Anda di halaman 1dari 31

Bunuh Diri: Antara Tingkat Resiliensi dan Perlakuan Lingkungan

(Diajukan untuk Memenuhi Ujian Akhir Mata Kuliah Filsafat dan Teori
Komunikasi)

Oleh.
Asep Rahmat
NIM.

Program Studi Komunikasi dan Ilmu Penyiaran


Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI …………………………………………………………… I
BAB I : PENDAHULUAN …………………………………………….. 1
A. Latar Belakang ………………………………………………. 4
B. Tujuan Penelitian …………………………………………….. 4
C. Manfaat Penelitian …………………………………………… 4
D. Sistematika Penulisan ………………………………………… 4
BAB II : LANDASAN TEORI ………………………………………….. 5
A. Landasan Teori Tentang Kematian …………………………… 5
B. Bunuh Diri dan Tingkat Resiliensi……………………………. 8
C. Bunuh Diri dan Filsafat Komunikasi ………………………… 10
BAB III : PEMBAHASAN ………………………………………………. 19
BAB IV : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ……………………… 23
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 24
I
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang
berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu” (qs. 4 : 29).
Pada Surat Annisa ayat 29 di atas, mengeksplisitkan perintah kepada
orang-orang beriman agar tidak memakan harta orang lain dengan jalan yang batil
atau tidak halal, dan melarang manusia untuk membunuh dirinya. Lalu diakhir
ayatnya menyatakan bahwa Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya
yang beriman. Allah Swt menegaskan bahwa hamba Allah haram untuk memakan
harta dengan cara yang batil (karena Allah menjamin rezeki setiap makhluk) dan
jangan haram untuk membunuh diri sendiri ( karena Allah tidak mungkin
membebani hambanya dengan persoalan atau masalah maupun kesulitan di luar
batas kemampuannya sebagai hamba Allah.
Bunuh diri adalah fenomena yang terjadi pada kehidupan manusia.
Kesediaan Socrates untuk minum racun, misalnya, merupakan tindakan bunuh diri
yang dilakukannya secara sadar; walau ada hubungan dengan hukuman mati yang
dijatuhkan padanya. Socrates memilih membunuh dirinya sendiri dengan cara
minum racun daripada mencabut ajaran kebenaran yang dia diberikan kepada
anak-anak muda. Dalam cerita wayang yang bersumber dari Kitab Ramayana dan
Mahabharata, kita dapat menemukan tokoh Kumbokarno yang mati bunuh diri
dengan cara nekat berperang. Lalu pada tradisi bangsa Jepang, kita juga mengenal
tradisi harakiri, yaitu bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut dan
mengeluarkan seluruh isinya, sebagai bentuk kesatriaan dalam penebusan dosa.
Pada masyarakat modern sekarang, cara yang digunakan dan tujuan bunuh
diripun beragam. Ada bunuh diri dengan membakar tubuh sebagai aksi protes,
seperti yang dilakukan oleh Chen Guo, penganut sekte meditasi Falun Gong di

1
Beijing. Bersama tujuh orang lainnya, dia membakar tubuhnya di Lapangan
Tiananmen sebagai aksi protes terhadap pelarangan Sekte Falun Gong.
Ada juga yang dengan upacara ritual karena keyakinan akan kenikmatan abadi,
seperti bunuh diri massal yang dilakukan oleh sekte Heaven’s Gate (Pintu Surga)
di Amerika Serikat, pada tanggal 28 Maret 1997. Pemimpin Sekte ini, Marshall
Applewhite, percaya bahwa sebuah UFO (unidentified flying object) memang ada
dan akan membawa anggotanya ke surga begitu mereka membuang wadah
(tubuh) mereka (Fahrudin, 2012)
Terdapat contoh kasus bunuh diri di Indonesia yang melibatkan usia muda,
diantaranya adalah Eko Prasetyo meninggal gantung diri akibat skripsinya tidak
kunjung selesai ( 15 Januari 2008 ), Af Hardiman seorang mahasiswa melakukan
aksi bunuh diri di Danau Singkarak, Sumatra barat ( 14 Oktober 2011 dan
Andriyadi, pemuda berusia 21 tahun nekat melakukan bunuh diri akibat putus
cinta dengan memotong urat nadinya dengan menggunakan cutter. Fenomena
bunuh diri adalah keyakinan, ada keyakinan keliru tentang kebahagiaan setelah
kematiannya, ada keyakinan keliru terhadap penyelesaian masalah, tidak memiliki
harapan, sedih,kecewa berat, frustasi, stress dan depresi yang berujung putus asa
dan kehilangan harapan untuk meneruskan kehidupan didunianya (Kurniawan,
2019)
Bunuh diri didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan individu
untuk membunuh diri sendiri. World Health Organization (WHO) menyampaikan,
bunuh diri telah menjadi fenomena global sebagai penyebab kematian kedua
terbanyak pada tahun 2016 dengan temuan terbanyak terjadi pada rentang usia 15
sampai 29 tahun. Diperkirakan ada lebih dari 800.000 orang meninggal setiap
tahun akibat bunuh diri dan lebih dari 79% kasus bunuh diri terjadi di negara
berpenghasilan rendah sampai menengah. Data statistik WHO (2018) sejak tahun
2000 hingga 2016 memaparkan angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia
mencapai 3,4% dari 100.000 populasi. Angka ini meningkat sebesar 0,5% dari
hasil temuan sebelumnya, yaitu 2,9% dari 100.000 populasi (Putri & Tobing,
2020)
Bunuh diri tidak mengenal usia, jenis kelamin, status sosial, jumlah
kekayaan, dan jabatan, bunuh diri juga dapat terjadi di mana saja dan kapan saja.
Dilihat dari lika-liku dan perjalanan hidup seseorang yang berbeda-berbeda,
bunuh diri salah satu cara untuk mengakhiri hidupnya yang banyak permasalahan
atau beban yang dijalani. Padahal kesempatan hidup di dunia merupakan anugrah
Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada manusia karena Rahman dan
Rahim-Nya.
Begitupun fenomena pada kasus Widuri, seorang siswi sekolah
Internasional Magenta School yang bereputasi baik dengan peserta didik
berjumlah 4000 orang. Pada saat penerimaan peserta didik baru, orang tua, guru,
dan tenaga kependidikan dihebohkan dengan aksi bunuh diri yang dilakukan oleh
Widuri, peserta didik kelas VIII. Pada jaket baju Widuri yang dikenakan pada saat
bunuh diri, polisi menemukan surat bagi ibunya, isi surat tersebut tertulis:
Mama ..sebenarnya Widuri tahu semua jawaban yang ditanyakan oleh Bapak
guru..Tapi Widuri simpan sendiri, biar Bapak guru yang langsung bertanya pada
Widuri.
Tentu peristiwa bunuh diri Widuri memicu spekulasi keterkaitan antara
perlakuan guru sebagai pencetus aksi bunuh diri yang dilakukan bunuh diri.
Media massa yang terus menerus memberitakan peristiwa bunuh diri yang
semakin memojokkan Magenta School dengan dugaan memiliki system
pendidikan dan guru yang tidak comportable bagi peserta didik. Peristiwa bunuh
diri Widuri ‘mengundang’ reaksi secara langsung Menteri Pendidikan yang
meminta International Magenta School untuk menyampaikan laporan secara rinci
tentang system pendidikannya. Reaksi keras juga datang dari komite sekolah agar
kepala sekolah menjelaskan terkait system pembelajaran pada International
Magenta School.
Berdasarkan desakan dari berbagai pihak terkait aksi bunuh diri Widuri di
sekolah, maka kepala sekolah diminta untuk dapat memberikan jawaban sebagai
solusi agar reputasi dan citra International Magenta School dan kepercayaan
masyarakat terhadap sekolah tidak menurun. Berdasarkan latar belakang di atas,
maka makalah ini disusun sebagai jawaban terhadap kasus bunuh diri Widuri,
dengan diberi judul “ Bunuh diri: Antara Tingkat Resiliensi dan perlakuan
lingkungan”.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjawab berbagai spekulasi
yang ‘memojokan’ International Magenta School dengan rincian tujuan sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan bunuh diri (kematian) berdasarkan tinjauan filsafat yang
dikomunikasikan para Filsuf
2. Mendeskripsikan bunuh diri berdasarkan tingkat Resiliansi
3. Mendeskripsikan bunuh berdasarkan perlakuan lingkungan
kehidupannya (Bullying)

C. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah :
1. bagi International Magenta School, memperoleh perlakuan sosial yang
berkeadilan karena adanya jawaban secara empris dan ilmiah terhadap kasus
bunuh diri Widuri.
2. bagi orangtua, mendapatkan penjelasan yang komprehensif sehingga dapat
memiliki kepercayaan untuk menitipkan putra-putrinya di International
Magenta
School
3. bagi dunia pendidikan Indonesia, mendapatkan penjelasan secara rinci, bahwa
kasus bunuh diri memiliki berbagai latar belakang dan berbagai factor dengan
tingkat kompleksitas yang rumit, sehingga dapat menjadi upaya preventif
(pencegahan) agar kasus bunuh diri tidak terulang Kembali.

D. Sistematika Penulisan
Penulisan pada makalah ini menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bab I : pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang penulisan, tujuan penulisan,
manfaat penulisan dan sistematika penulisan
Bab II : pembahasan secara komprehensif
Bab III: Kesimpulan dan Rekomendasi
Daftar Pustaka
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Landasan Teori Tentang Kematian


Bunuh diri merupakan fenomena yang terjadi pada kehidupan manusia,
bahkan Allah Swt sebagai pencipta manusia, dzat yang Maha Mengetahui keadaan
makhluknya, mengekplisitkan dalam firmannya , bahwa ada kemungkianan
manusia -manusia tertentu memilih untuk membunuh dirinya, artinya ada
kematian-kematian yang diinginkan oleh manusia yang diijinkan Allah Swt,
namun berada pada murka Allah, karena secara logika sederhana bahwa nyawa
adalah milik Allah Swt, sehingga manusia tidak memiliki hak apapun atas
nyawanya. Dalam pandangan Islam bunuh diri adalah perbuatan yang haram
hukumnya dan merupakan dosa besar. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dari Ad-Dahak disebutkan, “Barang siapa terjun dari sebuah
bukit untuk menewaskan dirinya sendiri, maka kelak dia akan masuk neraka
dalam keadaan terlempar jasadnya, Ia kekal dalam neraka selama-lamanya”.
Begitulah Islam memandang ketentuan hukum bunuh diri.
Bunuh diri adalah gerbang menuju kematian, satu episode keniscayaan
yang harus dialami setiap makhluk yang bernyawa, “kullu nasfing zaa iqotul
Mauut” artinya “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati…..”, kehidupan
dunia tidak ada yang pasti, kecuali kematian. Berangkat dari pemyataan Abu
Nashr Al-Farabi bahwa tidak ada sesuatupun di alam ini yang tidak bisa dimasuki
oleh filsafat (Mansur, 2012). Dengan kata lain, bahwa semua bidang dibicarakan
dalam filsafat termasuk persoalan kematian karena kematian pasti datang kepada
manusia, bahkan kematian manusia pertama dialami oleh putra Adam sendiri.
Walaupun Adam sebagai manusia pertama, khalifah pertama dan bapak
pertama yang sedih karena ditinggalkan putranya yang dibunuh oleh saudaranya
sendiri. Habil mati ditangan Qabil karena ketidaksukaan/iri kepadanya. Habil
sebagai putra Adam yang pertama mati ditangan saudaranya sendiri, sebelum
Habil mati , ia menyatakan bahwa kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku
untuk membunuhku , sekali-kali aku tidak akan menggerakkan tanganku

6
kepadamu untuk membunuhmu . Sesungguhnya aku takut kepada Allah. Tuhan
seru sekalian alam. Habil mati karena keserakan Qabil, namun Qabil menyesal
karena kesengsaraan dan kebodohannya untuk mengubur saja tidak tahu kecuali ia
mengetahui dari burung gagak .
Lalu selanjutnya berbagai fenomena kematian berlanjut. Ada yang dicabut
nyawanya ketika masih bayi, usia balita, anak-anak, remaja, dewasa ataupun
sudah tua renta. Kematian dialami manusia yang baik maupun manusia yang
jahat, manusia yang dalam keadaan senang maupun yang dalam keadaan susah,
baik manusia yang sehat maupun yang yang dalam keadaan sakit, baik manusia
yang takut maupun manusia yang berani, dalam keadaan kaya maupun miskin,
maka kematian pasti akan datang kepada manusia.
Misteri kematian menjadi sangat menarik dan ditelusuri melalui
pemikiran para filosof tentang bagaimana para filosof memandang dan memaknai
kematian dan setelah terjadinya kematian, serta bagaimana para filosof menyikapi
kematian bagi manusia . Hal ini ditelaah lebih dalam yang berkaitan dengan
kematian karena kematian pasti datang maka kita perlu mengetahui tentang
persoalan kematian.
A.1 Filosof Yunani Tentang Kematian
Para filosof Yunani sepakat bahwa kematian itu akan menjemput manusia
karena kematian merupakan perpisahan ruh dari jasad (Mansur, 2012).
Kematian itu menyakitkan bagi yang ditinggalkan dan menyedihkannya, namun
kematian manusia belum berakhir karena setelah kematian ada kehidupan lagi .
Dalam hal ini, ada perbedaan dalam memaknai setelah kematian manusia, ada
yang memaknai bahwa kematian itu belum berakhir masih ada tanggung jawab
manusia dan ada pula yang memaknai bahwa kematian adalah siksaan kepada
manusia dan lain sebagainya .
Thales [625-547 ] adalah seorang filosof Yunani yang terkenal dengan
ungkapan bahwa segala sesuatu berasal dari air . Kemudian di saat menua, ia
ditanya tentang keadaannya , maka ia menjawab bahwa beginilah aku mati secara
perlahan-lahan. Pythagoras [581-507 ] adalah seorang filosof Yunani yang
menyatakan bahwa ruh manusia itu dapat berpindah ruh dari seorang manusia
yang sudah mati kelain jasad. Mati bukan akhir tiap-tiap sesuatu dalam hidup
manusia karena ada kehidupan sesudah mati (Miswari, 2016; Nawawi, 2017).
Socrates [470-399 ] adalah seorang filosof Yunani yang terkenal sebagai
guru pertama dalam berfilsafat . la menyatakan bahwa jiwa berbeda dengan raga ,
jiwa tidak ikut hancur deng n kehancura n raga , melainkan malah terbebas dari
penjara yang mengungkungnya dan kembali kemumian karaktemya.Bahkan mati
lebih baik daripada mundur dari menunaikan kewajiban, kematian memang
merupakan cobaan besar, namun ia harus diterima oleh makhluk dengan lapang
dada, sebab ia adalah hak yang digariskan dan ditetapkan oleh Sang Pencipta ,
sehingga tidak perlu ditakuti. Maka keliru jika ada orang yang mcnyangka bahwa
kematian adalah suatu yang buruk, karena disana ada secercah kehiduapan yang
memberitakan kabar gembira bahwa kematian adalah sesuatu yang baik .
Kematian adalah ketiadarasaan seperti kepulasan tidur seseorang yang
tidak terganggu oleh hantu - hantu, maka tidak perlu diperdebatkan karena
kematian mengandung manfaat. Kematian adalah perpindahan ke tempat lain
yang konon menjadi muara tempat tinggal seluruh orang - orang yang mati. "
Bahkan lebih tegas lagi, dinyatakan bahwa orang yang mcnjadikan kematian ada
di depannya, maka dirinya akan menjadi lebih baik. Orang yang mati terpuji lebih
baik kondisinya daripada orang yang hidup tercela. Orang yang menentang
penguasa akan mati sebelum penguasa itu mati, dan orang yang keterlaluan dalam
memenuhi cintanya pada dunia akan mati dalam keadaan miskin, sedangkan orang
yang qanaah akan mati dalam keadaan kaya (Bagus, 2005).
Plato (428-348 ] adalah seorang filosof Yunani yang mengatakan manusia
terdiri dari raga dan ruh, raga bersifat kotor, sedangkan ruh bersifat suci, dan
penundukkan raga syarat bagi keselamatan ruh dan membuka harapannya akan
kekekalan . Jika seseorang mati maka ruhnya atau bagi kehidupan yang ada di
dalam raganya akan perpindahan ke organisme lain yang lebih tinggi atau lebih
rendah derajatnya dari sebelumnya, tergantung pada status yang selayaknya di
terima dalam inkarnasi-inkarnasinya sebelumnya . Barulah jika ruh tersebut
benar-benar telah suci dari segala dosanya selama rangkaian proses inkarnasinya ,
maka ia akan terbebas dari proses reinkarnasinya untuk kemudian masuk ke
dalam surga, dan menikmati kebahagiaan selama-lamanya. Sementara orang yang
berdosa akan masuk ke Purgatorio (tempat penyucian jiwa) atau neraka,
sementara ruh orang-orang yang mulia akan ditempatkan ke pulau orang -orang
yang diberkati surga. Aristoteles [384-322 ] adalah seorang filosof Yunani yang
menyatakan bahwa ruh manusia tidak mati, tetapi hidup kekal dan abadi dengan
semua perasaan , kesadaran dan pengertian (Mansur, 2012).
B. Bunuh diri dan Tingkat Resiliensi
Begitu komplek dan rumit penyebab orang melakukan bunuh diri. Bagi
orang yang memiliki keyakinan iman, ujian atau masalah dipandang sebagai cara
bagi Allah untuk lebih menguatkannya, meningkatkan derajat keimanannya dan
riyadhoh bagi jiwanya agar menjadi lebih kuat dan tegar. Keyakinan keimanan
yang tertancap pada jiwa individu yang tercermin dengan memiliki tingkat
resiliensi yang tinggi.
Berbeda dengan individu yang tidak memiliki keimanan dan mental yang
rapuh, ketika dihadapkan pada masalah, maka ide untuk mengakhiri kehidupannya
dengan cara bunuh diri menjadi sangat tinggi, hal ini menunjukkan tingkat
resiliensi yang rendah. Kejadian bunuh diri tentu tidak memiliki penyebab
tunggal. Ada factor lain pada individu yang bunuh diri sering kali ditemukan
rendahnya sistem dukungan sosial seperti kekerabatan dan teman, dan kelompok
dukungan masyarakat. Adanya perceraian orang tua memberikan dampak
tersendiri bagi remaja, seperti malu, mudah marah, sulit berkonsentrasi,
kehilangan rasa hormat terhadap orang tua, menyalahkan orang tua, melakukan
sesuatu yang salah, tidak mempunyai tujuan hidup, merasa tidak aman dengan
lingkungan sekitar, dan lain-lain (Putri & Tobing, 2020).
Adanya konflik dengan orang tua atau kakak dapat memicu distres selama
bertahun-tahun dan memunculkan emosi negatif seperti stres, marah, dan perasaan
malu. Individu dengan distres psikologis mempunyai risiko kematian lebih tinggi
dibandingkan dengan individu tanpa distres psikologis. Resiliensi telah diketahui
bahwa dapat menurunkan tingkat distres psikologis seseorang, dengan begitu
angka kematian akibat bunuh diri pun dapat ditekan.
Resiliensi dapat diartikan sebagai memiliki respons sehat terhadap
lingkungan yang menimbulkan stress, kemampuan bertahan, beradaptasi berikut
bangkit dari berbagai bentuk penderitaan hidup yang menderanya. (Nugroho,
2012; Putri & Tobing, 2020). Adapun definisi resiliensi remaja, yaitu prediksi
kemampuan remaja untuk bertahan dalam kondisi yang kurang menguntungkan
atau penuh tekanan. Remaja yang resilien memiliki kehidupan lebih baik karena
resilien memunculkan kemampuan impulse control, optimism, empathy, dan self
efficacy. Kemampuan resilien ini membuat remaja dapat mengartikan peristiwa
sulit dengan positif sehingga remaja mampu mengubah peristiwa sulit menjadi
keuntungan yang dapat mendorongnya untuk mengembangkan kemampuan dan
kemandirian (Putri & Tobing, 2020)
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa tidak ada
responden dengan tingkat resiliensi tinggi yang mempunyai ide bunuh diri
berisiko. Semua responden yang mempunyai resiliensi tinggi, 51 orang (100%),
berada pada kategori ide bunuh diri tidak berisiko. Dari 122 remaja yang
mempunyai resiliensi sedang atau cukup, terdapat 121 orang (99.2%) yang
termasuk ke dalam ide bunuh diri tidak berisiko dan 1 orang (0.8%) ide bunuh diri
berisiko. Sedangkan 58 orang lainnya, yaitu 47 orang (81.0%) ide bunuh diri tidak
berisiko dan 11 orang (19.0%) ide bunuh diri berisiko mempunyai resiliensi yang
rendah (Putri & Tobing, 2020).
Kesimpulan hasil penelitiannya menunjukkan resiliensi dan ide bunuh diri
memiliki hubungan yang signifikan pada remaja. Kemampuan resiliensi yang
dapat menurunkan tingkat distress psikologis menyebabkan penurunan terhadap
angka kejadian bunuh diri. Individu dengan distres psikologis mempunyai risiko
kematian lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki distres
psikologis. Dengan meningkatkan resiliensi, maka tingkat distres psikologis akan
turun karena keduanya memiliki hubungan negatif (Putri & Tobing, 2020).
National Youth Risk Behavior Survey 2013 yang dilakukan pada remaja
sekolah menengah di seluruh Amerika Serikat menunjukkan 17% remaja secara
serius mempertimbangkan bunuh diri dalam 12 bulan terakhir, 13.6%
merencanakan upaya bunuh diri, dan 8% melakukan upaya bunuh diri. Timbulnya
ide bunuh diri pada remaja dapat disebabkan oleh tuntutan terhadap remaja yang
bersekolah di sekolah dengan reputasi akademik ternama atau stres akademik.
Bagi remaja yang mengalami kesulitan dalam sosial emosional akan mengalami
kesulitan dalam memenuhi tuntutan- tuntutan tersebut.
Terdapat hubungan negatif antara stress akademik dengan kesehatan
mental.Artinya, semakin tinggi stres akademik yang dialami oleh remaja maka
kesehatan mental remaja tersebut semakin rendah. Begitupun sebaliknya. Hal
tersebut dapat terjadi apabila remaja tidak dapat mengatasi tuntutan atau masalah
yang terjadi. Selanjutnya, stres pun muncul dengan karakteristik seperti mudah
marah, cepat tersinggung, sulit untuk berkonsentrasi, sukar mengambil keputusan,
pemurung, sering merasa cemas atau takut, dan tidak berenergi. Selanjutnya, jika
remaja tersebut tidak dapat mengatasi stres yang dialaminya, maka remaja
tersebut dapat jatuh pada keadaan depresi.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terkait hubungan tingkat
resiliensi dengan ide bunuh diri remaja di salah satu sekolah menengah di
Purwakarta, didapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara tingkat
resiliensi dengan ide bunuh diri. Terdapat temuan menarik dalam penelitian ini, di
antaranya ide bunuh diri berisiko tidak hanya ditemukan pada remaja dengan
tingkat resiliensi rendah saja, tetapi ide bunuh diri berisiko juga ditemukan pada
remaja dengan tingkat resiliensi sedang (Putri & Tobing, 2020)

C. Bunuh diri dan filsafat Komunikasi


Data WHO tahun 2012 menyatakan bahwa hasil penelitian selama 10
tahun di 172 negara menunjukkan lebih dari 800.000 orang di dunia   melakukan
bunuh diri setiap tahunnya. Pada tahun yang sama, estimasi WHO menunjukkan
bahwa kejadian bunuh diri di Indonesia adalah 4,3% per 100.000 populasi. Terkait
hal tersebut, diperlukan upaya deteksi dini dan pencegahan bunuh diri.
Demikian pernyataan Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek,
Sp.M(K), saat membuka kegiatan Lokakarya dalam rangka Hari Pencegahan
Bunuh Diri Sedunia tahun 2016 di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta (2/11).
Acara hari ini dihadiri oleh para pejabat eselon 1 di lingkungan
Kementerian Kesehatan, perwakilan dari Kepolisian Republik Indonesia,
perwakilan Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Jiwa seluruh Indonesia,
perwakilan Kadinkes provinsi seluruh Indonesia, dan perwakilan organisasi
profesi dan praktisi.
Tema nasional Lokakarya dalam rangka Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia
Tahun 2016 ini adalah: Meningkatkan Hubungan, Komunikasi dan Kepedulian
dalam Keluarga terhadap Pencegahan Bunuh Diri. Lokakarya ini diselenggarakan
dalam rangka advokasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait pencegahan
bunuh diri guna memberikan informasi dan edukasi dalam mengenali secara dini
risiko percobaan bunuh diri.
Berdasarkan pernyataan di atas, terdapat hubungan yang sangat erat antara
bunuh diri dan komunikasi keluarga dalam pencegahan bunuh diri. Hal ini
menunjukkan dibutuhkan pemahaman yang lebih mendalam terkait filsafat
komunikasi untuk lebih memahami hakekat komunikasi dan perkembangannya.
Berikut disajikan perkembangan sejarah filsafat komunikasi di Eropa , Amerika
dan Indonesia.
Membahas sejarah perkembangan filsafat komunikasi membawa
kepemikiran yang komprehensif sebab pemahaman sejaroh perkembangan filsafat
komunikasi akan dilakukan secara kontekstual, artinya kita tidak dapat lari dari
kontribusi yang diberikan oleh ilmu Publisistik, Jurnalistik don Retorika.
Setidaknya, berbagai literatur yang ado muara pemahaman kita pelajari 'umbuh
don berkembang melalui tiga bidang kajian ilmu yaitu Publisistik, yang
berkembang di Eropah, Jurnalistik berkembang di Jerman don Retorika yang
berkembang di Amerika. Oleh karenanya secara teoritis berbicara ten tang sejarah
perkembangan filsafat komunikasi mau tidak mau kita harus lebih dahulu
mengkaji ketiga disiplin ilmu tersebut.
C.1 Perkembangan llmu Komunikasi melalui Publisistik Revolusi
Perkembangan llmu Komunikasi melalui Publisistik Revolusi industri
telah membawa banyak para pemikir kearah pembentukan pendapat umum dan
peranan pers. Hal ini tampak pada tulisan-tulisan Bagehot, Maine, Bryce, dan
Wallas dan di Perancis dapat dilihat pada karya Tarde. Di negara Jerman, minat
ini dituangkan dalam bentuk ilmu, Max Waber ( 1864-1920) untuk pertama
kalinya mengembangkan ilmu pers dengan landasan ilmiah. Pada pertemuan di
Deutsche Gesllscharft fur Soziologie ( 1910) yang mengusulkan dua proyek
pengkajian sosiologi yaitu sosilogi organisasi dan sosiologi pers. Sepuluh tahun
kemudian Ferdinan Tonnies ( 1885 - 1936) menerbitkan kritik der Offentliche
yang mengupas sifat opini publik dalam masyarakat. Hubungan antara pers dan
opini publik tersebutlah yang akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan
Zeitungwissenschaft (persuratkabaran) (Siregar, 2002)
Perkembangan selanjutnya kita dapat memahami bagaimana minat pada
sosiologi pers, khususnya opini publik telah membawa sarjana jerman pada
bidang yang soma sekali tidak ado hubungannya dengan pers surat kabar,
misalnya retorika, radio, televisi, don film. Perkembangan tersebut secara
kondisional telah memunculkan ilmu baru yang dikenal dengan istilah Publizistik.
lni dikembangkan oleh Hageman ( 1966) dan dilanjutkan oleh Dovivat ( 1968).
Objek penelitian publisitik tidak hanya berkisar pada pers, tetapi meluas sampai
ke offentliche aussage (pernyatan publik).
Dovivat mengatakan,bahwa publisistik adalah segala usaha menggerakkan
dan membimbing tingkah laku publik secara rohaniah. la membagi publisistik
menjadi enam yaitu : (1) Offenlichkeit (ditentukan don ditujukan kepada publik);
(2) Gesinnung (berdasar ideologi ); (3) Ubercugung oder kollektieve
aussrichtung (cara persuasi dan kolektif); (4) Anschaulichkeit und
eindringlichkeit (pesan yang jelas dan berkesan); Die publiziste personlichkeit
(digerakkan orang-orang yang berkarakter); Aktualitat (bersifat Aktual).
Lebih lanjut Dovivat menambahkan bahwa publisistik selalu bertujuan dan
disalurkan melalui pernyataan tertulis, terucap, tergambar, dan tergerak.
Publisistik adalah komunikasi dengan ciri- ciri khusus sebagai berikut : 1) Publik,
prosesnya ditentukan dan dipengaruhi publik; 2) Persuasif, bertujuan mengubah
sikap atau tingkah laku orang lain; 3) Aktual, terjadi dalam jangka waktu cepat
atau segera. Publisistik dapat bersifat interpersonal apabila disebarkan pada publik
dengan tujuan untuk mempengaruhi pikiran dan tingkah laku.
C.2 Perkembangan llmu Komunikasi melalui Jurnalistik
Masa Benyamin Franklin ( 1700 - 1870). Pada masa ini jurnalisme
dianggap sebagai seni dan dipelajari melalui sistem magang. Perhatian terhadap
penelitian jurnalistik dan dokumentasi kurang sistematis don kurang/tidak ilmiah.
Studi pada umumnya berkisar tentang surat kabar dan penerbitannya. Tahun 1810
Isaiah Thomas menerbitkan The History Of Printing In America. Tahun 1873
Frederick Hudson mengeluarkan Journalism In The United States. Keduanya
bersifat historis. Singkatnya, pada masa Benyamin ini jurnalistik adalah studi
tentang surat kabar (Siregar, 2002).
Masa Robert Lee (1870 – 1930). Pada masa ini jurnalistik mulai diajarkan
secara formal di universitas-universitas. Robert Lee merintis pendidikan
jurnalistik di Washington College. Pada waktu itu program jurnalistik merupakan
bagian dari Departemen Bahasa lnggris. Mengajarkan adalah hal-hal yang teknis,
sehingga kurang mendapat penghargaan. Selanjutnya, jurnalistik dikembangkan
sebagai disiplin ilmu tersendiri. Pada tahun 1930-an Bleye memasukkan
jurnalistik sebagai program minor pada Universitas Winconsin. Sekarang
jurnalistik merupakan bagian dari ilmu-ilmu sosial, bukan lagi humaniora seperti
sebelumnya. Dari program inilah doktor-doktor yang nantinya akan menjadi
tokoh-tokoh jurnalistik seperti Nafsiger, Siebert, dan Casey. Dengan latar
belakang ilmu sosial mereka membawa jurnalistik ke Universitas Stanford llinois,
Michigan. Northwestern, dan Minnesota. Pada akhir masa ini keluar buku Laswell
yang berjudul Propaganda Technique The World War. Karya ini merupakan studi
pertama yang menganalisis isi media dengan metode sistematik don llmiah. Buku
ini mengantarkan jurnalistik masa-masa berikutnya.
Maso Harold Lasswell (1930 - 1950). Perang dunia berpengaruh besar
pada periode ini. Nazi Jerman muncul sebagai penakluk Negara-negara Eropa.
Mereka berperang selain dengan senjata juga melalui propaganda. Efek
propaganda menarik perhatian Laswell. Sebagai seorang sarjana ilmu politik ia
menyusun disertasinya tentang pembentukan pendapat dan sikap. la mengajar di
Chicago dan meninggalkan murid-muridnya seperti Herbert Simon, lthiel de Sola
Pool, Gariel Almond, don Abraham Kapaln. Sumbangannya yang paling besar
pada ilmu komunikasi adalah metodologi penelitian komunikasi. Laswell adalah
orang pertama yang menggunakan metode analisis isi untuk penelitian media.
Analisisnya tentang struktur dan fungsi komunikasi dalam masyarakat merintis
jalan untuk penelitian- penelitian komunikasi selanjutnya.
Perhatian pada efek media massa ini selanjutnya dikembangkan oleh Carl
I.Hovland, Paul Lazarsfeld, don Kurt Lewin Hovland seorang psikolog yang
disewa oleh Angkatan Bersenjata Amerika untuk meneliti efek film pada
semangat tentara. Penelitian ini merintis penelitian yang lebih luas tentang efek
media massa secara keseluruhan pada sikap dan pendapat. Hovland adalah tokoh
persuasi dan telah mengemukakan definisi komunikasi yang kita kenal
penyampaian lambang-lambang untuk mengubah tingkah laku manusia.
Selanjutnya Lazarsfeld adalah seorang sosiolog yang mengambil gelar
doktornya dalam bidang matematika. Tahun 1937 ia mengetuai Radio Research di
Princeton University. Perhatiannya pada efek media massa terhadap sikap politik
dan tingkah laku memilih telah memberikan perspektif sosiologis pada
komunikasi massa. Kurt Lewin seorang psikologi sosial. la tertarik pada pengaruh
personal dan komunikasi pada kelompok kecil. Lewin mengilhami penelitian
gatekeeper dan arus informasi. Jadi pada masa ini titik perhatian penelitian sudah
bergeser pada faktor- faktor psikologi don sosiologi. Jurnalistik mulai tersisih
dengan istilah baru yaitu komunikasi massa.
Masa Wilbur Schramm (1950 - sekarang). Wilbur adalah seorang sarjana
Bahasa lnggris yang tertarik ilmu komunikasi. Mula-mula ia diserahi tugas untuk
membenahi Departemen Komunikasi Massa di Iowa. Kemudia, dia memimpin
penelitian komunikasi di Stanford dan akhirnya EastWest Center. Wilbur
Schramm membawa komunikasi massa yang sarat dengan sumbangan berbagai
disiplin ilmu komunikasi. la merintis penelitian tentang efek media pada
pendidikan, pada pembangunan nasional, efek komunikasi satelit, dan komunikasi
pedesaan. Sejarah ilmu komunikasi yang terakhir dapat dikatakan tercermin dari
perkembangan Schramm ini.

C.3 Perkembangan Filsafat Komunikasi di Eropa


Komunikasi sebagai fenomena sosial sama tuanya dengan peradaban
manusia itu sendiri. Komunikasi sebagai pengetahuan sudah populer sejak zaman
Yunani dan Romawi Kuno. Pada abad pertengahan sebelum Masehi, Plato dan
Aristoteles telah mengembangkan teori-teori komunikasi tradisi barat, yang
selanjutnya diikuti oleh Cicero, Seneca, Quintilian dan Longinus. Bangsa Yunani
memusatkan teori-teorinya pada persuasive argument dan public communication.
Teorinya didasarkon pada kenyataan praktis yang ada dalam masyarakat.
Bagi masyarakat Yunani, keterampilan berpidato mendapat kehormatan
yang tinggi, dengan memusatkan pada bagaimana cara mempengaruhi orang lain,
sehingga the body of knowledge pada waktu itu berkisar tentang "keahlian
menyampaikan atau mempengaruhi orang lain" yang dikenal sebagai "retorika".
pada waktu itu berkisar tentang "keahlian menyampaikan atau mempengaruhi
orang lain" yang dikenal sebagai "retorika". Perkembangan ilmu komunikasi di
Eropah ditandai oleh kemunculan Zeitungskunde sebagai bidang kajian yang
dikembangkan di Universitas Bazel (Swiss) pada tahun 1884. Pada tahun yang
sama Karl Bucher (1847- 1930), seorang Jerman yang ahli ekonomi mazhab
historis, mengajar di universitas ini sebelum akhirnya kembali ke Jerman untuk
memberikan kuliah Zeitungskunde di Universitas Leipzig.
Sejak kembalinya ke Jerman ( 1892) Zeitungskunde yang diajarkan Karl
Bucher memuat materi sejarah pers, organisasi pers dan statistik pers. Banyak ahli
mengakui, jasa Karl Bucher cukup besar menjadi disiplin ilmu yang dikenal llmu
Komunikasi sekarang (Ton Kertapati) . Secara umum, sumbangan Karl Bucher
bagi perkembangan disiplin ilmu komunikasi dapat diringkas sebagai berikut: (a)
memprakarsai penyelidikan historis tentang persuratkabaran; (b) memperkenalkan
pengetahuan persuratkabaran sebagai bidang kajian ilmu di universitas; (c)
memprakarsai pendirian sebuah lembaga persuratkabaran yang pertama di Eropa
kontinental yaitu Leipzig; (d) memperjuangkan diselenggarakannya pendidikan
kewartawanan di Universitas.

Arah perkembangan publisistik menjadi kian kaya setelah Max Weber


(1864-1920) memperkenalkan pendekatan sosiologis dalam penyelidikan bidang
ini. Pada kongres sosiologi pertama, tahun 1910 di kota Frankfurt, Weber
mengemukakan tulisannya berjudul Sosiologie des Zeitungswesens yang
mengandung dua masalah pokok : ( 1) soal modal dan pengaruh para pemilik
modal
dan pengaruh para pemilik modal terhadap redaksi, dan (2) sifat kelembagaan (
institution character) surat kabar.
Masalah pertama, menurut Weber persoalan modal penting bagi
kelembagaan surat kabar bukan saja menyangkut kebijakan redaksional.
Sedangkan menyangkut masalah kedua, institution chararacter, menyiratkan
kedudukan pers sebagai bentuk lembaga sosial yang memiliki kepribadian
(personality) sendiri. Cara pandang seperti ini kemudian berkembang menjadi
prinsip anonimitas, dimana dalam penampilan surat kabar sehari- hari tidak
menyebut nama wartawan,staf redaksi, atau personil kelembagaan lainnya. Prinsip
Prinsip terakhir ini masih berlaku hingga sekarang, meskipun bukan lagi satu-
satunya prinsip yang dianut manajemen persuratkabaran. Di samping prinsip
anonimitas,kini berkembang prinsip by line sebagai suatu cara penyajian berita,
artikel, atau rubrik lainnya dengan menyebutkan nara sumbernya.
Perkembangan publisistik di Jerman dapat dibagi atas dua fase. Fase
pertama perkembangan antara 1930-1945 dan fase kedua setelah Perang Dunia II.
Perkembangan publisistik pada fase pertama sejalan dengan pertumbuhan ideologi
Nazisme. Publisistik sebagai ilmu diselewengkan untuk mencapai tujuan -tujuan
politik Nazi, arti dan unsur-unsur keuniversitasannya diragukan. Usaha
merehabilitasi publisistitka muncul setelah Perang dunia II, Hageman (1966) don
Dofivat (1968) merupakan dua figure penting dalam fase ini. Pada masa ini,
perkembangan yang terjadi ditandai oleh bangkitnya perhatian terhadap masalah-
masalah yang tidak berkaitan sama sekali dengan persuratkabaran,seperti retorika,
radio, televisi dan film. Perkembangan inilah yang menjadi embrio lahirnya ilmu
publistik yang otonom dengan objek penelitiannya offentliche aussage atau
pernyataan publik, sebagai publisistik dipahami sebagai usaha menggerakkan dan
membimbing tingkah laku secara rohaniah.
Mengacu kepada pembahasan Martindale ( 1960 : 285-339) tentang sifat-
sifat dan tipe-tipe teori sosiologi, perkembangan di atas menunjukkan bahwa
perkembangan teori komunikasi di Eropa mengarah pada pertumbuhan teori
imitasi-sugesti yang langsung berada di bawah pengaruh filsafat neo-idealis dan
psikologi eksperimental. Pada awal kemunculannya, aliran sugesti-imitasi secara
langsung dicirikan oleh sentralitas yang diberikan pada pemikiran imitasi dengan
menitikberatkan pada fenomena massa.
C.4 Perkembangan Filsafat Komunikasi di Amerika
llmu Komunikasi berasal dari aspek persuratkabaran jurnalism/
Jurnalistik" merupakan suatu pengetahuan tentang seluk beluk pemberitaan mulai
dari peliputan bahan berita pengolahon sampai kepada penyebaran berita.
Berdirinya School of Journalism gagasan Joseph Publitzer (1903); Charles Eliot
don Nicholas Murray Butler (Rektor Harvard University dan Columbia
University) berkembang menjadi mass media communication.
Masa Benjamin Franklin ( 1700 – 1870) Pada massa ini Jurnalism
dipahami sebagai seni dan kurang ilmiah serta kurang sistematis. Jurnalistik
merupakan studi tentang surat kabar. Masa Robert Lee ( 1870-1930) Jurnalism
sebagai llmu Sosial, dengan indikasi : mulai diajarkan secara formal di
universitas; merupakan bagian dari Departemen Bahasa lnggris; yang diajarkan
hal-hal yang bersifat teknis sehingga kurang dihargai oleh para akademisi;
munculnya tokoh-tokoh jurnalistik antara lain Nafsiger, Siebert dan Casey.
Masa Harold Laswell (1930 – 1950), ditandai dengan munculnya buku
"Propaganda Technique The World War" dan merupakan studi pertama yang
menganalisis isi media dengan metode sistematika ilmiah. Tahun 1950 Wilbur
Schramm memperjuangkan komunikasi menjadi disiplin ilmu. Schramm telah
mempopulerkan ilmu komunikasi dengan mendirikan lembaga-lembaga penelitian
komunikasi. Sepanjang karirnya Schramm telah membawa perkembangan
komunikasi dengan dukungan berbagai disiplin ilmu, sekaligus merintis penelitian
efek media terhadap pendidikan, pembangunan nasional, efek komunikasi satelit,
dan komunikasi pedesaan. Selain melalui jurnalistik, filsafat komunikasi di
Amerika berkembang pula melalui retorika, mereka mendapatkannya dari para
filosof Yunani dan Romawi yang menyebarkan pengaruh aliran filsafatnya hampir
ke seluruh penjuru dunia. Perkembangan penting terjadi pada tahun 1949, tatkala
SAA berubah menjadi The Notional Society for Study of Communication. Sejak
saat ini komunikasi telah berkembang lebih luas daripada retorika. Pada tahun
1969 NCCC berubah bentuk menjadi International Communication Association.
Pada organisasi terakhir ini telah terdapat beberapa spesialisasi ilmu komunikasi.
seperti informatika, komunikasi interpersonal, komunikasi massa, komunikasi
organisasi, komunikasi antar budaya, komunikasi politik, komunikasi
intruksional, dan komunikasi kesehatan.
C.5 Perkembangan Filsafat Komunikasi di Indonesia
Hampir sama dengan Negara-negara Eropa, perkembangan filsafat
komunikasi di Indonesia diawali dengan istilah publisistik. Hal ini terjadi karena
banyak sarjana kita jaman dulu yang menimba ilmunya di daratan Eropa. Semula
publisistik dipakai untuk menunjukkan nama lembaga sekaligus bidang kajian
ilmiah. Di Universitas Padjadjaran (1960) masih dikenal dengan Fakultas
Publisistik, dengan lapangan ilmu yang diasuhnya publisistik atau ilmu
komunikasi. Sejalan dengan perkembangan tuntutan masyarakat yang kian luas,
eksistensi publisistik, baik sebagai lembaga maupun sebagai lapangan ilmiah,
dirasakan sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan perubahan. ltulah
sebabnya muncul gagasan agar jurusan publisistik ditingkatkan menjadi fakultas.
Meski sudah setingkat fakultas, nama publisistik belum hilang sama
sekali. Perubahan mendasar baru terjadi sejak decade 1980-an, tatkala fakultas
publisistik berubah menjadi fakultas llmu Komunikasi. Perubahan ini secara
formal dikuatkan pula oleh Keputusan Presiden RI nomor 107I1982. Selain
melalui dua perguruan tinggi, ilmu komunikasi di Indonesia berkembang pula
melalui dunia persuratkabaran. Keadaan ini sejak masa kolonial sehingga
kepemilikan surat kabar dan majalah ada di tangan orang asing yang
keredaksiannya dijalankan oleh orang Indonesia. Beberapa penerbitan yang ada
pada masa itu antara lain, Darmo Kondo Retnadumilah, Bintang Betawi, dan lain-
lain yang dijalankan oleh orang-orang seperti Djokomono alias Titoadisurjo, Dr.
Bunyamin , HOS Tjokroaminoto dan lain-lain.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada bab ini , akan dibahas terkait kasus bunuh diri Widuri dengan
landasan teori terkait filsafat kematian, Resiliensi dan filsafat komunikasi.
Sehingga dengan pembahasan yang komprehensif berdasarkan literature review
dan data empiris dapat menemukan data yang lebih menunjukkan rasa keadilan
bagi semua pihak , terutama bagi International Magenta School yang diminta
untuk memberikan penjelasan terkait bunih diri Widuri di sekolah, dengan
menitipkan pesan komunikasi bagi ibunya: “Mama ..sebenarnya Widuri tahu
semua jawaban yang ditanyakan oleh Bapak guru..Tapi Widuri simpan sendiri,
biar Bapak guru yang langsung bertanya pada Widuri”.
Kematian Widuri karena bunuh diri yang mengagetkan semua pihak,
orangtua, pihak sekolah dan teman-teman serta masyarakat tentu menimbulkan
spekulasi yang kuat terhadap adanya kesalahan International Magenta School
terkait peristiwa tersebut, karena ‘pesan’ komunikasi’ yang disampaikan oleh
Widuri kepada ibunya, karena menyebut kata ‘guru’. Namun apabila merunut
secara teori bahwa begitu banyak factor yang mempengaruhi kasus bunuh diri
(Fahrudin, 2012; Putri & Tobing, 2020), sehingga hal ini memunculkan praduga
tak bersalah bagi karena banyaknya factor yang mempengaruhi.
Apabila melihat kasus Widuri, dari empat ribu peserta didik di
International Magenta School, dan baru terjadi satu kasus bunuh diri Widuri,
tentu ada hal yang aneh kalau kejadian ini merupakan ‘kesalahan’sepenuhnya
Interational Magenta School. Ada faktor-faktor lain yang patut ‘dicurigai’ sebagai
pemicu bunuh diri kasus bunuh diri. Hal pertama yang harus dijadikan ciri utama
pelaku bunuh diri adalah tingkat resiliensi (ketahanan diri) yang rendah, sehingga
tidak mampu bertahan atau kuat terhadap berbagai persoalan dan masalah yang
menderanya.
Ada intensi pada kasus Widuri, sehingga Widuri nekat melakukan bunuh
diri. Intensi adalah unsur penting dalam proses terjadinya tindakan. Intensi
merupakan keadaan pikiran seseorang yang mengarahkannya untuk melakukan
suatu tindakan sekarang atau yang akan datang, sehingga dapat diartikan bahwa

20
setiap tindakan memiliki proses yang terjadi sebelumnya (Dwipayana, 2018).
Intensi bunuh diri sangatlah penting diketahui karena sifatnya yang menjadi
langkah akhir sebelum perilaku bunuh diri dilakukan. Kasus bunuh diri tidak
memiliki tahap penyembuhan bagi korbannya, ketika seseorang bunuh diri artinya
semuanya akan berakhir tanpa ada tindakan prefentif yang bisa dilakukan oleh
keluarga maupun pihak lainnya. Perlu diketahui penyebab munculnya intensi yang
mengarah pada perilaku bunuh diri, terlebih remaja sangat beresiko karena
keadaan psikologisnya yang belum stabil dan banyaknya permasalahan yang
terjadi pada masa remaja.
Setiap perilaku yang diambil seseorang selalu berdasarkan intensi
dibaliknya sehingga membawa pada perilaku tersebut. Intensi menjadi rujukan
untuk memprediksi akankah seseorang mengambil sebuah keputusan pada
perilakunya kedepan. Tingkat depresi yang dihasilkan akibat tekanan yang
diarahkan pada seseorang dapat menghasilkan intensi mati atau bunuh diri.
Walaupun belum menjadi sebuah tindakan, intensi bunuh diri sangatlah perlu
diperhatikan karena beresiko pada seseorang untuk melakukan bunuh diri.
Permasalahan remaja memang cukup beragam, kehidupan sosialnya menjadi
sumber terjadinya permasalahan dalam diri remaja, sekolah sebagai tempat
belajarpun tidak luput dari permasalahan ini, begitupun pada kasus Widuri, ada
beberapa intensi dalam dirinya, bisa jadi karena bullying, baik dilakukan oleh
teman-temannya atau guru.
Banyak hal lain yang dapat dipelajari oleh remaja dalam lingkungan
sekolah, termasuk didalamnya adalah mengajarkan para remaja untuk
bersosialisasi. Tetapi nampaknya pembelajaran yang didapat oleh peserta didik
tidak selamanya menjadi pengalaman menarik, pengalaman buruk juga sangat
rentan terjadi dalam kehidupan mereka ketika mencoba untuk bersosialisasi
didalam lingkup sosial tertentu. Kejahatan sosial bisa saja dilakukan oleh siapapun
dimanapun dan kapanpun sehingga menjadikannya sangat berbahaya jika
kejahatan ini tidak terdeteksi dengan baik oleh tenaga pendidik atau instasi terkait.
Sangat familiar ketika mendengar berita tentang kasus kekerasan dalam dunia
pendidikan yang biasa disebut sebagai aktivitas bullying. Bullying sangat sering
terjadi dalam kehidupan, mungkin sudah tidak asing ketika mendengar ada ada
seseorang anak menghina nama atau pekerjaan orang tua temannya, ini adalah
salah satu contoh tindakan bullying yang sering ditemui di Indonesia.
Budaya kolektifitas Indonesia juga memberikan pengaruh positif dan
negatif pada remaja. Beberapa kejadian kolektifitas ini membantu remaja untuk
bisa menanggulangi bullying, dukungan teman-teman dekat mampu memberikan
kekuatan bagi remaja hingga bullying tersebut. Budaya kolektifitas ini namun
tidak selalu memberikan efek positif, dalam beberapa kejadian justru remaja yang
menjadi pelaku bullying mendapatkan dukungan oleh teman-temanya hingga
korban justru lebih terpuruk karena banyak remaja lain ikut mem-bullying dirinya.
(Dwipayana, 2018; Kurniasari & Rahmasari, 2019).
Perilaku bullying memiliki dampak yang negatif. Terdapat dua dampak
akibat bullying yaitu bahwa dampak fisik dan mental. Dampak fisik yang dialami
korban adalah munculnya keluhan kesehatan fisik seperti sakit kepala, sakit perut,
dan ketegangan dalam otot, sedangkan dampak secara mental yang dapat terjadi
pada korban bullying adalah depresi, kegelisahan, dan masalah tidur (. Beberapa
dampak yang terjadi pada korban bullying mungkin dapat terbawa hingga dewasa.
Hal ini merupakan masalah serius sehingga perlu mendapatkan
penanganan yang cepat. Munculnya depresi pada korban bullying dapat berujung
pada pikiran untuk bunuh diri ataupun melukai diri karena bullying yang terjadi
pada seseorang dapat membuat orang tersebut merasa tertekan . Penjelasan di atas
dapat diketahui bahwa bullying memiliki dampak menyebabkan seseorang
mengalami depresi jika tidak segera mendapat penanganan dan dapat
memunculkan permasalahan yang serius lainnya seperti ide bunuh diri ataupun
melukai diri sendiri.
Berdasarkan intensi adanya bullying, berdasarkan asumsi dan data empiris
menunjukkan bahwa adanya bullying sebagian besar adalah adanya akibat
perlakukan teman-temannya yang tidak mendapatkan dukungan, sehingga
munculnya keputusasaan, sehingga pantas untuk merekomendasikan adanya
penyelidikan terhadap adanya bullying yang diterima oleh teman-temannya dan
gurunya.
Intensi yang kedua yang juga merupakan pemicu terhadap perilaku. Bunuh
diri Widuri adalah karena tingkat resileinsi yang rendah. Kemajuan teknologi dan
arus globalisasi membuat anak semakin pandai, semakin kritis, semakin banyak
keinginannya, namun di sisi lain mentalnya melemah. Hal ini bisa juga lantaran
fasilitas, kemudahan, bahkan kenikmatan hidup ditawarkan dimana-mana,
sehingga anak kurang memiliki daya juang untuk mencapai sesuatu. Juga sikap
orangtua yang terlalu menanamkan disiplin pada anak demi mengejar prestasi
bagaikan pisau bermata dua. Anak diharuskan menurut untuk memenuhi target
orangtua, sehingga anak menjadi sangat tertekan dan kemudian dapat melakukan
tindakan bunuh diri (Ruswahyuningsih & Afiatin, 2015).
Mencermati fenomena sosial yang terjadi saat ini, maka diketahui betapa
pentingnya daya tahan dan daya lentur (resiliensi) bagi individu remaja agar
mampu menghadapi tantangan-tantangan didalam kehidupannya, dan dapat
terhindar dari stres, depresi, dan perilaku negatif yang merugikan dirinya sendiri
dan lingkungan sosialnya. Dalam perkembangannya, remaja mempunyai tugas-
tugas perkembangan yang harus dihadapi dengan melakukan penyesuaian diri
yang baik agar tidak menimbulkan permasalahan dan hambatan- hambatan dalam
perkembangan remaja selanjutnya (Nurihsan, 2011). Salah satu kualitas pribadi
yang dibutuhkan dalam penyesuaian diri yang efektif adalah resiliensi (Putri &
Tobing, 2020; Ruswahyuningsih & Afiatin, 2015).
Bagaimana individu remaja atau keluarga menghadapi dan beradaptasi
selama masa sulit ataupun stres disebut dengan resiliensi, yaitu: kemampuan
seorang individu untuk bangkit kembali dari tekanan hidup, belajar dan mencari
elemen positif dari lingkungannya untuk membantu kesuksesan proses beradaptasi
dengan segala keadaan dan mengembangkan seluruh kemampuannya, walau
berada dalam kondisi hidup tertekan, baik secara eksternal atau internal.
Berdasarkan landasan teori di atas menunjukan bahwa pada kasus bunuh
diri Widuri, daya resiliensi yang rendah yang dimiliki Widuri menjadi intensi
yang mempengaruhi keputusannya untuk melakukan bunuh diri. Ada komunikasi
yang disampaikan oleh Widuri bagi ibunya, berdasarkan filsafat komunikasi
sebagai pesan aksiologi komunikasinya bahwa dalam keputusasaan dan kesedihan
serta kekecewaannya ada keinginan dirinya untuk difahami memiliki keputusan
untuk mengakhiri hidupnya.
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan literature review dan data empiris yang diperoleh, maka
dapat disimpulkan bahwa: Widuri melakukan bunuh diri karena berbagai factor
yang mempengaruhi sehingga tidak dapat secara langsung menyalahkan
International Magenta School sebagai satu-satunya penyebab dan pemicu bunuh
diri Widuri. Maka direkomendasikan untuk melakukan penyelidikan yang lebih
komprehensif baik terhadap kehidupan komunikasi di keluarganya, kehidupan
sosial Bersama teman-temannya dan perilaku guru terhadap dirinya.

24
Daftar Pustaka
Bagus, L. (2005). Kamus Filsafat. 242. http://philpapers.org/rec/SHOMKF
Dwipayana, A. A. G. P. (2018). Intensi Bunuh Diri pada Remaja Korban
Bullying. In Unika Soegijapranata Semarang.
https://repositorio.flacsoandes.edu.ec/bitstream/10469/2461/4/TFLACSO-
2010ZVNBA.pdf
Fahrudin, A. (2012). Fenomena Bunuh Diri Di Gunung Kidul: Catatan Tersisa
Dari Lapangan. Sosio Informa, 17(1), 13–19.
https://doi.org/10.33007/inf.v17i1.63
Kurniasari, A. D., & Rahmasari, D. (2019). Ide bunuh diri pada korban bullying.
Jurnal Penelitian Psikologi, 7(3), 117–131.
Kurniawan, P. (2019). Fenomena “Bunuh Diri” Di Kalangan Usia Muda
Indonesia Dilihat dari sudut pandang Filsafat Manusia. 9.
Mansur, S. (2012). Kematian Menurut Para Filosof. 29(2), 26.
Miswari. (2016). Filsafat Terakhir (pertama). Unimal Press.
Nawawi, N. (2017). Tokoh Filsuf dan Era Keemasan Filsafat. In M. Sabri (Ed.),
Pusaka Almaida Makasar (1 Revisi). Pusaka Almaida Makasar.
Nugroho, W. B. (2012). Youth, suicide and resilience: strengthening resilience as
a reduction in suicide rates among Indonesian youth. Jurnal Studi Pemuda,
I(1), 31–45.
Nurihsan, S. Y. dan J. (2011). Landasan Bimbingan dan Konseling (6th ed.).
Remaja Rosdakarya.
Putri, K. F., & Tobing, D. L. (2020). Tingkat Resiliensi dengan Ide Bunuh Diri
Pada Remaja. Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan, 10, 1–6.
Ruswahyuningsih, M. C., & Afiatin, T. (2015). Resiliensi pada Remaja Jawa.
Jurnal Psikologi UGM, 1(2), 96–105. https://doi.org/10.22146/gamajop.7347
Siregar, Ni. S. S. (2002). Perkembangan Filsafat Komunikasi di Indonesia.

25
26

Anda mungkin juga menyukai