Anda di halaman 1dari 7

Yesaya 58:1-12 - BUKAN PUASANYA

BUKAN PUASANYA

Saran untuk melakukan doa dan puasa memicu perdebatan di suatu


gereja. Beberapa orang berpendapat bahwa puasa adalah hal yang tidak
perlu dilakukan oleh orang percaya. Mereka beranggapan bahwa berpuasa
itu sama dengan memaksa Allah untuk mengabulkan sesuatu. Sementara
sebagian lainnya percaya, walaupun sebagai orang percaya kita sudah
ditebus, puasa adalah jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
Saat berpuasa, kita menjauhkan diri untuk sementara dari hal-hal jasmani
yang selama ini mencuri waktu bersama Tuhan. Manakah pandangan yang
tepat?

Dalam kitab Yesaya, Tuhan sendiri menentang puasa yang selama ini
dilakukan oleh umat-Nya karena mereka melakukannya tidak dengan tulus.
Mereka tetap menindas yang lemah (ay. 3), mereka tetap berselisih paham
dan berkelahi (ay. 4). Tentu saja bukanlah hal demikian yang dikehendaki
Allah. Apa gunanya berpuasa sambil tetap melakukan hal-hal tercela! Allah
tidak melihat puasa kita, namun niat di baliknya. Apakah ada roti bagi yang
lapar, kemerdekaan bagi yang terjajah, dan pakaian bagi yang telanjang?

Tidak ada yang salah dengan keinginan untuk berpuasa. Bahkan Yesus
sendiri pun melakukan puasa untuk lebih memahami kehendak Allah. Dan
tujuan yang benar tersebut memampukan-Nya untuk melawan Iblis yang
menggoda. Hendaknya keputusan kita untuk melakukan puasa didasarkan
pada kerinduan untuk menjadi semakin dekat dengan Dia yang kita kasihi,
tanpa ada maksud bengkok yang mengiringi.
BERPUASA: Melepaskan Belenggu Dosa
Disadur dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 10 Maret 2017

Baca:  Yesaya 58:1-12

"Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta


memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu
berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat
tinggi."  Yesaya 58:4

Tuhan tidak pernah melihat cara berpuasa secara lahiriah, yang Ia


perhatikan adalah hati.  Puasa seseorang akan menjadi sia-sia jika tidak
disertai dengan sikap hati yang benar, atau tetap melakukan perbuatan
dosa  (terbelenggu dosa).  Adalah penting sekali kita menyediakan waktu
secara khusus untuk berdoa dan berpuasa supaya dengan pertolongan
Roh Kudus kita dilepaskan dari roh-roh jahat yang selama ini
membelenggu hidup kita:  roh percabulan, roh kesombongan, roh iri
dengki, roh amarah, roh sulit mengampuni dan sebagainya.  Puasa jenis ini
adalah bentuk pertobatan secara pribadi!

     Secara terperinci, jujur dan terbuka kita mengakui segala dosa dan
kesalahan di hadapan Tuhan.  Jangan pernah menyembunyikan dosa
sekecil apa pun, sebab  "...tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi
di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan
mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan
jawab."  (Ibrani 4:13).  Dosa harus benar-benar dibereskan di hadapan
Tuhan secara tuntas, jika tidak, pertumbuhan rohani kita tidak akan pernah
maksimal dan berkat-berkat Tuhan pun akan menjadi terhalang.  Karena
itu kita harus menjadi orang Kristen yang benar-benar merdeka, terbebas
dari segala belenggu dosa dan kuk.  Tuhan berkata,  "Berpuasa yang
Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu
kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan
orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk,"  (Yesaya 58:6).

     Kesalahan yang sering dilakukan ketika sedang berpuasa yaitu


berpuasa tanpa disertai pertobatan.  Puasa model demikian tak lebih dari
sekedar rutinitas dan hanya akan menyiksa badan tanpa membawa hasil,
karena  "...suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi."  (ayat nas), doa
kita tidak akan didengar Tuhan.  Berpuasa yang benar adalah belajar
menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. 
Menyalibkan kedagingan itu memang sakit, tetapi buahnya kelak pasti
manis.

Puasa yang benar adalah puasa yang disertai dengan pertobatan, olehnya kita
dibebaskan dari belenggu dosa dan menjadi seorang yang lebih dari
pemenang!
YESAYA 58: 1-9a

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus, sebuah hubungan yang


baik ditandai dengan adanya aktivitas dan komunikasi yang berjalan
dengan baik juga. Tanpa aktivitas dan komunikasi yang baik, sebuah
hubungan tidak akan berjalan sebagaimana seharusnya. Kehidupan
orang percaya pun harus dipahami demikian. Kekristenan adalah lebih
dari sekadar agama dengan seperangkat aturan yang harus dilakukan,
yang membebani dan mengekang seseorang. Kekristenan adalah
sebuah hubungan. Itulah sebabnya, kehidupan orang percaya harus
ditandai dengan hal-hal yang menunjukkan adanya hubungan yang baik
antara manusia dengan Allah, yakni melalui aktivitas dan komunikasi
yang terjalin dengan baik. Namun demikian, hal-hal itu tidak selalu
terjadi. Orang percaya dapat jatuh dalam godaan rutinitas agamawi,
yang memang mencerminkan adanya aktivitas keagamaan yang
dilakukan, namun tidak mencerminkan sebuah hubungan yang baik
antara manusia dengan Allah.

Perjalanan umat Israel dan Yehuda sebagai umat Allah menunjukkan


adanya masalah-masalah yang demikian. Umat Allah jatuh dalam
rutinitas agamawi dengan seperangkat aktivitas yang mereka lakukan
dari waktu ke waktu, tetapi yang jauh dari kehendak Tuhan. Mungkinkah
hal-hal yang demikian terjadi dalam kehidupan orang percaya?
Mungkinkah seseorang aktif melakukan banyak hal di hadapan Tuhan
namun jauh dari kehendak Tuhan? Di sinilah tugas nabi Yesaya untuk
menyuarakan kehendak Tuhan bagi pertobatan umat Allah. Allah
meminta nabi Yesaya memberitakan kehendak-Nya itu dengan keras
dan tegas. Laksana orang yang berteriak dengan kerongkongannya,
Yesaya diminta untuk menyerukan dan menyaringkan suaranya untuk
menyatakan pelanggaran dan dosa umat-Nya (ay. 1). Umat Allah telah
ada di titik di mana kesalehan yang mereka tunjukkan adalah kesalehan
yang palsu dan jauh dari kehendak Tuhan, dan Tuhan membenci
bentuk-bentuk kesalehan yang demikian. Bila melihat pada kulitnya saja,
mereka memang setiap hari mencari Allah dan suka untuk mengenal
segala jalan-Nya. Seperti bangsa yang melakukan yang benar dan yang
tidak meninggalkan hukum Allah, mereka menanyakan tentang hukum-
hukum yang benar dan suka mendekat menghadap kepada Allah (ay.
2). Lantas, di manakah masalahnya? Umat Allah memang melakukan
segala aktivitas keagamaannya, namun mereka melakukannya dengan
motivasi yang tidak benar, tanpa pertobatan yang benar, dan tidak
menghasilkan dampak kepada orang lain. Pada pasal 58 ini, Allah
melalui nabi Yesaya menyoroti satu dari sekian banyak aktivitas
keagamaan yang dilakukan umat Allah, yakni puasa mereka. Pada pasal
1, telah ada tuntutan kepada kepada umat Allah agar mereka bertobat.
Serangkaian aktivitas keagamaan mereka telah membuat Allah muak:
korban persembahan yang mereka berikan, perayaan-perayaan mereka,
bahkan ibadah dan doa-doa mereka. Allah muak dan jijik karena umat-
Nya melakukan semuanya itu namun tidak meninggalkan kejahatan-
kejahatan mereka. Bagaimana dengan puasa yang mereka lakukan?

Saudara-saudara, umat Allah melakukan puasanya dengan motivasi


yang tidak benar. Dalam puasanya, mereka menuntut agar Allah
memenuhi keinginan-keinginan mereka. Puasa mereka ditujukan untuk
kepentingan diri mereka sendiri. “Mengapa kami berpuasa dan Engkau
tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan
Engkau tidak mengindahkannya juga? (ay. 3). Di setiap Hari Raya
Pendamaian, umat Allah akan mengkhususkan satu hari di mana
mereka akan berpuasa, merendahkan diri, tidak makan dan minum,
sebagai aktivitas yang mereka lakukan secara teratur dari waktu ke
waktu. Namun di titik ini, umat Allah tidak lagi memahami tujuan puasa
yang dikehendaki Allah. Di sinilah bahaya formalitas belaka dan
kemunafikan dapat merasuki kehidupan beragama umat Allah. Hal itu
terjadi karena umat melakukan tanpa mencari kehendak Allah yang
benar. Allah membuka segala borok umat-Nya melalui suara nabi-Nya:
“Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus
urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu.
Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta
memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena” (ay. 3-4). Puasa
yang diarahkan pada kepentingan diri sendiri membuat umat Allah
bertindak jauh dari kehendak Allah dan tidak memperhatikan sesama
mereka. Yesaya menunjukkan bahwa umat Allah tetap mengerjakan
urusan mereka di hari puasa mereka. Pekerjaan dan urusan yang
mereka tinggalkan ketika mereka berpuasa mereka bebankan kepada
pekerja-pekerja mereka. Di hari puasa, umat Allah menekan dan
memaksa orang lain demi kepentingan mereka, sementara mereka
dapat tetap “beribadah” kepada Tuhan. Orang-orang ini sama sekali
tidak mau merugi barang sehari. Puasa jalan, bisnis pun harus tetap
jalan. Di hari puasa, umat Allah memang tidak makan dan minum,
namun amarah dan kekerasan tidak berhenti dalam praktik hidup
mereka. Di sinilah formalitas dan kemunafikan, yang didasarkan pada
ketidaktahuan akan kehendak Allah, telah memenuhi hidup umat Allah.

Saudara-saudara, puasa yang demikian tidak akan diterima oleh Allah.


Puasa dengan model yang seperti ini membuat suara umat Allah tidak
akan didengar Allah di tempat tinggi. Puasa mereka memang dilakukan
sambil menabur abu di atas kepala mereka, kain kabung dikenakkan
pada tubuh mereka, bahkan badan mereka dibaringkan di atas tanah
sebagai tanda merendahkan diri. Namun bahasa tubuh tidak selalu
mencerminkan kedalaman hati dan motivasi seseorang. Puasa umat
Allah bukanlah puasa pertobatan yang benar sebab puasa mereka
justru menghasilkan kekerasan dan penindasan kepada orang lain.
Melalui nabi Yesaya, Tuhan menyatakan kehendak-Nya kepada umat-
Nya. Puasa yang dikehendaki-Nya adalah puasa yang membebaskan
orang yang tertindas dari penderitaan mereka. Tuhan berfirman,
“Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka
belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya
engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap
kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan
membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan
apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia
pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!”
(ay. 6-7). Alih-alih menuntut berkat Allah atas kesalehan mereka yang
berpuasa, Allah menginginkan umat-Nya menjadi berkat untuk orang
lain. Allah menghendaki bahwa dalam puasa umat-Nya, mereka
memakai harta benda dan segala sesuatu yang dipercayakan Allah
kepada mereka untuk menolong orang lain, yakni membebaskan dan
memerdekakan yang tertindas. Pengalaman puasa, di mana umat Allah
tidak makan dan minum dan merendahkan diri, mendorong umat Allah
untuk menyadari bahwa “manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi
manusia hidup dari segala yang diucapkan TUHAN” (Ulangan 8:3).
Melalui puasa, umat Allah turut merasakan penderitaan dan kesusahan
orang lain, dan didorong untuk taat pada kehendak Allah. Puasa justru
dimaksudkan agar umat Allah mengosongkan dirinya dari segala
kepentingan diri sendiri, lalu dengan kesediaan yang penuh mau taat
pada kehendak Allah.
Saudara-saudara, puasa yang benar menuntut motivasi yang benar,
pertobatan yang benar, dan dampak dari puasa itu sendiri bagi
kepentingan orang yang tertindas. Dalam gumul inilah, GMIM
melaksanakan puasa diakonal di dalam penghayatan minggu-minggu
sengsara Tuhan Yesus. Spiritualitas dan kerohanian seseorang akan
nyata pada tindakan-tindakannya yang mencerminkan motivasi dan
pertobatan yang benar serta kesediaannya memikul salib dan
menyangkal dirinya setiap hari, sebagaimana panggilan Tuhan Yesus
kepada murid-murid-Nya (Lukas 9:23). Dalam hal inilah janji Tuhan
melalui nabi Yesaya harus dipahami, yakni bahwa terang yang merekah
laksana fajar, kebenaran yang menjadi barisan depan, dan kemuliaan
Tuhan sebagai barisan belakang, digenapi dalam hidup orang percaya
yang berdampak di tengah dunia. Allah tidak melihat puasa sebagai
tindakan yang terpisah dari hasil puasa itu sendiri, sebab puasa yang
benar akan menghasilkan dampak bagi kepentingan orang lain.
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus, panggilan kita untuk
melakukan segala sesuatu di hadapan Tuhan, termasuk di dalamnya
puasa dan aktivitas-aktivitas kerohanian lainnya, bahkan seluruh
kehidupan kita, haruslah dimaknai sebagai bentuk ketaatan kepada
Tuhan. Hal yang penting di sini adalah bahwa kita taat sebagai respons
kita kepada Allah yang telah memberkati, mengasihi, dan
menyelamatkan kita. Di dalam Yesus Kristus kita telah ditebus oleh
darah-Nya yang tercurah di atas kayu salib di bukit Kalvari, sehingga
adakah respons terbaik yang dapat kita nyatakan di hadapan-Nya,
selain taat dan setia melakukan kehendak-Nya? Tuhan Yesus menolong
kita dalam menghayati sengsara-Nya. hidup dalam pertobatan yang
benar setiap hari, dan berdampak dalam hidup yang membebaskan
orang lain dari penderitaan. Amin.

Anda mungkin juga menyukai