Aturan Perilaku
Larangan
- Melakukan pengawasan di luar ruang lingkup yang ditetapkan dalam surat tugas;
- Menggunakan data/informasi yang sifatnya rahasia untuk kepentingan pribadi atau
golongan yang mungkin akan merusak nama baik organisasi;
- Menerima suatu pemberian dari auditan yang terkait dengan keputusan maupun
pertimbangan profesionalnya; dan
- Berafiliasi dengan partai politik/golongan tertentu yang dapat mengganggu integritas,
obyektivitas, dan keharmonisan dalam pelaksanaan tugas.
Pelanggaran
- Auditor internal pemerintah yang terbukti melanggar KE-AIPI akan dikenakan sanksi oleh
pimpinan APIP (Aparat Pengawas Intern Pemerintah) atas rekomendasi dari Komite Kode
Etik.
- Bentuk-bentuk sanksi yang direkomendasikan oleh Komite Kode Etik, antara lain berupa:
teguran tertulis, usulan pemberhentian dari tim pengawasan, dan tidak diberi penugasan
pengawasan selama jangka waktu tertentu.
- Pelanggaran terhadap KE-AIPI (Kode Etik Audit Intern Pemerintah Indonesia) dapat
dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Pelanggaran KE-AIPI terdiri atas 3 (tiga) kategori pelanggaran, yaitu:
- Pelanggaran ringan,
- Pelanggaran sedang, dan
- Pelanggaran berat.
- Keputusan pengenaan sanksi untuk auditor internal pemerintah yang disangka melanggar
kode etik berupa rekomendasi kepada instansi auditor internal pemerintah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berikut ini ilustrasi ketika keselarasan elemen-elemen komunikasi tidak diperhatikan yang
mendorong komunikasi menjadi tidak efektif.
Seorang auditor memerlukan data anggaran belanja suatu kantor. Untuk itu, dia
meminta seorang petugas kebersihan kantor tersebut untuk meminta data anggaran
belanja ke bagian keuangan. Maka, petugas kebersihan tersebut mendatangi salah
seorang staf keuangan, dan meminta anggaran belanja. Kemudian, petugas kebersihan
kembali ke tempat auditor dan menyerahkan anggaran belanja kepada si auditor. Ketika
anggaran tersebut dibaca oleh auditor, maka yang terbaca oleh auditor adalah daftar
rencana belanja alat-alat dan bahan-bahan kebersihan satu tahun mendatang.
Komunikasi ini tidak efektif karena staf keuangan sebagai komunikan tidak memahami
pesan dengan benar. Hal ini disebabkan ketidakselarasan elemen komunikator, yaitu
petugas kebersihan, dengan isi pesan.
- Komunikasi Empatik
Komunikasi empatik bisa dipahami dari kata empati. Empati adalah kemampuan
seseorang untuk mengetahui apa yang dialami orang lain pada saat tertentu, dari sudut
pandang dan perspektif orang lain tersebut. Jadi komunikasi empatik dapat menjadi sarana
untuk menjalin saling pengertian antara dua pihak. Berkaitan dengan audit, komunikasi
empatik dapat dijadikan sarana untuk menghapus salah persepsi auditan atas tujuan audit.
Auditan sering mempersepsikan pekerjaan audit sebagai pekerjaan cari-cari kesalahan. Jika
auditor berhasil mengembangkan komunikasi empatik, maka diharapkan auditan dapat
memahami bahwa tujuan utama dari audit adalah agar auditan dapat menyelesaikan
tanggung jawabnya secara lebih efektif.
Agar komunikasi empatik tercipta, maka komunikator harus memperlihatkan:
1. Ketertarikan terhadap sudut pandang komunikan. Sikap ini akan mendorong komunikan
untuk lebih terbuka.
2. Sikap sabar untuk tidak memotong pembicaraan. Banyak informasi yang didapat jika
komunikator bersabar untuk memeroleh penjelasan detail dari sudut pandang
komunikan. Jika informasi yang diperoleh telah cukup dan komunikan hanya berputar-
putar menjelaskan hal yang sama, maka komunikator perlu menyampaikan kembali
pengertian yang telah didapatnya dan menarik perhatian komunikan pada masalah
berikutnya.
3. Sikap tenang, meskipun menangkap ungkapan emosi yang kuat. Beberapa sudut
pandang bersifat sangat pribadi, sehingga saat mengungkapkannya keterlibatan emosi
tidak dapat dihindari. Sebagai contoh, komunikan mengungkapkan kemarahannya saat
menceritakan ketidaksetujuannya terhadap suatu keputusan rapat.
4. Bersikap bebas prasangka, atau tidak evaluatif, kecuali jika sangat diperlukan. Untuk
dapat memahami sudut pandang orang lain, kita hindari sikap evaluatif. Sikap evaluatif
dapat membuat komunikan menyeleksi hal-hal yang perlu disampaikan dan tidak,
dengan pertimbangan apakah sudut pandangnya akan diterima atau tidak, disetujui
atau tidak, oleh komunikator.
Jika ini terjadi, maka kita tidak dapat mengerti sudut pandang komunikan dengan benar.
Sikap evaluatif diperlukan ketika komunikan mendesak komunikator untuk menilai
pandangan komunikan.
5. Sikap awas pada isyarat permintaan pilihan atau saran. Sikap ini memperlihatkan adanya
dukungan atau bantuan yang bisa diharapkan komunikan dari komunikator. Pemberian
dukungan dan bantuan akan mengembangkan empati pada diri auditan, kesiapan untuk
membalas dukungan dan bantuan yang diterimanya.
6. Sikap penuh pengertian. Sebagai contoh, komunikan mendesak untuk memperoleh
persetujuan dari komunikator atas sudut pandangnya. Komunikator tidak setuju.
Komunikator cukup menyatakan bahwa dia dapat mengerti sudut pandang tersebut,
tidak perlu menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuannya.
Keempat tujuan tersebut di atas tidak perlu dicapai secara khusus atau terpisah-pisah. Dengan
kata lain, instansi pemerintah tidak harus merancang secara khusus pengendalian untuk
mencapai satu tujuan. Suatu kebijakan atau prosedur dapat saja dikembangkan untuk dapat
mencapai lebih dari satu tujuan pengendalian.
Sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2008, SPIP terdiri dari lima unsur, yaitu:
- Lingkungan pengendalian
- Penilaian risiko
- Kegiatan pengendalian
- Informasi dan komunikasi
- Pemantauan pengendalian internal
8. Aturan Tipikor
Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Perunbahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
9. Konflik Kepentingan
- Konflik Kepentingan diartikan sebagai suatu situasi dalam mana seseorang, seperti petugas
publik, seorang pegawai, atau seorang profesional, memiliki kepentingan privat atau pribadi
dengan mempengaruhi tujuan dan pelaksanaan dari tugas-tugas kantornya atau
organisasinya.
- konflik kepentingan juga diartikan sebagai situasi dimana seorang penyelenggara negara
yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-
undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan
wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang
seharusnya.
- Dari kedua makna tersebut konflik kepentingan memiliki kesamaan yakni adanya
kepentingan pribadi yang terlibat dalam mewujudkan tujuan kinerja.
Bentuk komunikasi yang biasanya digunakan dalam proses audit dapat dirangkum menjadi 7
(tujuh) bagian, yaitu:
1) Wawancara
Wawancara biasanya digunakan auditor untuk memperoleh data ataupun fakta yang
dibutuhkan selama proses audit. Cara ini merupakan alat yang cukup baik untuk
memperoleh informasi, pendapat, keyakinan ataupun tanggapan seseorang mengenai
sesuatu hal. Karena pada proses wawancara auditor dapat melihat langsung aksi, reaksi
seseorang dalam bentuk gerak gerik dan ekspresi wajah saat wawancara berlangsung.
2) Kuesioner
Kuesioner memungkinkan individu untuk menuliskan apa yang mereka rasa tidak pantas
untuk diungkapkan secara lisan. Bahkan kuesioner dapat dianalisis secara akurat dan
dapat memberikan data kuantitatif yang solid untuk mendukung temuan kualitatif.
3) Konfirmasi
Proses ini dilakukan saat auditor ingin meminta penegasan terkait kebenaran suatu data
atau informasi yang didapatkan.
4) Presentasi
Merupakan komunikasi yang dilaksanakan secara tatap muka yang berisi penyampaian ie
atau gagasan kepada sekelompok orang. Dalam proses ini bukan hanya pesan verbal
yang dapat ditangkap, pesan non verbal juga penting untuk diperhatikan.
5) Rapat
Bentuk komunikasi ini merupakan yang paling lazim ditemui dalam dunia kerja. Rapat
bisa dilakukan secara internal maupun dengan pihak auditan.
6) Rapat Kecil (Briefing)
Biasanya bentuk komunikasi ini dilakukan hanya untuk memperjelas gagasan dan
mengantisipasi hambatan, bukan untuk membahas pokok gagasan. Dalam audit, rapat
kecil biasanya dilaksanakan intern sebelum memulai penugasan audit.
7) Laporan Hasil Audit
Merupakan bentuk komunikasi dimana auditor akan menyampaikan hasil audit kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dalam bentuk laporan (secara tertulis).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertimbangan auditor seputar kelayakan bukti audit,
yaitu:
Kompetensi bukti audit ini berkaitan dengan sejauh mana bukti-bukti yang diperoleh dapat
dipercaya. Jika bukti yang didapatkan adalah sangat kompeten, maka hal ini sangat membantu
auditor untuk menentukan apakah laporan keuangan yang diperiksanya sudah disajikan dengan
wajar. Pertimbangan yang perlu dilakukan dalam pemeriksaan apakah bukti audit sudah
kompeten bisa didasarkan pada:
Relevansi (Relevance)
bukti audit yang relevan haruslah sesuai jika digunakan untuk maksud tertentu, yang
dalam ini berarti harus berhubungan dengan tujuan auditor. Jika tujuan auditor adalah
untuk menentukan keberadaan suatu persediaan, auditor bisa mendapatkan buktinya
dengan melakukan observasi langsung pada persediaan tersebut.
Sumber Perolehan (Sources)
sumber informasi sangat berpengaruh pada kompetensi bukti audit. Sumber informasi
yang dapat mempengaruhi kompetensi bukti adalah sbb:
1) Jika sumber informasi didapatkan dari sumber independen di luar perusahan,
2) Semakin efektif struktur pengendalian internal perusahaan, maka semakin besar
jaminan yang diberikan atas keandalan data akuntansi dan laporan keuangan,
3) Pengetahuan auditor secara pribadi dan secara langsung dari pemeriksaan fisik,
pengamatan, penghitungan, dan inspeksi lebih meyakinkan daripada informasi yang
didapat secara tidak langsung.
Ketepatan Waktu (Timeliness)
ketepatan waktu berhubungan dengan tanggal penggunaan bukti audit. Kriteria ini
menjadi penting khususnya untuk memverifikasi aktiva lancar, utang lancar, dan akun
surplus-defisit karena bisa mengecek apakah cut off sudah dilakukan dengan tepat.
Objektivitas (Objectivity),
bukti audit yang objektif dipandang lebih kompeten jika dibandingkan dengan bukti audit
yang bersifat subjektif. Untuk menilai objektivitas bukti audit, diperlukan juga penilaian
atas kualifikasi personal yang memberikan bukti tersebut.
1) Pengujian fisik (physical examination), merupakan bukti yang diperoleh lewat pemeriksaan
secara fisik atau lewat perhitungan oleh auditor terhadap harta perusahaan. Misalnya, uang
tunai, surat berharga, barang persediaan.
2) Konfirmasi, merupakan bukti yang didapatkan lewat penegasan dari pihak ketiga sebagai
jawaban atas permintaan informasi yang berkaitan dengan asersi manajemen dan tujuan
audit. Umumnya auditor lebih memilih konfirmasi tertulis karena mudah di-review oleh
supervisor audit dan memberikan dukungan keandalan.
3) Dokumentasi, merupakan pemeriksaan atau penyelidikan oleh auditor atas dokumen dan
catatan klien guna mendukung informasi yang telah tersaji. Dokumentasi digunakan secara
luas sebagai bukti audit karena biayanya yang relatif rendah dan pada banyak kesempatan
menjadi satu-satunya bukti audit yang tersedia dan layak.
4) Prosedur analitis, dengan cara menggunakan perbandingan dan hubungan untuk menilai
apakah saldo akun atau data lainnya tampak wajar. Misalnya, auditor melakukan
perbandingan total beban gaji dengan jumlah tenaga kerja untuk menunjukkan apakah ada
pembayaran gaji yang tidak semestinya.
5) Wawancara dengan klien, merupakan upaya untuk memperoleh informasi secara lisan
ataupun tertulis dari klien yang menjadi bukti respon atas pertanyaan dari auditor.
6) Perhitungan ulang, merupakan pengujian atas keakuratan hasil perhitungan klien.
7) Observasi, merupakan penggunaan alat indera untuk menilai aktivitas klien. Misalnya,
auditor melakukan kunjungan ke lokasi pabrik untuk mengamati proses produksi.
Jenis-jenis piutang daerah yang ada saat ini sangat beragam dan kadang untuk satu daerah
dengan daerah lainnya memiliki nama yang tidak sama. Namun menilik sebab terjadinya,
piutang-piutang daerah tersebut memiliki latar belakang terjadinya yang sama. Beberapa jenis
piutang yang sering terjadi adalah Piutang Retribusi Daerah, Piutang Hasil Pengelolaan Kekayaan
Daerah yang Dipisahkan, Piutang Lain Lain Pendapatan Asli Daerah, Piutang yang Berasal dari
Tagihan Investasi Non Permanen, dan Piutang Lainnya.
Selain jenis piutang yang memang terjadi sebagai akibat pengelolaan keuangan pemerintah
daerah terdapat juga piutang yang terjadi diluar pengelolaan keuangan pemda, misalnya piutang
yang berasal dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Sebagaimana diisyaratkan dalam
ketentuan Pasal 84 ayat (3) Permendagri Nomor 79 Tahun 2018 tentang BLUD, bahwa dalam hal
piutang BLUD sulit tertagih maka penagihan piutang diserahkan kepada Kepala Daerah.
Selanjutnya terhadap piutang daerah tersebut perlu dilakukan penagihan UU No 1 Tahun 2004.
Dalam UU tersebut dinyatakan Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku
Bendahara Umum Daerah berwenang melakukan penagihan piutang daerah. Disamping itu,
dinyatakan pula bahwa setiap pejabat yang diberi kuasa untuk mengelola pendapatan, belanja,
dan kekayaan negara/daerah wajib mengusahakan agar setiap piutang negara/daerah
diselesaikan seluruhnya dan tepat waktu.
Penagihan terhadap piutang daerah akan menjadi masalah jika dalam perjalanan waktu, piutang
daerah menjadi macet. Artinya para penanggung utang tidak membayar utang kepada
pemerintah daerah. Tentu saja piutang macet akan membebani pembukuan dan laporan
keuangan daerah jika jumlah penanggung utang banyak dan nominalnya juga besar. UU nomor 1
tahun 2004 juga menyatakan piutang negara/daerah yang tidak dapat diselesaikan seluruhnya
dan tepat waktu, diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
UU no 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan bahwa Piutang
Negara harus dibayar kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, karena itu piutang
macet Pemerintah Daerah juga termasuk dalam pengurusan Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN). PUPN adalah panitia interdepartemental yang mengurus Piutang Negara yang berasal
dari instansi pemerintah atau badan-badan yang dikuasai oleh Negara. Anggota PUPN berasal
dari Kantor Kementerian Keuangan, Kepolisian, Kejaksaan dan Pemerintah Daerah. PUPN Pusat
berkedudukan di Jakarta sedangkan PUPN Cabang mempunyai kedudukan di setiap propinsi
kecuali ditentukan lain oleh Menteri Keuangan. Pelaksanaan produk hukum (putusan) wewenang
PUPN dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang mempunyai kantor
operasional yaitu Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang dikoordinasi oleh
Kantor Wilayah.
Apabila terdapat piutang daerah yang macet setelah upaya penagihan sendiri oleh Pemerintah
Daerah, maka Pemerintah Daerah wajib menyerahkan pengurusannya kepada PUPN melalui
KPKNL yang wilayahnya kerjanya melingkupi Pemerintah Daerah itu berada. Dengan penyerahan
piutang macet kepada KPKNL tersebut maka selanjutnya piutang macet diselesaikan oleh KPKNL.
Penyerahan piutang pemerintah daerah yang macet kepada KPKNL setidaknya akan mengurangi
beban pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Namun demikian penyerahan piutang daerah
yang macet tidak serta merta dapat diserahkan begitu saja. Keberadaan dan besarnya piutang
telah pasti secara hukum ketika KPKNL menerima penyerahan piutang macet tersebut. Hal ini
menandakan bahwa penyerahan piutang daerah yang macet ke KPKNL harus didukung dengan
dokumen-dokumen yang memenuhi syarat penyerahan.
Setelah piutang macet diserahkan ke KPKNL maka tanggung jawab Pemerintah Daerah terhadap
penagihan piutang tersebut tidak lepas begitu saja. Koordinasi dengan DJKN yang diwakili oleh
Kanwil DJKN dan KPKNL harus tetap berjalan dengan baik. Dengan penyerahan piutang macet ke
KPKNL, Pemerintah Daerah tidak bisa langsung menghapuskan piutang macet namun menunggu
penyelesaian optimal dari KPKNL, yaitu keluarnya surat PSBDT (Piutang Negara Sementara Belum
Dapat Ditagih).
Surat PSBDT yang diterima Pemerintah Daerah akan menjadi dasar Pemerintah Daerah untuk
mengajukan usul penghapusan bersyarat yaitu penghapusan piutang dari pembukuan keuangan
Pemerintah Daerah. Namun penghapusan bersyarat ini belum menghapus hak tagih Pemerintah
Daerah kepada penanggung utang. Setelah dua tahun surat penetapan penghapusan bersyarat
ini diterima, maka surat ini menjadi dasar Pemerintah Daerah mengajukan usul penghapusan
secara mutlak piutang macetnya. Jika telah ditetapkan penghapusan mutlak berarti Pemerintah
Daerah dapat menghapus hak tagih piutang macetnya kepada penganggung utang.
Langkah-langkah utama yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah terkait adanya piutang
macetnya, pertama adalah mengelola dan mengadministrasikan piutang macetnya secara tertib.
Banyak kejadian piutang macet di Pemerintah Daerah tidak tertangani secara optimal karena
pengadministrasiannya yang buruk. Salah satu contoh yang sering terjadi adalah tidak
dikelolanya dokumen-dokumen piutang secara baik, sehingga apabila terjadi mutasi
pejabat/pegawai yang menangani piutang macet maka penyelesaian piutang macetnya menjadi
rumit dan menyisakan banyak masalah.
Kedua adalah Pemerintah Daerah perlu menyusun peraturan khusus yang mengatur
penyelesaian piutang macetnya. Dengan adanya peraturan ini maka penyelesaian piutang daerah
akan memiliki pedoman yang pasti. Beberapa Pemerintah Daerah baik propinsi maupun
kabupaten saat ini telah memiliki peraturan yang khusus disusun untuk menyelesaikan
permasalahan piutang macetnya. Contoh-contoh Pemerintah Daerah yang telah menyusun
peraturan penyelesaian piutang daerahnya adalah Pemerintah Kabupaten Mojokerto,
Pemerintah Kabupaten Pamekasan dan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta.
Langkah-langkah penanganan piutang macet tersebut pada pelaksanaannya dapat menjadi solusi
bagi Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan permasalahan piutang macetnya. Hal ini juga akan
berdampak pada Laporan Keuangan yang disajikan Pemerintah Daerah setiap tahunnya. Selain
itu, juga bisa menghindarkan temuan audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
atas piutang macet tersebut.
14. Sanksi Administrasi
PP No. 48/2016 :
Sanksi Administratif terdiri atas : sanksi administratif ringan; sanksi administratif sedang; sanksi
administratif berat
bunyi Pasal 4 PP tersebut. Menurut PP ini sanksi Administratif ringan dikenakan bagi Pejabat
Pemerintahan jika tidak melaksanakan 22 tindakan, antara lain: