Anda di halaman 1dari 19

1.

Kode Etik Auditor


Prinsip etika
- Integritas
Integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukan kesatuan yang utuh sehingga
memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran
Integritas auditor internal BPI membangun kepercayaan dan dengan demikian memberikan
dasar untuk kepercayaan dalam pertimbangannya. Integritas tidak hanya menyatakan
kejujuran, namun juga hubungan wajar dan keadaan yang sebenarnya.
- Objektivitas
Objektivitas adalah sikap jujur yang tidak dipengaruhi pendapat  dan pertimbangan pribadi
atau golongan dalam mengambil putusan atau tindakan. Auditor internal BPI menunjukkan
objektivitas profesional tingkat tertinggi dalam mengumpulkan, mengevaluasi, dan
mengkomunikasikan informasi tentang kegiatan atau proses yang sedang di audit. Auditor
internal BPI membuat penilaian berimbang dari semua keadaan yang relevan dan tidak
dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingannya sendiri ataupun orang lain dalam membuat
penilaian. Prinsip objektivitas menentukan kewajiban bagi auditor internal BPI untuk
berterus terang, jujur secara intelektual dan bebas dari konflik kepentingan.
- Kerahasiaan
Kerahasiaan adalah sifat sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang agar tidak diceritakan
kepada orang lain yang tidak berwenang mengetahuinya. Auditor internal pemerintah
menghormati nilai dan kepemilikan informasi yang diterima dan tidak mengungkapkan
informasi tanpa kewenangan yang tepat, kecuali ada ketentuan perundang-undangan atau
kewajiban profesional untuk melakukannya.
- Kompetensi
Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seseorang, berupa
pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas
jabatannya.  Auditor internal pemerintah menerapkan pengetahuan, keahlian dan
keterampilan, serta pengalaman yang diperlukan dalam pelaksanaan layanan pengawasan
internal.
- Akuntabel
Akuntabel adalah kemampuan untuk menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk
menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang kepada pihak yang memiliki
hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Auditor
internal pemerintah wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas kinerja dan
tindakannya kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan
atau pertanggungjawaban.
- Perilaku Profesional
Perilaku profesional adalah tindak tanduk yang merupakan ciri, mutu, dan kualitas suatu
profesi atau orang yang profesional di mana memerlukan kepandaian khusus untuk
menjalankannya. Auditor internal pemerintah sebaiknya bertindak dalam sikap konsisten
dengan reputasi profesi yang baik dan menahan diri dari segala perilaku yang mungkin
menghilangkan kepercayaan kepada profesi pengawasan internal atau organisasi.

Aturan Perilaku

- Untuk menerapkan prinsip Integritas, auditor internal pemerintah wajib:


1. Melakukan pekerjaan dengan kejujuran, ketekunan, dan tanggung jawab;
2. Mentaati hukum dan membuat pengungkapan yang diharuskan oleh ketentuan
perundang-undangan dan profesi;
3. Menghormati dan berkontribusi pada tujuan organisasi yang sah dan etis; dan
4. Tidak menerima gratifikasi terkait dengan jabatan dalam bentuk apapun.
5. Bila gratifikasi tidak bisa dihindari, auditor internal pemerintah wajib melaporkan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi (disingkat KPK) paling lama dalam waktu 7 (tujuh) hari
setelah gratifikasi diterima atau sesuai ketentuan pelaporan gratifikasi.
- Untuk menerapkan prinsip Objektivitas, auditor internal pemerintah wajib:
1. Tidak berpartisipasi dalam kegiatan atau hubungan apapun yang dapat menimbulkan
konflik dengan kepentingan organisasinya, atau yang dapat menimbulkan prasangka,
atau yang meragukan kemampuannya untuk dapat melaksanakan tugas dan memenuhi
tanggung jawab profesinya secara objektif;
2. Tidak menerima sesuatu dalam bentuk apapun yang dapat mengganggu atau patut
diduga mengganggu pertimbangan profesionalnya; dan
3. Mengungkapkan semua fakta material yang diketahui, yaitu fakta yang jika tidak
diungkapkan dapat mengubah atau mempengaruhi pengambilan keputusan atau
menutupi adanya praktik-praktik yang melanggar hukum.
- Untuk menerapkan prinsip Kerahasiaan, auditor internal pemerintah wajib:
1. Berhati-hati dalam penggunaan dan perlindungan informasi yang diperoleh dalam
tugasnya; dan
2. Tidak menggunakan informasi untuk keuntungan pribadi atau dengan cara apapun yang
akan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan atau merugikan tujuan
organisasi yang sah dan etis.
- Untuk menerapkan prinsip Kompetensi, auditor internal pemerintah wajib:
1. Memberikan layanan yang dapat diselesaikan sepanjang memiliki pengetahuan,
keahlian dan keterampilan, serta pengalaman yang diperlukan;
2. Melakukan pengawasan sesuai dengan Standar Audit Internal Pemerintah
Indonesia; dan
3. Terus-menerus meningkatkan keahlian serta efektivitas dan kualitas
pelaksanaan tugasnya, baik yang diperoleh dari pendidikan formal, pelatihan,
sertifikasi, maupun pengalaman kerja.
- Untuk menerapkan prinsip Akuntabel, auditor internal pemerintah wajib menyampaikan
pertanggungjawaban atau jawaban dan keterangan atas kinerja dan tindakannya secara
sendiri atau kolektif kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta
keterangan atau pertanggungjawaban.
- Untuk menerapkan prinsip Perilaku Profesional, auditor internal pemerintah wajib:
1.Tidak terlibat dalam segala aktivitas ilegal, atau terlibat dalam tindakan yang
menghilangkan kepercayaan kepada profesi pengawasan internal atau organisasi; dan
2.Tidak mengambil alih peran, tugas, fungsi, dan tanggung jawab manajemen
auditan dalam melaksanakan tugas yang bersifat konsultasi.

Aturan Perilaku Dalam Organisasi

Aturan perilaku dalam organisasi, auditor internal pemerintah wajib:

- Mentaati semua peraturan perundang-undangan;


- Mendukung visi, misi, tujuan, dan sasaran organisasi;
- Menunjukkan kesetiaan dalam segala hal berkaitan dengan profesi dan organisasi dalam
melaksanakan tugas;
- Mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan dan mengungkapkan semua yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan serta etika dan standar audit yang berlaku;
- Melaksanakan tugasnya secara jujur, teliti, bertanggung jawab dan bersungguh-sungguh;
- Tidak menjadi bagian dari kegiatan ilegal atau mengikatkan diri pada tindakan-tindakan yang
mendiskreditkan profesi auditor internal pemerintah atau organisasi;
- Berani dan bertanggung jawab dalam mengungkapkan seluruh fakta yang diketahuinya
berdasarkan bukti audit;
- Menghindarkan diri dari kegiatan yang akan membuat kemampuan dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawab menjadi tidak obyektif dan cacat;
- Menanamkan rasa percaya diri yang tinggi yang bertumpu pada prinsip-prinsip perilaku
pengawasan
- Bijaksana dalam menggunakan setiap data/informasi yang diperoleh dalam penugasan;
- Menyimpan rahasia jabatan, rahasia negara, rahasia pihak yang diperiksa, dan hanya dapat
mengemukakannya atas perintah pejabat yang berwenang;
- Melaksanakan tugas pengawasan sesuai standar audit; dan
- Terus menerus meningkatkan kemahiran profesi, efektivitas, dan kualitas pengawasan.

Hubungan Sesama Auditor

Dalam hubungan dengan sesama auditor, auditor internal pemerintah wajib:

- Menggalang kerjasama yang sehat dan sinergis;


- Menumbuhkan dan memelihara rasa kebersamaan dan kekeluargaan; dan
- Saling mengingatkan, membimbing, dan mengoreksi perilaku.

Hubungan Auditor Dengan Auditi

Dalam hubungan dengan auditan, auditor internal pemerintah wajib:

- Menjaga penampilan/performance sesuai dengan tugasnya;


- Menjalin kerja sama dengan saling menghargai dan mendukung penyelesaian tugas; dan
- Menghindari setiap tindakan dan perilaku yang memberikan kesan melanggar hukum atau
etika profesi terutama pada saat bertugas.

Larangan

Auditor internal pemerintah dilarang melakukan hal-hal sebagai berikut:

- Melakukan pengawasan di luar ruang lingkup yang ditetapkan dalam surat tugas;
- Menggunakan data/informasi yang sifatnya rahasia untuk kepentingan pribadi atau
golongan yang mungkin akan merusak nama baik organisasi;
- Menerima suatu pemberian dari auditan yang terkait dengan keputusan maupun
pertimbangan profesionalnya; dan
- Berafiliasi dengan partai politik/golongan tertentu yang dapat mengganggu integritas,
obyektivitas, dan keharmonisan dalam pelaksanaan tugas.

Pelanggaran

- Pelanggaran terhadap KE-AIPI dapat mengakibatkan auditor internal pemerintah diberi


peringatan atau diberhentikan dari tugas pengawasan dan/atau organisasi.
- Tindakan yang tidak sesuai dengan KE-AIPI tidak dapat diberi toleransi meskipun dengan
alasan tindakan tersebut dilakukan demi kepentingan organisasi atau diperintahkan oleh
pejabat yang lebih tinggi.
- Auditor internal pemerintah tidak diperbolehkan untuk melakukan atau memaksa karyawan
lain melakukan tindakan melawan hukum atau tidak etis.
- Pemeriksaan, investigasi, dan pelaporan pelanggaran KE-AIPI ditangani oleh Komite Kode
Etik. Komite Kode Etik melaporkan hasil pemeriksaan dan investigasi kepada pimpinan APIP.
Pimpinan APIP harus melaporkan pelanggaran KE-AIPI oleh auditor internal pemerintah
kepada pimpinan organisasi.
- Untuk menegakkan KE-AIPI, Komite Kode Etik membentuk Majelis Kode Etik. Majelis Kode
Etik bersifat temporer, yaitu hanya dibentuk apabila ada auditor internal pemerintah yang
disangka melakukan pelanggaran terhadap kode etik.
- Keanggotaan Majelis Kode Etik sekurang-kurangnya 5 (lima) orang, terdiri atas: 1 (satu)
orang Ketua merangkap Anggota, 1 (satu) orang Sekretaris merangkap Anggota, dan 3 (tiga)
orang Anggota. Dalam hal Anggota Majelis Kode Etik lebih dari 5 (lima) orang, maka harus
berjumlah ganjil. Jabatan dan pangkat Anggota Majelis Kode Etik tidak boleh lebih rendah
dari jabatan dan pangkat auditor yang disangka melanggar kode etik.
- Majelis Kode Etik mengambil keputusan setelah memanggil dan memeriksa auditor yang
disangka melanggar kode etik. Keputusan Majelis Kode Etik diambil secara musyawarah
untuk mencapai mufakat. Dalam hal musyawarah tidak mencapai mufakat, maka keputusan
diambil dengan suara terbanyak dari para Anggota Majelis Kode Etik.
- Untuk mendapatkan objektivitas atas sangkaan pelanggaran kode etik, di samping dapat
memanggil dan memeriksa auditor yang bersangkutan, Majelis Kode Etik juga dapat
mendengar keterangan pejabat lain atau pihak lain yang dianggap perlu dan auditor yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
- Keputusan Majelis Kode Etik bersifat final, artinya bahwa keputusan Majelis Kode Etik tidak
dapat diajukan keberatan dalam bentuk apapun. Majelis Kode Etik wajib menyampaikan
keputusan hasil sidang majelis kepada Ketua Komite Kode Etik dan Pengurus AAIPI untuk
diteruskan ke instansi auditor yang bersangkutan sebagai bahan dalam memberikan sanksi
kepada auditor yang bersangkutan.

Sanksi Atas Pelanggaran

- Auditor internal pemerintah yang terbukti melanggar KE-AIPI akan dikenakan sanksi oleh
pimpinan APIP (Aparat Pengawas Intern Pemerintah) atas rekomendasi dari Komite Kode
Etik.
- Bentuk-bentuk sanksi yang direkomendasikan oleh Komite Kode Etik, antara lain berupa:
teguran tertulis, usulan pemberhentian dari tim pengawasan, dan tidak diberi penugasan
pengawasan selama jangka waktu tertentu.
- Pelanggaran terhadap KE-AIPI (Kode Etik Audit Intern Pemerintah Indonesia) dapat
dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Pelanggaran KE-AIPI terdiri atas 3 (tiga) kategori pelanggaran, yaitu:
- Pelanggaran ringan,
- Pelanggaran sedang, dan
- Pelanggaran berat.
- Keputusan pengenaan sanksi untuk auditor internal pemerintah yang disangka melanggar
kode etik berupa rekomendasi kepada instansi auditor internal pemerintah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. KOMUNIKASI EFEKTIF DAN KOMUNIKASI EMPATIK


- Komunikasi Efektif
Komunikasi efektif adalah komunikasi yang bertujuan agar komunikan dapat memahami
pesan yang disampaikan oleh komunikator dan komunikan memberikan umpan balik yang
sesuai dengan pesan. Umpan balik yang sesuai dengan pesan tidak selalu berupa
persetujuan. Komunikan dapat saja memberikan umpan balik berupa ketidaksetujuan
terhadap pesan, yang terpenting adalah dimengertinya pesan dengan benar oleh komunikan
dan komunikator memeroleh umpan balik yang menandakan bahwa pesannya telah
dimengerti oleh komunikan. Sebagai contoh, auditor meminta data anggaran kepada
auditan. Auditan mengerti permintaan auditor, tetapi menolak memberikan data tersebut,
maka komunikasi yang terjadi telah efektif. Komunikasi tersebut efektif, meskipun umpan
balik tidak sesuai keinginan auditor, karena pesan telah dimengerti dengan benar dan
diberikan umpan balik.
Agar komunikasi efektif terjadi terdapat 2 hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Keselarasan elemen-elemen komunikasi dengan pesan. Elemen-elemen komunikasi harus


mendukung isi pesan. Elemen-elemen komunikasi tersebut adalah komunikator,  encoding,
saluran,  decoding, dan komunikannya. Komunikasi akan efektif jika terdapat keselarasan isi
pesan dengan elemen-elemen lain dari proses komunikasi.
2. Minimalisasi hambatan komunikasi. Komunikasi akan efektif jika hambatan berhasil
diminimalkan. Hambatan komunikasi dapat terjadi pada tiap elemen komunikasi termasuk pada
situasi komunikasi

Berikut ini ilustrasi ketika keselarasan elemen-elemen komunikasi tidak diperhatikan yang
mendorong komunikasi menjadi tidak efektif.

Seorang auditor memerlukan data anggaran belanja suatu kantor. Untuk itu, dia
meminta seorang petugas kebersihan kantor tersebut untuk meminta data anggaran
belanja ke bagian keuangan. Maka, petugas kebersihan tersebut mendatangi salah
seorang staf keuangan, dan meminta anggaran belanja. Kemudian, petugas kebersihan
kembali ke tempat auditor dan menyerahkan anggaran belanja kepada si auditor. Ketika
anggaran tersebut dibaca oleh auditor, maka yang terbaca oleh auditor adalah daftar
rencana belanja alat-alat dan bahan-bahan kebersihan satu tahun mendatang.
Komunikasi ini tidak efektif karena staf keuangan sebagai komunikan tidak memahami
pesan dengan benar. Hal ini disebabkan ketidakselarasan elemen komunikator, yaitu
petugas kebersihan, dengan isi pesan.

- Komunikasi Empatik

Komunikasi empatik adalah komunikasi yang menunjukkan adanya saling pengertian


antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi ini menciptakan interaksi yang
membuat satu pihak memahami sudut pandang pihak lainnya. Sebagai contoh, auditor
meminta kerjasama dari auditan berupa penyediaan data secara lengkap. Setelah
berkomunikasi, akhirnya auditan memahami kebutuhan auditor dan mengerti bahwa tanpa
bantuannya, maka auditor akan mengalami kesulitan dalam penyelesaian tugas. Dalam
kondisi ini, auditan telah berempati terhadap kebutuhan auditor.

Komunikasi empatik bisa dipahami dari kata empati. Empati adalah kemampuan
seseorang untuk mengetahui apa yang dialami orang lain pada saat tertentu, dari sudut
pandang dan perspektif orang lain tersebut. Jadi komunikasi empatik dapat menjadi sarana
untuk menjalin saling pengertian antara dua pihak. Berkaitan dengan audit, komunikasi
empatik dapat dijadikan sarana untuk menghapus salah persepsi auditan atas tujuan audit.
Auditan sering mempersepsikan pekerjaan audit sebagai pekerjaan cari-cari kesalahan. Jika
auditor berhasil mengembangkan komunikasi empatik, maka diharapkan auditan dapat
memahami bahwa tujuan utama dari audit adalah agar auditan dapat menyelesaikan
tanggung jawabnya secara lebih efektif.
Agar komunikasi empatik tercipta, maka komunikator harus memperlihatkan:

1. Ketertarikan terhadap sudut pandang komunikan. Sikap ini akan mendorong komunikan
untuk lebih terbuka.
2. Sikap sabar untuk tidak memotong pembicaraan. Banyak informasi yang didapat jika
komunikator bersabar untuk memeroleh penjelasan detail dari sudut pandang
komunikan. Jika informasi yang diperoleh telah cukup dan komunikan hanya berputar-
putar menjelaskan hal yang sama, maka komunikator perlu menyampaikan kembali
pengertian yang telah didapatnya dan menarik perhatian komunikan pada masalah
berikutnya.
3. Sikap tenang, meskipun menangkap ungkapan emosi yang kuat. Beberapa sudut
pandang bersifat sangat pribadi, sehingga saat mengungkapkannya keterlibatan emosi
tidak dapat dihindari. Sebagai contoh, komunikan mengungkapkan kemarahannya saat
menceritakan ketidaksetujuannya terhadap suatu keputusan rapat.
4. Bersikap bebas prasangka, atau tidak evaluatif, kecuali jika sangat diperlukan. Untuk
dapat memahami sudut pandang orang lain, kita hindari sikap evaluatif. Sikap evaluatif
dapat membuat komunikan menyeleksi hal-hal yang perlu disampaikan dan tidak,
dengan pertimbangan apakah sudut pandangnya akan diterima atau tidak, disetujui
atau tidak, oleh komunikator.
Jika ini terjadi, maka kita tidak dapat mengerti sudut pandang komunikan dengan benar.
Sikap evaluatif diperlukan ketika komunikan mendesak komunikator untuk menilai
pandangan komunikan.
5. Sikap awas pada isyarat permintaan pilihan atau saran. Sikap ini memperlihatkan adanya
dukungan atau bantuan yang bisa diharapkan komunikan dari komunikator. Pemberian
dukungan dan bantuan akan mengembangkan empati pada diri auditan, kesiapan untuk
membalas dukungan dan bantuan yang diterimanya.
6. Sikap penuh pengertian. Sebagai contoh, komunikan mendesak untuk memperoleh
persetujuan dari komunikator atas sudut pandangnya. Komunikator tidak setuju.
Komunikator cukup menyatakan bahwa dia dapat mengerti sudut pandang tersebut,
tidak perlu menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuannya.

3. URUTAN PENYUSUNAN LAPORAN AUDIT


Struktur laporan hasil audit harus memuat unsur antara lain :
- Judul
- Ringkasan
- Pendahuluan
- Tujuan dan Ligkup audit
- Waktu Pelaporan
- Kriteria Audit
- Metodologi
- Temuan
- Kesimpulan dan rekomendasi
- Daftar istilah

Sedangkan untuk langkah -langkah penyusunan Laporan Audit antara lain :

- Menyusun Konsep Laporan

- Mendapatkan Komentar Instansi

- Menyusun Lapooran akhir

4. Tugas PPKD (Pejabat Pengelola Keuangan Daerah) selaku BUD (Bendahara


Umum Daerah)
- Menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD;
- Mengesahkan DPA (Dokumen Penggunaan Anggaran) SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah);
- Melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
- Memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan pengeluaran kas umum
daerah;
- Melaksanakan pemungutan pajak daerah;
- Menetapkan SPD (Surat Penyediaan Daa);
- Menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas nama pemerintah daerah
- Melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
- Menyajikan informasi keuangan daerah; dan
- Melakukan pencatatan dan pengesahan dalam hal penerimaan dan pengeluaran daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dilakukan melalui rekening
kas umum daerah
-
5. PENGERTIAN SPIP (SISTEM PENGENDALIAN INTERN)
Menurut PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP adalah: Proses yang integral pada tindakan dan
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk
memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif
dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan."

Keempat tujuan tersebut di atas tidak perlu dicapai secara khusus atau terpisah-pisah. Dengan
kata lain, instansi pemerintah tidak harus merancang secara khusus pengendalian untuk
mencapai satu tujuan. Suatu kebijakan atau prosedur dapat saja dikembangkan untuk dapat
mencapai lebih dari satu tujuan pengendalian.
Sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2008, SPIP terdiri dari lima unsur, yaitu:

- Lingkungan pengendalian
- Penilaian risiko
- Kegiatan pengendalian
- Informasi dan komunikasi
- Pemantauan pengendalian internal

6. Jika Menerima Gratifikasi Dan Sudah Melapor Ke KPK, Bagaimana Proses


Selanjutnya?
- Penerima gratifikasi wajib melaporkan penerimaanya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja kepada KPK, terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Laporan
disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
- Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan
gratifikasi.

7. Komunikasi Hasil Audit


Komunikasi Hasil Audit L a p o r a n a u d i t y a n g m e r a n g k u m t e m u a n a u d i t i n t e r n a l
d a n r e k o m e n d a s i b i a s a n y a membutuhkan respon manajemen formal. Ini adalah
cara lain untuk menerima masukan tentang kebutuhan manajemen. Auditor yang
efektif juga dapat menggunakan laporan inisebagai wahana komunikasi lebih lanjut untuk
lebih memahami kebutuhan manajemen.

8. Aturan Tipikor
Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Perunbahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

9. Konflik Kepentingan
- Konflik Kepentingan diartikan sebagai suatu situasi dalam mana seseorang, seperti petugas
publik, seorang pegawai, atau seorang profesional, memiliki kepentingan privat atau pribadi
dengan mempengaruhi tujuan dan pelaksanaan dari tugas-tugas kantornya atau
organisasinya.
- konflik kepentingan juga diartikan sebagai situasi dimana seorang penyelenggara negara
yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-
undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan
wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang
seharusnya.
-  Dari kedua makna tersebut konflik kepentingan memiliki kesamaan yakni adanya
kepentingan pribadi yang terlibat dalam mewujudkan tujuan kinerja.

10. Komunikasi Auditor dan Auditan


Komunikasi merupakan bagian integral dalam proses audit intern yang dilakukan oleh
Inspektorat, mulai dari perencanaan penugasan, pelaksanaan pengujian, hingga pemantauan
tindak lanjut, semuanya memerlukan keterampilan berkomunikasi untuk mendapatkan hasil
terbaik. Dengan menerapkan keterampilan berkomunikasi, pelaksanaan audit akan berjalan
secara efektif dan efisien (efektif dalam arti audit dapat mencapai hasil-hasil yang diinginkan;
efisien karena proses audit dapat dilaksanakan dengan lancar sehingga sumber daya audit benar-
benar digunakan untuk mencapai tujuan audit).

Manfaat komunikasi dalam audit intern :

- Memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam pengujian audit


Ketika audit merupakan proses pengumpulan dan pengujian informasi untuk menghasilkan
simpulan dan rekomendasi, maka komunikasi yang baik antara auditan selaku pemilik data
dan informasi dengan auditor harus dilakukan. Karena jika perolehan data dan informasi
tidak memadai, maka audit tidak akan mencapai hasil yang memuaskan.

- Mengendalikan dan mengoordinasikan kegiatan-kegiatan audit


Audit dilakukan oleh tim yang terdiri dari Penanggung Jawab, Pengendali Teknis, Ketua Tim
dan Anggota Tim yang diwakili oleh individu-individu yang berbeda latar belakang
pendidikan. Audit juga menjalankan aktivitas-aktivitas yang saling terkait. Maka dari itu
komunikasi yang baik dalam tim harus terjaga sehingga interaksi individu dan rangkaian
aktivitas dalam audit dapat berjalan dengan baik.

- Meningkatkan mutu audit


Ketika seluruh aktivitas dasar dalam audit dapat berjalan lancar (pengumpulan informasi,
pengujian, dan penyampaian hasil audit), maka konsentrasi tim dapat diarahkan pada usaha
peningkatan mutu audit. Misalnya, jika perolehan informasi menjadi mudah dan cepat,
maka tim dapat berkonsentrasi untuk memilih proses analisis yang tepat guna
meningkatkan mutu audit di masa depan.

- Memperbaiki citra audit internal


Citra auditor atau APIP yang melekat selama ini adalah arogan, semena-mena, tidak ramah
dan sibuk sendiri. Citra itu menyulitkan auditor untuk melaksanakan tugasnya sebagai APIP
karena tidak bisa bekerja sama dengan baik dengan auditan. Ketika auditan percaya
terhadap citra tersebut dan auditor tidak bisa berkomunikasi dengan baik, maka auditan
akan cenderung tertutup dan tidak mau bekerja sama bahkan dapat menghambat pekerjaan
auditor dalam proses audit yang dilakukan. Dengan meningkatkan komunikasi antar pribadi,
citra ini dapat dikurangi, bahkan dihilangkan. Sehingga ke depannya, diharapkan akan timbul
citra yang lebih baik mengenai auditor.

Bentuk dan teknik komunikasi audit

Bentuk komunikasi yang biasanya digunakan dalam proses audit dapat dirangkum menjadi 7
(tujuh) bagian, yaitu:

1) Wawancara
Wawancara biasanya digunakan auditor untuk memperoleh data ataupun fakta yang
dibutuhkan selama proses audit. Cara ini merupakan alat yang cukup baik untuk
memperoleh informasi, pendapat, keyakinan ataupun tanggapan seseorang mengenai
sesuatu hal. Karena pada proses wawancara auditor dapat melihat langsung aksi, reaksi
seseorang dalam bentuk gerak gerik dan ekspresi wajah saat wawancara berlangsung.
2) Kuesioner
Kuesioner memungkinkan individu untuk menuliskan apa yang mereka rasa tidak pantas
untuk diungkapkan secara lisan. Bahkan kuesioner dapat dianalisis secara akurat dan
dapat memberikan data kuantitatif yang solid untuk mendukung temuan kualitatif.
3) Konfirmasi
Proses ini dilakukan saat auditor ingin meminta penegasan terkait kebenaran suatu data
atau informasi yang didapatkan.
4) Presentasi
Merupakan komunikasi yang dilaksanakan secara tatap muka yang berisi penyampaian ie
atau gagasan kepada sekelompok orang. Dalam proses ini bukan hanya pesan verbal
yang dapat ditangkap, pesan non verbal juga penting untuk diperhatikan.
5) Rapat
Bentuk komunikasi ini merupakan yang paling lazim ditemui dalam dunia kerja. Rapat
bisa dilakukan secara internal maupun dengan pihak auditan.
6) Rapat Kecil (Briefing)
Biasanya bentuk komunikasi ini dilakukan hanya untuk memperjelas gagasan dan
mengantisipasi hambatan, bukan untuk membahas pokok gagasan. Dalam audit, rapat
kecil biasanya dilaksanakan intern sebelum memulai penugasan audit.
7) Laporan Hasil Audit
Merupakan bentuk komunikasi dimana auditor akan menyampaikan hasil audit kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dalam bentuk laporan (secara tertulis).

11. Mitigasi Risiko, Tata Kelola


- Mitigasi Risiko
Mitigasi Risiko merupakan tindakan terencana dan berkelanjutan yang dilakukan oleh
pemilik risiko agar bisa mengurangi dampak dari suatu kejadian yang berpotensi atau telah
merugikan atau membahayakan pemilik risiko tersebut.
- Tata kelola
Tata kelola (governance) sebagai suatu sistem pengendalian internal perusahaan yang
memiliki tujuan utama mengelolaresiko yang signifikan guna memenuhi tujuan bisnisnya
melalui pengamanan asetperusahaan dan meningkatkan nilai investasi pemegang saham
dalam jangka panjang.

12. Bukti Audit


"Fakta yang diperoleh sebagai hasil pemeriksaan fisik, hitung ulang, penegasan pihak ketiga,
pencocokan, pernyataan pejabat, dan lain-lain; fakta itu menjadi dasar yang layak untuk
memberikan pendapat tentang kewajaran laporan keuangan (auditing evidence)."
Apa itu Bukti Audit?
Bukti Audit atau audit evidence adalah segala informasi yang digunakan auditor untuk
membuktikan apakah informasi yang diaudit sudah sesuai dengan kriteria tertentu.
Memperoleh sejumlah bukti audit yang berkualitas sangatlah penting untuk mencapai tujuan
audit.
Auditor memerlukan bukti audit sebelum melakukan proses audit untuk menghasilkan
pelaporan audit yang kompeten. Bukti audit kompeten harus didapatkan lewat inspeksi,
pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar untuk menyatakan
pendapat atas laporan yang diaudit.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertimbangan auditor seputar kelayakan bukti audit,
yaitu:

- Pertimbangan profesional, atau professional judgment yang berarti probabilitas seorang


auditor untuk menemukan dan melaporkan penyelewengan dalam sistem akuntasi klien.
- Integritas manajemen, atau management integrity yang berarti sikap kejujuran dari pihak
manajemen perusahaan dalam menghasilkan laporan keuangan.
- Kepemilikan publik versus terbatas, yang berarti suatu jenis perusahaan apakah termasuk
jenis perusahaan terbuka atau perusahaan terbatas.
- Kondisi keuangan, atau financial condition yang menunjukkan apakah perusahaan
mendapatkan laba atau dalam kondisi merugi.

Kompetensi Bukti Audit

Kompetensi bukti audit ini berkaitan dengan sejauh mana bukti-bukti yang diperoleh dapat
dipercaya. Jika bukti yang didapatkan adalah sangat kompeten, maka hal ini sangat membantu
auditor untuk menentukan apakah laporan keuangan yang diperiksanya sudah disajikan dengan
wajar. Pertimbangan yang perlu dilakukan dalam pemeriksaan apakah bukti audit sudah
kompeten bisa didasarkan pada:

 Relevansi (Relevance)
bukti audit yang relevan haruslah sesuai jika digunakan untuk maksud tertentu, yang
dalam ini berarti harus berhubungan dengan tujuan auditor. Jika tujuan auditor adalah
untuk menentukan keberadaan suatu persediaan, auditor bisa mendapatkan buktinya
dengan melakukan observasi langsung pada persediaan tersebut.
 Sumber Perolehan (Sources)
sumber informasi sangat berpengaruh pada kompetensi bukti audit. Sumber informasi
yang dapat mempengaruhi kompetensi bukti adalah sbb:
1) Jika sumber informasi didapatkan dari sumber independen di luar perusahan,
2) Semakin efektif struktur pengendalian internal perusahaan, maka semakin besar
jaminan yang diberikan atas keandalan data akuntansi dan laporan keuangan,
3) Pengetahuan auditor secara pribadi dan secara langsung dari pemeriksaan fisik,
pengamatan, penghitungan, dan inspeksi lebih meyakinkan daripada informasi yang
didapat secara tidak langsung.
 Ketepatan Waktu (Timeliness)
ketepatan waktu berhubungan dengan tanggal penggunaan bukti audit. Kriteria ini
menjadi penting khususnya untuk memverifikasi aktiva lancar, utang lancar, dan akun
surplus-defisit karena bisa mengecek apakah cut off sudah dilakukan dengan tepat.
 Objektivitas (Objectivity),
bukti audit yang objektif dipandang lebih kompeten jika dibandingkan dengan bukti audit
yang bersifat subjektif. Untuk menilai objektivitas bukti audit, diperlukan juga penilaian
atas kualifikasi personal yang memberikan bukti tersebut.

Jenis Bukti Audit

Berikut tujuh jenis bukti audit:

1) Pengujian fisik (physical examination), merupakan bukti yang diperoleh lewat pemeriksaan
secara fisik atau lewat perhitungan oleh auditor terhadap harta perusahaan. Misalnya, uang
tunai, surat berharga, barang persediaan.
2) Konfirmasi, merupakan bukti yang didapatkan lewat penegasan dari pihak ketiga sebagai
jawaban atas permintaan informasi yang berkaitan dengan asersi manajemen dan tujuan
audit. Umumnya auditor lebih memilih konfirmasi tertulis karena mudah di-review oleh
supervisor audit dan memberikan dukungan keandalan.
3) Dokumentasi, merupakan pemeriksaan atau penyelidikan oleh auditor atas dokumen dan
catatan klien guna mendukung informasi yang telah tersaji. Dokumentasi digunakan secara
luas sebagai bukti audit karena biayanya yang relatif rendah dan pada banyak kesempatan
menjadi satu-satunya bukti audit yang tersedia dan layak.
4) Prosedur analitis, dengan cara menggunakan perbandingan dan hubungan untuk menilai
apakah saldo akun atau data lainnya tampak wajar. Misalnya, auditor melakukan
perbandingan total beban gaji dengan jumlah tenaga kerja untuk menunjukkan apakah ada
pembayaran gaji yang tidak semestinya.
5) Wawancara dengan klien, merupakan upaya untuk memperoleh informasi secara lisan
ataupun tertulis dari klien yang menjadi bukti respon atas pertanyaan dari auditor.
6) Perhitungan ulang, merupakan pengujian atas keakuratan hasil perhitungan klien.
7) Observasi, merupakan penggunaan alat indera untuk menilai aktivitas klien. Misalnya,
auditor melakukan kunjungan ke lokasi pabrik untuk mengamati proses produksi.

13. Piutang Daerah


Dalam pengelolaan keuangan di pemerintahan daerah akan dikenal adanya piutang daerah.
Definisi piutang daerah itu sendiri dapat ditemukan dalam pengertian di berbagai peraturan
perundang-undangan. Dalam pengertiannya, yang dimaksud dengan piutang daerah adalah
jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah
yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

Jenis-jenis Piutang Daerah

Jenis-jenis piutang daerah yang ada saat ini sangat beragam dan kadang untuk satu daerah
dengan daerah lainnya memiliki nama yang tidak sama. Namun menilik sebab terjadinya,
piutang-piutang daerah tersebut memiliki latar belakang terjadinya yang sama. Beberapa jenis
piutang yang sering terjadi adalah Piutang Retribusi Daerah, Piutang Hasil Pengelolaan Kekayaan
Daerah yang Dipisahkan, Piutang Lain Lain Pendapatan Asli Daerah, Piutang yang Berasal dari
Tagihan Investasi Non Permanen, dan Piutang Lainnya.

Selain jenis piutang yang memang terjadi sebagai akibat pengelolaan keuangan pemerintah
daerah terdapat juga piutang yang terjadi diluar pengelolaan keuangan pemda, misalnya piutang
yang berasal dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Sebagaimana diisyaratkan dalam
ketentuan Pasal 84 ayat (3) Permendagri Nomor 79 Tahun 2018 tentang BLUD, bahwa dalam hal
piutang BLUD sulit tertagih maka penagihan piutang diserahkan kepada Kepala Daerah.

Penagihan Piutang Daerah

Selanjutnya terhadap piutang daerah tersebut perlu dilakukan penagihan UU No 1 Tahun 2004.
Dalam UU tersebut dinyatakan Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku
Bendahara Umum Daerah berwenang melakukan penagihan piutang daerah. Disamping itu,
dinyatakan pula bahwa setiap pejabat yang diberi kuasa untuk mengelola pendapatan, belanja,
dan kekayaan negara/daerah wajib mengusahakan agar setiap piutang negara/daerah
diselesaikan seluruhnya dan tepat waktu.

Penagihan terhadap piutang daerah akan menjadi masalah jika dalam perjalanan waktu, piutang
daerah menjadi macet. Artinya para penanggung utang tidak membayar utang kepada
pemerintah daerah. Tentu saja piutang macet akan membebani pembukuan dan laporan
keuangan daerah jika jumlah penanggung utang banyak dan nominalnya juga besar. UU nomor 1
tahun 2004 juga menyatakan piutang negara/daerah yang tidak dapat diselesaikan seluruhnya
dan tepat waktu, diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
UU no 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan bahwa Piutang
Negara harus dibayar kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, karena itu piutang
macet Pemerintah Daerah juga termasuk dalam pengurusan Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN). PUPN adalah panitia interdepartemental yang mengurus Piutang Negara yang berasal
dari instansi pemerintah atau badan-badan yang dikuasai oleh Negara. Anggota PUPN berasal
dari Kantor Kementerian Keuangan, Kepolisian, Kejaksaan dan Pemerintah Daerah. PUPN Pusat
berkedudukan di Jakarta sedangkan PUPN Cabang mempunyai kedudukan di setiap propinsi
kecuali ditentukan lain oleh Menteri Keuangan. Pelaksanaan produk hukum (putusan) wewenang
PUPN dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang mempunyai kantor
operasional yaitu Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang dikoordinasi oleh
Kantor Wilayah.

Apabila terdapat piutang daerah yang macet setelah upaya penagihan sendiri oleh Pemerintah
Daerah, maka Pemerintah Daerah wajib menyerahkan pengurusannya kepada PUPN melalui
KPKNL yang wilayahnya kerjanya melingkupi Pemerintah Daerah itu berada. Dengan penyerahan
piutang macet kepada KPKNL tersebut maka selanjutnya piutang macet diselesaikan oleh KPKNL.

Penyerahan piutang pemerintah daerah yang macet kepada KPKNL setidaknya akan mengurangi
beban pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Namun demikian penyerahan piutang daerah
yang macet tidak serta merta dapat diserahkan begitu saja. Keberadaan dan besarnya piutang
telah pasti secara hukum ketika KPKNL menerima penyerahan piutang macet tersebut. Hal ini
menandakan bahwa penyerahan piutang daerah yang macet ke KPKNL harus didukung dengan
dokumen-dokumen yang memenuhi syarat penyerahan.

Dengan disyaratkannya dokumen-dokumen pendukung yang menyertai penyerahan piutang


daerah yang macet, setidaknya akan mendorong pemerintah daerah untuk mengelola dan
mengadministrasikan piutangnya secara baik. Dokumen-dokumen yang mengisyaratkan
keberadaan dan besarnya piutang daerah macet tersebut harus tertata secara tertib. Hal ini juga
akan memudahkan tahap penyelesaian selanjutnya di tingkat pemerintah daerah itu sendiri.

Setelah piutang macet diserahkan ke KPKNL maka tanggung jawab Pemerintah Daerah terhadap
penagihan piutang tersebut tidak lepas begitu saja. Koordinasi dengan DJKN yang diwakili oleh
Kanwil DJKN dan KPKNL harus tetap berjalan dengan baik. Dengan penyerahan piutang macet ke
KPKNL, Pemerintah Daerah tidak bisa langsung menghapuskan piutang macet namun menunggu
penyelesaian optimal dari KPKNL, yaitu keluarnya surat PSBDT (Piutang Negara Sementara Belum
Dapat Ditagih).

Surat PSBDT yang diterima Pemerintah Daerah akan menjadi dasar Pemerintah Daerah untuk
mengajukan usul penghapusan bersyarat yaitu penghapusan piutang dari pembukuan keuangan
Pemerintah Daerah. Namun penghapusan bersyarat ini belum menghapus hak tagih Pemerintah
Daerah kepada penanggung utang. Setelah dua tahun surat penetapan penghapusan bersyarat
ini diterima, maka surat ini menjadi dasar Pemerintah Daerah mengajukan usul penghapusan
secara mutlak piutang macetnya. Jika telah ditetapkan penghapusan mutlak berarti Pemerintah
Daerah dapat menghapus hak tagih piutang macetnya kepada penganggung utang.

Solusi untuk menyelesaikan Piutang Daerah

Langkah-langkah utama yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah terkait adanya piutang
macetnya, pertama adalah mengelola dan mengadministrasikan piutang macetnya secara tertib.
Banyak kejadian piutang macet di Pemerintah Daerah tidak tertangani secara optimal karena
pengadministrasiannya yang buruk. Salah satu contoh yang sering terjadi adalah tidak
dikelolanya dokumen-dokumen piutang secara baik, sehingga apabila terjadi mutasi
pejabat/pegawai yang menangani piutang macet maka penyelesaian piutang macetnya menjadi
rumit dan menyisakan banyak masalah.

Kedua adalah Pemerintah Daerah perlu menyusun peraturan khusus yang mengatur
penyelesaian piutang macetnya. Dengan adanya peraturan ini maka penyelesaian piutang daerah
akan memiliki pedoman yang pasti. Beberapa Pemerintah Daerah baik propinsi maupun
kabupaten saat ini telah memiliki peraturan yang khusus disusun untuk menyelesaikan
permasalahan piutang macetnya. Contoh-contoh Pemerintah Daerah yang telah menyusun
peraturan penyelesaian piutang daerahnya adalah Pemerintah Kabupaten Mojokerto,
Pemerintah Kabupaten Pamekasan dan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta.

Langkah-langkah penanganan piutang macet tersebut pada pelaksanaannya dapat menjadi solusi
bagi Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan permasalahan piutang macetnya. Hal ini juga akan
berdampak pada Laporan Keuangan yang disajikan Pemerintah Daerah setiap tahunnya. Selain
itu, juga bisa menghindarkan temuan audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
atas piutang macet tersebut.
14. Sanksi Administrasi
PP No. 48/2016 :

Sanksi Administratif terdiri atas : sanksi administratif ringan; sanksi administratif sedang; sanksi
administratif berat

bunyi Pasal 4 PP tersebut. Menurut PP ini sanksi Administratif ringan dikenakan bagi Pejabat
Pemerintahan jika tidak melaksanakan 22 tindakan, antara lain:

1) tidak menggunakan Wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan atau Azas


Umum Pemerintahan yang Bersih (AUPB);
2) tidak menguraikan maksud, tujuan, dampak administratif dan keuanan dalam
menggunakan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran dan menimbulkan
akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara.
3) tidak menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Atasan Pejabat dalam
menggunakan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran serta menimbulkan
akibat hukum yang berpotensi merugikan keuangan negara;
4) tidak menyampaikan pemberitahuan secara lisan dan tulisan kepada Atasan Pejabat
dalam menggunakan Diskresi yang menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan
darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam. tidak memberikan Bantuan Kedinasan
yang diperlukan dalam keadaan darurat;
5) tidak memberitahuan kepada atasannya dalam hal terdapat Konflik Kepentingan;
6) tidak memberitahukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja sebelum menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tinakan dalam
hal keputusan menimbulkan pembebanan bagi Warga Masyarakat kecuali diatur lain
dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan Sanksi Administratif sedang diberikan
kepada Pejabat Pemerintahan apabila tidak (antara lain):
a) memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat dalam penggunaan Diskresi yang
berpotensi mengubah alokasi anggaran;
b) memberitahukan kepada Atasan Pejabat sebelum penggunaan Diskresi dan
melaporkan kepada Atasan pejabat dalam hal penggunaan Diskresi menimbulkan
keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak, dan/atau terjadi bencana alam;
c) melaksanakan Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan Keputusan yang telah
dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh Pengadilan atau pejabat yang bersangkutan
atau atasan yang bersangkutan. Adapun Sanksi Administratif berat diberikan kepada
Pejabatan Pemerintahan apabila:
- menyalahgunakan Wewenang yang meliputi: 1. Melampaui Wewenang; 2.
Mencampuradukkan Wewenang; dan/atau 3. Bertindak sewenang-wenang;
- menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan yang berpotensi
memiliki konflik kepentingan;
- melanggar ketentuan yang menimbulkan kerugian pada keuangan negara,
perekonomian nasional, dan/atau merusak lingkungan hidup. Sanksi Administratif
ringan, menurut PP ini, berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan c. penundaan
kenaikan pangkat, golongan, dan/atau hak-hak jabatan. Sedangkan Sanksi

Administratif sedang berupa: a. pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi; b.


pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak jabatan; atau c.
pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan.

Sanksi Administratif berat, menurut PP ini, berupa: a. pemberhentian tetap dengan


memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya; b. pemberhentian tetap tanpa
memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya; c. pemberhentian tetap
pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya
serta dipublikasikan di media massa; atau d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh
hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa.

Sanksi Administratif ringan sebagaimana dimaksud dapat dijatuhkan secara langsung


oleh Pejabat yang Berwenang mengenakan Sanksi Administratif, Sanksi Administratif
sedang atau berat hanya dapat dijatuhkan setelah melalui proses pemeriksaan
internal,” bunyi Pasal 11 ayat (1,2) PP tersebut. Pejabat yang Berwenang Mengenakan
Sanksi Menurut PP ini atasan Pejabat merupakan Pejabat yang Berwenang
Mengenakan Sanksi Administratif kepada Pejabat Pemerintahan yang diduga
melakukan Pelanggaran Administratif. Dalam hal Pelanggaran Administratif yang
dilakukan oleh pejabat daerah maka Pejabat yang berwenang mengenakan Sanksi
Administratif yaitu kepala daerah. Sementara dalam hal Pelanggaran Administratif
dilakukan oleh pajabat di lingkungan kementerian/lembaga maka Pejabat yang
berwenang mengenakan Sanksi Administratif yaitu menteri/pimpinan lembaga.
“Dalam hal Pelanggaran Administratif dilakukan oleh bupati/wali kota maka Pejabat
yang berwenang mengenakan Sanksi Administraif yaitu gubernur. Dalam hal
Pelanggaran Administratif dilakukan oleh gubernur maka Pejabat yang berwenang
mengenakan Sanksi Administratif yaitu menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri. Dalam hal Pelanggaran Administratif dilakukan oleh
menteri maka Pejabat yang berwenang mengenakan Sanksi Administraif yaitu
Presiden,” bunyi Pasal 12 ayat (4,5,6) PP Nomor 48 Tahun 2016 itu. Ditegaskan dalam
PP ini, dalam hal Pejabat yang Berwenang Mengenakan Sanksi Administratif tidak
mengenakan Sanksi Administratif kepada Pejabat Pemerintahan yang melakukan
Pelanggaran Administratif , Pejabat yang Berwenang tersebut dikenakan Sanksi
Administratif oleh atasannya. Atasan sebagaimana dimaksud, juga mengenakan
Sanksi Administratif terhadap Pejabat Pemerintahan yang melakukan Pelanggaran
Administratif.

15. CHIEF AUDIT EXECUTIVE (Kepala Unit Audit Exekutif)

Anda mungkin juga menyukai