Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bulan September dan Oktober kerap disebut sebagai bulan kelahiran Orde Baru
di Indonesia. Akhir september, pada 1965, pembunuhan terhadap jenderal-jenderal
Angkatan Darat menjadi kelokan tajam yang mengubah secara drastis perjalanan
republik. Peristiwa pembunuhan jenderal Angkatan Darat itu segera disusul rentetan
pembunuhan massal terhadap ratusan ribu bahkan jutaan orang yang dianggap sebagai
anggota PKI atau simpatisan komunis. Momen-momen itu menjadi karpet merah bagi
datangnya rezim Orde Baru.

Banyak kajian yang mengupas tentang bagaimana proses kelahiran rezim baru
ini bermula. Mulai dari sistem ekonomi politik yang dibangun sampai proses
konsolidasi kekuasaan jenderal-jenderal militer penyokong Soeharto.
Gerakan mahasiswa Indonesia 1998

Kejatuhan rezim Orde Baru, salah satunya adalah buah dari gerilya aktivisme
mahasiswa yang terentang sejak 1970-an hingga di 1990-an. Jalan panjang aktivisme
tersebut mencapai puncaknya pada 1998, ketika gerakan mahasiswa berhasil menduduki
Gedung Parlemen yang berujung mundurnya Presiden Soeharto. Gelombang unjuk rasa
yang digalang gerakan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat berhasil
meruntuhkan rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998. Sejarah mencatat, Yogyakarta
menjadi salah satu kota yang mengawali aksi demo dengan tuntutan: turunkan Presiden
Soeharto!

Elemen-elemen gerakan mahasiswa dari berbagai kampus di Yogyakarta pun


merapatkan barisan. Mereka tidak ingin Soeharto berkuasa lagi setelah bertahun-tahun
lamanya tidak tergoyahkan dari pucuk kekuasaan. Terlebih, kondisi perekonomian
Indonesia waktu itu mulai diterpa krisis.

Maka, digelar referendum tentang kepemimpinan nasional untuk menyaring pendapat


para mahasiswa apakah mereka masih menginginkan Soeharto tetap dicalonkan menjadi
presiden atau tidak.
…………………
Syaifruddin Jurdi dalam Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia (2016) menuliskan, dari
9.587 suara, sebagian besar menyatakan bahwa mahasiswa menolak pencalonan
kembali Soeharto. Jejak pendapat yang dilakukan majalah Balairung juga
menunjukkan, 93 persen mahasiswa UGM tidak ingin Soeharto menjadi presiden lagi.

Namun, setelah hasil referendum diumumkan, datang tekanan dari kampus, bahkan dari
intel militer dan aparat kepolisian. Para mahasiswa tidak kehilangan akal. Hasil
referendum tersebut kemudian mereka laporkan ke media-media non-mainstream,
termasuk BBC, Suara Australia, VOA, dan lain-lain.
Tuntut Presiden Turun
Pemberitaan media-media non-mainstream terkait sikap mahasiswa, termasuk di
Yogyakarta, atas rencana pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden membuat
situasi semakin panas. Gerakan mahasiswa di Yogyakarta pun kian bernyali untuk
bergerak lebih masif lagi.

Pada Minggu, 8 Maret 1998, mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung
Yogyakarta menggelar aksi “Diam Menuntut Perubahan” di Jalan Malioboro. Namun,
tulis Octo Lampito dalam Lengser Keprabon (1998), ketika mereka hendak bergerak
menuju Alun-Alun Utara, aparat telah mengadang. Para peserta aksi itu dinaikkan ke
truk dan diangkut ke markas Polresta Yogyakarta.

Rezim penguasa jalan terus. Pada 10 Maret 1998, Sidang Umum MPR memilih
Soeharto dan BJ Habibie sebagai presiden dan wapres untuk periode 1998-2003.
Esoknya, tanggal 11 Maret 1998 yang bertepatan dengan peringatan Supersemar,
barisan mahasiswa di Yogyakarta menyambut pelantikan Soeharto dengan unjuk rasa.

Baca juga: Jika Supersemar Palsu, Apakah Orde Baru Tidak Sah?

Republika edisi 12 Maret 1998 mewartakan, digelar demonstrasi besar-besaran yang


diikuti lebih dari 30 ribu mahasiswa di Yogyakarta. Pekik “Merdeka” dan “Allahu
Akbar” mewarnai unjuk rasa di kampus UGM. Mereka menginginkan dibentuknya
pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Aksi serupa juga dilakukan di berbagai perguruan tinggi di beberapa kota besar lainnya.
Di Surabaya dan Solo, misalnya, bahkan terjadi bentrokan antara petugas keamanan dan
pengunjukrasa.
Pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) kala itu, Wiranto
Arismunandar, yang menuding bahwa mahasiswa amatiran dalam berpolitik membuat
situasi semakin gerah.

Awal April 1998, saat Mendikbud hendak melantik Rektor UGM di Yogyakarta,
mahasiswa menggelar berbagai kegiatan untuk menyambut sang menteri, dari
demonstrasi, aksi mogok makan, hingga mimbar bebas. Mereka menuntut Mendikbud
agar menarik kembali ucapan yang menyakitkan itu.

Sayangnya, dikutip dari penelitian Angga Apip Wahyu Saputra dari Jurusan Pendidikan
Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), bertajuk
“Peranan Mahasiswa Yogyakarta dalam Perjuangan Reformasi di Indonesia” (2012),
upaya itu gagal karena Mendikbud meninggalkan UGM lebih awal dari jadwal.

Rangkaian aksi protes yang terjadi di berbagai kota termasuk Yogyakarta sempat
membuat Presiden Soeharto menyampaikan pernyataan bahwa reformasi bisa dilakukan
saat itu juga. Namun, statement itu dinilai tidak serius dan hanya sebagai taktik agar
demonstrasi mereda. Mahasiswa tetap menginginkan Soeharto lengser.

Dari Gejayan ke Senayan


Pada 2 April 1998, mahasiswa berencana melakukan long march dari Bundaran UGM
menuju Gedung DPRD yang terletak di Jalan Malioboro. Rencana tersebut terhambat
karena dihalangi aparat yang sudah bersiaga di luar kampus.

Para peserta aksi dianggap mengganggu ketertiban umum oleh aparat. Polisi kemudian
menawarkan kepada mahasiswa agar menumpang bus–agar lebih mudah diawasi dan
menghindari mobilisasi massa yang lebih besar, namun ditolak.

Mahasiswa tetap bergerak dan terjadilah bentrokan. Selama lebih dari sejam, tulis
Samsu Rizal Panggabean dalam Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia (2018),
aparat dan mahasiswa saling melempar batu.

Keesokan harinya mahasiswa berencana demonstrasi lagi, kali ini tujuannya adalah
Keraton Yogyakarta. Kala itu, Sultan Hamengkubuwana X belum menyampaikan
dukungannya terhadap gerakan reformasi.

Aparat kembali mengingatkan agar mahasiswa tidak keluar kampus. Sebagian ada yang
patuh, namun tidak sedikit pula yang tetap bergerak dan berusaha menembus blokade
polisi. Terjadi aksi saling dorong, yang disusul dengan gesekan fisik.

Hari demi hari di Yogyakarta saat itu memang sering sekali diwarnai dengan aksi
demonstrasi.

Baca juga: 20 Tahun Reformasi: Yang Terjadi Sepanjang Maret 1998

Dalam peringatan Hari Kartini di Yogyakarta pada 21 April 1998, mahasiswa bersama
elemen masyarakat lainnya termasuk dosen, agamawan, pelajar, hingga seniman
berkumpul di depan Gedung Sabha Pramana UGM.

Para peserta aksi yang jumlahnya mencapai 15 ribu orang ini, dinukil dari Bergerak:
Media Aksi Mahasiswa UI (1998), tergabung dalam Rapat Akbar Masyarakat
Yogyakarta. Mereka menginginkan perubahan dan mengungkapkan keprihatinan atas
apa yang tengah menimpa ibu pertiwi.

Berikutnya tanggal 5 Mei 1998. Dikutip dari tulisan Hendra Kurniawan berjudul
“Mengenang Gejayan Kelabu” yang dimuat di Kedaulatan Rakyat (8 Mei 2018),
mahasiswa mulai bergerak dan harus menghadapi kekuatan aparat keamanan. Bentrok
fisik tak terelakkan.
Keesokan harinya, mahasiswa dari beberapa kampus di Yogyakarta kembali menggelar
unjuk rasa, termasuk UGM, UNY (dulu bernama IKIP Yogyakarta), Universitas Sanata
Dharma (USD), dan UIN atau IAIN Sunan Kalijaga.

Di Jalan Gejayan (kini Jalan Affandi) yang melewati IKIP dan Sanata Dharma, terjadi
kericuhan. Polisi mengejar mahasiswa sampai ke dalam kampus. Sebanyak 29 orang
demonstran ditangkap.

Puncak unjuk rasa di Yogyakarta terjadi pada 8 Mei 1998. Selepas salat Jumat, ribuan
mahasiswa menggelar aksi di Bundaran UGM dan berlangsung tertib. Mereka
menyatakan keprihatinan atas kondisi perekonomian negara, penolakan Soeharto
sebagai presiden kembali, memprotes kenaikan harga, serta mendesak segera dilakukan
reformasi.

Menjelang sore, para mahasiswa dan masyarakat dari Jalan Gejayan bergerak menuju
Bundaran UGM untuk bergabung dengan barisan pengunjukrasa di sana. Namun aparat
keamanan tidak mengizinkan. Suasana mulai panas.

Baca juga: Kronologi Sejarah Aksi Gejayan 1998

Bentrok pecah sekitar pukul 17.00 WIB. Dirangkum dari berbagai sumber, pasukan
keamanan menggerakkan panser penyemprot air dan tembakan gas air mata untuk
membubarkan aksi massa di pertigaan antara Jalan Gejayan dan Jalan Kolombo.

Suasana mencekam terus terasa di Jalan Gejayan dan sekitarnya hingga malam hari.
Masih ada sebagian orang yang bertahan dalam kepungan polisi dan tentara. Aparat
mengisolir dan menutup jalan-jalan menuju tempat kejadian perkara.

Jumat kelabu ini tak hanya menyebabkan banyak korban luka-luka dari kalangan
mahasiswa, namun juga warga biasa. Bahkan, ada pula yang harus kehilangan nyawa.
Seorang mahasiswa bernama Moses Gatotkaca ditemukan bersimbah darah dan
meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Peristiwa berdarah di Gejayan, ditambah rangkaian kejadian lainnya termasuk Tragedi


Trisakti di Jakarta yang menewaskan 4 orang mahasiswa, membuat keinginan untuk
meruntuhkan rezim semakin besar.

Dari Gejayan, berbagai elemen rakyat dan mahasiswa bergerak ke Jakarta menuju
Senayan, bergabung dengan barisan serupa yang datang dari seluruh penjuru Nusantara.
Tanggal 21 Mei 1998, reformasi akhirnya terwujud. Soeharto lengser, Orde Baru
tumbang

Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 adalah puncak gerakan mahasiswa dan gerakan


rakyat pro-demokrasi pada akhir dasawarsa 1990-an. Gerakan ini menjadi monumental
karena dianggap berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatan Presiden Republik
Indonesia pada tangal 21 Mei 1998, setelah 32 tahun menjadi Presiden Republik
Indonesia sejak dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada
tanggal 11 Maret 1966 hingga tahun 1998. Pada April 1998, Soeharto terpilih kembali
menjadi Presiden Republik Indonesia untuk ketujuh kalinya (tanpa wakil presiden),
setelah didampingi Try Soetrisno (1993-1997) dan Baharuddin Jusuf
Habibie (Oktober 1997-Maret 1998). Namun, mereka tidak mengakui Soeharto dan
melaksanakan pemilu kembali. Pada saat itu, hingga 1999, dan selama 29 tahun, Partai
Golkar merupakan partai yang menguasai Indonesia selama hampir 30 tahun, melebihi
rezim PNI yang menguasai Indonesia selama 25 tahun. Namun, terpilihnya Soeharto
untuk terakhir kalinya ini ternyata mendapatkan kecaman dari mahasiswa karena krisis
ekonomi yang membuat hampir setengah dari seluruh penduduk Indonesia mengalami
kemiskinan.

Gerakan ini mendapatkan momentumnya saat terjadinya krisis moneter pada


pertengahan tahun 1997. Namun para analis asing kerap menyoroti percepatan gerakan
pro-demokrasi pasca Peristiwa 27 Juli 1996 yang terjadi 27 Juli 1996. Harga-harga
kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Tuntutan
mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung
bersambut, gerakan mahasiswa dengan agenda reformasi mendapat simpati dan
dukungan dari rakyat.

Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan oleh para mahasiswa, terutama setelah


pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4
Mei 1998. Agenda reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa mencakup
beberapa tuntutan, seperti:

 Adili Soeharto dan kroni-kroninya,


 Laksanakan amendemen UUD 1945,
 Hapuskan Dwi Fungsi ABRI,
 Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya,
 Tegakkan supremasi hukum,
 Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN

Gedung parlemen, yaitu Gedung Nusantara dan gedung-gedung DPRD di daerah,


menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia. Seluruh elemen
mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat bersatu dengan satu tujuan untuk
menurunkan Soeharto. Organisasi mahasiswa yang mencuat pada saat itu antara lain
adalah FKSMJ dan Forum Kota karena mempelopori pendudukan gedung DPR/MPR.

Meski salah satu agenda perjuangan mahasiswa yaitu menuntut lengsernya sang
Presiden tercapai, namun banyak yang menilai agenda reformasi belum tercapai atau
malah gagal. Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 juga mencuatkan tragedi
Trisakti yang menewaskan empat orang Pahlawan Reformasi. Pasca Soeharto mundur,
nyatanya masih terjadi kekerasan terhadap rakyat dan mahasiswa, yang antara lain
mengakibatkan tragedi Semanggi yang berlangsung hingga dua kali. Gerakan
Mahasiswa Indonesia 1998 juga memulai babak baru dalam kehidupan bangsa
Indonesia, yaitu era Reformasi.
Sampai saat ini, masih ada unjuk rasa untuk menuntut keadilan akibat pelanggaran
HAM berupa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh aparat terhadap keempat
orang mahasiswa.

Pembentukan (Krisis keuangan Asia)[sunting | sunting sumber]

Pada bulan Mei 1998, Indonesia mengalami pukulan terberat krisis ekonomi 1997-1999,


yang menerpa kawasan Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
Meningkatnya inflasi dan pengangguran menciptakan penderitaan di mana-mana.
Ketidak-puasan terhadap pemerintahan zaman Orde Baru (Kabinet Pembangunan) dan
merajalelanya korupsi juga meningkat.

Pada bulan April 1998, ketika Soeharto untuk terakhir kalinya terpilih kembali menjadi


Presiden Republik Indonesia, setelah masa bakti 1993-1998 bersama Try Soetrisno,
mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh Indonesia menyelenggarakan
demonstrasi besar-besaran. Mereka menuntut pemilu kembali diadakan dan tindakan
efektif pemerintah untuk mengatasi krisis.

Ini adalah insiden terbaru, ketika mahasiswa Indonesia meneriakkan aspirasi rakyat dan
dipukuli karena dianggap akan menimbulkan gangguan.

Tragedi Trisakti[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Tragedi Trisakti

Soeharto mendapatkan surat dari Harmoko, mantan ketua DPR saat itu, ketika sedang


menghadiri konferensi tingkat tinggi antar-negara di Mesir pada tanggal 20 Mei 1998.
Isi surat itu adalah : "Soeharto harus mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI karena
Jakarta tidak aman lagi". Surat ditandatangani oleh 15 orang, termasuk 14
menteri Kabinet Pembangunan VII, yang merasa telah "meninggalkan" Soeharto.

Puncak kebencian mereka pada zaman orde baru telah meradang dalam gelombang
unjuk rasa mahasiswa yang menimbulkan Tragedi Trisakti pada tanggal 12-20
Mei 1998. Saat itu, Soeharto Hingga akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto
mengundurkan diri dari jabatan presiden, dan pada akhirnya posisi Soeharto digantikan
oleh Baharuddin Jusuf Habibie yang sebelumnya adalah wakil presiden terakhir pada
zaman orde baru. Gerakan mahasiswa Indonesia 1998 memang begitu monumental,
karena telah berhasil menurunkan Soeharto dari jabatannya.

Meski salah satu agenda perjuangan mahasiswa yaitu menuntut lengsernya Soeharto
telah tercapai, namun banyak yang menilai agenda reformasi belum tercapai atau malah
gagal. Sepanjang aksi unjuk rasa itu, ada empat orang yang tertembak aparat kepolisian.
Mereka adalah Elang Mulia Lesmana (1978 - 1998), Heri
Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan
Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di
tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Mereka telah ditemukan
tewas di bekas bangunan mal yang terbakar.

Alhasil, keluarga keempat mahasiswa yang tertembak mengadukan penembakan oleh


aparat yang mereka anggap sebagai pelanggaran ham berat.

Tragedi Semanggi[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Tragedi Semanggi

Meski salah satu agenda perjuangan mahasiswa yaitu menuntut lengsernya Soeharto
telah tercapai, namun banyak yang menilai agenda reformasi belum tercapai atau malah
gagal. Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 juga mencuatkan tragedi Trisakti yang
menewaskan empat orang Pahlawan Reformasi. Pasca Soeharto mundur, nyatanya
masih terjadi kekerasan terhadap rakyat dan mahasiswa, yang antara lain
mengakibatkan tragedi Semanggi yang berlangsung hingga dua kali. Gerakan
Mahasiswa Indonesia 1998 juga memulai babak baru dalam kehidupan bangsa
Indonesia, yaitu era Reformasi. Akhirnya, setelah Soeharto mundur dan Baharuddin
Jusuf Habibie menjadi Presiden RI ke-3 untuk periode 1998-2003,
pada November 1998, muncul kembali Tragedi Semanggi.

Tragedi Semanggi terjadi pada tanggal 11-13 November 1998, dan terjadi kembali pada
tanggal 24 September 1999, ketika zaman Kabinet Reformasi Pembangunan Baharuddin
Jusuf Habibie telah berakhir, walaupun tanpa wakil presiden. Mahasiswa juga
menganggap bahwa rejim Baharuddin Jusuf Habibie masih sama dengan rejim
Soeharto. Kesamaan yang mudah mereka lihat yaitu Dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang
diadakannya Sidang Istimewa itu, masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari
melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di
Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan
dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat
diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa
berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat
dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang
tidak menghendaki aksi mahasiswa.

Keadaan di Gedung Nusantara boleh dikatakan aman terkendali. Tidak ada satupun


mahasiswa yang mengacaukan keamanan berani masuk. Tidak mungkin mereka mampu
menerobos pintu gerbang karena telah digembok dan di-las oleh penjaga yang begitu
ketatnya.

Penjagaan keamanan begitu diperketat sampai ke kawasan Semanggi. Semua kendaraan


pribadi dan umum dikosongkan. Namun, ketika mahasiswa bentrok dengan penjaga
keamanan yang begitu ketatnya, semua mahasiswa berhasil dibubarkan. Namun, ada
sebagian kecil dari mahasiswa yang dibubarkan, mereka meninggal di tempat karena
ditembak aparat. Hal tersebutlah yang membuat peristiwa itu dinamakan sebagai
"Tragedi Trisakti".

Tragedi Semanggi berlanjut pada tanggal 24 September 1999. Sama seperti Tragedi


Trisakti, tragedi ini mampu menurunkan tahta kepresidenan Baharuddin Jusuf
Habibie yang cuma bertahan 1 tahun. Ketika itu, pada awal September 1999, sasaran
unjuk rasa yang mereka tuju adalah rumah dinas BJ Habibie, yang dituding
mendapatkan harta kekayaannnya dari korupsi. Namun, pada 24
September 1999, Baharuddin Jusuf Habibie akhirnya dilengserkan dari jabatannya.
Akhirnya, pada bulan Oktober 1999, MPR menunjuk Abdurrahman
Wahid dan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi Presiden RI 1999-2004,
walaupun Kabinet Persatuan Indonesia Abdurrahman Wahid cuma bertahan 2 tahun.
Sejarah merekam derap aktivisme mahasiswa tersebut, termasuk bagaimana semangat
perlawanan diturunkan dari generasi ke generasi melalui kaderisasi bawah tanah.

Demikian banyak aktivis mahasiswa dari masa ke masa, beberapa di antaranya muncul


sebagai tokoh populer di panggung politik hari ini. Sebut saja Fahri Hamzah, Budiman
Sudjatmiko, Fadli Zon, Fadjroel Rachman, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat,
Adian Napitupulu, Andi Arief, Desmond J Mahesa, Nezar Patria, Mugiyanto, dan
sejumlah nama lain.

Pada dekade 80-an, nama Fadjroel dikenal karena sempat ditunjuk menjadi komandan


lapangan dalam aksi long march sejauh 60 kilometer dari kampus ITB menuju
Cicalengka, Bandung. Aksi Fadjroel dan kawan-kawan mahasiswa sempat dibubarkan
dengan peluru karet polisi.

Kelompok mahasiswa Bandung bersama Fadjroel juga sempat menolak kedatangan


Rudini yang kala itu menjabat Menteri Dalam Negeri di bawah Soeharto. Buntut aksi itu
membawa ia dan rekannya ditangkap dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara.
Sekarang Fadjroel menjabat juru bicara Presiden Joko Widodo.

Dekade 90-an ada Budiman Sudjatmiko dan kawan-kawan yang sempat divonis 13


tahun penjara setelah mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 1996 dan
dituding menjadi dalang peristiwa penyerangan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro,
Jakarta pada 27 Juli 1996. Budiman saat ini tercatat sebagai politikus PDI Perjuangan.

Sementara pendiri Partai Gelombang Rakyat (Gelora), Fahri Hamzah adalah mahasiswa
Universitas Mataram yang turut membidani kelahiran Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI) di Malang.

Bersama KAMMI, Fahri turut ambil bagian dalam melawan kediktatoran rezim Orba,


dan mendukung BJ. Habibie menggantikan Soeharto.
Ada Nezar Patria, anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID)
yang ditangkap di sebuah rumah susun di Klender, Jakarta Timur. Nezar dan beberapa
rekannya juga menjadi korban penculikan oleh Tim Mawar pada Maret 1998. 

Dalam wawancaranya dengan CNNIndonesia.com pada Mei 2016, Nezar menuturkan


pengalamannya saat diculik Tim mawar pada petang 13 Maret 1998 silam.

Mantan jurnalis yang kini ditunjuk sebagai Direktur PT. Post Indonesia itu dijemput
paksa oleh tentara dari kontrakannya di Rusun Klender. Dia disekap selama hampir tiga
bulan di sejumlah lokasi bersama dua kawannya, Mugiyanto dan Aan Rusdianto.
Mereka semua satu kontrakan dan aktivis SMID.

"Agaknya sudah menjadi takdir bagi seluruh aktivis prodemokrasi yang berjuang
melawan politik kediktatoran Orde Baru untuk bersiap menghadapi penjara, intimidasi,
teror dan berbagai bentuk penindasan yang sama sekali tak terbayangkan," tulis Nezar
dalam pengantar testimoni kesaksiannya.

Selain Nezar, Fahri, Fadjroel, maupun Budiman, semua pihak yang mendaku sebagai
aktivis politik di masa Orde Baru punya ceritanya masing-masing.

Tak sedikit masyarakat yang menaruh hormat kepada mereka karena dianggap telah
membidani era baru bagi Indonesia, yakni era demokratisasi.

Demokratisasi pasca kejatuhan Orde Baru ditandai dengan kebebasan berpendapat di


ruang publik; penghapusan dwi fungsi tentara; dan pemilu langsung dengan pembatasan
periode kekuasaan.

Generasi '98 jadi angkatan paling dominan di kancah politik hari ini. Namun, pemerhati
sosial dan politik, Ray Rangkuti menyebut saat ini label aktivis '98 tak memiliki definisi
khusus.
Menurut dia, semua orang dapat mendaku sebagai aktivis karena terlibat dalam
rangkaian proses penjatuhan Presiden Soeharto. Keterlibatan mereka dilakukan baik
secara langsung maupun tidak langsung.

Gerakan langsung biasanya dilakukan mahasiswa dengan cara mengorganisir massa dan


aksi turun ke jalan atau berdemonstrasi. Sedangkan, gerakan tidak langsung dilakukan
mahasiswa lewat penyampaian gagasan dalam tulisan untuk membangun wacana kontra
pemerintah.

"Jadi semua, mereka atau mahasiswa kebetulan masih jadi mahasiswa, statusnya saat itu
mereka yang terlibat dalam aksi-aksi gerakan mahasiswa, baik langsung ataupun tidak
langsung ya itulah yang didefinisikan sebagai aktivis mahasiswa '98," kata dia
kepada CNNIndonesia.com, Minggu (25/10).

Oleh sebab itu, menurut Ray, semua orang bisa mengaku sebagai mantan aktivis '98.
Bahkan, label aktivis '98 kerap diklaim oleh seseorang yang kiprahnya tak banyak
terdengar di tahun-tahun itu.
Jerat Politik Praktis

Konsep stabilitas politik yang diterapkan pada masa Orde Baru menimbulkan kebijakan
dan peristiwa politik penting di Indonesia. Kebijakan stabilitas politik rezim Orde Baru
yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto mendapat banyak perlawanan
di kalangan masyarakat dan politisi. Berikut kondisi politik masa Orde Baru: De-
Soekarnoisasi De-Soekarnoisasi adalah istilah yang merujuk pada upaya untuk
menghilangkan pengaruh-pengaruh Soekarno dalam tatanan kehidupan masyarakat
Indonesia. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005) karya M.C
Ricklefs, beragam ideologi Soekarno dinyatakan tidak lagi menjadi ideologi negara dan
direduksi menjadi ideologi Pancasila saja. Pada Agustus 1967, Pemerintah Orde Baru
juga menghapuskan lembaga-lembaga negara yang berkaitan dengan Soekarno. Baca
juga: Sistem Kepartaian masa Orde Baru Peristiwa Malari Peristiwa Malari (Malapetaka
Lima Belas Januari) terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa Malari merupakan peristiwa
demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa untuk mengkritisi kebijakan investasi dan
korporasi pemerintah Orde Baru. Demonstrasi tersebut berujung dengan kerusuhan
sosial di Jakarta. Peristiwa Malari bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri
Jepang Kakuei Tanaka di Indonesia. Dalam buku Indonesia Beyond Soeharto: Negara,
Ekonomi, Masyarakat dan Transisi (2001) karya Donald K Emerson, peristiwa Malari
mengakibatkan pengrusakan produk mobil dan motor Jepang, bangunan, dan menelan
korban jiwa. Petisi 50 Pada September 1976, Sawito Kartowibowo melakukan kritik
terhadap praktik korupsi rezim Orde Baru dengan menulis sebuah dokumen berjudul
‘’Menuju Keselamatan”. Setelah itu, Sawito juga membuat dokumen petisi 50 yang
berisi kritik tentang penggunaan ideologi Pancasila sebagai alat untuk membasmi lawan
politiknya. Baca juga: Program Ekonomi masa Orde Baru Sawito meminta restu dari
beberapa tokoh nasional untuk memuluskan jalannya seperti Mohammad Hatta, TB
Simatupang (pendiri ABRI), Buya Hamka, Natsir, Burhanudin Harahap, Ali Sadikini
dll. Penahanan Tokoh Politik dan Pembredelan Media Massa Rezim Orde Baru
menggunakan cara-cara yang represif untuk mengendalikan gejolak-gejolak politik yang
timbul dari masyarakat. Pemerintah Orde Baru yang bercorak militeristik otoriter,
melakukan banyak penahanan politik kepada mahasiswa, tokoh politik dan eks
simpatisan PKI. Pemerintah Orde Baru menggunakan isu komunisme untuk melakukan
penahanan terhadap lawan-lawan politiknya. Pada tahun 1978, terjadi lebih dari
penahanan terhadap orang-orang yang dianggap berhubungan dengan peristiwa G30S.
Baca juga: Terjadinya Perubahan Masyarakat Masa Orde Baru Hingga Reformasi
Demonstrasi mahasiswa di kampus-kampus banyak yang menyuarakan tentang isu
korupsi, kolusi dan nepotisme dari rezim Orde Baru. Pada tahun 1979, ketua Dewan
Mahasiswa ITB bernama Herry Akhmadi dipenjarakan selama 2 tahun karena dianggap
menghina Presiden, DPR dan MPR. Pembredelan media massa oleh rezim Orde Baru
bertujuan untuk membungkam kritik yang dianggap membahayakan bagi
keberlangsungan pemerintahan. Surat kabar Harian Islam, Pelita dan Tempo dilarang
terbit karena memberitakan kekerasan kampanye berskala besar pada 1982.

Di Zaman Orde Baru, hanya ada tiga partai yang diperbolehkan ikut Pemilu. Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Dari sembilan partai besar di Indonesia plus organisasi di bawah
naungan Golkar, Ini cara Soeharto meringkasnya menjadi tiga saja. Mula Strategi
untuk Legitimasi
Pemilu pertama era Orde Baru yang digelar pada 1971 diiringi sejumlah aksi
pembenaman kekuatan politik sisa Orde Lama. Soeharto, lewat Operasi Khusus yang
dipimpin Ali Moertopo, mengobrak-abrik Partai Nasional Indonesia (PNI).

Sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008)


mencatat, meski kalangan anti-Sukarno di militer dan kelompok Islam menginginkan
PNI dibubarkan, Soeharto masih mencemaskan apa yang ia sebut sebagai fanatisme
Islam, sehingga ia menganggap PNI bisa menjadi penyeimbangnya. Karena itu Soeharto
tidak melarang partai berlambang banteng tersebut, melainkan hanya membersihkannya.

“Dia (Soeharto) mengatur kongres PNI yang menurunkan kepemimpinan orang-orang


Sukarnois di bawah Ali Sastroamidjojo,” tulis Ricklefs.

Sedangkan suara Islam modernis yang menghendaki kembali ke gelanggang politik


setelah Masyumi dibubarkan ditampung lewat pendirian Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi), yang dikontrol ketat oleh pemerintah.

“Walaupun perwujudan Parmusi untuk menampung eks-Masjumi, namun rezim tetap


saja melarang aktivis eks-Masjumi duduk dalam kepengurusan Parmusi. Bahkan untuk
kepemimpinan partai dan kepengurusannya, rezim dapat memasukkan dan
mengeluarkan orang-orang yang dikehendaki penguasa,” tulis Tohir Bawazir
dalam Jalan Tengah Demokrasi: antara Fundamentalisme dan Sekularisme (2015).

Hasilnya Parmusi hanya meraih suara di bawah 10 persen. Jauh dari raihan suara
Masyumi pada Pemilu 1955. Suara PNI pun tak jauh berbeda. Mereka tak mampu
mengulang kejayaan para pendahulunya yang memenangkan Pemilu 1955.

Meski dua partai sisa Orde Lama itu masuk empat besar pada Pemilu 1971, suara
mereka tak sepadan dengan raihan suara Golkar yang melambung di atas 60 persen.
Bahkan mereka tertinggal jauh dari suara NU yang hampir mencapai 20 persen.
Ketakutan Orde Baru terhadap kekuatan politik lawas sementara teratasi.

Lebih dari itu, hasil Pemilu 1971, sebagai pemilu pertama era Orde Baru, merupakan
keberhasilan rezim dalam membangun citra bahwa Soeharto adalah penguasa yang
dipilih rakyat secara demokratis dan karenanya memiliki legitimasi.

“Legitimasi Pemilu 1971 adalah modal penting bagi awal kekuasaan Orde Baru yang
langgeng,” tulis Muridan S. Widjojo dalam Bahasa Negara versus Bahasa
Gerakan (2004).

Namun hal itu rupanya belum cukup. Orde Baru masih khawatir dengan keberadaan
banyak partai yang bagi mereka adalah ancaman stabilitas politik. Maka pada 1973,
lewat MPR yang hampir seluruhnya dikuasai Golkar, dikeluarkanlah GBHN tentang
pentingnya pengelompokan organisasi peserta pemilu alias fusi atau peleburan.

Partai-partai berhaluan Islam, yakni NU, Parmusi, PSII, dan Perti, dilebur
menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara partai nasionalis beserta
partai agama non-Islam, yakni PNI, Murba, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik,
digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Peleburan itu membuat wajah partai politik Indonesia menjadi sederhana, karena itu
lebih mudah dikontrol penguasa. Maka pada pemilu berikutnya, yakni tahun 1977,
Golkar sebagai kendaraan politik Soeharto tak menemui rintangan berarti. Mereka
kembali memenangi pemilu secara telak.

Baca juga: Menggugat Soeharto yang Menyalahgunakan Pancasila

“Kebijakan” Lanjutan demi Langgeng Kuasa


Setelah berhasil mengatasi ancaman kekuatan Orde Lama dan mengerdilkan partai
politik yang tersisa, Soeharto agak bernapas lega dan ingin berpesta. Maka menjelang
Pemilu 1982, ia menggulirkan istilah “pesta demokrasi”.

Di hadapan para gubernur, bupati, dan walikota se-Indonesia pada Februari 1981,
Soeharto berkata dengan amat jatmika namun mematikan: “Pemilu harus dirasakan
sebagai pesta poranya demokrasi, sebagai penggunaan hak demokrasi yang bertanggung
jawab dan sama sekali tidak berubah menjadi sesuatu yang menegangkan dan
mencekam.”

“Pesta Demokrasi” itu memang menjadi pesta bagi Golkar. Pada Pemilu 1982 dan 1987,
kendaraan politik Soeharto itu lagi-lagi tak terkalahkan dengan sejumlah kecurangan
yang begitu telanjang.
Dalam catatan Ricklefs, sejak Pemilu 1971, Orde Baru lewat Ali Moertopo, Amir
Mahmud (Menteri Dalam Negeri), dan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib) menyaring kandidat semua partai dan mendiskualifikasi sekitar 20 persen.

“Para perwira militer dan pejabat-pejabat yang turun ke desa diwajibkan menarik suara
[untuk Golkar] dalam jumlah yang sudah ditentukan. Intimidasi disebarluaskan,” imbuh
Ricklefs.

Baca juga: Rekor Kecurangan Pemilu di Indonesia Dipegang oleh Orde Baru

Mobilisasi militer dan birokrat kemudian diperkuat dengan penyusunan undang-undang


pemilu dan kepartaian yang sepenuhnya menguntungkan Golkar. Salah satu yang paling
mencolok, sebagaimana dicatat dalam Krisis Masa Kini dan Orde Baru (2003)
suntingan Muhamad Hisyam, adalah pelarangan pembentukan cabang-cabang partai di
bawah tingkat provinsi. Padahal Golkar secara permanen ada dalam birokrasi. Artinya,
di level wilayah adiministratif yang lebih kecil dari provinsi, Golkar sangat leluasa
melakukan kerja-kerja politik tanpa gangguan dari para pesaingnya.

Selain itu, pada Pemilu 1987, masa kampanye yang sebelumnya 45 hari dibatasi
menjadi hanya 25 hari. Mobilisasi massa dan komunikasi partai dengan simpatisannya
jelas menjadi semakin sempit.

“[Pemerintah] juga melarang kampanye yang mengkritik kebijakan-kebijakan


pemerintah dan memberikan kekuasaan badan-badan pemerintahan lokal pro-Golkar
yang dapat digunakan sesukanya atas izin pertemuan kampanye dan rapat umum,”
imbuh Hisyam.

Baca juga: Warisan Orde Baru dalam Pemilu 2019: Politik Massa Mengambang

Dengan kontrol penuh terhadap hampir semua sumber daya politik, tak heran bahwa
kemenangan Golkar pada setiap pemilu sepasti matahari terbit dari ufuk timur. Bahkan
pada dua pemilu terakhir menjelang runtuhnya kekuasaan Orde Baru, sejumlah
kecurangan membuat Golkar menang sangat mutlak.

Demokrasi seperti inilah yang disebut Soeharto sebagai Demokrasi Pancasila yang
“memerlukan sikap mental yang dewasa dan rasa tanggung jawab yang besar, serta
menghargai pendapat orang lain.”

Dan itulah enam kali pemilu dalam tiga dasawarsa yang sesak oleh kecurangan di atas
kecurangan, yang kata Titiek tak lebih buruk dari Pemilu 2019. Padahal, sejatinya,
demokrasi adalah musuh daripada Soeharto.

Pemilu pertama era Orde Baru digelar tahun 1971. Ini adalah pemilu kedua di
Indonesia. Satu-satunya Pemilu sebelumnya yang pernah digelar adalah tahun 1955 di
era Soekarno.

Dalam Pemilu 1971 ada 360 kursi yang diperebutkan sembilan parpol dan Sekber
Golongan Karya. Jumlah ini ditambah 100 kursi dari Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia atau TNI. Jumlah total kursi di DPR menjadi 460.
Golkar tak masuk ke dalam sembilan parpol itu. Dia merupakan gabungan dari sekitar
200 organisasi penyokong Orde Baru yang kemudian menjadi satu bendera Golongan
Karya.
Golkar tercatat sebagai pemenang dengan 227 kursi di DPR. NU mendapat 58 kursi,
Parmusi 24 kursi. Lalu PNI mendapat 20 kursi. Sisanya direbut Parkindo, Murba dan
Partai Katolik.
Setelah Pemilu 1971, Soeharto berpendapat tak perlu terlalu banyak partai di Indonesia.
Dia berkaca pada kegagalan konstituante tahun 1955-1959, dimana seluruh parpol cuma
berdebat dan ngotot sehingga tak ada keputusan yang bisa diambil.

Soeharto memanggil para ketua parpol dan menjelaskan pemikirannya. Menurutnya


Parpol harus menyeimbangkan antara material dan spiritual. Kira-kira Nasionalis
Religius atau Religius Nasionalis, kalau istilah parpol zaman sekarang.

"Dengan demikian maka kita sampai pada pikiran, cukuplah kita adakan dua kelompok
saja dari sembilan partai, ditambah satu kelompok dari Golongan Karya. Tetapi tanpa
dipaksa," kata Soeharto dalam Biografinya yang berjudul Pikiran, Ucapan dan Tindakan
Saya yang ditulis Ramadhan KH dan G Dwipayana.

Partai Katolik, PNI dan IPKI mengerucut menjadi satu di PDI. Sementara parpol Islam
yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan Perti mengelompok jadi satu.
"Saya tekankan jangan menonjolkan agamanya. Karena itu namanya pun tidaklah
menyebut-nyebut Islam. melainkan Partai Persatuan Pembangunan dengan program
spiritual-materil," kata Soeharto.

Sementara organisasi di bawah Golkar tumbuh sebagai satu kekuatan sendiri.

Maka di DPR kemudian terbentuklah tiga fraksi. Yaitu Partai Persatuan Pembangunan,
Partai Demokrasi Indonesia dan Golongan Karya.
Pasca Orba jatuh, satu dari sekian wacana yang kemudian lahir di antara para aktivis
yakni, perdebatan mengenai kiprah mereka di dunia politik. Menurut Ray, wacana itu
panas diperdebatkan karena mengingat trauma sejarah.

Trauma yang dimaksud merujuk pada pengalaman rekan-rekan aktivis generasi


sebelumnya. Menurut Ray, para aktivis '98 kala itu menyesalkan generasi aktivis
sebelum mereka yang tak membawa prinsip perubahan setelah masuk politik praktis dan
berada di lingkaran kekuasaan.

Belajar dari sejarah itu, kata Ray, mereka kemudian memperdebatkan, apakah para
aktivis boleh berkiprah di dunia politik pasca kejatuhan Soeharto.

"Apakah kita para aktivis ini terlibat aktif di dunia politik atau tidak. Kenapa?
Mengingat ada trauma sejarah itu. Yang ada hanya mereka memperkuat, mempertebal,
dan melindungi rezim Orde Baru. Kira-kira begitu." ungkap Ray.

"Trauma itu sebetulnya cukup berdengung, di kalangan aktivis '98 itu sehingga agak
terlambat di dunia politik. Pada '99 itu kan rata-rata menahan diri semua," imbuhnya.

Puncak perdebatan itu kemudian dibahas dalam pertemuan di antara mereka pada 2004.
Dalam sebuah pertemuan yang digelar di gedung Mahkamah Konstitusi, Ray mengaku
dipercayai tanggung jawab mengumpulkan sekitar 200 mantan aktivis '98.

Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa para aktivis '98 tak haram aktif dalam
politik formal.

"Nah, sejak saat itulah mulai tradisi aktivis 98 itu masuk ke dunia politik formal. Baik di
tingkat nasional maupun di tingkat kabupaten kota, atau daerah itu," kata dia.

Ray menuturkan, masuknya para aktivis ke gelanggang politik praktis sebenarnya


sempat menghadirkan asa perubahan sesuai cita-cita reformasi.
Wacana HAM yang kian menguat, terbentuknya lembaga-lembaga demokratis, hingga
kebebasan berpendapat yang ikut terdorong sedemikian kuat. Namun, kian masuk dalam
lingkar kekuasaan, Ray menilai para aktivis '98 belakangan justru memperlihatkan
gelagat yang mengkhawatirkan.

Menurut dia para aktivis '98 yang saat ini bercokol di partai politik justru mengulangi
kesalahan kelompok aktivis sebelum mereka.

Para aktivis saat ini ,baik di parlemen maupun pemerintah, menurut Ray sama sekali tak
memiliki gagasan perubahan. Ia mengkritik mereka karena semakin terbelenggu partai.

Dalam banyak hal-hal penting, Ray menyebut para aktivis '98 justru lebih condong
menyuarakan gagasan partai yang justru kerap menyakitkan bagi rakyat.

"Revisi UU KPK, MK, Minerba, Omnibus law. Contoh-contohnya lah itu. Kita enggak
tahu mereka juga nggak bersuara soal dinasti politik yang makin marak, padahal itu
menyalahi prinsip apa yang kita sebut sebagai arti KKN pada 98, katanya.

Aktivis mahasiswa hari ini, yang lantang menolak Omnibus Law Cipta Kerja, atau aktif
mengorganisir dan memberikan pemahaman politik kepada rakyat, pantas belajar dari
pengalaman generasi aktivis sebelum mereka agar tidak terjebak di lubang yang sama.
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Mahasiswa adalah salah satu elemen penting yang diharapakan dapat melakukan
perubahan dan memberikan kontribusi nyata terhadap bangsa dan negaranya. Menjadi
mahasiswa seharusnya menjadi langkah awal yang nyata untuk melakukan perubahan.
Rasa idealisme yang ada pada diri mahasiswa sudah seharusnya di dukung oleh seluruh
masyarakat sebagai salah satu alat aspirasi masyarakat untuk membawa bangsa ke arah
yang lebih baik.
Namun melihat fenomena yang ada sekarang ini, pemerintah cenderung mematikan
karakter para mahasiswa dengan menerapkan kurikulum-kurikulum yang sekuler yang
menjadikan mahasiswa sibuk mementingkan kepentingan dirinya sendiri yakni
bagaimana cara mendapat nilai yang baik, lulus tepat waktu, dan bekerja di perusahaan
dengan mendapat gaji besar, bahkan saat ini mahasiswa lebih merasa bangga ketika
mereka lulus dan bekerja di negara asing. Tidakkah mereka ingin memberikan
kontribusinya kepada bangsa ini? Mereka dididik di tanah air hanya untuk melakukan
perbaikan di negara lain. Sungguh itu merupakan realita yang menyedihkan.
Pemerintah yang merasa kedaulatannya terancam oleh semangat dan rasa idealisme
tinggi para mahasiswa kini menerapkan kurikulum-kurikulum sekuler menjadikan
mahasiswa disibukkan dengan kepentingan materi kuliah sehingga mahasiswa tidak lagi
peduli terhadap apa yang terjadi di lingkungan mereka. Hal ini yang menjadikan
mahasiswa Indonesia seperti hidup dalam pemerintahan yang diktator.

Anda mungkin juga menyukai