Anda di halaman 1dari 47

POTRET PEREMPUAN MEE DAHULU DAN SEKARANG

(sebuah tulisan dari pengalaman dan pengamatan sebagai pengantar bagi harapan masa
depan mee)

Perempuan atau wanita itu indah, banyak kalangan menyebut perempuan sebagai bunga.
Sebagai perempuan atau wanita yang terlahir dalam suku MEE menjadi perempuan atau
wanita adalah wajib memberikan keharuman bagaikan sekuntum bunga dan wajib
mengundang banyak madu atau kupu-kupu menghinggapi bunga yang harum itu untuk
diberikan madunya. Maka perempuan MEE dalam kehidupan hanya bergelut dalam dunia
Kebun dan Dapur. Kebutuhan dan Dapur adalah : adalah jantung dari kehidupan, bangsa
manusia sejak Adam dan Hawa di usir dari Taman Firdaus.

BAB I

Potret Perempuan Mee Dahulu

A. Suku Mee sebagai Mee

Suku atau etnik ini menyebut diri mereka adalah Mee atau manusia sejati¹, 1ungkapan/kata
yang mempertegas akan kesejatian manusia mee “mee kiyakeeko meeka dimii gai kodoko”
(jikalau anda sadar bahwa anda adalah manusia maka berpikirlah sebagai manusia).
Ungkapan lain yang menguatkan arti mee sebagai manusia sejati adalah “akiya dimi kiike
akauwa awitouyogoo ki mee kodokoo” (jika anda mampu untuk menjadikan suara hatimu/
instingmu/akal budimu sebagai patokan hidupmu maka anda adalah manusia sejati.
Ungkapan –ungkapan di bawah ini selalu disampaikan orang tua kepada anaknya atau
kepada orang yang lebih muda ketika:

- Memperhatikan atau melihat seseorang melakukakan hal yang salah atau tidak sesuai
dengan aturan atau kebiasaan atau norma yang ada.
- Memberikan nasehat kepada anak atau saudara yang akan bepergian jauh atau akan
membangun rumah tangga yang baru.
- Pada saat pertemuan untuk menyelesaikan suatu masalah yang terkesan di buat-buat. Atau
juga
- Pada saat memberikan nasehat pada malam hari di rumah.

Setiap suku atau etnik memiliki bahasa yang menunjukan identitas suku, mee sebagai suku
memiliki bahasa Mee (mee mana), yang mana Mee mana adalah salah satu unsur
1
Titus pekey, Manusia mee di papua,2008, Mee tumaa berarti: maakodo Mee (benar-benar manusia)
kebudayaan etnik yang dibentuk, dibina, dikembangkan dan diturunkan kepada generasi
berikutnya”²(lih.hal.12). 2

Mee sebagai salah satu suku bangsa atau etnik yang berada di pegunungan tengah bagian
barat dari Provinsi Papua dan disebut daerah Meuwodidee yaitu; mulai dari Makataka di
bagian timur yang berbatasan langsung dengan wilayah Moni sampai dengan Kegata di
bagian barat yang berbatasan dengan suku Kamoro di bagian selatan dan suku Auyu di
bagian barat daya. Dalam bukunya Bulaars menyebutkan ciri khusus etnik mee adalah
berambut kriting dan berkulit hitam kecoklatan dengan postur tubuh yang sedang
(pygomod/tidak tinggi juga tidak besar). 3

B. Perempuan Mee Bagian dari Suku Mee

Mee sebagai manusia sejati memiliki peradaban hidup yang sangat solid dan kuat yang sudah
di jalani sejak leluhur Mee ada di dataran Tinggi Meuwo. Peradaban hidup yang Mee miliki
sebagai aturan adat yang sudah di anut turun - temurun dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, dan mereka sangat menghargai dan menjunjung tinggi segala nilai dan aturan
hidup atau yang biasa disebut dengan adat istiadat. Aturan hidup itu mengatur dengan rapi
seluruh gaya hidup, gaya tindakan, gaya bicara, tata krama dan terlebih lagi soal
tanggungjawab atau kewajiban yang harus dan wajib dilaksanakan yang sudah menjadi
kebiasaan walaupun aturan itu tidak tertulis.

1. Posisi Perempuan Mee


Dalam hirarki kehidupan masyarakat adat mee, perempuan mee dianggap kelompok
manusia kelas dua (marginal), yang dianggap sebagai pelengkap dalam kehidupan
bermasyarakat yang luas dalam suku mee. Perempuan sebagai manusia mee yang berada
atau dikategorikan sebagai kelompok marginal, perempuan tidak memiliki banyak hak,
terlebih hak didalam urusan kelompok atau komunitas, seperti;
- tidak memiliki hak untuk berbicara di depan banyak orang,
- tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan,
- tidak memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan ketika ada pertemuan bersama, dan
dalam kehidupan keluarga inti sekalipun
- tidak memiliki hak untuk menyela atau membalas atau meniadakan keputusan suami
atau bapa dengan pertimbangan apapun.

2
Andreas.A.Goo, Dogiyai dou enaa,2009
3
Bulaars
Laki-laki mee sebagai laki-laki perkasa Mee dan sangat yakin sebagai manusia sejati juga
tidak segan-segan akan memberi posisi kepada laki-laki mee lain yang dianaggap sebagai
laki-laki yang kurang cakap dengan ungkapan atau bahasa yang menyindir. Ungkapan
yang memberikan posisi marginal perempuan mee sebagai manusia yang tidak berarti
yang sering di ungkapkan laki-laki mee pada umumnya, adalah : “ii notoo, pekatoo badee
– bade akiki yagamo keege” (tinggal duduk menganguk dengan mata yang
bingung,memangnya anda perempuan kaa)

Sistim umum keberlanjutan hidup dalam suku mee menganut sistim patrilineal atau
mengikuti garis keturunan bapa, artinya anak yang di lahirkan dalam suatu keluarga
melanjutkan marga/klen/fam bapa atau suami. Dalam beberapa keadaan lain, perempuan
kadang dianggap sebagai pembawa sial, pembawa sial bagi keturunan/ marga atau
kelompok masyarakat dalam satu kampung, mengenai ini akan di uraikan tersendiri
dalam point perempuan mee dengan konotasi negative.

Dalam tulisan ini, penulis tidak akan mengurai tentang aturan atau gaya hidup mee pada
umumnya namun lebih banyak akan berbicara seputaran aturan hidup bagi perempuan
Mee itu sendiri. Setiap manusia Mee yang lahir sebagai anak menjalani kehidupannya
sebagai anak dibawah asuhan orangtuanya, dan jika anak manusia mee melakukan hal di
luar dari apa yang diajarkan, apakah itu sesuatu yang baik atau tidak baik, maka anak ini
akan di anggap sebagai anak yang melakukan pelanggaran, maka anak tersebut harus
/wajib di lakukan selamatan atau doa, dalam bahasa Mee di sebut ”Kamuyatai”. Pada
masa remaja anak manusia Mee ini akan mulai menunjukan jati dirinya sebagai seorang
anak yang mungkin akan memiliki atau tidak memiliki kekuatan lebih, untuk masa
depannya. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara anak manusia Mee laki-laki (yame
yokaa) dan anak manusia Mee Perempuan (yagamo yokaa) sesuai latar belakang
kehidupan keluarga asal.

Dalam kebiasaan hidup manusia Mee dewasa memiliki tiga (3) kelas hidup, kelas hidup
ini tidak berlaku secara umum atau baku, namun kelas hidup ini tumbuh dengan
sendirinya; dan dalam penentuan ukuran atau takarannya adalah keperkasaan seorang
laki-laki Mee dewasa akibat sistim patrilineal yang kuat namun kelas hidup selalu ada,
yaitu;

1. Kelas hidup tinggi sebagai Tonawi Mee,


2. Kelas hidup menengah Daba Mee,
3. Kelas hidup rendah Meiyautuyaakaa Mee.
Dalam kelas hidup ini perempuan Mee selalu berada satu kelas di bawahnya atau kelas
marginal, dalam pengambilan keputusan hidup. Seorang perempuan Mee yang lahir dari
kelas Tonawi Mee, perlakuan di dalam keluarga dan tanggung jawab sebagai perempuan
yang melahirkan kehidupan baru tetap sama, namun dalam menjaga nama baik sang ayah
yang adalah Tonawi harus patuh pada keputusan sang ayah, terlebih lagi dalam
menentukan pasangan hidup (suami) dengan mahar yang sangat besar dan harus kawin
dengan pemuda yang datang dari kelas Tonawi yang sama. Anak perempuan Mee
dipandang sebagai “intan berlian” pembawa rezeki bagi ayah atau saudara laki-lakinya
yang adalah keturunan Tonawi Mee.

Seorang perempuan Mee yang lahir dari Kelas Daba Mee pun memiliki kewajiban untuk
harus tunduk pada keputusan sang ayah atau saudara laki-lakinya dan harus kawin dengan
pasangan yang berasal dari kelas hidup yang sama atau setingkat diatasnya. Dianggap
tabu atau tidak manusiawi jika kelas Meuyautuyaakaa Mee yang meminang si anak gadis
dari kelas Tonawi atau kelas daba mee.

Seorang Perempuan Mee yang berasal dari kelas paling rendah “Meiyautuyaakaa Mee”
kadang tidak memiliki harga (nilai) sehingga mereka di paksa harus kawin dengan kelas
diatasnya sebagai istri yang kedua atau ke berapa. Manusia Mee perempuan dianggap
sebagai “Pelengkap” atau sebagai manusia kelas dua yang hanya hadir sebagai
penyeimbang hidup yang memberi dan menambah kekuatan sang laki-laki, dan tidak
memiliki haknya sebagai manusia selain hak hidup dengan memiliki nama clan atau
marga. Bahkan jika ada perempuan Mee yang memilih hidup untuk tidak kawin (Api
adamaa) akan berakibat di bunuh atau dipanah, karena dianggap sebagai penghambat
perkembangan clan/marga dan menutup sumber rezeki bukan hanya clan/marganya tapi
sejumlah clan yang bediam di daerah tersebut.

2. Nilai Perempuan Mee

Namun didalam kehidupan sehari-hari dan kepentingan keluarga inti perempuan mee adalah
asset yang berharga atau memiliki nilai yang tinggi dan sekaligus menyimpan martabat
keluarga yang sangat tinggi dalam arti lain, nilai manusia dan kemanusiaa perempuan mee
sangat di junjung tinggi; Banyak hal yang dapat menjadi bukti bahwa perempuan mee
memiliki NILAI lebih dalam kehidupan mee di buktikan dengan ungkapan –ungkapan
kebaikan dengan simbol perempuan, dalam tulisan ini saya hanya ingin mengangkat 3
ungkapan yang penting, yakni :

1. Keyakinan akan pelindung atau penjaga gunung, bukit atau wilayah selalu di simbolkan
dengan perempuan (ipuwee/penjaga,pemilik); Beberapa ungkapan yang menyatakan akan
keberadaan pelindung dan kebenarannya yang hingga saat ini, masih di pegang terungkap
dalam beberapa ungkapan yang sering di bicarakan adalah:
- Kii tonawii kiike, tonawii ugouweuwe kiike gaamene teetai meeko ewaa kodaa
(Orang kaya (laki-laki) ini menjadi hebat karena ada seorang putri yang selalu
mengawasinya)
- Eniyaa pitoo auwee dimiidaa kouyamake wakouweekaa pugaidaa teiga kouko
yagamo nako totoomega. (Kobaran api setan yang terbang dari gunung itu menuju ke
bukit itu itu adalah seorang bidadari)
- Kou dimii kou doutouga ko enaa. (Putri penjaga gunung itu baik)

Kata ko yang di garis bawahi diatas menunjukan perempuan dalam bahasa mee, lawan
kata dari kii sebagai kata tunjuk untuk laki-laki

2. Perempuan mee sebagai mama dan saudari bagi lelaki sangat berarti, atau dengan kata
lain : Mama adalah mama. Ungkapan yang menyatakan adalah mama adalah segalanya,
“Akuukai too maano” (Hanya mama saja yang benar, atau Hanya mama saja yang
memiliki nilai kebenaran yang tinggi).
Mama dan saudari perempuan mendapat tempat yang sangat berarti di hati anak laki-
lakinya. Beberapa cerita tentang perang suku atau perang antar clan/marga atau wilayah
yang pernah terjadi di lembah Kamuu dahulu, lebih banyak karena masalah perempuan
dimana mamanya atau saudari perempuannya di sakiti oleh laki-laki lain, entah karena
masalah keluarga atau karena masalah di kebun atau di hutan.
3. Perempuan (mama atau istri) menjadi tolak ukur keberhasilan hidup seorang laki-laki
Mee. Jika ada seorang anak menjadi berhasil atau kaya (tonowi) memiliki banyak harta
dan babi selalu akan di kaitkan dengan kehebatan Mama. Ungkapan rasa kagum itu akan
di ungkapkan dengan kata : mama yang memiliki pondasi dan gaya hidup yang baik
memberikan Aura yang positif bagi keberhasilan anaknya, apa lagi didukung oleh istrinya
yang trampil dan berasal dari keluarga yang baik akan menunjang seluruh
keberhasilannya. Filosofi keren atau ungkapan indah yang popular bahwa “dibalik
kesuksesan seorang pria pasti ada perempuan yang hebat” dalam suku Mee filosofi itu
sudah ada sejak leluhur Mee. Beberapa ungkapan yang yang menguatkan filosofi ini
masih kuat hingga sekarang adalah:
a. Ketika anak laki-laki akan melancong atau bepergian (duwa uwii) restu dan nasehat
ibunya menjadi hal yang penting. Kata bapaknya untuk melepas kepergiannya
adalah : “akuukai ya naa ii no kateegano enaano uwi” (karena ibumu sudah merestui
maka silakan jalan).
b. Istri sebagai penjaga atau pemelihara ternak (babi), mengetahui keadaan setiap
ternaknya. Jika dia melihat atau merasa ada yang sakit atau bermasalah dia akan
menyampaikan tidak selalu secara langsung namun dengan bahasa isyarat. Jika tidak
di eksekusi artinya di bunuh maka akan mendatangkan masalah lain seperti kesakitan
anak, atau kesakitan si bapa atau suami atau masalah kematian babi yang lain,
sehingga mengalami kerugian. Sehingga ungkapan mama atau istri sangat penting
untuk menjadi perhatian.

Dari penjelasan diatas ini dan beberapa kejadian lain yang sering terjadi sungguh sangat
membuktikan bahwa perempuan Mee sangat berarti dan memiliki Harga atau nilai yang
tinggi dalam pandangan hidup orang mee. Mengapa Perempuan Mee sebagai mama sangat
berarti dan memiliki nilai yang tinggi akan juga di bahas dalam bab ini di bagian kedua..

Perempuan Mee pada khususnya dan Pegunungan Papua pada umumnya memiliki tanggung
jawab sebagai Mama yang mengandung dan melahirkan kehidupan, selain itu juga
bertanggungjawab untuk memelihara, menjaga, mengurus dan mendidik kehidupan baru
hingga menginjak masa remaja. Dari tanggung jawab yang harus dan wajib di emban
ini,maka Perempuan Mee atau Perempuan Pegunungan tengah Papua harus memiliki
kekuatan bagaikan batu karang serta ketrampilan yang memadai yang sudah diasah sejak
masa kecil. Sebagai Perempuan Mee yang hadir dan hidup dalam aturan adat yang kuat,
menjadi suatu kebanggaan tersendiri, dimana segala aturan hidup itu memberi pelajaran yang
indah untuk di renungkan dan di laksanakan menjadi landasan hidup menjadi seorang mama
tanah yang berdaya guna.

C. PEREMPUAN MEE SEBAGAI PENDIDIK


Pendidikan anak dalam kehidupan mee di mulai dari awal sel sperma dan sel ovum
bertemu. Dalam kebudayaan mee, orang mee meyakini bahwa sel sperma adalah aliran
pikiran baik (dimi odiyoo) yang baik yang mengalir dari otak manusia mee laki-laki lewat
alat kelaminnya dan menyimpanya di sarang/ kantong anak (yoka geka) pada manusia mee
perempuan. Anak manusia mee dibentuk hanya dari aliran pikiran baik (dimi odiyoo)
milik bapa, sehingga sepenuhnya anak adalah milik bapa. Penulis sedikit menyinggung hal
ini, karena di sini perempuan mee atau istri dianggap sebagai tempat menyimpan harta
anak tanpa ada hubungan atau akibat timbal balik dari istri, artinya bahwa sel ovum dari
perempuan tidak ada artinya, karena perempuan hanya memiliki kantong atau sarang
tempat menyimpan “dimi odiyoo” yang bakal menjadi anak.
Orang mee meyakini segala kelakuan, tutur kata dan pikiran yang baik dari bapa di masa-
masa percintaan terjadi, itu akan mempengaruhi seluruh hidup anak yang akan bakal lahir.
Ketika si istri tidak datang bulan pertanda mulai hamil sampai pada bulan yang kelima,
bapa masih terus perlu untuk menambah “dimi odiyoo”
yang diyakini akan membentuk tubuh anak yang kuat dan membentuk sifat dan karakter
anak. Selanjutnya pada saat istri akan melahirkan, dianggap tabu jika suaminya berada di
samping istrinya, aturan pelarangan ini ada karena orang mee juga meyakini bahwa
kehadiran suami atau bapa dari calon anak yang lahir, akan menghambat proses kelahiran
atau proses keluarnya anak dari sarang tempat dimi odiyoo berkembang menjadi anak
manusia. Sehingga ketika istrinya mulai merasakan sakit melahirkan pada awal, si suami
akan pergi ke kandang ternaknya (babi) atau ke kerabatnya atau saudaranya untuk
menagih hutang atau meminta bantuan untuk pesta kelahiran anaknya sebagai pengganti
darah ibunya yang mengalir saat melahirkan selain berpesta sebagai ungkapan rasa syukur
karena memiliki kehidupan baru dalam keluarganya.
Pesta kelahiran anak wajib dilakukan oleh seorang bapa atau suami untuk memberikan
kekuatan kepada anaknya agar bertumbuh sehat dan memberi kekuatan kepada istri atau
mama dari anaknya agar air susu (ASI) dapat mengalir dengan lancar. Makanan dan babi
yang dimasak sebagai pesta kelahiran biasanya tidak akan di makan oleh si bapa dan
saudara – saudara laki-lakinya baik kerabat yang dekat ataupun kerabat yang jauh karena
akan memberi dampak si bapa atau saudara laki-laki yang lain akan menjadi tua cepat atau
pun bisa menutup jalan aliran pikiran (dimi odiyoo) bagi kelanjutan generasinya dalam
arti bisa menjadi mandul. Maka proses pembelajaran hidup dan proses pendidikan bagi
anak manusia mee sudah di lakukan sejak awal kehidupan keluarga baru dimulai, dan pada
awal kehidupan ini bapa sangat berperan. Setelah anak lahir, perempuan atau mama mee
wajib menjalankan tugasnya dalm memelihara dan mendidik anaknya.
1. Perempuan Mee Masa Anak
Mama mee yang tau akan tanggung jawabnya sebagai mama yang harus memelihara anak-
anaknya juga wajib mengetahui perkembangan dan mendidik anak-anaknya hingga umur
4-5 tahun bagi anak laki-laki mee dan bagi anak perempuan mee hingga menginjak masa
remaja. Sebagai anak perempuan mee harus dan wajib di kenalkan dengan dunia bekerja
membantu mamanya, dimana seluruh tugas dan tanggungjawab yang di emban mamanya
diapun harus dan wajib belajar.
a. Anak perempuan Mee dan Noken (agiya).
Noken atau agiya, selain memiliki nilai dan makna filosofis yang tinggi bagi
perempuan mee dan juga bagi semua orang papua pada umumnya, juga berguna untuk
mengisi segala sesuatu, sehingga dapat di pergunakan pada saatnya. Bagi perempuan
mee membawa noken (agiya) menunjukan jati dirinya sebagai perempuan Mee yang
sebenarnya, sehingga bagi anak perempuan mee yang sedang belajar, mulai di
perkenalkan arti pentingnya agiya. “Akiko yame yokaa keege, agiya tedokiiko”
(Mengapa tidak bawa noken, kamu bukan anak laki-laki), ungkapan atau bahasa ajaran
seperti ini akan sering di sampaikan kepada anak perempuan mee, untuk membiasakan
anaknya selalu atau tidak boleh lupa untuk membawa noken. Makna noken (agiya) bagi
perempuan Mee sangat berarti karena Noken artinya kehidupan atau dalam arti bahwa
di dalam noken berisi segala unsur kelanjutan bagi hidup. Dalam bukunya Manusia
Mee di Papua, Titus pekey pencetus “noken sebagai warisan budaya” mengatakan
bahwa noken bagi perempuan mee digunakan sebagai suatu alat yang penting untuk
menyimpan barang,(lih.1144). Dalam proses pembelajaran selanjutnya, ketika pagi
sebelum mama mee akan mengajak anak perempuannya ke kebun, mama mee akan
membakar petatas (ubi jalar), dan bagian yang di peruntukan bagi anak perempuannya
akan di isi di dalam noken anaknya sendiri, sehingga jika dia lapar dia akan
mengambilnya sendiri didalm nokennya dan menyantapnya.
b. Anak perempuan Mee dengan Kebun dan Dapur
Anak perempuan mee wajib untuk ikut mamanya ke kebun, sedangkan anak laki-laki
boleh ikut jika bapanya tidak mengajak anak laki-laki ini ikut bersama. Dalam dunia
anak-anak mee dahulu hamper tidak pernah ada waktu untuk bermain dirumah. Anak
perempuan yang diajak mamanya ke kebun adalah untuk mengenalkan dunia
perempuan mee yang sebenarnya. Di kebun mamanya akan mengajari bagaimana
caranya bekerja menggali petatas, cara mencabut rumput, cara mengangkat bedeng,
cara menanam bibit di areal yang sudah di siapkan, cara menyortir petatas yang baik
untuk makanan manusia dan yang kecil untuk makanan ternak (babi).

4
Titus pekey
Di kebun itu pula Mamanya akan mengenalkan semua peralatan berkebun yang di pakai
oleh mamanya seperti : wadi dan yadau/patau, 5dimana Wadi (potongan kayu kecil yang
dibentuk runcing di salah satu sisi ujungnya) wadi ini berfungsi untuk menggali Ubi dan
mencabut rumput yang akarnya agak keras, dan Yadau/Patau ( Potongan kayu agak
besar dan agak panjang yang di bentuk runcing di slah satu sisinya dan sisi yang lain di
bentuk agak melebar namun juga di perhalus ketebalan di ujungnya), yadau/patau ini
berfungsi untuk membuat parit untuk mengalirkan kelebihan atau genangan air hujan
dalam kebun, juga sebagai pembatas kebun. Dalam penggunaannya Wadi digunakan
atau di pakai sambil duduk berjongkok karena bentuknya yang pendek dan Yadau/Patau
di gunakan sambil berdiri dan menunduk karena alatnya yang panjang juga karena parit
yang dibuat itu agak dalam. Pengenalan peralatan kerja ini di lakukan karena peralatan
itu tidak akan di bawa pulang, namun di simpan atau di sembuyikan dalam rumput atau
tanaman yang ada di kebun. Di sela- sela pekerjaan yang sedang di kerjakan, mama akan
mengerti bagaimana anak perempuannya bosan, mama akan mengisi waktu mengaso
dengan mengajari anak bermain ala anak perempuan mee, seperti
bermain tali-temali yang di bentuk dengan
jari-jemari tangan yang biasa di sebut “Gaadogaa”,
seperti yang ada dalam gambar dibawah ini
Selain hal- hal diatas, mamanya juga akan memperkenalkan jenis tanaman yang ditanam
di kebun mamanya dan posisi tempat yang pas untuk di tanam. Jenis tanaman yang
ditanam itu selain petatas/ubi dalam bahasa mee di sebut “Nota/Nuta/Dugi” yang posisi
tanamnya selalu berada di tengah- tengah kebun, mama juga akan memperkenalkan
beberapa jenis sayuran lain seperti :
- “Naapo/Digiyoo,digihoo/Uguboo” sejenis sayur dengan daun kecil berwarna hijau tua
yang batangnya berbentuk ruas-ruas sehingga di setiap ruas itu memiliki 2 buah daun,
posisi tanam sayur ini di tempat yang agak rindang atau tidak terkena sinar matahari.
- “Yatuu/ Hatuu” sejenis sayur yang bentuknya mirip serei dimana jika di tanam akan
membesar membentuk rumpun, posisi tanam sayur ini di pinggiran parit atau di tanam
mengelilingi kebun.
- “Pego” sejenis sayuran yang batangnya seperti tebu dan tumbuh berumpun,
bagianyang diambil adalah bagian pucuk yang akan membesar, jika di kuliti
bentuknya seperti lilin sehingga sekarang kadang orang menyebut “sayur lilin”. Posisi
tanamnya di pinggiran parit berselingan dengan “yatuu”. Yatuu dan pego selalu
5
Titus Pekey
dijadikan sebagai teman makan petatas, karena setelah di bakar kedua jenis makanan
ini bisa di isi dalam noken untuk menjadi bekal.
- “Eto” dalam bahasa Indonesia adalah tebu, posisi tanam tebu, eto atau tebu ini di
tanam di keempat sudut parit yang di buatnya. Eto ini biasanya di ambil saat siang
hari, saat matahari panas untuk menghilangkan rasa dahaga.
Pada saat mereka akan pulang mamanya juga akan mengajarkan bagaimana caranya si
anak perempuan mengisi bahan makanan yang sudah di ambil, caranya memikul noken
(agiya) ke rumah; Kegiatan membantu mama tidak berhenti sampai di situ, sambil
menunggu matahari agak condong ke barat, mama akan duduk mengajari anak
perempuannya menggosok (“gitai”) kulit kayu (“bebi”) yang kering dan masih tebal
untuk di haluskan lalu mengeluarkan serat halus dan cara memintalnya menjadi benang,
dan jika sudah menjadi benang yang agak panjang, anaknya di ajarkan cara membuat
noken (agiya). Dalam beberapa literature mengangkat bagaimana noken anggrek di
rajut oleh orang mee, memang benar noken anggrek adalah noken khas suku mee
namun, noken yang ada tambahan anggrek itu di rajut oleh para laki-laki mee dan
dianggap tabu (“daa”) perempuan mee merajut memakai anggrek, apa lagi
menggunakan noken yang dengan anggrek.
Jika Matahari agak condong kebarat atau kira –kira jam 16.00 atau jam empat sore,
mama akan mengajak anaknya untuk mencari dan memanggil babi piaraan untuk di
berikan makan, mereka akan menunggu atau menjaga babinya hingga makanannya
dihabiskan, hal ini di lakukan agar makanan ini tidak di rampas oleh babi tetangganya
sehingga babinya kelaparan. Setelah pulang ke rumah anak perempuan harus pergi
mengambil (menimba) air di kali atau di tempat dimana biasanya mereka
mengambilnya. Didalam dapur milik perempuan / mama, mama dan anak
perempuannya bersiap memasak makanan yaitu membakar petatas (nota), cara
memasak ini pun diajar. Bagaimana caranya memasak nota, mulai dari menaruhnya di
pinggiran tungku untuk mengeringkan kulit arinya, sekaligus caranya memegang Obe
(Penjepit, biasanya terbuat dari potongan kayu atau bambu yang dibengkokkan di
bagian tengah membentuk huruf U), lalu mengubur atau membenamkanya dalam debu
panas, mengangkatnya dan membersikannya (mengikisnya) dari sisa debu dan bagian
kulit ari yang hangus. Mama juga akan mengajarkan bagaimana cara membungkus
sayur, memilih daun-daun yang akan di pakai untuk membungkus (karena tidak semua
daun bisa di pakai untuk membungkus sayuran) dan caranya memasak dan cara
mengangkat bungkusan sayur itu dari perapian.
c. Anak Perempuan mee dengan Aturan Adat dan Etika
Mama mee dalam mendidik dan membesarkan anaknya selalu mengikuti aturan atau
norma adat dengan selalu menjunjung tingg etika. Disini mama mee tidak akan banyak
mendikte (mengajari dengan mengatakan atau berbicara) agar anaknya paham namun
cara didikan yang dipakai selalu dengan bahasa isyarat, mimik muka dan juga dengan
tindakan atau apa yang di buat oleh mamanya.
1. Anak perempuan di larang masuk di rumah laki-laki (emawaa), karena di sana
menyimpan semua kebesaran dan kekuatan sebagai lelaki jantan, walaupun hanya
untuk sekedar bermain didepan pintu. Pembinaan ini akan di lakukan mama dengan
cara, mama akan memberikan makanan yang sudah masak itu dengan mengulurkan
tangan melalui pintu kecil berukuran 50 -70 cm yang dibuat di dinding antara
kamar laki-laki (emaawa) dan kamar perempuan (kugu owaa). Artinya mama tidak
akan pergi memberikan makanan dari pintu karena itu akan menutupi pintu rezeki
keluarga yang di usahakan oleh bapanya.
2. Anak perempuan harus belajar gaya mengenakan busana adat (moge) dengan baik.
Busana adat antara mama dengan anak sangat beda jauh dari bentuknya dan
fungsinya. Busana mama dan anak terbuat dari bahan kulit kayu, busana anak
perempuan di buat berbentu rok tanpa di pintal dan di sebut busana nona (dugaa
mogee), busana ini di pakainya hingga menjelang haid/menstruasi pertama. Busana
mama di sebut (danee mogee) di buat dengan di pintal dengan ukuran setebal kira-
kira 4-5cm dengan panjang sekitar satu meter kira –kira sekitar 12-15 utas dan
dikaitkan pada tali pintalan yang melingkar di pangkal paha. Tali panjang itu akan
julurkan kebelakang persis antara kedua paha dan akan diikatkan di belakang,
sehingga bisa menutupi bagian kelamin sehingga berfungsi menahan darah haid
yang keluar.
3. Anak perempuan di larang membuang air (kencing atau bab) di sekitar rumah
dengan sembarang, apa lagi di dekat tanaman yang ada di pinggir rumah. Mama
akan mengajari anaknya dengan mengajak ke luar pagar di belakang rumah di
tempat yang di sediakan, sekaligus mengajar cara membersihkan pantat (ceboh).
Keyakinan tidak membuang air sembarang ini, di perkuat dengan ungkapan :
“yagamo yokaako pipi itoopa te titouyogooko, akaitai yaa utiyaa kaa be kagaayaa”
(Jika anak perempuan membuang air sembarang, apa lagi di pinggiran rumah, maka
penjaga rumah akan marah)
4. Anak perempuan tidak boleh makan jenis makanan yang hanya di makan oleh laki-
laki, karena akan berpengaruh pada proses persalinan anak setelah dia sudah kawin,
atau juga akan memberikan efek sakit pada lututnya sebelum masa tua. Jenis – jenis
tanaman itu biasanya akan di tanam di pinggiran rumah atau di kebun yang ada di
hutan, seperti:
- Kugou (pisang yang buahnya sama dengan pisang ambon tetapi, pisang ini tidak
bisa di makan langsung tapi di bakar),
- Momai (Sejenis tumbuhan merambat yang menghasilkan makanan seperti keladi
menado),
- Bi (buah merah)
- Tetto etoo (Tebu dengan kulit yang merah).
5. Anak perempuan mee dengan tegas di larang untuk
- Mengumpat pembicaraan bapa dan mamanya atau orang yang lebih tua darinya.
- Memberikan masukan (saran) pada saat orang tua sedang berbicara, namun jika
ada hal yang perlu anak perempuan harus menyampaikannya kepada mama pada
saat lain, setelah pembicaraan itu selesai, namun mamanya juga tidak akan
langsung menyampaikannya kepada bapanya atau orang tua lain yang telah
membicarakan topik itu, mama akan menunggu momen yang tepat untuk
menyampaikannya.
- Menambahkan kata, atau memotong pembicaraan orang tua (Bapa, Mama,
saudara laki-lakinya, atau orang yang lebih tua darinya), pada saat ada sesuatu hal
sedang di bicarakan.

Semua jenis larangan ini di ajarkan sebgai bagian dari etika penghormatan kepada
orang tuanya, juga agar kelak tidak melakukan kesalahan. Hal ini dianggap penting
karena akan berpengaruh dalam hidupnya setelah kawin, dimana etika ini akan
meminimalisir keegoannya karena bisa berakibat mau menang sendiri dan bertindak
meremehkan suami atau lelaki sehingga harga diri suaminya jatuh di hadapan orang
lain dan akan di sebut sebagai perempuan yang suka usil dengan hidup orang. Jika
ajaran etika ini dilanggar dan dalam hidupnya bertindak maunya sendiri maka akan
di sebut sebagai “peu yagamoo”(perempuan/ibu/mama yang tidak baik). Dalam
mengajarkan etika ini, bapanya ikut bertanggung jawab mengambil bagian dalam
membimbing anak perempuan.
Beberapa bahasa atau ungkapan ejekan yang sering di ungkapkan untuk
menunjukan atau membuktikan bahwa masa kecil perempuan mee yang tidak patuh
pada larangan atau dengan bahasa ekstrim yang lain bahwa pada masa kecil anak
perempuan tidak di ajarkan etika:

- Kounaa yame wadouga wookato too koyokaa (Perhatikan perempuan/mama


itu,sikapnya dan bahasanya terlalu meremehkan laki-laki
- Kou yameeniyaa aweenita kou edou (Perhatikan perempuan/mama itu, kemasukan
setan (suwanggi) laki-laki.
6. Anak perempuan mee di larang bermain atau bergaul dengan anak laki-laki
walaupun itu saudara kandungnya. Dalam hal ini mama bertanggung jawab untuk
mengisi waktu kosong anaknya dengan mengajak anaknya memintal kulit kayu,
berlatih menganyam noken (agiya), membunuh kutu rambut (uka) karena pada
masa anak kutu rambut selalu banyak. Mengenai kutu rambut, orang mee meyakini
bahwa pada saat anak-anak kutu rambut menjadi banyak karena anak ini pemalas
dalam arti tidak mau mengerjakan permintaan bantuan dari orang tua, seiring anak
ini menjadi rajin dan patuh, maka dengan sendirinya kutu rambut akan hilang.

d. Anak perempuan Mee dengan Bapanya


Kehadiran sosok bapa dalam tumbuh kembang anak baik anak laki-laki maupun anak
perempuan, mulai dari bayi lahir hingga umur 7-8 tahun tidak pernah terjadi. Bapa
tidak begitu memperhatikan bagaimana anaknya sedang bertumbuh dan sedang belajar
banyak hal tentang hidup bersama mamanya. Bapa akan memberi perhatian jika
anaknya sakit atau terjadi sesuatu hal terhadap anaknya sesuai penyampaian mamanya.
Hampir tidak pernah ada cerita saat bayi hingga umur 2 tahun bapanya menggendong
atau menimang anaknya, karena ada anggapan atau keyakinan, anaknya akan menjadi
penghalang seketika bapanya akan berangkat untuk berperang atau berangkat untuk
melakukan perjalanan jauh mencari rejeki. Penghalang maksudnya bahwa karena
anaknya sering di timang atau di gendong bapanya, otomatis anaknya mengenali wajah
bapanya sehingga ketika dia akan berangkat anaknya menangis untuk ikut, tangisan
anak ini akan memberikan hasil atau akan berakibat buruk. Namun, sebagai bapa yang
mengerti beban yang yang di pikul oleh mama (istri) seketika pulang dari kebun, bapa
akan mengendong anaknya (baik perempuan atau anak laki-laki) yang masih berumur 5
tahun kebawah yang tidak mungkin kuat untuk jalan kaki sendiri, dalam perjalanan
pulang kerumah jika bapa juga ikut istrinya bekerja di kebun.
Anak perempuan mee, dalam aturan etika budaya tidak boleh duduk di dekat bapanya,
apa lagi meminta dan makan makanan milik bapanya, namun bapa mee akan bertindak
sebagai bapa yang bijaksana dalam membagi santapan hasil buruan atau hasil ternak
(babi) piaraan yang dimasak bersama didalam rumah laki-laki (emaa owa), dimana
kepada anak perempuannya akan di berikan bagian yang terbaik, karena beberapa
alasan yaitu:
-. Anak perempuan harus memiliki kekuatan yang lebih karena akan membantu
mamanya bekerja,
- Suatu saat anak perempuannya akan pergi meninggalkan orang tuanya setelah
berumah tangga sehingga hidupnya akan terpisah, maka sebagai ungkapan rasa rindu
atau kangen ayahnya .
- Ada suatu harapan bahwa ketika orang tuanya sudah menjadi tua, anak
perempuannya yang akan melayani dan memperhatikan kedua orang tuanya.
- Agar setelah kawin anak perempuannya tidak menyimpan perasaan bahwa seorang
lelaki (suami) sebagai manusia buas dan rakus yang hanya mementingkan dirinya;
-. Dan harapan yang agak ekstrim adalah agar saat bapanya meminta untuk kawin
dengan lelaki pilihan ayahnya, anaknya tidak menolak.
B. Perempuan Mee masa Remaja hingga Gadis
Pembelajaran hidup bagi anak perempuan Mee dari orang tuanya tetap berlanjut, ketika
anak perempuan memasuki usia remaja, dimana dalam pembelajaran dan pembinaan
tentang hidup mulai di lakukan bersama oleh kedua orang tuanya, artinya ayah mulai ikut
mengambil peranan dalam membina dan mendidik anak perempuannya. Hal ini dilakukan
karena beberapa alasan, dua alasan yang lazim yaitu;
Pertama, anak perempuan adalah tabungan hidup bapanya, yaitu jika anak perempuannya
bertumbuh dewasa dan sudah waktunya untuk kawin (berumah tangga), maka bapa dan
saudara laki-lakinya akan mendapatkan mahar maskawinnya.
Kedua, anak perempuan juga adalah harga diri bapanya atau dalam diri anak
perempuannya ini menyimpan potret keluarga atau latar belakang identitas keluarga
(orangtuanya terlebih bapanya). Artinya bahwa nama baik bapa dan ibunya akan dinilai
orang lain, karena setelah anaknya kawin dan selalu berkelakuan baik, menjadi
perempuan mee yang baik sesuai aturan hidup budaya yang ada dan mampu beradaptasi
dengan lingkungan hidup yang baru, maka akan ada anggapan bahwa Bapanya telah
mendidik anaknya baik, hal itu akan memberikan nilai positif dalam masyarakat, ayahnya
akan di hitung sebagai orang terpandang, yang patut di teladani. Proses perhatian dan
pembinaan itu adalah :
a. Pada masa PUBERTAS dan mendapatkan menstruasi yang pertama (tikaago
daawapa), anak perempuan MEE wajib berpuasa (diyo dou) selama 2 hari 2 malam
dalam pondok kecil yang didirikan di samping pintu kamar mamanya oleh bapa atau
saudara laki-lakinya, dengan menjalankan semua aturannya. Perjalanan puasa ini di
mulai dengan tanda pemasangan api yang harus dilakukan juga oleh bapa atau saudara
laki-laki. Puasa ini wajib dilakukan karena semua hal yang akan terjadi (kejadian-
kejadian saat itu) serta mimpi atau penglihatan yang didapatnya adalah ramalan masa
depan bagi hidup anak perempuan itu sendiri, keluarganya, keluarga besarnya
(marga/clan), dan pada umum suku dan tanah.
Mimpi yang dilihatnya dan hal-hal yang terjadi wajib di ceritakan, pertama segera
setelah masa puasa habis kepada mama dan bapanya, kedua, pada saat acara
peminangan di lakukan atau saat mahar maskawin dibayarkan. Kejadian di sini lebih
menitik beratkan pada; 1.Kemana arah asap pertama yang mengepul seketika setelah
api dinyalakan, 2.Bagaimana (pada saat apa/ketika dimana) awal anak perempuan ini
mengetahui bahwa sudah mendapat menstruasi, baik kalau kejadian itu saat di rumah
tapi jika dia tau terjadi di kebun atau di hutan dan harus menyeberangi kali, atau juga
dalam perjalanan apakah dia terantuk atau jatuh, 3.Apakah saat sedang menjalankan
puasa (diyodou) itu dia mengantuk/ tertidur pada malam hari?, 4. Apakah anak
perempuan ini mengucapkan beberapa kata yang dilarang sebut dia menyebutnya?
5.Apakah anak perempuan ini meminum air putih dimalam hari? Semua hal itu
menjadi sangat penting, walaupun di beberapa tempat kadang aturannya tidak terlalu
rumit dan lebih menitik beratkan pada mimpi, namun kurang lebih aturan-aturan ini
berlaku baku dan harus di jalankan.
Isi mimpi dan kejadian yang terjadi wajib di ceritakan kepada bapa dan mamanya,
setelah mengetahui bapanya akan mengambil tindakan melakukan acara doa atau
selamatan jika ada mimpi yang di anggap kurang baik, atau kejadian yang melanggar
aturan secara tidak sengaja karena kelelahan atau kecerobohan (diyo wegee). Masa
menstruasi pertama ini bagi orang mee adalah masa yang dianggap sangat sakral
(suci), karena orang Mee berkeyakinan bahwa masa-masa ini adalah waktu dimana
Sang Khalik/ Allah (Ugatamee) secara nyata hadir untuk menyampaikan ramalan masa
depan hidup hingga sampai kapan anak perempuan ini akan kembali kepada sang
pencipta atau meninggal dunia. Dari kebanyakan cerita para orangtua (mama-mama)
bahwa semua mimpi dan kejadian –kejadian saat mereka menjalankan puasa itu
menjadi kenyataan. Mama –mama ini sambil bercerita, mereka akan menghitung
berapa yang sudah menjadi kenyataan dan berapa yang belum.
b. Sebagaimana pada masa anak-anak, pada masa remajapun, anak perempuan mee
dilarang untuk meninggalkan rumah, walau hanya sekedar bermain bersama teman
atau tidur dirumah teman tanpa ada ijin dari orangtuanya. Remaja perempuan yang
sudah menstruasi akan diijinkan kecuali jika akan pergi kerumah temannya yang
sedang berpuasa (diyodou). Karena memang ada kebiasaan bahwa yang boleh
menemani anak gadis yang sedang berpuasa itu hanya anak-anak gadis lain yang sudah
menjalaninya, dan atau yang sedang menginjak masa pubertas dan akan segera akan
mendapat haid.
c. Anak perempuan mee wajib menjaga dan menimang adik-adiknya dan mulai bertindak
sebagai mama, seketika mama melakukan pekerjaan yang lain; karena diapun harus
belajar mempersiapkan diri menjadi seorang mama/ibu yang baik bagi anak yang di
lahirkannya.
d. Anak perempuan mee wajib mengikuti mama dan bapanya kehutan untuk mencari :
1. Kulit kayu (bebi) yang akan di pintal menjadi benang dan akan di rajut menjadi :
Noken (agiya), jala (ebai) untuk menjaring ikan bagi suku mee yang ada di sekitaran
danau dan muara kali (biasannya ukurannya agak besar) atau jala untuk menjaring
berudu (toba) bagi Mee yang berada di daerah hulu sungai/kali (ukurannya kecil),
noken kecil atau tas leher (ute) untuk bisa di pakai mengisi kodok (doge) atau serangga
kecil (giiyu,mutaapu dan yukuga).
2. Daun Pandan (yage) yang akan di proses menjadi jas hujan (edi ebaa) atau sebagai
tempat/alas menidurkan bayi yang diisi dalam noken (matau/diko) atau di anyam
menjadi tikar alas lantai rumah (mukai ebaa).
3. Bambu (gau dan idee) yang akan di proses menjadi tempat mengisi air untuk ukuran
yang besar (idee), untuk ukuran yang kecil (gau) akan di jadikan tempat mengisi
berudu (toba), dan serangga (giiyuu,mutaapuu, dan yukuga.)
Semakin anak perempuan mee bertumbuh menjadi gadis, tanggungjawabnya semakin
besar, namun tidak pernah dianggapnya sebagai suatu beban, karena sejak di dalam
kandungan mamanya dia sudah mengetahui tugas yang diemban mamanya, dia
menyadari bahwa itulah tugas yang juga akan dia akan lakukan setelah dia kawin dan
berkeluarga. Seluruh tugas mau dan tidak mau di laksanakan, karena jika dia mangkir
atau tidak mendengar dan tidak belajar untuk melakukannya, anak perempuan ini akan
di anggap sebagai anak perempuan yang tidak trampil dan berkepribadian jelek
sehingga berperilaku sebagai anak mee yang sebenarnya ( iyee beu yokaa). Akibat
anak yang tidak taat ini mamanya akan mendapat cemoohan dan dianggap atau
dikatakan sebagai mama yang tidak tau mendidik dan membina anak ( ukaameenaa
iyee beu).
e. Ketika anak perempuan Mee ini menjadi seorang gadis,tidak memiliki hak untuk
mencari dan menentukan pasangan hidupnya sendiri, laki-laki pilihan bapaknya atau
saudara laki-lakinya adalah keputusan. Dalam konteks seperti ini kadang ada anak
yang merontak dan menolak, maka di pastikan akan di paksakan dengan segala cara.
Sering terdengar kabar bahwa ada perempuan yang lari (wakaa keeke) dari keluarga
karena dipaksakan kawin, namun sebagai anak yang harus berbakti pada orangtua,
pada akhirnya dia akan kembali karena ikatan perasaan keluarga tempat di mana
dahulu dia hidup. Lebih banyak kaum perempuan mee adalah perempuan yang taat dan
patuh dan selalu sangat yakin pilihan orang tua pasti selalu yang terbaik.
Salah seorang mama mee (dahulu anak gadis) yang pernah melarikan diri karena di
paksa kawin tapi karena rasa hormat mereka pada orangtuanya dan kawin dengan
pilihan orang tuanya bercerita kepada saya, anak seandainya kalau dulu waktu mama
gadis itu kawin dengan lelaki pilihan mama (menunjuk dirinya), mungkin saat ini
mama sudah mati, karena ternyata laki-laki itu tidak tau bertanggungjawab terhadap
keluarganya, untung mama kawin dengan bapamu (menunjuk suaminya), biar kami
sudah tua tapi kami masih hidup dengan semangat seperti anak muda, sambil dia
tertawa kecil.
C. Perempuan MEE dalam Keluarga Baru
Perempuan mee yang baru kawin harus berani mengambil keputusan untuk meninggalkan
kedua orangtuanya,rumahnya, adik-adiknya dan kampungnya dan mengikuti suaminya
untuk memulai hidup baru bersama keluarga besar suaminya. Segala tugas yang pernah
dia belajar dari keluarga asalnya (mama dan bapanya) harus dia lakukan dan jalankan
dalam dunia nyata hidupnya bersama keluarga besar suaminya. Dalam keluarga yang baru
perempuan Mee yang sudah terlatih tidak akan kaget dengan segala tugas dan tanggung
jawabnya. Perempuan Mee yang sudah melalui belajar panjang dan sudah di lakoninya
sejak masa kecil bersama mamanya, tentu akan menjadi perempuan dewasa yang penuh
tanggung jawab dan sabar menghadapi kehidupan dan dunia baru. Semua tugas yang
dahulu dia kerjakan sebagai anak membantu mamanya, kini menjadi tanggung jawab yang
harus dia kerjakan sendiri. Dahulu saat gadis ini masih menjadi anak dalam keluarganya,
yang dia alami hanya sebuah keharusan atau kewajiban sebagai anak untuk membantu
meringankan beban mamanya. Namun setelah dia menjadi seorang istri dan ibu/mama dia
harus menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai istri dan ibu/mama juga harus
menanggung beban PSIKIS (tekanan /beban batin).
Perempuan Mee dewasa dalam keluarga baru harus berani menjadi :
a. Mama / ibu bagi anak- anak nya dan suaminya
Sebagai mama/Ibu, perempuan Mee memiliki tanggung jawab: bekerja membuka
lahan baru untuk berkebun diatas tanah milik suaminya, bersama suaminya. Umumnya
suami istri yang baru ini akan bahu-membahu dalam membuka lahan baru, membuat
parit serta pagar di sekeliling kebunnya dan merencanakan bersama kapan dan dimana
mereka akan bangun rumah mereka. Karena baru membuka lahan milik sendiri dan
tidak ada kebun miliknya yang bisa di panen, maka untuk konsumsi makanan buat dia
dan suaminya haruslah dia berusaha, entah harus pergi ke kebun milik orang tuanya
atau jika mama mantunya baik maka dia bisa mengambil petatas di kebun milik
mertuanya itu. Mengambil air minum, mencari kayu bakar, memotong dan
menyalakan tungku api, memasak makanan (bakar petatas dan sayuran yang di
bungkus) dan menyuguhkanya kepada suaminya dan anggota keluarga yang lain,
Merawat bayi yang dilahirkannya, memberikan makan, menimang dan menjaga. Anak
bayi akan di ajak serta ke kebun atau ke hutan mencari kayu bakar atau ke kali mencari
berudu, sedikitpun tanggung jawab menjaga bayi dan anak tidak akan di bantu oleh
suaminya karena akan menutup pintu rezeki suami.
Seluruh tanggung jawab merawat, menjaga dan membina anak di bawah umur 10
tahun sepenuhnya di lakukan oleh seorang mama mee. Mama mee dituntut harus
memiliki kekuatan dan kemampuan lebih dalam menjalankan tugasnya ini.

b. Teman/ Pendamping suaminya


Perempuan Mee harus belajar menjadi teman yang baik, pendengar yang setia, pekerja
yang rajin bagi suaminya, sabar menghadapi kehidupan dan kebiasaan baru. Tugas
pelayanan sebagai istri baik yang harus mampu memberikan keturunan, dengan
mengandung dan melahirkan adalah kodrat perempuan yang harus di jalaninya.
Cobaan berat yang kadang harus tanggung adalah, jika pada enam bulan atau satu
tahun yang pertama dia tidak menunjukan tanda-tanda akan hamil. Tuntutan keluarga
suami dengan segala macam kata, akan menjadi pukulan yang berat. Seluruh tanggung
jawab agar dia hamil dan memiliki anak menjadi tugas berat secara psikis yang harus
di cari jalan keluarnya oleh si istri.
Suatu hal yang dianggap tabu, jika dia meminta atau memohon suaminya untuk
mencari jalan keluar agar dia dapat hamil, justru ibu ini akan di tanya ulang tentang
mimpi pertama saat haid pertamanya yang mungkin dia lupa ceritakan. Ibu ini mulai
merasakan tekanan karena menjadi perempuan yang tidak berguna.
Seorang Ibu dituntut menjadi mama yang baik bagi suaminya mencari memasak
makan bagi suaminya, memberi makan ternak yang ada, membantu suaminya
mengangkat kayu bakar atau pagar yang sudah di potongnya. Namun jika suaminya
tidak melakukannya, tugas mencari kayu bakar dan membuat pagar untuk kebun
barunya juga menjadi tanggung jawabnya. Belum lagi segala macam ejekan,
cemoohan hingga pukulan secara fisik yang harus dia tanggung karena terlambat
menyuguhkan makanan atau karena anak yang menangis atau karena capai bekerja
seharian sehingga tidak berdaya melayani suami diranjang.
c. Anggota Keluarga baru dalam keluarga suaminya
Sebagai anggota keluarga baru dalam keluarga suaminya, seorang perempuan Mee
harus mampu beradaptasi, mengenal dan bergaul dalam hidup bersama mereka.
Perempuan Mee dituntut menjadi teman yang baik bagi saudari perempuan suaminya
dan menjadi anak yang baik bagi kedua orang tua suaminya (mertuanya). Keputusan
ayah dan ibu mertua, dengan segala aturan hidup yang sudah menjadi kebiasaan hidup
dalam keluarga suaminya adalah keputusan mutlak dan harus di patuhi. Mampu
menjaga keseimbangan dan keharmonisan hidup keluarga dengan tidak serta merta
memberikan pendapat atau saran seketika ada masalah karena akan dianggap sebagai
orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Intimidasi terhadap dirinya baik fisik
atau psikis yang dia alami akibat gesekan kesalahan atau keteledorannya, tidak boleh
dia sampaikan kepada orang tua atau saudara laki-lakinya karena akan di anggap
sebagai perempuan yang lemah, perempuan yang tidak siap menjadi istri.
d. Anggota Masyarakat Baru
Sebagai anggota masyarakat yang baru perempuan Mee juga dituntut untuk bergaul
dan belajar gaya hidup baru di tempat yang baru. Dituntut menjadi ibu yang peka
dengan segala masalah dan kejadian yang terjadi, seperti ada warga masyarakat atau
anggota keluarga besar suaminya yang akan membayar mahar maskawin maka dia pun
harus bertanggungjawab memberikan sumbangan, apa lagi jika ibu ini memiliki anak
laki-laki.

Bab II

Perempuan Mee dalam Pengaruh Budaya Luar

Perkembangan teknologi dan perubahan jaman yang semakin pesat terjadi jauh di luar sana
ikut merambah hingga ke pelosok, dimana di tanah Papua di tandai dengan kehadiran tuan
Ottow dan Geisler di bagian utara pulau yang tiba di pulau Mansinam, Manokwari dan
Pastor Herman Tillemans dan Staverman yang datang bersama pemerintah Belanda di Papua
pada tahun 1929 (otobiografi Tillemans), membawa pengaruh yang pada umumnya baik. Hal
ini dapat penulis sampaikan karena belum pernah ada cerita orang tua di pesisir yang
menyatakan bahwa kehadiran Bangsa Belanda sebagai Bangsa yang datang katanya untuk
menjajah, apa lagi melakukan tindakan kekerasan penindasan hingga kerja paksa (Rodi)
seperti kebanyakan cerita di beberapa daerah atau pulau lain di Indonesia (cari literature).
Memang ada hukuman namun itu di berikan kepada orang yang tidak mengerjakan pekerjaan
sesuai perintah dan bagi orang tua dahulu saat itu menganggap hukuman itu sebagai
pembelajaran agar dia tidak melakukan kesalahan lagi (hrs cari data). Pada intinya penulis
ingin menggambarkan sedikit saja tentang sejarah masuknya pengaruh bangsa belanda di
Papua, karena penulis lebih menitikberatkan pada pengaruh kehadiran bangsa belanda bagi
perempuan Mee.
Perubahan jaman dan pengaruh luar memberi angin perubahan di segala bidang kehidupan
suku mee yang di mulai dengan kehadiran pengaruh kehadiran misi katholik dan misi
zending di tanah meuwo yang di mulai awal decade 1930-an. Perubahan jaman di daerah
pedalaman ini bagaikan angin yang kencang yang turut juga memporak-porandakan adat dan
kebiasaan yang di jaga kesakralannya selama kehidupan nenek moyang mee hingga awal
tahun 1970-an, setelah memasuki era atau jaman Indonesia mulai menjalankan
pemerintahannya di Papua setelah pelaksanaan PEPERA tahun 1969 yang penuh dengan
gejolak dan tantangan, justru semakin terpuruk karena kekerasan militer meraja lela.
Angin kencang pengaruh budaya asing (barat) yang hadir dengan memberi perhatian secara
keras, yang bisa di terima dengan orang mee dengan baik, karena kerasnya pendidikan dan
pembinaan barat di daerah meuwo sama dengan kebiasaan dan kebudayaan mee yang sudah
dan sedang hidup dalam budaya keras namun bermartabat. Gaya kepemimpinan, gaya
pendidikan, gaya hidup, hingga gaya bersosialisasi dimasa belanda di meuwo mendapat
tempat yang baik dalam kehidupan mee dan budaya mee.
a. Perempuan Mee Jaman Misi Katholik dan misi Zending
Kehadiran misionaris Belanda di daerah Meuwodidee yang ditandai dengan penerbangan
pertama yang di lakukan oleh tuan wissel dan merren diatas 3 danau Tigi, Tage dan Paniai
yang berada di meuwodidee tahun 1930. Dan selanjutnya Pastor Tillemans bertemu
dengan Tuan Auki Tekege di Kokonau tahun 1931. Penulis tidak akan bercerita tentang
sejarah perjalanan perkembangan misi itu namun lebih mencoba menguraikan bagaimana
misionaris perempuan, biarawati asal belanda atau suster –suster yang mengambil alih
peran mendidik perempuan Mee yang di tandai dengan membuka sekolah atau Sanggar
Kegiatan Belajar (SKB) di Epouto tahun 1946 dan pada akhirnya di pindahkan ke
Enarotali (Paniai) sekarang pusat kota Kabupaten Paniai sekitar tahun 1957.
Para biarawan katholik ini berperan aktif mendidik perempuan Meeuwo dengan berbagai
kegiatan dalam sekolah atau sanggar berpola asrama. Pendidikan ini berkisar bagaimana
mereka bisa menjadi perempuan petani Mee yang handal, menjadi mama yang baik
dengan bisa memasak dengan alat masak, menjahit pakaian, mendidik anak dengan
memandikan, mampu mengajari anak bukan saja berkebun namun pendidikan formal
minimal bisa menemani anak belajar pelajaran di sekolah. Kehadiran para biarawati ini
sungguh sangat membantu para putri Mee agar kelak dapat menjadi mama-mama hebat
bagi perkembangan generasi berikutnya dengan tidak meninggalkan kebudayaan dan
aturan adat yang berlaku dalam peran mendidik anak sebagai generasi penerus.
Pola pendidikan biarawati katholik dalam mendidik perempuan mee saat itu, tidak pernah
membedakan antara satu dengan yang lain, dimana porsi didikan dan binaan di berikan
secara merata dan justru memberikan peluang bagi yang di rasa kurang dengan
mengenjotnya menjadi sama atau kalau boleh lebih, dengan cara menambah waktu
pembelajaran. Waktu pendidikan berpola asrama ini minimal dua tahun, jika ada hal baru
yang harus di tambahkan maka akan di minta persetujuan dari si anak didik ini, atau
kekeluarganya. Dalam masa pendidikan ini sedang berlangsung, anak-anak didik tidak di
ijinkan untuk meninggalkan atau meminta untuk mengundurkan diri atau keluar dari
asrama, walaupun itu permintaan dari orang tuanya. Dalam beberapa cerita dari mama-
mama ini menceritakan bahwa mereka dididik dengan aturan yang ketat dalam asrama dan
jika salah mereka akan mendapat hukuman dan mereka (mama-mama) mengakui bahwa
persis dengan sistim pendidikan atau pembinaan yang mereka dapat di dalam rumah dari
orangtua mereka.
Gadis-gadis ini masuk sekolah ini dengan di tuntun oleh pihak gereja setempat atau
bahkan dengan di paksa Pihak gereja katholik (pastor) meminta bantuan pemerintah
belanda melalui pamong yang ada di tiap distrik agar mencari gadis –gadis di distriknya,
agar bisa di kirim ke Enarotali. Anak-anak gadis ini di pilih dalam arti mereka yang
mampu dan masih dibawah umur 15 tahun di kirim ke Epouto untuk bersekolah di VVS
dengan teman-temannya laki-laki Mee. Pada tahun 1973 pusat pendidikan yang sama di
buka oleh misionaris katholik di Mowanemani- Kamuu yang sekarang telah menjadi pusat
Kabupaten Dogiyai, melalui pendirian Yayasan P-5. Pusat pelatihan yang di buka itu
adalah untuk perempuan di sebut: PBWP (Pusat Belajar Wanita Petani) dan untuk laki-laki
adalah SPL (Sekolah Petani Laki-laki). Melalui yayasan ini banyak sekali para puta dan
putri Mee di didik menjadi petani yang mampu mengembangkan keluarga bahagia dengan
menitik beratkan pada pembinaan dan pendidikan anak atau generasi baru.
Perempuan Mee pada jaman ini menjadi perempuan hebat, ulet dan trampil yang masih
kuat hidup dalam aturan adat dan menjadi tangguh dengan pengaruh hidup yang baru yang
mereka sadari bahwa pengaruh itu sebagai hal yang baik dan semakin mempertajam
kemampuan dan ketrampilan yang sudah ada.

Gambar. Kebun milik SKB di epouto

b. Perempuan Mee dan pengaruhnya di kampung


Perempuan Mee yang telah mendapat pendidikan dan pembinaan di SKB dan PBWP
sepert telah di uraikan diatas, menjadi duta-duta perubahan gaya hidup lama di
kampungnya masing-masing. Perubahana gaya hidup lama berkisar seputar kebersihan diri
dan lingkungan, pola masak dan makan yang baik, dan membuka ruang gerak para
perempuan untuk mengambil bagian dalam gereja serta mampu membentuk komunitas
atau kelompok perempuan untuk belajar bersama. Dari seluruh perubahan ini, para
perempuan ini sedikitpun tidak merubah gaya atau pola asuh anak- anaknya baik anak
perempuan maupun anak laki-laki sebagaimana kebiasaan atau budaya yang ada. Pola
pendidikan anak yang mereka kembangankan adalah pola semi transisi yaitu pada pagi
hari anak-anaknya harus masuk sekolah dan setelah pulang anak-anak berada dalam
asuhan sang mama. knya, sangat memberikan hasil yang bagus dimana mereka berhasil
mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang tangguh dan cerdas bukan saja dalam hal
pendidikan formal saja namun dalam budi pekerti dan hidup kerohaniannya.
Para perempuan Mee ini mulai membentuk kelompok atau komunitas perempuan agar
kelebihan dan kemampuan mereka dapat mereka salurkan atau dapat di bagi kepada
perempuan lain yang tidak mengenyam pendidikan seperti mereka. Mereka
mengumpulkan para gadis muda dan mama-mama yang mau belajar dan memulai
kegiatannya dengan belajar lagu – lagu rohani dan mengenalkan doa-doa umum gereja
katholik yang wajib di ketahui. Selain belajar lagu mereka mengajak para gadis dan
mama-mama dengan cara menjaga kebersihan diri, lingkungan rumah termasuk cara
bercocok tanam yang benar dan mengatur pola masak makanan yang benar. Memasuki
tahapan belajar seperti ini membutuhkan proses, karena tidak mudah merubah kebiasaan
budaya yang ada namun perempuan-perempuan ini memulai dengan diri, dan keluarga
mereka sendiri dan secara perlahan gadis-gadis dan mama-mama di ajak melihat indahnya
lingkungan rumah mereka dan mengajak makan makanan yang di masak di rumahnya.
Menjadi agen perubahan bukan dengan berkata-kata namun lebih menitik beratkan dengan
teladan mereka sendiri, dengan cara ini banyak gadis-gadis di kampung yang ingin
bergabung dan mulai belajar. Mereka berkarya dengan memberi teladan baik di dalam
masyarakat dan didalam gereja, juga di dukung penuh oleh suami mereka adalah guru
muda atau pegawai negeri muda yang sebelumnya belajar di VVS Epouto.
Keberlanjutan pendidikan yang mereka lakukan di dalam kelompok kecil ini tetap
mendapat perhatian dan pengawasan dari para suster Belanda, perhatian ini hal pengadaan
kain untuk belajar menjahit, pengadaan benang wool untuk merajut, peralatan dan bahan
memasak untuk belajar memasak, pengadaan buku-buku pengenalan huruf hingga
pengadaan buku-buku rohani. Sesuai daeranya masing-masing mereka memberi nama
kelompoknya dan di daerah Lembah Kamuu dan Mapia disebut kelompok mama-mama
social.
Salah satu contoh adalah Bapa dan mama saya, Bapa saya adalah Tokoh gereja katholik
atau lasim disebut sebagai Pewarta pertama orang asli di lembah kamuu yang walaupun
beliau hanya bersekolah di SR (sekolah rakyat) di Ugapuga, namun karena dianggap
mampu ayah saya diangkat sebagai ketua dari para pewarta lain. Mama saya selesai
pendidikan Sekolah rakyat di kampung (Ugapuga) dan melanjutkan sekolah VVS di
Epouto dan tidak melanjutkan sekolah selanjutnya bersama teman-temannya yang
berangkat ke Fak-fak, beliau (mama) di ambil oleh pastor belanda untuk membantu pastor
sebagai Koki (tukang masak) di Pastoran pada pagi dan sore hari namun pada siang hari
mama diangkat sebagai bendahara yayasan P-5 sepertinya yang sudah di uraikan diatas.
Orangtua mampu mendidik kami anak-anaknya bukan saja menjadi anak-anak yang cerdas
dan pintar namun juga menjadi anak-anak yang masih bisa mengenal budaya yang baik
dari kebudayaan Mee itu sendiri.
Pengalaman pendidikan saya sendiri sebagai anak yang hidup dalam aturan budaya yang
ketat yang berkolaborasi juga dengan aturan agama karena saya lahir dari keluarga
Pewarta, Saya di bimbing oleh ayah dan ibuku agar harus bersekolah dan jangan mau
mengalah dalam sekolah pada siapapun, jika itu hal yang benar apa lagi soal pendidikan.
Menurut mereka pendidikan itu penting, karena pendidkan itu baik dan benar selain akan
menentukan masa depan hidupmu yang ada ditanganmu sendiri, kakak- kakakmu yang
sedang sekolah itu tidak akan berbagi dengan kamu, begitu kata Ayah dan Ibuku
memberikan motivasi dan dorongan agar saya tidak lupa untuk belajar. Saya berjuang
menuntut ilmu dan hampir tidak pernah mengecewakan orangtuaku dalam soal nilai. Satu
hal yang patut saya ajungi jempol kepada orangtuaku yang tidak pernah membiarkan kami
masuk dalam dunia kami sendiri namun dengan gaya mereka, mereka mampu mengatur
kegiatan kami setiap hari hingga malam hampir tidak pernah alpa untuk memberikan kami
nasihat seraya mengajak kami berdoa bersama dan menceritakan dongeng saat akan tidur.
Orang tua saya masih memegang teguh adat dan kebiasaan Mee, seperti sudah penulis
uraikan dalam bab I point a, dimana saya tidak pernah di biarkan artinya kegiatan saya
setelah pulang selalu dalam pengawasan, ada saja hala yang harus saya kerjakan, apa lagi
sifat saya yang agak tomboy. Seluruh waktu saya di buru atau di paksa untuk melakukan
kegiatan membantu mengerjakan pekerjaan yang mampu dilakukan oleh anak gadis
seumuran saya, dengan jadwal yang ditulis dan ditempel di dinding rumah kami, seperti :
mencuci piring, menyapu halaman dan rumah, memasak makanan ternak dan memberi
makan ternak, mencuci pakaian, hingga saya harus mrngikuti mama kekebun untuk
menggali petatas dan angkat bedeng setelah mama pulang dari kantor.
Pada saat liburan kami diijinkan untuk mengikuti nenek (ibu dari mama) kekampung
Pogito, yang berada di bagian timur dari kota Mowanemani. Disana kami tidak bersantai
menikmati liburan kami, namun belajar bersama nenek dengan mengikuti segala rutinitas
hidup nenek. Semua kegiatan berjalan secara alami dengan maksud agar kami bisa belajar
bagaimana seorang anak gadis mee bergaul dengan alam bebas baik hutan maupun kali. Di
kampung bersama nenek, saya di ajak masuk kehutan untuk mencari kulit kayu, daun
pandan, menjala berudu dan menangkap kodok. Semua tugas yang harus di lakukan oleh
seorang anak perempuan mee sesuai adat saya harus jalani, hingga selalu mengingatkan
akan arti pentingnya menstruasi pertama bagi anak gadis Mee. Dalam kehidupan bersama
nenek saat liburan saya mengetahui bagaimana perempuan mee dalam dunia sebelum
mengenal pengaruh dunia luar mereka hidup, sehingga boleh di katakana bahwa lebi
banyak uraian tentang kehidupan perempuan mee lahir sampai berumah tangga di bab 1
bisa saya tulis selain beberapa tambahan dari cerita bapa, mama dan orang tua lain yang
saya temui.
Pendidikan dan pembinaan bagi anak-anak yang lahir dari bapa dan ma
c. PEREMPUAN Mee MASA TRANSISI
1. MASA TRANSISI YANG KELAM
Bagaimana sejarah papua berintegrasi dengan Indonesia, penulis tidak akan menjelaskan,
sedikit cerita yang saya ketahui dan yakini yang bisa saya tuliskan, karena cerita
bagaimana Indonesia mengambil alih kekuasaan di Papua dari tangan Belanda, penulis
banyak mengetahuinya dari pelajaran sejarah di bangku sekolah dahulu. Namun setelah
mengetahui sedikit kebenaran akan apa yang terjadi, dan sebagai orang papua meyakini
bahwa sejarah Indonesia merebut Papua masuk dalam NKRI dalam arti kata terjadi
aneksasi atau terjadi pemaksaan kehendak, penulis mengambil kesimpulan bahwa
kepincangan-kepincangan yang terjadi atau dialami orang Papua pada umumnya dan
Orang MEE dalam budaya juga diakibatkan oleh Sejarah yang di bengkokkan atau di
manipulasi. Manusia papua yang dahulu biasanya hidup dalam kenyataan hakiki, tanpa
manipulasi dan selalu hidup sesuai aturan budaya yang ada atau yang di anut secara turun-
temrun, secara mendadak di kejutkan dengan gaya kerja pemaksaan kehendak yang adalah
budaya baru (asing), dengan mengikuti apa yang diinginkan Indonesia.
Kepincangan-kepincangan atau manipulative Sejarah yang turut memberikan andil atau
pengarug yang sangat signifikan dalam perkembangan manusia papua bertumbuh dalam
komunitas budaya orang papua adalah :
Penyerahan kerajaan Belanda ke Indonesia tanpa syarat ini terjadi 6 (enam) tahun lebih
cepat, artinya melalui New York Agreement yang di prakarsai PPB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa) 15 agustus 1962 mempertemukan pemerintahan Kerajaan Belanda
dan Indonesia yang pada akhirnya PBB membentuk United Nations Temporary
Execitive Authority (UNTEA) sebuah badan yang akan mempersiapkan pelaksanaan
agenda act free choice/Penentuan pendapat rakyat (pepera) yang direncanakan 14 juli
hingga 2 agustus 1969 belum terlaksana.6
1. . PBB dengan tegas mengatakan bahwa: paling lambat 1 oktober 19627 kerajaan
Belanda sudah harus menyerahkan Papua kepada UNTEA agar dapat melaksanakan
ACT FREE CHOICE.
2. Negara Indonesia di tanah papua di mulai ketika nama Irian diganti menjadi Irian
Barat pada tanggal 1 mei 1963 saat Belanda menyerahkan Irian kepada Indonesia,
karena Indonesia dengan Presiden Sukarno berhasil merebut Irian (Papua) dengan
gerakan TRIKORA (Tiga Komando Rakayat).
Dengan cara Soekarno melanggar perjanjian bersama, Soekarno mau agar
penandatanganan kontrak kerja PT.Freeport Mc.Moran terjadi hanya antara Amerika
dan Indonesia pada tahun 1967 dan secara sah menggunakan nama Irian Barat
walaupun agenda act free choice/Penentuan pendapat rakyat (pepera) yang
direncanakan 14 juli hingga 2 agustus 1969 belum terlaksana.8

Kepincangan sejarah integrasi Papua ke NKRI benar-benar memberikan dampak yang


negative bagi perkembangan bangsa papua pada umumnya dan orang mee pada
khususnya. Kepincangan ini terjadi akibat, gerakan TRIKORA di Papua melalui militer
Indonesia yang membumi hanguskan semua bangunan milik pemerintahan Kerajaan
Belanda termasuk sarana Pendidikan, sarana kesehatan dan sarana Pertanian dipusat-pusat
kota besar sepeti di Holandia (Jayapura), Byak (Biak) dan beberapa tempat lain di pesisir
Papua.

Acub Zainal seorang mantan Gubernur Papua (Irian Jaya), pada tahun 1980 memberi
gambaran dalam bukunya yang di tulis oleh: Nurinwa,1998 (Acub Zainal: I Love
Army,JKT Sinar Harapan,hal.76),mengatakan:

Berbagai fasilitas peninggalan Belanda banyak yang diangkut ke daerah lain di


Indonesia;peralatan militer,peralatan kantor-kantor,perabot rumah tangga dan
sebagainya diangkut. Coklat, kembang gula atau bir yang memang ada di Irian,
diangkut semua. Botol=botol yang di tanam untuk pagar, digali,diambil dan
diangkut. Saya sendiri ikut-ikutan membawa karpet. ….Teror juga dilakukan
terhadap penduduk yang dianggap pro Belanda. Surat-surat maupun buku-buku cetak

6
Verelladevanka,Kompas com
7
CNN Indonesia, 2019
8
Verelladevanka,Kompas com
peninggalan Belanda juga dibakar. Hngga berbagai informasi tentang Irian barat
hilang” (Markus Haluk,2019)9

Selain pernyataan di atas ini, S.P.Morin, salah satu pejabat Papua (Irian jaya) pada jaman
Gubernus Barnabas Suebu, menjelaskan tentang perbedaan Pemerintahan Belanda dan
Indonesia, beliau mengatakan

“Apa yang sangat menggangu OAP melalui kehadiran Indonesia dewasa ini, tidak
hanya penedekatan militer/keamanan secara sitematis tetapi juga dalam bidang
ekonomi. Belanada tidak pernah merampok tnah: dusun sagu,pinang, dan sirih juga
noken dllIndonesia justru merampok tanah , sambil mengambil alih pasar dan tanah
masyarakat dan akhirnya menjadi tuan tanah baru lalu juga mengambil alih barang
jualan seperti: pinang,sirih,noken dll dan mulai menjual beli dan hidup dari situ.
(Haluk,2019).

Fenomena perubahan kondisi yang dialami masyarakat atau orang asli Papua semakin
membabat atau mengikis peradaban kebudayaan asli yang sudah menjadi tardisi. Keadan
ini mengacu orang Papua untuk mencari tempat aman sehingga kebiasaan dan adat
istiadat yang ada mulai terancam. Pada hakekatnya perubahan peradaban hidup
pemaksaan dengan intimidasi dan penganiayaan semakin meraja lela juga mulai
mempengaruhi dan merambat hingga kepada hidup berumah tangga.

Didaerah meuwodidee (sebutan untuk daerah atau wilayah yang di mukim oleh
suku/etnik mee) yang pada jaman sekarang setelah kehadiran OTSUS di sebut dengan
wilayah adat Meepago, melakukan aksi protes pada tahun 1969, saat PEPERA sebagai
tindakan atau pernyataan bahwa orang Mee menolak dengan tegas kehadiran negara
Indonesia, dan meminta agar dunia internasional melalui UNTEA mengakui
kemerdekaan Papua Barat pada tanggal 1 juli 1961 yang di proklamirkan oleh Pemuda-
pemuda Papua saat itu di PORTH HOLAND yang sekaligus telah mengubah nama ibu
kota Negara Papua menjadi HOLANDIA. Penolakan ini terjadi karena kehadiran UNTEA
di daerah Meuwo turut mendukung segala kegiatan yang sudah di bangun oleh
pemerintah Belanda dan mendukung penuh gerakan pembaharuan melalui misi –misi dari
gereja Katholik dan gereja Zending (Kingmi). Seperti sudah di diuraikan diatas secara
singkat bahwa kehadiran Indonesia dengan kekuatan militer yang meninggalkan efek
ketakutan dan pengaruh buruk terhadap kelanjutan peradaban budaya yang ada. Dalam

9
Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua, hal 2
keadaan yang seperti ini, orang mee mengalami proses degradasi ketahanan budaya yang
hebat dalam mempertahankan nilai-nilai budaya, nilai-nilai kehidupan, hingga kepada
nilai –nilai spiritual yang luhur.

2. PEREMPUAN MEE DIMASA AWA PEMERINTAH INDONESIA


Papua sebagai provinsi baru yang ke -27 dengan nama Provinsi Irian jaya, Negara
Indonesia memulai pembangunan di Papua dengan pendekatan militer. Hampir di seluruh
tanah Papua militer Indonesia menjalankan misi REPELITA (Rencana Pembangunan
Lima Tahun) produk Orde Baru (Orba) setelah membumi hanguskan pembangunan yang
sudah di lakukan Pemerintah Kerajaan Belanda. Indonesia di bawah pemerintahan
Soeharto menjalankan misi perampokan dan pembunuhan orang Papua; Dalam laporan
terbaru yang disusun Asian Human Right Commision (AHCR), yang melakukan riset
selama 3 tahun, Yenny Kartika melaporkan bahwa, Indonesia mengunakan helikopter
yang di suplai Australia dalam genosida atau pembunuhan massal terhadap warga sipil
Papua Barat pada era 1970-an. Selain itu ada dua helicopter milik Iroquois (kumpulan
rakyat pribumi Amerika Utara) yang dikerahkan militer Indonesia ke dataran tinggi Papua
(pedalaman Papua) antara tahun 1977-1978.10
Di beberapa daerah di Meuwo terjadi pembantaian, pembunuhan, penyiksaan,
penindasan, dan pemerkosaan secara sistematis, merambat hingga ke pelosok daerah di
meuwo mengakibatkan semakin buruknya tatanan hidup masyarakat dan memporak-
porandakan tembok atau benteng pertahanan kebudayaan. Hal yang sudah menjadi
kebiasaan Mama-mama dengan anak-anaknya yang dahulu tanpa perasaan takut
menjalani dunia kehidupan mereka antara kebun dan rumah; Kini mereka takut untuk
menjalankan kehidupan mereka, karena militer Indonesia ada di mana-mana. Mama-
mama mee yang telah menjadi agen-agen pembaharu karena pendidikan dan pelatihan
yang mereka dapat dari biarawati katholik Belanda, dan telah membentuk kelompok-
kelompok belajar di kampungnya, pun ikut takut untuk menjalankan kegiatan –kegiatan
bersama mama-mama dan gadis-gadis, karena mereka takut diintimidasi dan dicap
sebagai antek-antek belanda. Pada saat yang sama seluruh peralatan latihan memasak,
menjahit dan merajut di rampok militer Indonesia dan membakar rumah –rumah tempat
belajar pada awal tahun 1970, beberapa bulan setelah pelaksaaan PEPERA. Bangunan
yang tersisa hanya yang berada di dekat kompleks gereja katholik maupun kompleks
gereja kingmi (Zending) serta beberapa gedung sekolah. Kondisi ini semakin

10
Yenny Kartika,Jawaban.com
memperpanjang masa kesenjangan sosial, kesenjangan peradaban hidup, dan kesenjangan
pendidikan bagi orang mee.
Pada dasarnya kehadiran Indonesia di tanah Papua pada umumnya meninggalkan duka
(memori pasionis) dan penderitaan yang mendalam . Ketika Orang Papua umumnya dan
orang Mee pada khususnya baru menerima peradaban baru dengan kehadiran
pemerintahan kerajaan Belanda dan sedang belajar beradaptasi dan mencoba
mengkolaborasi kebudayaan yang ada dengan budaya baru atau kebiasaan baru, karena
pendekatan kepada masyarakat setempat dilakukan dengan pendekatan spiritual;
Datanglah budaya baru (Indonesia) dengan orang yang baru dengan segala kebiadaban
militerisme yang tidak mengenal rasa kemanusiaan, menghancurkan budaya dan tatanan
hidup itu. Fenomena
Pertanyaan akan muncul, Apakah kehadiran pmerintahan Indonesia tidak melaksanakan
pembangunan? Jawabannya adalah Pemerintah Indonesia melaksanakan pembangunan
sekolah-sekolah Inpres/Negri, Puskesmas dan bangunan kantor pemerintah lain serta
Kantor Polsek dan kantor KORAMIL sekaligus dengan barak-barak penginapan di pusat
kota Kabupaten dan kota Distrik (kecamatan). Namun sekali lagi dalam pengambilan
bahan bangunan (kayu), tidak meminta ijin kepada pemilik lahan, dan mengambil tanpa
menanam kembali seperti yang dilakukan pemerintah belanda. Tanah tempat mereka
babat kayunya mereka jadikan lahan berkebun mereka, pada hal tempat atau hutan itulah
dahulu orang Mee berburu dan mengambil hasil hutan lainnya, atau juga tempat atau
hutan itu tempat keramat (suci/sakral) bagi orang Mee.
Selanjutnya dalam pengelolaan pemerintahan itu didatangkan guru-guru dan tenaga
kesehatan dari Indonesia dengan pesawat terbang jenis kecil milik gereja Katholik dan
Zending yang datang bukan hanya sebagai tenaga pengajar atau tenaga kesehatan namun
sekaligus berdagang, membuka kios-kios/ lapak tempat jualan sembako. Perdagangan
dengan membuka lapak kios ini membuat tatanan hidup berubah, dimana orang Mee yang
hanya mengenal sistim barter atau saling memberi karena kasih (Ipa), atau jika terjadi jual
beli maka dilakukan dengan kulit bia/kulit kerang (Mege), sekarang mereka di paksakan
untuk harus punya uang jika mau mendapatkan barang. Dalam dunia seperti ini
perempuan Mee semakin terpojok tapi juga bingung, terlebih karena yang menjadi
penjaga lapak/kios adalah perempuan (istri dari sang pegawai); sangat berbeda dengan
budaya Mee yang mana, perempuan adalah pekerja dan pendidik anak dan segala urusan
ekonomi di lakukan oleh Bapa (suami).
Dunia pendidikan pada pertengahan tahun 1976 mulai di buka seluas-luasnya namun,
tidak banyak anak yang mau bersekolah dan banyak orangtua yang tidak memberikan ijin
anak-anaknya mengenyam pendidikan karena trauma dengan segala kekejaman militer
dimasa kelam. Dimasa ini yang mengenyam pendidikan di sekolah Negri/Inpres dapat di
hitung dengan jari, hal ini terjadi karena :
1. Orang tua sangat/lebih mempercayai Sekolah Dasar Yayasan milik gereja yaitu,
Sekolah Dasar/ Sekolah Menengah Pertama Yayasan Pendidikan dan Persekolahan
Katholik (SD/SMP YPPK) yang berada di bawah Gereja Katholik dan Sekolah
Dasar /Sekolah Menengah Pertama Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Gereja
Injili (SD/SMP YPPGI) berada di bawah Gereja Kingmi (Kemah Injil), yang masih di
kelola oleh misionaris Belanda, yaitu di setiap kota distrik atau di kampung dimana
dahulu adalah pusat gereja pasti ada SD Yayasan, seperti di lembah Kamuu, ada SD
YPPK Moanemani, SD YPPGI Dogimani, SD YPPK Egebutu, SD YPPK Puweta, SD
YPPK Ugapuga, SD YPPK Pugatadi di Idakebo dan SD YPPGI Doutou, untuk SMP
Yayasan hanya ada satu SMP YPPK Moanemani yang awalnya ada di Epouto namun
di pindahkan ke Moanemani bertepatan dengan di bentuknya sekolah bagi para
pemuda dan pemudi yang tidak mengenyam pendidikan SD atau mereka yang tidak
melanjutkan sekolah pada jenjang SMP untuk belajar bertani dan beternak melalui
SPL untuk pemuda dan PBWP bagi pemudi melalui Yayasan P-5. (Bab.I).
2. Sekolah – sekolah milik Yasasan Gereja ini menjadi idola orangtua Mee karena sistim
pendidikan yang teratur, selalu berpola asrama untuk tingkat SMP dengan pembinaan
mental dan spritual secara terkontrol, tapi juga kualitas pendidik (guru-guru) lebih
banyak guru-guru orang Mee yang telah mengenyam pendidikan pada jaman
Pemerintahan Belanda melalui misionaris belanda seperti yang penulis sudah uraikan
di Bab.I.
3. Anggapan masyarakat pada umumnya bahwa sekolah Yayasan ini, terbuka untuk
umum tanpa membedakan status ekonomi keluarga di bandingkan sekolah
Negri/Inpres yang lebih banyak di dominasi oleh anak-anak pegawai kantor-kantor
pemerintah dan pendatang.
4. Selain ketiga alasan diatas, orang Mee saat itu sangat yakin akan keamanan anak
mereka bersekolah di sekolah Yayasan akan terjamin di banding bersekolah di
Negri/Inpres yang banyak anak-anak pendatang Indonesia yang berprofesi sebagai
tentara dan polisi bersekolah disana akibat trauma atau memori passionis orang tua
Mee di masa transisi integrasi masih menghantui jalan pikiran mereka.
Fenomena dunia sekolah seperti ini masih terus berjalan hinga tahun 1980-an akhir,
namun hingga saat ini kepercayaan dan animo orangtua menyekolahkan anaknya di
sekolah Yayasan ini masih tinggi karena kualitas sekolah masih dianggap lebih bagus.
Pada tahap selanjutnya
BAB III
PEREMPUAN MEE SEKARANG
A. Perempuan Mee dan Isu Gender
Secara etimologis gender berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin (Jhon dan
shadily;1996), dimana gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan
oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan pencitraan manusia baik oleh
laki-laki maupun oleh perempuan melalui proses social budaya yang panjang.
Isu kesetaraan gender telah menjadi pembicaraan berbagai Negara sjak tahun 1979, setelah
di selenggarakan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan thema The Convention
on the Elimination of all from Discrimination Against Women (CEDAW) yang membahas
tentang : Penghapusan tentang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Hasil
konferensi ini menjadi acuan dalam memeperjuangkan Hak Asasi Perempuan. Selanjutnya
pada tahun 1995 kembali di laksanakan Konferensi Perempuan Sedunia yang di rumuskan
dalam “Beijing Platform for Action” yang menyebutkan bahwa: perempuan dan kesehatan
sebagai salah satu dari 12 bidang kritis yang di kemukakan dalam rencana aksi ini.
Dalam kalangan Perempuan Mee yang sudah mengenyam pendidikan
B. Perempuan Mee dan Pendidikan Anak

Beralih dari pengalaman hidup saya yang sungguh masih berada dalam aturan
hidup adat yang sangat kental dan pengaruh jaman yang tak mungkin kita tolak dan
sembunyi, banyak hal yang memiliki nilai positif tergeser. Karena Pendidikan
penting maka banyak keluarga MEE (orangtua) kadang lupa untuk tetap
memberikan tuntunan, nasihat dan membina anak perempuan namun membiarkan
anak dengan pendidikan di sekolah saja. Orang tua lupa bahwa pendidikan
disekolah hanyalah sebatas ilmu, namun ilmu hidup itu ada dirumah didalam
keluarga. Apalagi jika anak itu mampu (bisa) di sekolah dan memberikan nilai
yang baik, orang tua Mee justru bangga dengan memberikan banyak hadiah, bukan
nasehat atau petuah. Lebih parah lagi jika bapanya Pegawai yang mungkin sering
tidak memberikan uang kepada mamanya, dan mamanya bertahan hidup dan
membiayai sekolah anaknya dengan jualan hasil kebun dipasar, maka otomatis
anak ini menjadi bola pingpong, dimana bapanya mengaku semua kehebatan anak
ini hanya karena bapa yang pernah mengenyam pendidikan atau sekolah, maka hal
yang bagus/naluri yang mantap /imej yang bagus itu mengalir lewat darah dari
bapanya. Mamanya yang masih terikat dengan kebiasaan adat pun tidak mau
mengalah, dengan mengatakan semua kehebatan anak ini karena mama yang susah
payah berjualan dan membiayai untuk sekolah. Anak bingung menetapkan apakah
sosok ayah yang akan menjadi panutan atau sosok ibu yang akan menjadi panutan.
Bapak tidak mempunyai banyak waktu menemani anaknya karena sebagian waktu
habis di kantor, sebaliknya mamapun tidak memiliki banyak waktu buat anak
gadisnya karena waktunya habis di kebun dan dipasar. Dalam aturan adat Mee,
seperti sudah di jelaskan diatas, Mama Mee di tuntut untuk lebih mampu
memberikan banyak waktu buat anak perempuannya dengan cara mengajak anak
perempuan ini kekebun atau kepasar, namun mama Mee saat ini tidak pernah
lakukan karena mama lebih mempercayai kelebihan anaknya dalam dunia
pendidikan di sekolah ketimbang didikannya di rumah, karena mama tau anaknya
pintar dan tugasnya sebagai anak sekolah adalah belajar. Pentingnya pendidikan
membuat mama ini lupa kalau anak perempuannya di ajak ke kebun atau kepasar
adalah belajar tentang kehidupan yang nyata.
Mama MEE lupa akan pentingnya waktu bersama dengan anak perempuannya
untuk mendidik dan membinanya, apalagi jika mama ini juga seorang pegawai
yang waktunya tersita di kantor dan dikebun, maka waktu kosong yang di miliki
anak di bayar dengan uang dan hadiah (handphone/ipad), sehingga mama ini tidak
mengetahui apa yang sedang di makan, apa yang sedang di kerjakan dan sedang
bermain dengan siapa anaknya itu. Akibat pembiaran ini kadang juga sampai pada
masa puber (menstruasi) dan anaknya harus menjalani masa 2 hari puasa( diyo
dou) untuk pertama menstruasi, mama mee ini tidak tau dan tidak pernah tau,
menganggap soal biasa karena jaman moderen “katanya” menutupi kegagalan pikir
mama MEE yang sudah lupa akan jati dirinya.
Pergeseran nilai budaya mee untuk membina anak perempuan MEE menjadi
perempuan yang tangguh seperti yang sudah di uraikan pada poin 1 diatas sangat
drastis terjadi diawal milenium (2000) sehingga banyak dampak negatif yang
terjadi pada perempuan MEE saat ini yang bisa kita lihat di depan mata kita.
C. Perempuan Mee dan Ekonomi Keluarga
D. Perempuan Mee Pentingnya bersosialisasi
Kembali saya ingin memulai dari pengalaman hidup saya bersama orangtua saya;
Ayah saya seorang guru/katakis/ pewarta dalam gereja katholik di paroki pusat
Moanemani dan menjadi ketua dari kelompok katakis yang tersebar di lembah
Kamuu. Ayah saya memiliki banyak tanggungjawab yang harus di embannya
selain mengkoordinir para anggotanya juga harus melayani umat di moanemani
tapi juga harus berkeliling ke kampung-kampung dimana teman-teman katakisnya
bertugas. Ayah saya juga dianggap sebagai senior di klan/marga kami dan juga di
jadikan sebagai tokoh/orangtua atau orang yang di tuakan dari seluruh pelosok
meuwo yang mengenal sosok ayahku di saat itu. Ibukupun seorang perempuan
MEE yang terpandang di jaman itu, sebagai seorang pegawai di Yayasan P-5
dengan jabatan sebagai BENDAHARA juga sebagai Ketua dari Wanita Katholik,
yang saat ini lasim di sebut dengan WKRI. Waktu ayahku dan ibuku kadang
terbagi habis dalam pelayanan dan kehidupan bersosialisasi, namun ayahku juga
adalah seorang pekerja keras, sehingga ayahku akan melakukan sesuatu atau duduk
bercerita/berdiskusi tentang hal yang berkualitas saja, lebih banyak waktu dia
habiskan di kebunnya, atau di kandang ternaknya.
Rumah kami setiap hari ramai, jika kami masak makan siang maka 40 porsi piring
harus ada dan kadang kurang maka bisa saja ayah atau ibuku tidak makan. Kami
diwajibkan melayani semua tamu itu, kami di wajibkan mengenal mereka satu-
persatu mulai dari nama hingga hubungan kekerabatan walau itu jauh sekalipun.
Dalam kondisi hidup seperti itu ayah dan ibuku sebagai sosok orangtua MEE
sangat hebat, mereka mampu membagi waktu dan ruang bagi kami anak-anaknya.
Kami di ajarkan untuk mngenal mereka, mengapa mereka datang, dan pelayanan
kepada sesama yang datang itu harus kami lakukan tanpa menggerutu dan
mengeluh. Ayah dan ibuku akan berusaha mengambil waktu untuk bercerita
dongeng untuk menghantar kami tidur malam untuk membayar ganti waktu yang
telah di habiskan di siang hari dalam hidup bersosialisi. Sebagai anak perempuan
MEE saya belajar banyak tentang pentingnya hidup berdampingan dengan orang
lain, juga banyak belajar tentang bagaimana membagi waktu yang hanya 12 jam di
siang hari menjadi berkualitas seperti ayah dan ibuku.
Perkembangan pergeseran nilai gender akan pentingnya bersosialisasi sudah tidak
bisa di bendung saat ini. Mama Mee yang sudah bekerja sebagai pegawai menjadi
sangat sulit untuk tetap kuat membina anak perempuan mee menjadi perempuan
yang tangguh, akibat kehidupan sosialnya Mama mee saat ini sering terjebak
dengan kepentingan kantor, kepentingan kelompok wanita,kepentingan gereja atau
terlebih lagi kepentingan suami yang mungkin pangkatnya lebih besar darinya,
sehingga waktu untuk memberikan perhatian, pembinaan dan ajaran mama kepada
anak perempuan MEE menjadi sangat tidak ada. Bias gender tentang pentingnya
kehidupan bersosial sangat nyata tampak di mata, Semakin tinggi pangkat dan
jabatan semakin berkurang pula jiwa kekeluargaan, semakin menurun rasa empati
dan simpati pada kerabat dekat apalagi kepada kerabat yang jauh. Akibat semakin
tinggi derajat, uang menjadi ukuran kedekatan, kekeluargaan, kekerabatan
sehingga intensitas cerita atau diskusi tentang hidup yang benar menurun,
membuat ruang atau waktu mama Mee yang memiliki tugas untuk membina,
sambil mngenalkan anak perempuannya sebagai perempuan MEE yang memiliki
kekerabatan, kekeluargaan hubungan darah dan memiliki leluhur menjadi sangat
sempit dan justru tidak ada waktu.
E. Pentingnya Ekonomi keluarga
Perkembangan dan perubahan zaman saat ini memacu semua orang untuk
berlomba mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi. Dahulu dalam budaya Mee
yang boleh memiliki uang (mege) hanya laki-laki (bapa/saudara laki-laki yang
dewasa) untuk bisa membeli daging babi pada saat pesta adat (yuwo), selain itu
dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak kehidupan ekonomi di jalani hanya
dengan sistim barter. Seluruh penukaran (sistim barter) dan pembelian di kerjakan
oleh laki-laki, dianggap tabu jika perempuan memegang mege, walau ada dapat
dihitung dengan jari dan perempuan tersebut pasti datang dari klas Tonawi atau
istri pertama seorang Tonawi yang gaya dan suaranya seperti laki-laki.
Bias gender dalam hal ekonomi terjadi setelah banyak orang mee mengenyam
pendidikan dan terlebih lagi perempuan Mee, maka siapapun mulai bisa
menghasilkan uang, mengisi uang dan menghitung uang.
Demi mengejar penghasilan yang lebih seorang mama Mee menghabiskan
waktunya untuk mencari penghasilan dengan bekerja sebagai pegawai, berjualan
dipasar, merajut, memelihara ternak milik sendiri, bahkan berjualan pinang,
berjualan minuman keras dan bermain judi/togel. Semua aktifitas ini di lakukan
dengan dalih mencari uang untuk biaya anak untuk bersekolah. Semua hal ini
dilakukan mama MEE akibat :
* Penghasilan suami sangat minim, tidak cukup,
* Suami tidak pernah memberikan gajinya untuk bisa menutupi kebutuhan
keluarga
Memang sangat mulia hati para perempuan mee ini. Seluruh waktu hidupnya habis
untuk mencari penghasilan, waktu bagi anak untuk mendidik, dan membina anak
di rumah sudah tidak ada. Mungkin menjadi hal baik ketika anak di ajak serta saat
mama mencari penghasilan tersebut dan sambil memberikan nasehat bahwa mama
terpaksa melakukan ini karena kamu harus bersekolah lebih, menjadi anak yang
sukses. Ajakan ini di lakukan dengan harapan suatu saat setelah suskses anak tetap
mengingat pengorbanan mamanya, bagaimana mama mengalami suka-dukanya
seketika harus mengumpulkan seribu rupiah itu.
Namun sangat ironis jika kita melihat kondisi seperti ini, mama dengan segala daya
dan upayanya mencari uang demi anak, anak yang menjadi tujuan dari semua hal
ini justru menjadi korban. Banyak sekali anak yang berhasil menjadi orang hebat,
orang pintar, orang sukses namun dalam masa pertumbuhan dan perkembangan
hidupnya sebagai anak dalam keluarga tidak di berikan pencerahan akan
upayanya, maka tidak heran jika anak dengan gampangnya melupakan jasa
mamanya. Mama yang sudah tua, masa hidupnya habis mencari penghasilan di
kampung, anaknya yang sudah suskses menghabiskan waktu hidupnya di kota
dengan segala macam tugasnya dan dengan alasan yang di buatnya sendiri untuk
membenarkan keadaannya.
A. Perempuan Mee dan Tuntutan gerakan Tungku Api
Mee manusia sejati yang memiliki peradaban hidup yang sudah menjadi kebiasaan turun
temurun dari leluhur pertama orang Mee yang selalu dilestarikan dari masa ke masa
hingga pada dekade 1990-an hingga tahun 2000. Mee dengan seluruh keberadaan dan
kelebihannya membuat MEE menjadi manusia sejati, hal ini dapat di simpulkan karena
jauh sebelum pengaruh misi Katholik dan Zending masuk di daerah meuwo pada dekade
tahun 1930 –an, manusia MEE sudah menegenal :
1. Mengenal Ugatamee (ALLAH) sebagai Allah Maha Pencipta, yang telah menciptakan
manusia MEE dengan segala aturan hidupnya; Mengenal Enaa Abee (Para
malaikat/Bidadari surga) sebagai putri – putri milik Ugatamee yang datang untuk
membantu atau menolong; Mengenal YESUS (Koyei dabaa) sebagai Putra sulung
Ugatamee yang hadir membantu manusia MEE yang lapar, Menyembuhkan manusia MEE
yang sakit dan memberikan banyak petuah melalui ajaran yang DIA sampaikan yang
disebut dengan “TOTA MANAA” (Sabda yanga ada).
2. Mege (kulit bia) sebagai alat pembayaran yang sah selain sistim Barter;
3. Yuwo (pesta adat babi) sebagai ajang pencarian pemimpin, ajang bersosialisasi dan
ajang pertemuan bagi para pembesar –pembesar ( Tonawi) Mee untuk saling menunjukan
kehebatan, kelebihan dan kekuasaan.
1. Perempuan MEE dan maknanya
Sebagaimana sudah dijelaskan diatas pada poin 1 tentang Perempuan Mee dan
tanggung jawabnya, maka seluruh kehidupan orang MEE di penuhi dengan simbol.
Simbol - simbol ini memiliki nama masing – masing dengan kegunaan, manfaat,
makna dan nilai tersendiri yang beberapa yang terkait dengan tulisan ini akan
dijelaskan yaitu:
a. Makna Anak Perempuan MEE
Anak perempuan mee hadir akan disambut dengan sangat senang dalam keluarga
terlebih oleh bapanya, nama yanga akan diberikan kepadanya akan selalu sesuai
dengan perasaan hati bapanya saat itu. Dengan suatu harapan bahwa kelak anak
tersebut akan menjadi anak yang baik, anak yang akan membuat harum nama
keluarganya sesuai dengan nama yang di berikannya. Satu contoh nama yang di
berikan adalah: BUGIIDA MUDE : Bugiida dari kata dasar Bugi yang artinya
kebun, dan Da: tempat maka dapat di artikan bahwa : Di Kebun; Mude memiliki dua
makna atau arti yaitu, yang pertama, Mude sebagai Lahan milik, tanah milik dan
Mude sebutan bagi anak perempuan. Maka pemberian nama tersebut di maksudkan
agar anak perempuan tersebut kelak setelah dewasa akan menjadi pekerja keras
dengan mencintai kebun yang di kerjakan di lahan atau tanah milik sendiri.
b.Makna Mama MEE
Mama Mee yang telah melalui masa kecil dan remaja melalui proses pembelajaran
yang panjang dalam keluarga asal seperti yang sudah di jelaskan pada bagian 1
diatas, akan mampu menjalani hidup mandiri dengan segala tanggung jawabnya
sebagai mama, ibu dan pendamping suami. Mama MEE yang dalam bahasa MEE di
sebut dengan beberapa nama sesuai dialek setempat yaitu : Noukai, bagi Mee yang
ada di daerah sekitar danau Tigi, Danau Paniyai bagian Barat hingga uatara di
daerah Enarotali serta Daerah Lembah Kamuu ; Niikai, bagi Mee yang bermukim di
bagian utara Lembah Kamuu; Amai, bagi Mee yang bermukim di daerah Mapiha,
memiliki beberapa makna :

-. Mama sebagai Tanah (Maki Noukai)


Pada dasarnya kita semua mengetahui tentang arti pentingnya tanah tempat kita
berpijak dan bermukim. Dari kulit bumi tanah memberikan kehidupan atas segala
jenis tumbuhan, binatang bahkan juga manusia. Jauh berkilo-kilo di dalam tanah
mengandung segala macam kandungan mineral yang berharga. Tanah menjadi
sesuatu yang paling berharga dan penting yang harus di jaga dan dilestraikan
karena memberikan kehidupan bagi semua makluk hidup.
Begitulah makna Mama (Noukai, Niikai,Amai) bagi manusia MEE yang dapat
dirincikan sebagai berikut :
* Mama MEE mengandung kehidupan yaitu, dari rahim mama akan terjadi
kehidupan dengan melahirkan manusia yang akan menjalani hidup.
* Mama MEE bertanggungjawab mengupayakan dan memberikan makanan serta
merawat kehidupan baru yang telah di kandung dan dilahirkannya.
* Mama Mee bertanggung jawab memoles anaknya / kehidupan baru menjadi
intan berlian yang akan berkilau indah pada masa depannya dengan membina dan
mengajarinya tentang arti kehidupan.
-. Mama sebagai Landasan Tungku (Noukai Ugu Kaboo)
Landasan dapat pula di artikan sebagai dasar /fondasi, ketika fondasi kuat maka
semua yang ada diatas fondasi itu tidak agar goyah, retak bahkan jatuh. Landasan
tungku (tungku api) dalam rumah adat orang MEE terbuat dari Batu rata, tipis dan
panjang dengan ukuran yang harus sesuai dengan panjang dan lebar dari tungku
api yang dibuatnya; di mana batu tersebut pun harus dapat tahan terhadap
panasnya bara api yang menyala sehingga tidak pecah atau retak, maka orang
Mee hanya memakai 2 jenis batu yang biasanya ada di bukit-bukit yang memiliki
pasir putih (odee) atau di kali yang airnya mengalir dengan deras.
Diatas Landasan tungku yang kuat, tidak retak ataupun tidak pecah, seluruh
aktifitas untuk kelangsungan hidup manusia MEE seperti : memasak makanan,
menghagatkan badan dan kehidupan keluarga di jalani oleh keluarga. Maka
Mama MEE (Noukai,Niikai,Amai) bermakna sebagai Landasan tempat kenyataan
keberlangsungan hidup terjadi nyata. Mama MEE bertanggungjawab memasak
segala jerih payahnya di kebun, dihutan dan dikali untuk kekuatan menjalani
hidup selanjutnya bagi keluarga sekaligus menjadi tempat harapan yang pasti
untuk menimbah segala ilmu kehidupan melalui proses pembinaan yang di
berikannya dengan segala teladan yang dijalankannya tanpa mengeluh. Seketika
Mama MEE Ugu kaboo (landasan Tungku) mengalami masalah pribadi yang
berkaitan dengan suaminya, anaknya atau orang lain, orang MEE akan
mengatakan “UGU KABOO wegee tetai” (jangan merusak landasan tungku)
akibatnya akan menjadi panjang, fatal dalam kehidupan keluarga terlebih anak-
anak pada masa depannya.
-. Mama sebagai Landasan Lantai ( Age Kaboo)
Landasan lantai rumah selalu terbuat dari bahan yang kuat, bagi orang Mee
landasan lantai rumah selalu terbuat dari jenis kayu yang kuat seperti Kayu Amo
(kayu ini mirip sama dengan kayu besi, tapi hanya tumbuh di daerah
pegunungan/Dataran Tinggi seperti di Meuwodidee). Batang – batang kayu amo (
ini akan di ikat dengan tali (rotan) yang kuat, sehingga kuat dan dapat bertahan
terhadap segala aktifitas (berdiri,duduk berkumpul,duduk bercerita dan
membaringkan diri untuk istrahat dan tidur) yang terjadi diatas lantai tersebut.
Mama Mee (Noukai, Niikai,Amai) dimaknakan sebagai landasan atau dasar lantai
yang kuat, dimana segala kebutuhan perkembangan dan pertumbuhan anak atau
kehidupan yang di lahirkan tidak goyang dan goyah dengan segala macam
goncangan hidup. Mama menjadi sandaran hidup dan tempat menumpahkan
segala susah derita dan kesenangan anaknya dan anggota keluarganya. Mama
dengan segala daya dan upayanya akan menyimpan semua hal,memberikan
keteduhan dan kedamaian hati, dengan sabar memberikan kesejukan dan
kehangatan dengan pelukan dan kasih sayang memberikan kebahagiaan tak
terhingga.
Pandangan orang Mee terhadap Mama (Noukai,Niikai,Amai)ini memberikan teladan
hidup yang baik dalam bidang ilmu hidup masa depan orang Mee. Dalam dunia
keberhasilan dan kesuksesan banyak kalangan mengatakan dan mengakui bahwa
“Dibalik kesuksesan seorang anak (laki-laki) pasti ada Ibu/istri /mama yang lebih
pintar dan pandai”. Orang MEE sudah sejak leluhur memiliki folosofi ini yang
sangat kental, dikenal dan dinyatakan dalam hidup orang MEE. Jika mama sebagai
Maki noukai (mama tanah), mama sebagai Ugu kaboo (Landasan tungku) dan mama
sebagai Landasan Lantai rumah (Age Kaboo) mendapatkan perlakuan atau di
perlakukan dengan tidak adil dan tidak manusiawi maka, di pastikan kehidupan
keluarga berada pada ambang kehancuran. Maka dalam budaya MEE anak
perempuan MEE sudah harus menjalani proses pembinaan dan pengasahan sejak
dini.

2. Tuntutan Gerakan Tungku Api bagi Perempuan dan mama MEE


Tungku Api (Ugu) adalah : Tempat api dinyalakan, untuk melakukan aktifitas
memasak segala jenis makanan, tempat menghangatkan badan didaerah yang dingin,
dan melakukan aktifitas hidup dalam keluarga ( bercerita, bercanda, memintal dan
merajut). Gerakan tungku api yang di canangkan oleh Alm.Mgr.
Jhon.Philip.Gaiyabii,Pr uskup Timika sebagai salah satu perwujudan motto tahbisan
uskup yaitu : “Persiapkan jalan Tuhan” menjadi pukulan keras bagi perempuan dan
mama MEE. Menjadi pukulan bukan karena perempuan MEE kembali harus belajar
kebiasaan leluhur namun justru menjadi pukulan mengagetkan yang justru menjadi
salah arah dalam bertindak. Akibatnya banyak terjadi bias pengertian akan gerakan
tungku api ini.

a. Bias Pengertian Gerakan Tungku Api


Gerakan tungku api ini menuntut perempuan Mee jaman sekarang, dimana perempuan
Mee yang melupakan jati dirinya sebagai Manusia yang lahir dari rahim budaya Mee
untuk kembali merenungkan, melihat dirinya, kembali menjadi perempuan MEE yang
sebenarnya yang dapat diimbangi sedikit dengan berbagi tugas dengan suami dalam
mendidik dan membina anak. Kembali menjadi Perempuan Mee dalam arti yang
sebenarnya dalam budaya hidup Mee. Pengertian gerakan tungku api dikalangan
perempuan MEE menjadi bias (salah mengerti), dimana kita mengangap gerakan
tungku api hanyalah dengan memakai, mengadakan dan menggunakan simbol –
simbol semata, seperti : dengan mengadakan dan memakai segala perhiasan pakaian
adat; mulai belajar dan berlatih lagu (wanii,gowai, tuupe); berlomba membangun
rumah adat (tone) dengan segala kelengkapannya (semua barang budaya) di
kampungnya atau di kampung suaminya; berlomba membangun rumah tinggal di
kampung asal sendiri atau di kampung asal suami; Berlomba mengumpulkan segala
bibit tanaman dan menanamnya di areal rumah, melakukan doa keluarga atau
mengadakan pesta babi atau sekedar datang dan duduk bersama saudara dan keluarga
di kampung. Semua kegiatan dengan simbol – simbol tersebut baik adanya sebagai
proses awal kita kembali melihat jati diri kita sebagai perempuan MEE yang
sebenarnya, namun Jika semua kita perempuan Mee hanya berada pada pengertian
kulit tentang gerakan tungku api ini maka di pastikan suatu saat budaya MEE yang
lahir, bertumbuh, berkembang dan bertahan dalam rahim mama MEE akan musnah.
b. Tuntutan Gerakan Tungku Api Bagi Perempuan Mee
Gerakan Tungku Api menuntut dengan tegas, dalam awal poin ini saya
mengungkapkan bahwa “Gerakan Tungku Api sebagai pukulan yang keras bagi kita
Kaum Hawa MEE (perempuan MEE). Pukulan yang keras ini memberikan “Tanda
lampu merah” kepada kita untuk merenungkan tentang jati diri kita sebagai perempuan
MEE yang sebenarnya. Awal saya mendengar apa itu gerakan “Tungku Api” pada awal
bulan Januari 2017 di Aula Koteka Moge Moanemani, langsung dari Almarhum Bapa
Uskup saya merinding dan menangis, sehingga Bapa Gaiyabii bertanya : “Kenapa
Engkau menangis”, dan saya menjawab dengan terbata-bata : “Bapa, saya sudah kalah”
dan Bapa Uskup menjawab: “Maria, anakku engkau belum terlambat, masih ada waktu,
kalau engkau menangis itu artinya engkau menyadari itu, lakukanlah bagi anak-anakmu
dan saya mau anakmu yang perempuan harus bisa seperti engkau too...”, dan Bapa
melanjutkan lagi bahwa : untuk semua yang hadir di tempat ini, saya berharap masing-
masing dengan mendengar ini mulai menyadari akan kebenaran gerakan tungku api ini.
Percakapan saya dengan Almarhum Bapa Uskup Gaiyaabii diatas sekedar cerita saya
pada saat itu yang membuat saya sadar akan semua ketidakberdayaan saya. Dalam
kehidupan nyata untuk mewujudkan atau melaksanakan perintah Almarhum Bapa
Uskup bahwa “Lakukanlah Bagi anak-anakmu” menjadi tanggung jawab yang sangat
berat, karena saya terhimpit dengan segala kebiasaan hidup saya, terlebih dalam
membagi ruang dan waktu bagi anak-anakku.
Dari hasil perenungan saya, benar-benar hasil perenungan bukan pengalaman atau
bukan tindakan nyata, sekali lagi bahwa ini hanyalah hasil perenungan, saya ingin
berbagi beberapa hal yang mungkin dapat kita lakukan:
1. Bagi kita Perempuan Mee yang sudah berpendidikan, Pegawai atau karyawan
Kita sebagai perempuan Mee yang berpendidikan, pegawai dan Karyawan, masing-
masing kita memiliki latar belakang ilmu yang kita dapat di bangku pendidikan
tentang ilmu hidup. Di tempat kerja kita, kita bertemu dengan teman kantor dengan
berbagai latar belakang pengalamannya yang sering kita timba melallui cerita dan
canda. Dari pengalaman hidup yang pernah kita lalui dan alami, mari kita harus dan
wajib berani mencoba untuk :
a. Tidak memberikan Uang jajan kepada anak kita dengan jumlah yang lebih besar
dari Rp. 5.000,- . Jika kita selama ini memberi uang lebih dari sejumlah itu, ajak
anak kita untuk mengisi dalam celengan yang sudah harus kita siapkan sesuai
umur mereka. Sebagai dampak dari pengurangan jumlah uang tersebut, kita
sebagai mama sudah harus tau apa makanan kesenangan anak sehingga pagi
sebelum kesekolah mereka sudah harus dan wajib sarapan dengan makanan
kesukaan mereka. Jika makanan yang mereka suka adalah makanan instan
seperti : Mie instan (supermi), jenis biskuit atau jenis roti pabrik, maka yang
perlu kita lakukan adalah, mendownload tentang apa dampak kesehatan bagi
manusia dengan mengkonsumsi terlalu banyak makanan instan tersebut dan
memberikan pada anak agar si anak dapat mendengar dan menyaksikannya
langsung.
b. Membuat jadwal bagi aktifitas anak. Jadwal ini harus di berlakukan dengan
tegas, dan paling tidak harus kita mendampingi saat mereka melaksanakan
sambil sesekali kita bercerita tentang masa kecil kita, boleh kita berbohong
untuk bercerita hal baik yang dulu saat kita kecil tidak buat namun kita mau
anak kita melakukan, contoh : saat kita mendampingi anak mengerjakan tugas
matematika, boleh kita berbohong dan mengatakan bahwa dulu mama itu pintar
walaupun dalam keterbatasan tidak seperti sekarang. Asal kita harus
memastikan bahwa saat kita berbohong itu tidak boleh ada orang lain yang
mengetahui masa kecil kita. Contoh lain saat kita mendampingi anak-anak kita
melakukan aktivitas kerja seperti mencuci piring, atau menyapu rumah, hal
yang dapat kita lakukan adalah mengajari cara mencuci piring dan menyapu
rumah kita pun harus bercerita bahwa kalau kita tidak mencuci piring dengan
baik maka lalat dan semut akan banyak.
c. Tidak memberikan izin kepada anak pada siang hari setelah pulang sekolah,
yang berpamitan hendak main dengan teman – teman di sekitaran rumah. Dalam
hal ini lebih baik jika temannya yang datang bermain di rumah kita, namun
sebagai mama kita wajib memasak makan siang dan mengajak temannya makan
dirumah dan setelah makan siang, kita sebagai mama dengan tegas memberitau
temannya bahwa dia boleh pulang karena setelah makan siang, semua orang
anak kecil dan orang besar harus tidur/istrahat siang, jika tidak ada aktifitas lain
seperti ke kebun. Jika ada aktifitas ke kebun, maka ajaklah serta anakmu ke
kebun agar dia belajar dan mengetahui bahwa mama selain masak, mengasuh
dan mendampingi anak-anak, mama memiliki tugas sebagai pekerja di
kebun.Atau mengajak pergi ke kegiatan gereja untuk latihan lagu atau kegiatan
perkumpulan Kelompok wanita di gereja ( Wanita Katholik atau
PERKAWAN). Maka dengan sendirinya anak kita akan belajar bahwa
mamanya memiliki tanggungjawab lain selain mendampingi mereka(anak),
maka anak juga akan belajar untuk tidak menyia-nyiakan waktunya hanya
dengan bermain dan bercerita dengan teman-temannya.
d. Pada malam hari biasakan anak –anak kita dengan doa dan bernyanyi, Jika
mereka sedang asyik menonton Televisi atau bermain game di HP/IPAD lewat
dari jam 20.00, dengan tegas kita padam TV dan meminta untuk hentikan
permainan HP/IPAD. Seluruh anggota rumah diajak untuk berdoa bersama,
walaupun ada tamu yang menginap atau sekedar bertamu, maka pada jam
tersebut semua harus mengikuti dan mengalah demi anak. Dan mengajak
mereka harus tidur, karena pada jaman sekarang waktu atau masa istrahat atau
tidur bagi anak adalah waktu atau masa di mana segala aktifitas yang dilakukan
seharian tertanam dalam memori otak kecilnya.
e. Dari semua hal yang bisa kita lakukan sebagaimana yang saya uraikan diatas
pertama dan yang paling pokok adalah : “Mama Harus Rela BERKORBAN
menyediakan WAKTU lebih banyak bagi anak. Mau dan rela memberikan
waktu bagi anak, dengan mulai mengurangi kegiatan kita di luar rumah adalah
salah satu perwujudan tuntutan “Gerakan Tungku Api “. Malas tau dengan
segala
Hal penting boleh kita ingat bersama sebagai perempuan MEE adalah :
Perempuan Mee masa lalu di bentuk menjadi perempuan MEE yang tangguh
karena aturan adat dan kebiasaan MEE yang sudah menjadi HUKUM TIDAK
TERTULIS yang dianut dan lestarikan dari masa-kemasa. Kita saat ini tidak
mungkin kembali berbalik 180% ke pada adat masa lalu. Namun yang dapat kita
lakukan adalah memberikan waktu dan ruang yang cukup bagi anak-anak kita.
f. Pada masa PUBERTAS sebagai anak perempuan MEE, mama MEE harus tetap
mengingatkan akan pentingnya puasa (diyodou) pada saat menstruasi yang
pertama, haruslah tetap berkoordinasi dengan suami untuk harus di lakukannya.
Tidak ada hal yang tabu dalam hal ini, jika tidak ada yang menemani maka
mama harus bertanggungjawab mengambil waktu bagi anak perempuan MEE.
Ingat anak- anak yang kita lahirkan dari rahim kita sebagai hasil dari
bertemunya 1 sel sperma dari suami dan 1 sel telur dari istri adalah awal mula
penciptaan kehidupan baru dalam rahim ibu/mama yang di kerjakan langsung
oleh Tangan ALLAH MAHA PENCIPTA, maka semua anak adalah anak dari
ALLAH sendiri sesuai rancangan dan kehendak-NYA yang di titipkan lewat
rahim IBU, agar anak tersebut dapat di rawat, dididik dan di pelihara oleh kedua
orang tuanya dan agar kelak anak ini dapat menyebut ayah dan ibu. Pada
hakekatnya semua manusia adalah anak ALLAH yang dititipkan lewat rahim
mama kita masing-masing, maka anak perempuan MEE yang kita lahirkan
sudah ditentukan oleh ALLAH untuk boleh melihat masa depannya melallui
MIMPI PADA MASA HAID YANG PERTAMA.
g. Satu hal yang harus tetap kita perempuan MEE ingat adalah : bahwa, Anak
perempuan MEE di masa lalu tanpa diceritakan atau berbohong sedikit dari
mamanya atau bapanya, namun secara alami dengan nalurinya dia akan belajar
semua dari apa yang di lakukan oleh mamanya. Sehingga semua kewajiban
yang dia copy dan belajar itu yang
2. Bagi kita Perempuan Mee yang sudah berpendidikan namun bukan pegawai
atau karyawan.
Bagi kita perempuan MEE dalam kategori ini, hal yang dapat coba kita lakukan
sama dengan poin a,b,c,d, f dan g pada poin nomor 1 diatas; Hanya pada poin e
dalam kategori ini tidak masuk karena, memiliki waktu yang penuh. Berani
memulai dengan waktu penuh yang kita miliki karena waktu kita tidak tersita
dengan urusan kantor. Hanya 2 poin penting yang dapat kita tambahkan adalah:
a. Mengisi waktu anak pergi sekolah adalah melakukan hal-hal yang bersifat
pribadi seperti Merajut atau berjualan atau apapun, segala tugas rumah
menyapu, memasak di biarkan agar kita bisaa mengajak anak kita bekerja
bersama setelah pulang sekolah. Anak yang kritis akan mengatakan mama tadi
buat apa, kenapa mama tidak bekerja tadi waktu kami di sekolah, beritau
dengan jujur bahwa: anak pergi sekolah adalah urusan pribadi anak dan saat itu
mama juga buat urusan pribadi. Banyak terjadi bahwa karena di rumah mama
sudah selesaikan tugas rumah sampai makanan sudah tersedia, anak akan
langsung makan tanpa mengetahui bagaimana beratnya mama bekerja
menyiapkan makanan dan membereskan rumah.
b. Akibat pekerjaan rumah selesai dan puas karena anak sudah makan maka,
kadang mama lupa melanjutkan aktifitas pendampingan anak untuk beristrahat
siang atau mengajak anak ketempat kegiatan mama selanjutnya. Maka anak
mengambil waktu untuk bermain dengan teman, apalagi jika mama berjualan
pasti akan pulang sore, apa yang di kerjakan anak selama itu tidak terkontrol
sehingga anak menjadi biasa tidak mau tau dengan kesibukan mama.
3. Bagi kita Perempuan MEE di kampung (tidak berpendidikan dan bukan
pegawai)
Saya agak susah untuk mencoba menjelaskan apa yang dapat di buat oleh kaum
hawa MEE dalam kategori ini, namun dari kaca mata saya secara pribadi dapat saya
bagi dalam 2 kategori yang besar yaitu :
1. Kelompok mama MEE yang pertama adalah kelompok mama MEE yang masih
memegang teguh kebiasaan dan aturan masa lalu.
Mama mee dalam kelompok ini dapat di kategorikan sebagai mama-mama yang
sangat menghargai adat dan budaya, mereka tekun dan tegar memegang teguh
prinsip: Anak perempuannya sebagai asset yang berharga dalam keluarga,
sehingga bagi mereka walaupun anak perempuannya tidak bersekolah yang
penting seluruh ilmu hidup bagi perempuan MEE harus mereka turunkan
sehingga hidup di masa depannya bersama suaminya bisa berjalan sebagaimana
yang di yakininya sebagai orang MEE. Diam- diam saya bangga (dalam hati
kecilku boleh di bilang iri hati) melihat anak dan mama bekerja bersama,
menanggung beban bersama, mereka bagaikan sepasang bidadari surga yang
siap menyelesaikan persoalan seberat apapun. Mama dan anak perempuannya
ini setiap hari bahkan setiap saat bahu-membahu bekerja dan berjualan demi
saudara laki-lakinya (adik) yang sedang bersekolah. Dikampung asal saya
(Ekimani) selain 3 pasang mama dan anak yang bersatu demi saudara laki-
lakinya yang bersekolah, ada juga seorang Bapa (Bapa ade saya sendiri) dengan
anak perempuannya yang masih berumur 10 tahun juga bagaikan pasangan
Bidadari dan Pangeran surga yang sehati, sejiwa bekerja bagi anak atau saudara
laki-laki yang sedang bersekolah. Saya hadir di sana hanya sebagai pelengkap
untuk sering duduk bercerita tentang suka dan dukanya seorang anak menuntut
pendidikan, sambil sekali- kali saya mengajak mereka berdoa bersama agar
UGATAMEE tetap memberi kekuatan untuk tidak patah semangat dengan
segala pengaruh zaman sehingga melupakan aturan hidup MEE yang masih di
anutnya. Kadang pula saya mengambil waktu bersama anak-anak laki-laki yang
sedang bersekolah sekedar memberi arahan sedikit akan tantangan yang
mungkin mereka hadapi di sekolah atau ditempat mereka akan merantau untuk
bersekolah.
2. Kelompok Mama MEE yang kedua adalah kelompok mama MEE yang
mungkin sudah lupa atau mungkin malas tau.
Kelompok mama MEE ini dapat juga di kategorikan kelompok mama-mama
yang mungkin juga tidak mengetahui akan pentingnya aturan adat yang turun –
temurun untuk membina dan mendidik anak. Kelompok mama – mama ini juga
sebenarnya adalah pekerja keras “katanya demi anak”, mereka berjualan hasil
kebun sendiri namun lebih banyak adalah membeli hasil kebun mama yang lain
untuk di jual kembali atau bermain judi kartu ataupun togel, agar bisa membeli
lauk sebagai tambahan makan malam. Bahkan kadang anaknya yang masih bayi
di ajak ketempat judi karena tidak ada yang menjaga. Sangat hebat usaha dan
kerja kerasnya namun selalu saja makanan tambahan atau lauk yang di belinya
tidak dapat di santap karena anaknya mungkin tertidur karena kecapaian di
gendong seharian kena panas matahari dan dinginnya udara di pegunungan.
Kadang pula anaknya yang sudah berada di usia 8 tahun keatas justru tidak
menginap di rumah akibat mamanya seharian tidak ada akhirnya ikut bersama
teman dan menginap di rumah temannya. Hal yang kadang aneh bagi saya
adalah ketika datang masalah yang mungkin di buat oleh anaknya, mama mee
ini berdaya upaya membela dan mencoba membenarkan anaknya dengan segala
macam dalih dan alasan indah. Ketika ada waktu bercerita dengan mama- mama
tersebut, tentang pentingnya menjaga anak, atau tentang pentingnya gemaa
“gerakan Tungku Api” alasan yang di keluarkan oleh mereka untuk menutupi
kegagalan membina anak adalah: “Mee yokaakaa gapa edikinaiko kayuwaine
yaiyo, Yaa yokaa ma enadani kedekaa”, (Anak manusia itu kalau di beritau
tidak akan dengar sama saja seperti kita mencoba menjinakkan anak babi hutan)
artinya bahwa anak-anak itu tidak akan dengar, walaupun dengan kekerasan
(memukulinya), mendengar alasan itu, adoo.... hanya kata itu yang terungkap
dalam hati. Dalam hatiku kadang menangis, membayangkan generasi MEE
melihat kondisi seperti ini.
Pada bagian akhir dari tulisan ini ingin saya mengambil kesimpulan bahwa :
1. Perempuan MEE sesungguhnya adalah gudang akan segala yang baik yang sering
di simbolkan dengan Noken. Kalau didalam peribahasa indonesia ada ungkapan
bahwa: “SURGA BERADA DIBAWAH TELAPAK KAKI IBU”, Maka dalam
budaya MEE: “SURGA BERADA DIDALAM NOKEN MAMA MEE”. Didalam
Noken MAMA MEE berisi segala macam bentuk ilmu hidup yang baik, dan masa
depan generasi MEE selanjutnya, karena seketika mama MEE mengeluarkan semua
isinya maka Mama MEE menjadi Pahlawan Tanpa Jasa bagi keberlangsungan
hidup bangsa dan suku MEE.
Sangat benar ungkapan kata : “ dibalik kebesaran seorang lelaki,pasti ada
perempuan yang lebih hebat”. Perempuan MEE itu hebat yang dalam bahasa mee di
sebut sebagai MEE YAGAMOO.
2. Dengan hadirnya pengaruh dari luar di daerah MEUWODIDEE telah
menghancurkan tatanan hidup budaya dan aturan adat turun-temurun yang di
wariskan oleh leluhur, membuat mama MEE mulai dan sedang mengalami masa
sulit untuk mempertahankan jati dirinya sebagai PEREMPUAN MEE YANG
TANGGUH.
3. Gerakan Gender yang berkembang pesat semakin memperburuk keadaan, akibat
BIAS (kesalahan pengertian) tentang gerakan gender semakin memperburuk
keadaan, sehingga kaum hawa MEE semakin sulit menempatkan diri. Sangat ironis
pula bahwa, pada umumnya bias gender terjadi pada kaum laki-laki yang
menganggap bahwa gender adalah kesempatan perempuan mengambil alih tugas
dan kesempatan yang selama ini boleh di lakukan oleh laki-laki.
4. Hadirnya Gerakan Tungku Api yang di canangkan oleh Alm.Mgr.Jhon.Philip
Gaiyaabii, PR sebagai uskup Timika, ingin mengajak Kaum Hawa MEE untuk
kembali berinstrospeksi, diam, merenung dan menyadari akan jati dirinya sebagai
Perempuan MEE dan mencoba kembali mengumpulkan seluruh keping-keping jati
diri perempuan MEE yang masih tersisa dan mencoba membangun kembali
menjadi BANGUNAN INDAH PEREMPUAN MEE YANG TANGGUH. Menjadi
Perempuan MEE bukan dengan simbol-simbol perhiasan namun dengan aksi nyata
dalam keluarga untuk mampu membangun kembali generasi MEE yang benar-benar
MEE
Akhir kata saya juga sebagai Perempuan MEE yang rapuh, saya mengajak seluruh
komponen MEE ( Bapa MEE, Laki-laki MEE dan Orang tua MEE) serta kaum sejawat
PEREMPUAN MEE untuk saling memberikan dukungan, memberikan motivasi, saling
memberikan kritik dan saran yang membangun dan saling mengokohkan agar kita mampu
“BERDIRI SAMA TINGGI DAN DUDUK SAMA RENDAH” dengan kembali
membangun dan melestarikan aturan budaya yang baik yang sudah di berikan oleh :
“ALLAH BAPA KITA YANG MAHA ADIL”. Amin.

“MEENAKAMEE MA,
MEEUKAMEE MA
INII MEE MAA
ENAUTUTU”

Anda mungkin juga menyukai