GMT+8. Bagi pengamat di kota B, Matahari terbit tepat pukul 06.00 waktu
lokal sedangkan bagi pengamat di kota A Matahari baru akan terbit pukul 06.30
waktu lokal dan kota C Matahari telah terbit setengah jam yang lalu pada pukul
05.30 waktu lokal. Dapat dilihat juga bahwa kota A dan kota C yang sebenarnya
memiliki selisih waktu satu jam ternyata memiliki zona waktu yang sama. Karena
alasan ini, penentuan waktu shalat harus ditentukan berdasarkan bujurnya agar lebih
teliti.
Misalkan kota A (GMT+2) saat ini pukul 23.00 dan kota B(GMT+4) saat ini
pukul 01.00. Meskipun waktunya hanya berselang dua jam, namun tanggalnya
berselang satu hari. Agak berbeda dengan garis tanggal internasional, pada garis
tanggal internasional, pada jam berapa saja, misalkan pada daerah GMT+11 saat ini
pukul 13.00 tanggal 21 Maret 2010, maka pada daerah GMT-11 mengalami pukul
15.00 bukan pada tanggal 21 Maret, melainkan 20 Maret 2010. Jadi, waktunya
berselang 2 jam dan tanggalnya berselang satu hari. Jika Anda berdiri tepat di atas
garis penanggalan internasional maka saat itu pukul 14.00 waktu setempat tanggal
20 Maret dan 21 Maret bersamaan. Bingung? (saya juga)