Anda di halaman 1dari 2

Bapak ibu hadirin sekalian, marilah kita menundukkan kepala sejenak untuk menguhasabah diri.

Sebenarnya ada banyak sekali hal yang kami ingin ucapkan kepada Ibu dan Ayah. Hanya saja kata-kata
yang sudah kami susun rapi di pikiran kami tak mampu keluar sedikitpun. Leher kami tercekat menahan
tangis. Menyadari suatu hal yang selama ini tidak pernah kami lihat melalui mata kami. Hal yang hanya
bisa dilihat oleh mata hati. Hal itu adalah kasih sayang yang Ibu dan Ayah beri tanpa memikirkan diri
sendiri.

Selama ini kami tak pernah menyadari, bahwa Ibu dan Ayah berjuang keras untuk bahagia. Tadinya
kami pikir rasa bahagia itu untuk Ibu dan Ayah semata. Karena terkadang, Ibu dan Ayah selalu
memaksakan kehendak untuk kami, anak-anakmu. Selalu memarahi kami, selalu melarang kami, selalu
saja peduli…. kepada kami yang selalu menyakiti.

Ibu dan Ayah selama ini berjuang mencari kebahagiaan, dengan cara menukarkan kebahagiaan mereka
untuk kebahagiaan kami. Apapun akan mereka lakukan untuk kami. Mencari uang untuk kami tanpa
kenal lelah, agar melihat kami tumbuh dengan baik, kami tak kekurangan sesuatu apapun, dan kami bisa
tersenyum bahagia dengan apa-apa yang kami minta… tanpa peduli dibalik itu semua ada perjuangan
Ibu dan Ayah yang sangat berat.

Kami adalah makhluk egois yang menuntut kebahagiaan kami terpenuhi, cita-cita kami terpenuhi tanpa
mau menoleh ke belakang dan memikirkan Ibu serta Ayah….

Kami adalah makhluk yang tidak tahu terima kasih, karena walaupun segalanya telah diberi, kami selalu
meminta lebih, lebih, lebih….

Kami tidak pernah puas terhadap kebahagiaan yang telah Ayah dan Ibu beri….

Kami tidak pernah mau tahu tentang apapun yang Ayah dan Ibu lakukan… asalkan itu membuat kami
bahagia, maka kami tidak perlu tahu…

Tidak perlu tahu semenderita apa Ibu dan Ayah memikirkan masa depan kami. Tidak mau tahu betapa
Ibu dan Ayah terlalu memerhatikan kami. Sesedih apa perasaan Ibu dan Ayah memikirkan kami setiap
hari. Kepala dan hati Ibu dan Ayah selalu tertuju kepada kebahagiaan kami. Sedangkan kami selalu
memikirkan diri sendiri. Kami tidak pernah mengingat jelas kebaikan-kebaikan yang Ibu dan Ayah
berikan kepada kami. Kami terlalu asyik dengan dunia kami sendiri, kami terlalu mengingat-ingat
kebaikan orang lain dan berusaha untuk membalas kebaikan mereka tanpa pernah mengingat untuk
membalas segala yang Ibu dan Ayah berikan kepada kami.

Segalanya…. apapun…. akan diberikan kepada kami. Meski nyawa sekalipun, jika itu bisa membuat
kami tetap bahagia. Ibu dan Ayah akan selalu ada.

Meski sakit dan perih selalu tertoreh dalam hati Ibu dan Ayah disaat kami melawan, membantah,
menyakiti hati dengan kata-kata. Hal itu selalu dipendam…. tak ingin menyakiti hati anak-anaknya sama
sekali. Kebahagiaan Ibu dan Ayah tidaklah penting, sama sekali tak berharga jika dibandingkan
kebahagiaan kami. Ibu dan Ayah tidak pernah berhenti…….. untuk membuat kami hidup dan
bahagia…. meski pada akhirnya kami selalu menyakiti…..

Kami menyakiti Ibu dan Ayah disaat kami lebih menyayangi pasangan kami yang baru saja kami temui
selepas kami dewasa. Kami lebih memerhatikannya dibanding Ibu dan Ayah yang semakin tua renta.

Kami seakan buta untuk melihat kerut demi kerut yang terpampang jelas di wajah Ibu dan Ayah. Kami
seakan tuli untuk mendengar bahwa suara Ibu dan Ayah kian merendah. Kami seakan tak peduli saat
hal-hal sederhana sudah tak bisa lagi dilakukan Ibu dan Ayah.

Dan kami seakan lupa, bahwa dulu Ibu dan Ayah yang mengajarkan kami untuk berkata-kata. Sekarang
mulut ini hanyalah membantah dan menyela.

Dulu Ibu dan Ayah yang mengajarkan kami untuk berjalan. Sekarang kaki ini yang membawa kami untuk
kabur dari rumah ketika keinginan kami tidak dikabulkan.

Dulu Ibu dan Ayah yang mengurus kebutuhan makan, minum, pakaian, dan rumah kami. Sekarang
bahkan kami tidak pernah sekalipun bertanya, “Hari ini Ayah dan Ibu mau makan apa?”

Dan kami seakan tidak pernah sadar, bahwa bertambah dewasanya kami, Ibu dan Ayah pun bertambah
tua. Kami tidak sabar menghadapi Ibu dan Ayah yang menjadi pelupa, yang banyak bertanya, yang
semakin susah untuk berjalan. Kami tidak sabar menghadapi itu semua…. padahal dulu, Ibu dan Ayah
selalu sabar mendengar tangisan kami, selalu sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Selalu
sabar mengajarkan kami bermacam-macam hal. Ibu dan Ayah terlalu bersabar terhadap kami yang
menjengkelkan…

Maafkan kami yang tak tahu diri ini…. maafkan kami yang tak pernah menyadari, bahwa orang yang
seharusnya kami cintai dengan sepenuh hati selalu ada di dalam rumah, bukan kami cari di luar rumah.
Maafkan kami yang tak pernah merasakan cinta yang begitu besar yang Ibu dan Ayah berikan untuk
kami. Maafkan kami, yang tak mampu membalas apa-apa atas kebahagiaan yang selama ini diberikan,
karena meskipun kami telah membawakan lembah emas kepada Ibu dan Ayah, itu tidak pernah cukup
untuk membalas semua yang telah Ibu dan Ayah lakukan.

Maafkan kami….

Maafkan kami Ibu….. Ayah….. yang baru menyadari itu semua di penghujung waktu. Disaat kami tak
bisa lagi memeluk Ibu dan Ayah. Disaat dunia kami sudah berbeda. Itu adalah penyesalan kami yang
sangat dalam, yang baru kami rasakan ketika Ibu dan Ayah sudah pergi…

Andai waktu bisa kami ulang, maka kami akan melakukan apapun untuk membuat Ibu dan Ayah
tersenyum….

Anda mungkin juga menyukai