Anda di halaman 1dari 5

ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 7,JULI 2017

PREVALENSI STUNTING PADA BALITA DI WILAYAH KERJA


PUSKESMAS SIDEMEN KARANGASEM
Muhammad Syairozi Hidayat1, Gusti Ngurah Indraguna Pinatih2
1
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
2
Ilmu Kedokteran Komunitas dan Pencegahan, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana

ABSTRAK
Stunting diidentifikasi berdasarkan indikator TB/U menurut WHO dengan nilai z score
kurang dari -2. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007, Kabupaten Karangasem memiliki angka
stunting tertinggi dari seluruh kabupaten/kota di Bali yaitu sebesar 39,0%. Sementara, sampai
saat ini Kecamatan Sidemen Kabupaten Karangasem belum melakukan evaluasi tentang
besarnya masalah stunting pada balita. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui prevalensi
stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sidemen. Studi deskriptif cross-sectional
dilaksanakan terhadap 100 balita pada 8 posyandu di wilayah kerja Puskesmas Sidemen yang
dipilih dengan metode consecutive sampling. Data stunting pada balita didapatkan melalui
pengukuran tinggi badan dan disesuaikan dengan kurva TB/U menurut WHO, sedangkan data
lainnya dilakukan melalui wawancara. Data hasil penelitian ini kemudian dianalisis secara
deskriptif. Prevalensi stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sidemen adalah sebesar
35%. Balita dengan stunting cendrung lebih banyak ditemukan pada balita dengan jenis kelamin
perempuan (38,3%), tingkat pendidikan ibu rendah (35,1%), riwayat ASI tidak ekslusif (44,9%),
dan memiliki riwayat BBLR (66,7%). Prevalensi stunting pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Sidemen cukup tinggi sehingga upaya pencegahan diperlukan melalui program gizi
kesmas dan kesehatan ibu dan anak
Kata kunci: stunting, prevalensi, balita, program puskesmas, cross-sectional

ABSTRACT
Stunting is identified through the indicator of Height for Age (H/A) < -2 SD based on the
standard of WHO. According to Riskesdas 2007, Karangasem Regency had the highest
prevalence of stunting amongst all regencies in Bali, accounted for 39,0%. Until now district of
Sidemen Karangasem not conduct an evaluation of the problerm of stunting in children under
five years of age. This study was conducted to find out the prevalence of stunting in children
under five years of age at Sidemen Primary Health Care. A descriptive cross-sectional study
conducted on 100 children in 8 Posyandu selected with consecutive sampling method. The data
of stunting obtained through the measurement of height and adapted through the indicator of
Height for Age according to the WHO, while the other data colected through interviews. The
data were then analyzed descriptively. The prevalence of stunting in children under five years of
age at Sidemen Primary Health Care was 35%. Children with stunting tends to be more
prevalent in female (38.3%), lower mother education level (35.1%), history of non-exclusive
breastfeeding (44.9%), and had a history of low birth weight (66.7). The prevalence of stunting
in children under five in Sidemen primary helth care was high enough, so the prevention is
required through public health nutrition program and maternal and child health program.
Keywords: stunting, prevalence, children under five years of age, public health program, cross-
sectional
PENDAHULUAN kuantitas dan kualitas sangat diperlukan pada masa
Usia balita merupakan usia dimana ini. Apabila kebutuhan zat gizi ini tidak terpenuhi
pertumbuhan dan perkembangan terjadi sangat maka pertumbuhan dan perkembangan anak akan
pesat. Dihitung sejak hari pertama kehamilan, terhambat, yang akhirnya akan menyebabkan
kelahiran bayi sampai usia 2 tahun atau yang mereka akan menjadi generasi yang hilang (lost
dikenal dengan periode 1000 hari pertama generation).1
kehidupan manusia merupakan “periode emas” Membangun sumber daya yang sehat dan
atau “periode kritis” yang menentukan kualitas berkualitas menjadi tantangan tersendiri bagi
kehidupan.1 Asupan gizi yang cukup baik dalam kemajuan suatu bangsa. Pada tahun 2003, Indeks

1 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 7,JULI 2017

Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih Sebanyak 8 Posyandu dipilih dari 54 Posyandu
berada pada posisi 112 dari 174.2 Status gizi yang yang ada, dengan pertimbangan tanggal
rendah sangat memengaruhi kualitas sumber daya pelaksanaan posyandu bertepatan dengan waktu
manusia yang nantinya akan berdampak pada penelitian. Seluruh balita yang datang ke delapan
rendahnya angka IPM.2 Posyandu tersebut serta memenuhi kriteria inklusi
Stunting atau pendek adalah suatu gangguan dan ekslusi dimasukkan menjadi sampel penelitian.
pertumbuhan linier yang digunakan secara luas Adapun kriteria inklusinya adalah ibu balita
untuk mengukur status gizi individu maupun bersedia menjadi responden. Kriteria eksklusinya
kelompok masyarakat.3 National Center of Health yaitu ibu balita yang tidak ingat riwayat kelahiran
Statistics (NHCS) Amerika Serikat mendefinisikan anaknya dan balita yang lahir dengan cacat bawaan.
pertumbuhan linier yang tidak mencapai rerata Data stunting didapatkan dengan mengukur
pertumbuhan untuk kelompok umur dan jenis tinggi badan balita dan disesuaikan dengan kurva
kelamin tertentu sebagai malnutrisi.3 Seorang balita TB/U menurut WHO. Untuk data karakteristik
dikatakan stunting apabila nilai Z-score TB/U < -2 lainnya didapatkan melalui wawancara.
SD.4 Selanjutnya, data hasil penelitian dianalisis secara
Stunting dipengaruhi oleh banyak hal salah deskriptif dengan menggunakan SPSS.
satunya adalah riwayat berat lahir rendah. Bayi
yang lahir dengan berat lahir rendah kebanyakan HASIL
lahir dari ibu dengan status nutrisi rendah selama Berdasarkan karakteristik balita, sebagian
kehamilan yang nantinya berisiko untuk menjadi besar balita berusia 0-23 bulan (54%), jenis
stunting.5 kelamin lelaki (53%), dan memiliki riwayat ASI
Menurut data WHO, terdapat 178 juta balita ekslusif (51%). Sebagian kecil balita memiliki
mengalami stunting.4 Afrika dan Asia menjadi dua riwayat BBLR yaitu sebesar 6%. (Tabel 1)
benua dengan angka kejadian balita stunting Tabel 1. Distribusi frekuensi karakteristik balita
tertinggi di dunia dengan persentase masing-
Karakteristik f %
masing 40% dan 36%.4 Indonesia sendiri masuk
Usia (bulan)
dalam 10 besar negara dengan kasus balita stunting
0-23 54 54
tertinggi di Asia bersama dengan negara Asia
24-59 46 46
lainnya yaitu Bangladesh, Tiongkok, India,
Jenis kelamin
Pakistan dan Filipina.6
Lelaki 53 53
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013,
Perempuan 47 47
prevalensi stunting di Indonesia sebesar 37,2%.7
Riwayat ASI ekslusif
Angka ini meningkat dibading tahun 2010 (35,6%)
Ya 51 51
dan 2007 (36,8%).8,9 Provinsi Bali sendiri memiliki
Tidak 49 49
angka prevalensi stunting sebesar 31,0%, yaitu
Riwayat BBLR
lebih rendah dari angka nasional. Namun.
Ya 6 6
prevalensi stunting di Kabupaten Karangasem
Tidak 94 94
menduduki angka tertinggi dibandingkan dengan
kabupaten/kota yang lain di Provinsi Bali yaitu
sebesar 39,0%.7 Puskesmas Sidemen, salah satu Berdasarkan karakteristik ibu sebagian besar
puskesmas yang berada di daerah Karangasem ibu balita dalam kategori kelompok usia 24-29
masih belum memiliki data balita stunting yang tahun sebesar 38% dan tingkat pendidikan rendah
menunjukkan kemungkinan adanya malnutrisi yaitu sebesar 77%. (Tabel 2)
tersembunyi atau “hidden malnutrition”. Maka Tabel 2. Karakteristik ibu balita
penelitian ini ditujukan untuk mengetahui Karakteristik ibu f %
prevalensi stunting pada balita di wilayah kerja Usia (tahun)
Puskesmas Sidemen. 15-19 5 5
BAHAN DAN METODE 20-23 23 23
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif 24-29 38 38
cross-sectional untuk mengetahui prevalensi ≥ 30 34 34
stunting pada balita dan distribusi berdasarkan Tingkat pendidikan
karakteristik sampel dan beberapa faktor risiko Tinggi 23 23
yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat Rendah 77 77
pendidikan ibu, riwayat Berat Badan Lahir Rendah Sebanyak 35% balita mengalami stunting
(BBLR), dan riwayat pemberian Air Susu Ibu berdasarkan rasio antara tinggi badan perumur.
(ASI) eksklusif. (Tabel 3)
Pengumpulan sampel dilakukan pada Februari
hingga Maret 2015 dengan teknik consecutive Tabel 3. Prevalensi stunting pada balita di wilayah
sampling yang dilakukan di beberapa Posyandu. kerja Puskesmas Sidemen

2 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 7,JULI 2017

Status TB/U f %
Balita dengan stunting cenderung ditemukan Normal 65 65
pada balita dengan kelompok usia 24-59 bulan Stunting 35 35
(54,3%), jenis kelamin perempuan (38,3%), tingkat Total 100 100
pendidikan ibu rendah (35,1%), riwayat ASI non Puskesmas Sidemen hanya menilai status gizi balita
ekslusif (44,9%), dan riwayat BBLR (66,7%). dari indikator BB/U saja.
Secara lengkap disajikan pada tabel 4. Jika dibandingkan dengan indikator status gizi
BB/U balita usia 0-59 bulan di wilayah kerja
Tabel 4. Proporsi stunting pada balita berdasarkan Puskesmas Sidemen pada tahun 2014 didapatkan
karakteristik balita dan ibu di wilayah kerja 14% balita usia 0-59 bulan mengalami gizi buruk-
Puskesmas Sidemen kurang dan 86% balita dengan status gizi baik.11
Status Stanting Walaupun masalah gizi kurang tersebut sudah
Karakteristik Ya Tidak mencapai sasaran MDGs 2015 yaitu prevalensi gizi
f (%) f (%) buruk-kurang dibawah 15,5%, hal itu tidak bisa
menjadi satu-satunya indikator yang manyatakan
Usia balita
tidak adanya masalah gizi di wilayah kerja
(bulan)
Puskesmas. Masalah gizi ini bisa disebut dengan
0-23 10 (18,5) 44 (81,5)
“hidden malnutrision” atau malnutrisi tersembunyi.
24-59 25 (54,3) 21 (45,7)
Prevalensi stunting yang cukup tinggi yaitu 35% di
Jenis kelamin
wilayah kerja Puskesmas Sidemen dapat
balita
memberikan gambaran keadaan gizi dan sosial-
Lelaki 17 (32,1) 36 (61,9)
ekonomi secara menyeluruh pada masa kehamilan
Perempuan 18 (38,3) 29 (61,7)
sebelumnya dan sebagai manifestasi akibat
Tingkat
kurangnya asupan selama masa periode emas yaitu
pendidikan ibu
sejak usia kehamilan hingga 2 tahun. Hasil
Tinggi 27 (35,1) 15 (65,2)
penelitian ini menunjukkan bahwa Puskesmas
Rendah 8 (34,8) 50 (64,9)
Sidemen harus segera berbenah dan merencanakan
Riwayat asi
strategi-strategi untuk dapat menanggulangi
ekslusif
masalah gizi terutama yang berkaitan dengan
Ya 13 (25,5) 38 (74,5)
stunting.
Tidak 22 (44,9) 27 (55,1)
Berdasarkan usianya pada penelitian ini
Riwayat BBLR
dibedakan usia balita menjadi 2 kelompok usia
Ya 4 (66,7) 2 (33,3)
yaitu usia 0-23 bulan dan 24-59 bulan. Balita
Tidak 31 (33) 63 (67)
dengan usia dibawah 2 tahun yang mengalami
stunting adalah sebesar 18,5% dan balita diatas atau
sama dengan dua tahun yang mengalami stunting
sebesar 54,3%. Pembedaan kelompok usia ini
PEMBAHASAN dikarenakan usia 0-2 tahun menjadi periode emas
Berdasarkan data dari 100 balita usia 0-59 atau “window of opportunity” untuk memperbaiki
tahun di wilayah kerja Puskesmas Sidemen kualitas hidup anak sehingga akan efektif dan
didapatkan prevalensi stunting sebesar 35%. efisien untuk dilakukan intervensi perbaikan gizi
Dibandingkan dengan data Riskesdas pada tahun sedini mungkin.12 Tingginya prevalensi stunting
2013 yang menyebutkan prevalensi stunting secara pada kelompok umur diatas 2 tahun menimbulkan
nasional adalah sebesar 37,2%, prevalensi stunting pertanyaan baru, apakah terdapat permasalahan
di wilayah kerja Puskesmas Sidemen berada pada 1000 hari pertama kehidupan sehingga
dibawah prevalensi nasional. Riskesdas juga menyebabkan stunting? Pertanyaan ini peneliti
menyebutkan bahwa provinsi Bali tidak termasuk harapkan dapat terjawab pada penelitian-penelitian
dalam 20 besar provinsi dengan prevalensi stunting berikutnya. Penelitian yang dilakukan Rahayu dan
tertinggi di Indonesia.7 Walaupun demikian, angka Sofianingsih pada tahun 2011 dimana
prevalensi stunting sebesar 35% di wilayah kerja menunjukkan bahwa balita dengan stunting pada
puskesmas menjadi penting untuk diperhatikan usia 6-12 bulan akan tetap mengalami stunting
karena Indonesia sendiri menargetkan pada tahun pada usia 3-4 tahun bila tidak diberikan intervensi
2015 angka balita stunting turun menjadi 18%.10 secara dini.13
WHO pada tahun 2010 juga menyebutkan masalah Berdasarkan jenis kelamin balita didapatkan
kesehatan masyarakat dianggap berat apabila balita perempuan lebih banyak mengalami stunting
prevalensi stunting sebesar 30-39%.4 Prevalensi yaitu 38,3% dibandingkan dengan balita laki-laki
stunting 35% di wilayah kerja puskesmas ini bisa yang sebesar 32,1%. Hasil ini berbeda dengan
saja menunjukkan adanya masalah kesehatan dan penelitian yang pernah dilakukan di NTT tahun
gizi yang tidak disadari karena selama ini di 2010 yang menyatakan bahwa balita yang
mengalami stunting lebih banyak terjadi pada laki-

3 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 7,JULI 2017

laki dengan persentase 35,7% dibandingkan anak Berdasarkan pemberian ASI eksklusif 0-6
perempuan sebesar 31,6%.14 Sedangkan bulan, didapatkan hasil cenderung lebih banyak
berdasarkan penelitian stunting yang dilakukan di mengalami stunting yang tdak mendapatkan ASI
daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur eksklusif yaitu 44,9% dibandingkan dengan balita
pada tahun 2007 didapatkan balita yang mengalami yang mendapatkan ASI eksklusif yaitu 25,5%.
stunting juga lebih banyak pada laki-laki (60,4%) Menurut penelitian di Libya oleh Taguri dkk20,
daripada perempuan (39,6).15 Pada tahun pertama pemberian ASI eksklusif akan menurunkan risiko
kehidupan, laki-laki lebih rentan terkena malnutrisi terjadinya stunting pada balita 0-59 bulan.20 Data
daripada anak perempuan dimana tubuh laki-laki yang berbeda dilaporkan dari penelitan di Papua
lebih besar dan lebih membutuhnya asupan nutrisi Barat oleh Wiyogowati tahun 2012 dimana jumlah
yang banyak, sehingga apabila tidak tercukupi balita yang mengalami stunting yang diberi ASI
maka dalam jangka waktu lama dapat eksklusif berjumlah 48,0%, lebih tinggi dari balita
mempengaruhi pertumbuhan.16 Menurut yang tidak mendapat ASI ekslusif mengalami
pengamatan peneliti, budaya yang berkembang di stunting sebesar 42,4%.21
Bali dalam pengasuhan anak terdapat perbedaan Berdasarkan riwayat berat badan lahir balita
pola asuh pada anak laki-laki dan perempuan. Pada didapatkan balita BBLR yang mengalami stunting
kebanyakan masyarakat di Bali terutama di yaitu sebanyak 66,7% sedangkan untuk balita
pedesaan, anak laki-laki sangat mendapat perhatian dengan berat badan lahir normal (BBLN) yang
yang jauh lebih besar daripada perempuan mengalami stunting sebesar 33%. Penelitian yang
termasuk dalam hal pemenuhan asupan gizi. Anak diadakan di Provinsi Papua Barat berdasarkan
laki-laki di dalam keluarga lebih diutamakan untuk analisis data Riskesdas pada tahun 2010,
mendapatkan perhatian termasuk asupan makanan didapatkan bayi BBLR yang mengalami stunting
daripada anak perempuan. Kemungkinan hal sebesar 56,3% sedangkan untuk balita dengan
tersebut yang dapat menyebabkan perbedaan hasil BBLN diperoleh stunting sebesar 42,1%.8,21 Dari
distribusi stunting pada penelitian ini dengan penelitian di Puskesmas Sidemen dan di Papua
penelitian serupa di daerah lain. Barat tersebut, diperoleh hasil yang sama dimana
Berdasarkan tingkat pendidikan ibu yang hasil balita BBLR lebih banyak yang mengalami
menjadi responden pada penelitian ini, didapatkan stunting daripada BBLN. Menurut penelitian yang
ibu dengan tingkat pendidikan rendah memiliki dilakukan di makassar tahun 2012, didapatkan
balita stunting lebih banyak yaitu sebesar 35,1% balita BBLR yang mengalami stunting sebesar
dibandingkan dengan ibu yang memiliki tingkat 58,3% sedangkan untuk BBLN yang mengalami
pendidikan tinggi sebesar 34,8%. Dalam penelitian stunting yaitu sebanyak 29,8%.22
ini hasil ibu dengan tingkat pendidikan rendah dan Balita yang lahir dengan berat badan rendah
tinggi yang memiliki balita stunting tidak memiliki berpeluang untuk menjadi pendek dibandingkan
selisih yang jauh berbeda. Pada penelitian yang dengan balita yang lahir dengan berat badan
dilakukan oleh Candra pada tahun 2013 di normal.22 Dampak dari berat badan lahir rendah
Semarang didapatan ibu dengan tingkat pendidikan akan terus berlanjut dari generasi satu ke generasi
rendah yang memiliki balita stunting sebesar 51,4% selanjutnya. Anak yang mengalami BBLR
dan ibu dengan tingkat pendidikan tinggi sebesar memiliki risiko untuk mengalami ukuran
46,6%.17 antropometri yang kurang pada saat dewasa. 23
Karakteristik ibu perlu diperhatikan dalam Perempuan yang lahir dengan berat lahir rendah
kejadian stunting pada balita karena stunting yang memiliki risiko untuk tumbuh menjadi ibu yang
sifatnya kekurangan gizi kronis muncul sebagai stunted sehingga akan cenderung melahirkan bayi
akibat dari keadaan yang berlangsung lama.18 yang BBLR dan selanjutnya akan tumbuh menjadi
Keadaan gizi anak secara tidak langsung balita yang stunting.23
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu.19 Namun
ibu dengan tingkat pendidikan tinggi belum tentu SIMPULAN
memiliki pengatahuan yang baik mengenai Prevalensi stunting pada balita di wilayah
kebutuhan gizi sehingga anak dari ibu dengan kerja Puskesmas Sidemen adalah sebesar 35%
pendidikan tinggi belum tentu terhindar dari dengan kecenderungan distribusi lebih tinggi pada
malnutrisi. Selain itu status ekonomi juga tidak kelompok umur 24-59 bulan, jenis kelamin
dijamin dari tingginya tingkat pendidikan ibu. Ibu perempuan, balita dengan ASI tidak eksklusif, dan
yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi balita dengan riwayat BBLR.
juga banyak yang berprofesi sebagai wanita karier
dibandingkan dengan ibu rumah tangga sehingga DAFTAR PUSTAKA
perawatan anak diserahkan kepada pengasuh, 1. Wirjatmadi, R. B., Welasasih, B. D. “Beberapa
kakek, nenek atau saudara lain. Hal ini faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
kemungkinan dapat menjawab mengapa tingkat Balita Stunting.” The Indonesian Journal of
pendidikan ibu rendah tidak menjadi faktor risiko Public Health. 2012;8(3):99 -104
stunting pada balita.17

4 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 7,JULI 2017

2. Azwar. Kecenderungan Masalah Gizi dan 13. Rahayu L.S. Associated of height of parents
Tantangan di Masa Datang. Dirjen Bina with changes of stunting status from 6-12
Kesmas Depkes. Disampaikan pada pertemuan months to 3-4 years [Thesis]: Universitas
Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju Gadjah Mada. 2011.
Keluarga Sadar Gizi, di Hotel Sahid Jaya, 14. Nadiyah, Briawan D., Martianto D. Faktor
Jakarta. 2004 Risiko Stunting Pada Anak Usia 0-23 Bulan Di
3. Sudiman, H. Stunting atau Pendek : Awal Provinsi Bali, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara
Perubahan Patologis atau Adaptasi Karena Timur, Jurnal Gizi dan Pangan. 2014;9(2):
Perubahan Sosial Ekonomi yang 125-132
Berkepanjangan? Media Litbang Kesehatan. 15. Rosha C.H., Hardinsyah, Baliwati Y.F. Analisis
2008;8(1):33-43 Determinan Stunting Anak 0-23 Bulan Pada
4. World Health Organization. Nutritional Daerah Miskin Di Jawa Tengah Dan Jawa
Landscape information system (NLIS) country Timur”, The Journal of Nutrition and Food
profil indicators: interpretation guide. 2010. Research. 2012; 35(1):34-41
[diakses 10 Maret 2015]. Diunduh dari: URL : 16. Gershwin M., Nestel P., Keen C. Handbook of
http//www.who.int/nutrition Nutrition & Immunity, Humana press. New
5. Kusharisupeni. Peran Status Kelahiran Jersey. 2004
Terhadap Stunting Pada Bayi : Sebuah Studi 17. Candra, A. Hubungan Underlying Factors
Retrospektif”. Jurnal Kedokteran Trisakti. Dengan Kejadian Stunting Pada Anak 1-2
2002; 23:73-80. Tahun. Journal of Nutrition and Health
6. Badham, J & Sweet, L. Stunting: An Overview. 2013;1:1
Sight and Life Magazine. 2010; 3: 40-47. 18. Gibson, S Rosalind. Principles of Nutritional
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Assesment. Oxford University Press. New
Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar York. 1990
(RISKESDAS). Kementerian Kesehatan 19. Diana, MF. Hubungan Pola Asuh dengan Status
Republik Indonesia. Jakarta. 2013 Gizi Anak Balita. Artikel Penelitian. Jurnal
8. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat. Jakarta. 2006
Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 20. Taguri, AE, Betimal I, Mahmud SM, Monem
(RISKESDAS) Kementerian Kesehatan A, dkk. Risk Factor For Stunting Among Under
Republik Indonesia. Jakarta. 2010 Five in Libya. Public Health Nutrition.
9. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2008;12(8): 1141-1149.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 21. Wiyogowati, C. Kejadian Stunting pada Anak
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Berumur di Bawah Lima Tahun 0-59 Bulan di
Jakarta. 2007 Provinsi Papua Barat Tahun 2010 (Analisis
10. Bappenas RI. Laporan Pencapaian Tujuan Data Riskesdas 2010). Fakultas Kesehatan
Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Marsyarakat, Universitas Indonesia. Jakarta.
Kementerian Perencanaan Pembangunan 2012.
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan 22. Muqni A.D., Hadju V., Jafar N. Hubungan
Nasional (BAPPENAS). Jakarta. 2010 Berat Badan Lahir Dan Pelayanan KIA
11. Puskesmas Sidemen. Profil Puskesmas Sidemen Terhadap Status Gizi Anak Balita Di Kelurahan
Tahun 2014. Puskesmas Sidemen, Karangasem. Tamamaung Makassar, Media Gizi Masyarakat
2014 Indonesia. 2012;1(2):109-116
12. Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. 23. Semba, R. D., Bloem M. W. Nutrition and
Pedoman Perencanaan Program Gerakan Health in developing countries. Humana Press,
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam New Jesrey. 2001
Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan.
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Republik Indonesia. Jakarta. 2013

5 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

Anda mungkin juga menyukai