Anda di halaman 1dari 22

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Suhu Permukaan

Suhu permukaan merupakan suhu bagian terluar dari suatu objek yang dapat

diidentifikasi dari citra satelit termal. Suhu permukaan mengindikasikan besarnya

tutupan lahan pada wilayah tersebut, yang berpengaruh juga terhadap radiasi netto

yang diserap dan dipantulkan oleh tutupan lahan. Selain hal itu, fluks bahang

mengindikasikan besar energi yang diserap oleh sebuah tutupan lahan, dan

mengindikasikan besarnya energi yang dibutuhkan untuk memanaskan

permukaan. Suhu udara pun akan dipengaruhi oleh jenis tutupan lahan yang

berada di permukaan bumi. Suhu udara harian maksimum tercapai beberapa saat

setelah intensitas cahaya maksimum tercapai (Wiweka, 2014).

Suhu permukaan memiliki karakterisitk yang saling berhubungan oleh suatu

benda dengan panas dan energi. Jika panas dialirkan pada suatu benda, maka suhu

permukaan benda tersebut akan meningkat, sebaliknya suhu permukaan benda

tersebut akan turun jika benda tersebut kehilangan panas. Pada saat permukaan

suatu benda menyerap radiasi, maka suhu permukaannya meningkat. Hal ini juga

akan meningkatkan radiasi gelombang panjang yang keluar dari benda tersebut.

Hubungan antara satuan panas dengan satuan suhu permukaan tidak merupakan

suatu konstanta, karena besarnya peningkatan suhu permukaan akibat penerimaan

panas dalam jumlah tertentu akan dipengaruhi oleh daya tampung panas yang

dimiliki oleh benda penerima (Wiweka, 2014 dalam Mutiara 2018).

7
8

2. LST ( Land Surface Temperature)

Land Surface Temperature merupakan suatu pengukuran suhu yang

menggunakan data rata-rata suatu permukaan yang digambarkan dengan suatu

pixel trtentu dalam berbagai permukaan yang berbeda (Faridah dan Krisbiantoro

2014.) . LST adalah salah satu kunci parameter di berbagai studi lingkungan pada

disiplin-disiplin ilmu yang berbeda, seperti geologi, hidrologi, ekologi,

oseanografi, meteorologi, klimatologi, dan lain-lain (Jiménez-Muñoz dan Sobrino,

2010). LST merupakan salah satu parameter kunci keseimbangan energi pada

permukaan dan merupakan variabel klimatologis yang utama. LST

mengendalikan fluks energi gelombang panjang yang melalui atmosfer. Besarnya

LST tergantung pada kondisi parameter permukaan lainnya, seperti albedo,

kelembaban permukaan dan tutupan serta kondisi vegetasi.

3. Urban Heat Island (UHI)

Urban Heat Island (UHI) adalah fenomena suhu tinggi yang terjadi di

kota-kota dan berbeda dengan lingkungan sekitarnya. UHI dapat dikendalikan

oleh suhu permukaan tanah (LST) dan merupakan fenomena keseimbangan energi

permukaan yang melibatkan semua fitur kota seperti jalan, atap, dinding, dan

pohon. UHI memiliki skala spasial mikro dan lokal, dengan skala mikro berkisar

antara meter hingga 1 km dan skala lokal berkisar antara 100 m sampai 50 km.

Tumpang tindih antara kedua skala ini membutuhkan resolusi terendah citra

termal sekitar 90 m sampai 1 km untuk mempelajari UHI pada skala mikro.Studi


9

UHI dapat dilakukan pada skala mikro atau lokal dan sangat penting untuk

memahami dampak lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di kota.

Meskipun suhu permukaan tidak sama dengan suhu udara, namun

merupakan faktor penyebab utama suhu dasar dan merupakan faktor penting

yang mengendalikan lingkungan termal perkotaan (Mitchel, 2011 dalam Rai

Asmiwyati 2018 ). SUHI menggambarkan pulau panas yang bisa dideteksi dari

suhu permukaan tanah (LST) (Voogt dan Oke, 2003). UHI ada di seluruh amplop

permukaan tiga dimensi (3-D) dan dikenali sebagai fenomena keseimbangan

energi permukaan yang melibatkan semua fitur kota (yaitu, jalan, atap, dinding,

pohon) (Roth, 2013). Suhu permukaan dalam fenomena skala mikro yang biasa

dikenal dengan Micro Urban Heat Island (MUHI) dicirikan oleh SUHI kecil yang

terkait dengan suhu struktur individu atau kelompok struktur (Mitchell, 2011).

Skala spasial mikro sering terjadi dari skala meter hingga 1 km dan skala spasial

lokal terjadidari 100 m sampai 50 km (Roth, 2013). Dengan demikian, tumpang

tindih antara kedua skala itu bisa terjadi. Konsekuensinya, untuk mempelajari

UHI pada skala mikro, resolusi terendah citra termal yang dapat digunakan adalah

90 m sampai 1 km. Studi UHI yang sama pada skala mikro digunakan oleh

Mitchell (2011) pada skala lokal yang membentang dari 1 km sampai 20 km.

4. Tutupan Lahan

Banyak penulis membedakan istilah tutupan lahan (land cover) dan

penggunaan lahan (land-use). Menutrut Dewi (2012) menyatakan bahwa istilah

tutupan lahan lebih mengacu pada tipe vegetasi yang ada pada lahan tertentu,
10

sementara penggunaan lahan mengacu kepada aktivitas manusia pada lahan

tersebut. Selanjutnya sistem penggunaan lahan adalah penggabungan keduanya

termasuk siklus perubahan vegetasi dan aktivitas pengelolaan (penanaman,

pemanenan). Istilah penggunaan lahan sering digunakan untuk tujuan formal

tertentu seperti pada bidang pertanian dan perkebunan yang dinyatakan dalam

bentuk luas areal penanaman dan pemanenan (produksi) komoditas tertentu.

Sedangkan dalam bidang kehutanan dikenal istilah kawasan hutan sebagai

bentuk penggunaan lahan, meskipun dalam kenyataannya tidak seluruhnya

merupakan tutupan hutan (berhutan). Khusus untuk pemodelan dinamika tutupan

lahan digunakan data yang diperoleh dari analisis citra satelit (satellite imagery)

dari pengambilan selama beberapa tahun pada periodeperiode tertentu, sementara

untuk mengambarkan penggunaan lahan digunakan data statistik time-series dari

Biro Pusat Statistik (Pusat dan Provinsi) dan sumber lainnya. Data citra satelit dan

data statistik untuk tujuan studi digunakan secara terintegrasi untuk saling

melengkapi.

Tabel 1. Kelas Penutup Lahan

Kelas Penutup Lahan Deskripsi


Sawah
Daerah Pertanian Ladang
Perkebunan
Hutan Lahan Kering
Hutan Lahan Basah
Daerah Bukan Pertanian Semak dan Belukar
Padang Rumput dan Sabana
Rumput rawa
Lahan terbuka
Lahan terbanun
Permukiman dan lahan bukan
Permukiman
pertanian yang berkaitan
Jaringan Jalan
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2010.
11

5. Metode Klasifikasi Terbimbing

Supervised Classification atau klasifikasi terbimbing adalah salah satu

metode yang sering digunakan untuk menginterpretasi citra. Pada metode ini,

analis terlebih dulu menentukan beberapa training sample area pada citra sebagai

kelas lahan tertentu. Penetapan ini berdasarkan pengetahuan analis terhadap

wilayah dalam citra mengenai daerah-daerah tutupan lahan. Nilai-nilai piksel

dalam daerah contoh kemudian digunakan oleh komputer sebagai kunci untuk

mengenali piksel lain. Daerah yang memiliki nilai-nilai piksel sejenis akan

dimasukkan ke dalam kelas lahan yang telah ditentukan sebelumnya. Jadi dalam

metode supervised classification ini analis mengidentifikasi kelas informasi

terlebih dahulu yang kemudian digunakan untuk menentukan kelas spektral yang

mewakili kelas informasi tersebut.

6. Penginderaan Jauh

Pengertian penginderaan jauh menurut Lillesand & Kiefer, penginderaan jauh

(indraja) adalah ilmu dan seni untuk mendapatkan informasi tentangsuatu objek,

daerah, atau fenomena dengan cara analisis data yang diperoleh dari suatu alat

(sensor) tanpa kontak langsung dengan objek , daerah, atau fenomena yang di kaji

( Lilesand dan Kiefer, 1999). Alat yang dimaksud dari pngertian diatas adalah

sensor yang diletakan di wahana yang berupa pesawat, balon udara, satelit, dll.

Sensor merupakan suatu alat perekam yang digunakan unuk mengambil gambaran

objek melalui perekam energi elektromagnetik. Data yang diperoleh dari hasil

penginderaan jauh berupa citra yang menggambarkan objek yang mirip dalam
12

wujud dan letaknya dipermukaan bumi dalam liputan yang luas (Liliesand dan

Kiefar, 1999).

Setiap sensor mempunyai keterbatasan, sebab tidak ada sensor yang mampu

merekam seluruh energi tersebut. Energi atau tenaga merupakan komponen utama

yang digunakan dalam penginderaan jauh sebagai medium untuk pengiriman

informasi dari objek kepada sensor. Tenaga yang dimaksud disini adalah tenaga

elektromagnetik, yaitu paket elektrisitas dan magnetisme yang bergerak dengan

kecepatan sinar pada frekuensi dan panjang gelombang tertentu, dengan sejumlah

tenaga tertentu, dimana matahari merupakan sumber utama dari energi tersebut.

Sumber energi tersebut dibagi lagi menjadi spektra kosmis, Gamma, X,

ultraviolet, visible (tampak), inframerah, glombang mikro, dan gelombang radio

(Gunawan,2017).

Dalam pengindraan jauh, tenaga elektromagnetik yang banyak digunakan

adalah sebagian spektrum ultraviolet (0,3 μm-0,4 μm), spektrum tampak/visible

(0,4 μm-0,7 μm), spektrum inframerah dekat (0,7 μm-1,3 μm), spektrum

inframerah termal (3 μm-18 μm), dan gelombang mikro (1 mm-1 m). Dalam

penginderaan jauh, semakin panjang suatu panjang gelombang, maka kandungan

tenaga kuantumnya justru akan semakin rendah. Akibatnya pancaran radiasi alami

pada spektrum yang mempunyai panjang gelombang panjang justru akan semakin

sulit untuk diindera oleh sensor (Gunawan, 2017).


13

Gambar 1. Spektrum Elektromagnetik

7. Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Kajian suhu permukaan

Pemanfaatan penginderaan jauh untuk suhu permukaan dapat diperoleh dari

radiasi infrared (IR) yang dapat dipancarkan dari sebuah obyek ataupun

dipantulkan dari sebuha permukaan. Pancaran infrared dideteksi sebagai energi

panas dan disebut Thermal infrared. Energi yang dipantulkan hampir sama

dengan energi sinar nampak disebut dengan reflected infrared atau Thermal

infrared karena posisinya pada spektrum elektromagnetik berada pada near

infrared atau band 5 dengan panjang gelombang 0,7 – 3 m dan Thermal infrared.

Thermal infrared yang digunakan untuk aplikasi penginderaan jauh pada kajian

suhu permukaan dapat dilihat pada TIRS1 (Thermal infrared Sensor) atau band 10

dengan panjang gelombang 10,60 – 11.19 m dan TIRS2 (Thermal infrared

Sensor) atau band 11 dengan panjang gelombang 11.5 - -12.51 m. Thermal

infrared ini merupakan karakteristik utama untuk interprestasi citra seperti

menunjukan suhu permukaan pada suatu daerah (Wiweka, 2014 dalam Mutiara,

2018).
14

8. Citra Landsat 8 (Operational Land Imager) TIRS

Satelit LDCM (Landsat-8) dijadwalkan untuk diluncurkan pada tahun 2013

dari VAFB, CA, dengan pesawat peluncur Atlas-V-401. Satelit LDCM (Landsat-

8) dirancang diorbitkan pada orbit mendekati lingkaran sikronmatahari, pada

ketinggian :705 km, dengan inklinasi : 98.2º, periode : 99 menit, waktu liput ulang

(resolusi temporal):16 hari, waktu melintasi khatulistiwa (Local Time on

Descending Node -LTDN) nominal pada jam: 10:00 s.d 10:15 pagi.

Satelit LDCM (Landsat-8) dirancang membawa sensor pencitra OLI

(Operational Land Imager) yang mempunyai 1 kanal inframerah dekat dan 7 kanal

tampak reflektif, akan meliput panjang gelombang yang direfleksikan oleh objek-

objek pada permukaan Bumi, dengan resolusi spasial yang sama dengan Landsat

pendahulunya yaitu 30 meter. Sensor pencitra OLI mempunyai kanal-kanal

spektral yang menyerupai sensor ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus) dari

Landsat-7, akan tetapi sensor pencitra OLI ini mempunyai kanal-kanal yang baru

yaitu : kanal-1: 443 nm untuk aerosol garis pantai dan kanal 9 : 1375 nm untuk

deteksi cirrus, namun tidak mempunyai kanal inframerah termal.

Menghasilkan kontinuitas kanal inframerah termal, pada tahun 2008,

program LDCM (Landsat-8) mengalami pengembangan, yaitu Sensor pencitra

TIRS (Thermal infrared Sensor) ditetapkan sebagai pilihan (optional) pada misi

LDCM (Landsat-8) yang dapat menghasilkan kontinuitas data untuk kanal-kanal

inframerah termal yang tidak dicitrakan oleh OLI.


15

Tabel 2. Parameter-parameter Orbit Satelit LDCM (Landsat Data Contuinty

Mission) (Landsat -8)

Jenis Orbit Mendekati Sinkron Matahari


Ketinggian 705 Km
Inklinasi 98.2o
Periode 99 menit
Waktu liput ulang (resolusi temporal) 16 hari
Waktu melintasi katulistiwa Jam 10.00 s.d 10.15
Area cakupan scan 170 km x 183 km
Sumber: Sitanggang, 2010.

Tabel 3. Spesifikasi Kanal-kanal Spektral Sensor Citra LDCM (Landsat 8)

Panjang Resolu
No. Kanal Penggunaan Data Sensor
Gelombang si
1 Band-1 Aerosol 0.43 – 0.45 Studi aerosol dan 30 m Visible
pesisir wilayah pesisir
2 0.45 – 0.51 Pemetaan bathimetrik, 30 m Visible
Band-2 membedakan tanah dari
Biru vegetasi dan daun dari
vegetasi konifer
3 0.53 - 0.59 Mempertegas puncak Visible
Band-3
vegetasi untuk menilai
Hijau
kekuatan vegetasi
4 Band-4 0.64 – 0.67 Membedakan sudut Visible
Merah vegetasi
5 Band-5 0.85 – 0.88 Menekankan konten Near-
Infra merah dekat biomassa dan garis Infrare
– Thermal pantai d
infrared (NIR)
6 Band 6 1.57 – 1.65 Mendiskriminasikan SWIR-
Short - wave kadar air tanah dan 1
Infrared (SWIR vegetasi ; menembus
1) awan tipis
7 Band 7 2.11 - 2.29 Peningkatan kadar air SWIR-
Short – tanah dan vegetasi dan 2
waveInfrared penetrasi awan tipis
(SWIR 2)
8 Band 8 0.50 – 0.68 Resolusi 15 m 15 m Pankro
Panchromatic penajaman citra matik
9 1.36 – 1.68 Peningkatan deteksi 30 m Cirrus
Band 9
awan sirus yang
Sirus
terkontaminasi
16

10 10.60 –
Resolusi 100 m, 100 m TIRS 1
11.19pemetaan suhu
Band 10
permukaan dan
TIRS
perhitungan kelembaban
tanah
11 11.5 – Resolusi 100 m, 100 m TIRS 2
12.51 peningkatan pemetaan
Band 11
suhu permukaan dan
TIRS-2
penghitungan
kelembaban tanah
Sumber: NASA, 2008 dalam Sitanggang, 2010.

Landsat - 8 memiliki spesifikasi baru yang terpasang pada kanal bandnya

khususnya pada band 1, 9, 10, dan 11. Band 1 (Ultra blue) dapat menangkap

panjang gelombang elektromagnetik lebih rendah dari pada band yang sama pada

landsat 7, sehingga lebih sensitif terhadap perbedaan reflektan air laut atau

aerosol. Band ini unggul dalam membedakan konsentrasi aerosol di atmosfer dan

mengidentifikasi karaktersitik tampilan air laut pada kedalaman berbeda. Deteksi

pada awan cirrus juga lebih baik dengan adanya kanal 9 pada sensor OLI,

sedangkan band thermal (kanal 10 dan 11) sangat bermanfaat untuk mendeteksi

suhu permukaan bumi dengan resolusi spasial 100 m. Pemanfaatan sensor ini

dapat membedakan bagian permukaan bumi yang memiliki suhu permukaan lebih

panas dibandingkan area sekitarnya (Sitanggang, 2010).

9. Interpretasi Citra Digital

Pengolahan citra digital merupakan proses yang bertujuan untuk

memanipulasi dan menganalisa citra dengan bantuan komputer. Pengolahan citra

dan pengenalan pola menjadi bagian dari proses pengenalan citra. Kedua aplikasi

ini akan saling melengkapi untuk mendapatkan ciri khas dari suatu citra yang akan

dikenali. (Wells. 2010.)


17

Interpretasi citra adalah tindakan mengkaji foto atau citra dengan maksud

untuk mengenali objek dan gejala serta menilai arti pentingnya objek dan gejala

tersebut. citra dapat diterjemahkan dan digunakan ke dalam berbagai kepentingan

seperti dalam: geografi, komputer, printer dan GPS Hand Held yang digunakan

untuk perekaman titik koordinat data di lapangan. geologi, lingkungan hidup dan

sebagainya. Pada proses pengolahan data citra pada penelitian ini menggunakan

perangkat lunak (Software) ArcGIS karena mampu melakukan pendekatan yang

unik dalam pengolahan data citra yang mengkombinasikan file – based dan band –

based. ArcGIS adalah salah satu software yang dikembangkan oleh ESRI

(Environment Science & Research Institute) yang merupakan kompilasi.

Fungsi-fungsi dari berbagai macam software GIS yang berbeda seperti GIS

desktop, server, dan GIS berbasis web. Software ini mulai dirilis oleh ESRI pada

tahun 2000. Produk utama dari ArcGIS adalah ArcGIS desktop, dimana ArcGIS

desktop merupakan software GIS professional yang komprehensif dan

dikelompokkan atas tiga komponen yaitu : ArcView (komponen yang fokus ke

penggunaan data yang komprehensif, pemetaan dan analisis), ArcEditor (lebih

fokus ke arah editing data spasial) danArcInfo (lebih lengkap dalam menyajikan

fungsi-fungsi GIS termasuk untuk keperluan analisis geoprosesing).

Interpretasi data citra digital dapat dikelompokan menjadi tiga prosedur yaitu,

Pra-pengolahan data mencakup rektifikasi (koreksi geometrik) dan restorasi

(pemugaran dan pemulihan citra), penajaman citra (image enhancement), atau

peningkatan mutu ctra. Hasil pengolahan perlu dikoreksi kemudian dikeluarkan

sebagai hasil kasifikasi atau interpretasi data (Gunawan, 2017).


18

1) Pra-pengolahan data digital

Pra-pengolahan data digital mencakup rektifikasi dan restorasi citra .

rektifikasi dan restorasi merupakan prosedur oerasi agar diperoleh data

permukaan bumi sesuai dengan aslinya. Citra hasil penginderaan jauh

mengalami distorsi yang disebabkan oleh sensor, faktor media antara, dan

faktor obyeknya sendiri sehingga perlu diperbaiki atau di puloihkan

kembali. Prosedur ini biasa disebut sebagai operasi awal (pre-processing

operation) yang meliputi berbagai koreksi, yaitu koreksi radiometrik,

koreksi geometrik, koreksi atmosferik bertujuan agar citra dapat

diintegrasikan dengan peta dasar.

a) Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik diperlukan untuk mentransformasi citra hasil

penginderaan jauh sehingga citra tersebut mempunyai sifat-sifat peta

dalam bentuk, skala dan proyeksi. Transformasi geometrik yang paling

mendasar adalah penempatan kembali posisi piksel sedemikian rupa,

sehingga pada citra digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran

objek dipermukaan bumi yang terekam sensor ( Pusat pemanfaatan

Penginderaan Jauh LAPAN, 2015).

b) Koreksi Radiometrik

Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel dengan

mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan

utama. Metode-metode yang sering digunakan untuk menghilangkan

efek atmosfer antara lain metode pergeseran histogram (histogram


19

adjustment) dan metode regresi. Koreksi radiometrik dilakukan dengan

menggunakan salah satu dari dua metode tersebut.

Kalibrasi DN ke Reflectance menggunakan rumus berikut ini :

Ρλ = MΡ*QCAL + AΡ

Keterangan :

Ρλ : Nilai Spectral Reflectance


Mρ : Nilai Reflectance_ Multi_band_x, dimana nilai x adalah nomor
dari band
metadata.
Aρ : Nilai Reflectance_ add_band_x, dimana nilai x adalah nomor dari
band
metadata.
Qcal : Nilai pixel pada Digital Number yang di kalibrasi.

Kalibrasi DN ke Radian menggunakan rumus berikut ini :

Lλ = Mρ*QCAL + Aρ

Keterangan :

Lλ : Nilai Spectral Reflectance


Mρ : Nilai Reflectance_ Multi_band_x, dimana nilai x adalah nomor
dari band
metadata.
Aρ : Nilai Reflectance_ add_band_x, dimana nilai x adalah nomor dari
band
metadata.
Qcal : Nilai pixel pada Digital Number yang di kalibrasi.

2) Penajaman Citra

Tahapan ini berisi penajaman digital yang bertujuan untuk mendapatkan

kualitas visual dan variabilitas spektral citra menjadi lebih baik. Teknik yang

digunakan pada penajaman digital ini adalah teknik perentangan linear.

Teknik ini dapat digunakan untuk mempertajam kenampakan objek secara


20

keseluruhan mempertajam tepian, menghaluskan noise/gangguan,

memunculkan spesifik area tertentu di citra. Adapun teknis penajaman

dengan perentangan linear dapat dilakukan dengan melihat distribusi nilai

piksel citra asli terlebih dahulu (nilai terendah dan tertinggi), kemudian nilai

terendah tersebut direntangkan menjadi bernilai nol, dan nilai tertinggi

ditarik ke nilai maksimum bit (binary digit) citra yang digunakan. Metode

ini biasa disebut sebagai perentangan linear minimummaksimum.

Perentangan linear dapat pula dilakukan secara otomatis dengan

memasukkan nilai persentase perentangan (biasanya berkisar antara 1 – 3

atau 5%) pada histogram masing-masing citra asli. Teknis perentangan

dilakukan masing-masing terhadap band merah, hijau, dan biru dalam

komposisi warna RGB. Perentangan linear juga dapat dilakukan secara

interaktif, dengan cara menarik garis transformasi (transform line) menjadi

nilai minimum dan maksimum citra output. Ini sangat bermanfaat pada saat

penentuan training area obyek maupun membantu pemilihan GCP untuk

koreksi geometrik.

3) Klasifikasi citra digital

Klasifikasi citra digital adalah proses pengumpulan informasi dari citra

digital berdasarkan nalisis nilai spektral, klasifikasi digital bertujuan untuk

menggantikan analisis visual untuk mengelompokan mengenai kenampakan-

kenampakan yang homogen melalui bteknik kuantitaif secara otomatis.

Prosedur operasi dilakukan ndengan pengamatan dan evaluasi setiap pixel

yang terkandung di dalam citra dan dieklompokan pada setiap kelompok


21

informasi. Pada proses klasifikasi citra digital kriteria yang digunakan hanya

nilai spektralnya dengan asumsi perbedaan objeknya dapat dikenali

berdasarkan perbedaan karakteristik spektralnya.

10. Algoritma NDVI ( Normalized Difference Vegetation Index)

Indeks vegetasi adalah besaran nilai kehijauan vegetasi yang diperoleh dari

pengolahan sinyal dijital data nilai kecerahan (brightness) beberapa kanal data

sensor satelit. Untuk pemantauan vegetasi, dilakukan proses pembandingan antara

tingkat kecerahan kanal cahaya merah (red) panjang cahaya inframerah dekat

(near infrared). Fenomena penyerapan cahaya merah oleh klorofil dan pemantulan

cahaya inframerah dekat oleh jaringan mesofil yang terdapat pada daun akan

membuat nilai kecerahan yang diterima sensor satelit pada kanal-kanal tersebut

akan jauh berbeda. Pada daratan non-vegetasi, termasuk diantaranya wilayah

perairan, pemukiman penduduk, tanah kosong terbuka, dan wilayah dengan

kondisi vegetasi yang rusak, tidak akan menunjukkan nilai rasio yang tinggi

(minimum). Sebaliknya pada wilayah bervegetasi sangat rapat, dengan kondisi

sehat, perbandingan kedua kanal tersebut akan sangat tinggi (maksimum). Nilai

perbandingan kecerahan kanal cahaya merah dengan cahaya inframerah dekat atau

NIR/RED, adalah nilai suatu indeks vegetasi (yang sering disebut ”simple ratio”)

yang sudah tidak dipakai lagi. Hal ini disebabkan karena nilai dari rasio NIR/RED

akan memberikan nilai yang sangat besar untuk tumbuhan yang sehat. Oleh

karena itu, dikembangkanlah suatu algoritma indeks vegetasi yang baru dengan

normalisasi, yaitu NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). NDVI adalah


22

perbedaan nilai reflektansi merah dekat dan inframerah yang dinormalisasi karena

pantulan (Burgan, 1993 dalam Diki 2017).

NDVI = (NIR – RED) / (NIR + RED)

Keterangan:

NIR : Band yang memiliki panjang inframerah dekat (band 5) .


RED : Pantulan pada band merah (band 4) yang terlihat.

Persamaan tersebut akan menghasilkan rentang nilai -1 hingga 1. Nilai -1

menunjukan objek awan, salju, air, non-vegetasi. Sedangkan, nilai 1 menunjukan

objek vegetasi. Adapun klasifikasinya yaitu tersaji dalam tabel 4 berikut :

Tabel 4. Klasifikasi NDVI

Rentang Klasifikasi Kerapatan Jenis Vegetasi


- Awan, Badan Air, Non
-1-0
vegetasi
Vegetasi Jarang Pemukiman, Lahan
0-0,25
Kosong
0,25-0,55 Cukup Rapat Sawah, Tegalan
0,55-0,78 Rapat Sawah, Semak Belukar
0,78 – 1 Sangat Rapat Hutan

11. Algoritma LST (Land Surface Temperatur)

Data citra satelit yang didapatkan tidak dapat langsung diolah digita; number-

nya, namun harus mengalami beberapa tahapan konversi terlebih dahulu untuk

mendapatkan nilai suhu permukaan yang sebenarnya. Perhitungan suhu

permukaan terdiri dari dua tahapan sebagai berikut (Landsat USGS, 2017) :

1. Mengubah nilai Digital Number (DN) menjadi spektral radiasi (Radiance

Spektral) .

2. Mengkoreksi citra dengan koreksi Atmosferik yang tersedia di ENVI.

3. Menghitung nilai Brightness Temperatur (BST)


23

Brightness satelite Temperatur merupakan nilai transformasi citra yang

dapat mengukur temperatur suhu pada sebuah bidang lahan yang

didalamnya masih terdapat kandungan nilai dari angin, uap, awan, hujan

dll. Menghitung suhu permukaaan berdasarkan nilai radiasi spektral dengan

asumsi tingkat penyinaran. Perhitungan nilai BST dapat dilihat dari nilai

konstanta untuk kalibrasi 1 (watt/m 2*ster*ưm) yaitu 774,98oK untuk

Landsat 8-Oli Tirs. Nilai konstanta untuk kalibrasi 2 (watt/m 2*ster*ưm)

yaitu 1321,08oK untuk landsat 8-Oli Tirs dan nilai spektral radiasi

(watt/m2*ster*ưm).

4. Menghitung Land Surface Temperatur (LST)

Land Surface Temperatur merupakan temperatur suhu yang diukur

berdasarkan nilai kecerahan dan nilai emisivitas permukaan tanah. Nilai

Land Surface Temperatur dapat dihitung berdasarkan nilai dari brightness

satelite temperatur, dengan memperhatikan ketetapan setiap nilai yang telah

ditentukan yaitu nilai Wavelength of emitted radiance(11,5ưm atau band 10

DN), Ketetapan Plancks (6,626*10-34 J.s), Ketetapan Boltzman (1,38*10-23

J/oK), Velocity of Light (2,998*10 m/s).

Selanjutnya di dalam algoritma LST ada juga yang memiliki metode BoA

(Bottom of Atmosphere) metode ini banyak jenisnya dan banyak juga yang

mengembakngkan, metode (Coll,dkk. 2010 dalam Jaelani 2016) merupakan salah

satu metode BoA, berikut tahapan metode BoA :

1. Mengubah nilai Digital Number (DN) menjadi spektral radiasi (Radiance

Spektral) .
24

2. Tehap selanjutnya menggunakan koreksi atmosferik yang menghitung nilai

upwelling radiance dan downwelling radiance.

3. Menghitung niai Brightness satelite temperature.

4. Menghitung nilai Land Surface Temperature

B. Teori-Teori Relevan

Sendi Akhmad Al Mukmin, dkk (2016), Analisis Pengaruh Perubahan

Tutupan Lahan Terhadap Suhu Permukaan dan Keterkaitannya dengan fenomena

Urban Heat Island, Pada penelitian ini, analisis menggunakan citra satelit Landsat

5 tahun 1999 dan tahun 2007 serta Landsat 8 tahun 2014. Nilai suhu permukaan

didapat dari pengolahan kanal termal citra satelit Landsat yang kemudian

dikorelasikan dengan perubahan tutupan lahan menggunakan uji regresi

sederhana. Hasil penelitian menunjukkan pada tahun 1999 kelas suhu permukaan

yang mendominasi adalah kelas 29°C-30°C, namun kelas tersebut semakin

berkurang pada tahun 2007 dan 2014 dan kelas 33°C-34°C mendominasi akibat

semakin meningkatnya lahan terbangun. Hasil uji regresi sederhana antara

perubahan luas lahan terbangun terhadap suhu permukaan didapatkan nilai

koefisien determinasi (R2) sebesar 99%. Sedangkan hasil uji regresi sederhana

antara perubahan luas sawah terhadap suhu permukaan didapatkan nilai koefisien

determinasi (R2) sebesar 99%. Suhu tinggi yang terdapat di wilayah pusat kota

yang kemudian menurun ke arah pinggiran kota sampai ke desa, dengan selisih

±1-3°C, membuktikan adanya fenomena Urban Heat Island di Kota Cirebon.


25

Budiarto Yan (2015), Hubungan antara Persebaran Suhu permukaan dengan

Penggunaan lahan di Kabupaten Sleman menggunakan Citra Landsat 8-OLI

TIRS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pola persebaran suhu permukaan

berupa mengelompok secara linear dimana suhu tinggi mengikuti ruas jalan di

Kabupaten Sleman. (2) Penggunaan lahan hasil ekstraksi menghasilkan 7 penggunaan

lahan yaitu hutan, sawah, sungai, kebun campuran, permukiman, lahan kosong dan

jalan. Penggunaan lahan terluas berupa kebun campuran dan tersempit berupa sungai.

(3) Terdapat hubungan antara suhu permukaan dengan penggunaan lahan dari hasil

uji chi-square yang menunjukkan adanya korelasi dengan nilai Asymptotic

Significance kurang dari 0,05. Nilai suhu permukaan lahan yang terekam pada saluran

inframerah termal mewakili suhu penggunaan lahan dominan secara spasial

Kesuma Arfina. 2018. Analisis Perubhan Tutupan Lahan Terhadap Suhu

Permukaan Terkait Fenomena Urban Heat Island. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa perubahan tutupan lahan dan indeks vegetasi memiliki korelasi dengan

suhu permukaan. Hasil uji regresi sederhana antara perubahan luas lahan

terbangunterhadap suhu permukaan menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2)

sebesar 99,8%.Hasil analisi korelasi spasial antara nilai indeks vegetasi dengan

suhu permukaan menghasilkan nilai korelasi sebesar 66,63% untuk tahun 1997

dengan tahun 2007, dan 17,53% untuk tahun 2007 dengan tahun 2017.Perbedaan

suhu permukaan antara pusat Kota Surakarta dengan daerah sub urban adalah

sebesar ± 1-2,5°C. Perbedaan suhu antara pusat Kota Surakarta dengan daerah sub

urban tersebut menjadi indikator kuat terjadinya urban heat island di Kota

Surakarta.
26

Utomo, dkk. 2017. Analisis Hubungan Variasi Land Surface Temperatur

dengan Kelas Tutupan lahan menggunakan Citra Landsat-8. Penelitian ini

dilakukan di Kabupaten Pati. Adapun data yang digunakan adalah data Landsat 7

dan Landsat 8. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

variasi antara land surface temperature dengan kelas tutupan lahan memanfaatkan

teknologi penginderaan jauh yaitu metode klasifikasi terbimbing dan pengolahan

suhu permukaan menggunakan metode mono-window brightness temperature.

Hasil dari pengolahan tersebut akan dilakukan analisis spasial menggunakan zonal

statistic, dimana hasilnya adalah nilai minimal, maksimal, rata-rata dan range serta

standar deviasi dari suhu permukaan di setiap satuan pemetaan tutupan lahan yang

dihasilkan. Kemudian hasil dari nilai tersebut dilakukan perbandingan antara

standar deviasi terhadap range, sehingga hasil dari perbandingan tersebut dapat

digunakan untuk mengetahui variasi hasil olahan suhu permukaan terhadap tiap

tutupan lahan yang dihasilkan. Untuk hasil variasi suhu permukaan paling rendah

terdapat pada kelas Perairan, hal ini ditunjukkan oleh nilai rata-rata rasio antara 2σ

terhadap range sebesar 17,16%. Sedangkan hasil variasi suhu permukaan paling

tinggi terdapat pada kelas Non Pertanian, hal ini berdasarkan hasil dari rata-rata

rasio antara antara 2σ terhadap range sebesar 22,23 %.

Ayu Hapsari Aditiyanti, dkk. 2013. Analisis Pengaruh Perubahan NDVI dan

Tutupan Lahan Terhadap Suhu Permukaan Di Kota Semarang. Tujuan penelitian

ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perubahan tutupan

lahan dan vegetasi melalui NDVI terhadap perubahan suhu permukaan

berdasarkan interpretasi citra satelit Landsat tahun perekaman 2001, 2006, dan
27

2011. Penginderaan jauh dilakukan untuk memperoleh data spasial dalam waktu

singkat dengan akurasi tinggi. Hal ini akan sangat memudahkan

penggunanya untuk mendapatkan informasi tanpa harus melakukan survey di

lapangan.Hasil penelitian menunjukkan dari tahun ke tahun Kota Semarang

mengalami penurunan luas area vegetasi dan peningkatan area terbangun. Secara

keseluruhan perubahan suhu permukaan dipengaruhi signifikan oleh NDVI dan

tutupan lahan secara bersama-sama dengan koefisien determinasi (R2)

sebesar 82,6% (tahun 2001), 76,7% (tahun 2006), 78,8% (tahun 2011). Secara

parsial NDVI memberikan pengaruh sebesar 78,9% (tahun 2001),70,3% (tahun

2006), 73,0% (tahun 2011) terhadap suhu permukaan. Secara parsial tutupan

lahan memberikan pengaruh sebesar 74,0% (tahun 2001), 70,7% (tahun 2006),

70,4% (tahun 2011) terhadap suhu permukaan.


28

Studi Literatur

Pengumpulan Data

Batas Citra Landsat - 8


Administrasi OLI TIRS
Kota Medan

Mosaic Citra

Koreksi Radiometrik

Pemotongan Citra

Citra Terkoreksi

Klasifikasi Pengolahan LST B10


Supervised

Peta Tutupan Lahan LST Metode


BoA( Coll)

Hitung RMSE
LST

Uji Validasi

Uji Regresi = Pengumpulan Data

Analisis Hubungan tutupan = Pengolahan Data


lahan terhadap suhu
permukaan = Hasil dari Pengelolaan

Urban Heat Island

Anda mungkin juga menyukai