(Diajukan untuk Memenuhi Ujian Akhir Mata Kuliah Filsafat dan Teori
Komunikasi)
Oleh.
Asep Rahmat
NIM.
A. Latar Belakang
1
Beijing. Bersama tujuh orang lainnya, dia membakar tubuhnya di Lapangan
Tiananmen sebagai aksi protes terhadap pelarangan Sekte Falun Gong.
Ada juga yang dengan upacara ritual karena keyakinan akan kenikmatan abadi,
seperti bunuh diri massal yang dilakukan oleh sekte Heaven’s Gate (Pintu Surga)
di Amerika Serikat, pada tanggal 28 Maret 1997. Pemimpin Sekte ini, Marshall
Applewhite, percaya bahwa sebuah UFO (unidentified flying object) memang ada
dan akan membawa anggotanya ke surga begitu mereka membuang wadah
(tubuh) mereka (Fahrudin, 2012)
Terdapat contoh kasus bunuh diri di Indonesia yang melibatkan usia muda,
diantaranya adalah Eko Prasetyo meninggal gantung diri akibat skripsinya tidak
kunjung selesai ( 15 Januari 2008 ), Af Hardiman seorang mahasiswa melakukan
aksi bunuh diri di Danau Singkarak, Sumatra barat ( 14 Oktober 2011 dan
Andriyadi, pemuda berusia 21 tahun nekat melakukan bunuh diri akibat putus
cinta dengan memotong urat nadinya dengan menggunakan cutter. Fenomena
bunuh diri adalah keyakinan, ada keyakinan keliru tentang kebahagiaan setelah
kematiannya, ada keyakinan keliru terhadap penyelesaian masalah, tidak memiliki
harapan, sedih,kecewa berat, frustasi, stress dan depresi yang berujung putus asa
dan kehilangan harapan untuk meneruskan kehidupan didunianya (Kurniawan,
2019)
Bunuh diri didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan individu
untuk membunuh diri sendiri. World Health Organization (WHO) menyampaikan,
bunuh diri telah menjadi fenomena global sebagai penyebab kematian kedua
terbanyak pada tahun 2016 dengan temuan terbanyak terjadi pada rentang usia 15
sampai 29 tahun. Diperkirakan ada lebih dari 800.000 orang meninggal setiap
tahun akibat bunuh diri dan lebih dari 79% kasus bunuh diri terjadi di negara
berpenghasilan rendah sampai menengah. Data statistik WHO (2018) sejak tahun
2000 hingga 2016 memaparkan angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia
mencapai 3,4% dari 100.000 populasi. Angka ini meningkat sebesar 0,5% dari
hasil temuan sebelumnya, yaitu 2,9% dari 100.000 populasi (Putri & Tobing,
2020)
Bunuh diri tidak mengenal usia, jenis kelamin, status sosial, jumlah
kekayaan, dan jabatan, bunuh diri juga dapat terjadi di mana saja dan kapan saja.
Dilihat dari lika-liku dan perjalanan hidup seseorang yang berbeda-berbeda,
bunuh diri salah satu cara untuk mengakhiri hidupnya yang banyak permasalahan
atau beban yang dijalani. Padahal kesempatan hidup di dunia merupakan anugrah
Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada manusia karena Rahman dan
Rahim-Nya.
Begitupun fenomena pada kasus Widuri, seorang siswi sekolah
Internasional Magenta School yang bereputasi baik dengan peserta didik
berjumlah 4000 orang. Pada saat penerimaan peserta didik baru, orang tua, guru,
dan tenaga kependidikan dihebohkan dengan aksi bunuh diri yang dilakukan oleh
Widuri, peserta didik kelas VIII. Pada jaket baju Widuri yang dikenakan pada saat
bunuh diri, polisi menemukan surat bagi ibunya, isi surat tersebut tertulis:
Mama ..sebenarnya Widuri tahu semua jawaban yang ditanyakan oleh Bapak
guru..Tapi Widuri simpan sendiri, biar Bapak guru yang langsung bertanya pada
Widuri.
Tentu peristiwa bunuh diri Widuri memicu spekulasi keterkaitan antara
perlakuan guru sebagai pencetus aksi bunuh diri yang dilakukan bunuh diri.
Media massa yang terus menerus memberitakan peristiwa bunuh diri yang
semakin memojokkan Magenta School dengan dugaan memiliki system
pendidikan dan guru yang tidak comportable bagi peserta didik. Peristiwa bunuh
diri Widuri ‘mengundang’ reaksi secara langsung Menteri Pendidikan yang
meminta International Magenta School untuk menyampaikan laporan secara rinci
tentang system pendidikannya. Reaksi keras juga datang dari komite sekolah agar
kepala sekolah menjelaskan terkait system pembelajaran pada International
Magenta School.
Berdasarkan desakan dari berbagai pihak terkait aksi bunuh diri Widuri di
sekolah, maka kepala sekolah diminta untuk dapat memberikan jawaban sebagai
solusi agar reputasi dan citra International Magenta School dan kepercayaan
masyarakat terhadap sekolah tidak menurun. Berdasarkan latar belakang di atas,
maka makalah ini disusun sebagai jawaban terhadap kasus bunuh diri Widuri,
dengan diberi judul “ Bunuh diri: Antara Tingkat Resiliensi dan perlakuan
lingkungan”.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjawab berbagai spekulasi
yang ‘memojokan’ International Magenta School dengan rincian tujuan sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan bunuh diri (kematian) berdasarkan tinjauan filsafat yang
dikomunikasikan para Filsuf
2. Mendeskripsikan bunuh diri berdasarkan tingkat Resiliansi
3. Mendeskripsikan bunuh berdasarkan perlakuan lingkungan
kehidupannya (Bullying)
C. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah :
1. bagi International Magenta School, memperoleh perlakuan sosial yang
berkeadilan karena adanya jawaban secara empris dan ilmiah terhadap kasus
bunuh diri Widuri.
2. bagi orangtua, mendapatkan penjelasan yang komprehensif sehingga dapat
memiliki kepercayaan untuk menitipkan putra-putrinya di International
Magenta
School
3. bagi dunia pendidikan Indonesia, mendapatkan penjelasan secara rinci, bahwa
kasus bunuh diri memiliki berbagai latar belakang dan berbagai factor dengan
tingkat kompleksitas yang rumit, sehingga dapat menjadi upaya preventif
(pencegahan) agar kasus bunuh diri tidak terulang Kembali.
D. Sistematika Penulisan
Penulisan pada makalah ini menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bab I : pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang penulisan, tujuan penulisan,
manfaat penulisan dan sistematika penulisan
Bab II : pembahasan secara komprehensif
Bab III: Kesimpulan dan Rekomendasi
Daftar Pustaka
BAB II
LANDASAN TEORI
6
kepadamu untuk membunuhmu . Sesungguhnya aku takut kepada Allah. Tuhan
seru sekalian alam. Habil mati karena keserakan Qabil, namun Qabil menyesal
karena kesengsaraan dan kebodohannya untuk mengubur saja tidak tahu kecuali ia
mengetahui dari burung gagak .
Lalu selanjutnya berbagai fenomena kematian berlanjut. Ada yang dicabut
nyawanya ketika masih bayi, usia balita, anak-anak, remaja, dewasa ataupun
sudah tua renta. Kematian dialami manusia yang baik maupun manusia yang
jahat, manusia yang dalam keadaan senang maupun yang dalam keadaan susah,
baik manusia yang sehat maupun yang yang dalam keadaan sakit, baik manusia
yang takut maupun manusia yang berani, dalam keadaan kaya maupun miskin,
maka kematian pasti akan datang kepada manusia.
Misteri kematian menjadi sangat menarik dan ditelusuri melalui
pemikiran para filosof tentang bagaimana para filosof memandang dan memaknai
kematian dan setelah terjadinya kematian, serta bagaimana para filosof menyikapi
kematian bagi manusia . Hal ini ditelaah lebih dalam yang berkaitan dengan
kematian karena kematian pasti datang maka kita perlu mengetahui tentang
persoalan kematian.
A.1 Filosof Yunani Tentang Kematian
Para filosof Yunani sepakat bahwa kematian itu akan menjemput manusia
karena kematian merupakan perpisahan ruh dari jasad (Mansur, 2012).
Kematian itu menyakitkan bagi yang ditinggalkan dan menyedihkannya, namun
kematian manusia belum berakhir karena setelah kematian ada kehidupan lagi .
Dalam hal ini, ada perbedaan dalam memaknai setelah kematian manusia, ada
yang memaknai bahwa kematian itu belum berakhir masih ada tanggung jawab
manusia dan ada pula yang memaknai bahwa kematian adalah siksaan kepada
manusia dan lain sebagainya .
Thales [625-547 ] adalah seorang filosof Yunani yang terkenal dengan
ungkapan bahwa segala sesuatu berasal dari air . Kemudian di saat menua, ia
ditanya tentang keadaannya , maka ia menjawab bahwa beginilah aku mati secara
perlahan-lahan. Pythagoras [581-507 ] adalah seorang filosof Yunani yang
menyatakan bahwa ruh manusia itu dapat berpindah ruh dari seorang manusia
yang sudah mati kelain jasad. Mati bukan akhir tiap-tiap sesuatu dalam hidup
manusia karena ada kehidupan sesudah mati (Miswari, 2016; Nawawi, 2017).
Socrates [470-399 ] adalah seorang filosof Yunani yang terkenal sebagai
guru pertama dalam berfilsafat . la menyatakan bahwa jiwa berbeda dengan raga ,
jiwa tidak ikut hancur deng n kehancura n raga , melainkan malah terbebas dari
penjara yang mengungkungnya dan kembali kemumian karaktemya.Bahkan mati
lebih baik daripada mundur dari menunaikan kewajiban, kematian memang
merupakan cobaan besar, namun ia harus diterima oleh makhluk dengan lapang
dada, sebab ia adalah hak yang digariskan dan ditetapkan oleh Sang Pencipta ,
sehingga tidak perlu ditakuti. Maka keliru jika ada orang yang mcnyangka bahwa
kematian adalah suatu yang buruk, karena disana ada secercah kehiduapan yang
memberitakan kabar gembira bahwa kematian adalah sesuatu yang baik .
Kematian adalah ketiadarasaan seperti kepulasan tidur seseorang yang
tidak terganggu oleh hantu - hantu, maka tidak perlu diperdebatkan karena
kematian mengandung manfaat. Kematian adalah perpindahan ke tempat lain
yang konon menjadi muara tempat tinggal seluruh orang - orang yang mati. "
Bahkan lebih tegas lagi, dinyatakan bahwa orang yang mcnjadikan kematian ada
di depannya, maka dirinya akan menjadi lebih baik. Orang yang mati terpuji lebih
baik kondisinya daripada orang yang hidup tercela. Orang yang menentang
penguasa akan mati sebelum penguasa itu mati, dan orang yang keterlaluan dalam
memenuhi cintanya pada dunia akan mati dalam keadaan miskin, sedangkan orang
yang qanaah akan mati dalam keadaan kaya (Bagus, 2005).
Plato (428-348 ] adalah seorang filosof Yunani yang mengatakan manusia
terdiri dari raga dan ruh, raga bersifat kotor, sedangkan ruh bersifat suci, dan
penundukkan raga syarat bagi keselamatan ruh dan membuka harapannya akan
kekekalan . Jika seseorang mati maka ruhnya atau bagi kehidupan yang ada di
dalam raganya akan perpindahan ke organisme lain yang lebih tinggi atau lebih
rendah derajatnya dari sebelumnya, tergantung pada status yang selayaknya di
terima dalam inkarnasi-inkarnasinya sebelumnya . Barulah jika ruh tersebut
benar-benar telah suci dari segala dosanya selama rangkaian proses inkarnasinya ,
maka ia akan terbebas dari proses reinkarnasinya untuk kemudian masuk ke
dalam surga, dan menikmati kebahagiaan selama-lamanya. Sementara orang yang
berdosa akan masuk ke Purgatorio (tempat penyucian jiwa) atau neraka,
sementara ruh orang-orang yang mulia akan ditempatkan ke pulau orang -orang
yang diberkati surga. Aristoteles [384-322 ] adalah seorang filosof Yunani yang
menyatakan bahwa ruh manusia tidak mati, tetapi hidup kekal dan abadi dengan
semua perasaan , kesadaran dan pengertian (Mansur, 2012).
B. Bunuh diri dan Tingkat Resiliensi
Begitu komplek dan rumit penyebab orang melakukan bunuh diri. Bagi
orang yang memiliki keyakinan iman, ujian atau masalah dipandang sebagai cara
bagi Allah untuk lebih menguatkannya, meningkatkan derajat keimanannya dan
riyadhoh bagi jiwanya agar menjadi lebih kuat dan tegar. Keyakinan keimanan
yang tertancap pada jiwa individu yang tercermin dengan memiliki tingkat
resiliensi yang tinggi.
Berbeda dengan individu yang tidak memiliki keimanan dan mental yang
rapuh, ketika dihadapkan pada masalah, maka ide untuk mengakhiri kehidupannya
dengan cara bunuh diri menjadi sangat tinggi, hal ini menunjukkan tingkat
resiliensi yang rendah. Kejadian bunuh diri tentu tidak memiliki penyebab
tunggal. Ada factor lain pada individu yang bunuh diri sering kali ditemukan
rendahnya sistem dukungan sosial seperti kekerabatan dan teman, dan kelompok
dukungan masyarakat. Adanya perceraian orang tua memberikan dampak
tersendiri bagi remaja, seperti malu, mudah marah, sulit berkonsentrasi,
kehilangan rasa hormat terhadap orang tua, menyalahkan orang tua, melakukan
sesuatu yang salah, tidak mempunyai tujuan hidup, merasa tidak aman dengan
lingkungan sekitar, dan lain-lain (Putri & Tobing, 2020).
Adanya konflik dengan orang tua atau kakak dapat memicu distres selama
bertahun-tahun dan memunculkan emosi negatif seperti stres, marah, dan perasaan
malu. Individu dengan distres psikologis mempunyai risiko kematian lebih tinggi
dibandingkan dengan individu tanpa distres psikologis. Resiliensi telah diketahui
bahwa dapat menurunkan tingkat distres psikologis seseorang, dengan begitu
angka kematian akibat bunuh diri pun dapat ditekan.
Resiliensi dapat diartikan sebagai memiliki respons sehat terhadap
lingkungan yang menimbulkan stress, kemampuan bertahan, beradaptasi berikut
bangkit dari berbagai bentuk penderitaan hidup yang menderanya. (Nugroho,
2012; Putri & Tobing, 2020). Adapun definisi resiliensi remaja, yaitu prediksi
kemampuan remaja untuk bertahan dalam kondisi yang kurang menguntungkan
atau penuh tekanan. Remaja yang resilien memiliki kehidupan lebih baik karena
resilien memunculkan kemampuan impulse control, optimism, empathy, dan self
efficacy. Kemampuan resilien ini membuat remaja dapat mengartikan peristiwa
sulit dengan positif sehingga remaja mampu mengubah peristiwa sulit menjadi
keuntungan yang dapat mendorongnya untuk mengembangkan kemampuan dan
kemandirian (Putri & Tobing, 2020)
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa tidak ada
responden dengan tingkat resiliensi tinggi yang mempunyai ide bunuh diri
berisiko. Semua responden yang mempunyai resiliensi tinggi, 51 orang (100%),
berada pada kategori ide bunuh diri tidak berisiko. Dari 122 remaja yang
mempunyai resiliensi sedang atau cukup, terdapat 121 orang (99.2%) yang
termasuk ke dalam ide bunuh diri tidak berisiko dan 1 orang (0.8%) ide bunuh diri
berisiko. Sedangkan 58 orang lainnya, yaitu 47 orang (81.0%) ide bunuh diri tidak
berisiko dan 11 orang (19.0%) ide bunuh diri berisiko mempunyai resiliensi yang
rendah (Putri & Tobing, 2020).
Kesimpulan hasil penelitiannya menunjukkan resiliensi dan ide bunuh diri
memiliki hubungan yang signifikan pada remaja. Kemampuan resiliensi yang
dapat menurunkan tingkat distress psikologis menyebabkan penurunan terhadap
angka kejadian bunuh diri. Individu dengan distres psikologis mempunyai risiko
kematian lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki distres
psikologis. Dengan meningkatkan resiliensi, maka tingkat distres psikologis akan
turun karena keduanya memiliki hubungan negatif (Putri & Tobing, 2020).
National Youth Risk Behavior Survey 2013 yang dilakukan pada remaja
sekolah menengah di seluruh Amerika Serikat menunjukkan 17% remaja secara
serius mempertimbangkan bunuh diri dalam 12 bulan terakhir, 13.6%
merencanakan upaya bunuh diri, dan 8% melakukan upaya bunuh diri. Timbulnya
ide bunuh diri pada remaja dapat disebabkan oleh tuntutan terhadap remaja yang
bersekolah di sekolah dengan reputasi akademik ternama atau stres akademik.
Bagi remaja yang mengalami kesulitan dalam sosial emosional akan mengalami
kesulitan dalam memenuhi tuntutan- tuntutan tersebut.
Terdapat hubungan negatif antara stress akademik dengan kesehatan
mental.Artinya, semakin tinggi stres akademik yang dialami oleh remaja maka
kesehatan mental remaja tersebut semakin rendah. Begitupun sebaliknya. Hal
tersebut dapat terjadi apabila remaja tidak dapat mengatasi tuntutan atau masalah
yang terjadi. Selanjutnya, stres pun muncul dengan karakteristik seperti mudah
marah, cepat tersinggung, sulit untuk berkonsentrasi, sukar mengambil keputusan,
pemurung, sering merasa cemas atau takut, dan tidak berenergi. Selanjutnya, jika
remaja tersebut tidak dapat mengatasi stres yang dialaminya, maka remaja
tersebut dapat jatuh pada keadaan depresi.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terkait hubungan tingkat
resiliensi dengan ide bunuh diri remaja di salah satu sekolah menengah di
Purwakarta, didapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara tingkat
resiliensi dengan ide bunuh diri. Terdapat temuan menarik dalam penelitian ini, di
antaranya ide bunuh diri berisiko tidak hanya ditemukan pada remaja dengan
tingkat resiliensi rendah saja, tetapi ide bunuh diri berisiko juga ditemukan pada
remaja dengan tingkat resiliensi sedang (Putri & Tobing, 2020)
20
setiap tindakan memiliki proses yang terjadi sebelumnya (Dwipayana, 2018).
Intensi bunuh diri sangatlah penting diketahui karena sifatnya yang menjadi
langkah akhir sebelum perilaku bunuh diri dilakukan. Kasus bunuh diri tidak
memiliki tahap penyembuhan bagi korbannya, ketika seseorang bunuh diri artinya
semuanya akan berakhir tanpa ada tindakan prefentif yang bisa dilakukan oleh
keluarga maupun pihak lainnya. Perlu diketahui penyebab munculnya intensi yang
mengarah pada perilaku bunuh diri, terlebih remaja sangat beresiko karena
keadaan psikologisnya yang belum stabil dan banyaknya permasalahan yang
terjadi pada masa remaja.
Setiap perilaku yang diambil seseorang selalu berdasarkan intensi
dibaliknya sehingga membawa pada perilaku tersebut. Intensi menjadi rujukan
untuk memprediksi akankah seseorang mengambil sebuah keputusan pada
perilakunya kedepan. Tingkat depresi yang dihasilkan akibat tekanan yang
diarahkan pada seseorang dapat menghasilkan intensi mati atau bunuh diri.
Walaupun belum menjadi sebuah tindakan, intensi bunuh diri sangatlah perlu
diperhatikan karena beresiko pada seseorang untuk melakukan bunuh diri.
Permasalahan remaja memang cukup beragam, kehidupan sosialnya menjadi
sumber terjadinya permasalahan dalam diri remaja, sekolah sebagai tempat
belajarpun tidak luput dari permasalahan ini, begitupun pada kasus Widuri, ada
beberapa intensi dalam dirinya, bisa jadi karena bullying, baik dilakukan oleh
teman-temannya atau guru.
Banyak hal lain yang dapat dipelajari oleh remaja dalam lingkungan
sekolah, termasuk didalamnya adalah mengajarkan para remaja untuk
bersosialisasi. Tetapi nampaknya pembelajaran yang didapat oleh peserta didik
tidak selamanya menjadi pengalaman menarik, pengalaman buruk juga sangat
rentan terjadi dalam kehidupan mereka ketika mencoba untuk bersosialisasi
didalam lingkup sosial tertentu. Kejahatan sosial bisa saja dilakukan oleh siapapun
dimanapun dan kapanpun sehingga menjadikannya sangat berbahaya jika
kejahatan ini tidak terdeteksi dengan baik oleh tenaga pendidik atau instasi terkait.
Sangat familiar ketika mendengar berita tentang kasus kekerasan dalam dunia
pendidikan yang biasa disebut sebagai aktivitas bullying. Bullying sangat sering
terjadi dalam kehidupan, mungkin sudah tidak asing ketika mendengar ada ada
seseorang anak menghina nama atau pekerjaan orang tua temannya, ini adalah
salah satu contoh tindakan bullying yang sering ditemui di Indonesia.
Budaya kolektifitas Indonesia juga memberikan pengaruh positif dan
negatif pada remaja. Beberapa kejadian kolektifitas ini membantu remaja untuk
bisa menanggulangi bullying, dukungan teman-teman dekat mampu memberikan
kekuatan bagi remaja hingga bullying tersebut. Budaya kolektifitas ini namun
tidak selalu memberikan efek positif, dalam beberapa kejadian justru remaja yang
menjadi pelaku bullying mendapatkan dukungan oleh teman-temanya hingga
korban justru lebih terpuruk karena banyak remaja lain ikut mem-bullying dirinya.
(Dwipayana, 2018; Kurniasari & Rahmasari, 2019).
Perilaku bullying memiliki dampak yang negatif. Terdapat dua dampak
akibat bullying yaitu bahwa dampak fisik dan mental. Dampak fisik yang dialami
korban adalah munculnya keluhan kesehatan fisik seperti sakit kepala, sakit perut,
dan ketegangan dalam otot, sedangkan dampak secara mental yang dapat terjadi
pada korban bullying adalah depresi, kegelisahan, dan masalah tidur (. Beberapa
dampak yang terjadi pada korban bullying mungkin dapat terbawa hingga dewasa.
Hal ini merupakan masalah serius sehingga perlu mendapatkan
penanganan yang cepat. Munculnya depresi pada korban bullying dapat berujung
pada pikiran untuk bunuh diri ataupun melukai diri karena bullying yang terjadi
pada seseorang dapat membuat orang tersebut merasa tertekan . Penjelasan di atas
dapat diketahui bahwa bullying memiliki dampak menyebabkan seseorang
mengalami depresi jika tidak segera mendapat penanganan dan dapat
memunculkan permasalahan yang serius lainnya seperti ide bunuh diri ataupun
melukai diri sendiri.
Berdasarkan intensi adanya bullying, berdasarkan asumsi dan data empiris
menunjukkan bahwa adanya bullying sebagian besar adalah adanya akibat
perlakukan teman-temannya yang tidak mendapatkan dukungan, sehingga
munculnya keputusasaan, sehingga pantas untuk merekomendasikan adanya
penyelidikan terhadap adanya bullying yang diterima oleh teman-temannya dan
gurunya.
Intensi yang kedua yang juga merupakan pemicu terhadap perilaku. Bunuh
diri Widuri adalah karena tingkat resileinsi yang rendah. Kemajuan teknologi dan
arus globalisasi membuat anak semakin pandai, semakin kritis, semakin banyak
keinginannya, namun di sisi lain mentalnya melemah. Hal ini bisa juga lantaran
fasilitas, kemudahan, bahkan kenikmatan hidup ditawarkan dimana-mana,
sehingga anak kurang memiliki daya juang untuk mencapai sesuatu. Juga sikap
orangtua yang terlalu menanamkan disiplin pada anak demi mengejar prestasi
bagaikan pisau bermata dua. Anak diharuskan menurut untuk memenuhi target
orangtua, sehingga anak menjadi sangat tertekan dan kemudian dapat melakukan
tindakan bunuh diri (Ruswahyuningsih & Afiatin, 2015).
Mencermati fenomena sosial yang terjadi saat ini, maka diketahui betapa
pentingnya daya tahan dan daya lentur (resiliensi) bagi individu remaja agar
mampu menghadapi tantangan-tantangan didalam kehidupannya, dan dapat
terhindar dari stres, depresi, dan perilaku negatif yang merugikan dirinya sendiri
dan lingkungan sosialnya. Dalam perkembangannya, remaja mempunyai tugas-
tugas perkembangan yang harus dihadapi dengan melakukan penyesuaian diri
yang baik agar tidak menimbulkan permasalahan dan hambatan- hambatan dalam
perkembangan remaja selanjutnya (Nurihsan, 2011). Salah satu kualitas pribadi
yang dibutuhkan dalam penyesuaian diri yang efektif adalah resiliensi (Putri &
Tobing, 2020; Ruswahyuningsih & Afiatin, 2015).
Bagaimana individu remaja atau keluarga menghadapi dan beradaptasi
selama masa sulit ataupun stres disebut dengan resiliensi, yaitu: kemampuan
seorang individu untuk bangkit kembali dari tekanan hidup, belajar dan mencari
elemen positif dari lingkungannya untuk membantu kesuksesan proses beradaptasi
dengan segala keadaan dan mengembangkan seluruh kemampuannya, walau
berada dalam kondisi hidup tertekan, baik secara eksternal atau internal.
Berdasarkan landasan teori di atas menunjukan bahwa pada kasus bunuh
diri Widuri, daya resiliensi yang rendah yang dimiliki Widuri menjadi intensi
yang mempengaruhi keputusannya untuk melakukan bunuh diri. Ada komunikasi
yang disampaikan oleh Widuri bagi ibunya, berdasarkan filsafat komunikasi
sebagai pesan aksiologi komunikasinya bahwa dalam keputusasaan dan kesedihan
serta kekecewaannya ada keinginan dirinya untuk difahami memiliki keputusan
untuk mengakhiri hidupnya.
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan literature review dan data empiris yang diperoleh, maka
dapat disimpulkan bahwa: Widuri melakukan bunuh diri karena berbagai factor
yang mempengaruhi sehingga tidak dapat secara langsung menyalahkan
International Magenta School sebagai satu-satunya penyebab dan pemicu bunuh
diri Widuri. Maka direkomendasikan untuk melakukan penyelidikan yang lebih
komprehensif baik terhadap kehidupan komunikasi di keluarganya, kehidupan
sosial Bersama teman-temannya dan perilaku guru terhadap dirinya.
24
Daftar Pustaka
Bagus, L. (2005). Kamus Filsafat. 242. http://philpapers.org/rec/SHOMKF
Dwipayana, A. A. G. P. (2018). Intensi Bunuh Diri pada Remaja Korban
Bullying. In Unika Soegijapranata Semarang.
https://repositorio.flacsoandes.edu.ec/bitstream/10469/2461/4/TFLACSO-
2010ZVNBA.pdf
Fahrudin, A. (2012). Fenomena Bunuh Diri Di Gunung Kidul: Catatan Tersisa
Dari Lapangan. Sosio Informa, 17(1), 13–19.
https://doi.org/10.33007/inf.v17i1.63
Kurniasari, A. D., & Rahmasari, D. (2019). Ide bunuh diri pada korban bullying.
Jurnal Penelitian Psikologi, 7(3), 117–131.
Kurniawan, P. (2019). Fenomena “Bunuh Diri” Di Kalangan Usia Muda
Indonesia Dilihat dari sudut pandang Filsafat Manusia. 9.
Mansur, S. (2012). Kematian Menurut Para Filosof. 29(2), 26.
Miswari. (2016). Filsafat Terakhir (pertama). Unimal Press.
Nawawi, N. (2017). Tokoh Filsuf dan Era Keemasan Filsafat. In M. Sabri (Ed.),
Pusaka Almaida Makasar (1 Revisi). Pusaka Almaida Makasar.
Nugroho, W. B. (2012). Youth, suicide and resilience: strengthening resilience as
a reduction in suicide rates among Indonesian youth. Jurnal Studi Pemuda,
I(1), 31–45.
Nurihsan, S. Y. dan J. (2011). Landasan Bimbingan dan Konseling (6th ed.).
Remaja Rosdakarya.
Putri, K. F., & Tobing, D. L. (2020). Tingkat Resiliensi dengan Ide Bunuh Diri
Pada Remaja. Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan, 10, 1–6.
Ruswahyuningsih, M. C., & Afiatin, T. (2015). Resiliensi pada Remaja Jawa.
Jurnal Psikologi UGM, 1(2), 96–105. https://doi.org/10.22146/gamajop.7347
Siregar, Ni. S. S. (2002). Perkembangan Filsafat Komunikasi di Indonesia.
25
26