Depan Mee)
Depan Mee)
(sebuah tulisan dari pengalaman dan pengamatan sebagai pengantar bagi harapan masa
depan mee)
Perempuan atau wanita itu indah, banyak kalangan menyebut perempuan sebagai bunga.
Sebagai perempuan atau wanita yang terlahir dalam suku MEE menjadi perempuan atau
wanita adalah wajib memberikan keharuman bagaikan sekuntum bunga dan wajib
mengundang banyak madu atau kupu-kupu menghinggapi bunga yang harum itu untuk
diberikan madunya. Maka perempuan MEE dalam kehidupan hanya bergelut dalam dunia
Kebun dan Dapur. Kebutuhan dan Dapur adalah : adalah jantung dari kehidupan, bangsa
manusia sejak Adam dan Hawa di usir dari Taman Firdaus.
BAB I
Suku atau etnik ini menyebut diri mereka adalah Mee atau manusia sejati¹, 1ungkapan/kata
yang mempertegas akan kesejatian manusia mee “mee kiyakeeko meeka dimii gai kodoko”
(jikalau anda sadar bahwa anda adalah manusia maka berpikirlah sebagai manusia).
Ungkapan lain yang menguatkan arti mee sebagai manusia sejati adalah “akiya dimi kiike
akauwa awitouyogoo ki mee kodokoo” (jika anda mampu untuk menjadikan suara hatimu/
instingmu/akal budimu sebagai patokan hidupmu maka anda adalah manusia sejati.
Ungkapan –ungkapan di bawah ini selalu disampaikan orang tua kepada anaknya atau
kepada orang yang lebih muda ketika:
- Memperhatikan atau melihat seseorang melakukakan hal yang salah atau tidak sesuai
dengan aturan atau kebiasaan atau norma yang ada.
- Memberikan nasehat kepada anak atau saudara yang akan bepergian jauh atau akan
membangun rumah tangga yang baru.
- Pada saat pertemuan untuk menyelesaikan suatu masalah yang terkesan di buat-buat. Atau
juga
- Pada saat memberikan nasehat pada malam hari di rumah.
Setiap suku atau etnik memiliki bahasa yang menunjukan identitas suku, mee sebagai suku
memiliki bahasa Mee (mee mana), yang mana Mee mana adalah salah satu unsur
1
Titus pekey, Manusia mee di papua,2008, Mee tumaa berarti: maakodo Mee (benar-benar manusia)
kebudayaan etnik yang dibentuk, dibina, dikembangkan dan diturunkan kepada generasi
berikutnya”²(lih.hal.12). 2
Mee sebagai salah satu suku bangsa atau etnik yang berada di pegunungan tengah bagian
barat dari Provinsi Papua dan disebut daerah Meuwodidee yaitu; mulai dari Makataka di
bagian timur yang berbatasan langsung dengan wilayah Moni sampai dengan Kegata di
bagian barat yang berbatasan dengan suku Kamoro di bagian selatan dan suku Auyu di
bagian barat daya. Dalam bukunya Bulaars menyebutkan ciri khusus etnik mee adalah
berambut kriting dan berkulit hitam kecoklatan dengan postur tubuh yang sedang
(pygomod/tidak tinggi juga tidak besar). 3
Mee sebagai manusia sejati memiliki peradaban hidup yang sangat solid dan kuat yang sudah
di jalani sejak leluhur Mee ada di dataran Tinggi Meuwo. Peradaban hidup yang Mee miliki
sebagai aturan adat yang sudah di anut turun - temurun dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, dan mereka sangat menghargai dan menjunjung tinggi segala nilai dan aturan
hidup atau yang biasa disebut dengan adat istiadat. Aturan hidup itu mengatur dengan rapi
seluruh gaya hidup, gaya tindakan, gaya bicara, tata krama dan terlebih lagi soal
tanggungjawab atau kewajiban yang harus dan wajib dilaksanakan yang sudah menjadi
kebiasaan walaupun aturan itu tidak tertulis.
2
Andreas.A.Goo, Dogiyai dou enaa,2009
3
Bulaars
Laki-laki mee sebagai laki-laki perkasa Mee dan sangat yakin sebagai manusia sejati juga
tidak segan-segan akan memberi posisi kepada laki-laki mee lain yang dianaggap sebagai
laki-laki yang kurang cakap dengan ungkapan atau bahasa yang menyindir. Ungkapan
yang memberikan posisi marginal perempuan mee sebagai manusia yang tidak berarti
yang sering di ungkapkan laki-laki mee pada umumnya, adalah : “ii notoo, pekatoo badee
– bade akiki yagamo keege” (tinggal duduk menganguk dengan mata yang
bingung,memangnya anda perempuan kaa)
Sistim umum keberlanjutan hidup dalam suku mee menganut sistim patrilineal atau
mengikuti garis keturunan bapa, artinya anak yang di lahirkan dalam suatu keluarga
melanjutkan marga/klen/fam bapa atau suami. Dalam beberapa keadaan lain, perempuan
kadang dianggap sebagai pembawa sial, pembawa sial bagi keturunan/ marga atau
kelompok masyarakat dalam satu kampung, mengenai ini akan di uraikan tersendiri
dalam point perempuan mee dengan konotasi negative.
Dalam tulisan ini, penulis tidak akan mengurai tentang aturan atau gaya hidup mee pada
umumnya namun lebih banyak akan berbicara seputaran aturan hidup bagi perempuan
Mee itu sendiri. Setiap manusia Mee yang lahir sebagai anak menjalani kehidupannya
sebagai anak dibawah asuhan orangtuanya, dan jika anak manusia mee melakukan hal di
luar dari apa yang diajarkan, apakah itu sesuatu yang baik atau tidak baik, maka anak ini
akan di anggap sebagai anak yang melakukan pelanggaran, maka anak tersebut harus
/wajib di lakukan selamatan atau doa, dalam bahasa Mee di sebut ”Kamuyatai”. Pada
masa remaja anak manusia Mee ini akan mulai menunjukan jati dirinya sebagai seorang
anak yang mungkin akan memiliki atau tidak memiliki kekuatan lebih, untuk masa
depannya. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara anak manusia Mee laki-laki (yame
yokaa) dan anak manusia Mee Perempuan (yagamo yokaa) sesuai latar belakang
kehidupan keluarga asal.
Dalam kebiasaan hidup manusia Mee dewasa memiliki tiga (3) kelas hidup, kelas hidup
ini tidak berlaku secara umum atau baku, namun kelas hidup ini tumbuh dengan
sendirinya; dan dalam penentuan ukuran atau takarannya adalah keperkasaan seorang
laki-laki Mee dewasa akibat sistim patrilineal yang kuat namun kelas hidup selalu ada,
yaitu;
Seorang perempuan Mee yang lahir dari Kelas Daba Mee pun memiliki kewajiban untuk
harus tunduk pada keputusan sang ayah atau saudara laki-lakinya dan harus kawin dengan
pasangan yang berasal dari kelas hidup yang sama atau setingkat diatasnya. Dianggap
tabu atau tidak manusiawi jika kelas Meuyautuyaakaa Mee yang meminang si anak gadis
dari kelas Tonawi atau kelas daba mee.
Seorang Perempuan Mee yang berasal dari kelas paling rendah “Meiyautuyaakaa Mee”
kadang tidak memiliki harga (nilai) sehingga mereka di paksa harus kawin dengan kelas
diatasnya sebagai istri yang kedua atau ke berapa. Manusia Mee perempuan dianggap
sebagai “Pelengkap” atau sebagai manusia kelas dua yang hanya hadir sebagai
penyeimbang hidup yang memberi dan menambah kekuatan sang laki-laki, dan tidak
memiliki haknya sebagai manusia selain hak hidup dengan memiliki nama clan atau
marga. Bahkan jika ada perempuan Mee yang memilih hidup untuk tidak kawin (Api
adamaa) akan berakibat di bunuh atau dipanah, karena dianggap sebagai penghambat
perkembangan clan/marga dan menutup sumber rezeki bukan hanya clan/marganya tapi
sejumlah clan yang bediam di daerah tersebut.
Namun didalam kehidupan sehari-hari dan kepentingan keluarga inti perempuan mee adalah
asset yang berharga atau memiliki nilai yang tinggi dan sekaligus menyimpan martabat
keluarga yang sangat tinggi dalam arti lain, nilai manusia dan kemanusiaa perempuan mee
sangat di junjung tinggi; Banyak hal yang dapat menjadi bukti bahwa perempuan mee
memiliki NILAI lebih dalam kehidupan mee di buktikan dengan ungkapan –ungkapan
kebaikan dengan simbol perempuan, dalam tulisan ini saya hanya ingin mengangkat 3
ungkapan yang penting, yakni :
1. Keyakinan akan pelindung atau penjaga gunung, bukit atau wilayah selalu di simbolkan
dengan perempuan (ipuwee/penjaga,pemilik); Beberapa ungkapan yang menyatakan akan
keberadaan pelindung dan kebenarannya yang hingga saat ini, masih di pegang terungkap
dalam beberapa ungkapan yang sering di bicarakan adalah:
- Kii tonawii kiike, tonawii ugouweuwe kiike gaamene teetai meeko ewaa kodaa
(Orang kaya (laki-laki) ini menjadi hebat karena ada seorang putri yang selalu
mengawasinya)
- Eniyaa pitoo auwee dimiidaa kouyamake wakouweekaa pugaidaa teiga kouko
yagamo nako totoomega. (Kobaran api setan yang terbang dari gunung itu menuju ke
bukit itu itu adalah seorang bidadari)
- Kou dimii kou doutouga ko enaa. (Putri penjaga gunung itu baik)
Kata ko yang di garis bawahi diatas menunjukan perempuan dalam bahasa mee, lawan
kata dari kii sebagai kata tunjuk untuk laki-laki
2. Perempuan mee sebagai mama dan saudari bagi lelaki sangat berarti, atau dengan kata
lain : Mama adalah mama. Ungkapan yang menyatakan adalah mama adalah segalanya,
“Akuukai too maano” (Hanya mama saja yang benar, atau Hanya mama saja yang
memiliki nilai kebenaran yang tinggi).
Mama dan saudari perempuan mendapat tempat yang sangat berarti di hati anak laki-
lakinya. Beberapa cerita tentang perang suku atau perang antar clan/marga atau wilayah
yang pernah terjadi di lembah Kamuu dahulu, lebih banyak karena masalah perempuan
dimana mamanya atau saudari perempuannya di sakiti oleh laki-laki lain, entah karena
masalah keluarga atau karena masalah di kebun atau di hutan.
3. Perempuan (mama atau istri) menjadi tolak ukur keberhasilan hidup seorang laki-laki
Mee. Jika ada seorang anak menjadi berhasil atau kaya (tonowi) memiliki banyak harta
dan babi selalu akan di kaitkan dengan kehebatan Mama. Ungkapan rasa kagum itu akan
di ungkapkan dengan kata : mama yang memiliki pondasi dan gaya hidup yang baik
memberikan Aura yang positif bagi keberhasilan anaknya, apa lagi didukung oleh istrinya
yang trampil dan berasal dari keluarga yang baik akan menunjang seluruh
keberhasilannya. Filosofi keren atau ungkapan indah yang popular bahwa “dibalik
kesuksesan seorang pria pasti ada perempuan yang hebat” dalam suku Mee filosofi itu
sudah ada sejak leluhur Mee. Beberapa ungkapan yang yang menguatkan filosofi ini
masih kuat hingga sekarang adalah:
a. Ketika anak laki-laki akan melancong atau bepergian (duwa uwii) restu dan nasehat
ibunya menjadi hal yang penting. Kata bapaknya untuk melepas kepergiannya
adalah : “akuukai ya naa ii no kateegano enaano uwi” (karena ibumu sudah merestui
maka silakan jalan).
b. Istri sebagai penjaga atau pemelihara ternak (babi), mengetahui keadaan setiap
ternaknya. Jika dia melihat atau merasa ada yang sakit atau bermasalah dia akan
menyampaikan tidak selalu secara langsung namun dengan bahasa isyarat. Jika tidak
di eksekusi artinya di bunuh maka akan mendatangkan masalah lain seperti kesakitan
anak, atau kesakitan si bapa atau suami atau masalah kematian babi yang lain,
sehingga mengalami kerugian. Sehingga ungkapan mama atau istri sangat penting
untuk menjadi perhatian.
Dari penjelasan diatas ini dan beberapa kejadian lain yang sering terjadi sungguh sangat
membuktikan bahwa perempuan Mee sangat berarti dan memiliki Harga atau nilai yang
tinggi dalam pandangan hidup orang mee. Mengapa Perempuan Mee sebagai mama sangat
berarti dan memiliki nilai yang tinggi akan juga di bahas dalam bab ini di bagian kedua..
Perempuan Mee pada khususnya dan Pegunungan Papua pada umumnya memiliki tanggung
jawab sebagai Mama yang mengandung dan melahirkan kehidupan, selain itu juga
bertanggungjawab untuk memelihara, menjaga, mengurus dan mendidik kehidupan baru
hingga menginjak masa remaja. Dari tanggung jawab yang harus dan wajib di emban
ini,maka Perempuan Mee atau Perempuan Pegunungan tengah Papua harus memiliki
kekuatan bagaikan batu karang serta ketrampilan yang memadai yang sudah diasah sejak
masa kecil. Sebagai Perempuan Mee yang hadir dan hidup dalam aturan adat yang kuat,
menjadi suatu kebanggaan tersendiri, dimana segala aturan hidup itu memberi pelajaran yang
indah untuk di renungkan dan di laksanakan menjadi landasan hidup menjadi seorang mama
tanah yang berdaya guna.
4
Titus pekey
Di kebun itu pula Mamanya akan mengenalkan semua peralatan berkebun yang di pakai
oleh mamanya seperti : wadi dan yadau/patau, 5dimana Wadi (potongan kayu kecil yang
dibentuk runcing di salah satu sisi ujungnya) wadi ini berfungsi untuk menggali Ubi dan
mencabut rumput yang akarnya agak keras, dan Yadau/Patau ( Potongan kayu agak
besar dan agak panjang yang di bentuk runcing di slah satu sisinya dan sisi yang lain di
bentuk agak melebar namun juga di perhalus ketebalan di ujungnya), yadau/patau ini
berfungsi untuk membuat parit untuk mengalirkan kelebihan atau genangan air hujan
dalam kebun, juga sebagai pembatas kebun. Dalam penggunaannya Wadi digunakan
atau di pakai sambil duduk berjongkok karena bentuknya yang pendek dan Yadau/Patau
di gunakan sambil berdiri dan menunduk karena alatnya yang panjang juga karena parit
yang dibuat itu agak dalam. Pengenalan peralatan kerja ini di lakukan karena peralatan
itu tidak akan di bawa pulang, namun di simpan atau di sembuyikan dalam rumput atau
tanaman yang ada di kebun. Di sela- sela pekerjaan yang sedang di kerjakan, mama akan
mengerti bagaimana anak perempuannya bosan, mama akan mengisi waktu mengaso
dengan mengajari anak bermain ala anak perempuan mee, seperti
bermain tali-temali yang di bentuk dengan
jari-jemari tangan yang biasa di sebut “Gaadogaa”,
seperti yang ada dalam gambar dibawah ini
Selain hal- hal diatas, mamanya juga akan memperkenalkan jenis tanaman yang ditanam
di kebun mamanya dan posisi tempat yang pas untuk di tanam. Jenis tanaman yang
ditanam itu selain petatas/ubi dalam bahasa mee di sebut “Nota/Nuta/Dugi” yang posisi
tanamnya selalu berada di tengah- tengah kebun, mama juga akan memperkenalkan
beberapa jenis sayuran lain seperti :
- “Naapo/Digiyoo,digihoo/Uguboo” sejenis sayur dengan daun kecil berwarna hijau tua
yang batangnya berbentuk ruas-ruas sehingga di setiap ruas itu memiliki 2 buah daun,
posisi tanam sayur ini di tempat yang agak rindang atau tidak terkena sinar matahari.
- “Yatuu/ Hatuu” sejenis sayur yang bentuknya mirip serei dimana jika di tanam akan
membesar membentuk rumpun, posisi tanam sayur ini di pinggiran parit atau di tanam
mengelilingi kebun.
- “Pego” sejenis sayuran yang batangnya seperti tebu dan tumbuh berumpun,
bagianyang diambil adalah bagian pucuk yang akan membesar, jika di kuliti
bentuknya seperti lilin sehingga sekarang kadang orang menyebut “sayur lilin”. Posisi
tanamnya di pinggiran parit berselingan dengan “yatuu”. Yatuu dan pego selalu
5
Titus Pekey
dijadikan sebagai teman makan petatas, karena setelah di bakar kedua jenis makanan
ini bisa di isi dalam noken untuk menjadi bekal.
- “Eto” dalam bahasa Indonesia adalah tebu, posisi tanam tebu, eto atau tebu ini di
tanam di keempat sudut parit yang di buatnya. Eto ini biasanya di ambil saat siang
hari, saat matahari panas untuk menghilangkan rasa dahaga.
Pada saat mereka akan pulang mamanya juga akan mengajarkan bagaimana caranya si
anak perempuan mengisi bahan makanan yang sudah di ambil, caranya memikul noken
(agiya) ke rumah; Kegiatan membantu mama tidak berhenti sampai di situ, sambil
menunggu matahari agak condong ke barat, mama akan duduk mengajari anak
perempuannya menggosok (“gitai”) kulit kayu (“bebi”) yang kering dan masih tebal
untuk di haluskan lalu mengeluarkan serat halus dan cara memintalnya menjadi benang,
dan jika sudah menjadi benang yang agak panjang, anaknya di ajarkan cara membuat
noken (agiya). Dalam beberapa literature mengangkat bagaimana noken anggrek di
rajut oleh orang mee, memang benar noken anggrek adalah noken khas suku mee
namun, noken yang ada tambahan anggrek itu di rajut oleh para laki-laki mee dan
dianggap tabu (“daa”) perempuan mee merajut memakai anggrek, apa lagi
menggunakan noken yang dengan anggrek.
Jika Matahari agak condong kebarat atau kira –kira jam 16.00 atau jam empat sore,
mama akan mengajak anaknya untuk mencari dan memanggil babi piaraan untuk di
berikan makan, mereka akan menunggu atau menjaga babinya hingga makanannya
dihabiskan, hal ini di lakukan agar makanan ini tidak di rampas oleh babi tetangganya
sehingga babinya kelaparan. Setelah pulang ke rumah anak perempuan harus pergi
mengambil (menimba) air di kali atau di tempat dimana biasanya mereka
mengambilnya. Didalam dapur milik perempuan / mama, mama dan anak
perempuannya bersiap memasak makanan yaitu membakar petatas (nota), cara
memasak ini pun diajar. Bagaimana caranya memasak nota, mulai dari menaruhnya di
pinggiran tungku untuk mengeringkan kulit arinya, sekaligus caranya memegang Obe
(Penjepit, biasanya terbuat dari potongan kayu atau bambu yang dibengkokkan di
bagian tengah membentuk huruf U), lalu mengubur atau membenamkanya dalam debu
panas, mengangkatnya dan membersikannya (mengikisnya) dari sisa debu dan bagian
kulit ari yang hangus. Mama juga akan mengajarkan bagaimana cara membungkus
sayur, memilih daun-daun yang akan di pakai untuk membungkus (karena tidak semua
daun bisa di pakai untuk membungkus sayuran) dan caranya memasak dan cara
mengangkat bungkusan sayur itu dari perapian.
c. Anak Perempuan mee dengan Aturan Adat dan Etika
Mama mee dalam mendidik dan membesarkan anaknya selalu mengikuti aturan atau
norma adat dengan selalu menjunjung tingg etika. Disini mama mee tidak akan banyak
mendikte (mengajari dengan mengatakan atau berbicara) agar anaknya paham namun
cara didikan yang dipakai selalu dengan bahasa isyarat, mimik muka dan juga dengan
tindakan atau apa yang di buat oleh mamanya.
1. Anak perempuan di larang masuk di rumah laki-laki (emawaa), karena di sana
menyimpan semua kebesaran dan kekuatan sebagai lelaki jantan, walaupun hanya
untuk sekedar bermain didepan pintu. Pembinaan ini akan di lakukan mama dengan
cara, mama akan memberikan makanan yang sudah masak itu dengan mengulurkan
tangan melalui pintu kecil berukuran 50 -70 cm yang dibuat di dinding antara
kamar laki-laki (emaawa) dan kamar perempuan (kugu owaa). Artinya mama tidak
akan pergi memberikan makanan dari pintu karena itu akan menutupi pintu rezeki
keluarga yang di usahakan oleh bapanya.
2. Anak perempuan harus belajar gaya mengenakan busana adat (moge) dengan baik.
Busana adat antara mama dengan anak sangat beda jauh dari bentuknya dan
fungsinya. Busana mama dan anak terbuat dari bahan kulit kayu, busana anak
perempuan di buat berbentu rok tanpa di pintal dan di sebut busana nona (dugaa
mogee), busana ini di pakainya hingga menjelang haid/menstruasi pertama. Busana
mama di sebut (danee mogee) di buat dengan di pintal dengan ukuran setebal kira-
kira 4-5cm dengan panjang sekitar satu meter kira –kira sekitar 12-15 utas dan
dikaitkan pada tali pintalan yang melingkar di pangkal paha. Tali panjang itu akan
julurkan kebelakang persis antara kedua paha dan akan diikatkan di belakang,
sehingga bisa menutupi bagian kelamin sehingga berfungsi menahan darah haid
yang keluar.
3. Anak perempuan di larang membuang air (kencing atau bab) di sekitar rumah
dengan sembarang, apa lagi di dekat tanaman yang ada di pinggir rumah. Mama
akan mengajari anaknya dengan mengajak ke luar pagar di belakang rumah di
tempat yang di sediakan, sekaligus mengajar cara membersihkan pantat (ceboh).
Keyakinan tidak membuang air sembarang ini, di perkuat dengan ungkapan :
“yagamo yokaako pipi itoopa te titouyogooko, akaitai yaa utiyaa kaa be kagaayaa”
(Jika anak perempuan membuang air sembarang, apa lagi di pinggiran rumah, maka
penjaga rumah akan marah)
4. Anak perempuan tidak boleh makan jenis makanan yang hanya di makan oleh laki-
laki, karena akan berpengaruh pada proses persalinan anak setelah dia sudah kawin,
atau juga akan memberikan efek sakit pada lututnya sebelum masa tua. Jenis – jenis
tanaman itu biasanya akan di tanam di pinggiran rumah atau di kebun yang ada di
hutan, seperti:
- Kugou (pisang yang buahnya sama dengan pisang ambon tetapi, pisang ini tidak
bisa di makan langsung tapi di bakar),
- Momai (Sejenis tumbuhan merambat yang menghasilkan makanan seperti keladi
menado),
- Bi (buah merah)
- Tetto etoo (Tebu dengan kulit yang merah).
5. Anak perempuan mee dengan tegas di larang untuk
- Mengumpat pembicaraan bapa dan mamanya atau orang yang lebih tua darinya.
- Memberikan masukan (saran) pada saat orang tua sedang berbicara, namun jika
ada hal yang perlu anak perempuan harus menyampaikannya kepada mama pada
saat lain, setelah pembicaraan itu selesai, namun mamanya juga tidak akan
langsung menyampaikannya kepada bapanya atau orang tua lain yang telah
membicarakan topik itu, mama akan menunggu momen yang tepat untuk
menyampaikannya.
- Menambahkan kata, atau memotong pembicaraan orang tua (Bapa, Mama,
saudara laki-lakinya, atau orang yang lebih tua darinya), pada saat ada sesuatu hal
sedang di bicarakan.
Semua jenis larangan ini di ajarkan sebgai bagian dari etika penghormatan kepada
orang tuanya, juga agar kelak tidak melakukan kesalahan. Hal ini dianggap penting
karena akan berpengaruh dalam hidupnya setelah kawin, dimana etika ini akan
meminimalisir keegoannya karena bisa berakibat mau menang sendiri dan bertindak
meremehkan suami atau lelaki sehingga harga diri suaminya jatuh di hadapan orang
lain dan akan di sebut sebagai perempuan yang suka usil dengan hidup orang. Jika
ajaran etika ini dilanggar dan dalam hidupnya bertindak maunya sendiri maka akan
di sebut sebagai “peu yagamoo”(perempuan/ibu/mama yang tidak baik). Dalam
mengajarkan etika ini, bapanya ikut bertanggung jawab mengambil bagian dalam
membimbing anak perempuan.
Beberapa bahasa atau ungkapan ejekan yang sering di ungkapkan untuk
menunjukan atau membuktikan bahwa masa kecil perempuan mee yang tidak patuh
pada larangan atau dengan bahasa ekstrim yang lain bahwa pada masa kecil anak
perempuan tidak di ajarkan etika:
Bab II
Perkembangan teknologi dan perubahan jaman yang semakin pesat terjadi jauh di luar sana
ikut merambah hingga ke pelosok, dimana di tanah Papua di tandai dengan kehadiran tuan
Ottow dan Geisler di bagian utara pulau yang tiba di pulau Mansinam, Manokwari dan
Pastor Herman Tillemans dan Staverman yang datang bersama pemerintah Belanda di Papua
pada tahun 1929 (otobiografi Tillemans), membawa pengaruh yang pada umumnya baik. Hal
ini dapat penulis sampaikan karena belum pernah ada cerita orang tua di pesisir yang
menyatakan bahwa kehadiran Bangsa Belanda sebagai Bangsa yang datang katanya untuk
menjajah, apa lagi melakukan tindakan kekerasan penindasan hingga kerja paksa (Rodi)
seperti kebanyakan cerita di beberapa daerah atau pulau lain di Indonesia (cari literature).
Memang ada hukuman namun itu di berikan kepada orang yang tidak mengerjakan pekerjaan
sesuai perintah dan bagi orang tua dahulu saat itu menganggap hukuman itu sebagai
pembelajaran agar dia tidak melakukan kesalahan lagi (hrs cari data). Pada intinya penulis
ingin menggambarkan sedikit saja tentang sejarah masuknya pengaruh bangsa belanda di
Papua, karena penulis lebih menitikberatkan pada pengaruh kehadiran bangsa belanda bagi
perempuan Mee.
Perubahan jaman dan pengaruh luar memberi angin perubahan di segala bidang kehidupan
suku mee yang di mulai dengan kehadiran pengaruh kehadiran misi katholik dan misi
zending di tanah meuwo yang di mulai awal decade 1930-an. Perubahan jaman di daerah
pedalaman ini bagaikan angin yang kencang yang turut juga memporak-porandakan adat dan
kebiasaan yang di jaga kesakralannya selama kehidupan nenek moyang mee hingga awal
tahun 1970-an, setelah memasuki era atau jaman Indonesia mulai menjalankan
pemerintahannya di Papua setelah pelaksanaan PEPERA tahun 1969 yang penuh dengan
gejolak dan tantangan, justru semakin terpuruk karena kekerasan militer meraja lela.
Angin kencang pengaruh budaya asing (barat) yang hadir dengan memberi perhatian secara
keras, yang bisa di terima dengan orang mee dengan baik, karena kerasnya pendidikan dan
pembinaan barat di daerah meuwo sama dengan kebiasaan dan kebudayaan mee yang sudah
dan sedang hidup dalam budaya keras namun bermartabat. Gaya kepemimpinan, gaya
pendidikan, gaya hidup, hingga gaya bersosialisasi dimasa belanda di meuwo mendapat
tempat yang baik dalam kehidupan mee dan budaya mee.
a. Perempuan Mee Jaman Misi Katholik dan misi Zending
Kehadiran misionaris Belanda di daerah Meuwodidee yang ditandai dengan penerbangan
pertama yang di lakukan oleh tuan wissel dan merren diatas 3 danau Tigi, Tage dan Paniai
yang berada di meuwodidee tahun 1930. Dan selanjutnya Pastor Tillemans bertemu
dengan Tuan Auki Tekege di Kokonau tahun 1931. Penulis tidak akan bercerita tentang
sejarah perjalanan perkembangan misi itu namun lebih mencoba menguraikan bagaimana
misionaris perempuan, biarawati asal belanda atau suster –suster yang mengambil alih
peran mendidik perempuan Mee yang di tandai dengan membuka sekolah atau Sanggar
Kegiatan Belajar (SKB) di Epouto tahun 1946 dan pada akhirnya di pindahkan ke
Enarotali (Paniai) sekarang pusat kota Kabupaten Paniai sekitar tahun 1957.
Para biarawan katholik ini berperan aktif mendidik perempuan Meeuwo dengan berbagai
kegiatan dalam sekolah atau sanggar berpola asrama. Pendidikan ini berkisar bagaimana
mereka bisa menjadi perempuan petani Mee yang handal, menjadi mama yang baik
dengan bisa memasak dengan alat masak, menjahit pakaian, mendidik anak dengan
memandikan, mampu mengajari anak bukan saja berkebun namun pendidikan formal
minimal bisa menemani anak belajar pelajaran di sekolah. Kehadiran para biarawati ini
sungguh sangat membantu para putri Mee agar kelak dapat menjadi mama-mama hebat
bagi perkembangan generasi berikutnya dengan tidak meninggalkan kebudayaan dan
aturan adat yang berlaku dalam peran mendidik anak sebagai generasi penerus.
Pola pendidikan biarawati katholik dalam mendidik perempuan mee saat itu, tidak pernah
membedakan antara satu dengan yang lain, dimana porsi didikan dan binaan di berikan
secara merata dan justru memberikan peluang bagi yang di rasa kurang dengan
mengenjotnya menjadi sama atau kalau boleh lebih, dengan cara menambah waktu
pembelajaran. Waktu pendidikan berpola asrama ini minimal dua tahun, jika ada hal baru
yang harus di tambahkan maka akan di minta persetujuan dari si anak didik ini, atau
kekeluarganya. Dalam masa pendidikan ini sedang berlangsung, anak-anak didik tidak di
ijinkan untuk meninggalkan atau meminta untuk mengundurkan diri atau keluar dari
asrama, walaupun itu permintaan dari orang tuanya. Dalam beberapa cerita dari mama-
mama ini menceritakan bahwa mereka dididik dengan aturan yang ketat dalam asrama dan
jika salah mereka akan mendapat hukuman dan mereka (mama-mama) mengakui bahwa
persis dengan sistim pendidikan atau pembinaan yang mereka dapat di dalam rumah dari
orangtua mereka.
Gadis-gadis ini masuk sekolah ini dengan di tuntun oleh pihak gereja setempat atau
bahkan dengan di paksa Pihak gereja katholik (pastor) meminta bantuan pemerintah
belanda melalui pamong yang ada di tiap distrik agar mencari gadis –gadis di distriknya,
agar bisa di kirim ke Enarotali. Anak-anak gadis ini di pilih dalam arti mereka yang
mampu dan masih dibawah umur 15 tahun di kirim ke Epouto untuk bersekolah di VVS
dengan teman-temannya laki-laki Mee. Pada tahun 1973 pusat pendidikan yang sama di
buka oleh misionaris katholik di Mowanemani- Kamuu yang sekarang telah menjadi pusat
Kabupaten Dogiyai, melalui pendirian Yayasan P-5. Pusat pelatihan yang di buka itu
adalah untuk perempuan di sebut: PBWP (Pusat Belajar Wanita Petani) dan untuk laki-laki
adalah SPL (Sekolah Petani Laki-laki). Melalui yayasan ini banyak sekali para puta dan
putri Mee di didik menjadi petani yang mampu mengembangkan keluarga bahagia dengan
menitik beratkan pada pembinaan dan pendidikan anak atau generasi baru.
Perempuan Mee pada jaman ini menjadi perempuan hebat, ulet dan trampil yang masih
kuat hidup dalam aturan adat dan menjadi tangguh dengan pengaruh hidup yang baru yang
mereka sadari bahwa pengaruh itu sebagai hal yang baik dan semakin mempertajam
kemampuan dan ketrampilan yang sudah ada.
Acub Zainal seorang mantan Gubernur Papua (Irian Jaya), pada tahun 1980 memberi
gambaran dalam bukunya yang di tulis oleh: Nurinwa,1998 (Acub Zainal: I Love
Army,JKT Sinar Harapan,hal.76),mengatakan:
6
Verelladevanka,Kompas com
7
CNN Indonesia, 2019
8
Verelladevanka,Kompas com
peninggalan Belanda juga dibakar. Hngga berbagai informasi tentang Irian barat
hilang” (Markus Haluk,2019)9
Selain pernyataan di atas ini, S.P.Morin, salah satu pejabat Papua (Irian jaya) pada jaman
Gubernus Barnabas Suebu, menjelaskan tentang perbedaan Pemerintahan Belanda dan
Indonesia, beliau mengatakan
“Apa yang sangat menggangu OAP melalui kehadiran Indonesia dewasa ini, tidak
hanya penedekatan militer/keamanan secara sitematis tetapi juga dalam bidang
ekonomi. Belanada tidak pernah merampok tnah: dusun sagu,pinang, dan sirih juga
noken dllIndonesia justru merampok tanah , sambil mengambil alih pasar dan tanah
masyarakat dan akhirnya menjadi tuan tanah baru lalu juga mengambil alih barang
jualan seperti: pinang,sirih,noken dll dan mulai menjual beli dan hidup dari situ.
(Haluk,2019).
Fenomena perubahan kondisi yang dialami masyarakat atau orang asli Papua semakin
membabat atau mengikis peradaban kebudayaan asli yang sudah menjadi tardisi. Keadan
ini mengacu orang Papua untuk mencari tempat aman sehingga kebiasaan dan adat
istiadat yang ada mulai terancam. Pada hakekatnya perubahan peradaban hidup
pemaksaan dengan intimidasi dan penganiayaan semakin meraja lela juga mulai
mempengaruhi dan merambat hingga kepada hidup berumah tangga.
Didaerah meuwodidee (sebutan untuk daerah atau wilayah yang di mukim oleh
suku/etnik mee) yang pada jaman sekarang setelah kehadiran OTSUS di sebut dengan
wilayah adat Meepago, melakukan aksi protes pada tahun 1969, saat PEPERA sebagai
tindakan atau pernyataan bahwa orang Mee menolak dengan tegas kehadiran negara
Indonesia, dan meminta agar dunia internasional melalui UNTEA mengakui
kemerdekaan Papua Barat pada tanggal 1 juli 1961 yang di proklamirkan oleh Pemuda-
pemuda Papua saat itu di PORTH HOLAND yang sekaligus telah mengubah nama ibu
kota Negara Papua menjadi HOLANDIA. Penolakan ini terjadi karena kehadiran UNTEA
di daerah Meuwo turut mendukung segala kegiatan yang sudah di bangun oleh
pemerintah Belanda dan mendukung penuh gerakan pembaharuan melalui misi –misi dari
gereja Katholik dan gereja Zending (Kingmi). Seperti sudah di diuraikan diatas secara
singkat bahwa kehadiran Indonesia dengan kekuatan militer yang meninggalkan efek
ketakutan dan pengaruh buruk terhadap kelanjutan peradaban budaya yang ada. Dalam
9
Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua, hal 2
keadaan yang seperti ini, orang mee mengalami proses degradasi ketahanan budaya yang
hebat dalam mempertahankan nilai-nilai budaya, nilai-nilai kehidupan, hingga kepada
nilai –nilai spiritual yang luhur.
10
Yenny Kartika,Jawaban.com
memperpanjang masa kesenjangan sosial, kesenjangan peradaban hidup, dan kesenjangan
pendidikan bagi orang mee.
Pada dasarnya kehadiran Indonesia di tanah Papua pada umumnya meninggalkan duka
(memori pasionis) dan penderitaan yang mendalam . Ketika Orang Papua umumnya dan
orang Mee pada khususnya baru menerima peradaban baru dengan kehadiran
pemerintahan kerajaan Belanda dan sedang belajar beradaptasi dan mencoba
mengkolaborasi kebudayaan yang ada dengan budaya baru atau kebiasaan baru, karena
pendekatan kepada masyarakat setempat dilakukan dengan pendekatan spiritual;
Datanglah budaya baru (Indonesia) dengan orang yang baru dengan segala kebiadaban
militerisme yang tidak mengenal rasa kemanusiaan, menghancurkan budaya dan tatanan
hidup itu. Fenomena
Pertanyaan akan muncul, Apakah kehadiran pmerintahan Indonesia tidak melaksanakan
pembangunan? Jawabannya adalah Pemerintah Indonesia melaksanakan pembangunan
sekolah-sekolah Inpres/Negri, Puskesmas dan bangunan kantor pemerintah lain serta
Kantor Polsek dan kantor KORAMIL sekaligus dengan barak-barak penginapan di pusat
kota Kabupaten dan kota Distrik (kecamatan). Namun sekali lagi dalam pengambilan
bahan bangunan (kayu), tidak meminta ijin kepada pemilik lahan, dan mengambil tanpa
menanam kembali seperti yang dilakukan pemerintah belanda. Tanah tempat mereka
babat kayunya mereka jadikan lahan berkebun mereka, pada hal tempat atau hutan itulah
dahulu orang Mee berburu dan mengambil hasil hutan lainnya, atau juga tempat atau
hutan itu tempat keramat (suci/sakral) bagi orang Mee.
Selanjutnya dalam pengelolaan pemerintahan itu didatangkan guru-guru dan tenaga
kesehatan dari Indonesia dengan pesawat terbang jenis kecil milik gereja Katholik dan
Zending yang datang bukan hanya sebagai tenaga pengajar atau tenaga kesehatan namun
sekaligus berdagang, membuka kios-kios/ lapak tempat jualan sembako. Perdagangan
dengan membuka lapak kios ini membuat tatanan hidup berubah, dimana orang Mee yang
hanya mengenal sistim barter atau saling memberi karena kasih (Ipa), atau jika terjadi jual
beli maka dilakukan dengan kulit bia/kulit kerang (Mege), sekarang mereka di paksakan
untuk harus punya uang jika mau mendapatkan barang. Dalam dunia seperti ini
perempuan Mee semakin terpojok tapi juga bingung, terlebih karena yang menjadi
penjaga lapak/kios adalah perempuan (istri dari sang pegawai); sangat berbeda dengan
budaya Mee yang mana, perempuan adalah pekerja dan pendidik anak dan segala urusan
ekonomi di lakukan oleh Bapa (suami).
Dunia pendidikan pada pertengahan tahun 1976 mulai di buka seluas-luasnya namun,
tidak banyak anak yang mau bersekolah dan banyak orangtua yang tidak memberikan ijin
anak-anaknya mengenyam pendidikan karena trauma dengan segala kekejaman militer
dimasa kelam. Dimasa ini yang mengenyam pendidikan di sekolah Negri/Inpres dapat di
hitung dengan jari, hal ini terjadi karena :
1. Orang tua sangat/lebih mempercayai Sekolah Dasar Yayasan milik gereja yaitu,
Sekolah Dasar/ Sekolah Menengah Pertama Yayasan Pendidikan dan Persekolahan
Katholik (SD/SMP YPPK) yang berada di bawah Gereja Katholik dan Sekolah
Dasar /Sekolah Menengah Pertama Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Gereja
Injili (SD/SMP YPPGI) berada di bawah Gereja Kingmi (Kemah Injil), yang masih di
kelola oleh misionaris Belanda, yaitu di setiap kota distrik atau di kampung dimana
dahulu adalah pusat gereja pasti ada SD Yayasan, seperti di lembah Kamuu, ada SD
YPPK Moanemani, SD YPPGI Dogimani, SD YPPK Egebutu, SD YPPK Puweta, SD
YPPK Ugapuga, SD YPPK Pugatadi di Idakebo dan SD YPPGI Doutou, untuk SMP
Yayasan hanya ada satu SMP YPPK Moanemani yang awalnya ada di Epouto namun
di pindahkan ke Moanemani bertepatan dengan di bentuknya sekolah bagi para
pemuda dan pemudi yang tidak mengenyam pendidikan SD atau mereka yang tidak
melanjutkan sekolah pada jenjang SMP untuk belajar bertani dan beternak melalui
SPL untuk pemuda dan PBWP bagi pemudi melalui Yayasan P-5. (Bab.I).
2. Sekolah – sekolah milik Yasasan Gereja ini menjadi idola orangtua Mee karena sistim
pendidikan yang teratur, selalu berpola asrama untuk tingkat SMP dengan pembinaan
mental dan spritual secara terkontrol, tapi juga kualitas pendidik (guru-guru) lebih
banyak guru-guru orang Mee yang telah mengenyam pendidikan pada jaman
Pemerintahan Belanda melalui misionaris belanda seperti yang penulis sudah uraikan
di Bab.I.
3. Anggapan masyarakat pada umumnya bahwa sekolah Yayasan ini, terbuka untuk
umum tanpa membedakan status ekonomi keluarga di bandingkan sekolah
Negri/Inpres yang lebih banyak di dominasi oleh anak-anak pegawai kantor-kantor
pemerintah dan pendatang.
4. Selain ketiga alasan diatas, orang Mee saat itu sangat yakin akan keamanan anak
mereka bersekolah di sekolah Yayasan akan terjamin di banding bersekolah di
Negri/Inpres yang banyak anak-anak pendatang Indonesia yang berprofesi sebagai
tentara dan polisi bersekolah disana akibat trauma atau memori passionis orang tua
Mee di masa transisi integrasi masih menghantui jalan pikiran mereka.
Fenomena dunia sekolah seperti ini masih terus berjalan hinga tahun 1980-an akhir,
namun hingga saat ini kepercayaan dan animo orangtua menyekolahkan anaknya di
sekolah Yayasan ini masih tinggi karena kualitas sekolah masih dianggap lebih bagus.
Pada tahap selanjutnya
BAB III
PEREMPUAN MEE SEKARANG
A. Perempuan Mee dan Isu Gender
Secara etimologis gender berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin (Jhon dan
shadily;1996), dimana gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan
oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan pencitraan manusia baik oleh
laki-laki maupun oleh perempuan melalui proses social budaya yang panjang.
Isu kesetaraan gender telah menjadi pembicaraan berbagai Negara sjak tahun 1979, setelah
di selenggarakan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan thema The Convention
on the Elimination of all from Discrimination Against Women (CEDAW) yang membahas
tentang : Penghapusan tentang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Hasil
konferensi ini menjadi acuan dalam memeperjuangkan Hak Asasi Perempuan. Selanjutnya
pada tahun 1995 kembali di laksanakan Konferensi Perempuan Sedunia yang di rumuskan
dalam “Beijing Platform for Action” yang menyebutkan bahwa: perempuan dan kesehatan
sebagai salah satu dari 12 bidang kritis yang di kemukakan dalam rencana aksi ini.
Dalam kalangan Perempuan Mee yang sudah mengenyam pendidikan
B. Perempuan Mee dan Pendidikan Anak
Beralih dari pengalaman hidup saya yang sungguh masih berada dalam aturan
hidup adat yang sangat kental dan pengaruh jaman yang tak mungkin kita tolak dan
sembunyi, banyak hal yang memiliki nilai positif tergeser. Karena Pendidikan
penting maka banyak keluarga MEE (orangtua) kadang lupa untuk tetap
memberikan tuntunan, nasihat dan membina anak perempuan namun membiarkan
anak dengan pendidikan di sekolah saja. Orang tua lupa bahwa pendidikan
disekolah hanyalah sebatas ilmu, namun ilmu hidup itu ada dirumah didalam
keluarga. Apalagi jika anak itu mampu (bisa) di sekolah dan memberikan nilai
yang baik, orang tua Mee justru bangga dengan memberikan banyak hadiah, bukan
nasehat atau petuah. Lebih parah lagi jika bapanya Pegawai yang mungkin sering
tidak memberikan uang kepada mamanya, dan mamanya bertahan hidup dan
membiayai sekolah anaknya dengan jualan hasil kebun dipasar, maka otomatis
anak ini menjadi bola pingpong, dimana bapanya mengaku semua kehebatan anak
ini hanya karena bapa yang pernah mengenyam pendidikan atau sekolah, maka hal
yang bagus/naluri yang mantap /imej yang bagus itu mengalir lewat darah dari
bapanya. Mamanya yang masih terikat dengan kebiasaan adat pun tidak mau
mengalah, dengan mengatakan semua kehebatan anak ini karena mama yang susah
payah berjualan dan membiayai untuk sekolah. Anak bingung menetapkan apakah
sosok ayah yang akan menjadi panutan atau sosok ibu yang akan menjadi panutan.
Bapak tidak mempunyai banyak waktu menemani anaknya karena sebagian waktu
habis di kantor, sebaliknya mamapun tidak memiliki banyak waktu buat anak
gadisnya karena waktunya habis di kebun dan dipasar. Dalam aturan adat Mee,
seperti sudah di jelaskan diatas, Mama Mee di tuntut untuk lebih mampu
memberikan banyak waktu buat anak perempuannya dengan cara mengajak anak
perempuan ini kekebun atau kepasar, namun mama Mee saat ini tidak pernah
lakukan karena mama lebih mempercayai kelebihan anaknya dalam dunia
pendidikan di sekolah ketimbang didikannya di rumah, karena mama tau anaknya
pintar dan tugasnya sebagai anak sekolah adalah belajar. Pentingnya pendidikan
membuat mama ini lupa kalau anak perempuannya di ajak ke kebun atau kepasar
adalah belajar tentang kehidupan yang nyata.
Mama MEE lupa akan pentingnya waktu bersama dengan anak perempuannya
untuk mendidik dan membinanya, apalagi jika mama ini juga seorang pegawai
yang waktunya tersita di kantor dan dikebun, maka waktu kosong yang di miliki
anak di bayar dengan uang dan hadiah (handphone/ipad), sehingga mama ini tidak
mengetahui apa yang sedang di makan, apa yang sedang di kerjakan dan sedang
bermain dengan siapa anaknya itu. Akibat pembiaran ini kadang juga sampai pada
masa puber (menstruasi) dan anaknya harus menjalani masa 2 hari puasa( diyo
dou) untuk pertama menstruasi, mama mee ini tidak tau dan tidak pernah tau,
menganggap soal biasa karena jaman moderen “katanya” menutupi kegagalan pikir
mama MEE yang sudah lupa akan jati dirinya.
Pergeseran nilai budaya mee untuk membina anak perempuan MEE menjadi
perempuan yang tangguh seperti yang sudah di uraikan pada poin 1 diatas sangat
drastis terjadi diawal milenium (2000) sehingga banyak dampak negatif yang
terjadi pada perempuan MEE saat ini yang bisa kita lihat di depan mata kita.
C. Perempuan Mee dan Ekonomi Keluarga
D. Perempuan Mee Pentingnya bersosialisasi
Kembali saya ingin memulai dari pengalaman hidup saya bersama orangtua saya;
Ayah saya seorang guru/katakis/ pewarta dalam gereja katholik di paroki pusat
Moanemani dan menjadi ketua dari kelompok katakis yang tersebar di lembah
Kamuu. Ayah saya memiliki banyak tanggungjawab yang harus di embannya
selain mengkoordinir para anggotanya juga harus melayani umat di moanemani
tapi juga harus berkeliling ke kampung-kampung dimana teman-teman katakisnya
bertugas. Ayah saya juga dianggap sebagai senior di klan/marga kami dan juga di
jadikan sebagai tokoh/orangtua atau orang yang di tuakan dari seluruh pelosok
meuwo yang mengenal sosok ayahku di saat itu. Ibukupun seorang perempuan
MEE yang terpandang di jaman itu, sebagai seorang pegawai di Yayasan P-5
dengan jabatan sebagai BENDAHARA juga sebagai Ketua dari Wanita Katholik,
yang saat ini lasim di sebut dengan WKRI. Waktu ayahku dan ibuku kadang
terbagi habis dalam pelayanan dan kehidupan bersosialisasi, namun ayahku juga
adalah seorang pekerja keras, sehingga ayahku akan melakukan sesuatu atau duduk
bercerita/berdiskusi tentang hal yang berkualitas saja, lebih banyak waktu dia
habiskan di kebunnya, atau di kandang ternaknya.
Rumah kami setiap hari ramai, jika kami masak makan siang maka 40 porsi piring
harus ada dan kadang kurang maka bisa saja ayah atau ibuku tidak makan. Kami
diwajibkan melayani semua tamu itu, kami di wajibkan mengenal mereka satu-
persatu mulai dari nama hingga hubungan kekerabatan walau itu jauh sekalipun.
Dalam kondisi hidup seperti itu ayah dan ibuku sebagai sosok orangtua MEE
sangat hebat, mereka mampu membagi waktu dan ruang bagi kami anak-anaknya.
Kami di ajarkan untuk mngenal mereka, mengapa mereka datang, dan pelayanan
kepada sesama yang datang itu harus kami lakukan tanpa menggerutu dan
mengeluh. Ayah dan ibuku akan berusaha mengambil waktu untuk bercerita
dongeng untuk menghantar kami tidur malam untuk membayar ganti waktu yang
telah di habiskan di siang hari dalam hidup bersosialisi. Sebagai anak perempuan
MEE saya belajar banyak tentang pentingnya hidup berdampingan dengan orang
lain, juga banyak belajar tentang bagaimana membagi waktu yang hanya 12 jam di
siang hari menjadi berkualitas seperti ayah dan ibuku.
Perkembangan pergeseran nilai gender akan pentingnya bersosialisasi sudah tidak
bisa di bendung saat ini. Mama Mee yang sudah bekerja sebagai pegawai menjadi
sangat sulit untuk tetap kuat membina anak perempuan mee menjadi perempuan
yang tangguh, akibat kehidupan sosialnya Mama mee saat ini sering terjebak
dengan kepentingan kantor, kepentingan kelompok wanita,kepentingan gereja atau
terlebih lagi kepentingan suami yang mungkin pangkatnya lebih besar darinya,
sehingga waktu untuk memberikan perhatian, pembinaan dan ajaran mama kepada
anak perempuan MEE menjadi sangat tidak ada. Bias gender tentang pentingnya
kehidupan bersosial sangat nyata tampak di mata, Semakin tinggi pangkat dan
jabatan semakin berkurang pula jiwa kekeluargaan, semakin menurun rasa empati
dan simpati pada kerabat dekat apalagi kepada kerabat yang jauh. Akibat semakin
tinggi derajat, uang menjadi ukuran kedekatan, kekeluargaan, kekerabatan
sehingga intensitas cerita atau diskusi tentang hidup yang benar menurun,
membuat ruang atau waktu mama Mee yang memiliki tugas untuk membina,
sambil mngenalkan anak perempuannya sebagai perempuan MEE yang memiliki
kekerabatan, kekeluargaan hubungan darah dan memiliki leluhur menjadi sangat
sempit dan justru tidak ada waktu.
E. Pentingnya Ekonomi keluarga
Perkembangan dan perubahan zaman saat ini memacu semua orang untuk
berlomba mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi. Dahulu dalam budaya Mee
yang boleh memiliki uang (mege) hanya laki-laki (bapa/saudara laki-laki yang
dewasa) untuk bisa membeli daging babi pada saat pesta adat (yuwo), selain itu
dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak kehidupan ekonomi di jalani hanya
dengan sistim barter. Seluruh penukaran (sistim barter) dan pembelian di kerjakan
oleh laki-laki, dianggap tabu jika perempuan memegang mege, walau ada dapat
dihitung dengan jari dan perempuan tersebut pasti datang dari klas Tonawi atau
istri pertama seorang Tonawi yang gaya dan suaranya seperti laki-laki.
Bias gender dalam hal ekonomi terjadi setelah banyak orang mee mengenyam
pendidikan dan terlebih lagi perempuan Mee, maka siapapun mulai bisa
menghasilkan uang, mengisi uang dan menghitung uang.
Demi mengejar penghasilan yang lebih seorang mama Mee menghabiskan
waktunya untuk mencari penghasilan dengan bekerja sebagai pegawai, berjualan
dipasar, merajut, memelihara ternak milik sendiri, bahkan berjualan pinang,
berjualan minuman keras dan bermain judi/togel. Semua aktifitas ini di lakukan
dengan dalih mencari uang untuk biaya anak untuk bersekolah. Semua hal ini
dilakukan mama MEE akibat :
* Penghasilan suami sangat minim, tidak cukup,
* Suami tidak pernah memberikan gajinya untuk bisa menutupi kebutuhan
keluarga
Memang sangat mulia hati para perempuan mee ini. Seluruh waktu hidupnya habis
untuk mencari penghasilan, waktu bagi anak untuk mendidik, dan membina anak
di rumah sudah tidak ada. Mungkin menjadi hal baik ketika anak di ajak serta saat
mama mencari penghasilan tersebut dan sambil memberikan nasehat bahwa mama
terpaksa melakukan ini karena kamu harus bersekolah lebih, menjadi anak yang
sukses. Ajakan ini di lakukan dengan harapan suatu saat setelah suskses anak tetap
mengingat pengorbanan mamanya, bagaimana mama mengalami suka-dukanya
seketika harus mengumpulkan seribu rupiah itu.
Namun sangat ironis jika kita melihat kondisi seperti ini, mama dengan segala daya
dan upayanya mencari uang demi anak, anak yang menjadi tujuan dari semua hal
ini justru menjadi korban. Banyak sekali anak yang berhasil menjadi orang hebat,
orang pintar, orang sukses namun dalam masa pertumbuhan dan perkembangan
hidupnya sebagai anak dalam keluarga tidak di berikan pencerahan akan
upayanya, maka tidak heran jika anak dengan gampangnya melupakan jasa
mamanya. Mama yang sudah tua, masa hidupnya habis mencari penghasilan di
kampung, anaknya yang sudah suskses menghabiskan waktu hidupnya di kota
dengan segala macam tugasnya dan dengan alasan yang di buatnya sendiri untuk
membenarkan keadaannya.
A. Perempuan Mee dan Tuntutan gerakan Tungku Api
Mee manusia sejati yang memiliki peradaban hidup yang sudah menjadi kebiasaan turun
temurun dari leluhur pertama orang Mee yang selalu dilestarikan dari masa ke masa
hingga pada dekade 1990-an hingga tahun 2000. Mee dengan seluruh keberadaan dan
kelebihannya membuat MEE menjadi manusia sejati, hal ini dapat di simpulkan karena
jauh sebelum pengaruh misi Katholik dan Zending masuk di daerah meuwo pada dekade
tahun 1930 –an, manusia MEE sudah menegenal :
1. Mengenal Ugatamee (ALLAH) sebagai Allah Maha Pencipta, yang telah menciptakan
manusia MEE dengan segala aturan hidupnya; Mengenal Enaa Abee (Para
malaikat/Bidadari surga) sebagai putri – putri milik Ugatamee yang datang untuk
membantu atau menolong; Mengenal YESUS (Koyei dabaa) sebagai Putra sulung
Ugatamee yang hadir membantu manusia MEE yang lapar, Menyembuhkan manusia MEE
yang sakit dan memberikan banyak petuah melalui ajaran yang DIA sampaikan yang
disebut dengan “TOTA MANAA” (Sabda yanga ada).
2. Mege (kulit bia) sebagai alat pembayaran yang sah selain sistim Barter;
3. Yuwo (pesta adat babi) sebagai ajang pencarian pemimpin, ajang bersosialisasi dan
ajang pertemuan bagi para pembesar –pembesar ( Tonawi) Mee untuk saling menunjukan
kehebatan, kelebihan dan kekuasaan.
1. Perempuan MEE dan maknanya
Sebagaimana sudah dijelaskan diatas pada poin 1 tentang Perempuan Mee dan
tanggung jawabnya, maka seluruh kehidupan orang MEE di penuhi dengan simbol.
Simbol - simbol ini memiliki nama masing – masing dengan kegunaan, manfaat,
makna dan nilai tersendiri yang beberapa yang terkait dengan tulisan ini akan
dijelaskan yaitu:
a. Makna Anak Perempuan MEE
Anak perempuan mee hadir akan disambut dengan sangat senang dalam keluarga
terlebih oleh bapanya, nama yanga akan diberikan kepadanya akan selalu sesuai
dengan perasaan hati bapanya saat itu. Dengan suatu harapan bahwa kelak anak
tersebut akan menjadi anak yang baik, anak yang akan membuat harum nama
keluarganya sesuai dengan nama yang di berikannya. Satu contoh nama yang di
berikan adalah: BUGIIDA MUDE : Bugiida dari kata dasar Bugi yang artinya
kebun, dan Da: tempat maka dapat di artikan bahwa : Di Kebun; Mude memiliki dua
makna atau arti yaitu, yang pertama, Mude sebagai Lahan milik, tanah milik dan
Mude sebutan bagi anak perempuan. Maka pemberian nama tersebut di maksudkan
agar anak perempuan tersebut kelak setelah dewasa akan menjadi pekerja keras
dengan mencintai kebun yang di kerjakan di lahan atau tanah milik sendiri.
b.Makna Mama MEE
Mama Mee yang telah melalui masa kecil dan remaja melalui proses pembelajaran
yang panjang dalam keluarga asal seperti yang sudah di jelaskan pada bagian 1
diatas, akan mampu menjalani hidup mandiri dengan segala tanggung jawabnya
sebagai mama, ibu dan pendamping suami. Mama MEE yang dalam bahasa MEE di
sebut dengan beberapa nama sesuai dialek setempat yaitu : Noukai, bagi Mee yang
ada di daerah sekitar danau Tigi, Danau Paniyai bagian Barat hingga uatara di
daerah Enarotali serta Daerah Lembah Kamuu ; Niikai, bagi Mee yang bermukim di
bagian utara Lembah Kamuu; Amai, bagi Mee yang bermukim di daerah Mapiha,
memiliki beberapa makna :
“MEENAKAMEE MA,
MEEUKAMEE MA
INII MEE MAA
ENAUTUTU”