TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Steven Johnson Syndrome (SJS) merupakan sindrome yang mengenai
kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi
dari ringan sampai berat ; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura ( Djuanda, 2010).
Steven Johnson Syndrome (ektodermosis erosiva pluriorifisialis,
sindrome mukokutanea okular, eritema multiformis tipe Herba, eritema
multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrome kelainan kulit
berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit,
selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik
sampai buruk (Mansjoer, 2009).
Sindrom Stevens Johnsons merupakan sindrom yang mengenai kulit,
selaput lendir diorifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari
ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura. (Muttaqin, 2011).
B. Etiologi
Etiologi pasti Steven Johnson Syndrome (SJS) belum diketahui. Salah
satu penyebabnya ialah alergi obat secara siskemik, diantaranya penisilin, dan
semisintetiknya, sterptomisin, sulfonamida, tetrasiklin, antipiretik/analgetik
(misalnya : derifat salisil/pirazolon, metamizol, metampiron, dan
parasetamol), klorpormazin, karbamazepin, kinin, anti pirin dan jamu. Selain
itu dapat juga disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit),
neoplasma, paska vaksinasi, radiasi, makanan (Mansjoer, 2009).
Penyebab utama SJS ialah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil
karena infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi.
Pada penelitian Adhi Djuanda selam 5 tahun (1998-2002) SJS yang diduga
alergi obat tersering ialah analgetik/antipiretik (45%), disusul karbamazepin
7
8
(20%), dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang
lain amoksilin, kontrimoksasol, dilantin, klorokuin, seftriakson, dan adiktif
(Djuanda, 2011).
C. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III
dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi
yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi netrofil yang kemudian melepaskan
lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe
IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan
antigen yang sama, kemudia limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi
radang (Muttaqin, 2011).
D. Gambaran Klinis
Menurut (Mansjoer, 2009), sindrom ini umunya terdapat pada anak
dan dewasa, jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari baik sampai buruk di mana kesadarannya sopor sampai koma.
Berawal sebagai penyakit akut daaaapat disertai gejala prodromal berupa
demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorok.
Trias SJS adalah :
1. Kelainan Kulit
Kelainan kulit berupa eritema, vesikel, dan bula yang kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Purpura dapat terjadi dan
prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada keadaan berat kelainannya
generalisata.
2. Kelainan Selaput Lendir di Orifisium
Kelaian selaput lendir di orifisium, yang tersering ialah pada
mukosa mulut (100%), orifisium genitala eksterna (50%), lubang hidung
(8%), dan anus (4%). Lesi awal berupa vesikel di bibir, lidah, dan mukosa
bukal yang kemudian pecah membentuk erosi, ekskoriasi, eksudasi, krusta
9
E. Pengelolaan Kasus
Menurut (Mansjoer, 2009) penatalaksanaan pada pasien SJS
dengan :
1. Kortikosteroid
Bila keadaan baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednison 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid
merupakan tindakan life-saving dan digunakan deksametason intravena
dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa krisis diatasi dalam beberapa hari. Pasien SJS
berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6x5 mg intravena.
Setelah masa krisi teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi
baru, dan lesi lama mengalami involusi, dosis segera diturunkan secara
cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari,
deksametason diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednison,
yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari; sehari
10
F. Pathway
Gangguan Kondisi
Kerusakan Port de gastrointestinal kerusakan
saraf entree jaringan
perifer kulit
Demam Malaise
Nyeri Leukositopenia Gangguan
Citra
Ketidakseimbang
Tubuh
an nutrisi kurang
Infeksi
dari kebutuhan
Kecemasan
tubuh
Ketidaknya Kelemah
manan fisik an Fisik Resiko
Defisit Perdarahan
perawatan
Insomnia diri Intoleransi
Aktivitas
(Mutttaqin, 2011)
12
f. Riwayat Alergi
Disebutkan nama benda yang pernah membuat pasien alergi.
Yang perlu ditanyakan adalah “ apakah pasien alergi terhadap obat,
makanan, kosmetik, dan lain-lain. “
g. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi Terhadap Kesehatan dan Tata Laksana Hidup Sehat
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan, dan penanganan
kesehatan.
2) Pola Nutrisi
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan, dan
elektrolit, nafsu makan, pola makan, diet, kesulitan menelan,
mual/muntah, dan makanan kesukaan.
3) Pola Eliminasi
Menjelaskan pola fungsi ekskresi, kandung kemihm
defekasi, ada tidaknya masalah defekasi, masalah nutrisi, dan
penggunaan kateter.
4) Pola Istirahat dan Tidur
Menggambarkan pola tidur, istirahat, dan persepsi terhadap
energi, jumlah jam tidur pada siang dan malam, masalah tidur,
dan insomnia.
5) Pola Aktivitas dan Latihan
Menggambarkan pola olahraga, aktivitas, pengisian waktu
senggang, dan rekreasi; termasuk aktivitas dan kehidupan sehari-
hari, tipe dan kualitas olahraga, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi pola aktivitas.
Kemampuan perawatan diri (diisi sebelum dan setelah
masuk rumah sakit).
14
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit b.d gangguan turgor kulit.
b. Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake
tidak adekuat repons sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa
mulut.
c. Infeksi b.d leukositopenia.
d. Resiko perdarahan b.d trombositopenia.
e. Nyeri akut b.d agen cidera fisik.
f. Insomnia b.d ketidaknyamanan fisik.
g. Intoleransi aktifitas b.d kelemahan fisik.
h. Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik secara umum.
i. Gangguan citra tubuh b.d perubahan struktur kulit.
j. Kecemasan b.d kondisi penyakit, penurunan kesembuhan
3. Intervensi Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit b.d gangguan turgor kulit.
Tujuan : Dalam 3x24 jam integritas kulit membaik secara optimal.
Kriteria Hasil :
- Pertumbuhan jaringan membaik
- Lesi berkurang
Intervensi :
1) Kaji kerusakan jaringan kulit yang terjadi pada klien.
Rasional : Menjadi data dasar untuk memberikan informasi
intervensi perawatan yang akan digunakan.
2) Lakukan tindakan peningkatan integritas jaringan.
16
Intervensi :
1) Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, badan dan derajat penurunan
berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan menelan, serta
riwayat mual/muntah.
Intervensi :
1) Kaji kondisi lesi, banyak dan besarnya bula, serta apakah adanya
order khusu dari tim dokter dalam melakukan perawatan luka.
Rasional : Mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari
tujuan yang diharapkan.
2) Buat kondisi balutan dalam kondisi bersih dan kering.
Rasional : Kondisi bersih dan kering akan menghindari
kontaminasi komensal, serta akan menyebabkan respons inflamasi
lokal dan akan memperlambat penyembuhan luka.
3) Lakukan perawatan luka steril setiap hari.
Rasional : Perawatan luka sebaiknya dilakukan setiap hari untuk
membersihkan debris dan menurunkan kontak kuman masuk
kedalam lesi. Intervensi dilakukan dalam kondisi steril sehingga
mencegah kontaminasi kuman ke lesi.
4) Kolaborasi penggunaan antibiotik.
Rasional : Antibiotik injeksi diberikan untuk mencegah aktivasi
kuman yang bisa masuk. Peran perawat mengkaji adanya reaksi
dan riwayat alergi antibiotik, serta memberikan antibiotik sesuai
pesanan dokter.
Intervensi :
Intervensi :
Intervensi :
Kriteria Hasil :
- Pasien menyatakan kecemasan berkurang.
- Pasien mengenal perasaannya dan dapat mengidentifikasi
penyebab atau faktor yang memengaruhinya.
- Pasien kooperatif terhadap tindakan, wajah rileks.
Intervensi :