Anda di halaman 1dari 30

“Setahuku, ia cuma hebat di urusan gonta-ganti cewek.

Paling demen bikin gosip


untuk mendongkrak popularitas. Huh! Tiap hari gosipnya selalu muncul di
infotainmen.”

Mereka bertiga ke Buku's, toko buku paling lengkap di kota ini. Langsung, sepulang dari
sekolah. Tugas kelompok menyusun
karya tulis itu memerlukan beberapa referensi yang harus didapatkan dan dibeli.Indira
dan Meisye langsung bersuka cita di belantara buku-buku, Fathan seperti seorang
bodyguard yang selalu menempel di belakang mereka. Meisye yang paling akrab
dengan toko buku ini dan tahu di mana dipajang buku-buku yang mereka butuhkan.
Tapi sebelum tiba di deretan yang mereka tuju, Indira dan Meisye, seperti dikomando,
berbelok ke arah pajangan majalah dan tabloid. Meisye, yang punya julukan si Ratu
Dapur, segera membuka-buka majalah yang memberikan bonus resep aneka kue
kering. Indira meneliti sebuah tabloid gosip terbaru dan seketika menjerit kegirangan.
“Ronnie!”
Meisye ikut melongok, sedangkan Fathan berdiri, bergeming.
“Ada poster Ronnie!” Indira menarik bonus poster besar itu
dari dalam tabloid itu, bernafsu. Lalu buru-buru menaruhnya
kembali di tengah tabloid dengan amat hati-hati agar tak
kucal dan terlipat.
“Kamu beli?”
“Iya dong. Ada poster Ronnie!” Indira menyembunyikan tabloid
itu di belakang punggungnya, seakan takut direbut oleh Meisye.
“Katanya kamu nggak punya duit!” Meisye merengut. Tadi sebelum berangkat kemari
Indira sudah mengancam dan memaksa Meisye yang membayar ongkos bus kota.
“Ada jatah untuk jajan besok. Tapi demi Ronnie, nggak makan seminggu pun aku
rela.” Indira sengaja mengeraskan suaranya.
Ia melirik ke arah Fathan untuk memastikan cowok itu mendengar perkataannya. Ia
ingin mencuri lihat ekspresinya. Fathan tetap berdiri mematung, tanpa ekspresi yang
berarti.
Indira menarik lagi poster besar foto close up Ronnie itu.
Menatapnya dengan senyum terkembang dan mata berbinar.
“Aduh, kiyutnya…” desah Indira.
Meisye menggeleng-gelengkan kepala. Diam-diam ia menangkap
sesuatu yang nggak wajar. Ada yang aneh pada semua sikap
Indira sejak mereka bertiga berangkat dari sekolah tadi.Tapi Meisye memilih diam
sambil sesekali berpikir nakal,
"Barangkali Indira lupa minum obatnya."
Mereka lalu meninggalkan counter majalah dan menuju deretan buku Ilmu
Pengetahuan Alam. Sementara Meisye dan Fathan sibuk
mencari-cari buku yang mereka butuhkan, Indira terus sibuk mengagumi posternya
Selesai di Buku's, ketiganya naik bus kota. Kebetulan rumah mereka bertiga satu
jurusan. Mereka bertiga duduk sebangku.
“Udah!” Meisye merasa risih dengan kelakuan Indira. Ia masih terus memandangi
poster Ronnie. Bahkan mendekapnya ke dada.
Sudah tiga kali Indira menciumi posternya.
“Norak kamu!” kata Meisye sengit.
Fathan tetap membisu, membuang pandang ke luar.
Indira melipat tabloid dengan amat hati-hati dan
memasukkannya ke dalam tas sekolahnya.
“Kamu tahu, Ronnie nyurati aku?”
“Mimpi kamu!” Meisye membentak.
“Bener! Maksudku, ia membalas suratku.”
“Kapan?”
“Dua hari yang lalu. Ia kirim foto.”
“Kok kamu nggak ngasih tau aku, In?”
Indira tersenyum. “Kamu bisa cemburu!”
Meisye mencubit paha Indira.
Fathan, yang sedari tadi tetap diam, berdiri dari duduknya.
“Aku turun,” katanya. Bus kota sebentar lagi sampai di depan
gang masuk ke rumahnya.
Indira nampak kecewa, tapi ia hanya diam.
“Besok jadi ke rumahku, ya?” kata Meisye kepada Fathan.
“Di rumahku aja,” potong Indira cepat.
“Di rumah Meisye aja, In. Kalo harus ke rumahmu, kan jauh
banget. Rumahmu juga nggak jauh dari rumah Meisye, kan?”
“Oke, di rumahku aja,” kata Meisye.
“Ya. Besok tugas kita harus selesai.” Fathan menjawab sambil
berjalan ke arah pintu keluar.
Bus kota berhenti, Fathan melompat turun. Indira hanya bisa menatap dengan hampa.
Ketika bus kota sudah mulai berjalan lagi, Indira gagal menyembunyikan kesal dan
kekecewaannya. Indira mengeluarkan tabloidnya.
“Ini buat kamu!” Dilemparkannya tabloid itu ke pangkuan Meisye.
Meisye terkejut bukan main. “Lho, kenapa?”
“Siapa yang suka baca tabloid gosip!”
“Kalo nggak suka, ngapain beli? Kamu suka poster Ronnie-nya
aja?”
“Kamu ambil semua!”
“Lho?” Meisye semakin heran. "Poster Ronnie?"
“Siapa yang suka Ronnie?”
“Semua cewek suka cowok ganteng itu. Ibu-ibu juga pada suka.
Tiga buah sinetronnya ditayangkan bersamaan di tiga stasiun
teve. Aktingnya bagus. Kemarin ia dapet nominasi terbaik di
Festival Sinetron.”
“Masa bodoh! Sekali pun aku belum pernah nonton sinetronnya.”
“Tapi kamu udah ngebela-belain nyuratin dia, kan? Nggak usah
malu.”
“Siapa sudi kirim surat buat dia.”
“Wah? Jadi?” Meisye menahan tawa.
“Setahuku, ia cuma hebat di urusan gonta-ganti cewek. Paling demen bikin gosip untuk
mendongkrak popularitas. Huh! Tiap
hari gosipnya selalu muncul di infotainmen.”
“Wah, wah, kamu pasti penonton yang rajin menyantap berita- berita di infotainmen.”
“Iya, sih. Dari situ aku jadi banyak ngerti sepak terjang
Ronnie,” kata Indira dengan muka sebal. "Memahami karakter
dan isi kepalanya yang asli."
Meisye tertawa.
“Lalu buat apa kamu beli tabloid ini, mengagumi poster
Ronnie, bahkan mendekap dan menciuminya?”
Wajah Indira memerah. Ia menunduk.
“Aku cuma ingin membuat Fathan cemburu …” katanya lirih.
Meisye mendekap mulut untuk menahan tawanya yang nyaris pecah
lagi. Ia ingin tertawa lepas, mendengar pengakuan Indira. Tapi ketika melihat kondisi
Indira saat ini, Meisye jadi tak tega. Ekspresi wajahnya terlihat amat merana.Ya,
sudah cukup lama Meisye tahu, sahabat baiknya ini diam- diam menaruh hati pada
Fathan.
Jamal jadi salah tingkah. Sepertinya Jamal menyadari kesalahannya. Heti masih
menunggu beberapa saat untuk Jamal meralat lagi perkataanya, tapi Jamal
memang tak mau melakukannya.

“Don, kita duduk di sana, yuk.” Heti menunjuk sepetak


taman yang dikelilingi pagar besi. Di taman itu
terdapat sebuah bangunan berukuran kecil berbentuk
kotak yang di atasnya menempel empat patung pahlawan
yang berasal dari daerah ini di masa Penjajahan
Belanda.
“Yuk.” Doni mendorong sepeda motor yang mesinnya
telah mati itu ke pinggir dan menstandarkannya. Kedua
muda-mudi ini pun pergi menuju bangunan itu. Lewat
pintu pagar yang dibiarkan terbuka mereka masuk. Pada
tonjolan semen yang memagari bunga-bunga dan tepat
berada di bawah bangunan itu, keduanya duduk melepas
lelah. Pinggang keduanya terasa pegal setelah hampir
dua jam dengan mengendarai sepeda motor mengelilingi
kota kecil ini.
“Kamu haus?” Doni menatap wajah Heti.
Heti mengangguk.
“Tunggu di sini.” Bergegas Doni pergi.
Baru juga Doni melangkah beberapa langkah Heti
bertanya, “Mau ke mana?”
Tanpa menghentikan langkah kepala Doni menengok.
“Beli minuman!”
Heti menatapi berpasang-pasang muda-mudi yang lalu
lalang dengan bergandengan mesra melintas tak jauh
dari taman tempatnya duduk. Pada malam Minggu,
alun-alun ini oleh para remaja yang kasmaran memang
dijadikan sebagai tempat memadu kasih. Mungkin alasan
para remaja memilih tempat ini, karena tempat ini
cukup nyaman dan jajanannya murah meriah. Sedangkan
jika berpacaran di kafe-kafe harus memesan minuman
atau makanan yang harganya lumayan mahal.
Tak begitu lama, Doni sudah kembali dengan dua
plastik es teh botol di kedua tangannya. Doni
menyerahkah seplastik pada Heti. Heti menerimanya dan
lewat sedotan langsung meminumnya. Doni duduk di
sebelah Heti sambil meminum es teh botol juga.
Keduanya tampak asyik menghilangkan rasa haus
masing-masing tanpa sepatah kata pun yang terucap.
Namun, dalam diamnya itu, sesungguhnya Doni tengah
merenungi arti kebersamaanya selama hampir satu bulan
ini bersama Heti.
Sebenarnya, ingin rasanya Doni menanyakannya pada
Heti, tapi keberanian untuk itu tak kunjung hadir.
Ya, Doni memang benar-benar tak mengerti mengapa
perkenalannya dengan gadis secantik Heti sebulan lalu
begitu mudahnya. Semua berawal dari Heti yang sebulan
lalu mencari alamat kos teman satu sekolahnya dan
nyasar ke rumah Doni. Doni yang kebetulan tahu alamat
yang disebutkan Heti langsung mengantar Heti ke
tempat kos tersebut yang memang berada di
perkampungan tempat Doni tinggal. Setelah sampai di
tempat kos itu, Heti mengucapkan terima kasih dan
memperkenalkan diri. Doni pun menyebutkan namanya.
Sebelum Doni kembali ke rumahnya, Heti memberikan
nomor telepon rumahnya dan meminta Doni jika punya
waktu meneleponnya. Selama beberapa hari, Doni
mempertimbangkan menelepon Heti atau tidak. Tapi
akhirnya, Doni memutuskan untuk menelepon Heti dengan
berlagak menanyakan kabar Heti. Dan di telepon itulah
Heti meminta pada Doni diajak jalan-jalan. Heti
mengatakan tidak mempunyai teman cowok. Walau tidak
begitu percaya dengan pendengaranya Doni pun
menyetujuinya. Heti meminta Doni menjemputnya di
sebuah tempat. Berawal dari itulah selama sebulan
ini, Heti dan Doni lebih dari sepuluh kali
menghabiskan waktu malam mereka berdua.
“Abis ini kita ke mana lagi?” tanya Heti dengan
menatap wajah Doni. Doni yang tengah melamun seraya
meminum es teh botol ini sedikit terkejut karena
pertanyaan itu.
“Apa?”
“Abis ini kita ke mana lagi?” ulang Heti.
“Kita pulang aja, ya?”
“Kok buru-buru? Ini kan malam Minggu.”
“Udah malem. Aku takut orangtuamu mengkhawatirkanmu.”
Heti menatap mata Doni yang tengah menatapnya. Dari
sorot mata Doni itu, Heti menemukan kesungguhan dari
ucapan Doni barusan. Heti merasakan Doni sebagai
cowok yang pengertian.
“Oke deh kita pulang.”
Doni mendahului bangkit. Heti mengikuti. Keduanya
berjalan menuju sepeda motor yang terparkir tak jauh
dari tempat itu.
Heti benar-benar dalam keadaan bingung. Pasalnya, jam
tujuh malam nanti, Jamal, kekasihnya, minta ketemuan
di GR Ciceri untuk nonton konser Radja. Padahal, pada
jam yang sama,
 Heti juga punya janji mengantar Doni ke rumah sakit
menengok kawannya yang dirawat karena tabrakan.
Sebenarnya, Heti sudah menolak keinginan Jamal itu,
tapi Jamal bersikeras agar Heti datang. Jamal
mengancam putus jika Heti sampai tak datang. Selama
sebulan ini, Jamal memang sudah terlalu sabar
menghadapi sikap Heti yang seringkali membatalkan
janjinya. Heti pun menyadari itu. Selama sebulan ini,
setiap kali Doni mengajaknya keluar, Heti pasti
membatalkan janjinya terhadap Jamal. Ya, ini semua
dilakukannya bukan lantaran Heti sudah tak cinta lagi
pada Jamal, tapi karena ia sudah berjanji dengan
Seruni, sahabatnya yang juga adik kandung Doni, untuk
menemani selama sebulan ini ke mana pun Doni minta
ditemani tanpa boleh menolak. Dan sebagai imbalannya,
Heti menerima uang di muka sebesar dua ratus ribu.
Seruni melakukan itu karena Seruni tak ingin melihat
kakaknya terus-terusan murung akibat dikhianati
kekasihnya yang pacaran lagi. Makanya, Seruni
membuatkan skenario perkenalan Jamal dan Heti. Seruni
berharap luka hati kakaknya itu dapat terobati dengan
kehadiran gadis secantik Heti.
Sebenarnya, Heti ingin menolak uang pemberian Seruni
yang sebesar dua ratus ribu itu. Karena Heti pikir,
untuk membantu sahabat tak perlu pamrih. Tapi, Seruni
terus memaksanya untuk menerima uang itu. Seruni
beralasan, uang itu bukan bayaran tapi wujud terima
kasihnya. Tapi, itu kan hanya kemasan bahasa saja,
intinya tetap sama. Heti yang kebetulan memang tengah
memiliki hutang akibat menjatuhkan HP kawanya hingga
rusak, menerima juga uang itu dan uang itu ia gunakan
untuk membetulkan HP tersebut.
Saat Doni datang dengan motor bebeknya di depan
rumah Heti, Heti sudah rapi berpakaian dengan duduk
di ruang teras. Namun, sampai saat ini Heti masih
bingung untuk menetukan pilihan, mengantar Doni ke
rumah sakit atau memenuhi keinginan Jamal menonton
konser Radja. Jika mengantar Doni ke rumah sakit,
sebagai resikonya, Heti harus rela putus dengan
Jamal, sedangkan jika memenuhi keinginan Jama,l
berarti Heti mengingkari janjinya pada Seruni. Ah,
Heti benar-benar bingung.
Heti bangkit menghampiri Doni. Kebingungan masih
terlukis di wajahnya. Doni menangkap juga pancaran di
wajah Heti itu.
“Kamu kenapa?” tanya Doni menyelidik.
“Enggak kok, enggak kenapa-napa.”
“Ada sesuatu yang membebani kamu?”
Heti mencoba tersenyum. “Enggak ada apa-apa, kok,
Don. Aku hanya bingung nyari cincin emasku.
Sepertinya aku lupa naro.”
“Apa kita cari dulu?”
“Enggak usah, deh, nanti juga ketemu.” Heti naik di
boncengan.
“Kamu udah pamit dengan kedua orangtuamu?”
Heti mengangguk. Ya, setiap kali Doni hendak pergi
bersama Heti, Doni selalu menanyakan hal ini.
Doni menarik gas motornya. Motor itu pun melaju
menyusuri gang menuju jalan raya.
Selama dalam perjalanan menuju rumah sakit, Heti
masih bingung. Sungguh ia pun tak ingin sampai putus
dengan Jamal hanya gara-gara hal seperti ini. Ya,
bagaimana pun Heti memang mencintai Jamal. Tiba-tiba
saja di benak Heti muncul sebuah rencana.
Heti menepuk bahu Doni. “Don, bisa antar aku sebentar
enggak?”
“Ke mana?”
“Ke GR Ciceri.”
Doni mengangguk. Tanpa banyak tanya lagi, Doni
membelokkan laju motornya menuju GR Ciceri.
“Berhenti di sini, Don.”
Doni menuruti keinginan Heti dengan mengerem
motornya. Heti melompat turun.
“Tunggu di sini, ya, Don.”
Doni mengangguk. Bergegas Heti pergi menuju suatu
tempat berniat menemui Jamal.
Di kawasan GR telah dipenuhi ratusan bahkan mungkin
ribuan calon penonton yang sembilan puluh persennya
terdiri dari usia remaja. Heti berhenti, kepalanya
clingukan. Belasan meter di depan orang yang
dicarinya tengah duduk di bangku penjual makanan.
Segera Heti menghampirinya.
“Mal,” pangil Heti.
Yang dipanggil menolehkan kepalanya. Senyumnya mekar.
“Kukira kamu enggak datang.”
“Justru aku datang ke sini ingin menjelaskan sesuatu
sama kamu.”
“Menjelaskan apa lagi?” Dahi Jamal berkerut.
“Sorry, ya, Mal, aku enggak bisa ikut nonton konser,
aku harus nengokin sahabatku yang tabrakan dan kini
tengah dirawat di rumah sakit.” Heti memasang mimik
wajah memelas. Dengan begitu, ia berharap Jamal mau
mengerti.
“Aku tuh udah beli karcis dua, Het. Nengoknya nanti
aja kan bisa.”
“Mal… luka sahabatku itu parah, aku takut….”
“Keburu meninggal?” potong Jamal. “Kalau keburu
meninggal itu namanya takdir. Dan kamu ditakdirkan
untuk tidak menengoknya.”
Heti tak mengira Jamal sebegitu egoisnya. Percuma
saja Heti berbohong dengan mengatakan yang tabrakan
sahabatnya. Ternyata, Jamal tak memiliki keperdulian
pada sesama!
“Udah telat lima menit nih, yuk.” Jamal menarik
lengan Heti menuju pintu masuk gedung tempat konser
Radja yang sebentar lagi dimulai itu. Dan Heti hanya
bisa menurut tanpa dapat berbuat apa-apa lagi, hanya
batinnya yang mengkhawatirkan Doni. Sementara
titik-titik air dari langit mulai jatuh membasahi
bumi yang kian lama kian membesar. Heti berharap Doni
pulang karena hujan ini.
Pada pukul sembilan konser Radja selesai. Para
penonton berdesakkan keluar dari gedung. Begitupun
dengan Heti dan Jamal. Sesampainya sepasang kekasih
ini di luar keadaan telah becek dan di jalanan yang
berlubang tergenangi air. Saat sepasang kekasih ini
berada di dalam gedung menonton konser Radja hujan
deras memang turun.
“Hai, Jamal!”
Jamal yang tengah menggandeng mesra Heti menolehkan
kepalanya ke arah suara yang memanggilnya. Heti pun
melakukan hal yang sama. Berjarak sekitar lima
meteran seorang gadis berdiri dengan tersenyum manis
pada Jamal. Jamal pun balas tersenyum. Gadis itu
berjalan menghampiri.
Heti memperhatikan gadis itu dari kaki sampai kepala.
Gadis itu benar-benar cantik seperti anak indo.
“Kamu masih ingat aku?” ucapnya saat telah berada di
dekat Jamal.
“Tentu saja aku ingat.”
Mendengar perkataan Jamal senyum gadis itu makin
mekar.
“Oh iya, kamu ke sini dengan siapa?” tanya Jamal
menyadari gadis itu hanya sendirian.
“Sendiri.”
“Kok sendirian?”
“Iya… sebenarnya aku tuh ke sini nyariin kamu. Tadi,
sekitar pukul tujuh aku nelepon ke rumahmu. Kata
orang rumah, kamu ke sini. Ya, aku ke sini nyari kamu
dan aku juga nonton konser.”
“Kamu masih nyimpen nomor telpon rumahku rupanya,”
ucap Jamal pada raut wajahnya tergambarkan
kebanggaan.
“Ini….” Gadis itu menunjuk Heti.
“Temen,” potong Jamal.
“Apa!” Heti benar-benar tak terima dibilang temen di
depan gadis cantik itu.
Ditatapnya wajah Jamal lekat. Jamal jadi salah
tingkah. Sepertinya, Jamal menyadari kesalahannya.
Heti masih menunggu beberapa saat untuk Jamal meralat
lagi perkataanya, tapi Jamal memang tak mau
melakukannya. Mungkin karena berada di depan gadis
cantik ini, Jamal tak mau melakukannya. Dengan hati
hancur, Heti pergi meniggalkan tempat itu.
Heti berjalan tergesah menuju jalan raya. Ia
benar-benar tak mengira Jamal akan berbuat seperti
itu hanya karena di depan seorang gadis cantik.
Tiba-tiba saja sebuah suara memangil namanya, “Heti!”
Heti menoleh. Di sebuah halte Doni tengah duduk. “Oh,
Tuhan, apakah di tempat itu ia duduk menungguku?”
batin Heti. Pukul tujuh tadi ia memang meminta Doni
menunggunya di sekitar tempat ini. Heti segera
berjalan menghampiri Doni. Doni pun segera bangkit
dari duduknya.
“Sedang apa kamu di sini, Don?” tanya Heti masih
belum mengerti. Matanya menatap wajah Doni, yang
masih menyisakan rona kecemasan.
“Aku menungumu di sini.”
“Kenapa masih menungguku?” Heti benar-benar tak
mempercayai kekonyolan Doni yang demi menunggunya
rela berada di tempat ini selama dua jam.
“Sebenarnya, aku sudah sejak tadi ingin pergi, tapi
saat perginya kamu kan bersamaku. Nanti apa yang akan
aku pertanggungjawabkan di depan kedua orangtuamu
jika terjadi apa-apa. Terlebih aku memang ingin
memastikan tak terjadi apa-apa dengan kamu.” Sisa
kecemasan di wajah Doni mulai memudar berganti dengan
rona keceriaan.
“Sebegitu bertanggungjawabnya dan perhatiannya kamu,
Don,” jerit Heti dalam hati. Tanpa sadar, ia peluk
tubuh Doni. Namun, segera ia melepaskan kembali
pelukannya, karena pakaian Doni lembab. “Kenapa
bajumu agak basah?”
“Tadi, saat hujan gerimis aku pergi mencari kamu, aku
kawatir terjadi apa-apa dengan kamu.”
“Tentu saja kamu tak ‘kan menemukan aku, karena aku
berada di dalam gedung menonton konser. Maafkan aku,
Don,” sesal Heti dalam hati. Heti pun kembali memeluk
Doni erat-erat tak peduli pakaian Doni yang lembab.
Perlahan air matanya luruh bersama cintanya pada Doni
yang mulai tumbuh. Dan dalam hatinya, Heti berkata,
“Ni, mulai saat ini cintaku pada Doni bukanlah sebuah
sekenario yang kamu buat, tapi cinta yang
sesungguhnya.”
"Ehm..... bener juga, sih! Cewek bandel kayak kamu seharusnya memang punya
pacar. Jadi ada yang kasih nasihat kalo lagi kumat.”

“Ian jahat...!!”, teriak Icha saat tangan cowok bandel itu menarik kuncir rambutnya.
Sementara Ian sudah kabur, sambil tertawa ngakak, meninggalkan Icha yang
memberengut kesal.
Murid-murid lain yang ada di lorong, hanya geleng-geleng kepala saat melihatnya.
Kejadian seperti itu sudah biasa bagi mereka. Tidak pagi, saat istirahat, ataupun saat
pulang kedua orang itu selalu bertengkar. Icha sebenarnya tidak habis pikir
kenapa cowok itu seneng banget bikin dia sewot.
Ian. Cowok itu dikenalnya saat dia di duduk di bangku kelas tiga SMP.

Sementara Ian sudah duduk di kelas dua SMA. Ian


teman maen basket Leo, kakak kandungnya Icha. Sebenarnya Icha hanya pernah
bertemu Ian sekali. Tapi nama Ian selalu disebut-sebut Leo sebagai sahabat
terbaiknya. Hingga tragedi itu terjadi. Leo mengalami kecelakaan mobil. Setelah
empat
hari dirawat di rumah sakit, ia pun meninggal.
Waktu itu sekitar enam bulan sebelum Icha lulus SMP. Dan sejak itu ia tidak pernah
mendengar nama Ian lagi. Saat itu ia begitu terpukul dengan kematian kakak kandung
satu-satunya itu. Icha berubah menjadi pemurung. Dunianya hanya sekolah dan kamar
tidur.

Orangtuanya sampai khawatir dibuatnya. Lalu masa sebagai murid baru SMU pun tiba.
Namun ditengah kehebohan teman-teman barunya, Icha tetap menjadi gadis
pemurung. Hingga suatu hari........
“Hai. Kamu Icha kan? Masih ingat aku? Ian, teman maen basket kakakmu. Sori baru
tahu kalo kamu jadi adik kelasku. Habis kamu kecil sih, jadi nggak kelihatan. Kalau
perlu apa-apa,jangan sungkan minta tolong ya. Ok!”, lalu sekejap

cowok itu sudah berlalu meninggalkan Icha yang


terbengong-bengong kaget. Otaknya masih berusaha mengumpulkan kepingan-
kepingan wajah yang muncul seperti hantu. Sekejap
datang dan sebentar kemudian hilang. Setelah itu, kehebohan pun terjadi di kelasnya

Teman-temannya, terutama yang cewek, langsung menyergapnya dengan berbagai


pertanyaan. Siapa? Kenalin dong! Cakep banget!

Gimana bisa kenal? Dan masih banyak lagi. Maklum aja, anak baru sudah dikenal kakak
kelas, cakep lagi, siapa yang nggak penasaran. Dan sejak itulah hari-hari Icha selalu
dibayangi segala keisengan Ian. Namun Icha tak bisa benar-benar marah
padanya. Karena ia sadar polah bandel Ian-lah yang telah mengubahnya menjadi Icha
yang dulu lagi. Icha yang manis dan ceria.Jam istirahat. Icha tampak termenung
sendirian di kelas.
 Di tangannya ada selembar brosur tentang audisi pencarian bakat penyiar radio di
kotanya. Sesekali dihembuskan napas pendek. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
Karena terlalu sibuk dengan pikirannya, ia tidak menyadari kalo Ian sudah
berdiri disampingnya sambil senyum-senyum.

“Melamun non?”, sapa Ian pelan.


“Hiahh!!”,teriak Icha kaget, “Eh dodol! Kira-kira
dong! Jantung ini bisa copot tahu.”, Solot Icha.
“Eh bakpaow! Makanya jangan ngelamun aja!”, bales Ian enggak mau kalah.
“Suka-suka!mo ngelamun kek!mo ketawa kek!mo nangis kek! Terserah dong! Kenapa
kamu yang repot?”, sahut Icha makin sewot.
“lagi mikirin aku ya?”, ujar Ian dengan seringai jahil tanpa mempedulikan Icha yang
mulai naek darah.
“Eeenak aja! Emangnya kamu siapa?”, sahut Icha sambil tetap berusaha menahan diri.
 “kalo gitu pasti cowok laen, pacar? Ehm.....
bener juga, sih! Cewek bandel kayak kamu seharusnya memang punya pacar. Jadi ada
yang kasih nasihat kalo lagi kumat.” Ian
nyerocos tanpa peduli Icha yang sudah mau meledak karena saking jengkelnya.
“Ok deh! Ian bantuin, ditanggung sebentar lagi kamu bakal dapat pacar. Gimana?
setuju?”, kali ini mimik wajahnya dibuat serius.
“Enggak butuh!” seru Icha setengah berteriak sambil melangkah
keluar kelas, meninggalkan Ian yang lagi ketawa
terbahak-bahak, sendirian. Saat itu, mata Ian tertuju pada
kertas yang ditinggalkan Icha. Ia tersenyum, ada sesuatu muncul di kepalanya.

Pagi ini sarapan dalam perut Icha langsung hilang hanya untuk menahan emosi. Di
hadapannya terpampang sebuah kertas pengumuman terpampang besar disamping
mading sekolah:
                            
                               DICARI!!!
seorang cowok yang mau menjadi pacar Icha Maharani, dengan kriteria:
sanggup jalan sama cewek bandel, manja, tulalit, dan gampang marah Bagi yang
berminat silahkan berhubungan langsung dengan Icha
NOTE: MOHON CEPAT! KARENA CEWEK INI SUDAH HAMPIR BUNUH DIRI KARENA
DEPRESI.

Selesai membacanya, Icha langsung mencak-mencak. Matanya sibuk mencari Ian.


“Awas kalo ketemu.”, desisnya. Dan saat masuk ke
kelasnya, Ian tampak duduk dibangkunya sambil senyum-senyum.

Saat keduanya sudah berhadapan, belum sempat Icha membuka mulutnya, sebuah
amplop diserahkan Ian ke tangannya. “Ini tanda peserta untuk audisi penyiar, awas
kalo sampai nggak datang. Aku sudah rela antri berjam-jam dan keluar duit buat
ngedaftarin kamu. Ok!”, lalu secepat kilat kabur meninggalkan Icha yang kebingungan.
Bingung karena enggak jadi marah dan bingung soal tanda peserta di tangannya.
“darimana dia tahu?” tanya Icha dalam hati sambil garuk-garuk kepala.
Hari itu tiba. Sebenarnya Icha enggan mengikuti audisi itu karena dia merasa kurang
percaya diri. Namun Ian yang datang menjemput, dengan alasan tidak rela duitnya
terbuang sia-sia, berhasil memaksa Icha untuk berangkat. Ian hanya memberinya dua
pilihan, digendong paksa untuk ikut atau jalan sendiri walau juga terpaksa. Dan yang
bikin Icha dongkol, mama dan
papanya hanya senyum-senyum,seperti mengamini kelakuan Ian.

Disinilah dia akhirnya, berjajar menunggu giliran bersama puluhan peserta yang lain.
Sementara Ian menunggu di kejauhan sambil sesekali menyeringai bandel. Sepertinya
dia mau bilang

“mampus kau”, sambil tertawa senang. Audisi berjalan sampai malam. Ditemani Ian,
Icha menunggu pengumuman keluar. Pukul 23.00, hasil itupun keluar. Icha dan Ian
sibuk mengamati
dari atas ke bawah berulang-ulang lima nama yang ada, tapi tetap saja nama Icha tak
muncul secara ajaib disana.
“Tuh kan! Sudah dibilang apa? Pasti gagal!”, ujar Icha. Ian tersenyum,
“yang penting kan sudah dicoba. Itung-itung buat
pengalaman buat lain kali”.
Kali ini suara Ian terdengar tulus menghiburnya. Icha sejenak terdiam. Baru kali ini dia
mendengar Ian bicara dengan nada seperti itu. Diamatinya Ian.
Sebenarnya ada sesuatu yang sejak tadi ingin ditanyakannya.
Dan ia perlu tahu sekarang. “Ian!”, panggil Icha. “Hm..”,
sahut Ian pendek.
“Boleh tanya nggak?”
“Tanya apa?”
“Kenapa kamu semangat banget maksa aku ikut audisi?”. Tak ada
jawaban.
“Jangan sampai kamu bilang kalo kamu jatuh cinta sama aku!”,
ancam Icha. Sejenak Ian tertawa kecil, “ini semua karena
kakakmu.”. Icha mengernyitkan kening,”maksud kamu?”, ia
bertanya tak mengerti. “Sebelum meninggal,Leo pernah ngomong
kalo sampai dia mati, dia bakal meninggalkan seorang adik
kecil manis yang menyayanginya. Dia enggak mau kalu adiknya
menjadi dan tak pernah terbang mencapai mimpi dan
cita-citanya.
So, disinilah aku, sesuai janji yang aku buat. Aku akan
menjadi sayap untuk membawamu terbang ke angkasa mimpimu,
sampai kamu kuat dan berani untuk terbang sendiri. Walaupun
harus kuakui repot juga ngurus adik yang bandelnya setengah
mati.”
Icha tertegun. Dipandanginya Ian lebih lekat. Ada sebuah rasa
yang begtu besar merayap naik ke hatinya. Rasa sayang kepada
sosok di depannya, yang telah berjuang mengganti sosok lain
yang telah pergi dari hidupnya. “Makasih kak.....”, ucap Icha
dengan mata basah. “ Eh kok nangis. Sudah dong! Malu dilihat
orang.”. Icha tak peduli dipeluknya Ian. Sebuah bisik lirih
keluar dari mulutnya,”Terima kasih sudah menjadi sayap
untukku. Icha janji untuk mulai belajar terbang.”
Icha mendongak, dipandanginya bintang-bintang di langit. Wajah
Leo tergambar disana, “Terima kasih kak! Sudah memberikanku
sayap yang begitu kuat...”, bisik Icha dalm hati.
 
Rossa pasrah kini. Ia merasa Giga memang sudah tak peduli lagi
padanya. Mungkin Giga tak lagi mencintainya. Atau sudah ada gadis
lain yang menyisihkan Rossa di hati cowok itu.

“Anda terhubung dengan….”


Shit! Rossa menjauhkan HP dari telinganya. Ini benar-benar keterlaluan!
Giga benar-benar hendak menjauhinya. Benar-benar menghindarinya dan
bukan suatu ketidaksengajaan. Sudah berulang kali Rossa mencoba
menghubungi cowok itu seminggu terakhir ini, namun selalu terhubung
dengan mailbox.
Muka Rossa menegang. Di hadapannya, Lita cemas mengawasi sahabatnya
itu.
“Kau tidak apa-apa, Ros?” tanyanya penuh perhatian. Rossa menghela napas
panjang sebelum mengangguk.
“I’m ok.”
“HP Giga nggak aktif lagi?”
Rossa memasukkan HP ke saku celananya. Mukanya masih keruh, meski tadi
ia mengatakan tidak apa-apa.
“Aku bisa minta tolong Lilo untuk mengantarmu,” kata Lita menyebut nama
cowoknya. “Mungkin Giga sedang sibuk….”
“Sibuk apa? Sibuk dengan kekasih barunya?” Pikiran buruk itu mau tidak
mau bersarang juga di kepalanya. Meski sejak keanehan sikap Giga terasa,
ia selalu berusaha menepis dan berpikir positif. Tapi, cowok itu sudah
keterlaluan kini!
Pertama kali Giga menunjukkan tingkah anehnya ketika ia selalu buru-buru
mengajak pulang setiap kali bersama Rossa. Bahkan, setiap kali mengantar
jemput Rossa les, cowok itu tidak mau singgah seperti biasanya. Banyak
alasan ia kemukakan. Perut mulaslah, ada tugas rumahlah, atau dimintai
menemani mamanya entah ke mana.

Rossa percaya. Seperti selama ini ia selalu percaya pada cowok terkasih itu.
Karena baginya, dalam cinta musti ada saling percaya, di samping saling
setia dan terbuka. Tapi, Giga mulai menyembunyikan sesuatu. Rossa yakin
itu. Keyakinannya kian menebal setelah akhir-akhir ini ia sering
membatalkan janji.
Dan kini bahkan sudah beberapa hari HP cowok itu tidak aktif!
“Ros….”
Rossa tengah berpikir untuk menelepon ke rumahnya. Namun urung.
Percuma. Kemarin-kemarin, ia pernah mencoba menelepon ke rumah Giga.
Ririn, adik Giga yang mengangkat dan mengatakan cowok itu tidak di rumah.
Namun, jika dicermati lagi kini, Rossa yakin Ririn berbohong. Dan pasti Giga
yang menyuruh gadis belia itu membohonginya.
Pasti.
“Bagaimana?” Lita masih menunggu. Rossa menggeleng akhirnya. Ia tak
mau merepotkan pacar sahabatnya itu. Untuk apa ia punya pacar kalau
untuk les bimbingan belajar saja ia harus minta tolong cowok lain?
“Aku naik angkutan umum saja,” putusnya.
***
“Giga punya nomor baru, Wo?” tanya Rossa pada Bowo, teman Giga ketika
mereka bertemu di rental studio musik.
“Nomor HP?”
Rossa mengangguk dengan sepasang mata memandang tajam. Ia tahu Bowo
bukan tipe cowok yang bisa berbohong dengan mudah. Kedustaan akan
meninggalkan tanda pada ekspresi muka cowok itu.
“Tidak. Atau mungkin aku tidak tahu?” Bowo balik bertanya. Rossa gagal
menemukan bias kebohongannya.
“Tapi, nomornya tidak bisa dihubungi.”
Bowo telah selesai merapikan peralatan band yang baru saja dipakai anak-
anak. Ia memang bekerja sebagai penjaga rental studio musik ini.
“Iya. Aku pikir kamu malah lebih tahu. Kamu pacarnya, kan?”
Pertanyaan itu tak memerlukan jawaban.
“Ia juga jarang ke sini. Mungkin punya komunitas baru?”
Komunitas baru? Bisa jadi. Selama ini Rossa merasa telah mengenal semua
teman Giga. Tahu di mana cowok itu biasa nongkrong dan hanging out sama
siapa saja.
Rental studio musik ini salah satu “habitat”-nya. Dan satu-satunya tempat di
mana ia bisa menemukan Giga selain di rumah.
Di rumah! Kenapa tidak mencari ke sana?
Dengan tekad bulat, Rossa mendatangi rumah Giga. Ia memang jarang main
ke sana karena Giga lebih mudah ditemui di studio rental Bowo. Lagi pula,
rumah Giga susah dijangkau dengan angkutan umum.
Rumah Giga tampak sepi. Rossa ragu apakah ia perlu melongok dari tiap
jendela untuk memergoki cowok itu atau tidak. Ia belum memutuskan ketika
tiba-tiba pintu rumah terbuka.
“Kak Rossa nyari Kak Giga?” tanya Ririn. Rossa mengangguk sembari
mengulas senyum.
“Giga di rumah?”
“Belum pulang.”
“Ke mana?”
“Tidak tahu.”
“Benar tidak tahu?” Rossa mendesak.
“Tidak tahu.” Gadis SMP itu bersikukuh. Sepasang matanya tampak polos
membalas pandangan penuh selidik Rossa.
“Kak Giga punya nomor HP baru?”
Ririn menggeleng.
“Biasanya pulang jam berapa?”
Ia menggeleng lagi. “Nggak tentu, sih. Kadang malam, kadang pulang
sebentar terus pergi lagi….”
Rossa bersungut.
“Mau nunggu?” tawar Ririn sembari menguak pintu lebih lebar. Rossa
tercenung beberapa saat. Lalu menggeleng.
“Tak usah. Bilang saja sama Kak Giga suruh nelepon aku.”
***
Rossa pasrah kini. Ia merasa Giga memang sudah tak peduli lagi padanya.
Mungkin Giga tak lagi mencintainya. Atau sudah ada gadis lain yang
menyisihkan Rossa di hati cowok itu.
Seminggu sudah Giga benar-benar menghilang setelah dua minggu
sebelumnya cowok itu berlaku aneh.
Gadis itu tengah melangkah menelusuri Jalan Patiunus. Jalan yang tidak
dilewati angkutan umum hingga ia musti jalan kaki jika ke tempat bimbingan
belajarnya.

“Hei!” sebuah suara menolehkan kepala Rossa. Seorang cowok di atas


sepeda motor berjalan pelan mensejajari. “Mau bonceng?”
Motor itu berhenti. Rossa menyambut tawaran Fredi, cowok teman
sealmameter di les bimbingan belajarnya itu meski beda kelas.
“Tumben tidak diantar,” kata Fredi setelah Rossa naik di boncengan
motornya. Rossa hanya tersenyum. “Kalau nanti tidak dijemput lagi seperti
kemarin, kamu bisa bonceng aku.”
Rossa tidak langsung mengiyakan. Dalam hati, ia masih berharap Giga sadar
untuk menjemputnya meski harapan itu telah begitu tipisnya.
Namun, Giga memang tidak lagi menjemputnya. Dan Rossa menerima saja
tawaran Fredi. Ia tak peduli kalau ada yang melihatnya berboncengan
dengan Fredi dan melaporkannya pada Giga. Ia ingin Giga tahu, bukan
cowok itu satu-satunya yang peduli padanya.
“Keberatan kalau kita mampir ke kafe dulu?” ujar Fredi dalam nada ajakan.
Rossa hanya mengangguk.
***
“Jangan main api, Ros,” kata Lita kemarin sore, ketika Rossa bercerita
tentang Fredi.
“Kalau Giga bisa seenaknya bertingkah, kenapa aku tidak?” bela Rossa.
“Tapi kamu dan Giga sudah pacaran hampir dua tahun. Apakah semudah
itu?” Lita menghitung dengan tepat. Ia memang tahu berapa lama mereka
pacaran karena ikrar pacaran mereka terjadi sepulang menghadiri ultah Lita
hampir dua tahun lalu.
“Dan sudah hampir sebulan ini Giga menghindariku. Memang beberapa kali
aku masih bisa menemuinya, tapi sikapnya padaku teramat lain.”
“Tapi kalian belum putus, kan?”
“Mungkin Giga sudah memutuskan sepihak.” Rossa bersikukuh. Ia tak mau
lagi peduli meski ketika sempat bertemu Giga mengelak telah memutuskan
Rossa dan bilang masih mencintainya.
“Aku hanya lagi jenuh,” begitu ungkapnya. Kalau saja pengakuan itu jauh
hari sebelum kesabaran Rossa memuncak. Atau sebelum ia kian dekat
dengan Fredi, cowok keren dengan sorot mata tajam yang sering menjadi
perbincangan cewek-cewek di bimbingan belajar, mungkin Rossa akan
mencoba untuk mengerti. Tapi kini? Ia merasa tak perlu menunggu Giga
benar-benar memutuskannya sebelum menjalin hubungan baru dengan
cowok idola di bimbingan belajar itu.

Sudah tiga kali Fredi mengantar jemput Rossa. Dan sekarang pun Rossa
telah menunggu Fredi di teras rumahnya ketika sebuah suara motor
memasuki halaman rumahnya. Suara motor yang lama tak ia dengar. Motor
Giga.
“Belum berangkat?” tanya cowok itu setelah mematikan mesin motornya.
Seringainya masih seperti dulu. Seperti tak ada rasa bersalah atas sikapnya
selama ini. Atas tingkah anehnya yang membuat Rossa muak.
“Hei, nunggu apa lagi? Ayo, nanti telat.”
Rossa masih bergeming.
“Oke, oke. Sorry kemarin-kemarin aku sengaja menghilang. Seperti aku
bilang itu, aku lagi jenuh. Aku butuh jarak biar ada kangen. Biar ada rindu.
Biar cinta kita nggak monoton….”
Semudah itukah? Setelah sebulan mengombang-ambingkan perasaannya,
Giga begitu saja berkata maaf?
“Nunggu si Fredi?” Giga menyeringai. “Dia nggak bakalan berani datang,
deh. Aku udah menemuinya. Yah, sekedar menegaskan, kamu masih
pacarku. Iya kan, Ros?”
Rossa tak menjawab. Ia belum sepenuhnya bisa menerima perlakuan
semena-mena Giga. Meski ia tahu cowok itu bersungguh-sungguh. Meski ia
tahu Giga benar, selama ini pacaran mereka begitu monoton, statis, dan
kehilangan gregetnya. Tapi, Rossa ingin menunjukkan, ia pun berhak marah.
“Sekarang, aku yang lagi sebal sama kamu, Gi. Aku muak!” sembur Rossa
sembari melangkah menuju jalan raya untuk menyetop angkutan umum. Kini
giliran Giga yang kelimpungan.
“Ini bule, apa abis nyebur ke air mendidih sih? Kok biar bulu mata
ikut memutih?”

Tak ada seseorang pun yang menginginkan kekurangan dalam dirinya, meski
kesempurnaan juga mustahil dimiliki seseorang. Ada saja yang kurang,
membuat kesempurnaan itu hanyalah angan. Hendra, cowok berotak cerdas
dan bebas menggunakan fasilitas yang diinginkan. Mobil, motor gede,
notebook, apalagi yang namanya ponsel, bukanlah barang langka buat
Hendra. Tapi apa arti itu semua jika selalu merasa keberadaannya di
lingkungan tempatnya bergaul, kurang mendapat tempat.
Hendra bukan cowok yang kasar apalagi tempramental. Bahkan sebaliknya,
Hendra punya senyum yang setiap orang berhak mendapatkannya jika dia
mau, karena Hendra memang tak pilih-pilih orang untuk disenyumi. Bahkan
Hendra terkenal royal, hingga setiap yang dimilikinya, mulai dari uang, pulsa,
hingga tanpa segan mengulurkan kartu kredit jika seseorang membutuhkan
bantuannya.
Lalu apa yang kurang dalam diri Hendra? Pigmen, itu jawabnya. Kondisi
genetisnya yang tak sempurna, menyebabkan organisme dalam tubuhnya
tak bisa membentuk pigmen. Dan lahirlah dia sebagai manusia albino.
Rambut dan kulit memutih tak wajar. Keadaan seperti itu tentu saja
membuatnya tak bisa pilih-pilih teman, apalagi pacar.
Hendra pernah menitikkan air mata, saat dua tahun lalu dia menyaksikan
klip lagu Chrisye, Seperti Yang Kau Minta, yang bercerita seorang cowok
albino mendamba cinta seorang cewek yang diidamkannya. Lagu itu, hingga
kini tetap dipilihnya sebagai lagu ”kebangsaan”. Meski sebenarnya dia tak
pernah mendamba pada cewek manapun. Dia tahu pasti, apa akhir dari yang
didambakannya, luka!
“Mama Via masuk rumah sakit. Ada nggak yang bisa ngantar Via ke sana.”
ucap pak Hans yang baru terima telepon dari papa Via. Via di sampingnya
sudah bercucuran air mata.
“Saya bisa!” .

Hendra tak menunggu persetujuan dari siapa-siapa, dia telah berlari ke arah
tempat parkir untuk mengambil mobilnya. Padahal, Via bagi Hendra masihlah
asing. Dia hanya butuh alamat rumah sakit. Tentang siapa Via dan
bagaimana dengan pelajaran Fisika yang ditinggalkannya, Hendra tak
mengacuhkannya.
“Terima kasih, Kak Hendra mau menolongku.”
Hendra hanya melirik sekali ke wajah Via, lalu kembali konsentrasi pada arus
lalu lintas.
“Oh iya, namaku Via. Anak kelas IA. Kalo nggak salah, Kak Hendra kelas III
IPA 1 ya?”
Hendra hanya mengangguk. Gara-gara dia albino, seluruh penghuni sekolah
kenal dengan dirinya.
Hendra pernah berangan, dia bisa seperti Irfan, Ansar, ataupun Farid yang
terkenal seantero sekolah karena digilai cewek. Tapi keyataannya, orang
lebih mengenal dia akibat kekurangan yang dimilikinya.
Entah di sekolah, mal, ataupun di tempat keramaian lainya, Hendra selalu
jadi pusat perhatian. Bahkan pernah sekali, saat dia mencari alamat teman di
sebuah perkampungan kumuh, begitu dia keluar dari mobil, anak-anak
langsung mengerumuni dia sambil bernyanyi; “Bule masuk kampung… bule
masuk kampung!”
“Ini bule apa abis nyebur ke air mendidih sih? Kok sampai bulu mata ikut
memutih?”
“Iya, ya? Semuanya putih! Putih seperti ada kelainan. Biasanya kan, bule
cakep. Ini kok lebih mirip… atau jangan-jangan alien nih?”
“Kakak bule dari mana? Pasti tinggalnya di negeri bersalju, sampe putih
begini. Atau kakak ini pangeran yang akan mempersunting Putri Salju? Tapi
kok, pangerannya nggak gagah?”
Hendra berusaha tersenyum, meski di balik dadanya dia merasakan luka
yang lumayan sakit. Saat terluka seperti itu, dia terkadang meragukan
keadilan Tuhan, yang memperlihatkan kuasa-Nya dengan menciptakan
makhluk serupa dirinya. Tapi keraguan itu diusirnya cepat saat dia terjaga
bahwa masih banyak yang bernasib lebih malang daripada dirinya. Dia
memang tak bebas memilih teman apalagi pacar, tapi dia bebas
menggunakan uang. Dia memang bisa mengeluh dengan kondisi kulit
tubuhnya yang memutih tak wajar, tapi tak sedikit orang yang ingin punya
kaki, ingin punya tangan, ingin tubuhnya sempurna. Jadi, dia harus
mensyukuri apa yang dimilikinya kini.
“Kak Hendra melamun?”
Via mencoba mengusik kebisuan yang menjalar sepanjang perjalanan ke
rumah sakit.
“Nggak tahu harus cerita apa. Oh iya, mamamu sakit apa?”
Via memulai jawabannya dengan air mata. Inilah yang tak diinginkan Hendra
hingga memilih asyik dengan pikirannya. Dia takut kesedihan Via teraduk
jika dia bertanya tentang mamanya.
“Perusahaan papaku bangkrut. Mama memang ada gejala hipertensi. Aku
takut, dia stroke menerima kenyataan pahit yang perlahan mulai meresap ke
keluarga kami.”
“Perlahan meresap?” selidik Hendra.
“Papa tiba-tiba punya wanita simpanan, lalu perusahaan bangkrut, dan Irfan
kakakku, minggu lalu ditemukan hampir mati akibat over dosis.”
“Jadi kamu adiknya Irfan?”
Hendra sangat kenal dengan Irfan, meski beda kelas. Irfan yang cakep,
setiap semester berganti pacar, bahkan Hendra selalu berangan, seandainya
saja dia terlahir seberuntung Irfan. Tapi ternyata…? Kali ini dia merasa jauh
lebih beruntung daripada Irfan yang selama ini sempurna di matanya.
“Padahal aku sudah sering nasihatin Kak Irfan, biar nggak rapuh dengan
kenyataan yang tiba-tiba berubah pahit. Tapi dia selalu beralasan jika dia
malu pada teman-teman kalo ketahuan sebagai anak dari keluarga broken
home.”
Helaan napas Hendra berubah berat. Dia mulai merasa bahwa dirinya tak
semalang yang dipikirkannya selama ini.
“Gitu juga dengan mama. Berkali-kali aku ingatkan untuk tegar, kerapuhan
hanya akan membuat suasana semakin pahit. Tapi nggak nyangka, mama
merasakan ini sebagai ujian yang maha dahsyat.”
Mobil telah tiba di rumah sakit. Sebelum turun dari mobil, Hendra
menyempatkan diri menatap sekilas ke arah Via. Beberapa menit saja
bersamanya, dia mendapat banyak pelajaran.
Via bukan cewek sembarangan, bisik batinnya memuji. Saat papanya keliru,
harusnya dia yang rapuh, bukan Irfan yang cowok ataupun mamanya yang
telah banyak mengecap garam kehidupan. Tapi sekali lagi, Hendra hanya
bisa memuji Via dalam hati. Dia tak boleh menyimpan kagum berlebihan,
apalagi sampai mengucapkan cinta, karena akan berkesan pamrih dari
bantuan yang telah diberikan pada Via.
“Makasih, Ndra!”.
Hendra mengangguk sambil tersenyum, melepas langkah Via menelusuri
koridor rumah sakit. Saat hendak berbalik pulang ke sekolah, tiba-tiba
seorang ibu menampakkan wajah resah, bergegas ke arah telpon umum
yang menempel di dinding rumah sakit.
Hendra menghentikan langkah. Perlahan didengarnya suara ibu yang
menelpon itu berkesan memelas.
“Tolonglah, Bu! Anak saya sakit. Gaji saya bulan depan nggak usah dibayar,
asal ibu mau meminjamkan uang untuk biaya perawatan anak saya.”
Hendra melirik ibu setengah baya itu. Wajahnya jelas menampakkan
kekecewaan. Gagang telpon diletakkan dengan lemas.
“Ada yang bisa kubantu, Bu?” Hendra mencoba mendekat.
Wanita itu terkesima. Memperhatikan Hendra dari ujung kaki hingga ujung
rambut. Hendra yakin, keheranan ibu itu bukan karena dia menggunakan
seragam sekolah di tengah rumah sakit. Tapi karena dia albino.
“Tadi aku dengar Ibu minjam uang. Kebetulan aku punya uang tunai. Tadi
mau bayar SPP tapi ada teman yang butuh antaran ke sini. Ibu pakai aja
uang ini!”
Wanita itu semakin keheranan. Sejenak dia merasa dirinya tengah bermimpi
dengan mengucek-ngucek matanya yang basah air mata. Hendra meraih
tangan wanita itu lalu memegangkan uang ke tangannya.
“Semoga anak Ibu cepat sembuh!”
“Terima kasih,”
Hanya batin ibu itu yang membisikkan kalimat. Dia masih juga belum
percaya, jika dia bisa mendapatkan uang dari orang yang belum pernah dia
kenal sebelumnya. Padahal, dia baru saja memelas tapi tak berhasil
menggugah hati majikannya, yang selama ini menggunakan tenaganya
untuk mencuci dan mengurus segala keperluan dapur.
Sejak bangun pagi hingga menjelang siang seperti ini, Hendra telah dua kali
memberikan yang terbaik yang dia bisa. Bukan maksud menghitung ataupun
mengingat terus apa yang telah diberikannya, tapi dia selalu berusaha
mengingat senyum orang-orang yang telah dibantunya.
Hendra sangat bahagia saat melihat orang bisa tersenyum karena
bantuannya, meski tak jarang dia menerima senyum ”aneh” karena
kekurangan yang dimilikinya.
Hari ini bukan hari pertama Hendra menawarkan bantuan. Dia selalu seperti
itu, tak bisa berkata tidak, saat seseorang meminta bantuannya. Bukan
karena ingin dipuji sebagai malaikat, tapi semata karena ingin menutupi
kekurangan yang dimilikinya dengan kebaikan.
Pulang dari rumah sakit menuju sekolah, laju mobilnya lebih cepat dari
biasanya. Dengan harapan bisa ikut ulangan harian Fisika. Tapi siapa sangka,
kemahirannya membawa mobil, teruji saat dengan tiba-tiba seorang
pengemis tua yang kerap mangkal di lampu merah Ahmad Yani,
menyeberang. Dia telah berusaha menghindar, dan pengemis itu pun
selamat, tapi mobil sedannya terpuruk di depan mobil kanvas yang juga
melaju cepat dari arah yang berlawanan.
Dia masih sempat melihat pengemis itu berlari ke arahnya untuk menolong,
tapi semua berubah gelap kemudian. Dalam gelap itu, ada sesuatu yang
terlepas dari raganya. Melayang ke atas, meninggalkan tubuhnya yang
berlumuran darah dan memacetkan arus lalu lintas.
Pengemis yang tadi diselamatkannya, ternyata datang bukan untuk
menolong tapi untuk mengambil dompet dan ponselnya. Hendra melihatnya
dengan jelas. Saat orang-orang mulai mengerumuninya, satu per satu
barang berharga miliknya, dijarah. Dia hanya memandangi tubuhnya yang
berlumuraan darah tanpa bisa berbuat apa-apa.
Bahkan hingga tubuhnya dilarikan ke rumah sakit, dia belum bisa apa-apa.
Tapi jiwanya yang telah terpisah dari raga bisa menyaksikan semua yang
terjadi pada dirinya.
Jiwanya menangis ketika hingga dua hari di rumah sakit, dia belum juga
dibesuk siapa-siapa. Semua karena identitas tentang dirinya, kabur karena
dompetnya ”diselamatkan” saat kecelakaan, sementara wajahnya tak bisa
lagi dikenali akibat luka. Ke mana semua orang yang pernah ditolongnya?
Seolah tak ada yang merasa kehilangan dirinya, untuk kemudian berusaha
mencari keberadaannya.
Hendra hampir saja menganggap dirinya telah mati, jika dia tak
menyaksikan jarum infus masih menancap di nadinya, layar pengukur detak
jantung masih menampakkan gerakan garis kurva tak beraturan.
Menjelang siang, seseorang masuk ke dalam kamar perawatannya. Lelaki
cakep dengan wajah yang bersinar. Dia mencoba mengingat, di mana dia
pernah bertemu dengan orang itu, atau bahkan mungkin pernah dia tolong
sebelumnya. Lama dicarinya, tak satu pun file tentang orang itu tersimpan di
memorinya.
Yang membuatnya tersentak, saat lelaki berseragam putih bersih itu
mengulurkan tangan untuknya, bukan untuk raganya yang masih belum bisa
apa-apa, tapi pada jiwanya yang kini melayang di sekitar tubuh tak
berdayanya. Dia satu-satunya yang bisa melihat keberadaannya.
Lalu dengan suara lembut, mengajaknya untuk pergi dan menjanjikan
kehidupan yang lebih baik dari yang selama ini dilaluinya. Hendra percaya
saja. Karena selama ini dia memang selalu merasa, hidup tak adil untuknya.
Menolong tanpa pamrih, tapi saat dia butuh seseorang untuk memberinya
semangat hidup, tak ada yang ingin duduk di sisinya.
Hendra tak bisa mungkir bahwa dia keberatan terlahir sebagai manusia
albino, meski sesering mungkin dia mengambil orang yang lebih cacat dari
dirinya sebagai pembanding. Dia pun tak merasa salah dengan pilihannya
untuk ikut bersama dengan sosok berseragam putih yang menjanjikan
kehidupan yang jauh lebih baik.
Hendra menyambut uluran tangan sosok berseragam putih itu. Suster panik
menghubungi dokter. Tapi terlambat, detak jantungnya yang mulai soak
sejak kecelakaan, pasif di detik berikutnya.
Di detik yang sama, kepergian Hendra memberi firasat pada orang-orang
terdekatnya. Di rumah, mama dan papanya yang selama ini menganggap
Hendra sedang berkunjung dan tinggal hidup bersama anak panti seperti
yang selama ini dilakukannya, sering bermimpi tentang Hendra yang pergi
dengan seorang lelaki berjubah putih.
Sementara di sekolah, Via dan semua orang yang pernah ditolongnya, tak
pernah menduga jika ”malaikat putih” yang selama ini menolongnya, telah
pergi. Sosoknya yang albino mungkin saja tak membuat orang kehilangan
warna karena ketidakhadirannya, tapi ketulusan hati Hendra jarang bisa
menyerupainya.
(Thanks to A. Faradiba dan Via_Smile di UNM Makassar).
Aku hanya bisa tercengang hingga degupan jantung di dadaku terasa
lebih kencang. Kulihat Willy semakin menjadi-jadi. Dibentur-
benturkan kepalanya ke tembok, kemudian ke lantai kelas hingga
terdengar dengan keras. Aku merasa Willy sudah gila, benar-benar
gila.

“Mita...! Mita! Tolong gue!” Nuri memanggil namanya dengan suara gemetar.
Dan berkali-kali ia masih memanggil Mita. Aku yang mendengar ikut
keheranan mendengar Nuri berteriak dengan kerasnya.
Aku dan Mita segera mencari dari arah datangnya suara Nuri yang terdengar
ketakutan dan terpojok. Sontak saja kami segera mendatanginya, yang dari
tadi berteriak.
“Ada apa, Nur?” tanya Mita, teman sebangkuku, sambil terlihat keheranan.
Aku pun demikian, seperti dirinya. Wajah Nuri terlihat sangat pucat,
tubuhnya seperti didera kedinginan yang sangat. Yang kami lakukan hanya
menatapnya, aneh.
Di sampingnya, Willy hanya diam, kaku tanpa berkata apa-apa. Aku dan Mita
tentu saja heran dengan kelakuan mereka berdua. Mata Nuri terlihat
berkaca-kaca, dan kami hanya dapat menyimpulkan sesuatu.
Mita memegang tangan Nuri secara perlahan, tetapi air matanya tetap saja
keluar dengan derasnya. Entah apa yang dilakukan Willy terhadapnya, yang
jelas kami mengajak Nuri ke kelas.

“Nuri, ayuk! Jangan di situ!” pintanya pada Nuri. Dan akhirnya kami menuju
ke kelas.
“Lo kenapa sih Nur? Gue engga ngerti?” tanya Mita pada Nuri, dan Nuri
hanya diam seribu bahasa. Yang kami tahu, Nuri dan Willy adalah sepasang
kekasih, dan mereka baru saja meresmikannya.
Mita, sebagai mantan anggota Paskibra di sekolah, dengan berani bertanya
pada Willy, karena Nuri hanya terdiam kaku. Aku hanya bisa menonton
kejadian tersebut.
“Wil, elo apain dia hah? Lo mau bertindak kasar ya?” tanya Mita dengan
suara meninggi setelah melihat ketakutan yang dialami Nuri. Willy hanya
senyam-senyum tak karuan. Mita mulai marah.
“Gue engga ngapa-ngapain dia kok? Kenapa lo nanya kayak gitu hah? Siapa
lo?” kata Willy dengan suara yang lebih tinggi. Aku tidak dapat melakukan
sesuatu, karena aku memang tidak bisa.
Mita menatap Willy dengan tajam dan tak henti. Willy dengan santainya
duduk di bangku guru karena hari itu semua murid sudah pulang. Aku dan
Mita sengaja tidak pulang, karena ada bimbingan belajar di luar sekolah.
Willy hanya memainkan kunci motornya, memutar-mutarnya dan
melemparnya naik-turun. Mita semakin kesal saja dengan tingkah laku Willy
yang tak karuan itu. Nuri tertunduk sambil menatap Willy, iba.
Tingkah Willy semakin menjadi-jadi. Pembicaraannya kini semakin tidak
terkendali. Tatapannya menjadi lebih tajam kepada kami, sangat tajam. Aku
pun ikut-ikutan kesal terhadapnya.
“Willy, lo kenapa sih, Wil? Lo engga kenapa-napa, kan? Gue takut Wil!”
katanya pada Willy sembari memegang tangannya dengan lemas, menangis
sejadi-jadinya. Aku dan Mita semakin tidak mengerti apa yang dilakukan Nuri
padanya. Memang ada apa dengan Willy?
“Eh, Wil, istighfar lo. Lo tuh kenapa sih! Istighfar!” pinta Mita padanya. Willy
melirik Mita dengan tatapan aneh.

“Apa? Istighfar? Apaan tuh, gue engga ngerti maksud lo, orang gue engga
kenapa-napa!” suaranya seperti orang yang baru saja minum minuman keras
atau bahkan obat-obatan terlarang.
“Astagfirullah, Wil! Astagfirullah!” kata Nuri padanya dan tak henti-hentinya
menangis.
“Elo make ya, Wil, ayo ngaku?” tanya Mita menginterogasi Willy, karena ia
yakin Willy sedang kecanduan narkoba. Kunci motornya kini semakin
dimainkan oleh kedua tangannya.
“Apaan sih lo, gue masih mau maen juga. Ini lagi yang punya badan engga
bisa ngurus.” Aku tersentak kaget mendengar perkataannya. Apa maksud
Willy dengan perkataannya itu.
“Lo tau gak orang yang paling dibenci Willy yang juga gue benci? Tapi
sekarang, Willy udah mulai suka sama dia? Tau gak lo? Papa! Waktu gue lagi
main, gue digampar sama dia!” Ia tiba-tiba saja berkata seperti itu, kami
semakin tidak mengerti. Jangan-jangan…
“Eh, lo kenapa, Wil?” tanya Mita dengan suara lantang dan berani seperti
kebiasaannya. Willy menatapnya tajam, tajam sekali. Seperti hendak
melakukan sesuatu terhadapnya.
“Eh, lo pergi enggak? Gue sebel ngeliat mata lo! Kalo lo gak pergi, gue bisa
bikin lo pergi, tahu!” ungkapnya misterius. Tidak biasanya Willy berkata
kasar seperti itu, Willy yang kukukenal sebagai teman yang cukup baik kini
berubah misterius dan membuat Mita berkaca-kaca karena perkataannya
tadi.
Nuri kemudian membisikkan sesuatu padaku dengan suara yang lebih parau.
“Li, dia bukan Willy, dia bukan Willy!” bisiknya padaku. Aku tersentak kaget.
Willy bukan Willy? Apa benar seorang pria yang ada di hadapanku bukan
dirinya yang asli.
“Eh, Wil! Sadar! Lo kenal gue, kan?” tanya Nuri padanya sambil mengusap
air mata yang berjatuhan. Willy hanya diam dan menatapnya lama, lama
sekali.
“Lo, elo siapa? Gue enggak kenal lo! Tapi yang jelas elo orang yang paling
penting buat Willy!” ungkapnya seperti orang tak sadar.
Beruntung kali itu ada guru olahraga yang belum pulang, sehingga kami
meminta tolong kepadanya dengan cepat. Kami takut, Willy sedang
kecanduan atau akan segera overdosis. Kami memanggil Pak Adi dengan
segera, dan langsung menjelaskan semuanya.
Namun, tiba-tiba saja Willy mengamuk tak karuan. Bola matanya seperti
hendak keluar dari tempatnya, kata-kata tidak jelas pun berhamburan dari
mulutnya. Aku hanya bisa tercengang hingga degupan jantung di dadaku
terasa lebih kencang. Kulihat Willy semakin menjadi-jadi. Dibentur-
benturkan kepalanya ke tembok, kemudian ke lantai kelas hingga terdengar
dengan keras. Aku merasa Willy sudah gila, benar-benar gila.
Aku dan Mita yang hari itu seharusnya sudah mengikuti bimbel di luar
sekolah, mengurungkan niat untuk menyegerakan ke sana, karena kami
tidak tega melihatnya seperti itu. Belum lagi Nuri yang terlihat sangat
terpukul atas apa yang terjadi pada Willy. Nuri hanya bisa menangis dan
menangis saja.
Ternyata baru kuketahui bahwa Willy kesurupan, bahkan menurutku sangat
parah. Selama satu jam Willy tidak apat dikendalikan. Kami hanya bisa
membacakan doa ataupun ayat-ayat Al-Quran semampu kami. Itu pun tidak
dapat mengembalikan Willy kepada keadaan semula. Pak Adi hanya bisa
memegang Willy agar tidak melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya
sendiri, dibantu Adnan, temanku, yang kali itu akan berangkat bimbel, sama
sepertiku.
Mulut Adnan komat-kamit tak karuan membaca doa-doa yang ia bisa, dan
Pak Adi pun seperti dirinya. Namun, itu tidak dapat meredakan kesurupan
yang sering diderita Willy.

“Willy sering kesurupan, dia juga pernah mau bunuh diri pake samurai yang
dia punya. Terus waktu pramuka, dia juga kena lagi. Dia bukan Willy, Mit!
Dia bukan Willy. Tolong selametin dia!” Nuri tidak henti-hentinya menangis,
lututnya tidak kuat lagi menahan beban tubuhnya sehingga Nuri ambruk
seketika.
Aku dan Mita hanya bisa mengangguk mengiyakan dan aku meminta Nuri
agar tidak terlalu khawatir hingga membuatnya seperti itu, menangis saja.
Syukurlah akhirnya aku melihat Willy kini lebih tenang dan tidak lagi
mengamuk seperti tadi. Perlahan-lahan Willy mereda hingga akhirnya ia
jatuh pingsan.
Aku dan Mita menyangka Willy sedang overdosis atau sakit, ternyata Willy
kesurupan. Aku menarik napas panjang setelah melihat Willy baik-baik saja.
Kulihat ia sadar dan terbangun dari pingsannya itu. Matanya meyiratkan
bahwa ia sangat lelah setelah kejadian tadi.
Willy merasa badannya sangat dingin dan kepalanya benar-benar pusing.
Dahinya terlihat lebam dan ia terus-menerus berkeringat walaupun badannya
terasa sangat beku. Ia melihat ke sekeliling untuk mencari tahu apa yang
telah terjadi pada dirinya.
Wajahnya menunjukkan keheranan yang amat sangat, ia melihat banyak
orang berkumpul melihatnya dengan iba. Segelas teh hangat disodorkan oleh
Adnan kali itu, karena aku dan Mita sibuk mengurusi Nuri yang terlihat shock
berat. Willy meneguknya perlahan dan menaruhnya di atas meja.
“Gue, gue kenapa?” tanyanya aneh, tapi kami tidak membuatnya
mengetahui apa yang telah terjadi.
“Elo, elo enggak kenapa-napa kok!” jawab Adnan berbohong padanya. Ia
ingin Willy tak lagi bertanya.

Kami pun pura-pura sibuk mengurusi hal-hal yang sedari tadi kami
telantarkan, dan anehnya Mita tidak seperti biasanya. Ia hanya terdiam,
kaku di sudut ruangan kelas. Aku ingin menyapanya, tapi sengaja kubiarkan
ia menghabiskan lamunannya itu.
Nuri akhirnya tidak lagi menangis, ia sangat senang Willy kembali seperti
biasa dan menjalani hari-harinya lagi. Tidak ada ketakutan pada diri Nuri jika
Willy akan kembali kesurupan. Yang ia tahu, ia sangat menyayangi Willy dan
ia tidak ingin Willy menderita lagi.
Semenjak kedatangan Nuri dalam hidup Willy, banyak sekali perubahan yang
terjadi padanya. Ia tidak lagi suka mengganggu orang lain, sampai sikap
cueknya terhadap temannya yang lain mulai sirna.
Mita, tidak seperti biasa, hanya terdiam tak berkata apa-apa. Mulutnya
terasa terkunci rapat-rapat. Sebenarnya hatinya sangat gundah atas
kejadian yang menimpa Willy. Ia merasa ada yang salah pada diri Willy, dan
ia mulai merangkai kejanggalan-kejanggalan yang terjadi waktu itu. Ia harus
tahu, dan ia akan tahu semuanya.
“Wil, di hadapan Nuri gue pengen nanya sesuatu sama lo!” pintanya tegas.
Willy dan Nuri masih belum mengerti apa yang dikatakan Nuri.
“Gue tau, gue tau semua, Wil. Sebenernya elo ga kesurupan, kan? Kenapa
sih elo harus ngelakuin itu segala? Gue engga ngerti sama elo!” suara Mita
semakin meninggi dan meninggi. Willy hanya bisa mengernyitkan dahinya,
tanda tidak mengerti.
“Maksud elo apa, gue engga ngerti!” tanyanya tak karuan.
“Gue ngerasa aneh ngeliat kejadian itu, semua sudah terencana kan, Wil?
Tapi ada satu hal yang elo lupain, elo engga bisa ngebohongin Nuri,
sekalipun Nuri gak sadar elo bohongin!” ungkapnya penuh selidik.
“Maksud elo apa?”
“Udah deh, Wil, elo gak usah pura-pura lagi! Waktu di belakang gue nemuin
elo sama Nuri elo masih ingat dia, elo bahkan yang ngajak Nuri masuk ke
kelas. Dan elo tau gak? Cara lo tu payah, Wil! Payah!” suaranya terdengar
menantang, seperti ingin menguak semua yang telah terjadi.
“Dan satu hal lagi... waktu elo sadar, elo langsung nanya keadaan Nuri, baik
atau engga. Seharusnya elo engga sadar apa yang terjadi sama elo. Iya,
kan?”
Willy tidak berkata apa-apa. Ingin sekali rasanya ia pergi dan menghilang
dari tempat itu, tapi hanya memberikan penjelasan yang harus ia lakukan.
“Ternyata, elo hebat. Gue kira gak bakal ada yang tahu, ternyata
perhitungan gue salah! Maafin gue... maaf, Nuri!” pintanya pada Nuri. Nuri
hanya bisa tertunduk lesu mendengar semua itu.
“Kenapa lo lakuin itu, Wil?” tanyanya menyesal.
“Gue, gue cuma mau jadi orang biasa. Gue engga mau orang nganggep gue
perfect karena gue punya segalanya. Dan gue merasa engga pernah dicintai
oleh orang lain or kalian, karena yang dicintain itu Papa! Bukan gue!”
ungkapnya lirih. Willy merasa selama ini ia dicintai karena harta keluarganya
yang melimpah, bukan karena dirinya.
Mita dan Nuri hanya tertunduk lesu mendengar ucapan Willy. Willy
melakukan hal bodoh untuk mencari perhatian dan cinta kasih dari orang lain
dengan cara berpura-pura kesurupan. Willy, Willy, apakah ini semua karena
cinta?
 (Cilegon, 27 Desember 2005 --
Tuk Nak Cinca Papat, CHAYOO!!).
Aku berfikir Ian mendekati aku hanya disuruh oleh Vio, tapi tak
apalah, seperti ini saja aku sudah sangat bahagia.

Malam ini malam minggu, malam yang menurutku membosankan. Aku tahu
sebenarnya malam ini yang ditunggu-tunggu oleh sahabatku. Vira, Tanti, dan
Vio yang selalu menuggunya. Di dalam genkku hanya aku saja yang masih
betah dengan kejombolanku. Tapi walaupun aku jomblo aku nggak kesepian
walaupun di dalam hatiku pernah terbesit kata-kata “ingin punya cowok” tapi
untuk saat ini bawa enjoy aja.

Sebenarnya di antara teman-temanku, hanya aku yang punya banyak teman


cowok, karena aku memang supel. Bisa dibilang aku dekat dengan siapa saja
tapi, kalau untuk urusan “cowok” aku masih belum yakin bisa mendapatkan.
Padahal aku nggak jelek-jelek amat dan juga sebenarnya banyak yang
menjadi penggemar rahasiaku berhubung aku nggak tahu siapa jadi aku
nggak pernah serius deh, selalu menganggap kalau itu hanya orang iseng
saja.

Jam menunjukkan pukul 8 malam ponselku tiba-tiba saja berdering dan


menggangu konsentrasiku yang sedang membaca komik.
“Hallo...” Sapaku.
“Hallo..., Sya, elo lagi ngapain ?” jawab orang disebelah.
“Vio ??? Tumben elo telepon gue ?”
“Emangnya gue nggak boleh nelepon elo nih ?”
“Boleh sih, tapi gue heran aja. Ini kan malam minggu biasanya elo nge-date
sama vivi ?”
“Iya, sih... tapi malam ini dia lagi pergi sama keluarganya. Gue juga sebel
banget abis biasanya kan gue ngabisin malam minggu sama orang yang
special, eh... sekarang malah sama elo ?”
“Jadi elo nelepon gue terpaksa nih ?”
“Nggak juga sih, Sya... gue cuma iseng aja. Abis dari tadi gue bisanya cuma
main PS aja kan bete banget”.

Satu jam lamanya, Vio, salah satu sahabatku telepon. Sebenarnya sih aku
senang ternyata dia masih punya waktu walaupun sedikit terpaksa tapi
jengkel juga sih kalau hanya dengerin curhatannya. So, malam ini aku
habisin cuma dengerin curhatan orang doang.

Matahari menampakkkan wajahnya, bulan kembali bersembunyi di balik


sinarnya matahari. Jam setengah tujuh aku baru melepas selimut tebalku.
Seperti biasanya, jam tujuh kurang lima belas, Tanti menjemputku dan
anak-anak dengan mobil mersinya yang baru.

“Woiiiiiiiii, cepetan dong, Sya.....” Teriak Tanti, Vio, dan Vira dari balik
jendela mobil.
“Iya,.....” Balasku.
“Mam, aku berangkat dulu ya... Assalamu’ alaikum...” teriakku seraya
mengambil sarapan pagi ku kali ini”.

Sepanjang perjalanan Vira mengumumkan pesta ulang tahunnya yang ke


tujuh belas. Aku senang banget karena dua minggu yang akan datang
tepatnya malam minggu aku nggak usah bete untuk bermalam minggu
sendirian, tapi yang bikin aku jadi malas untuk datang adalah di
undangannya tertera harus bawa partner? Aduh rasanya bete baget, aku
doang yang nggak punya cowok.
“Sya, ntar elo datang bawa partner ya?” pinta yang ulang tahun.
“Apa? Masak elo tega sih sama gue? Elo semua kan tahu kalau gue nggak
punya cowok?” jawabku marah.
“Iya sih gue tahu. Tapi acaranya bakalan seru kalau kita semua bawa
pasangan”, timpal Tanti. “Jadi gue gimana dong ?”
“Ya, udah gimana kalau elo cari pacar bohong-bohongan aja? Kan cuma buat
hari itu doang ?” usul Vio.
“Boleh juga tuh..., Sya. Kan elo punya banyak temen cowok selain Vio.” Vira
menyetujui.
“Tapi gimana caranya ?” tanyaku.
“Ya, udah yang penting elonya mau dulu. Urusan gimana caranya ntar kita-
kita aja yang atur. Ok ?” Tanti pun ikut menyetujui.

Memang dalam hatiku, ide itu sangat bagus. Tapi aku nggak tahu harus
berbuat apa masalahnya tengsin dong kalau aku yang nembak cowok. Dalam
kamus aku nggak ada cewek nembak cowok.

Dalam beberapa hari ini Vira, Tanti, dan Vio mencarikan calonnya. Tapi
sampai saat ini belum ada yang aku mau. Satu minggu waktu yang
digunakan tidak berhasil. Akhirnya Vio mengenalkan temen cowoknya
padaku. Aku tahu itu memang bukan temannya yang biasa, soalnya cowok
itu adalah kakak angkatnya di sekolah. Aku tahu Vio ngenalin sama aku
karena dia inign aku mau jadi pacarnya walaupun hanya satu hari. Jujur aja
sih cowok itu ganteng, baik, tajir lagi. Tapi aku hanya nggak yakin kalau dia
mau sama aku, soalnya dia kan lebih dewasa dibanding teman-temanku
yang lain.
“Sya... kenalin nih temen gue,” Ucap Vio.
“Oh, ya... gue Visya,”. Ucapku sambil menyodorkan tangan kearah cowok
itu.
“Gue Ian. Nama elo bagus juga ya ?”
“Thanks...” jawabku malu-malu.

Setelah aku dikenalin sama Ian, aku merasa sedikit lega akhirnya ada juga
cowok yang lumayan untuk diajak ke pesta. Dan setelah itu juga aku dan dia
sering telepon-teleponan, jalan bareng bahkan nggak jarang dia mengantar
dan menjemput aku ke sekolah.

Ian aku ajak ke pesta ulang tahun Vira, walaupun aku dan Ian tidak pacaran
tapi Ian mau saat aku ajak ke pesta ulang tahun itu. Dalam hatiku aku
bersyukur karena akhirnya di pesta ulang tahun itu, aku nggak terlalu bete.
Dan pada hari ini hari Jumat yang indah, kita janjian beli baju bareng selesai
dia Shalat Jumat.

Cuaca sangat bersahabat. Saat aku baru selesai pulang les aku dijemputnya
di tempat les dengan motornya.

“Kita makan siang dulu ya?” Ajak Ian.


“Oh, boleh. Kebetulan aku juga udah laper banget.”
“Kalau udah selesai makan kita ke mana?” tanya Ian.
“Gimana kalau beli baju abis itu kita beli kado.” Jawabku.
“Good idea”.

Selesai makan, kita beli baju ternyata Ian mencarikan aku gaun pesta yang
sangat cantik dan kau yang mencarikan ia jas hitam yang bagus, jika
dipakainya terlihat sangat gagah.
“Sya, kamu cobain yang ini deh ?” pinta Ian.
“Ehmmmm... boleh. Kamu tunggu di situ ya ?” jawabku malu.
“Wow... kamu cantik banget, Sya ??” puji Ian saat aku keluar dari ruang
fitting.
“Terima kasih...” Ucapku sangat malu.

Akhirnya aku dan Ian pulang dengan membawa gaun, jas, dan kado yang
kita beli. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin cepat-cepat malam minggu
itu. Aku sudah membayangkan seperti ratu dan Ian rajanya. Walaupun
menurut temen-teman, aku hanya berpura-pura saja tapi itu hanya angan-
anganku saja aku tahu bahwa aku nggak mungkin mendapatkan Ian yang
sesungguhnya. Aku berfikir Ian mendekati aku hanya disuruh oleh Vio, tapi
tak apalah, seperti ini saja aku sudah sangat bahagia.

Hari yang dinantikan sudah tiba, Ian berjanji akan menjemputku pukul 8
malam. Dan sebelum jam delapan aku sudah siap dan menunggu Ian di
kamar sambil dandan.

Tet... tet... tet... bunyi klakson mobil Ian. Akhirnya aku jadi juga menjadi
ratu walaupun hanya satu malam.
“Malam, cantik.....” Sapa Ian saat aku keluar.
“Malam juga. Malam ini kamu terlihat lebih lebih tampan saat mengenakan
jas itu.” Pujiku dari lubuk hati.
“Thanks... ayo kita jalan tuan putri ?” Ajak Ian seraya menyodorkan
tangannya padaku.
“Ok... ?” jawabku tersipu malu.

Selama perjalanan aku hanya diam dan tertawa kecil. Aku malu sekali
kepada Ian. Aku sudah tak tahan untuk menyembunyikan wajahku ini.
Setiap Ian bertanya, aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman manis
di bibirku. Saat tiba di pesta ulang tahun itu aku sangat gugup sekali.
Ditambah lagi dengan Ian yang selalu menggandengku di setiap ia
melangkah. Tiba-tiba saja Vio menghampiriku. Dan ia tersenyum misterius
sama Ian dan Ian membalasnya.
“Hai, Sya...” tiba-tiba saja bahuku ada yang menepuknya.
“Hai....” Balasku sambil menoleh ke belakang.
“Malam ini elo cantik banget deh....” ucap cewek itu.
“Vira....???” kirain gue siapa ?”
“Cie... yang bawa partner ???” ledek Vira.
“Apa sih...?? Oh, iya ini kado buat elo dari gue dan Ian”.
“Thanks ya..., kesana yuk ???” Ajak Vira.
“Ok... tapi ntar dulu deh. Ian, aku kesana ya ?”
“Ok. Kamu kesana duluan aja nanti aku nyusul sama Vio”.
“Oh... Ya, udah”.

Saat aku pergi, Ian dan Vio sedang berdiskusi. Sepertinya mereka sedang
membicarakan aku. “Tapi aku juga nggak boleh gitu sih...” Pikir ku. Tiba-tiba
saja saat acara mau dimulai Ian maju ke atas panggung, jujur aku bingung
sekali mau apa dia maju. Dalam hati aku selalu bertanya-tanya sendiri.
“Mohon perhatiannya, saya akan bicara sebentar dengan kalian semua” Ucap
Ian di atas panggung.
“Ian... kamu ngapain disana ?” teriakku heran.
“Hari ini gue ingin bilang sama elo semua, gue disini, berdiri di panggung ini
untuk mengumumkan sesuatu. Bahwa pada hari ini gue ingin nembak
seseorang wanita cantik di depan elo semua. Gue kenal dia udah dari kecil
tapi gue baru berani deketin dia satu minggu belakangan ini, jujur gue
orangnya pengecut. Ini aja gue dibantu oleh teman gue untuk dekat sama
dia. Padahal gue satu TK, satu SD, dan satu SMP sama dia.

Tapi gue belum berani pada saat itu. Gue mulai menjadi penggemar rahasia
dia sejak SMP. Kenapa gue mau jadi penggemar rahasia dia ? karena gue
nggak mau latar belakang gue di ketahui dia. Dan sudah lama gue
memendam rasa ini tapi sepertinya gue nggak bisa dan nggak mau
memendam nya lagi. Malam ini gue mau nyatakan kalau gue sayang sama
elo, Visya....” Teriak Ian di atas panggung.

Semua orang yang ada di situ menoleh ke wajah aku. Sungguh aku malu
sekali.
“Dan gue minta Visya maju ke atas panggung...”
“Visya... visya... visya... teriak orang-orang itu sambil bertepuk tangan.
Akhirnya dengan malu-malu aku maju ke atas panggung, dan di atas
panggung itu aku ditembak oleh orang yang aku sayang.
“Kamu yakin kamu suka sama aku ??” tanyaku malu.
“Ya, aku mau kamu jadi pacar aku. Apa kamu mau ???? Ucap Ian sambil
memberikan aku serangkai bunga mawar biru.
“Iya, aku mau jadi pacar kamu....” jawabku teripu malu.
Akhirnya di malam itu aku berdansa dengan Ian sampai malam, dan aku
sangat senang sekali inilah malam minggu yang aku inginkan.

Anda mungkin juga menyukai