Anda di halaman 1dari 8

KONSERVASI LAHAN DAN REKLAMASI BEKAS TAMBANG DI

INDONESIA

Erwinda Ika H1, Fadhilah Salsabila1, Gustiano Mohammad1


Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang
Jln. Semarang No.5, Sumbersari, Kecamatan Lowokwaru, Jawa Timur
Email: erwindaika4@gmail.com

Abstrak: Lahan pascatambang yang tidak diperhatikan dengan baik dapat


menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan disekitarnya.
Pengolahan lahan pascatambang yang buruk dapat menyebabkan lahan
disekitarnya mengalami degradasi, agar hal ini tidak terjadi maka
diperlukan adanya konservasi lahan. Salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk mengatasi dampak tersebut adalah dengan melakukan reklamasi
lahan pascatambang sehingga kualitas atau mutu dari lahan tersebut
terjaga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tahapan reklamasi
lahan bekas tambang yang mengacu pada Undang-undang dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia. Metode yang digunakan pada penelitian
ini adalah kualitatif analisis.

Kata kunci: Pascatambang, reklamasi, konservasi lahan.

PENDAHULUAN
Secara geologi, Indonesia adalah salah satu wilayah kepulauan yang
memiliki kondisi geologi yang unik karena gugusan kepulauannya yang dibentuk
oleh tumpukan lempeng-lempeng tektonik besar, termasuk didalamnya adalah
kekayaan bahan galian. Hampir seluruh kepulauan Indonesia mengandung potensi
mineral (logam dan non logam, batubara, dan bahan galian lainnya, seperti yang
diwakili oleh peta kepemilikan izin usaha wilayah pertambangan. Kekayaan alam
ini merupakan anugerah yang semestinya dimanfaatkan dengan optimal dan hati-
hati mengingat sifatnya yang tidak dapat diperbaharui. Hal ini dapat dilihat dari
Pulau Kalimantan, dimana Kalimantan merupakan salahs atu pulau yang paling
banyak mengandung potensi bahan galian, yang saat ini sedang dikelola sesuai
dengan tahapannya masing-masing. Beberapa diantaranya bahkan sedang dan
telah memasuki tahap penutupan tambang, yang artinya bahwa bahan galian di
wilayah izin tersebut telah habis atau sudah tidak ekonomis untuk dilakukan
penambangan.
Dalam prakteknya, tidak mudah untuk mengeluarkan bahan galian tersebut
dari bawah permukaan tanah. Kondisi iklim Indonesia dengan curah hujan yang
tinggi dibanding dengan negara lain (rata-rata 2.000–3.000 mm/tahun, dan di
beberapa lokasi tambang bisa mencapai 4.000 mm/tahun), mengharuskan adanya
perhatian khusus pada potensi dampak kegiatan pertambangan terhadap
lingkungan hidup. Munculnya isu terkait lingkungan hidup tidak bisa dihindari.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
praktek penambangan terbaik yang termasuk didalamnya upaya pengelolaan
lingkungan terus digiatkan untuk meminimalkan dampak kegiatan pertambangan
terhadap lingkungan hidup dan sosial, baik skala lokal, regional, nasional, dan
global. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan reklamasi lahan bekas
tambang.
Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata
kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat dari kegiatan usaha pertambangan,
agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya (Sabtanto Joko
Suprapto, 2006). Reklamasi area pasca tambang dilakukan semata-mata bukan
untuk memperbaiki kondisi lingkungannya saja, melainkan juga untuk
memperbaiki kondisi ekosistem yang rusak, sehingga kawasan tersebut dapat
dimanfaatkan sesuai dengan potensi yang ada. Oleh sebab itu, penulisan artikel
ilmiah yang berjudul Konservasi Lahan Dan Reklamasi Bekas Tambang di
Indonesia perlu ditinjau kembali.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif analisis dengan cara memilah data dari berbagai sumber tertulis.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka yang diperoleh dari beberapa
jurnal, buku, dan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sekaligus
menyesuaikan data terbaru dengan kenyataan yang ada di lapangan. Pengambilan
data menggunakan metode analisis komparatif dengan membandingkan berbagai
literatur.
PEMBAHASAN
1.1 Peraturan Pelaksanaan Pertambangan dan Konservasinya
Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks dan
sangat rumit, sarat risisko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang, melibatkan
teknologi tinggi, padat modal, dan aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa
sektor. Selain itu, kegiatan pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang
besar, sehingga memerlukan perencanaan total yang matang sejak tahap awal
sampai pasca tambang. Pada saat membuka tambang, sudah harus difahami
bagaimana menutup tambang. Rehabilitasi atau reklamasi tambang bersifat
progresif, sesuai rencana tata guna lahan pasca tambang.
Peraturan dasar dari kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup adalah UU No. 32/2009, yang menyebutkan bahwa perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah ‘upaya sistematis dan terpadu yang
dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum’.
Selanjutnya, terkait dengan kegiatan yang berpotensi menghasilkan pencemaran
pada lingkungan, ditetapkan definisi pencemaran lingkungan adalah sebagai
‘masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan komponen lain ke
dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan’ (Pasal 1 Angka 14). Baku mutu
lingkungan hidup yang dimaksud adalah baku mutu air, baku mutu air limbah,
baku mutu air laut, baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku mutu
gangguan, dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan &
teknologi (Pasal 20).
Beberapa peraturan terkait dengan kegiatan pengelolaan lingkungan
pertambangan. Selain membahas hal-hal operasional yang harus dilakukan oleh
sebuah usaha pertambangan, peraturan juga menetapkan izin-izin operasi yang
harus dimiliki oleh usaha pertambangan. Izin lingkungan adalah izin yang
diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha pertambangan, izin ini
meliputi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) atau UKL-UPL
dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat
untuk memperoleh izin usaha atau kegiatan. Beberapa izin operasional yang wajib
dimiliki oleh usaha pertambangan diantaranya adalah:
1. Izin pembuangan air limbah kegiatan pertambangan.
2. Izin pembuangan air limbah domestik, jika kegiatan pertambangan
didukung oleh adanya asrama/mess/camp beserta fasilitas pendukungnnya
(dapur, laundry, dll) yang mengolah air buangannya secara terpusat.
3. Izin tempat penyimpanan sementara limbah B3.
4. Izin penimbunan tailing, bagi perusahaan yang memproses bijih dan
menyisakan tailing.
5. Izin pengambilan air permukaan atau air tanah.
6. Izin pengoperasian insinerator, jika usaha melakukan pengolahan limbah
B3 sendiri.
7. Izin penimbunan sampah, jika melakukan pengelolaan sampah
domestiknya sendiri.
8. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) jika usaha dilakukan di hutan
dengan status hutan produksi dan hutan lindung.
Selain peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia yang
mengatur tata kelola lingkungan usaha pertambangan, perusahaan juga bisa
mengacu pada dokumen-dokumen praktek pengelolaan lingkungan tambang
terbaik dunia (Best Management Practice) sebagai rujukan dalam pelaksanaan
kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang baik.
1.2 Reklamasi Lahan Bekas Tambang
Lahan bekas tambang (tambang galian) merupakan lahan yang secara
kimia tanah dan air dikawasan tersebut sudah terpapar bahan-bahan kimia
berbahaya, sehingga lahan tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk pertanian,
pemukiman, dan miskin keanekaragaman hayati. Oleh sebab itu, untuk
memperbaiki kondisi tersebut, diperlukan adanya perbaikan lahan supaya lahan
tersebut dapat dimanfaatkan kembali, salah satunya dengan melakukan reklamasi
lahan bekas tambang. Pelaksanaan reklamasi pada umumnya fokus kepada
rekonstruksi tanah, revegetasi, penanggulangan air asam tambang, drainase lahan,
dan tata guna lahan pasca pertambangan.
Pedoman peraturan reklamasi pasca tambang ini tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomr 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan
Pasca Tambang. Lebih lanjut, rencana reklamasi ini dijelaskan pada Pasal 7, yaitu
sebagai berikut:
1. Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 disusun untuk
jangka waktu lima tahun.
2. Dalam rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat
rencana reklamasi untuk masing-masing tahun.
3. Dalam hal umur tambang kurang dari lima tahun, rencana reklamasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan umur
tambang.
4. Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) paling sedikit memuat:
a. Tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang.
b. Rencana pembukaan lahan.
c. Program reklamasi terhadap lahan terganggu yang meliputi lahan
bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang yang bersifat
sementara atau permanen.
d. Kriteria keberhasilan meliputi standar keberhasilan penataan lahan,
revegetasi, pekerjaan sipil, dan penyelesaian akhir.
5. Lahan di luar bekas tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf
c meliputi:
a. Tempat penimbunan tanah penutup.
b. Tempat penimbunan sementara dan tempat penimbunan bahan
tambang.
c. Jalan.
d. Pabrik atau instalasi pengolahan dan pemurnian.
e. Bangunan atau instalasi sarana penunjang.
f. Kantor dan perumahan.
g. Pelabuhan khusus.
h. Lahan penimbunan dan pengendapan tailing.
1.2.1 Rekonstruksi Bentuk Lahan
Rekonstruksi bentuk lahan dilakukan dengan tujuan supaya lahan bekas
tambang yang sebelumnya tidak rata dan berlubang, serta berpotensi longsor dan
erosi di tata sedemikian rupa supaya memiliki lereng yang stabil. Rekonstruksi
bentuk lahan ini disesuaikan dengantopografi wilayah yang nantinya akan
direklamasi. Sebagian besar rekonstruksi ini dilakukan dengan cara menimbun
lubang yang disesuaikan dengan jenis bahan timbunan di wilayah tersebut. selain
itu, ada tidaknya sistem drainase di lahan tersebut juga diperhatikan supaya tidak
mengganggu sistem drainasenya.
Tujuan utama dari rekonstruksi bentuk lahan ini adalah untuk mengurangi
run off, erosi, sedimentasi, dan longsor. Hasil dari rekonstruksi ini diharapkan
lahan tersebut memiliki kemiringan kurang dari 8%. Bila lahan memiliki
kemiringan lereng dengan beda tinggi yang cukup curam, maka perlu untuk dibuat
teras-teras untuk mengurangi erosi dan longsor. Selain itu, dalam tahap
rekonstruksi lahan ini juga perlu dilakukan pengelolaan tanah pucuk. Pada tahap
ini dilakukan back filling (penimbunan kembali) dengan memperhatikan jenis
bahan urugan, ketebatan tanah, dan sistem drainase. Penutup tanah dianjurkan
dengan ketebalan antara 70-120 cm.

Gambar 1. Contoh lahan yang dibuat berteras-teras, sekaligus sebagai tempat


untuk revegetasi.
Sumber: https://balittanah.litbang.pertanian.go.id

1.2.2 Penanganan Potensi Air Asam Tambang


Lahan bekas pertambangan yang prosesnya melibatkan bahan kimia, akan
mempengaruhi kualitas air pada area bekas pertambangan tersebut, salah satunya
adalah potensi adanya penurunan pH air (air asam). Pembentukan senyawa asam
ini dipengaruhi oleh pH, suhu, kadar O2, kejenuhan air, ferik, luas permukaan
sulfida yang terpapar di udara, permeabilitas batuan, dan kondisi hidrologi.
Pembentukan air asam ini dapat dikurangi dengan menghindarkan senyawa
sulfida dari paparan udara. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menutup sumber
saluran sulfida menggunakan bahan impermeable supaya tidak dapat ditembus.
Cara lainnya yaitu dengan mengelola air asam tersebut menggunakan alat
pengelola cairan limbah supaya memiliki pH normal atau menetralkan pH air
dengan menambahkan kapur pada air supaya pH-nya naik.
1.2.3 Pembuatan Saluran Drainase
Tujuan dari pembuatan saluran drainase adalah untuk mencegah adanya
genangan air saat terjadi hujan dan supaya aliran air tidak merusak permukaan
tanah, vegetasi, menguragi resiko pengasaman air, dan mencegah bencana banjir,
serta tanah longsor. Saluran drainase ini berupa saluran pengelak dan saluran
pengelak, saluran pembuangan air, dan saluran terjunan.
a. Saluran Pengelak
Saluran pengelak merupakan saluran yang dibuat dengan memotong
aliran permukaan lereng, sehingga akan meminimalisir erosi. Saluran ini
dibuat dengan membentuk sudut 0.1-0.5% dengan garis kontur lahan supaya
dapat mengalirkan air. Tanah hasil galian untuk saluran ini dimanfaatkan
untuk membangun bendungan di bawah lahan reklamasi ini. Lebar saluran
pengelak berkisar antara 30-50 cm dan panjang kurang dari 200 m. Pada
saluran pengelak, sebelum air dialirkn ke saluran pembuangan, air akan
mengalir melalui pengendap sedimen.

Gambar 2. Illustrasi saluran pengelak.


Sumber: https://balittanah.litbang.pertanian.go.id

b. Saluran Pembuangan Air (SPA)


SPA merupakan saluran yang beguna untk membuang air yang berasal
dari saluran pengelak supaya aliran air dari lahan bagian atas dapat
dikendalikan. Hal yang harus diperhatikan untuk membuat SPA, yaitu SPA
sebaiknya di alirkan ke saluran alami yang ketinggiannya lebih rendah
dibandingkan lahan disekitarnya saluran teras sebagian besar dibuat dengan
lebar 75-100 cm dengan kedalama 30-50 cm; adanya penutup permukaan
tanah, seperti rumput untuk meminimalisir adanya erosi; bila saluran
pembuangan memiliki kemiringan yang tinggi, maka dapat dibangun terjunan
spaya tanahnya kering.
c. Terjunan
Terjunan dibuat bila saluran pembuangan air memiliki kemiringan
tinggi (lebih dari 8%), sehingga aliran airnya sangat cepat. Terjunan dibuat
dari susunan batu, bambu, dan sebagainya yang dapat menguragi kecepatan
aliran air. Tinggi bangunan terjunan harus tidak lebih dari 75 cm. Terjunan
juga dapat dibuat dengan menggabungkan gorong-gorong dengan susunan
batu pada titik terjunan air. Gorong-gorong ini brfungsi sebagai dinding,
sehingga aliran air ini meminimalisir erosi yang berkepanjangan pada tebing.
Gambar 3. Ilustrasi Terjunan.
Sumber: https://balittanah.litbang.pertanian.go.id

1.2.4 Revegetasi
Revegetasi merupakan salah satu cara untuk memperbaiki kondisi alami
tanah. Secara umum, tanah bekas area pertambangan memiliki masalah kimia,
fisik, dan biologi. Masalah fisik tanah meliputi tekstur dan struktur tanah, masalah
kimia tanah meliputi ketidakseimbangan pH tanah (dapat diatasi dengan
menambahkan kapur pada tanah tersebut), unsur hara, dan kandungan mineralnya,
dan masalah biologi meliputi ketiadaan mikroorganisme yang bermanfaat untuk
perbaikan tanah, hal ini dapat ditangani dengan menentukan jenis tanah, vegetasi,
dan pemanfaatan bakteri mikroriza. Dalam tahapan revegetasi, pemilihan jenis
tanaman disesuaikan dengan kondisi cuaca dan iklim di daerah tersebut supaya
dapat tumbuh dengan baik, misalnya pohon sengon.
Selain untuk memperbaiki tanah di lahan bekas tambang, revegetasi ini
juga berfungsi untuk mengembalikan iklim mikro di area tambang tersebut.
Kegiatan revegetasi memiliki beberapa tahapan, yaitu perbaikan lahan pra tanam,
pemilihan vegetasi yang sesuai dengan kondisi lahan tersebut, dan pemupukan.
Tingkat keberhasilan revegetasi pada lahan ini dapat dilihat dari persentase daya
tumbuhnya, persentase penutupan tajuknya, pertumbuhan tanaman, perakaran,
peningkatan humus, tingkat erosi, dan filter alam.
1.2.5 Pemeliharaan dan Pemantauan
Pemeliharaan dan pemantauan merupakan kegiatan yang dilakukan setelah
revegetasi. Kegiatan ini dilakukan supaya dapat mengetahui apakah pemulihan
lahan sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Pemeliharaan ini meliputi
pemeliharaan tanaman yang dilakukan dengan cara mengganti tanaman-tanaman
yang mati dengan tanaman baru dan penyiangan tanaman dari gulma. Sedangkan
pemeliharaan fisik meliputi pemeliharaan kestabilan lereng dan saluran drainase.
Tahap pemantauan dilakukan secara periodik dan instrument pemantauan ini
disesuaikan dengan kondisi lahan bekas tambang yang ada.
1.2.6 Tata Guna Lahan Pasca Tambang
Lahan yang sudah direklamasi dan layak digunakan untuk kegiatan
lainnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan. Bila lahan pasca tambang
tersebut memiliki kualitas tanah yang baik dan layak untuk ditanami tanaman
pertanian, maka lahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian,
sedangkan bila kondisi tanahnya belum memungkinkan untuk pertanian, maka
dapat dimanfaatkan untuk lahan pemukiman, ruang terbuka hijau untuk
mendukung fungsi lingkungan itu sendiri, dan kompleks pemukiman.
KESIMPULAN
Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata
kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat dari kegiatan usaha pertambangan,
agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Dalam
pelaksanaannya, kegiatan reklamasi pascatambang diikat oleh Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomr 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan
Pasca Tambang. Kegiatan reklamasi ini meliputi rekonstruksi bentuk lahan,
penanganan potensi air asam tambang, pembuatan saluran drainase, revegetasi,
pemeliharaan dan pemantauan, dan tata guna lahan pasca tambang.
DAFTAR RUJUKAN
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2016. Reklamasi Lahan Pasca
Penambangan Batubara. (Online)
https://balittanah.litbang.pertanian.go.id. Dunduh pada 16 Maret 2020.

Mentri Lingkungan Hidup. 2016. Petunjuk Teknis Pemulihan Kerusakan Lahan


Akses Terbuka Akibat Kegiatan Pertambangan. (Online)
https://ppkl.menlhk.go.id. Diunduh pada 16 Maret 2020.

Nugraha, Candra. 2019. Pengelolaan Lingkungan Pertambangan (Online)


https://www.researchgate.net/. Dunduh pada 18 Maret 2020.

Presiden Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pascatambang. (Online)
https://walhi.or.id. Dunduh pada 16 Maret 2020.

Suprapto, Sabtanto Joko. 2006. Tinjauan Reklamasi Lahan Bekas Tambang dan
Aspek Konservasi Bahan Galian. (Online)
https://psdg.geologi.esdm.go.id. Dunduh pada 16 Maret 2020.

Anda mungkin juga menyukai