Anda di halaman 1dari 8

Dalam dunia bisnis informasi keuangan sangatlah penting bagi management dan investor,

untuk management informasi tersebut dapat membantu dalam mengevaluasi perusahaan agar

sesuai dengan tujuan yang diharapkan begitu pula bagi investor informasi yang terkandung

dalam laporan keuangan sangatlah menentukan dalam melakukan penanaman modal atau

berinvestasi, dan salah satu informasi laporan keuangan yang krusial adalah laba (Saragih &

Rusdi, 2020). Informasi mengenai perusahaan yang paling menarik perhatian investor adalah

laba dan harga saham karena hal tersebut memberikan gambaran kinerja perusahaan (Haryanto,

2019). Informasi laba merupakan referensi bagi investor untuk menanamkan investasinya pada

sebuah perusahaan, karena laba baik positif maupun negatif yang diperoleh dari laporan laba rugi

perusahaan akan mempengaruhi return saham.

Menurut Marlina & Anna (2019) Informasi laba menjadi hal penting bagi pemakai laporan

keuangan untuk tujuan kontrak dan pengambilan keputusan investasi karena informasi laba yang

dikeluarkan perusahaan selain memberikan gambaran mengenai kinerja perusahaan juga berguna

untuk memprediksi bagaimana kinerja perusahaan di masa depan. Jika laporan tersebut terdapat

penundaan yang tidak semestinya dalam laporan, maka informasi yang dihasilkan akan

kehilangan relevansinya. (Yeni, 2018) Pihak yang berkepentingan terhadap perkembangan suatu

perusahaan (stakeholder) berhak untuk memperoleh informasi keuangan perusahaan. Laporan

keuangan digunakan oleh manajemen puncak untuk dapat mengambil keputusan yang

bermanfaat bagi perkembangan perusahaan, sedangkan bagi investor laporan keuangan juga

berguna dalam pengambilan keputusan ekonomi.

Penelitian awal tentang hubungan antara laba dan harga saham dilakukan oleh Ball&Brown

(1968). Penelitian ini menjelaskan bahwa jika informasi yang disediakan mengandung ‘good

news’ (kabar baik) maka pasar akan bereaksi positif sehingga return realisasi saham perusahaan
lebih besar daripada return yang diharapkan. Sebaliknya jika informasi bersifat ‘bad news’

(kabar buruk) maka pasar bereaksi negative. Tingkat kegunaan informasi laba dapat diukur dari

sejauh mana perubahan harga saham mengikuti publikasi informasi laba. Perusahaan yang

memiliki pertumbuhan laba diharapkan akan memberikan profitabilitas yang tinggi di masa

datang (Yandyana & Sudana, 2016). Alasan inilah yang menyebabkan adanya kepentingan laba

dengan harga saham yang tentunya berhubungan dengan investor (Jati et al., 2019).

Laba akuntansi dikatakan berkualitas apabila elemen-elemen yang membentuk laba

tersebut dapat diinterprestasikan dan dipahami secara memuaskan oleh pihak yang

berkepentingan. Kualitas laba dalam penelitian ini di ukur melalui Earnings Response

Coefficient (ERC). Laba yang berkualitas dapat ditunjukkan dari tingginya reaksi pasar ketika

merespon informasi laba. Reaksi pasar tergantung dari kualitas laba yang dihasilkan perusahaan.

Earnings Response Coefficient merupakan ukuran tentang besarnya return pasar sekuritas

sebagai respon komponen laba tidak terduga yang dilaporkan perusahaan penerbit saham (Albra

& Fadila, 2017). Secara sederhana ERC dapat diartikan sebagai perubahan harga saham yang

diakibatkan oleh penerbitan laporan keuangan oleh perusahaan (Dewi & Rahayu, 2018). ERC

atau Koefisien Respon Laba ini diperlukan untuk mengukur adanya respon harga saham terhadap

informasi laba akuntansi. Konsep ERC dapat dilihat pada harga saham suatu perusahaan, tinggi

dan rendahnya sangat bergantung pada informasi laba yang disajikan. Oleh itu, banyak ahli

menganggap ERC cukup membantu para investor dalam melihat realitas laba (Saragih & Rusdi,

2020).

Nilai ERC bergantung pada tinggi rendahnya informasi laba yang diterbitkan oleh

perusahaan. Semakin tinggi informasi laba perusahaan diharapkan mendapatkan respon yang

baik pula dari investor sehingga return saham meningkat (Agustina & Si, 2017). Rendahnya
ERC menunjukkan bahwa laba kurang informatif bagi investor untuk membuat suatu keputusan

ekonomi (Arif, 2016). Akan tetapi ada beberapa kejadian yang tidak sejalan dengan teori

tersebut, yang menyebabkan terjadinya perubahan pada nilai ERC. (Arif, 2016) setiap kenaikan

laba tidak selalu diikuti dengan perubahan harga saham positif yaitu terjadi kenaikan pada harga

saham, bahkan sebaliknya pada saat penurunan laba maka harga saham tidak selalu ikut

mengalami penurunan.

Pernyataan tersebut sama halnya dengan yang ada pada perusahaan sektor industry dasar

dan kimia seperti Surya Toto Indonesia Tbk dimana pada tahun 2015 awalnya memiliki laba

bersih Rp295.861.000.000,00 menurun menjadi Rp285.237.000.000,00 namun harga sahamnya

justru meningkat 67,3%. Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk juga mengalami hal yang sama

dimana laba bersihnya meningkat pada tahun 2016 namun harga saham yang awalnya Rp118,00

menjadi Rp210,00. Semen Baturaja Persero tbk yang pada tahun 2017 mengalami penurunan

laba dari tahun sebelumnya sebesar 19% namun harga saham justru meningkat sebesar 36,2%.

Ekadharma Internasional Tbk pada tahun yang sama juga mengalami penurunan laba bersih

sebesar 15,98% dengan diikuti kenaikan 11,71% harga saham. Hal ini berbeda dengan

Sumalindo Lestari Jaya Tbk mengalami kenaikan yang cukup tinggi yaitu 251,67% namun harga

saham justru tetap pada angka 190.

Informasi laba perusahaan yang tidak direspon secara positif juga terjadi pada Selamat

Sempurna Tbk pada tahun 2016, Ricky Putra Globalindo Tbk pada tahun 2016, dan Sepatu Bata

Tbk pada tahun 2015 yang masing-masing mengalami kenaikan laba 9,13%, 4,21% dan 84,8%

namun harga sahamnya justu menurun masing-masing 17,65%, 3,14% dan 18,5%. Kondisi ini

bertolak belakang dengan Indo Rama Synthetic Tbk pada tahun 2016 dan Pan Brothers Tbk

tahun 2015 dimana kedua perusahaan ini mengalami penurunan laba masing-masing 85,15% dan
7,53% serta mengalami kenaikan respon investor yaitu harga sahamnnya meningkat masing-

masing 6,57% dan 10,89%.

PT Delta Djakarta Tbk yang meskipun mengalami kenaikan laba pada tahun 2014 sebesar

32,5% namun harga sahamnya justru mengalami penurunan 3,8%. Hal ini terjadi juga pada PT

Indofood CBP Sukses Makmur Tbk yang mengalami kenaikan laba 24,2% namun mengalami

penurunan harga saham sebesar 36,4%. PT Kimia Farma Tbk pada sub sektor farmasi juga

mengalami kenaikan laba 22,1% dan harga saham justru menurun 1,8%. Peningkatan laba yang

diikuti penurunan harga saham juga terjadi pada PT Merck Tbk dengan presentase masing-

masing 1,3% dan 7,6% pada tahun 2017. Perusahaan rokok Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk

juga mengalami peningkatan laba 23,15% pada tahun 2015 namun harga sahamnya menurun

95,9%. Berbeda dengan PT Wismilak Inti Makmur Tbk, walaupun sama-sama bergerak sub

sektor rokok, namun perusahaan ini mengalami penurunan laba 18,9% dan justru harga saham

meningkat 2,3%.

Fenomena ini menunjukkan bahwa informasi laba tidak selalu direspon secara searah oleh

investor. Bagi investor laba mengandung dua sisi, sisi positif sebagai keuntungan dan sisi negatif

sebagai risiko (Saragih & Rusdi, 2020). Oleh sebab itu ERC menjadi menarik untuk diteliti.

Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Earnings Response Coefficient (ERC)

maka dapat diketahui kekuatan pengaruh informasi laba terhadap nilai saham dari suatu

perusahaan. Sehingga, investor akan lebih akurat dalam menganalisis informasi laba untuk

kepentingan investasinya. (Arif, 2016).

Beberapa penelitian menyatakan bahwa tingginya ERC tidak hanya dipengaruhi oleh faktor

finansial saja, sehingga dapat dipengaruhi faktor lain (Jati et al., 2019). Pentingnya Earnings

Response Coefficient (ERC) bagi berbagai pihak memicu banyaknya penelitian yang muncul
dengan tema tersebut. Penelitian terkait dengan ERC sebelumnya telah dilaksanakan di beberapa

negara, seperti (Ahmed, 2013) di Rusia, serta (Ji et al., 2015) meneliti pengaruh GCG terhadap

ERC di China. (Kim et al., 2018) juga meneliti mengenai ERC dengan CSR sebagai variabel

yang mempengaruhinya dan sensitivitas politik sebagai pemoderasi dimana objeknya berada di

Korea. (Beredugo, 2021) menilai determinan koefisien respon laba pada era implementasi

Nigerian Post-IFRS serta (Raza et al., 2021) meneliti kepemilikan asing memitigasi hubungan

antara default risk dan Earnings Response Coefficient (ERC) sekaligus mengendalikan

determinan ERC (beta, size, growth, dan earning persistence dengan objek di Bursa Saham

Pakistan (PSX).

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya telah mengungkapkan faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi Earnings Response Coefficient (ERC). Penelitian ini menggunakan empat

variabel independen yaitu Firm Size (Ukuran perusahaan), Profitabilitas, Firm Growth

(Pertumbuhan Perusahaan), dan Corporate Social Responsibility (Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan) Variabel-variabel tersebut digunakan karena pada penelitian sebelumnya

menunjukkan hasil yang tidak konsisten.

Firm Size (Ukuran perusahaan) merupakan proksi dari keinformatifan harga. Perusahaan

besar dianggap memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan perusahaan kecil (Novianti,

2015). Firm Size (Ukuran perusahaan) secara langsung akan mencerminkan tinggi rendahnya

aktivitas operasi maupun investasi perusahaan. Investor biasanya lebih memiliki kepercayaan

pada perusahaan besar, karena perusahaan besar dianggap mampu untuk meningkatkan kinerja

perusahaannya dengan berupaya meningkatkan kualitas labanya. Perusahaan besar yang

memberikan informasi laba akan semakin mendapat respon dari pemegang saham jika laporan

keuangan disampaikan secara tepat waktu. Hal ini disebabkan informasi perusahaan besar selama
tahun berjalan akan selalu diikuti oleh investor (sebagai badnews atau goodnews) (Yandyana &

Sudana, 2016). Sesuai dengan teori signaling, semakin besar Firm Size (Ukuran perusahaan)

dengan kata lain semakin besar pula laba yang dihasilkan, sehingga kemungkinan dapat

meningkatkan return saham (Jati et al., 2019). (Dewi & Rahayu, 2018) menyatakan bahwa Firm

Size (Ukuran perusahaan) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Earnings Response

Coefficient (ERC). Hasil yang berbeda ditemukan oleh (Angela & Jamaludin, 2020), (Hartanto &

Wijaya, 2019) yang menyatakan Firm Size (Ukuran perusahaan) berpengaruh negatif signifikan

terhadap Earning Response Coefficient.

Profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaaan dalam menghasilkan laba selama

periode tertentu. Profitabilitas sering digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan modal

suatu perusahaan dengan membandingkan laba dengan modal yang digunakan dalam operasi

perusahaan, sehingga bagi manajemen atau pihak-pihak lain, profitabilitas yang tinggi penting

daripada laba yang tinggi (Jati et al., 2019). Hal ini didasarkan dengan teori signaling dimana

informasi perusahaan memberikan sinyal pada investor dalam keputusan investasinya.

Profitabilitas ini mencerminkan keefektifan perusahaan yang dapat mempengaruhi respon

investor. (Agustina & Si, 2017), (Nurhayati, 2017) dan (Wahyuni & Damayanti, 2020)

Menemukan hasil bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap ERC. Sedangkan

berbanding terbalik dengan hasil penelitian (Dewi & Rahayu, 2018) dan (Sari, 2018) yang

menemukan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh terhadap Earnings Response Coefficient

(ERC).

Firm Growth (Pertumbuhan perusahaan ) mempunyai pengaruh langsung dan positif

terhadap perubahan harga saham (Agustina & Si, 2017). Informasi tentang pertumbuhan

perusahaan akan direspon oleh investor sehingga dapat merubah nilai ERC. Kesempatan
bertumbuh mencerminkan prospek. pertumbuhan perusahaan di masa mendatang, maka dari itu

investor akan menangkap sinyal untuk memberi respon yang lebih tinggi terhadap perusahaan

yang memiliki prospek pertumbuhan yang bagus, dimana ERC-nya tinggi (Jati et al., 2019). Hal

itu sejalan dengan penelitian (Fauzan & Purwanto, 2017) menunjukkan bahwa PBV yang

merupakan proksi dari pertumbuhan perusahaan memiliki pengaruh positif yang signifikan

terhadap ERC. Berbeda dengan (Hartanto & Wijaya, 2019) dan (Angela & Jamaludin, 2020) firm

growth (Pertumbuhan Perusahaan) berpengaruh negatif signifikan terhadap Earnings Response

Coefficient dengan profitabilitas sebagai moderasi.

Corporate Social Responsibility (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) (CSR) menurut

World Business Council for Sustainable Development (WBCSD, 2000) merupakan suatu

komitmen berkelanjutan dalam dunia usaha dengan meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja

dan keluarganya, lingkungan, serta masyarakat luas. CSR ini juga telah diwajibkan untuk

diungkapkan dalam laporan tahunan perseroan terbatas. Keuntungan dari adanya CSR bagi

perusahaan bersifat keuntungan jangka panjang. Perusahaan yang mengungkapkan CSR pada

laporan keuangan yang diterbitkannya memberikan sinyal bagi investor. kegiatan CSR sering

dipersepsikan sebagai buah manis dari perusahaan. Artinya, CSR merepresentatifkan seberapa

besar atau kecil keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha. Selain itu, CSR menjelaskan tipikal

perusahaan dalam menguasai persepsi publik sehingga terjalin suatu timbal balik intrinsik,

misalnya citra positif. (Saragih & Rusdi, 2020) menjelaskan, bahwa secara statistik pertanggung

jawaban sosial perusahaan representatif sederhana dari seberapa kayanya perusahaan. Hal ini

wujud nyata yang dapat dinilai oleh para investor atau pihak berkepentingan, tentunya

perusahaan yang menguntungkan akan selalu menunjukkan bukti nyata, tidak hanya sekedar di

atas kertas. Faktanya, laba besar akan selalu diuji oleh seberapa nyata perusahaan dapat
memberikan keuntungan, khususnya bagi investor, dengan demikian persepsi atas nilai

perusahaan akan meningkat (Earnings Response Coefficient). (Wahyuni & Damayanti, 2020),

(Agustina & Si, 2017) dan (Fauzan & Purwanto, 2017) menemukan bahwa CSR secara parsial

berpengaruh signifikan terhadap ERC. Sedangkan (Sari, 2018) dan (Arif, 2016) menemukan

bahwa CSR tidak berpengaruh terhadap ERC.

LQ45 adalah indeks yang mengukur kinerja harga dari 45 saham yang memiliki likuiditas

tinggi dan kapitalisasi pasar besar serta didukung oleh fundamental perusahaan yang baik. Indeks

LQ45, menggunakan 45 saham yang terpilih berdasarkan likuiditas perdagangan saham dan

disesuaikan setiap periode enam bulan. Indeks LQ45 merupakan indeks perusahaan yang aktif

dalam bursa perdagangan, dengan demikian saham yang terdapat dalam indeks tersebut akan

selalu berubah. Penggantian saham akan dilakukan setiap enam bulan sekali, yaitu pada awal

bulan Februari dan Agustus. Apabila ada saham yang sudah tidak masuk kriteria maka akan

diganti dengan saham lain yang memenuhi syarat

Anda mungkin juga menyukai