Anda di halaman 1dari 23

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK SIPIL
PROGRAM STUDI S1 TEKNIK GEOLOGI

PRAKTIKUM SEDIMENTOLOGI
ACARA II GRANULOMETRI (ROUNDNESS)

LAPORAN

OLEH :
NABILA SALSABILLA
F12121105

PALU
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sedimentologi adalah studi tentang proses transportasi dan pengendapan
material sedimen yang terakumulasi di lingkungan kontinen dan laut hingga
membentuk batuan sedimen. Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan
material yang ditransport oleh media air, angin, es, atau gletser di suatu
cekungan. Sedangkan batuan sedimen adalah suatu batuan yang terbentuk dari
hasil proses sedimentasi, baik secara mekanik maupun secara kimia dan
organik.
Sedimentologi digunakan dalam berbagai bidang, dapat digunakan dalam
pemanfaatan sumber daya maupun perekayasaan lingkungan. Banyak ahli
geologi yang beral dari industri perminyakan dan dari berbagai jenis usaha
tambang lainnya. Analisis ukuran butir (roughness) adalah metode pengukuran
kekasaran permukaan suatu benda atau material. Metode ini digunakan untuk
menentukan karakteristik dari permukaan, seperti kemulusan, kekasaran, dan
pola permukaan.
Dasar dari analisis ukuran butir berasal dari kebutuhan industri untuk
mengukur kekasaran permukaan dengan cara yang lebih objektif dan
konsisten. Sebelumnya, pengukuran kekasaran permukaan dilakukan secara
visual atau dengan menggunakan alat sederhana seperti penggaris, yang tidak
memberikan hasil yang akurat dan dapat dipercaya.
Dalam industri, permukaan yang kasar dapat mempengaruhi kinerja suatu
produk, seperti daya gesekan, daya tahan terhadap aus, dan kemampuan untuk
mempertahankan lapisan pelindung. Oleh karena itu, penting untuk dapat
mengukur kekasaran permukaan secara akurat untuk menentukan kualitas dan
performa produk.
Metode analisis kuran butir pertama kali dikembangkan pada awal abad ke-
20 oleh para peneliti seperti Profesor Arthur Beverly dan Dr. Harold von Finck
di Inggris dan Jerman. Metode ini kemudian terus dikembangkan dan
digunakan secara luas di berbagai industri, termasuk otomotif, manufaktur dan
teknik sipil. Saat ini, standar internasional telah dikembangkan untuk
pengukuran kekasaran permukaan, seperti ISO 4287 dan ASME B46.1
Oleh karena itu, praktikum sedimentologi ini dibuat agar praktikan dapat
mengetahui apa saja yang dipelajari di dalam sedimentologi dan ruang lingkup
sedimentologi secara keseluruhan sebagai bagian dari ilmu geologi.

1.2 Tujuan
Tujuan pada praktikum kali ini yaitu:
- Untuk mengetahui cara menganalisis kebundaran batuan
- Untuk mengetahui proses geologi yang terjadi berdasarkan kebundaran
batuan
BAB II
METODOLOGI
2.1 Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu:
- Pulpen
- Pensil
- Penghapus
- Penggaris
- Jangka
- Milimeter blok
- Kalkulator
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu:
- Tabel analisa roudness
- Sampel fragmen batuan konglomerat
- Sampel fragmen batuan breksi.

2.2 Langkah Kerja


Adapun langkah kerja pada praktikum kali ini yaitu:
1. Langkah pertama yaitu menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan.
2. Selanjutnya menggambar/menjiplak batuan pada kertas milimeter blok
3. Pada gambar tersebut buat lingkaran menyesuaikan dengan gambar batuan
dan tidak melewati batas pada tepi batuan
4. Membuat lingkaran kecil pada tepi batuan yang menonjol atau tidak masuk
kedalam lingkaran besar yang telah dibuat sebelumnya
5. Mengukur jari jari tiap lingkaran, dimana nlai jari-jari lingkaran terbesar
merupakan nilai R dan jari-jari lingkaran kecil merupakan nilai r

6. Menghitung nilai kebundaran menggunakan rumus Rw=
.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
 Sampel Konglomerat
Sampel 1 Sampel 2

Sampel 3 Sampel 4

Sampel 5 Sampel 6
Sampel 7 Sampel 8

Sampel 9 Sampel 10

Sampel 11 Sampel 12
Sampel 13 Sampel 14

Sampel 15
 Perhitungan Konglomerat

1. R = 1,55
(r1 = 0,5),(r2 = 0,75),(r3 = 0,9)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
2,15 1 2,15
= 𝑥 = = 0,46
3 1,55 4,65
Sub-rounded (Wadell, 1932)

2. R = 1,55
(r1 = 0,65),(r2 = 0,5),(r3 = 0,6),(r4 = 0,3),(r5 = 0,5)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
2,55 1 2,55
= 𝑥 = = 0,33
5 1,55 7,75
Sub-angular (Wadell, 1932)

3. R = 1,55
(r1 = 0,9),(r2 = 0,8),(r3 = 0,6)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
2,3 1 2,3
= 𝑥 = = 0,49
3 1,55 4,65
Rounded (Wadell, 1932)

4. R = 1,55
(r1 = 0,7),(r2 = 0,7),(r3 = 0,6),(r4 = 0,7)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
2,7 1 2,7
= 𝑥 = = 0,43
4 1,55 6,2
Sub-rounded (Wadell, 1932)
5. R = 1
(r1 = 0,25),(r2 = 0,4),(r3 = 0,6)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
1,25 1 1,25
= 𝑥 = = 0,41
3 1 3
Sub-rounded (Wadell, 1932)

6. R = 1,3
(r1 = 0,45),(r2 = 0,45),(r3 = 0,4),(r4 = 0,75)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
2,05 1 2,05
= 𝑥 = = 0,39
4 1,3 5,2
Sub-rounded (Wadell, 1932)

7. R = 1,3
(r1 = 0,4),(r2 = 0,4),(r3 = 0,3),(r4 = 0,9)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
2 1 2
= 𝑥 = = 0,38
4 1,3 5,2
Sub-rounded (Wadell, 1932)

8. R = 1,1
(r1 = 0,4),(r2 = 0,4),(r3 = 0,5)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
1,3 1 1,3
= 𝑥 = = 0,39
3 1,1 3,3
Sub-rounded (Wadell, 1932)
9. R = 0,9
(r1 = 0,3),(r2 = 0,5),(r3 = 0,8)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
1,6 1 1,6
= 𝑥 = = 0,59
3 0,9 2,7
Rounded (Wadell, 1932)

10. R = 1,5
(r1 = 0,55),(r2 = 0,45),(r3 = 0,8),(r4 = 0,4)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
2,2 1 2,2
= 𝑥 = = 0,36
4 1,5 6
Sub-rounded (Wadell, 1932)

11. R = 1,05
(r1 = 0,3),(r2 = 0,25),(r3 = 0,7)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
1,25 1 1,25
= 𝑥 = = 0,39
3 1,05 3,15
Sub-rounded (Wadell, 1932)

12. R = 1,3
(r1 = 0,35),(r2 = 0,35),(r3 = 0,6),(r4 = 0,25)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
1,55 1 1,55
= 𝑥 = = 0,29
4 1,3 5,2
Sub-angular (Wadell, 1932)
13. R = 1,3
(r1 = 0,2),(r2 = 0,2),(r3 = 0,15),(r4 = 0,65),(r5 = 0,7),(r6 = 0,5)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
2,4 1 2,4
= 𝑥 = = 0,30
6 1,3 7,8
Sub-angular (Wadell, 1932)

14. R = 1,55
(r1 = 1,05),(r2 = 1,05),(r3 = 0,3)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
2,4 1 2,4
= 𝑥 = = 0,51
3 1,55 4,65
Rounded (Wadell, 1932)

15. R = 1,55
(r1 = 0,5),(r2 = 0,7),(r3 = 0,8),(r4 = 0,5)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
2,5 1 2,5
= 𝑥 = = 0,40
4 1,55 6,2
Sub-rounded (Wadell, 1932)
 Sampel Breksi
Sampel 1 Sampel 2

Sampel 3 Sampel 4

Sampel 5 Sampel 6
Sampel 7 Sampel 8

Sampel 9 Sampel 10

Sampel 11 Sampel 12
Sampel 13 Sampel 14

Sampel 15
 Perhitungan Breksi

1. R = 1,3
(r1 = 0,25),(r2 = 0,65),(r3 = 0,35),(r4 = 0,25),(r5 = 0,3),(r6 = 0,45)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
2,25 1 2,25
= 𝑥 = = 0,28
6 1,3 7,8
Sub-angular (Wadell, 1932)

2. R = 1,6
(r1= 0,25),(r2= 0,3),(r3= 0,3),(r4= 0,2),(r5= 0,15),(r6= 0,15),(r7= 0,3)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
1,65 1 1,65
= 𝑥 = = 0,14
7 1,6 11,2
Very angular (Wadell, 1932)

3. R = 1,3
(r1 = 0,55),(r2 = 0,25),(r3 = 0,3),(r4 = 0,25),(r5 = 0,45)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
1,8 1 1,8
= 𝑥 = = 0,27
5 1,3 6,5
Sub-angular (Wadell, 1932)

4. R = 1,3
(r1= 0,25),(r2= 0,2),(r3= 0,2),(r4= 0,4),(r5= 0,35),(r6= 0,25),(r7= 0,3)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
1,95 1 1,95
= 𝑥 = = 0,21
7 1,3 9,1
Angular (Wadell, 1932)
5. R = 1,05
(r1 = 0,25),(r2 = 0,4),(r3 = 0,4),(r4 = 0,5)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
1,55 1 1,55
= 𝑥 = = 0,36
4 1,05 4,2
Sub-rounded (Wadell, 1932)

6. R = 1,3
(r1 = 0,6),(r2 = 0,3),(r3 = 0,3),(r4 = 0,6),(r5 = 1)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
2,8 1 2,8
= 𝑥 = = 0,43
5 1,3 6,5
Sub-rounded (Wadell, 1932)

7. R = 0,8
(r1= 0,3),(r2= 0,2),(r3= 0,3),(r4= 0,2),(r5= 0,3),(r6= 0,4),(r7= 0,2)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
1,9 1 1,9
= 𝑥 = = 0,33
7 0,8 5,6
Sub-angular (Wadell, 1932)

8. R = 1
(r1 = 0,8),(r2 = 0,25),(r3 = 0,4),(r4 = 0,2),(r5 = 0,2),(r6 = 0,2)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
2,05 1 2,05
= 𝑥 = = 0,34
6 1 6
Sub-angular (Wadell, 1932)
9. R = 1,3
(r1 = 0,6),(r2 = 0,3),(r3 = 0,25),(r4 = 0,25),(r5 = 0,25),(r6 = 0,3)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
1,95 1 1,95
= 𝑥 = = 0,25
6 1,3 7,8
Sub-angular (Wadell, 1932)

10. R = 1,15
(r1 = 0,25),(r2 = 0,25),(r3 = 0,3),(r4 = 0,4),(r5 = 0,35),(r6 = 0,35)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
1,9 1 1,9
= 𝑥 = = 0,27
6 1,15 6,9
Sub-angular (Wadell, 1932)

11. R = 0,8
(r1 = 0,2),(r2 = 0,2),(r3 = 0,25),(r4 = 0,2),(r5 = 0,15),(r6 = 0,4)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
1,4 1 1,4
= 𝑥 = = 0,29
6 0,8 4,8
Sub-angular (Wadell, 1932)

12. R = 0,95
(r1 = 0,35),(r2 = 0,25),(r3 = 0,25),(r4 = 0,3),(r5 = 0,2),(r6 = 0,35)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
1,7 1 1,7
= 𝑥 = = 0,29
6 0,95 5,7
Sub-angular (Wadell, 1932)
13. R = 1,9
(r1= 0,3),(r2= 0,3),(r3= 0,5),(r4= 0,5),(r5= 0,3),(r6= 0,7),(r7= 0,7),(r8= 0,9)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
4,2 1 4,2
= 𝑥 = = 0,27
8 1,9 15,2
Sub-angular (Wadell, 1932)

14. R = 0,9
(r1 = 0,5),(r2 = 0,3),(r3 = 0,5),(r4 = 0,45),(r5 = 0,4),(r6 = 0,35)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
2,5 1 2,5
= 𝑥 = = 0,46
6 0,9 5,4
Sub-rounded (Wadell, 1932)

15. R = 1
(r1= 0,25),(r2= 0,35),(r3= 0,35),(r4= 0,25),(r5= 0,3),(r6= 0,15),(r7= 0,15)
∑𝑟 1 ∑𝑟
𝑅𝑤 = 𝑥 =
𝑁 𝑅 𝑁𝑅
1,8 1 1,8
= 𝑥 = = 0,25
7 1 7
Angular (Wadell, 1932)
3.2 Pembahasan
 Konglomerat
Berdasarkan analisis ukuran butir pada sampel 1,4,5,6,7,8,10,11, dan 15
memiliki klasisikasi kebundaran sub-rounded Proses pembentukan butir
sedimen yang berbentuk sub-rounded terjadi ketika butir sedimen tersebut
mengalami abrasi dan transportasi, namun tidak seintensif butir sedimen yang
mengalami proses pembentukan butir yang benar-benar bulat (rounded). Hal
ini dapat terjadi karena butir sedimen yang berukuran besar dan memiliki
sudut yang tajam, lebih tahan terhadap abrasi daripada butir sedimen yang
lebih kecil atau memiliki sudut yang lebih halus. Butir sedimen yang lebih
besar dan memiliki sudut yang tajam cenderung lebih lambat mengalami
pengikisan dan lebih resisten terhadap proses transportasi yang intensif.
Kondisi lingkungan juga dapat mempengaruhi proses pembentukan butir
sedimen yang sub-rounded. Misalnya, lingkungan pengendapan yang kurang
turbulent dan memiliki energi transportasi yang lebih rendah, seperti
lingkungan danau atau laut dalam, dapat menghasilkan butir sedimen yang
sub-rounded.

Berdasarkan analisis ukuran butir pada sampel 2,12,13 dan 14 memiliki


klasifikasi kebundaran sub-angular. Proses pembentukan butir sedimen yang
sub-angular terjadi ketika butir sedimen tersebut mengalami abrasi dan
transportasi yang kurang intensif dibandingkan dengan butir yang berbentuk
rounded dan sub-rounded. Butir sedimen yang sub-angular masih memiliki
sudut-sudut yang tajam dan tidak sebulat atau selicin butir sedimen yang sub-
rounded atau rounded. Hal ini menunjukkan bahwa butir sedimen tersebut
mengalami pengikisan yang lebih sedikit dibandingkan dengan butir sedimen
yang sub-rounded atau rounded. Butir sedimen yang sub-angular dapat
terbentuk di lingkungan yang memiliki energi transportasi yang rendah dan
kondisi substrat yang lebih kasar, seperti di muara sungai atau pantai yang
tidak terlalu terkena arus laut yang kuat. Butir sedimen juga dapat mengalami
pengikisan yang kurang intensif jika kondisi lingkungan transportasi sedimen
terganggu oleh aktivitas manusia atau lingkungan yang stabil. Proses abrasi
dan transportasi yang menghasilkan butir sedimen sub-angular dapat
memakan waktu yang cukup lama, tergantung pada ukuran butir dan kondisi
lingkungan. Butir sedimen sub-angular dapat memberikan petunjuk tentang
kondisi lingkungan selama proses pengendapan batuan sedimen terjadi,
seperti kekuatan arus, kecepatan air, dan sifat substrat di lingkungan tersebut.

Berdasarkan analisis ukuran butir pada sampel 3 dan 9 memiliki klasisikasi


kebundaran rounded. roses pembentukan butir sedimen yang berbentuk bulat
(rounded) biasanya terjadi melalui proses abrasi dan transportasi yang cukup
lama. Abrasi terjadi ketika butir-butir sedimen saling bergesekan satu sama
lain dan dengan substrat yang mengelilinginya selama transportasi oleh air,
angin atau es. Gesekan yang terjadi pada permukaan butir sedimen tersebut
dapat mengikis bagian-bagian tajam dan kasar, sehingga terbentuk butir yang
lebih bulat dan halus. Transportasi yang lama juga dapat membantu
membentuk butir yang lebih bulat. Semakin lama butir sedimen terbawa oleh
air, angin atau es, maka semakin sering butir sedimen tersebut mengalami
gesekan dengan butir lainnya atau dengan substrat yang mengelilinginya. Hal
ini membuat butir-butir sedimen semakin kecil, halus dan bulat karena
bagian-bagian tajam dan kasar semakin terkikis dan terhapus. Proses abrasi
dan transportasi yang terjadi selama berabad-abad atau bahkan berjuta-juta
tahun dapat menghasilkan butir sedimen yang sangat bulat dan halus, seperti
halnya batu kerikil di sungai atau pantai. Keberadaan butir sedimen yang
berbentuk bulat dalam lapisan sedimen dapat memberikan petunjuk kepada
para geolog untuk mengetahui kondisi lingkungan dan proses geologis yang
terjadi selama pembentukan batuan sedimen tersebut.
 Breksi
Berdasarkan analisis ukuran butir pada sampel 2 memiliki klasifikasi
kebundran very angular. Very angular pada butir batuan biasanya terbentuk
melalui proses transportasi dan pengendapan yang sangat kasar dan energik.
Ketika batuan asal (parent rock) dipecahkan atau erosi terjadi, pecahan-
pecahan atau fragmen-fragmen batuan tersebut akan diangkut oleh air, angin,
atau gletser dengan energi aliran yang sangat kuat dan deras. Selama
transportasi yang sangat kasar ini, fragmen-fragmen batuan ini saling
bertabrakan dan saling tergesek satu sama lain dengan sangat kuat. Gaya
gesekan yang terjadi antara fragmen-fragmen batuan dapat menggesek dan
memotong sudut-sudutnya sehingga menghasilkan fragmen dengan sudut
tajam atau sudut yang sangat lancip. Ketika fragmen-fragmen ini
terendapkan, mereka akan menjadi bagian dari sedimen, yang kemudian akan
mengalami diagenesis menjadi batuan baru. Proses diagenesis ini mungkin
termasuk proses kompaksi dan sementasi, di mana fragmen-fragmen tersebut
disatukan oleh bahan-bahan pengisi yang mengisi celah antara fragmen-
fragmen tersebut. Proses-proses ini akan menghasilkan batuan dengan butir
yang sangat kasar dan angular, seperti batu breksi yang sangat kasar atau batu
sungai yang terbentuk di tempat-tempat dengan arus air yang sangat deras dan
kuat. Kondisi di tempat pengendapan, seperti energi aliran air atau kecepatan
angin, sangat mempengaruhi ukuran dan bentuk butir batuan yang terbentuk.
Semakin kuat energi aliran air atau angin, semakin besar kemungkinan butir
batuan menjadi angular dan kasar.

Berdasarkan analisis ukuran butir pada sampel 1,3,7,8,9,10,11,12 dan 13


memiliki klasifikasi kebundaran sub-angular. Proses pembentukan butir
sedimen yang sub-angular terjadi ketika butir sedimen tersebut mengalami
abrasi dan transportasi yang kurang intensif dibandingkan dengan butir yang
berbentuk rounded dan sub-rounded. Butir sedimen yang sub-angular masih
memiliki sudut-sudut yang tajam dan tidak sebulat atau selicin butir sedimen
yang sub-rounded atau rounded. Hal ini menunjukkan bahwa butir sedimen
tersebut mengalami pengikisan yang lebih sedikit dibandingkan dengan butir
sedimen yang sub-rounded atau rounded. Butir sedimen yang sub-angular
dapat terbentuk di lingkungan yang memiliki energi transportasi yang rendah
dan kondisi substrat yang lebih kasar, seperti di muara sungai atau pantai yang
tidak terlalu terkena arus laut yang kuat. Butir sedimen juga dapat mengalami
pengikisan yang kurang intensif jika kondisi lingkungan transportasi sedimen
terganggu oleh aktivitas manusia atau lingkungan yang stabil. Proses abrasi
dan transportasi yang menghasilkan butir sedimen sub-angular dapat
memakan waktu yang cukup lama, tergantung pada ukuran butir dan kondisi
lingkungan. Butir sedimen sub-angular dapat memberikan petunjuk tentang
kondisi lingkungan selama proses pengendapan batuan sedimen terjadi,
seperti kekuatan arus, kecepatan air, dan sifat substrat di lingkungan tersebut.

Berdasarkan analisis ukuran butir pada sampel 4 dan 15 memiliki


klasisikasi kebundran angular. Angular pada butir batuan biasanya terbentuk
melalui proses transportasi dan pengendapan. Ketika batuan asal (parent rock)
dipecahkan atau erosi terjadi, pecahan-pecahan atau fragmen-fragmen batuan
tersebut akan diangkut oleh air, angin, atau gletser. Selama transportasi,
fragmen-fragmen batuan ini saling bertabrakan dan saling tergesek satu sama
lain. Gaya gesekan yang terjadi antara fragmen-fragmen batuan dapat
menggesek dan memotong sudut-sudutnya sehingga menghasilkan fragmen
dengan sudut tajam atau sudut yang sangat lancip. Ketika fragmen-fragmen
ini terendapkan, mereka akan menjadi bagian dari sedimen, yang kemudian
akan mengalami diagenesis menjadi batuan baru. Proses-proses ini akan
menghasilkan batuan dengan butir angular atau sangat kasar, seperti batu
breksi, batu sungai, atau batu gunung api. Kondisi di tempat pengendapan,
seperti energi aliran air atau kecepatan angin, juga dapat mempengaruhi
ukuran dan bentuk butir batuan yang terbentuk. Semakin kuat energi aliran
air atau angin, semakin besar kemungkinan butir batuan menjadi angular dan
kasar.
Berdasarkan analisis ukuran butir pada sampel 5,6 dan 14 memiliki
klasisikasi kebundaran sub-rounded Proses pembentukan butir sedimen yang
berbentuk sub-rounded terjadi ketika butir sedimen tersebut mengalami
abrasi dan transportasi, namun tidak seintensif butir sedimen yang mengalami
proses pembentukan butir yang benar-benar bulat (rounded). Hal ini dapat
terjadi karena butir sedimen yang berukuran besar dan memiliki sudut yang
tajam, lebih tahan terhadap abrasi daripada butir sedimen yang lebih kecil
atau memiliki sudut yang lebih halus. Butir sedimen yang lebih besar dan
memiliki sudut yang tajam cenderung lebih lambat mengalami pengikisan
dan lebih resisten terhadap proses transportasi yang intensif. Kondisi
lingkungan juga dapat mempengaruhi proses pembentukan butir sedimen
yang sub-rounded. Misalnya, lingkungan pengendapan yang kurang turbulent
dan memiliki energi transportasi yang lebih rendah, seperti lingkungan danau
atau laut dalam, dapat menghasilkan butir sedimen yang sub-rounded.

Anda mungkin juga menyukai