Peristiwa Malari merupakan salah satu peristiwa kelam yang masuk dalam catatan
kasus pelanggaran HAM pada masa Orde Baru. Istilah “Malari” sendiri merupakan singkatan
dari malapetaka 15 Januari. Bermula dari kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka
Kakuei, pada 14 Januari 1974 yang diwarnai oleh aksi demonstrasi mahasiswa, peristiwa ini
berujung pada kerusuhan.
Pada saat kedatangan Perdana Menteri Kakuei, mahasiswa yang hendak melancarkan
aksi demonstrasi terhalang oleh penjagaan ketat dari aparat keamanan. Keesokan harinya,
pada tanggal 15 Januari 1974, mahasiswa kembali turun ke jalan. Mereka mempersoalkan
penanaman modal asing yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, maraknya kasus
korupsi, dan tingginya harga kebutuhan pokok. Para mahasiswa juga menuntut pembubaran
lembaga Asisten Penasihat Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto.
Menjelang sore hari, aksi demonstrasi mulai memanas. Diduga karena adanya
provokator, aksi demonstrasi pun berujung pada kerusuhan. Saat itu, kerusuhan turut
diwarnai oleh aksi perusakan, pembakaran, dan penghancuran terhadap mobil-mobil merek
Jepang. Kerusuhan yang semula terjadi di Jalan Sudirman meluas hingga ke Senen. Sejumlah
gedung dibakar, termasuk pusat perbelanjaan yang ada di kawasan tersebut. Akibat peristiwa
ini, 11 orang tewas, 137 orang luka-luka, dan 750 orang ditangkap.
Setelah demonstrasi yang berujung pada kerusuhan dan jatuhnya banyak korban,
tuntutan pembubaran Aspri pun dipenuhi oleh pemerintah. Lembaga tersebut resmi
dibubarkan. Meskipun demikian, mantan pemimpinnya, Ali Murtopo, justru
dipindahtugaskan ke Bakin.
Jika dihubungkan, akan tampak adanya keterkaitan antara hal-hal tersebut. Di satu
sisi, Jenderal Sumitro berhasil membuat mahasiswa bergerak melakukan aksi demonstrasi
sebagai bentuk sikap kritis terhadap pemerintah. Namun, di sisi lain, pemerintah tampaknya
justru memanfaatkan aksi demonstrasi tersebut untuk menyingkirkan Jenderal Sumitro.
Dengan mengutus provokator di antara para demonstran, pemerintah bisa saja telah
merencanakan terjadinya kerusuhan. Dengan begitu, pemerintah punya alasan untuk
mencopot Jenderal Sumitro dari jabatannya sebagai Pangkopkamtib, yaitu karena dianggap
tidak bisa mencegah terjadinya kerusuhan. Di samping itu, pemerintah juga mempunyai
alasan untuk membungkam gerakan mahasiswa. Hal inilah yang membuat Peristiwa Malari
dikatakan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Aksi demonstrasi yang sepatutnya merupakan
wujud dari hak menyampaikan pandapat justru diwarnai oleh provokasi sehingga
menyebabkan jatuhnya banyak korban. Selain melanggar hak berpendapat, tentu peristiwa ini
juga melanggar hak hidup orang banyak.