Anda di halaman 1dari 43

HASIL SOSIALISASI PADA ASPEK SOSIAL DAN PERILAKU

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Kajian Anak, Keluarga & Masyarakat

Dosen Pengampu; Dr. Puji Yanti Fauziah S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh
Mochamad Guntur (NIM 22106261061)
Hetty Anggraini (NIM. 22106261069)
Anik Sulistyarini (NIM 22106261042)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2023
A. Self-Regulation/Behavior
Pengaturan diri (atau pengendalian diri) mengacu pada kemampuan
untuk mengatur atau mengendalikan impuls, perilaku, atau emosi seseorang
sampai waktu, tempat, atau objek yang tepat tersedia untuk diekspresikan.
Pengaturan diri adalah salah satu tujuan sosialisasi. Perilaku pengaturan diri
melibatkan kemampuan untuk menunda kepuasan, kemampuan untuk
mempertahankan perhatian terhadap tugas, dan kemampuan untuk
merencanakan dan memantau sendiri aktivitas yang ditetapkan tujuan, baik
perilaku sosial atau moral atau prestasi akademik atau atletik (mirip dengan self-
efficacy).
Keterampilan pengaturan diri secara signifikan terkait dengan
menghambat perilaku antisosial atau agresif dan menunjukkan perilaku prososial
atau altruistik (Lengua, 2002). Pengaturan diri yang sulit mungkin merupakan
gejala gangguan perilaku, gangguan pemusatan perhatian hiperaktif, atau depresi
(Winsler & Wallace, 2002). Gambar 1 adalah model ekologi yang menunjukkan
hubungan antara mikrosistem dan mesosistem, dipengaruhi oleh eksosistem dan
makrosistem, karena mereka mempengaruhi hasil sosial dan perilaku sosialisasi.

Gambar 1. Model Bioekologi Pengembangan Manusia


Pengaturan diri, atau pengendalian diri, dapat diamati pada anak-anak
yang dimulai sekitar usia 2 tahun dan meningkat seiring bertambahnya usia
(Hofer & Eisenberg, 2008; Logue, 1995). Untuk berperilaku tepat, anak-anak
harus memiliki kematangan kognitif untuk memahami bahwa mereka terpisah,
makhluk otonom dengan kemampuan untuk mengendalikan tindakan mereka
sendiri. Mereka juga harus memiliki pengembangan bahasa untuk memahami
arahan, kemampuan memori untuk menyimpan dan mengambil instruksi
pengasuh, dan strategi pemrosesan informasi untuk menerapkannya pada situasi
tertentu. Selain itu, anak-anak perlu memiliki beberapa konsep masa depan, yang
berkembang seiring bertambahnya usia. Perkembangan kemampuan pengaturan
diri sebagian tergantung pada faktor biologis, seperti temperamen anak, dan
sebagian pada faktor kontekstual, seperti praktik pengasuhan (Hofer &
Eisenberg, 2008).
Temperamen (mudah, lambat untuk pemanasan, sulit) terdiri dari
karakteristik berbasis genetik yang menentukan sensitivitas individu terhadap
berbagai pengalaman dan responsif terhadap pola interaksi sosial. Anak-anak
yang mudah lebih cenderung mematuhi standar orang dewasa karena, secara
fisiologis, mereka lebih "santai". Anak-anak yang lambat untuk pemanasan
mungkin membutuhkan waktu, penalaran, pengulangan, dan kesabaran untuk
mematuhinya. Anak-anak yang sulit membutuhkan lebih banyak hal yang sama
karena mereka lebih "tegang" dan karena itu tahan terhadap perubahan.
Pengembangan pengaturan diri karena motif anak-anak untuk
menginternalisasi standar orang dewasa adalah keterikatan. Anak-anak bersedia
memenuhi tuntutan orang tua karena mereka ingin menyenangkan individu yang
mencintai mereka; Mereka berusaha untuk tidak mengecewakan karena mereka
takut kehilangan cinta itu. Menurut Damon (1988), ini adalah dasar
penghormatan terhadap otoritas dan tatanan sosial dalam masyarakat. Praktik
pengasuhan di mana ada memberi dan menerima verbal yang luas, penalaran,
dan kontrol orang dewasa yang tidak menghukum mendorong perkembangan
kontrol diri pada anak-anak Euro-Amerika.
Pengaturan diri, atau kontrol, adalah proses yang berkelanjutan, hasil dari
kekuatan afektif, kognitif, dan sosial. Pada awalnya, anak merespons secara
emosional dan naluriah terhadap situasi. Reaksi biologis ini ditanggapi oleh
orang dewasa dan didefinisikan ulang melalui pengalaman sosial. Melalui
instruksi, observasi, partisipasi, umpan balik, dan interpretasi yang
berkelanjutan, berbagai tingkat pengendalian diri ditetapkan (Damon, 1988).
Anak-anak yang dianiaya oleh orang tua dan terkena kekerasan dalam rumah
tangga cenderung tidak mengembangkan kontrol diri dan kemampuan
pengaturan emosional (Maughan &; Cicchetti, 2002).
Komponen pengaturan diri adalah regulasi emosional, termasuk
kemampuan untuk mengendalikan kemarahan dan menunjukkan empati (Hofer
&; Eisenberg, 2008). Emosi-emosi ini diterjemahkan ke dalam perilaku
antisosial dan perilaku prososial. Perilaku antisosial mencakup perilaku apa pun
yang merugikan orang lain, seperti agresi, kekerasan, dan kejahatan. Perilaku
prososial mencakup perilaku apa pun yang bermanfaat bagi orang lain, seperti
altruisme, berbagi, dan kerja sama.
Bagaimana anak-anak belajar perilaku yang pro dan bukan antisosial?
Sementara perilaku antisosial — agresi — telah dipelajari selama bertahun-
tahun, hanya relatif baru-baru ini perhatian telah diberikan pada perilaku
prososial — altruisme. Agresi mencakup serangan, perkelahian, atau
pertengkaran yang tidak diprovokasi. Jenis agresi termasuk instrumental, yang
tujuannya adalah untuk mendapatkan objek, hak istimewa, atau ruang, dan
bermusuhan, yang tujuannya adalah untuk menyakiti orang lain. (Kami fokus
pada agresi bermusuhan, karena agresi instrumental biasanya menurun ketika
anak-anak mengembangkan keterampilan bahasa untuk mengekspresikan
keinginan dan keterampilan pengaturan diri untuk menunda kepuasan).
Altruisme mencakup tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau
menguntungkan orang lain atau sekelompok orang tanpa antisipasi aktor
terhadap imbalan eksternal. Tindakan semacam itu sering memerlukan biaya,
pengorbanan diri, atau risiko setara dengan aktor (Eisenberg, Fabes, & Spinrad,
2006).
B. Antisocial Behavior: Aggression
Antisosial merupakan gangguan kepribadian di mana terjadi
penyimpangan perilaku dari norma-norma yang terus dilakukan dari waktu ke
waktu, dan mengarah pada perbuatan yang berpotensi membahayakan diri
penderitas maupun orang lain. Perilaku anti sosial (dengan atau tanpa tanda
penghubung) adalah perilaku yang kurang pertimbangan untuk orang lain dan
yang dapat menyebabkan kerusakan pada masyarakat, baik sengaja atau melalui
kelalaian, karena bertentangan dengan perilaku pro-sosial, perilaku yang
membantu atau bermanfaat bagi masyarakat. hukum pidana dan hukum sipil di
berbagai negara menawarkan solusi untuk perilaku anti sosial.
Agresi merupakan aktivitas mental maupun fisik yang bersifat
negatif dan dapat ditujukan kepada orang lain atau benda. Dalam kamus
psikologi, agresi dijelaskan sebagai perasaan marah atau suatu kekasaran
sebagai akibat kekecewaan atau kegagalan dalam mencapai suatu pemuasan
atau tujuan. Agresi adalah perilaku antisosial yang merusak atau
menghancurkan properti yang mengakibatkan cedera fisik atau emosional
kepada seseorang atau hewan. Hal ini dapat berupa lisan maupun fisik.
Meskipun perilaku-perilaku negatif tersebut dilakukan oleh anak, namun
masing-masing anak memiliki latar belakang atau alasan berbeda yang
mendasarinya.
Selain sebagai tingkah laku, agresi dapat pula sebagai emosi yang dapat
mengarah kepada tindakan agresif. Tindakan agresif tersebut diarahkan
kepada seseorang dengan atau tanpa tujuan tertentu. Menurut pandangan
Baron dan Byrne, agresi adalah segala bentuk perilaku individu yang ditujukan
untuk melukai atau mencelakai individu lain yang tidak menginginkan
datangnya perilaku tersebut, sehingga ada usaha untuk menghindarinya.
Pandangan tersebut menjelaskan bahwa seseorang melakukan agresi kepada
orang lain yang tidak menginginkan datangnya perilaku tersebut hingga orang
lain menghindar. Apabila orang lain tersebut menghindar maka bisa saja
tindakan agresif yang dilakukan oleh agresor atau orang yang melakukan tindak
agresif sesungguhnya tidak ditujukan kepadanya melainkan hanya sebagai
luapan emosi yang spontan (Berns, 2015).

C. Prosocial Behavior: Altruism


Dalam kehidupan bermasyarakat manusia harus senantiasa hadir dalam
aktifitas dan interaksi dalam masyarakat dimana dia hidup, karena manusia
adalah manusia adalah makhluk sosial. Konsekwensinya manusia dalam
bermasyarakat membutuhkan perilaku saling menghormati, mengasihi dan
menghargai orang lain termasuk di dalamnya perilaku tolong menolong.
Perilaku prososial merupakan perilaku sosial yang menguntungkan orang lain,
tercakup didalamnya kebersamaan, dan kerjasama koopratif. Secara umum
istilah ini diaplikasikan pada tindakan yang tidak menyediakan keuntungan
langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan bahkan
mengandung derajat resiko tertentu.
Secara umum istilah ini diaplikasikan dalam tindakan yang tidak
menyediakan keuntungan langsung kepada orang yang melakukan tindakan
tersebut, bahkan mengandung kemungkinan tingkat resiko tertentu. Perilaku
prososial adalah aspek yang umum dan penting dari kehidupan sosial setiap hari.
Perilaku ini dapat dilihat sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk membantu
orang lain untuk mendapatkan dukungan atau untuk mempromosikan dan
mempertahankan manfaat nyata bagi mereka. Dengan kata lain, perilaku pro-
sosial berasal dari beberapa motif yang beragam dan membantu mencapai
beberapa tujuan.
Perilaku prososial merupakan kesediaan orang-orang untuk membantu
atau menolong orang lain yang ada dalam kondisi distress (menderita) atau
mengalami kesulitan. Dayakisni dan Hudaniah menyimpulkan perilaku prososial
sebagai bentuk perilaku ysng memberikan konsekwensi positif bagi si penerima,
baik dalam bentuk materi, fisik maupun psikologis tetapi tidak tidak memiliki
keuntungan yang jelas bagi pemiliknya. Dengan demikian prilaku prososial
merupakan segala bentuk tindakan menolong yang menguntungkan orang lain
dan tidak harus menyediakan keuntungan langsung pada orang yang melakukan
tindakan tersebut, dan mungkin melibatkan suatu resiko bagi orang yang
menolong. Tindakan prososial meliputi kedermawanan, persahabatan,
kerjasama, menyelamatkan, dan pengorbanan (Berns, 2015).

D. Moral
Moral mencakup evaluasi individu tentang apa yang benar dan salah.
Moral melibatkan penerimaan aturan dan mengatur perilaku seseorang terhadap
orang lain. Pelanggaran moral menimbulkan konsekuensi, serta tanggapan
menghakimi dan emosional (Damon, 1990; Turiel, 2002, 2006). Moralitas
melibatkan perasaan, yang meliputi empati dan rasa bersalah (Hoffman, 2000).
Moralitas juga melibatkan penalaran, yang mencakup kemampuan untuk
memahami aturan, membedakan yang benar dari yang salah, dan mengambil
perspektif orang lain (Kohlberg, 1976; Piaget, 1965; Selman, 1980). Akhirnya,
moralitas melibatkan perilaku, yang meliputi prososial dan tindakan antisosial
(Eisenberg, Fabes, & Spinrad, 2006), serta pengaturan impuls diri. Anak-anak
mengembangkan kemampuan untuk mengatur diri sendiri impuls dari keluarga
dan sosialisasi budaya misalnya, diperkuat untuk kepatuhan dan diberi sanksi
untuk pelanggaran. Anak membangun konsep moral sesuai dengan
perkembangan kognitif dan emosionalnya dari interaksi sosial, yang
memberikan pengalaman dalam kerjasama dan konflik (Turiel, 2002, 2006).

Pengembangan moral
Saat anak-anak menjadi dewasa dan berkembang, moralitas mereka
berubah. Bayi dan balita tidak membedakan yang benar dari yang salah. Jadi,
ketika mereka menuruti tuntutan orang tua biasanya karena mereka terikat dan
takut kehilangan cinta. Anak-anak prasekolah dan usia sekolah menganggap
benar dan salah menjadi lawan langsung, tanpa ada di antaranya. Anak-anak
tidak mampu memfaktorkan “sengaja” atau “secara tidak sengaja” ke dalam
penilaian mereka atas kesalahan. Remaja mulai melihat benar dan salah sebagai
masalah derajat. Remaja memperhitungkan niat dalam menilai suatu tindakan.
Kedewasaan anak tidak hanya memengaruhi kode moral mereka, tetapi juga
kecerdasan, motivasi, kebutuhan akan persetujuan, pengendalian diri, dan situasi
tertentu (Bandura, 1991). Kebanyakan psikolog (Damon, 1990; Hoff man, 2000;
Kohlberg, 1976; Piaget, 1965; Turiel, 2006) percaya bahwa kode moral
seseorang berkembang melalui interaksi sosial dalam konteks masyarakat.

Teori Piaget
Jean Piaget (1965) mendefinisikan moralitas sebagai “pemahaman dan
kepatuhan terhadap aturan melalui kemauan sendiri.” Piaget menganalisis
moralitas dari perspektif bagaimana sebuah pengalaman sosial individu
menghasilkan pembentukan penilaian tentang hubungan sosial, aturan, hukum,
dan otoritas (Turiel, 2006). Umumnya, penalaran moral anak bergeser dari
keyakinan bahwa seseorang tunduk pada eksternal hukum (moralitas heteronom
aturan adalah kemutlakan moral yang tidak dapat diubah), untuk keyakinan
bahwa seseorang tunduk pada hukum internal (moralitas otonom aturan bersifat
arbitrer perjanjian yang dapat diubah oleh mereka yang harus mengikutinya).
Saat anak-anak berkembang, mereka mulai memahami bahwa segala sesuatunya
tidak sepenuhnya benar atau salah sepenuhnya. Mereka juga bisa secara bertahap
melihat sesuatu dari perspektif lain dan, oleh karena itu, dapat
mempertimbangkan kesengajaan suatu tindakan ketika memutuskan apakah
tindakan itu benar atau salah. Piaget meneliti gagasan bahwa anak-anak yang
lebih muda bernalar tentang kesalahan suatu tindakan dalam hal jumlah
kerusakan yang dilakukan, bukan apakah tindakan itu dilakukan dengan sengaja
atau tidak sengaja. (Piaget, 1965, hal. 122).
Peneliti kontemporer telah menguatkan temuan Piaget ketika metode
penelitiannya direplikasi (Jose, 1990; Lapsley, 1996). Misalnya, anak-anak
muda di berbagai budaya lebih menekankan konsekuensi daripada niat dalam
menilai kesalahan suatu tindakan. Juga, membedakan antara peristiwa pribadi
(dipukul oleh anak lain), konvensi sosial (aturan kelas tentang bergiliran), dan
masalah moral (berbohong) meningkat seiring bertambahnya usia.
Teori Kohlberg
Lawrence Kohlberg (1976), dipengaruhi oleh karya Piaget,
mengembangkan teori moral perkembangan setelah 20 tahun mewawancarai
anak-anak, remaja, dan dewasa secara berbeda budaya. Kohlberg mengusulkan
bahwa tidak ada hubungan yang konsisten antara kondisi orang tua dalam
mengasuh anak dan berbagai ukuran hati nurani atau nilai-nilai yang
terinternalisasi karena moralitas tidak dapat dipaksakan; itu harus dibangun
sebagai konsekuensi pengalaman sosial (Turiel, 2006). Kohlberg
mempresentasikan subjeknya dengan cerita yang melibatkan dilema moral dan
menanyai mereka tentang cerita tersebut. Mungkin yang paling terkenal adalah
sebagai berikut:
Seorang wanita di Eropa hampir mati karena kanker. Satu obat mungkin
menyelamatkannya, sebuah bentuk radium yang baru-baru ini ditemukan
oleh seorang apoteker di kota yang sama. Apoteker menagih $ 2.000, 10
kali lipat dari biaya pembuatan obat itu. Wanita yang sakit suaminya,
Heinz, pergi ke semua orang yang dia kenal untuk meminjam uang, tetapi
hanya bisa mengumpulkan sekitar setengah dari biayanya. Dia memberi
tahu apoteker bahwa istrinya sedang sekarat dan memintanya untuk
menjualnya lebih murah atau membiarkannya membayar nanti. Tapi
apoteker berkata "tidak". Suami putus asa dan masuk ke toko pria itu
untuk mencuri obat untuk istrinya. Haruskah suami melakukan itu?
Mengapa atau mengapa tidak? (Kohlberg, 1969, hlm. 379). Jelas, tidak
ada jawaban yang “benar” untuk cerita ini (atau yang lain yang
digunakan Kohlberg). Di satu sisi, ada perasaan suami; di sisi lain, ada
hak-hak hukum dari apoteker.

Berdasarkan alasan di balik tanggapan terhadap cerita, Kohlberg


menyimpulkan bahwa ada enam tahap yang berbeda, atau perspektif,
perkembangan moral, yang dikaitkan dengan perubahan dalam perkembangan
intelektual individu; masing-masing perspektif lebih luas, dengan
mempertimbangkan lebih banyak variabel atau aspek dari suatu masalah moral.
Tahapan dimulai sekitar usia 6 tahun dan berlanjut hingga dewasa. Penting untuk
dicatat bahwa anak-anak dan orang dewasa terkadang beroperasi pada beberapa
tahap yang berbeda secara bersamaan. Menurut Kohlberg (1976):
1) Tahapan penalaran moral adalah sama untuk semua orang, apapun
budayanya.
2) Individu maju dari satu tahap ke tahap berikutnya.
3) Berubah dari tahap ke tahap secara bertahap. Hasil perubahan dari banyak
sosial pengalaman.
4) Beberapa individu bergerak lebih cepat daripada yang lain melalui urutan
tahapan. Beberapa maju lebih jauh dari yang lain; misalnya, hanya 25 persen
orang dewasa AS ditemukan alasan pada tahap 5 (moralitas berprinsip).
5) Meskipun tahap penalaran moral bukan satu-satunya faktor yang
mempengaruhi perilaku moral orang, cara mereka bernalar memengaruhi
bagaimana mereka benar-benar berperilaku dalam situasi moral.
6) Pengalaman yang memberikan kesempatan untuk pengambilan peran
(dengan asumsi sudut pandang orang lain, menempatkan diri pada posisi
orang lain) mendorong kemajuan melalui tahapan. Misalnya, anak-anak
yang berpartisipasi dalam banyak hubungan teman sebaya cenderung
berada di tahap moral yang lebih maju daripada anak-anak yang interaksi
teman sebayanya rendah. Di dalam keluarga, anak-anak yang orang tuanya
mendorong mereka untuk mengekspresikan pandangan mereka dan
berpartisipasi dalam keputusan keluarga bernalar pada tahap moral yang
lebih tinggi daripada anak-anak yang orang tuanya tidak mendorong
perilaku ini.
Pada dasarnya, pada tingkat prakonvensional, individu
mempertimbangkan dan menimbang konsekuensi pribadi dari perilaku tersebut:
“Bagaimana saya akan terpengaruh?” Penalaran moral prakonvensional berfokus
pada hasil individu. Pada tingkat konvensional, individu dapat melihat
melampaui konsekuensi pribadi dan mempertimbangkan perspektif orang lain:
“Apa yang akan mereka pikirkan dari saya?" Penalaran moral konvensional
berfokus pada penegakan aturan masyarakat. Pada tingkat pascakonvensional,
individu mempertimbangkan dan menimbang nilai-nilai di balik berbagai
konsekuensi dari berbagai sudut pandang: “Bagaimana saya menghargai diri
sendiri jika saya . . . ?” Penalaran moral pascakonvensional mempertimbangkan
prinsip-prinsip yang mungkin lebih penting daripada menegakkan aturan atau
hukum masyarakat. Penalaran pascakonvensional dapat diilustrasikan oleh
mereka yang memilih untuk tidak mendaftar Sistem Layanan Selektif AS,
seperti yang diwajibkan bagi semua pria berusia 18 tahun. Orang seperti itu,
yang umumnya adalah warga negara yang taat hukum, dapat memilih untuk
tidak mendaftar karena melanggar kode moralnya, yang mengatakan bahwa
hanya sukarelawan yang boleh dipanggil untuk bertugas; tidak ada harus dipaksa
untuk melawan.
Kohlberg (1976, 1986) percaya bahwa sebagian besar anak di bawah usia
9 tahun berada pada tingkat perkembangan moral prakonvensional (tahap 1 dan
2). Beberapa praremaja juga mendapat skor tingkat ini. Sebagian besar remaja,
dan orang dewasa, bernalar pada tingkat konvensional (tahap 3 dan 4) ketika
menghadapi dilema moral. Sebagian kecil remaja yang lebih tua dapat mencapai
tingkat pascakonvensional (tahap 5 dan 6). Orang dewasa yang berada pada
tingkat postconventional adalah hanya minoritas. Karena sifat idealis dari
penalaran tahap 6, penalaran itu dihilangkan manual penilaian penilaian moral
Kohlberg, tetapi masih dianggap secara teoritis penting sebagai konstruksi
hipotetis (Colby & Kohlberg, 1987).

Pandangan tentang Teori Kohlberg


Teori Kohlberg telah dikritik oleh beberapa peneliti meskipun karyanya
memiliki pengaruh yang signifikan pada penelitian selanjutnya (Turiel, 2006).
Penalaran moral dan perilaku moral. Kaitannya tidak sekuat prediksi teori
Kohlberg (Blas, 1990; Rest et al., 2000). Kode moral seseorang terdiri dari kedua
moral tersebut penalaran (bagaimana seseorang percaya seseorang harus
berperilaku dalam situasi tertentu) dan perilaku moral (bagaimana seseorang
sebenarnya berperilaku dalam situasi tertentu). Untuk beberapa individu, ada
perbedaan antara keduanya (Hartshorne & May, 1978; Kurtines & Gewirtz,
1991). Kapan orang berpikir tentang masalah moral kehidupan nyata, mereka
cenderung berada di peringkat yang lebih rendah daripada mereka lakukan pada
masalah hipotetis (Turiel, 2006). Teknik wawancara. Jawaban subjek atas
pertanyaan tentang dilema Kohlberg, yang mengisyaratkan pertanyaan lebih
lanjut, tidak benar-benar mengukur proses batin yang mendasari perilaku moral
(Rest et al., 2000).
Peneliti dalam ilmu kognitif dan kognisi sosial berpendapat bahwa
penjelasan yang dilaporkan sendiri tentang proses kognitif seseorang memiliki
keterbatasan yang parah. Sekarang ada pemahaman yang lebih besar tentang
proses implisit dan pengetahuan diam-diam mengenai pengambilan keputusan
manusia di luar kesadaran subjek dan di luar kesadaran kemampuan subjek untuk
mengartikulasikannya secara verbal. The Defining Issues Test (DIT) mengambil
pendekatan yang berbeda untuk pengumpulan informasi. DIT adalah ujian yang
dikelola kelompok, pilihan ganda, bertingkat mekanis untuk mengaktifkan
skema moral (sejauh seseorang telah mengembangkannya) dan untuk
menilainya dalam hal penilaian penting. DIT menggunakan dilema Kohlberg
dan lainnya; tugas subjek adalah menilai dan memeringkat item dalam hal
kepentingan moral mereka, dicontohkan dalam Kotak Dalam Konteks.

Bias budaya. Teori Kohlberg mendukung perspektif Barat (individualistis).


Moralitas, melibatkan keadilan atau fairness kepada individu. Studi
yang membandingkan konsep moral dalam budaya yang berbeda (Shweder,
Mahapatra, & Miller, 1987; Turiel, 2006) telah menunjukkan bahwa budaya
mendefinisikan moralitas bagi seorang anak; dalam budaya kolektivistik,
apa yang terbaik atau "benar" mungkin menempatkan kewajiban atau
kehormatan keluarga seseorang di atas apa yang mungkin lebih adil kepada
individu. Misalnya, anak-anak Hindu percaya bahwa mendapatkan potong
rambut pada hari pemakaman ayah seseorang daripada seorang suami yang
memukuli istrinya karena pergi film tanpa izin. Kehormatan keluarga
dianggap lebih unggul secara moral daripada seseorang konsekuensi yang
menyakitkan karena ketidaktaatan.

Bias jenis kelamin. Sampel asli Kohlberg semuanya laki-laki.


Menurut Gilligan (1982), perbedaan dalam tanggapan perempuan
dibandingkan dengan tanggapan dari sampel laki-laki asli menimbulkan
beberapa keraguan pada penerapan tahap-tahap yang digambarkan oleh
Kohlberg. Penalaran moral untuk semua perkembangan manusia. Yang lain
tidak setuju, mengutip bahwa dalam dilema kehidupan nyata, berbeda
dengan hipotetis, penalaran moral laki-laki dan perempuan serupa,
meskipun wanita lebih sering mengutip masalah hubungan dan kepedulian
(Jaffee & Hyde, 2000; Turiel, 2006; Walker, 1991). Carol Gilligan (1982,
1985) berpendapat bahwa teori Kohlberg memandang moralitas hanya dari
perspektif keadilan. Perspektif moral keadilan (individualistis) menekankan
pada hak individu. Ketika hak individu bertentangan, aturan keadilan yang
adil harus bertahan. Budaya dengan orientasi individualistis menunjukkan
perspektif moral seperti itu. Menurut Gilligan, perspektif moralitas yang
tidak diberikan signifikansinya oleh Kohlberg adalah bahwa perawatan.
Perspektif moral perawatan (kolektivistik) memandang orang dari segi
keterhubungan dengan orang lain. Dengan kata lain, kesejahteraan orang
lain secara intrinsik terkait dengan milik sendiri. Orang berbagi dalam
keberuntungan dan kemalangan satu sama lain dan harus menerima
tanggung jawab untuk peduli satu sama lain. Berbagai budaya di seluruh
dunia memiliki kolektivisme orientasi mensosialisasikan anak agar
memiliki perspektif moral peduli. Misalnya, anak-anak dan remaja yang
tumbuh di India mengutamakan hubungan interpersonal dalam moral situasi
konflik, sedangkan sebagian besar anak-anak dan remaja tumbuh di
Amerika Serikat mengutamakan hak-hak individu (Miller & Bersoff, 1993).
Gilligan terkait contoh penalaran anak laki-laki dan perempuan tentang
dilema Heinz, seperti berikut ini (Gilligan, 1982, hlm. 26–28);
Jake: Untuk satu hal, kehidupan manusia lebih berharga daripada uang, dan
jika apoteker saja menghasilkan $1.000 dia masih akan hidup; tetapi jika
Heinz tidak mencuri obat itu, istrinya akan mati. (Mengapa hidup lebih
berharga daripada uang?) Karena apoteker bisa mendapatkannya $1.000
kemudian dari orang kaya yang menderita kanker, tetapi Heinz tidak bisa
mendapatkan istrinya lagi. Amy: Ya, saya rasa tidak. Saya pikir mungkin
ada cara lain selain mencuri itu, seperti jika dia bisa meminjam uang atau
mendapatkan pinjaman atau sesuatu, tapi dia benar-benar tidak boleh
mencuri obat itu—tetapi istrinya juga tidak boleh mati. (Kenapa dia tidak
mencuri obat itu?) Jika dia mencuri obat itu, dia mungkin menyelamatkan
istrinya, tetapi jika dia melakukannya, dia mungkin harus masuk penjara,
dan kemudian istrinya mungkin akan sakit lagi, dan dia tidak bisa
mendapatkan lebih obat, dan itu mungkin tidak baik. Jadi, mereka harus
benar-benar membicarakannya dan temukan cara lain untuk menghasilkan
uang.

Dalam contoh ini, pengertian Jake bahwa orang terkadang harus


bertindak sendiri, bahkan di dalam oposisi terhadap orang lain, jika mereka
melakukan hal yang benar dikontraskan dengan asumsi Amy bahwa orang
dapat menyelesaikan masalah mereka dengan "membicarakannya". Karena
Amy melihat sosial dunia sebagai jaringan hubungan, dia percaya bahwa solusi
untuk masalah terletak pada membuat kondisi istri Heinz diketahui semua
pihak, terutama apoteker. Pasti, kemudian, orang-orang akan melakukan
sesuatu yang akan tanggap terhadap kebutuhan istri. Jake, di sisi lain,
mengasumsikan tidak ada konsensus seperti itu di antara mereka yang terlibat
dalam dilema tersebut. Jadi Jake percaya Heinz mungkin perlu mengambil
hukum ke tangannya sendiri jika dia ingin melindunginya hak. Jake
menyimpulkan bahwa istri Heinz adalah bagian sah dari hak Heinz secara logis
menghitung nilai unik kehidupan istri dibandingkan dengan uang yang dimiliki
apoteker mendapatkan obat dari orang lain (Damon, 1988). Singkatnya,
terlepas dari kritik, model perkembangan moral Kohlberg tetap bertahan ujian
waktu. Sebagian besar psikolog setuju bahwa moralitas, apa pun perspektif
yang Anda ambil adalah perkembangan; yaitu, anak-anak secara universal
berkembang melalui tahapan pemahaman, dan meskipun waktu perkembangan
dan tahap tertinggi yang dicapai bersifat individual, urutan tahapannya sama.
“Perdebatan sekarang berpusat pada peran emosi dan penilaian, pada individu
dan kolektivitas, pada kontribusi konstruksi pemahaman moral dan makna
berbasis budaya, dan pada bagaimana membedakan antara moralitas yang
berlaku secara universal dan berbasis lokal” (Turiel, 2006, hal. 794).

Pengaruh terhadap Perkembangan Moral


Konteks yang telah terbukti berperan dalam perkembangan moral adalah
situasional, individual, dan sosialisasi.
1. Konteks Situasional
Situasi seseorang sering mempengaruhi perilaku moral yang sebenarnya. Faktor
situasional meliputi sifat hubungan antara individu dan mereka yang terlibat di
dalamnya masalahnya, apakah orang lain menonton, pengalaman sebelumnya
dalam situasi yang sama, dan nilai masyarakat menempatkan berbagai tanggapan
(Turiel, 2002, 2006). Misalnya membunuh membela diri dimaafkan, sedangkan
membunuh untuk balas dendam tidak. Faktor kognitif melibatkan penilaian
situasi, usia anak, dan orientasi budaya Pertimbangan. Hubungan antara
penalaran moral dan perilaku moral tidak selalu jernih. Turiel (1983, 2002, 2006)
menjelaskan bahwa ketidakkonsistenan yang diperlihatkan dalam penalaran
moral dipengaruhi oleh apakah mereka menilai situasi sebagai "moral" atau
situasi “konvensional” atau sosial. Menurut Turiel, situasi moral melibatkan hak
atau kesejahteraan orang lain (tidak boleh memukul anak lain) sedangkan
konvensional situasi melibatkan aturan untuk perilaku yang sesuai dalam
kelompok sosial (Anda tidak boleh menyela ketika orang lain sedang berbicara).
■ Umur. Judith Smetana (1985, 1989, 2006) menemukan bahwa bahkan
anak usia 2½ hingga 3 tahun membedakan antara aturan moral dan
konvensional. Anak-anak kecil memandang pelanggaran moral, seperti
memukul, mencuri, dan menolak berbagi, sebagai hal yang lebih serius dan
pantas untuk dilakukan. hukuman daripada pelanggaran konvensional, seperti
tidak mengatakan "tolong" atau lupa menyimpan mainan. Dengan demikian,
anak-anak kecil tampaknya memiliki pemahaman yang lebih besar tentang
aturan dalam situasi yang berbeda dari asumsi awal Piaget.
■ Orientasi budaya. Budaya yang berbeda mendefinisikan aturan
konvensional moral dan sosial berbeda-beda, tergantung pada apakah budaya
tersebut bersifat individualistis atau kolektivistik orientasi (Rogoff, 2003;
Shweder, Mahapatra, & Miller, 1987). Menurut Dien (1982), sistem moralitas
Barat (individualistis) menekankan individu otonomi dan tanggung jawab diri
berakar pada teologi Yudeo-Kristen (manusia diciptakan dengan kebebasan
menentukan nasib sendiri) dan filsafat Yunani (moralitas didasarkan pada
rasionalitas). Dalam masyarakat Barat, moralitas menekankan pemikiran
analitis, pilihan individu, dan tanggung jawab. Sarana penyelesaian konflik
bergantung pada hukum yang melindungi hak individu. Sebaliknya, sistem
moralitas Timur (kolektivistik), berdasarkan doktrin Konfusianisme, percayalah
bahwa alam semesta dirancang untuk menjadi adil dan moral. Manusia memiliki
kewajiban untuk bertindak sesuai dengan itu, menundukkan identitas mereka
sendiri kepentingan kelompok untuk menjamin tatanan sosial yang harmonis.
Penghakiman harus berdasarkan norma timbal balik konvensional, aturan
pertukaran, sumber daya yang tersedia, dan kepekaan terhadap jaringan
hubungan yang kompleks dalam situasi tertentu. Artinya untuk menyelesaikan
konflik adalah melalui rekonsiliasi

2. Konteks Individu
Konteks individu melibatkan temperamen, kontrol diri, harga diri, kecerdasan
dan pendidikan, interaksi sosial, dan emosi.
Perangai
Perkembangan moral dapat dipengaruhi oleh temperamen individu—
karakteristik bawaan yang menentukan kepekaan terhadap berbagai pengalaman
dan daya tanggap terhadap pola. dari interaksi sosial. Studi Kochanska (1993,
1995, 1997) tentang temperamen anak-anak (terhambat atau pemalu, impulsif
atau agresif) dan perkembangan hati nurani menyimpulkan hal itu. Temperamen
anak-anak dapat memengaruhi metode pengasuhan. Misalnya, alasan ibu,
permintaan, saran, dan gangguan yang sopan meramalkan perkembangan hati
nurani yang terinternalisasi pada anak usia 2 dan 3 tahun yang terhambat, tetapi
tidak impulsif. Anak-anak yang impulsif lebih banyak cenderung mematuhi
arahan, tetapi hanya jika mereka memiliki keterikatan yang aman; penegasan
kekuasaan mengakibatkan kemarahan dan pembangkangan. Anak-anak seperti
itu menginternalisasi moral ketika menjadi orang tua memelihara hubungan
afeksi.
Kontrol diri
Perkembangan moral mungkin juga terkait dengan pengendalian diri, atau
pengaturan diri kemampuan untuk mengatur impuls, perilaku, dan/atau emosi,
yang dibahas sebelumnya (Eisenberg, 2009). Beberapa studi (Mischel, 1974;
Mischel, Shoda, & Peake, 1988) telah menunjukkan bahwa anak prasekolah
yang menunjukkan kontrol diri, dalam hal mereka mampu menunda kepuasan
segera, lebih sukses daripada teman seusia mereka yang lebih impulsif dalam
menahan godaan untuk menyontek di percobaan permainan. Anak-anak
prasekolah yang mengendalikan diri ini juga dinilai lebih kompeten dan secara
sosial bertanggung jawab sepuluh tahun kemudian di masa remaja. Anak-anak
yang dapat menunda kepuasan memiliki waktu untuk itu menilai isyarat sosial
dan dengan demikian mengaktifkan fungsi kelompok sebaya yang positif
(Gronau & Waas, 1997).
Harga diri
Pengaruh lain pada perkembangan moral mungkin harga diri khususnya, sejauh
mana dimana seorang individu membutuhkan persetujuan dari orang lain
(Hogan & Emler, 1995). Persetujuan dari teman sebaya ditemukan terkait
dengan remaja yang mengutil, sedangkan persetujuan dari orang tua dikaitkan
dengan remaja yang tidak mengutil (Forney, Crutsinger, & Forney, 2006).
Sebuah studi longitudinal (Dobkin et al., 1995) menunjukkan bahwa perlu
mendapat persetujuan dari yang lain berhubungan negatif dengan tingkat
perilaku moral. Secara khusus, semakin besar ketergantungan pada orang lain
untuk harga diri, semakin besar kemungkinan individu menyalahgunakan zat
dan terlibat dalam tindakan antisosial. Di sisi lain, kebutuhan akan persetujuan
dari diri sendiri adalah berhubungan positif dengan tingkat perilaku moral dan
konsekuensi menghindari narkoba.
Kecerdasan dan Pendidikan
Kohlberg dan rekan-rekannya (Colby et al., 1983) melaporkan data dari studi
longitudinal selama 20 tahun tentang penilaian moral pada anak laki-laki yang
berusia 10, 13, dan 16 tahun saat pertama kali dinilai. Data mendukung teori
bahwa penalaran moral secara signifikan terkait dengan usia, IQ, pendidikan,
dan status sosial ekonomi. Itu juga menunjukkan bahwa tahap 4 tidak muncul
secara mayoritas individu hingga dewasa awal (20-an). Pendidikan lanjutan,
khususnya pemikiran kritis dan diskusi umum di kelas perguruan tinggi,
mempromosikan penalaran moral yang maju, mungkin karena memberikan
kesempatan untuk dihadapkan pada pandangan yang beragam (Mason & Gibbs,
1993; Turiel, 2006). Untuk Misalnya, profesional perawatan kesehatan sering
menghadapi dilema moral dalam praktik klinis yang memerlukan peningkatan
tanggung jawab dan akuntabilitas untuk pengambilan keputusan etis. Dalam
studi profesional perawatan kesehatan, Geddes, Salvatore, dan Eva (2009)
menemukan peningkatan skor penilaian moral pada DIT. Karenanya nilai moral
atau etika pendidikan.

3. Interaksi sosial
Beberapa peneliti (Dunn, 2006; Walker & Taylor, 1991) percaya bahwa kode
moral seseorang berkembang melalui interaksi sosial—diskusi, debat,
pengambilan perspektif, dan munculnya konsensus. Interaksi sosial dimulai
dalam keluarga, di mana kebutuhan anak, kontrol orang tua, masalah timbal
balik, keadilan, hak, kewajiban, dan kesejahteraan orang lain dialami secara
teratur dan dinegosiasikan antara anak, saudara kandung, dan orang tua.
Keluarga juga merupakan tempat di mana anak-anak mulai mempelajari aturan-
aturan konvensional dan moral masyarakat mereka. Pembelajaran tersebut
berlanjut melalui interaksi sosial di sekolah, peer group, dan masyarakat
Emosi
Jerome Kagan (1984) percaya moralitas kebanyakan orang lebih diarahkan oleh
emosi daripada dengan penalaran. Menghindari perasaan tidak menyenangkan
dan pencapaian perasaan menyenangkan adalah motivasi utama bagi moralitas.
Termasuk perasaan tidak menyenangkan takut akan hukuman, ketidaksetujuan
sosial, dan kegagalan, serta rasa bersalah dan ketidakpastian. Perasaan
menyenangkan meliputi kasih sayang, kebanggaan, rasa memiliki, dan
kontribusi. Martin Hoffman (2000) percaya bahwa sumber utama motif moral
adalah perasaan empati untuk orang lain; perasaan bersalah dihasilkan dari
pelanggaran. Peneliti lain (Eisenberg, 2000; Malti & Latzko, 2010) merasa sulit
untuk memisahkan emosi dari dari kognisi ketika memeriksa apa yang
mendorong perkembangan moral karena untuk merasakan empati, seseorang
harus dapat mengambil perspektif orang lain, dan untuk merasa bersalah,
seseorang harus mengerti bahwa seseorang telah melakukan kesalahan.
Biasanya, untuk mempelajari emosi dan moralitas, cerita diceritakan kepada
anak-anak dari berbagai usia tentang pelanggaran moral, seperti berbohong atau
mencuri, untuk melihat emosi apa yang mereka kaitkan kepada korban dan
pelaku. Anak-anak prasekolah biasanya mengaitkan "kesedihan" dengan korban
dan “kebahagiaan” bagi korban—karena korban mendapatkan apa yang
diinginkannya; ini dikenal sebagai "korban bahagia." Pada usia sekitar 7 atau 8
tahun, anak-anak memahami bahwa korban telah melakukan kesalahan dan
harus merasa tidak enak meskipun telah mendapatkan sesuatu. diinginkan
(Krettenauer, Malti, & Sokol, 2008). Penelitian ekonomi telah mengusulkan
bahwa emosi yang berkaitan dengan moralitas mungkin penting penyebab
perilaku timbal balik yang kuat dan kesediaan untuk mengorbankan sumber daya
sendiri untuk yang lain. Misalnya, sebuah studi oleh Gummerum dan rekan
(2010) mengeksplorasi caranya Anak usia 3–5 tahun mengalokasikan sumber
daya dalam “permainan diktator”, dan apakah peserta pemahaman emosi moral
diprediksi alokasi. Permainan diktator telah dikembangkan dalam ekonomi
eksperimental untuk mengukur altruisme dan keadilan masyarakat. Dalam versi
permainan dua orang yang paling sederhana, satu tembakan, satu pemain,
pengusul, diberikan jumlah uang yang dia dapat tetapi tidak harus berbagi
dengan orang lain yang tidak dikenal, penerima. Penerima tidak memiliki
kemungkinan untuk menolak tawaran apa pun oleh pengusul, juga tidak dapat
membalas atau menghukum tindakan pengusul. Menyimpan uang dan menjadi
egois tidak memiliki konsekuensi negatif bagi pengusul, dan berbagi tidak
memiliki (bukti) keuntungan sosial angan dalam keputusan anak-anak dalam
permainan diktator dan variabel yang mungkin menjelaskan perilaku alokasi
(adil) anak-anak dalam permainan diktator seperti usia atau jenis kelamin. Kajian
ini difokuskan pada peran anak-anak pemahaman tentang emosi moral berperan
untuk memprediksi alokasi dalam game ini.
Memahami dan mengantisipasi emosi orang lain adalah pencapaian
perkembangan utama memungkinkan orang untuk berhasil terlibat dalam
interaksi sosial dengan orang lain. Studi ini menemukan bahwa pemahaman
tentang bagaimana perasaan seseorang setelah pelanggaran moral merupakan
prediktor yang kuat penawaran anak-anak prasekolah dalam permainan diktator,
di atas dan di luar pengaruh usia dan jenis kelamin.

Kesimpulannya, perkembangan moral dibangun secara sosial (Davidson &


Youniss, 1995). Ini mewakili skema nilai pribadi dan sosial individu yang
mencakup koordinasi emosi, pikiran, dan tindakan (Turiel, 2006). Jika seseorang
bertindak secara eksklusif berdasarkan nilai-nilai pribadi, dia mungkin terlalu
sering mengabaikan hak dan keistimewaan orang lain dalam masyarakat
lingkungan. Sebagai ilustrasi, dalam contoh yang dibahas di Bab 11, Tamra
mengabaikannya tanggung jawab orang tua jika mereka melanggar hukum dan
mengizinkannya mengadakan pesta dengan alkohol karena dia lebih peduli dengan
teman sebayanya. Di sisi lain, jika seseorang bertindak berdasarkan nilai-nilai sosial
atau konvensi sosial, kontrak, atau hukum, seseorang mungkin gagal untuk melihat
bagaimana mereka dapat secara tidak adil mempengaruhi individu yang diberikan.
Misalnya, orang tua Tamra tidak sepenuhnya memahami posisinya merasa dia
harus memenuhi harapan teman-temannya karena mereka lebih peduli dengan
tanggung jawab mereka. Dengan demikian, perkembangan moral yang matang
yang dipengaruhi oleh kemampuan seseorang untuk mengantisipasi masa depan,
untuk memprediksi konsekuensi, dan untuk menempatkan diri di tempat lain,
bersama dengan seseorang tingkat harga diri adalah kemampuan untuk membuat
keputusan rasional yang menyeimbangkan sistem nilai pribadi seseorang dengan
sistem nilai masyarakat.
E. Peran Gender
Peran gender mengacu padakualitas yang dipahami individu untuk
mencirikan laki-laki dan perempuan dalam budayanya. Ini berbeda dari jenis
kelamin, yang mengacu pada aspek biologis menjadi laki-laki atau perempuan.
Peran gender lebih merupakan konstruksi psikologis, sedangkan seks lebih
bersifat fisik. Sajak anak-anak berikut dari awal 1800-an menggambarkan
bagaimana perbedaan gender dirasakan dalam masyarakat. Bait-bait seperti ini,
pada gilirannya, mempengaruhi bagaimana anak-anak disosialisasikan untuk
mendapatkan peran gender yang sesuai (Gould & Gould, 1962).

Terbuat dari apakah anak laki-laki kecil?


Katak dan siput
Dan ekor anak anjing
Dari situlah anak laki-laki kecil dibuat.
Terbuat dari apa gadis kecil?
Gula dan rempah-rempah
Dan semua hal bagus
Dari situlah gadis kecil terbuat.

a) Pengembangan Peran Gender


Klasifikasi peran gender berdasarkan jenis kelamin biologis, dimulai dari
bitrh (Maccoby, 1998, 2000; Ruble, Martin, & Berenbaum, 2006). Orang
tua dan orang penting lainnya menerapkan stereotip gender kepada anak-
anak segera setelah mereka lahir (atau bahkan di dalam rahim, jika jenis
kelaminnya diketahui). Akibatnya, anak perempuan dan laki-laki
tersalurkan ke dalam perilaku bertipe seks yang belum tentu mencerminkan
potensi kemampuan individu mereka (Basow, 2008; Tennenbaum & Leaper,
2002; Leaper & Friedman, 2007). Anak tersebut diberi apa yang dianggap
masyarakat sebagai nama perempuan atau laki-laki (anak-anak yang
namanya ambigu misalnya, Jordan, yang bisa jadi nama perempuan atau
laki-laki kemungkinan menjadi target untuk digoda). Anak itu kemudian
berpakaian sesuai dengan klasifikasi. Warna-warna tertentu umumnya
dikenakan oleh anak perempuan dan warna-warna tertentu oleh anak laki-
laki. Meskipun di Amerika Serikat sebagian besar anak laki-laki dan
perempuan mengenakan kemeja dan celana, yang dikenakan oleh anak
perempuan biasanya memiliki dekorasi yang berbeda. Dan selama masa
kanak-kanak, anak diberikan mainan tertentu untuk dimainkan, biasanya
juga diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin. Mainan anak perempuan
umumnya berhubungan dengan aktivitas mengasuh atau rumah (boneka,
boneka binatang, piring); mainan anak laki-laki umumnya berkaitan dengan
aksi atau aktivitas kerja (mobil, truk, perkakas).
Meskipun berbagai budaya menyediakan “kurikulum gender”, anak-anak
memainkan peran dalam sosialisasi gender mereka, mungkin didorong oleh
program biologis dalam setiap jenis kelamin, juga di antara mereka (Lippa,
2005; Maccoby, 2000). Misalnya, cucu perempuan tertua saya, yang ibunya
jarang memakai perhiasan atau riasan, terpesona untuk mendandani dirinya
sendiri sejak dia melihat barang-barang semacam itu di toko. Karena
ketertarikannya, saya memoles kukunya untuk ulang tahunnya yang kedua.
Kakak perempuannya, setahun lebih muda, tertarik untuk memanjat segala
sesuatu dan suka membongkar mainan dan melempar serta menendang bola.
Untuk ulang tahunnya yang kedua, saya memberinya mobil berkuda. Ketika
yang tertua berusia 7 tahun, dia memilih untuk mengambil pelajaran piano.
Cucu perempuannya yang lebih muda, yang saat itu berusia 6 tahun,
memilih untuk mengambil pelajaran jujitsu.
Dengan demikian, praktik biologi dan sosialisasi berinteraksi untuk
menghasilkan keragaman perilaku berdasarkan jenis kelamin yang diamati
di dalam dan di antara laki-laki dan perempuan (Lippa, 2005). Secara umum
diterima bahwa sosialisasi memaksimalkan perbedaan jenis kelamin yang
ditentukan secara genetik (Leaper & Friedman, 2007; Ruble, Martin, &
Berenbaum, 2006).
Empat teori utama berikut menjelaskan bagaimana anak-anak
disosialisasikan untuk mengambil peran gender yang sesuai dalam
masyarakat mereka
1. Teori Psikoanalisis
Teori psikoanlitik berkaitan dengan bagaimana seseorang merasa
seperti laki-laki atau perempuan. Menurut Sigmund Freud (dikutip dalam
Hall, 1954; Freud, 1925), anak-anak mengidentifikasi diri dengan orang tua
berjenis kelamin sama karena cinta untuk orang tua lawan jenis dan takut
akan hukuman dari orang tua jenis kelamin sama untuk cinta itu. Dengan
kata lain, seorang anak laki-laki mengidentifikasi diri dengan ayahnya
karena dia mencintai ibunya (Oedipus kompleks) dan takut ayahnya, yang
juga mencintai ibunya, akan menghukumnya karena cinta itu. Seorang gadis
mengidentifikasi dengan ibunya karena dia mencintai ayahnya (Kompleks
elektro) dan takut ibunya, yang juga mencintai ayahnya, akan
menghukumnya karena cinta itu. Dalam mengidentifikasi diri dengan orang
tua berjenis kelamin sama, anak-anak secara tidak sadar mengambil
karakteristik dari orang tua tersebut. Seorang anak laki-laki menjadi seperti
ayahnya sehingga ibunya akan mencintainya seperti dia mencintai ayahnya;
dan seorang gadis menjadi seperti ibunya sehingga ayahnya akan
mencintainya seperti dia mencintai ibunya. Proses identifikasi gender terjadi
antara usia 3 dan 5 tahun, tahap phallic dalam urutan perkembangan
kepribadian Freud (di mana fokusnya adalah pada alat kelamin). Setelah
usia 5 atau 6 tahun, anak-anak memasuki tahap latensi Freud, di mana
mereka terlibat dalam aktivitas bermain normal dengan teman sebaya
sesama berjenis kelamin sama dan seksualitas tidak aktif. Saat pubertas,
anak-anak memasuki tahap genital Freud, di mana mereka biasanya mulai
tertarik secara seksual pada lawan jenis.
2. Teori Kognitif Sosial
Teori ini berkaitan dengan bagaimana seseorang berperilaku baik
sebagai laki-laki atau perempuan. Menurut ahli teori Walter Mischel (1970)
dan Albert Bandura (1989), anak-anak berperilaku dengan cara yang
dianggap sesuai gender karena mereka diperkuat atau dihargai ketika
mereka melakukannya dan dihukum ketika tidak dilakukan oleh berbagai
agen sosialisasi. Anak laki-laki diidentikkan dengan model laki-laki
(biasanya ayah mereka) karena mereka dihargai karena melakukannya:
"Kamu kuat, sama seperti ayahmu." Anak perempuan mengidentifikasi
dengan model perempuan (biasanya ibu mereka) untuk alasan yang sama:
"Kamu terlihat cantik, seperti ibumu." Anak-anak memilih model dengan
mengidentifikasi berdasarkan model yang dianggap seperti mereka sendiri,
diantaranya adalah hangat dan penuh kasih sayang dan memiliki gengsi di
mata mereka. Ketika anak-anak mengidentifikasi dengan orang tua yang
jenis kelaminnya sama , mereka memasukkan perilaku orang tua itu ke
dalam perilaku mereka sendiri.
3. Teori Perkembangan Kognitif
Teori ini berkaitan dengan bagaimana seseorang memiliki alasan
tentang diri sendiri sebagai laki-laki atau perempuan. Menurut Lawrence
Kohlberg (1966), asumsi perilaku peran gender adalah bagian dari
perkembangan kognitif total anak. Atas dasar pengamatan dan interaksi
mereka, anak-anak mengakomodasi, atau mendamaikan, perbedaan antara
kategori laki-laki dan perempuan. Setelah anak-anak mengetahui dan
memahami konsep kelelakian dan keperempuanan (sekitar usia 5 atau 6),
mereka kemudian mengasimilasi perilaku gender yang sesuai yang sesuai
dengan jenis kelamin biologis mereka. Dengan kata lain, seorang anak laki-
laki berpikir, "Aku anak laki-laki; oleh karena itu, saya melakukan hal-hal
anak laki-laki," dan seorang gadis berpikir, "Saya seorang gadis; oleh karena
itu, saya melakukan hal-hal perempuan." Apa yang anak-anak anggap
sebagai perilaku gender yang tepat tergantung pada pengalaman mereka
dalam keluarga, kelompok sebaya, sekolah, dan komunitas mereka, dan apa
yang mereka amati di media.
4. Teori Skema Gender
Teori skema gender yang diusulkan oleh Sandra Bem (1981), seperti
yang dilakukan oleh Martin dan Halverson (1981, 1987), berkaitan dengan
bagaimana seseorang memproses informasi tentang dirinya sebagai laki-
laki atau perempuan dengan memahami dan menafsirkan informasi terkait
gender. Skema (plural schemata) adalah kerangka konseptual dari
pengalaman dan pemahaman seseorang. Ini menjelaskan bagaimana anak-
anak kode informasi baru dalam hal gender. Dasar untuk pengkodean
informasi adalah pertama, pengakuan laki-laki dan perempuan sebagai
kategori gender yang berbeda. Pelabelan terjadi sekitar usia 2,5 tahun.
Ketika anak-anak berkembang, mereka mengamati perilaku pria dan wanita
di sekitar mereka. Akibatnya, mereka membentuk skema untuk apa yang
dilakukan laki-laki dalam masyarakat mereka dan yang lain untuk apa yang
perempuan lakukan. Skema gender ini memengaruhi bagaimana informasi
baru diproses, membimbing perhatian selektif dan meniru model yang
berjenis kelamin sama. Misalnya, seorang gadis mengamati ibu dan
neneknya memasak. Dia juga mengamati ayahnya dan laki-laki lain
melakukan perbaikan. Sekitar usia 4 hingga 5 tahun, dia dapat membuat
konsep bahwa anak perempuan memasak dan anak laki-laki memperbaiki
berbagai hal. Karena dia tahu dia perempuan, dia memilih untuk terlibat
dalam kegiatan memasak. daripada bekerja dengan alat di prasekolah.
Dengan demikian, ia memperoleh informasi tentang memasak dan menolak
informasi tentang membangun atau melakukan perbaikan. Pada usia 7
hingga 8 tahun, perilaku gender cukup kaku. Teori skema gender membantu
menjelaskan mengapa stereotip gender melanggengkan diri dan sulit untuk
dimodifikasi. Seolah-olah pengalaman sosialisasi paling awal seseorang
dengan gender menentukan jalan di kemudian hari. Ini ditunjukkan dalam
sebuah penelitian terhadap anak berusia 5 hingga 10 tahun, yang diminta
untuk memprediksi minat feminin atau maskulin anak-anak target dengan
karakteristik tertentu. Misalnya, "Saya kenal seorang anak yang suka
bermain dengan peralatan perkakas. Seberapa besar keinginan anak ini
untuk memakai gaun?" Tanggapan anak-anak yang lebih tua lebih stereotip
gender ("Tidak mungkin!") daripada anak-anak yang lebih muda (Martin,
Wood, & Little, 1990).
Teori skema gender juga mengusulkan bahwa konsep diri dikaitkan
dengan sejauh mana anak-anak menganggap diri mereka kongruen dengan
skema laki-laki atau perempuan mereka. Jika perilaku mereka sesuai dengan
apa yang mereka tafsirkan sesuai dengan jenis kelamin mereka, mereka
merasa positif tentang diri mereka sendiri; Jika mereka tidak sesuai dengan
stereotip, mereka merasa negatif tentang diri mereka sendiri.
Terlepas dari teori atau teori mana yang tampaknya paling baik
menjelaskan sosialisasi peran gender, faktanya tetap bahwa pria dan wanita
berperilaku berbeda. Ada konsensus bahwa faktor biologis, kognitif, dan
sosial secara interaktif berkontribusi terhadap perilaku tipe seks (Leaper &
Bigler, 2011; Lippa, 2005; Rubel, Martin, & Berenbaum, 2006). Meskipun
genetika adalah pengaruh yang signifikan terhadap perilaku tipe seks, itu
tidak sepenuhnya bertanggung jawab, seperti yang didokumentasikan oleh
studi populasi besar kembar telinga 3 dan 4 tahun dan saudara kandung non-
kembar (Iervolino et al., 2005). Meskipun perbedaan besar dalam perilaku
peran gender diamati antara kedua jenis kelamin, ada variasi substansial
dalam jenis kelamin dalam perilaku pria dan wanita yang khas. Misalnya,
pada anak usia dini, anak laki-laki umumnya lebih suka mobil dan truk
daripada boneka/ perhiasan dan terlibat dalam permainan yang lebih kasar
daripada dalam permainan peran pengasuhan. Perilaku menggolongkan
jenis kelamin ini meningkat dari anak usia dini hingga menengah. Namun,
kembar yang berbagi lingkungan yang sama, terutama anak laki-laki,
menunjukkan perilaku gender yang lebih mirip daripada non-kembar yang
berbagi lingkungan yang sama (Iervolino et al., 2005).
Dalam ulasan klasik, peneliti Eleanor Maccoby dan Carol Jacklin
(1974) menganalisis lebih dari 2.000 buku dan artikel tentang kemungkinan
perbedaan psikologis antara pria dan wanita. Mereka menyimpulkan bahwa
laki-laki lebih agresif daripada perempuan, perbedaan yang jelas pada masa
bayi. Mereka juga menyimpulkan bahwa anak perempuan memiliki
kemampuan verbal yang lebih besar daripada anak laki-laki dan bahwa anak
laki-laki memiliki kemampuan visual-spasial yang lebih besar daripada
anak perempuan. Perbedaan-perbedaan ini lebih jelas pada awal masa
remaja. Maccoby dan Jacklin menemukan bahwa beberapa perbedaan yang
secara tradisional dikaitkan dengan perilaku anak laki-laki dan perempuan
adalah mitos. Misalnya, anak perempuan tidak lebih "sosial" daripada anak
laki-laki, juga tidak lebih sugestif. Anak laki-laki tidak memiliki motivasi
berprestasi yang lebih tinggi daripada anak perempuan, juga tidak lebih
"analitis." Ulasan penelitian yang lebih baru tentang perbedaan gender telah
sampai pada kesimpulan yang sama (Blakemore, Berenbaum, & Liben,
2009; Rubel, Martin, & Berenbaum, 2006)
Pada saat anak-anak mencapai prasekolah, mereka tahu jenis
perilaku apa yang diharapkan dari jenis kelamin mereka (Blakemore,
Berenbaum, & Liben, 2009; Serbin, Powlishta, & Gulko, 1993). Beberapa
tahun yang lalu, seorang anak lelaki kecil di kelas prasekolah saya yang
berpura-pura menyetrika di sudut rumah tangga diberitahu oleh temannya,
"Ayah jangan menyetrika!" Ketika anak-anak memasuki sekolah dasar,
peran gender mereka menjadi lebih ketat (Ruble, Martin, &; Berenbaum,
2006). Mereka bermain dengan anak-anak dari jenis kelamin yang sama,
sehingga belajar permainan "sesuai gender" (anak laki-laki cenderung
bermain game yang melibatkan berlari atau melempar bola saat istirahat;
anak perempuan cenderung tetap dekat dengan guru, berbicara atau bermain
game seperti lompat tali atau hopscotch). Karena perkembangan kognitif
mereka, mereka juga menjadi lebih sadar akan model potensial jenis
kelamin mereka dengan siapa untuk diidentifikasi. Model-model ini akan
diperiksa selanjutnya untuk memahami pengaruhnya terhadap sosialisasi
peran gender.
F. Pengaruh Terhadap Pengembangan Peran Gender
Sosialisasi peran gender terjadi di mikrosistem keluarga, kelompok
sebaya, sekolah, komunitas, dan media.
1) Keluarga
Menurut peneliti, ibu dan ayah meperlakukan anak laki-laki dan
perempuan secara berbeda (Blakemore, Berenbaum, & Liben, 2009;
Leaper, 2000). Dinamika dan pengalaman keluarga terkait dengan
perbedaan individu dalam perilaku gender anak laki-laki dan perempuan
(McHale, Crouter, & Whiteman, 2003). Studi menunjukkan bahwa orang
tua menggambarkan putra mereka yang baru lahir sebagai lebih kuat,
lebih terkoordinasi, dan lebih waspada daripada anak perempuan; dan
anak perempuan mereka yang baru lahir lebih kecil, lebih lembut, dan
lebih rapuh daripada anak laki-laki (Huston, 1983; Sweeney & Bradbard,
1988) Ayah, khususnya, terlibat dalam permainan yang lebih kasar dan
berantakan dengan anak laki-laki dan lebih suka diemong bermain
dengan anak perempuan (Leaper & Bigler, 2011; Lytton &; Romney,
1991). Orang tua membeli mainan yang berbeda untuk putra dan putri
mereka (Blakemore, Berenbaum, & Liben, 2009; O'Brien & Huston,
1985; Rubel, Martin, & Berenbaum, 2006). Misalnya, laki-laki diberi
truk, mainan perang, dan peralatan olahraga; Anak perempuan diberi
boneka, rumah boneka, dan buku. Ibu dan ayah bahkan berkomunikasi
secara berbeda dengan putra dan putri, secara langsung dan bahasa yang
mendukung dengan anak perempuan daripada dengan anak laki-laki
(Ruble, Martin, &; Berenbaum, 2006).
Sepanjang masa kanak-kanak, orang tua mendorong laki-laki dalam
permainan aktif, motorik kasar, dan manipulatif; perempuan didorong
dalam pengambilan peran feminin pasif dan permainan motorik halus,
dengan ayah lebih stereotip daripada ibu (Huston, 1983; Leaper, 2000).
Laki-laki juga diperbolehkan mengambil risiko (memanjat pohon) dan
dibiarkan tanpa pengawasan lebih sering dan lebih awal daripada
perempuan (Basow, 2008; Blakemore, Berenbaum, & Liben, 2009).
Akhirnya, orang tua mengerahkan lebih banyak prestasi dan tuntutan
kemandirian pada laki-laki sambil memberikan bantuan lebih mudah
bagi perempuan (Basow, 2008; Leaper, 2000).
Melalui interaksi yang diamati antara ayah dan ibu dengan putra dan
putri, telah berulang kali ditunjukkan bahwa ayah adalah agen sosialisasi
peran gender yang lebih berpengaruh (Caldera, Huston, & O'Brien, 1989;
Domba, 2004; Rubel, Martin, & Berenbaum, 2006). Misalnya, reaksi
ayah dan ibu terhadap pilihan mainan anak-anak prasekolah diamati.
Mainan yang tersedia secara tradisional feminin (furnitur boneka, panci
dan wajan) dan maskulin (mobil, truk, kereta api). Studi (Blakemore,
Berenbaum, & Liben, 2009; Langlois & Downs, 1980; Lytton &
Romney, 1991) menemukan bahwa ayah, lebih dari ibu, memilih
berbagai jenis mainan untuk anak laki-laki dan perempuan dan
mendorong permainan yang mereka anggap sesuai gender dan
mengecilkan permainan yang mereka anggap tidak pantas gender. Lebih
khusus lagi, para ayah memberi penghargaan kepada anak-anak mereka
dengan menyetujui, membantu, dan bergabung dalam permainan lebih
sering untuk bermain dengan mainan yang sesuai gender daripada
bermain dengan mainan yang tidak pantas gender, dan mereka tidak
menganjurkan bermain dengan mainan yang tidak pantas gender lebih
dari bermain dengan mainan yang sesuai gender. Para ibu mendorong
anak laki-laki dan perempuan untuk bermain dengan mainan yang secara
tradisional dianggap sesuai untuk anak perempuan. Ibu juga cenderung
mencegah anak laki-laki dan perempuan bermain dengan mainan
"maskulin".
Selain itu, ayah lebih banyak terlibat dalam permainan fisik
(menggelitik, mengejar, bermain bola) dengan putra dan putri, sedangkan
ibu menghabiskan lebih banyak waktu dalam kegiatan pengasuhan dan
pengasuhan (MacDonald & Parke, 1986). Rupanya, interaksi diferensial
dengan anak-anak ini memungkinkan ibu untuk menjadi lebih, dan ayah
kurang, peka terhadap kebutuhan individu anak-anak (Lamb, 2004).
Lebih lanjut, dibandingkan dengan ibu, ayah memberikan umpan balik
yang lebih evaluatif tentang persetujuan dan ketidaksetujuan (Fagot,
1995). Dengan demikian, ayah umumnya tampak sebagai orang tua yang
lebih menyenangkan, kurang sensitif, lebih kritis dalam hal sosialisasi
peran gender.
Ketika ibu dipekerjakan di luar rumah dan ayah berpartisipasi dalam
perawatan anak, kegiatan nontradisional ayah mempengaruhi sikap anak-
anak mereka tentang stereotip peran gender (Ruble, Martin, &
Berenbaum, 2006). Meskipun ibu yang bekerja di luar rumah masih
melakukan sebagian besar perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga,
suami dari istri yang bekerja berpartisipasi lebih banyak daripada suami
dari istri yang tidak bekerja (Hoffman, 2000). Dengan demikian, anak-
anak yang ibunya dipekerjakan memiliki panutan stereotip yang lebih
sedikit daripada mereka yang ayahnya adalah "pencari nafkah" dan ibu
adalah "pembuat roti" (Gardner &; LaBrecque, 1986).
Konstelasi seks saudara kandung — kehadiran saudara perempuan
dan laki-laki, dan urutan kelahiran mereka — memengaruhi sosialisasi
peran gender anak-anak, terutama dalam keluarga tradisional (McHale,
Crouter, & Whiteman, 1999; Rust et al., 2000). Anak laki-laki dengan
kakak laki-laki ditemukan lebih maskulin daripada anak laki-laki dengan
kakak perempuan; Anak laki-laki tanpa saudara kandung mencetak gol
di antara dua kelompok lainnya dalam sifat maskulin. Temuan untuk anak
perempuan adalah paralel. Saudara perempuan dan laki-laki tidak hanya
memodelkan dan memperkuat perilaku peran gender pada adik-adik
mereka, tetapi perlakuan berbeda mereka menurut jenis kelamin oleh
orang tua berdampak pada skema gender anak-anak yang lebih muda.
Bagaimana dengan keluarga dengan orang tua sesama jenis?
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan orang tua gay atau
lesbian menunjukkan norma-norma gender konvensional (Patterson,
2006). Singkatnya, perbedaan individu dalam pengetikan jenis kelamin
dipengaruhi oleh biologi, budaya, keterlibatan ayah, status pekerjaan ibu,
pengetikan jenis kelamin peran par ental di dalam rumah, dan konstelasi
seks saudara kandung (Blakemore, Berenbaum, & Liben, 2009; Lippa,
2005; Serbin, Powlishta, & Gulko, 1993)
2) Rekan
Teman sebaya menjadi semakin berpengaruh sebagai agen
sosialisasi peran gender seiring bertambahnya usia anak-anak (Leaper &
Bigler, 2011; Lippa, 2005). Teman sebaya mulai memberikan pengaruh
selama prasekolah dan menjadi semakin penting selama sekolah dasar
dan sekolah menengah. Misalnya, teman sebaya mendorong anak laki-
laki dan perempuan untuk bermain dengan mainan yang sesuai gender
dan secara aktif menghukum (mengejek dan menggoda) bermain dengan
mainan yang dianggap sesuai untuk lawan jenis, terutama di kalangan
anak laki-laki (Blakemore, Berenbaum, & Liben, 2009; Fagot, 1984;
Martin, 1989). Anak-anak dan remaja mencoba melakukan apa yang
mereka anggap "keren" untuk mendapatkan penerimaan dan status di
antara teman sebayanya. Anak laki-laki remaja mendapatkan status
berdasarkan kemampuan atletik dan ketangguhan, sedangkan status anak
perempuan berkaitan dengan penampilan fisik dan keterampilan sosial
(Basow &; Rubin, 1999; Pollack, 1999; Rubel, Martin, & Berenbaum,
2006).
Pemisahan jenis kelamin dimulai pada tahun-tahun prasekolah dan
meningkat selama tahun-tahun sekolah. Hal ini dapat diamati secara
lintas budaya pada anak laki-laki dan perempuan (Rogoff, 2003; Whiting
& Edwards, 1988). Kelompok bermain yang dipisahkan berdasarkan
jenis kelamin menghargai perilaku yang berbeda untuk anak perempuan
dan laki-laki (Blakemore, Berenbaum, & Liben, 2009; Liben & Bigler,
2002; Maccoby, 1998). Anak perempuan cenderung menikmati
permainan timbal balik dan menggunakan strategi mitigasi konflik,
sedangkan anak laki-laki cenderung bermain lebih kasar dan
menggunakan penegasan fisik untuk menyelesaikan konflik.
Hasil dari pemisahan jenis kelamin adalah bahwa anak laki-laki dan
perempuan cenderung tumbuh di lingkungan teman sebaya yang berbeda
— dengan kata lain, subkultur yang berbeda (Leaper & Bigler, 2011;
Maccoby, 1998). Dalam studi terpisah, sosiolog Janet Lever (1978) dan
Barrie Thorne (1993), menemukan perbedaan yang signifikan dalam
permainan kelompok sebaya anak laki-laki dan perempuan. Lever
mengamati anak-anak kelas lima, kebanyakan Eropa Amerika dan kelas
menengah, di tiga sekolah. Dia menemukan bahwa permainan anak laki-
laki lebih kompleks daripada permainan anak perempuan pada semua
dimensi dan kriteria berikut.

Ukuran grup. Apakah besar atau kecil?


 Diferensiasi peran. Apakah para pemain memiliki peran yang sama,
seperti dalam catur, atau peran yang berbeda, seperti dalam bisbol?
 Interdependensi pemain. Apakah gerakan satu pemain
mempengaruhi yang lain, seperti dalam catur atau tenis, atau tidak,
seperti dalam dart atau hopscotch?
 Keeksplisitan tujuan. Apakah bermain hanya usaha kooperatif tanpa
pemenang atau titik akhir, seperti dalam "bermain rumah," atau
apakah tujuan bermain untuk tujuan, seperti mencetak poin
terbanyak, atau sampai titik akhir tertentu tercapai (sembilan babak,
misalnya)?
 Jumlah dan kekhususan aturan. Apakah ada beberapa aturan yang
tidak jelas, seperti dalam tag, atau banyak yang spesifik, seperti
dalam bisbol?
 Pembentukan tim. Apakah permainan membutuhkan tim?
Ever (1978) mengamati bahwa anak laki-laki biasanya terlibat
dalam olahraga tim dengan 10–25 pemain; Anak perempuan biasanya
bermain tag, lompat tali, atau hopscotch, biasanya melibatkan dua hingga
enam peserta. Permainan anak laki-laki sering melibatkan banyak peran,
sedangkan permainan anak perempuan jarang melibatkan diferensiasi
peran. (Anak perempuan biasanya terlibat dalam kegiatan di mana
mereka semua memainkan peran yang sama, seperti dalam skating, atau
dua peran, seperti dalam lompat tali — pelompat dan pembubut.)
Permainan anak laki-laki melibatkan lebih banyak saling ketergantungan,
yang membutuhkan pengambilan keputusan sehubungan dengan strategi.
Permainan anak perempuan cenderung membutuhkan lebih sedikit saling
ketergantungan, tetapi ketika itu terjadi, bermain bersifat kooperatif.
Permainan anak laki-laki ditemukan memiliki aturan yang lebih rumit —
seringkali, interpretasi dan diskusi pun terjadi. Akhirnya, anak laki-laki
lebih sering terlibat dalam permainan tim. Thorne (1993), yang
mengamati anak-anak TK hingga kelas enam, menemukan bahwa
permainan anak laki-laki umumnya ditandai oleh kelompok yang lebih
besar, kurang dekat dengan orang dewasa, lebih banyak bermain di depan
umum, lebih banyak perkelahian dan kontak fisik, lebih banyak upaya
dominasi, dan pembentukan "pecking order" hierarkis. Permainan anak
perempuan umumnya ditandai dengan kelompok yang lebih kecil dan
lebih intim, kedekatan yang lebih dekat dengan orang dewasa, konvensi
pengambilan giliran yang kuat, dan lebih banyak kebersamaan dalam
bermain dan percakapan.
Pentingnya permainan kelompok sebaya adalah bahwa ia
mensosialisasikan individu untuk peran orang dewasa dalam masyarakat,
sesuai dengan keterampilan khusus yang diperkuat. Menurut Lever
(1978), permainan anak laki-laki cenderung memperkuat kemampuan
untuk menghadapi beragam tindakan secara bersamaan,
mengoordinasikan tindakan untuk menumbuhkan kekompakan
kelompok dan bekerja untuk tujuan kolektif, terlibat dalam persaingan,
mengatasi aturan impersonal, dan terlibat dalam pemikiran strategis.
Permainan anak perempuan, di sisi lain, cenderung memperkuat kerja
sama, spontanitas, imajinasi, fleksibilitas, dan empati.
Hasil sosialisasi apa yang dihasilkan dari partisipasi anak
perempuan dalam olahraga tim? Sebuah studi oleh Shaffer dan Wittes
(2006) menemukan hubungan positif antara partisipasi olahraga pra-
perguruan tinggi anak perempuan dan citra tubuh positif, kompetensi
fisik, dan fleksibilitas gender, yang menyebabkan harga diri yang lebih
besar. Studi lain (Miller et al., 1998) menemukan bahwa partisipasi
atletik mempengaruhi status anak perempuan dan hubungan mereka
dengan anak laki-laki. Secara khusus, partisipasi atletik dikaitkan dengan
frekuensi hubungan heteroseksual yang lebih rendah, lebih sedikit
pasangan, dan onset kemudian.
3) Sekolah
Sekolah menyediakan sejumlah pesan terkait gender kepada anak-
anak, beberapa disengaja dan beberapa tidak disengaja (Ruble, Martin,
& Berenbaum, 2006; Sadker & Zittleman, 2009).
Ketika saya bersekolah di sekolah umum pada tahun 1950-an, ada
dua pintu masuk, satu ditandai "Anak perempuan" dan satu ditandai
"Anak laki-laki." Saat istirahat, para gadis bermain lompat tali, dan anak
laki-laki berlarian mengejar dan memukul satu sama lain atau bermain
bola. Ketika guru meniup peluit, semua orang berbaris, anak perempuan
di satu baris, anak laki-laki di baris lain; Setiap baris kemudian memasuki
gedung sekolah melalui pintu yang sesuai. Mengapa membedakan? Kita
semua tahu jenis kelamin kita. Anehnya, banyak kegiatan sekolah masih
dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Sekolah secara tradisional
memperlakukan laki-laki dan perempuan secara berbeda — melalui
penggambaran peran gender dalam buku teks, melalui persyaratan kursus
yang berbeda (misalnya, anak laki-laki mengambil toko dan anak
perempuan mengambil ekonomi rumah), melalui perawatan oleh guru
dan konselor, dan bahkan, secara halus, melalui distribusi jenis kelamin
yang tidak merata pada staf.
Laki-laki secara tidak proporsional terwakili dalam posisi kekuasaan
dan administrasi, sedangkan perempuan sering menjadi guru, terutama di
kelas-kelas awal. Di kelas yang lebih tua adalah anak-anak cenderung
memiliki banyak guru laki-laki, dan ini sering terjadi di kelas laki-laki
seperti matematika dan sains (Ruble, Martin, & Berenbaum, 2006, hlm.
902–903).
Bagian dari undang-undang federal (Judul IX Amandemen
Pendidikan) pada tahun 1972 melarang diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin. Sebagai permulaan, buku teks ditinjau untuk bias seksual,
kursus dan kegiatan ekstrakurikuler terbuka untuk pria dan wanita, dan
guru dan konselor harus menyalurkan siswa ke program pendidikan
tinggi atau pekerjaan berdasarkan kompetensi individu daripada apa yang
secara tradisional dapat diterima untuk jenis kelamin.
Terlepas dari Judul IX dan kesadaran pemakan gr tentang bagaimana
anak-anak mengembangkan sikap peran gender, guru merespons secara
berbeda terhadap anak laki-laki dan perempuan di tingkat sekolah
(Blakemore, Berenbaum, & Liben, 2009; Rubel, Martin, & Berenbaum,
2006). Penelitian di prasekolah (Fagot, 1984) menegaskan bahwa lebih
banyak perhatian guru diberikan kepada anak laki-laki untuk perilaku
yang berhubungan dengan prestasi dan anak perempuan untuk
kepatuhan. Guru prasekolah mendorong permainan yang sesuai gender
dan mencegah permainan yang tidak pantas gender. Serbin dan rekan-
rekannya (Serbin et al., 1973; Serbin, Powlishta, & Gulko, 1993)
menemukan bahwa guru cenderung merespon negatif terhadap perilaku
agresif anak laki-laki dan positif terhadap perilaku mencari kedekatan
anak perempuan. Penelitian lain (Sadker, Sadker, & Klein, 1991)
mengungkapkan beberapa perbedaan dalam bagaimana guru SD dan
SMA memandang siswa laki-laki dan perempuan.
Siswa laki-laki yang "baik" digambarkan oleh para guru sebagai aktif,
petualang, agresif, tegas, ingin tahu, energik, giat, jujur, mandiri, dan inv
entive. Siswa perempuan yang "baik" digambarkan sebagai siswa yang
apresiatif, tenang, teliti, perhatian, kooperatif, santun, tenang, sensitif,
dapat diandalkan, efisien, dewasa, patuh, dan teliti. Sikap seperti itu
dapat mempengaruhi cara guru berinteraksi dengan siswa dan bahkan
dapat mempengaruhi cara siswa memandang peran gender mereka
sendiri.
Sadker dan rekan (Sadker &; Sadker, 1994; Sadker & Zittleman,
2009) melaporkan bahwa dari sekolah dasar hingga pascasarjana, anak
laki-laki tidak hanya diberi lebih banyak perhatian guru, tetapi lebih
banyak dorongan untuk belajar. Jika seorang gadis memberikan jawaban
yang salah ketika ditanya, guru memanggil orang lain. Jika seorang anak
laki-laki memberikan jawaban yang salah, dia diminta untuk menemukan
jawaban yang benar, kemudian dipuji. Ketika seorang gadis memberikan
jawaban yang benar ketika ditanya, itu diterima dengan "OK." Jika
seorang gadis memanggil jawaban yang benar tanpa diminta, dia
kemungkinan akan ditegur karena berbicara tidak pada gilirannya; Jika
Bo Y melakukan hal yang sama, jawabannya kemungkinan akan
diterima. Dengan demikian, guru cenderung mensosialisasikan anak laki-
laki untuk menjadi aktif, pembelajar tegas dan anak perempuan menjadi
pembelajar yang tenang dan pasif.
4) Masyarakat
Masyarakat mempengaruhi pengembangan peran gender
melalui sikapnya mengenai perilaku apa yang sesuai untuk laki-laki dan
perempuan dan model peran gender yang diberikannya dengan siapa
anak-anak dapat mengidentifikasi. Sikap masyarakat tentang peran
gender mempengaruhi perilaku apa yang diperkuat dan dihukum pada
anak-anak. Komentar seperti "Itu tidak sopan" atau "Pergi dan
pertahankan dirimu seperti pria" membuat kesan besar pada anak-anak.
Terkadang sikap masyarakat diungkapkan oleh bahasa yang digunakan
untuk menggambarkan laki-laki dan perempuan. Apakah perempuan
digambarkan oleh penampilan mereka dan laki-laki oleh tindakan
mereka? Apakah peran pekerjaan bebas gender ("pembawa surat,"
"tenaga penjualan")?
Jika masyarakat memiliki sikap stereotip — bahwa perempuan
adalah pengasuh dan laki-laki adalah pemecah masalah, misalnya —
penugasan pekerjaan untuk satu atau jenis kelamin lainnya akan
terpengaruh. Saat ini, perempuan masih mendominasi pekerjaan yang
melibatkan pelayanan, pengasuhan, atau pengajaran; laki-laki
mendominasi pekerjaan seperti teknik, arsitektur, hukum, dan
kedokteran, yang semuanya melibatkan pemecahan masalah (Watt,
2008). Sikap seperti itu, bersama dengan visibilitas sosial pria dan
wanita dalam pekerjaan mereka, mempengaruhi persepsi dan harapan
anak-anak untuk diri mereka sendiri.
Pemerintah AS telah memberlakukan undang-undang
kesempatan yang sama, sehingga membuka bidang yang sebelumnya
dibatasi untuk perempuan. Namun, terlepas dari penelitian
terkonsentrasi dan tonggak legislatif penting tentang kesetaraan gender
selama seperempat abad terakhir, kesenjangan terkait gender dalam
karir sains, teknologi, teknik, dan matematika (disebut dalam studi
sebagai STEM) bertahan hingga abad ke-21. Juga, ketidakadilan tetap
ada di bidang akademik, gaji, peran kepemimpinan, dan peluang untuk
kemajuan (Basow, 2008; Departemen Perdagangan AS, 2011; Watt,
2008).
Budaya dan orientasi agama mempengaruhi persepsi dan
harapan anak-anak terhadap gender mereka. Misalnya, dalam beberapa
keluarga perempuan diharapkan untuk menikah, melaksanakan tugas-
tugas rumah tangga, dan melahirkan anak bahkan jika mereka bekerja
(Sue, 1989). Dalam beberapa keluarga, perempuan secara tradisional
berada di bawah laki-laki (Uba, 1999). Orientasi budaya dan agama,
serta status sosial ekonomi, mempengaruhi harapan peran gender,
seperti yang dicontohkan dalam pilihan karir siswa sekolah menengah
atas (Blustein, 2008).
Kesimpulannya, sejauh seorang anak berutang dalam dunia
komunitas gender yang membatasi dengan tekanan str ong terhadap
konformitas, anak itu kemungkinan akan mementingkan berperilaku
sesuai. Sebaliknya, sejauh seorang anak tumbuh dalam komunitas
gender yang fleksibel yang menekankan pilihan individu, anak itu
cenderung tidak sesuai dengan perilaku gender stereotip (Eccles &
Bryan, 1994; Lippa, 2005).

Dalam Praktek

Bagaimana Anda menentukan jenis model peran gender yang disediakan


oleh masyarakat?

 Secara umum, apakah ibu / ayah di masyarakat tinggal di rumah


untuk membesarkan keluarga mereka, atau apakah mereka bekerja
di luar rumah?
 Dalam kegiatan apa sebagian besar ibu / ayah di masyarakat terlibat?
 Apakah anak-anak memiliki kesempatan untuk mengamati orang-
orang dalam pekerjaan mereka?
 Apakah pria dan wanita yang memiliki berbagai pekerjaan datang
ke sekolah dan berbicara dengan anak-anak?
 Yang menempati posisi kepemimpinan dalam masyarakat
(pemerintah, gereja, organisasi layanan, organisasi politik)?
 Dalam jenis kegiatan apa anak laki-laki dan perempuan
berpartisipasi dalam komunitas di luar sekolah?
 Bagaimana pekerjaan komunitas diberi label?

5) Media Massa
Media Layar
Media massa mempengaruhi perkembangan peran gender dengan cara
penampilan dan perilaku karakter laki-laki dan perempuan digambarkan,
serta oleh pesan iklan. Misalnya, laki-laki tidak hanya muncul dengan
frekuensi yang lebih besar di TV daripada perempuan, mereka juga
digambarkan dalam berbagai pekerjaan yang lebih besar daripada
perempuan dan memiliki pekerjaan berstatus lebih tinggi (Perse, 2001;
Signorielli, 2007). Meskipun wanita dalam iklan semakin ditampilkan
memiliki pekerjaan yang beragam, mereka masih digambarkan sebagai
ahli dalam produk makanan, sabun cuci, dan alat bantu kecantikan
(Signorielli, 2007).
Program anak-anak lebih bertipe gender daripada program dewasa.
Laki-laki melebihi jumlah perempuan dalam semua jenis pemrograman,
bahkan pendidikan (Signorielli, 2007). Karakteristik kepribadian pria
dan wanita, meskipun ditingkatkan, terus menjadi stereotip, dengan
wanita disajikan sebagai emosional, romantis, dan domestik, dan pria
disajikan sebagai cerdas, teknis, dan agresif (Comstock & Scharrer,
2007).
Meskipun TV dan film memiliki pengaruh pada pengetikan seks
anak-anak, sikap anak-anak sebelumnya tentang peran gender
mempengaruhi dampak dari apa yang mereka hadiri. Anak-anak dengan
sikap yang sangat stereotip fokus pada penggambaran peran tradisional,
sedangkan anak-anak dengan sikap yang lebih fleksibel hadir sama
baiknya dengan penggambaran tradisional dan nontradisional (Comstock
& Scharrer, 2007).
Sementara penggambaran perilaku laki-laki dan perempuan di
media layar berfungsi sebagai panutan bagi anak-anak, apakah pesan
tentang gender benar-benar akan dibudidayakan pada anak-anak ketika
mereka berkembang tergantung pada pengalaman media total serta
pengaruh sosialisasi orang lain yang signifikan mengenai perilaku gender
yang sesuai. American Psychological Association (APA, 2007b) prihatin
bahwa pesan media adalah pengaruh yang mendominasi perilaku
perempuan. Laporan mereka tentang seksualisasi anak perempuan
menyimpulkan bahwa proliferasi gambar seksual anak perempuan dan
perempuan dalam iklan, merchandising, dan media merusak citra diri
anak perempuan dan perkembangan yang sehat; khususnya,
ketidakpuasan tubuh, depresi, rendah harga diri, dan berkurangnya
persepsi prestasi akademik dan kegiatan ekstrakurikuler sebagai
mengarah pada kesempatan hidup yang memberdayakan di kemudian
hari. Yang juga menjadi perhatian adalah efek merusak seksualisasi pada
hubungan dengan anak perempuan lain dan anak laki-laki. Ketika anak
perempuan menganggap nilai mereka didasarkan pada penampilan dan
kemampuan untuk menarik perhatian anak laki-laki, mereka cenderung
memandang anak perempuan lain sebagai pesaing, sehingga
mengganggu persahabatan potensial. Ketika anak laki-laki menganggap
nilai anak perempuan didasarkan pada penampilan dan perilaku seksual
yang menarik, mereka cenderung mengharapkan hubungan fisik
Print Media
Buku, majalah, dan surat kabar juga mempengaruhi sosialisasi peran
gender dengan cara di mana laki-laki dan perempuan distereotipkan.
Meskipun perbaikan telah terjadi dalam literatur anak-anak mengenai
stereotip gender, anak perempuan masih digambarkan sebagai tergantung
dan membutuhkan bantuan lebih sering daripada anak laki-laki. Juga,
perempuan ditampilkan dalam peran yang relatif terbatas (Dickman &
Murnen, 2004).
Laki-laki masih mendominasi dunia buku bergambar dan umumnya
disajikan dalam peran yang lebih mandiri, bervariasi, dan menarik,
menggunakan barang-barang produktif; betina umumnya disajikan
dalam peran yang lebih tergantung, membantu, dan menyenangkan,
menggunakan benda-benda rumah tangga (Blakemore, Berenbaum, &
Liben, 2009; Gooden & Gooden, 2001).
Analisis konten dari banyak artikel fitur dan iklan di majalah
kontemporer, seperti Seventeen, Sports Illustrated, Teen, Time, Ebony,
Newsweek, dan Vogue, telah menemukan bahwa mereka mengandung
pesan eotyped sex-ster, terutama tentang penampilan (Blakemore,
Berenbaum, & Liben, 2009; Strasburger & Wilson, 2002). Artikel untuk
wanita berurusan dengan tergantung pada orang lain untuk memecahkan
masalah pribadi, menarik pria, dan menjadi pembeli yang sadar
penampilan. Artikel untuk pria berhubungan dengan olahraga, hobi,
bisnis / keuangan, dan seks.
Audio Media
Apakah media audio berkontribusi pada sikap stereotip tentang pria dan
wanita dan perilaku seksual karena lirik dan video mereka, atau apakah
orang-orang muda yang sudah memiliki sikap tersebut tertarik pada
genre musik yang mengkonfirmasi keyakinan mereka? Meskipun
pengaruh musik populer pada sosialisasi peran gender membutuhkan
lebih banyak penelitian, kita tahu bahwa stereotip tentang perilaku pria
dan wanita terlihat dalam video musik rock (Strasburger & Wilson,
2008). Laki-laki digambarkan sebagai agresif secara seksual, rasional,
menuntut, dan suka berpetualang. Wanita digambarkan sebagai
emosional, penipu, tidak logis, sembrono, tergantung, dan pasif. Salah
satu tema paling populer dalam musik populer adalah cinta romantis
(Roberts &; Christenson, 2001). Namun, video musik rock juga
menunjukkan kekerasan terhadap perempuan dan perempuan sebagai
objek seks (Strasburger & Wilson, 2008). Dalam sebuah wawancara
untuk Newsweek (9 Oktober 2000), rapper Ja Rule berkata, "Apa lagi
yang bisa Anda rap selain uang, seks, pembunuhan, atau mucikari? Tidak
banyak hal lain yang terjadi di dunia kita. "
Sebuah penelitian terhadap anak berusia 12 hingga 14 tahun
mengenai paparan mereka terhadap konten seksual dalam musik, film,
televisi, dan majalah selama periode dua tahun menunjukkan
peningkatan aktivitas seksual yang dilaporkan, sehingga meningkatkan
risiko hubungan seksual dini (Brown et al., 2006).
Multimedia Interaktif
Masalah kritis mengenai pengaruh Internet pada pengetikan dan perilaku
seks adalah meresapnya konten seksual dalam iklan, pesan email, pop-
up, dan aksesibilitas situs web pornografi (APA, 2007b; Strasburger &
Wilson, 2008). Anak-anak mungkin terpapar informasi sebelum mereka
cukup dewasa untuk memahaminya dan itu bertentangan dengan nilai-
nilai keluarga.
Preferensi gender dalam video game memperkuat perilaku stereotip.
Anak laki-laki menemukan permainan dengan aksi dan kekerasan, serta
olahraga dan strategi, lebih menarik; anak perempuan menyukai
permainan keterampilan atau keberuntungan, seperti teka-teki atau kartu
(Comstock &; Scharrer, 2007). Video game juga merupakan sumber
informasi bagi anak-anak dan remaja untuk perilaku dan sikap apa yang
dianggap maskulin atau feminin. Sebuah studi (Beasley & Standley,
2002) meneliti cara pria dan wanita berpakaian (atau tidak berpakaian)
di 47 game yang dipilih secara acak dari sistem game Nintendo 64 dan
Sony PlayStation. Hanya 13,74 persen dari semua karakter adalah
perempuan dan mayoritas karakter perempuan mengenakan pakaian
yang mengekspos lebih banyak kulit daripada karakter laki-laki.
Daftar Pustaka
Berns, R. M. (2015). Child, family, school, community: Socialization and support.
Cengage Learning.
Damon, W. D. (1999). Th e moral development of children. Scientific American,
281(2), 72–78.
Eisenberg, N. (2006). Introduction. In W. Damon & R. M. Lerner (Eds.), Handbook
of child psychology (6th ed., Vol. 3). Hoboken, NJ: Wiley.
Hofer, C., & Eisenberg, N. (2008). Emotion-related regulation: Biological and
cultural bases. In M. Vandekerckhove, C. von Scheve, S. Ismer, S. Jung, & S.
Kronast (Eds.), Regulating emo-tions: Culture, social necessity, and
biological inheritance. Oxford, UK: Blackwell Publishing.
Lengua, L. J. (2002). Th e contribution of emotionality and self-regulation to the
understanding of children’s response to multiple risk. Child Development, 73,
144–161.
Logue, A. W. (1995). Self-control: Waiting until tomorrow for what you want today.
Englewood Cliff s, NJ: Prentice-Hall.
Maughan, A., & Cicchetti, D. (2002). Impact of child maltreat- ment and interadult
violence on children’s emotion-regulation abilities and socioemotional
adjustment. Child Development, 73, 1525 –15 4 2 .
Winsler, A., & Wallace, G. L. (2002). Behavior problems and social skills in
preschool children: Parent–teacher agreement and relations with classroom
observations. Early Education and Development, 13, 41–58.

Anda mungkin juga menyukai