Anda di halaman 1dari 17

BAB VII

PERUBAHAN PERUBAHAN SOSIAL DAN HUKUM

Hubungan Antara Perubahan Sosial Dan Hukum

Pertanyaan apakah hukum dapat dan harus memimpin, atau apakah hukum tidak
boleh melakukan sesuatu kecuali mengikuti perubahan-perubahan di dalam masyarakat
secara berhati- hati, telah dan selalu menjadi issu kontroversial. Pendekatan yang berlawanan
dari pakar reformasi sosial Inggris, Jeremy Bentham dan pakar Jerman Friedrich Karl Von
Savigny telah memberikan paradigma yang saling bertolak belakang tentang hal (proposition)
ini. Pada permulaan era industrialisasi dan urbanisasi di Eropa, Bentham mengharapkan agar
reformasi hukum dapat merespons dengan cepat kebutuhan-kebutuhan sosial dan untuk
merestrukturisasi masyarakat. Dia dengan gratis memberi saran kepada pemimpin-pemimpin
Revolusi Perancis, karena ia percaya bahwa negara-negara dengan tahap perkembangan
ekonomi yang sama memerlukan “obat” (remedies) yang sama untuk masalah ekonomi
mereka. Pada kenyataannya, filosofi Bentham dan semua pengikutnya, yang mengubah
Parlemen Inggris, dan parlemen di negara-negara lainnya ke dalam instrumen-instrumen
legislatif aktif untuk membawa reformasi sosial sebagian untuk merespons dan sebagian
sebagai stimulan untuk kebutuhan-kebutuhan sosial yang dirasakan. 1

Pada waktu yang bersamaan Friedrich Karl Von Savigny menulis dengan menghujat
reformasi hukum yang menyapu (the sweeping legal reforms) yang dibawa oleh Revolusi
Perancis yang mengancam untuk menginvasi Eropa Barat. Ia percaya bahwa adat populer
yang dikembangkan secara penuh, dapat membentuk dasar dari perubahan hukum. Karena
adat tumbuh dari kebiasaan dan kepercayaan dari orang- orang tertentu, dan bukan karena
pernyataan humanitas abstrak, maka perubahan hukum adalah kodifikasi dari adat dan hal itu
adalah perubahan berskala nasional, dan bukan universal. Satu abad kemudian, hubungan
antara hukum dan perubahan sosial tetap kontroversial. Tetap ada dua pendapat yang bertolak
belakang tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum (legal precepts) dan sikap-sikap
serta perilaku masyakarat. Menurut pendapat yang satu, hukum ditentukan oleh perasaan
keadilan (sense of justice) dan sentimen moral dari populasi, dan legislasi hanya dapat

1
Muh. Refaqi Irhamsyah (H1A122336), Muh. Rey Khalil Abdillah (H1A122331), Dwi Yuliani Rizki
(H1A122285), Muh. Heriyadi (H1A122334), MUH. Irsyad Ramsi Rafiu (H1A122335), Melaty Ratry Pertiwy
Andry (H1A122323), Fitria (H1A122290)
mencapai hasil bila tetap berada dekat secara relatif dengan norma-norma sosial yang berlaku
(prevailing social norms).

Menurut pendapat yang lain, hukum, khususnya legislasi, adalah wahana (vehicle)
melalui mana evolusi sosial yang terprogram dapat dilakukan.” Pada satu sisi ekstrim,
terdapat pandangan bahwa hukum adalah perubah tak bebas (dependent variable), yang
ditentukan dan dibentuk oleh pamali- pamali yang ada (current mores) dan opini-opini dari
masyarakat. Menurut pendapat / posisi ini, perubahan hukum adalah tidak mungkin kecuali
didahului oleh perubahan sosial; reformasi hukum tidak dapat melakukan apa-apa kecuali
mengkodifikasi hukum. Jelas hal ini tidak benar, dan mengabaikan fakta bahwa sepanjang
sejarah institusi-institusi hukum telah ditemukan untuk “mempunyai peranan yang jelas, dan
bukan pengertian yang meraba-raba, sebagai suatu instrumen yang mengatur (set off),
memonitor, atau meregulasi fakta atau kecepatan dari perubahan sosial.” Pendapat ekstrim
lainnya diberikan oleh pakar hukum Soviet, seperti P.P. Gureyev dan P.I. Sedugin (1977),
yang melihat hukum sebagai instrumen untuk melakukan rekayasa sosial (social
engineering). Pendapat mereka, adalah “selama periode transisi dari kapitalisme ke
sosialisme, Negara Soviet telah menggunakan legislasi secara luas untuk mengarahkan
masyarakat, memulai dan mengembangkan bentuk-bentuk sosial ekonomi, menghapuskan
setiap bentuk eksploitasi, dan meregulasi berdasarkan tenaga kerja dan konsumsi dari produk-
produk tenaga kerja sosial (products of social labour). Ia menggunakan legislasi untuk
membuat dan meningkatkan lembaga-lembaga sosialis demokratis, untuk membuat hukum
dan ketertiban yang keras (firm law and order), melindungi sistem sosial dan keamanan
Negara, dan mengembangkan sosialisme”.2

Dalam masyarakat modern, peranan hukum dalam perubahan sosial lebih daripada
hanya interest teoritis saja. Dalam banyak bidang kehidupan sosial, seperti pendidikan,
hubungan rasial, perumahan, transportasi, penggunaan energi, dan perlindungan lingkungan,
hukum telah disandari sebagai instrumen perubahan yang penting. Di Amerika Serikat,
hukum telah digunakan sebagai mekanisme utama untuk meningkatkan posisi politik dan
sosial kaum kulit hitam (blacks). Sejak tahun 1960, pengadilan dan Kongres telah
membatalkan sistem kasta rasial yang termaktub (embedded) di dalam hukum dan yang telah
dipraktekkan selama beberapa generasi. Orde lama telah disapu bersih oleh legislasi,
termasuk Undang-Undang Persamaan Hak tahun 1964 (Civil Rights Act of 1964) dan

2
http://mjrsusi.wordpress.com/2007/12/14/hukum-dan-perubahan-sosial ( 27 januari 2015)
Undang-Undang Hak Pemilihan tahun 1965 (Voting Rights Act of 1965), diikuti dengan
komitmen milyaran dollar untuk program kesejahteraan sosial.

Begitu pula di negara-negara Eropa Timur, hukum telah menjadi instrumen penting
untuk mentransformasikan masyarakat sejak Perang Dunia II dari masyarakat borjuis ke
masyarakat sosialis. Perundangan hukum telah memulai dan meligitimasi pengaturan ulang
dalam hal properti (hak rumah, tanah) dan hubungan kekuasaan, mentransformasikan institusi
sosial dasar seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan, dan membuka jalan raya baru untuk
mobilitas sosial bagi segmen besar dari populasi. Legislasi telah mengarahkan pengaturan
kembali produksi pertanian dari kepemilikan pribadi ke pertanian kolektif, pembuatan kota-
kota baru, dan pengembangan ala sosialis dari ekonomi produksi, distribusi, dan konsumsi.
Perubahan- perubahan ini, pada gilirannya akan mempengaruhi nilai-nilai, kepercayaan, pola
sosialisasi, dan struktur hubungan sosial.

Ada beberapa cara untuk mempertimbangkan peranan hukum dalam perubahan sosial.
Dalam suatu artikelnya yang sangat berpengaruh, “Hukum dan Perubahan Sosial,“ Dror
membedakan antara aspek tak langsung dan aspek langsung dari hukum dalam perubahan
sosial. Dror mengatakan bahwa “hukum memainkan peranan tak langsung dalam perubahan
sosial dengan membentuk berbagai institusi sosial, yang pada gilirannya mempunyai dampak
langsung terhadap masyarakat“. Ia menggunakan ilustrasi sistem wajib belajar yang
memainkan peranan penting tidak langsung dalam perubahan dengan memperkuat operasi
institusi-institusi pendidikan, yang pada gilirannya akan memainkan peranan langsung dalam
perubahan sosial. Ia menekankan bahwa hukum berinteraksi secara langsung dalam banyak
kasus dengan institusi-institusi sosial, membentuk adanya hubungan langsung antara hukum
dan perubahan sosial. Sebagai contoh, hukum yang diundangkan untuk melarang poligami
mempunyai pengaruh besar langsung terhadap perubahan sosial, dengan tujuan utamanya
perubahan dalam pola-pola perilaku yang penting. Namun ia mewanti-wanti, bahwa
perbedaannya tidaklah absolut tapi relatif : pada banyak kasus penekanannya lebih kepada
dampak langsung dan kurang pada dampak tidak langsung terhadap perubahan sosial, yang
dalam kasus lainnya hal kebalikannya yang berlaku”.3

Di sisi lain Achmad Ali mengungkapkan, bahwa ada dua hal yang penting yang berhubungan
dengan perubahan-perubahan hukum dan perubahan-perubahan masyarakat yaitu:

3
http://mjrsusi.wordpress.com/2007/12/14/hukum-dan-perubahan-sosial ( 27 januari 2015)
1. Perubahan masyarakat harus mendapatkan penyesuain oleh hukum. Dengan kata lain;
hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat dan ini menunjukkan sifat
pasif hukum
2. Hukum berperan untuk menggerakkan masyarakat menuju suatu perubahan yang
terencana. Disini hukum berperan aktif, dan inilah yang sering disebut sebagai fungsi
hukum a tool of social engineering, sebagai alat rekayasa masyarakat.4

Pengakuan (recognition) peranan hukum sebagai suatu instrumen dari perubahan


sosial telah semakin menguat di masyarakat kontemporer. “Hukum- melalui respons legislatif
dan administratif terhadap kondisi-kondisi sosial dan ide-ide baru, selain melalui interpretasi
kembali dari konstitusi, statuta atau preseden- secara meningkat tidak hanya
mengartikulasikan / mengambil peranan penting tetapi juga menentukan arah dari perubahan-
perubahan sosial besar“ Sehingga, “Perubahan sosial yang dicoba, melalui hukum, adalah
suatu jejak (trait) dasar dari dunia modern“.

Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat

a. Teori hukum sebagai sarana perubahan

Peran hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat sebenarnya sudah


dikumandangkan oleh banyak sarjana, terutama oleh sarjana hukum yang berhaluan
sosiologis. Misalnya Roscou Pound dengan istilah populernya “hukum sebagai alat
perekayasa masyarakat”. Atau istilah-istilah lain yang kada kala dipakai, seperti hukum
sebagai agent of change atau social planning. Bahkan dengan dipelopori oleh Mochtar
Kusumaatmaja, di masa pemerintahan Presiden Soeharto, di Indonesia pernah populer istilah
hukum sebagai alat pembangunan (a tool of development), karena memang kala itu sektor
hukum yang sangat di upayakan ikut mensukseskan pembangunan, yang sayangnya karena
rendahnya kesadaran hukum dari para pembuat dan penegak hukum kala itu, menyebabkan
hukum sebagai alat pembangunan jadi berubah fungsi menjadi hukum sebagai alat untuk
mengamankan pembangunan, yang mempunyai konsekuensinya munculnya banyak hukum
yang sangat represif dan melanggar hak-hak masyarakat, yang mengantarkan banyak aktivis
ke rumah penjara atau liang kubur.5

4
http://mjrsusi.wordpress.com/2007/12/14/hukum-dan-perubahan-sosial ( 27 januari 2015)
5
Munir Fuadi, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Kencana Prennamdeia Group, 2013),
hal 259.
Pendapat yang diuraikan mengenai rumusan-rumusan dan penggolongan
penggolongan dalam social engineering Roscoe Pound dapat diibaratkan bahwa hukum
dianggap sebagai insinyur dalam mengungkapkan dasar-dasar pembaruan dalam masyarakat
dan menggerakkan kemana masyarakat akan diarahkan serta bagaimana masyarakat
seyogianya diatur. Jadi, hukum berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan mengelola
masyarakat. Mengatur dan mengelola masyarakat akan membawa kepada
pembaharuanpembaharuan, perubahan-perubahan struktur masyarakat dan penentuan-
penentuan pola berpikir menurut hukum yang menuju ke arah pembangunan. Hal ini akan
menghasilkan kemajuan hukum, sehingga akan tercapai suatu suasana yang dapat
dikategorikan sebagai masyarakat yang beradab.

Walaupun pengertian “beradab” mengandung unsur penilaian yang sangat subyektif


(karena tidak mutlak dan harus dilihat dalam dimensi dan konteks kebudayaan dari
masyarakat dan waktu tertentu), namun sebagai suatu pedoman yang ditariknya secara
statistik Roscoe Pound (ditahun 1919) menggariskan bahwa “dalam suatu masyarakat yang
beradab” akan tergambar bahwa: 6

Tiap orang dapat menguasai tujuan-tujuan yang berfaedah terhadap apa yang mereka
temukan, apa yang mereka ciptakan, apa yang mereka peroleh dalam ketertiban
kemasyarakatan dan ekonomi yang pada waktu itu memegang keuasaan. Tiap orang dapat
mengharap bahwa orang lain tidak akan menyerang dia. Tiap orang dapat berharap bahwa
orang-orang dengan siapa saja mereka berurusan tentang hubungan-hubungan umum akan
bertindak dengan iktikad baik atau memenuhi janji yang mereka sanggupi; akan menjalankan
perusahaan-perusahaan berdasarkan kesusilaan masyarakat; akan mengganti barang yang
sama atas kekhilafan.

Akhirnya dapat di garis bawahi bahwa ajaran Roscoe Pound bergerak dalam 3 (tiga)
lingkup/ dimensi utama: Bahwa hukum benar-benar berfungsi sebagai alat untuk mengatur
dan mengelola masyarakat dengan Diimbangi pemenuhan terhadap kebutuhan atau
kepentingan-kepentingan masyarakat, serta Adanya pengawasan guna memelihara dan
melanjutkan peradaban manusia. Adapun contoh dari penerapan teori tersebut banyak
dijumpai didalam suatu peraturan baik yang secara tertulis ataupun tidak tertulis sekalipun.

6
Andi Nopendra(dkk),Hukum Sebagai Alat Mengubah Masyarakat;Tinjauan Sosiologi Hukum Islam,
istishab:Journal of Islamic Law,01(June),2021,hal 3,Tersedia di:
https://www.jurnalppsiainkerinci.org/index.php/istishab/article/download/28/25, diakses pada tanggal 9 April
2023,pukul 23:02 WITA.
Berikut contoh penerapan dari teori law as a tool of social engineering: Salah satu contoh ada
di dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun
2004, di dalam Pasal 5 mengenai (Larangan Kekerasan dalam Rumah Tangga) yang
menyatakan:

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya dengan cara: Kekerasan Fisik, Kekerasan Psikis, Kekerasan
Seksual, atau Kekerasan Penelantaran”

Pasal 6:“Kekerasan fisik sebagaiman dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit,jatuh sakit, atau luka berat”.

Pasal 7:“Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang


mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak rasa tidak berdaya dan atau penderitaan Psikis berat pada Seseorang”

Analisis dari pasal-pasal di atas: Dari ketentuan-ketentuan yang telah termaktub


dalam pasal-pasal undang-undang diatas kita dapat melihat adanya paradigma: yaitu hukum
sebagai rekayasa sosial. Di mana sebelum adanya undang-undang pasal ini banyaknya
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga terutama kekerasan yang dilakukan seorang
lelaki terhadap istrinya maupun antara anggota yang dalam lingkup rumah tangganya
tersebut, baik kekerasan psikis maupun fisik yang menyebabkan terancamnya kehidupan
didalam rumah tangga tersebut, contohnya: seorang suami yang tega memukul Istrinya
sendiri hingga babak belur ini merupakan kekerasan fisik yang harus dihilangkan agar hidup
seorang Istri tidak terancam, Jadi dari adanya berbagai kasus ini maka hukum diadakan untuk
rekayasa sosial dengan adanya undangundang ini maka tidak ada kekerasan yang terjadi
didalam rumah tangga membentuk masyarakat yang saling menyayangi antara anggota
keluarganya dan tidak melakukan tindkan yang tidak baik dan merugikan seperti memukul
dan lain-lain, jadi rekayasa sosial ini bisa kita lihat menciptakan orang khususnya kaum
Perempuan agar hidup tentram dan aman dari ancaman kekerasan dalam rumah tangga Dan
hukum bisa melindungi orang-orang dalam rumah tangga (suami, istri, pengasuh anak,
pembantu, dan semua yang ada dalam suatu keluarga) dan merekayasa agar tidak adanya lagi
kekerasan yang terlintas dalam suatu keluaraga dan juga merekayasa agar tidak ada
pemaksaan seksual.7
7
Andi Nopendra(dkk),Hukum Sebagai Alat Mengubah Masyarakat;Tinjauan Sosiologi Hukum Islam,
istishab:Journal of Islamic Law,01(June),2021,hal 5,Tersedia di:
https://www.jurnalppsiainkerinci.org/index.php/istishab/article/download/28/25, diakses pada tanggal 9 April
b. Konsep hukum Roscoe Pound tentang Law as a tool of social Engineering

Law as a tool of social engineering dapat pula diartikan sebagai sarana yang ditujukan
untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuantujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya6. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah
apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment yaitu
dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif.8Gejala-
gejala semacam itu akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan.

Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para
pencari keadilan, maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah
yang harus diidentifikasikan, karena suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan
yang dirumuskan tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuantujuan
tersebut. kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut
maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja tetapi
pengetahuan yang mantap tentang sifat-sifat hukum juga perlu diketahui untuk agar tahu
batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana untuk mengubah ataupun mengatur
perilaku warga masyarakat. Sebab sarana yang ada, membatasi pencapaian tujuan, sedangkan
tujuan menentukan sarana-sarana mana yang tepat untuk dipergunakan.

Hukum di dalam masyarakat modern saat ini mempunyai ciri menonjol yaitu
penggunaannya telah dilakukan secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini hukum tidak hanya
dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam
masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuantujuan yang dikendaki,
menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola
kelakuan baru dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum
itu yang menjurus kepada penggunaan hukum sebagai instrumen yaitu law as a tool social
engineering.9

Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool
of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan
keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam
masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak

2023,pukul 23:10 WITA.


8
Soekanto Soerjono,Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,(Jakarta:Rajawali Pers,2009)hal.135.
9
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal 206.
dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk
kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.10

Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law)
dengan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara
(tesis) Positivisme Hukum (antitesis) dan Mazhab Sejarah. Sebagaimana diketahui,
Positivisme Hukum memandang tiada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa (law
is a command of law givers), sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan
berkembang bersama dengan masyarakat.

Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua lebih mementingkan
pengalaman, dan Sociological Jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya. Aliran
sociological jurisprudence ini memiliki pengaruh yang sangat luas dalam pembangunan
hukum Indonesia. Singkatnya yaitu, aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat
agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis
maupun tidak tertulis.

Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas dicontohkan Undang- Undang sebagai
hukum tertulis, sedangkan yang dimaksudkan hukum tidak tertulis disini adalah hukum adat
yang dimana hukum ini adalah semulanya hanya sebagai kebiasaan yang lama kelamaan
menjadi suatu hukum yang berlaku dalam adat tersebut tanpa tertulis. Dalam masyarakat
yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan,
Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Untuk itu Hakim harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengenal,
merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.

Hukum Sebagai Sarana Pengatur Perikelakuan Manusia

Sudah menjadi Sunatullah bahawa manusia sejak lahir sampai meninggal dunia,
hidup di antara dan dengan manusia lain dalam suatu pergaulan masyarakat. Hal ini
disebabkan manusia cenderung mempunyai keinginan untuk selalu hidup bersama.

10
Andro Meda, Sosiologi Hukum (Aliran Sociological jurisprudence), diakses di
http://akhyar13.blogspot.co.id/2021/10/sosiologi-hukum-aliran-sociological_8330.html , Pada tanggal 09 April
2023,pukul 23:10 WITA.
Kenyataan ini oleh filsuf Aristoteles disebut sebagai Zoon Politicon, yang menurut beliau
manusia itu adalah makhluk sosial dan politik. Sedangkan P.j Bouman mengatakan bahawa
manusia itu baru menjadi manusia karena ia hidup bersama dengan manusia lainnya (Dudu
Duswara Machmudin, 2000, hlm. 10).

Bagi manusia, melakukan hubungan-hubungan sosial sudah merupakan perintah alam.


Hal ini karena manusia tidak bisa memenuhi keperluannya dalam hidup dalam keadaan
terisolasi dan terpisah dengan alam dan manusia lainnya karena dia senantiasa memerlukan
orang lain untuk melakukan kerjasama dan saling membantu dengan manusia lain. Meskipun
demikian, masing-masing individu dalam masyarakat sudah tentu memiliki kepentingan yang
kadang-kadang sama dan sering pula berbeza. Perbezaan kepentingan tersebut apabila
dibiarkan lama kelamaan akan berubah menjadi pertentangan. Pertentangan kepentingan ini
selanjutnya dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat apabila tidak ada aturan yang
dapat menyeimbangkannya (Dudu Duswara Machmudin, 2000, hlm. 10). Aturan itu sering
disebut dengan norma, ada norma kesusilaan, norma kesopanan, norma Agama dan Norma
Hukum. Di antara norma- norma tersebut kita akan membahas lebih lanjut mengenai peran
norma hukum dalam kehidupan masyarakat.Pertanyaan mengenai apa arti hukum itu yang
sebenarnya dan fungsi hukum dalam masyarakat, dapat dikembalikan pada pertanyaan dasar
apakah tujuan hukum itu. Tujuan pokok dari hukum apabila hendak direduksi pada satu hal
saja adalah ketertiban (order). Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum
keperluan terhadap ketertiban ini, syarat yang fundamental bagi adanya suatu masyarakat
manusia yang teratur.11

Ketertiban sebagai tujuan utama hukum merupakan suatu fakta objektif yang berlaku
bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Mengingat bahawa kita tidak
mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat, maka manusia,
masyarakat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisah- pisahkan. Di
samping ketertiban menurut Prof, Muchtar Kusumaatmaja tujuan lain dari hukum adalah
tercapainya keadilan yang berbeza-beza si dan ukurannya, menurut masyarakat dan
zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini diperlukan adanya kepastian
dalam pergaulan antara manusia dalam masyarakat. Yang penting sekali bukan saja bagi
11
Iwan Setyawan, Peranan Hukum Dalam Perubahan Sosial Yang Terjadi Pada Masyarakat,hal 4 Tersedia di:
http://core.ac.uk/download/pdf/42979201.pdf, diakses pada tanggal 9 April 2023,pukul 23:25 WITA.
suatu kehidupan masyarakat teratur, tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi
hidup yang melampaui batas-batas saat sekarang. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban
masyarakat yang dijelmakan olehnya manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat
dan kemampuannya secara optimal di dalam masyarakat tempat dia hidup (Gatot Sugiharto,
30 Julai 2009).

Sebagai sarana pengatur perikelakuan, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan
untuk mengubah perikelakuan warga masyarakat. 30 Kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat bermacam-macam ragamnya, dan diantara
sekian macam kaidah yang merupakan salah satu kaidah terpenting adalah kaidah hukum
disamping kaidah-kaidah agama, kesusilaan, dan kesopanan. Kaidah- kaidah dan pola hukum
dapat dijumpai pada setiap masyarakat, baik yang tradisional maupun yang modern,
walaupun kadang-kadang warga masyarakat yang diatur tidak atau kurang menyadari.
Biasanya seorang warga masyarakat baru menyadari akan adanya kaidah-kaidah hukum
apabila dia melakukan suatu pelanggaran. Namun, sebetulnya kaidah- kaidah hukum tersebut
mengatur hampir seluruh segi kehidupan warga masyarakat.

Sejalan dengan definisi tersebut soekanto 1998: 3 memberikan contoh kaidah-kaidah


hukum dalam masyarakat, yaitu: “Hak milik seorang atas sebidang tanah, hubungan antara
ayah-ibu dengan anak-anaknya, hubungan seseorang dengan kepala kantor dimana dia
bekerja, hubungan antara seorang penjual dengan seorang pembeli, hubungan antara supir
taksi dengan penumpangnya, dan seterusnya, diatur oleh suatu sistem hukum. Pendeknya,
hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hubungan antar warga masyarakat sebagian
besar diatur oleh kaidah-kaidah hukum, baik yang tersusun secara sistematis dan dibukukan,
maupun oleh kaidah-kaidah hukum yang tersebar dan juga oleh pola-pola perikelakuan yang
dikualifikasi sebagai hukum”.

Kaidah-kaidah hukum tersebut ada yang berwujud sebagai peraturan-peraturan


tertulis, keputusan-keputusan pengadilan, maupun keputusan-keputusan lembaga
kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu hukum dapat disimpulkan bahwa
hukum adalah kumpulan peraturan hidup dalam suatu masyarakat yang teratur, bersifat
memaksa, mengikat dan dapat dipaksakan. Pembuatan peraturan hukum adalah tugas dan
kewajiban lembaga-lembaga legislatif, dan untuk pelaksanaannya adalah lembaga-lembaga
eksekutif dan kehakiman. Peraturan hukum berjalan dengan baik bila benar-benar
mencerminkan rasa keadilan dan kehendak sebagian besar masyarakat.12

Sebagai sarana social engineering, hukum merupakan sarana yang ditujukan untuk
mengubah perikelakuan warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa
yang dinamakan sudahditerapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan
muncul apabila ada factor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Factor-faktor tersebut dapat
berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan (justiciabelen),
maupun golongan-golongan lain di dalam masyarakat. Factor-faktor itulah yang harus
diidentifikasikan, karena merupakank suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-
tujuan yang dirumuskan, tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-
tujuan tersebut.

Kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut,
maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja. Kecuali
pengetahuan yang mantap tentang sifat hakikat hukum, juga perlu diketahui adalah batas-
batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana (untuk mengubah ataupun mengatur
keperikelakuan warga masyarakat). Sebab, sarana yang ada membatasi pencapaian tujuan,
sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana apakah yang tepat untuk dipergunakan.

Suatu contoh dari uraian diatas adalah, misalnya perihal komunikasi hukum. Kiranya
sudah jelas, supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat,
maka hukum tadi harus di sebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat.
Adanya alat- alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebaran serta
pelembagaan hukum. Komunikasi hukum tersebut dapat dilakukan secara formal, yaitu
melalui suatu tata cara yang terorganisasikan dengan resmi. Disamping itu, ada juga tata cara
informal yang tidak resmi sifatnya, inilah yang merupakan salah satu batas di dalam
penggunaan hukum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini semua termasuk
apa yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran dari unsure-unsur kebudayaan tertentu di dalam
masyarakat yang bersangkutan. Proses difusi tersebut, antara lain dapat dipengaruhi oleh:

12
Iwan Setyawan, Perana Hukum Dalam Perubahan Sosial Yang Terjadi Pada Masyarakat,hal 5 Tersedia di:
http://core.ac.uk/download/pdf/42979201.pdf, diakses pada tanggal 10 April 2023,pukul 20:45 WITA.
a. Pengakuan, bahwa unsure kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal ini hukum)
mempunyai kegunaan.

b. Ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin


merupakan pengaruh negatif ataupun positif.

c. Sebagai suatu unsure yang baru maka hukum tadi mungkin akan[4] ditolak oleh
masyarakat, oleh karena berlawanan dengan fungsi unsure lama.

d. Kedudukan dan peranan dari mereka yang menyebarluaskan hukum,


mempengaruhi efektivitas hukum di dalam mengubah serta mengatur perikelakuan
masyarakat.13

Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana
pengatur atau pengubah perikelakuan. Dengan kata lain, masalah yang bersangkut-paut
dengan tata cara komunikasi itulahh yang terlebih dahulu harus diselesaikan. Untuk dapat
mengidentifikasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan hukum sebagai
sarana pengatur perikelakuan, maka perlu dibicarakan perihal struktur penentuan pilihan pada
manusia, sarana-sarana yang ada untuk mengadakan social engineering melalui hukum,
hubungan antara hukum dengan perikelakuan, dan sebagainya.

Sehingga dapat disimpulkan, bahwa masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi dan


kelompok-kelompok, yang di dalam kehidupannya berkaitan secara langsung dengan
penentuan pilihan terhadap apa yang ada di dalam lingkungan sekitarnya. Pilihan-pilihan
yang dapat dilakukan, dibatasi oleh suatu kerangka tertentu. Artinya, kalau dia sampai
melampaui batas-batas yang ada, maka mungkin dia menderita, sebaliknya kalau dia tetap
berada di dalam batas-batas tertentu pula. inilah yang kesemuanya terkait pada kepentingan-
kepentingan manusia pribadi maupun di dalam kehidupan berkelompok. Dengan demikian,
maka lingkungan sekelilingnya, menyediakan pembatasan-pembatasan dan kebebasan-
kebebasan bagi pribadi dan kelompok-kelompok sosial.14

Apakah yang akan dipilih oleh pribadi-pribadi atau kelompok, tergantung pada factor-
faktor fisik, psikologis, dan sosial. Di dalam suatu masyarakat dimana interaksi sosial
menjadi intinya, maka perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak lain, merupakan hal
yang sangat menentukan. Misalnya, apabila seorang petani sangat memerlukan kredit untuk
13
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada,2009) Hal. 136.
14
Ibid, Hal. 137
usaha taninya, sedangkan di dalam lingkungannya hanya ada kreditu-kreditur yang
menetapkan bunga yang sangat tinggi, maka pilihannya hanya terbatas antara pinjaman uang
dengan bunga yang tinggi dann meneruskan usaha taninya, atau berhenti bertani. Akan tetapi,
walaupun manusia selalu memilih, ada kecenderungan bahwa dia mengadakan pilihan-pilihan
yang sama, secara berulang-ulang atau teratur. Hal ini disebabkan oleh karena manusia
pribadi tadi menduduki posisi-posisi tertentu dalam masyarakat dan peranannya pada posisi
tersebut ditentukan oleh kaidah-kaidah tertentu. Kecuali daripada itu, maka peranannya juga
tergantung dan ditentukan oleh berperannya pihak-pihak lain di dalam posisinya masing-
masing. Selanjutnya, hal itu juga oleh pihak-pihak yang mengawasi dan memberikank reaksi
terhadap peranannya, maupun kemampuan-kemampuan serta kepribadian manusia pribadi
yang berperan (role-performance).15

Apabila uraian tersebut di telaah dengan seksama, maka kaidah merupakan patokan
untuk bertingkah laku sebagaimana yang diharapkan. Individu-individu yang memilih
melakukan hal itu, dikarenakan dia percaya bahwa dia menghayati perikelakuan yang
diharapkan dari pihak-pihak lain, dan bagaimana reaksi pihak-pihak lain terhadap
perikelakuannya. Hal itulah yang akan menhubungkan individu tersebut dengan dunia dan
masyarakat yang ada di sekelilingnya.

Oleh karena itu, untuk menjelaskan mengapa seseorang menentukank pilihan-pilihan


tertentu, maka harus pula dipertimbangkan anggapan-anggapan tentang apa yang harus
dilakukannya (atau tidak harus dilakukan) maupun anggapan-anggapan tentang tentang apa
yang harus dilakukan oleh lingkungannya. Inilah yang merupakan struktur normatife yang
terdapat dalam diri pribadi manusia, yang sekaligus merupakan potensi yang ada di dalam
dirinya, untuk dapat mengubah perikelakuannya, melalui perubahan-perubahan yang
terencana.

Yang dimaksud dengan peranan adalah suatus sistem kaidah-kaidah yang berisikan
patokan-patokan perikelakuan, pada kedudukank-kedudukan tertentu di dalam masyarakat,
kedudukan mana yang dipunyai pribadi maupun kelompok-kelompok. Pribadi yang
mempunyai peranan dinamakan sebagai pemegang peranan (role occupant) dan
perikelakuannya adalah berperannya pemegang peranan tadi, dapat sesuai atau mungkin
berlawanan dengan apa yang ditentukan di dalam kaidah-kaidah hukum. Konsepsi-konsepsi
sosiologi tersebut di atas, mungkin akan lebih jelas bagi kalangan hukum, apabila

15
Ibid, Hal. 138
diterjemahkan ke dalam bahasa hukum. Peranan peran adalah subyek hukum, sedangkan
peranan merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan
hukum.16

Dengan demikian, maka masalah utamanya adalah bagaimana kaidah-kaidah hukum


akan dapat mengatur kepentingan pemegang-pemegang peranan tersebut. Tentang hal
tersebut, Hans Kelsen pernah mengemukakan sebagai berikut:

”the legal norm does not, like the moral norm, refer to the behavior of one
individuals at least, the individual who commits or may commit the delict, the
delinquent, and the individual who ought to execute the sanction.”

Artinya, suatu kaidah hukum yang berisikan larangan atau suuhan atau kebolehan
bagi subyek hukum, sekaligus merupakan kaidah hukum bagi penegak hukum untuk
melakukank tindakan terhadap pelanggar-pelanggarnya. Kaidah hukum yang pertama
disebutknya adalah kaidah hukum sekunder, sedangkan yang kedua kaidah hukum primer.
Kaidah hukum sekunder hanya merupakan gejala lanjutan dari kaidah hukum primer. Model
ini sedikit banyak menunjukkan bagaimana kaidah hukum mempengaruhi perikelakuan. Hal
ini disebabkan, karena pemegang peranan menentukan pilihan terhadap kemungkinan-
kemungkinan yang diberikan oleh lingkungannya. Kaidah-kaidah hukum dan penegak-
penegak hukum merupakan salah satu batas untuk melakukan pilihan tersebut. Proses tadi
berjalan dengan cara:

a) Penetapan kaidah-kaidah hukum yang harus dipatuhi oleh pemegang peranan.


b) Perumusan tugas-tugas penegak hukum untuk melakukank tindakan-tindakan
positif atau negative, sesuai dengan apakah ada kepatuhan atau pelanggaran
terhadap kaidah-kaidah hukum.

Kaidah-kaidah hukum yang bertujuan untuk mengubah dan mengatur perikelakuan


dapat dilakukan dengan cara-cara:

a. Melakukan imbalan-imbalan secara psikologis bagi pemegang peranan


yang patuh maupun melanggar kaidah-kaidah hukum.
b. Merumuskan tugas-tugas penegak hukum untuk bertindak sedemikian
rupa, sehingga sesuai dengan serasi atau tidaknya perikelakuan
pemegang peranan dengan kaidah-kaidah hukum.
16
Ibid, Hal. 139
c. Mengubah perikelakuan pihak ketiga, yang dapat mempengaruhi
perikelakuank pemegang peranan yang mengadakan interaksi.
d. Mengusahakan perubahan para persepsi, sikap dan nilai-nilai
pemegang peranan.

Dengan model tersebut, setidaknya dapat diidentifikasikan maslah-masalah yang


berkaitan dengan tidak efektifnya sistem kaidah-kaidah hukum tertentu di dalam mengubah
atau mengatur petunjuk-petunjuk, di manakalah kelemahan-kelmahan penerapan hukum itu
ada. Misalnya, mengapa suatu perundang-undangan lalu lintas darat todak begitu efektif di
dalam mengubah perikelakuan warga masyarakat. Mungkin masalahnya terletak pada
perundang-undangan lalu lintas darat tersebut tidak begitu efektif di dalam mengubah
perikelakuan warga masyarakat. Mugkin masalahnya terletak pada perundang-undangannya
sendiri yang terlalu abstrak atau terlalu rumit, atau juga mungkin pada para penegak hukum,
atau warga masyarakat sendiri, dan mungkin pada fasilitas pendukungnya.

Oleh karena itu, membentuk hukum yang efektif memang memerlukan waktu yang
lama. Hal itu disebabkan, antara lain karena daya cangkupnya yang sedemikian luas, lagi pula
hukum itu harus dapat menjangkau jauh ke muka, sehingga memerlukan pendekatan yang
multi disipliner. Bahkan kadang-kadang, suatu hukum perlu dicoba terlebih dahulu, karena
justru melalui percobaan tadi akan dapat diketahui kelemahan-kelemanan dan batas-batas
jangkaunya di dalam mengubah atau mengatur perikelakuan masyarakat. Hukum merupakan
bagian dari masyarakat, yang timbul dan berproes di dalam dan untuk kepentingan
masyarakata. Oleh karena itu, hanya warga masyarakat yang dapat menentukan luas daya
cangkup hukum maupun batas kegunaannya.17

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Hukum adalah serangkaian aturan yang secara subastansi memiliki perintah dan larangan
serta harus ditaati oleh setiap individu.
17
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Hal. 41.
2. Perubahan sosial merupakan perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan
terhadap keseimbangan dalam hubungan sosial.

3. Hukum merupakan instrumen penting dalam perubahan sosial karena memiliki korelasi
yang tidak bisa dilepas pisahkan.

DAFTAR PUSTAKA

Salam, Samsir. "Hukum Dan Perubahan Sosial (Kajian Sosiologi


Hukum)." Tahkim, XI (1) 11 (2015).
Fuady, DR Munir, and MH LL M. SH. Teori-teori Besar Dalam Hukum:
Grand Theory. Prenada Media, 2014.
Nopendra, Andi, Halil Khusairi, and Azhar Azhar. "HUKUM SEBAGAI
ALAT MENGUBAH MASYARAKAT; TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM
ISLAM." Istishab: Journal of Islamic Law 2.01 (2021): 21-33.
Soekanto, Soerjono. "Pokok-pokok sosiologi hukum." Rajawali pers (1989).
Rahardjo, Satjipto. Ilmu hukum. Citra Aditya Bakti, 2000.
Setyawan, Iwan. "Peranan hukum dalam perubahan sosial yang terjadi pada
masyarakat." (2014): 149-169.
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A. Pokok-Pokok sosiologi Hukum,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009).
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
2005).

Anda mungkin juga menyukai