Efek Pemberian Cisplatin pada Koklea Rattus Norvegicus yang ditinjau dari Perubahan
Ekspresi VEGF, STAT 1, dan Pemeriksaan OAE
TIM PENGUSUL :
Prof. Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.T.H.T.B.K.L.Subsp.N.O.(K) ; NIDN
0020067901
Dr. dr. Andrina Y. M. Rambe, Sp.T.H.T.B.K.L.Subsp.Rino.(K) ; NIDN 0022067101
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
AGUSTUS 2022
i
DAFTAR ISI
4.3 Analisis Nilai Ekspresi VEGF Pada Setiap Kelompok Perlakuan ...................51
4.5 Analisis Nilai Ekspresi STAT 1 Pada Setiap Kelompok Perlakuan ................53
4.6 Analisis Korelasi Nilai SNR dengan Nilai Ekspresi VEGF Antar
Kelompok Perlakuan .......................................................................................55
4.7 Analisis Korelasi Nilai SNR dengan Nilai Ekspresi STAT 1 Antar
Kelompok Perlakuan .......................................................................................56
6.2 Saran.................................................................................................................70
LAMPIRAN
v
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Nilai Rerata SNR Pada Setiap Kelompok Perlakuan. ....................49
Tabel 4.11 Hasil Korelasi Pearson antara nilai SNR dengan ekspresi
VEGF pada kelompok 2. ................................................................55
vi
Tabel 4.12 Hasil Korelasi Pearson antara nilai SNR dengan ekspresi
VEGF pada kelompok 3. ................................................................56
Tabel 4.13 Hasil Korelasi Pearson antara nilai SNR dengan ekspresi
VEGF pada kelompok 4. ................................................................56
Tabel 4.15 Hasil Korelasi Pearson antara nilai SNR dengan ekspresi
STAT 1 pada kelompok 2...............................................................57
Tabel 4.16 Hasil Korelasi Pearson antara nilai SNR dengan ekspresi
STAT 1 pada kelompok 3...............................................................57
Tabel 4.17 Hasil Korelasi Pearson antara nilai SNR dengan ekspresi
STAT 1 pada kelompok 4...............................................................58
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.6 Sel Rambut Dalam dan Sel Rambut Luar. ......................................10
Gambar 2.7 Sel Rambut Luar dan Dalam Dilihat dengan Mikroskop
Elektron .................................................................................11
DAFTAR SINGKATAN
CAT : Catalase
KCNQ4 : K+tension-dependent
NO : Nitric Oxide
COX-2 : Cyclooxygenase 2
ix
BAB I
PENDAHULUAN
sensorineural. Lebih dari 50 persen pasien yang mendapatkan cisplatin dengan dosis
>400 mg/m2 mengalami gangguan pendengaran permanen. Pemberian cisplatin
dengan dosis 200 hingga 800 mg/m2 dengan rerata 400 mg/m2 secara signifikan
menyebabkan gangguan pendengaran pada frekuensi 4,6,8,10,12 kHz. Pada setiap
penambahan 100 mg/m2 dijumpai peningkatan ambang dengar sebanyak 3,2 dB
(Mukherjea et al, 2008; Frisina et al, 2016).
Pada uji dengan hewan coba secara in vitro didapati bahwa cisplatin
berinteraksi dengan jaringan koklea seperti sel rambut luar pada organ korti, stria
vaskularis, ligamen spiralis, dan sel ganglionik spiralis yang menghasilkan ROS
(Reactive Oxygen Species.) Disaat yang sama terjadi deplesi pada sistem enzim
antioksidan seperti superoxide dismutase (SOD), catalase (CAT), glutathion
peroksidase (GSH-Px) dan glutathion reductase (GSH-R) yang dapat mencegah
terjadinya kerusakan pada koklea. Karena struktur anatomi koklea yang unik dan
tertutup menyebabkan toksin tidak dapat keluar, hal ini menyebabkan jumlah ROS
yang berlebihan dikombinasikan dengan menurunnya sistem antioksidan yang
akhirnya menyebabkan cedera sel dan apoptosis (Rybak et al, 2009).
Sumber utama dari ROS yang pernah diidentifikasi pada koklea hewan coba
merupakan isoform dari NADPH dan NOX3. Kedua enzim ini diaktivasi dan
diinduksi oleh penggunaan cisplatin pada model tikus dalam 24 jam setelah
pemberian cisplatin. Kejadian ini dihasilkan oleh bekerjanya reseptor transient
receptor potential vanilloid (TRPV1). Aktivasi TRPV1 menyebabkan toksisitas
ekspresi berlebihan dari ion Ca2+ yang menyebabkan aktivasi caspase,
mengakibatkan terjadinya inflamasi dan kematian sel (Mukherjea et al, 2008).
Ekspresi autokrin maupun parakrin VEGF ditemukan pada sel endotel pada
keadaan hipoksia maupun stres oksidatif. Pada berbagai jenis sel, ekspresi VEGF
distimulasi oleh berbagai macam faktor seperti hipoksia, sinar UV, ROS maupun
trauma mekanik. Bukti terbaru menunjukkan bahwa hipoksia, ROS, dan fibroblast
growth factor-2 dapat merangsang sel endotel untuk memproduksi VEGF (Castilla et
al, 2000).
3
karena OAE merupakan respon akustik yang dihasilkan oleh sel rambut luar koklea
(Paken et al, 2009; Yu et al, 2014; Delehaye et al, 2008).
Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana cisplatin
menyebabkan gangguan pendengaran tipe sensorineural dengan menggunakan Rattus
norvegicus. Pemeriksaan dilakukan pada sel rambut luar koklea yang dinilai dengan
menggunakan OAE dan histopatologi organ korti yang dinilai berdasarkan ekspresi
VEGF dan STAT 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Duktus koklearis yang juga disebut membran koklea atau skala media adalah
tabung melingkar dengan segitiga pada penampang dan tiga dinding yang dibentuk
oleh:
a. Membran basilaris yang mendukung organ korti, memisahkan duktus koklearis
dengan skala timpani.
7
Ada dua cairan utama dalam telinga bagian dalam, perilimfe dan endolimfe.
Perilimfe menyerupai cairan ekstraseluler dan kaya ion Na. Mengisi ruang antara
tulang dan labirin membran berhubungan dengan CSF melalui saluran air koklea
yang menghubungkan ke skala timpani dekat round window. Faktanya saluran ini
tidak berhubungan langsung tetapi berisi jaringan ikat yang menyerupai arachnoid.
Ada dua pandangan mengenai pembentukan dari perilymph: (1) Perilimfe adalah
filtrasi serum darah dan dibentuk oleh kapiler ligamen spiralis dan (2) perilimfe
adalah kelanjutan langsung dari CSF dan mencapai labirin melalui saluran air koklea
(Dhingra, 2010).
Cairan endolimfe adalah cairan yang memiliki komposisi ion yang hampir sama
dengan cairan intraseluler dan mengisi membran auditorius dan labirin vestibularis.
Endolimfe dibentuk oleh sel sel sekret pada stria vaskularis dan oleh sel sel gelap
8
di dekat akhir dari krista ampularis pada duktus semisirkularis dan dinding utrikulus.
Endolimfe diabsorpsi pada sakus endolimfatikus. Komposisi cairan ini adalah tinggi
kalium (K+) dan rendah natrium (Na +) (Dhingra, 2010).
Membran vestibularis (Reissner) terdiri dari 2 lapis epitel gepeng, satu berasal dari
duktus koklearis dan yang lain dari pelapis skala vestibuli. Lapisan kedua sel-sel
saling bertautan oleh ikatan kuat yang ikut memelihara gradien ion yang sangat tinggi
melalui membran ini (Gacek, 2009).
Organ Corti merupakan rumah dari sel sensoris pendengaran. Organ Corti terletak
di sepanjang membran basilaris, dan menonjol dari basis ke apeks koklea. Ukuran
organ Corti bervariasi secara bertahap dari basis koklea ke apeks koklea. Organ Corti
di basal lebih kecil sedangkan organ Corti di apeks koklea lebih besar (Guyton et al,
2006). Organ Corti terdapat sel-sel yang terdiri dari sel sensoris (sel rambut dalam
dan sel rambut luar), sel pendukung (sel Deiters, sel Phalangeal dalam), ujung saraf
aferen (ganglion spiral tipe 1 dan 2) dan eferen (olivokoklear medial dan lateral), sel
pilar dalam dan luar dan sel Hensen (Moller, 2003; Guyton et al, 2006).
9
Stria vaskularis adalah epitel bervaskular khusus yang terletak pada dinding lateral
duktus koklearis yang terdiri dari 3 jenis sel: marginal, intermediet, dan basal. Sel
marginal memiliki banyak lipatan ke dalam pada membran plasma basal, dan banyak
terdapat mitokondria. Ciri ini menunjukkan bahwa sel marginal adalah sel
pentransport ion dan air, dan biasanya sel-sel ini berfungsi memberikan komposisi
ion yang khas dari endolimfe (Gacek, 2009).
Sel rambut merupakan sel sensoris yang menghasilkan impuls saraf dalam
menanggapi getaran membran basilaris. Di organ Corti terdapat 1 deret sel rambut
dalam dan 3 deret sel rambut luar. Ada sekitar 4.000 sel rambut dalam dan 12.000 sel
rambut luar (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006). Bentuk dari sel rambut dalam
seperti botol dan ujung sarafnya berbentuk piala yang menyelubunginya, sedangkan
bentuk dari sel rambut luar seperti silinder dan ujung sarafnya hanya pada basis sel
(Moller, 2003; Pawlowsky, 2004).
Badan sel dari kedua sel rambut ini berisikan banyak vesikula dan mitokondria
dan di dinding lateralnya terdapat semacam protein membran yang dikenal sebagai
prestin sebagai motor sel. Selain itu pada bahan sel rambut luar terdapat reticulum
endoplasma yang terorganisasi dan khusus di sepanjang dinding lateralnya yaitu
apical cistern, Hensen body, subsurface cistern dan subsynaptic cistern (Moller,
2003; Gillespie, 2006; Probst et al, 2006).
Gambar 2.6 Sel Rambut Dalam dan Sel Rambut Luar (Gillespie, 2006)
Sel rambut dalam dan luar ini memegang peranan penting pada perubahan energi
mekanik menjadi energi listrik. Fungsi sel rambut dalam sebagai mekanoreseptor
utama yang mengirimkan sinyal saraf ke neuron pendengaran ganglion spiral dan
pusat pendengaran, sedangkan fungsi sel rambut luar adalah meningkatkan atau
11
Gambar 2.7 Sel Rambut Luar dan Dalam Dilihat dengan Mikroskop
Elektron (Pawlowsky, 2004)
Telinga bagian dalam memperoleh perdarahan dari arteri auditori interna (arteri
labirintin) yang berasal dari arteri serebeli inferior anterior atau langsung dari arteri
basilaris yang merupakan end artery (terminal artery) dan tidak mempunyai
pembuluh darah anastomosis. Setelah memasuki meatus akustikus internus, arteri ini
bercabang 3 yaitu: 1. Arteri vestibularis anterior yang nantinya mendarahi makula
utrikuli, sebagian makula sakuli, krista ampularis, kanalis semisirkularis superior dan
lateral serta sebagian dari utrikulus dan sakulus. 2. Arteri vestibulokoklearis,
12
rambut luar akan memendek sehingga timbul proses depolarisasi. Sel rambut dalam
terhubung dengan saraf aferen dan saat proses depolarisasi berlangsung, glutamat
akan dilepaskan dan sinyal auditorik yang akan menimbulkan potensial aksi pada
saraf auditorius, lalu ditransmisikan ke nukleus auditorius sampai ke korteks
pendengaran (Moller, 2003; Puel et al, 2007).
dan sepenuhnya diproduksi oleh sel rambut luar (Moller, 2003; Guyton et al, 2006;
Puel et al, 2007; Beurg et al, 2008).
Saraf-saraf pendengaran merespon neurotransmitter dengan menghasilkan
potensial aksi, lonjakan arus listrik merambat dan diteruskan dari serabut saraf
koklearis menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut inti
melintasi garis tengah dan berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral,
namun sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya pada inti
lemnikus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior jaras pendengaran
berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks pendengaran pada lobus
temporalis dalam sekian detik dan diterjemahkan oleh otak, sehingga kita dapat
mendengar (Gillespie, 2006; Puel et al, 2007; Gacek, 2016).
2.3 Cisplatin
Cisplatin ditemukan secara tidak sengaja oleh Dr. Barnet Rosenberg pada tahun
1960 ketika sedang mempelajari pertumbuhan Escherichia coli. Saat pertama kali
ditemukan cisplatin dianggap memiliki efek antibakterial, namun secara tidak sengaja
Rosenberg juga menemukan efek antineoplastik pada cisplatin. Hingga saat ini
cisplatin digunakan secara luas sebagai anti neoplasma pada berbagai keganasan,
seperti tulang, jaringan ikat, otot, otak, saraf, kepala dan leher, paru, kandung kemih,
ginjal, kelenjar adrenaal, jaringan limfe, hati, dan orga reproduksi. Meskipun cisplatin
efektif untuk penatalaksanaan tumor ganas, penggunaan kemoterapi berbasis
platinum ini memiliki banyak efek samping berupa toksisitas organ. Cisplatin dapat
menyebabkan gangguan seperti nefrotoksik, mual, muntah, reaksi hipersensitivitas,
supresi sum-sum tulang belakang, neurotoksik, dan ototoksik. Gangguan
pendengaran merupakan masalah besar yang masih berkaitan dengan toksisitas
cisplatin (Peleva, 2012).
Struktur molekuler cisplatin mengandung atom sentral platinum yang dikelilingi
oleh 2 atom klorin dan 2 kelompok amonia pada konfigurasi cis. Derivat cisplatin
memiliki ion pusat dan konfigurasi cis yang sama (Peleva, 2012).
16
hewan coba adalah dosis yang kumulatif. Insidensi ototoksisitas cisplatin pada
manusia meningkat dengan dosis kumulatif melebihi 400mg/m 2 (Peleva, 2012).
Usia juga merupakan faktor penting dalam kejadian ototoksisitas cisplatin.
Anak berusia dibawah 5 tahun dan pasien usia tua akan lebih rentan dibandingkan
pasien dewasa musa. Pemberian cisplatin bersamaan dengan vinkristin, antidiuretik,
dan antibiotik golongan aminoglikosida juga berhubungan erat dengan peningkatan
risiko kejadian ototoksisitas cisplatin (Peleva, 2012).
Pajanan bising yang berlebihan selama kemoterapi, maupun sesudahnya juga
dapat meningkatkan ototoksisitas cisplatin. Oleh karena itu konseling pasien
mengenai bahaya bising dan penggunaan alat pelindung diri dapat mengurangi
kejadian ototoksisitas cisplatin (Peleva, 2012).
Faktor risiko lainnya meliputi gangguan pendengaran yang sudah ada
sebelumnya, gangguan ginjal, anemia, nutrisi yang buruk, hipoalbumin, dan riwayat
penggunaan radiasi pada kepala dan leher. Faktor genetik juga diduga memiliki
peranan dalam meningkatkan faktor risiko kejadian ototoksisitas cisplatin (Peleva,
2012).
obat yang panjang dapat menyebabkan kerusakan sel rambut yang lebih progresif
hingga mengenai sel rambut dalam dan bagian apikal dari koklea. Jika mengenai
bagian ini, maka penderita akan mengalami gangguan pendengaran pada frekuensi
yang lebih rendah. Beberapa penelitian menyebutkan adanya perbaikan pada sel
rambut luar dan fungsi auditori pada hewan coba, namun sampai saat ini belum
dijumpai penelitian yang menyebutkan perbaikan pada manusia (Peleva, 2012).
Sama seperti organ korti, kerusakan pada stria vaskularis juga bergantung pada
dosis yang digunakan. Seluruh sel pada stria vaskularis akan mengalami kerusakan
akibat ototoksisitas cispatin, terutama pada sel marginal. Kerusakan yang pernah
ditemukan pada stria vaskularis akibat ototoksisitas cisplatin antara lain protrusi sel
marginal menuju rongga endolimfatik, degenerasi kistik, pembengkakan pada sel
marginal, vakuolasi sitoplasma, atrofi sel intermedia, dan kolapsnya membran
Reissner (Peleva, 2012).
Stria vaskularis berperan dalam pembentukan potensial endokoklea. Kerusakan
stria vaskularis akibat cisplatin akan mempengaruhi potensial endokoklea. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya penurunan potensial endokoklea beberapa saat
setelah pemberian cisplatin. Malfungsi dari stria vaskularis juga dapat menyebabkan
terbentuknya endolymphatic hydrops (Peleva, 2012).
Cisplatin juga dapat merusak sistem saraf perifer, yang mengakibatkan
neuropati perifer. Kerusakan pada ganglion spiralis dapat terjadi pada ototoksisitas
cisplatin akibat pembengkakan mitokondria dan vakuolisasi dari sitoplasma.
Penyusutan sel dan nukleus, perlengketan selubung myelin pada ganglion spiralis,
kematian sel neuron, dan degenerasi dari ganglion spiralis juga dijumpai pada
ototoksisitas cisplatin. Dijumpai adanya peningkatan rasio bax/bcl-2 pada ganglion
spiralis. Hal ini menunjukkan bahwa cisplatin dapat mempengaruhi jalur apoptosis
sel (Peleva, 2012).
dijelaskan sebelumnya, kerusakan akibat cisplatin dimulai pada basis koklea yang
menyebabkan gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi, dengan pajanan yang
terus menurus dan dosis yang kumulatif dapat menyebabkan kerusakan pada
frekuensi yang lebih rendah bahkan pada frekuensi percakapan normal (Peleva,
2012).
Ototoksisitas cisplatin diyakini terjadi akibat beberapa jalur diantaranya
peningkatan produksi ROS, inhibisi antioksidan, peroksidase lemak, pembentukan
produk sampingan DNA, dan aktivasi sitokin proinflamasi (Peleva, 2012).
ROS dibentuk pada sel pada metabolisme seluler fisiologis, namun cisplatin
dapat menyebabkan overproduksi dari ROS (misalnya anion superoksida) yang akan
merangsang kaskade molekuler yang akan mengakibatkan apoptosis dan gangguan
pendengaran (Peleva, 2012).
Cisplatin akan menyebabkan deplesi pada glutation dan enzim antioksidan
seperti superoxide dismutase, catalase, glutathion peroxidase, dan glutathion
reductase. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya peroksidasi lemak. Deplesi dari
glutation dan enzim antioksidan dapat disebabkan oleh: 1) ikatan langsung cisplatin
pada enzim; 2) deplesi dari prekursor enzim; 3) cisplatin yang menyebabkan
overproduksi ROS dan peroksida organik yang dapat menginaktivasi enzim. Deplesi
dari enzim antioksidan dapat menyebabkan akumulasi ROS dan peroksidasi lemak
pada koklea. Hal ini mengakibatkan masuknya kalsium kedalam sel koklea yang akan
mengaktivasi jalur apoptosis (Peleva, 2012).
ROS dan molekul radikal bebas lainnya akan berinteraksi dengan membran
fosfolipid dari sel sensori pada sistem auditori yang akan menyebabkan peroksidasi
lemak. Salah satu produk hasil peroksidasi lemak adalah 4-hidroksinoneal yang
merupakan mediator apoptosis pada neuron auditori dan sel rambut (Peleva, 2012).
ROS juga dapat mengaktifkan bax yang nantinya bertranslokasi dari sitosol
menuju mitokondria. Translokasi ini akan menyebabkan pengeluaran sitokrom c
menuju sitosol dan akan mengaktifkan caspase-3 dan caspase-9 yang juga akan
menyebabkan apoptosis sel (Peleva, 2012).
22
NOX-3 merupakan isoform dari NADPH oksidase yang pada keadaan normal
akan memproduksi ROS pada koklea dalam jumlah sedikit. Pemberian cisplatin dapat
meningkatkan regulasi NOX-3 pada koklea. NOX-3 berperan dalam meningkatkan
produksi superoksida. Radikal superoksida dapat menyebabkan formasi dari hidrogen
peroksida yang akan dikatalis oleh zat besi membentuk radikal bebas hidroksil yang
sangat reaktif. Radikal bebas ini nantinya akan berikatan dengan polyunsaturated
fatty acid pada membran sel dan akan menghasilkan aldehid yang sangat toksik.
Superoksida akan berinteraksi dengan nitric oxide (NO) dan membentuk peroksinitrit.
Peroksinitrit akan berinteraksi dengan protein membentuk nitrotirosin (Peleva, 2012).
ROS juga akan menghasilkan signal transducer and activator of transcription
1 (STAT 1) yang akan menginduksi terjadinya proses inflamasi. STAT 1 merupakan
regulator kematian sel yang diyakini terlibat dalam mekanisme cisplatin
menyebabkan kerusakan sel rambut. Aktivasi STAT 1 juga berhubungan dengan
teraktivasinya enzim p53 yang mengakibatkan terjadinya apoptosis dari sel koklea
(Sheth et al, 2017; Levano et al,2015).
Reactive nitrogen species seperti NO juga berperan pada ototoksisitas cisplatin.
Pada stria vaskularis, administrasi cisplatin akan menyebabkan iNOS memproduksi
NO. NO berperan dalam merangsang terjadinya apoptosis pada sel (Peleva, 2012).
Penelitian in vitro dan in vivo pada hewan coba menunjukkan sitokin
proinflamasi juga berperan penting dalam mekanisme ototoksisitas cisplatin. Aktivasi
dari extracellular regulated kinase (ERK) dan nuclear factor kB (NFkB) dapat
menyebabkan peningkatan sitokin inflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF-
interleukin (IL)-1b, dan IL-6 (Peleva, 2012).
Stimulasi sitokin proinflamasi seperti TNF-
mediator inflamasi lainnya seperti VEGF. Mediator inflamasi ini akan meningkatkan
infiltrasi dari sel inflamasi, yang nantinya akan memperpanjang pajanan respon
inflamasi yang mengakibatkan kerusakan sel fibrosit dan malfungsi koklea terutama
pada sel rambut luar (Kaur et al, 2016; Kim et al, 2008).
Terjadinya apoptosis juga dapat diakibatkan oleh aktivasi kanal potasium pada
fibrosit ligamen spiralis. Hal ini akan mengakibatkan keluarnya ion potasium yang
23
Nilai SNR adalah rasio kekuatan sinyal terhadap daya bising dan dinyatakan
dalam desibel. SNR digunakan untuk menunjukkan perbedaan antara emisi OAE
yang diukur dengan tingkat kebisingan sebagai latar belakang (Nassiri et al, 2016).
Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara memasukkan probe ke dalam liang
telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras suara
(loudspeaker) yang berfungsi memberikan stimulus suara. Mikrofon berfungsi
menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah pemberian stimulus. Sumbat telinga
dihubungkan dengan komputer untuk mencatat respon yang timbul dari koklea (Hall,
2009).
Cara kerja alat ini dengan memberikan stimulus bunyi yang masuk ke liang
telinga melalui insert probe, dengan bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip)
yang ukurannya dapat dipilih sesuai besarnya liang telinga, menggetarkan gendang
telinga, selanjutnya melalui telinga tengah akan mencapai koklea. Saat stimulus bunyi
mencapai sel-sel rambut luar koklea yang sehat, sel-sel rambut luar akan memberikan
respon dengan memancarkan emisi akustik yang akan dipantulkan ke arah luar (echo)
menuju telinga tengah dan liang telinga. Emisi akustik yang tiba di liang telinga akan
direkam oleh mikrofon mini yang juga berada dalam insert probe, selanjutnya
diproses oleh mesin OAE sehingga hasilnya dapat ditampilkan pada layar monitor
mesin OAE (Hall, 2009; Rundjan, 2005).
Pemeriksaan OAE cukup sensitif untuk mengetahui adanya disfungsi pada
sel-sel rambut luar pada koklea. Pemeriksaan OAE juga cukup efektif sebagai alat
skrining karena selain sensitif pemeriksaan ini juga cukup murah. OAE merupakan
skrining pendengaran secara obyektif, namun tidak dapat memberikan informasi
tentang derajat gangguan pendengaran seorang bayi atau anak (Hall, 2009; Ghanie,
2013).
26
Gambar 2.11 Ilustrasi skematik terbentuknya DPOAE dari sel rambut luar koklea
(Hall et al, 2014)
Dewasa
deteksi dini pada disfungsi koklea
Monitoring status koklea pada ototoksisitas
Membedakan disfungsi koklea dengan retrokoklea
Penilaian gangguan pendengaran nonorganik
Menilai disfungsi koklea pada pasien dengan tinitus
dan angiogenesis pada sel endotel. Penelitian selanjutnya menemukan VEGF juga
berperan pada migrasi dan invasi endotel ke membran basal, proliferasi, survival dan
pembentukan fenetrasi. Ekspresi VEGF pada masa embrio sangat penting untuk
pembentukan pembuluh darah. Ekspresi VEGF pada orang dewasa terjadi pada
penyembuhan luka, regenerasi tulang, respon otot terhadap latihan, siklus reproduksi
uterus, ovarium, dan payudara. Vascular endothelial growth factor (VEGF)
merupakan stimulator sel endotel spesifik yang berperan penting dalam regulasi
pertumbuhan pembuluh darah (Maharaj et al, 2007).
VEGF bekerja dengan mengikat dua reseptor tirosin kinase yakni VEGF
receptor-1 (VEGFR-1 atau Flt-1) dan VEGF receptor-2 (VEGFR-2 atau KDR atau
Flk-1). Beberapa penelitian menunjukkan jalur signaling VEGF berhubungan dengan
fisiologi dan patofisiologi koklea (Piciotti et al, 2006).
VEGF diekspresikan pada sel perisit dan stroma vaskular seperti pada retina,
otak, testis, jantung, otot, glomerulus, hati, maupun pleksus koroidalis. (Maharaj et
al, 2007).
Pada pasien presbaskusis dan usia tua dijumpai ekspresi VEGF yang menurun
pada pewarnaan imunohistokimia, sedangkan dengan pajanan bising ekspresi VEGF
pada koklea mengalami peningkatan. Peningkatan VEGF dapat dipicu oleh adanya
pajanan radikal bebas. Oleh karena adanya iskemi pada organ akan menyebabkan
peningkatan ekspresi VEGF pada koklea (Piciotti et al, 2004; Piciotti et al, 2005).
Ekspresi autokrin maupun parakrin VEGF ditemukan pada sel endotel pada
keadaan hipoksia maupun stres oksidatif. Pada berbagai jenis sel, ekspresi VEGF
distimulasi oleh berbagai macam faktor seperti hipoksia, sinar UV, ROS maupun
trauma mekanik. Bukti terbaru menunjukkan bahwa hipoksia, ROS, dan fibroblast
growth factor-2 dapat merangsang sel endotel untuk memproduksi VEGF (Castilla et
al, 2000).
ekspresi berbagai gen proinflamasi. Respon inflamasi merupakan salah satu efek
akibat ototoksisitas (Bodmer et al, 2020).
STAT 1 adalah faktor transkripsi sitoplasma yang berhubungan dengan kaskade
signal yang diinisiasi oleh sitokin dan stres selular. Signal ini menyebabkan
fosforilasi STAT pada sitoplasma. STAT 1 kemudian berpindah menuju nukleus,
dimana STAT 1 meregulasi gen yang berhubungan dengan inflamasi seperti iNOS,
siklooksigenase-2 (COX-2) dan TNF-
seperti Fas, TNF-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL) dan kaspase. STAT 1
juga berperan dalam terjadinya apoptosis sel dengan menginduksi p53 yang
merupakan mediator penting dalam proses apoptosis (Bodmer et al, 2020).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa STAT 1 berperan dalam proses
inflamasi pada telinga dalam yang akhirnya akan menyebabkan gangguan
pendengaran. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa produksi ROS berperan dalam
proses infamasi dan apoptosis yang nantinya akan menyebabkan gangguan
pendengaran dengan mengaktivasi signal dan transkripsi dari STAT 1 (Bodmer et al,
2020).
Penggunaan kemoterapi dengan regimen cisplatin dapat meningkatkan apoptosis
jaringan koklea. STAT 1 merupakan regulator penting baik secara in vitro maupun in
vivo dalam mekanisme cisplatin menyebabkan apoptosis jaringan koklea dengan
mengaktifkan jalur apoptosis secara langsung (Kaur et al, 2016).
STAT 1 diaktifkan oleh cisplatin melalui pembentukan ROS yang diinduksi oleh
NOX3 NADPH oksidase. Aktivasi STAT 1 juga dapat mengaktivasi TRPV1 di
koklea. TRPV1 berperan dalam masuknya cisplatin ke dalam sel koklea. Cisplatin
juga meningkatkan translokasi dari STAT 1 ke mitokondria dan memicu terjadinya
proses inflamasi dan apoptosis (Kaur et al, 2011; Kaur et al, 2016).
29
Cisplatin
Peroksidase lipid
STAT 1
Peningkatan ambang
Gangguan pendengaran
dengar
dan malfungsi koklea terutama pada sel rambut luar (Kaur et al, 2016; Kim et al,
2008).
ROS juga akan menghasilkan signal transducer and activator of transcription
1 (STAT 1) yang akan menginduksi terjadinya proses inflamasi. STAT 1 merupakan
regulator kematian sel yang diyakini terlibat dalam mekanisme cisplatin
menyebabkan kerusakan sel rambut. Aktivasi STAT 1 juga berhubungan dengan
teraktivasinya enzim p53 yang mengakibatkan terjadinya apoptosis dari sel koklea
(Sheth et al, 2017; Levano et al, 2015).
ROS juga dapat mengaktifkan bax yang nantinya bertranslokasi dari sitosol
menuju mitokondria. Translokasi ini akan menyebabkan pengeluaran sitokrom c
menuju sitosol dan akan mengaktifkan caspase-3 dan caspase-9 yang juga akan
menyebabkan apoptosis sel (Peleva, 2012).
Cisplatin memiiki 3 target organ utama pada koklea, yakni organ korti (terutama
pada sel rambut luar), ganglion spiralis, dan stria vaskularis. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, kerusakan akibat cisplatin dimulai pada basis koklea yang
menyebabkan gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi, dengan pajanan yang
terus menurus dan dosis yang kumulatif dapat menyebabkan kerusakan pada
frekuensi yang lebih rendah bahkan pada frekuensi percakapan normal (Peleva,
2012).
Pemeriksaan OAE cukup sensitif untuk mengetahui adanya disfungsi pada
sel-sel rambut luar pada koklea. Pemeriksaan OAE juga cukup efektif sebagai alat
skrining karena selain sensitif pemeriksaan ini juga cukup murah (Hall, 2009;
Ghanie, 2013).
32
Stres oksidatif
Aktivasi NOX-3
ROS
TNF-
STAT 1 VEGF
P53
= sel rambut
Apoptosis
= Inti sel
= Menginduksi,
Menyebabkan Kematian sel rambut
OAE
= Variabel yang diteliti
Penurunan nilai SNR
BAB III
METODE PENELITIAN
3.4 Sampel
Sampel penelitian ini adalah tikus Rattus norvegicus galur Wistar, jenis kelamin
jantan dengan kondisi sehat, berumur dewasa (2-3 bulan) dengan berat badan 200-
250 mg.
Sampel penelitian ini menggunakan tikus dengan galur populasi yang sama,
homogen dalam jenis kelamin dan umur. Sampel merupakan hasil pembiakan di
Animal House FMIPA USU.
(k-1) (r-
Keterangan:
r = jumlah ulangan
Perhitungan:
evaluasi klinis dan dikondisikan dalam lingkungan yang sesuai (selama 14x24 jam)
untuk meyakinkan bahwa hewan tersebut tidak berpenyakit atau tidak berpotensi
menularkan penyakit.
Sebelum mendapatkan perlakuan penelitian, dilakukan skrining pada hewan
coba dengan kriteria:
1. Kriteria inklusi:
a. Tikus berusia 2-3 bulan, jenis kelamin jantan dan berat badan 200-350 gram.
b. pass)
2. Kriteria eksklusi:
a. Hewan dinyatakan berpenyakit baik penyakit menular atupun tidak menular
serta cedera fisik dan berpotensi menularkan penyakit dalam kurun waktu
evaluasi klinis di dalam kondisi lingkungan yang sesuai (14x24 jam)
b. Hewan terdeteksi memiliki kelainan bawaan
c. Hewan berperilaku agresif, dalam pengamatan sering menyerang anggota
kelompok lain
d. Hasil pemeriksaan OAE sebelum perlakuan dimana SNR < 6 dB
Berdasarkan rumus diatas, maka besar sampel pada penelitian ini adalah 27
ekor, dan diambil secara acak untuk tiap kelompok perlakuan. Sampel akan dibagi
menjadi 3 kelompok perlakuan dengan pembagian sebagai berikut:
39
P1 (Kontrol) K1 (Kelompok 1)
P3 (Perlakuan 2) K3 (Kelompok 3)
P4 (Perlakuan 3) K4 (Kelompok 4)
tunggal. Juga oleh penelitian yang dilakukan Somdas (2020), yang melakukan
penyuntikan dosis tunggal cisplatin, dijumpai ototoksistas yang dinilai pada hari
ke-7.
b. Nilai SNR: rasio kekuatan sinyal terhadap daya bising dan dinyatakan dalam
desibel. SNR digunakan untuk menunjukkan perbedaan antara emisi OAE yang
diukur dengan tingkat kebisingan sebagai latar belakang (Nassiri et al, 2016).
c. Ekspresi STAT 1: diidentifikasi dengan pengecatan imunohistokimia yang
memperlihatkan sel organ korti berinti tunggal berwarna cokelat pada sitoplasma
jaringan koklea tiap kelompok di bawah mikroskop cahaya yang dilengkapi
mikrometer okuler dengan pembesaran 40x oleh 2 orang pemeriksa, yaitu
peneliti dan pemeriksa ahli (dokter spesialis Patologi Anatomi) untuk kemudian
dilakukan penghitungan skor imunoreaktif. Skor imunoreaktif diperoleh dengan
mengalikan skor luas dengan skor intensitas. Distribusi sel yang terpulas warna
coklat dibagi menjadi 4 kategori yaitu : 0= tidak ada sel yang terpulas warna
coklat, 1= <10% sel yang terpulas warna coklat, 2 = 11-50% sel yang terpulas
warna coklat, 3= 51-80% sel yang terpulas warna coklat dan 4= >80% sel yang
terpulas warna coklat, kemudian dilakukan penilaian intensitas dengan
kategori,yaitu ; 0= tidak terpulas, 1= intensitas lemah, 2= intensitas sedang, 3=
intensitas kuat. Hasil perhitungan akan menunjukkan skor minimal 0 dan skor
maksimal 12 (Czogalla et al, 2018). Dalam penelitian ini digunakan
antibodipolikolonal primer anti STAT-1 (Elabscience, USA)
d. Ekspresi VEGF: diidentifikasi dengan pengecatan imunohistokimia yang
memperlihatkan sel organ korti berinti tunggal berwarna cokelat pada
sitoplasma jaringan koklea tiap kelompok di bawah mikroskop cahaya yang
dilengkapi mikrometer okuler dengan pembesaran 40x oleh 2 orang pemeriksa,
yaitu peneliti dan pemeriksa ahli (dokter spesialis Patologi Anatomi) untuk
kemudian dilakukan penghitungan skor imunoreaktif. Skor imunoreaktif
diperoleh dengan mengalikan skor luas dengan skor intensitas. Distribusi sel
yang terpulas warna coklat dibagi menjadi 4 kategori yaitu : 0= tidak ada sel
yang terpulas warna coklat, 1= <10% sel yang terpulas warna coklat, 2 = 11-
41
50% sel yang terpulas warna coklat, 3= 51-80% sel yang terpulas warna coklat
dan 4= >80% sel yang terpulas warna coklat, kemudian dilakukan
penilaian intensitas dengan kategori,yaitu ; 0= tidak terpulas, 1= intensitas
lemah, 2= intensitas sedang, 3= intensitas kuat. Hasil
perhitungan akan menunjukkan skor minimal 0 dan skor maksimal
12 (Czogalla et al, 2018). Dalam penelitian ini digunakan antibodipolikolonal
primer anti VEGF (Elabscience, USA)
5. Pemeriksaan dan perhitungan sel dilakukan pada setiap slide pada bidang
pandang di organ korti koklea yaitu daerah yang ditandai dengan adanya
ekspresi VEGF dan STAT 1 dengan pembesaran 40x
6. Hasil perhitungan sel sesuai dengan slide yang diperiksa ditulis di lembar kerja
pada kotak yang sesuai dan hasil akhirnya dijumlahkan.
7. Imuno ekspesi VEGF dan STAT 1 adalah ekspresi organ korti koklea Rattus
norvegicus yang terwarnai coklat setelah dilakukan pulasan imunohistokimia
dengan menggunakan antibodi. Penilaian ekspresi dilakukan dengan menilai
distribusi dan intensitas pulasan imunohistokimia tersebut. Penilaian distribusi
dilakukan dengan cara menghitung jumlah persentase sel yang terpulas coklat
pada seluruh lapangan pandang mikroskop dengan menggunakan pembesaran
40x. Dimana untuk menilai ekspresi VEGF dan STAT 1 digunakan rumus IRS
(Immunoreactive Score) dengan cara mengalikan
persentase sel yang terpulas warna coklat dengan intensitas
pulasan. Distribusi sel yang terpulas warna coklat dibagi menjadi 4
kategori yaitu: 0= tidak ada sel yang terpulas warna coklat, 1=
<10% sel yang terpulas warna coklat, 2 = 11-50% sel yang terpulas
warna coklat, 3= 51-80% sel yang terpulas warna coklat dan 4=
>80% sel yang terpulas warna coklat, kemudian dilakukan
penilaian intensitas dengan kategori,yaitu ; 0= tidak terpulas, 1=
intensitas lemah, 2= intensitas sedang, 3= intensitas kuat. Hasil
perhitungan akan menunjukkan skor minimal 0 dan skor maksimal
12 (Czogalla et al, 2018).
8. Analisis statistik dilakukan bila semua hasil sudah dikembalikan ke nomor
kode.
47
Populasi Hewan
Adaptasi 14 hari
Randomisasi
Pemeriksaan
OAE 3 hari Pemeriksaan
pasca perlakuan OAE 4 hari Pemeriksaan
pasca perlakuan OAE 7 hari
dan terminasi
dan terminasi pasca
perlakuan dan
terminasi
Tabulasi data
Ekspresi VEGF dan STAT 1
Analisis data
Pembuatan laporan
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Analisis Nilai SNR Pemeriksaan OAE Pada Setiap Kelompok Perlakuan
Dilakukan Pemeriksaan OAE pada masing-masing sampel pada tiap
kelompok. Nilai rerata masing-masing kelompok kemudian ditabulasi menjadi tabel
distribusi sebagai berikut (Tabel 4.1).
Pada Tabel 4.1 dijumpai nilai SNR yang semakin menurun seiring dengan
lamanya pajanan Cisplatin. Pada kelompok kontrol (Kelompok 1) dijumpai nilai SNR
16.84 (pass) sedangkan nilai SNR terendah dijumpai pada kelompok hari ke-7
(Kelompok 4) yakni 1.44 (refer).
Setelah dilakukan penilaian distribusi rerata nilai SNR, maka untuk menilai
perbedaan masing-masing kelompok dilakukan uji ANOVA oleh karena data
berdistribusi normal.
Tabel 4.3 Hasil Uji Post-Hoc Bonferonni Nilai SNR Antar Kelompok Perlakuan
Kelompok n Nilai p
SNR Kelompok 1 Kelompok 2 6 ,000*
Kelompok 3 6 ,000*
Kelompok 4 6 ,000*
Kelompok 2 Kelompok 3 6 ,034*
Kelompok 4 6 ,019*
Kelompok 3 Kelompok 4 6 1.00
*bermakna secara statistik karena (p< 0,05)
Pada tabel 4.3 terdapat perbedaan pada masing-masing kelompok dengan nilai
p<0.05 kecuali pada kelompok 3 dan 4, dimana nilai p=1.00 (p>0.05)
Gambar 4.1 Ekspresi VEGF (sel terpulas warna coklat) tampak mengalami
peningkatan pada kelompok penelitian 2,3, dan 4. (kelompok 1: kontrol) ekspresi
VEGF paling tinggi dijumpai pada kelompok 4.
Tabel 4.4 Analisis Nilai Median Ekspresi VEGF Pada Setiap Kelompok
Perlakuan
n Median Mean ± SD
(Min-Max)
Ekspresi VEGF Kelompok 1 6 1.5 (1-2) 1.50 ± 0.54
Kelompok 2 6 2.5 (2-4) 2.67 ± 0.816
Kelompok 3 6 5 (3-8) 5.17 ± 1.83
Kelompok 4 6 5 (3-9) 5.67 ± 2.42
52
Tabel 4.5 Analisis Perbedaan Nilai Ekspresi VEGF Antar Kelompok Perlakuan
Kelompok Median (Min-Max) Nilai p
Ekspresi VEGF Kelompok 1 1.5 (1-2) ,001*
Kelompok 2 2.5 (2-4)
Kelompok 3 5 (3-8)
Kelompok 4 5 (3-9)
*bermakna secara statistik karena (p< 0,05)
A B
C D
Gambar 4.2 Ekspresi STAT 1 (tanda panah) pada organ korti koklea sesuai dengan
lama pajanan cisplatin pada koklea hewan coba. a) Kelompok 1; b) kelompok 2; c)
kelompok 3; d) kelompok 4. Dijumpai semakin banyak sel yang terpulas cokelat
seiring dengan lama pajanan
Tabel 4.7 Analisis Nilai Median Ekspresi STAT 1 Pada Setiap Kelompok
Perlakuan
Kelompok n Median Mean ± SD
(Min-Max)
Ekspresi STAT 1 Kelompok 1 6 1.5 (1-2) 1.50 ± 0.54
Kelompok 2 6 2.5 (2-4) 2.67 ± 0.81
Kelompok 3 6 5 (3-6) 4.67 ± 1.50
Kelompok 4 6 6 (4-9) 6.33 ± 2.25
Dilakukan uji Kruskal Wallis dan dilanjutkan dengan uji Post-Hoc Mann-
Whiteney untuk melihat perbedan antar kelompok.
Tabel 4.9 Hasil Uji Post-Hoc Mann Whiteney Antar Kelompok Perlakuan
Kelompok n Nilai p
Ekspresi STAT 1 Kelompok 1 Kelompok 2 6 ,020*
Kelompok 3 6 ,003*
Kelompok 4 6 ,003*
Kelompok 2 Kelompok 3 6 ,025*
Kelompok 4 6 ,006*
Kelompok 3 Kelompok 4 6 ,179
*bermakna secara statistik karena (p< 0,05)
55
4.6 Analisis Korelasi Nilai SNR dengan Ekspresi VEGF Antar Kelompok
Perlakuan
Dilakukan uji korelasi antara nilai SNR dengan ekspresi VEGF setiap
kelompok. (Tabel 10,11,12,13). Dilakukan uji Pearson apabila data berdistribusi
normal, dan uji Spearman bila data tidak berdistribusi normal.
Tabel 4.10 Hasil Korelasi Spearman Antara Nilai SNR Dengan Ekspresi VEGF
Pada Kelompok 1
Kelompok 1 Nilai r Nilai p
SNR -,878 ,021*
Ekspresi VEGF
*bermakna secara statistik karena (p< 0,05)
Pada Tabel 4.10 tampak korelasi negatif sangat kuat antara nilai SNR dan
ekspresi VEGF pada kelompok 1 dengan nilai p<0,05
Tabel 4.11 Hasil Korelasi Pearson Antara Nilai SNR Dengan Ekspresi VEGF
Pada Kelompok 2
Kelompok 2 Nilai r Nilai p
SNR -,950 ,004*
Ekspresi VEGF
*bermakna secara statistik karena (p< 0,05)
56
Pada Tabel 4.11 tampak korelasi negatif sangat kuat antara nilai SNR dan
ekspresi VEGF pada kelompok 2 dengan nilai p<0,05
Tabel 4.12 Hasil Korelasi Pearson Antara Nilai SNR Dengan Ekspresi VEGF
Pada Kelompok 3
Kelompok 3 Nilai r Nilai p
SNR -,822 ,045*
Ekspresi VEGF
*bermakna secara statistik karena (p< 0,05)
Pada Tabel 4.12 tampak korelasi negatif sangat kuat antara nilai SNR dan
ekspresi VEGF pada kelompok 3 dengan nilai p<0,05
Tabel 4.13 Hasil Korelasi Pearson Antara Nilai SNR Dengan Ekspresi VEGF
Pada Kelompok 4
Kelompok 4 Nilai r Nilai p
SNR -,976 ,001*
Ekspresi VEGF
*bermakna secara statistik karena (p< 0,05)
Pada Tabel 4.13 tampak korelasi negatif sangat kuat antara nilai SNR dan
ekspresi VEGF pada kelompok 4 dengan nilai p<0,05
4.7 Analisis Korelasi Antara Nilai SNR dengan Ekspresi STAT 1 Antar
Kelompok Perlakuan
Dilakukan uji korelasi antara nilai SNR dengan ekspresi STAT 1 setiap
kelompok. (Tabel 14,15,16,17). Dilakukan uji Pearson apabila data berdistribusi
normal, dan uji Spearman bila data tidak berdistribusi normal.
57
Tabel 4.14 Hasil Korelasi Spearman Antara Nilai SNR Dengan Ekspresi STAT 1
Pada Kelompok 1
Kelompok 1 Nilai r Nilai p
SNR -,878 ,021*
Ekspresi STAT 1
*bermakna secara statistik karena (p< 0,05)
Pada Tabel 4.14 tampak korelasi negatif sangat kuat antara nilai SNR dan
ekspresi STAT 1 pada kelompok 1 dengan nilai p<0,05
Tabel 4.15 Hasil Korelasi Pearson Antara Nilai SNR Dengan Ekspresi STAT 1
Pada Kelompok 2
Kelompok 2 Nilai r Nilai p
SNR -,854 ,030*
Ekspresi STAT 1
*bermakna secara statistik karena (p< 0,05)
Pada Tabel 4.15 tampak korelasi negatif sangat kuat antara nilai SNR dan
ekspresi STAT 1 pada kelompok 2 dengan nilai p<0,05
Tabel 4.16 Hasil Korelasi Spearman Antara Nilai SNR Dengan Ekspresi STAT 1
Pada Kelompok 3
Kelompok 3 Nilai r Nilai p
SNR -,926 ,008*
Ekspresi STAT 1
*bermakna secara statistik karena (p< 0,05)
Pada Tabel 4.16 tampak korelasi negatif sangat kuat antara nilai SNR dan
ekspresi STAT 1 pada kelompok 3 dengan nilai p<0,05.
58
Tabel 4.17 Hasil Korelasi Pearson Antara Nilai SNR Dengan Ekspresi STAT 1
Pada Kelompok 4
Kelompok 4 Nilai r Nilai p
SNR -,967 ,002*
Ekspresi STAT 1
*bermakna secara statistik karena (p< 0,05)
Hal yang sama dijumpai pada Tabel 4.17 dimana juga tampak korelasi negatif
sangat kuat antara nilai SNR dan ekspresi STAT 1 pada kelompok 4 dengan nilai
p<0,05
59
BAB V
PEMBAHASAN
Koklea merupakan bagian dari telinga dalam yang terdiri dari struktur
berbentuk siput dan mengandung 3 rongga yang berisi cairan yang salah satunya
adalah skala media yang mengandung organ korti. Organ korti mengandung 3 baris
sel rambut luar dan 1 baris sel rambut dalam. Getaran suara yang dihasilkan oleh
gelombang suara akan menyebabkan menekuknya stereocilia pada sel rambut melalui
sistem elektromekanis. Sel rambut akan mengubah energi mekanis menjadi energi
listrik yang nantinya ditransmisikan ke sistem saraf pusat melalui saraf auditori
(Elliott et al, 2012; Pinheiro et al, 2022; White et al, 2022).
Ototoksitas merupakan gangguan pendengaran diakibatkan oleh kerusakan
telinga dalam akibat terapi dengan menggunakan obat-obatan yang bersifat ototoksik.
Beberapa obat-obatan yang diketahui merupakan agen ototoksisitas adalah golongan
aminoglikosida, makrolida, diuretic, quinin, NSAID, antiretroviral, dan agen
kemoterapi berbasis platinum (Paken, 2016 et al; Ganesan et al, 2018).
Ototoksisitas merupakan reaksi farmakologi yang mempengaruhi fungsi telinga
dalam dan saraf pendengaran. Ototoksisitas menyebabkan degenerasi sel baik pada
jaringan koklea dan vestibular. Hal ini menyebabkan gangguan fungsional akibat
penggunaan obat-obatan tertentu. Ototoksisitas ditandai dengan adanya gangguan
pada fungsi koklea, vestibular, ataupun keduanya (Ganesan et al, 2018).
Cisplatin merupakan agen kemoterapi yang efektif untuk berbagai jenis kanker
terutama pada kanker kepala leher. Efek samping utama akibat penggunaan Cisplatin
adalah ototoksisitas, efek samping lain adalah nefrotoksik, gangguan gastrointestinal,
supresi sumsum tulang, dan neuropati perifer. Ototoksisitas Cisplatin akan
menyebabkan gangguan pendengaran ireversibel, bilateral, dan progresif yang
biasanya terjadi pada frekuensi yang tinggi. Cisplatin dapat menyebabkan kerusakan
koklea Ketika diberikan dalam dosis yang tinggi dan kumulatif. Efek ototoksisitas
Cisplatin terutama terjadi pada 3 struktur pada koklea. Struktur yang paling sering
60
terkena yakni sel rambut organ korti pada putaran basal koklea (Yildrim et al, 2010;
Kinal et al, 2021).
Berbagai mekanisme molecular telah dijelaskan sebagai mediator kejadian
ototoksisitas akibat Cisplatin. Cisplatin terbukti menargetkan NOX-3 untuk
meningkatkan produksi ROS pada telinga dalam yang nantinya akan menstimulasi
jalur inflamasi pada koklea yang akan menyebabkan apoptosis dan kematian sel.
Sejumlah agen yang dapat melindungi telinga dalam akibat ototoksisitas Cisplatin
pada hewan coba telah ditemukan, namun seluruhnya tidak dapat memberikan efek
terapetik terhadap ototoksisitas Cisplatin (Tserga et al, 2019; Callejo et al, 2015).
Sejumlah penelitan eksperimental menjelaskan kerusakan struktural akibat
Cisplatin dan metabolitnya pada sel koklea yang diteliti pada hewan coba. Kerusakan
yang paling jelas adalah degenerasi apoptosis pada sel rambut di organ korti.
Fragmentasi DNA akibat apoptosis awalnya dapat dilihat pada bagian luar sel rambut
kemudian berlanjut secara progresif ke sel rambut bagian dalam (Callejo et al, 2015).
Kerusakan di tempat lain juga dijumpai, seperti dijumpainya dehisensi selubung
myelin pada ganglion spiralis, dan deplesi pada sejumlah organela sitoplasma, edema,
dan pengkerutan sel serta lisis pada stria vaskularis (Callejo et al, 2015).
Pada studi topografi, dijumpai adanya lesi yang bersifat gradien, yang dimulai
dari bagian basal koklea. Hal ini menjelaskan kenapa frekuensi tinggi lebih
terpengaruh ataupun lebih dahulu terganggu dibandingkan dengan frekuensi rendah
pada uji pendengaran (Callejo et al, 2015).
Tikus merupakan model yang sangat baik dalam penelitian medis, biologi,
genetika, dan fenomena perilaku oleh karena sifat tikus yang mudah beradaptasi,
jinak, dapat bertahan hidup, dan intelejensinya. Struktur anatomi dan fisiologi sistem
pendengaran tikus mirip dengan manusia. Hal ini akhirnya meningkatkan penggunaan
tikus untuk menginvestigasi adanya gangguan pendengaran pada sistem pendengaran
manusia (Escabi et al, 2019).
Pemeriksaan mikroskop elektron pada koklea tikus dapat menunjukkan
membran tektoria, membran reissner, dan organ korti dengan jelas dan dengan
61
struktur yang mirip dengan manusia (Reis et al, 2017). Pada penelitian ini digunakan
tikus Rattus norvegicus dewasa galur Wistar dengan jenis kelamin jantan.
Penelitian yang dilakukan De Freitas et al (2009) menilai efek ototoksisitas
Cisplatin menggunakan tikus Wistar jantan yang disuntikkan Cisplatin dosis tunggal
16 mg/KgBB dan dosis 24 mg/KgBB yang dibagi dalam 3 dosis yang sama
(8mg/KgBB) dan disuntikkan setiap hari, kemudian diperiksa pada hari ke-3 dan hari
ke-4 menggunakan DPOAE dan BERA dijumpai penurunan nilai SNR pada seluruh
sampel pada frekuensi 3-8 KHz. Somdas (2020) juga melakukan penelitian
ototksisitas Cisplatin menggunakan tikus Wistar yang diinjesikan Cisplatin single
dose 15 mg/KgBB kemudian dinilai pada hari ke-7 pasca injeksi. Menggunakan
mikroskop elektron. Pada kedua penelitian tersebut dijumpai adanya proses apoptosis
pada koklea akibat penggunaan Cisplatin. (De Freitas et al, 2009; Somdas, 2020)
Telah dilakukan pilot study pada penelitian ini sebelum dilakukan penelitian
yang sesungguhnya. Pada pilot study digunakan tikus Wistar jantan dewasa yang
diinjeksikan Cisplatin sesuai dengan penelitian De Freitas, namun seluruh sampel
tidak bertahan hingga akhir penelitian. Kemudian dilakukan pengurangan dosis
Cisplatin menjadi 8 mg/KgBB dosis tunggal dan dosis terbagi 3, yakni 4 mg/KgBB
yang disuntikkan secara serial. Setelah dilakukan pengurangan dosis dijumpai
penurunan nilai SNR pada setiap kelompok sampel dengan dosis 8 mg/KgBB dan
seluruh sampel dapat bertahan hidup hingga akhir penelitian, sedangkan pada
kelompok dengan dosis 12 mg/KgBB yang dibagi menjadi 3 dosis (4mg/KgBB) tidak
seluruh sampe penelitan dapat bertahan hidup. Dosis Cisplatin dikurangi lagi menjadi
3 dosis serial yang masing-masingnya 2 mg/KgBB. Pada dosis ini sampel penelitian
dapat bertahan hidup, namun tidak dijumpai adanya penurunan nilai SNR pada
sampel penelitian, sehingga akhirnya digunakan dosis tunggal 8 mg/KgBB pada
penelitian ini.
Zhao et al (2020) melakukan penelitian dengan menginjeksikan Cisplatin 8
mg/KgBB pada tikus Wistar jantan secara intraperitoneal untuk menginduksi
kejadian nefrotoksik. Kejadian nefrotoksik terjadi pada hewan coba 3 hari pasca
injeksi Cisplatin (Zhao et al, 2020). Pada penelitian ini digunakan Cisplatin 8
62
5.1 Analisis Nilai SNR Pemeriksaan OAE Pada Setiap Kelompok Perlakuan
Pada penelitian ini dilakukan penilaian fungsi koklea berdasarkan nilai SNR
pada pemeriksaan OAE. Oleh karena pemeriksaan OAE dapat merefleksikan
kerusakan koklea akibat ototoksiksitas dengan objektif. Pengukuran kerusakan fungsi
koklea berdasarkan nilai SNR dilakukan dengan acuan nilai pass dan refer. Hasil
pemeriksaan OAE dianggap pass apabila dijumpai nilai emisi akustik besar sama
dengan 6 dB dari latar belakang bising pada frekuensi yang sama. Nilai emisi
dibawah 6 dB dari latar belakang bising pada frekuensi yang sama dianggap refer
(Smith, 2013).
Berdasarkan nilai rerata SNR antar kelompok penelitian, dijumpai penurunan
nilai SNR pada sampel sebelum diberikan perlakuan injeksi Cisplatin dan setelah
diberikan injeksi Cisplatin. Penurunan nilai SNR tertinggi dijumpai pada kelompok
hari ke-7, dimana nilai rerata SNR sebelum injeksi Cisplatin adalah 16,84 (pass) dan
pada hari ke-7 setelah diinjeksi Cisplatin berubah menjadi 1,44 (refer).
Pada Penelitian De Freitas et al (2009) dijumpai penurunan SNR frekuensi
3,4,6,8 KHz baik pada hari ke-3 maupun hari ke-4 pasca pemberian injeksi Cisplatin.
63
Sedangkan pada Penelitian Somdas (2020) dijumpai penurunan nilai SNR yang
signifikan pada kelompok hari ke-7 setelah diberikan injeksi Cisplatin 15 mg/KgBB
(De Freitas, et al 2009; Somdas et al, 2020).
Insidensi gangguan pendengaran akibat ototoksik dilaporkan berkisar 30-
100%. Gangguan pendengaran menyebabkan penurunan kualitas hidup yang nantinya
akan mempengaruhi aktivitas sosial dan akademik (Killic et al, 2018).
Gangguan pendengaran frekuensi tinggi akibat penggunaan Cisplatin
dilaporkan dimulai 3-4 hari sejak pemberian Cisplatin. Gangguan pendengaran
bermanifestasi dalam berbagai gejala seperti gangguan pendengaran sensorineural
yang berat hingga profound bergantung pada penggunaan dosis Cisplatin (Cakil et al,
2012).
Pada penelitian ini dijumpai perubahan signifikan pada nilai SNR sebelum
diberikan injeksi Cisplatin dan setelah diberikan injeksi Cisplatin. Dijumpai seluruh
kelompok penilitian memiliki nilai p<0,05. Hal ini berarti Cisplatin benar dapat
menyebabkan indikasi gangguan pendengaran pada hewan coba dinilai dari
penurunan nilai SNR pada seluruh kelompok penelitian.
Cisplatin menyebabkan kerusakan pada sel rambut luar koklea bagian basal,
dimulai dari baris pertama. Hal ini menjelaskan mengapa kerusakan biasanya dimulai
dari frekuensi tinggi. (Yu et al, 2014) Pada Penelitian Lopez-Gonzalez et al (2020)
yang menggunakan Cisplatin 10 mg/KgBB menjumpai penurunan nilai SNR pada
pemeriksaan DPOAE tikus Wistar pada frekuensi 1-6 KHz pada 7 hari pasca
penyuntikan Cisplatin (Lopez-Gonzalez et al, 2000).
Pollera et al dalam Cakil et al (2012) menjumpai gangguan pendengaran
ireversibel dengan pemberian Cisplatin 200 mg/m 2 selama 5 hari. Setengah dari
populasi sampel mengalami gangguan pendengaran 48 jam pasca pemberian Cisplatin
(Cakil et al, 2012).
Pada penelitian Cakil et al (2012) dijumpai gangguan pendengaran pada
75% pasien yang mendapatkan Cisplatin pada frekuensi 4-8 kHz. Gangguan
pendengaran juga dijumpai pada frekuensi 3-8 kHz. Kaur et al (2016) menemukan
gangguan pendengaran pada frekuensi 8, 16, dan 32 kHz terjadi 3 hari pasca injeksi
64
Cisplatin (Kaur et al, 2016). Pada penelitian ini dijumpai penurunan nilai SNR yang
signifikan pada seluruh kelompok penelitian, mulai dari kelompok hari ke-3 hingga
hari ke-7. Dan penurunan nilai SNR terendah dijumpai pada kelompok penelitian hari
ke-7.
Hal ini seiring dengan penelitian sebelumnya dimana ototoksisitas akibat
penggunaan Cisplatin dijumpai pada level seluler dimulai pada hari ke-3 pasca
administrasi Cisplatin dan mencapai level maksimum pada hari ke-7 hingga hari ke-
10 (Cakil et al, 2012).
Oleh karena meningkatnya angka harapan hidup pasien kanker, saat ini
kejadian ototoksisitas akibat Cisplatin semakin diperhatikan dengan tujuan untuk
mencegah dan mendeteksi secara dini kejadian tersebut. OAE merupakan alat
monitoring yang sensitif dengan durasi waktu yang singkat untuk mendeteksi
ototoksisitas secara dini (Shetty et al, 2020).
Pada penelitian De Freitas et al (2009) dijumpai penurunan nilai SNR baik
pada hari ke-3 dan ke-4, namun tidak dijumpai perbedaan nilai SNR yang bermakna
pada kedua kelompok ini (De Freitas et al, 2009). Penelitian ini mirip dengan
penelitian yang dilakukan De Freitas, dijumpai perubahan nilai SNR yang signifikan
sebelum dan setelah perlakuan, namun tidak dijumpai perbedaan yang signifikan
berdasarkan uji ANOVA pada masing-masing kelompok perlakuan. Hal ini bisa saja
disebabkan oleh karena telah terbukti bahwa sudah terjadi kerusakan sel rambut
koklea pada hari ke-3, sehingga dapat dipastikan juga terjadi kerusakan pada
kelompok hari ke-4, dan hari ke-7, sehingga tidak dijumpai perbedaan yang bermakna
dalam statistik, namun hasil penilaian SNR sebelum dan sesudah injeksi Cisplatin
yang terbukti mengalami penurunan dapat menjadi acuan bahwa telah terjadi
apoptosis sel rambut koklea pada hewan coba.
Yu et al (2014) juga tidak menjumpai adanya korelasi signifikan antara
gangguan pendengaran dengan dosis dan lama pemberian Cisplatin. Yu et al
berargumen hal ini dikarenakan oleh sedikitnya sampel yang mereka pakai pada
penelitian tersebut (Yu et al, 2014).
65
sitokin proinflamasi. STAT 1 diaktivasi oleh cisplatin melalui generasi ROS melalui
jalur NADPH Oksidase 3 (NOX3) (Kaur et al, 2012; Bodmer et al, 2020).
Ketidakseimbangan antara mekanisme produksi ROS dan antioksidan memicu
terjadinya kondisi stress oksidatif. Pembentukan ROS menyebabkan kerusakan
mitokondria yang berakibat kematian sel oleh karena reaksi apoptosis (Castilla et al,
2000; Lin et al, 2018).
Berdasarkan penelitian Kaur et al (2012), dikatakan bahwa STAT 1 berperan
dalam aktivasi mediator inflamasi lainnya seperti COX-2, iNOS, dan TNF-
berkontribusi menyebabkan terjadinya inflamasi dan apoptosis pada koklea (Kaur et
al, 2012).
Pada penelitian ini dijumpai peningkatan ekspresi STAT 1 pada seluruh
kelompok penelitian yang diberikan pajanan Cisplatin berdasarkan peningkatan skor
imunoreaktif sesuai dengan lama pajanan. Ekspresi tertinggi dijumpai pada kelompok
4 dimana dijumpai kebanyakan sel organ korti koklea terpulas warna coklat (Gambar
4.2).
Pada penelitian ini dijumpai peningkatan ekspresi STAT 1 pada seluruh
kelompok penelitian dengan skor imunoreaktif yang semakin tinggi dengan
bertambahnya jumlah hari pajanan. Ekspresi STAT 1 paling kuat dijumpai pada hari
ke 7 pasca pemberian cisplatin.
Kerusakan sel rambut merupakan efek samping dari penggunaan cisplatin dan
aminoglikosida. Banyak penelitian yang dilakukan untuk menargetkan inhibisi proses
kerusakan ini. Terdapat bukti bahwa defisiensi STAT 1 menurunkan ototoksisitas
akibat penggunaan cisplatin. Aktivasi stres oksidatif dan respon inflamasi merupakan
kejadian akibat ototoksisitas cisplatin. Cisplatin meningatkan pelepasan sitokin
proinflamasi pada sel HEI-OC1 (The House Ear Institute-Organ of Corti) pada
koklea setelah tikus diberikan injeksi cisplatin (Levano et al, 2015).
Pada penelitian Levano et al, dijumpai tikus yang telah direkayasa genetik
dengan kadar STAT 1 negatif memiliki sel rambut yang lebih resisten terhadap
ototoksisitas cisplatin dan gentamisin dibandingkan dengan tikus tanpa rekayasa
genetik kadar STAT 1. Hal ini dapat dilihat dari lebih sedikitnya sel rambut dengan
68
hasil TUNEL positif yang terdeteksi pada tikus dengan kadar STAT 1 negatif
(Levano et al, 2015).
Pada penelitian ini dijumpai nilai ekspresi STAT 1 yang tidak berhubungan
antara kelompok 3 dan 4. Hal ini sejalan dengan nilai SNR yang juga menunjukkan
tidak adanya hubungan antara kelompok 3 dan 4. Meskipun begitu dapat disimpulkan
adanya kerusakan pada koklea yang dapat dibuktikan dari nilai ekspresi STAT 1 yang
meningkat sesuai lama pajanan.
5.4 Korelasi Antara Nilai SNR dengan Ekspresi VEGF antar Kelompok
Pada penelitian yang dilakukan oleh Piciotti et al (2006), dijumpai bahwa
terjadi kerusakan sel rambut luar yang dinilai menggunakan pemeriksaan OAE
frekuensi 8-16 kHz pada tikus dengan model bising. Mereka lalu melakukan
pemeriksaan imunohistokimia dengan menggunakan antibody VEGF yang diperiksa
menggunakan mikroskop elektron. Hasilnya mereka menemukan peningkatan
ekspresi VEGF yang meningkat terutama pada spiral ganglion, ligament spiralis, stria
vaskularis, dan organ korti (Piciotti et al, 2006).
Hingga saat ini diduga berkurangnya vaskularisasi dan disfungsi endotel
merupakan hal penting dalam mekanisme berbagai kelainan di bidang otologi,
dimana VEGF juga diduga berperan dalam patofisiologi berbagai gangguan
pendengaran (Piciotti et al, 2004).
Pada tikus model bising peningkatan ekspresi VEGF diduga disebabkan oleh
keadaan hipoksia yang disebabkan oleh trauma akustik. Hiposia merupakan stimulus
poten untuk terjadinya peningkatan ekpresi VEGF. Pada penelitian lain dikatakan
bahwa trauma akustik juga dapat menyebabkan peningkatan ROS. Hal ini terbukti
dari banyaknya jumlah radikal bebas pada koklea hewan coba (Piciotti et al, 2006).
Regulasi aliran darah pada koklea diduga merupakan faktor penting pada
fungsi pendengaran dan sangat sensitif dengan keadaan hipoksia, dimana hipoksia
akan mengaktivasi proses produksi VEGF (Pirodda et al, 2010).
Pada tikus model ototoksik juga terjadi keadaan stres oksidatif yang memicu
peningkatan ROS dan akan mengakibatkan peningkatan produksi VEGF. Pada
69
penelitian ini dijumpai hasil yang serupa dengan penelitian sebelumnya yakni
dijumpai penurunan nilai SNR pada tikus yang diberikan injeksi Cisplatin diikuti
dengan peningkatan nilai ekspresi VEGF, dimana semakin menurun nilai SNR pada
sampel maka nilai ekspresi VEGF juga semakin tinggi. Hal ini dibuktikan dengan
adanya korelasi negatif yang sangat kuat pada pemeriksaan.
5.5 Korelasi Antara Nilai SNR dengan Ekspresi STAT 1 antar Kelompok
Signal transducer and activator of transcription 1 (STAT 1) merupakan faktor
transkripsi yang berperan dalam meregulasi berbagai ekspresi sitokin proinflamasi.
Bodmer et al (2020) melaporkan bahwa pada tikus percobaan dengan kadar STAT 1
yang rendah memiliki sel rambut yang lebih resisten terhadap kejadian ototoksisitas
(Bodmer et al, 2020).
Berbagai penelitian menyatakan bahwa akibat cisplatin berikatan dengan
berbagai protein menyebabkan terganggunya jaras intraselular yang berakhir pada
disregulasi selular dan kematian sel. Pada sel koklea, NOX3 merupakan sumber
utama dari ROS yang terkespresi dalam jumlah besar pada organ korti dan ganglion
spiralis yang nantinya dapat mengaktifkan berbagai mediator inflamasi seperti STAT
1 yang menyebabkan kematian sel dan gangguan pendengaran (Kros et al, 2018).
Inaktivasi STAT 1 pada jaringan lain juga menunjukkan efek protektan,
seperti peningkatan proses autofagi pada jantung dengan defisiensi STAT 1 ataupun
peningkatan regenerasi otot (Levano et al, 2015).
Pada penelitian ini dijumpai penurunan nilai SNR pada tikus yang diberikan
injeksi Cisplatin diikuti dengan peningkatan nilai ekspresi STAT 1, dimana semakin
menurun nilai SNR pada sampel maka nilai ekspresi STAT 1 juga semakin tinggi.
Hal ini dibuktikan dengan adanya korelasi negatif yang sangat kuat pada
pemeriksaan.
70
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Terdapat penurunan nilai SNR pada pemeriksaan OAE Rattus norvegicus
frekuensi 1,5 12 KHz pada kelompok yang diberikan injeksi cisplatin 8
mg/kgBB (kelompok 2, 3, dan 4)
2. Terdapat peningkatan nilai ekspresi VEGF pada koklea Rattus norvegicus pada
kelompok yang diberikan injeksi cisplatin 8 mg/kgBB (kelompok 2, 3, dan 4)
3. Terdapat peningkatan nilai ekspresi STAT 1 pada koklea Rattus norvegicus
pada kelompok yang diberikan injeksi cisplatin 8 mg/kgBB (kelompok 2, 3,
dan 4)
4. Terdapat korelasi negatif yang sangat kuat antara nilai SNR pada frekuensi 1,5
12 KHz dengan ekspresi VEGF pada kelompok yang diberikan injeksi
cisplatin 8 mg/kgBB (kelompok 2, 3, dan 4)
5. Terdapat korelasi negatif yang sangat kuat antara nilai SNR pada frekuensi 1,5
12 KHz dengan ekspresi STAT 1 pada kelompok yang diberikan injeksi
cisplatin 8 mg/kgBB (kelompok 2, 3, dan 4)
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh beberapa saran sebagai
berikut:
1. Pada penelitian ini terbukti bahwa Cisplatin menyebabkan ototoksisitas pada
koklea, oleh karena itu diharapkan perlunya skrining menggunakan OAE pada
pasien-pasien yang akan direncanakan menjalani kemoterapi maupun pada pasien
yang sedang menjalani kemoterapi dan telah selesai melaksanakan siklus
kemoterapi untuk memantau fungsi pendengaran pada pasien, agar tidak terjadi
penurunan kualitas hidup pada pasien. Jika terjadi indikasi gangguan pendengaran
71
DAFTAR PUSTAKA
Zhao Y, Dai Wei. 2020. Effect of Phloretin Treatment Ameliorated the Cisplatin-
Induced Nephrotoxicity and Oxidative Stress in Experimental Rats. Phcog
Mag.16:207-213
79
Keterangan:
Gambar A: Tikus Wistar jantan dewasa dengan Berat Badan 200 250 gram
Data Mentah
Nilai SNR
Tikus Kelompok Kelompok
1 Kelompok 2 Kelompok 3 4
1 17.75 2.58 1.42 0.58
2 16.75 3.17 1.75 1.58
3 16.25 2.67 1.17 1.67
4 18.33 2.83 2.33 2.17
5 16.16 2 1.25 0.83
6 15.83 3 1.33 1.83
Data Statistik
Descriptives
Std.
kelompok Statistic Error
snr 1 Mean 16.8450 .40360
95% Confidence Lower
15.8075
Interval for Mean Bound
Upper
17.8825
Bound
5% Trimmed Mean 16.8189
Median 16.5000
Variance .977
Std. Deviation .98861
Minimum 15.83
Maximum 18.33
Range 2.50
Interquartile Range 1.82
Skewness .757 .845
Kurtosis -1.164 1.741
2 Mean 2.7083 .16660
95% Confidence Lower
2.2801
Interval for Mean Bound
Upper
3.1366
Bound
5% Trimmed Mean 2.7220
Median 2.7500
Variance .167
Std. Deviation .40809
Minimum 2.00
Maximum 3.17
Range 1.17
Interquartile Range .61
Skewness -1.027 .845
Kurtosis 1.445 1.741
82
Descriptives
Std.
kel Statistic Error
83
Descriptives
Std.
klp Statistic Error
vegf 1 Mean 1.50 .224
95% Confidence Lower
.93
Interval for Mean Bound
Upper
2.07
Bound
85
Minimum 3
Maximum 8
Range 5
Interquartile Range 3
Skewness .513 .845
Kurtosis -.621 1.741
4 Mean 5.67 .989
95% Confidence Lower
3.12
Interval for Mean Bound
Upper
8.21
Bound
5% Trimmed Mean 5.63
Median 5.00
Variance 5.867
Std. Deviation 2.422
Minimum 3
Maximum 9
Range 6
Interquartile Range 5
Skewness .455 .845
Kurtosis -1.794 1.741
Descriptives
snr
95% Confidence Interval for
Std. Mean Ma
N Mean Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum
1 6 16.8450 .98861 .40360 15.8075 17.8825 15.83
2 6 2.7083 .40809 .16660 2.2801 3.1366 2.00
3 6 1.5417 .43536 .17773 1.0848 1.9985 1.17
4 6 1.4433 .61141 .24961 .8017 2.0850 .58
Total 24 5.6346 6.65898 1.35926 2.8227 8.4464 .58
87
ANOVA
snr
Sum of Mean
Squares df Square F Sig.
Between
1011.330 3 337.110 789.831 .000
Groups
Within Groups 8.536 20 .427
Total 1019.866 23
Multiple Comparisons
Dependent Variable: snr
Mean 95% Confidence
(I) Difference (I- Lower
kelompok (J) kelompok J) Std. Error Sig. Bound Upp
*
Bonferroni 1 2 14.13667 .37719 .000 13.0326
3 15.30333* .37719 .000 14.1993
*
4 15.40167 .37719 .000 14.2976
*
2 1 -14.13667 .37719 .000 -15.2407
3 1.16667* .37719 .034 .0626
4 1.26500* .37719 .019 .1609
3 1 -15.30333* .37719 .000 -16.4074
2 -1.16667* .37719 .034 -2.2707
4 .09833 .37719 1.000 -1.0057
4 1 -15.40167* .37719 .000 -16.5057
2 -1.26500* .37719 .019 -2.3691
3 -.09833 .37719 1.000 -1.2024
Games-Howell 1 2 14.13667* .43663 .000 12.6712
3 15.30333* .44100 .000 13.8361
4 15.40167* .47455 .000 13.8960
88
Ranks
Mean
kel N Rank
STA 1 6 4.25
T1 2 6 9.67
3 6 16.42
4 6 19.67
Total 24
Test Statisticsa,b
STAT 1
Chi-Square 17.752
df 3
Asymp.
.000
Sig.
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable:
kel
Ranks
89
Mean Sum of
kel N Rank Ranks
STA 1 6 4.25 25.50
T1 2 6 8.75 52.50
Total 12
Test Statisticsa
STAT 1
Mann-Whitney U 4.500
Wilcoxon W 25.500
Z -2.331
Asymp. Sig. (2-tailed) .020
Exact Sig. [2*(1-tailed
.026b
Sig.)]
a. Grouping Variable: kel
b. Not corrected for ties.
Ranks
Mean Sum of
kel N Rank Ranks
STA 1 6 3.50 21.00
T1 3 6 9.50 57.00
Total 12
Test Statisticsa
STAT 1
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 21.000
Z -2.950
Asymp. Sig. (2-tailed) .003
Exact Sig. [2*(1-tailed
.002b
Sig.)]
a. Grouping Variable: kel
90
Ranks
Mean Sum of
kel N Rank Ranks
STA 1 6 3.50 21.00
T1 4 6 9.50 57.00
Total 12
Test Statisticsa
STAT 1
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 21.000
Z -2.939
Asymp. Sig. (2-tailed) .003
Exact Sig. [2*(1-tailed
.002b
Sig.)]
a. Grouping Variable: kel
b. Not corrected for ties.
Ranks
Mean Sum of
kel N Rank Ranks
STA 2 6 4.25 25.50
T1 3 6 8.75 52.50
Total 12
Test Statisticsa
STAT 1
91
Mann-Whitney U 4.500
Wilcoxon W 25.500
Z -2.237
Asymp. Sig. (2-tailed) .025
Exact Sig. [2*(1-tailed
.026b
Sig.)]
a. Grouping Variable: kel
b. Not corrected for ties.
Ranks
Mean Sum of
kel N Rank Ranks
STA 2 6 3.67 22.00
T1 4 6 9.33 56.00
Total 12
Test Statisticsa
STAT 1
Mann-Whitney U 1.000
Wilcoxon W 22.000
Z -2.776
Asymp. Sig. (2-tailed) .006
Exact Sig. [2*(1-tailed
.004b
Sig.)]
a. Grouping Variable: kel
b. Not corrected for ties.
Ranks
Mean Sum of
kel N Rank Ranks
STA 3 6 5.17 31.00
T1 4 6 7.83 47.00
Total 12
Test Statisticsa
92
STAT 1
Mann-Whitney U 10.000
Wilcoxon W 31.000
Z -1.344
Asymp. Sig. (2-tailed) .179
Exact Sig. [2*(1-tailed
.240b
Sig.)]
a. Grouping Variable: kel
b. Not corrected for ties.
Correlations
STAT
snr2 12
snr2 Pearson
1 -.854*
Correlation
Sig. (2-tailed) .030
N 6 6
STAT Pearson
-.854* 1
12 Correlation
Sig. (2-tailed) .030
N 6 6
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-
tailed).
Correlations
STAT
snr3 13
Spearman's rho snr3 Correlation
1.000 -.926**
Coefficient
Sig. (2-tailed) . .008
N 6 6
93
STAT Correlation
-.926** 1.000
13 Coefficient
Sig. (2-tailed) .008 .
N 6 6
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations
STAT
snr4 14
snr4 Pearson
1 -.967**
Correlation
Sig. (2-tailed) .002
N 6 6
STAT Pearson
-.967** 1
14 Correlation
Sig. (2-tailed) .002
N 6 6
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-
tailed).
Correlations
STAT
snr3 13
Spearman's rho snr3 Correlation
1.000 -.926**
Coefficient
Sig. (2-tailed) . .008
N 6 6
STAT Correlation
-.926** 1.000
13 Coefficient
Sig. (2-tailed) .008 .
N 6 6
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
94
Ranks
Mean
klp N Rank
vegf 1 6 4.25
2 6 9.75
3 6 17.67
4 6 18.33
Total 24
Test Statisticsa,b
vegf
Chi-Square 16.906
df 3
Asymp.
.001
Sig.
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable:
klp
Ranks
Mean Sum of
klp N Rank Ranks
vegf 1 6 4.25 25.50
2 6 8.75 52.50
Total 12
Test Statisticsa
vegf
Mann-Whitney U 4.500
Wilcoxon W 25.500
Z -2.331
Asymp. Sig. (2-tailed) .020
Exact Sig. [2*(1-tailed
.026b
Sig.)]
a. Grouping Variable: klp
b. Not corrected for ties.
95
Ranks
Mean Sum of
klp N Rank Ranks
vegf 1 6 3.50 21.00
3 6 9.50 57.00
Total 12
Test Statisticsa
vegf
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 21.000
Z -2.934
Asymp. Sig. (2-tailed) .003
Exact Sig. [2*(1-tailed
.002b
Sig.)]
a. Grouping Variable: klp
b. Not corrected for ties.
Ranks
Mean Sum of
klp N Rank Ranks
vegf 1 6 3.50 21.00
4 6 9.50 57.00
Total 12
Test Statisticsa
vegf
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 21.000
96
Z -2.929
Asymp. Sig. (2-tailed) .003
Exact Sig. [2*(1-tailed
.002b
Sig.)]
a. Grouping Variable: klp
b. Not corrected for ties.
Ranks
Mean Sum of
klp N Rank Ranks
vegf 2 6 4.00 24.00
3 6 9.00 54.00
Total 12
Test Statisticsa
vegf
Mann-Whitney U 3.000
Wilcoxon W 24.000
Z -2.458
Asymp. Sig. (2-tailed) .014
Exact Sig. [2*(1-tailed
.015b
Sig.)]
a. Grouping Variable: klp
b. Not corrected for ties.
Ranks
Mean Sum of
klp N Rank Ranks
vegf 2 6 4.00 24.00
4 6 9.00 54.00
Total 12
Test Statisticsa
vegf
Mann-Whitney U 3.000
97
Wilcoxon W 24.000
Z -2.454
Asymp. Sig. (2-tailed) .014
Exact Sig. [2*(1-tailed
.015b
Sig.)]
a. Grouping Variable: klp
b. Not corrected for ties.
Ranks
Mean Sum of
klp N Rank Ranks
vegf 3 6 6.17 37.00
4 6 6.83 41.00
Total 12
Test Statisticsa
vegf
Mann-Whitney U 16.000
Wilcoxon W 37.000
Z -.330
Asymp. Sig. (2-tailed) .742
Exact Sig. [2*(1-tailed
.818b
Sig.)]
a. Grouping Variable: klp
b. Not corrected for ties.
Correlations
snr1 vegf
Spearman's rho snr1 Correlation
1.000 -.878*
Coefficient
Sig. (2-tailed) . .021
N 6 6
vegf Correlation
-.878* 1.000
Coefficient
Sig. (2-tailed) .021 .
98
N 6 24
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlations
snr2 vegf2
snr2 Pearson
1 -.950**
Correlation
Sig. (2-tailed) .004
N 6 6
vegf2 Pearson
-.950** 1
Correlation
Sig. (2-tailed) .004
N 6 6
**. Correlation is significant at the 0.01 level
(2-tailed).
Correlations
snr3 vegf3
snr3 Pearson
1 -.822*
Correlation
Sig. (2-tailed) .045
N 6 6
vegf3 Pearson
-.822* 1
Correlation
Sig. (2-tailed) .045
N 6 6
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-
tailed).
Correlations
snr4 vegf4
snr4 Pearson
1 -.976**
Correlation
Sig. (2-tailed) .001
99
N 6 6
vegf4 Pearson
-.976** 1
Correlation
Sig. (2-tailed) .001
N 6 6
**. Correlation is significant at the 0.01 level
(2-tailed).