Anda di halaman 1dari 45

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Buah Sukun (Artocarpus altilis)


Sukun termasuk dalam genus Artocarpus, famili (moraceae) yang terdiri
atas 50 spesies tanaman berkayu, yang hanya tumbuh di daerah panas dan
lembab di kawasan Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik. Tanaman sukun
merupakan tanaman hutan yang tingginya mencapai 20 m. Kayunya lunak dan
kulit kayu berserat kasar. Semua bagian tanaman bergetah encer. Daunnya
lebar, bercanggap menjari, dan berbulu kasar. Buahnya berbentuk bulat berkulit
tebal dan kasar, dengan warna hijau muda dan kuning dengan berat sekitar 1,5 –
3 kg (Mustafa, 1998).
Tanaman sukun menurut Angkasa dan Nazaruddin (1994) di
klasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Hamamelidae
Ordo : Urticales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus altilis
Buah sukun dikenal sebagai breadfruit atau buah roti (Angkasa dan
Nazaruddin, 1994) karena memiliki tekstur daging buah yang mirip dengan roti.
Di Indonesia buah sukun (Artocarpus altilis) mempunyai berbagai nama daerah,
yaitu sakon (Aceh), suku (Nias), amu (Gorontalo), suu uek (Roti), sukun (Jawa,
Sunda, Bali), sunne (Seram) kuu (Sulawesi Utara), kundo (Alor), karata (Sima),
kalara (Sawu), bakara (Sulawesi Selatan) (Direktorat Pemasaran dan
Pengolahan Hasil Pertanian, 2003).
Tanaman sukun berbuah setelah berumur 3-5 tahun setelah ditanam dan
dapat dipanen dua kali dalam satu tahun. Panen pertama terjadi pada bulan
Januari-Februari yang disebut panen raya yang terjadi pada musim hujan,

5
6

sedangkan panen kedua atau panen susulan terjadi pada musim kemarau yaitu
pada bulan Juli-Agustus. Sentra produksi buah sukun adalah Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Kalimantan Timur, NTT, Sumatera Selatan,
Lampung, Sulawesi Selatan, dan Jambi (Ditjen Hortikultura, 2006)

2.2. Sifat Fisik Buah Sukun


Daging buah sukun berwarna putih, putih kekuningan, dan kuning
tergantung dari jenisnya. Kulitnya berwarna hijau kekuningan dengan ketebalan
berkisar 1-2 mm. Permukaan kulit buah muda kasar dan menjadi halus setelah
buah tua. Tekstur buah saat mentah keras, dan menjadi lunak-masir setelah
matang. Rasa buahnya saat mentah hambar atau rasa pati dan agak manis
setelah matang, dengan flavour spesifik (Widowati, 2003).

Gambar 1. Buah sukun (Artocarpus altilis)

Menurut Reeve (1974) proporsi kulit, hati dan daging untuk buah hijau
adalah sekitar 22%, 8%, dan 70% , sedangkan untuk buah masak adalah sekitar
12%, 10% dan 78%. Bagian hati sukun berintikan sel-sel parenkim gabus yang
dikelilingi oleh jaringan pembuluh xilem dan floem. Apabila buah dibelah, jaringan
pembuluh ini mudah berubah warna, karena aktivitas enzim oksidatif, sedangkan
perubahan warna daging buah relatif sangat lambat. Cadangan pati buah sukun
terdapat dalam sel parenkim. Ukuran sel ini berkisar antara 30-70 mikron,
sedangkan diameter pati kira-kira 10 mikron.
Menurut Noviarso (2003), warna kulit buah sukun dan keadaan getah
dapat digunakan sebagai tanda kematangan buah sukun. Buah sukun yang
7

masih muda (2-2,5 bulan) mempunyai kulit yang berwarna hijau dan getah putih
belum keluar dari kulit, sedangkan buah sukun yang agak matang (2,5-3 bulan)
kulitnya berwarna hijau kekuningan dan getah sudah mulai keluar dari kulit
berupa noda-noda putih yang agak mengkilap. Getah putih mengkilap pada buah
sukun ini diperkirakan mengandung lemak (lilin). Buah sukun yang matang (3-3,5
bulan) tampak berwarna hijau kecoklatan dan getah sudah banyak keluar. Buah
sukun yang sudah tua (lebih dari 3,5 bulan) kulitnya berwarna coklat gelap, dan
getah berubah menjadi coklat kehitaman serta telah berhenti keluar. Buah sukun
yang telah tua ini kulitnya tampak retak-retak dan bagian bawah (ujung buah)
berwarna hitam. Berikut ini merupakan tabel karakteristik fisik buah sukun pada
umur panen yang berbeda.

Tabel 1. Karakteristik fisik buah sukun pada empat tingkat umur panen
Proporsi Bagian Buah
Umur Berat Diameter
Warna (%)
Panen Getah Utuh Buah
Kulit
(bln) (kg) (cm)
Daging Kulit Hati
Belum
2-2,5 Hijau keluar 0,8-1 14-15 71-72 17-18 10
dari kulit
Sudah
Hijau
2,5-3 keluar 1-1,25 15-15,5 74 16 10
kekuningan
dari kulit
Hijau Banyak
3-3,5 1,4-2,28 15,5-20 78 12 10
kecoklatan keluar
Coklat Berhenti
˃3,5 1,4-2,28 15,5-20 78 11 11
kehitaman keluar
Sumber : Noviarso (2003)

Pada umumnya buah sukun dikonsumsi dalam keadaan matang (fully


mature) dengan warna hijau kecoklatan, tetapi karena pola respirasinya yang
demikian cepat maka dalam selang beberapa hari buah sukun akan segera
menjadi lunak dan tidak dapat dimakan. Menurut Thompson dkk. (1974), proses
respirasi dan pematangan buah sukun dapat dihambat dengan cara
menyimpannya pada suhu dingin, tetapi proses pematangannya berlangsung
tidak normal. Buah matang yang seharusnya berwarna hijau kekuningan,
berubah menjadi coklat buram.
8

2.3. Komposisi Kimia Buah Sukun


Buah sukun mengandung berbagai jenis zat gizi terutama adalah
karbohidrat, protein, dan lemak. Selain itu, buah sukun juga banyak mengandung
unsur-unsur mineral serta vitamin yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Unsur-
unsur mineral yang terkandung dalam buah sukun antara lain adalah kalsium
(Ca), fosfor (P), dan zat besi (Fe), sedangkan vitamin-vitamin yang terdapat pada
buah sukun antara lain vitamin B1, B2, dan vitamin C (Widowati dkk, 2002).

Tabel 2. Komposisi zat gizi sukun per 100 g bahan


Zat Gizi Sukun Muda Sukun Tua Tepung Sukun
Karbohidrat (g) 9,2 28,2 78,9
Lemak (g) 0,7 0,3 0,8
Protein (g) 2,0 1,3 3,6
Vitamin B1 (mg) 0,12 0,12 0,34
Vitamin B2 (mg) 0,06 0,05 0,17
Vitamin C (mg) 21,0 17,0 47,6
Kalsium (mg) 59,0 21,0 58,8
Fosfor (mg) 46,0 59,0 165,2
Zat besi (mg) - 0,4 1,1
Sumber : FAO (1972); Pitojo (1992)

Tabel 3. Kandungan mineral, vitamin, lemak dan asam amino buah sukun per
100 g bahan
Mineral (mg) Vitamin (mg) Lemak (mg) Asam Amino (mg)
Asam lemak jenuh
Kalsium : 17 Vitamin C : 29 mg Threonine : 0,052
: 0,048
Asam lemak tak
Besi : 0,54 Thiamin : 0,11 mg jenuh tunggal : Isoleucine : 0,064
0,034
Riboflavin : 0,03 Asam lemak tak
Magnesium : 25 Lysine : 0,037
mg jenuh jamak : 0,066
Potasium : 490 Niacin : 0,9 mg Methionine : 0,01
As. Pantothenic :
Seng : 0,12 Cystine : 0,009
0,457 mg
Tembaga : Vitamin B6 : 0,1 Phenylalanine :
0,084 mg 0,026
Mangan : 0,06 Folate : 14 mg Tyrosine : 0,019
Selenium : 0,6 Vitamin A : 40 IU Valine : 0,047
Vitamin A RE : 4
mg RE
Vitamin E : 1,12
ATE
Sumber : Widowati (2003)
9

Buah sukun dapat dimasukkan dalam golongan buah yang berpotensi


sebagai sumber karbohidrat. Sebagian besar karbohidrat dalam bentuk pati yang
terdiri dari amilosa dan amilopektin. Koswara (2006) menyatakan bahwa buah
sukun dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif karena keberadaannya
yang tidak seiring dengan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia yaitu beras. Buah sukun dapat dipakai sebagai pangan
alternatif pada bulan-bulan Januari, Februari, dan September, di mana pada
bulan-bulan tersebut biasanya merupakan masa paceklik padi. Buah sukun
memiliki kandungan vitamin dan mineral yang lebih lengkap dibandingkan
dengan beras tetapi nilai kalorinya lebih rendah, sehingga dapat digunakan
sebagai makanan diet (Suyanti dkk., 2001). Kadar amilosa dalam buah sukun
sebesar 18,0% pada sukun tua dan 18,2% pada sukun muda.

Tabel 4. Komposisi amilosa dan amilopektin dari pati sukun


Kandungan (% bk) Sukun Tua Sukun Muda
Pati 13,7 7,8
Amilopektin 82,0 81,8
Amilosa 18,0 18,2
Derajat Putih 82,2 50,2
Sumber : Manullang dan Vivin (1995)

2.4. Tepung Sukun


Salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan dalam
penganekaragaman pangan adalah tepung, karena lebih tahan disimpan, mudah
dicampur (dibuat komposit), ditambah zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih
cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno,
2000). Berdasarkan kadar karbohidrat pada buah sukun yang cukup tinggi
(sebesar 28,2%) maka buah sukun berpeluang diolah menjadi tepung. Tetapi
permasalahan yang terjadi pada pengolahan buah sukun menjadi tepung adalah
mudah mengalami pencoklatan setelah dikupas. Hal ini disebabkan karena
terjadi oksidasi dengan udara sehingga terbentuk reaksi pencoklatan oleh
pengaruh enzim yang terdapat dalam buah sukun tersebut (browning enzymatic).
Hal ini sedapat mungkin harus dicegah untuk menghindari terbentuknya
warna coklat pada bahan pangan yang akan dibuat tepung. Ini dapat dilakukan
dengan mencegah sedikit mungkin kontak antara bahan yang telah dikupas dan
10

udara dengan cara blanching atau merendam dalam larutan garam 1% atau
menonaktifkan enzim dalam proses blansir yaitu dikukus (Widowati dan
Damardjati, 2001). Selain itu dapat juga dilakukan dengan cara perendaman
menggunakan bahan kimia anti pencoklatan seperti natrium metabisulfit selama
kurang lebih 1 jam (Kadarisman dan Sulaeman, 1993) .
Berat buah sukun berkisar antara 1200-2500g/buah, yang terdiri dari
daging buah 81,21%, kulit buah 18,79% dan hati buah 9,09%. Dari total berat
daging buah tersebut setelah disawut dan dikeringkan menghasilkan sawut
kering sebanyak 11–20% dan setelah dilakukan penepungan menghasilkan
tepung rendemen sebesar 10–18%, tergantung tingkat ketuaan dan jenis sukun.
Lama pengeringan sawut sukun dengan menggunakan alat pengering oven
o
berkisar antara 5-6 jam dengan suhu pengeringan 55-60 C. Apabila
pengeringan menggunakan sinar matahari lama pengeringan sekitar 1–2 hari
(Widowati, 2003).
Karakteristik tepung sukun yang dihasilkan pada penepungan buah sukun
dipengaruhi oleh umur buah, perlakuan yang diberikan, alat dan suhu
pengeringan. Tingkat ketuaan buah sukun sangat berperan terhadap warna
tepung yang dihasilkan. Buah yang muda menghasilkan tepung sukun berwarna
putih kecoklatan. Semakin tua buah sukun (sampai tingkat ketuaan optimum)
semakin putih warna tepungnya. Buah sukun yang baik untuk diolah menjadi
tepung adalah buah mengkal yang dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan
optimum (Widowati, dkk., 2001).

Tabel 5. Komposisi kimia tepung umbi-umbian dan buah-buahan


Kadar (%)
Komoditas
Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Pisang 10,11 2,66 3,05 0,28 84,01
Sukun 9,09 2,83 3,64 0,41 84,03
Labu 11,14 5,89 5,04 0,08 77,65
kuning
Haddise 9,32 6,62 2,67 0,08 81,32
Ubi kayu 7,80 2,22 1,60 0,51 87,87
Ubi jalar 7,80 2,16 2,16 0,83 86,95
Sumber : Widowati dkk., (2001)
11

2.5. Sifat dan Karakteristik Pati


Komponen terbesar dari tepung adalah pati sebesar 63-72% (Atwell,
2001). Pati adalah bentuk penting polisakarida yang tersimpan dalam jaringan
tanaman, berupa granula dalam kloroplas daun dan dalam amiloplas pada biji
dan umbi (Sajilata dkk., 2006). Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen
utama yaitu amilosa, amilopektin dan material lain seperti, protein dan lemak
(Banks dan Greenwood, 1975).

2.5.1 Granula Pati


Pati disintesis dalam bentuk granula yang tersimpan dalam organel
selular (amiloplas) (Jacobs dan Delcour, 1998). Granula pati memiliki bentuk dan
ukuran yang bervariasi, tergantung sumbernya. Bentuk granula pati adalah bulat,
oval, elips terpotong (trancuted), poliginal, dan sebagainya. Ukuran diameter
granula pati berkisar antara 1 µm sampai 100 µm. Pada umumnya, sereal
memiliki butiran lebih kecil dibandingkan dengan akar atau umbi (Vamadevan
dan Bertoft, 2014). Granula pati tersusun atas dua tipe polimer glukosa (α-
glukan) yaitu amilosa dan amilopektin, yang berjumlah sekitar 98-99% berat
kering (Tester dkk, 2004).
Pada struktur granula pati, amilosa dan amilopektin tersusun dalam suatu
cincin-cincin. Jumlah cincin dalam suatu granula kurang lebih berjumlah 16,
dimana sebagian berbentuk lapisan amorf dan sebagian berbentuk lapisan semi
kristal (Bastian, 2011). Daerah semi kristalin tersusun oleh lamela amorf dan
lamela kristalin, sedangkan daerah amorf sebagian besar tersusun oleh amilosa
dan ikatan antar klaster (Donald dkk.,1997). Pengamatan dengan mikroskop
cahaya atau SEM (scanning electron microscope) setelah perlakuan enzim,
granula pati umumnya memiliki cincin, atau cangkang, yang dikenal sebagai
"cincin pertumbuhan", dengan bergantian antara struktur amorf dan semi kristalin
dan ketebalan khas 100-400 nm, ditunjukkan pada Gambar 2 (Pilling dan Smith,
2003; Fulton dkk., 2002; Gallant dkk., 1992; Tamaki, dkk., 1997; Ambigaipalan
dkk., 2011; Wang dkk., 2012; Vamadevan dan Bertoft, 2014). Cincin semi
kristalin terdiri dari tumpukan bergantian antara lamela kristalin dan lamela amorf
dengan jarak berulang secara universal sekitar 9 nm (Jenkins dkk., 1993).
12

Cincin granula Granula Cincin granula


Amorf Semi kristalin Semi kristalin Amorf

Semi kristalin Amorf

Heliks Ganda

Building block
Building block
Model Klaster
Model backbone

Gambar 2. Cincin pertumbuhan granula pati

Keterangan gambar : dari granula pati untuk membangun blok, skematis


yang menunjukkan tingkat struktural yang berbeda dari granula pati. (a) Granula
terdiri dari cincin bergantian dengan pusat hilum, biasanya dianggap sebagai
amorf. (b) Susunan utama dari cincin semi kristalin sesuai dengan struktur klaster
amilopektin. (c) Susunan utama dari cincin semi kristalin sesuai dengan struktur
backbone blok bangunan dari amilopektin. Struktur cincin amorf terdiri dari
amilosa serta amilopektin. Cincin semi kristalin terdiri dari lamela kristalin dan
amorf. Rincian heliks ganda (silinder) dan building block (melingkar), lingkaran
menggambarkan residu glukosa. Interblock segments (IBS) dan intercluster
segments (IC-S) ditunjukkan dan ditemukan pada kedua model. Perhatikan
bahwa perbedaan utama antara kedua model adalah dalam (b) molekul
amilopektin menembus tumpukan lamela, sedangkan di (c) molekul amilopektin
tidak menembus tumpukan.
13

Komponen amilopektin yang berperan utama dalam organisasi struktural


granula, meskipun amilosa juga berpengaruh pada sifat-sifatnya. Blocklets pada
daerah semi kristalin dari butiran memiliki struktur yang lebih sempurna,
sedangkan blocklets cincin pertumbuhan pada daerah amorf akan memiliki
struktur yang lebih tidak stabil (Tang dkk., 2006). Perbedaan istilah dikemukakan
oleh Gallant dkk. (1997), yang membagi granula pati menjadi daerah kristalin dan
semi kristalin, di mana daerah kristalin tersusun oleh lamela amorf dan lamela
kristalin, sedangkan daerah semi kristalin tersusun oleh amilosa dan ikatan antar
klaster.

2.5.2 Amilosa dan Amilopektin


Granula pati terdiri atas dua molekul yang dapat dipisahkan dengan air
panas yaitu amilosa (fraksi terlarut) dan amilopektin (fraksi tidak terlarut) yang
dihubungkan oleh ikatan glikosidik (Winarno 2002), dengan jumlah sekitar 98-
99% berat kering (Tester dkk., 2004). Proporsi amilosa dan amilopektin pati
bervariasi, pada umumnya sekitar 25:75 (BeMiller dan Whistler, 1996).
Berdasarkan rasio kandungan amilosa-amilopektin, pati dapat diklasifikasikan
sebagai waxy starch yang mengandung amilosa kurang dari 15%, pati normal
yang mengandung amilosa sekitar 20-35%, dan pati beramilosa tinggi dengan
kandungan amilosa di atas 40%. Dalam produk makanan, amilopektin
menyebabkan terjadinya proses mekar (puffing) dimana produk makan yang
berasal dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan,
porus, kering dan renyah. Kebalikannya pati dengan kandungan amilosa tinggi,
cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal, karena proses mekarnya
terjadi secara terbatas (Hee- Young An, 2005).

Tabel 6. Perbedaan sifat fungsional amilosa dan amilopektin

No Propertis Amilosa Amilopektin


1 Tipe ikatan α-1,4 linear α,1,4 dan α-1,6 bercabang
2 Bobot molekul 10.000 1-10 juta
3 Derajat polimerasi ~103 ~104-105
4 Sifat film yang terbentuk Kuat Lemah
5 Formasi gel Kaku (film) Non gelling (lunak)
6 Pewarnaan dengan iodium Biru Coklat kemerahan
Sumber: Thomas dan Atwell (1999)
14

2.5.2.1 Amilosa
Amilosa tersusun atas molekul D-glukopiranosa yang berikatan α-(1,4)
dalam struktur rantai lurus (Liu, 2005). Menurut You dkk. (2002), berat molekul
amilosa bervariasi mulai dari 1 x 105 sampai 1 x 106 g/mol. Molekul amilosa
lengkap dapat terdiri atas 3000 unit D-glukopiranosa. Walaupun amilosa
dikatakan sebagai rantai lurus namun bentuk amilosa sebenarnya yaitu
berbentuk heliks atau spiral (Shivus dkk., 2005). Struktur heliks amilosa pada
bagian dalam mengandung atom hidrogen, sedangkan pada bagian luar terdapat
kelompok hidroksil (Buleon dkk., 1998). Keberadaan atom hidrogen pada bagian
dalam heliks membuat amilosa memiliki sifat hidrofobik dan memungkinkan untuk
membentuk kompleks dengan asam lemak bebas, komponen asam lemak dari
gliserida, iodine dan beberapa alkohol (Fennema, 1985).

Gambar 3. Struktur amilosa

Gambar 4. Bentuk heliks amilosa dan rantai asam lemak

Kompleks amilosa dengan lemak dan bahan pengemulsi dalam makanan


seperti mono dan digliserida dapat mempengaruhi suhu gelatinisasi, perubahan
tekstur dan viskositas pasta serta dapat membatasi retrogradasi (Thomas dan
Atwell, 1999). Amilosa yang berikatan dengan molekul lipid internal membentuk
kompleks amilosa-lipid juga dapat membatasi penyerapan air ke dalam granula
pati. Pembentukan formasi antara amilosa dan senyawa lipid dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti suhu, pH, lama kontak antara amilosa dan senyawa
yg akan terikat dalam heliks amilosa.
15

Menurut Taggart (2004) amilosa memiliki kemampuan membentuk kristal


karena struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana
dapat membentuk interaksi molekular yang kuat pada gugus hidroksil.
Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada
amilopektin. Interaksi antar gugus hidroksil tersebut akan membentuk jaringan
tiga dimensi ketika molekul berasosiasi ketika pendinginan. karakteristik inilah
yang berperan dalam pembentukan gel pada pemasakan dan pendinginan pasta
pati. Meskipun sebenarnya amilase dihidrolisa dengan β-amilase pada beberapa
jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang sempurna, β-amilase menghidrolisis
amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutus ikatan α-(1,4) dari
ujung non pereduksi amilosa menghasilkan maltosa (Hee-Young An, 2005).

2.5.2.2 Amilopektin
Amilopektin adalah makromolekul bercabang dengan rantai linear yang
lebih pendek dihubungkan dengan ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya, serta
ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya (Van der Maarel dkk., 2002). Struktur
rantai amilopektin cenderung membentuk rantai yang bercabang seperti terlihat
pada Gambar 5, serta membentuk struktur rantai heliks ganda dan membentuk
klaster (Roder dkk., 2005). Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4–5%
dari seluruh ikatan yang ada pada amilopektin (Eliasson, 2004). Berat molekul
amilopektin sekitar 1000 kali berat molekul amilosa dan berkisar 1 x 107 sampai 5
x 108 g/mol (You dkk., 2002). Sekitar 80-90% dari suatu klaster amilopektin
dibentuk oleh rantai amilopektin tipe A yaitu rantai pendek yang tidak membentuk
cabang dengan DP 6-15 (Sajilata dkk., 2006).

Gambar 5. Struktur amilopektin


16

Berat molekul amilopektin glukosa untuk setiap rantai bervariasi


tergantung pada sumbernya. Amilopektin mempunyai berat molekul (Mr) ± 108
(Mapiliandri, 1999). Hal inilah yang membuat amilopektin menjadi sulit untuk
mengalami retrogradasi pati, yaitu proses kristalisasi pati setelah mengalami
gelatinasi (Winarno, 2004), sehingga menyebabkan amilopektin mampu
mempertahankan sifat gel yang terbentuk.
Hizukuri (1986) mengilustrasikan model amilopektin dalam bentuk struktur
klaster, dalam struktur tersebut 80-90% dari keseluruhan rantai amilopektin
terletak pada klaster tersebut, sedangkan 10-20% sisanya berperan dalam
pembentukan ikatan antar klaster seperti terlihat pada Gambar 6.

Amilosa
Rantai A

Rantai B1
Lamela
kristalin

Rantai B2

Lamela
amorf Rantai B3

Lamela
kristalin

Gambar 6. Struktur Amilopektin “Model Klaster” oleh Hizukuri (1986).

Berdasarkan pada panjang rantai dan titik percabangannya, rantai


amilopektin dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian rantai A (A chain),
rantai B (B chain) dan rantai C (C chain). Bagian A tersusun oleh rantai linear
berantai pendek dengan DP 6-12. Pada bagian B, membentuk struktur
17

bercabang amilopektin yang mengikat rantai A atau rantai B lainnya (B1, B2 dan
B3). Rantai B1 memiliki DP 13-24, B2 memiliki DP 25-36, dan B3 memiliki
DP˃37. Bagian struktur amilopektin berantai pendek dengan DP sekitar 6-24
terdapat pada rantai A dan B1. Rantai tersebut dapat membentuk struktur heliks
ganda dan terletak pada bagian luar (eksternal) dari struktur amilopektin. Klaster
yang tersusun oleh rantai A dan B1 tersebut menyusun daerah kristalin dalam
granula pati.
Pada model klaster amilopektin di atas, daerah percabangan amilopektin
masuk ke dalam daerah amorf. Molekul amilosa sebagian besar juga berada
pada daerah amorf dan dapat berinteraksi dengan rantai amilopektin. Pada
daerah amorf ini berbeda dengan daerah kristalin, pada daerah amorf tidak
menunjukkan pola difraksi sinar X (Zobel, 1992), sehingga tidak dapat digunakan
dalam mengkarakterisasi perubahan struktur kristal pada pati (Stute, 1992;
Hoover dan Vasanthan, 1994). Daerah amorf mudah mengalami reaksi kimia,
seperti hidrolisis oleh asam atau bereaksi dengan suatu gugus fungsional. Selain
itu pada proses gelatinisasi pati, daerah amorf merupakan bagian yang dapat
mengembang (Liu, 2005).

2.5.3 Gelatinasi Pati


Gelatinisasi pati adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
peristiwa molekuler yang terkait dengan pemanasan pati dalam air. Pati diubah
dari bentuk semi kristalin, bentuk yang relatif sulit dicerna ke dalam bentuk amorf
yang mudah dicerna (Tester dkk., 1999). Gelatinisasi pati ditandai dengan
terjadinya pengembangan (swelling) granula pati, peluruhan (melting) dari bagian
kristalin, hilangnya sifat birefringence, peningkatan kekentalan dan peningkatan
kelarutan pati.
Amilosa dan amilopektin di dalam granula pati dihubungkan dengan
ikatan hidrogen. Apabila granula pati dipanaskan di dalam air, maka energi
panas akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam
granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan
amilosa dan amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan
terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai
batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula
pati menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses
18

masuknya air ke dalam pati yang dapat menyebabkan granula mengembang dan
akhirnya pecah disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu dimana terjadinya
gelatinisasi disebut dengan suhu gelatinisasi. Proses gelatinisasi pati dapat
menyebabkan perubahan viskositas larutan pati (Bastian, 2011).

Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin)


dan amilopektin (bercabang)

Masuknya air merusak kristalinitas amilosa


dan merusak heliks. Granula membengkak

Adanya panas dan air menyebabkan


pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi
keluar dari granula

Granula hanya mengandung amilopektin,


rusak dan terperangkap dalam matriks
amilosa membentuk gel

Gambar 7. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981)

Pada proses gelatinisasi terjadi pada granula pati dengan ukuran terbesar
terlebih dahulu, kemudian pada granula pati dengan ukuran yang lebih kecil
(Whisler dan BeMiller, 1997). Gelatinisasi juga menyebabkan terjadinya disosiasi
heliks ganda dari amilopektin, yang menyebabkan hilangnya sifat birefringence
dan kristalinitas granula pati (Cooke dan Gidley, 1992). Selain itu pada proses
gelatinisasi pati terjadi amylose leaching setelah pemanasan suspensi pati di
atas suhu gelatinisasinya. Namun, beberapa amilosa mengalami amylose
leaching pada pemanasan di bawah suhu gelatinisasinya. Hal ini disebabkan
karena sebagian amilosa pada granula pati berada pada daerah amorf, sehingga
lebih mudah berdifusi keluar dari granula pati (Whisler dan BeMiller, 1997).
19

2.5.4 Retrogradasi Pati


Retrogradasi adalah perubahan kondisi larutan pati dari terdisosiasi
menjadi terasosiasi selama proses pendinginan yang menyebabkan terjadinya
penurunan kelarutan dari molekul pati (Wong, 1981). Winarno (2004)
menyatakan bahwa proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami
gelatinisasi disebut retrogradasi. Ada dua proses yang terjadi selama
retrogradasi, pertama adalah rigidity dan cristallinity gel yang berkembang secara
cepat untuk membentuk kristal kembali, hal ini terjadi pada molekul amilosa.
Kedua, gel yang berkembang secara perlahan dan terjadi pada molekul
amilopektin (Biliaderis, 1991). Retrogradasi pati disebabkan oleh pembentukan
kembali ikatan hidrogen antar molekul amilosa dan amilopektin, terutama pada
molekul amilosa karena pembentukan ikatan hidrogen antar molekul amilosa
mudah terbentuk. Semakin banyak molekul amilosa yang keluar dari granula
selama proses gelatinisasi, maka semakin banyak pati teretrogradasi yang
terbentuk dalam proses retrogradasi (Srichuwong, 2006). Pada Gambar 8 di
bawah ini adalah skematis perubahan yang terjadi pada amilosa dan amilopektin
selama pemanasan dan pendinginan.

Gambar 8. Ilustrasi perubahan pasta pati selama siklus freeze-thaw


(Srichuwong 2006)
20

Retrogradasi pati dapat menyebabkan beberapa perubahan pada sifat gel


pati. Perubahan yang terjadi adalah peningkatan resistensi molekul amilosa dan
amilopektin terhadap hidrolisis oleh enzim amilolitik, penurunan kemampuan
transmisi cahaya dan hilangnya kemampuan membentuk kompleks berwarna
biru ketika ditambahkan iodium. Selain itu retrogradasi pati juga dapat mening-
katkan kekuatan gel, menyebabkan gel pati kehilangan kemampuan mengikat
air, dan terbentuknya kembali kristalinitas dengan ukuran yang besar (Ratnayake
dkk., 2002).
Retrogradasi dari gelatinisasi pati adalah proses reorganisasi yang dapat
melibatkan baik amilosa atau amilopektin, dengan amilosa menjalani retrogradasi
pada tingkat yang lebih cepat daripada amilopektin (Jacobson dkk., 1997).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi retrogradasi pati secara alami adalah
jenis pati, jumlah amilosa dan amilopektin, suhu penyimpanan dan bahan aditif
(Orford dkk., 1987; Zeleznak dan Hoseney, 1987; Chang dan Liu, 1991; Ward
dkk., 1994) serta panjang dan distribusi rantai luar amilopektin, dan distribusi
ukuran granula pati. Molekul amilosa lebih berpengaruh dalam pembentukan gel
dan retrogradasi dari pada molekul amilopektin, pati yang mengandung amilosa
lebih besar akan mengalami retrogradasi lebih cepat (Gudmundsson, 1994).
Selain itu kristalisasi pati juga tergantung pada jumlah komplek amilosa-lipid
yang terbentuk. Komplek amilosa-lipid merupakan salah satu bentuk interaksi
antara lipid dengan pati. Amilosa dengan struktur heliks tunggal dengan tujuh
glukosil untuk tiap putarannya memungkinkan interaksi itu dapat terjadi (Zobel,
1988). Tingkat retrogradasi meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
amilosa dan dengan menurunnya suhu dan terbesar pada pH 5-7 (Ring dkk.,
1985; Jacobson dkk., 1997).
Gel pati merupakan sistem yang tidak stabil dan akan mengalami
perubahan struktur selama penyimpanan. Jika gel pati tersebut disimpan selama
beberapa hari, maka air dalam gel akan keluar. Keluarnya cairan dari suatu gel
pati disebut sineresis (Winarno, 1992). Apabila pasta pati dibekukan, maka air
dalam larutan pasta pati akan berubah bentuk menjadi kristal es dan terpisah
dari struktur gel pati. Air yang telah berubah bentuk menjadi kristal es tersebut
mengakibatkan peristiwa retrogradasi dalam larutan pasta pati. Apabila
diletakkan kembali pada suhu kamar, maka kristal es akan kembali mencair dan
21

air akan terpisah dari struktur pasta pati. Hal ini mengakibatkan terjadinya
fenomena sineresis, yaitu keluarnya air dari pasta pati.
Derajat pemisahan air sering dinyatakan dengan persen sineresis, yaitu
menunjukkan jumlah air yang terpisah setelah pasta pati disimpan pada siklus
penyimpanan beku (-18 0C). Semakin tinggi persentase jumlah air yang terpisah,
maka pati tersebut semakin tidak stabil terhadap penyimpanan suhu beku.
Analisis tersebut sering digunakan untuk mengukur tingkat kecenderungan
retrogradasi pati (Srichuwong, 2006).

2.6 Modifikasi Pati


Pati termodifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu untuk
menghasilkan sifat yang lebih baik atau memperbaiki sifat sebelumnya, terutama
sifat fisikokimia dan fungsional atau untuk mengubah beberapa sifat lainnya
(Saguilan dkk., 2005). Setiap jenis pati memiliki karakteristik yang khas serta sifat
fungsional yang berbeda. Disamping pati alami, secara komersial telah tersedia
berbagai jenis pati termodifikasi (modified starch) dengan tujuan penggunaan
yang berbeda-beda. Secara umum pati alami memiliki kekurangan yang sering
menghambat aplikasinya di dalam proses pengolahan pangan (Pomeranz,
1985), diantaranya adalah:
a. Kebanyakan pati alami menghasilkan suspensi pati dengan viskositas dan
kemampuan membentuk gel yang tidak seragam (konsisten). Hal ini
disebabkan profil gelatinisasi pati alami sangat dipengaruhi oleh iklim dan
kondisi fisiologis tanaman, sehingga jenis pati yang sama belum tentu
memiliki sifat fungsional yang sama.
b. Kebanyakan pati alami tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi. Dalam
proses gelatinisasi pati, biasanya akan terjadi penurunan kekentalan
suspensi pati (viscosity breakdown) dengan meningkatnya suhu pemanasan.
Apabila dalam proses pengolahan digunakan suhu tinggi (misalnya pati
alami digunakan sebagai pengental dalam produk pangan yang diproses
dengan sterilisasi), maka dihasilkan kekentalan produk yang tidak sesuai.
c. Pati tidak tahan pada kondisi asam. Pati mudah mengalami hidrolisis pada
kondisi asam yang mengurangi kemampuan gelatinisasinya. Pada
kenyataannya banyak produk pangan yang bersifat asam dimana
22

penggunaan pati alami sebagai pengental menjadi tidak sesuai, baik selama
proses maupun penyimpanan. Misalnya, apabila pati alami digunakan
sebagai pengental pada pembuatan saus, maka akan terjadi penurunan
kekentalan saus selama penyimpanan yang disebabkan oleh hidrolisis pati.
d. Pati alami tidak tahan proses mekanis, dimana viskositas pati akan menurun
adanya proses pengadukan atau pemompaan.
e. Kelarutan pati yang terbatas di dalam air. Kemampuan pati untuk
membentuk tekstur yang kental dan gel akan menjadi masalah apabila
dalam proses pengolahan diinginkan konsentrasi pati yang tinggi namun
tidak diinginkan kekentalan dan struktur gel yang tinggi.
Modifikasi pati dilakukan untuk mengatasi sifat-sifat dasar pati alami yang
kurang menguntungkan seperti dijelaskan di atas, sehingga dapat memperluas
penggunaannya dalam proses pengolahan pangan serta menghasilkan
karakteristik produk pangan yang diinginkan. BeMiller dan Whistler (1997)
menyatakan bahwa modifikasi dilakukan dengan beberapa tujuan diantaranya
adalah memperbaiki karakteristik pemasakan, menurunkan sifat retrogradasi,
menurunkan kecenderungan pasta membentuk gel, meningkatkan stabilitas
freeze-thaw pasta, menurunkan sifatsineresis pasta dan atau gel, meningkatkan
tekstur pasta dan atau gel, meningkatkan pembentukan film, meningkatkan sifat
adhesi, dan menambah gugus hidrofobik.

Tabel 7. Beberapa tipe pati termodifikasi serta sifat dan pemanfaatannya


Tipe Pati Sifat Pemanfaatan
Pati pragelatinisasi Larut dalam air dingin, Sup instan, puding instan,
bahan pengisi saus campuran bakery,
makanan beku
Pati hidrolisis asam Viskositas rendah, retro- Gum, permen, formulasi
gradasi tinggi, gel kuat, pangan cair
Dekstrin Bahan pengikat, enkapsu- Permen, pengembang, rem-
lasi pah, perisa, minyak
Pati teroksidasi Stabilizer, perekat, penjer- Formulasi pangan, permen,
nih, pengegel gum
Pati eter Stabilizer Sup, puding, makanan beku
Pati ester Stabilizer, bahan pengisi, Permen, emulsi
penjernih
Pati reaksi silang Bahan pengisi, stabilizer, Pengisi pie, roti, makanan
penentu tekstur beku, bakery, puding,
makanan instan, sup, saus
salad, saus
Sumber : Hustiany (2006)
23

Modifikasi pati dapat dilakukan secara fisik, kimia dan enzimatis dengan
terkendali sehingga merubah satu atau lebih dari sifat asalnya, seperti suhu awal
gelatinisasi; karakteristik selama proses gelatinisasi; ketahanan oleh pemanasan,
pengasaman dan pengadukan; dan kecenderungan retrogradasi (Bastian, 2001).
Beberapa metode modifikasi pati antara lain metode enzimatis (likuifikasi,
sakarifikasi, dan isomerasi), metode fisika (ekstrusi, praboiling, steam-cooking,
irradiasi microwave, pemanggangan, hydrotermal treatment dan autoclaving) dan
metode kimia (hidrolisis asam, cross linking, subtitusi, serta kombinasi antara
cross linking dan subtitusi).
Sifat pati modifikasi tergantung pada beberapa faktor seperti reaksi
modifikasi, gugus pensubstitusi, derajat substitusi, dan distribusi gugus
substituen. Distribusi gugus substituen pada modifikasi pati dapat terjadi pada
monomer, sepanjang rantai polimer, pada daerah kristalin/amorf, dan pada
permukaan granula (Richardson dan Gorton, 2003).

2.7 Modifikasi Pati dengan Metode Annealing (ANN)


Salah satu bentuk modifikasi secara fisik adalah hydrothermal treatment.
Menurut Stute (1992) hydrothermal treatment didefinisikan sebagai bentuk
modifikasi pati secara fisik yang mengkombinasikan kondisi kelembaban serta
pemanasan yang dapat mempengaruhi karakteristik pati tanpa merubah
visualisasi granula pati. Kelebihan utama modifikasi pati dengan perlakuan fisik
ini adalah cenderung lebih aman karena tidak merusak granula pati serta lebih
alami dibandingkan dengan perlakuan kimia (Collado dkk., 2001). Berdasarkan
kondisi perlakuannya, hydrothermal treatment dibedakan menjadi dua yaitu
annealing (ANN) dan Heat Moisture Treatment (HMT).
Dalam mempelajari polimer konvensional, istilah ''annealing" digunakan
untuk menggambarkan proses pemanasan polimer pada suhu di bawah titik
leleh, untuk menginduksi area kristal yang lebih luas, keteraturan kristal, atau
mengubah struktur kristal menjadi lebih stabil (Wunderlich, 1976). Namun, dalam
studi pati, annealing (ANN) didefinisikan sebagai perlakuan hidrotermal pada pati
dengan adanya air berlebih (lebih dari 60% air, w/w) atau kadar air yang
menengah (40% air, w/w) selama periode waktu tertentu. ANN mengubah sifat
fisikokimia tepung tanpa merusak struktur granulanya (Jacobs dkk., 1996; Jacobs
dkk., 1998), dengan meningkatkan keteraturan kristal dan mempermudah
24

interaksi antara rantai pati (Jayakody dan Hoover, 2008). Oleh karena itu tidak
ada perubahan yang diamati dengan XRD pada pati ANN (Gough dan Pybus,
1971; Stute, 1992).
Menurut Collado dan Corke (1999), Heat Moisture Treatment (HMT)
didefinisikan sebagai modifikasi fisik yang melibatkan perlakuan pemanasan pati
pada kadar air terbatas (<35% air, w/w) pada suhu 80-120 oC, di atas suhu
gelatinisasi, selama beberapa waktu yang berkisar antara 15 menit sampai 16
jam. Menurut Kulp dan Lorenz (1981) di dalam Olayinka dkk. (2006), modifikasi
HMT dapat merubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk
kristal baru atau terjadi proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin
pada granula pati. Proses HMT juga dapat meningkatkan asosiasi rantai pati
antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin pada daerah amorf, memisah-
kan fraksi amilosa dan amilopektin, meningkatkan kekompakan material di dalam
granula akibat adanya tekanan dan interaksi serta merubah derajat kristalinitas
pati.
Di bawah ini adalah beberapa parameter ANN dan parameter gelatinisasi
pada pati umbi, kacang-kacangan dan sereal yang sudah dilakukan penelitian.
25

Tabel 8. Parameter ANN dan parameter gelatinisasi pada pati umbi, kacang-kacangan dan sereal

Parameter ANN Parameter Gelatinisasi


SUMBER PATI Referensi
0
T ( C) Tahap t (jam) W:S S:W To Tp Tc Tc-To ΔH (J/g)

Kentang (asli) 1:03 54 58,8 64,5 10,5 16,8 Hoover dan Vasanthan (1994a)
Kentang (ANN) 50 1 tahap 72 3:01 1:03 71,2 74,2 78,4 7,2 20,2 Hoover dan Vasanthan (1994a)
Kentang (asli) 59,1 61,9 66,8 7,7 18,3 Vermeylen dkk. (2006)
Kentang (ANN) 51 1 tahap 24 2:01 64,9 66,8 71,1 6,2 18,3 Vermeylen dkk. (2006)
Kentang (asli) 58,6 63 72,2 13,6 19,2 Jacobs dkk. (1995, 1996)
Kentang (ANN) 50 1 tahap 24 2:11 64,8 67,7 73 8,2 19,9 Jacobs dkk. (1995, 1996)
Ketela pohon (asli) 65,4 71,5 81,5 16,1 8,8 Atichokudomchai dkk. (2002)
Ketela pohon (ANN) 51 1 tahap 72 3:01 70,7 74 81,3 10,6 9,4 Atichokudomchai dkk. (2002)
Kacang pinto (asli) 1:03 59 68 73 14 9,2 Hoover dan Manuel (1996)
Kacang pinto (ANN) 50 1 tahap 24 3:01 1:03 64 73,5 79 9,6 9,6 Hoover dan Manuel (1996)
Gandum (asli) – – – – Kohyama dan Sasaki (2006)
Gandum (ANN) 20 1 tahap 10:01 1:03 48,2 56,2 68,5 20,3 10,6 Kohyama dan Sasaki (2006)
50 1 tahap 10:01 1:03 60,1 62,5 68,1 8,1 9,9 Kohyama dan Sasaki (2006)
Gandum (asli) 56,2 61,1 66,6 10,4 9,7 Hoover dan Vasanthan (1994a)
Gandum (ANN) 50 1 tahap 72 3:01 1:03 69,6 72 74,7 5,1 12,2 Hoover dan Vasanthan (1994b)
Jagung biasa (asli) 1:05 56,9 67,7 76,5 19,6 17,6 Qi dkk. (2005)
Jagung biasa (ANN) 55 1 tahap 168 Excess 1:05 72,1 76,4 82,3 10,2 16,9 Qi dkk. (2005)
Jagung waxy (asli) 1:05 62,2 70,7 78,7 16,5 17,3 Qi dkk. (2005)
Jagung waxy (ANN) 55 1 tahap 168 Excess 1:05 73,3 77,3 83,1 9,8 17,3 Qi dkk. (2005)
Jagung tinggi amilosa (asli) 1:03 70,6 79,8 – – 4,5 Krueger dkk. (1987a, 1987b)
Jagung tinggi amilosa (ANN) 50 1 tahap 48 Excess 1:03 72,3 79,2 – – 5,7 Krueger dkk. (1987a, 1987b)
26

Tabel 8. (lanjutan)

Parameter ANN Parameter Gelatinisasi


SUMBER PATI Referensi
0
T ( C) Tahap t (jam) W:S S:W To Tp Tc Tc-To ΔH (J/g)

Jagung biasa (asli) 1:03 69,2 73,2 – – 3,3 Knutson (1990)


Jagung biasa (ANN) 50 1 tahap 24 3:01 1:03 70,4 74 – – 3,2 Knutson (1990)
Jagung waxy (asli) 1:03 67,2 72,8 – – 3,7 Knutson (1990)
Jagung waxy (ANN) 50 1 tahap 24 3:01 1:03 68,4 73,5 – – 3,7 Knutson (1990)
Jagung tinggi amilosa (asli) 1:03 70,1 75,6 – – 2,1 Knutson (1990)
Jagung tinggi amilosa (ANN) 50 1 tahap 24 3:01 1:03 70,9 77,6 – – 3,2 Knutson (1990)
Sagu (asli) – 70,1 – – 15,1 Wang dkk. (1997)
Sagu (ANN) 60 1 tahap 5 5:01 3:02 – 72,8 – – 15,1 Wang dkk. (1997)
Oat (asli) 60,4 64,1 70 9,6 10,1 Hoover dan Vasanthan (1994a)
Oat (ANN) 50 1 tahap 72 3:01 1:03 64 67,1 71,3 7,3 12,2 Hoover dan Vasanthan (1994b)
Gandum (asli) 1:05 52,5 58,7 71,5 19 10,4 Tester dkk. (1998)
Gandum (ANN) 25 144 Excess 1:05 54,6 59,2 71,3 16,7 10,3 Tester dkk. (1998)
35 1 tahap 144 Excess 1:05 59,2 59,7 72,9 13,7 11 Tester dkk. (1998)
45 144 Excess 1:05 63,7 59,4 76,3 12,6 10,4 Tester dkk. (1998)
Gandum (asli) 1:03 58,4 63,2 69 10,6 10 Shi (2008)
Gandum (ANN) 51 (1) 2 tahap 0,5 3:01 1:03 63,5 66 69,2 5,7 9,2 Shi (2008)
56 (2) 0,5 3:01 1:03 65,9 65,9 72,5 6,6 6,7 Shi (2008)
Waxy rice (asli) 1:03 65 76,7 90,5 25,5 17,2 Tester dan Morrison (1990)
Waxy rice (ANN) 55 1 tahap 72 — 1:03 67,3 78,6 93 25,7 21,4 Tester dan Morrison (1990)
65 72 — 1:03 74 82,7 95,7 21,7 20 Tester dan Morrison (1990)
Beras (asli) 1:03 67,7 73,5 78,7 11 13,2 Hormdok dan Noomhorm (2007)
Beras (ANN) 55 1 tahap 24 3:01 1:03 71,1 74,7 79,1 8 11 Hormdok dan Noomhorm (2007)
27

Tabel 8. (lanjutan)
Parameter ANN Parameter Gelatinisasi
SUMBER PATI 0 Referensi
T ( C) Tahap t (jam) W:S S:W To Tp Tc Tc-To ΔH (J/g)
Normal barley (asli) 1:03 61,3 65,3 72,8 11,4 10 Waduge dkk. (2006)
Normal barley (ANN) 50 1 tahap 72 3:01 1:03 66,7 69,8 77 10,3 10 Waduge dkk. (2006)
Waxy barley (asli) 1:03 59,3 64,9 81,8 22,5 13 Waduge dkk. (2006)
Waxy barley (ANN) 50 1 tahap 72 3:01 1:03 66,2 70,2 82,9 16,7 13,4 Waduge dkk. (2006)
Keterangan: T = suhu ANN
T = waktu ANN
W = air perendaman
S = pati
T0 = suhu awal gelatinisasi
Tp = suhu puncak gelatinisasi
Tc = suhu akhir gelatinisasi
Tc- T0 = kisaran suhu gelatinisasi
AH = entalpi gelatinisasi
Sumber: Jayakody dan Hoover (2008)
28

2.7.1 Mekanisme ANN pada Pati


Pada teknik ANN, pati dipanaskan pada kondisi di atas suhu transisi
gelas (Tg) tetapi masih di bawah suhu gelatinisasi pati (To), sehingga wilayah
amorf akan berubah dari kondisi rigid glassy menjadi mobile rubbery (Tester dan
Debon, 2000), seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Proses tersebut akan
mempermudah hidrasi dan disosiasi heliks ganda dalam kristal. Disosiasi pada
kristal dimulai setelah Tg daerah amorf, dan pada suhu T0, disosiasi yang
terbatas terjadi pada amilopektin heliks ganda (yang sebagian besar berada di
kristalin), hal ini dikaitkan dengan pembengkakan terbatas pada granula.
Secara umum mekanisme yang terjadi pada daerah amorf dan daerah
kristalin selama ANN adalah (1) Pembentukan heliks ganda dan; (2) Peningkatan
dalam jumlah kristalinitas sebagai konsekuensi dari penataan wilayah yang
sebelumnya amorf, seperti pada Gambar 10. Penataan kesempurnaan heliks
ganda, disebabkan oleh peningkatan penggabungan dan penyelarasan, yang
berkaitan dengan peningkatan kekakuan pada wilayah amorf (tester dkk., 1999).
Gomes dkk. (2005), menyatakan bahwa proses ANN mengarah pada
reorganisasi molekul pati dan ikatan heliks ganda amilopektin sehingga struktur
granula pati memperoleh konfigurasi yang lebih terorganisir.
Energi yang diserap granula pati selama pemanasan pada suhu yang
lebih rendah dari suhu gelatinisasinya tidak hanya membuka lipatan struktur
heliks ganda pada amilopektin, tetapi juga memfasilitasi pengaturan atau
pembentukan ikatan-ikatan baru antar molekul (Ratnayake dan Jackson, 2006).
Modifikasi yang berlangsung pada saat fase amorf berada pada kondisi rubbery
yang bersifat fluida, dimana mobilitas titik percabangan amilopektin meningkat
dan mengakibatkan peningkatan interaksi di bagian kristalin (Jacobs dan
Delcour, 1998).
29

a. Pati kering

Lamela
kristalin

Lamela Daerah amorf glassy


amorf

Lamela
kristalin

Lamela
amorf

b. Pati ANN

Daerah amorf rubbery

Gambar 9. Efek hidrasi dan ANN pada daerah semi kristalin, (heliks ganda
amilopektin direpresentasikan sebagai persegi panjang): (a) pati
kering dengan daerah amorf glassy; (b) Pati ANN terhidrasi dengan
daerah amorf rubbery (Waigh dkk., 1997; Tester dan Debon, 1999)
30

Sebelum ANN
Ujung heliks
Heliks ganda Ujung heliks ganda ganda tidak
Heliks ganda merenggang (tidak Heliks ganda
tidak terpilin berurutan Heliks ganda
terbuka pararel, tapi dikemas pararel
merenggang
dalam klaster)

Peningkatan kemasan
pararel heliks ganda

Heliks Heliks
Setelah ANN ganda ganda
memanjang berurutan

Gambar 10. Skema pada organisasi heliks ganda dalam lamela kristalin
sebelum dan setelah ANN, pada pati tipe 4 (Vamadevan dkk.,
2013).

2.7.2. Pengaruh ANN pada Karakteristik Pati


Perubahan utama yang terjadi pada pati ANN menurut Zavareze dan Dias
(2010) adalah sebagai berikut: (1) reorganisasi molekul pati (Gomes dkk., 2005);
(2) peningkatan stabilitas granula; (3) peningkatan kristalinitas (Waduge dkk.,
2006; Lan dkk., 2008); (4) peningkatan interaksi antara rantai pati di daerah
amorf dan kristalin dari butiran; (5) pembentukan heliks ganda (Chung dkk.,
2009b); (6) meningkatkan suhu gelatinisasi dan memperpendek kisaran suhu
gelatinisasi (Waduge dkk., 2006; Lan dkk., 2008); (7) penurunan pembengkakan
granula; (8) penurunan viskositas puncak dan retrogradasi (Gomes, dkk., 2005);
(9) peningkatan kepekaan terhadap enzim dan (10) pembentukan pati resisten
(Chung dkk., 2009b). Namun, perubahan yang terjadi dan besarnya perubahan
tersebut tergantung pada sumber pati (Chung dkk., 2009b).
Pengaruh ANN pada gelatinisasi pati pertama kali dilakukan oleh Gough
dan Pybus (1971), yang melakukan ANN tepung gandum yang disimpan dalam
31

air pada suhu 50 0C selama tiga hari, kemudian menentukan suhu titik akhir
birefringence. Mereka menemukan bahwa ANN dapat meningkatkan suhu awal
gelatinisasi dan mempersempit kisaran suhu gelatinisasi, dibandingkan dengan
pati tanpa ANN (Gambar 11). Efek ini diinterpretasikan sebagai hasil dari
perubahan dalam struktur internal dari granula pati, tetapi tidak ada perubahan
kualitatif dalam pola XRD. Marchant dan Blanshard (1978) menginterpretasikan
pengaruh ANN sebagai peleburan parsial dari beberapa kristalin dengan
penyusunan kembali rantai polimer dalam granula tersebut.

Tawal Takhir

Aliran panas
endotermal

Tpuncak

0
Suhu ( C)

Gambar 11. Termogram DSC dari tepung gandum komersial (BDH 30265)
(a) Tanpa ANN; (b) Setelah ANN dalam air berlebih (45°C, 100 jam)
(Tester dan Debon, 1999)

2.7.2.1 Pengaruh ANN pada Swelling Power


Swelling power dipengaruhi oleh struktur amilopektin (Sasaki dan
Matsuki, 1998), kadar amilosa (Tester dkk., 2000), interaksi antara molekul
(Tester dkk., 2000), kompleks amilosa-lipid (Hoover dan Vasanthan, 1994). Pada
umumnya proses ANN menurunkan swelling power dari pati. Penurunan ini
sebagian besar dipengaruhi oleh tingkat keteraturan kristal, interaksi antara
amilosa-amilosa dan atau interaksi amilosa-amilopektin. Kedua, keteraturan
kristal dan interaksi rantai amilosa dapat mengurangi hidrasi pada daerah amorf
pati, sehingga mengurangi pembengkakan granula (Hoover dan Vasanthan,
1994). Penurunan swelling power pada ANN terjadi pada barley pada 50 °C
32

selama 72 jam (Waduge dkk., 2006), ANN pada tepung gandum pada suhu 10
°C selama 72 jam (Lan dkk., 2008), pati beras pada 45 °C, 50 °C, 55 °C selama
24 jam (Dias dkk., 2010) dan ANN pada beras pecah pada suhu 7 °C dan 30 °C
selama 12 jam, 24 jam dan 36 jam, serta pati jagung pada 50 °C selama 24 jam
(Chung dkk., 2009a).
Pengaruh ANN pada swelling power berbeda antara pati lilin, pati dengan
kadar amilosa sedang dan pati dengan kadar amilosa tinggi. Pada pati lilin
penurunan swelling power disebabkan karena keteraturan kristal yang dapat
mengurangi tingkat hidrasi pada daerah amorf (Waduge dkk., 2006). Pada pati
dengan kadar amilosa sedang dan amilosa tinggi penurunan swelling power
disebabkan karena kombinasi antara keteraturan kristal dan interaksi amilosa-
amilosa atau komplek lipid (Zavarese dan Dias, 2010). Secara khusus, swelling
power telah terbukti dipengaruhi oleh struktur amilopektin (Sasaki dan Matsuki,
1998), kandungan amilosa, dan sejauh mana interaksi antara amilosa-amilosa
dan atau interaksi amilopektin-amilopektin (Tester dkk., 2000).

2.7.2.2 Pengaruh ANN pada Kelarutan Pati


Kelarutan dipengaruhi oleh swelling power (Tester dkk., 2000), interaksi
antara rantai molekul (Hoover dan Vasanthan, 1994) dan kompleks amilosa-lipid
(Waduge dkk., 2006). Proses ANN umumnya mengurangi kelarutan karena
terjadi penguatan ikatan antara amilosa dan amilopektin atau antar molekul
amilopektin, penurunan swelling power dan keteraturan kristal yang mencegah
leaching dari butiran pati (Hoover dan Vansanthan, 1994; Tester dkk., 2000;
Gomes dkk., 2005 ).
Intarasiri dan Naivikul (2005) melakukan ANN pada tepung beras dengan
suhu 55 °C selama 24 jam dan 48 jam, sehingga terjadi penurunan kelarutan.
Penurunan larutan juga dilaporkan oleh Siriboon (2005) setelah melakukan ANN
pada beras pecah di bawah suhu gelatinisasi 7 °C dan 30 °C selama 12 jam, 36
jam, dan 48 jam serta Dias dkk. (2010) melakukan ANN pada pati beras dengan
suhu 45 °C, 50 °C, dan 55 °C selama 24 jam.

2.7.2.3 Pengaruh ANN pada Daya Cerna Pati


Menurut Guraya dkk. (2001) slowly digestible starch (SDS) dapat
dihasilkan dengan metode fisik, kimia maupun enzimatis. Chung dkk. (2009b)
33

melakukan penelitian pengaruh ANN pada daya cerna pati jagung, kacang, dan
miju-miju dan melaporkan bahwa ANN dapat meningkatkan RDS (rapidly
digestible starch) dan menurunkan tingkat SDS dalam semua granula pati.
O'Brien dan Wang (2008) menjelaskan bahwa peningkatan kadar RDS pada
perlakuan ANN karena pembentukan struktur yang lebih berpori dan
pembentukan struktur berpori akan memungkinkan akses yang lebih besar dari
enzim hidrolitik ke bagian dalam granula. Chung dkk., (2009a), menyatakan
0
bahwa perlakuan ANN pada pati jagung pada suhu 50 C, akan terjadi
peningkatan pada RDS dan penurunan tingkat SDS.
Perlakuan ANN dapat meningkatkan pati resisten serta mempertahankan
struktur granulanya (Brumovsky dan Thompson, 2001). Suhu awal pada
perlakuan ANN berada pada kondisi dibawah suhu gelatinisasi sehingga tidak
ada perubahan struktur molekul yang disebabkan karena proses gelatinisasi.
Modifikasi dengan metode ANN menyebabkan granula pati lebih terorganisir dan
lebih stabil, memperkuat hubungan antara molekul amilosa dan amilopektin.
Brumovsky dan Thompson (2001) menyatakan bahwa ANN pada pati jagung
dengan amilosa tinggi menghasilkan terjadinya peningkatan 53% pati resisten
dibandingkan dengan pati asli. Chung dkk. (2010) mengemukakan terjadinya
penurunan kadar pati resisten dengan perlakuan ANN pada kacang, miju dan
navy dibandingkan pati asli, dan mereka menyatakan bahwa secara teoritis
perlakuan ANN dapat meningkatkan kadar pati resisten karena perlakuan ANN
dapat meningkatkan keteraturan kristal dan interaksi antar rantai amilosa dan
atau interaksi rantai amilosa-amilopektin.
Pomeranz (1992) dan Kutos dkk. (2003) melaporkan bahwa kadar pati
resisten berhubungan dengan gelatinisasi dan retrogradasi, meskipun dalam
bahan makanan tergantung dari jenis pengolahan, rasio amilosa dan atau
amilopektin, waktu dan suhu penyimpanan serta jumlah air yang digunakan
dalam pengolahan. Namun, perubahan kadar pati resisten yang disebabkan oleh
perlakuan ANN tidak berhubungan dengan gelatinisasi dan retrogradasi karena
pati ANN tidak mengalami gelatinisasi. Oleh karena itu perubahan kadar pati
resisten pada ANN terkait dengan perubahan struktur, seperti reorganisasi
molekul dan perubahan kristalinitas pati.
34

2.7.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses ANN


1. Temperatur
Suhu pada proses ANN harus di bawah suhu gelatinisasi untuk
mencegah kerusakan struktur kristalin granula pati dan lebih tinggi dari suhu
transisi gelas untuk membuat gerakan dalam rantai pati (Tester dan Debon,
2000). Temperatur ANN yang tinggi memiliki pengaruh besar pada struktur pati
seperti yang dilaporkan oleh Dias dkk. (2010) setelah melakukan ANN pada pati
beras dengan suhu 45 °C, 50 °C dan 55 °C selama 24 jam. Intensitas yang lebih
besar dari perlakuan hidrotermal pada struktur pati terjadi pada sekitar suhu
gelatinisasi. Siriboon (2007) telah melaporkan pola yang sama setelah
melakukan ANN beras pecah pada suhu 7 °C dan 30 °C di bawah suhu gelatini-
sasi dengan waktu ANN yang sama. Proses ANN pada 7 °C di bawah suhu
gelatinisasi menurunkan swelling power, kelarutan, pencucian amilosa dan sifat
pasta dari pada proses ANN pada suhu 30 °C di bawah suhu gelatinisasi. Hal ini
disebabkan karena daerah amorf dan kristalin lebih sempurna dan lebih efektif
ketika suhu ANN mendekati suhu gelatinisasi.
2. Waktu ANN
Waktu ANN juga berpengaruh pada pati ANN yaitu dapat menurunkan
swelling power, kelarutan, sifat pasta dan sineresis (Intarasiri dan Naivikul, 2005)
setelah ANN pada tepung beras yang direndam pada suhu 55 °C selama 24 jam
dan 48 jam. Cham dan Suwannaporn (2010) telah mempelajari pengaruh waktu
ANN dan suhu ANN pada pati beras pada 50 °C, 55 °C, 60 °C, 65 °C dan 70 °C
selama 12 jam, 24 jam, 36 jam, 48 jam, 60 jam dan 72 jam, dan menemukan
bahwa suhu ANN memiliki pengaruh yang lebih tinggi daripada waktu ANN dan
interaksi antara waktu ANN dan suhu ANN.
3. Kadar Air
Proses ANN dapat bekerja dalam sistem mengandung air lebih dari 40%
w/w untuk mengubah kondisi rigid glassy menjadi mobile rubbery dalam mobilitas
molekul pati (Jacobs dan Delcour, 1998). Siriboon (2007) mempelajari pengaruh
dari proses ANN pada kadar air yang berbeda yaitu air berlebih (65% w/w dan
75% w/w) dalam beras pecah. Hasilnya adalah kadar air yang tinggi memiliki
pengaruh pada sifat fisikokimia. Tetapi proses ANN pada kadar air berapapun
yang lebih dari 40% w/w adalah tepat untuk memungkinkan pergerakan molekul
pati.
35

2.8. Pati Resisten / Resistant Starch (RS)


Berdasarkan dengan laju pelepasan glukosa dan kemudahannya untuk
dicerna dalam saluran pencernaan, pati diklasifikasikan menjadi pati yang dapat
dicerna secara cepat (rapidly digestible starch atau RDS), pati yang dicerna
secara perlahan (slowly digestible starch atau SDS), dan pati resisten (resistant
starch atau RS) (Englyst dkk., 1992). RDS adalah fraksi pati yang menyebabkan
peningkatan secara cepat tingkat glukosa darah setelah konsumsi, dan SDS
adalah sebagian kecil pati yang dicerna sepenuhnya dalam usus kecil pada
tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan RDS. Sedangkan RS adalah
bagian pati yang tidak dapat dicerna dalam usus kecil, tapi difermentasi dalam
usus besar. Sejumlah efek fisiologis yang telah diteliti adalah berasal dari RS
(Haralampau, 2000; Sajilata dkk., 2006), sedangkan penelitian tentang manfaat
kesehatan yang berasal SDS terbatas (Lehmann dan Robin, 2007).
Pati resisten (RS) adalah pati atau fraksi pati yang tidak dapat dicerna
oleh enzim amilolitik dalam sistem pencernan, tetapi dapat difermentasi oleh
bakteri di dalam usus besar dan menghasilkan asam lemak rantai pendek / short
chain fatty acid (SCFA) dan asam organik lainnya sehingga dapat berperan
sebagai prebiotik (Sajilata dkk., 2006). Berbagai studi menunjukkan bahwa RS
merupakan molekul linier dari α-(1,4)-D-glukan yang secara esensial diturunkan
dari retrogradasi fraksi amilosa serta memiliki berat molekul yang rendah (1,2 x
105 Da) (Tharanathan, 2002). Manfaat kesehatan dari RS adalah sebagai
pencegah kanker usus, efek hipoglikemik, substrat untuk pertumbuhan
mikroorganisme probiotik, pengurangan dalam pembentukan batu empedu, efek
hipokolesterolemik, penghambatan penumpukan lemak, dan meningkatkan
penyerapan mineral (Sajilata dkk., 2006).
RS tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan karena strukturnya berupa
kristal yang tidak larut air atau karena amilosa yang teretrogradasi, terutama
akibat proses pada suhu tinggi. Dilihat secara fisik dari kelarutannya, RS seperti
IDF (serat pangan tidak larut), namun di dalam kolon, secara fungsional, RS
dapat difermentasi oleh bakteri alami dalam usus seperti halnya SDF (serat
pangan yang larut) (Sajilata dkk., 2006). Pati teretrogradasi adalah yang paling
stabil terhadap panas. Pati teretrogradasi, khususnya amilosa adalah jenis pati
resisten yang paling stabil (Haralampu, 2000). Hal ini berhubungan denga rantai
amilosa yang lurus yang mudah teretrogradasi dan ketika rantai amilosa
36

bergabung kembali (retrogradasi), akan membentuk sebuah polimer yang


kompak dan sulit untuk dihidrolisis oleh enzim pencernaan (Colonna, 1992).
RS diklasifikasikan berdasarkan faktor intrinsik dari jenis pati dan faktor
perlakuan menjadi 4 macam, yaitu:
1. Tipe 1 (RS1) adalah bahan berpati yang secara fisik sulit dicerna (pati yang
terkunci oleh dinding sel, ukuran partikel yang besar seperti hasil
penggilingan yang tidak sempurna). RS1 merupakan pati yang terperangkap
di antara matriks, protein atau dinding sel tanaman (Shi dkk., 2006). RS tipe
1 mempunyai ikatan molekul yang kuat, yang membuat enzim-enzim
pencernaan tidak dapat masuk ke molekul pati (Haralampu, 2000). RS1
mempunyai karakteristik stabil terhadap proses pemanasan pada saat
pengolahan (Herawati, 2010).

Gambar 12. Struktur pati tahan cerna tipe RS1 (Sajilata dkk., 2006)

2. Tipe 2 (RS2), terdapat secara alami pada pati yang tidak tergelatinisasi
karena tidak dimasak, misalnya pati kentang, pisang dan bahan tinggi
amilosa lainnya. Karena terperangkap kuat, pati tahan terhadap hidrolisis
enzim amilase, namun ketika pemasakan dapat hilang akibat lepasnya barier
seluler dan kerusakan granula pati (Sculz, 1993).

Gambar 13. Struktur pati tahan cerna tipe RS2 (Sajilata dkk., 2006)
37

3. Tipe 3 (RS3), adalah RS yang paling banyak dijumpai, merupakan molekul


pati yang terbentuk selama pemanasan lalu pendinginan pati. Terjadinya
retrogradasi pati yang menghasilkan makrokristal yang membuat pati tahan
terhadap panas dan enzim. Struktur RS3 sangat stabil terhadap panas dan
enzim. Struktur RS3 sangat stabil terhadap suhu dan hanya bisa dipecah
pada suhu 85–150 °C. Asp dan Bjork (1992) menyatakan makin tinggi kadar
amilosa pati maka makin tinggi pula kadar pati resistensinya. Granula pati
yang kaya amilosa mempunyai kemampuan mengkristal yang lebih besar,
yang disebabkan oleh lebih intensifnya ikatan hidrogen, akibatnya tidak
dapat mengembang atau mengalami gelatinisasi sempurna pada waktu
pemasakan sehingga tercerna lebih lambat. Pati teretrogradasi adalah pati
yang paling resisten terhadap hidrolisis enzim pencernaan.

Gambar 14. Struktur pati tahan cerna tipe RS3 (Sajilata dkk., 2006)

4. Tipe 4 (RS4) merupakan pati hasil modifikasi secara kimia atau pati hasil
repolimerasi seperti halnya terbentuknya ikatan silang pada rantai polimer
(Croghan, 2001).
Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan RS antara lain sifat
alami dari pati seperti : kristalinitas pati, struktur granula, rasio amilosa dan
amilopektin, retrogradasi, atau pengaruh panjang rantai amilosa. Faktor lain
seperti panas dan kelembaban, proses pengolahan atau interaksi dengan bahan
lain (protein, serat, lipid, gula, emulsifier, atau inhibitor enzim). Perbandingan
amilosa dan amilopektin mempengaruhi kandungan pati resisten pada pati. Pada
tepung jagung dengan kandungan amilosa yang tinggi (mengandung 70%
amilosa) dilaporkan memiliki kadungan pati resisten sebesar 20g/100g berat
38

kering. Sedangkan tepung jagung yang memiliki kandungan amilosa sebesar


25% memiliki kandungan pati resisten sebesar 3g/100g berat kering.
RS dapat ditingkatkan jumlahnya dengan berbagai proses pengolahan
bahan pangan melalui proses tertentu seperti pemanggangan, perebusan
dengan suhu tinggi, pendinginan dan pemanasan kembali sehingga terjadi
proses retrogradasi berulang. Teknik pengolahan berpengaruh pada gelatinisasi
dan proses retrogradasi, yang mempengaruhi pembentukan RS.
Pemanggangan, proses ekstrusi, proses autoclaving, berpengaruh pada hasil RS
dalam makanan. Pemanggangan (baking) meningkatkan kandungan RS. Suhu
rendah dan pemanggangan yang lama memberikan kandungan RS yang lebih
tinggi daripada kondisi pemanggangan biasa (Sajilata dkk., 2006).
Proses produksi RS secara biokimia dilakukan dengan menambahkan
enzim atau mikroba penghasil enzim. Prinsip dasar penggunaan enzim untuk
produksi RS yaitu mengubah struktur pati sehingga diperoleh pati yang banyak
mengandung amilose. Proses tersebut dapat dilakukan dengan cara mengubah
struktur amilopektin dengan glukanotransferase untuk meluruskan rantai, atau
mengubah ikatan cabang menjadi lurus seperti struktur amilosa. Fragmen
amilosa tersebut selanjutnya dapat dikristalisasi untuk digunakan sebagai RS.
Enzim berfungsi memecah rantai sehingga menjadi lebih pendek. Semakin
sedikit rantai yang berukuran panjang, daya tahan cerna pati akan meningkat.
Pati jagung yang dimodifikasi dengan glukanotransferase mengandung
sedikitnya 35% Degree polimerisasi 35 (DP35).

2.9. Karakteristik Fisik dan Fungsional Tepung


Sifat fisik merupakan atribut fisik yang tampak dan dapat diukur dari
bahan pangan. Menurut Dubat (2004), sifat fisik tepung diantaranya meliputi
rendemen, derajat putih (L), densitas kamba, nilai pH dan total asam, serta
bentuk dan ukuran granula. Sifat fisik tersebut berkaitan erat dengan komposisi
kimia. Sedangkan sifat fungsional merupakan sifat fisikokimia yang
mempengaruhi perilaku komponen tersebut dalam makanan selama persiapan,
pengolahan, penyimpanan, dan konsumsi (Metirukmi, 1992). Pada penelitian ini
sifat fungsional yang diamati adalah swelling power, kelarutan, dan sifat
amilogafi.
39

2.9.1 Rendemen
Rendemen merupakan perbandingan berat produk yang diperoleh
terhadap berat bahan baku yang digunakan. Rendemen dihitung dengan
membandingkan antara berat tepung bobot kering yang diperoleh dengan berat
bahan kering asal (AOAC, 1990). Rendemen tepung menyatakan nilai efisiensi
dari proses pengolahan sehingga dapat diketahui jumlah tepung yang dihasilkan
dari bahan dasar awalnya.

2.9.2 Derajat Putih


Pengukuran warna secara objektif penting dilakukan karena pada produk
pangan warna merupakan daya tarik utama sebelum konsumen mengenal dan
menyukai sifat-sifat lainnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi warna suatu
benda adalah adanya sinar sebagai sumber penerangan yang menyinari benda,
sifat absorpsi dan refleksi spektrum benda yang disinari, kondisi lingkungan
benda dan kondisi subyek yang melihat benda (Kusnandar dan Andarwulan,
2004). Tanpa adanya sumber penerangan yang memadai maka warna suatu
benda tidak dapat diidentifikasi dengan benar. Demikian juga dengan sifat
absorpsi dan refleksi cahaya oleh benda, kondisi lingkungan dan kondisi subyek
yang melihat benda akan mempengaruhi penilaian atau persepsi terhadap
warna. Oleh karena itu, untuk dapat mendefinisikan warna benda seobyektif
mungkin, maka berkembang teknik pengukuran dengan menggunakan
instrument dimana warna benda dapat diukur secara kuantitatif.
Warna tepung dapat diamati secara kuantitatif dengan metode Hunter
menghasilkan tiga nilai pengukuran yaitu L, a dan b. Nilai L menyatakan cahaya
pantul yang menghasilkan warna akromatis putih, abu-abu dan hitam. Semakin
tinggi nilai L (mendekati 100) maka warna tepung semakin putih dan cerah.
Sebaliknya semakin kusam (gelap), maka nilai L mendekati 0. Nilai a merupakan
pengukuran warna kromatik campuran merah-hijau. Nilai b merupakan
pengukuran warna kromatik campuran kuning-biru (Hutching, 1999).
Warna tepung yang dihasilkan dalam suatu produksi bervariasi mulai dari
putih sampai putih keabu-abuan atau agak coklat dan kuning. Berdasarkan
syarat mutu SNI tidak ada kriteria derajat putih yang yang diharuskan, warna
sesuai bahan baku jagung (putih, kuning) dan secara umum sesuai spesifikasi
40

bahan aslinya. Umumnya konsumen lebih menyukai tepung dengan derajat putih
(L) yang tinggi.

2.9.3 Nilai pH dan Total Asam


Nilai pH berpengaruh terhadap pembentukan gel yang optimum.
Pembentukan gel pati yang optimum terjadi pada pH 4-7 (Winarno, 2008). pH
yang tinggi dapat memberikan dampak negatif terhadap viskositas dimana ikatan
1,4 dan 1,6 glikosidik pada pati akan terputus. Hidrolisis asam dapat
menyebabkan penurunan tingkat viskositas. Pada pemasakan dalam kondisi
basa, pH tinggi dapat mempercepat proses gelatinisasi dan memperlambat
retrogradasi. Pada proses fermentasi tepung, penurunan pH merupakan salah
satu indikator dari pertumbuhan bakteri. Bakteri asam laktat menghasilkan asam
laktat dalam jumlah besar selama proses metabolismenya sehingga peningkatan
konsentrasi asam laktat dalam medium dan menyebabkan penurunan pH
(Saccaro dkk., 2012).

2.9.4 Bentuk dan Ukuran Granula


Pati pada bahan pangan berada di dalam granula pati. Morfologi granula,
distribusi ukuran granul, dan karakteristik permukaan granula, berperan penting
dalam banyak aplikasi baik makanan dan non makanan pada pati (Zavarese dan
Dias, 2010). Bentuk dan ukuran granula pati berbeda-beda, tergantung dari
sumber pati (Koswara, 2006). Dengan menggunakan mikroskop jenis pati dapat
dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran dan letak hilum yang unik serta
mempunyai sifat berifringent yang berbeda. Distribusi ukuran granula pati
berpengaruh pada kekuatan pembengkakan pada pati. Granula pati yang berasal
dari serealia ukurannya lebih besar daripada granula pati yang berasal dari umbi-
umbian. Pada pati jagung bentuk dan ukuran granula dipengaruhi oleh sifat
biokimia dari khloroplas atau amiloplasnya. Sifat birefringence adalah sifat
granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga di bawah
mikroskop polarisasi membentuk bidang berwarna biru dan kuning.
French (1984) menyatakan, warna biru dan kuning pada permukaan
granula pati disebabkan oleh adanya perbedaan indeks refraktif yang
dipengaruhi oleh struktur molekuler amilosa dalam pati. Bentuk heliks dari
amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati. Bentuk
41

granula merupakan ciri khas dari masing-masing pati. Richana, dkk. (1999)
mengemukakan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara gelatinisasi
dengan kekompakan granula, kadar amilosa dan amilopektin.
Pada modifikasi psti dengan ANN, (Liu dkk., 2009) melaporkan bahwa
ANN pada pati jagung dengan suhu 30 0C menunjukkan sifat termal yang sama
seperti pada pati jagung tanpa ANN, hal ini menunjukkan bahwa pada suhu
tersebut tidak mempengaruhi mikrostruktur. Namun, pada perlakuan ANN
dengan suhu 50 0C dapat meningkatkan ukuran granul dari pati jagung dengan
kadar amilosa berbeda, dan rata-rata perubahan ukuran meningkat dengan
meningkatnya kadar amilopektin. Menurut Waduge dkk. (2006), ukuran pori
beberapa varietas gandum juga mengalami peningkatan waktu dilakukan ANN.
Peningkatan ukuran butiran ini disebabkan oleh masuknya air melalui daerah
amorf dari pati selama ANN.
Capouchova (2003), menyatakan bahwa adanya perlakuan fisik, kimia
dan mekanis pada pati memungkinkan perubahan bentuk granula yang secara
mikroskopis dapat diamati dengan SEM (Scanning Electron Microscope). SEM
adalah jenis mikroskop yang menggunakan elektron sebagai pengganti cahaya
pada mikroskop biasa. Elektron memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada
cahaya. Cahaya hanya mampu mencapai 200 nm sedangkan elektron bisa
mencapai resolusi sampai 0,1–0,2 nm. Selain itu, dengan menggunakan elektron
bisa mendapatkan beberapa jenis pantulan yang berguna untuk keperluan
karakterisasi. Jika elektron mengenai suatu benda maka akan timbul dua jenis
pantulan, yaitu pantulan elastis dan non elastis. Dari pantulan elastis didapatkan
sinyal backscattered electron sedangkan dari pantulan inelastis didapatkan sinyal
elektron sekunder dan karakteristik sinar X (Hafner, 2007).

2.9.5 Swelling Power


Daya kembang pati atau swelling power didefinisikan sebagai
pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati di dalam air pada
suhu dan waktu tertentu (Balogopalann dkk., 1988). Swelling power merupakan
suatu sifat yang mencirikan daya kembang suatu bahan, dalam hal ini yaitu
kekuatan tepung untuk mengembang. Hee-Young An (2005) menyatakan bahwa
swelling power adalah perbandingan berat pasta dengan berat pati kering, pasta
ini termasuk amilopektin yang tidak larut dalam air, jika kandungan amilopektin
42

(pasta) semakin berkurang, maka nilai swelling power juga semakin berkurang.
Berdasarkan hal tersebut satuan swelling power adalah ml/g bk.
Apabila pati dimasukkan ke dalam air dingin, maka granula pati akan
menyerap air dan membengkak. Namun, jumlah air yang terserap dan
pembengkakannya terbatas, hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Namun
ketika sejumlah pati dipanaskan dalam air yang berlebih, struktur kristalinnya
akan terganggu sehingga akan menyebabkan kerusakan pada ikatan
hidrogennya, maka hidrogen akan keluar dari gugus hidroksil amilosa dan
amilopektin (Hoover dan Hadziyev, 1981). Hal ini akan menyebabkan terjadinya
peningkatan pembengkakan dan kelarutan granula. Pemanasan yang terus
berlangsung akan menyebabkan granula pati pecah sehingga air yang terdapat
dalam granula pati dan molekul pati yang larut air dengan mudah akan keluar
dan masuk ke dalam sistem larutan (Baah, 2009), sehingga kelarutannya
menjadi tinggi. Ikatan hidrogen yang menstabilkan struktur heliks ganda pada
kristal akan terputus selama proses gelatinisasi dan digantikan oleh ikatan
hidrogen pada air (Tester dkk., 1996) .
Sifat swelling pati sangat tergantung pada kekuatan inter dan intra
molekuler dari granula pati. Goldworth (1999), secara umum faktor-faktor yang
mempengaruhi swelling power adalah
1. Perbandingan amilosa dan amilopektin;
2. Semakin tinggi kandungan amilosa, maka semakin rendah tingkat swelling
power. Hal ini disebabkan karena molekul-molekul amilosa yang linear
sehingga dapat memperkuat jaringan internalnya (Goldworth, 1999)
3. Berat molekul amilosa dan amilopektin;
4. Distribusi berat molekul;
5. Derajat percabangan;
6. Panjang dari cabang molekul amilopektin terluar yang dapat berperan dalam
kumpulan ikatan. Daerah kristalin pada pati dengan porsi rantai panjang yang
banyak akan lebih stabil karena struktur heliks ganda dan akan membentuk
ikatan hidrogen dengan air lebih banyak ketika dipanaskan dalam air berlebih
dibandingkan dengan pati dengan rantai pendek (Sasaki dan Matsuki, 1998).
Kekuatan pembengkakan pati juga tergantung pada kapasitas
penyerapan air (KPA) molekul pati dengan ikatan hidrogen (Lee dan Osman,
1991). Sifat swelling juga dipengaruhi oleh kandungan lemak dalam tepung.
43

Menurut Sung dan Stone (2004), ketika kandungan lemak dalam pati dikurangi,
maka akan terjadi swelling semakin cepat. Selain itu keberadaan lemak mampu
mencegah terjadinya swelling secara berlebihan. Menurut Moorthy (2002),
swelling power juga tergantung oleh perbedaan varietas, faktor lingkungan, dan
usia tanaman itu sendiri.
Pati dengan profil gelatinisasi tipe A (seperti pada pati sagu) biasanya
memiliki swelling power yang lebih besar dibandingkan pati dengan profil
gelatinisasi tipe B contohnya pati gandum, pati jagung, pati beras dan pati
tapioka (Wattanachant dkk., 2002). Pati yang memiliki profil gelatinisasi tipe C
contohnya pati kacang-kacangan memiliki swelling power yang terbatas atau
sangat rendah jika dibandingkan tipe A (Kim, 1996). Pada umumnya pati
dengan swelling power yang tinggi mempunyai kelarutan pasta pati yang tinggi
pula. Seperti halnya studi yang dilakukan oleh Kim (1996), melaporkan bahwa
pati kentang yang mempunyai swelling power lebih tinggi dibanding pati
kacang-kacangan mempunyai kelarutan yang tinggi pula.

2.9.6 Kelarutan (Solubility)


Kelarutan merupakan berat tepung terlarut dan diukur dengan cara
mengeringkan dan menimbang sejumlah supernatan. Kelarutan dan swelling
power dapat digunakan sebagai petunjuk besarnya interaksi antara pati dalam
bidang amorphous dan bidang kristalin (Baah, 2009), dan merupakan dua hal
yang saling berkaitan dan terjadi pada saat proses gelatinisasi.
Pada proses gelatinisasi pati terjadi kerusakan ikatan hidrogen
intramolekul. Ikatan hidrogen berperan mempertahankan struktur granula.
Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap air, sehingga terjadi
pembengkakan granula pati. Semakin banyak jumlah gugus hidroksil dari
molekul pati, semakin tinggi kemampuan menyerap airnya. Oleh karena itu,
adsorbsi air sangat berpengaruh terhadap viskositas (Tester dan karkalas, 1996).
Salah satu faktor yang mempengaruhi kelarutan adalah perbandingan
antara amilosa dan amilopektin. Semakin banyak molekul amilosa yang keluar
dari granula pati maka kelarutan semakin tinggi. Oleh karena itu, pati
dengan kandungan amilosa yang tinggi pada umumnya memiliki kelarutan yang
tinggi pula seperti halnya pati ubi jalar yang mengandung amilosa 15–25%.
Namun demikian, kandungan amilosa tidak selamanya berbanding lurus dengan
44

kelarutan. Keberadaan kompleks antara amilosa dengan lipid seperti pada


kacang-kacangan dapat mengurangi kelarutan amilosa (Kim, 1996).

2.9.7 Sifat Amilografi


Sifat amilografi adalah sifat-sifat pati atau tepung yang dapat diidentifikasi
dengan menggunakan alat Brabender Amilograph. Sifat amilografi pati
mempertimbangkan karakteristik pati berdasarkan perubahan viskositas yang
terjadi selama proses pemanasan dan pendinginan (Mulyandari, 1992).
Viskositas pati, bersama dengan pembentukan gel pati, dan sifat kohesifitas pati
adalah faktor-faktor yang dapat menjelaskan profil dari tekstur pati. Komponen
tekstur inilah yang disebut dengan viskoelastis atau sifat reologi pati (Kruger dan
Murray, 1979).
Karakteristik pati selama pemanasan dapat diobservasi dengan
menggunakan alat “Brabender visko-amilograf” (Rapaille dan Vanhemelrijck,
1994), yang mampu mengidentifikasi pati dibawah kondisi suhu, pH, dan tekanan
tertentu. Brabender visko-amilograf adalah viskometer yang dapat melakukan
pencatatan terhadap perubahan viskositas pati secara kontinyu (Pomeranz dan
Meloan, 1994). Pada uji ini, terdapat beberapa parameter yang diamati yaitu
suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi, viskositas puncak, breakdown
viscosity dan set back viscosity.
1. Suhu Awal Gelatinisasi
Suhu awal gelatinisasi merupakan kisaran suhu yang menyebabkan
hampir seluruh granula pati mencapai pembengkakan maksimal (BeMiller dan
Huber, 2007). Suhu awal gelatinisasi merupakan fenomena sifat fisik pati yang
kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran molekul
amilosa dan amilopektin, serta keadaan media pemanasan (Collinson, 1968).
Selain itu kadar lemak dalam tepung juga berperan sebagai pengompleks
amilosa dengan membentuk endapan yang tidak larut air sehingga akan
menghambat pengeluaran amilosa dari granula (Glicksman, 1969). Semakin
banyak lemak maka diperlukan energi yang lebih besar untuk melepaskan
amilosa, sehingga suhu awal gelatinisasi akan meningkat.
2. Suhu Puncak Gelatinisasi
Suhu puncak gelatinisasi merupakan suhu pada saat tercapainya
viskositas maksimum, yaitu suhu ketika granula pati mencapai suspensi pasta
45

pengembangan maksimum hingga selanjutnya pecah. Selama pemanasan


terjadi peningkatan viskositas yang disebabkan oleh pembengkakan granula pati
yang bersifat irreversible di dalam air, dimana energi kinetik molekul air lebih kuat
daripada daya tarik molekul pati di dalam granula pati. Hal ini menyebabkan air
masuk ke dalam granula pati (Winarno, 2008). Pada suhu inilah pati akan
mengalami viskositas maksimum. Pada suhu ini granula pati telah kehilangan
sifat birefringence dan granula tidak memiliki kristal lagi. Komponen yang
menyebabkan hilangnya sifat birefringence adalah menurunnya bias molekul
amilopektin terhadap orientasi melingkar pada granula (Kuo dan Lai, 2007).
Salah satu faktor yang mempengaruhi suhu puncak gelatinisasi adalah
kadar amilosa. Menurut Colado dan Corke (1997) peningkatan kadar amilosa
akan meningkatkan suhu puncak gelatinisasi. Amilosa mampu mengadakan
ikatan dengan sesama amilosa maupun dengan amilopektin membentuk
konfigurasi yang sulit dirusak karena terdapat banyak ikatan di dalam granula
sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar (Jane dkk., 1999; Baah, 2009).
Suhu puncak gelatinisasi juga dipengaruhi oleh keberadaan lemak. Keberadaan
lemak menyebabkan suhu puncak meningkat, sebab komplek amilosa-lemak
cenderung mencegah terjadinya pengembangan granula pati secara berlebihan
(Baah, 2009).
3. Viskositas Puncak (Peak Viscosity)
Peak Viscosity (PV) merupakan viskositas pasta tertinggi yang dihasilkan
selama pemanasan dalam air. Sifat ini mengindikasikan kapasitas pengikatan air
granula pati (Ashogbon dan Akintayo, 2012). Peningkatan viskositas pasta
disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak
sebelum suspensi dipanaskan kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak
dapat bergerak bebas lagi (Winarno, 2008).
Beta dan Corke (2001) menyatakan bahwa viskositas puncak
mengindikasikan kapasitas pengikatan air dan memiliki korelasi positif dengan
kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah polimer yang lepas.
Secara keseluruhan, nilai volume pengembangan berkorelasi positif dengan
viskositas puncak. Semakin tinggi volume pengembangan, maka nilai viskositas
juga semakin tinggi. Hubungan antara pengembangan granula pati dan
viskositas terlihat jelas pada pati barley dengan berbagai proporsi amilosa dan
amilopektin. Pati barley dengan kandungan amilosa tinggi memiliki
46

pengembangan terbatas, sehingga mempunyai viskositas pasta yang terbatas


pula (Song dan Jane, 2001).
Pada titik ini granula pati mengembang maksimal, makin tinggi
pembengkakan granula maka makin tinggi pula viskositas puncaknya. Viskositas
puncak juga menggambarkan fragilitas dari granula pati yang mengembang,
yaitu mulai saat pertama kali mengembang sampai granula tersebut pecah
selama pengadukan yang terus menerus secara mekanik oleh alat Brabender.
Setelah mencapai viskositas puncak, jika proses pemanasan dilanjutkan pada
suhu yang lebih tinggi granula pati menjadi rapuh, pecah dan terpotong-potong
membentuk polimer, agregat serta viskositasnya menurun akibat terjadinya
leaching amilosa (Baah, 2009). Viskositas puncak dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain kadar amilosa, kadar protein, kadar lemak dan ukuran granula
(Deetae dkk., 2008).
4. Breakdown Viscosity
Nilai perurunan viskositas yang terjadi dari viskositas maksimum menuju
viskositas terendah ketika suspensi pati dipanaskan pada suhu 950C selama 10
menit disebut dengan breakdown viscosity. Menurut Collado dan Corke (2008),
breakdown viscosity berhubungan dengan kestabilan pasta pati selama proses
pemanasan. Sifat ini juga merupakan ukuran kemudahan pati yang dimasak
untuk mengalami disintegrasi. Breakdown viscosity menunjukkan bahwa granula-
granula tepung yang telah membengkak secara keseluruhan bersifat rapuh dan
tidak tahan terhadap proses pemanasan. Semakin rendah nilai breakdown
viscosity maka pati akan semakin stabil pada kondisi panas dan gaya mekanis
(shear).
Breakdown atau penurunan viskositas selama pemanasan menunjukkan
kestabilan pasta selama pemanasan, dimana semakin rendah breakdown maka
pasta yang terbentuk akan semakin stabil terhadap panas (Purwani dkk., 2006).
Parameter breakdown viscosity dan viskositas trough terkait satu sama lain
karena breakdown viscosity merupakan selisih antara viskositas maksimum
pasta dengan viskositas trough. Peningkatan nilai viskositas trough pati
umumnya selalu diikuti oleh peningkatan nilai breakdown viscosity, begitu pula
sebaliknya.
47

5. Setback Viscosity (SV)


Setback Viscosity (SV) merupakan nilai kenaikan viskositas ketika pasta
pati didinginkan. Nilai setback viscosity diperoleh dengan menghitung selisih
antara viskositas pasta pati pada suhu 50 ˚C dengan viskositas maksimum yang
telah dicapai pada saat pemanasan. Kenaikan viskositas pati yang terjadi
disebabkan oleh retrogradasi pati, yaitu bergabungnya rantai molekul amilosa
yang berdekatan melalui ikatan hidrogen intermolekuler (Swinkels, 1985; Baah,
2009). Setback atau perubahan viskositas selama pendinginan, diperoleh dari
selisih antara viskositas akhir dengan viskositas setelah pemanasan. Semakin
tinggi nilai setback maka semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk
gel (meningkatkan viskositas) selama pendinginan. Tingginya nilai setback
menunjukkan tingginya kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi. Beta dan
Corke (2001) menyatakan bahwa setback viscosity merupakan ukuran dari
rekristalisasi pati tergelatinisasi selama pendinginan. Laju kristalisasi tergantung
dari beberapa variabel yaitu rasio amilosa dan amilopektin, suhu, konsentrasi
pati, dan keberadaan dari bahan organik dan inorganik (Fennema, 1996).
Perubahan viskositas tepung selama pemanasan tersebut ditunjukkan
dalam Gambar 15.

Viskositas puncak

Suhu awal
gelatinisasi Penurunan
viskositas

Suhu puncak
gelatinisasi Viskositas
balik

Waktu (menit)

Gambar 15. Kurva perubahan viskositas tepung selama pemanasan


(Dengate, 1984)
48

Karakteristik sifat ini diperlukan untuk beberapa tujuan diantaranya adalah


untuk mengidentifikasi perubahan respon amilografi akibat perbedaan variabel
bahan atau proses, pendugaan sifat pati dan tepung selama pengolahan dan
identifikasi data awal untuk keperluan set up peralatan pengolahan pati dan
tepung (Muhandri, 2007). Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sifat
amilografi diantaranya adalah:
1. Ukuran granula, kadar amilosa, berat molekul dan struktur miselar granula
pati (Vidal dan Juliano, 1967; munarso, 1988)
2. Ukuran pati (Wirakartakusumah, 1981)
3. pH/penambahan garam basa (Moss dkk., 1986)
4. Enzim pektinolitik dan selulolitik akibat fermentasi mikroba (Subagio, 2006)
5. Suhu dan lama penyimpanan (Villareal dkk., 1976 dalam Munarso, 1988)
6. Modifikasi pati (modified starch) baik dengan hidrolisis, oksidasi, fosforilasi,
subtitusi maupun pre gelatinisasi (Luallen, 1989 dalam Munarso, 1988).
Menurut Chen (2003), terdapat empat jenis kurva amilogram yaitu tipe A,
B, C dan D. Setiap tipe amilogram menggambarkan sifat amilografi yang khas.
Gambar beberapa tipe amilogram dapat dilihat pada Gambar 16.

Suhu

Waktu (menit)

Gambar 16. Beberapa tipe amilogram pengukuran brabender (Chen, 2003)


49

Pada amilogram tipe A, pati memiliki viskositas puncak sama tingginya


dengan tipe B namun memiliki nilai breakdown viscosity yang lebih tinggi
dibanding tipe B artinya tipe A lebih mudah rusak dan menghasilkan viskositas
yang lebih rendah selama pemasakan dari pada tipe B. Chansri dkk. (2005),
menyatakan bahwa Pati tipe A memiliki kemampuan mengembang yang besar
dan biasanya terdapat pada pati umbi-umbian seperti ubi jalar dan singkong
ataupun waxy starch sedangkan pada pati tipe B banyak ditemukan pada
serealia.
Pati dengan amilogram tipe C, tidak memperlihatkan viskositas puncak
tetapi viskositasnya cenderung dapat dipertahankan bahkan dapat meningkat
jika dipertahankan pada suhu tinggi serta memiliki swelling power dan kelarutan
yang terbatas. Tepung dengan tipe C mempunyai kecenderungan retrogradasi
yang tinggi. Sedangkan tipe D sama dengan tipe C tapi diperlukan 2 atau 3 kali
jumlah pati tipe C untuk mencapai viskositas yang sama. Tepung yang sesuai
untuk aplikasi ke produk mi adalah tepung yang memiliki profil gelatinisasi tipe C.

Anda mungkin juga menyukai