Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) DAN ASUHAN KEPERAWATAN

(ASKEP) PADA PASIEN STEVENS JOHNSON SYNDROME


A STUDY CASE
TAHUN 2021

Elisa Indah
NIM: 202004067

PROGRAM PENDIDIKAN NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
TAHUN 2021
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) PASIEN STEVENS JOHNSON


SYNDROME
A STUDY CASE
TAHUN 2021

Elisa Indah
NIM 202004067

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) INI TELAH DISETUJUI


PADA TANGGAL, 12 NOVEMBER 2021

Oleh
Pembimbing

Ns. Fajri Andi Rahmawan, M.Kep


NIK: 060880414
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) PASIEN STEVENS JOHNSON


SYNDROME
A STUDY CASE
TAHUN 2021

Elisa Indah
NIM 202004067

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) INI TELAH DISETUJUI


PADA TANGGAL, 12 NOVEMBER 2021

Oleh
Pembimbing

Ns. Fajri Andi Rahmawan, M.Kep


NIK: 060880414
LAPORAN PENDAHULUAN
STEVENS JOHNSON SYNDROME
1. DEFINISI
Sebelumnya dikenal sebagai sindrom Lyell, Stevens-Johnson Syndrome (SJS), dan
nekrolisis epidermal toksik (TEN) adalah varian dari kondisi yang sama dan berbeda dari
sindrom kulit melepuh staphylococcal eritema multiforme mayor, dan erupsi obat lainnya
(An et al., 2017). Stevens-Johnson Syndrome/TEN adalah reaksi kulit yang jarang, akut,
serius, dan berpotensi fatal di mana terdapat kehilangan kulit dan mukosa seperti
lembaran yang disertai dengan gejala sistemik dimana obat-obatan adalah penyebab di
lebih dari 80% kasus (An et al., 2017) (Auyeung & Lee, 2018).
2. ETIOLOGI
Stevens-Johnson Sindrom/TEN adalah reaksi obat yang jarang dan tidak terduga
yang melibatkan limfosit sitotoksik CD8+ spesifik obat, jalur apoptosis ligan Fas-Fas
(FasL), dan eksositosis yang dimediasi granul dan faktor nekrosis tumor-alfa
(TNF−alpha)/jalur reseptor kematian (Frey N 2019). Banyak obat telah dilaporkan
memicu Stevens-Johnson syndrome/TEN tetapi jarang dikaitkan dengan vaksinasi dan
infeksi seperti mikoplasma, cytomegalovirus, dan dengue.
Obat-obatan yang paling sering menyebabkan sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis
epidermal toksik adalah (Kim et al., 2012) (Frey N 2019):
 Antikonvulsan: lamotrigin, karbamazepin, fenitoin, fenobarbiton
 Allopurinol, terutama dalam dosis lebih dari 100 mg per hari
 Sulfonamida: kotrimoksazol, sulfasalazin,
 Antibiotik: penisilin, sefalosporin, kuinolon, minosiklin
 Parasetamol/asetaminofen
 Nevirapine (penghambat transkriptase balik non-nukleosida)
 Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) (terutama jenis oksikam)
 Media kontras
3. FAKTOR RESIKO
Stevens-Johnson Sindrom/TEN dapat menyerang siapa saja dengan kecenderungan
genetik: segala usia, jenis kelamin, dan semua ras, meskipun lebih sering terjadi pada
orang tua dan wanita. Ini jauh lebih mungkin terjadi pada orang yang terinfeksi human
immunodeficiency virus (HIV), dengan perkiraan kejadian 1/1000 (Velasco-Tirado et al.,
2018) (Yang et al., 2018).
Faktor genetik termasuk alotipe antigen leukosit manusia (HLA) yang mengarah
pada peningkatan risiko Stevens-Johnson sydrom bila terpapar antikonvulsan aromatik
dan allopurinol. Anggota keluarga pasien dengan Stevens-Johnson syndrom harus diberi
tahu bahwa mereka berisiko terkena penyakit ini dan harus berhati-hati dalam
mengonsumsi obat apa pun yang terkait dengan penyakit tersebut (Wolf R 2018). Sampai
saat ini, temuan telah memasukkan risiko Stevens-Johnson syndrom pada:
 Orang Cina Han, Thailand, Malaysia, dan India Selatan jika membawa HLA-B*1502
dan mengonsumsi antikonvulsan aromatik.
 Han Cina jika mereka membawa HLA-B*5801 dan mengambil allopurinol
 Orang Eropa jika mereka membawa HLA-B*5701 dan menggunakan abacavir, atau
jika mereka membawa HLA-A*3101 dan menggunakan carbamazepine
4. KLASIFIKASI
Stevens-Johnson Syndrom/TEN diklasifikasikan berdasarkan luas permukaan kulit
yang terlepas, yaitu:
a. Luas permukaan tubuh kurang dari 10%
b. Stevens-Johnson syndrome/TEN yang tumpang tindih: 10% hingga 30% luas
permukaan tubuh
c. Nekrolisis epidermal toksik (TEN) lebih dari 30% luas permukaan tubuh
5. PATHOFISIOLOGI
Langkah awal untuk Stevens-Johnson syndrom/TEN dapat berupa
interaksi/pengikatan antigen atau metabolit terkait obat dengan mayor kompleks
histokompatibilitas (MHC) tipe 1 atau peptida seluler untuk membentuk senyawa
imunogenik. Mekanisme pastinya masih spekulatif (Tangamornsuksan W 2018).
SJS/TEN diperantarai sel-T.,Sel CD8+ terdapat dalam cairan blister dan dapat
menginduksi apoptosis keratinosit. Sel-sel lain dari sistem kekebalan bawaan berperan.
Sel ligan CD40 juga ada dan dapat menginduksi pelepasan TNF-alpha, nitrous oxide,
interleukin 8 (IL-8), dan antibodi adhesi sel. TNF-alpha juga menginduksi apoptosis.
Baik sitokin Th1 dan Th2 hadir. Sel lain yang terlibat dalam SJS/TEN termasuk
makrofag, neutrofil, dan sel pembunuh alami (NK). Interaksi farmakologis obat dengan
sistem kekebalan dapat mengakibatkan pengikatan obat yang bertanggung jawab ke
MHC-1 dan reseptor sel T. Teori alternatif adalah konsep pro-hapten, di mana metabolit
obat menjadi imunogenik dan merangsang sistem kekebalan tubuh (lihat gambar 1).

Gambar 1. SJS dan TEN pathogenesis dan manifestasi klinis

6. MANIFESTASI KLINIS
Penyakit dimulai dengan gejala nonspesifik seperti demam dan malaise, gejala
saluran pernapasan atas seperti batuk, rinitis, sakit mata, dan mialgia. Selama tiga sampai
empat hari berikutnya, ruam yang melepuh dan erosi muncul di wajah, batang tubuh,
anggota badan, dan permukaan mukosa dengan penampakan sebagai berikut:
 Makula eritematosa, targetoid, annular, atau purpura
 Bula lembek
 Erosi besar yang menyakitkan
 Nikolsky-positif (tekanan lateral pada kulit menyebabkan penumpahan epidermis)
Pada awalnya, nekrolisis epidermal toksik memperlihatkan eritroderma dan erosi
yang meluas (dengan atau tanpa ruam targetoid), sedangkan Stevens-Johnson syndrom
lebih dicirikan oleh ruam targetoid, dengan area denudasi yang lebih sedikit. Ulserasi dan
erosi mukosa dapat melibatkan bibir, mulut, faring, esofagus dan saluran pencernaan,
mata, alat kelamin, saluran pernapasan bagian atas. Sekitar setengah dari pasien memiliki
keterlibatan tiga situs mukosa.
Pasien sangat sakit, cemas, dan kesakitan. Hati, ginjal, paru-paru, sumsum tulang,
dan sendi mungkin terpengaruh oleh SJS/TEN dengan gejala khas meliputi:
 Demam, malaise, sakit kepala, anoreksia, faringitis
 Pasien mungkin mengeluhkan ruam terbakar yang dimulai secara simetris pada wajah
dan bagian atas batang tubuh
 Gejala akibat disfungsi akut sistem okular, paru, kardiovaskular, gastrointestinal,
ginjal, dan hematologi.
Fitur mungkin tumpang tindih dengan severe cutaneous adverse reactions (SCAR),
seperti pustulosis eksantematosa umum akut dan sindrom hipersensitivitas obat
(menyebabkan erupsi morbilliform dan melibatkan organ lain), tetapi bisa dibedakan
antara SJS/Ten dengan reaksi obat yang lainnya (lihat gambar 2).

Gambar 2. Perbedaan SJS, TEN dan reaksi obat lainnya


7. WOC

Terbentuknya
Aktivasi sitem
Reaksi alergi tipe III kompleks antigen-
komplemen
dan IV antibodi

Sensitivitas limfosit T
Akumulasi neutrofil

Peningkatan respons Kerusakan jaringan pada


radang organ sasaran

Gangguan integritas Trias gangguan pada kulit,


kulit mukosa, dan mata

Respons lokal: eritema, Respons inflamasi Respons psikologis


vesikel, dan bula sistemik

Gangguan gastrointestinal Kondisi kerusakan


Demam Malaise jaringan kulit
Kerusakan saraf
perifer Port de entree

 Defisit nutrisi  Gangguan citra


 Defisit perawatan diri tubuh
Nyeri akut Risiko infeksi  Ansietas
8. KOMPLIKASI
Pada fase akut, sepsis adalah risiko serius yang paling umum dari SJS/TEN.
Kegagalan organ dapat terjadi, termasuk sistem paru, hati, dan ginjal. Komplikasi jangka
panjang yang paling umum dari SJS/TEN adalah (Lerch M 2018):
 Mata (konjungtivitis sikatriks kronis, penyakit mata kering kronis, defek epitel kornea,
ulkus stroma kornea, perforasi kornea, endoftalmitis termasuk kebutaan)
 Kulit (bekas luka dan deformitas kosmetik, infeksi berulang melalui ulserasi yang
lambat sembuh)
 Genitourinari (termasuk nekrosis tubulus ginjal, gagal ginjal, jaringan parut penis,
stenosis vagina)
 Gastroenterologi (striktur esofagus)
 Paru (kegagalan pernapasan yang dihasilkan oleh pelepasan trakeobronkial)
 Keterlibatan mukosa dengan lecet dan erosi dapat menyebabkan striktur dan jaringan
parut.
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Investigasi mungkin termasuk:
 Bagian beku yang mendesak dari biopsi kulit: nekrosis kulit dengan ketebalan penuh
 Fluoresensi imun langsung: negatif
 Hitung darah lengkap (CBC): anemia, limfopenia, neutropenia, eosinofilia,
limfositosis atipikal
 Tes fungsi hati (LFT): peningkatan transaminase, hipoalbuminemia
 Fungsi ginjal: mikroalbuminuria, enzim tubulus ginjal dalam urin, penurunan filtrasi
glomerulus, peningkatan kreatinin dan urea, hiponatremia
 Fungsi paru: pengelupasan mukosa bronkus pada bronkoskopi, infiltrat interstisial
pada rontgen dada
 Fungsi jantung: EKG dan pencitraan abnormal.
Tingkat keparahan sindrom Stevens-Johnson/TEN dinilai menggunakan
SCORTEN. Satu poin dinilai untuk masing-masing dari tujuh kriteria berikut saat masuk,
yaitu:
1). Usia di atas 40 tahun
2). Adanya keganasan
3). Detak jantung lebih dari 120 bpm
4). Persentase awal detasemen epidermis lebih besar dari 10%
5). Tingkat urea serum lebih besar dari 10 mmol/L
6). Kadar glukosa serum lebih besar dari 14 mmol/L
7). Kadar bikarbonat serum kurang dari 20 mmol/L
Risiko kematian akibat sindrom SJS/TEN tergantung pada skor. Angka kematian
lebih dari 40 kali lebih tinggi pada mereka yang kadar bikarbonatnya kurang dari 20
mmol/L dibandingkan dengan mereka yang kadar bikarbonatnya lebih tinggi. Rentang
SCORTEN dengan mortalitas terkait (dalam %) adalah sebagai berikut: skor 0-1 (3,2%),
skor 2 (12,1%), skor 3 (35,3%), skor 4 (58,3%), dan skor 5 (> 90%) (Richard EB 2018)
(N 2018).
Pada pasien dengan beberapa obat yang diketahui menyebabkan SJS/TEN,
algoritma ALDEN telah dikembangkan untuk menentukan kemungkinan penyebabnya.
1). Periode antara asupan obat dan timbulnya reaksi (hari indeks): 5 hingga 28 hari
(skor 3), 29 hingga 56 hari (2), 1 hingga 4 hari (1), lebih dari 56 hari (-1), hari
indeks (–3) untuk episode pertama; 1 hingga 4 hari (skor 3), 5 hingga 56 hari (1)
untuk episode berikutnya.
2). Kehadiran obat pada hari indeks atau dalam lima kali waktu paruh eliminasi:
dihentikan (1), tidak diketahui (0), dihentikan lebih awal (–1), berlanjut setelah hari
indeks (–2).
3). Riwayat efek samping obat yang sama sebelumnya: sindrom Stevens-
Johnson/nekrolisis epidermal toksik (4), sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis
epidermal toksik terhadap obat serupa (2), reaksi lain terhadap obat yang sama atau
serupa (1), tidak ada (0), penggunaan sebelumnya tanpa reaksi (–2).
4). Ketenaran obat, menurut studi SCAR: risiko tinggi (3), risiko lebih rendah (2),
kemungkinan risiko (1), di bawah pengawasan atau obat baru (0), tidak ada bukti
asosiasi (-1).
5). Kemungkinan penyebab lain: infeksi (–1), obat lain yang berisiko tinggi (-1 untuk
masing-masing obat)
10. PENATALAKSANAAN
Pasien harus menjalani penilaian interprofessional di lingkungan rumah sakit
khusus (Kumar et al., 2018) yang termasuk:
 Intensivis
 Dermatolog
 Spesialis bedah plastik atau luka bakar
 Dokter mata
 Ginekolog
 Ahli Urologi
 Dokter pernapasan
 Terapis fisik
 Ahli ilmu gizi
Perawatan pasien dengan sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis epidermal toksik
memerlukan perawatan suportif (Schneider & Cohen, 2017), termasuk:
 Penghentian obat penyebab yang dicurigai
 Masuk rumah sakit: sebaiknya ke unit perawatan intensif dan/atau luka bakar
 Penggantian cairan (kristaloid)
 Penilaian nutrisi: mungkin memerlukan pemberian makan melalui selang nasogastrik
 Kontrol suhu: lingkungan hangat, selimut darurat
 Pereda sakit
 Oksigen tambahan dan, dalam beberapa kasus, intubasi dengan ventilasi mekanis
 Penanganan steril/aseptik
Perawatan kulit memerlukan pemeriksaan harian pada kulit dan permukaan
mukosa untuk mengetahui adanya infeksi, pembalut yang tidak melekat, dan
menghindari trauma pada kulit. Permukaan mukosa memerlukan pembersihan yang hati-
hati dan anestesi topikal.
 Pengangkatan kulit nekrotik/jaringan mukosa secara lembut
 Kultur lesi kulit, aksila, dan selangkangan setiap dua hari
 Antibiotik mungkin diperlukan untuk infeksi sekunder tetapi sebaiknya dihindari
secara profilaksis.
Tidak diketahui apakah kortikosteroid sistemik bermanfaat, tetapi mereka sering
diresepkan dalam dosis tinggi selama tiga sampai lima hari pertama masuk. Faktor
perangsang koloni granulosit (G-CSF) mungkin bermanfaat pada pasien dengan
neutropenia berat. Obat lain yang dilaporkan efektif termasuk kortikosteroid sistemik,
siklosporin, inhibitor TNF-alpha, N-asetilsistein, dan imunoglobulin intravena. Peran
mereka tetap kontroversial (Oakley and Krishnamurthy. 2021).
11. KONSEP ASKEP
A). Pengkajian Keperawatan
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah. Keadaan umumnya bervariasi
dari ringan sampai berat. Pada kondisi yang berat, kesadarannya menurun, penderita
dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodomal
berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorok. Dalam
keadaan ini, sering penderita mendapat pengobatan antibiotik dan antiinflamasi sehingga
menyebabkan kesukaran dalam mengidentifikasi obat penyebab SJS.
B). Pemeriksaan Fisik
Trias kelainan yang terjadi terdapat pada kulit, mukosa, dan mata. Kelainan kulit terdiri
atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi
erosi yang luas. Di samping itu, dapat juga terjadi purpura. Jika disertai purpura,
prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian
disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus
jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat
memecah hingga menjadi erosi, ekskoriasi, dan krusta kehitaman. Selain itu, juga dapat
terbentuk pseudomembran. Pada bibir, kelainan yang sering tampak ialah krusta
berwarna hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus
respiratorius bagian atas, dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita
sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan
keluhan sukar bernapas. Sementara itu pada mata, 80% di antara semua kasus yang
tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu, juga dapat berupa konjungtivitis
purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis.
C). Diagnosa Keperawatan dan Rencana Intervensi
1). Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera biologis (reaksi alergi terhadap
obat atau faktor yang lain).
2). Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi lokal.
3). Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang dibuktikan dengan nadi lmah, tekanan darah menurun,
turgor menurun, hematokrit meningkat, pengisian vena menurun, suhu tubuh
meningkat, dan status mental menurun
8. KOMPLIKASI
Pada fase akut, sepsis adalah risiko serius yang paling umum dari SJS/TEN.
Kegagalan organ dapat terjadi, termasuk sistem paru, hati, dan ginjal. Komplikasi jangka
panjang yang paling umum dari SJS/TEN adalah (Lerch M 2018):
 Mata (konjungtivitis sikatriks kronis, penyakit mata kering kronis, defek epitel kornea,
ulkus stroma kornea, perforasi kornea, endoftalmitis termasuk kebutaan)
 Kulit (bekas luka dan deformitas kosmetik, infeksi berulang melalui ulserasi yang
lambat sembuh)
 Genitourinari (termasuk nekrosis tubulus ginjal, gagal ginjal, jaringan parut penis,
stenosis vagina)
 Gastroenterologi (striktur esofagus)
 Paru (kegagalan pernapasan yang dihasilkan oleh pelepasan trakeobronkial)
 Keterlibatan mukosa dengan lecet dan erosi dapat menyebabkan striktur dan jaringan
parut.
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Investigasi mungkin termasuk:
 Bagian beku yang mendesak dari biopsi kulit: nekrosis kulit dengan ketebalan penuh
 Fluoresensi imun langsung: negatif
 Hitung darah lengkap (CBC): anemia, limfopenia, neutropenia, eosinofilia,
limfositosis atipikal
 Tes fungsi hati (LFT): peningkatan transaminase, hipoalbuminemia
 Fungsi ginjal: mikroalbuminuria, enzim tubulus ginjal dalam urin, penurunan filtrasi
glomerulus, peningkatan kreatinin dan urea, hiponatremia
 Fungsi paru: pengelupasan mukosa bronkus pada bronkoskopi, infiltrat interstisial
pada rontgen dada
 Fungsi jantung: EKG dan pencitraan abnormal.
Tingkat keparahan sindrom Stevens-Johnson/TEN dinilai menggunakan
SCORTEN. Satu poin dinilai untuk masing-masing dari tujuh kriteria berikut saat masuk,
yaitu:
1). Usia di atas 40 tahun
2). Adanya keganasan
3). Detak jantung lebih dari 120 bpm
4). Persentase awal detasemen epidermis lebih besar dari 10%
5). Tingkat urea serum lebih besar dari 10 mmol/L
6). Kadar glukosa serum lebih besar dari 14 mmol/L
7). Kadar bikarbonat serum kurang dari 20 mmol/L
Risiko kematian akibat sindrom SJS/TEN tergantung pada skor. Angka kematian
lebih dari 40 kali lebih tinggi pada mereka yang kadar bikarbonatnya kurang dari 20
mmol/L dibandingkan dengan mereka yang kadar bikarbonatnya lebih tinggi. Rentang
SCORTEN dengan mortalitas terkait (dalam %) adalah sebagai berikut: skor 0-1 (3,2%),
skor 2 (12,1%), skor 3 (35,3%), skor 4 (58,3%), dan skor 5 (> 90%) (Richard EB 2018)
(N 2018).
Pada pasien dengan beberapa obat yang diketahui menyebabkan SJS/TEN,
algoritma ALDEN telah dikembangkan untuk menentukan kemungkinan penyebabnya.
1). Periode antara asupan obat dan timbulnya reaksi (hari indeks): 5 hingga 28 hari
(skor 3), 29 hingga 56 hari (2), 1 hingga 4 hari (1), lebih dari 56 hari (-1), hari
indeks (–3) untuk episode pertama; 1 hingga 4 hari (skor 3), 5 hingga 56 hari (1)
untuk episode berikutnya.
2). Kehadiran obat pada hari indeks atau dalam lima kali waktu paruh eliminasi:
dihentikan (1), tidak diketahui (0), dihentikan lebih awal (–1), berlanjut setelah hari
indeks (–2).
3). Riwayat efek samping obat yang sama sebelumnya: sindrom Stevens-
Johnson/nekrolisis epidermal toksik (4), sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis
epidermal toksik terhadap obat serupa (2), reaksi lain terhadap obat yang sama atau
serupa (1), tidak ada (0), penggunaan sebelumnya tanpa reaksi (–2).
4). Ketenaran obat, menurut studi SCAR: risiko tinggi (3), risiko lebih rendah (2),
kemungkinan risiko (1), di bawah pengawasan atau obat baru (0), tidak ada bukti
asosiasi (-1).
5). Kemungkinan penyebab lain: infeksi (–1), obat lain yang berisiko tinggi (-1 untuk
masing-masing obat)
10. PENATALAKSANAAN
Pasien harus menjalani penilaian interprofessional di lingkungan rumah sakit
khusus (Kumar et al., 2018) yang termasuk:
 Intensivis
 Dermatolog
 Spesialis bedah plastik atau luka bakar
 Dokter mata
 Ginekolog
 Ahli Urologi
 Dokter pernapasan
 Terapis fisik
 Ahli ilmu gizi
Perawatan pasien dengan sindrom Stevens-Johnson/nekrolisis epidermal toksik
memerlukan perawatan suportif (Schneider & Cohen, 2017), termasuk:
 Penghentian obat penyebab yang dicurigai
 Masuk rumah sakit: sebaiknya ke unit perawatan intensif dan/atau luka bakar
 Penggantian cairan (kristaloid)
 Penilaian nutrisi: mungkin memerlukan pemberian makan melalui selang nasogastrik
 Kontrol suhu: lingkungan hangat, selimut darurat
 Pereda sakit
 Oksigen tambahan dan, dalam beberapa kasus, intubasi dengan ventilasi mekanis
 Penanganan steril/aseptik
Perawatan kulit memerlukan pemeriksaan harian pada kulit dan permukaan
mukosa untuk mengetahui adanya infeksi, pembalut yang tidak melekat, dan
menghindari trauma pada kulit. Permukaan mukosa memerlukan pembersihan yang hati-
hati dan anestesi topikal.
 Pengangkatan kulit nekrotik/jaringan mukosa secara lembut
 Kultur lesi kulit, aksila, dan selangkangan setiap dua hari
 Antibiotik mungkin diperlukan untuk infeksi sekunder tetapi sebaiknya dihindari
secara profilaksis.
Tidak diketahui apakah kortikosteroid sistemik bermanfaat, tetapi mereka sering
diresepkan dalam dosis tinggi selama tiga sampai lima hari pertama masuk. Faktor
perangsang koloni granulosit (G-CSF) mungkin bermanfaat pada pasien dengan
neutropenia berat. Obat lain yang dilaporkan efektif termasuk kortikosteroid sistemik,
siklosporin, inhibitor TNF-alpha, N-asetilsistein, dan imunoglobulin intravena. Peran
mereka tetap kontroversial (Oakley and Krishnamurthy. 2021).
11. KONSEP ASKEP
A). Pengkajian Keperawatan
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah. Keadaan umumnya bervariasi
dari ringan sampai berat. Pada kondisi yang berat, kesadarannya menurun, penderita
dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodomal
berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorok. Dalam
keadaan ini, sering penderita mendapat pengobatan antibiotik dan antiinflamasi sehingga
menyebabkan kesukaran dalam mengidentifikasi obat penyebab SJS.
B). Pemeriksaan Fisik
Trias kelainan yang terjadi terdapat pada kulit, mukosa, dan mata. Kelainan kulit terdiri
atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi
erosi yang luas. Di samping itu, dapat juga terjadi purpura. Jika disertai purpura,
prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian
disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus
jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat
memecah hingga menjadi erosi, ekskoriasi, dan krusta kehitaman. Selain itu, juga dapat
terbentuk pseudomembran. Pada bibir, kelainan yang sering tampak ialah krusta
berwarna hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus
respiratorius bagian atas, dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita
sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan
keluhan sukar bernapas. Sementara itu pada mata, 80% di antara semua kasus yang
tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu, juga dapat berupa konjungtivitis
purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis.
C). Diagnosa Keperawatan dan Rencana Intervensi
1). Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera biologis (reaksi alergi terhadap
obat atau faktor yang lain).
2). Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi lokal.
3). Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang dibuktikan dengan nadi lmah, tekanan darah menurun,
turgor menurun, hematokrit meningkat, pengisian vena menurun, suhu tubuh
meningkat, dan status mental menurun
4). Defisit nutrisi berhubungan dengan menelan dan mecerna makanan respons
sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.
5). Risiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan organisme pathogen
lingkungan dengan port de entree pada lesi.
6). Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik secara umum.
Rencana Intervensi
1). Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera biologis (reaksi alergi terhadap
obat atau faktor yang lain)
Tujuan: Tingkat nyeri menurun
Kriteria hasil:
(1). Keluhan nyeri menurun
(2). Meringis menurun
(3). Gelisah menurun
(4). Diaforesis menurun
(5). Muntah menurun
(6). Frekuensi nadi membaik
(7). Pola napas membaik
(8). Tekanan darah membaik
(9). Fokus membaik
Rencana intervensi: Manajemen nyeri
(1). Observasi:
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi dan intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Monitor pemberian efek samping penggunaan analgetik
(2). Terapeutik:
 Berikan efek non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. terapi
musik, kompres hangat/dingin, aromaterapi, dll.)
 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (suhu, pencahayaan dan
kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan startegi meredakan
nyeri
(3). Edukasi:
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(4). Kolaborasi:
 Pemberian analgetik berdasarkan manajemen nyeri sheet
2). Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi lokal
Tujuan: Integritas kulit dan jaringan meningkat
Kriteria hasil:
(1). Elastisitas meningkat
(2). Hidrasi kulit meningkat
(3). Perfusi jaringan meningkat
(4). Kerusakan jaringan menurun
(5). Kerusakan lapisan kulit menurun
(6). Nyeri menurun
(7). Kemerahan menurun
(8). Nekrosis menurun
(9). Sensasi membaik
Rencana intervensi:
a. Perawatan integritas kulit
(1). Observasi:
 Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
 Kaji/catat ukuran, warna, kedalaman luka, perhatikan jaringan nekrotik dan
kondisi sekitar luka.
(2). Terapeutik:
 Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring
 Lakukan perawatan luka yang tepat dan tindakan kontrol infeksi
 Pertahankan penutupan luka sesuai indikasi
 Berikan perawatan luka dengan teknik aseptik, balut luka dengan kasa kering
dan steril, jika perlu
 Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
(3). Edukasi:
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi termasuk diet tinggi protein, asupan
buah dan sayur
 Anjurkan minum air yang cukup
 Motivasi klien untuk istirahat yang adekuat selama masa pemulihan
b. Perawatan Luka
(1). Observasi
 Monitor karakteristik luka (mis: drainase,warna,ukuran,bau)
 Monitor tanda –tanda inveksi
(2). Terapiutik
 lepaskan balutan dan plester secara perlahan
 Cukur rambut di sekitar daerah luka, jika perlu
 Bersihkan dengan cairan NACL atau pembersih non toksik,sesuai kebutuhan
 Bersihkan jaringan nekrotik
 Berika salep yang sesuai di kulit /lesi, jika perlu
 Pasang balutan sesuai jenis luka
 Pertahan kan teknik seteril saaat perawatan luka
 Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
 Jadwalkan perubahan posisi setiap dua jam atau sesuai kondisi pasien
 Berika diet dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari dan protein 1,25-1,5
g/kgBB/hari
 Berikan suplemen vitamin dan mineral (mis vitamin A,vitamin C,Zinc,Asam
amino), sesuai indikasi
 Berikan terapi TENS (Stimulasi syaraf transkutaneous), jika perlu
(3). Edukasi
 Jelaskan tandan dan gejala infeksi
 Anjurkan mengonsumsi makan tinggi kalium dan protein
 Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
(4). Kolaborasi
 Kolaborasi prosedur debridement (mis: enzimatik biologis mekanis,
autolotik), jika perlu
 Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
3). Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang dibuktikan dengan nadi lmah, tekanan darah menurun,
turgor menurun, hematokrit meningkat, pengisian vena menurun, suhu tubuh
meningkat, dan status mental menurun
Tujuan: Status cairan membaik
Kriteria hasil:
(1). Kekuatan nadi meningkat
(2). Turgor kulit meningkat
(3). Output urine meningkat
(4). Pengisian vena meningkat
(5). Dispnoe menurun
(6). Edema perifer menurun
(7). Perasaan lemah menurun
(8). Keluhan haus menurun
(9). Konsentrasi urine menurun
(10). Frekuensi nadi membaik
(11). Tekanan darah membaik
(12). Tekanan nadi membaik
(13). Membran mukosa membaik
(14). Intake cairan membaik
(15). Suhu tubuh membaik
(16). Status mental membaik
Rencana intervensi
a. Manajemen Hipovolemia:
(1). Observasi:
 Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. frekuensi nadi meningkat, nadi
teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit
menurun, membrane mukosa kering, volume urine menurun, hematokrit
meningkat, haus dan lemah)
 Monitor intake dan output cairan
(2). Terapeutik:
 Hitung kebutuhan cairan
 Berikan posisi modified trendelenburg
 Berikan asupan cairan oral
(3). Edukasi:
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
(4). Kolaborasi:
 Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (NaCl, RL)
 Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (Glukosa 2.5%, NaCl 0.4%)
 Kolaborasi pemberian cairan koloid (albumin, plasmanate)
 Kolaborasi pemberian produk darah jika perlu
b. Pemantauan Cairan:
(1). Observasi:
 Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
 Monitor frekuensi nafas
 Monitor tekanan darah
 Monitor berat badan
 Monitor waktu pengisian kapiler
 Monitor elastisitas atau turgor kulit
 Monitor jumlah, waktu dan berat jenis urine
 Monitor kadar albumin dan protein total
 Monitor hasil pemeriksaan serum (mis. Osmolaritas serum, hematocrit,
natrium, kalium, BUN)
 Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi
teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit
menurun, membrane mukosa kering, volume urine menurun, hematocrit
meningkat, haus, lemah, konsentrasi urine meningkat, berat badan menurun
dalam waktu singkat)
 Identifikasi tanda-tanda hypervolemia (mis. Dyspnea, edema perifer, edema
anasarka, refleks hepatojogular positif, berat badan menurun dalam waktu
singkat)
 Identifikasi factor resiko ketidakseimbangan cairan (mis. obstruksi intestinal,
peradangan pankreas, disfungsi intestinal)
(2). Terapeutik:
 Atur interval pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
 Dokumentasi hasil pemantauan
(3). Edukasi:
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
4). Defisit nutrisi berhubungan dengan menelan dan mecerna makanan respons
sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut
Tujuan: Status nutrisi membaik
Kriteria hasil:
(1). Kekuatan otot pengunyah meningkat
(2). Kekuatan otot menelan meningkat
(3). Serum albumin meningkat
(4). Verbalisasi keinginan untuk meningkatkan nutrisi meningkat
(5). Nyeri abdomen menurun
(6). Frekuensi makan membaik
(7). Nafsu makan membaik
(8). Bising usus membaik
(9). Membrane mukosa membaik
Rencana intervensi
a. Manajemen Nutrisi (I.03119):
(1). Observasi:
 Identifikasi status nutrisi
 Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
 Identifikasi makanan yang disukai
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
 Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
 Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
(2). Terapeutik:
 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jike perlu
 Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. piramida makanan)
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
 Berikan makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori tinggi protein, sesuai dengan diet
 Berikan suplemen makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik jika asupan oral dapat
ditoleransi
(3). Edukasi:
 Anjurkan posisi duduk, jika mampu
(4). Kolaborasi:
 Pemberian medikasi sebelum makan (mis. pereda nyeri, antiemetik, insulin),
jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetukan jumlah kalori dan jenis nutrient
yang dibutuhkan, jika perlu
b. Promosi Berat Badan
(1). Observasi
 Monitor adanya mual dan muntah
 Monitor jumlah kalori yang dikomsumsi sehari-hari
 Monitor berat badan
 Monitor albumin, limfosit, dan elektrolit serum
(2). Terapeutik
 Berikan perawatan mulut sebelum pemberian makan, jika perlu
 Sediakan makan yang tepat sesuai kondisi pasien (mis. makanan dengan
tekstur halus, makanan yang diblander, makanan cair yang diberikan melalui
NGT atau Gastrostomi, total perenteral nutritition sesui indikasi)
 Hidangkan makan secara menarik
 Berikan suplemen, jika perlu
 Berikan pujian pada pasien atau keluarga untuk peningkatan yang dicapai
(3). Edukasi
 Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi
 Jelaskan peningkatan asupan kalori yang dibutuhkan
5). Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik secara umum
Tujuan: Perawatan diri meningkat
Kriteria hasil:
(1). Kemampuan mengenakan pakaian meningkat
(2). Kemampuan makan meningkat
(3). Kemampuan ke toilet (BAB/BAK) meningkat
(4). Verbalisasi keinginan melakukan perawatan diri meningkat
(5). Minat melakukan perawatan diri meningkat
(6). Mempertahankan kebersihan diri dan mulut meningkat
mempunyai riwayat allergie terhadap antibiotik atau obat-obatan lainnya. Klien juga tidak
mempunyai riwayat penyakit kronis dan menular.

4. Riwayat Kesehatan Keluarga


Keluarga juga tidak ada riwayat allergi atau penyakit kronis dan menular.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum √lemah √pusing √dada rasa berdenyut dan


berdebar
Terlihat meringis menahan sakit, Wong Baker’s skala 10
GCS 10, komunikasi mengalami gangguan

- Bentuk dada √ Normal chest Barrel chest Pigeon chest


Funnel chest
- Bunyi nafas √ Bronkial Bronkovesikular Vesikular
Suara nafas tambahan
- Whezing √ Tidak Ya, (kanan/kiri)
- Ronchi √ Tidak Ya, (kanan/kiri)
Breathing

- Stridor Tidak √ Ya
- Snoring √ Tidak Ya
Batuk √ Tidak Ya, Berdahak Tidak berdahak
Pemakaian otot Bantu nafas Sternocleidomastoid Trapezius
Scalenus anterior, medius dan posterior
RR 56 x/menit
WSD √ Tidak Ya
Lain – lain Pernapasan cepat dan ireguler
- Suara jantung S1 S2 Tunggal S3 S4
- Nadi Reguler √ Iregular HR 102 x/m
- CRT < 2 detik √ > 2 detik
- JVP Normal Meningkat ….. cm
- Murmur Ya Tidak
Blood

- Gallop Ya Tidak
- Akral hangat Dingin
- Oedem Ya, lokasi…………………. √ Tidak
- CVC Ya Tidak CVP ……
- Lain- lain BP: 102/46 mmHg
- Bentuk Wajah Bulat √ Lonjong ……………
- Ekspresi wajah √ tampak sesak √ gelisah
√ kesakitan meringis menahan sakit
- Bibir sianosis √ pucat (Krusta hemoragik pada bibir)
- Konjungtiva pucat √ ptekie (conjungtivitis)
- Sklera ikterus √ normal
- Pupil √ Isokor Anisokor
Reflek cahaya Positive / prompt
Diameter 2mm
- GCS E3V3M4
- Reflek patologis babinski chadock regresi……………
- Reflek fisiologis bisep trisep achiles patela
- Meningeal Sign kernig kaku kuduk Brudzinki I
- Parestesia tidak ada, ……cm. lokasi…………
- Intrakranial ICP ……..
- Nervus Kranialis N1 (N.Olfactorius) normal tidak normal
Brain/Neurologi

N2 (N.Opticus) normal tidak normal


N3 (N.Oculomotirius) normal tidak normal
N4 (N.Trochlearis) normal tidak normal
N5 (N.Trigeminus) normal tidak normal
N6 (N. Abdusen) normal tidak normal
N7 (N.Facialis) normal tidak normal
N8 (N.Auditoris) normal tidak normal
N9 (N.Glossofaringeus) normal tidak normal
N10 (N.Vagus) normal tidak normal
N11 (N.Assesorius) normal tidak normal
N12 (N.Hypoglosus) normal tidak normal
Tidak di asses
- Kesulitan Tidur
Ya Tidak
- Istirahat Tidur
Siang ……Jam
Malam…...Jam
- Lain – lain
…………………………………………………
…………………………………………………
- Output urine kurang cukup lebih
- Jumlah …………cc
Bladder

- Suprapubic distended pekak massa


- Nyeri Ya Tidak
- Terpasang Kateter √ Ya Tidak keterangan: klien tidak mampu
bergerak dari tempat tidur
Abdomen
- Kontur Abdomen Normal distensi
- Jejas Tidak ya,……cm, lokasi………..
- Bising usus Tidak ada, .……..x/mt
- Meteorismus Tidak ya
- Nyeri tekan Tidak ya, lokasi………
- Pembesaran Hepar Tidak ya, ……..cm bawah arcus costae
- Pembesaran Limpa Tidak ya
- Teraba Massa Tidak ya, lokasi………………………..
- Ascites Tidak ya
- BAB frekwensi/ …………………………………………
konsistensi
- Mual/ muntah Tidak ya
- Kolostomi Tidak ya ............cc ket..............
Bowel

- Drain Tidak ya ............cc ket...............


- Lain – lain Tidak ada keterangan

Nutrisi
Pola makan
- Jenis Diet/ kalori NGT feeding dengan 3500 kalori
- Mendapat makanan √Tidak Ya,……………………..
tambahan
- Klien makan Makanan Habis………….porsi
yang disajikan
- Kesulitan menelan Tidak √ ya
- Antropometri BB 70kg TB 175cm LL……cm. IMT 22.9

- Terpasang Alat Bantu √ Tidak ya


- Lain – lain Klien membutuhkan pemasangan NGT
- Aktivitas …………………………………….

Personal Hygiene Kegiatan Frekuensi Mandiri Dibantu


S/T
Mandi Belum boleh mandi
Ganti √
baju
Keramas √
Gosok √
gigi
Potong √
kuku
Seka √

- Kemampuan pergerakan Bebas √ Terbatas


sendi
- Parese
Bone

Ya Tidak
- Paralise Ya Tidak
- Hemiparese Ya Tidak
- Kontraktur Ya Tidak
- Lain- lain Tidak ada keterangan
Ekstremitas Tidak ada kelainan √ Peradangan
- Atas Patah tulang Perlukaan
Lokasi kedua tangan dan lengan
Tidak ada kelainan √ Peradangan
- Bawah Patah tulang Perlukaan
Lokasi kedua kaki dampai paha
√ Tidak ada kelainan Peradangan
- Tulang belakang Patah tulang Perlukaan
Lokasi…………………….
…………………………….
- Kekuatan otot Tidak ada keterangan
- Lain –lain
- Warna kulit brown
- Kelembaban √ lembab berkeringat kering
- Icterus Tidak ya, lokasi……….
- Turgor jelek
- Jejas tidak ada, ……cm. lokasi…………
- Luka tidak √ ada seperti 100% luas permukaan tubuh
pada luka bakar
- Luka bakar tidak ada ….%, grade… Lokasi…………
- Luka Gangrene √ Tidak Ada keterangan…….

Kriteria penilaian Nilai


- Luka Decubitus 1 2 3 4
Terbatas Sangat Keterbata Tidak ada 2
Persepsi sensori sepenuhny terbatas san ringan gangguan
a
Terus Sangat Kadang* Jarang 2
menerus lembab basah basah
Kelembaban
Integumen

basah
Bedfast Chairfast Kadang * Lebih sering 1
Aktivitas jalan jalan
Immobile Sangat Keterbata Tidak ada 2
sepenuh- terbatas san ringan keterbatasan
Mobilisasi nya
Sangat Kemungk adekuat Sangat baik 2
buruk inan tidak
Nutrisi adekuat
Bermasalah Potensial Tidak 1
bermasalah menimbul
Gesekan dan pergeseran
kan
masalah
NOTE: Pasien dengan nilai total < 16 Total Nilai 10
maka dapat dikatakan bahwa pasien
beresiko mengalami decubitus
(pressure ulcers)
(15 or 16 = low risk, 13 or 14 =
moderate risk, 12 or less = high risk)
- Lain – lain Terdapat eritema, lesi dan melepuh serta erosi mukosa
dengan tanda Nikolsky positif di area ekstremitas atas dan
bawah serta bagian belakang tubuh seperti luka bakar
dengan total 45% body surface area (BSA)
- Riwayat pertumbuhan dan Kekeringan kulit atau rambut
perkembangan fisik Exopthalmus Goiter Hipoglikemia
Endokrin

Hiperglikemia KGD …………mg/dL


Tidak toleran terhadap panas
Tidak toleran terhadap dingin
Polidipsi Poliphagi Poliuri
- Lain – lain Tidak ada keterangan
- Persepsi klien terhadap
penyakitnya Murung/diam √ Gelisah Tegang
- Ekspresi klien terhadap Marah Menangis
Psikososial

penyakitnya Kooperatif Tidak Kooperatif


- Reaksi saat interaksi Curiga
Ada Tidak Ada
- Gangguan konsep diri Citra tubuh Ideal Diri Peran Diri
Identitas Diri
- Lain-lain Tidak ada keterangan.
Kebiasaan Beribadah
Spiritual

- Sebelum sakit Sering Kadang-kadang Tidak pernah


- Selama sakit Sering Kadang-kadang Tidak pernah
Tidak ada keterangan
D. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG (LABORATORIUM, X-RAY, DLL):
 √RONTGEN
 CT-SCAN
 USG
 EKG
 √ PEMERIKSAAN LAB
 √ Pemeriksaan Lain
Hasil :
Laboratorium: pada saat MRS dan 1 mgg kemudian
White blood cells: 16,000/19,000/UL • haematocrit: 38.5/30.1% • C-reactive protein : 0.7/18.8
mg/dl • lactic dehydrogenase : > 500 IU/l • Ca+2 : 8.5/7.24 mg/dl • sodium : 128/133 mmol/l.
Kultur nanah dari cairan luka dan kultur darah memberikan hasil positif:
 Staphylococcus aureus yang resisten methicillin tetapi sensitif terhadap vankomisin
 Escherichia coli
 Enterococcus faecium (sensitif Linesolid)
 Enterobacter cloacae
Biopsi kulit: konsisten dengan Stevens-Johnson Syndrom
Rontgen dada: beberapa film rontgen dada tidak menunjukkan keterlibatan paru.

E. Penatalaksanaan
Pasien dirawat sebagai pasien luka bakar dengan 100% BSA (luas permukaan tubuh) dan
dirawat secara intensiv di burn unit dengan perawat dan dokter ahli sebagai berikut:
1). Penarikan langsung asam valproat dari terapi
2). Pemantauan ketat status neurologis oleh ahli bedah saraf
3). Regimen prednison 60 mg yang diberikan secara intravena dua kali sehari
4). Pasien diberi pompa anestesi yang dikontrol pasien untuk pemberian morfin
5). Pemasangan sentral vena kathether dan cairan diberikan sesuai rumus Parkland
(http://kallus.com/er/calculations/parkland.htm)
6). Transfusi darah (tiga kali)
7). Pasien di monitor tanda vital (BP, RR, Pulse, Spo2) setiap jam
8). Foley katheter dipasang untuk mengukur keluaran urin
9). NGT yang halus dan lembut dipasang karena selama hari-hari pertama status neurologis
pasien mencegah nutrisi normal
10). TPN diberikan setelah beberapa episode diare setelah mengkonsumsi enteral lewat NGT
11). Suhu lingkungan dipanaskan (29-30°C)
12). Larutan antiseptik diterapkan pada daerah yang terkena setiap 2 jam
13). Saat vesikel menyebar dan bergabung menjadi bullae yang lebih besar dan mengelupas,
lesi kulit diobati 2x sehari dengan campuran urea dan triamcinolone dalam basis lotion
14). Nyeri dari lesi oral dapat dikurangi dengan berkumur dengan lidokain kental. Campuran
50% air-ke-hidrogen peroksida dapat digunakan untuk menghilangkan jaringan bukal
nekrotik
15). Antibiotik diberikan apabila berkepanjangan demam dan kultur darah positif, bukan
sebagai profilaksis dengan dosis terapeutik.
16). Apabila seminggu antibiotik dosis tinggi bisa menurunkan semua seri sel darah,
pengobatan dilanjutkan dengan gamma globulin
17). Agen antijamur dan antibiotik harus digunakan apabila ada superinfeksi
18). Dilatasi balon terkadang diindikasikan apabila ada striktur esofagus
19). Konsultasi oftalmologi dan urologi dilakukan untuk mengatasi gejala okular dan uretra.
20). Tindak lanjut dilanjutkan secara rawat jalan di departemen oftalmologi, dermatologi, dan
urologi
Tanda Tangan Mahasiswa

Elisa Indah
NIM: 202004067
ANALISA DATA
Nama Pasien :
No. Register :
NO KELOMPOK DATA MASALAH ETILOGI
1 DS: Klien mengeluh nyeri yang Nyeri akut Reaksi alergi terhadap obat
hebat diseluruh kulit
DO: Sensitivitas limfosit T dan respons
 K/U lemah radang
 Terlihat meringis
 Terlihat gelisah Kerusakan jaringan trias (kulit,
 Kulit basah dan diaforesis mukosa dan mata)
 GCS 10
 Skala nyeri 10 (Wong Respons local (eritema, lesi,
Baker‘skala) blisters, eerosi mukosa dan krusta)
 Fokus menurun
 TTV: HR: 102x/m, RR: 56x/m, Kerusakan saraf perifer
BP: 102/46 mmHg
 Pola napas irreguler Nyeri Akut
2 DS: − Gangguan Reaksi alergi terhadap obat
DO: integritas kulit
 Skala nyeri 10 (Wong Sensitivitas limfosit T dan respons
Baker‘skala) radang
 Terdapat kemerahan,
eritema, lesi, melepuh Kerusakan jaringan trias (kulit,
(blisters), erosi mukosa mukosa dan mata)
dengan tanda Nikolsky positif
pada kedua etremitas atas Respons local (eritema, lesi,
dan bawah serta bagian blisters, eerosi mukosa dan krusta)
belakang tubuh seperti luka
bakar Gangguan intergritas kulit
 Krusta hemoragik pada bibir
3 DS: − Hipovolemia Reaksi alergi terhadap obat
DO:
 K/U lemah Sensitivitas limfosit T dan respons
 Terlihat gelisah radang
 CRT >2 detik
Kerusakan jaringan trias (kulit, mukosa
 GCS 10 dan mata)
 Fokus menurun
 TTV: HR: 102x/m, RR: 56x/m, BP: Peningkatan pembuluh sarah kapiler
102/46 mmHg, Temp: 38,9°C
 Pola napas irreguler Ekstravasasi cairan (H20, elektrolit dan
 Nadi teraba lemah protein)
 Haematocrit: 38.5/30.1%
Tekanan osmotik dan cairan
intravaskuler menurun

Hipovolemia
4 DS: Defisit nutrisi Sensitivitas limfosit T dan respons
DO: radang
 K/U lemah
 Terlihat gelisah Kerusakan jaringan trias (kulit, mukosa
dan mata)
 GCS 10
 Temp: 38,9°C Respons local (eritema, lesi, blisters,
 Fokus menurun eerosi mukosa dan krusta)
 Otot pengunyah dan
menelan lemah Respons inflamasi sistemik
 Membran mukosa pucat dan
terdapat krusta di bibir Gangguan gastrointestinal (demam,
mempunyai riwayat allergie terhadap antibiotik atau obat-obatan lainnya. Klien juga tidak
mempunyai riwayat penyakit kronis dan menular.

4. Riwayat Kesehatan Keluarga


Keluarga juga tidak ada riwayat allergi atau penyakit kronis dan menular.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum √lemah √pusing √dada rasa berdenyut dan


berdebar
Terlihat meringis menahan sakit, Wong Baker’s skala 10
GCS 10, komunikasi mengalami gangguan

- Bentuk dada √ Normal chest Barrel chest Pigeon chest


Funnel chest
- Bunyi nafas √ Bronkial Bronkovesikular Vesikular
Suara nafas tambahan
- Whezing √ Tidak Ya, (kanan/kiri)
- Ronchi √ Tidak Ya, (kanan/kiri)
Breathing

- Stridor Tidak √ Ya
- Snoring √ Tidak Ya
Batuk √ Tidak Ya, Berdahak Tidak berdahak
Pemakaian otot Bantu nafas Sternocleidomastoid Trapezius
Scalenus anterior, medius dan posterior
RR 56 x/menit
WSD √ Tidak Ya
Lain – lain Pernapasan cepat dan ireguler
- Suara jantung S1 S2 Tunggal S3 S4
- Nadi Reguler √ Iregular HR 102 x/m
- CRT < 2 detik √ > 2 detik
- JVP Normal Meningkat ….. cm
- Murmur Ya Tidak
Blood

- Gallop Ya Tidak
- Akral hangat Dingin
- Oedem Ya, lokasi…………………. √ Tidak
- CVC Ya Tidak CVP ……
- Lain- lain BP: 102/46 mmHg
- Bentuk Wajah Bulat √ Lonjong ……………
- Ekspresi wajah √ tampak sesak √ gelisah
√ kesakitan meringis menahan sakit
- Bibir sianosis √ pucat (Krusta hemoragik pada bibir)
- Konjungtiva pucat √ ptekie (conjungtivitis)
- Sklera ikterus √ normal
- Pupil √ Isokor Anisokor
Reflek cahaya Positive / prompt
Diameter 2mm
- GCS E3V3M4
- Reflek patologis babinski chadock regresi……………
- Reflek fisiologis bisep trisep achiles patela
- Meningeal Sign kernig kaku kuduk Brudzinki I
- Parestesia tidak ada, ……cm. lokasi…………
- Intrakranial ICP ……..
- Nervus Kranialis N1 (N.Olfactorius) normal tidak normal
Brain/Neurologi

N2 (N.Opticus) normal tidak normal


N3 (N.Oculomotirius) normal tidak normal
N4 (N.Trochlearis) normal tidak normal
N5 (N.Trigeminus) normal tidak normal
N6 (N. Abdusen) normal tidak normal
N7 (N.Facialis) normal tidak normal
N8 (N.Auditoris) normal tidak normal
N9 (N.Glossofaringeus) normal tidak normal
N10 (N.Vagus) normal tidak normal
N11 (N.Assesorius) normal tidak normal
N12 (N.Hypoglosus) normal tidak normal
Tidak di asses
- Kesulitan Tidur
Ya Tidak
- Istirahat Tidur
Siang ……Jam
Malam…...Jam
- Lain – lain
…………………………………………………
…………………………………………………
- Output urine kurang cukup lebih
- Jumlah …………cc
Bladder

- Suprapubic distended pekak massa


- Nyeri Ya Tidak
- Terpasang Kateter √ Ya Tidak keterangan: klien tidak mampu
bergerak dari tempat tidur
Abdomen
- Kontur Abdomen Normal distensi
- Jejas Tidak ya,……cm, lokasi………..
- Bising usus Tidak ada, .……..x/mt
- Meteorismus Tidak ya
- Nyeri tekan Tidak ya, lokasi………
- Pembesaran Hepar Tidak ya, ……..cm bawah arcus costae
- Pembesaran Limpa Tidak ya
- Teraba Massa Tidak ya, lokasi………………………..
- Ascites Tidak ya
- BAB frekwensi/ …………………………………………
konsistensi
- Mual/ muntah Tidak ya
- Kolostomi Tidak ya ............cc ket..............
Bowel

- Drain Tidak ya ............cc ket...............


- Lain – lain Tidak ada keterangan

Nutrisi
Pola makan
- Jenis Diet/ kalori NGT feeding dengan 3500 kalori
- Mendapat makanan √Tidak Ya,……………………..
tambahan
- Klien makan Makanan Habis………….porsi
yang disajikan
- Kesulitan menelan Tidak √ ya
- Antropometri BB 70kg TB 175cm LL……cm. IMT 22.9

- Terpasang Alat Bantu √ Tidak ya


- Lain – lain Klien membutuhkan pemasangan NGT
- Aktivitas …………………………………….

Personal Hygiene Kegiatan Frekuensi Mandiri Dibantu


S/T
Mandi Belum boleh mandi
Ganti √
baju
Keramas √
Gosok √
gigi
Potong √
kuku
Seka √

- Kemampuan pergerakan Bebas √ Terbatas


sendi
- Parese
Bone

Ya Tidak
- Paralise Ya Tidak
- Hemiparese Ya Tidak
- Kontraktur Ya Tidak
- Lain- lain Tidak ada keterangan
Ekstremitas Tidak ada kelainan √ Peradangan
- Atas Patah tulang Perlukaan
Lokasi kedua tangan dan lengan
Tidak ada kelainan √ Peradangan
- Bawah Patah tulang Perlukaan
Lokasi kedua kaki dampai paha
√ Tidak ada kelainan Peradangan
- Tulang belakang Patah tulang Perlukaan
Lokasi…………………….
…………………………….
- Kekuatan otot Tidak ada keterangan
- Lain –lain
- Warna kulit brown
- Kelembaban √ lembab berkeringat kering
- Icterus Tidak ya, lokasi……….
- Turgor jelek
- Jejas tidak ada, ……cm. lokasi…………
- Luka tidak √ ada seperti 100% luas permukaan tubuh
pada luka bakar
- Luka bakar tidak ada ….%, grade… Lokasi…………
- Luka Gangrene √ Tidak Ada keterangan…….

Kriteria penilaian Nilai


- Luka Decubitus 1 2 3 4
Terbatas Sangat Keterbata Tidak ada 2
Persepsi sensori sepenuhny terbatas san ringan gangguan
a
Terus Sangat Kadang* Jarang 2
menerus lembab basah basah
Kelembaban
Integumen

basah
Bedfast Chairfast Kadang * Lebih sering 1
Aktivitas jalan jalan
Immobile Sangat Keterbata Tidak ada 2
sepenuh- terbatas san ringan keterbatasan
Mobilisasi nya
Sangat Kemungk adekuat Sangat baik 2
buruk inan tidak
Nutrisi adekuat
Bermasalah Potensial Tidak 1
bermasalah menimbul
Gesekan dan pergeseran
kan
masalah
NOTE: Pasien dengan nilai total < 16 Total Nilai 10
maka dapat dikatakan bahwa pasien
beresiko mengalami decubitus
(pressure ulcers)
(15 or 16 = low risk, 13 or 14 =
moderate risk, 12 or less = high risk)
- Lain – lain Terdapat eritema, lesi dan melepuh serta erosi mukosa
dengan tanda Nikolsky positif di area ekstremitas atas dan
bawah serta bagian belakang tubuh seperti luka bakar
dengan total 45% body surface area (BSA)
- Riwayat pertumbuhan dan Kekeringan kulit atau rambut
perkembangan fisik Exopthalmus Goiter Hipoglikemia
Endokrin

Hiperglikemia KGD …………mg/dL


Tidak toleran terhadap panas
Tidak toleran terhadap dingin
Polidipsi Poliphagi Poliuri
- Lain – lain Tidak ada keterangan
- Persepsi klien terhadap
penyakitnya Murung/diam √ Gelisah Tegang
- Ekspresi klien terhadap Marah Menangis
Psikososial

penyakitnya Kooperatif Tidak Kooperatif


- Reaksi saat interaksi Curiga
Ada Tidak Ada
- Gangguan konsep diri Citra tubuh Ideal Diri Peran Diri
Identitas Diri
- Lain-lain Tidak ada keterangan.
Kebiasaan Beribadah
Spiritual

- Sebelum sakit Sering Kadang-kadang Tidak pernah


- Selama sakit Sering Kadang-kadang Tidak pernah
Tidak ada keterangan
CATATAN KEPERAWATAN

Nama Pasien :
No. Register :
NO
TANGGAL JAM TINDAKAN KEPERAWATAN TT
DX
1  Meingidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi
dan intensitas nyeri
H/ Lokasi di seluruh tubuh terutama pada daerah luka
ddengan intensitas tinggi dan terus menerus
 Mengidentifikasi skala nyeri non verbal
H/ Wong baker’s skala 10
 Mengidentifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
H/ Tidak ada faktor yang memperingan nyeri dan faktor
yang memperberat apabila kulit disentuh
 Memonitor pemberian efek samping penggunaan
analgetic
H/ Tidak terlihat adanya efek samping
 Mengontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(suhu, pencahayaan dan kebisingan)
H/ Suhu diatur antara 29-30°C, pencahayaan dikurangi
dan membatasi pengunjung
 Memfasilitasi istirahat dan tidur
H/ Pasien ditempatkan pada decubitus matress dan
blanket luka bakar
 Menjelaskan strategi meredakan nyeri
H/ Pasien diberi pompa anestesi yang dikontrol pasien
untuk pemberian morfin, apabila pasien merasa sakit,
pasien bisa menekan tombol pada mesin yang
dihubungkan dengan jari secara langsung
 Pemberian analgetik berdasarkan manajemen nyeri
H/ Pemberian morfin sesuai dosis dokter
2  Identifikasi penyebab eritema dan bullae
H/ Adanya reaksi alergi terhadap obat antikonvulsan,
dan penarikan langsung asam valproat dari terapi
 Monitor kondisi luka
 H/ Terdapat kemerahan, eritema, lesi, melepuh
(blisters), erosi mukosa dengan tanda Nikolsky positif
pada kedua etremitas atas dan bawah serta bagian
belakang tubuh seperti luka bakar serta krusta
hemoragik pada bibir
 Gunakan teknik aseptik selama merawat luka
H/ Menggunakan aseptik teknik
 Lepaskan balutan lama dengan menghindari nyeri dan
perdarahan
H/ Balutan dilepaskan
 Bersihkan luka dengan cairan steril (mis. NaCl 0,9%,
cairan antiseptik)
H/ Luka dibersihkan dengan NaCl 0,9%
 Berikan pompa anestesi yang dikontrol pasien untuk
pemberian morfin
H/ Pasien menekan tombol agar morfin terinjeksi saat
perawatan luka
 Jadwalkan perawatan luka berdasarkan ada tidaknya
infeksi, jumlah eksudat dan jenis balutan yang
digunakan
H/ Perawatan luka dilakukan 1x sehari

20
 Gunakan modern dressing sesuai kondisi luka
 H/ Pada 48 jam pertama menggunakan nanocrystalline
silver dressings (Acticoat), kemudian dilanjutkan
dengan hydrocolloids dressing
 Jelaskan pasien dan keluarga tentang tanda dan
gejala infeksi
H/ Keluarga mengerti tanda infeksi
 Anjurkan peningkatan asupan nutrisi dan cairan
H/ Apabila pasien sudah mampu minum sendiri
 Mengkolaborasi prosedure debridement dan
pemberian antibiotik
H/ Mupirocin ointment/cream 2% dioleskan sebelum
dressing
3  Periksa tanda dan gejala hipovolemia
H/ K/U lemah, klien terlihat gelisah, CRT >2 detik, GCS
10, fokus menurun, HR: 102x/m dan teraba lemah, RR:
56x/m dan pola napas irreguler, BP: 102/46mmHg,
Hematocrit: 38.5/30.1%
 Monitor intake dan output cairan
H/ Intake and output termonitor, Folley katherther
terpasang untuk memonitor urine output
 Hitung kebutuhan cairan
H/ Kebutuhan cairan menurut Parkland formula adalah
(4 mL/kg/%BSA) 4mlx70x45=12600ml
 Berikan posisi modified trendelenburg
H/ Klien dalam posisi modified trendelenburg
 Berikan asupan cairan oral
H/ Memberikan minum air putih 200ml
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
H/ Klien berusaha minum air sedikit demi sedikit
 Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
H/ Klien bergerak perlahan apabila merubah posisi
 Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis
 H/ Klien terpasang RL dengan kebutuhan 24 jam
pertama 12600ml (resusitasi fluid), 6300ml selama 8 jam
(788/h), selanjutnya 6300ml selama 16 jam (394ml/h).
hari kedua dengan D5½NS dengan kecepatan 200ml/h
 Kolaborasi pemberian produk darah
H/ Transfusi darah di jadwalkan hari kedua (tiga labu)
4 a. Pemasangan NGT
 Identifikasi indikasi pemasangan NGT
H/ Indikasi terdapat krusta di bibir dan mulut, serta
kemungkinan sakit pada tenggorokan apabila
menelan karena kelemahan jaringan
 Monitor tanda bahaya pernapasan
H/ Monitor terpasang termasuk respiratory dan SPO2
 Letakkan perlak di dada
H/ Perlak diletakkan di dada
 Tentukan panjang selang dengan mengukur dari ujung
hidung ke telinga lalu ke prosesus xyphoideus
H/ Panjang NGT ±60cm
 Tandai panjang selang dan mempertimbangkan
penambahan 5cm untuk memastikan masuk ke dalam
lambung
H/ Selang NGT tertandai ±65cm
 Periksa kepatenan lubang hidung
H/ Lubang hidung patent, tidak ada striktur, sumbatan
atau perdarahan
 Lumasi ujung selang 15-20 cm dengan gel
H/ Ujung NGT terlumasi dengan Stillgel

21
 Pasang spuit dan aspirasi isi lambung, jika isi lambung
tidak keluar, masukkan selang 2,5-5 cm dan coba
aspirasi isi lambung kembali
H/ Isi lambung teraspirasi dengan warna kehijauan
 Masukkan udara 30ml dan dengarkan bunyi udara
dalam lambung dengan stetoskop
H/ Terdengar bunyi uadara dengan stetoskop
 Fiksasi selang NGT ke hidung pasien dengan plaster
hipoalergik
H/ Selang NGT terfiksasi di hidung pasien
 Posisikan semi-Fowler
H/ Pasien dalam posisi semi-Flowler
 Jelaskan tujuan dan prosedure kepada pasien
H/ Klien mengerti
 Anjurkan menelan saat selang dimasukkan
H/ Klien terlihat menelan
b. Pemberian makanan enteral:
 Hitung kebutuhan macronutrients dan fluid pasien
H/ Total calories 2050 kcal (feed calories 1884 kcal +166
kcal), protein 139 gm, carbs 202 gm, fat 80 gm.
Kebutuhan fluid 1728mL (feed water 828 mL+ water
flushes (150mL Q4h) 900mL)
 Periksa posisi NGT dengan memeriksa residu lambung
atau mengauskultasi hembusan udara
H/ residu lambung terlihat
 Monitor tetesan makanan pada pompa setiap jam
H/ Pompa enteral (Nutricia Flocare) terpasang dengan
kecepatan 170ml/h 4 kali sehari. Pembilasan air 150 mL
setiap 4 jam sesudah pemberian enteral.
 Monitor rasa penuh, mual, dan muntah
H/ klien tidak terlihat mual dan muntah
 Monitor residu lambung tiap 4-6 jam dalam 24 jam
pertama, kemudian tiap 8 jam selama pemberian
makan via enteral
H/ residu termonitor
 Gunakan teknik bersih dalam pemberian emteral
H/ mencuci tangan sebelum dan sesudah dan
menggunakan non-steril handscoon
 Tinggikan kepala tempat tidur 30-45 derajat selama
pemberian makan
H/ kepala ditinggikan 30 derajat
 Ukur residu sebelum pemberian makan
H/ Residu sekitar 5ml
 Irigasi selang dengan air selama pemberian dan
setelah pemberian makan intermiten
H/ Pembilasan air 150 mL (berdasarkan kalkulasi
kebutuhan cairan) setiap 4 jam sesudah pemberian
enteral
 Hindari pemberian makan jika residu lebih dari 150 cc
atau lebih dari 110%-120% dari jumlah makanan tiap
jam
H/ residu sekitar 5ml
 Kolaborasi pemilihan jenis dan jumlah makanan enteral
H/ jenis Vital (1.5 Cal) dengan kalkulasi berdasarkan BB
dan TB sebagai berikut:

22
5 Pencegahan infeksi
 Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
H/ terdapat tanda infeksi sistemik (demam, lemah,
gangguan gastrointestinal) dan lokal (eritema, lesi)
 Monitor hasil angka leukosit dan hasil lab lainnya
H/ kultur nanah dari cairan luka dan kultur darah
memberikan hasil positif (multiple bacteria) dan leukosit
16,000/19,000/UL
 Monitor TTV
H/ TTV: HR: 102x/m, RR: 56x/m, BP: 102/46 mmHg, temp:
38,9°C
 Inspeksi kondisi luka
H/ Terdapat eritema, lesi, melepuh (blisters), erosi
mukosa dengan tanda Nikolsky positif pada kedua
etremitas atas dan bawah serta bagian belakang
tubuh dan Krusta hemoragik pada bibir
 Batasi jumlah pengunjung
H/ istri klien dianjurkan untuk pulang, dengan jam
kunjung 2 jam sehari, pengunjung yang lain tidak
diperbolehkan
 Berikan perawatan kulit pada area vesikel
H/ sesuai perawatan prosedur pada luka bakar
 Pertahankan teknik aseptik selama perawatan luka
H/ Aseptik teknik digunakan
 Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan
H/ cuci tangan dilakukan sesuai 5 standard WHO
 Kolaborasi pemberian antibiotik
H/ Vancomycin 3x1Gram dan Meropenem 2X1,5Gram
(IV) di resepkan oleh dokter

CATATAN PERKEMBANGAN

Nama Pasien :
No. Register :

NO
TANGGAL TANGGAL TANGGAL
DX
1 Tidak terkaji Tidak terkaji Tidak terkaji
2
3
4
5

23

Anda mungkin juga menyukai