Anda di halaman 1dari 26

HUKUM JAMINAN

HUKUM JAMINAN KREDIT DALAM PERBANKAN INDONESIA

Dosen Pengampu : Anto Kustanto, SH., M.Hum.


Kelompok :
1. Yani Oktaviana (20107011048)
2. Nazella Aurell Cindy Tasya (20107011068)
3. Selvia Putri Ritifa (20107011117)
4. Ibnu Dwi Putra (20107011120)
5. Muhammad Wisnu Syahputra (20107011124)
6. Darul Husni (20107011125)
7. Auliya Syafa Kamila (20107011126)
8. Muhammad Iqbal Mahmudi (20107011127)
9. Muhammad Imamuddin (20107011128)
10. Munawaroh (20107011132)

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG FAKULTAS


HUKUM ILMU HUKUM 2021/2022

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah – Nya,

sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai dan tepat waktu.

Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Anto Kustanto, SH., M.Hum. selaku

dosen pengampu Hukum Jaminan yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini,

dan juga teman-teman yang sudah berpatisipasi dalam pengerjaan makalah dengan

mengumpulkan data-data untuk tugas makalah ini. Kami sangat berharap semoga makalah ini

dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Adapun tujuan utama pembuatan

makalah ini adalah sebagai Penilaian Tengah Semester Hukum Jaminan semester ganjil, dengan

judul makalah ini adalah “ Hukum Jaminan Kredit dalam Perbankan Indonesia’’

Kami menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari kata sempurna, mungkin dalam

pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui, karena keterbatasan

pengetahuan dan pengalaman. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat

kesalahan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan

saran dari teman-teman maupun dosen demi kesempurnaan makalah ini.

Semarang 5, November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………
i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………….

ii

BAB I PENDAHULUAN………………………….…………………………….. 1

A. Latar Belakang……………………………………………………………….. 1

B. Rumusan Masalah……………………………………………………………. 2

C. Tujuan Pembahasan........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................4
A. Pengertian Hukum Jaminan...............................................................................4
B. Ruang Lingkup Hukum Jaminan.........................................................................4
C. Hubungan Hukum Jaminan dengan Jaminan Kredit Perbankan.................................7
D. Pemberian Kredit dan Jaminan Kredit Perbankan...................................................8
E. Penilaian Suatu Jaminan Kredit.........................................................................10
F. Pengikatan Jaminan dan Pencairan Jaminan Kredit...............................................13
BAB III PENUTUP................................................................................................20
A. Kesimpulan....................................................................................................20
B. Saran............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................22
ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Di dalam pemberian kredit, Bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat

termasuk resiko yang harus dihadapi atas pengembalian kredit. Ditinjau dari sudut

perkembangan perekonomian nasional dan internasional akan dapat diketahui betapa besar

peranan yang terkait dengan kegiatan pinjam-meminjam uang pada saat ini. Berbagai lembaga

keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi

kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit

perbankan. Kredit perbankan merupakan salah satu usaha bank konvensional yang telah banyak

dimanfaatkan oleh banyak anggota masyarakat yang memerlukan dana.

Kewajiban untuk menyerahkan jaminan utang oleh pihak peminjam dalam rangka

pinjaman uang sangat terkait dengan kesepakatan di antara pihak-pihak yang melakukan pinjam

meminjam uang. Pada umumnya pihak pemberi pinjaman men syaratkan adanya jaminan utang

sebelum memberikan pinjaman uang kepada pihak peminjam. Sementara itu, keharusan

penyerahan jaminan utang tersebut sering pula diatur dan disyaratkan oleh peraturan intern pihak

pemberi pinjaman dan atau oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berkaitan dengan sistem keuangan yang dianut di Indonesia, terdiri dari sistem keuangan

moneter dan lembaga keuangan lainnya. Sistem keuangan moneter terdiri atas otoritas moneter

dan sistem Bank Umum (commercial bank). Otoritas moneter sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia jo. Undang-Undang No. 3 tahun

2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1999. Secara

1
tegas menyatakan bahwa Bank Indonesia adalah penanggung jawab otoritas kebijakan moneter

yang biasanya disebut otoritas moneter.

B. Rumusan Masalah

Setelah menyusun latar belakang di atas, penulis menemukan beberapa masalah yang

dirumuskan sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Jaminan?

2. Apa saja ruang lingkup Hukum Jaminan?

3. Apa kaitannya Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan?

4. Bagaimana Pemberian Kredit dan Jaminan Kredit Perbankan?

5. Bagaimana Penilaian Jaminan Kredit?

6. Apa yang dimaksud dengan Pengikatan dan Pencairan Jaminan Kredit?

C. Tujuan Pembahasan

Dari rumusan masalah tersebut, penulis memiliki beberapa tujuan yaitu:

1. Menyampaikan kepada pembaca apa yang dimaksud dengan Hukum Jaminan;

2. Menyampaikan kepada pembaca tentang apa saja ruang lingkup Hukum

Jaminan
2

3. Menyampaikan kepada pembaca tentang kaitannya Hukum Jaminan dengan

Jaminan Kredit Perbankan;

4. Memberitahukan tentang bagaimana Pemberian Kredit dan Jaminan Kredit

Perbankan kepada pembaca;

5. Memberitahukan tentang bagaimana Penilaian Jaminan Kredit kepada

pembaca;

6. Menyampaikan kepada pembaca tentang apa yang dimaksud dengan

Pengikatan dan Pencairan Jaminan Kredit.


3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Jaminan

Jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa

debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu

perikatan. Menurut Salim, SH, Hukum Jaminan adalah keseluruhan ketentuan hukum yang

mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan

pembebanan jaminan untuk medapatkan fasilitas kredit. Dapat atau tidaknya suatu objek

digunakan sebagai jaminan utang tergantung pada lembaga penjamin.

B. Ruang Lingkup Hukum Jaminan

Jaminan Umum dan Jaminan Khusus

1) Jaminan Umum

Sesuai Pasal 1131 KUHPerdata (“KUHPer”), semua barang yang dimiliki oleh pehutang, baik

yang bergerak atau tidak bergerak, saat ini atau yang akan datang, menjadi tanggungan untuk

segala perikatan perseorangan. Inilah yang disebut sebagai Jaminan umum.


4
2) Jaminan Khusus

Ada pasal-pasal dalam hukum jaminan yang mengatur barang-barang yang dijadikan agunan

hutang, atau yang dikenal sebagai jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan adalah jaminan

dengan objek berupa harta bergerak maupun tidak bergerak yang dimaksudkan untuk menjamin

hutang debitur kepada kreditor jika debitur tidak mampu membayar hutangnya kepada kreditor

di masa mendatang.

Hak dan kewajiban debitur adalah bertimbal balik dengan hak dan kewajiban kreditur. Selama

proses ini tidak menghadapi masalah dalam arti kedua pihak melaksanakan hak dan

kewajibannya sesuai dengan perjanjian, maka persoalan tidak akan muncul. Dalam menjalankan

kegiatan kredit perbankan dibutuhkan suatu pengamanan yang diawali pada saat perencanaan

untuk memberikan kredit. Pengamanan ini perlu dilakukan sedimikian rupa karena erat kaitannya

dengan risiko oleh karena itulah bank dilarang memberikan kredit tanpa jaminan.

Prinsip-prinsip Hukum Jaminan

Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUH

Perdata adalah sebagai berikut.

1) Kedudukan Harta Pihak Peminjam

Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak peminjam, yaitu bahwa harta

pihak peminjam adalah sepenuhnya merupakan jaminan (tanggungan) atas utangny Pasal 1131

KUH Perdata menetapkan bahwa semua harta pihak peminjam, baik yang berupa harta bergerak

5
maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari

merupakan jaminan atas perikatan utang pihak peminjam.

Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan pokok dalam hukum

jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak yang berutang (pihak pemin jam) atas

perikatan utangnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman

akan dapat menuntut pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan,

termasuk harta yang masih akan dimiliki nya di kemudian hari. Pihak pemberi pinjaman

mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak

peminjam di kemudian hari.

2) Kedudukan Pihak Pemberi Pinjaman

Bagaimana kedudukan pihak pemberi pinjaman terhadap harta pihak peminjam dapat

diperhatikan dari ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disim pulkan bahwa kedudukan pihak

pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu (1) yang mempunyai kedudukan

berimbang sesuai dengan piutang masing-masing; dan (2) yang mempunyai kedudukan

didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-

undangan.

3) Larangan memperjanjikan pemilik objek jaminan utang dan pemberi pinjaman

Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang bila pihak

peminjam ingkar janji (wanprestasi). Ketentuan yang demikian diatur oleh Pasal 1154 KUH

Perdata tentang Gadai, Pasal 1178 KUH Perdata tentang Hipotek.

6
Larangan yang sama terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain, yaitu

pada Pasal 12 UU No. 4 Tahun 1996 mengenai Hak Tanggungan, Pasal 33 UU No. 42 Tahun

1999 mengenai Jaminan Fidusia.

C. Hubungan Hukum Jaminan dengan Jaminan Kredit Perbankan

Beberapa prinsip dalam hukum jaminan, terutama yang berakar pada Pasal 1131 KUH Perdata

memberikan suatu konklusi bahwa pada dasarnya dalam hubungan pemberian kredit senantiasa

ada soal jaminan, yaitu kekayaan debitor yang bersangkutan. Oleh karena itu secara hukum

hampir tidak mungkin terjadi pemberian kredit tanpa jaminan, termasuk praktik perbakan yang

sering memperkenalkan unsecured money market line atau unsecure loan. Pemberian kredit

ini secara hukum harus diartikan sebagai kredit yang tidak dijamin dengan harta debitor yang

ditunjuk secara khusus, atau dengan kata lain yang tidak dijamin harta tidak bergerak

dalam bentuk hipotik atau Hak Tanggungan.

Pemberian kedudukan suatu dan aman kepada kreditor bank, didahulukan pembayaran

piutangnya dari kreditor-kreditor konkuren, diperlukan pengikatan jaminan secara khusus. Hak

untuk didahulukan di antara para kreditor antara lain hak yang timbul dari pembebanan

hipotik, hak tanggungan, gadai dan fidusia, masing-masing dilakukan menurut ketentuan

perundang-undangan yang berlaku. Aspek hukum jaminan dalam undang-undang perbankan

diawali dengan ketentuan yang mewajibkan bank dalam memberikan kredit mempunyai

keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor melunasi kredit yang telah

diberikan. Keyakinan tersebut diperoleh setelah melakukan penilaian yang seksama terhadap

calon nasabah debitor sebelum kredit diberikan, terhadap berbagai unsur seperti agunan.

7
Ketentuan perbankan pun ternyata memberikan gambaran yang sejalan, yaitu dalam setiap

pemberian kredit oleh bank tanpa jaminan secara hukum merupakan hal yang nyaris tidak

ada. Kedudukan bank minimal sebagai kreditor konkuren, akan tetapi masih belum terlindung

kepentingannya dan menghadapi banyak risiko. Untuk mengatasinya bank senantiasa

mengupayakan pengamanan dan perlindungan terhadap kepentingannya antara lain melalui

peningkatan kedudukannya menjadi kreditor separatis atau kreditor preferen.

D. Pemberian Kredit dan Jaminan Kredit Perbankan

Pemberian kredit termasuk kegiatan pokok di dalam suatu bank. Undang-undang No. 10 Tahun

1998 tentang Perubahan Atas Undang- undang 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pasal 1 angka

11 memberikan pengertian kredit sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan

dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan

pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu

dengan pemberian bunga.

Pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya didasarkan pada ketentuan Pasal 8 ayat (1)

Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- undang 7 Tahun 1992

tentang Perbankan. Bank akan melakukan analisa secara yuridis dan ekonomis terhadap calon

debitur untuk menentukan kemampuan dan kemauan calon debitur tersebut dalam membayar

kembali fasilitas kredit yang akan dinikmatinya sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Sebelum

menyetujui permohonan yang diajukan calon debitur untuk mendapatkan fasilitas kredit.

Perjanjian kredit dituangkan setelah adanya permohonan kredit telah disetujui oleh pihak bank.

Perjanjian kredit tersebut disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu kreditur (Bank) dan debitur

(nasabah) sebagai suatu wujud dari asas kebebasan berkontrak.

8
Dalam menjalankan kegiatan usahanya, wajib selalu berpedoman dan merapkan prinsip kehati-

hatiannserta asas-asas pemberian kredit sehat. Hal ini dikarenakan setiap pemberian kredit yang

disalurkan kepada masyarakat selalu mengandung resiko. Prinsip kehati-hatian diwujudkan

dalam bentuk penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik terhadap semua persyaratan

dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberian kredit oleh bank yang

bersangkutan.

Prosedur pemberian kredit yang baik diperlukan untuk menyakinkankesesuaian praktek

perkreditan dengan kebijakan perkreditan bank. Dengan adanya prosedur pemberian kredit yang

baik diharapkan terjadinya praktek- praktek perkreditan yang tidak sehat dapat dihindari.

Kebijakan dan prosedur kredit diterapkan untuk mengarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan

suatu usaha. Setiap tahapan proses pemberian kredit harus senantiasa dilaksanakan dengan

menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati- hatian tersebut tercermin dalam kebijakan

pokok perkreditan, tata cara penilaian kualitas kredit, profesionalisme dan integritas pejabat

perkreditan.

Disebutkan pula dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.

23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang

dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk

melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.


Dalam Pasal 1 butir 23 UU No 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No.

10 Tahun 1998 disebutkan pengertian agunan sebagai berikut: “Agunan adalah jaminan

tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada Bank dalam rangka pemberian fasilitas

kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah”

9
Konsep jaminan kredit perbankan dalam Undang-Undang Perbankan atau UU No. 7 Tahun 1992

dan perubahannya pada UU No. 10 Tahun 1998 menempatkan agunan sebagai salah satu faktor

yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan bank dalam mencapai keyakinan atas kemampuan

dan kesanggupan nasabah debitur untuk memenuhi kewajibannya (membayar

hutang).

Praktek proses perjanjian kredit selalu diikuti dengan perjanjian jaminan. Hal tersebut

dimaksudkan sebagai perlindungan bagi bank bahwa debitur akan melaksanakan prestasinya

sesuai perjanjian. Perjanjian jaminan merupakan perjanjian tambahan yang Keberadaan

perjanjian jamiman yang merupakan jaminan tambahan tergantung dari perjanjian pokok yaitu

perjanjian kredit. Dalam praktek perjanjian kredit dan jaminan perbankan, piutang dapat

dijadikan sebagai obyek jaminan, lembaga jaminan yang mengatur adalah lembaga jaminan

gadai dan jaminan fidusia. Obyek jaminan gadai dan fidusia adalah meliputi benda bergerak

berwujud dan benda bergerak tidak berwujud yang dapat berupa piutang.

E. Penilaian Suatu Jaminan Kredit

Dalam praktik perbankan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan jaminan kredit

biasanya telah diatur dalam peraturan-peraturan internnya, peraturan intern tersebut antara lain

mengatur tentang objek jaminan kredit yang dapat diterima bank, tata cara penilaiannya dan cara

pengikatannya. Sebagaimana objek jaminan utang yang lazim digunakan dalam suatu

utangpiutang, secara umum jaminan kredit perbankan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis

yaitu :

1. Barang bergerak;

2. Barang tidak bergerak; dan

10
3. Jaminan perorangan (penanggungan utang)

Dalam UU 42/1999 Tentang Jaminan Fidusia, barang bergerak terdiri atas jaminan yang

beruwujud dan yang tidak berwujud, masing-masing kelompok jaminan kredit tersebut terdiri

dari bermacam jenis dan nama yang kadang sulit dirinci secara tegas seperti contoh :

1. Barang bergerak terdiri dari : perhiasan, surat berharga, kendaraan bermotor, perlengkapan

rumah tangga, perlengkapan kantor, alat berat dll.

2. Barang tidak bergerak terdiri dari : tanah dan benda-benda yang berkaitan

dengan tanah seperti rumah tinggal, gedung kantor, gudang hotel, dan sebagainya.

3. Penanggungan utang dapat berupa jaminan pribadi (personal guaranty) dan jaminan

perusahaan (company/guaranty).

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan masing-

masing barang yang diterapkan sebagai objek jaminan kredit akan dapat dinilai berbagai hal

tentang barang yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangannya tersebut.

Dari praktik perbankan dapat diketahui bahwa tidak semua objek jaminan utang dapat diterima

bank dalam rangka kegiatan perkreditannya, sebagai contoh :


1. Tanah yang belum bersertifikat adalah tanah yang belum terdaftar diKantor Pertanahan

setempat sehingga bila dijadikan sebagai objek jaminan utang harus diajukan permohonan

pendaftaran haknya secara bersamaan pada saat pembuatan Akta Pemberian Hak

Tanggungannya. Proses pendaftarannya biasanya memerlukan jangka waktu yang relatif lama

karena harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Disamping itu, akan timbul biaya-biaya yang

seharusnya dibayar oleh pemilik tanah. Walaupun bank dapat menerima penggunaan Surat

11
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, tetapi akan terdapat kendala berupa jangka waktu

berlaku yang terbatas untuk surat kuasa tersebut.

2. Barang persedian dapat dijadikan objek jaminan fidusia sehingga dapat diikat sebagai

jaminan kredit. Akan tetapi, terhadap barang persediaan yang dijadikan objek jaminan utang

walaupun telah diatur ketentuan UU 42/1999, kiranya harus tetap mendapat pengawasan penuh

dair bank. Barang persediaan antara lain berupa barang perdagangan atau bahan baku biasanya

mempunyai mobilitas yang relatif tinggi sehingga terdapat kemungkinan terjadinya sesuatu

perubahan yang mungkin bertentangan dengan kesepakatan semula. Dengan demikian,

diperlukan tindakan pengawasan oleh bak misalnya mengenai penggantian terhadap barang

persediaan yang dijual yang digunakan dan sebagainya yang dilakukan oleh debitur

Dari penjelasan di atas dapat diketahui dan disimpulkan bahwa adanya pembatasan objek

jaminan kredit yang akan diterima pada masing-masing bank tersebut ialah sangat relevan karena

berpengaruh pada efisiensi kegiatan dan kinerja badan usahanya. Adapun dalam hal ini penilaian

jaminan kredit yang diberikan debitur tersebut seorang Kreditur haruslah memperhatikan hal-hal

berikut ini :

1. Legalitas objek jaminan kredit;


2. Keabsahan penggunaan objek jaminan kredit;

3. Penggunaan dokumen yang sah; dan

4. Sengketa yang dapat melekat pada objek jaminan kredit

Adapun hal-hal di atas perlu diperhatikan agar dapat memberikan suatu catatan penting bagi

para kreditur maupun debitur yang hendak melakukan perjanjian dan memberikan jaminan kredit

12
atas perjanjian yang dibuatnya, sehingga apabila hal-hal tersebut dilakukan kiranya dapat

meminimalisir potensi timbulnya sengketa di kemudian hari.

F. Pengikatan Jaminan Kredit dan Pencairan Jaminan Kredit

1.Pengikatan Jaminan Kredit

Pada dasarnya, suatu perjanjian kredit dengan menggunakan jaminan deposito berjangka diawali

dengan dibuatnya suatu perjanjian antara nasabah dengan bank. Sehingga adanya perjanjian

tersebut akan menimbulkan suatu perikatan pada kedua belah pihak yang membuatnya, suatu

perjanjian akan dianggap sah jika telah mencakup ketentuan sahnya perjanjian yang tertuang

dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata antara lain:

a. adanya kesepakatan antara pihak yang mengikatkan dirinya;

b. adanya kecapakan untuk membuat perikatan;

c. adanya suatu pokok hal tertentu;

d. mengandung sebab yang tidak terlarang.

Oleh karena itu dalam penyusunan suatu perjanjian kredit haruslah mencakup syaratsyarat dalam

ketentuan tersebut serta perlu dilakukan pertimbangan terkait beberapa hal seperti keabsahannya,

sudah memenuhi persyaratan secara hukum serta memuat secara jelas mengenai jumlah kredit,

jangka waktu, tata cara pelunasan kredit serta ketentuan-ketentuan lainnya. Berdasarkan Hukum

Perdata Indonesia, perjanjian kredit tergolong sebagai perjanjian pinjam meminjam yang diatur

dalam ketentuan Pasal 1754 – Pasal 1769 Buku Ketiga KUHPerdata. Makna dari unsur simpan

meminjam yang dimaksudkan disini adalah simpan meminjam antara pihak debitur dengan pihak

bank.

13
Pada dasarnya undang-undang tentang perbankan tidak mengenal istilah perjanjian kredit, akan

tetapi ketentuan pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang selanjutnya disingkat

menjadi Undang-Undang Perbankan memberikan pengertian tentang kredit yang menyatakan

bahwa,“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam – meminjam antara bank dengan pihak lain

yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu

dengan pemberian bunga”. Hal ini menunjukan bahwa perjanjian kredit mengakibatkan adanya

pembagian hak dan kewajiban yang perlu untuk dijalani oleh setiap pihak, yang dimana pihak

bank berkewajiban memberikan pinjaman melalui pelayanan kredit dan berhak untuk

memperoleh kepastian pengembalian dari debitur selaras dengan kesepakatan yang telah

ditetapkan. Sebaliknya pihak debitur berkewajiban untuk membayarkan piutangnya sesuai

dengan perihal yang telah ditetapkan bersama serta berhak atas mendapatkan prestasi berupa

pinjaman serta fasilitas – fasilitas lainnya dari bank berdasarkan apa yang dijanjikan bersama.

Dasar hukum mengenai deposito tertuang dalam ketentuan pasal 1 angka 7 UndangUndang

Perbankan mengatur bahwa, “Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat

dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank”.

Pemegang atas nama deposito ini dibuktikan dengan adanya bilyet deposito. Pada umumnya,

deposito terdiri dari beberapa jenis antara lain deposito on call, rekening koran giro, deposito

automatic rollover dan yang akan banyak kita bahas disini adalah deposito berjangka (time

deposit) yang merupakan simpanan pribadi yang pengambilannya berdasarkan jangka waktu

yang ditetapkan pada umunya adalah 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan.

14
Deposito Berjangka kerap kali menjadi pilihan alternatif pada situasi ketika seseorang

membutuhkan modal dalam waktu yang singkat, maka ia akan dihadapkan pada dua pilihan

yakni mencairkan simpanan dalam depositonya sebelum waktunya atau menggunakan harta

benda tetap miliknya untuk dijadikan sebagai jaminan peminjaman.

Kedua pilihan tersebut mempunya dampak yang berbeda, memutuskan untuk mencairkan

simpanan sebelum waktunya maka akan terjadi kerugian yakni uang yang diperoleh akan lebih

kecil hal ini karena tidak memperoleh bunga dan ada keharusan untuk membayar biaya

pengambilan sebelum waktu yang ditentukan. Sedangkan apabila memutuskan untuk

menggunakan benda tetap miliknya sebagai jaminan akan memerlukan waktu yang terbilang

cukup lama karena kredit tidak dengan mudah untuk direalisasikan. Maka dari itu, deposito

berjangka menjadi pilihan yang sangat efektif karena selain pengikatannya yang efisien dan tidak

berbelit-belit, juga akan memperoleh bunga dari simpanan berjangkanya. Dapat dikatakan bahwa

menggunakan jaminan deposito berjangka cukup menguntungkan karena pada umumnya bunga

kredit dengan deposito berjangka akan lebih rendah jika dibandingkan dengan bunga kredit

lainnya.

Berbicara mengenai proses pengikatan deposito berjangka apabila dijadikan jaminan

ketika nasabah mengajukan perjanjian kredit belum memperoleh peraturan yang lengkap dan

memadai, dikarenakan dalam Undang-Undang Perbankan tidak disebutkan deposito berjangka

dapat digunakan sebagai jaminan. Dalam Undang–Undang Perbankan belum mencakup hal

tersebut, sedangkan dalam prakteknya perbankan telah melaksanakan kegiatan tersebut sehingga

dibutuhkan aturan yang mengatur secara jelas sehingga dalam pelaksanaanya akan ada

keselarasan dan kepastian hukum terhadap hal tersebut. Hanya saja apabila mengacu pada Pasal

29 ayat (2) POJK No. 40 /POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum diatur

15
bahwa Deposito tergolong sebagai Agunan Tunai (Cash Collateral) merupakan aset bersifat

produktif dalam artian memiliki kualitas yang lancar. Hal ini menunjukan bahwa penggunakan

deposito sebagai jaminan diperbolehkan dengan mencakup persyaratan utamanya adalah

memiliki pengikatan hukum yang kuat sebagai agunan.

Mengacu pada ketentuan Pasal 45 POJK No. 40 /POJK.03/2019 diatur bahwa surat berharga

diikat secara gadai, maka dapat dikatakan bahwa deposito berjangka juga tergolong sebagai

surat berharga sehingga dalam pengikatannya sebagai jaminan akan menggunakan gadai.

Sertifikat deposito tergolong sebagai benda bergerak tidak berwujud berdasarkan pada ketentuan

Pasal 511 KUH Perdata. Sehingga apabila deposito berjangka digunakan sebagai jaminan maka

pengikatannya akan menggunakan gadai. Ketentuan yang mengatur tentang gadai terdapat dalam

Pasal 1150 - 1160 KUH Perdata. Gadai merupakan hak yang diperoleh dari pihak berpiutang atas

suatu bergerak yang diserahkan kepadanya oleh pihak berutang yang juga memberikan

kekuasaan untuk memperoleh pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada pihak

berpiutang lainnya. Maka berdasarkan pengertian tersebut bank sebagai seorang

berpiutang berhak untuk memperoleh pelunasan dari seorang berutang yakni debitur sebelum

memperoleh penguasaan kembali terhadap barang bergerak yang diserahkan sebagai jaminan.

Sehingga nilai esensial atau syarat sah lahirnya gadai adalah adanya penyerahan benda yang

digadaikan menjadi dalam penguasaan seorang berpiutang yakni kreditur. Namun apabila pihak

debitur tidak mau menyerahkan bendanya dengan kata lain benda tersebut masih pada tangan

debitur atau apabila pihak kreditur mengembalikan barang gadainya sebelum adanya pelunasan

atas kemauan kreditur itu sendiri maka perjanjian gadai dalam hal ini dikatakan tidak sah demi

hukum.

16
Dalam hal prosedur pengikatan deposito sebagai jaminan kredit dilaksanakan melalui beberapa

tahapan antara lain:

a. Tahap awal dimulai dengan adanya pengikatan antara para pihak yaitu debitur dan pihak

kreditur. Pengikatan ini ditandai dengan dibuatnya perjanjian utang atau perjanjian kredit yang

dalam hal ini merupakan perjanjian pokok. Didalam perjanjian kredit harus dibubuhi rumusan

yang menyatakan bahwa pelunasan utang dijamin dengan gadai. Perjanjian mengenai jaminan

gadai dibuat dengan perjanjian tersendiri yakni akta gadai yang dalam hal ini merupakan

perjanjian tambahan (bersifat accesoir).

b. Pada tahap kedua yakni pembuatan akta jaminan gadai yang di tandai dengan

penandatanganan kreditor sebagai penerima gadai dan debitor yang dalam hal ini sebagai

pemberi gadai. Perjanjian ini akan dianggap sah menurut hukum apabila dilakukan secara

dibawah tangan atau notariil dan perjanjian ini dibuat dengan tujuan sebagai jaminan perjanjian

pokoknya yakni perjanjian kredit.


c. Tahapan ketiga akan menjadi tahapan yang paling penting karena berkaitan dengan hal

gadai, tahapan ini dilaksanakan secara bersamaan dengan tahapan kedua yakni pembuatan akta

gadai, penyerahan secara nyata ini sebagai wujud kepastian yuridis bahwa perjanjian gadai ini

mengandung unsur sahnya gadai. Pemindahan kekuasaan secara nyata dalam hal ini artinya

bahwa benda yang dijadikan sebagai gadai yang awalnya ada dalam kekuasaan debitur sebagai

pemilik gadai kemudian diserahkan secara jelas dibawah kekuasaan pihak penerima gadai yaitu

kreditur.

d. Pada tahap keempat yang juga berlangsung secara bersamaan dengan tahap ketiga dalam

hal menggunakan deposito sebagai jaminan maka pemilik deposito diharuskan untuk memberi

kuasa kepada pihak bank sebagai pemegang gadai untuk kemudian melaksanakan pencairan dana

17
deposito yang hanya terjadi apabila debitur sebagai pemilik deposito melakukan kelalaian atau

wanprestasi. kewenangan untuk mencairkan deposito ini merupakan wujud nyata adanya

pengalihan secara yuridis deposito kepada bank yang bertujuan untuk meringankan pelunasan

pinjaman oleh kreditur yang dijamin dengan deposito.

e. Tahap terakhir adalah bank sebagai penerima gadai deposito mempunyai wewenang

untuk melakukan penahanan atau pembekuan atas jaminan deposito sesuai dengan jangka waktu

perjanjian utang. Sehingga selama debitur belum melakukan pelunasan terhadap perjanjian

pokok maka selama itu pula jaminan deposito itu akan ditahan atau dibekukan. Deposito

berjangka tergolong sebagai suatu piutang atas nama. Piutang atas nama merupakan hak menagih

berdasarkan adanya suatu perjanjian tertentu oleh kreditur kepada debitur. Jika piutang atas nama

dipergunakan sebagai jaminan, mengacu pada Pasal 1153 KUH Perdata perlu dilakukannya

pemberitahuan mengenai penggadaiannya. Dalam hal ini maka akan diperlukan bukti tertulis

mengenai penggadaiannya dan juga harus ada persetujuan dari pemberi gadai.

2. Pencairan Jaminan Kredit

Pencairan kredit adalah setiap transaksi dengan menggunakan kredit yang disetujui oleh bank.

Dalam prakteknya, pencairan kredit ini berupa pembayaran dan/atau pemindahbukuan atas beban

rekening pinjaman atau fasilitas lainnya. Pencairan kredit dilaksanakan sebagaimana disepakati

dalam perjanjian kredit yang telah dibuat. Kapan kredit itu dicairkan tergantung pada perjanjian

yang dibuat oleh para pihak. Cara pencairan kredit yang telah disetujui dapat dilakukan dengan

alat-alat dan cara yang ditentukan oleh bank, antara lain pencairan dengan cara mencari cek atau

giro bilyet, dengan kuitansi, dengan dokumen-dokumen lainnya yang oleh bank dapat diterima

sebagai perintah pembayaran, atau dengan pemindahbukuan atas beban rekening pinjaman

nasabah.

18
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan “Hukum Jaminan Kredit dalam Perbankan Indonesia” yang dapat dibuat dalam

sistem dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan:

Jaminan kredit bank merupakan jaminan utang yang dipersyaratkan pihak bank kepada debitor

dalam rangka pemberian fasilitas kredit oleh suatu bank. Dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1)

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok Perbankan ditegaskan, bahwa

bank dilarang untuk memberikan kredit tanpa jaminan. Berdasarkan hasil penelitian, BTN

Cabang Pekanbaru tidak mengikuti prosedur pembebanan dan pendaftaran terhadap objek

jaminan fidusia, Mengingat perjanjian Kredit dalam nominal dibawah Rp.500.000.00,- (lima

ratus juta rupiah) hanya dilakukan dibawah tangan, tanpa akte notariil dan tidak didaftarkan di

Kantor Fidusia. Kedudukan BTN Cabang Pekanbaru tidak dapat dikatakan sebagai pemegang

jaminan fidusia karena tidak memenuhi persyaratan sebagai pemegang jaminan fidusia

dikonstruksikan sebagai pemilik yuridis atas benda jaminan fidusia, sedangkan untuk nominal

yang cukup besar yaitu diatas Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) perjanjian dibuat secara

notriil namun hanya sebatas itu, tanpa ada proses pendaftaran. Bank dalam hal ini beranggapan

bahwa dengan perjanjian dibawah tangan dan adanya surat kuasa substusi untuk pendaftaran

fidusia yang memuat pula kuasa untuk penandatanganan perjanjian di depan notaris sudah cukup

untuk melakukan tindakan hukum apabila di kemudian hari Debitur wanprestasi. Obyek Jaminan

fidusia atau yang telah diikat secara Fidusia tidak bolehdialihkan, dijual, disewakan ataupun

digadaikan pada pihak ketiga. Sebab obyek Jaminan fidusia berada pada Pemberi fidusia

(debitor) akan tetapi sudah diikat secara Fidusia oleh pihak Bank (Penerima Fidusia), jadi pihak

19
Pemberi fidusia secara tidak langsung menguasai Jaminan fidusia tersebut. Pada dasarnya pihak

Pemberi fidusia (debitor) masih dapat menjual obyek Jaminan fidusia tersebut tanpa

sepengetahuan pihak Bank (Penerima Fidusia), sebab Obyek Jaminan fidusia berada dalam

penguasaan debitor.

B. Saran

Perdagangan atau bahan baku biasanya mempunyai mobilitas yang relatif tinggi sehingga

terdapat kemungkinan terjadinya sesuatu perubahan yang mungkin bertentangan dengan

kesepakatan semula. Dengan demikian, diperlukan tindakan pengawasan oleh bak misalnya

mengenai penggantian terhadap barang persediaan yang dijual yang digunakan dan sebagainya

yang dilakukan oleh debitur dan dalam menjalankan kegiatan usahanya, wajib selalu berpedoman

dan merapkan prinsip kehati-hatiannserta asas-asas pemberian kredit sehat. Karena kehati-hatian

itu diperlukan adanya Hukum Jaminan dalam pelaksanaan aktivitas seperti ini. Hal ini

dikarenakan setiap pemberian kredit yang disalurkan kepada masyarakat selalu mengandung

resiko.

DAFTAR PUSTAKA

• Bahsan, M. 2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: PT

20
RajaGrafindo Persada.

• Felisyariska. 2020. “Jaminan Kredit Perbankan”,

https://menuruthukum.com/2020/03/20/jaminan-kredit-perbankan/ , diakses pada 6

November 2021 pukul 17.58.

• Rachmayani, Dewi. 2017. “Covernote Notaris Dalam Perjanjian Kredit Dalam Perspektif

Hukum Jaminan”, http://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/acta/article/download/159/131/ ,

diakses pada 6 November 2021 pukul 12.56.

• Rovitaartha. 2021. “Bagaimana Menilai Suatu Jaminan Kredit Yang Diberikan Oleh

Debitur Atas Suatu Perjanjian Yang Dibuatnya”,

https://www.pphbi.com/bagaimanamenilai-suatu-jaminan-kredit-yang-diberikan-oleh-

debitur-atas-suatu-perjanjian-yangdibuatnya/ , diakses pada 6 November 2021 pukul

03.30.

• Sambe, Newfriend N. 2016. “Fungsi Jaminan Terhadap Pemberian Kredit Oleh Pihak

Bank Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998”,

https://media.neliti.com/media/publications/146800-ID-none.pdf , diakses pada 7

November 2021 pukul 10.51.

• Sianturi, H. (2019). Analisis Metode Penilaian Agunan dalam Menentukan Plafon Kredit
Modal Kerja PT BANK NEGARA INDONESIA. (POLITEKNIK NEGERI
MEDAN,2019) Di akses dari
http://library.polmed.ac.id/repository/beranda/download/1605072023, diakses pada 6
November 2021 pukul 03.30.

• Yusmi, Silvia Anggraini. 2020. “Akibat Hukum Pencairan Kredit Yang Didasarkan Pada

Covernote Notaris”, https://online-journal.unja.ac.id/RR/article/download/9043/5716 ,

diakses pada 6 November 2021 pukul 13.31.

21
• Tinus, Mario Alberto. 2016. “Proses Eksekusi Jaminan Perbankan Dalam Perjanjian

Kredit Perbankan”, https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/14182

, diakses pada 6

November 2021 pukul 17.58.

• Wahyudi, Rizqa Safiani. 2015.”Kedudukan Jaminan Kredit Pada Sistem Hukum

Perbankan Di Indonesia”,

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/7039 , diakses pada 7

November 2021 pukul 18.20.

22

Anda mungkin juga menyukai