DISUSUN OLEH:
Desna Liani (205240026)
(Stuart, 2016).
a. Respons Adaptif
1) Solitude (menyendiri)
Respon yang dibutuhkan untuk menentukan apa yan telah dilakukan dan
merupakan suatu cara mengawasi diri (Dalami, 2009). Respon yang dibutuhkan
seseorang untuk merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya
dan juga suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah-langkah
selanjutnya (Muhith, 2015). Solitude umumnya dilakukan setelah melakukan
kegiatan (Damaiyanti, 2012).
2) Otonomi
kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide,pikiran,
perasaan dalam berhubungan sosial (Muhith, 2015).
3) Mutualisme atau bekerja sama
suatu kondisi dalam hubungan interpersonal di mana individu mampu untuk
saling memberi dan menerima(Muhith, 2015). Kemampuan individu yang
saling membutuhkan satu sama lain (Yosep, 2013).
4) Interdependen atau saling ketergantungan
suatu hubungan saling tergantung antar individu dengan orang lain dalam
rangka membina hubungan interpersonal(Muhith, 2015).
b. Respons maladaptif
1) Merasa sendiri ( kesepian )
Merupakan kondisi dimana individu merasa sendiri dan terasingkan dari
lingkungannya (Yosep, 2013). Merasa tidak tahan atau yang lain menganggap
bahwa dirinya sendirian dalam menghadapi masalah, cenderung pemalu, sering
merasa tidak percaya diri dan minder (Muhith, 2015).
2) Menarik diri
Individu mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan
orang lain(Muhith, 2015). Gangguan yang terjadi apabila seseorang
memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang lain untuk mencari
ketenangan sementara waktu (Dalami, 2009).
3) Tergantungan
Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga tergantung pada
orang lain (Yosep, 2013). Gagal mengembangkan kemampuan yang dimiliki
(Dalami, 2009). Gagal mengembangkan kemampuannya untuk berfungsi secara
sukses, merasa kesulitan yang beresiko menjadi gangguan depresi dan
gangguan cemas sehingga berkecenderungan berpikiran untuk bunuh diri
(Muhith, 2015).
4) Manipulasi
Perilaku dimana orang memperlakukan orang lain sebagai objek dan bentuk
hubungan yang berpusat di sekitar isu-isu kontrol dan perilaku mereka sulit
dipahami(Stuart, 2016). Berorientasi pada diri sendiri atau pada tujuan, bukan
berorientasi pada orang lain (Dalami, 2009).
5) Impulsif
Suatu keadaan marah ketika orang lain tidak mendukung ketidak mampuan
untuk merencanakan sesuatu, ketidak mampuan belajar dari pengalaman dan
tidak dapat diandalkan (Stuart, 2016). Mempunyai penilaian yang buruk dan
cenderung memaksakan kehendak (Dalami, 2009).
6) Narcisme
Orang dengan gangguan kepribadian narsistik memiliki harga diri yang rapuh,
mendorong mereka untuk mencari pujian dan kekaguman secara terus-menerus,
penghargaan, sikap yang egosentrik, iri hati dan marah ketika orang lain tidak
mendukungnya (Stuart, 2016).
c. Faktor sosial
Faktor sosial mempengaruhi kemampuan individu membangun dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain. Isolasi sosial akan terjadi pada
orang yang cacat dan mengalami penyakit kronis. Seseorang yang mengalami
penyakit kronis sering di jauhi orang lain, isolasi yang disengaja ini mungkin
mengakibatkan berbagai respons maladaptif saat individu berusaha
mengatasinya (Stuart, 2016).
2. Faktor Prespitasi
a. Stressor sosial budaya
Sosial budaya merupakan ancaman terhadap sistem diri. Ancaman terhadap
sistem diri merupakan ancaman terhadap identitas diri, harga diri, dan fungsi
integritas sosial. Ancaman terhadap sistem diri berasal dari dua sumber yaitu
ekternal dan internal, sumber ekternal dapat disebabkan karena kehilangan,
perceraian, perubahan status pekerjaan, dilema etik, ataupun tekanan sosial
budaya. Sumber internal dikarenakan kesulitan membangun hubungan
interpersonal, ketidak mampuan menajalankan peran (Satrio, dkk, 2015).
b. Stressor psikologis
Tingkat ansietas yang tinggi mengakibatkan gangguan kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain. Ansietas yang berkepanjangan atau terus-
menerus dengan kemampuan koping yang terbatas dapat menyebapkan masalah
hubungan yang berat (Stuart, 2016). Faktor psikologis disebabkan juga karena
adanya faktor presipitasi yang berasal dari luar maupun dalam diri sendiri.
3. Penilaian Stressor
Penilaian terhadap sterssor berada dalam suatu rentang dari adaptif sampai ke
maladaptif. Bila penilaian stressor klien maladaptif maka penilaian tersebut akan
menjadi dasar penggunaan terapi keperawatan dalam melatih disfungsi
keterampilan yang dialami klien (Satrio, dkk, 2015).
a. Respon kognitif
Kemampuan klien melakukan penilaian kognitif yang dipengaruhi oleh
persepsi klien, sikap terbuka individu terhadap adanya perbubahan,
kemampuan untuk melakukan kontrol diri terhadap pengaruh lingkungan dan
kemampuan menilai suatu masalah. Pada klien isolasi sosial kemampuan
kognitif klien sangat terbatas klien lebih berfokus pada masalah bukan
bagaimana mencari alternative pemecahan masalah yang dihadapi (Stuart,
dalam Satrio, dkk, 2015).
b. Respon afektif
Respon afektif terkait dengan ekspresi emosi, mood, dan sikap. Respon
afektifpada klien isolasi sosial adalah adanya perasaan putus asa,sedih,
kecewa, merasa tidak berhargadan merasa tidakdiperhatikan (Stuart, dalam
Satrio, dkk. 2015).
c. Respon fisiologis
Respon fisiologis merupakan respon neurobiologis yang bertujuan
untukmenyiapkan klien mengatasi bahaya. Perubahan yang dialami oleh klien
akan mempengaruhi neurobiologis untuk mencegahstimulus yang mengancam
(Stuart, 2009 dalamSatrio, dkk, 2015).
d. Respon perilaku
Hasil dari respon emosional dan fisiologis. Respon perilaku isolasi sosial
teridentifikasi tiga pelaku yang maladaptif yaitu sering melamun, tidak mau
bergaul dengan klien lain atau tidak mau mengemukakan pendapat, mudah
menyerah dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan atau dalam melakukan
tindakan (Satrio, dkk, 2015)
e. Respon sosial
Merupakan hasil dari perpaduan dari respon kognitif, afektif, fisiologis dan
perilaku yang akan mempengaruhi hubungan atau interaksi dengan orang lain.
Respon ini memperlihatkan bahwa klien dengan isolasi sosial lebih banyak
memberikan respon menghindar terhadap stressor yang dialaminya (Satrio,
2015).
4. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang biasa digunakan adalah pertahanan koping dalam jangka
panjang serta penggunaan mekanisme pertahanan ego (Stuart, 2009 dalam Satrio,
dkk, 2015), mengatakan perthanan jangka pendek yang biasa dilakukan klien
isolasi sosial adalah lari sementara dari krisis, misalnya dengan bekerja keras,
nonton telvisi secara terus menerus, melakukan kegiatan untuk mengganti
identitas sementara, misalnya ikut kelompok sosial, keagamaan dan politik,
kegiatan yang memberikan dukungan sementara, seperti mengikuti suatu
kompetisi atau kontes popularitas, kegiatan mencoba menghiolangkan anti
identitas sementara, seperti penyalahgunaan obat-obatan. Mekanisme pertahan
ego yang sering digunakan adalah proyeksi, merendahkan orang lain, menghindar
dari interaksi sosial dan reaksi formasi (Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).
5. Sumber koping
Sumber koping merupakan pilihan atau strategi bantuan untuk memutuskan
mengenai apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu masalah. Dalam
menghadapi stressor klien dapat menggunakan koping yang dimilikinya baik
internal ataupun eksternal (Satrio, dkk, 2015).
a. Kemampuan Personal
Pada klien dengan isolasi sosial sosial kemampuan personal yang harus dimiliki
meliputi kemampuan secara fisik dan mental. Kemampuan secara fisik
teridentifikasi dari kondisi fisik yang sehat. Kemampuan mental meliputi
kemampuan kognitif, afektif, perilaku sosial. Kemampuan kognitif meliputi
kemampuan yang sudah atau pun yang belum dimiliki klien didalam
mengidentifikasi masalah, menilai dan menyelesaikan masalah, sedangkan
kemempuan afektif meliputi kemampuan untuk meningkatkan konsep diri klien
dan kemampuan perilaku terkait dengan kemampuan melakukan tindakan yang
adekuat dalam menyelesaikan stressor yang dialami (Satrio, dkk, 2015).
b. Dukungan Sosial
Dukungan sosial akan membantu klien untuk meningkatkan pemahaman terhadap
stressor dalam mencapai keterampilan koping yang efektif. Pendapat lain yang
mendukung pernyataan diatas mengenai pentingnya dukungan sosial didalam
proses penyembuhan klien (Sarafino, 2002 dalam Satrio, dkk. 2015).
c. Aset material
Aset material yang dapat diperoleh meliputi dukungan financial, sistem
pembiayaan layanan kesehatan (Satrio, dkk, 2015).
d. Keyakinan positif
Keyakinan positif adalah keyakinan diri yang menimbulkan motivasi dalam
menyelesaikan segala stressor yang dihadapi (Satrio, dkk. 2015).
C. Pohon Masalah
Pohon masalah
ISOLASI SOSIAL
D. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
2. Isolasi sosial
3. Gangguan persepsi sensori: Halusinasi.
(Damaiyanti, 2012).
3. Penilaian stressor
Pada mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa
tidak aman dalam berhubungan dengan orang lain. Biasanya klien berasal
dari lingkungan yang penuh permasalahan, ketegangan, kecemasan
dimana tidak mungkin mengembangkan kehangatan emosional dalam
hubungan yang positif dengan orang lain yang menimbulkan rasa aman.
4. Mekanisme koping
Mekanisme koping di bagi menjadi 2 yaitu:
a. Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar
dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah klien bisa memenuhi kebutuhan
perawatan diri secara mandiri.
b. Mekanisme koping maladaptif
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.
Kategori tidak mau merawat diri.
5. Sumber koping
Menurut (Herdman, 2012), kemampuan individu yang harus dimiliki oleh klien
defisit perawatan diri adalah kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan
diri dalam hal pemenuhan kebutuhan mandi, berhias, makan dan minum, serta
toileting.
C. Pohon Masalah
Gangguan pemeliharaan kesehatan
Isolasi sosial
D. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit perawatan diri
2. Isolasi sosial
3. Harga diri rendah
E. Rencana Tindakan Keperawatan
Defisit Perawatan Diri
Diagnosa Kriteria
Tujuan Intervensi
keperawatan Evaluasi
Defisit Klien mampu: Klien dapat Sp1
perawatan - Melakukan menjelaskan - Identifikasi
diri kebersihan pentingnya: kebersihan
diri sendiri - Kebersihan diri,
secara diri berdandan,
mandiri - Berdandan makan, dan
- Melakukan atau berhias BAB atau
berhias - Makan BAK
atau - BAB dan - Jelaskan
berdandan BAK pentingnya
secara baik - Mampu kebersihan
- Melakukan melakukan diri
makan cara - Masukkan
dengan merawat kedalam
baik diri jadwal
- Melakukan pasien
BAB dan
BAK
secara
mandiri
Sp2
- Evaluasi
kegiatan
yang lalu
(sp1)
- Jelaskan
pentingnya
berdandan
-
- Latih cara
berdandan
- Masukkan
kedalam
jadwal
kegiatan
pasien
Sp3
- Evaluasi
kegiatan
yang lalu
(sp1 dan sp2)
- Jelaskan cara
dan alat
makan yang
benar
- Jelaskan cara
menyiapkan
makanan
- Jelaskan cara
merapihkan
peralatan
makanan
- Masukkan
kedalam
jadwal
kegiatan
klien
Sp4
- Evaluasi
kemampuan
pasien yang
lalu (sp1,
sp2, dan sp3)
- Latih cara
BAB dan
BAK yang
baik
- Jelaskan
tempat BAB
dan BAK
yang sesuai
- Menjelaskan
cara
membersihka
n BAB dan
BAK
DAFTAR PUSTAKA
2. Jenis-Jenis Halusinasi
Menurut Yosep (2007), ada beberapa jenis halusinasi dan terbagi menjadi 8 jenis
yaitu :
a. Halusinasi Pendengaran (Auditif, Akustik)
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendering atau suara bising yang
tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau
kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut ditujukan kepada penderita
sehingga tidak jarang penderita bertengkar atau berdebat dengan suara-suara
tersebut.
b. Halusinasi Penglihatan (Visual, Optik)
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik). Biasanya sering
muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut
akibat gambaran-gambaran yang mengerikan
c. Halusinasi Pengciuman (Olfaktorik)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan dirasakan
tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau dilambangkan
sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai kombinasi moral
d. Halusinasi Pengecapan (Gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman.
Penderita merasa mengecap sesuatu.
e. Halusinasi Perabaan (Taktil)
Merasa diraba, disentuh, ditiup atau seperti ada ulat yang bergerak di bawah
kulit.
f. Halusinasi Seksual, ini termasuk halusinasi raba
Penderita merasa diraba dan diperkosa sering pada skizofrenia dengan waham
kebesaran terutama mengenai organ-organ.
g. Halusinasi kinesthetik
Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota
badannya bergerak-gerak. Misalna “phantom phenomenom” atau tungkai yang
diamputasi selalu bergerak-gerak (phantom limb).
h. Halusinasi visceral
Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya
1. Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya sudah
tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
2. Direalisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungannya yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala sesuatu yang
dialaminya seperti impian.
3. Tingkatan / Fase Halusisasi
a. Fase 1: Comforting (Ansietas Sedang): Halusinasi menyenangkan.
Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,
kesepian, rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada pikiran
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengenali bahwa pikiran-
pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas
dapat ditangani.
Perilaku klien :
1. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai
2. Menggerakkan bibir tanpa suara.
3. Pergerakan mata yang cepat.
4. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.
5. Diam dan asyik sendiri.
ADAFTIF MALADAFTIF
2. Faktor Presipitasi
a. Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan
yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol dan kesulitan dalam waktu lama.
b. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinai dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan.
c. Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan penurunan fungsi ego seseorang yang pada awalnya
halusinasi merupakan usaha dari ego itu sendiri untuk melawan impuls yang
menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang
dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol
semua perilaku klien
d. Dimensi sosial
Dalam dimensi sosial ini klien mengalami gangguan interaksi sosial dan
menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan.
e. Dimensi spiritual
Secara spiritual klien dengan halusinasi dimulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, hilangnya keinginan untuk beribadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Klien sering memaki takdir
tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan
orang lain yang menyebabkan memburuk.
f. Penilaian Stresor
Penilaiian terhadap stressor merupakan penilaiian individu ketika menghadapi
stressor yang datang. Penilaian seseorang terhadap seteresor terdiri dari dan
respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Hal ini memberikan arti
bahwa apabila individu mengalami suatu stressor maka ia akan merupakan
stressor maka ia akan merespon stressor tersebut dan akan tanpak melalui
tanda dan gejala yang muncul.
g. Mekanisme Koping
Kaji mekanisme koping yang sering digunakan klien, meliputi :
1. Regresi : menjadi malas beraktifitas sehari-hari
2. Proyeksi : mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu
benda.
3. Menarik Diri : sulit mempercayai orang lain dan dengan stimulus internal
4. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
h. Sumber Koping
Keluarga merupakan salah satu sumber koping yang ditunjukan individu
ketuka mengalami streres. Hal tersebut sesuai dengan videbeck ( 2008 ) yang
menyatakan bahwa keluarga merupakan salah satu sumber pendukung yang
utama dalam penyembuhan klien skizofrenia. Psikosis atau skizofrenia adalah
penyakit menakutkan dan sangat menjengkelkan yang memerlukan
penyesuaian yang baik bagi klien dan keluarga. Proses penyesuaian pasca
psikotik terdiri dari empat fase: (1) disonansi kognitif (psikosis aktif),(2)
pencapaian wawasan ,(3) stabilitas dalam semua aspek kehidupan(ketetapan
kognitif), dan (4) bergerak terhadap prestasi kerja atau tujuan pendidikan
(ordinariness). Proses multifase penyesuaian dapat berlangsung 3 sampai 6
tahun ( Moller,2006, dalam Stuart,2009):
a. Efikasi / kemanjuran pengobatan untuk secara konsisten mengurangi
gejala dan menstabilkan disonansi kognitif setelah episode pertama
memakan waktu 6 sampai 12 bulan.
b. Awal pengenalan diri / insight sebagaio proses mandiri melakukan
pemeriksaan realitas yang dapat diandalkan.pencapaian keterampilan ini
memakan waktu 6 sampai 18 bulan bulan dan tergantung pada
keberhasilan pengobatan dan dukungan yang berkelanjutan.
c. Setelah mencapai pengenalan diri/ insight, proses pencapaian kognitif
meliputi keteguhan melanjutkan hubungan interpersonal normal dan
reengaging dalam kegiatan yang sesuai dengan usia yang berkaitan dengan
sekolah dan bekerja. Fase ini berlangsung 1 sampai 3 tahun.
d. Ordinariness / kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai dengan
kemampuan untuk secara konsisten dan dapat diandalkan dan terlibat
dalam kegiatan yang sesuai dengan usia lengkap dari kehidupan sehari-
hari mencerminkan tujuan prepsychosis fase ini berlangsung selam 2
tahun. Sumber daya keluarga, seperti pemahaman orang tua terhadap
penyakit , keuangan dan keetersediaan energi , dan kemampuan untuk
menyediakan dukungan yang berkelanjutan mempengaruhi jalanya
penyesuaian postpsychotic.
B. Pohon Masalah
Resiko Perilaku Kekerasan
Isolasi Sosial
2. Halusinasi
a. Pendengaran
Melirik mata ke kanan / ke kiri untuk mencari sumber suara
Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang sedang
berbicara/benda mati di dekatnya
Terlibat pembicaraan dengan benda mati atau orang yang tidak nampak
Menggerakan mulut seperti mengomel
b. Penglihatan
Tiba-tiba tampak tergagap, ketakutan karena orang lain, benda mati atau
stimulus yang tak terlihat
Tiba lari ke ruangan lain
c. Pengecapan
Meludahkan makanan atau minuman
Menolak makanan atau minum obat
Tiba-tiba meninggalkan meja makan
d. Penghirup
Mengkerutkan hidung seperti menghirup udara yang tak enak
Menghirup bau tubuh
Menghirup bau udara ketika berjalan kearah orang lain
Berespon terhadap bau dengan panic
e. Peraba
Menampar diri sendiri seakan akan memadamkan api
Melompat lompat di lantai seperti menghinidari sesuaatu yang
menyakitkan
f. Sintetik
Mengverbalisasi terhadap proses tubuh
Menolak menyelesaikan tugas yang mengguanakan bagian tubuh yang
diyakini tidak berfungsi
3. Tanda dan Gejala Secara umum
a) Data subjektif :
Pasien Mengatakan :
a) Mendengar suara-suara atau kegaduhan
b) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
c) Mendengar suara yang menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
d) Melihat bayangan,sinar,bentuk geometris,bentuk kartun, melihat bantu
atau monster
e) Mencium bau-bauan seperti bau darah,urin atau feses.
f) Merasa takut atau senang dengan halusinasinya
b) Data objektif
1. Bicara atau tertawa sendiri
2. Marah-marah tanpa sebab
3. Mengarahkan telinga kearah tertentu
4. Menutup telinga
5. Menunjuk-nunjuk kearah tertentu
6. Ketakuatan pada sesuatu yang tidak jelas
7. Mencium sesuatu seperti membaui bau-bauan tertentu
8. Menutup hidung
9. Sering meludah
10. Muntah
11. Menggaruk-garuk permukaan kulit (Kemenkes, 2012).
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan sensori persepsi : Halusinasi
2. Diagnosis medis : Skizofreniea
SP 3: SP 3:
Evaluasi kegiatan harian Evaluasi kegiatan
menghardik & obat ,. keluarga dalam
Beri pujian. merawat/melatih klien,
Latih cara mengontrol menghardik dan
halusinasi dengan memberikan obat, beri
bercakap-cakap saat pujian.
terjadi halusinasi Jelaskan cara bercakap-
Masukan pada jadwal cakap dan melakukan
kegiatan untukl latihan kegiatan untuk
menghardik, minum obat mengontrol halusinasi
dan bercakap-cakap Latih dan sediaan
waktu bercakap-cakap
dengan klien terutama
pada saat halusinasi
Anjurkan membantu
klien sesuai jadwal dan
memberikan pujian
SP 4: SP 4:
Evaluasi kegiatan harian Evaluasi kegiatan
menghardik , minum keluarga dalam
obat & becakap-cakap , merawat /melatih klien
beri pujian menghardik, pemberian
Latih cara mengontrol obat, dan bercakap-
halusinasi dengan cakap, beri pujian
melakukan kegiatan Jelaskan follow up
harian (mulai 2 kegiatan) RSJ/PKM, tanda
Masukan pada jadwal kambuh rujukan
kegiatan untuk latihan Anjurkan membantu
menghardik, minum klien sesuai jadwal dan
obaat, bercakap-cakap memberikan pujian
dan kegiatan harian
DAFTAR PUSTAKA
Damaiyanti, M. Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Aditama
Direja, A. Herman.,(2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha
Medika
Keliat, B.A., (2011) Model praktik keperawatan professional. Jakarta: EGC
Maramis F. Willy. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University
Press. .
NANDA. (2009). Nursing Diagnoses : Definitions & Classification 2009- 2011. Philadelphia:
NANDA International
Stuart, G.W. & Laraia, M.T. (2005) Principles and practice of pshyciatrich nursing, 8 ed.
Missouri: Mosby, Inc
Townsend, M.C (2009). Psychiatrich mental health nursing. Concepts of care in evidence-
based practice. Ed. Philadelphia: F.A. Davis Company
Trimelia.( 2011). Asuhan Keperawatan Klien Halusinasi. Cetakan 1. Jakarta : Trans Info
Medika.
Videbeck, S.L. (2009). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Yosep, I., (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN
a. Asertif
Prilaku asertif adalah menyampaikan suatu persaan diri dengan pasti dan merupakan
komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang asertif dapat melihat normal
individu lainnya dengantepat sesuai dengan setuasi, pada saat berbicara kontak mata
langsung tapi tidak mengganggu,intonasi suara dalam berbicara tidak
mengancam,postur tegak dan santai, kesan keseluruhan adalah bahwa individu
tersebut kuat tapi tidak mengancam. Permintaan masukan yang positif juga termasuk
perilaku asertif ( Stuart& Laraia, 2005; Stuart, 2009).
b. Pasif
Perilaku pasif dapat diekspresikan secara nonverbal, seseorang yang pasif biasanya
bicara pelan, sering dengan cara kekanak-kanakan dan kontak mata yang sedikit.
Individu tersebut mungkin dalam posisi membungkuk, tangan memegang tubuh
dengan dekat (Stuart, 2009).
c. Frustasi
Frustasi adalah kegagalan individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Frustasi
akan bertambah berat jika keinginan yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi
dalam kehidupan (Keliat & Sinaga, 2006).
d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain, bersaing untuk mendapatkan
apa yang diinginkanya, seorang yang agresif didalam hidupnya selalu mengarah pada
kekerasan fisik dan perbal. Perilaku agresif juga ditunjukkan secara non
perbal,seseorang yangagresif melanggar batas orang lain,bicaranya keras dan
lantang,biasanya kontak mata yang berlebihan dan mengganggu,postur kaku dan
tanpak mengancam (Stuart,2009)
e. Amuk
Amuk atau prilaku kekerasan adalah perasaan marah dan permusuhan yang kuat dan
disertai kehilangan control diri sehingga individu dapat merusak diri,orang lain dan
lingkungan (keliat & sinaga,1991).
Hirarki prilaku pada klien dengan prilaku kekerasan
Tinggi Melukai dalam tingkat serius dan berbahaya
Melukai dalam tingkat tidak berbahaya
mengucapkan kata kata ancaman dengan rencana melukai
Menyentuh orang laindengan cara menakutkan
Mengucapkan kata kata ancaman tanpa melukai
Mendekati orang lain dengan ancaman
Bicara keras dan menuntut
Stressor presipitasi
Sumber koping
Mekanisme koping
Konstruktif destruktif
b. Faktor Psikologis
Menurut stuart dan Laraia (2005) yang termasuk dalam faktor psikologis
diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan pertahanan
psikologi diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan
pertahanan psikologi.
1) Teori psikoanalitik
Suatu pandangan psikologi tentang perilaku agresif menyatakan bahwa
pentingnya mengetahui predisposisi faktor perkembangan atau pengalaman
hidup yang membatasi kemampuan individu untuk memilih mekanisme yang
bukan perilaku kekerasan.
2) Teori pembelajaran
Teori pembelajaran sosial mengemukakan bahwa perilaku agresif dipelajari
melalui proses sosialisasi sebagai hasil dari pembelajaran internal dan
eksternal. Pembelajaran internal terjadi selama individu mendapat penguatan
pribadi ketika melakukan perilaku agresif kemungkinan sebagai kepuasan
dalam mencapai tujuan atau pengalaman merasa penting, mempunyai
kekuatan dan control terhadap orang lain. Pembelajaran eksternal terjadi
selama observasi medel peran seperti peran sebagai orang tua, teman sebaya,
saudara, oleh raga dan tokoh hiburan (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009).
Menurut teori pembelajaran sosial, perilaku imitasi/meniru perilaku agresif
sebagai perilaku yang dapat diterima untuk memecahkan masalah dan sesuai
status sosial.Peran pemodelan merupakan salah satu bentuk pembelajaran
terkuat, model perilaku anak-anak pada fase awal adalah orang tua, bagaimana
orang tua atau orang terdekat mengekspresikan marah menjadi contoh anak
dalam ekspresi marahnya (Townsend, 2009).
d. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi adalah stimuli yang di terima individu sebagai tantangan,
ancaman atau tuntutan. Stressor presipitasi prilaku kekerasan dari faktor biologi
dapat di sebabkan oleh gangguan umpan balik di otak yang mengatur jumlah dan
waktu dalam proses informasi. Stimuli penglihatan dan pendengaran pada
awalnya di saring oleh hipotalamus dan di kirim untuk di proses oleh lobus frontal
dan bila informasi yang di sampaikan terlalu banyak pada suatu atau jika
informasi tersebut salah,lobus frontal akan mengirimkan pesan overload ke
ganglia basal sehingga menyebabkan gangguan pada proses umpan balik dalam
penyampaian informasi yang menghasilkan proses informasi overload (Stuard &
Laraia,2005 ;Stuard,2009).
e. Sumber Koping
Psikosis atau skizofrenia adalah penyakit menakutkan dan sangat menjengkelkan
yang memerlukan penyesuaian baik bagi klien dan keluarga.Proses penyesuaian
paska psikotik terdiri dari empat fase : (1) Disonansi kognitif (psikosis aktif),(2)
pencapaian wawasan, (3) stabilitas dalam semua aspek kehidupan (ketetapan
kognitif) dan (4) bergerak terhadap prestasi kerja atau tujuan pendidikan
(ordinariness).
f. Mekasnisme koping
Pada fase aktif psikosis klien menggunakan beberapa mekanisme pertahanan diri
dalam upaya untuk melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang di
sebabkan oleh penyakit mereka. Regresi adalah berkaitan dengan masalah
informasi pengolahan dan pengeluaran sejumlah besar energi dalam upaya untuk
mengelola kegelisahan ,menyisakan sedikit untuk aktivitas hidup sehari- hari.
Proyeksi adalah upaya untuk menjelaskan persepsi membingungkan dengan
menetapkan reponsibility kepada seseorang atau sesuatu.Penarikan diri ini
berkaitan dengan masalah membangun kepercayaan dan keasyikan dengan
pengalaman internal.
Keluarga sering mengekspresikan penolakan ketika mereka mempelajari
pertama kali diagnosis relatif mereka. Ini sama dengan penolakan yang terjadi
ketika seseorang menerima informasi yang menyebabkan rasa takut dan
kecemasan .hal ini memungkinkan waktu seseorang untuk mengumpulkan sumber
daya internal dan eksternal dan kemudian beradaptasi dengan stressor secara
bertahap. Pada klien penyesuaian postpsychikotik proses aktif menggunakan
mekanisme koping adaptif juga. Ini termasuk kognitif,
emosi,interpersonal,fisiologis,dan spiritual strategi penanggulangan yang dapat
berfungsi sebagai dasar untuk penyusunan intervensi keperawatan (Stuart,2009).
C. POHON MASALAH
1. Pohon masalah
Menurut keliat dkk (2005) pohon masalah perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
Resiko menciderai diri sendiri resiko mencederai orang lain dan lingk
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Risiko perilaku kekerasan
DAFTAR PUSTAKA
Dyah W (2009). Pengaruh assertive training terhadap perilaku Kekerasan pada klien
skizoprenia,tesis.jakarta.FIK UI.tidak dipublikasikan
Keliat,B.A,(2005).Modul Basic Course Community Mental Health Nursing.kejasama FIK UI
dan WHO
Keliat,B.A,&Akemat.(2005).keperawatan jiwa terapi aktivitas kelompok.jakarta :EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH
2. Penyebab
Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan orang
tua ang tidak realistik, kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai tanggung
jawab personal, ketergantungan pda orang lain dan ideal diri yang tidak realistik.
Stressor pencetus munkin ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal, seperti :
trauma fisik maupun psikis, ketegangan peran, transisi peran situasi dengan
bertambah atau berkurangnya anggota keluargamelalui kelahiran atau kematian, serta
transisi peran sehat sakit sebagai transisi dari keadaan sehat dan keadaan sakit.
2. Akibat
Klien yang mengalami gangguan harga diri rendah bisa mengakibatkan gangguan
interaksi sosial : menarik diri, dan memicu munculnya perilaku kekerasan yang
beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
Isolasi social merupakan suatu keadaan dimana individu dan kelompok mengalami
kebutuhan meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk
melakukan kontak. (Copernitto LJm 1998).
Data Obyektif :
a. Wajah tegang dan merah
b. Mondar-mandir
c. Mata melotot, rahang menutup
d. Tangan mengepal
e. Keluar keringat banyak
f. Mata merah
B. Pohon Masalah
Isolasi sosial : menarik diri Perilaku kekerasan
Berduka disfungsional
D. Diagnosa Keperawatan
1. Harga diri rendah
2. Isolasi sosial : menarik diri
3. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian
tidak berhubungan dengan orang lain.
Tindakan :
a. Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi
( tidur, marah, menyibukkan diri dll)
b. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan
orang lain
1) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan prang lain
2) Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain
3) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan
tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
c. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang
lain
a. beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang
lain
b. diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang
lain
c. beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan
tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
4. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial
Tindakan:
a. Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
b. Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain melalui tahap :
▪ K–P
▪ K – P – P lain
▪ K – P – P lain – K lain
▪ K – Kel/Klp/Masy
c. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
d. Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
e. Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu
f. Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
g. Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan
5. Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain
Tindakan:
a. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan
orang lain
b. Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan orang
lain.
c. Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan
manfaat berhubungan dengan oranglain
6. Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga
Tindakan:
a. Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
1) Salam, perkenalan diri
2) Jelaskan tujuan
3) Buat kontrak
4) Eksplorasi perasaan klien
b. Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
1) Perilaku menarik diri
2) Penyebab perilaku menarik diri
3) Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi
4) Cara keluarga menghadapi klien menarik diri
c. Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada klien untuk
berkomunikasi dengan orang lain.
d. Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien minimal
satu kali seminggu
e. Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh keluarga
DAFTAR PUSTAKA
Boyd MA, Hihart MA. Psychiatric nursing : contemporary practice. Philadelphia : Lipincott-
Raven Publisher. 1998
Keliat BA. Proses kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC. 1999
Stuart GW, Sundeen SJ. Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC. 1998
Tim Direktorat Keswa. Standar asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1. Bandung :
RSJP Bandung. 2000
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO PERILAKU BUNUH DIRI (RBD)
5. Skala
a. Skala Intensitas Bunuh Diri (SIRS)
1. Skore 0 .
Tidak ada ide bunuh diri yang lalu dn sekarang.
2. Skor 1 :
Adaide bunuh diri , tidak ada percobaan bunuh diri, tidak mengancam
bunuh diri
3. Skor 2 :
Memikirkan bunuh diri dengan aktiv , tidak ada percobaan bunh diri .
4. Skor 3
Misal tinggalkan saya ataw saya bunuh diri .
5. Skor 4
Aktif mencoba bunuh diri .
1. Rentang Respon
CONTINEW OF SELF-PROTECTIVE RESPONSEN
1. Peningkatan diri
Seorang dapat meningkatkan proteksi ataw pertahanan diri secara wajar terhadap
situasional yng membutuhkan pertahanan diri .ex ; seorang mempertahankan diri dari
pendapatannya yang berbeda mengenai loyalitas terhadap pimpinan di tempat kerjanya.
2. Pengambilan resiko yang meningkatkan pertumbuhan
Seorang memiliki kecenderungan ataw beresiko mengalami prilaku destruktif atau
menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya dapt mempertahankan diri ,
seperti seseorang patah sengangat bekerja ketika dirinya di anggap didak loysl teradap
pimpinan padahal ia sudah melakukan pekerjaan secara optimal .
3. Destruktif diri secara tidak langsung .
Seseorang telah mengambil sikap yang tidak tepat ( maladaptif ) terhadap situasi yang
membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri . misal karna pandangan pimpinan
terhadap dirinya yang tidak loyal , maka seorang karyawan menjadi tiak masuk kantor
ataw bekerja senaknya dan tidk optimal .
4. Pencederaan diri
Seorang melakukan penederaan diri atw percobaan bunuh diri akibatnya hilangnya
harapan terhadap situasi yang ada .
5. Bunuh diri
Seorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan nyawanya hilang
2. MITOS dan FAKTA Resiko bunuh diri .
Mitos
a. Orang orang yang bicara bunuh diri mereka tidak bunuh diri , bunuh diri terjadi tanpa
peringatan .
b. Bunuh diri tidak dapan ti hentikan dia sepenuhnya berniat berniat mati .
c. Semua orang bunuh diri adalah gangguan jiwa , dan bunuh diri adalh tindakan orang
psikotik .
d. Ancaman bunuh diri merupakan upaya untuk mengambil perhatian dan tidak perlu di
ambil serius .
e. Orang-orang biasanya melakukan bunuh diri dengan overdosis obat .
f. Jika orang telah melakukan percobaan bunuhdiri dia tidak akan melakukannya lagi.
Fakta
a. Delapan dari sepuluh orang yang bunuh diri mereka telah memberikan petunjuk yang
pasti dari peringatan tentang niat buruk mereka .
b. Orsng ysng ingin bunuh diri hanya ingin bunuh diri dalam waktu yang terbatas .
c. Bunuh diri tidak di wariskan .
d. Orng ynag ingin bunuh diri mereka tidak selalu psikotik, mereka hanya tidak
Mendapatkan solusi dari masalahnya .
e. Luka tembak adalah penyebab utama dari kematian korban bunuh diri .
f. Antara 50 dan 80 dari semua orang yang bunuh diri memiliki sejarah sebelumnya .
3. Penilaian stresor
Upaya bunuh diritidak mungkin di prediksi di setiap tingkat yang bermakna . oleh
krna itu perawat harus mengkaji faktor resiko bunuh diri yanng di ketahui pada setiap
indifidu dan menen tukan makana setiap elemen ini terhadap potensi bunuh diri
( stuard , 2006 ) .
4. Mekanisme koping
Seorang pasien dapat mengunakan berbagai mekanisme kopi yang untung mengatasi
prilaku yang merusak diri sendiri . ermasuk penyangkalan , rasionalisasi , regresi
dan pemikiran magis (stuard, 2013 )
5. Sumber koping
a) seorang dapat mengatasi resiko bunuh diri dengan menggunakan sumber
koping internal dan external yang tersedia ( stuard , 2011 ) .
sumberkoping terdiri dari kemempun personal dan dukungan sosial , asset
mtrial dan keyakinan ( stuard , 2011, videbeck 2011 ) .
b) Kemampuan scara fisik teridentifikasi dari kondisi fisik yang sehat . meliputi
kemampuan kognitif afektif dan , perilaku sosisal . seluruh emampuan ini di
gunakan dalam rangka mengontrol kondisi resiko bunuh diri yang di rasakan oleh
klien ( stuard , 2011)
Sumber dukungan sosial pada klien dengan resiko bunuh diri meliputi dukungan
dlam membantu klien mengontrol perasaan sedih yang berkepanjangan .
Dukungan yang di berikan dapat berupa dukungan fisik dan psikologis . dukungan
fisik diporoleh dari keterlibatan aktiv keluarga , dalam mengontrol perasaan klen .
c) Aset material yang dapat diperleh kien dengan resiko bunuh diri meliputi
dukungan finansial yang membantu perawatan klien di rumah sakit . tidk
terpenuhi aset matrial seperti penghsilan kurang sulit memperoleh layanan
kesehatan , tidak memiliki pekerjaan akan berpoensi menimbulkan resiko bunuh
diri , akibat tidak optimalnay sumberkoping yang di miliki oleh klien .
d) Keyakinan positif pada klien dengan resiko bunuh diri diperoleh dari keyakinan
klien terhadap kondisi kesehatan dan kemempuan diri dalam mengontrol perasan
sedih berkepanjangan yang di rasakan . Adanya keyakinan yg positif akan
berpotensi meningkatkan motivasi klien untuk menggunakan mekanisme koping
yang adaptif . Sebaliknya keyakinan yang negatif akan meningkatkan resiko
bunuh diri yang di alami oleh klien dan jelas akan menimbulkan prilaku
maladaptifpada klien . pada klien dengan resiko bunuhn diri umumnya tidak
memiliki kemampuan untuk membuat keputusan secara rsional . orang dengan
resiko bunuh diri cenderung menghindar .( stuard , 2011, videbeck ,2011 , sadoc
& sadock , 2010 ).
D. Pohon Masalah
RESIKO BUNUH DIRI
KETIDAK BERDAYAAN
KEPUTUS ASAAN
A. Definisi
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-menerus, tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006)
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah.
Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya
klien (Aziz R, 2003).
B. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
b. Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
c. Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
d. Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.
2. Faktor Presipitasi
a. Proses pengolahan informasi yang berlebihan
b. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
c. Adanya gejala pemicu
F. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang menakutkan
dengan respon neurobiologist yang maladaptive meliputi: regresi berhubungan dengan
masalah proses informasi dengan upaya untuk mengatasi ansietas, proyeksi sebagai upaya
untuk menjelaskan kerancuan persepsi, menarik diri, pada keluarga: mengingkari.
G. Fase-fase
Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
1. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara fisik
maupun psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang dengan
status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan
menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk
melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi
terpenuhi tetapi kesenjangan antara Reality dengan selft ideal sangat tinggi. Misalnya
ia seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang dianggap sangat
cerdas, sangat berpengalaman dn diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi
karena sangat pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi
juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang ( life span history ).
2. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self
ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan yang
tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi
komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan yang luas,
seseorang tetap memasang self ideal yang melebihi lingkungan tersebut. Padahal self
reality-nya sangat jauh. Dari aspek pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh,
support system semuanya sangat rendah.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan kenyataan.
Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat berat, karena
kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima
lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum
terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan
koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak
dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan
klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan
tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai
terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma ( Super Ego ) yang
ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan
sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya
klien lebih sering menyendiri dan menghindar interaksi sosial ( Isolasi sosial).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan
yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan
dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi ( rantai
yang hilang ). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat
menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang
keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya
bahwa apa-apa yang dilakukan menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi sosial.
H. Jenis Waham
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenisnya meliputi :
a) Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan
khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya
ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau, “Saya punya tambang emas.”
b) Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin menghancurkan hidup
saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
c) Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama secara
berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Kalau
saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih setiap hari.”
d) Waham somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau
terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya pada pemeriksaan laboratorium tidak
ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia sakit kanker).
e) Waham nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di
dunia/meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya,
”Ini kan alam kubur ya, sewmua yang ada disini adalah roh-roh”.
f) Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang disisipkan ke
dalam pikirannya.
g) Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang tersebut
h) Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan di
luar dirinya.
I. Rentang Respon
3. Pohon Masalah
Resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan
4. Diagnosa Keperawatan
Perubahan Proses Pikir: Waham
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. 2006. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa. Jakarta : FIK,
Universitas Indonesia
Aziz R, dkk. 2003.Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino
Gondoutomo.
Tim Direktorat Keswa. 2000.Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Edisi 1. Bandung, RSJP
Bandung.
Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika
Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .