Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai Volume VIII No.

2 Edisi Des 2015, ISSN: 19779-469X

https://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/index.php/JKM/article/view/173
HUBUNGAN USIA ANAK, JENIS KELAMIN DAN BERAT BADAN
LAHIR ANAK DENGAN KEJADIAN ISPA

Firda Fibrila
Program Studi Kebidanan Metro Politeknik Kesehatan Tajungkarang
E-mail: firda76_metro@yahoo.co.id

Abstrak
Prevalensi ISPA di Indonesia sekitar 25% dan di provinsi Lampung sekitar 20%. Sebanyak 23%
kasus ISPA berat terjadi pada anak berusia di atas 6 bulan, insidens lebih tinggi pada anak laki-laki
dan berat badan lahir yang memiliki peran penting terhadap kematian akibat ISPA. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan usia anak, jenis kelamin dan berat badan lahir dengan
kejadian ISPA. Penelitian menggunakan survei analitik dengan rancangan case control. Sampel
penelitian berjumlah 48 meliputi: 24 kasus dan 24 kontrol yang diperoleh dengan teknik quota
sampling. Pengumpulan data menggunakan data primer dengan metode wawancara, observasi dan
dokumentasi. Analisis data menggunakan uji chi-square. Hasil penelitian menyimpulkan terdapat
hubungan antara usia anak (p-value = 0,018; OR = 5,320) dan berat badan lahir (p-value = 0,037;
OR = 4,491) dengan kejadian ISPA, sedangkan jenis kelamin tidak terdapat hubungan. Petugas
kesehatan perlu lebih meningkatkan promosi hidup sehat kepada orang tua untuk mencegah terjadi
ISPA pada balita
Kata kunci: Usia anak, Jenis kelamin, BBL, ISPA

Abstract: Relationship Age, Sex and Weight Born Children with the Prevalence of Acute
Respiratory Infection

The prevalence of acute respiratory infection in Indonesia about 25% and 20% of Lampung
province. As many as 23% of cases of severe acute respiratory infection in children over the age of
6 months, the incidence was higher in boys and birth weight has an important role to death due to
respiratory infection. This study aims to determine the relationship of the child's age, gender and
birth weight with acute respiratory infection. The research used analytic survey with case control
design. These samples included 48 include: 24 cases and 24 controls were obtained by quota
sampling technique. Collecting data using primary data by interview, observation and
documentation. Analysis of data using chi-square test. The study concluded there is a relationship
between age (p-value = 0.018; OR = 5.320) and birth weight (p-value = 0.037; OR = 4.491) with
acute respiratory infection, whereas there was no correlation sexes. Health workers need to further
enhance the promotion of healthy living to parents to prevent it from occurring acute respiratory
infection in infants.
Keywords: child age, gender, birth weight, acute respiratory infection.

Firda Fibrila, Hubungan Usia Anak, Jenis Kelamin dan BBL Anak dengan Kejadian ISPA 8
 Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai Volume VIII No.2 Edisi Des 2015, ISSN: 19779-469X
Pendahulan
Kasus kematian tertinggi umumnya
terjadi pada usia balita yang rentan terhadap
penyakit. Statistik menunjukkan bahwa lebih
dari 70% kematian balita disebabkan oleh ISPA
(pneumonia), diare, campak, malaria, dan
malnutrisi (WHO, 2007) 12). Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) merupakan kondisi
umum yang menyerang sebagian masyarakat
dalam waktu tertentu dan menjadi penyakit
utama penyebab kematian bayi dan balita di
Indonesia. Beberapa hasil SKRT diketahui
bahwa 80 sampai 90% dari seluruh kasus
kematian ISPA disebabkan Pneumonia
(Depkes, 2012) 1).
Laporan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013 menyatakan prevalensi
ISPA di Indonesia sekitar 25%. Di Provinsi
Lampung pada tahun yang sama, prevalensi
ISPA sekitar 20% (Dinkes Provinsi Lampung,
2013) ²). Berdasarkan usia balita ditemukan
23% kasus ISPA berat terjadi pada anak berusia
di atas 6 bulan. Berdasarkan jenis kelamin
diketahui terdapat perbedaan jumlah penderita
ISPA, yaitu insidens lebih tinggi pada anak
laki-laki. Berdasarkan status gizi diketahui
bahwa gizi buruk merupakan faktor predisposisi
terjadinya ISPA pada anak. Berdasarkan berat
badan lahir diketahui bahwa berat badan lahir
memiliki peran penting terhadap kematian
akibat ISPA (Kemenkes RI, 2013) 5).
Penyebab ISPA pada balita bervariasi.
ISPA dapat disebabkan oleh faktor agent yang
disebabkan oleh virus dan bakteri, faktor
lingkungan, faktor prilaku dan faktor individu
anak itu sendiri. Penyebab ISPA yang berasal
dari faktor individu anak antara lain; umur
anak, jenis kelamin, berat badan lahir, status
gizi, vitamin A dan imunisasi (Maryunani,
2010) 8).
Hasil prasurvei di Puskesmas Bumi
Mas pada tahun 2013 terdapat kelahiran BBLR
sebanyak 11,7% (72 kasus). Pada bulan
Oktober – Desember 2014, sebanyak 225 balita
berkunjung ke Puskesmas Bumi Mas yang
terkena ISPA sebanyak 39% (88 kasus).
Menurut Kartasasmita (2010) 4),
beberapa penelitian menunjukkan bahwa
insiden ISPA paling tinggi terjadi pada bayi di
bawah satu tahun, dan insiden menurun dengan
bertambahnya umur. Hasil penelitian Ranny
Ranantha (2014) 11) menunjukkan terdapat
berhubungan signifikan dengan kejadian ISPA
meliputi jenis kelamin laki-laki (p=0,003) dan
BBL < 2500 gram (p=0,002). Tujuan penelitian
Firda Fibrila, Hubungan Usia Anak, Jenis Kelamin dan BBL Anak dengan Kejadian ISPA
ini adalah untuk mengetahui hubungan usia
anak, jenis kelamin dan berat badan lahir
dengan kejadian ISPA di Puskesmas Bumi Mas
Kecamatan Batanghari Lampung Timur.
Metode
Jenis penelitian survey analitik dengan
rancangan case control yang dilaksanakan di
Puskesmas Bumi Mas Kecamatan Batanghari
Lampung Timur. Populasi penelitian adalah
seluruh Balita terdiagnosis ISPA berulang
dalam 6 bulan terakhir yang berkunjung ke
Puskesmas Bumi Mas. berjumlah 48 meliputi
24 kasus dan 24 kontrol. Pengambilan sampel
dengan quota sampling. Data dikumpulkan
data primer dengan wawancara, observasi,
dokumentasi status pasien dan alat ukur check
list. Analisis data menggunakan analisis
univariat dan analisis bivariat dengan uji chi-
square.
Hasil
Analisis Univariat
Hasil analisis diperoleh hasil gambaran
dari 48 responden yang terdiri dari 50%
kelompok kasus dan 50% kelompok kontrol,
sebanyak 39,6% usia anak berisiko tinggi,
sebanyak 47,9% anak dengan jenis kelamin
berisiko tinggi dan sebanyak 37,5% berat badan
lahir tidak normal (Lihat tabel 1).
Analisis Bivariat
Hasil analisis bivariat menggunakan uji
chi square dengan tingkat kepercayaan 95%
menunjukkan ada hubungan antara usia anak
dengan ISPA pada balita (p-value = 0.018).
Balita yang memiliki usia berisiko tinggi secara
uji statistik memiliki risiko 5,320 kali
mengalami ISPA dibandingkan dengan balita
yang berusia risiko rendah (OR = 5,320; 95%
CI: 1,485 – 19,064). Terdapat hubungan
antara berat badan lahir dengan ISPA pada
balita (p=0.037). Balita yang memiliki berat
badan lahir tidak normal secara uji statistik
memiliki risiko 4,491 kali mengalami ISPA
dibandingkan dengan balita yang berat
badan lahir normal (OR = 4,491 (95% CI:
1,260 – 16,006). Sedangkan, variabel jenis
kelamin secara statistik tidak menunjukkan
berhubungan dengan ISPA pada balita
(p=0.563) (Lihat tabel 2).
9
 Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai Volume VIII No.2 Edisi Des 2015, ISSN: 19779-469X

Tabel 1
Distribusi Kejadian ISPA, Usia Anak, Jenis Kelamin dan Berat Badan Lahir Anak
di Puskesmas Bumi Mas Kecamatan Batanghari Lampung Timur
Jumlah
Variabel Penelitian %
n=48
Usia Anak
Risiko Tinggi 19 39,6
Risiko Rendah 29 60,4
Jenis Kelamin
Berisiko Tinggi 23 47,9
Berisiko Rendah 25 52,1
Berat Badan Lahir Anak
Tidak Normal 18 37,5
Normal 30 62,5

Tabel 2
Distribusi Usia dan Jenis Kelamin serta Berat Badan Anak dengan Kejadian ISPA
di Puskesmas Bumi Mas Kecamatan Batanghari Lampung Timur

Kejadian ISPA Nilai

Total OR
Variabel Kasus Kontrol
(95% CI) P
n % N % n %
Usia Ana k 14 58,3 5 20,8 19 39,6 5,320 0,018
Risiko Tinggi
Risiko Randah 10 41,7 19 79,2 29 60,4 (1,485-19,064)
Jum lah 24 100 24 100 48 100
Jenis Kelamin
Berisiko T inggi 13 54,2 10 41,7 23 47,9 1,655 0,563
Berisiko Rendah 11 45,8 14 58,3 25 52,1 (0,528-5,182)
Jum lah 24 100 24 100 48 100
Berat Badan Anak
Tidak Nor mal 13 54,2 5 20,8 18 37,5 4,491 0,037
Normal 11 45,8 19 79,2 30 62,5 (1,260-16,006)
Jum lah 24 100 24 100 48 100

Pembahasan dibandingkan dengan balita yang berusia risiko

Hubungan antara usia anak dengan
kejadian ISPA pada balita
Hasil analisis diketahui sebanyak
39,6% (19) balita berada dalam kelompok usia
berisiko tinggi (6 – 12 bulan). Analisis lebih
lanjut, dari 19 balita yang berada dalam
kelompok usia berisiko tinggi diketahui
sebanyak 58,3% (14) balita yang mengalami
ISPA. Hasil analisis dengan uji chi square
dengan tingkat kepercayaan 95% diketahui ada
hubungan antara Usia Anak dengan ISPA (p-
value = 0.018) dan nilai OR = 5,320 (CI:
1,485 – 19,064) yang berarti bahwa balita yang
memiliki usia berisiko tinggi secara uji statistik
memiliki risiko 5,320 kali mengalami ISPA
rendah.
ISPA merupakan infeksi yang berawal
dari saluran pernapasan, hidung, tenggorokan,
laring, trakea, bronchi dan alveoli. ISPA
merupakan penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian dan atau lebih
dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran
atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk
jaringan adneksanya seperti sinus, rongga
telinga tengah dan pleura (Wong dkk, 2008)
14)
.
ISPA sering terjadi pada bayi dan anak
balita. Menurut Kartasasmita (2010) 4),
beberapa penelitian menunjukkan bahwa
insiden ISPA paling tinggi terjadi pada bayi di
bawah satu tahun, dan insiden menurun dengan

Firda Fibrila, Hubungan Usia Anak, Jenis Kelamin dan BBL Anak dengan Kejadian ISPA 10
 Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai Volume VIII No.2 Edisi Des 2015, ISSN: 19779-469X
bertambahnya umur. Kondisi ini
dimungkinkan karena pada 10 tahun pertama
kehidupan manusia, sistem pernafasan masih
terus berkembang untuk mencapai fungsi yang
sempurna, terutama dalam perbentukan
alveoli, selain itu hal tersebut menunjukkan
usia yang lebih muda rentan terkena infeksi.
Teori ini sesuai dengan hasil penelitian, yaitu
sebanyak 58,3% (14) balita yang berada dalam
kelompok usia berisiko tinggi mengalami
ISPA.
Terjadinya ISPA pada balita umumnya
merupakan kejadian infeksi pertama serta
belum terbentuknya secara optimal proses
kekebalan secara alamiah. Sistem kekebalan
tubuh seseorang sangat berpengaruh dalam
melawan infeksi virus maupun bakteri
terhadap tubuh manusia. Risiko seseorang
mengalami infeksi akan meningkat ketika
kekebalan tubuh lemah. Kondisi cenderung
terjadi pada anak – anak dan orang yang lebih
tua. Sedangkan orang dewasa sudah banyak
terjadi kekebalan alamiah yang lebih optimal
akibat pengalaman infeksi yang terjadi
sebelumnya (Behrman & Arvin, 2000) 3).
Pemberian imunisasi merupakan salah
satu usaha untuk membentuk sistem antibodi
pada tubuh manusia. Antibodi yang terbentuk
dari imunisasi memerlukan waktu untuk dapat
berfungsi. Kelengkapan pemberian imunisasi
dapat membantu pembentukan antibodi secara
optimal diharapkan dapat menekan
perkembangan penyakitnya tidak menjadi
lebih berat jika terkena ISPA.
Berdasarkan gambaran responden
diketahui, seluruh responden (100%) telah
mendapatkan imunisasi secara lengkap, tetapi
pada riwayat pemberian ASI diketahui
sebanyak 64,6% (31 responden) tidak
mendapatkan ASI secara eksklusif.
Berdasarkan kondisi bayi, pada 6
bulan pertama kehidupan bayi, sistem
kekebalan tubuh berasal dari ibu. Sebelum usia
3 bulan, bayi memiliki kecepatan infeksi lebih
rendah, kondisi ini dimungkinkan adanya
fungsi protektif dari antibodi maternal. Pada
usia 3 sampai dengan 6 bulan kecepatan
infeksi meningkat. Pada usia ini, merupakan
waktu antara hilangnya antibodi maternal dan
munculnya antibodi bayi sendiri (Wong dkk,
2008) 14).
Wantania (2008) 14) menyebutkan
pemberian Asi mempunyai pengaruh proteksi
terhadap ISPA selama setahun pertama.
Penelitian – penelitian yang dilakukan pada
sepuluh tahun terakhir, menunjukkan bahwa
Firda Fibrila, Hubungan Usia Anak, Jenis Kelamin dan BBL Anak dengan Kejadian ISPA
ASI kaya akan faktor antibodi untuk melawan
infeksi bakteri dan virus. Hasil penelitian lain
menunjukan bahwa Asi mampu melindungi
bayi terhadap ISPA dan diare.
Faktor lain untuk mendukung
terbentuknya sistem kekebalan pada balita
adalah pemberian vitamin A. Balita yang
mendapatkan vitamin A lebih dari 6 bulan
sebelum sakit maupun yang tidak pernah
mendapatkannya adalah sebagai risiko
terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada
kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok
kontrol. Pemberian vitamin A yang dilakukan
bersamaan dengan imunisasi akan
menyebabkan peningkatan titer antibodi yang
spesifik.
Memperhatikan uraian diatas, masa
balita merupakan masa pertumbuhan dari
setiap sistem tubuh. Kondisi ini tentunya
menyebabkan balita rentan akan terkena
infeksi. Faktor yang mendukung agar balita
tidak mudah terserang infeksi adalah dengan
meningkatkan kekebalan tubuh. Beberapa cara
untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh
agar anak tidak rentan terhadap infeksi adalah
dengan memperhatikan asupan nutrisi balita
untuk menjaga status gizi balita tetap baik,
memberikan imunisasi dasar, dan memberikan
vitamin A secara lengkap.
Saat ini promosi untuk memberikan
Asi Eksklusif pada bayi sangat gencar
dilakukan, tetapi masih terdapat balita belum
mendapatkan Asi Eksklusif, kondisi ini di
perkuat belum 100% bayi yang mendapatkan
Asi Eksklusif dalam kelompok responden.
Untuk itu perlu ditingkatkan lagi promosi
pemberian Asi Eksklusif.
Hubungan antara jenis kelamin dengan
kejadian ISPA pada balita
Hasil analisis diketahui sebanyak
47,9% (23) balita berada dalam kelompok jenis
kelamin berisiko (laki - laki). Analisis lebih
lanjut, dari 23 balita yang berada dalam
kelompok jenis kelamin berisiko diketahui
sebanyak 54,2% (13) balita yang mengalami
ISPA. Hasil analisis dengan uji chi square
dengan tingkat kepercayaan 95% diketahui
tidak ada hubungan antara jenis kelamin
dengan ISPA (p-value = 0.563).
Pada umumnya tidak ada perbedaan
insiden ISPA akibat virus atau bakteri pada
laki-laki dan perempuan. Akan tetapi ada yang
mengemukakan bahwa terdapat sedikit
perbedaan, yaitu insidens lebih tinggi pada
anak laki-laki. Pada dekade yang lalu, hasil
11
 Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai Volume VIII No.2 Edisi Des 2015, ISSN: 19779-469X
penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita
berdasarkan jenis kelamin terdapat perbedaan
antara laki – laki dan perempuan yaitu 59%
pada balita laki – laki dan 41% pada balita
perempuan, dan penelitian tersebut
menyatakan bahwa, ISPA lebih sering terjadi
pada balita laki – laki dibandingkan pada balita
perempuan (Maryunani, Anik, 2010) 8).
Hasil penelitian Ranny Ranantha tahun
2014 menunjukkan 70% ISPA terjadi pada
balita laki – laki. Balita dengan jenis kelamin
laki – laki 1,5 kali lebih sering menderita
penyakit ISPA dibandingkan dengan balita
perempuan. Hal ini lebih disebabkan karena
anak laki – laki lebih banyak berada di luar
rumah dibandingkan anak perempuan
(Kristina, 2013) 6).
Pada penelitian ini diketahui bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara
jenis kelamin dengan ISPA. Hasil ini selaras
dengan penelitian Mei Elyana dan Aryu
Candra (2013) 9), tidak ada hubungan antara
jenis kelamin dengan kejadian ISPA. Kondisi
ini dimungkinkan adanya pergeseran terhadap
kebiasaan pada anak. Saat ini baik anak laki –
laki maupun perempuan memiliki
kencenderungan yang sama dalam hal
bermain. Pada era ini anak – anak lebih sering
bermain di dalam rumah dengan fasilitas yang
tersedia dibandingkan bermain di luar rumah.
Tetapi dalam penelitian tersebut tidak
membedakan kebiasaan antara anak – anak
yang berada dalam lingkungan perkotaan
dengan lingkungan pedesaan.
Wilayah kerja Puskesmas Bumi Mas
yang terletak di Kecamatan Batanghari
Kabupaten Lampung Timur terletak ± 30 km
dari ibu kota Kabupaten Lampung Timur
dengan jarak tempuh ± 45 menit perjalanan
dengan menggunakan kendaraan dan ± 7 km
dari Kota Metro atau sekitar 15 menit dengan
menggunakan kendaraan bermotor. Dengan
kondisi yang tidak terlalu jauh dari perkotaan,
tidak merubah suasana dan kebiasaan
penduduk di wilayah tersebut.
Suasana pedesaan di desa – desa yang
berada di wilayah kerja Puskesmas Bumi Mas
masih terasa sangat kental. Masih terlihat anak
laki–laki maupun perempuan bermain di luar
rumah. Ini menandakan bahwa kebiasaan
anak–anak di wilayah tersebut rentan terkena
infeksi jika tidak disertai dengan personal
hygiene
Sesuai dengan kondisi balita
berdasarkan jenis kelamin, diharapkan pada
balita dengan aktifitas di luar rumah yang
Firda Fibrila, Hubungan Usia Anak, Jenis Kelamin dan BBL Anak dengan Kejadian ISPA
tinggi agar selalu diberikan asupan makanan
dengan nutrisi yang seimbang dan makan yang
teratur serta menjaga kebersihan diri dengan
baik. Terutama pada balita laki – laki yang
cenderung lebih banyak aktifitas di luar rumah
dibandingkan balita perempuan sehingga balita
laki – laki lebih rentan terhadap penyakit.
Hubungan antara berat badan lahir dengan
kejadian ISPA pada balita
Hasil analisis diketahui sebanyak
37,5% (18) balita berada dalam kelompok
berat badan lahir tidak normal (< 2500 gram).
Analisis lebih lanjut, dari 18 balita yang berada
dalam kelompok berat badan lahir tidak
normal diketahui sebanyak 54,2% (13) balita
yang mengalami ISPA. Hasil analisis dengan
uji chi square dengan tingkat kepercayaan
95% diketahui ada hubungan antara berat
badan lahir tidak dengan ISPA (p-value =
0.037) dan nilai OR = 4,491 (CI: 1,260 –
16,006) yang berarti bahwa balita yang
memiliki usia berisiko tinggi secara uji statistik
memiliki risiko 4,491 kali mengalami ISPA
dibandingkan dengan balita yang berat badan
lahir normal.
Berat badan lahir bayi dapat
dipengaruhi oleh gangguan kesehatan pada
saat ibu hamil yang menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan janin. Berat badan
lahir menentukan pertumbuhan dan
perkembangan fisik dan mental pada masa
balita. Seperti dikemukan oleh Dachi J yang
dikutip Sukmawati, dan Sri D.A, (2009) 10),
risiko kesakitan hingga risiko kematian pada
BBLR cukup tinggi oleh karena adanya
gangguan pertumbuhan dan imaturitas organ.
Penyebab utama kematian pada BBLR adalah
afiksia, sindroma gangguan pernapasan,
infeksi dan komplikasi hipotermia. Pada bayi
BBLR, pembentukan zat anti kekebalan
kurang sempurna sehingga lebih mudah
terkena penyakit infeksi terutama pada saluran
pernapasan.
Bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) memiliki risiko kematian yang lebih
besar dibandingkan dengan bayi yang memiliki
barat badan lahir normal, terutama pada bulan–
bulan pertama kelahiran. Kondisi ini
disebabkan karena pembentukan zat anti
kekebalan kurang sempurna sehingga lebih
mudah terkena penyakit infeksi.
Balita dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) memiliki kekebalan tubuh yang masih
rendah dan organ pernafasan masih lemah.
Pada bayi dengan BBLR memiliki pusat
12
 Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai Volume VIII No.2 Edisi Des 2015, ISSN: 19779-469X
pengaturan pernafasan yang belum sempurna,
surfaktan paru–paru masih kurang, otot
pernafasan dan tulang iga masih lemah, dan
dapat disertai penyakit hialin membran
sehingga balita BBLR lebih mudah terserang
penyakit infeksi, khususnya infeksi pernafasan
dibandingkan dengan balita tidak BBLR
Berdasarkan uraian sebelumnya,
belum sempurnanya sistem kekebalan tubuh
balita bukan penyebab utama terjadinya ISPA
pada kelompok kasus dengan berat badan lahir
rendah. Hal ini dipastikan seluruh responden
memiliki riwayat imunisasi lengkap.
Simpulan
Hasil penelitian menyimpulkan
terdapat hubungan antara usia anak dengan
ISPA pada balita (p-value = 0.018; OR =
5,320) dan berat badan lahir dengan ISPA pada
balita (p-value = 0.037; OR = 4,491).
Sedangkan, jenis kelamin tidak berhubungan
dengan ISPA pada balita (p-value = 0.563)
Saran
Bagi Petugas di Puskesmas Bumiemas
Lampung Timur, hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan guna meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat berupa
Promosi Kesehatan tentang penerapan pola
hidup sehat dan bersih serta mendukung
gerakan ASI Eksklusif. Perlunya penelitian
lanjutan dengan memasukan variabel lain
yang berhubungan dengan kejadian ISPA
dan penggunaan sampel yang lebih besar
rancangan penelitian seperti dengan
menggunakan rancangan kohort dengan
memperhatikan kriteria inklusi dan
eksklusi.
Daftar Pustaka
1. WHO, 2007, Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) yang Cenderung menjadi Epidemi dan
Pedemi, Tersedia online:
[http://www.acehforum.or.id] [12 Februari
2015].
2. Departemen Kesehatan RI, 2012, Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2011.
Jakarta.
3. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung 2013,
Profil Kesehatan Provinsi Lampung tahun
2012, Bandar Lampung.
Firda Fibrila, Hubungan Usia Anak, Jenis Kelamin dan BBL Anak dengan Kejadian ISPA
4. Kementerian Kesehatan, 2013, Riset Kesehatan
Dasar, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Jakarta.
5. Maryunani, Anik, 2010, Ilmu Kesehatan Anak
dalam Kebidanan, Jakarta: Trans Info Media
6. Kartasasmita, B, C. 2010. Pneumonia
Pembunuh Nomor 1, Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia
7. Ranny, Liviandari Ranantha, 2014, Hubungan
Karakteristik Balita dengan Kejadian ISPA
pada Balita di Desa Gandon Kecamatan
Kaloran Kabupaten Temanggung, Tersedia
Online: [http://eprints.dinus.ac.id] [17 Februari
2015].
8. Wong Donna L, et al, 2008, Buku Ajar
Keperawatan Pediatrik, Volume 1 & 2, Jakarta,
Penerbit EGC.
9. Behrman, K. & Arvin, N., 2000. Pemberian
Makanan Bayi dan Anak. Ilmu Kesehatan Anak,
Vol.1, Penerbit Buku Kedokteran RGC, Jakarta
10. Wantania, J.M., Naning, R., Wahani, A, 2008.
Insfeksi Respirarori Akut. Buku Ajar
Respiratologi Anak Edisi Pertama. Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta
11. Kristina, Ni Nyoman, 2013, Mengenal Penyakit
Pneumonia (ISPA), Dinas Kesehatan Provinsi
Bali, Tersedia online:
[www.diskes.baliprov.go.id] [7 Maret 2015]
12. Mei Elyana, Aryu Candra, 2013, Hubungan
Frekuensi ISPA dengan Status Gizi Balita di
Klinik Masjid Agung Jawa Tengah, Tersedia
online: [http://ejournal.undip.ac.id] [12 Februari
2015].
13. Sukmawati, dan Sri D.A, 2009, Hubungan
Status Gizi, Berat Badan Lahir, Imunisasi,
dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Tunikamaseang Kecamatan
Bontoa Kabupaten Maros, Tersedia Online:
[http://jurnalmediagizipangan.files.wordpress.co
m] [17 Februari 2015].
14. Layuk, Ribka Rerung, 2013, Faktor yang
berhubungan dengan Kejadian ISPA pada
Balita di Lembang Batu Sura, Tersedia online:
[http://repository.unhas.ac.id] [17 Februari
2015].
13
 International Journal of Nursing Sciences xxx (xxxx) xxx

H O S T E D BY Contents lists available at ScienceDirect

International Journal of Nursing Sciences

journal homepage: http://www.elsevier.com/journals/international-journal-of-
nursing-sciences/2352-0132

Case Report

Intermittent ice-cooling to prevent skin heat injury caused by high-

intensity focused ultrasound therapy targeting desmoid-type
fibromatosis: A case report
Liangyu Fang a, Xiaoye Hu b, Yinchuan Xu c, Hongling Sun d, Hong Shen b, *
a
Department of Anesthesiology, The Second Affiliated Hospital of Zhejiang University, School of Medicine, Hangzhou, China
b
Department of Medical Oncology, The Second Affiliated Hospital of Zhejiang University, School of Medicine, Hangzhou, China
c
Department of Cardology, The Second Affiliated Hospital of Zhejiang University, School of Medicine, Hangzhou, China
d
Department of Specialist Nursing, The Second Affiliated Hospital of Zhejiang University, School of Medicine, Hangzhou, China

a r t i c l e i n f o a b s t r a c t

Article history: Introduction: Desmoid-type fibromatosis (DF) is a fibrous tumor characterized by low-grade malignant
Received 14 September 2020 and easy invasive growth and high recurrence. High-intensity focused ultrasound (HIFU) therapy has
Received in revised form been identified as a novel non-invasive approach for DF treatment; however, the ultrasonic energy
30 November 2020
generated by HIFU can cause skin heat injury.
Accepted 14 December 2020
Available online xxx
Case: A 31-year-old female patient with signs and symptoms of DF received treatment in our institution.
The patient had undergone HIFU treatment six times from April 27, 2018, to August 21, 2019. After HIFU
therapy for the third time, she had a third-degree skin burn showing as orange peel-like change and
Keywords:
Adult
spent three months to promote the recovery of the skin lesions. An intermittent ice-cooling strategy was
Aggressive fibromatosis used to avoid skin damage during the fourth HIFU treatment. This patient did not have any apparent skin
Burns injury during the last three HIFU therapy and acquired satisfactory anti-tumor therapeutic effect.
High-intensity focused ultrasound ablation Conclusions: There are differences in the thermal selectivity of tumor tissues, which leads to different
Ice critical thermal injury temperature values that the tissue can tolerate. Ice-cooling can lower skin tissue
Skin temperature temperature and reduce the thermal damage caused by HIFU treatment.
© 2020 The authors. Published by Elsevier B.V. on behalf of the Chinese Nursing Association. This is an
open access article under the CC BY-NC-ND license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).

What is known? 1. Introduction

C High-intensity focused ultrasound (HIFU) technology has
been considered as a novel non-invasive therapeutic strategy
for the treatment of aggressive fibrous sarcoma. However,
skin burns is one of the complications of HIFU.
What is new?
C Intermittent ice-cooling strategy can prevent and reduce the
skin burns caused by high-intensity focused ultrasound
treatment of aggressive fibrous sarcoma.
* Corresponding author.
E-mail address: shenhong0023@zju.edu.cn (H. Shen).
Peer review under responsibility of Chinese Nursing Association.
Desmoid-type fibromatosis (DF) is a fibrous tumor formed by
the clonal proliferation of fibroblasts or myofibroblasts within deep
soft tissues, including muscle, fascia, or tendon. It is a rare inter-
stitial tumor that lacks the capacity of long distant metastatic;
however, it can invade adjacent important structures and organs
and has a high recurrence rate [1]. DF mainly occurs in females, and
the abdominal wall is one of its common lesion locations. Although
surgery is the first choice for the treatment of DF, it could not
provide a good long-term disease-free survival rate. Previous
studies have demonstrated that the local recurrence rate of DF can
be as high as 70% [2,3]. The technology of high-intensity focused
ultrasound (HIFU) therapy has been considered as a novel non-
invasive therapeutic strategy for solid tumors treatment [4].
Compared with other traditional approaches, HIFU has the advan-
tages of high therapeutic accuracy and less destructive to the tis-
sues adjacent to the lesion. Multiple clinical trials have proved the
safety and feasibility of HIFU for the treatment of DF [5e8].

https://doi.org/10.1016/j.ijnss.2020.12.006
2352-0132/© 2020 The authors. Published by Elsevier B.V. on behalf of the Chinese Nursing Association. This is an open access article under the CC BY-NC-ND license (http://
creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).

Please cite this article as: L. Fang, X. Hu, Y. Xu et al., Intermittent ice-cooling to prevent skin heat injury caused by high-intensity focused
ultrasound therapy targeting desmoid-type fibromatosis: A case report, International Journal of Nursing Sciences, https://doi.org/10.1016/
j.ijnss.2020.12.006
L. Fang, X. Hu, Y. Xu et al.
HIFU destroys the lesion through the ultrasonic energy gener-
ated by the external transducer. The incidence of several compli-
cations such as visceral bleeding and visceral perforation can be
increased with the enhanced ultrasound energy, and skin burn is
one of the most common complications caused by HIFU [9,10].
Previous studies have revealed that the incidence of heat injury in
subcutaneous fat and anterior abdominal wall muscle caused by
HIFU can reach 11% [11,12]; so far, the effective preventive measures
for tissue heat damage induced by HIFU therapy remain limited.
Here, we presented a case report of a female patient with DF who
had to stop HIFU therapy due to a third-degree skin burn. Subse-
quently, when this patient received high-dose, long-term HIFU
treatment at the same lesion, intermittent ice-cooling during HIFU
therapy could effectively prevent skin heat injury without affecting
the therapeutic efficacy of the tumor.
2. Case report
2.1. Patient information
A 31-year-old female with a solid mass located in the left lower
abdominal wall, with a size of 6.4 cm
4.2 cm
5.1cm went to our
institution, the Second Affiliated Hospital of Zhejiang
University, School of Medicine, in April 2018. The patient is from the
southern coastal area. She felt a swelling in the left groin area (close
to the cesarean section scar) after a cesarean section surgery in
March 2013, with no tenderness and no skin redness. An ultrasound
examination by a local hospital revealed a hypoechoic mass on the
left lower abdominal wall. Subsequently, surgical resection was
performed, and the postoperative pathology suggested invasive DF
(Fig. 1 A). Four months after the operation, the patient found a mass
in the operation area by herself, and a second operation was per-
formed in July 2013, followed by the postoperative pathology
report revealing recurrence of invasive DF. This patient had tumor
recurrence three times in the same location in the following five
years, from 2013 to 2018, and she received surgery three times and
radiotherapy for once. In March 2018, she had found a mass in the
left lower abdominal wall again. The Magnetic resonance maging
(MRI) examination by another local hospital showed the recurrence
of DF of 3.1 cm
3.4 cm
2.7cm in March 2018 (Fig. 1 B). Subse-
quently, this patient was admitted to our hospital in April 2018.
Considering surgical difficulty caused by the complex adhesion
between the tumor and the surrounding tissues as well as the
disagreement of surgery from the patient, we ultimately performed
HIFU ablation to treat DF after acquiring the patient’s informed
consent. The patient had received HIFU treatment six times from
April 27, 2018, to August 21, 2019. In the first two HIFU treatments,
the patient suffered mild skin injury. After the third HIFU therapy,
she had a third-degree skin burn showing an orange peel-like
Fig. 1. Invasive desmoid-type fibromatosis of the patient. (A) H & E staining of the specimen from the patient in 2013 showed that the mass was irregular and infiltrated the adipose
tissue (original magnification
40). The red asterisk indicated the lesion. (B) MRI scan in 2018. MRI ¼ magnetic resonance imaging.
2
International Journal of Nursing Sciences xxx (xxxx) xxx
change. Therefore, the patient had to stop the treatment and take
three months for skin lesion recovery. During the fourth HIFU
treatment, intermittent ice-cooling therapy was used to avoid skin
damage. After intermittent ice-cooling therapy, the skin surface
temperature decreased significantly (Fig. 2). The patient did not
have obvious skin injury during the three subsequent HIFU treat-
ments (Fig. 3) and acquired a good anti-tumor therapeutic effect
(Fig. 4). The patient was suggested to receive regular MRI exami-
nations with an interval of 3 months. So far, there is no sign of
recurrence. In this case, the patient’s written informed consent for
releasing case data and images has been obtained. The detailed
ethical information has been approved by the ethics committee of
the Second Affiliated Hospital of Zhejiang University, School of
Medicine (2020784).
2.2. High-intensity focused ultrasound treatment
The FEP-BY02 high-intensity focused ultrasound tumor treat-
ment system (Yuande Biomedical Engineering Co. Ltd, Beijing,
China) was used, and the HIFU procedure was performed by Hu
et al. [13] in this case. During the operation, a pulsed heat accu-
mulation approach was applied to dynamically modulate the
therapeutic area, intensity and dose based on the intraoperative
ultrasound contrast imaging. The therapeutic regimen during HIFU
was performed as previously described: T1 emission time is
200 ms; T2 interval time is 200 ms; a total number of shots at each
therapeutic point is 25 times (lasting 10 s), keeping a spacing of 1
mm between adjacent treatment slices; Every three therapeutic
points composed one unit with 30 s interval between units, and the
whole therapeutic process was divided into three sections
including five therapeutic units for each. The details of HIFU
treatment were available in Table 1. During the operation, we firstly
used an ultrasound coupling agent to the skin area that is or may be
in contact with the ultrasound water bladder. It can fill the tiny gaps
between the contact surfaces, reduce the reflection loss of ultra-
sonic energy at this interface. It also plays a “lubricating” role to
reduce the friction between the probe surface and the skin. After a
round of HIFU treatment, we use sonovi to perform ultrasound
contrast to determine whether the treatment is effective. Then we
adjust the position of the center point of ultrasound treatment for
the next round of HIFU treatment. When there is a mass gray
change in the treatment area or an obvious overall gray increase,
and sonovi-used Doppler ultrasound immediately after treatment
shows no obvious blood-flow signal inside the lesion, it is the
standard for effective and discontinuation of treatment. After the
treatment, the magnetic resonance examination is used as the ev-
idence to determine whether the treatment is needed again.
L. Fang, X. Hu, Y. Xu et al. International Journal of Nursing Sciences xxx (xxxx) xxx

Fig. 2. The change of the patient’s skin surface temperature during HIFU therapy. HIFU ¼ high-intensity focused ultrasound.

Fig. 3. The patient’s skin changes after HIFU treatment. (A) Mild skin injury after the 1st HIFU treatment. (B) Skin burn due to the 3rd HIFU treatment. (C) Mild skin injury after the
5th HIFU treatment. (D) Mild skin injury after the 6th HIFU treatment. HIFU ¼ high-intensity focused ultrasound.

Fig. 4. Therapeutic effect of HIFU treatment on tumor detected by MRI. (A) Before the 1st HIFU treatment. (B) After the 1st HIFU treatment. (C) After the 3rd HIFU treatment.(D)
After the 6th HIFU treatment. Red arrrows indicated the lesion. HIFU ¼ high-intensity focused ultrasound. MRI ¼ magnetic resonance imaging.

Table 1
The detailed parameters utilized in multiple times of high-intensity focused ultrasound treatment for the patient.

HIFU treatment sequence Performing date Ultrasonic power (W) Total emission energy (J) Total treatment duration (min) Total ice-cooling duration (min)

1 2018-04-27 500e520 40320.3 39.53 5.25

2 2018-05-23 420e480 49780.0 59.18 7.75
3 2018-07-04 360e400 44357.4 58.90 6.25
4 2018-12-05 350e400 64242.7 66.30 9.00
5 2019-07-19 420 65266.1 70.92 8.25
6 2019-08-21 520 198681.1 122.77 15.00

3
L. Fang, X. Hu, Y. Xu et al.
2.3. The process of intermittent ice-cooling therapy
We prepared ice packs before conducting HIFU treatment. To
ensure patient safety and prevent infection, we injected 0.5ml so-
lution of methylene blue into 500 ml sodium lactated ringer’s in-
jection in a VIAFLEX plastic container (produced by Shanghai Baxter
Medical Products Co., Ltd.) and put it into a medical freezer (4  C) to
make an ice pack. During the process of HIFU treatment, we
launched the ice-cooling therapy when we found that the patient’s
skin color changed. At the end of each round of HIFU treatment, the
ice pack was placed onto the reddest spot on the patient’s skin lesion
for 10 s during the intermitted period of the HIFU therapeutic unit,
then HIFU therapy was continued. These steps were cycled until the
end of the treatment. If the skin appeared redness and swelling
during the treatment, the ice-cooling duration would be extended to
20 s. If the skin became blister-like or dark, the total ice-cooling
duration could be extended to 30 s. In addition, if noticeable blis-
ters appear in the skin after the completion of HIFU therapy, the ice-
cooling therapy could continue for 60 s, then stop for 30 s. The ice-
cooling therapy could be cycled for a total of 10 min. When a
round of ultrasound ablation treatment was finished, the skin tem-
perature of the treatment point was measured with an infrared
temperature irradiation equipment, FLIR ONE Pro thermal imaging
camera (produced by Beijing Chuangcheng Zhijia Technology Co.,
Ltd.). After ice-cooling for 10 s, the patient’s skin temperature of the
treatment point was reduced by 6e10  C on average.
3. Discussion
The biological characteristics of DF are low-grade malignant as
well as easy invasive growth and high recurrence. Previous studies
have revealed that HIFU is the first choice for treating DF, and
surgical damage may also promote tumor recurrence [2]. Although
HIFU has been identified as an effective non-invasive approach for
DF treatment, the ultrasonic energy generated by HIFU therapy may
cause heat injury [10]. This case report suggested that intermittent
ice-cooling during HIFU can effectively prevent and reduce skin
heat damage without affecting the therapeutic efficacy.
Selective hyperthermia therapy targeting tumor allows the
reduction of blood flow within the tumor tissue compared with
that in the surrounding tissue [14]. The temperature within the
central part of the tumor tissue is usually 3e7  C higher than the
temperature within the surrounding tissue, which can cause the
lethality of the tumor without damaging the surrounding normal
tissue [15]. Therapeutic efficacy would be achieved ideally without
skin heat injury if only lesion tissue absorbed heat energy while the
skin tissue does not absorb it. However, the heterogeneity of tumor
tissue can reduce the absorption of heat energy of tumor tissue,
leading to decreased therapeutic effect and increased incidence of a
complication caused by hyperthermia ablation. Ice-cooling can
decrease local skin temperature, reduce local blood flow, and pre-
vent tissue swelling and congestion. Meanwhile, ice can artificially
decrease the temperature of the skin tissue around the tumor,
causing a significant temperature difference between tumor tissue
and its surrounding tissue, thus improve the therapeutic efficacy of
selective hyperthermia ablation [16,17].
The effect of ice-cooling is mainly determined by the tempera-
ture changes within the tissue. Normal human skin temperature
fluctuates from 20  C to 47  C. When the skin surface temperature
declines to 15  C, the cell metabolic rate starts to decrease.
Furthermore, when the temperature reaches 10e11  C, the rate of
cell metabolism decreases by 50%, indicating that the temperature
of 15e20  C is safe for skin care [18].
In previous cases of HIFU treatment, we used an infrared irradiator
to measure the skin surface temperature and found that ice-cooling
4
International Journal of Nursing Sciences xxx (xxxx) xxx
for 10 s during the HIFU therapy led to the reduction of surface skin
temperature by about 20  C. In the current case, we found that the
skin temperature gradually increased with the extension of the HIFU
time, reached the highest (40  C) at the moment of stopping the
emission, and thereafter gradually decreased. Therefore, intermittent
ice-cooling for 10 s to remain the skin surface temperature at 20  C,
thus can prevent skin burns. Additionally, in the case of redness,
swelling, and blisters appeared on the patient’s skin, we extended ice-
cooling duration to allow the heat diffused from deep tissues with
high temperature to surrounding tissues with low temperature. The
skin temperature was reduced to 15  C, and effectively attenuate heat
injury caused by HIFU treatment.
In this study, ice-cooling therapy can effectively prevent the
patient’s skin burns. However, the patient’s total HIFU treatment
time was extended. The reason is that high-intensity focused ul-
trasound is a thermal ablation treatment. Through heat conduction,
ice-cooling reduces the heat accumulation of the tissue. In order to
achieve the same ablation goal, it is necessary to extend the time of
heat accumulation, which leads to a prolonged treatment time for
the operation. Furthermore, the heterogeneity of tumor tissue leads
to the different tolerance of tumor tissue to heat energy. The spe-
cific cooling duration and area for specific tumors treated with HIFU
need to be determined. Large-scale clinical trials need to be carried
out in the future.
4. Conclusions
HIFU is an effective treatment for invasive fibromatosis, but
there is a risk of skin heat damage during the treatment. Ice-cooling
can prevent thermal damage to the skin tissue during HIFU treat-
ment and reduce the degree of skin injury during thermal damage.
It may be one of the methods to prevent heat injury during HIFU
treatment.
Funding
This study was supported by the Medical and Health Science
and Technology Project of Zhejiang Province (No. 2019325236), the
Appropriate Technology Cultivation and Promotion Project of
Zhejiang Medical and Health Office (2019325236).
Availability of data and materials
The data used and/or analyzed during the current study are
available from the corresponding author on reasonable request.
CRediT authorship contribution statement
Liangyu Fang: Data curation, Writing - original draft. Xiaoye
Hu: Conceptualization, Methodology. Yinchuan Xu: Writing - re-
view & editing. Hongling Sun: Visualization, Investigation. Hong
Shen: Supervision.
Declaration of competing interest
The authors declare that they have no competing interests.
Acknowledgement
The authors thank all participants in the study.
Appendix A. Supplementary data
Supplementary data to this article can be found online at
https://doi.org/10.1016/j.ijnss.2020.12.006.
L. Fang, X. Hu, Y. Xu et al. International Journal of Nursing Sciences xxx (xxxx) xxx

References RLI.0b013e3182806904.
[10] Gizzo S, Saccardi C, Patrelli TS, Ancona E, Noventa M, Fagherazzi S, et al.
Magnetic resonance-guided focused ultrasound myomectomy: safety, effi-
[1] Otero S, Moskovic EC, Strauss DC, Benson C, Miah AB, Thway K, et al. Desmoid-
cacy, subsequent fertility and quality-of-life improvements, a systematic re-
type fibromatosis. Clin Radiol 2015;70(9):1038e45. https://doi.org/10.1016/
view. Reprod Sci 2014;21(4):465e76. https://doi.org/10.1177/
j.crad.2015.04.015.
1933719113497289.
[2] Shen CY, Wang CS, Yan JQ, He T, Zhou XQ, Ma WJ, et al. Clinicopathological
[11] Cheung VYT. High-intensity focused ultrasound therapy. Best Pract Res Clin
characteristics, treatment, and survival outcomes of retroperitoneal desmoid-
Obstet Gynaecol 2018;46:74e83. https://doi.org/10.1016/
type fibromatosis: a single-institution experience in China. Medicine
j.bpobgyn.2017.09.002.
2019;98(47):e18081. https://doi.org/10.1097/md.0000000000018081.
[12] Chen JY, Chen WZ, Zhang L, Li KQ, Peng S, He M, et al. Safety of ultrasound-
[3] Skubitz KM. Biology and treatment of aggressive fibromatosis or desmoid
guided ultrasound ablation for uterine fibroids and adenomyosis: a review
tumor. Mayo Clin Proc 2017;92(6):947e64. https://doi.org/10.1016/
of 9988 cases. Ultrason Sonochem 2015;27:671e6. https://doi.org/10.1016/
j.mayocp.2017.02.012.
j.ultsonch.2015.05.031.
[4] Copelan A, Hartman J, Chehab M, Venkatesan AM. High-intensity focused
[13] Zhao J, Wang Q, Li X, Hu X, Shen H. Effective high intensity focused ultrasound
ultrasound: current status for image-guided therapy. Semin Intervent Radiol
treatment in recurrent aggressive breast fibromatosis: a case report. Onco-
2015;32(4):398e415. https://doi.org/10.1055/s-0035-1564793.
Targets Ther 2019;12:5251e6. https://doi.org/10.2147/ott.s202933.
[5] Endo Y. CORR insights∧®: is MR-guided high-intensity focused ultrasound a
[14] Crum LA, Fowlkes JB. Acoustic cavitation generated by microsecond pulses of
feasible treatment modality for desmoid tumors? Clin Orthop Relat Res
ultrasound. Nature 1986;319(6048):52e4. https://doi.org/10.1038/319052a0.
2016;474(3):705e6. https://doi.org/10.1007/s11999-015-4427-2.
[15] Dellian M, Walenta S, Kuhnle GEH, Gamarra F, Mueller-Klieser W, Goetz AE.
[6] Avedian RS, Bitton R, Gold G, Butts-Pauly K, Ghanouni P. Is MR-guided high-
Relation between autoradiographically measured blood flow and ATP con-
intensity focused ultrasound a feasible treatment modality for desmoid tu-
centrations obtained from imaging bioluminescence in tumors following
mors? Clin Orthop Relat Res 2016;474(3):697e704. https://doi.org/10.1007/
hyperthermia. Int J Canc 1993;53(5):785e91. https://doi.org/10.1002/
s11999-015-4364-0.
ijc.2910530514.
[7] Wang Y, Wang W, Tang J. Ultrasound-guided high intensity focused ultrasound
[16] Yuan J, Wu C, Holland AJA, Harvey JG, Martin HCO, La Hei ER, et al. Assessment
treatment for extra-abdominal desmoid tumours: preliminary results. Int J
of cooling on an acute scald burn injury in a porcine model. J Burn Care Res
Hyperther 2011;27(7):648e53. https://doi.org/10.3109/02656736.2011.597047.
2007;28(3):514e20. https://doi.org/10.1097/bcr.0b013e318053db13.
[8] Zhao WP, Han ZY, Zhang J, Yu XL, Cheng ZG, Zhou X, et al. Early experience:
[17] Cho YS, Choi YH. Comparison of three cooling methods for burn patients: a
high-intensity focused ultrasound treatment for intra-abdominal aggressive
randomized clinical trial. Burns 2017;43(3):502e8. https://doi.org/10.1016/
fibromatosis of failure in surgery. Br J Radiol 2016;89(1062):20151026.
j.burns.2016.09.010.
https://doi.org/10.1259/bjr.20151026.
 C, Peter H, Irene M, Sabine K, et al. Magnetic [18] Prins JC, Stubbe JH, van Meeteren NL, Scheffers FA, van Dongen MC. Feasibility
[9] Christoph GT, Robert S, DirkAndre
and preliminary effectiveness of ice therapy in patients with an acute tear in
resonance imaging-guided focused ultrasound treatment of symptomatic
the gastrocnemius muscle: a pilot randomized controlled trial. Clin Rehabil
uterine fibroids: impact of technology advancement on ablation volumes in
2011;25(5):433e41. https://doi.org/10.1177/0269215510388312.
115 patients. Invest Radiol 2013;48(6):359e65. https://doi.org/10.1097/