Anda di halaman 1dari 3

Memuliakan Allah, Mengasihi Sesama

Bacaan 1: Kejadian 45: 3 – 11, 15

Pendahuluan

Tidak sedikit orang yang memahami bahwa memuliakan Allah


ialah dilakukan dengan cara rajin mengikuti ibadah-ibadah, baik
Ibadah Minggu, Ibadah Keluarga, Ibadah Ketegorial, dan Ibadah-
ibadah lainnya. Hal tersebut memang tidak sepenuhnya keliru,
namun memuliakan Allah tidak cukup hanya dengan melakukan
hal-hal yang bersifat ritualistik.

Isi

Refleksi pengalaman hidup yang dialami Yusuf merupakan hal


yang penting untuk dilihat sebagai dasar seseorang memuliakan
Allah. Penderitaan dan kesusahan yang diakibatkan oleh para
saudaranya, sebenarnya dapat dijadikan alasan yang kuat bagi
Yusuf untuk membenci dan marah kepada mereka. Namun
semuanya itu tidak dilakukannya. Bahkan, ketika para
saudaranya datang ke Mesir guna mencari persediaan makanan
– karena di Kanaan terjadi bencana kelaparan yang amat sangat
– Yusuf menerima mereka dengan penuh kehangatan. Hal
tersebut ia lakukan dengan cara memperkenalkan dirinya kepada
para saudaranya, yang sebenarnya sudah tidak mengenali
dirinya, yaitu orang yang pernah mereka jual kepada saudagar
dari Midian yang sedang melakukan perjalanan ke Mesir (Kej.
45:3-4). Mengapa Yusuf melakukannya? Sebab Yusuf percaya
bahwa penderitaan yang dialaminya – sebelum menjadi seorang
penguasa di Mesir – ialah cara Allah mencintai dan
menyelamatkan keluarga serta bangsanya, sehingga ia tidak
marah ataupun membenci saudaranya. Sebaliknya, ia
menyambut mereka dengan cinta dan kerinduan yang mendalam
(Kej. 45:15).
Yesus Kristus pun mengajarkan hal yang senada. Bagi Yesus
menjalani hidup di dalam kasih kepada sesama ialah mutlak.
Tidak dapat ditawar, apalagi tidak dilakukan. Bahkan, Yesus
mengajarkan jikalau kasih yang diberikan kepada sesama harus
didasari dengan ketulusan, tidak egois, tidak mementingkan diri
sendiri, tanpa batas dan tidak bersyarat (agape – unconditional
love). Semakin tidak masuk akal ialah tatkala apa yang diajarkan
Yesus itu harus diwujudnyatakan juga kepada musuh kita (Agapate
– Luk. 6:27). Mengapa Yesus mengajarkan sesuatu yang tidak
wajar tersebut? Jawabannya jelas, sebab Allah pun telah terlebih
dahulu mengasihi kita, manusia yang berdosa tanpa syarat dan
tanpa batas; dan dengan alat ukur tersebut (cinta Allah yang tidak
bersyarat dan tidak terbatas), maka kita diperintahkan untuk
mengasihi sesama kita, tanpa terkecuali (Luk. 6:37).

Refleksi

Berdasarkan kedua kisah di atas, kita belajar bahwa memuliakan


Allah ialah dilakukan dengan cara mengasihi (agape) sesama
kita, tanpa terkecuali, tanpa syarat dan tanpa batas. Artinya,
tujuan utama setiap orang percaya memuliakan Allah ialah
memelihara dan menjaga sebuah persekutuan (band. tindakan
Yusuf untuk tetap menjaga persekutuan dengan keluarga dan
saudara-saudaranya). Dengan kata lain, memuliakan Allah berarti
juga harus menghadirkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaan
Allah.
Oleh karena itu, saat ini kita pun diajak untuk merefleksikan
kembali apa motivasi dan tujuan kita beribadah.
Sungguhkah dalam sebuah ibadah kita memuliakan Allah?
Ataukah sebenarnya kita ingin memuliakan diri sendiri yang
dibalut dengan kesalehan ritualistik? Dan dapatkah dikatakan
bahwa ibadah yang kita lakukan ialah cara kita memuliakan Allah,
jikalau dalam hati kita muncul sakit hati, kebencian, bahkan
amarah ketika melihat/ berjumpa dengan orang yang pernah
menyakiti perasaan kita saat dalam sebuah ibadah? Bukankah
dengan demikian, ibadah yang kita lakukan akan menjadi hampa,
kosong dan tidak bermakna karena kasih telah hilang? (band.
ajaran Rasul Paulus tentang kebangkitan orang mati. Tanpa adanya
kebangkitan, maka sia-sialah kehidupan kita. Tidak ada yang bermakna
dan tidak ada pengharapan lagi).

Penutup

Memuliakan Allah sebagai Pribadi (Subjek) yang tidak kelihatan


memang bukanlah hal mudah dilakukan, karena setiap orang bisa
saja mengatakan telah memuliakan Allah, padahal sesungguhnya
hanya berusaha memuliakan dirinya sendiri. Akan tetapi, saat ini
kita diingatkan kembali bahwa memuliakan Allah tidak dapat
dilepaskan dari laku hidup kasih kepada sesama, tanpa terkecuali.
Yaitu kasih yang tidak mementingkan diri sendiri, tidak egois,
tidak bersyarat dan yang selalu berusaha memelihara dan
menjaga sebuah persekutuan. Amin.

Anda mungkin juga menyukai