Anda di halaman 1dari 2

B.

Proses Perumusan UU Perkawinan


Proses perumusan UU Perkawinan pertama kali dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1973 yang
diawali dari usulan pemerintah untuk dibahas pada sidang pleno DPR. Pada sidang tersebut perwakilan
angota DPR dari masing – masing fraksi diberi kesempatan untuk menyampikan pendapatnya masing
– masing. Ada empat fraksi yang menyampaikan pendapatnya yakni fraksi Karya, PDI, Persatuan
Pembangunan dan ABRI. Berikutnya perundingan antara pemerintah dengan DPR yang memakan
waktu berhari – hari hingga akhirnya mencapai titik temu tentang perumusan undang – undang
tersebut. Terakhir adalah proses pengesahan UU Perkawinan dalam siding Pleno DPR yang setelah
disepakati langsung menyerahkan naskah RUU kepada presiden agar ditandatangani dan disahkan.
Pada tanggal 2 Januari 1974 UU No. 1 Tahun 1974 disahkan oleh presiden Soeharto. Setelahnya
pemerintah mengeluarkan PP Nomor 9 Tahun 1975 yang berisikan tentang pelaksanaan UU No.1
Tahun 1974 serta Peraturan Menteri Agama No.3 dan No.4 1975 tentang tata kerja pengadilan agama,
contoh akta cerai, nikah dan rujuk, dan kewajiban pegawai pencatat nikah.

Pada proses perjalanan pengesahan RUUP tentu tidak berjalan dengan mudah, ada banyak sekali
perbedaan pendapat serta masukan dari masing – masing fraksi. Fraksi Katholik menolak RUUP yang
sudah diajukan dikarenakan tidak ingin berkaitan dengan hukum agama. Fraksi Persatuan
Pembangunan menuntut pasal – pasal yang dianggap bertentangan dengan agama,. Beberapa pasal
tersebut ialah:

1. Anak angkat punya kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung
2. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang terjadinya perkawinana
3. Perkawinan tidak berdasarkan agam islam tetap di sahkan.

Tentunya hal ini memperoleh banyak dukungan dari berbagai organisasi Islam. Mereka menyatakan
keberatan atas beberapa pasal yang bertentangan tersebut dan menuntut adanya perubahan. Berikut ini
beberapa tuntutan dari organisasi islam

1. Menuntut pemerintah untuk menarik kembali rancangan UU dikarenakan bertentangan dengan


ajaran Islam
2. Menolak rancangan UU yang telah diajukan ke DPR.
Sebagai penanggung jawab masalah RUU Perkawinan ini, Soemitro melakukan pertemuan dan diskusi
dengan berbagai kelompok islam. Dari hasil diskusi dan pertemuan tersebut menghasilakan beberapa poin
– poin penting yakni;

a. Hukum Islam pada UU perkawinan tidak akan dikurangi atau diganti.


b. Pasal 2 ayat 1 disepakati dengan “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing – masing agama dan kepercayaannya” dan juga dalam ayat 2 yakni “ Tiap – tiap
perkawinan dicatat demi kepentingan administrasi negara”
c. Perceraian, perkawinan, dan poligami perlu diusahakan agar mencegah terjadinya kesewenang –
wenangan.
d. Sebagai sensus nomor satu, alat – alat pelaksana tidak dirubahn maupun dikurangi
e. Segala hal yang bertentangaan dengan Hukum Islam dan tidak sesuai UU Perkawinan akan
dihilangkan.

Dapus

Amak FZ, Proses Undang – Undang Perkawinan (Bandung: al Ma’arif, 1976)

Cyndia Esti Sumiwi, “Perjalanan Undang – Undang Perkawinan 1974 – 1978” Skripsi, Universitas
Indonesia (2012)

Ahmad Rifai dkk, Perjalanan Undang – Undang Perkawinan Atas Pendapat Hingga Pertentangan dari
Masyarakat dan DPR Tahun 1973 – 1974, (Semarang: UNES, 2015)

Anda mungkin juga menyukai