TINJAUAN PUSTAKA
5
6
sedangkan panen kedua atau panen susulan terjadi pada musim kemarau yaitu
pada bulan Juli-Agustus. Sentra produksi buah sukun adalah Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Kalimantan Timur, NTT, Sumatera Selatan,
Lampung, Sulawesi Selatan, dan Jambi (Ditjen Hortikultura, 2006)
Menurut Reeve (1974) proporsi kulit, hati dan daging untuk buah hijau
adalah sekitar 22%, 8%, dan 70% , sedangkan untuk buah masak adalah sekitar
12%, 10% dan 78%. Bagian hati sukun berintikan sel-sel parenkim gabus yang
dikelilingi oleh jaringan pembuluh xilem dan floem. Apabila buah dibelah, jaringan
pembuluh ini mudah berubah warna, karena aktivitas enzim oksidatif, sedangkan
perubahan warna daging buah relatif sangat lambat. Cadangan pati buah sukun
terdapat dalam sel parenkim. Ukuran sel ini berkisar antara 30-70 mikron,
sedangkan diameter pati kira-kira 10 mikron.
Menurut Noviarso (2003), warna kulit buah sukun dan keadaan getah
dapat digunakan sebagai tanda kematangan buah sukun. Buah sukun yang
7
masih muda (2-2,5 bulan) mempunyai kulit yang berwarna hijau dan getah putih
belum keluar dari kulit, sedangkan buah sukun yang agak matang (2,5-3 bulan)
kulitnya berwarna hijau kekuningan dan getah sudah mulai keluar dari kulit
berupa noda-noda putih yang agak mengkilap. Getah putih mengkilap pada buah
sukun ini diperkirakan mengandung lemak (lilin). Buah sukun yang matang (3-3,5
bulan) tampak berwarna hijau kecoklatan dan getah sudah banyak keluar. Buah
sukun yang sudah tua (lebih dari 3,5 bulan) kulitnya berwarna coklat gelap, dan
getah berubah menjadi coklat kehitaman serta telah berhenti keluar. Buah sukun
yang telah tua ini kulitnya tampak retak-retak dan bagian bawah (ujung buah)
berwarna hitam. Berikut ini merupakan tabel karakteristik fisik buah sukun pada
umur panen yang berbeda.
Tabel 1. Karakteristik fisik buah sukun pada empat tingkat umur panen
Proporsi Bagian Buah
Umur Berat Diameter
Warna (%)
Panen Getah Utuh Buah
Kulit
(bln) (kg) (cm)
Daging Kulit Hati
Belum
2-2,5 Hijau keluar 0,8-1 14-15 71-72 17-18 10
dari kulit
Sudah
Hijau
2,5-3 keluar 1-1,25 15-15,5 74 16 10
kekuningan
dari kulit
Hijau Banyak
3-3,5 1,4-2,28 15,5-20 78 12 10
kecoklatan keluar
Coklat Berhenti
˃3,5 1,4-2,28 15,5-20 78 11 11
kehitaman keluar
Sumber : Noviarso (2003)
Tabel 3. Kandungan mineral, vitamin, lemak dan asam amino buah sukun per
100 g bahan
Mineral (mg) Vitamin (mg) Lemak (mg) Asam Amino (mg)
Asam lemak jenuh
Kalsium : 17 Vitamin C : 29 mg Threonine : 0,052
: 0,048
Asam lemak tak
Besi : 0,54 Thiamin : 0,11 mg jenuh tunggal : Isoleucine : 0,064
0,034
Riboflavin : 0,03 Asam lemak tak
Magnesium : 25 Lysine : 0,037
mg jenuh jamak : 0,066
Potasium : 490 Niacin : 0,9 mg Methionine : 0,01
As. Pantothenic :
Seng : 0,12 Cystine : 0,009
0,457 mg
Tembaga : Vitamin B6 : 0,1 Phenylalanine :
0,084 mg 0,026
Mangan : 0,06 Folate : 14 mg Tyrosine : 0,019
Selenium : 0,6 Vitamin A : 40 IU Valine : 0,047
Vitamin A RE : 4
mg RE
Vitamin E : 1,12
ATE
Sumber : Widowati (2003)
9
udara dengan cara blanching atau merendam dalam larutan garam 1% atau
menonaktifkan enzim dalam proses blansir yaitu dikukus (Widowati dan
Damardjati, 2001). Selain itu dapat juga dilakukan dengan cara perendaman
menggunakan bahan kimia anti pencoklatan seperti natrium metabisulfit selama
kurang lebih 1 jam (Kadarisman dan Sulaeman, 1993) .
Berat buah sukun berkisar antara 1200-2500g/buah, yang terdiri dari
daging buah 81,21%, kulit buah 18,79% dan hati buah 9,09%. Dari total berat
daging buah tersebut setelah disawut dan dikeringkan menghasilkan sawut
kering sebanyak 11–20% dan setelah dilakukan penepungan menghasilkan
tepung rendemen sebesar 10–18%, tergantung tingkat ketuaan dan jenis sukun.
Lama pengeringan sawut sukun dengan menggunakan alat pengering oven
o
berkisar antara 5-6 jam dengan suhu pengeringan 55-60 C. Apabila
pengeringan menggunakan sinar matahari lama pengeringan sekitar 1–2 hari
(Widowati, 2003).
Karakteristik tepung sukun yang dihasilkan pada penepungan buah sukun
dipengaruhi oleh umur buah, perlakuan yang diberikan, alat dan suhu
pengeringan. Tingkat ketuaan buah sukun sangat berperan terhadap warna
tepung yang dihasilkan. Buah yang muda menghasilkan tepung sukun berwarna
putih kecoklatan. Semakin tua buah sukun (sampai tingkat ketuaan optimum)
semakin putih warna tepungnya. Buah sukun yang baik untuk diolah menjadi
tepung adalah buah mengkal yang dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan
optimum (Widowati, dkk., 2001).
Heliks Ganda
Building block
Building block
Model Klaster
Model backbone
2.5.2.1 Amilosa
Amilosa tersusun atas molekul D-glukopiranosa yang berikatan α-(1,4)
dalam struktur rantai lurus (Liu, 2005). Menurut You dkk. (2002), berat molekul
amilosa bervariasi mulai dari 1 x 105 sampai 1 x 106 g/mol. Molekul amilosa
lengkap dapat terdiri atas 3000 unit D-glukopiranosa. Walaupun amilosa
dikatakan sebagai rantai lurus namun bentuk amilosa sebenarnya yaitu
berbentuk heliks atau spiral (Shivus dkk., 2005). Struktur heliks amilosa pada
bagian dalam mengandung atom hidrogen, sedangkan pada bagian luar terdapat
kelompok hidroksil (Buleon dkk., 1998). Keberadaan atom hidrogen pada bagian
dalam heliks membuat amilosa memiliki sifat hidrofobik dan memungkinkan untuk
membentuk kompleks dengan asam lemak bebas, komponen asam lemak dari
gliserida, iodine dan beberapa alkohol (Fennema, 1985).
2.5.2.2 Amilopektin
Amilopektin adalah makromolekul bercabang dengan rantai linear yang
lebih pendek dihubungkan dengan ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya, serta
ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya (Van der Maarel dkk., 2002). Struktur
rantai amilopektin cenderung membentuk rantai yang bercabang seperti terlihat
pada Gambar 5, serta membentuk struktur rantai heliks ganda dan membentuk
klaster (Roder dkk., 2005). Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4–5%
dari seluruh ikatan yang ada pada amilopektin (Eliasson, 2004). Berat molekul
amilopektin sekitar 1000 kali berat molekul amilosa dan berkisar 1 x 107 sampai 5
x 108 g/mol (You dkk., 2002). Sekitar 80-90% dari suatu klaster amilopektin
dibentuk oleh rantai amilopektin tipe A yaitu rantai pendek yang tidak membentuk
cabang dengan DP 6-15 (Sajilata dkk., 2006).
Amilosa
Rantai A
Rantai B1
Lamela
kristalin
Rantai B2
Lamela
amorf Rantai B3
Lamela
kristalin
bercabang amilopektin yang mengikat rantai A atau rantai B lainnya (B1, B2 dan
B3). Rantai B1 memiliki DP 13-24, B2 memiliki DP 25-36, dan B3 memiliki
DP˃37. Bagian struktur amilopektin berantai pendek dengan DP sekitar 6-24
terdapat pada rantai A dan B1. Rantai tersebut dapat membentuk struktur heliks
ganda dan terletak pada bagian luar (eksternal) dari struktur amilopektin. Klaster
yang tersusun oleh rantai A dan B1 tersebut menyusun daerah kristalin dalam
granula pati.
Pada model klaster amilopektin di atas, daerah percabangan amilopektin
masuk ke dalam daerah amorf. Molekul amilosa sebagian besar juga berada
pada daerah amorf dan dapat berinteraksi dengan rantai amilopektin. Pada
daerah amorf ini berbeda dengan daerah kristalin, pada daerah amorf tidak
menunjukkan pola difraksi sinar X (Zobel, 1992), sehingga tidak dapat digunakan
dalam mengkarakterisasi perubahan struktur kristal pada pati (Stute, 1992;
Hoover dan Vasanthan, 1994). Daerah amorf mudah mengalami reaksi kimia,
seperti hidrolisis oleh asam atau bereaksi dengan suatu gugus fungsional. Selain
itu pada proses gelatinisasi pati, daerah amorf merupakan bagian yang dapat
mengembang (Liu, 2005).
masuknya air ke dalam pati yang dapat menyebabkan granula mengembang dan
akhirnya pecah disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu dimana terjadinya
gelatinisasi disebut dengan suhu gelatinisasi. Proses gelatinisasi pati dapat
menyebabkan perubahan viskositas larutan pati (Bastian, 2011).
Pada proses gelatinisasi terjadi pada granula pati dengan ukuran terbesar
terlebih dahulu, kemudian pada granula pati dengan ukuran yang lebih kecil
(Whisler dan BeMiller, 1997). Gelatinisasi juga menyebabkan terjadinya disosiasi
heliks ganda dari amilopektin, yang menyebabkan hilangnya sifat birefringence
dan kristalinitas granula pati (Cooke dan Gidley, 1992). Selain itu pada proses
gelatinisasi pati terjadi amylose leaching setelah pemanasan suspensi pati di
atas suhu gelatinisasinya. Namun, beberapa amilosa mengalami amylose
leaching pada pemanasan di bawah suhu gelatinisasinya. Hal ini disebabkan
karena sebagian amilosa pada granula pati berada pada daerah amorf, sehingga
lebih mudah berdifusi keluar dari granula pati (Whisler dan BeMiller, 1997).
19
air akan terpisah dari struktur pasta pati. Hal ini mengakibatkan terjadinya
fenomena sineresis, yaitu keluarnya air dari pasta pati.
Derajat pemisahan air sering dinyatakan dengan persen sineresis, yaitu
menunjukkan jumlah air yang terpisah setelah pasta pati disimpan pada siklus
penyimpanan beku (-18 0C). Semakin tinggi persentase jumlah air yang terpisah,
maka pati tersebut semakin tidak stabil terhadap penyimpanan suhu beku.
Analisis tersebut sering digunakan untuk mengukur tingkat kecenderungan
retrogradasi pati (Srichuwong, 2006).
penggunaan pati alami sebagai pengental menjadi tidak sesuai, baik selama
proses maupun penyimpanan. Misalnya, apabila pati alami digunakan
sebagai pengental pada pembuatan saus, maka akan terjadi penurunan
kekentalan saus selama penyimpanan yang disebabkan oleh hidrolisis pati.
d. Pati alami tidak tahan proses mekanis, dimana viskositas pati akan menurun
adanya proses pengadukan atau pemompaan.
e. Kelarutan pati yang terbatas di dalam air. Kemampuan pati untuk
membentuk tekstur yang kental dan gel akan menjadi masalah apabila
dalam proses pengolahan diinginkan konsentrasi pati yang tinggi namun
tidak diinginkan kekentalan dan struktur gel yang tinggi.
Modifikasi pati dilakukan untuk mengatasi sifat-sifat dasar pati alami yang
kurang menguntungkan seperti dijelaskan di atas, sehingga dapat memperluas
penggunaannya dalam proses pengolahan pangan serta menghasilkan
karakteristik produk pangan yang diinginkan. BeMiller dan Whistler (1997)
menyatakan bahwa modifikasi dilakukan dengan beberapa tujuan diantaranya
adalah memperbaiki karakteristik pemasakan, menurunkan sifat retrogradasi,
menurunkan kecenderungan pasta membentuk gel, meningkatkan stabilitas
freeze-thaw pasta, menurunkan sifatsineresis pasta dan atau gel, meningkatkan
tekstur pasta dan atau gel, meningkatkan pembentukan film, meningkatkan sifat
adhesi, dan menambah gugus hidrofobik.
Modifikasi pati dapat dilakukan secara fisik, kimia dan enzimatis dengan
terkendali sehingga merubah satu atau lebih dari sifat asalnya, seperti suhu awal
gelatinisasi; karakteristik selama proses gelatinisasi; ketahanan oleh pemanasan,
pengasaman dan pengadukan; dan kecenderungan retrogradasi (Bastian, 2001).
Beberapa metode modifikasi pati antara lain metode enzimatis (likuifikasi,
sakarifikasi, dan isomerasi), metode fisika (ekstrusi, praboiling, steam-cooking,
irradiasi microwave, pemanggangan, hydrotermal treatment dan autoclaving) dan
metode kimia (hidrolisis asam, cross linking, subtitusi, serta kombinasi antara
cross linking dan subtitusi).
Sifat pati modifikasi tergantung pada beberapa faktor seperti reaksi
modifikasi, gugus pensubstitusi, derajat substitusi, dan distribusi gugus
substituen. Distribusi gugus substituen pada modifikasi pati dapat terjadi pada
monomer, sepanjang rantai polimer, pada daerah kristalin/amorf, dan pada
permukaan granula (Richardson dan Gorton, 2003).
interaksi antara rantai pati (Jayakody dan Hoover, 2008). Oleh karena itu tidak
ada perubahan yang diamati dengan XRD pada pati ANN (Gough dan Pybus,
1971; Stute, 1992).
Menurut Collado dan Corke (1999), Heat Moisture Treatment (HMT)
didefinisikan sebagai modifikasi fisik yang melibatkan perlakuan pemanasan pati
pada kadar air terbatas (<35% air, w/w) pada suhu 80-120 oC, di atas suhu
gelatinisasi, selama beberapa waktu yang berkisar antara 15 menit sampai 16
jam. Menurut Kulp dan Lorenz (1981) di dalam Olayinka dkk. (2006), modifikasi
HMT dapat merubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk
kristal baru atau terjadi proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin
pada granula pati. Proses HMT juga dapat meningkatkan asosiasi rantai pati
antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin pada daerah amorf, memisah-
kan fraksi amilosa dan amilopektin, meningkatkan kekompakan material di dalam
granula akibat adanya tekanan dan interaksi serta merubah derajat kristalinitas
pati.
Di bawah ini adalah beberapa parameter ANN dan parameter gelatinisasi
pada pati umbi, kacang-kacangan dan sereal yang sudah dilakukan penelitian.
25
Tabel 8. Parameter ANN dan parameter gelatinisasi pada pati umbi, kacang-kacangan dan sereal
Kentang (asli) 1:03 54 58,8 64,5 10,5 16,8 Hoover dan Vasanthan (1994a)
Kentang (ANN) 50 1 tahap 72 3:01 1:03 71,2 74,2 78,4 7,2 20,2 Hoover dan Vasanthan (1994a)
Kentang (asli) 59,1 61,9 66,8 7,7 18,3 Vermeylen dkk. (2006)
Kentang (ANN) 51 1 tahap 24 2:01 64,9 66,8 71,1 6,2 18,3 Vermeylen dkk. (2006)
Kentang (asli) 58,6 63 72,2 13,6 19,2 Jacobs dkk. (1995, 1996)
Kentang (ANN) 50 1 tahap 24 2:11 64,8 67,7 73 8,2 19,9 Jacobs dkk. (1995, 1996)
Ketela pohon (asli) 65,4 71,5 81,5 16,1 8,8 Atichokudomchai dkk. (2002)
Ketela pohon (ANN) 51 1 tahap 72 3:01 70,7 74 81,3 10,6 9,4 Atichokudomchai dkk. (2002)
Kacang pinto (asli) 1:03 59 68 73 14 9,2 Hoover dan Manuel (1996)
Kacang pinto (ANN) 50 1 tahap 24 3:01 1:03 64 73,5 79 9,6 9,6 Hoover dan Manuel (1996)
Gandum (asli) – – – – Kohyama dan Sasaki (2006)
Gandum (ANN) 20 1 tahap 10:01 1:03 48,2 56,2 68,5 20,3 10,6 Kohyama dan Sasaki (2006)
50 1 tahap 10:01 1:03 60,1 62,5 68,1 8,1 9,9 Kohyama dan Sasaki (2006)
Gandum (asli) 56,2 61,1 66,6 10,4 9,7 Hoover dan Vasanthan (1994a)
Gandum (ANN) 50 1 tahap 72 3:01 1:03 69,6 72 74,7 5,1 12,2 Hoover dan Vasanthan (1994b)
Jagung biasa (asli) 1:05 56,9 67,7 76,5 19,6 17,6 Qi dkk. (2005)
Jagung biasa (ANN) 55 1 tahap 168 Excess 1:05 72,1 76,4 82,3 10,2 16,9 Qi dkk. (2005)
Jagung waxy (asli) 1:05 62,2 70,7 78,7 16,5 17,3 Qi dkk. (2005)
Jagung waxy (ANN) 55 1 tahap 168 Excess 1:05 73,3 77,3 83,1 9,8 17,3 Qi dkk. (2005)
Jagung tinggi amilosa (asli) 1:03 70,6 79,8 – – 4,5 Krueger dkk. (1987a, 1987b)
Jagung tinggi amilosa (ANN) 50 1 tahap 48 Excess 1:03 72,3 79,2 – – 5,7 Krueger dkk. (1987a, 1987b)
26
Tabel 8. (lanjutan)
Tabel 8. (lanjutan)
Parameter ANN Parameter Gelatinisasi
SUMBER PATI 0 Referensi
T ( C) Tahap t (jam) W:S S:W To Tp Tc Tc-To ΔH (J/g)
Normal barley (asli) 1:03 61,3 65,3 72,8 11,4 10 Waduge dkk. (2006)
Normal barley (ANN) 50 1 tahap 72 3:01 1:03 66,7 69,8 77 10,3 10 Waduge dkk. (2006)
Waxy barley (asli) 1:03 59,3 64,9 81,8 22,5 13 Waduge dkk. (2006)
Waxy barley (ANN) 50 1 tahap 72 3:01 1:03 66,2 70,2 82,9 16,7 13,4 Waduge dkk. (2006)
Keterangan: T = suhu ANN
T = waktu ANN
W = air perendaman
S = pati
T0 = suhu awal gelatinisasi
Tp = suhu puncak gelatinisasi
Tc = suhu akhir gelatinisasi
Tc- T0 = kisaran suhu gelatinisasi
AH = entalpi gelatinisasi
Sumber: Jayakody dan Hoover (2008)
28
a. Pati kering
Lamela
kristalin
Lamela
kristalin
Lamela
amorf
b. Pati ANN
Gambar 9. Efek hidrasi dan ANN pada daerah semi kristalin, (heliks ganda
amilopektin direpresentasikan sebagai persegi panjang): (a) pati
kering dengan daerah amorf glassy; (b) Pati ANN terhidrasi dengan
daerah amorf rubbery (Waigh dkk., 1997; Tester dan Debon, 1999)
30
Sebelum ANN
Ujung heliks
Heliks ganda Ujung heliks ganda ganda tidak
Heliks ganda merenggang (tidak Heliks ganda
tidak terpilin berurutan Heliks ganda
terbuka pararel, tapi dikemas pararel
merenggang
dalam klaster)
Peningkatan kemasan
pararel heliks ganda
Heliks Heliks
Setelah ANN ganda ganda
memanjang berurutan
Gambar 10. Skema pada organisasi heliks ganda dalam lamela kristalin
sebelum dan setelah ANN, pada pati tipe 4 (Vamadevan dkk.,
2013).
air pada suhu 50 0C selama tiga hari, kemudian menentukan suhu titik akhir
birefringence. Mereka menemukan bahwa ANN dapat meningkatkan suhu awal
gelatinisasi dan mempersempit kisaran suhu gelatinisasi, dibandingkan dengan
pati tanpa ANN (Gambar 11). Efek ini diinterpretasikan sebagai hasil dari
perubahan dalam struktur internal dari granula pati, tetapi tidak ada perubahan
kualitatif dalam pola XRD. Marchant dan Blanshard (1978) menginterpretasikan
pengaruh ANN sebagai peleburan parsial dari beberapa kristalin dengan
penyusunan kembali rantai polimer dalam granula tersebut.
Tawal Takhir
Aliran panas
endotermal
Tpuncak
0
Suhu ( C)
Gambar 11. Termogram DSC dari tepung gandum komersial (BDH 30265)
(a) Tanpa ANN; (b) Setelah ANN dalam air berlebih (45°C, 100 jam)
(Tester dan Debon, 1999)
selama 72 jam (Waduge dkk., 2006), ANN pada tepung gandum pada suhu 10
°C selama 72 jam (Lan dkk., 2008), pati beras pada 45 °C, 50 °C, 55 °C selama
24 jam (Dias dkk., 2010) dan ANN pada beras pecah pada suhu 7 °C dan 30 °C
selama 12 jam, 24 jam dan 36 jam, serta pati jagung pada 50 °C selama 24 jam
(Chung dkk., 2009a).
Pengaruh ANN pada swelling power berbeda antara pati lilin, pati dengan
kadar amilosa sedang dan pati dengan kadar amilosa tinggi. Pada pati lilin
penurunan swelling power disebabkan karena keteraturan kristal yang dapat
mengurangi tingkat hidrasi pada daerah amorf (Waduge dkk., 2006). Pada pati
dengan kadar amilosa sedang dan amilosa tinggi penurunan swelling power
disebabkan karena kombinasi antara keteraturan kristal dan interaksi amilosa-
amilosa atau komplek lipid (Zavarese dan Dias, 2010). Secara khusus, swelling
power telah terbukti dipengaruhi oleh struktur amilopektin (Sasaki dan Matsuki,
1998), kandungan amilosa, dan sejauh mana interaksi antara amilosa-amilosa
dan atau interaksi amilopektin-amilopektin (Tester dkk., 2000).
melakukan penelitian pengaruh ANN pada daya cerna pati jagung, kacang, dan
miju-miju dan melaporkan bahwa ANN dapat meningkatkan RDS (rapidly
digestible starch) dan menurunkan tingkat SDS dalam semua granula pati.
O'Brien dan Wang (2008) menjelaskan bahwa peningkatan kadar RDS pada
perlakuan ANN karena pembentukan struktur yang lebih berpori dan
pembentukan struktur berpori akan memungkinkan akses yang lebih besar dari
enzim hidrolitik ke bagian dalam granula. Chung dkk., (2009a), menyatakan
0
bahwa perlakuan ANN pada pati jagung pada suhu 50 C, akan terjadi
peningkatan pada RDS dan penurunan tingkat SDS.
Perlakuan ANN dapat meningkatkan pati resisten serta mempertahankan
struktur granulanya (Brumovsky dan Thompson, 2001). Suhu awal pada
perlakuan ANN berada pada kondisi dibawah suhu gelatinisasi sehingga tidak
ada perubahan struktur molekul yang disebabkan karena proses gelatinisasi.
Modifikasi dengan metode ANN menyebabkan granula pati lebih terorganisir dan
lebih stabil, memperkuat hubungan antara molekul amilosa dan amilopektin.
Brumovsky dan Thompson (2001) menyatakan bahwa ANN pada pati jagung
dengan amilosa tinggi menghasilkan terjadinya peningkatan 53% pati resisten
dibandingkan dengan pati asli. Chung dkk. (2010) mengemukakan terjadinya
penurunan kadar pati resisten dengan perlakuan ANN pada kacang, miju dan
navy dibandingkan pati asli, dan mereka menyatakan bahwa secara teoritis
perlakuan ANN dapat meningkatkan kadar pati resisten karena perlakuan ANN
dapat meningkatkan keteraturan kristal dan interaksi antar rantai amilosa dan
atau interaksi rantai amilosa-amilopektin.
Pomeranz (1992) dan Kutos dkk. (2003) melaporkan bahwa kadar pati
resisten berhubungan dengan gelatinisasi dan retrogradasi, meskipun dalam
bahan makanan tergantung dari jenis pengolahan, rasio amilosa dan atau
amilopektin, waktu dan suhu penyimpanan serta jumlah air yang digunakan
dalam pengolahan. Namun, perubahan kadar pati resisten yang disebabkan oleh
perlakuan ANN tidak berhubungan dengan gelatinisasi dan retrogradasi karena
pati ANN tidak mengalami gelatinisasi. Oleh karena itu perubahan kadar pati
resisten pada ANN terkait dengan perubahan struktur, seperti reorganisasi
molekul dan perubahan kristalinitas pati.
34
Gambar 12. Struktur pati tahan cerna tipe RS1 (Sajilata dkk., 2006)
2. Tipe 2 (RS2), terdapat secara alami pada pati yang tidak tergelatinisasi
karena tidak dimasak, misalnya pati kentang, pisang dan bahan tinggi
amilosa lainnya. Karena terperangkap kuat, pati tahan terhadap hidrolisis
enzim amilase, namun ketika pemasakan dapat hilang akibat lepasnya barier
seluler dan kerusakan granula pati (Sculz, 1993).
Gambar 13. Struktur pati tahan cerna tipe RS2 (Sajilata dkk., 2006)
37
Gambar 14. Struktur pati tahan cerna tipe RS3 (Sajilata dkk., 2006)
4. Tipe 4 (RS4) merupakan pati hasil modifikasi secara kimia atau pati hasil
repolimerasi seperti halnya terbentuknya ikatan silang pada rantai polimer
(Croghan, 2001).
Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan RS antara lain sifat
alami dari pati seperti : kristalinitas pati, struktur granula, rasio amilosa dan
amilopektin, retrogradasi, atau pengaruh panjang rantai amilosa. Faktor lain
seperti panas dan kelembaban, proses pengolahan atau interaksi dengan bahan
lain (protein, serat, lipid, gula, emulsifier, atau inhibitor enzim). Perbandingan
amilosa dan amilopektin mempengaruhi kandungan pati resisten pada pati. Pada
tepung jagung dengan kandungan amilosa yang tinggi (mengandung 70%
amilosa) dilaporkan memiliki kadungan pati resisten sebesar 20g/100g berat
38
2.9.1 Rendemen
Rendemen merupakan perbandingan berat produk yang diperoleh
terhadap berat bahan baku yang digunakan. Rendemen dihitung dengan
membandingkan antara berat tepung bobot kering yang diperoleh dengan berat
bahan kering asal (AOAC, 1990). Rendemen tepung menyatakan nilai efisiensi
dari proses pengolahan sehingga dapat diketahui jumlah tepung yang dihasilkan
dari bahan dasar awalnya.
bahan aslinya. Umumnya konsumen lebih menyukai tepung dengan derajat putih
(L) yang tinggi.
granula merupakan ciri khas dari masing-masing pati. Richana, dkk. (1999)
mengemukakan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara gelatinisasi
dengan kekompakan granula, kadar amilosa dan amilopektin.
Pada modifikasi psti dengan ANN, (Liu dkk., 2009) melaporkan bahwa
ANN pada pati jagung dengan suhu 30 0C menunjukkan sifat termal yang sama
seperti pada pati jagung tanpa ANN, hal ini menunjukkan bahwa pada suhu
tersebut tidak mempengaruhi mikrostruktur. Namun, pada perlakuan ANN
dengan suhu 50 0C dapat meningkatkan ukuran granul dari pati jagung dengan
kadar amilosa berbeda, dan rata-rata perubahan ukuran meningkat dengan
meningkatnya kadar amilopektin. Menurut Waduge dkk. (2006), ukuran pori
beberapa varietas gandum juga mengalami peningkatan waktu dilakukan ANN.
Peningkatan ukuran butiran ini disebabkan oleh masuknya air melalui daerah
amorf dari pati selama ANN.
Capouchova (2003), menyatakan bahwa adanya perlakuan fisik, kimia
dan mekanis pada pati memungkinkan perubahan bentuk granula yang secara
mikroskopis dapat diamati dengan SEM (Scanning Electron Microscope). SEM
adalah jenis mikroskop yang menggunakan elektron sebagai pengganti cahaya
pada mikroskop biasa. Elektron memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada
cahaya. Cahaya hanya mampu mencapai 200 nm sedangkan elektron bisa
mencapai resolusi sampai 0,1–0,2 nm. Selain itu, dengan menggunakan elektron
bisa mendapatkan beberapa jenis pantulan yang berguna untuk keperluan
karakterisasi. Jika elektron mengenai suatu benda maka akan timbul dua jenis
pantulan, yaitu pantulan elastis dan non elastis. Dari pantulan elastis didapatkan
sinyal backscattered electron sedangkan dari pantulan inelastis didapatkan sinyal
elektron sekunder dan karakteristik sinar X (Hafner, 2007).
(pasta) semakin berkurang, maka nilai swelling power juga semakin berkurang.
Berdasarkan hal tersebut satuan swelling power adalah ml/g bk.
Apabila pati dimasukkan ke dalam air dingin, maka granula pati akan
menyerap air dan membengkak. Namun, jumlah air yang terserap dan
pembengkakannya terbatas, hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Namun
ketika sejumlah pati dipanaskan dalam air yang berlebih, struktur kristalinnya
akan terganggu sehingga akan menyebabkan kerusakan pada ikatan
hidrogennya, maka hidrogen akan keluar dari gugus hidroksil amilosa dan
amilopektin (Hoover dan Hadziyev, 1981). Hal ini akan menyebabkan terjadinya
peningkatan pembengkakan dan kelarutan granula. Pemanasan yang terus
berlangsung akan menyebabkan granula pati pecah sehingga air yang terdapat
dalam granula pati dan molekul pati yang larut air dengan mudah akan keluar
dan masuk ke dalam sistem larutan (Baah, 2009), sehingga kelarutannya
menjadi tinggi. Ikatan hidrogen yang menstabilkan struktur heliks ganda pada
kristal akan terputus selama proses gelatinisasi dan digantikan oleh ikatan
hidrogen pada air (Tester dkk., 1996) .
Sifat swelling pati sangat tergantung pada kekuatan inter dan intra
molekuler dari granula pati. Goldworth (1999), secara umum faktor-faktor yang
mempengaruhi swelling power adalah
1. Perbandingan amilosa dan amilopektin;
2. Semakin tinggi kandungan amilosa, maka semakin rendah tingkat swelling
power. Hal ini disebabkan karena molekul-molekul amilosa yang linear
sehingga dapat memperkuat jaringan internalnya (Goldworth, 1999)
3. Berat molekul amilosa dan amilopektin;
4. Distribusi berat molekul;
5. Derajat percabangan;
6. Panjang dari cabang molekul amilopektin terluar yang dapat berperan dalam
kumpulan ikatan. Daerah kristalin pada pati dengan porsi rantai panjang yang
banyak akan lebih stabil karena struktur heliks ganda dan akan membentuk
ikatan hidrogen dengan air lebih banyak ketika dipanaskan dalam air berlebih
dibandingkan dengan pati dengan rantai pendek (Sasaki dan Matsuki, 1998).
Kekuatan pembengkakan pati juga tergantung pada kapasitas
penyerapan air (KPA) molekul pati dengan ikatan hidrogen (Lee dan Osman,
1991). Sifat swelling juga dipengaruhi oleh kandungan lemak dalam tepung.
43
Menurut Sung dan Stone (2004), ketika kandungan lemak dalam pati dikurangi,
maka akan terjadi swelling semakin cepat. Selain itu keberadaan lemak mampu
mencegah terjadinya swelling secara berlebihan. Menurut Moorthy (2002),
swelling power juga tergantung oleh perbedaan varietas, faktor lingkungan, dan
usia tanaman itu sendiri.
Pati dengan profil gelatinisasi tipe A (seperti pada pati sagu) biasanya
memiliki swelling power yang lebih besar dibandingkan pati dengan profil
gelatinisasi tipe B contohnya pati gandum, pati jagung, pati beras dan pati
tapioka (Wattanachant dkk., 2002). Pati yang memiliki profil gelatinisasi tipe C
contohnya pati kacang-kacangan memiliki swelling power yang terbatas atau
sangat rendah jika dibandingkan tipe A (Kim, 1996). Pada umumnya pati
dengan swelling power yang tinggi mempunyai kelarutan pasta pati yang tinggi
pula. Seperti halnya studi yang dilakukan oleh Kim (1996), melaporkan bahwa
pati kentang yang mempunyai swelling power lebih tinggi dibanding pati
kacang-kacangan mempunyai kelarutan yang tinggi pula.
Viskositas puncak
Suhu awal
gelatinisasi Penurunan
viskositas
Suhu puncak
gelatinisasi Viskositas
balik
Waktu (menit)
Suhu
Waktu (menit)