Anda di halaman 1dari 73

LAPORAN PENDAHULUAN 7 DIAGNOSA

DISUSUN OLEH:
Desna Liani (205240026)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MITRA INDONESIA
2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL

A. Kasus/ Masalah Utama


1. Pengertian
Isolasi sosial adalah suatu pengalaman menyendiri dari sseorang dan perasaan
segan terhadap orang lain sebagai suatu yang negatif atau keadaan yang mengancam
(SAK, FIK-UI, 2014).
Isolasi sosial adalah kesendirian yang dialami oleh individu dan dianggap timbul
karena orang lain sebagai suatu pernyataan negatif atau mengancam (Herdman, 2018).
Isolasi sosial adalah ketidakmampuan untuk membina hubungan yang erat,
hangat, terbuka dan interindependen dengan orang lain (SDKI, 2017 ).

2. Rentang Respon Sosial


Dalam membina hubungan sosial, individu berada dalam rentang respon yang adaptif
sampai dengan maladaptif. Respon adaptif merupakan respon yang dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan kebudayaan yang secara umum berlaku. Sedangkan respon
maladaptif merupakan respon yang dilakukan individu untuk menyelesaikan masalah
yang kurang dapat diterima oleh norma sosial dalam budaya setempat.

Rentang Respon Sosial

Respon adaptif Respon maladaptif

Menyendiri Kesendirian Manipulasi


Otonomi Menarik diri Impulsif
bekerjasama Ketergantungan Narcisissm
Saling
tergantung
keadaan

(Stuart, 2016).
a. Respons Adaptif
1) Solitude (menyendiri)
Respon yang dibutuhkan untuk menentukan apa yan telah dilakukan dan
merupakan suatu cara mengawasi diri (Dalami, 2009). Respon yang dibutuhkan
seseorang untuk merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya
dan juga suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah-langkah
selanjutnya (Muhith, 2015). Solitude umumnya dilakukan setelah melakukan
kegiatan (Damaiyanti, 2012).
2) Otonomi
kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide,pikiran,
perasaan dalam berhubungan sosial (Muhith, 2015).
3) Mutualisme atau bekerja sama
suatu kondisi dalam hubungan interpersonal di mana individu mampu untuk
saling memberi dan menerima(Muhith, 2015). Kemampuan individu yang
saling membutuhkan satu sama lain (Yosep, 2013).
4) Interdependen atau saling ketergantungan
suatu hubungan saling tergantung antar individu dengan orang lain dalam
rangka membina hubungan interpersonal(Muhith, 2015).

b. Respons maladaptif
1) Merasa sendiri ( kesepian )
Merupakan kondisi dimana individu merasa sendiri dan terasingkan dari
lingkungannya (Yosep, 2013). Merasa tidak tahan atau yang lain menganggap
bahwa dirinya sendirian dalam menghadapi masalah, cenderung pemalu, sering
merasa tidak percaya diri dan minder (Muhith, 2015).
2) Menarik diri
Individu mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan
orang lain(Muhith, 2015). Gangguan yang terjadi apabila seseorang
memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang lain untuk mencari
ketenangan sementara waktu (Dalami, 2009).
3) Tergantungan
Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga tergantung pada
orang lain (Yosep, 2013). Gagal mengembangkan kemampuan yang dimiliki
(Dalami, 2009). Gagal mengembangkan kemampuannya untuk berfungsi secara
sukses, merasa kesulitan yang beresiko menjadi gangguan depresi dan
gangguan cemas sehingga berkecenderungan berpikiran untuk bunuh diri
(Muhith, 2015).
4) Manipulasi
Perilaku dimana orang memperlakukan orang lain sebagai objek dan bentuk
hubungan yang berpusat di sekitar isu-isu kontrol dan perilaku mereka sulit
dipahami(Stuart, 2016). Berorientasi pada diri sendiri atau pada tujuan, bukan
berorientasi pada orang lain (Dalami, 2009).
5) Impulsif
Suatu keadaan marah ketika orang lain tidak mendukung ketidak mampuan
untuk merencanakan sesuatu, ketidak mampuan belajar dari pengalaman dan
tidak dapat diandalkan (Stuart, 2016). Mempunyai penilaian yang buruk dan
cenderung memaksakan kehendak (Dalami, 2009).
6) Narcisme
Orang dengan gangguan kepribadian narsistik memiliki harga diri yang rapuh,
mendorong mereka untuk mencari pujian dan kekaguman secara terus-menerus,
penghargaan, sikap yang egosentrik, iri hati dan marah ketika orang lain tidak
mendukungnya (Stuart, 2016).

B. Proses Terjadinya Masalah


1. Faktor predisposisi
a. Faktor biologis
Hubungan genetik gangguan kepribadian antisosial, biologis perilaku impulsif
dan kekerasan yang dapat disebabkan oleh disfungsi otak, ambang rendah
ransangan pada sistem limbik, rendahnya tingkat serotonin, atau zat kimia
beracun. Gangguan kepribadian antisosial khususnya berhubungan dengan
berbagai gangguan penggunaan zat, dan gabungan yang akan menghasilkan
kerusakan parah (Stuart, 2016).
b. Faktor perkembangan
Riwayat masa kecil orang dengan antisosial sering mengungkapkan pelecehan,
pengabaian, dan tidak adanya keterikatan emosional sejak awal, kehilangan
kepedulian orang tua dan individu menjadi tidak mampu menjalin ikatan
dengan orang lain, sehingganya orang dengan isolasi sosial tidak
mengembangkan rasa percaya atau kapasitas bersalah atau penyesalan. Masa
anak-anak yang mendahului diagnosis gangguan kepribadian pada masa
remaja, 4 kondisi yang ditemukan pada masa anak-anak: melakukan masalah,
gejala depresi, kecemasan atau ketakutan dan ketidakdewasaan (Stuart, 2016).
Perkembangan sepanjang siklus hidup :
a) Masa bayi (dari lahir hingga usia 3 bulan)
Bayi tidak merasakan pemisahan fisik antara diri dan ibu. Meskipun
perbedaan fisik dimulai sekitar 3 bulan, pembedaan psikologis tidak
dimulai sampai 18 bulan, priode antara 3 dan 18 bulan adalah tahap
simbiosis perkembangan.
b) Usia prasekolah (priode antara 18 bulan sampai 3 tahun)
Tahap perkembangan pemisahan-individualisasi. Pada tahap ini anak-anak
berusaha jauh dari ibu untuk mengeksplorasi lingkungan dan
mengembangkan rasa keteguhan objek. Tahap ini berarti anak mengetahui
bahwa seseorang atau objek yang berharga terus ada bahkan ketika tidak
dapat dilihat. Jika respon positif dan memperkuat, maka akan membantu
membangun rasa keutuhan diri dan kapasitas untuk pertumbuhan
interpersonal.
c) Usia anak (6-10 tahun)
Perkembangan moral dan perasaan empati terjadi pada masa ini. Selama
masa ini lingkungan yang mendukung akan mendorong pertumbuhan rasa
perkembangan positif dan konsep diri yang adaptif.
d) Pra remaja
Pada usia ini biasanya anak terlibat hubungan intim dengan seorang teman
dengan jenis kelamin yang sama sebagai seorang sahabat. Hubungan ini
melibatkan berbagi. Kesempatan lain memberi kesempatan untuk
memperjelas nilai-nilai dan mengenali perbedaan seseorang.
e) Masa remaja
Sebagai remaja yang berkembang, ketergantungan pada teman dekat dari
jenis kelamin yang sama sering disertai dengan ketergantungan hubungan
heteroseksual. Orang tua dapat membantu remaja tumbuh dengan
menyediakan batas yang konsisten. Langkah ini menuju kematangan dalam
saling ketergantungan didapatkan saat seseorang belajar untuk
menyeimbangkan tuntutan orang tua dan tekanan kelompok sebaya.
f) Masa dewasa muda
Masa remaja berakhir ketika seseorang mandiri dan memelihara hubungan
saling tergantung dengan orang tua dan teman sebaya, keputusan dilakukan
secara mandiri, sementara saran dan pendapat orang lain dapat di ambil dan
diperhitungkan. Sesorang dewaa yang matang menunjukan kesadaran diri
dengan menyeimbangkan perilaku dependen dan indepanden. Hubungan
interpersonal ditandai dengan kerjasama
g) Masa dewasa tengah
Menjadi orang tua dan persahabatan dewasa menguji kemampuan
seseorang untuk mendorong kemandirian diri dari orang lain. Seorang
dewasa yang matang harus mandiri dan mencari dukungan baru.
h) Akhir masa dewasa
Perubahan terus terjadi selama akhir dewasa, seperti kehilangan, perubahan
fisik, penuaan, kematian orang tua, kehilangan pekerjaan melalui pensiun,
kematian teman-teman dan pasangan. Kebutuhan hubungan masih harus
dipuaskan, orang dewasa merasa berduka atas kehilangan tersebut dan
mengakui bahwa dukungan dari orang lain dapat membantu mengatasi
kesedihan.
(Stuart, 2016).

c. Faktor sosial
Faktor sosial mempengaruhi kemampuan individu membangun dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain. Isolasi sosial akan terjadi pada
orang yang cacat dan mengalami penyakit kronis. Seseorang yang mengalami
penyakit kronis sering di jauhi orang lain, isolasi yang disengaja ini mungkin
mengakibatkan berbagai respons maladaptif saat individu berusaha
mengatasinya (Stuart, 2016).

2. Faktor Prespitasi
a. Stressor sosial budaya
Sosial budaya merupakan ancaman terhadap sistem diri. Ancaman terhadap
sistem diri merupakan ancaman terhadap identitas diri, harga diri, dan fungsi
integritas sosial. Ancaman terhadap sistem diri berasal dari dua sumber yaitu
ekternal dan internal, sumber ekternal dapat disebabkan karena kehilangan,
perceraian, perubahan status pekerjaan, dilema etik, ataupun tekanan sosial
budaya. Sumber internal dikarenakan kesulitan membangun hubungan
interpersonal, ketidak mampuan menajalankan peran (Satrio, dkk, 2015).
b. Stressor psikologis
Tingkat ansietas yang tinggi mengakibatkan gangguan kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain. Ansietas yang berkepanjangan atau terus-
menerus dengan kemampuan koping yang terbatas dapat menyebapkan masalah
hubungan yang berat (Stuart, 2016). Faktor psikologis disebabkan juga karena
adanya faktor presipitasi yang berasal dari luar maupun dalam diri sendiri.

3. Penilaian Stressor
Penilaian terhadap sterssor berada dalam suatu rentang dari adaptif sampai ke
maladaptif. Bila penilaian stressor klien maladaptif maka penilaian tersebut akan
menjadi dasar penggunaan terapi keperawatan dalam melatih disfungsi
keterampilan yang dialami klien (Satrio, dkk, 2015).
a. Respon kognitif
Kemampuan klien melakukan penilaian kognitif yang dipengaruhi oleh
persepsi klien, sikap terbuka individu terhadap adanya perbubahan,
kemampuan untuk melakukan kontrol diri terhadap pengaruh lingkungan dan
kemampuan menilai suatu masalah. Pada klien isolasi sosial kemampuan
kognitif klien sangat terbatas klien lebih berfokus pada masalah bukan
bagaimana mencari alternative pemecahan masalah yang dihadapi (Stuart,
dalam Satrio, dkk, 2015).
b. Respon afektif
Respon afektif terkait dengan ekspresi emosi, mood, dan sikap. Respon
afektifpada klien isolasi sosial adalah adanya perasaan putus asa,sedih,
kecewa, merasa tidak berhargadan merasa tidakdiperhatikan (Stuart, dalam
Satrio, dkk. 2015).
c. Respon fisiologis
Respon fisiologis merupakan respon neurobiologis yang bertujuan
untukmenyiapkan klien mengatasi bahaya. Perubahan yang dialami oleh klien
akan mempengaruhi neurobiologis untuk mencegahstimulus yang mengancam
(Stuart, 2009 dalamSatrio, dkk, 2015).
d. Respon perilaku
Hasil dari respon emosional dan fisiologis. Respon perilaku isolasi sosial
teridentifikasi tiga pelaku yang maladaptif yaitu sering melamun, tidak mau
bergaul dengan klien lain atau tidak mau mengemukakan pendapat, mudah
menyerah dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan atau dalam melakukan
tindakan (Satrio, dkk, 2015)
e. Respon sosial
Merupakan hasil dari perpaduan dari respon kognitif, afektif, fisiologis dan
perilaku yang akan mempengaruhi hubungan atau interaksi dengan orang lain.
Respon ini memperlihatkan bahwa klien dengan isolasi sosial lebih banyak
memberikan respon menghindar terhadap stressor yang dialaminya (Satrio,
2015).

4. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang biasa digunakan adalah pertahanan koping dalam jangka
panjang serta penggunaan mekanisme pertahanan ego (Stuart, 2009 dalam Satrio,
dkk, 2015), mengatakan perthanan jangka pendek yang biasa dilakukan klien
isolasi sosial adalah lari sementara dari krisis, misalnya dengan bekerja keras,
nonton telvisi secara terus menerus, melakukan kegiatan untuk mengganti
identitas sementara, misalnya ikut kelompok sosial, keagamaan dan politik,
kegiatan yang memberikan dukungan sementara, seperti mengikuti suatu
kompetisi atau kontes popularitas, kegiatan mencoba menghiolangkan anti
identitas sementara, seperti penyalahgunaan obat-obatan. Mekanisme pertahan
ego yang sering digunakan adalah proyeksi, merendahkan orang lain, menghindar
dari interaksi sosial dan reaksi formasi (Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).

5. Sumber koping
Sumber koping merupakan pilihan atau strategi bantuan untuk memutuskan
mengenai apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu masalah. Dalam
menghadapi stressor klien dapat menggunakan koping yang dimilikinya baik
internal ataupun eksternal (Satrio, dkk, 2015).
a. Kemampuan Personal
Pada klien dengan isolasi sosial sosial kemampuan personal yang harus dimiliki
meliputi kemampuan secara fisik dan mental. Kemampuan secara fisik
teridentifikasi dari kondisi fisik yang sehat. Kemampuan mental meliputi
kemampuan kognitif, afektif, perilaku sosial. Kemampuan kognitif meliputi
kemampuan yang sudah atau pun yang belum dimiliki klien didalam
mengidentifikasi masalah, menilai dan menyelesaikan masalah, sedangkan
kemempuan afektif meliputi kemampuan untuk meningkatkan konsep diri klien
dan kemampuan perilaku terkait dengan kemampuan melakukan tindakan yang
adekuat dalam menyelesaikan stressor yang dialami (Satrio, dkk, 2015).
b. Dukungan Sosial
Dukungan sosial akan membantu klien untuk meningkatkan pemahaman terhadap
stressor dalam mencapai keterampilan koping yang efektif. Pendapat lain yang
mendukung pernyataan diatas mengenai pentingnya dukungan sosial didalam
proses penyembuhan klien (Sarafino, 2002 dalam Satrio, dkk. 2015).
c. Aset material
Aset material yang dapat diperoleh meliputi dukungan financial, sistem
pembiayaan layanan kesehatan (Satrio, dkk, 2015).
d. Keyakinan positif
Keyakinan positif adalah keyakinan diri yang menimbulkan motivasi dalam
menyelesaikan segala stressor yang dihadapi (Satrio, dkk. 2015).

6. Tanda dan gejala


Kesendirian yang disebabkan oleh orang lain, ingin sendirian, kondisi difabel,
perasaan beda dari orang lain, afek datar, riwayat ditolak, permusuhan, penyakit,
menunjukan permusuhan, ketidak mampuan untuk memenuhi harapan orang lain,
merasa tidak aman di tempat umum, tindakan tidak berarti, tidak ada kontak mata,
tidak mempunyai tujuan, tindakan berulang, afek sedih, menarik diri (Herdman,
2018).
a. Gejala subjektif
1) Gejala dan tanda mayor: Merasa ingin sendirian, merasa tidak aman di tempat
umum
2) Gejala dan tanda minor: Merasa berbeda dengan orang lain, merasa asyik
dengan pikiran sendiri, merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas
b. Gejala objektif
1) Gejala dan tanda mayor: Menarik diri, tidak berminat/ menolak berinteraksi
dengan orang lain atau lingkungan.
2) Gejala dan tanda minor: Afek datar, afek sedih, riwayat ditolak, menunjukan
permusuhan, tidak mampu memenuhi harapan orang lain, kondisi difabel,
tindakan tidak berarti, tidak ada kontak mata, perkembangan terhambat, tidak
bergairah/ lesu.
(SDKI, 2017).

C. Pohon Masalah
Pohon masalah

Resiko gangguan persepsi sensori: halusinasi

ISOLASI SOSIAL

Gangguan konsep diri : harga diri rendah


(Satrio, dkk. 2015)

D. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
2. Isolasi sosial
3. Gangguan persepsi sensori: Halusinasi.
(Damaiyanti, 2012).

E. Rencana asuhan keperawatan


Diagnosa
No Tujuan Intervensi
keperawatan
1. Isolasi sosial 1. Membina hubungan saling Pertemuan 1
percaya 1. Identifikasi penyebab
2. Dapat mengidentifikasi sosial: siapa yang serumah,
penyebab isolasi sosial: siapa yang dekat dan apa
siapa yang serumah, siapa sebabnya
yang dekat dan apa 2. Jelaskan keuntungan punya
sebabnya teman dan bercakap-cakap
3. Dapat memberitahukan 3. Jelaskan kerugian tidak
kepada klien keuntungan punya teman dan tidak
punya teman dan bercakap-cakap
bercakap-cakap 4. Latih cara berkenalan
4. Dapat memberi tahukan dengan pasien, perawat, dan
kepada klien kerugian tamu
tidak punya teman dan 5. Masukan pada jadwal
bercakap-cakap kegiatan untuk latihan
5. Klien dapat berkenalan berkenalan.
dengan pasien, perawat
dan tamu
1. Klien dapat berbicara saat Pertemuan 2
melakukan kegiatan 1. Evaluasi kegiatan dan
harian berkenalan dengan beberapa
2. Klien dapat berkenalan orang. Beri pujian
dengan 2-3 pasien, 2. Latih cara berbicara saat
perawat, dan tamu melakukan kegiatan harian
(latih 2 kegiatan)
3. Masukan pada jadwal
kegiatan untuk latihan
berkenalan dengan 2-3
orang pasien, perawat dan
tamu, berbicara saat
melakukan kegiatan harian.
1. Klien dapat berbicara saat Pertemuan 3
melakukan kegiatan 1. Evaluasi kegiatan, latihan
harian berkenalan (beberapa
2. Klien dapat berkenalan orang) dan berbicara saat
dengan 4-5 orang, melakukan dua kegiatan
berbicara saat melakukan harian. Berikan pujian
2 kegiatan harian 2. Latih cara berbicara saat
melakukan kegiatan harian
(2 kegiatan baru)
3. Masukan dalam jadwal
kegiatan harian untuk
latihan berkenalan, bicara
saat ,melakukan empat
kegiatan harian. Berikan
pujian.
1. Klien dapat berbicara Pertemuan 4
sosial: meminta sesuatu, 1. Evaluasi kegiatan latihan
menjawab pertanyaan berkenalan, bicara saat
2. Klien dapat berkenalan melakukan empat kegiatan
dengan >5 orang, orang harian. Berikan pujian
baru, berbicara saat 2. Latih cara berbicara sosial:
melakukan kegiatan meminta sesuatu, menjawab
harian dan sosialisasi pertanyaaan
3. Masukan pada jadwal
kegiatan untuk latihan
berkenalan >5 orang, orang
baru, berbicara saat
melakukan kegiatan harian
dan sosialisasi
1. Klien dapat mandiri dalam Pertemuan 5-12
berkenalan, berbicara saat 1. Evaluasi kegiatan latihan
melakukan kegiatan harian berkenalan, berbicara saat
dan sosialisasi melakukan kegiatan harian
dan sosialisai . berikan
pujian.
2. Latih kegiatan harian
3. Nilai kemampuan yang telah
mandiri
4. Nilai apakah isolasi sosial
teratasi

(Satrio, dkk, 2015).


DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, M. (2012): Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Andika


Dalami E, dkk. (2014): Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa.
Herdman.T.H,.(2018): nanda-i diagnosis keperawatan definisi dan klasifikasi 2018-
2020.jakarta:EGC
Hidayat, A.A,. (2014): Metode penelitian keperawatan dan teknik analisis data. Jakarta:
Salemba Medika
Keliat, B.A. dan Akemat. (2015): Model praktik keperawatan profesional jiwa. Jakarta: EGC
Muhtith, A. (2015): Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: ANDI
Satrio,K.L. (2015): Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandar Lampung: LP2M Institusi Agama
Islam
Stuart, G.W. (2016): Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 4. Jakarta: EGC
Tim pokja SDKI.,DPP.,PPNI.(2017): standar diagnosis keperawatan Indonesia: jakarta
selatan
Townsend. (2013) : essentials of psychiatric mental health nursing. Philadelphia: davis
company
Yosep, I. (2010): Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). PT Refika Aditama. Bandung
LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT PERAWATAN DIRI (DPD)

A. Kasus/ Masalah Utama


1. Pengertian
Defisit perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhan guna mempertahankan hidupnya, kesehatannya dan
kesejahteraannya sesuai dengan kondisi kesehatannya. Klien di nyatakan
terganggu perawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan dirinya
(Damayanti & Iskandar, 2012).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktifitas perawatan diri untuk diri sendiri, mandi,
berpakaian dan berhias untuk diri sendiri, aktivitas makan sendiri, dan aktifitas
eliminasi sendiri (Herdman, 2012)
Defisit perawatan diri adalah kurangnya perawatan diri pada klien dengan
gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga
kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang
perawatan diri terlihat dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri
antaranya mandi, makan minum secara mandiri, berhias secara mandiri,
toileting (BAK/BAB) (Damayanti & Iskandar, 2012).

2. Jenis-jenis Defisit Perawatan Diri


a. Defisit perawatan diri: Mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan mandi atau
beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
b. Defisit perawatan diri: Berpakain
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktiitas
berpakain dan berias untuk diri sendiri.
c. Defisit perawatan diri: Makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
sendiri
d. Defisit perawatan diri: Eliminasi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri (Damayanti & Iskandar, 2012)
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Faktor predisposisi
Menurut Stuart (2009) faktor predisposisinya yaitu:
a. Faktor biologi
Secara biologi riset neuropatologi memfokuskan pada tiga area otak yang di
percaya dapat melibatkan defisit perawatan diri yatu sistem limbik, lobus
frontalis dan hypothalamus.
1) Sistem limbik
Sistem limbik merupakan cincin korteks yang berlokasi di
permukaan medial masing-masing hemisfer dan mengelilingi pusat kutup
serebum. Fungsi nya adalah mengatur persyarafan otonon
dan emosi
2) Lobus frontal
Berperan penting menjadi media yang sangat berarti dalam
berprilaku dan berpikir rasional, yang saling berhubungan dengan
sistem limbik.
3) Hypothalamus
Hypothalamus adalah bagian dari ensefalon yaitu bagian dalam dari
serebum yang menghubungkan otak tenggah denganhemisfer
serebum. Fungsi utama adalah tingkah laku terhadap emosi dan juga
mengatur mood dan motivasi.
b. Psikologis
Meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman
masa lalu, koping dan ketrampilan komunikasi secara verbal.
c. Faktor sosial budaya
Citra tubuh, merupakan konsep subyektif seseorang tentang
penampilan fisiknya. Citra tubuh mempengaruhi cara mempertahankan
perawatan diri. Menurut (Stuart, 2009) citra tubuh adalah kumpulan sikap
individu yang disadari dan tidak di sadari terhadap tubuhnya, termasuk
persepsi dan perasaan masa lalu dan sekarang tentang ukuran, fungsi,
penampilan dan potensi.
2. Faktor Presipitasi
Stuart (2009) mendefinisikan stessor presipitasi sebagai sutau stimulus
yang di persepsikan oleh individu apakah dipersepsikan sebagai suatu
kesempatan, tantangan, ancaman atau tuntutan. Stressor presipitasi bisa
berupa stimulus internal maupun eksternal yang mengancam individu.
Komponen stressor presipitasi terdiri atas sifat, asal, waktu dan jumlah
stressor.

3. Penilaian stressor
Pada mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa
tidak aman dalam berhubungan dengan orang lain. Biasanya klien berasal
dari lingkungan yang penuh permasalahan, ketegangan, kecemasan
dimana tidak mungkin mengembangkan kehangatan emosional dalam
hubungan yang positif dengan orang lain yang menimbulkan rasa aman.

4. Mekanisme koping
Mekanisme koping di bagi menjadi 2 yaitu:
a. Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar
dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah klien bisa memenuhi kebutuhan
perawatan diri secara mandiri.
b. Mekanisme koping maladaptif
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.
Kategori tidak mau merawat diri.

5. Sumber koping
Menurut (Herdman, 2012), kemampuan individu yang harus dimiliki oleh klien
defisit perawatan diri adalah kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan
diri dalam hal pemenuhan kebutuhan mandi, berhias, makan dan minum, serta
toileting.
C. Pohon Masalah
Gangguan pemeliharaan kesehatan

Defisit Perawatan Diri

Isolasi sosial

(Damayanti & Iskandar, 2012).

2. Daftar Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji


Defisit perawatan diri bukan merupakan bagian dari komponen pohon
masalah (cause, core problem, effect) tetapi sebagai masalah pendukung.
a. Effect
b. Core problem
c. Cause
d. Defisit perawatan diri
e. Menurunnya motivasi perawatan diri
(Damayanti & Iskandar, 2012)

a. Defisit perawatan diri, mandi


1) Ketidakmampuan untuk mengakses kamar mandi
2) Ketidakmampuan mengeringkan tubuh
3) Ketidakmampuan mengambil perlengkapan mandi
b. Defisit perawatan diri, berpakain
1) Ketidakmampuan mengancing pakaian
2) Ketidakmampuan mendapatkan pakaian
3) Ketidakmampuan mengenakan atribut pakain
4) Ketidakmampuan mengenakan sepatu
5) Ketidakmampuan mengenakan kaos kaki
c. Defisit perawatan diri, makan
1) Ketidakmampuan mengambil makanan dan memasukan ke mulut
2) Ketidakmampuan mengunyah makanan
3) Ketidakmampuan menghabiskan makanan
d. Defisit perawatan diri, eliminasi
1) Ketidakmampuan melakukan hygiene eliminasi yang tepat
2) Ketidakmampuan menyiram toilet
3) Ketidakmampuan naik ke toilet
4) Ketidakmampuan berdiri di toilet
5) Ketidakmampuan untuk duduk di toilet
(Damayanti & Iskandar, 2012).

Tanda dan gejala defisit perawatan diri


a. Mandi/hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, sulit untuk
mendapatkan sumber air.
b. Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan
pakaian, meninggalkan pakaian, klien memiliki ketidakmampuan untuk
mengenakan pakaian dalam.
c. Makan
Klien memiliki ketidakmampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
menggunakan alat tambahan.
d. Eliminasi
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam
mendapatkan kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban,
ketidakmampuan membersihkan diri setelah BAK/BAB dengan tepat, dan
menyiram toilet atau kamar kecil (Fitria, 2009).

D. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit perawatan diri
2. Isolasi sosial
3. Harga diri rendah
E. Rencana Tindakan Keperawatan
Defisit Perawatan Diri
Diagnosa Kriteria
Tujuan Intervensi
keperawatan Evaluasi
Defisit Klien mampu: Klien dapat Sp1
perawatan - Melakukan menjelaskan - Identifikasi
diri kebersihan pentingnya: kebersihan
diri sendiri - Kebersihan diri,
secara diri berdandan,
mandiri - Berdandan makan, dan
- Melakukan atau berhias BAB atau
berhias - Makan BAK
atau - BAB dan - Jelaskan
berdandan BAK pentingnya
secara baik - Mampu kebersihan
- Melakukan melakukan diri
makan cara - Masukkan
dengan merawat kedalam
baik diri jadwal
- Melakukan pasien
BAB dan
BAK
secara
mandiri
Sp2
- Evaluasi
kegiatan
yang lalu
(sp1)
- Jelaskan
pentingnya
berdandan
-
- Latih cara
berdandan
- Masukkan
kedalam
jadwal
kegiatan
pasien

Sp3
- Evaluasi
kegiatan
yang lalu
(sp1 dan sp2)
- Jelaskan cara
dan alat
makan yang
benar
- Jelaskan cara
menyiapkan
makanan
- Jelaskan cara
merapihkan
peralatan
makanan
- Masukkan
kedalam
jadwal
kegiatan
klien
Sp4
- Evaluasi
kemampuan
pasien yang
lalu (sp1,
sp2, dan sp3)
- Latih cara
BAB dan
BAK yang
baik
- Jelaskan
tempat BAB
dan BAK
yang sesuai
- Menjelaskan
cara
membersihka
n BAB dan
BAK

DAFTAR PUSTAKA

Herdman Ade. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Nuha Medika.


Iqbal Wahit, dkk. (2015). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta: Salemba Medika.
Keliat, B. A., dkk. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (Basic
Course).Yogyakarta: EGC.
Kelliat, B., A, dkk. (2006). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa :Edisi 2. Jakarta: EGC.
Mukhripah & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.
Nurjannah. (2004). Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa. Yogyakarta: Momedia.
Tarwoto & Wartonah. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi
Keempat. Jakarta: Salemba Medika.
Yusuf, Rizky, & Hanik. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

A. Kasus/ Masalah Utama


1. Pengertian halusinasi
a. Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart,
2007).
b. Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca
indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu
persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren/ persepsi palsu (Maramis,
2005).
c. Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang
sebetul-betulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).
d. Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara (Direja, 2011).
e. Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca
indera seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasarnya
mungkin organik, fungsional, psikotik ataupun histerik (Trimelia, 2011).
f. Vidbeck (2009) halusinasi bahwa persepsi sensori yang salah satu pengalaman
persepsi yang tidak trjadi dalam realitas, halusinasi dapat melibatkan panca
indra dan sensasi tubuh.

2. Jenis-Jenis Halusinasi
Menurut Yosep (2007), ada beberapa jenis halusinasi dan terbagi menjadi 8 jenis
yaitu : 
a. Halusinasi Pendengaran (Auditif, Akustik)
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendering atau suara bising yang
tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau
kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut ditujukan kepada penderita
sehingga tidak jarang penderita bertengkar atau berdebat dengan suara-suara
tersebut.
b. Halusinasi Penglihatan (Visual, Optik) 
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik). Biasanya sering
muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut
akibat gambaran-gambaran yang mengerikan
c. Halusinasi Pengciuman (Olfaktorik)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan dirasakan
tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau dilambangkan
sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai kombinasi moral
d. Halusinasi Pengecapan (Gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman.
Penderita merasa mengecap sesuatu.
e. Halusinasi Perabaan (Taktil)
Merasa diraba, disentuh, ditiup atau seperti ada ulat yang bergerak di bawah
kulit.
f. Halusinasi Seksual, ini termasuk halusinasi raba
Penderita merasa diraba dan diperkosa sering pada skizofrenia dengan waham
kebesaran terutama mengenai organ-organ.
g. Halusinasi kinesthetik
Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota
badannya bergerak-gerak. Misalna “phantom phenomenom” atau tungkai yang
diamputasi selalu bergerak-gerak (phantom limb).
h. Halusinasi visceral
Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya
1. Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya sudah
tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
2. Direalisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungannya yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala sesuatu yang
dialaminya seperti impian.
3. Tingkatan / Fase Halusisasi
a. Fase 1: Comforting (Ansietas Sedang): Halusinasi menyenangkan.
Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,
kesepian, rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada pikiran
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengenali bahwa pikiran-
pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas
dapat ditangani.
Perilaku klien :
1. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai
2. Menggerakkan bibir tanpa suara. 
3. Pergerakan mata yang cepat. 
4. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik. 
5. Diam dan asyik sendiri. 

b. Fase II : Condemning (Ansietas Berat): Halusinasi menjadi menjijikkan.


Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien
mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya
dengan sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan
oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain. 
Perilaku Klien : 
1. Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas otonom
akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan
tekanan darah. 
2. Rentang perhatian menyempit.
3. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realita. 

c. Fase III : Controlling (Ansietas berat) : Pengalaman sensori menjadi


berkuasa
Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi
dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik. Klien
mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti.
Perilaku Klien : 
1. Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.
2. Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
3. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
4. Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, tidak mampu
mematuhi perintah.

d. Fase IV : Conquering (Panik): Umumnya menjadi melebur dalam


halusinasi.
Karakteristik : pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti
perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak
ada intervensi terapeutik.
Perilaku Klien :
1. Perilaku teror akibat panik.
2. Potensi kuat suicide  (bunuh diri) atau homicide (membunuh orang lain)
3. Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan,
agitasi, menarik diri, atau katatonia.
4. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.
5. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

4. Rentang Respon Halusinasi

ADAFTIF MALADAFTIF

1. Pikirn logis 1. Kadang 1. Gangguan


2. Persepsi proses fikir proses
akurat terganggu fikir/delusi
3. Emosi 2. ilusi 2. Halusinas
konsisten 3. Emosi 3. RPK
dengan 4. prilaku tidak 4. Prilaku tidak
pengalaman biasa/ aneh terorganisir
4. Prilaku sesuai 5. menarik diri 5. Isolasi sosial
5. Berhubungan
social

A. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Faktor Presdiposisi
a. Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilangnya kepercayaan diri dan lebih rentan terhadap stress.
b. Faktor sosiokultural
Seseorang yang tidak diterima oleh lingkungannya sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkungannya.
c. Faktor biokimia
Stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan
suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan
Dimetytranferse (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
terakitvasinya neurotrasmitter otak. Misalnya tejadi ketidakseimbangan
acetylcholin dan dopamin.
d. Faktor psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan
kondisi  psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan
kekerasan dalam rentang hidup klien.
e. Faktor genetik dan pola asuh
Anak sehat yang di asuh oleh orang tua yang mengalami gangguan jiwa
cenderung mangalami gangguan jiwa dan faktor keluarga menunjukan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

2. Faktor Presipitasi
a. Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan
yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol dan kesulitan dalam waktu lama.
b. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan  penyebab  halusinasi  terjadi. Isi  dari  halusinai dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan.
c. Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan penurunan fungsi ego seseorang yang pada awalnya
halusinasi merupakan usaha dari ego itu sendiri untuk melawan impuls yang
menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang
dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol
semua perilaku klien
d. Dimensi sosial
Dalam dimensi sosial ini klien mengalami gangguan interaksi sosial dan
menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan.
e. Dimensi spiritual
Secara spiritual klien dengan halusinasi dimulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, hilangnya keinginan untuk beribadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Klien sering memaki takdir
tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan
orang lain yang menyebabkan memburuk.

f. Penilaian Stresor
Penilaiian terhadap stressor merupakan penilaiian individu ketika menghadapi
stressor yang datang. Penilaian seseorang terhadap seteresor terdiri dari dan
respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Hal ini memberikan arti
bahwa apabila individu mengalami suatu stressor maka ia akan merupakan
stressor maka ia akan merespon stressor tersebut dan akan tanpak melalui
tanda dan gejala yang muncul.

g. Mekanisme Koping
Kaji mekanisme koping yang sering digunakan klien, meliputi :
1. Regresi :  menjadi malas beraktifitas sehari-hari
2. Proyeksi : mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu
benda.
3. Menarik Diri  : sulit mempercayai orang lain dan dengan stimulus internal
4. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.

h. Sumber Koping
Keluarga merupakan salah satu sumber koping yang ditunjukan individu
ketuka mengalami streres. Hal tersebut sesuai dengan videbeck ( 2008 ) yang
menyatakan bahwa keluarga merupakan salah satu sumber pendukung yang
utama dalam penyembuhan klien skizofrenia. Psikosis atau skizofrenia adalah
penyakit menakutkan dan sangat menjengkelkan yang memerlukan
penyesuaian yang baik bagi klien dan keluarga. Proses penyesuaian pasca
psikotik terdiri dari empat fase: (1) disonansi kognitif (psikosis aktif),(2)
pencapaian wawasan ,(3) stabilitas dalam semua aspek kehidupan(ketetapan
kognitif), dan (4) bergerak terhadap prestasi kerja atau tujuan pendidikan
(ordinariness). Proses multifase penyesuaian dapat berlangsung 3 sampai 6
tahun ( Moller,2006, dalam Stuart,2009):
a. Efikasi / kemanjuran pengobatan untuk secara konsisten mengurangi
gejala dan menstabilkan disonansi kognitif setelah episode pertama
memakan waktu 6 sampai 12 bulan.
b. Awal pengenalan diri / insight sebagaio proses mandiri melakukan
pemeriksaan realitas yang dapat diandalkan.pencapaian keterampilan ini
memakan waktu 6 sampai 18 bulan bulan dan tergantung pada
keberhasilan pengobatan dan dukungan yang berkelanjutan.
c. Setelah mencapai pengenalan diri/ insight, proses pencapaian kognitif
meliputi keteguhan melanjutkan hubungan interpersonal normal dan
reengaging dalam kegiatan yang sesuai dengan usia yang berkaitan dengan
sekolah dan bekerja. Fase ini berlangsung 1 sampai 3 tahun.
d. Ordinariness / kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai dengan
kemampuan untuk secara konsisten dan dapat diandalkan dan terlibat
dalam kegiatan yang sesuai dengan usia lengkap dari kehidupan sehari-
hari mencerminkan tujuan prepsychosis fase ini berlangsung selam 2
tahun. Sumber daya keluarga, seperti pemahaman orang tua terhadap
penyakit , keuangan dan keetersediaan energi , dan kemampuan untuk
menyediakan dukungan yang berkelanjutan mempengaruhi jalanya
penyesuaian postpsychotic.
B. Pohon Masalah
Resiko Perilaku Kekerasan

Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi

Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah


Menurut Keliat (2010).

C. Daftar Masalah Keperawatan Dan Data Yang Perlu Dikaji


1. Masalah keperawatan : Diagnosis Keperawatan NANDA-1 rentang respon
neurobiologis, skizofrenia dan gangguan psikotik (Stuart, 2009) :
 Anxiety
 Impaired verbal Communication*
 Confusion, Acute
 Compromised family coping
 Ineffective coping
 Decisional conflict
 Hopelessness
 Impaired memory
 Noncompliance
 Disturbed personal identity
 Ineffective role performance
 Self care deficit (bathing/hygiene, dressing/grooming)
 Disturbed sensory perception*
 Impaired social interaction*
 Social Interaction
 Risk of suicide
 Ineffective therapeutic regiment management
 Disturbed thought processes*
(*Diagnosis keperawatan primer rentang respon neurobiologis , skizofrenia dan
gangguan psikotik)

2. Halusinasi
a. Pendengaran
 Melirik mata ke kanan / ke kiri untuk mencari sumber suara
 Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang sedang
berbicara/benda mati di dekatnya
 Terlibat pembicaraan dengan benda mati atau orang yang tidak nampak
 Menggerakan mulut seperti mengomel
b. Penglihatan
 Tiba-tiba tampak tergagap, ketakutan karena orang lain, benda mati atau
stimulus yang tak terlihat
 Tiba lari ke ruangan lain
c. Pengecapan
 Meludahkan makanan atau minuman
 Menolak makanan atau minum obat
 Tiba-tiba meninggalkan meja makan
d. Penghirup
 Mengkerutkan hidung seperti menghirup udara yang tak enak
 Menghirup bau tubuh
 Menghirup bau udara ketika berjalan kearah orang lain
 Berespon terhadap bau dengan panic
e. Peraba
 Menampar diri sendiri seakan akan memadamkan api
 Melompat lompat di lantai seperti menghinidari sesuaatu yang
menyakitkan
f. Sintetik
 Mengverbalisasi terhadap proses tubuh
 Menolak menyelesaikan tugas yang mengguanakan bagian tubuh yang
diyakini tidak berfungsi
3. Tanda dan Gejala Secara umum
a) Data subjektif :
Pasien Mengatakan :
a) Mendengar suara-suara atau kegaduhan
b) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
c) Mendengar suara yang menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
d) Melihat bayangan,sinar,bentuk geometris,bentuk kartun, melihat bantu
atau monster
e) Mencium bau-bauan seperti bau darah,urin atau feses.
f) Merasa takut atau senang dengan halusinasinya
b) Data objektif
1. Bicara atau tertawa sendiri
2. Marah-marah tanpa sebab
3. Mengarahkan telinga kearah tertentu
4. Menutup telinga
5. Menunjuk-nunjuk kearah tertentu
6. Ketakuatan pada sesuatu yang tidak jelas
7. Mencium sesuatu seperti membaui bau-bauan tertentu
8. Menutup hidung
9. Sering meludah
10. Muntah
11. Menggaruk-garuk permukaan kulit (Kemenkes, 2012).

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan sensori persepsi : Halusinasi
2. Diagnosis medis : Skizofreniea

E. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Diagnosa SP Klien SP Keluarga
keperawatan
Gangguan SP 1: SP 1:
persepsi sensori :  Membantu pasien  Diskusikan masalah
Halusinasi mengenal halusinasi (isi, yang dirasakan dalam
frekuensi, waktu
terjadinya, situasi merawat klien
pencetus, perasaan saat  Jelaskan pengertian,
terjadi halusinasi) tanda gejala dan proses
 Menjelaskan cara terjadinya halusinasi.
mengontrol halusinasi:  Jelaskan cara merawat
hardik, obat, becakap- halusinasi: hardik
cakap, melaukan  Anjurkan membantu
kegiatan harian. klien sesuai jadwal dan
 Menganjurkan pasien memberi pujian.
mengontrol halusinasi
dengan cara menghardik
halusinasi
 Melakukan pada jadwal
kegiatan untuk latihan
menghardik.
SP 2: SP 2:
 Evaluasi kegiatan  Evaluasi kegiatan
menghardik beri pujian keluarga dalam
 Latihan cara mengontrol merawat/ melatih klien
halusinasi menghardik beri pujian
 Latih cara mengontrol  Jelaskan 6 benar cara
halusinasi dengan obat memberikan obat
(jelaskan 5 benar: jenis,  Latih cara
guna, dosisi, frekuensi, Memberikan
cara, kontinuitas minum /membimbing minum
obat) obat
 Masukan pada jadwal  Anjurkan membantu
kegiatan untuk latihan klien sesuai jadwal dan
menghardik dan minum memberi pujian.
obat

SP 3: SP 3:
 Evaluasi kegiatan harian  Evaluasi kegiatan
menghardik & obat ,. keluarga dalam
Beri pujian. merawat/melatih klien,
 Latih cara mengontrol menghardik dan
halusinasi dengan memberikan obat, beri
bercakap-cakap saat pujian.
terjadi halusinasi  Jelaskan cara bercakap-
 Masukan pada jadwal cakap dan melakukan
kegiatan untukl latihan kegiatan untuk
menghardik, minum obat mengontrol halusinasi
dan bercakap-cakap  Latih dan sediaan
waktu bercakap-cakap
dengan klien terutama
pada saat halusinasi
 Anjurkan membantu
klien sesuai jadwal dan
memberikan pujian
SP 4: SP 4:
 Evaluasi kegiatan harian  Evaluasi kegiatan
menghardik , minum keluarga dalam
obat & becakap-cakap , merawat /melatih klien
beri pujian menghardik, pemberian
 Latih cara mengontrol obat, dan bercakap-
halusinasi dengan cakap, beri pujian
melakukan kegiatan  Jelaskan follow up
harian (mulai 2 kegiatan) RSJ/PKM, tanda
 Masukan pada jadwal kambuh rujukan
kegiatan untuk latihan  Anjurkan membantu
menghardik, minum klien sesuai jadwal dan
obaat, bercakap-cakap memberikan pujian
dan kegiatan harian

DAFTAR PUSTAKA
Damaiyanti, M. Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Aditama
Direja, A. Herman.,(2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha
Medika
Keliat, B.A., (2011) Model praktik keperawatan professional. Jakarta: EGC
Maramis F. Willy. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University
Press. .
NANDA. (2009). Nursing Diagnoses : Definitions & Classification 2009- 2011. Philadelphia:
NANDA International
Stuart, G.W. & Laraia, M.T. (2005) Principles and practice of pshyciatrich nursing, 8 ed.
Missouri: Mosby, Inc
Townsend, M.C (2009). Psychiatrich mental health nursing. Concepts of care in evidence-
based practice. Ed. Philadelphia: F.A. Davis Company
Trimelia.( 2011). Asuhan Keperawatan Klien Halusinasi. Cetakan 1. Jakarta : Trans Info
Medika.
Videbeck, S.L. (2009). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Yosep, I., (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama.

LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN

A. Masalah Utama: Resiko Perilaku Kekerasan


1. Pengertian Perilaku Kekerasan
Resiko perilaku kekerasan merupakan perilaku yang memperlihatkan
individu tersebut dapat mengancam secara fisik, emosional dan atau seksual
kepada orang lain (NANDA-I, 20012-2014, Herdman, 2012)
Resiko perilaku kekerasan adalah suatu bentuk prilaku maupun bertujuan
melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis (Keliat,2010).
Perilaku kekerasan didefinisikan sebagai tindakan kekuatan fisik
dimaksudkan untuk menyebabkan kerugian bagi seseorang atau obyek, agresif
dan perilaku kekerasan merupakan sebuah rentang kontinum dari perilaku yang
mencurigakan kepada tindakan ekstrim yang mengancam keselamatan orang lain
atau mengakibatkan cidera atau kematian (Herper&Reimer, 1992 dalam
videback, 2008).
Dari semua pertanyaan diatas maka perilaku kekerasan atau agresif dapat
didefisinikan sebagai perilaku mencederai orang lain, diri sendiri dan lingkungan
yang bervariasi dari intensitas ringan sampai berat/ intens, dilakukan baik secara
verbal, fisik, dan emosional yang akan mengakibatkan perusakan harta benda,
perampasan hak, kerugian dan bahkan kematian.

2. Tahapan Resiko Perilaku Kekerasan


Tahapan perilaku agresif atau resiko perilaku kekerasan: (Fontaine, 2009)
a. Tahap 1: Tahap memicu
Perasaan : Kecemasan
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir, menghindari kontak
Tindakan perawat : Mengidentifikasi faktor pemicu, mengurangi kecemasan,
memecahkan masalah bila memungkinkan.
b. Tahap 2: Tahap Transisi
Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi meningkat
Tindakan perawat : Jangan tangani marah dengan amarah, menjaga pembicaraan,
menetapkan batas dan memberikan pengarahan, mengajak
kompromi, mencari dampak agitasi; meminta bantuan.
c. Tahap 3: Krisis
Perasaan : Peningkatan kemarahan dan agresi
Perilaku : Agitasi, gerakan mengancam, menyerang orang disekitar,
berkata kotor; berteriak
Tindakan perawat : Lanjutkan intervensi tahap 2, dalam menjaga jarak pribadi,
hangat (tidak mengancam) konsekuensi, cobalah untuk
menjaga komunikasi
d. Tahap 4: Perilaku merusak
Perasaan : Marah
Perilaku : Menyerang; merusak
Tindakan perawat : Lindungi klien lain, menghindar, melakukan pengekangan
fisik
e. Tahap 5: Tahap lanjut
Perasaan : Agresi
Perilaku : Menghentikan perilaku terang-terangan destruktif, pengurangan
tingkat gairah
Tindakan perawat : Tetap waspada karena perilaku kekerasan baru masih
memungkinkan, hindari pembalasan atau balas dendam
f. Tahap 6: Tahap peralihan
Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir
Tindakan perawat : Lanjutkan fokus mengatasi masalah utama

3. Rentang Respon Resiko Perilaku Kekerasaan


Perilaku kekerasaan merupakan respon kemarahan.Respon kemarahan dapat
berfluktrusi dalam rentan adaptif sampai maladaptif (Keliat & Siaga, 1991).Rentang
respon marah menurut Stuart dan Sundeen (1995) dijelaskan dalam skema 2.2 dimana
agresif dan amuk (perilaku kekerasan) berada pada rentan respon yang maladaptif.

Respon adaptif Respon mal


adaptif
asertif pasif frustasi agresif amuk

a. Asertif
Prilaku asertif adalah menyampaikan suatu persaan diri dengan pasti dan merupakan
komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang asertif dapat melihat normal
individu lainnya dengantepat sesuai dengan setuasi, pada saat berbicara kontak mata
langsung tapi tidak mengganggu,intonasi suara dalam berbicara tidak
mengancam,postur tegak dan santai, kesan keseluruhan adalah bahwa individu
tersebut kuat tapi tidak mengancam. Permintaan masukan yang positif juga termasuk
perilaku asertif ( Stuart& Laraia, 2005; Stuart, 2009).
b. Pasif
Perilaku pasif dapat diekspresikan secara nonverbal, seseorang yang pasif biasanya
bicara pelan, sering dengan cara kekanak-kanakan dan kontak mata yang sedikit.
Individu tersebut mungkin dalam posisi membungkuk, tangan memegang tubuh
dengan dekat (Stuart, 2009).
c. Frustasi
Frustasi adalah kegagalan individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Frustasi
akan bertambah berat jika keinginan yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi
dalam kehidupan (Keliat & Sinaga, 2006).
d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain, bersaing untuk mendapatkan
apa yang diinginkanya, seorang yang agresif didalam hidupnya selalu mengarah pada
kekerasan fisik dan perbal. Perilaku agresif juga ditunjukkan secara non
perbal,seseorang yangagresif melanggar batas orang lain,bicaranya keras dan
lantang,biasanya kontak mata yang berlebihan dan mengganggu,postur kaku dan
tanpak mengancam (Stuart,2009)
e. Amuk
Amuk atau prilaku kekerasan adalah perasaan marah dan permusuhan yang kuat dan
disertai kehilangan control diri sehingga individu dapat merusak diri,orang lain dan
lingkungan (keliat & sinaga,1991).
Hirarki prilaku pada klien dengan prilaku kekerasan
Tinggi Melukai dalam tingkat serius dan berbahaya
Melukai dalam tingkat tidak berbahaya
mengucapkan kata kata ancaman dengan rencana melukai
Menyentuh orang laindengan cara menakutkan
Mengucapkan kata kata ancaman tanpa melukai
Mendekati orang lain dengan ancaman
Bicara keras dan menuntut

RENDAH Memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa prilaku kekerasan mempunyai


tingkatberdasarkan perilakunya mulai dari yangterendah yaitu memperlihatkan
permusuhan pada tingkat rendah sampai pada tingkatan yang tertiggi yaitu melukai
dalam tingkat serius dan membahayakan.
f. Marah
Prilaku kekerasan merupakan salah satu respon mal akdatif dari marah.Marah adalah
emosi yang kuat ketika di tolak atau dipendam dapat memicu masalah fisik seperti
sakit kepala migren,radang usus bahkan penyakit jantung koroner.Marah dapat
merubah menjadi kebencian yang sering dimanifestasikan dengan prilaku diri
yangnegatif dari pasif sampai agresif (Tounsend,2009).Penyebab kemarahan atau
resiko prilaku kekerasan secara umum adalah : kebutuhan yang tidak menyinggung
harga diri dan harapan tidak sesuai dengan kenyataan.
Masalah prilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan menggunakan psikodinamika
masalah keperawatan jiwa seperti sekema 1.2 dibawah ini :

………………………Faktor presdiposisi …………………………


Biologis psikososial sosialkultural

Stressor presipitasi

Natureorigin Timing Number

Penilaian terhadap stressor

Kognitif afektif fisiologis prilaku social

Sumber koping

Kemampuan person dukungan social asset material keyakinan positif

Mekanisme koping
Konstruktif destruktif

Rentang respon koping


..................................... ....……………….......
Respon adaptif Responmaladatif

B. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Faktor Fredisposisi
a. Faktor biologi
Fraktor predisposisi yang berasal dari biologis dapat dilihat sebagai suatu
keadaanatau faktor risiko yang dapat mempengaruhi peran dalam menghadapi
stressor.
1) Struktur otak (neuroanatomi)
Kerusakan struktur pada limbik dan lobus frontal serta lobus temporal otak
dapat mengubah kemampuan individu untuk memodulasiagresif sehingga
menyebabkan perilaku agresif sehingga menyebabkan perilaku
agresif/kekerasan (Videback,2008). Hipotalamus di dasar otak berfungsi
sebagai sistem alarm/peringatan otak. Kondisi stress menaikan jumlah
steroid,hormon yang di keluarkan oleh kelenjar adrenal,saraf reseptor untuk
hormon ini menjadi kurang sensitif dalam upaya mengkompensasi
peningkatan steroid dan hipotalamus merangsang kelenjar pituitari untuk
menghasilkan lebih banyak steroid. Setelah stimulasi berulang sistem
berespon lebih kuat terhadap provokasi. Ini menjadi salah satu alasan
mengapa stress traumatik pada anak secara permanen dapat meningkatkan
potensi seseorang untuk melakukan kekerasan (Stuart,2009).
2) Genetik
Secara genetik ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan 6 yang
mempredisposisikan individu mengalami skizofrenia (Copel,2007).
Pada penelitian anak kembar menunjukan anak kembar identik beresiko
mengalami skizofrenia sebesar 30%, sedangkan pada kembar
nonidentik/fraternal beresiko 15% mengalami skizofrenia.Risiko 15% jika
salah satu orang tua menderita skizofrenia. Angka ini meningkat 40% - 50%
jika kedua orangtua biologis menderita skizofrenia (Fontaine,2009).
3) Neurotransmiter
Neurotransmiter adalah zat kimia otak yang di transmisikan dari dan ke
seluruh neuron sinapsis,sehingga menghasilkan komunikasi antara otak dan
struktur otak lain. Peningkatan atau penurunan zat ini dapat mempengaruhi
prilaku,perubahan keseimbanagn zat ini dapat memburuk atau menghambat
prilaku agresif.
4) Imunovirologi
Karakteristik biologis lain yang berhubungan dengan prilaku kekerasan adalah
riwayat penggunaan obat NAPZA dan frekuensi dirawat. Penggunaan napza
akan mempengaruhi fungsi otak, mempengaruhi terapi dan perawatan yang
diberikan (Dyha,2009). Perilaku kekerasan juga meningkat pada klien
penyalah gunaan zat, skizoprenia dan tidak mengambil obat yang diresepkan,
hidup bersama dalam orang yang mengalami gangguan jiwa (Videback,
2008).

b. Faktor Psikologis
Menurut stuart dan Laraia (2005) yang termasuk dalam faktor psikologis
diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan pertahanan
psikologi diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan
pertahanan psikologi.
1) Teori psikoanalitik
Suatu pandangan psikologi tentang perilaku agresif menyatakan bahwa
pentingnya mengetahui predisposisi faktor perkembangan atau pengalaman
hidup yang membatasi kemampuan individu untuk memilih mekanisme yang
bukan perilaku kekerasan.
2) Teori pembelajaran
Teori pembelajaran sosial mengemukakan bahwa perilaku agresif dipelajari
melalui proses sosialisasi sebagai hasil dari pembelajaran internal dan
eksternal. Pembelajaran internal terjadi selama individu mendapat penguatan
pribadi ketika melakukan perilaku agresif kemungkinan sebagai kepuasan
dalam mencapai tujuan atau pengalaman merasa penting, mempunyai
kekuatan dan control terhadap orang lain. Pembelajaran eksternal terjadi
selama observasi medel peran seperti peran sebagai orang tua, teman sebaya,
saudara, oleh raga dan tokoh hiburan (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009).
Menurut teori pembelajaran sosial, perilaku imitasi/meniru perilaku agresif
sebagai perilaku yang dapat diterima untuk memecahkan masalah dan sesuai
status sosial.Peran pemodelan merupakan salah satu bentuk pembelajaran
terkuat, model perilaku anak-anak pada fase awal adalah orang tua, bagaimana
orang tua atau orang terdekat mengekspresikan marah menjadi contoh anak
dalam ekspresi marahnya (Townsend, 2009).

c. Faktor Sosial Budaya


Faktor sosial, budaya juga merupakan faktor predisposisi terjadi perilaku
kekerasan pada individu. Karakteristik yang termasuk pada sosial budaya seperti:
usia, jenis kelamin, ras, status perkawinan, pendidikilaku dan tingkat sosial
ekonomi (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009), riwayat perilaku kekerasan di
masa lalu (Stuart, 2009).
1) Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah ciri fisik, karakter dan sifat yang berbeda. Laki-laki lebih
sering melakukan perilaku agresif (Stuart & Laraia, 2005). Berdasarkan hasil
penelitian dinyatakan bahwa karakteristik jenis kelamin berhubungan dengan
kejadian perilaku kekerasan verbal klien laki-laki dua kali lipat lebih banyak
dari klien perempuan, serta usia yang paling banyak 30 tahun kebawah (Keliat,
2003).
2) Tingkat sosial ekonimi
Kondisi sosial lain yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan seperti :
kemiskinan dan ketidakmampuan memenuhi kebutruuhan hidup, masalah
perkawinan, keluarga single parent, pengangguran, kesulitan mempertahankan
hubungan interpersonal dalam keluarga, struktur keluarga, dan control sosial
(Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009; Tardiff, 2003 dalam Townsend, 2009).
3) Ras/ Suku
Faktor norma budaya yang dapat membantu mengartikan makna ekspresi
marah dan dapat mendorong untuk mengekspresikan marah secara asertif
sehingga membantu menjaga kesehatan diri.

d. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi adalah stimuli yang di terima individu sebagai tantangan,
ancaman atau tuntutan. Stressor presipitasi prilaku kekerasan dari faktor biologi
dapat di sebabkan oleh gangguan umpan balik di otak yang mengatur jumlah dan
waktu dalam proses informasi. Stimuli penglihatan dan pendengaran pada
awalnya di saring oleh hipotalamus dan di kirim untuk di proses oleh lobus frontal
dan bila informasi yang di sampaikan terlalu banyak pada suatu atau jika
informasi tersebut salah,lobus frontal akan mengirimkan pesan overload ke
ganglia basal sehingga menyebabkan gangguan pada proses umpan balik dalam
penyampaian informasi yang menghasilkan proses informasi overload (Stuard &
Laraia,2005 ;Stuard,2009).

e. Sumber Koping
Psikosis atau skizofrenia adalah penyakit menakutkan dan sangat menjengkelkan
yang memerlukan penyesuaian baik bagi klien dan keluarga.Proses penyesuaian
paska psikotik terdiri dari empat fase : (1) Disonansi kognitif (psikosis aktif),(2)
pencapaian wawasan, (3) stabilitas dalam semua aspek kehidupan (ketetapan
kognitif) dan (4) bergerak terhadap prestasi kerja atau tujuan pendidikan
(ordinariness).
f. Mekasnisme koping
Pada fase aktif psikosis klien menggunakan beberapa mekanisme pertahanan diri
dalam upaya untuk melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang di
sebabkan oleh penyakit mereka. Regresi adalah berkaitan dengan masalah
informasi pengolahan dan pengeluaran sejumlah besar energi dalam upaya untuk
mengelola kegelisahan ,menyisakan sedikit untuk aktivitas hidup sehari- hari.
Proyeksi adalah upaya untuk menjelaskan persepsi membingungkan dengan
menetapkan reponsibility kepada seseorang atau sesuatu.Penarikan diri ini
berkaitan dengan masalah membangun kepercayaan dan keasyikan dengan
pengalaman internal.
Keluarga sering mengekspresikan penolakan ketika mereka mempelajari
pertama kali diagnosis relatif mereka. Ini sama dengan penolakan yang terjadi
ketika seseorang menerima informasi yang menyebabkan rasa takut dan
kecemasan .hal ini memungkinkan waktu seseorang untuk mengumpulkan sumber
daya internal dan eksternal dan kemudian beradaptasi dengan stressor secara
bertahap. Pada klien penyesuaian postpsychikotik proses aktif menggunakan
mekanisme koping adaptif juga. Ini termasuk kognitif,
emosi,interpersonal,fisiologis,dan spiritual strategi penanggulangan yang dapat
berfungsi sebagai dasar untuk penyusunan intervensi keperawatan (Stuart,2009).

C. POHON MASALAH
1. Pohon masalah
Menurut keliat dkk (2005) pohon masalah perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
Resiko menciderai diri sendiri resiko mencederai orang lain dan lingk

Resiko prilaku kekerasan

Harga diri rendah


2. Daftar Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji
a. Anxiety
b. Imperaide Verbal Communication *
c. Confusion Acute
d. Compromised family coping
e. Ineffective coping
f. Decisional
g. Hopelessness
h. Impaired memory
i. Noncompliance
j. Disturbed personal identity
k. Ineffective role performance
l. Self care deficit (bathing/ hygiene, dressing/ grooming)
m. Disturbed sensory perception*
n. Impaired social interaction*
o. Social isolation

3. Data yang perlu dikaji pada masalah keperawatan perilaku kekerasan


Tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan
dukungan hasil observasi :
a. Data Subjektif:
1) Ungkapan berupa ancaman
2) Ungkapan kata-kata kasar
3) Ungkapan ingin memukul/ melukai
b. Data objektif:
1) Wajah memerah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatupkan rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
6) Suara tinggi, menjerit atau berteriak (Kemenkes RI, 2012)

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Risiko perilaku kekerasan

E. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Diagnosa Sp/kemampuan klien Sp/kemampuan keluarga
keperawatan
Resiko perilaku Sp 1. Sp.1
kekerasan 1. Identifikasi penyebab tanda 1. Diskusikan masalah yang
dan gejala, pk yang di dirasakan dalam merawat
lakukan,akibat pk klien
2. Jelaskan cara mengontrol pk : 2. Jelaskan pengertian ,tanda
fisik,obat,verbal,spiritual dan gejala dan proses
3. Latihan cara mengontrol pk terjadinya pk (gunakan
secara fisik: tarik napas booklet)
dalam dan pukulkasur dan 3. Jelaskan cara merawat pk
bantal. 4. Latih satu cara merawat pk
4. Masukan pada jadwal dengan melakukan kegiatan
kegiatan untuk latihan fisik. a. Fisik :tarik nafas dalam dan
pukul bantal
5. Anjurkan membantu pasien
sesuai jadwal dan memberi
pujian
Sp.2 Sp.2
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
fisik,beri pujian dalam merawat / melatih
2. Latih cara mengontrol pk 2. Jelaskan 6 benar member
dengan obat jelaskan 6 obat
benar obat : jenis,guna 3. Latih cara memberikan
dosis, /membimbing minum obat
frekuensi,cara,kointuinitas 4. Anjurkan membantu pasien
minum obat sesuai jadwal dan beri pujian
3. Masukan pada jadwal
kegiatan untuk latihan fisik
dan minum obat.
Sp.3 Sp.3
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
fisik & obat,beri pujian dalam merawat/melatih pasien
2. Latih cara mengontrol pk fisik dan memberikan obat,
secara verbal (3 cara yaitu beri pujian
mengungkapkan ,meminta,m 2. Latih cara membimbing ,cara
enolak dengan benar) bicara yang baik.
3. Latih cara membimbing
3. Memasukkan pada jadwal kegiatan spiritual
kegiatan untuk latihan 4. Anjurkan membantu pasien
fisik ,minum obat dan verbal sesuai jadwal dan member
pujian
Sp.4 Sp.4
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarha
fisik dan obat,verbal,beri dalam merawat/melatih
pujian paisen,fisik,memberikan
2. Latihan cara mengontrol obat,latihan bicara yang baik
spiritual (2 kegiatan) dan kegiatan spiritual , beri
3. Masukkan pada jadwal pujian
kegiatan 2. Jelaskan follow up ke
untuk latihan fisik minum,o RSJ/pkm, tanda
bat,verbal dan spiritual kambuh,rujukan
3. Anjurkan membanntu pasien
sesuai jadwal dan
memberikan pujian

DAFTAR PUSTAKA

Dyah W (2009). Pengaruh assertive training terhadap perilaku Kekerasan pada klien
skizoprenia,tesis.jakarta.FIK UI.tidak dipublikasikan
Keliat,B.A,(2005).Modul Basic Course Community Mental Health Nursing.kejasama FIK UI
dan WHO
Keliat,B.A,&Akemat.(2005).keperawatan jiwa terapi aktivitas kelompok.jakarta :EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH

A. Kasus (Masalah Utama)


Gangguan konsep diri : harga diri rendah

B. Proses Terjadinya Masalah


1. Pengertian
Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri
sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai
keinginan. (Budi Ana Keliat, 1999). Gangguan harga diri atau harga diri rendah
dapat terjadi secara :
a. Situasional, yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misal harus operasi, kecelakaan,
dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja dll. Pada klien yang dirawat
dapat terjadi harga diri rendah karena privacy yang kurang diperhatikan :
pemeriksaan fisik yang sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan
(pemasangan kateter, pemeriksaan perianal, dll), harapan akan struktur, bentuk
dan ffungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/sakit/penyakit, perlakuan
petugas yang tidak menghargai.
b. Kronik, yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama.
Tanda dan gejala
- Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan
terhadap penyakit
- Rasa bersalah terhadap diri sendiri
- Merendahkan martabat sendiri, merasa tidak mampu
- Gangguan hubungan sosial seperti menarik diri
- Percaya diri kurang
- Mencederai diri

2. Penyebab
Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan orang
tua ang tidak realistik, kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai tanggung
jawab personal, ketergantungan pda orang lain dan ideal diri yang tidak realistik.
Stressor pencetus munkin ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal, seperti :
trauma fisik maupun psikis, ketegangan peran, transisi peran situasi dengan
bertambah atau berkurangnya anggota keluargamelalui kelahiran atau kematian, serta
transisi peran sehat sakit sebagai transisi dari keadaan sehat dan keadaan sakit.

1. Tanda dan gejala


- Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan terhadap
penyakit
- Rasa bersalah terhadap diri sendiri
- Merendahkan martabat sendiri, merasa tidak mampu
- Gangguan hubungan sosial seperti menarik diri
- Percaya diri kurang
- Mencederai diri
- Konsentrasi menurun
- Menyangkalfek labil
- Regresi perkembangan

2. Akibat
Klien yang mengalami gangguan harga diri rendah bisa mengakibatkan gangguan
interaksi sosial : menarik diri, dan memicu munculnya perilaku kekerasan yang
beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
Isolasi social merupakan suatu keadaan dimana individu dan kelompok mengalami
kebutuhan meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk
melakukan kontak. (Copernitto LJm 1998).

Tanda dan gejala


Data Subyektif
a. Klien mengatakan kesepian
b. Klien mengatakan tidak mempunyai teman
c. Klien mengatakan lebih sering di rumah, sendiri
d. Klien mengatakan tidak dapat berhubungan social
Data Obyektif
a. Menyendiri
b. Diam
c. Ekspresi wajah murung, sedih
d. Sering larut dalam pikiranya sendiri

Sedangkan perilaku kekerasaan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan


tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik kepada diri sendiri, orang lain
dan lingkungan.
Tanda dan gejala :
Data subyektif :
a. Mengungkapkan mendengar suara-suara yang mengancam, menyuruh melakukan
pencederaan pada diri sendiri, orang lain atau lingkungan
b. Mengatakan takut, cemas atau khatir

Data Obyektif :
a. Wajah tegang dan merah
b. Mondar-mandir
c. Mata melotot, rahang menutup
d. Tangan mengepal
e. Keluar keringat banyak
f. Mata merah

B. Pohon Masalah
Isolasi sosial : menarik diri Perilaku kekerasan

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah

Berduka disfungsional

C. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


1. Masalah keperawatan
a. Isolasi sosial : menarik diri
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
c. Berduka disfungsional
2. Data yang perlu dikaji pada masalah keperawatan harga diri rendah
a. Data Subyektif
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
b. Data Obyektif
Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif
tindakan, ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup.

D. Diagnosa Keperawatan
1. Harga diri rendah
2. Isolasi sosial : menarik diri

E. Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa 1. Harga Diri Rendah
a. Tujuan umum :
Klien tidak terjadi gangguan interaksi sosial, bisa berhubungan dengan orang
lain dan lingkungan.
b. Tujuan khusus :
Klien dapat membina hubungan saling percaya
c. Tindakan :
1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan diri,
2. Jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang,
3. Buat kontrak yang jelas (waktu, tempat dan topik pembicaraan)
4. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
5. Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
6. Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri

d. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki


Tindakan :
1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien,
3. Utamakan memberi pujian yang realistis
4. Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
e. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
Tindakan :
1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah

f. Klien dapat menetapkan / merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan


yang dimiliki
Tindakan :
1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan
2. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
3. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan

g. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan


Tindakan :
1. Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
2. Beri pujian atas keberhasilan klien
3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah

h. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada


Tindakan :
1. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
2. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
3. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
4. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga

Diagnosa 2: Menarik diri


Tujuan Umum :
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik dengan cara :
a. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g. Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien

2. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri


Tindakan:
a. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya.
b. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri atau mau bergaul
c. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
penyebab yang muncul
d. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya

3. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian
tidak berhubungan dengan orang lain.
Tindakan :
a. Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi
( tidur, marah, menyibukkan diri dll)
b. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan
orang lain
1) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan prang lain
2) Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain
3) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan
tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
c. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang
lain
a. beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang
lain
b. diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang
lain
c. beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan
tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
4. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial
Tindakan:
a. Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
b. Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain melalui tahap :
▪ K–P
▪ K – P – P lain
▪ K – P – P lain – K lain
▪ K – Kel/Klp/Masy
c. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
d. Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
e. Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu
f. Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
g. Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan
5. Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain
Tindakan:
a. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan
orang lain
b. Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan orang
lain.
c. Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan
manfaat berhubungan dengan oranglain
6. Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga
Tindakan:
a. Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
1) Salam, perkenalan diri
2) Jelaskan tujuan
3) Buat kontrak
4) Eksplorasi perasaan klien
b. Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
1) Perilaku menarik diri
2) Penyebab perilaku menarik diri
3) Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi
4) Cara keluarga menghadapi klien menarik diri
c. Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada klien untuk
berkomunikasi dengan orang lain.
d. Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien minimal
satu kali seminggu
e. Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh keluarga

DAFTAR PUSTAKA

Boyd MA, Hihart MA. Psychiatric nursing : contemporary practice. Philadelphia : Lipincott-
Raven Publisher. 1998
Keliat BA. Proses kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC. 1999
Stuart GW, Sundeen SJ. Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC. 1998
Tim Direktorat Keswa. Standar asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1. Bandung :
RSJP Bandung. 2000
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO PERILAKU BUNUH DIRI (RBD)

A. Masalah utama : Resiko Bunuh diri


1. Pengertian
a. Bunuh diri di definisikan oleh Herdman (2015) sebagai tin dakan yang secara adar
dilakukan oleh klien untuk mengakhiri kehidupannya .
b. Bunuh diri merupakan suatu sindrome yang merupakan manifestasi dari trauma
psikologis yang sangat dalam , tidak mempunyai harapan , dan harapan yang
rendah untuk mendapatkan pertolongan terhadappenderitaan yang di alami
( Brendel et al dalam Varcolish & Heatler , 2008 ) .
c. Bunuh diri adalah tindakan sengaja membunuh diri sendiri . Menyakiti diri adalah
istilah lebih luas mengacu pada disengaja keracunan diri sendiri secara sengaja
atau cidera , yang mungkin tidak memiliki niat fatal atau hasil ( WHO 2014 ) .
d. yang merupakan 15 penyebab utama kematian di America serikat ( American
Asociation of psikologi ) ( dalam stuard , 2013 )

2. Kategori bunuh diri, ( Stuard, 2007 )


a. Bunuh diri langsung
b. Adalah tindakan yg di sadari dn di sengaja untk mengakhiri hidup seperti
pengorbanan diri membakar diri, menggantung diri, melompat dari ketinggian, dll
c. Bunuh diri tidak langsung
d. Adalah keinginan tersediri yang tersembunyi yang tidak di sadari untuk mati,
yang di tandai dengan prilaku kronis beresiko seperti penyalah gunaan zat,
makannan berlebihan, aktivitas sex bebas, ketidak patuhan terhadap program
medis , atau olah raga dan pekerjaan yang membahayakan .

3. Perilaku resiko bunuh diri


Menurut (stuard ,2013 ) prilaku bunuh diri di bagi kedalam ide bunuh diri , ancaman
bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan bunuh diri.
a. Ide bunuh diri
Adalah pemikiran untuk melakukan bunuh diri .
b. Ancaman bunuh diri
Adalah peringatan langsung atau tidak langsung verbal ataw non verbal bahwa
seseorang berencana mengakhiri hidupnya .
c. Percobaan bunuh diri
Semua tindakan terhadap diri sendiri yang dapat menyebabkan kematian, jika
tidak dicegah.
d. Bunuh diri
Upaya tindakan bunuh diri yang akan menyebabkan kematian jika tidak
ditemukan tepat waktunya.

4. Jenis bunuh diri


a. Bunuh diri egoisti adalah karna kekecewaan terhadap masyarakat , maka ia
meninggalkan masyarakat itu .
b. Bunuh diri altruistik adalah bunuh diri demi orang lain ataw membersihkan
kesalahannya
c. Bunuh diri anomik adalah bunuh diri dalam keadaaan masyarakat yng kacau (tidak
ada hukuman , pegangan agama menurun, dukungan sosial tidak ada).

5. Skala
a. Skala Intensitas Bunuh Diri (SIRS)
1. Skore 0 .
Tidak ada ide bunuh diri yang lalu dn sekarang.
2. Skor 1 :
Adaide bunuh diri , tidak ada percobaan bunuh diri, tidak mengancam
bunuh diri
3. Skor 2 :
Memikirkan bunuh diri dengan aktiv , tidak ada percobaan bunh diri .
4. Skor 3
Misal tinggalkan saya ataw saya bunuh diri .
5. Skor 4
Aktif mencoba bunuh diri .

b. Sad Persones Scale


a. Sex ( laki –laki )
b. Depresi ( cukup parah untuk di anggap sifnifikan secara klinis
c. Mencoba bunuh diri sebelumnya ataw menerima layanan kesehatan .
d. Alkohol Berlebihan atau penggunaan narkoba .
e. Berpikir rasional hilng terpisah , bercerai ataw janda ( atau orang lain akhir
dari hubungan yang signifikan .
f. Renncana bunuh diri terorganisir atau ATTEMP SERIUS tidak ada atau
sedikitdukungan sosial penyakit kronis ataw penyakit medis .

1. Rentang Respon
CONTINEW OF SELF-PROTECTIVE RESPONSEN

Adaptif respon mal adaptif respon

Self enchancemen growth promoting indirect self self-injuri suicide

1. Peningkatan diri
Seorang dapat meningkatkan proteksi ataw pertahanan diri secara wajar terhadap
situasional yng membutuhkan pertahanan diri .ex ; seorang mempertahankan diri dari
pendapatannya yang berbeda mengenai loyalitas terhadap pimpinan di tempat kerjanya.
2. Pengambilan resiko yang meningkatkan pertumbuhan
Seorang memiliki kecenderungan ataw beresiko mengalami prilaku destruktif atau
menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya dapt mempertahankan diri ,
seperti seseorang patah sengangat bekerja ketika dirinya di anggap didak loysl teradap
pimpinan padahal ia sudah melakukan pekerjaan secara optimal .
3. Destruktif diri secara tidak langsung .
Seseorang telah mengambil sikap yang tidak tepat ( maladaptif ) terhadap situasi yang
membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri . misal karna pandangan pimpinan
terhadap dirinya yang tidak loyal , maka seorang karyawan menjadi tiak masuk kantor
ataw bekerja senaknya dan tidk optimal .
4. Pencederaan diri
Seorang melakukan penederaan diri atw percobaan bunuh diri akibatnya hilangnya
harapan terhadap situasi yang ada .
5. Bunuh diri
Seorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan nyawanya hilang
2. MITOS dan FAKTA Resiko bunuh diri .
Mitos
a. Orang orang yang bicara bunuh diri mereka tidak bunuh diri , bunuh diri terjadi tanpa
peringatan .
b. Bunuh diri tidak dapan ti hentikan dia sepenuhnya berniat berniat mati .
c. Semua orang bunuh diri adalah gangguan jiwa , dan bunuh diri adalh tindakan orang
psikotik .
d. Ancaman bunuh diri merupakan upaya untuk mengambil perhatian dan tidak perlu di
ambil serius .
e. Orang-orang biasanya melakukan bunuh diri dengan overdosis obat .
f. Jika orang telah melakukan percobaan bunuhdiri dia tidak akan melakukannya lagi.

Fakta
a. Delapan dari sepuluh orang yang bunuh diri mereka telah memberikan petunjuk yang
pasti dari peringatan tentang niat buruk mereka .
b. Orsng ysng ingin bunuh diri hanya ingin bunuh diri dalam waktu yang terbatas .
c. Bunuh diri tidak di wariskan .
d. Orng ynag ingin bunuh diri mereka tidak selalu psikotik, mereka hanya tidak
Mendapatkan solusi dari masalahnya .
e. Luka tembak adalah penyebab utama dari kematian korban bunuh diri .
f. Antara 50 dan 80 dari semua orang yang bunuh diri memiliki sejarah sebelumnya .

B . Proses terjadinya masalah


1. Faktor predisposisi
a. Teori genetik dan biologis
1 . Genetik
Prilaku bunuhdiri menurut shadock dan shadock (2011) serta Varcarolis dan
Hitler ( 2010 ) merupakan sesuatu yang di turunkan dalam keluarga kembar
monozigot memiliki reriko dalam melakukan bunuh diri stuard ( 2011 ) :
videback , 2011.
2 . Hubungan neurokimia
Nourotransmiter adalah zat kimia dalam otak dari sel ke saraf , peningkatan dan
penurunan neuro transmiter mengakibatkan perubahan pada prilaku .
Neurotrasmiter yg yang di kaitkan dengan prilaku bunuh diri adalah dopamine ,
neuroepineprin , asetil koln dan asam amino , dan gaba stuard 2011, videback ,
2011 .
3 . Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90 % orang dewasa yg mengahiri hidupnya dengan bunuh diri
mengalami gangguan jiwa . 4 gangguan jiwa yang beriko menimbulkan individu
untuk bunuh diri adalah gangguan modd , penyalah gunaan zat , skizofrenia ,
dan gangguan kecemasan ( stuard , 2013 ) .
b . Faktor psikologi
1) Kebencian terhadap diri sendiri
Bunuh diri merupakan hasil dari bentuk penyerangan ataw kemarahan terhaapp
orang lain yang tidsk di trima dan di mannifestasikan atau di tunjuksn pada diri
sendiri ( stuard 2011 dan videbeck 2011 & varcholis & hitler , 2010 . )
2) Ciri kepribadian
Keempat aspek kepribadian yg terkait dengan peningkatan resiko bunuh diri
adalah permusuhan , impulsif depresi dn putus asa ( stuard 2013 ) .
3) Teori psikodinamika
Menyatakan bahwa depresi kaarna kehilangan suatu yang di cintai , raka
keputus asaan , kesepian , dan kehilangan harga diri ( shadock 2011 ) . Bunuh
diri merupakan suatu cara mengakhiri satu rasa sakit ynag di rasakan
( Fortinash&worret , 2004 ) .
C . Faktor sosial budaya
1) Beberapa faktor yang mengarah kepada bunuh diri adalah kemisknan
dan ketikmampuan memenuhi kebutuhan ,dasar , pernikahan yang
hancur , keluarga dengan orang tua tunggal ( Towsend , 2009 ) .
2) Faktor budaya yang di dalmanya adalh faktor spiritual , nilai yang di anut
olehkeluarga , pandangsn teerhadap prilaku yang menyebabkan kematian ,
berdampak pada angka jejadian bunuh diri ( Krch et al ( 2008 dalam
Varcorolish & hitler , 2010 ) .
3) Kehilangan , kurangnya dukungan sosIal dan peristiwa keidupan yang negativ ,
dan penyakit fisik kronish . Baru baru ini perpisahan perceraian dan penurunan
dukungan sosial merupakan faktor penting dengan berhubungan dengan resiko
bunuh diri .( stuard 2013 )
2. Faktor prepitasi ( stuard , 2009 )
a) Akibat stres berlebihan yang di alami individu
b) Masalah interpresonal
c) Kehilangan pekerjaan
d) Ancaman pengurungan
e) Dipermalukan di depan umum

3. Penilaian stresor
Upaya bunuh diritidak mungkin di prediksi di setiap tingkat yang bermakna . oleh
krna itu perawat harus mengkaji faktor resiko bunuh diri yanng di ketahui pada setiap
indifidu dan menen tukan makana setiap elemen ini terhadap potensi bunuh diri
( stuard , 2006 ) .

4. Mekanisme koping
Seorang pasien dapat mengunakan berbagai mekanisme kopi yang untung mengatasi
prilaku yang merusak diri sendiri . ermasuk penyangkalan , rasionalisasi , regresi
dan pemikiran magis (stuard, 2013 )

5. Sumber koping
a) seorang dapat mengatasi resiko bunuh diri dengan menggunakan sumber
koping internal dan external yang tersedia ( stuard , 2011 ) .
sumberkoping terdiri dari kemempun personal dan dukungan sosial , asset
mtrial dan keyakinan ( stuard , 2011, videbeck 2011 ) .
b) Kemampuan scara fisik teridentifikasi dari kondisi fisik yang sehat . meliputi
kemampuan kognitif afektif dan , perilaku sosisal . seluruh emampuan ini di
gunakan dalam rangka mengontrol kondisi resiko bunuh diri yang di rasakan oleh
klien ( stuard , 2011)
Sumber dukungan sosial pada klien dengan resiko bunuh diri meliputi dukungan
dlam membantu klien mengontrol perasaan sedih yang berkepanjangan .
Dukungan yang di berikan dapat berupa dukungan fisik dan psikologis . dukungan
fisik diporoleh dari keterlibatan aktiv keluarga , dalam mengontrol perasaan klen .
c) Aset material yang dapat diperleh kien dengan resiko bunuh diri meliputi
dukungan finansial yang membantu perawatan klien di rumah sakit . tidk
terpenuhi aset matrial seperti penghsilan kurang sulit memperoleh layanan
kesehatan , tidak memiliki pekerjaan akan berpoensi menimbulkan resiko bunuh
diri , akibat tidak optimalnay sumberkoping yang di miliki oleh klien .
d) Keyakinan positif pada klien dengan resiko bunuh diri diperoleh dari keyakinan
klien terhadap kondisi kesehatan dan kemempuan diri dalam mengontrol perasan
sedih berkepanjangan yang di rasakan . Adanya keyakinan yg positif akan
berpotensi meningkatkan motivasi klien untuk menggunakan mekanisme koping
yang adaptif . Sebaliknya keyakinan yang negatif akan meningkatkan resiko
bunuh diri yang di alami oleh klien dan jelas akan menimbulkan prilaku
maladaptifpada klien . pada klien dengan resiko bunuhn diri umumnya tidak
memiliki kemampuan untuk membuat keputusan secara rsional . orang dengan
resiko bunuh diri cenderung menghindar .( stuard , 2011, videbeck ,2011 , sadoc
& sadock , 2010 ).

C. Daftar Masalah dan Data yang perlu di kaji


Daftar Masalah, Stuart, ( 2009 )
a) Resiko prilaku kekerasan terhadap diri
b) Resiko bunuh diri
c) Ketidak patuhan
d) Mutilasi diri
e) Ketidak berdayaan
f) Keputusasaan
g) Kecemasan
h) Koping individu in efektik
i) Haarga diri kronik

3. Data yang perlu dikaji


Tanda dan gejala resiko bunuh diri dapa di nilai dari ungkapan pasien yang menunjukan
keinginan atw ppikiran untuk mengakhiri hidup dan didukung dengan data hasil
wawancara dan observasi .
a. Data subjektif
Pasien mengungkapkan tantangan :
1) Merasa hidup tak berguna lagi
2) Ingin mati
3) Pernah mencoba bunuh diri
4) Mengancam bunuh diri
5) Merasa bersalah / sedih , marah , putus asa , tidak berdaya .
b. Data objektif
1) Expresi murung
2) Tak bergairah banyak diam
3) Ada bekas percobaan bunuh diri, (Kemenkes, 2012 ) .

D. Pohon Masalah
RESIKO BUNUH DIRI

KETIDAK BERDAYAAN

KEPUTUS ASAAN

HARGADIRI RENDAH KRONIS

E. Diagnosa Keperawatan : Resiko Bunuh Diri


Diagnosis Medis : Depresi

F. Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa
SP/ Kemampuan Klien SP / KELUARGA
Keperawatan
Resiko bunuh diri SP 1 : SP 1 :
1. Idententifikasi beratnya 1. Diskusikan masalah yang
masalah resiko bunuh di rasakan dalam merawat
diri, isyarat, ancaman, pasien
percobaan (jika 2. Jelaskanpengertian ,
percobaan segera di tanda dan gejala proses
rujuk) terjadinya bunuh diri
2. Identifikasi benda benda 3. Jelaskan cara merawt
berbhay dan resiko bunuh diri .
mengamankannya 4. Latih cara memberikan
(lingkungan aman untuk hal positif pasien ,
pasien ) . memberi dukungan
3. Latih cara mengendalikan pencapaian dukungan di
diri dari dorongan bunuh massa depan .
diri : buat daftar aspek
positif diri sendiri , latian
afirmasi / berfikir positif SP 2 :
yang demiliki 1. Evaluasi kegiatan
4. Masukan pada jadwal keluarga dalam
positif 5 kali /perhari . memberikan pjian dan
penghargaan atas
SP 2 : keberhasilan dan aspek
1. Evaluasi kegiatan berfikir positif pasien .keluarga
positif tentang diri . beri pijian
sendiri , beri pujian kaji 2. Latih cara memberikan
ulang resiko bunuh diri . penghargaan pada pasien
dan menciptakan suasana
positf dan keluarga tidak
membicarakan anggota
2. Latih cara mengendalikan keluarga .
diri dari dorongan bunuh 3. Anjurkan membantu
diri : buat aspek daftar pasien sesui jadwal dan
keluarga dan ling kungan memberi pujian .
, latih afirmasi positif
kelurga dan lingkungan . SP 3 :
3. Masukan jadwal berfikir 1. Evaluasi kegiatan
positif tentang diri , keluarga dalam
keluaarga dan memberikan pujian dan
lngkungan . penghargaaan pada pasien
serta menciptakan suasana
SP 3 : positif dalam keluarga .
1. Evaluasi kegiatan berfkir beri pujian .
positif tentang , keluarga dan 2. Bersama keluarga pasien
lingkngan . beri pujian dan mendiskusikan tentang
kaji resiko bunuh diri harapan masadepan sera
2. Diskusikan harapan dan langkah langkah
masa depan . mencapainya .
3. Diskisikan caara 3. Anjurkan untuk
mencapai harapan dan membantu pasien sesuai
masadepan jadual dan berikan pujian .
4. Latih cara mencapai
haarapan dan masa depan SP 4 :
secara bertahap . 1. Evaluasi kegiatan latihan
5. Masukan pada jadwal peningkatan positif diri
latihan berfikir positif , keluarga dan lingkungan
tentang diri , keluarga dan beri pujiana .
lingkungan kegiatan yang di 2. Evaluasi tahap kegiatan
pilih . dalam mencapai massadepan
3. Latihan kegiatan harian
SP 4 : 4. Nilai kemampuan yang
1. Evaluasi kegiatan berfikir telah mandiri .
positif tentang diri , keluarga 5. Nilai apakah resiko bnuh
dan lingkungan serta diri teratas
kegiatan yang di pilih beri
pujian .
2. Latih tahap kedua
kegiatan mencapai masa
depan .
3. Masukan jadwal pada
latihn berfikir positif , pada
diri keluarga serta kegiatan
yang di pilih untuk persiapan
masadepan .
DAFTAR PUSTAKA

American Phicitry Acociation (2012 ) . DEFINITIN OFMENTAL DISORDER .www


diakses tanggal 24 mei 2012
Depkes ( 2011 ) Program kesehatan jiwa www. Depkes go.id akses pada tanggal 23 mei 2013.
Fortaine , Kl ( 2009 ) . mental health nursing (jersey : person Education , inc .
Frisch , N.C & Frinsch , LE (2006) . Psychiatric maeteal healt nurse (3 ed ) . canada :
thomson .
NANDA International ( 2012 ) DIAGNOSA Keperawatan definisi dan klasifikasi 2012-2014,
jakarta : egc .
Sadock, B.J & Sadock V.A 2010 Kaplan &Sadock : buku ajar psikiatri klinis (edisi 2 jakart )
WHO (2014 ) . Fact Sheet
Shives R.L(2005). Basic concepts of psychiatric-mental health nursing. (6 th ed.).
philadelphia.lippinocott williams dan wilkins.
Stuart, G.W. princles and practice of psychiatric nursing, 10th edition, elsevier mosby, st.louis
Towsend,C.M.(2009).psychiatric mental health nursing. (6th ed.) philadelphia; F.A. davis
company
Towsend, M.C. (2014). Psychiatric mental nursing concepts of care in evidence-based
practice, 6th ed. Philadelphia; F.A. davis company
Varcarolis, E.M. dan halter, M.J (2010). Foundation of psychiatric mental health nursing : a
clinical approach. St. Louis : saunders Elsevier.
Varcarolis, E.M. et al.(2006). Foundation of psychiatric mental health nursing . 4 th ed St
Louis. Elseiver inc.
Videbeck, S.L..(2011). Buku ajar keperawatan jiwa. (renata komalasari, dkk,penerjemah).
Jakarta :EGC.
WHO. (2014). Fact sheet suicide.diakses pada September 2014.
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM

Kasus (Masalah Utama)


Perubahan Proses Pikir: Waham

A. Definisi
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-menerus, tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006)
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah.
Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya
klien (Aziz R, 2003).

B. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
b. Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
c. Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
d. Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.
2. Faktor Presipitasi
a. Proses pengolahan informasi yang berlebihan
b. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
c. Adanya gejala pemicu

C. Tanda dan Gejala


1. Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakinninya (tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan
2. Klien tampak tidak mempunyai orang lain
3. Curiga
4. Bermusuhan
5. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan
6. Takut dan sangat waspada
7. Tidak tepat menilai lingkungan/realitas
8. Ekspresi wajah tegang
9. Mudah tersingung

D. Masalah Keperawatan Yang Sering Muncul


1. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
2. Kerusakan komunikasi : verbal
3. Perubahan isi pikir : waham

E. Akibat Yang Sering Muncul


1. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)
Cara berpikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk dan pengorganisasian
bicara (tangensial, neologisme, sirkumtansial)
2. Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi
3. Fungsi emosi
Afek datar, afek tidak sesuai, reaksi berlebihan, ambivalen
4. Fungsi motorik
Imfulsif gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotopik gerakan yang diulang-
ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang jelas, katatonia.
5. Fungsi sosial : kesepian
6. Isolasi sosial, menarik diri dan harga diri rendah.

F. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang menakutkan
dengan respon neurobiologist yang maladaptive meliputi: regresi berhubungan dengan
masalah proses informasi dengan upaya untuk mengatasi ansietas, proyeksi sebagai upaya
untuk menjelaskan kerancuan persepsi, menarik diri, pada keluarga: mengingkari.
G. Fase-fase
Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
1. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara fisik
maupun psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang dengan
status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan
menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk
melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi
terpenuhi tetapi kesenjangan antara Reality dengan selft ideal sangat tinggi. Misalnya
ia seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang dianggap sangat
cerdas, sangat berpengalaman dn diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi
karena sangat pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi
juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang ( life span history ).
2. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self
ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan yang
tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi
komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan yang luas,
seseorang tetap memasang self ideal  yang melebihi lingkungan tersebut. Padahal self
reality-nya sangat jauh. Dari aspek pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh,
support system semuanya sangat rendah.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan kenyataan.
Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat berat, karena
kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima
lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum
terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan
koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak
dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan
klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan
tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai
terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma ( Super Ego ) yang
ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan
sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya
klien lebih sering menyendiri dan menghindar interaksi sosial ( Isolasi sosial).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan
yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan
dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi ( rantai
yang hilang ). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat
menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang
keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya
bahwa apa-apa yang dilakukan menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi sosial.

H. Jenis Waham
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenisnya meliputi :
a) Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan
khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya
ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau, “Saya punya tambang emas.”
b) Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin menghancurkan hidup
saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
c) Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama secara
berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Kalau
saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih setiap hari.”
d) Waham somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau
terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya pada pemeriksaan laboratorium tidak
ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia sakit kanker).
e) Waham nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di
dunia/meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya,
”Ini kan alam kubur ya, sewmua yang ada disini adalah roh-roh”.
f) Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang disisipkan ke
dalam pikirannya.
g) Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang tersebut
h) Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan di
luar dirinya.

I. Rentang Respon

3. Pohon Masalah
Resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan

Perubahan Proses Pikir: Waham

Harga Diri Rendah


B. Masalah Keperawatan Dan Data Yang Perlu Dikaji
Masalah Keperawatan : Perubahan Isi Pikir : Waham
1) Data subjektif :
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan.
2) Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak (diri, orang
lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat menilai
lingkungan/ realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung.

4. Diagnosa Keperawatan
Perubahan Proses Pikir: Waham

5. Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa Keperawatan:Perubahan Proses Pikir: Waham
1. Tujuan umum :
Klien tidak terjadi perubahan proses pikir: waham
2. Tujuan khusus :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Tindakan :
a. Bina hubungan. saling percaya: salam terapeutik, perkenalkan diri, jelaskan
tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas
topik, waktu, tempat).
b. Jangan membantah dan mendukung waham klien: katakan perawat menerima
keyakinan klien “saya menerima keyakinan anda” disertai ekspresi menerima,
katakan perawat tidak mendukung disertai ekspresi ragu dan empati, tidak
membicarakan isi waham klien.
c. Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindungi: katakan perawat
akan menemani klien dan klien berada di tempat yang aman, gunakan
keterbukaan dan kejujuran jangan tinggalkan klien sendirian.
d. Observasi apakah wahamnya mengganggu aktivitas harian dan perawatan diri.
2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki
Tindakan :
a. Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realistis.
b. Diskusikan bersama klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan saat
ini yang realistis.
c. Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian anjurkan untuk melakukannya
saat ini (kaitkan dengan aktivitas sehari hari dan perawatan diri).
d. Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai kebutuhan
waham tidak ada. Perlihatkan kepada klien bahwa klien sangat penting.

3) Klien dapat mengidentifikasikan kebutuhan yang tidak terpenuhi


Tindakan :
a. Observasi kebutuhan klien sehari-hari.
b. Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik selama di rumah
maupun di rumah sakit (rasa sakit, cemas, marah)
c. Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham.
d. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien dan memerlukan
waktu dan tenaga (buat jadwal jika mungkin).
e. Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk menggunakan
wahamnya.

4) Klien dapat berhubungan dengan realitas


Tindakan :
a. Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri, orang lain, tempat dan
waktu).
b. Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi realitas.
c. Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien

5) Klien dapat menggunakan obat dengan benar


Tindakan :
a. Diskusikan dengan kiten tentang nama obat, dosis, frekuensi, efek dan efek
samping minum obat
b. Bantu klien menggunakan obat dengan priinsip 5 benar (nama pasien, obat,
dosis, cara dan waktu).
c. Anjurkan klien membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan
d. Beri reinforcement bila klien minum obat yang benar.

6) Klien dapat dukungan dari keluarga


Tindakan :
a. Diskusikan dengan keluarga melalui pertemuan keluarga tentang: gejala
waham, cara merawat klien, lingkungan keluarga dan followup obat.
b. Beri reinforcement atas keterlibatan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna. 2006. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa. Jakarta : FIK,
Universitas Indonesia
Aziz R, dkk. 2003.Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino
Gondoutomo.
Tim Direktorat Keswa. 2000.Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Edisi 1. Bandung, RSJP
Bandung.
Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika
Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .

Anda mungkin juga menyukai