PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bulan September dan Oktober kerap disebut sebagai bulan kelahiran Orde Baru
di Indonesia. Akhir september, pada 1965, pembunuhan terhadap jenderal-jenderal
Angkatan Darat menjadi kelokan tajam yang mengubah secara drastis perjalanan
republik. Peristiwa pembunuhan jenderal Angkatan Darat itu segera disusul rentetan
pembunuhan massal terhadap ratusan ribu bahkan jutaan orang yang dianggap sebagai
anggota PKI atau simpatisan komunis. Momen-momen itu menjadi karpet merah bagi
datangnya rezim Orde Baru.
Banyak kajian yang mengupas tentang bagaimana proses kelahiran rezim baru
ini bermula. Mulai dari sistem ekonomi politik yang dibangun sampai proses
konsolidasi kekuasaan jenderal-jenderal militer penyokong Soeharto.
Gerakan mahasiswa Indonesia 1998
Kejatuhan rezim Orde Baru, salah satunya adalah buah dari gerilya aktivisme
mahasiswa yang terentang sejak 1970-an hingga di 1990-an. Jalan panjang aktivisme
tersebut mencapai puncaknya pada 1998, ketika gerakan mahasiswa berhasil menduduki
Gedung Parlemen yang berujung mundurnya Presiden Soeharto. Gelombang unjuk rasa
yang digalang gerakan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat berhasil
meruntuhkan rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998. Sejarah mencatat, Yogyakarta
menjadi salah satu kota yang mengawali aksi demo dengan tuntutan: turunkan Presiden
Soeharto!
Namun, setelah hasil referendum diumumkan, datang tekanan dari kampus, bahkan dari
intel militer dan aparat kepolisian. Para mahasiswa tidak kehilangan akal. Hasil
referendum tersebut kemudian mereka laporkan ke media-media non-mainstream,
termasuk BBC, Suara Australia, VOA, dan lain-lain.
Tuntut Presiden Turun
Pemberitaan media-media non-mainstream terkait sikap mahasiswa, termasuk di
Yogyakarta, atas rencana pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden membuat
situasi semakin panas. Gerakan mahasiswa di Yogyakarta pun kian bernyali untuk
bergerak lebih masif lagi.
Pada Minggu, 8 Maret 1998, mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung
Yogyakarta menggelar aksi “Diam Menuntut Perubahan” di Jalan Malioboro. Namun,
tulis Octo Lampito dalam Lengser Keprabon (1998), ketika mereka hendak bergerak
menuju Alun-Alun Utara, aparat telah mengadang. Para peserta aksi itu dinaikkan ke
truk dan diangkut ke markas Polresta Yogyakarta.
Rezim penguasa jalan terus. Pada 10 Maret 1998, Sidang Umum MPR memilih
Soeharto dan BJ Habibie sebagai presiden dan wapres untuk periode 1998-2003.
Esoknya, tanggal 11 Maret 1998 yang bertepatan dengan peringatan Supersemar,
barisan mahasiswa di Yogyakarta menyambut pelantikan Soeharto dengan unjuk rasa.
Aksi serupa juga dilakukan di berbagai perguruan tinggi di beberapa kota besar lainnya.
Di Surabaya dan Solo, misalnya, bahkan terjadi bentrokan antara petugas keamanan dan
pengunjukrasa.
Pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) kala itu, Wiranto
Arismunandar, yang menuding bahwa mahasiswa amatiran dalam berpolitik membuat
situasi semakin gerah.
Awal April 1998, saat Mendikbud hendak melantik Rektor UGM di Yogyakarta,
mahasiswa menggelar berbagai kegiatan untuk menyambut sang menteri, dari
demonstrasi, aksi mogok makan, hingga mimbar bebas. Mereka menuntut Mendikbud
agar menarik kembali ucapan yang menyakitkan itu.
Sayangnya, dikutip dari penelitian Angga Apip Wahyu Saputra dari Jurusan Pendidikan
Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), bertajuk
“Peranan Mahasiswa Yogyakarta dalam Perjuangan Reformasi di Indonesia” (2012),
upaya itu gagal karena Mendikbud meninggalkan UGM lebih awal dari jadwal.
Rangkaian aksi protes yang terjadi di berbagai kota termasuk Yogyakarta sempat
membuat Presiden Soeharto menyampaikan pernyataan bahwa reformasi bisa dilakukan
saat itu juga. Namun, statement itu dinilai tidak serius dan hanya sebagai taktik agar
demonstrasi mereda. Mahasiswa tetap menginginkan Soeharto lengser.
Para peserta aksi dianggap mengganggu ketertiban umum oleh aparat. Polisi kemudian
menawarkan kepada mahasiswa agar menumpang bus–agar lebih mudah diawasi dan
menghindari mobilisasi massa yang lebih besar, namun ditolak.
Mahasiswa tetap bergerak dan terjadilah bentrokan. Selama lebih dari sejam, tulis
Samsu Rizal Panggabean dalam Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia (2018),
aparat dan mahasiswa saling melempar batu.
Keesokan harinya mahasiswa berencana demonstrasi lagi, kali ini tujuannya adalah
Keraton Yogyakarta. Kala itu, Sultan Hamengkubuwana X belum menyampaikan
dukungannya terhadap gerakan reformasi.
Aparat kembali mengingatkan agar mahasiswa tidak keluar kampus. Sebagian ada yang
patuh, namun tidak sedikit pula yang tetap bergerak dan berusaha menembus blokade
polisi. Terjadi aksi saling dorong, yang disusul dengan gesekan fisik.
Hari demi hari di Yogyakarta saat itu memang sering sekali diwarnai dengan aksi
demonstrasi.
Dalam peringatan Hari Kartini di Yogyakarta pada 21 April 1998, mahasiswa bersama
elemen masyarakat lainnya termasuk dosen, agamawan, pelajar, hingga seniman
berkumpul di depan Gedung Sabha Pramana UGM.
Para peserta aksi yang jumlahnya mencapai 15 ribu orang ini, dinukil dari Bergerak:
Media Aksi Mahasiswa UI (1998), tergabung dalam Rapat Akbar Masyarakat
Yogyakarta. Mereka menginginkan perubahan dan mengungkapkan keprihatinan atas
apa yang tengah menimpa ibu pertiwi.
Berikutnya tanggal 5 Mei 1998. Dikutip dari tulisan Hendra Kurniawan berjudul
“Mengenang Gejayan Kelabu” yang dimuat di Kedaulatan Rakyat (8 Mei 2018),
mahasiswa mulai bergerak dan harus menghadapi kekuatan aparat keamanan. Bentrok
fisik tak terelakkan.
Keesokan harinya, mahasiswa dari beberapa kampus di Yogyakarta kembali menggelar
unjuk rasa, termasuk UGM, UNY (dulu bernama IKIP Yogyakarta), Universitas Sanata
Dharma (USD), dan UIN atau IAIN Sunan Kalijaga.
Di Jalan Gejayan (kini Jalan Affandi) yang melewati IKIP dan Sanata Dharma, terjadi
kericuhan. Polisi mengejar mahasiswa sampai ke dalam kampus. Sebanyak 29 orang
demonstran ditangkap.
Puncak unjuk rasa di Yogyakarta terjadi pada 8 Mei 1998. Selepas salat Jumat, ribuan
mahasiswa menggelar aksi di Bundaran UGM dan berlangsung tertib. Mereka
menyatakan keprihatinan atas kondisi perekonomian negara, penolakan Soeharto
sebagai presiden kembali, memprotes kenaikan harga, serta mendesak segera dilakukan
reformasi.
Menjelang sore, para mahasiswa dan masyarakat dari Jalan Gejayan bergerak menuju
Bundaran UGM untuk bergabung dengan barisan pengunjukrasa di sana. Namun aparat
keamanan tidak mengizinkan. Suasana mulai panas.
Bentrok pecah sekitar pukul 17.00 WIB. Dirangkum dari berbagai sumber, pasukan
keamanan menggerakkan panser penyemprot air dan tembakan gas air mata untuk
membubarkan aksi massa di pertigaan antara Jalan Gejayan dan Jalan Kolombo.
Suasana mencekam terus terasa di Jalan Gejayan dan sekitarnya hingga malam hari.
Masih ada sebagian orang yang bertahan dalam kepungan polisi dan tentara. Aparat
mengisolir dan menutup jalan-jalan menuju tempat kejadian perkara.
Jumat kelabu ini tak hanya menyebabkan banyak korban luka-luka dari kalangan
mahasiswa, namun juga warga biasa. Bahkan, ada pula yang harus kehilangan nyawa.
Seorang mahasiswa bernama Moses Gatotkaca ditemukan bersimbah darah dan
meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Dari Gejayan, berbagai elemen rakyat dan mahasiswa bergerak ke Jakarta menuju
Senayan, bergabung dengan barisan serupa yang datang dari seluruh penjuru Nusantara.
Tanggal 21 Mei 1998, reformasi akhirnya terwujud. Soeharto lengser, Orde Baru
tumbang
Meski salah satu agenda perjuangan mahasiswa yaitu menuntut lengsernya sang
Presiden tercapai, namun banyak yang menilai agenda reformasi belum tercapai atau
malah gagal. Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 juga mencuatkan tragedi
Trisakti yang menewaskan empat orang Pahlawan Reformasi. Pasca Soeharto mundur,
nyatanya masih terjadi kekerasan terhadap rakyat dan mahasiswa, yang antara lain
mengakibatkan tragedi Semanggi yang berlangsung hingga dua kali. Gerakan
Mahasiswa Indonesia 1998 juga memulai babak baru dalam kehidupan bangsa
Indonesia, yaitu era Reformasi.
Sampai saat ini, masih ada unjuk rasa untuk menuntut keadilan akibat pelanggaran
HAM berupa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh aparat terhadap keempat
orang mahasiswa.
Ini adalah insiden terbaru, ketika mahasiswa Indonesia meneriakkan aspirasi rakyat dan
dipukuli karena dianggap akan menimbulkan gangguan.
Puncak kebencian mereka pada zaman orde baru telah meradang dalam gelombang
unjuk rasa mahasiswa yang menimbulkan Tragedi Trisakti pada tanggal 12-20
Mei 1998. Saat itu, Soeharto Hingga akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto
mengundurkan diri dari jabatan presiden, dan pada akhirnya posisi Soeharto digantikan
oleh Baharuddin Jusuf Habibie yang sebelumnya adalah wakil presiden terakhir pada
zaman orde baru. Gerakan mahasiswa Indonesia 1998 memang begitu monumental,
karena telah berhasil menurunkan Soeharto dari jabatannya.
Meski salah satu agenda perjuangan mahasiswa yaitu menuntut lengsernya Soeharto
telah tercapai, namun banyak yang menilai agenda reformasi belum tercapai atau malah
gagal. Sepanjang aksi unjuk rasa itu, ada empat orang yang tertembak aparat kepolisian.
Mereka adalah Elang Mulia Lesmana (1978 - 1998), Heri
Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan
Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di
tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Mereka telah ditemukan
tewas di bekas bangunan mal yang terbakar.
Meski salah satu agenda perjuangan mahasiswa yaitu menuntut lengsernya Soeharto
telah tercapai, namun banyak yang menilai agenda reformasi belum tercapai atau malah
gagal. Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 juga mencuatkan tragedi Trisakti yang
menewaskan empat orang Pahlawan Reformasi. Pasca Soeharto mundur, nyatanya
masih terjadi kekerasan terhadap rakyat dan mahasiswa, yang antara lain
mengakibatkan tragedi Semanggi yang berlangsung hingga dua kali. Gerakan
Mahasiswa Indonesia 1998 juga memulai babak baru dalam kehidupan bangsa
Indonesia, yaitu era Reformasi. Akhirnya, setelah Soeharto mundur dan Baharuddin
Jusuf Habibie menjadi Presiden RI ke-3 untuk periode 1998-2003,
pada November 1998, muncul kembali Tragedi Semanggi.
Tragedi Semanggi terjadi pada tanggal 11-13 November 1998, dan terjadi kembali pada
tanggal 24 September 1999, ketika zaman Kabinet Reformasi Pembangunan Baharuddin
Jusuf Habibie telah berakhir, walaupun tanpa wakil presiden. Mahasiswa juga
menganggap bahwa rejim Baharuddin Jusuf Habibie masih sama dengan rejim
Soeharto. Kesamaan yang mudah mereka lihat yaitu Dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang
diadakannya Sidang Istimewa itu, masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari
melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di
Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan
dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat
diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa
berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat
dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang
tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Sementara pendiri Partai Gelombang Rakyat (Gelora), Fahri Hamzah adalah mahasiswa
Universitas Mataram yang turut membidani kelahiran Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI) di Malang.
Mantan jurnalis yang kini ditunjuk sebagai Direktur PT. Post Indonesia itu dijemput
paksa oleh tentara dari kontrakannya di Rusun Klender. Dia disekap selama hampir tiga
bulan di sejumlah lokasi bersama dua kawannya, Mugiyanto dan Aan Rusdianto.
Mereka semua satu kontrakan dan aktivis SMID.
"Agaknya sudah menjadi takdir bagi seluruh aktivis prodemokrasi yang berjuang
melawan politik kediktatoran Orde Baru untuk bersiap menghadapi penjara, intimidasi,
teror dan berbagai bentuk penindasan yang sama sekali tak terbayangkan," tulis Nezar
dalam pengantar testimoni kesaksiannya.
Selain Nezar, Fahri, Fadjroel, maupun Budiman, semua pihak yang mendaku sebagai
aktivis politik di masa Orde Baru punya ceritanya masing-masing.
Tak sedikit masyarakat yang menaruh hormat kepada mereka karena dianggap telah
membidani era baru bagi Indonesia, yakni era demokratisasi.
Generasi '98 jadi angkatan paling dominan di kancah politik hari ini. Namun, pemerhati
sosial dan politik, Ray Rangkuti menyebut saat ini label aktivis '98 tak memiliki definisi
khusus.
Menurut dia, semua orang dapat mendaku sebagai aktivis karena terlibat dalam
rangkaian proses penjatuhan Presiden Soeharto. Keterlibatan mereka dilakukan baik
secara langsung maupun tidak langsung.
"Jadi semua, mereka atau mahasiswa kebetulan masih jadi mahasiswa, statusnya saat itu
mereka yang terlibat dalam aksi-aksi gerakan mahasiswa, baik langsung ataupun tidak
langsung ya itulah yang didefinisikan sebagai aktivis mahasiswa '98," kata dia
kepada CNNIndonesia.com, Minggu (25/10).
Oleh sebab itu, menurut Ray, semua orang bisa mengaku sebagai mantan aktivis '98.
Bahkan, label aktivis '98 kerap diklaim oleh seseorang yang kiprahnya tak banyak
terdengar di tahun-tahun itu.
Jerat Politik Praktis
Konsep stabilitas politik yang diterapkan pada masa Orde Baru menimbulkan kebijakan
dan peristiwa politik penting di Indonesia. Kebijakan stabilitas politik rezim Orde Baru
yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto mendapat banyak perlawanan
di kalangan masyarakat dan politisi. Berikut kondisi politik masa Orde Baru: De-
Soekarnoisasi De-Soekarnoisasi adalah istilah yang merujuk pada upaya untuk
menghilangkan pengaruh-pengaruh Soekarno dalam tatanan kehidupan masyarakat
Indonesia. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005) karya M.C
Ricklefs, beragam ideologi Soekarno dinyatakan tidak lagi menjadi ideologi negara dan
direduksi menjadi ideologi Pancasila saja. Pada Agustus 1967, Pemerintah Orde Baru
juga menghapuskan lembaga-lembaga negara yang berkaitan dengan Soekarno. Baca
juga: Sistem Kepartaian masa Orde Baru Peristiwa Malari Peristiwa Malari (Malapetaka
Lima Belas Januari) terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa Malari merupakan peristiwa
demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa untuk mengkritisi kebijakan investasi dan
korporasi pemerintah Orde Baru. Demonstrasi tersebut berujung dengan kerusuhan
sosial di Jakarta. Peristiwa Malari bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri
Jepang Kakuei Tanaka di Indonesia. Dalam buku Indonesia Beyond Soeharto: Negara,
Ekonomi, Masyarakat dan Transisi (2001) karya Donald K Emerson, peristiwa Malari
mengakibatkan pengrusakan produk mobil dan motor Jepang, bangunan, dan menelan
korban jiwa. Petisi 50 Pada September 1976, Sawito Kartowibowo melakukan kritik
terhadap praktik korupsi rezim Orde Baru dengan menulis sebuah dokumen berjudul
‘’Menuju Keselamatan”. Setelah itu, Sawito juga membuat dokumen petisi 50 yang
berisi kritik tentang penggunaan ideologi Pancasila sebagai alat untuk membasmi lawan
politiknya. Baca juga: Program Ekonomi masa Orde Baru Sawito meminta restu dari
beberapa tokoh nasional untuk memuluskan jalannya seperti Mohammad Hatta, TB
Simatupang (pendiri ABRI), Buya Hamka, Natsir, Burhanudin Harahap, Ali Sadikini
dll. Penahanan Tokoh Politik dan Pembredelan Media Massa Rezim Orde Baru
menggunakan cara-cara yang represif untuk mengendalikan gejolak-gejolak politik yang
timbul dari masyarakat. Pemerintah Orde Baru yang bercorak militeristik otoriter,
melakukan banyak penahanan politik kepada mahasiswa, tokoh politik dan eks
simpatisan PKI. Pemerintah Orde Baru menggunakan isu komunisme untuk melakukan
penahanan terhadap lawan-lawan politiknya. Pada tahun 1978, terjadi lebih dari
penahanan terhadap orang-orang yang dianggap berhubungan dengan peristiwa G30S.
Baca juga: Terjadinya Perubahan Masyarakat Masa Orde Baru Hingga Reformasi
Demonstrasi mahasiswa di kampus-kampus banyak yang menyuarakan tentang isu
korupsi, kolusi dan nepotisme dari rezim Orde Baru. Pada tahun 1979, ketua Dewan
Mahasiswa ITB bernama Herry Akhmadi dipenjarakan selama 2 tahun karena dianggap
menghina Presiden, DPR dan MPR. Pembredelan media massa oleh rezim Orde Baru
bertujuan untuk membungkam kritik yang dianggap membahayakan bagi
keberlangsungan pemerintahan. Surat kabar Harian Islam, Pelita dan Tempo dilarang
terbit karena memberitakan kekerasan kampanye berskala besar pada 1982.
Di Zaman Orde Baru, hanya ada tiga partai yang diperbolehkan ikut Pemilu. Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Dari sembilan partai besar di Indonesia plus organisasi di bawah
naungan Golkar, Ini cara Soeharto meringkasnya menjadi tiga saja. Mula Strategi
untuk Legitimasi
Pemilu pertama era Orde Baru yang digelar pada 1971 diiringi sejumlah aksi
pembenaman kekuatan politik sisa Orde Lama. Soeharto, lewat Operasi Khusus yang
dipimpin Ali Moertopo, mengobrak-abrik Partai Nasional Indonesia (PNI).
Hasilnya Parmusi hanya meraih suara di bawah 10 persen. Jauh dari raihan suara
Masyumi pada Pemilu 1955. Suara PNI pun tak jauh berbeda. Mereka tak mampu
mengulang kejayaan para pendahulunya yang memenangkan Pemilu 1955.
Meski dua partai sisa Orde Lama itu masuk empat besar pada Pemilu 1971, suara
mereka tak sepadan dengan raihan suara Golkar yang melambung di atas 60 persen.
Bahkan mereka tertinggal jauh dari suara NU yang hampir mencapai 20 persen.
Ketakutan Orde Baru terhadap kekuatan politik lawas sementara teratasi.
Lebih dari itu, hasil Pemilu 1971, sebagai pemilu pertama era Orde Baru, merupakan
keberhasilan rezim dalam membangun citra bahwa Soeharto adalah penguasa yang
dipilih rakyat secara demokratis dan karenanya memiliki legitimasi.
“Legitimasi Pemilu 1971 adalah modal penting bagi awal kekuasaan Orde Baru yang
langgeng,” tulis Muridan S. Widjojo dalam Bahasa Negara versus Bahasa
Gerakan (2004).
Namun hal itu rupanya belum cukup. Orde Baru masih khawatir dengan keberadaan
banyak partai yang bagi mereka adalah ancaman stabilitas politik. Maka pada 1973,
lewat MPR yang hampir seluruhnya dikuasai Golkar, dikeluarkanlah GBHN tentang
pentingnya pengelompokan organisasi peserta pemilu alias fusi atau peleburan.
Partai-partai berhaluan Islam, yakni NU, Parmusi, PSII, dan Perti, dilebur
menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara partai nasionalis beserta
partai agama non-Islam, yakni PNI, Murba, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik,
digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Peleburan itu membuat wajah partai politik Indonesia menjadi sederhana, karena itu
lebih mudah dikontrol penguasa. Maka pada pemilu berikutnya, yakni tahun 1977,
Golkar sebagai kendaraan politik Soeharto tak menemui rintangan berarti. Mereka
kembali memenangi pemilu secara telak.
Di hadapan para gubernur, bupati, dan walikota se-Indonesia pada Februari 1981,
Soeharto berkata dengan amat jatmika namun mematikan: “Pemilu harus dirasakan
sebagai pesta poranya demokrasi, sebagai penggunaan hak demokrasi yang bertanggung
jawab dan sama sekali tidak berubah menjadi sesuatu yang menegangkan dan
mencekam.”
“Pesta Demokrasi” itu memang menjadi pesta bagi Golkar. Pada Pemilu 1982 dan 1987,
kendaraan politik Soeharto itu lagi-lagi tak terkalahkan dengan sejumlah kecurangan
yang begitu telanjang.
Dalam catatan Ricklefs, sejak Pemilu 1971, Orde Baru lewat Ali Moertopo, Amir
Mahmud (Menteri Dalam Negeri), dan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib) menyaring kandidat semua partai dan mendiskualifikasi sekitar 20 persen.
“Para perwira militer dan pejabat-pejabat yang turun ke desa diwajibkan menarik suara
[untuk Golkar] dalam jumlah yang sudah ditentukan. Intimidasi disebarluaskan,” imbuh
Ricklefs.
Selain itu, pada Pemilu 1987, masa kampanye yang sebelumnya 45 hari dibatasi
menjadi hanya 25 hari. Mobilisasi massa dan komunikasi partai dengan simpatisannya
jelas menjadi semakin sempit.
Baca juga: Warisan Orde Baru dalam Pemilu 2019: Politik Massa Mengambang
Dengan kontrol penuh terhadap hampir semua sumber daya politik, tak heran bahwa
kemenangan Golkar pada setiap pemilu sepasti matahari terbit dari ufuk timur. Bahkan
pada dua pemilu terakhir menjelang runtuhnya kekuasaan Orde Baru, sejumlah
kecurangan membuat Golkar menang sangat mutlak.
Demokrasi seperti inilah yang disebut Soeharto sebagai Demokrasi Pancasila yang
“memerlukan sikap mental yang dewasa dan rasa tanggung jawab yang besar, serta
menghargai pendapat orang lain.”
Dan itulah enam kali pemilu dalam tiga dasawarsa yang sesak oleh kecurangan di atas
kecurangan, yang kata Titiek tak lebih buruk dari Pemilu 2019. Padahal, sejatinya,
demokrasi adalah musuh daripada Soeharto.
Pemilu pertama era Orde Baru digelar tahun 1971. Ini adalah pemilu kedua di
Indonesia. Satu-satunya Pemilu sebelumnya yang pernah digelar adalah tahun 1955 di
era Soekarno.
Dalam Pemilu 1971 ada 360 kursi yang diperebutkan sembilan parpol dan Sekber
Golongan Karya. Jumlah ini ditambah 100 kursi dari Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia atau TNI. Jumlah total kursi di DPR menjadi 460.
Golkar tak masuk ke dalam sembilan parpol itu. Dia merupakan gabungan dari sekitar
200 organisasi penyokong Orde Baru yang kemudian menjadi satu bendera Golongan
Karya.
Golkar tercatat sebagai pemenang dengan 227 kursi di DPR. NU mendapat 58 kursi,
Parmusi 24 kursi. Lalu PNI mendapat 20 kursi. Sisanya direbut Parkindo, Murba dan
Partai Katolik.
Setelah Pemilu 1971, Soeharto berpendapat tak perlu terlalu banyak partai di Indonesia.
Dia berkaca pada kegagalan konstituante tahun 1955-1959, dimana seluruh parpol cuma
berdebat dan ngotot sehingga tak ada keputusan yang bisa diambil.
"Dengan demikian maka kita sampai pada pikiran, cukuplah kita adakan dua kelompok
saja dari sembilan partai, ditambah satu kelompok dari Golongan Karya. Tetapi tanpa
dipaksa," kata Soeharto dalam Biografinya yang berjudul Pikiran, Ucapan dan Tindakan
Saya yang ditulis Ramadhan KH dan G Dwipayana.
Partai Katolik, PNI dan IPKI mengerucut menjadi satu di PDI. Sementara parpol Islam
yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan Perti mengelompok jadi satu.
"Saya tekankan jangan menonjolkan agamanya. Karena itu namanya pun tidaklah
menyebut-nyebut Islam. melainkan Partai Persatuan Pembangunan dengan program
spiritual-materil," kata Soeharto.
Maka di DPR kemudian terbentuklah tiga fraksi. Yaitu Partai Persatuan Pembangunan,
Partai Demokrasi Indonesia dan Golongan Karya.
Pasca Orba jatuh, satu dari sekian wacana yang kemudian lahir di antara para aktivis
yakni, perdebatan mengenai kiprah mereka di dunia politik. Menurut Ray, wacana itu
panas diperdebatkan karena mengingat trauma sejarah.
Belajar dari sejarah itu, kata Ray, mereka kemudian memperdebatkan, apakah para
aktivis boleh berkiprah di dunia politik pasca kejatuhan Soeharto.
"Apakah kita para aktivis ini terlibat aktif di dunia politik atau tidak. Kenapa?
Mengingat ada trauma sejarah itu. Yang ada hanya mereka memperkuat, mempertebal,
dan melindungi rezim Orde Baru. Kira-kira begitu." ungkap Ray.
"Trauma itu sebetulnya cukup berdengung, di kalangan aktivis '98 itu sehingga agak
terlambat di dunia politik. Pada '99 itu kan rata-rata menahan diri semua," imbuhnya.
Puncak perdebatan itu kemudian dibahas dalam pertemuan di antara mereka pada 2004.
Dalam sebuah pertemuan yang digelar di gedung Mahkamah Konstitusi, Ray mengaku
dipercayai tanggung jawab mengumpulkan sekitar 200 mantan aktivis '98.
Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa para aktivis '98 tak haram aktif dalam
politik formal.
"Nah, sejak saat itulah mulai tradisi aktivis 98 itu masuk ke dunia politik formal. Baik di
tingkat nasional maupun di tingkat kabupaten kota, atau daerah itu," kata dia.
Menurut dia para aktivis '98 yang saat ini bercokol di partai politik justru mengulangi
kesalahan kelompok aktivis sebelum mereka.
Para aktivis saat ini ,baik di parlemen maupun pemerintah, menurut Ray sama sekali tak
memiliki gagasan perubahan. Ia mengkritik mereka karena semakin terbelenggu partai.
Dalam banyak hal-hal penting, Ray menyebut para aktivis '98 justru lebih condong
menyuarakan gagasan partai yang justru kerap menyakitkan bagi rakyat.
"Revisi UU KPK, MK, Minerba, Omnibus law. Contoh-contohnya lah itu. Kita enggak
tahu mereka juga nggak bersuara soal dinasti politik yang makin marak, padahal itu
menyalahi prinsip apa yang kita sebut sebagai arti KKN pada 98, katanya.
Aktivis mahasiswa hari ini, yang lantang menolak Omnibus Law Cipta Kerja, atau aktif
mengorganisir dan memberikan pemahaman politik kepada rakyat, pantas belajar dari
pengalaman generasi aktivis sebelum mereka agar tidak terjebak di lubang yang sama.
BAB I
PENDAHULUAN